pesantren_dan_strategi_pengentasan_kemiskinan

Page 1

PESANTREN DAN STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN Oleh; Lily Zakiyah Munir (Direktur Center for Pesantren and Democracy Studies)

Kemiskinan dapat menjadi penyakit yang membahayakan akidah atau keimanan. Kaum miskin yang hidup di lingkungan orang kaya yang tidak peduli dengan nasib mereka, bisa jadi memiliki kecenderungan untuk mem‘protes’ Tuhan dalam hatinya. "Kaada al-faqru an yakuuna kufran," demikianlah Rasulullah SAW bersabda, "Kemiskinan akan mendekatkan seseorang pada kekufuran." Sabda ini memantapkan pandangan Islam bahwa kemiskinan adalah musuh Islam. Dampak negatif kemiskinan bukan saja merendahkan kemanusia- an, tetapi lebih jauh lagi, dapat mengancam akidah dan keimanan. Islam mengajarkan keseimbangan agar manusia hidup sejahtera di dunia dan akhirat seperti doa 'sapujagat' yang diajarkan al-Qur'an; Rabbana aatina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qinaa adzaban naar." Rasulullah juga bersabda: "I'mal li dunyaka kaannaka ta'isyu abadan wa 'mal li akhiratika kaannaka tamutu ghadan," (Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati besok). Jelaslah bahwa kehidupan sejahtera di dunia sama pentingnya dengan kehidupan sejahtera di akhirat. Kemiskinan dapat menjadi penyakit yang memba- hayakan akidah atau keimanan. Kaum miskin yang hidup di lingkungan orang kaya yang tidak peduli dengan nasib mereka, bisa jadi memiliki kecenderungan untuk mem'protes' Tuhan dalam hatinya. Apalagi kalau mereka harus membanting tulang bekerja keras, namun nasibnya tidak berubah juga, sementara si kaya dengan santai dan mudahnya mendapat kekayaan. Keadaan seperti ini ini dapat memicu keraguan dan pertanyaan atas kebijaksanaan dan keadilan Tuhan dalam distribusi harta kepada umat manusia. Sikap ragu terhadap kehendak Allah, apalagi jika terjadi terus menerus, dapat memperlemah keimanan seseorang dan akan berbahaya terhadap akidah.

Kemiskinan bukan hanya mengakibatkan pendangkalan akidah, tetapi seperti disebutkan dalam hadist, dapat mengarah pada kekufuran. Keadaan serba kekurangan, tangisan anak yang kelaparan, serta terpinggirkan dari berbagai fasilitas yang seharusnya menjadi hak dapat melunturkan iman seseorang. Adik saya, seorang guru sebuah SMA di Malang, bersikeras mencari orang tua asuh untuk murid-muridnya yang Muslim yang tak mampu secara ekonomi. Dia berkisah bahwa sebuah yayasan non-Muslim sudah siap membiayai anak-anak ini hingga selesai, bahkan juga dijanjikan akan disalurkan bekerja. "There is no free lunch," kata pepatah bahasa Inggris. Tidak ada makan siang gratis. Kita perlu waspada apa agenda di balik ini. Namun tentunya kita tidak boleh menyalahkan mereka semata- mata. Siapa tahu mereka memang beri'tikat tulus. Ini harus menjadi bahan introspeksi kita, mengapa sampai hal ini 1


terjadi. Kemana solidaritas kemanusiaan umat Islam; ke mana perginya zakat, infaq dan sodaqoh kaum Muslim? Ke mana hakikat hadist Nabi bahwa umat Islam bersaudara, dan rasa sakit atau kekurangan seseorang akan dirasakan juga oleh yang lain? Dalam konteks seperti ini, pengentasan kemiskinan sudah menjadi suatu kewajiban; karena kelalaian kita akan mengakibatkan larinya umat meninggalkan kita. KEMISKINAN ADALAH PELANGGARAN HAK ASASI Tak salah jika Islam menganggap kemiskinan sebagai musuh bersama yang harus dibasmi. Dampak negatif kemiskinan bukan hanya pada pelemahan akidah, tetapi langsung pada berbagai aspek kemanusiaan. Lihatlah mereka yang harus hidup di tempat-tempat kumuh, nyaris tanpa fasilitas memadai untuk seorang anak manusia. Di Jakarta gampang dijumpai sekeluarga dengan tiga atau empat anak hidup dalam satu petak ruangan; semua aktifitas dilakukan di situ, mulai dari masak, tidur, ngobrol, belajar bagi si anak, hingga hubungan intim sang orang tua. "Sungguh Kami muliakan Bani Adam," begitu al-Qur'an menegaskan; namun kemiskinan telah membuat anak manusia yang dimuliakan Allah ini menjadi makhluk yang nyaris tak ada harganya. Bahkan untuk mencari makan dengan halal pun mereka masih diperlakukan tidak manusiawi. Coba kita tengok perilaku kasar, misalnya dari petugas negara yang menggusur pedagang kaki lima; atau yang membongkar paksa gubug-gubug demi keindahan kota, atau yang menangkapi para pengemis dan gelandangan. Alih-alih memenuhi kewajiban untuk menyejahterakan rakyat, seperti amanah Konstitusi kita, negara bahkan menjadi momok bagi rakyat jelata. Kemiskinan sendiri adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), karena setiap orang pada dasarnya berhak untuk hidup layak dan sejahtera. Banyak pelanggaran HAM lain berkaitan dengan kemiskinan; misalnya pelanggaran hak atas perumahan, hak atas standar hidup yang layak, hak atas pekerjaan, hak pendidikan, hak kesehatan, hak atas air bersih, hak pangan, hak lingkungan sehat, dsb. Pelanggaran atas berbagai hak ini mengakibatkan adanya reproduksi kemiskinan atau lingkaran setan kemiskinan. Orang yang miskin terbatas dalam asupan gizi, terbatas dalam pendidikan, kesehatan, dsb. serta terpinggirkan dari berbagai fasilitas dan sumber daya untuk berkembang secara wajar. Satu-satunya jalan untuk mengubah hal ini adalah dengan memotong mata rantai kemiskinan. Ini adalah tugas kemanusiaan warga, ketika negara sudah gagal memenuhi kewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya. ZUHUD DAN QANA’AH YANG SERING DISALAH TAFSIRKAN Tak ada satu ayatpun dalam al-Qur'an yang melegitimasi atau merestui kemiskinan; begitu pula dalam hadits yag shahih. Dua konsep yang sering disalahartikan maknanya sehingga seolaholah Islam melarang orang menjadi kaya adalah zuhud dan qanaah. Hadist-hadist yang memuji kehidupan zuhud di dunia bukan berarti Islam memuji kemiskinan. Zuhud bukan berarti menutup diri untuk memiliki sesuatu dalam kehidupan. Justru al-zahid (orang yang zuhud) sejati adalah orang yang memiliki dunia (harta kekayaan) namun dia memposisikan kekayaan tersebut dalam "tangannya" dan bukan dalam hatinya (Qaradhawi 2002:16). Begitu pula dengan konsep qanaah yang sering dipahami secara tidak benar. Hadist-hadist 2


Nabi yang memberi dorongan terhadap sikap qana'ah dan rela ter- hadap distribusi Allah bukan berarti bahwa Islam mendorong umatnya berpangku tangan atau bahwa orang-orang kaya harus diam dan tidak berusaha meningkatkan taraf hidupnya. Karena ternyata Rasulullah SAW juga berdoa memohon kekayaan kepada Allah sebagaimana beliau juga memohon ketakwaan.1 Beliau mendoakan sahabat Anas ibn Malik agar Allah memperbanyak hartanya (HR Bukhari dan Muslim). Jadi apa makna qana'ah qana'ah yang sebenarnya? Makna qana'ah berkaitan dengan pengontrolan naluri atau nafsu tamak dan rakus, dengki dan tidak suka melihat orang lain memiliki kelebihan di luar kemampuannya. Pada hakikatnya, perbedaan distribusi rizki dari Allah merupakan "sunnatullah" yang secara alami adalah ujian atas keimanan dan agar manusia berikhtiar. Hal ini dinyatakan dalam al-Qur'an (QS. Al-Nahl 71), yaitu "Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian lain dalam rizki." Kerelaan hati terhadap apa yang telah diberikan Allah kepada manusia dan manusia tidak mampu mengubahnya inilah yang disebut qana'ah. Dengan qana'ah seperti ini, kita bisa menikmati kehidupan yang lebih baik yang sebenarnya merupakan balasan kebajikan dari Allah untuk kaum mu'min yang telah mengerjakan kebajikan di dunia.2 REFLEKSI TENTANG PESANTREN Pesantren adalah lembaga keagamaan dan kemasyarakatan. Tugas utama pesantren selain tafaqquh fi al-din juga adalah mengembangkan masyarakat. Dalam kenyataan, fungsi transformatif ini sering terabaikan, karena pesantren lebih banyak memfokuskan diri pada tafaqquh fi al-din. Fungsi ini diperkuat sedemikian rupa untuk menciptakan kader-kader ulama yang mendalam pengetahuan dan penguasaan ilmu agamanya. Materi fikih merupakan primadona kurikulum pesantren. Mayoritas waktu santri dicurahkan untuk mendalami fikih, mulai dari alatnya seperti nahwu, shorof, balaghah, ushul fiqh dan manthiq, hingga materinya (kitab-kitab fikih sendiri) dan metodologinya (ushul qawa'id). Ini adalah model mainstream pesantren. Pertanyaannya sekarang, masihkah pesantren punya waktu untuk member- dayakan masyarakat sekitar sebagai manifestasi fungsi pengembangan masyarakat, sedangkan memberdayakan santri saja sudah kerepotan? Pertanyaan ini cukup menggelitik melihat fenomena elitisme dan apatisme pesantren terhadap problema kemiskinan sosial, khususnya di lingkungannya sendiri. Pesantren selama ini tenggelam dengan teoritis konseptual dan belum mampu menjamah program transformasi sosial khususnya dalam mengentaskan kemiskinan. Untuk itu pesantren harus menengok sejarah berdirinya yang dimotivasi oleh dua hal. Pertama, pesantren hadir sebagai bagian yang memberikan solusi terhadap pergulatan sosial, terutama kebiadaban teologis. Karena itu domain penting yang digarap sejak semula adalah pendidikan. Dalam bentuknya yang original, pendidikan dalam wujud pengajaran agama dan perbaikan moral menjadi ciri khas pesantren dalam setiap penggal sejarahnya. Ketidakhampaan historis itu dibuktikan melalui keaktifan pesantren pada masa penjajahan. Pesantren menjadikan dirinya sebagai barisan terdepan mengusir musuh negara. Karena itu, ketika pesantren dituntut ikut andil dalam persoalan kesehatan rakyat, bukanlah sesuatu yang ahistoris dan berlebihan. Kedua, secara organisasional, pesantren hidup dalam sebuah masyarakat yang relatif memiliki struktur organisasi yang established, walaupun memiliki karakter paternalistik. Sebagai 3


komunitas organisasional, pesantren tentu tidak sewajarnya tinggal diam atas persoalan kesehatan rakyat. Pesantren harus menjadikan dirinya sebagai lembaga terbuka atas persoalan kulturalnya. Pesantren bisa menjadi jembatan pengembangan kemasyarakatan melalui pengembangan kesehatan rakyat. Karena itu, pesantren yang eksklusif pada masyarakatnya adalah pesantren yang lupa sejarahnya sendiri.3 Dalam perspektif inilah, pesantren harus tampil sebagai agen perubahan sosial yang aktifprogresif melakukan program-program pemberdayaan sosial, khususnya kesehatan secara konsisten. Pesantren diharapkan menjadi dinamisator dan katalisator pembangunan masyarakat desa; tidak hanya bidang keagamaan, tapi juga dalam bidang kesehatan, sosial, dan kebudayaan. Posisi pesantren yang berada di antara dua dunia, yakni dunia pedesaan dan dunia luar, sangat memungkinkan pesantren berperan sebagai lembaga perantara. Letak pesantren di daerah pedesaan dapat memungkinkan lembaga ini memahami persoalanpersoalan masyarakat desa, dan demikian pula gagasan-gagasan baru dari luar dengan ditopang oleh semangat keilmuan akan dapat diserap secara lebih baik, untuk kemudian ditransformasikan kepada masyarakat desa. Arus kontak dan informasi dari dunia luar serta intensitas interaksinya dengan masyarakat pedesaan, memungkinkan lembaga ini untuk berfungsi sebagai tempat bertanya bagi masyarakat. Pesan-pesan perubahan serta gagasan-gagasan baru dan segar, dapat diharapkan kepada pesantren untuk diperkenalkan dan disebarluaskan kepada masyarakat. 4 Salah satu elemen paling krusial di pesantren adalah kiai. Kiai atau ulama adalah orang yang tertanam akarnya pada masyarakat dan tumbuh dari dan di tengah-tengah rakyat. Kiai adalah cultural broker (pialang budaya), orang yang menjembatani budaya lokal dengan budaya nasional dan asing. Semakin kharismatik kiai, semakin banyak pula pengikutnya. Kalau kiai tersebut punya pesantren, maka semakin tersebar pengikutnya melewati batas-batas wilayahnya. Santri-santrinya nanti akan kembali ke kampung halamannya sendiri-sendiri. Mereka akan menjadi kiai-kiai kecil, mengajar di tengah-tengah masyarakat. Kiai- kiai ini akan selalu mendorong masyarakatnya untuk mengikuti gurunya, dan begitu seterusnya. Hal ini masih ditambah ikatan emosional-patriarki-primordial yang masih melekat dalam psycho-social masyarakat. Apa yang dikatakan kiai pasti benar, yang berlawanan dianggap sesat. PIJAKAN TEOLOGIS PESANTREN MENGENTASKAN KEMISKINAN Apa dasar normatif kalau pesantren harus terlibat dalam program pemberdayaan sosial kemasyarakatan, khususnya mengentaskan kemiskinan? Dasar normatif ini bersumber pada sumber primer (al-Qur'an-hadist), sumber sekunder (kitab kuning), dan tersier (sejarah para ulama). Banyak ayat al-Qur'an yang menerangkan wajibnya menolong sesama khususnya yang tidak punya, dalam kondisi susah dan teraniaya. Surat al-Ma'un ayat 1-75 menjelaskan orangorang yang membiarkan nasib anak yatim, orang miskin, tidak menggunakan hartanya untuk sedekah, infaq dan zakat termasuk golongan orang yang mendustakan agama, mereka memang meyakini

4


adanya Allah dan Rasulullah, namun perilaku sosialnya sama sekali tidak men- cerminkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Surat al-Balad6 dengan jelas menyuruh kita membebaskan budak,7 memberi makan orang yang kelaparan, anak yatim yang masih ada hubungan kerabat, dan orang miskin yang didera kelaparan. Perbuatan terpuji inilah yang akan mengantarkan kita menuju surga Allah Swt. Tapi bagi yang sebaliknya, nerakalah tempatnya. Ter dapat hadist Nabi yang memberitahukan keutamaan menolong orang yang sangat membutuhkan, misalnya: "Siapa saja yang menolong orang yang sangat membutuhkan, maka Allah mencatat padanya 73 kebaikan, satu kebaikan darinya akan membuat akhirat dan dunia menjadi baik, sedangkan lainnya akan menaikkan pangkatnya; Siapa saja yang melaksanakan kebutuhan saudaranya maka ia seperti melayani Allah sepanjang umurnya; Siapa saja yang berjalan untuk keperluan saudaranya satu jam dari malam atau siang, baik ia sukses atau tidak, maka perbuatan semacam ini lebih baik dari pada i'tikaf dua bulan; Siapa saja yang membahagiakan orang mukmin yang susah atau menolong orang yang teraniaya, maka Allah mengampuninya 73 ampunan."1 Dalam khazanah klasik (kitab kuning) dijelaskan bahwa hukum memberi makan muslim yang lapar dan memberikan pakaian bagi orang yang telanjang adalah jihad. Namun kalau sudah dalam kondisi darurat, misalnya kalau tidak diberi makan, bisa sakit parah atau meninggal, maka hukumnya menjadi wajib.9 LANGKAH PESANTREN DALAM MENGENTASKAN KEMISKINAN Agar Pesantren mampu menjadi agen dalam mengentaskan kemiskinan, maka ada beberapa langkah yang penting segera dilakukan: Pertama, menghidupkan kembali ghirah kemanusiaan pesantren. Ciri utama pesantren yang membedakannya dengan lembaga-lembaga lain adalah penekanan- nya pada pembentukan nilai-nilai etika moral kemanusiaan. Dalam interaksi yang sangat intens, 24 jam sehari, para santri tidak hanya di'ceramahi' tetapi langsung mengamati dan mempraktekkan norma-norma akhlakul karimah. Hidup sederhana, tirakat, ikhlas, saling menolong, egaliter, tidak mengukur seseorang dari latar belakang sosial ekonominya, dsb. adalah sebagian dari watak yang ditanamkan pada santri. Dengan berkembangnya zaman, nilai-nilai ini banyak yang mulai luntur. Pola kehidupan di pesantren juga berubah, karena dengan banyaknya ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang mesti diajarkan sebagai bekal santri terjun di masyarakat nanti,

5


hampir tidak ada waktu bagi santri untuk mengasah dan mengembangkan kepekaan sosial. Beban berat menimba ilmu agama dan umum membuat santri harus kompetitif dan tidak sempat memperhatikan orang lain. Dulu kepekaan sosial itu diasah dengan kegiatan bersama seperti kerja bakti (ro'an) pada hari Jum'at untuk membersihkan kamar, halaman, kamar mandi, dsb. atau ngliwet dan membakar ikan asin bersama. Sekarang itu semua diganti dengan sistem baru: tukang kebon pesantren dan sistem indekos. Stratifikasi santri juga diterapkan, misalnya dengan perbedaan tarif indekos sesuai menu yang diinginkan. Sekarang sepertinya sulit mencari santri yang sering tirakat, puasa mutih, puasa Dawud, dsb. Kedua, mengembalikan peran kiai sebagai pemimpin spiritual untuk santri dan masyarakat sekitarnya. Hubungan kiai dengan santri dan masyarakat sekitar sangat dekat. Misalnya, pada jam-jam salat tahajud atau menjelang subuh, kiai akan membangunkan santri-santrinya. Bunyi seretan klompen atau bakiak pak kiai seolah- olah menjadi alarm khusus yang membangunkan santri. Dengan sabarnya pak kiai membangunkan santrinya satu-satu. Kini seretan klompen itu digantikan oleh mesin ciptaan manusia berupa bel, yang bahkan sudah disetel secara otomatis. Interaksi antara santri dan kiai digantikan dengan santri dan bel. Pada waktu solat, kyai hampir selalu menjadi imam; kini ada kiai yang begitu sibuk (berpolitik atau berbisnis), sehingga tidak sempat lagi mengimami santrinya. Hubungan antara pesantren/kiai dengan masyarakat sekitar juga tidak seakrab dulu lagi. Kelahiran pesantren pada dasarnya adalah untuk melakukan transformasi sosial mina aldzulumati ila al-nuur, dari 'kegelapan' menuju hidup yang terang. Ketika pesantren menjadi besar (ada yang sampai ribuan santrinya) dan sistem sosial itu sudah tertata, nampaknya pesantren/kiai terlalu sibuk untuk mengurusi masyarakat sekitar. Pesantren seperti 'menara gading' yang menonjol di tengah kemiskinan dan kesederhanaan hidup masyarakat sekitar. Dulu kiai adalah tempat mengadukan semua permasalahan masyarakat, bahkan masalah rumah tangga antara suami dan istri juga disampaikan kepada kiai untuk mendapat nasihatnya. Sekarang kedekatan seperti itu hampir tidak ada lagi. Selain karena jadwal kiai sangat padat juga karena pola relasi yang akrab seperti dulu nyaris tidak bisa ditemui lagi. Padahal sejatinya pesantren lahir untuk melakukan transformasi sosial; namun sekarang terjebak dalam elitisme dan eksklusivisme. Ketiga, menggelorakan semangat ikhlas lillahi ta'ala dan membendung maraknya semangat materialisme. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak pesantren atau kiai terhanyut dalam semangat materialis ini. Mobil mahal, rumah gedung atau pakaian glamor yang dikenakan ibu nyai menjadi ciri kiai masa kini. Lebih parah lagi jika sudah sampai pada komodifikasi pesantren, di mana pesantren dianggap seperti komoditas yang memiliki nilai materi atau finansial. Barangkali ini merupakan imbas globalisasi yang menekankan pada globalisasi ekonomi dengan semangat kapitalisme pasar bebas. Ada pesantren salaf yang membuka diri kepada

6


'investor' untuk membangun gedung-gedung atau ruang belajar/menginap yang megah dengan imbalan memajang nama investor tersebut di gedung itu seperti Wisma X, Wisma Y, Wisma Z, dsb. Para kiai pendahulunya yang dengan ikhlas membangun software santri berupa pengajian kitab-kitab kuning, sikap dan perilaku ikhlas 'tawad.hu' dan lainnya tak muncul sama sekali namanya dalam pajangan itu. Santri-santri muda mungkin tidak akan pernah tahu nama-nama para kiai perintis ini, karena namanya memang tidak terukir oleh manusia. Jika semangat pasar bebas seperti ini sudah masuk ke pesantren, lantas apa beda pesantren dengan institusi bisnis lain? Apakah barokah dan keikhlasan masih ada dalam konteks seperti ini? Keempat, mengembalikan semangat non-partisan dari kiai dan pesantren dalam melayani masyarakat. Sekarang ini sudah bukan rahasia lagi adanya kiai atau pesantren yang terlibat dalam politik praktis dan menyatakan diri sebagai pendukung partai tertentu. Memang benar bahwa adalah hak individu untuk mengikuti aliran politik tertentu. Namun ketika seorang figur publik seperti kiai berpolitik praktis, maka tak ayal lagi hal ini dapat mempengaruhi kebebasan dan kemandirian komitmennya kepada masyarakat luas. Kiai sudah memakai kacamata yang mengkotak-kotakkan umat menjadi pengikut partai politik A, B, atau C. Yang lebih menyedihkan lagi adalah para kiai 'opportunis' yang memang memanfaatkan potensi pesantren dalam menggalang dukungan masa untuk kepentingan pribadinya. Ketika sang kiai oportunis ini sudah mendapat peluang politiknya seperti Memang benar adalah dari partai politik menjadi anggota DPR atau mendapat bantuan dana hak individu untuk yang besar jumlahnya, berbagai fasilitas ini dia manfaatkan untuk mengikuti aliran pribadi, bukan untuk umatnya. Maka tak heran jika kita bisa melihat politik tertentu. rumah seorang kyai yang megah bak istana, namun umat sekelilingnya Namun ketika seorang hidup di rumah-rumah sederhana dan terjerat dalam kemiskinan. figur publik seperti Kelima, setelah mindset atau pola pikir kiai dan pesantren kiai berpolitik praktis, diluruskan kembali ke khittahnya, yang perlu dilakukan adalah maka tak ayal lagi hal membangun pengetahuan dan kesadaran tentang sistem ekonomi ini dapat makro (kapitalis) yang mengakibatkan kemiskinan yang mendera mempengaruhi hampir separoh penduduk Indonesia ini. Mengapa negeri yang kaya kebebasan dan raya dengan sumber daya alam ini terjebak dalam kubangan kemandirian kemiskinan semenjak kemerdekaan lebih dari enam komitmennya kepada puluh tahun lalu? masyarakat luas. Mengapa banyak orang kelaparan di tengah lumbung padi? Mengapa jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar? Apa dampak globalisasi terhadap meningkatnya kemiskinan rakyat Indonesia? Mengapa banyak kebijakan negara yang menguntungkan kapitalis atau pemodal asing atau domestik, sementara rakyat

7


tambah melarat? Mengapa negeri yang katanya agraris ini harus impor hampir semua kebutuhan makanan seperti beras, terigu, kedele, jagung, gula, dsb.? Mengapa para pemimpin negeri ini tidak mau mendengarkan jeritan rakyat, seolah- olah tuli dan tidak ada hati nurani, ketika lautan rakyat memprotes pencabutan subsidi BBM? Mengapa banyak pejabat yang justru tambah kaya setelah menjabat? Ini semua tidak bisa dipahami hanya dengan mengacu pada kitab kuning pesantren. Para kiai dan santri harus membuka diri untuk belajar dan mengikuti informasi tentang berbagai kebijakan negara. Kesadaran kritis harus dibangun dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar. Membangun pengetahuan dan kesadaran kritis dapat dilakukan oleh pesantren melalui kerjasama dengan organisasi- organisasi non-pemerintah (NGO) yang selama ini memang telah bergiat dalam membangun kesadaran kritis. Keenam, setelah terbentuk pengetahuan dan kesadaran kritis, pesantren menyusun strategi penanggulangan kemiskinan dengan mengacu pada ajaran-ajaran Islam. Misalnya mekanisme zakat, infak dan sodaqoh digalakkan; dimulai oleh kiai sendiri sebagai uswatun hasanah, mekanisme ini dikembangkan menjadi suatu gerakan. Mulai dari sebuah pesantren yang memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya, terus dikembangkan melalui jaringan (network) dan ditularkan ke pesantren-pesantren lain. Tahap ini memerlukan kepiawaian dalam mengembangkan jaringan kerjasama dengan semua pihak yang terkait dengan pengentasan kemiskinan, baik pemerintah, sektor swasta, maupun LSM dan organisasiorganisasi lain seperti kelompok pengajian. Bentuk kegiatan sebaiknya berupa 'pancing' dan bukan 'ikan' sehingga masyarakat miskin ini dapat memancing sendiri nantinya. Tentu saja 'ikan' harus juga diberikan pada tahap awal, karena tidak mungkin orang bisa 'memancing' dengan baik kalau perut keroncongan. Pesantren dapat belajar dari kawan-kawan LSM mengenai teknik-teknik pemberdayaan atau pembelaan masyarakat dalam kerangka mengentaskan kemiskinan. Yang paling penting dalam upaya ini adalah fokus dan konsentrasi kegiatan harus berorientasi kepada kaum miskin, bukan sebaliknya. Banyak kasus menggambarkan bobroknya mental para pejabat Indonesia, bahkan dana untuk kaum miskinpun masih dikorupsi. Insya Allah, para kiai yang seharusnya menjiwai ajaran ihsan (keyakinan bahwa Allah selalu melihat kita), bisa lebih teguh dalam menghadapi godaan ini. Dengan pemahaman dan kerangka pikir di atas, diharapkan ghirah ke- manusiaan pesantren akan bangkit kembali. Isu yang paling mendesak yang dihadapi kaum Muslim dan nampak kasat di depan mata kita adalah kemiskinan dengan segala rentetannya seperti keterbelakangan, kebodohan, rendahnya status pendidikan dan kesehatan, dan berbagai problema sosial lainnya. Dengan pendekatan gerakan dari bawah yang masif, Insya Allah perubahan yang diidamkan itu akan terjadi. Gerakan anti kemiskinan seperti ini mempersyaratkan keikhlasan dan komitmen yang luar biasa, bukan sekedar simbol atau jargon. Kita pernah menyaksikan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia mendeklarasikan gerakan anti korupsi; tapi beberapa tahun kemudian korupsi itu masih subur di bumi Indonesia. Nampaklah bahwa kedua organisasi itu tak berdaya melawan korupsi yang menggurita di kalangan petinggi kita. Sebaliknya, upaya-upaya yang relatif kecil dari kawan-kawan LSM untuk memberantas korupsi relatif lebih berhasil, meskipun ruang lingkupnya kecil. Jadi, kata kuncinya sebetulnya adalah integritas, komitmen, keikhlasan, kerja keras, semangat pantang mundur, serta berani mengkritik penguasa yang zalim. Bukankah itu semua ajaran Islam. Kini saatnya pesantren membuktikan hal itu. Wallahu a'lam bis shawab.• 8


Lily Zakiyah Munir Direktur Center for Pesantren and Democracy Studies CATATAN 1 Bunyi doa tersebut "Ya Allah, saya memohon petunjuk, ketakwaan, al-'afaf (penjauhan diri dari hal-hal yang tak baik/hina/subhat), dan kekayaan kepadaMu" (HR. Musim). 2 "Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik lelaki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan padanya kehidupan yag baik (hayatan thayyibah)" (QS. Al-Nahl 97). 3 Iswahyudi, "Pesantren dan Relasi Ekonomi Rakyat", dalam Bina Pesantren: Kajian dan Warta Kepesantrenan, Edisi 2/2004, Jakarta, Depag-P3M, h. 24-25. 4 Lihat Irchami Sulaiman, "Pesantren Mengembangkan Teknologi Tepat Guna ke Desa", dalam Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), h. 245-246. 5 "Apakah engkau tidak tau orang yang mendustakan agama, maka itu orang yang membiarkan anak yatim, tidak memperhatikan orang miskin, maka neraka Wail bagi mereka yang shalat, yaitu orang yang lupa mengerjakan shalat, dan mereka yang pamer dalam beramal, dan melarang hartanya (digunakan untuk shadaqah, infaq, zakat, dan lain-lain)." 6 Ayat 11-16: Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan; atau memberi makan pada hari kelaparan; (kepada) anak yatim yang memberi kerabat; atau orang miskin yang sangat fakir. (QS. Al-Balad/90:16) 7 Membebaskan budak dalam konteks kini dapat berarti memberikan keleluasaan dan kebebasan dalam mendapatkan hak-hak kemanusiaannya, seperti hak kesehatan. 8 Baca seluruh hadisnya dalam al-Nawawi al-Bantani, Qami' al-Thughyan 'ala Mandhumati Syu'bi al- Iman, (Surabaya: Alhidayah, t.t.), h. 17. 9 Lihat Sayyid Abi Bakr Ibn Sayyid Muhammad Syatha', I'anat al-Thalibin, (Surabaya: Irama Minasari, t.t.), Juz IV, h. 182; dan Sayyid 'Abdu al-Rahman ibn Muhammad ibn Husain Ibn 'Umar, Bughyatu al-Mustarsyidin, (Surabaya: Alhidayah, t.t.), h. 253.

9


10


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.