JUSTIFIKASI KEKERASAN ATAS NAMA KITAB SUCI: Kasus Penganuliran (Naskh) Ayat-ayat Damai dengan Ayat Pedang (Āyat al-Sayf) dalam al-Qur`an
Paper Lomba Karya Ilmiah Bertema "Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme"
Wardani (Kandidat doktor di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Foto ilustrasi: Von Francis Robinson, Weltatleas Der Alten Kulturen Der Islam (München, 1984), h. 18.
JUSTIFIKASI KEKERASAN ATAS NAMA KITAB SUCI: Kasus Penganuliran (Naskh) Ayat-ayat Damai dengan Ayat Pedang (Āyat al-Sayf) dalam al-Qur`an
Wardani Abstrak: Bertolak dari berbagai penggunaan justifikasi kekerasan atas nama kitab suci al-Qur`an, termasuk yang melatarbelakangi pemboman di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh Imam Samudera, tulisan ini mengkaji secara analitis-kritis model justifikasi kekerasan dengan teori "penganuliran" (naskh) keberlakuan ratusan "ayat-ayat damai" (peace-verses) yang disebut sebagai "ayat kesabaran, pemberian maaf" (āyat al-sabr wa al-safh wa al-'afw) atau "ayat rekonsiliasi" (āyat al-mu'āhadah) dengan hanya satu ayat, yaitu "ayat pedang" (āyat alsayf). Status penganuliran luar biasa tersebut menjadi kontroversi tak berkesudahan di kalangan pakar ilmu-ilmu al-Qur`an. Para ulama tidak hanya berpolemik dalam mengidentifikasi ayat mana yang disebut sebagai "ayat pedang" dan ada/tidaknya penganuliran, melainkan juga jumlah ayat damai yang dianulir tersebut yang berkembang secara dramatis dalam sejarah yang panjang (dari empat hingga ratusan ayat). Penganuliran yang bertolak dari penafsiran ayat-ayat damai secara tidak utuh tersebut berimplikasi dalam formasi legislasi jihād yang kemudian, secara langsung atau tidak, menjustifikasi secara keliru kekerasan atas nama al-Qur`an terhadap komunitas nonmuslim yang tidak bersalah. Kata-kunci: ayat pedang (ayat (naskh), fiqh jihad, kekerasan.
al-sayf),
penganuliran
Paper ini adalah bagian dari penelitian dalam rangkaian kegiatan "Pendidikan Kader Mufassir" (PKM) di Pusat Studi al-Qur`an (PSQ) Prof. M. Quraish Shihab selama enam bulan di Jakarta (MaretAgustus 2009) dan dua bulan di Cairo (Maret-Mei 2010). Penulis adalah dosen pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Ia menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) di jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin dan starata dua (S2) di konsentrasi filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, ia adalah kandidat doktor tafsir di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
2
A. Pendahuluan Dalam ilmu penafsiran al-Qur`an, apa yang disebut sebagai teori penganuliran (naskh) ayat al-Qur`an dengan ayat al-Qur`an yang lain adalah salah satu persoalan yang sejak
zaman
klasik
hingga
modern
tetap
menjadi
kontroversi yang tak kunjung berujung dan tetap memicu kontroversi. Persoalan ini masih menyisakan problem akut yang berakibat hingga sekarang dalam konteks justifikasi kekerasan
berbasis
al-Qur`an.
Di
antara
persoalan
tersebut adalah jenis penganuliran yang unik ('ajīb alnaskh)
penganuliran
ayat
yang
dikenal
dengan
―ayat
pedang‖ ( آية السيف, āyat al-sayf, the sword-verse) terhadap banyak ayat damai (peace-verses) lain secara bersamaan. Perkembangan jumlah ayat yang dianggap mansūkh berkembang dramatis, hingga Padahal,
semula
hanya
ratusan
ayat
para
penulis
kurang selama naskh
dari kurun
sepuluh waktu
sendiri
berkembang yang
berbeda
lama.
pendapat
dalam mengidentifikasi ayat pedang tersebut. Apa ayat pedang itu, bagaimana kontroversi tentang pembatalan pengaruh
(naskh)
pada
penganuliran
āyat
tersebut
al-sayf, dalam
sejauh
legislasi
mana hukum
Islam tentang jihād yang kemudian dianggap menjustifikasi kekerasan terhadap non-muslim, dan solusi apa yang bisa ditawarkan di tengah kontroversi tersebut?
3
B.Asal-usul istilah ayat pedang 1. Fase Abad Ke-2-3H: Para Penulis Awal Naskh Pada fase ini, belum digunakan istilah "ayat pedang" (āyat al-sayf). Para penulis awal naskh, seperti Qatadah bin Di'āmah al-Saddūsī (117H/736M)dan Abu 'Ubayd al-Qasim bin
Sallam
(223H/838M),
hanya
menyebutkan
dianulirnya
sejumlah ayat tertentu dengan ayat yang terdapat dalam sūrat
Barā`ah
ayat
al-Qur'an
membatalkan
(al-Tawbah). yang
beberapa
Qatādah
berstatus ayat
menjelaskan luar
al-Qur'an
biasa
secara
adanya dengan
sekaligus.1
Qatādah tidak menyebut secara eksplisit Q.9/113:5 sebagai ayat
pedang,
Barā`ah"
(fī
"pedang"
melainkan Barā`ah).2
untuk
sebenarnya
hanya
juga
Ia
perintah
ungkapan
hanya
"dalam
(sūrat)
menggunakan
metapor
perang
terkandung
dalam
dalam
Q.9/113:29—
Q.9/113:5—ketika
menjelaskan ayat ini sebagai penganulir larangan berdebat dengan perang
kalangan tersebut
Ahl adalah
al-Kitāb dianggap
(Q.29/85:46). lebih
Perintah
efektif,
karena
"tidak ada 'debat' yang lebih keras daripada pedang" (lā mujādalah ashadd min al-sayf).3
1
Lihat Qatādah, Kitāb al-Nāsikh wa al-Mansūkh fī Kitāb Allāh Ta’ālā, dalam Silsilah Kutub al-Nāsikh wa al-Mansūkh, suntingan (tahqīq) Hātim Sālih al-Dāmin (Beirut: Mu‘assasat al-Risālah, 1998), h. 23, 33, 40-42, 45, 47, 48-50. 2 Lihat, misalnya, Qatādah, Kitāb al-Nāsikh, h. 40, 41, 42, 45, dan 50. 3 Qatādah, Kitāb al-Nāsikh, h. 45.
4
2. Fase Abd Ke-4H: Penisbatan Ibn Abī Hātim kepada 'Alī bin Abī Tālib Istilah dalam
"ayat
tradisi
tersebut
pedang"
Sunnī
juga
dan
berkembang
(āyat Shī'ī. dalam
al-sayf)
berkembang
Penggunaan
istilah
literatur-literatur
tafsir, naskh, dan fiqh. Dalam karya tafsirnya, Ibn Abī Hātim al-Rāzī (327H), seorang kritikus rijāl terkenal, meriwayatkan bahwa istilah ini berasal dari 'Alī bin Abī Tālib untuk menyebut Q.9/113:5:
بعث النيب صلى: قال علي بن أيب طالب: قال سفيان بن عيينة: حدثنا إسحاق بن موسى األنصاري قال،حدثنا أىب 4 ِر .)وى ْلم ني َفحْلي ُل ( َفا ْلقْقُلْقلُلوا الْل ُل ْلش ِررك َف: قال اهلل تعاىل, سيف يف املشركني من العرب:اهلل عليو وسلم بأربعة أسياف ث َفو َف ْلدُلدتُل ُل
Diberitakan kepada kami oleh ayahku (Abū Hātim alRāzī), diberitakan kepada kami oleh Ishāq bin Mūsā al-Ansārī, ia berkata: Sufyān bin 'Uyaynah berkata: 'Alī bin Abī Tālib berkata: "Nabi Muhammad saw. diutus dengan empat pedang, yaitu satu pedang ditujukan terhadap orang-orang mushrik dari kalangan Arab. Allah ta'ālā berfirman: 'Bunuhlah orang-orang mushrik di mana pun kamu temui'" (Q.9/113:5). Dari
segi
otentisitas
riwayat,
para
rawi
yang
terdiri dari Abū Muhammad 'Abd al-Rahmān (Ibn Abī Hātim) (240-327H), Abū Hātim al-Rāzī (195-277H), Ishāq bin Mūsā al-Ansārī adalah
(244H),
kredibel.5
dan Akan
Sufyān
bin
tetapi,
'Uyaynah
Sufyān
bin
(107-198H) 'Uyaynah,
4
Ibn Abī Hātim, Tafsīr al-Qur`ān al-‘Azīm, Musnadan ‘an alRasūl Sallā Allāh 'Alayh wa Sallam wa al-Sahābah wa al-Tābi’īn, suntingan (tahqīq) As‘ad Muhammad al-Tayyib (Riyād: Maktabat Nizār Mustafā al-Bāz, 1997/1417), juz 6, h. 1752. Tentang posisinya dalam tingkatan (tabaqāt) para mufassir, lihat Ahmad bin Muhammad alAdnarawī, Tabaqāt al-Mufassirīn, suntingan (tahqīq) Sulaymān bin Sālih al-Khizzī (Madinah: Maktbat al-'Ulūm wa al-Hikam, 1997), juz 2, h. 65. 5 Lihat Shams al-Dīn al-Dhahabī, Siyar A’lām al-Nubalā`, suntingan (tahqīq) Shu‘ayb al-Arna`ūt dan ‗Alī Abū Zayd (Beirut:
5
mufassir penting abad ke-2H/8M yang mempengaruhi tokohtokoh
sesudahnya
Isfahānī, Hajar
Ibn
seperti
al-Tabarī,
Abū
Nu'aym
al-
Hātim,
al-Baghawī,
Ibn
Kathīr,
Ibn
Abī
al-'Asqalānī,
al-Suyūtī,
dan
al-Shawkānī,6
tidak
bertemu langsung (munqati') dengan 'Alī (40H/661M). Jalur otentik
tafsir
Sufyān
bin
'Uyaynah
diterimanya melalui Ibn Abī al-Husayn
–
adalah
yang
Ibn al-Tufayl
(44H) – 'Alī (40H/661M).7 Oleh karena itu, riwayat ini tidak otentik.
3. Fase Abad Ke-5-7H: Awal Penyebaran Istilah
Mu`assasat al-Risālah, 1983/1403), juz 13, h. 263-269 (Ibn Abī Hātim); As‘ad Muhammad al-Tayyib, ―Muqaddimah‖, dalam Ibn Abī Hātim, Tafsīr al-Qur`ān al-‘Azīm, h. 7-10 (Ibn Abī Hātim); Siyar A’lām alNubalā`, juz 13, h. 247-263 (Abū Hātim); al-Mizzī, Tahdhīb al-Kamāl, suntingan (tahqīq) Bashshār ‗Awwād Ma‘rūf (Beirut: Mu`ssasat alRisālah, 1982), juz 24, h. 381-391 (Abū Hātim); Ibn Hajar al‗Asqalānī, Tahdhīb al-Tahdhīb, suntingan Ibrāhīm al-Zaybak dan ‗Ādil Murshid (Beirut: Mu`assasat al-Risālah, t.th.), juz 3, h. 500-502 dan juz 4, h. 506 (Abū Hātim al-Rāzī); juz 1, h. 128 (Ishāq bin Mūsā), al-Mizzī, Tahdhīb al-Kamāl, juz 2, h. 480-483 (Ishāq bin Mūsā); juz 2, h. 59-61 (Sufyān bin ‗Uyaynah); Ibn Abī Hātim al-Rāzī, Kitāb alJarh wa al-Ta’dīl (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), juz 1, h. 32-54 (Sufyān bin ‗Uyaynah). 6 Dengan berpatokan pada riwayat-riwayat dalam karya tokoh-tokoh belakangan ini, tafsīr Sufyān bin 'Uyaynah telah direkonstruksi sebagai karya tafsīr utuh oleh Ahmad Sālih Mahāyirī.Lihat Claude Gilliot, "The Beginnings of Qur`ānic Exegesis", dalam Andrew Rippin (ed.), The Qur'an: Formative Interpretation (Great Britain: Ashagate, 1999), h. 16-17. Lihat riwayat jalur tafsir ini dalam Ibn Hajar al'Asqalānī, al-Mu'jam al-Mufahras (Tajrīd Asānīd al-Kutub al-Mashhūrah wa al-Ajzā` al-Manthūrah) (Beirut: Mu`assasat al-Risālah, 1418H/1998M), h. 109. 7 Jalur riwayat yang otentik tentang tafsir yang berasal dari ‗Alī bin Abī Tālib ada tiga. Pertama, jalur Hishām - Muhammad bin Sīrīn – ‗Ubaydah al-Salmānī – ‗Alī (jalur yang diterima al-Bukhārī). Kedua, Ibn Abī al-Husayn – Ibn al-Tufayl – ‗Alī (jalur yang diterima dalam tafsir Sufyān bin ‗Uyaynah). Ketiga, al-Zuhrī – ‗Alī Zayn al‗Ābidīn – Husayn – ‗Alī (jalur paling otentik). Muhammad Husayn alDhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Cairo: Maktabat Wahbah, 2000), juz 1, h. 60.
6
Pada
abad
awal
abad
ke-4H,
al-Nahhās
(338H/950M)
mulai menggunakan istilah āyat al-sayf untuk Q.9/113:5, meskipun masih menggunakan "dalam (surat) Barā`ah" (fī Barā`ah),8
ungkapan
yang
menjadi
karakteristik
para
penulis awal, terutama Abū 'Ubayd yang menjadi sumber referensi
utamanya,
di
samping
sumber-sumber
lain,
seperti al-Tabarī (310H), al-Zajjāj (311H), Abū 'Ubaydah (210H), dan Ibn Qutaybah (276H).9 Uraian al-Nahhās yang, menurut
Khūrshīd,
mewakili
"semua
aliran
tafsir"
berpengaruh terhadap penulis-penulis sesudahnya, seperti Makkī al-Qaysī (437H), Ibn al-Jawzī (597H), al-Qurtubī (671H), dan al-Shātibī (790H).10 Penyebaran istilah ayat pedang sesungguhnya dimulai sejak
abad
ke-5H.
Dengan
dimaksudkan
sebagai
handbook
yang memuat daftar ayat-ayat nāsikh-mansūkh yang lengkap, Hibatullāh ibn Salāmah (410H/1019M) menulis al-Nāsikh wa al-Mansūkh
yang
diakuinya
disarikan
dari
75
literatur
naskh dan tafsir dari riwayat al-Kalbī (146H/763M) dari Abū Sālih (222H).11 Hibatullāh lebih intensif dibandingkan al-Nahhās dalam menyebut āyat al-sayf sebagai ayat yang
8
Abū Ja'far al-Nahhās, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 30, 37. Lihat lebih lanjut Sulaymān bin Ibrāhīm bin ‗Abdullāh alLāhmim, al-Nāsikh wa al-Mansūkh fī Kitāb Allāh ‘Azza wa Jalla wa Ikhtilāf al-‘Ulamā` fī Dhālika Ta`līf Abī Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Ismā’īl al-Nahhās: Dirāsah wa Tahqīq (Beirut: Mu`assasat alRisālah, 1991), juz 1, h. 131-173. 10 ‗Abdullāh Khūrshīd al-Birrī, al-Qur`ān wa ‘Ulūmuh fī Misr (20H-358H) (Mesir: Dār al-Ma‘ārif, t.th.), h. 398-427; Sulaymān bin Ibrāhīm, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 250-275. 11 Hibatullāh ibn Salāmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, margin alWahidī, Asbāb al-Nuzūl (Cairo: Maktabat al-Mutanabbī, t.th.), h. 339-347. 9
7
berstatus luar biasa yang menganulir beberapa ayat lain. 12 Dengan
perkembangan
intensif
oleh
para
ini,
istilah
penulis
tersebut
belakangan,
digunakan
seperti
al-
Baghdādī (429H/1037M)13 dan Makkī al-Qaysī (437H/1045M),14 Ibn
Khuzaymah
(543H/1148M),16
al-Fārisī Ibn
(490H/1097M),15
al-Jawzī
Ibn
al-'Arabī
(597H/1200M),17
Shu'lah
(656H/1258M),18 dan Ibn al-Bārizī (738H/1338M).19 4. Fase Abd Ke-8H: Pengembangan Ibn Kathīr Tafsir Ibn Abī Hātim al-Rāzī dianggap sebagai salah satu tafsir yang memuat penafsiran-penafsiran yang hilang yang berasal dari sahabat dan Sa'īd
bin
Jubayr
(95H/713M)
tābi'ūn, seperti tafsir dan
Muqātil
bin
Hayyān
(150H/767M). Di samping diringkas oleh al-Suyūtī dalam
12 Lihat, misalnya, Hibatullāh ibn Salāmah, al-Nāsikh wa alMansūkh, h. 66, 67, 96, 97, 103, 135-139, 145-147, 164-166. Lihat tabel klasifikasi ayat-ayat nāsikh dan mansūkh menurut Hibatullāh dalam Anwarul Haqq, Abrogation in the Koran (India: Methodist Publishing House, 1926). 13 Lihat, misalnya, ‗Abd al-Qāhir al-Baghdādī, al-Nāsikh wa alMansūkh, suntingan (tahqīq) Hilmī Kāmil As‘ad ‗Abd al-Hādī (Aman: Dār al-‗Adawī, t.th.), h. 79, 161, 221, dan 231. 14 Lihat, misalnya, Makkī al-Qaysī, al-Īdāh li Nāsikh al-Qur`ān wa Mansūkhih, suntingan (tahqīq) Ahmad Hasan Farhāt (Jeddah: Dār alManārah, 1986), h. 281, 286, dan 397. 15 Lihat Ibn Khuzaymah al-Fārisī, al-Mūjaz fī al-Nāsikh wa alMansūkh (Cairo: al-Maktabah al-Azharīyah li al-Turāth, t.th.), h. 249-251. 16 Lihat, misalnya, Ibn al-'Arabī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh fī al-Qur`ān al-Karīm, anotasi al-Shaykh Zakarīyā 'Umayrāt (Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmīyah, 2006), h. 129, 154, dan 155. 17 Lihat, misalnya, Ibn al-Jawzī, Nawāsikh al-Qur`ān (Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmīyah, t.th.), h. 53, 93, dan 131. 18 Shu'lah, Safwat al-Rāsikh fī 'Ilm al-Mansūkh wa al-Nāsikh, suntingan dan studi (tahqīq wa dirāsah) Muhammad Ibrāhīm 'Abd alRahmān Fāris (Ayn Shams: Maktabat al-Thaqāfah al-Dīnīyah, 1995), h. 100, 101, dan 103. 19 Ibn al-Bārizī, Nāsikh al-Qur`ān al-'Azīz wa Mansūkhuh, dalam Silsilat Kutub al-Nāsikh wa al-Mansūkh, suntingan (tahqīq) Hātim Sālih al-Dāmin (Beirut: Mu`assasat al-Risālah, 1998), h. 24, 27, dan 29.
8
al-Durr al-Manthūr, tafsir ini menjadi salah satu sumber tafsir al-Tabarī dan Ibn Kathīr.
20
Setelah mengutip riwayat 'Alī yang dikemukakan oleh Ibn Abī Hātim al-Rāzī dalam tafsirnya tentang Q.9/113:5 sebagai āyat al-sayf, sebagaimana dikemukakan di atas, Ibn
Kathīr
(774H),
murid
Ibn
Taymīyah,
mengembangkan
penafsiran istilah tersebut sebagai berikut:
ِر ِر ون بِراللَّ ِرو وال بِرالْليْقوِرم ِر ون َفما اآلخ ِرر َفوال ُلَفُيِّرُلم َف ين ال يْقُل ْلؤِرمنُل َف َف َف ْل وأظن أن السيف الثاين ىو ق ال أىل الك اب لقولو تعاىل (قَفاتلُلوا الَّذ َف ون ِر ين ْل ِر ِر ِر ااِر يةَف عن ي ٍدد وىم ص ِر ِر ون) (والسيف ااُلر َف اب َفح َّ يْقُل ْلع ُلوا ْل ْل َف َف ْل َف َف ُل ْل َف ين أُلوتُلوا الْلكَف َف ااَف ِّ م َفن الَّذ َف َفحَّرَفم اللَّوُل َفوَفر ُلسولُلوُل َفوال يَفدينُل َف َف ِر ِر ِر ِر ( َفوإِر ْلن: ق ال البااني يف قولو:)ني) اآلية (والرابع َّار َفوالْل ُل َفنا ق َف (يَفا أَفيْق َف ا النِرَّيب َف اىد الْل ُلكف َف: ق ال املنا قني يف قولو:)الثالث ِر ان ِرمن الْل ؤِرمِرنني ا ْلقْق ْقلُلوا َفأ ِر ِر َّ ِر يء إِر َفىل أ ْلَفم ِرر طَفائِرَففَف ِر َف ُل ْل َف َفَف ت إِر ْلح َفد ُلاُهَفا َفعَفلى ْل َفصل ُلحوا بَفْقْليْقَفنْق ُل َف ا َفِرإ ْلن بَفْق َفغ ْل ْل األخَفرى َفْق َفقاتلُلوا ال ِرِت تَفْقْلبغي َفح َّ تَفف َف 21 ِر .)اللَّو Saya kira bahwa pedang kedua adalah perang terhadap Ahl al-Kitāb, karena Allah swt berfirman: "Perangilah orang-orang yang tidak beriman dengan Allah dan tidak pula dengan hari kiamat serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberikan al-Kitāb hingga mereka mau membayar jizyah dengan patuh dan tunduk" (Q.9/113:29). Pedang ketiga adalah perang terhadap orang-orang munafik, seperti dalam firmanNya: "Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik" (Q.9/113:73, Q.66/107:9). Pedang keempat adalah perang terhadap para pemberontak, seperti dalam firman-Nya: "Jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman berperang, damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu di antara dua golongan tersebut berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, perangilah golongan yang berbuat aniaya tersebut, sehingga golongan tersebut kembali kepada perintah Allah" (Q.49/106:9). Dari ditarik
beberapa kesimpulan
uraian bahwa
para ayat
penulis pedang
naskh, adalah
bisa adalah
20
As‘ad Muhammad al-Tayyib, ―Muqaddimah‖, dalam Ibn Abī Hātim, Tafsīr al-Qur`ān al-‘Azīm, h. 10-11. 21 Ibn Kathīr, Tafsīr Ibn Kathīr (Beirut: Dār al-Fikr, 1986), juz 2, h. 227-228.
9
ungkapan
metaporis
untuk
menyebut
suatu
atau
beberapa
(sedikit) ayat al-Qur'an tertentu dengan ciri-ciri umum berikut: a) Menggambarkan disebabkan sebagian
keadaan
oleh
(state
pelanggaran
orang-orang
dianggap
perang
berisi
mushrik
of
perjanjian dengan
kaum
war)
yang
damai
oleh
muslim
(kewajiban)"22
"perintah
dan
untuk
berperang secara paling tegas dan mutlak (itlāq qatl al-kuffār), diperangi atau tidak,23 di masjid al-Haram, sebagaimana
dilarang
dalam
Q.2/87:191,
karena
menyuruh
Sa'īd
ibn
Nabi
atau
al-Makhzūmī
bukan, dan
Abū
Bararah untuk membunuh 'Abdullāh ibn Khatal, seorang mushrik
dari
Banī
Tamīm
bin
Ghālib,
yang
sedang
bergelantungan pada penutup Ka'bah pada peristiwa fath Makkah.24 Memerangi orang-orang mushrik dianggap oleh mayoritas
ulama
sebagai
kewajiban
yang
harus
dilaksanakan (fard lāzim) di tempat mana pun.25 Dalam beberapa
ayat
yang
diidentifikasi
secara
polemis
22
Perintah tersebut umumnya ditafsirkan sebagai kewajiban. Lihat Abū Ja'far al-Nahhās,al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 160. Tapi, sebenarnya, perintah tersebut hanya "kebolehan", karena perintah tersebut didahului oleh larangan (al-amr ba'd al-nahy yufīd alibāhah). Patokan yang mirip adalah "perintah yang muncul setelah larangan hukumnya kembali ke keadaan semula sebelum dilarang" (al-amr al-wārid ba'd al-hazr ya'ūd hukmuh ilā hālih qabla al-hazr). Dengan patokan ini, Khālid 'Uthmān al-Sabt menganggap perintah ini bersifat wajib, karena perintah sebelum pelarang juga wajib. Lihat Khālid 'Uthmān al-Sabt, Qawā'id al-Tafsīr: Jam'an wa Dirāsatan (Mesir: Dār Ibn 'Affān, 1421H), juz 2, h. 487-488. Bandingkan dengan Ibn Jarīr al-Tabarī, Jāmi' al-Bayān 'an Ta`wīl Āy al-Qur`ān, suntingan (tahqīq) Mahmūd Muhammad Shākir (Cairo: Maktabat Ibn Taymīyah, t.th.), juz 14, h. 103-104; Ibn 'Āshūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr (edisi al-Dār alTūnisīyah), juz 10, h. 115. 23 Lihat misalnya Ibn al-Jawzī, Nawāsikh al-Qur`ān, h. 71. 24 Shu'lah, Safwat al-Rāsikh, h. 110. 25 Makkī al-Qaysī, al-Īdāh, h. 157-158.
10
sebagai
ayat
pedang,
digunakan
ungkapan
tertentu
(uqtulū, qātilū, jāhid, jāhidū, atau infirū). Batasan yang masih umum ini kemudian pada fase awal menyebabkan āyat
al-sayf
terkadang
diidentikkan
oleh
sebagian
penulis dengan ayat perintah membunuh (āyat al-qatl), berperang
(āyat
al-qitāl),
atau
setidaknya,
memperlakukan kasar (āyat al-ghilzah).26 b) Umumnya dimaksudkan memiliki status luar biasa dengan penganuliran unik ('ajīb al-naskh) sekaligus terhadap keberlakuan beberapa ayat damai (peace-verses), atau yang bermuatan perintah damai karena adanya perjanjian damai berisi
(āyāt
al-muhādanah;
pernyataan
bahwa
āyāt
Nabi
al-muwāda’ah),
hanya
sebagai
yang
pemberi
peringatan,27 yang berisi perintah agar beliau bersabar atas kondisi yang tidak menyenangkan (āyāt al-sabr),28 memaafkan
kesalahan
orang
lain,
dan
menghindari
perdebatan dengan orang menolak keberadaan Tuhan (āyāt al-safh).29
al-‘afw
wa
seperti
tampak
dari
Penganuliran perkembangan
ayat-ayat legislasi
ini, jihād,
dianggap lebih bersifat teologis sebagai sesuatu yang telah
dijanjikan
pertolongan
dan
oleh
Allāh
kemenangan
sebelumnya
melalui
perintah
sebagai perang
26
Istilah "perlakuan kasar" (ghilzah) tampaknya ditarik secara spesifik dari ungkapan "waghluz 'alayhim" (Q.9/113:73) dan "walyajidū fīkum ghilzah" (Q.9/113:123). 27 Misalnya: Q.15/54:89, Q.19/44:39, Q.22/103:49, Q.35/43:24. 28 Misalnya: Q.40/60:55, Q.50/34:39, Q.68/02:48. 29 Misalnya: Q.53/23:29.
11
Q.37/56:174),30
(Q.2/87:109, terus
ditindas,
menyulitkan
dan
('azm
āyat al-qitāl
karena
bersabar
al-umūr)
kaum
hanya
muslim
menjadi
(Q.3/89:186).31
akan
pilihan Meskipun
memiliki status penganuliran ayat-ayat
lain yang serupa, namun tidak sebanyak yang dianulir oleh āyat al-sayf, seperti tampak pada daftar Ibn alBārizī
dan
kronologi
al-Fārisī.
turun
yang
Hal
itu,
menjadi
selain
patokan
persoalan
penting
yang
menjadi representasi sikap final, juga karena āyat alsayf dianggap sebagai representasi sikap paling tegas terhadap
non-muslim,
sehingga
wajar
kemudian
muncul
pendapat Ismā'īl bin Uways (220H) tentang penganuliran antar
āyat
Q.2/87:191
al-qitāl, yang
yaitu
juga
Q.4/92:91
dianulir
dianulir
oleh
oleh
Q.9/113:5.32
Finalitas dan ketegasan ini diidealisasikan oleh para penulis naskh, seperti tampak pada fiksasi naskh oleh Ibn
al-'Arabī
dalam
bentuk
kaedah,
mencakup
sikap
muslim terhadap non-muslim di segala situasi apa pun. c) Sasaran utama penerapan perintah tersebut adalah nonmuslim (al-mushrikūn, al-kuffār, al-munāfiqūn, dan Ahl al-Kitāb), dianggap
karena sama-sama
meski
berbeda
sebagai
kufr
bentuk, (al-kufr
semuanya millah
wāhidah), baik melalui pengidentikkan shirk dan kufr 30
Lihat, misalnya, Makkī al-Qaysī, al-Īdāh, h. 126; Ibn Kathīr, Tafsīr Ibn Kathīr, juz 1, h. 154-155; Ibn al-Jawzī, Nawāsikh alQur`ān, h. 212. 31 Ibn Kathīr, Tafsīr Ibn Kathīr, juz 1, h. 154-155. 32 Makkī al-Qaysī, al-Īdāh, h. 157.
12
maupun melaui penafsiran makna "fitnah" sebagai shirk (Q.2/87:193). pemberontak
Sasaran (bughāh)
kedua dalam
adalah
kaum
Q.49/106:9,
muslim meskipun
penerapan "pedang" terhadap mereka menjadi kontroversi fiqh klasik, karena mereka tetap sebagai Ahl al-Qiblah (muslim). Ayat
pedang adalah salah satu atau beberapa
ayat
berikut yang masih kontroversial berikut: a. Q.9/113:5. .
Apabila sudah habis bulan-bulan terlarang itu, bunuhlah orang-orang mushrik itu di mana saja kamu jumpai, tangkaplah, dan kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. b. Q.9/113:29.
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kiamat serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberikan al-Kitāb hingga mereka mau membayar jizyah dengan patuh dan tunduk. c. Q.9/113:36.
13
.
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan tersebut, dan perangilah kaum mushrik itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. d. Q.9/113:41. .
Berangkatlah kamu ke medan perang, baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. e. Q.9/113:73. .
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahannam, dan itu adalah tempat kembali yang paling buruk. f. Q.49/106:9. .
Jika ada dua golongan dari mereka yang beriman berseteru, hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi, jika salah satu di antara keduanya melanggar perjanjian terhadap yang lain, perangilah yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Jika telah kembali, damaikanlah antara keduanya secara adil, dan berlakulah secara adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
14
Tabel: Kontroversi Ulama tentang Istilah dan Identifikasi Ayat Penganulir Ayat-ayat Damai ISTILAH YANG DIGUNAKAN
NO.
PENULIS
1. 2.
Qatādah (117H) Muqātil b. Hayyān (150H)
3.
Muqātil b. Sulaymān (150H)
4. 5. 6. 7.
Abū 'Ubayd (223H) Al-Nahhas (338H) Hibatullah (410H) Al-Baghdādī (429H)
9:1-11, 29, 41 9:5
Makkī al-Qaysī (437H)
9:5 (ayat Barā`ah)
8.
Fī Barā`ah
Āyat al-Sayf
Āyat al-Jizyah
KETERANGAN
Āyat al-Qitāl
9:5, 9:36 9:5 9:5, 9:29 9:5 9:5 9:5
9:5 9:29
9:5
9. 10. 11.
Al-Farisi (490H) Ibn al-'Arabī (543H) Ibn al-Jawzī (597H)
9:5 9:5 9:5
12.
Shu'lah (656H)
9:5
13.
Ibn Taymīyah (728H)
14.
Ibn al-Bārizī (738H)
15.
Ibn Kathīr (774H)
16.
Ibn Hajar al-Haytamī (973H)
9:5, 9:29 9:5 9:5, 9:29, 9:73/66:9, 49:9 9:36, 9:41
9:29
9:5, 9:29, 9:36, 9:73/66:9, 2:193/8:39, 2:216 9:29 9:5
Āyat al-qatl wa alqitāl, al-qitāl wal alghilzah
Āyat al-qatl Juga: āyat al-qitāl wal al-ghilzah Mushrik Ahl al-Kitāb
9:5
9:29 Mushrik Ahl al-Kitāb Munāfik Bughāh Mushrik Non-muslim
B. Tahap Perkembangan Pemikiran Penganuliran 1).
Keterangan
Awal
'Alī
bin
Abī
Tālib
dan
Ibn
Tafsir
al-
'Abbās. Sebagaimana
dikutip
al-Majlisī
dari
Nu'mānī karya Muhammad bin Ibrāhīm bin Ja'far al-Nu'mānī (360H/971M),33 murid al-Kulaynī (329H), 'Alī diriwayatkan 33
al-Nu'mānī dikenal juga sebagai Ibn Abī Zaynab. Nisbah alNu'mānī menunjukkan asal keluarganya di al-Nu'mānīyah yang, menurut Yāqūt al-Hamawī, merupakan sebuah kota kecil antara Wāsit dan Baghdad yang dihuni oleh Shī'ah ekstrem. Menurut al-Najāshī, ia menulis beberapa karya, antara lain: Kitāb al-Ghaybah, Kitāb al-Farā`id, dan Kitāb al-Radd 'alā al-'Ismā'īlīyah. Menurut Bar-Asher, beberapa imam awal menyebut keberadaan tafsir ini. Menurut Muhsin al-Amīn, penulis A'yān al-Shī'ah, dengan mengutip pernyataan Ibn Shahrāshūb, al-
15
menyatakan
bahwa
perintah
mengatakan
yang
baik
kepada
manusia (Q.2/87:83), yang secara kontekstual ditafsirkan ditujukan kepada Yahudi yang mengadakan perjanjian damai dengan Nabi, dibatalkan dengan Q.9/113:29,34 āyat al-sayf, atau lebih dikenal sebagai āyat al-jizyah. Ibn 'Abbās, sebagaimana berpendapat
bahwa
sejumlah
dikutip oleh Abū 'Ubayd, "ayat
damai",
yaitu
yang
menekankan bahwa misi Rasul bukan untuk menjadi penguasa dan
melakukan
dominasi
melakukan
pemaksaan
memaafkan
(Q.5/112:13
politik
(Q.88/68:22),
(Q.50/34:45), dan
dan
Q.3/89:159)
tidak
anjuran
dan
untuk
(Q.45/65:14)
dianulir oleh Q.9/113:5 dan Q.9/113:29.35 Sedangkan, ayat yang berisi perintah menerima ajakan berdamai (Q.8/88:61) dianulir oleh Q.9/113:29.36 Dengan 'Alī
adalah
demikian, berkaitan
dalam dengan
Shī'ah, status
penisbatan
kepada
penganuliran
yang
mendahului munculnya istilah ayat pedang pada Abū Ja'far. Dalam
Sunnī,
status
penganuliran
tersebut
dinisbatkan
Nu'manī memang pernah menulis karya tafsir. Sedangkan, dalam alFihrist al-Nadīm maupun al-Tūsī, al-Nu'mānī tidak disebut. Beberapa penafsiran al-Nu'mānī dikutip dalam Bihār al-Anwār al-Majlisī. Menurut al-Nu'mānī, tafsirnya diriwayatkan dari 'Alī. Karya ini merupakan salah satu di antara karya tafsir awal Shī'ah Imāmīyah praBuwayh. Lihat Me'ir Mikha'el Bar-Asher, Scripture and Exegesis in Early Imāmī-Shiism (Leiden: Brill, 1999), h. 63-64. 34 Muhammad Bāqir al-Majlisī, Bihār al-Anwār, juz 97, h. 30. 35 Abū ‗Ubayd, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 156. Lihat juga Ibn al-Jawzī, Nawāsikh al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Kutub al-‗Ilmīyah, t.th.), h. 145. Ketika menjelaskan naskh firman Allah ―fa’fu ‘anhum‖ (Q.5/112:13, Q.3/89:159) dan ―wa anta’fū wa tasfahū‖ (Q.64/108:14), Ibn al-Jawzī mengatakan: ―Ayat-ayat seperti ini dalam al-Qur‘an semuanya dinaskh dengan firman Allah ―faqtulū al-mushrikīn haythu wajadtumūhum‖ (Q.9/113:5). 36 Abū ‗Ubayd, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 158.
16
kepada Ibn 'Abbās, seperti tampak pada Abū 'Ubayd dan Qatādah,
dan
status
tersebut
sama-sama
mendahului
kemunculan istilah tersebut dalam tafsir Ibn Abī Hātim.
2). Generalisasi al-Dahhāk dan Qatādah. Berdasarkan pendapat tersebut, pada awal abad ke-2H, al-Dahhāk bin Muzāhim (105H/723M), seorang tābi'ī penukil tafsir-tafsir
Ibn
'Abbās,
menggeneralisasi
klaim
naskh
Ibn 'Abbās berkaitan dengan ayat-ayat tersebut sebagai naskh
juga
"ijtihad"
terhadap penulis
ayat-ayat
naskh
dan
lain
yang
mufassir
berdasarkan
juga
memiliki
kandungan yang sama, yaitu pembatalan terhadap ayat-ayat yang berisi perjanjian damai dengan kelompok non-muslim. Dari
sini,
kesimpulan
tampak yang
berkembang
lebih
umum:
"analogi" "Setiap
untuk
ayat
menarik
dalam
kitab
Allah ta'ālā yang berisi perjanjian antara Nabi Muhammad saw.
dengan
setiap
orang
dari
kalangan
orang-orang
mushrik, setiap ikatan perjanjian, dan setiap kurun waktu (yang
sudah
disepakati)
dibatalkan
oleh
(ayat
dalam)
sūrat Barā'ah "tangkaplah, tawanlah, dan intailah mereka di tempat pengintaian" (كل آية فى كتاب هللا تعالى فيها ميثاق بين النبي صلى هللا عليه و سلم و " و كل عهد و مدة نسخها سورة براءة "و خذوهم و احصروهم واقعدوا لهم كل مرصد,)بين أحد من المشركين.37
Tampak
adanya
ambiguitas
karena
status
luar
biasa
37
al-Dahhāk bin Muzāhim, Tafsīr al-Dahhāk, kompilasi, kajian, dan suntingan (tahqīq) Shukrī Ahmad al-Zāwīnī (Beirut: Dār al-Salām, 1419H/1999M), juz 2, h. 399. Pendapat ini dikutip oleh Ibn Kathīr, lihat Ibn Kathīr, Tafsīr Ibn Kathīr, juz 2, h. 337.
17
Q.9/113:5
ini
juga
dilekatkan
pada
Q.22/103:39,
ayat
pertama tentang ijin berperang, yang dianggap menganulir ayat-ayat senada, yaitu ayat-ayat perintah untuk tidak menghiraukan dan
orang-orang mereka.38
memaafkan
(117H)
juga
mushrik, Pada
membuat
meninggalkan
abad
yang
generalisasi
perang,
sama,
Qatādah
berkaitan
dengan
penganuliran semua ayat yang berisi anjuran "berpaling" (i'rād;
tidak
menerima berisi
mengganggu)
keadaan:
perintah
atau
hanya
menunggu
"Setiap
ayat
dalam
al-Qur`ān
'berpaling
dari
mereka
dan
dan yang
tunggulah'
dianulir oleh Barā`ah dan (ayat) perang" ( كل شيء فى القرآن "فأعرض )عنهم و انتظر" منسوخ نسخته براءة و القتال.39 Dalam beberapa literatur tafsir,
seperti tafsir karya al-Qurtubī,40 Ibrāhīm al-Tha'labī,41 Ibn
al-Dimashqī,42
'Ādil
Sharbīnī,43 dari
generalisasi
al-Husayn
otoritas Munculnya
yang
bin tidak
riwayat
dan
Muhammad
tersebut
al-Fadl lebih
dari
bin
Ahmad
diriwayatkan
al-Bajalī
awal
al-Bajalī
daripada
al-
berasal
(282H/895M), al-Dahhāk.
tersebut
mungkin
dimaksudkan sebagai alternatif riwayat tafsir dari alDahhāk yang validitas riwayat-riwayatnya dipersoalkan.44
38
al-Dahhāk bin Muzāhim, Tafsīr al-Dahhāk, juz 2, h. 590. Ibn al-Jawzī, Nawāsikh al-Qur`ān, h. 208. 40 al-Qurtubī, al-Jāmi' li Ahkām al-Qur`ān, juz 8, h. 73. 41 Ibrāhīm al-Tha'labī, al-Kashf wa al-Bayān, suntingan (tahqīq) Abū Muhammad bin 'Āshūr (Beirut: Dār Ihyā` al-Turāth al-'Arabī, 2002M/1422H), juz 5, h. 12. 42 Ibn 'Ādil al-Dimashqī, al-Lubāb fī 'Ulūm al-Kitāb, suntingan (tahqīq) Shaykh 'Ādil Ahmad 'Abd al-Mawjūd (Beirut: Dār al-Kutub al'Ilmīyah, 1998M/1419H), juz 10, h. 19. 43 Muhammad bin Ahmad al-Sharbīnī, Tafsīr al-Sirāj al-Munīr (Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmīyah, t.th.), juz 1, h. 466. 44 Al-Suyūtī, al-Itqān fī 'Ulūm al-Qur`ān, jilid 2, h. 189. 39
18
Setelah
itu,
pada
abad
ke-3H,
Abū
'Ubayd
(223H/838M)
bahkan menarik generalisasi "(Sūrat) Barā`ah membatalkan perjanjian
dan
memunculkan
jihād
sebagai
kewajiban
terhadap kaum muslim".45 3).
Pembakuan
penganuliran
ayat-ayat
damai
dengan
ayat pedang sebagai kaedah: Peran Hibatullāh (410H/1019M) dan Ibn al-‗Arabī (543H/1148M). Dengan
berpatokan
pada
generalisasi
dengan
dasar
analogi di atas, pada abad ke-5H, Hibatullāh ibn Salāmah (410H/1019M) mengembangkan daftar ayat-ayat teranulir dan menyimpulkan bahwa ayat pedang "menganulir 124 ayat alQur`an, kemudian bagian akhir ayat ini menganulir bagian akhirnya."46
Hibatullāh
mengemukakan
kaedah-kaedah
berikut: a.
Kaedah
penganuliran
ayat-ayat
perintah
"berpaling" (āyāt al-i'rād), bersabar (āyāt al-sabr), dan memaafkan (āyāt al-'afw wa al-safh):
كل ما كان يف القرآن من قولو تعاىل أعرض عن م وقولو تعاىل اصرب على ما يقولون وقولو تعاىل ول عن م واصفح 47 . عن م واصرب صربا مجيال واصفح الصفح اا يل ذا وما شاكلو منسوخ بآية السيف كل ما كان يف القرآن من خرب الذين أوتوا الك اب واالمر بالصفح عن م نسخو قولو تعاىل قاتلوا الذين ال يؤمنون باهلل 48 .وال باليوم اآلخر االية Setiap ayat dalam al-Qur`an dari firman Allah ta'ālā "berpalinglah dari mereka", firman-Nya "bersabarlah atas apa yang mereka katakan", firman-Nya "maka 45
Abū ‗Ubayd, Kitāb al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 160. Hibatullāh ibn Salāmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 184. 47 Hibatullāh ibn Salāmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, suntingan (tahqīq) Zuhayr al-Shāwīs dan Muhammad Kan'ān (Beirut: al-Maktab alIslāmī, 1404H), h. 209. Edisi (terbitan Maktabat al-Mutanabbī) yang penulis rujuk sebelumnya tidak memuat kaedah ini. 48 Hibatullāh ibn Salāmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh (edisi alMaktab al-Islāmī), h. 210. 46
19
berpalinglah dari mereka, "dan maafkanlah mereka", "bersabarlah dengan sabar yang baik", dan "maafkanlah dengan pemberian maaf yang baik", maka ayat ini dan serupa dengannya dianulir dengan āyat al-sayf. Setiap ayat dalam al-Qur`an yang memuat berita "orang-orang yang diberikan kitab" dan perintah untuk memaafkan mereka dianulir oleh firman Allah ta'ālā, "Bunuhlah orang-orang yang tidak beriman dengan Allah dan tidak (juga) dengan hari kiamat… (sampai akhir ayat)" b.
Kaedah
penganuliran
ayat-ayat
perjanjian
damai
(āyāt al-muwāda'ah/al-mu'āhadah/al-muhādanah): 49
. كل ما كان يف القرآن من صلح أو ع د او حلف أو موا عة نسخ ا براءة من اهلل ورسولو اىل رأس اخل س من ا
Setiap ayat dalam al-Qur`an yang memuat perjanjian damai dianulir oleh ayat dalam sūrat Barā`ah "(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya" sampai awal ayat lima dari surah tersebut. c.
Kaedah
penganuliran
ayat-ayat
yang
menyatakan
bahwa perbuatan-perbuatan setiap hamba menjadi tanggungjawab masing-masing di akherat nanti: 50
. كل ما كان يف القرآن من ولنا أع النا ولكم أع الكم نسخ ا آية السيف
Setiap ayat dalam al-Qur`an yang memuat "Dan bagi kami perbuatan-perbuatan kami, dan bagi kalian perbuatan-perbuatan kalian" dianulir oleh ayat pedang. Setelah mengkritisi
Hibatullāh, penganuliran
Ibn
al-'Arabī
jumlah
ayat
(543H),
yang
meski
dikemukakan
oleh para mufassir sebelumnya, menguatkan kembali prinsip al-Dahhāk membatalkan
bahwa
ketentuan
setiap
baru
ketentuan
dalam
ayat
sebelumnya,
tersebut
dan
bahwa
perintah perang membatalkan setiap perintah memaafkan dan 49
Hibatullāh Maktab al-Islāmī), 50 Hibatullāh Maktab al-Islāmī),
ibn Salāmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh (edisi alh. 210-211. ibn Salāmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh (edisi alh. 211.
20
perintah tidak mengganggu komunitas non-muslim.51 Bahkan, perintah
memerangi
berdasarkan
kaedah
Ahl
al-Kitāb
usūl
al-fiqh
adalah yang
ketetapan
berlandaskan
ketentuan universal (al-tahqīq al-usūlī al-jārī 'alā alqānūn
al-kullī).
Formulasi
berikut
yang
sebenarnya
substansinya berasal dari Hibatullāh yang dikutip oleh al-Suyūtī (849-911H) dalam al-Itqān fī 'Ulūm al-Qur'ān sebagai formulasi Ibn al-'Arabī, menunjukkan bahwa yang disebut terakhir ini berpengaruh terhadap penulis-penulis sesudahnya:
كل ما ىف القرآن من الصفح عن الكفار و ال وىل و اإلعراض و الكف عن م منسوخ بآية السيف و ىي ( إذا انسلخ 52 .األش ر اارم اق لوا املشركني) اآلية نسخت مائة و أربعا و عشرين آية مث نسخ آخرىا أوهلا Setiap ayat al-Qur`an yang berisi pemberian maaf terhadap orang-orang kāfir, perintah berpaling, dan tidak mengganggu mereka dibatalkan dengan ayat pedang, yaitu firman Allah "Apabila bulan-bulan suci telah berakhir, bunuhlah orang-orang mushrik", dan seterusnya, yang membatalkan seratus dua puluh empat
51
Abū Bakr ibn al-'Arabī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh fī al-Qur`ān al-Karīm, edisi Shaykh Zakarīyā 'Umayrāt (Beirut: Dār al-Kutub al'Ilmīyah, 2006), h. 141. Menurut al-Shaykh Zakariyyā ‗Umayrāt, di antara patokan-patokan (qawā’id) yang dipegang oleh Ibn al-‗Arabī dalam menentukan naskh adalah ―setiap ancaman dalam al-Qur‘an dinaskh dengan ayat-ayat perang‖ (kull tahdīd fī al-Qur’ān mansūkh bi āyāt al-qitāl) (al-Shaykh Zakariyyā ‗Umayrāt, ―al-Muqaddimah‖, h. 4). Meskipun mengakui prinsip ini, berkembangannya secara dramatis jumlah ayat-ayat mansūkh yang tampak memuncak pada karya Hibatullāh menggelisahkan para mufassir semisal Ibn al-'Arabī, Ibn al-Jawzī, dan al-Suyūtī. Kesadaran akan hal ini tampak berkorelasi dengan berkembangnya ilmu munāsabāt al-āyāt, seperti tampak pada karya Ibn al-'Arabī, Sirāj al-Murīdīn, dan karya al-Suyūtī, Tanāsuq al-Durar (Asrār Tartīb al-Qur`ān), ringkasan dari karyanya yang lebih lengkap (al-Suyūtī, al-Itqān fī 'Ulūm al-Qur`ān, juz 2, h. 108). Sedangkan, Ibn al-Jawzī memiliki kesadaran akan transmisi tafsir (naql altafsīr) secara tidak kritis. 52 Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), juz 2, h. 24. Perujukan al-Suyūtī kepada Ibn al‗Arabī dalam naskh ayat pedang ini juga dikemukakannya dalam alTahbīr fī ‘Ilm al-Tafsīr (Cairo: Dār al-Manār, 1986), h. 252; Mu’tarak al-Aqrān fī I’jāz al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Fikr al-‗Arabī, t.th.), juz 1, h. 121.
21
ayat, kemudian bagian membatalkan bagian awalnya. Dengan
pembakuan
akhir
tersebut,
ayat
pendapat
tersebut
bahwa
ayat
pedang menganulir ayat-ayat damai diterima di kalangan tokoh Islam, meskipun seperti tampak dari tabel berikut terjadi perkembangan dramatis, dari semula hanya sedikit hingga ratusan ayat damai.
Tabel: Rekapitulasi Ayat-ayat Damai yang Teranulir (Menurut Pertokoh) Ayat Penganulir (Nāsikh) No
Tokoh Islam 9:5
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
'Alī b. Abi Talib(41H) Ibn 'Abbās (67/68H) Al-Dahhāk (105H) Qatādah (117H) Muqātilb.Sulaymān150H) Abu 'Ubayd (223H) Al-Nahhās (338H) Hibatullāh (410H) Al-Baghdadī (429H) Makkī al-Qaysī(437H) Al-Fārisī (490H) Ibn al-'Arabī (543H) Al-Hazimī (584H) Ibn al-Jawzī (597H) Shu'lah (656H) Ibn al-Bārizī (738) Al-Suyuti (911H) Al-Karamī (1033H) Al-Ujhūrī (1190H) Shāh Walīyullāh(1759M) Mustafā Zayd (1978M) Ahmad Hijazi al-Saqā
2 11 7 16 2 13 124 21 6 113 14 114 11 43 114 1 124 48
9:29
1 1
9:5 9:29
9:36
9:73
9:5 9:73
9:73 9:123
Perintah Perang
4
3 1 4 7
9:5 9:36
1 4 2
1
3
1
1
1
1
1
31
9 55 6 1 8 1 1 1
2
1
1 1
Total 1 7 11/109 11/34 16/44 11/58 24/136 131/213 23/ 75 39/202 122/246 69/298 120/214 11/245 44/107 122/249 3/20 125/218 53/197 0/5 0/9 0
22
Grafik Penganuliran Ayat-ayat Damai
140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
131 122
125
122
120
69 53 44
39 24 7
1 1
23
11
11 3
2
Formasi
16
11 11 3
4
5
6
7
8
9
0
0
0
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kompilasi dan Kritik
Penolakan
1='Alī bin Abī Tālib; 2=Ibn 'Abbās; 3=al-Dahhāk; 4=Qatādah; 5=Muqātil bin Sulaymān; 6=Abū 'Ubayd; 7=al-Nahhās; 8=Hibatullāh; 9=al-Baghdādī; 10=Makkī al-Qaysī; 11=al-Fārisī; 12=Ibn al-'Arabī; 13=al-Hāzimī; 14=Ibn al-Jawzī; 15=Shu'lah; 16=Ibn al-Bārizī; 17=alSuyūtī; 18=al-Karamī; 19=al-Ujhūrī; 20=Shāh Walīyullāh; 21=Mustafā Zayd; 22=Ahmad Hijāzī al-Saqā
Ayat-ayat
damai
yang
diklaim
teranulir
bisa
diklasifikasi kepada tiga macam: Pertama, (qīmah)
ayat-ayat
dan
prinsip
teranulir
yang
yang
menentukan
memuat
arah
nilai
penyebaran
Islam, yaitu: (a) ayat-ayat tentang kebebasan beragama; (b)
ayat-ayat
pemberian
peringatan
(āyāt
al-indhār),
yaitu ayat-ayat tentang prinsip bahwa misi Nabi hanya sebagai
penyampai
risalah
agama,
bukan
pengemban
misi
politik sebagai pemaksa/tiran (jabbār), penanggung-jawab (wakīl), (c)
pemelihara
ayat-ayat
(hafīz),
tentang
atau
prinsip
penguasa
penyebaran
(musaytir); Islam
tanpa
kekerasan. Kedua,
ayat-ayat
teranulir
yang
memuat
perintah
sebagai penerapan dari nilai dan prinsip tersebut dalam
23
berinteraksi ayat-ayat
dengan
komunitas
kesabaran
(āyāt
non-muslim,
al-sabr);
yaitu:
(b)
(a)
ayat-ayat
pemberian maaf dan tidak menuntut balas (āyāt al-'afw wa al-safh); (c) ayat-ayat "berpaling" (āyāt al-i'rād) untuk tidak membalas perlakuan buruk orang-orang yang menolak Islam; (d) ayat-ayat perintah menyerahkan urusan kepada Allah; (e) ayat-ayat perintah berlaku baik; (f) ayat-ayat perintah
mengindahkan
perjanjian
damai
(āyāt
al-
muwāda'ah/ al-mu'āhadah/ al-muhādanah). Ketiga, memuat
ayat-ayat
larangan,
(tension)
teranulir
yaitu
hubungan
yang
ketika
antarpemeluk
pada
terjadi agama
dasarnya ketegangan
yang
mengarah
kepada perang yang sebenarnya tidak diinginkan, sehingga perlu ditentukan regulasi, yaitu: (a) ayat-ayat tentang perintah menjaga hubungan baik dengan orang-orang kafir, semisal
dengan
ayat-ayat memuat:
menghindari
regulasi
prinsip
jika
perang
tentang
hukuman
reciprocity),
ketentuan
berperang
tempat
di
terjadinya
perang
dan
bulan
tak
berperang;
terhindarkan
setimpal defensif, suci,
(b) yang
(mu'āwada'ah; dan
larangan
serta
larangan
melanggar syiar-syiar Allah.
24
Tabel: Rekapitulasi Ayat-ayat Damai yang Teranulir (Kompilasi dari Beberapa Penulis) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kategori Isi Kebebasan beragama Pembatasan misi kenabian Dakwah Islam secara damai Kesabaran Pemberian maaf Tidak mengganggu Penyerahan diri kepada Tuhan Berbuat baik Komitmen hidup damai Pemberian keleluasaan Regulasi perang Total Persentasi
Kategori Kronologis Makkīyah Madanīyah 18 2 20 7 4 1 13 3 4 3 23 3 9 2 0 3 1 7 5 0 0 7 97 38 71,85% 28,15
Jumlah 20 27 5 16 7 26 11 3 8 5 7 135 100%
Contoh-contoh ayat damai yang dianggap oleh para ulama teranulir: 1. Q.109/18:6 (kebebasan beragama).53
Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. 2. Q.88/68:22 (pembatasan misi non-politis Nabi).54
Engkau bukanlah penguasa terhadap mereka. 3. Q.46/66:35 (ayat kesabaran).55
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka. 4. Q.60/91:8.56 53
Ibn al-Jawzī, Nawāsikh al-Qur`ān (Beirut: Dār al-Kutub al'Ilmīyah, t.th.), h. 253. Ayat ini bukan memerintahkan untuk mengakui keyakinan agama lain. Lihat latar belakang turun ayat dalam alSuyūtī, Lubāb al-Nuqūl, h. 218; al-Wāhidī, Asbāb al-Nuzūl, h. 240. 54 Lihat Ibn al-Jawzī, Nawāsikh al-Qur`ān, h. 252. 55 Al-Hāzimī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 56, Mar'ī bin Yūsuf al-Karamī, Qalā`id al-Marjān, h. 188, 191; Hibatullāh ibn Salāmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 164. Lihat kritik Ibn al-'Arabī, alNāsikh wa al-Mansūkh, h. 199-201; Ibn al-Jawzī, Nawāsikh al-Qur`ān, h. 228.
25
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena (alasan) agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. C. Faktor-faktor Ideologis yang Mempengaruhi Penafsiran a. Faktor Teologis Sebagian Ibn
Hazm
penafsir,
al-Zāhirī,
seperti
al-Shāfi'ī
berpendapat
bahwa
dan
menurut
alasan
yang
membolehkan perang adalah kekufuran (kufr). Kedua tokoh ini tidak mengecualikan orang-orang yang tidak berbahaya, seperti anak-anak, wanita, orang tua lanjut usia, dan pemuka agama yang tidak berbahaya, untuk dibunuh dengan alasan, antara lain, fitnah (Q.2/87:193) adalah shirk,57 terlepas dari mereka berbahaya atau tidak. Ibn al-'Arabī juga berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara Ahl alKitāb
dan
orang-orang
mushrik
dalam
hal
bahwa
mereka
semuanya orang-orang kafir dan harus dibunuh, meski bisa dibedakan bahwa setiap kitābī adalah mushrik, tapi tidak sebaliknya.58 Bahkan, Ibn al-'Arabī menganggap Mu'tazilah dan Qadarīyah termasuk orang-orang kafir, karena mereka menyamakan hamba dan Tuhan dalam terwujudnya perbuatan
56
Lihat Ibn al-Jawzī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 239; Shu'lah, Safwat al-Rāsikh, h. 179. 57 Lihat al-Shāfi'ī, al-Umm, juz 7, h. 181. 58 Ibn al-'Arabī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 143.
26
(khalq af'āl al-ibād).59 Itu artinya bahwa, menurutnya, sekte teologi dalam Islam ini juga harus diperangi. b. Faktor Fiqh Teori fanatisme
naskh
sering
diterapkan
aliran.
Seabad
setelah
untuk
kepentingan
al-Shāfi'ī,
‗Abdullāh
al-Karkhī (340H/951M), seorang tokoh aliran fiqh Hanafī, menyatakan sebagai berikut:
و األوىل أن حت ل على ال أويل من.األصل أن كل آية ختالف قول أصحابنا إهنا حت ل على النسخ أو على الرت يح 60 . ة ال و ي Pada prinsipnya, setiap ayat yang dengan pendapat para tokoh aliran kami ke isu penganuliran (naskh) atau pendapat terkuat (tarjīh). Yang lebih dita’wil untuk melakukan kompromi. Di didorong
samping oleh
itu,
penganuliran
merebaknya
bertentangan harus dibawa pertimbangan tepat adalah
ayat-ayat
literalisme
usūl
damai
al-fiqh,
seperti yang dianut oleh Ibn al-'Arabī, didasarkan atas pemaknaan
harfiah
dijelaskannya,
terhadap
"keharusan
teks,
melabuhkan
sebagaimana
ungkapan-ungkapan
pada makna-makna lahiriahnya yang layak" (wujūb tanzīl al-alfāz
'alā
Literalisme
ma'ānīhā
begitu
kuat
al-zāhirah dalam
fīhā
pemikiran
al-lā`iqah).61 hukum
Islam,
seperti tampak dari pernyataan Ibn Hazm dalam al-Muhalla bahwa barangsiapa yang mengatakan bahwa ada dimensi batin
59
Ibn al-'Arabī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 143. Sebagaimana dikutip oleh Shaykh Ahmad bin al-Shaykh Muhammad al-Zarqā, Sharh al-Qawā’id al-Fiqhīyah, edit ‗Abd al-Sattār Abū Ghuddah (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 39; Muhammad Husayn alDhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Beirut: Dār al-Fikr, 1976/ 1396), juz 2, h. 434. Di antara karya al-Karkhī adalah Mukhtasar fī Furū' al-Fiqh al-Hanafī. 61 Ibn al-'Arabī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 139 dengan merujuk ke karyanya, Qānūn al-Ta`wīl. 60
27
dalam ajaran Islam selain yang lahiri adalah kafir yang harus dibunuh.62 c. Faktor Ajaran Tasawuf Tertentu. Sebagaimana
dicatat
oleh
S.
Abdullah
Schleifer,
tasawwuf berperan dalam berbagai moment pergolakan Islam. Kharisma kekuatan
'Alī
dikembangkan
politik
perkembangan kesatria)
'Abbāsīyah
tasawwuf.
'Alī
sebagai yang
simbol
penopang
berakselerasi
Ide
tentang
dikembangkan
menjadi
"fatā" konsep
dengan
(pemuda, "futūwah"
(kesatriaan yang saleh) untuk menggelorakan jihād.63 Tidak
kurang
pentingnya
adalah
peran
tasawwuf
sebagai justifikasi doktrinal untuk menggelorakan jihād selama perang Salib.
Setting
historis-politis-keagamaan
ini yang mengendalikan kesadaran seorang Ibn al-'Arabī dalam
alasan
sufistiknya
ayat-ayat
damai.
pemberian
peringatan"
yang
Menurutnya, (āyāt
mendasari
penganuliran
teranulirnya al-indhār)
"ayat-ayat
dengan
"ayat
perang" (āyat al-qitāl) atau "ayat pedang" (āyat al-sayf) adalah karena memang Nabi Muhammad saw. diciptakan oleh Tuhan dengan sifat-sifat-Nya juga "mendua", seperti Tuhan maha Pengasih sekaligus Maha Penghukum.64 Wajar kemudian, menurutnya, Nabi juga memiliki karakter "mendua": pemberi
62
Ibn Hazm, al-Muhalla bi al-Āthār, suntingan 'Abd al-Ghaffār Sulaymān al-Bindārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), juz 5, h. 376. 63 S. Abdullah Schleifer, "Jihād and Traditional Islamic Consciousness", dalam The Islamic Quarterly, Vol. 27, No. 4, 1983, h. 192-193. 64 Ibn al-'Arabī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 153-154.
28
peringatan pemberi terhadap
sekaligus
peringatan semua
pembunuh
(nadhīr[an]
sekaligus
pembunuh
umat,
kecuali
qatūl[an]),65 dan
penganut
penguasa
agama
Islam
(mudhakkir wa qattāl wa musallit 'alā al-umam mā 'adā dīn al-Islām),66 Nabi rahmat (Nabī al-rahmah) sekaligus Nabi perang (nabīy al-malhamah), pemaaf sekaligus penghukum, murah
senyum
sekaligus
pembunuh
(al-dahūk
al-qattāl),
pemberi peringatan (nadhīr) sekaligus pemberi perhitungan (muhāsib), atau pemaaf ('afūw, safūh) sekaligus pembalas dendam (muntaqim).67
Justifikasi Ibn al-'Arabī tersebut
merujuk secara keliru ke konsep tasawwuf tentang meniru sifat-sifat
Tuhan
yang
dikatakan
bersumber
dari
sabda
Nabi, "Berakhlaklah dengan akhlak Allah" (takhallaqū bi akhlāq Allāh).68 Bahkan penggambaran
dalam karakter
al-Siyar Nabi
al-Kabīr, lebih
berkembang
dramatis
dengan
penjelasan bahwa karakter tersebut sudah disebutkan dalam Tawrat
sebagai
"nabi
perang,
kedua
matanya
memerah,
karena kuatnya keinginan berperang".69 Menurut Murtadā alZubaydī dalam kamus Tāj al-'Arūs dan Ibn Manzūr dalam 65
Ibn al-'Arabī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 199. Ibn al-'Arabī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 225. 67 Ibn al-'Arabī, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, h. 188. 68 Sepanjang pelacakan penulis, pernyataan ini tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadīth standar, baik kitab-kitab hadīth sembilan, maupun kitab-kitab hadīth level di bawahnya. Menurut alAlbānī, pernyataan ini tidak ada dasarnya sama sekali untuk dikategorikan sebagai hadīth (lā asla lahu). Muhammad Nāsir al-Dīn al-Albānī, al-Silsilah al-Da'īfah (Riyād: Maktabat al-Ma'ārif, t.th.), juz 6, h. 323; idem, Sharh al-'Aqīdah al-Tahāwīyah li Ibn 'Abd al-'Izz al-Hanafī (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1414H), h. 113. 69 Al-Siyar al-Kabīr, juz 1, h. 16 (pembahasan fadīlat al-ribāt, point 10). 66
29
Lisān al-'Arab, ungkapan "nabī al-malhamah" sebenarnya mengandung dua kemungkinan makna. Pertama, "nabi perang" (nabī al-qitāl) sebagaimana digambarkan oleh para penulis tersebut. Kedua, "nabi kebaikan dan penata umat" (nabī al-salāh
wa
ta`līf
al-ummah)
dari
kata
lahama
al-amr
(menguasai suatu persoalan). Makna ini diriwayatkan oleh al-Zuhrī dari Shamir.70 D.
Pengaruh
penganuliran
ayat-ayat
damai
dengan
ayat
pedang dalam formasi fiqh jihād a. Ayat pedang dan legislasi perang Dalam Ahkām al-Qur`ān, al-Shāfi‘ī (204H) menjelaskan kronologi legislasi jihād pada dasar menjadi empat fase. Pertama, Kedua,
fase
fase
melawan
sebelum sesudahnya
orang-orang
hijrah, hijrah
mushrik
ketika
perang
ketika
diijinkan
dilarang.
perang
defensif
(Q.2/87:190-191,
Q.22/103:39). Ketiga, fase ketika perang ofensif melawan orang-orang dasar
mushrik
kebolehan
diijinkan.
perang
Tiga
defensif
ayat
pada
yang
fase
menjadi
sebelumnya
dianggap dianulir oleh Q.2/87:193. Keempat, fase ketika perang menjadi kewajiban mutlak. Meskipun tampak tidak konsisten
dalam
sebuah
penjelasan
kronologi,
di
mana
Q.2/87:190 dijadikan sebagai salah satu rujukan pada fase akhir legislasi ini karena sebelumnya dianggap teranulir, tekanan
penjelasannya
adalah
pada
perang
sebagai
70 Murtadā al-Zubaydī, Tāj al-'Arūs (T.tp: Dār al-Hidāyah, t.th.), juz 1, h. 7890 (pasal hurup lām); Ibn Manzūr, Lisān al-'Arab (Beirut: Dār Sādir, t.th.), juz 12, h. 535.
30
kewajiban
yang
tidak
bisa
ditawar
(Q.2/87:216,
Q.9/113:111, Q.47/95:4, Q.9/113:38, Q.9/113:41).71 Meski tidak
dalam
istilah
ayat
pedang,
Q.2/87:193
memiliki
status penganuliran luar biasa dengan menganulir beberapa ayat ini. Penyebutan ayat ini sebagai ayat pedang sama sekali
tidak
digunakan
oleh
para
penulis
naskh.
Al-
Shāfi‘ī tampak tidak dipengaruhi, bahkan sebagai tokoh awal
dan
segenerasi
Abu
‗Ubayd,
mempengaruhi
dalam
beberapa hal terhadap tokoh-tokoh sesudahnya, seperti alNahhās, Ibn ‗Atā`iqī, dan Ibn al-Jawzī,72 meski penjelasan ini
memiliki
akar
kuat
dari
penjelasan
Ibn
‗Abbas
sebelumnya tentang perbedaan kondisi Makkah dan Madinah yang meniscayakan perubahan strategi menghadapi komunitas non-muslim. Haytamī
Al-Shāfi‘ī
(973H),
menekankan
moment
hijrah
pentingnya Nabi
dalam
ajar
al-
perubahan
tersebut. Ibn Hajar al-Haytamī tokoh Shāfi'īyah, dalam Tuhfat al-Muhtāj menganggap bahwa perang tanpa batasan (‘alā
al-itlāq)
damai
dan
sebagai
perang
Q.9/113:36
Q.9/113:36 oleh
adalah
sebagai
al-Nafrāwī
akibat
defensif dan/atau ayat
(1126H)
penganuliran
dengan
mengidentifikasinya
Q.9/113:41.73
penganuliran (Mālikī)
ayat-ayat
juga
dalam
Penyebutan dikemukakan
al-Fawākih
al-
71
al-Shāfi‘ī, Ahkām al-Qur`ān, juz 2, h. 13-15. Lihat Kusmana, Shāfi’ī’s Theory of Naskh and Its Influence on the ‘Ulūm al-Qur`ān (Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University, 2000), tesis, tidak diterbitkan. 73 Ibn Hajar al-Haytamī, Tuhfat al-Muhtāj (margin), dalam 'Abd al-Hamīd al-Sharwānī, Hawāshī Tuhfat al-Muhtāj bi Sharh al-Minhāj (Mesir: Matba'at Mustafā Muhammad, t.th.), juz 9, kitāb al-siyar, h. 212. 72
31
Dawānī.74
Namun,
perujukan
ayat
ini
dalam
penjelasan
tentang fase akhir legislasi perang tidak dikenal umum di
kalangan
Q.9/113:41,
penulis
naskh.
keseluruhan
Di
samping,
penjelasan
perujukan
al-Haytamī
tentang
kronologi dipengaruhi oleh al-Shāfi'ī. Di kalangan tokoh aliran fiqh Hanafī, al-Sarakhsī (483H/1101M) dalam al-Mabsūt mengemukakan kronologi yang substansinya sama, tapi merujuk kepada Q.9/113:5
yang
dikenal umum sebagai ayat pedang di kalangan para penulis naskh
dan
Q.2/87:193
yang
dianggap
oleh
al-Shāfi'ī
sebagai penganulir ayat-ayat perang defensif. Namun, alSarakhsī
tidak
menyebut
Q.8/88:61
yang
mendasari
sebelumnya
turun
lebih
adanya
penganuliran,
perang akhir
defensif dibanding
karena
pada
fase
Q.2/87:193,
kecuali jika dianggap dianulir oleh Q.9/113:5.75 Namun, dalam
beberapa
kasus
lain,
seperti
kasus
kebolehan
menebus tawanan perang, seperti dikemukakan oleh al-‗Atā` dan
al-Hasan,
ditolaknya
karena
Q.47/95:4
tentang
kebolehan membebaskan tawanan dengan atau tanpa tebusan dianulir oleh ayat pedang (Q.9/113:5).76 Al-Sarakhsī
juga
mengemukakan
ide
empat
pedang,
yaitu pedang yang digunakan oleh Nabi dalam memerangi para
penyembah
berhala
(tidak
ada
ayat
yang
dirujuk,
74
Ahmad bin Ghunaym bin Sālim al-Nafrāwī, al-Fawākih al-Dawānī 'alā Risālat Ibn Abī Zayd al-Qayrawānī, suntingan (tahqīq) Ridā Farhāt (Madinah: Maktabat al-Thaqāfah al-Dīnīyah, t.th.), juz 2, h. 879. 75 al-Sarakhsī, al-Mabsūt, juz 10, h. 3-4. 76 al-Sarakhsī, al-Mabsūt, juz 10, h. 41.
32
namun
umumnya
digunakan
merujuk
oleh
Abū
kepada
Bakr
Q.9/113:5),
untuk
memerangi
pedang
yang
orang-orang
murtad (Q.48/111:16), pedang yang digunakan oleh 'Umar untuk memerangi Majusi dan Ahl al-Kitāb (Q.9/113:29), dan pedang yang digunakan oleh 'Alī untuk memerangi orangorang
membatalkan
(Q.49/106:9).77 bertolak
dari
perjanjian
Seperti riwayat
halnya Sufyān
Ibn bin
dan
pemberontak
Kathīr, 'Uyaynah
al-Sarakhsī dan
pernah
dikutip oleh Ibn Abī Hātim al-Rāzī dalam karya tafsirnya. Kecuali
pedang
terhadap
orang
murtad,
ide
pedang
al-
Sarakhsī memiliki persamaan ide pedang Ibn Kathīr. Tidak ada
petunjuk
dengan
kuat
al-Sarakhsī,
adanya
keterpengaruhan
karena
keduanya
Ibn
Kathīr
mengklaim
idenya
bertolak dari riwayat tersebut. Hanya saja, pengembangan al-Sarakhsī
tampak
ditandai
dengan
keinginan
kuat
menjustifikasi ide empat pedang tersebut dengan praktik Nabi dan tiga sahabat lain. Ide Ibn Kathīr juga tidak berbeda
jauh
dengan
ide
Ibn
Rajab
al-Hanbalī
(795H/1393M), tokoh yang juga dipengaruhi Ibn Taymīyah. Perbedaan
hanya
dalam
menentukan
ayat
terkait,
yaitu
Q.47/95:4 sebagai ayat yang memerintahkan untuk memerangi orang-orang
mushrik
dan
beberapa
ayat
dalam
sūrat
Barā`ah, al-Tahrīm, dan al-Ahzāb sebagai ayat perintah
77
al-Sarakhsī, al-Mabsūt, juz 10, h. 3-4.
33
perang dan berlaku kasar terhadap orang-orang munafik dan zindīq.78 Penulis Hanafī yang lain, Ibn 'Ābidīn (1252H) dalam Radd
al-Mukhtār,
merujuk
kepada
Q.9/113:5,
tapi
tidak
menggunakan istilah ayat pedang. Dalam kronologinya, ia menjelaskan
fase
diperintahkannya
akhir perang
legislasi tanpa
ini
batas
sebagai dengan
fase
merujuk
Q.2/87:190, yaitu ayat yang juga dirujuk oleh al-Shāfi'ī dalam penjelasan yang sama. Sedangkan, Q.9/113:5 hanya berisi perintah perang ofensif dengan pembatasan waktu pada fase sebelumnya. Fakhr al-Dīn 'Uthmān bin 'Alī alZayla'ī dalam
(743H/1343M),
Tabyīn
seorang
al-Haqā`iq
tokoh
menjelaskan
Hanafī
yang
lain,
empat
fase
dalam
kronologi legislasi perang, yaitu fase ketika dilarang (Q.15/54:85,94; defensif
Q.16/70:125),
(Q.22/103:39),
bersyarat
(Q.9/113:5),
fase dan
fase
kebolehan
kebolehan fase
perang perang
perang ofensif mutlak
(Q.2/87:193). Al-Zayla'ī menerapkan teori penganuliran, terutama oleh Q.9/113:5 terhadap ayat-ayat damai, seperti larangan berperang pada bulan-bulan suci.79 Kronologi ini hampir
sama
dengan
kronologi
Akmal
al-Dīn
al-Bābartī
78 Sebagaimana dikutip Abū 'Abd al-'Azīz al-Sulaymānī, "Āyat alSayf bayna Sū` Qasd al-Kāfirīn wa Ghulūw al-Khawārij al-Māriqīn wa Tahrīf al-Hizbīyīn", dalam www.sahab.net/forums.newreply.php? (download 12 November 2009). Ayat-ayat yang berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang munafik dan zindīq yang dimaksud oleh Ibn Rajab adalah Q.9/113/113:73; Q.66/99:9; Q.33/90:60-61. 79 Fahkr al-Dīn 'Uthmān bin 'Alī al-Zayla'ī, Tabyīn al-Haqā`iq Sharh Kanz al-Daqā`iq (Cairo: Dār al-Kutub al-Islāmī, 1313H), juz 3, h. 241.
34
(786H)
dalam
menerapkan
al-'Ināyah
teori
Sharh
penganuliran
al-Hidāyah.80 ayat
Ia
penebusan
juga
tawanan
perang.81 Dari uraian di atas, bisa ditarik beberapa simpulan. Pertama, meski para fuqahā` awal seperti al-Shāfi'ī yang hidup
ketika
penulisan
karya-karya
dimulai,
seperti
dilakukan Abū 'Ubayd, tidak merujuk kepada penulis 'ulūm al-Qur`ān legislasi
tertentu, perang
penjelasannya
tidak
ragu
lagi
tentang
kronologi
bertolak
dari
Ibn
'Abbās, sang Bapak tafsir. Penjelasan Ibn 'Abbās bahwa dakwah
dengan
bersabar
damai,
perlakuan
seperti buruk
dengan
menerima
orang-orang
kafir
dengan Makkah
terhadap kaum muslim, dan ketentuan perang defensif hanya berlaku
di
fase-fase
awal
Islam
tersebut
dan
segera
dianulir setelah kaum muslim memiliki kekuatan setelah hijrah ke Madinah. Penjelasan ini diterima oleh fuqahā` lain, seperti Ibn Hajar al-Haytamī, al-Sarakhsī, dan Ibn 'Ābidīn, sebagaimana juga diterima para penulis naskh dan mufassir, seperti Abū 'Ubayd dan Makkī al-Qaysī. Faktor lain
yang
bisa
fuqahā`,
para
perujukan
mereka
menjelaskan penulis yang
tentang
naskh, sama
dan
kepada
kesamaan
antara
mufassir
adalah
riwayat
Sufyān
bin
'Uyaynah yang menyebar pada abad ke-5H. Meski demikian,
80
Akmal al-Dīn al-Bābartī, al-'Ināyah Sharh al-Hidāyah (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), juz 7, h. 438. 81 Akmal al-Dīn al-Bābartī, al-'Ināyah Sharh al-Hidāyah, juz 7, h. 479, 482.
35
terjadi keterpengaruhan antar tokoh, seperti Ibn Taymīyah mempengaruh Ibn Kathīr dan Ibn Rajab. Kedua,
ada
perbedaan
di
menempatkan ayat-ayat perang
kalangan
fuqahā`
dalam
tertentu. Bagi al-Shāfi'ī,
Q.2/87:193 (bukan Q.9/113:5) menjadi rujukan fase perang ofensif. Dari perspektif naskh konvensional, penganuliran ini
tidak
logis,
karena
ayat
ini
turun
lebih
dibandingkan ayat-ayat yang dirujuk dalam fase
awal perang
ofensif (Q.22/103:39) yang turun sesudahnya. Bagi
al-
Sarakhsī, Q.9/113:5 bersama Q.2/87:193 merupakan rujukan fase akhir legislasi perang ofensif. Akan tetapi, bagi Ibn 'Ābidīn, kedua ayat tersebut tidak menjadi rujukan legislasi fase akhir, karena ayat masih berisi pembatasan waktu
perang.
Ia
merujuk
Q.2/87:190
sebagai
rujukan
perang tanpa syarat.
36
Tabel: Pengaruh Kronologi Ibn 'Abbās (bahwa ayat-ayat damai hanya berlaku ketika kaum muslim menjadi minoritas di Makkah, dan ayat-ayat tersebut dianggap teranulir oleh ayat pedang yang turun dalam fase Madinah) terhadap Kronologi Legislasi Perang
No.
Fase Legislasi
Penulis Fase 1
Fase 3
Fase 4
Boleh defensif 2/87:190-191; 22/103:39
Perintah ofensif 2/87:193 (nasikh)
Perintah mutlak 2/87:216, 47/95:4, 9/113:38,41,111
Boleh defensif 22/103:39-40; 9/113:5,29 (nasikh)
Anjuran perang 9/113:45; 24/102:62,
Penguatan perintah perang 8/88:66 (nasikh)
Dilarang 15/54:85,94; 16/70:125 Ibn al-Jawzī (597H) Dilarang (Hanbalī) 4/92:77 Al-Zayla'ī (743H) Dilarang (Hanafī) 15/54:85,94; 16/70:125 Al-Bābartī (786H) Dilarang (Hanafī) 15/54:85,94; 16/70:125 Al-Haytamī (973H) Dilarang (Shāfi'ī) (70 ayat lebih, tanpa rincian)
Boleh defensif 22/103:39; 2/87:191; 8/88:61 Fardu 'ayn 9/113:41 Boleh defensif 22/103:39
Perintah ofensif bersyarat 2/87:193; 9/113:5 Fardu kifāyah 9/113:122 Perintah ofensif bersyarat 9/113:5 (nasikh) Perintah ofensif bersyarat 9/113:5 (nasikh) Boleh ofensif bersyarat 9/113:5
8.
Al-Nafrāwī (1126H) (Mālikī)
Boleh defensif 22/103:39
9.
Al-Karamī (1033H) (Shāfi'ī)
10.
Ibn 'Ābidīn (1252H) (Hanafī)
1.
Al-Shāfi'ī (204H)
2.
Abū 'Ubayd (223H)
3.
Al-Sarakhsī (483H (Hanafī)
4. 5. 6. 7.
Dilarang 5/112:67;15/54:94 14/72:95,97; 17/50:90-93; 109/18:6; 24/102:54; 5/112:99;6/55:68,108 Dilarang 88/68:22; 50/34:45; 3/89:159; 45/65:14
Dilarang 15/54:85,94; 16/70:125; Dilarang
Dilarang 15/54:94; 16/70:125
Fase 2
Boleh defensif 22/103:39; 2/87:191 Boleh defensif 2/87:190; 22/103:39
Perintah memerangi mushrik 9/113:5 Boleh defensif 22/103:39
Perintah perang mutlak 9/113:5,36,41 Perintah memerangi Ahl al-Kitab 9/113:29 Perintah defensif 2/87:191
Fase 5
Penguatan perintah perang dan pembatalan perdamaian 9/113:1-11,29 (nasikh)
Perintah perang mutlak 2/87:193 Perintah ofensif mutlak 2/87:193;9/113:29 Perintah perang mutlak 9/113:36; 9/113:41 (ayat alsayf)
Perintah ofensif bersyarat 9/113:5
Perintah perang mutlak Q.2/87:190
Berkaitan dengan Q.9/113:5 (āyat al-sayf) dijadikan rujukan untuk kepentingan berbeda oleh para penulis. 1. Al-Shāfi'ī
menganggap
ayat
ini
sebagai
penganulir
(nāsikh) ayat-ayat perang defensif yang turun sebelum. Abū 'Ubayd dengan merujuk kepada riwayat Ibn 'Abbās menjadikan ayat ini bersama Q.9/113:29 sebagai rujukan perang defensif (fase 2) dan penguatan perintah perang
37
dengan pembatalan perjanjian damai dan ijin memerangi orang-orang mushrik setelah bulan-bulan suci. 2. Fuqahā`
Hanafī
Zayla'ī,
dan
(al-Sarakhsī, al-Bābartī)
dan
Ibn
menjadi
'Ābidīn,
Q.9/113:5
al-
sebagai
rujukan perintah perang ofensif bersyarat. Bagi mereka ayat
ini
belum
menjadi
dasar
perintah
perang
tanpa
syarat, karena dalam ayat ini, perintah perang masih dibatasi oleh bulan-bulan suci. Ayat yang menjadi dasar perintah perang tanpa syarat adalah Q.9/113:29 (āyat al-sayf atau āyat al-jizyah), Q.9/113:41. Sedangkan, al-Karamī menggunakan Q.9/113:5 sebagai rujukan perang terhadap
orang-orang
mushrik
dan
Q.9/113:29
sebagai
rujukan perang terhadap Ahl al-Kitāb. 3. Al-Haytamī
tidak
kronologinya, Q.9/113:41 Shāfi'ī)
menggunakan
melainkan
(juga dalam
menggunakan
dirujuk fase
ayat
oleh
akhir
imam
ini
dalam
Q.9/113:36
dan
madhhabnya,
al-
(perintah
perang
tanpa
syarat). b. Jihad-Perang Sebagai Kewajiban Permanen Dengan teori naskh dan kronologi legislasi perang di atas, para tersebut
fuqaha`
adalah
sepakat bahwa fase akhir legislasi
perintah
(wajib)
perang,
meski
dalam
simpulan tampak berbeda: 1. Al-Shāfi'ī
berkesimpulan
merupakan kewajiban Dari
penganuliran
bahwa
perang
yang
ayat-ayat
fase
akhir
tidak
perang
legislasi
bisa
defensif
ditawar. dengan
Q.2/87:193, tampak bahwa kewajiban perang yang dimaksud
38
adalah
kewajiban
berpandangan
perang
bahwa
alasan
ofensif, yang
apalagi
membolehkan
ia
perang
adalah kekufuran (kufr). 2. Abū
'Ubayd
berkesimpulan
bahwa
apa
yang
disebutnya
penguatan perintah perang adalah diijinkannya memerangi orang-orang mushrik setelah bulan-bulan suci berakhir dan
pembatalan
perjanjian
dengan
mereka.
Dari
penganuliran ayat-ayat perang defensif dengan Q.9/113:5 dan Q.9/113:29, jelas bahwa penguatan perintah perang tersebut berkaitan dengan perang ofensif. 3. Al-Haytamī, al-Nafrāwī, al-Zayla'ī, al-Bābartī, dan Ibn 'Ābidīn secara akhir
lebih
legislasi
tegas
perang
berkesimpulan
adalah
perintah
bahwa
fase
(kewajiban)
berperang mutlak, yaitu perang defensif maupun ofensif, pada bulan suci atau bukan. 4. Ibn al-Jawzī
berpendapat
bahwa
fase
akhir
legislasi
perang adalah diwajibankannya perang secara kolektif (fardu kifāyah). Atas dasar kronologi dan teori penganuliran, mereka menyimpulkan
bahwa
perang
adalah
kewajiban
abadi
yang
berlaku hingga hari kiamat. Al-Nafrāwī dengan bertolak dari argumen ini mengatakan bahwa jihād adalah kewajiban yang harus dilaksanakan minimal sekali setahun. Imam ―tampaknya
Samudra, Anda
sangat
ketika
ditanyakan
terpengaruh
dengan
82
kepadanya, konflik
di
Afganistan, dan juga mungkin di Palestina, apakah Anda
82 Ahmad bin Ghanīm bin Sālim al-Nafrāwī, al-Fawākih al-Dawānī, juz 2, h. 879. Lihat juga al-Ramlī, Nihāyat al-Muhtāj (Beirut: Dār al-Fikr, 1984), juz 8, h. 46.
39
akan berhenti kalau konflik itu selesai?‖. Imam Samudra menjawab dengan berargumentasi begini: ―Saya menjawab ini dengan mengutip firman Allah Swt., ‗Dan perangilah mereka sampai tak ada fitnah.‘83 Hanya ada satu jalan, yaitu jihād. Ada tafsir dari Ibn Kathīr soal fitnah itu. Pertama, shirk. Kedua, tidak menegakkan hukum Allah.84 Jadi, untuk mengeliminasi fitnah itu, hanya ada satu cara, dengan jihād. Bukan lewat pemilihan umum, bukan dengan demokrasi. Itu konsep Barat dan yang sekarang menjadi dīn atau agama baru. Lalu banyak umat Islam sekarang yang pengecut. Mereka menyembunyikan hadīth sahīh. Dalam satu hadīth yang diriwayatkan BukhārīMuslim disebutkan, ‗Aku diutus oleh Allah menjelang hari kiamat dengan membawa pedang.‘ 85 Itu hadīth sahih.‖86
83
Yang dimaksud oleh Imam Samudra adalah Q.2/87:193 berikut: 84 Penafsiran kata fitnah dalam Q.2/87:193 dengan shirk memang ditemukan dalam Tafsīr Ibn Kathīr. Namun, meskipun Ibn Kathīr mengemukakan riwayat yang menopang pemaknaan kata fitnah seperti yang diklaim oleh Imam Samudera, pengertiannya adalah dalam konteks hukum timbal-balik (reciprocity) dengan mengemukakan riwayat lain. Penafsiran kata ini dalam Tafsīr Ibn Kathīr didasarkan pendapat Ibn ‗Abbās, Abū al-‗Āliyah, Mujāhid, al-Hasan al-Basrī, Qatādah, alRabī‘, Muqātil, al-Suddī, dan Zayd bin Aslam. Sebenarnya, ayat yang dikutip oleh Imam Samudra (Q.2/87:193) tersebut berada dalam kelompok ayat-ayat lain (ayat 190-193), sebagaimana tampak dikelompokkan oleh Ibn Kathīr ketika menafsirkan ayat ini, yang harus dipahami dalam korelasi (munāsbah) ayat-ayat tersebut. Ibn Kathīr sendiri sebenarnya sejak awal mencatat bahwa kebolehan berperang adalah didasarkan perlakuan yang sama terhadap umat Islam karena mereka diperangi (asas timbal-balik, yang diistilahkannya dengan qisās, istilah yang sama dengan mu’āwadah atau reciprocity), sebagaimana diungkapkan dengan ―waqtulūhum haithu thaqiftumūhum wa akhrijūhum min akhrajūkum” (Q.2/87:191). Oleh karena itu, fitnah dipahami dalam konteks perlakuan seperti itu (pembunuhan dan pengusiran) yang dilakukan oleh kaum mushrik Arab kepada umat Islam ketimbang karena shirk mereka. Ibn Kathīr juga menghubungkan ayat tersebut dengan ayat-ayat lain: ―faman i’tadā ‘alaykum fa’tadū ‘alayh bimithli mā i’tadā ‘alaykum” (Q.2/87:194), ―wa jazā` sayyi’ah sayyi’ah mithluha” (Q.42/62:40), dan ―wa in ‘āqabtum fa ‘āqibū bimithli mā ‘ūqibtum bih” (Q.16/70:126). Lihat Ibn Kathīr, Tafsīr Ibn Kathīr (Beirut: Dār al-Fikr, 1986), juz 1, h. 227-229. 85 Hadīth yang dimaksud oleh Imam Samudera tersebut tercantum dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (lihat al-Musnad, edisi Ahmad Muhammad Shākir [Mesir: Maktabat al-Turāth al-Islāmī, t.th.], juz 7, h. 121122, hadīth nomor 5.115, pada bagian musnad ‗Abdullāh bin ‗Umar) sebagai berikut:
40
Dari dalam
kutipan
hal
ini
―ditafsirkan‖, kemanusiaan, banyak
atas,
jelas
teks-teks
menjadi
yaitu
orang
menghilangkan
di
―fitnah‖
ayat
lokomotif
pemboman
yang
sekali
tidak
yang
agama,
al-Qur‘an
yang
sebuah
menyebabkan
berdosa,
(shirk)
bahwa
dengan
dengan jihād
tragedi tewasnya dalih sebagai
kekerasan. Ibn Kathīr sebagai otoritas yang dikutip oleh الر ْلْح ِرن بن ثَفابِر ِر ان بْلن َفع ِر يَّ َفة َفع ْلن أِرَفىب ُلمنِر ٍد ال يب ْل ااُلَفرِرش ِّى َفع ِرن ابْل ِرن عُل َف َفر قَف َف ت بْل ِرن ثَفْق ْلوبَف َف َفح َّدثَفْقنَفا أَفبُلو الن ْل ان َفح َّدثَفْقنَفا َفح َّس ُل ُل َّض ِرر َفح َّدثَفْقنَفا َفعْلب ُلد َّ َف ْل ُل ِر ال رس ُل ِر السْلي ِر يك لَفوُل َفو ُل عِر َفل ِررْلزقِرى َّ اع ِرة بِر َّ ني يَف َفد ِرى ف َفح َّ يْقُل ْلعبَف َفد اللَّوُل َفو ْلح َفدهُل الَف َفش ِرر َف الس َف ت بَفْق ْل َف « بُلعثْل ُل-صلى اهلل عليو وسلم- ول اللَّو قَف َف َف ُل ٍد ِّ ت ِرظ ِّل ُلرْلِرْمى َفو ُل عِرل » ف أ ْلَفم ِررى َفوَفم ْلن تَف َفشبَّ َفو بِرَفق ْلوم َفْق ُل َفو ِرمْلنْق ُل ْلم َّ الذلَّةُل َفو الصغَف ُلار َفعلَفى َفم ْلن َفخالَف َف َفْلحت َف َف
Dengan demikian, hadīth tersebut berada dalam kitab hadīth ini. Tidak seperti klaim Imam Samudera, kitab hadīth koleksi alBukhārī dan Muslim tidak memuat hadīth ini, kecuali hanya potongan (tarf) yang berbunyi ―ju’ila rizqī tahta zill rumhī wa ju’ila aldhillah wa al-saghār ‘alā man khālafa” yang terdapat dalam Sahīh alBukhārī secara mu’allaq karena al-Bukhārī menyebut sanad secara langsung dari ‗Abdullāh bin ‗Umar. Lihat al-Bukhārī, Sahīh alBukhārī bi Sharh al-Kirmānī (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), juz 12, jilid 6, h. 172, pada bab mā qīla fī al-rimāh. Menurut keterangan Ibn Hajar al-‗Asqalānī, semua rawi hadīth ini dinilai thiqah, kecuali Ibn Thawbān yang masih diperdebatkan, namun pada umumnya kritikus rijāl menilainya juga thiqah. Lihat Ibn Hajar al-‗Asqalānī, Tahdhīb al-Tahdhīb (Beirut: Dār al-Fikr, 1984), juz 12, h. 18-19 tentang Abū al-Nadr (205 atau 207 H), juz 6, h. 136-137 tentang ‗Abd al-Rahmān bin Thābit bin Thawbān (165 H), juz 2, h. 219-220 tentang Hassān bin ‗Atīyah (wafat antara tahun 220-230H), dan juz 12, h. 271 tentang Abū Munīb al-Jurashi. Atas dasar ini, Ahmad Muhammad Shākir berkesimpulan bahwa sanad hadīth ini adalah sahīh. ‗Abd al-Rahmān bin Thābit bin Thawbān, meskipun dinilai oleh sebagian kritikus rijāl sebagai rawi yang tidak kredibel, seperti Ahmad bin Hanbal yang menilai hadīth-hadīth yang diriwayatkannya munkar, dan Yahyā bin Ma‘īn yang menilainya da’īf, sebagian kritikus lain tetap memandang sebagai rawi yang kredibel, seperti ‗Alī ibn al-Madīnī, Abū Hātim, dan Ibn Hibbān. Perlu dijelaskan bahwa istilah munkar yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal hanya menunjukkan bahwa hadīth tersebut tidak didukung (tafarrud) oleh hadīth lain. Lihat Ibn Hajar al-‗Asqalānī, al-Nukat ‘alā Kitāb Ibn al-Salāh (Beirut: Dār al-kutub al-‗Ilmīyah, 1994), h. 274. Hadīth ini juga tercantum dalam al-Fath al-Kabīr, juz 3, h. 8, hadīth nomor 2.828 yang berasal dari Musnad Ahmad bin Hanbal tersebut. Penulis al-Fath al-Kabīr mempersoalkan kredibilitas Ibn Thawbān yang masih kontroversial. Lihat catatan Ahmad Muhammad Shākir dalam Musnad, juz 5, h. 96, hadīth nomor 3.281, juz 7, h. 121, hadīth nomor 5.114. Di kalangan muhaddithūn, ada salah satu dari dua kaedah yang bisa digunakan untuk menyikapi kontroversi penilaian tersebut, yaitu ―al-jarh muqaddam ‘alā al-ta’dīl” dan ―al-ta’dīl muqaddam ‘alā al-jarh‖. Kaedah pertama tampak lebih hati-hati, apalagi hadīth tersebut tidak ditopang oleh hadīth lain (shāhid), kecuali hadīth yang mursal. Dengan demikian, hadīth tersebut dari segi sanad adalah da’īf. 86 Lihathttp://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/09/10/nrs, 20040910-08,id.html.
41
Imam Samudera adalah nama mufassir yang cukup terkenal dengan
tafsir
al-Qur‘annya,
Tafsīr
al-Qur`ān
al-‘Azīm
atau dikenal dengan Tafsīr Ibn Kathīr. Pengutipan sumber pendapat oleh Imam Samudra
dari tafsir tersebut memang
benar. Ibn Kathīr memang mengemukakan riwayat tersebut, tapi ia juga memberikan penekanan adanya hukum qisās (timbal-balik, reciprocity) dalam al-Qur‘an. Yang tampak kontraproduktif adalah ketika ia mengaitkan tafsir kata fitnah
ini
dengan
―ayat
pedang‖
dengan
mencantumkan
riwayat Sufyān bin ‗Uyainah dari perkataan ‗Alī bin Abī Tālib ―Nabi Muhammad saw diutus dengan empat pedang….‖ untuk memerangi kaum
mushrik
Arab,
ahl al-kitāb, para
munafiq, dan pemberontak (bughāh).87 Bahkan, Ibn Kathīr meriwayatkan terjadinya penganuliran oleh ―ayat pedang‖ tersebut, terhadap ayat-ayat lain tentang hubungan dengan non-muslim yang lebih lunak dan konsiliatif.88 Ibn Kathīr bukanlah satu-satunya mufassir yang menyatakan demikian. Imam
Jalāl
Jalālayn ketika
al-Dīn
bersama
al-Suyūtī Jalāl
menafsirkan
yang
al-Dīn
penganuliran
menulis
al-Mahallī, ayat
Tafsīr
al-
menyatakan
tersebut
bahwa
pilihan bagi non-muslim hanyalah dua: konversi ke Islam atau berperang.89 87 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm, juz 2, h. 336-337. Periwayatan bahwa Nabi Muhammad diutus dengan pedang, selain ditemukan dalam koleksi-koleksi tafsir Sunnī seperti Tafsir Ibn Kathīr, juga ditemukan dalam koleksi tafsir Shī‘ah, lihat misalnya Sayyid Hāshim Husayn al-Bahrānī, al-Burhān fī Tafsīr al-Qur`ān (Qum: Mu‘assasat al-Bi‘thah, 1413), juz 2, h. 738-741. 88 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm, juz 2, h. 337. 89 Disebutkan ―..(wahsurūhum): fī al-qilā’ wa al-husūn hattā yadtharrū ilā al-qatl aw al-islām‖ (kepunglah mereka: di bentengbenteng dan tempat-tempat perlindungan sehingga mereka terpaksa untuk berperang atau masuk Islam). Lihat Jalāl al-Dīn al-Suyūtī dan Jalāl al-Dīn al-Mahallī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm (Tafsīr al-Jalālayn) (Semarang: Toha Putra, t.th.), juz 1, h. 156-157; Ahmad al-Sāwī alMālikī, Hāshiyat al-‘Allāmah al-Sāwī ‘alā Tafsīr al-Jalālayn (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), juz 2, h. 137.
42
Pemahaman keagamaan
seperti
yang
inilah
menggerakkan
yang
menjadi
ideologi
tragedi
pemboman
tersebut
yang kemudian menimbulkan pencitraan Islam sebagai agama kekerasan.
Di
samping
itu,
pemahaman
ini
juga
berimplikasi membentuk (formasi) pola pikir para perumus hukum
Islam,
baik
para
ahli
usūl
al-fiqh
(usūlīyūn)
maupun ahli fiqh (fuqahā`). Dari contoh ideologi seperti yang dikemukakan oleh Imam Samudra, jelas bahwa problem kekerasan berakar dari pemahaman terhadap teks ayat-ayat suci
al-Qur‘an
Kathīr
dan
di
tangan
al-Suyūtī
para
di
mufassir,
atas,
seperti
sebagai
Ibn
justifikasi
ideologi gerakan dan ―terlembagakan‖ (institutionalized) dalam hukum Islam, seperti tampak dari penjelasan alĀmidī. Nah, justifikasi paling tegas adalah dugaan adanya penganuliran oleh ayat pedang tersebut, terhadap ayatayat lain tentang hubungan dengan non-muslim, yang berisi sikap lebih lunak dan konsiliatif. Akar-akar kekerasan menghunjam dalam tafsir dan hukum Islam. c. Jihad-perang sebagai media penyebaran Islam Dalam terdapat Rāfi'ī
persoalan
perbedaan
(623H)
pelaksanaan
dalam
pendapat
di
al-'Azīz
jihād kalangan
setiap
tahun,
fuqahā`.
mengemukakan
alasan
Alal-
Shāfi'ī yang mendasarkan ketentuan tersebut pada praktik perang yang dipimpin Nabi (ghazwah) dan pemungutan jizyah
43
dilaksanakan setiap tahun.90 Dalam menyikapi pendapat ini, al-Rāfi'ī bersifat
menganggap mutlak
pandangan
karena
hanya
fuqahā` faktor
tersebut
kebiasaan
tidak dan
ia
memilih ketentuan para tokoh usūl al-fiqh (masālik alusūlīyīn) berikut:
اا ا عوة ق رية يجب إقام و على حسب اإلمكان ح ال يبقى إال مسلم أو مسامل و ال خي ص باملرة الواحدة ىف .السنة و إذا أمكنت ال يا ة ال يع ل الفرض
91
Jihād adalah dakwah kekerasan (da'wah qahrīyah), maka wajib dilaksanakan sesuai kemampuan, sehingga tidak tersisa lagi, kecuali hanya muslim atau orang yang berdamai (musālim), tidak mesti hanya sekali dalam setahun, jika mungkin lebih, yang penting kewajiban tersebut tidak terabaikan. Meskipun
ketentuan
ini
tidak
seluruhnya
diterima
oleh fuqahā`,92 penolakan hanya pada pernyataan tentang anjuran berjihād lebih sekali dalam setahun. Sedangkan, pernyataan
bahwa
jihād
adalah
dakwah
kekerasan
tidak
diketahui adanya penolakan. Ini menjadi bukti pandangan penting usūlīyūn tentang jihād, meski pun, sepengetahuan penulis, tidak/belum ditemukan pembakuan pada level usūl
90
al-Rāfi'ī mencatat bahwa perang-perang Nabi yang dilaksanakan setiap tahun, yaitu Badr (2H), Uhud (3H), Dhāt al-Riqā' (4H), Khandaq (5H), Ghazwah Banī al-Nadīr dan al-Muraysī' (6H), Fath Khaybar (7H), Fath Makkah (8H), dan Tabūk (9H). Lihat al-Rāfi'ī, al-'Azīz Sharh alWajīz (al-Sharh al-Kabīr), suntingan (tahqīq) al-Shaykh 'Alī Muhammad Mu'awwad dan al-Shaykh 'Ādil Ahmad 'Abd al-Mawjūd (Beirut: Dār alKutub al-'Ilmīyah, 1997M/1417H), juz 11, h. 346-351. Lihat juga Zakarīyā al-Ansārī, Asnā al-Matālib, suntingan (tahqīq) Muhammad Muhammad Tāmir (Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmīyah, 2000), juz 4, h. 175-176. 91 al-Rāfi'ī, al-'Azīz Sharh al-Wajīz (al-Sharh al-Kabīr), juz 11, h. 351. Lihat juga dalam al-Nawawī, Rawdat al-Tālibīn (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1405H), juz 10, h. 209. 92 Lihat, misalnya, Ibn Hajar al-Haytamī, Tuhfat al-Muhtāj (margin), dalam 'Abd al-Hamīd al-Sharwānī, Hawāshī Tuhfat al-Muhtāj bi Sharh al-Minhāj, juz 9, h. 213.
44
al-fiqh seperti ini dalam literatur-literatur usūl alfiqh non-Shāfi'ī. Sebagaimana
al-Nafrāwī
dari
Mālikī,
Shihāb
al-Dīn
al-Qarāfī (684H) dari aliran Shāfi'ī dalam Sharh Tanqīh al-Fusūl fi al-Usūl juga menganggap jihād sebagai metode penyebaran
Islam.
Ia
menganggap
bahwa
ayat-ayat
perjanjian damai telah dianulir oleh ayat pedang.93
يكره على، لذلك شرع اهلل تعاىل ي ا اإلكراه ون اريىا، أن أصول الديانات م ة عظي ة:حجة اا ور 94 . وذلك أعظم اإلكراه،اإلسالم بالسيف والق ال والق ل وأخذ األموال والذراري Argumen mayoritas adalah bahwa fundamen-fundamen (keyakinan-keyakinan) agama adalah penting lagi agung. Oleh karena itu, Allah ta'ālā membuat ketentuan tentang kebolehan memaksa dalam soal fundamen-fundamen tersebut, bukan soal yang lain, sehingga dilakukan pemaksaan untuk masuk Islam dengan pedang, perang, pembunuhan, pengambilan harta dan keturunan. Itu adalah pemaksaan teragung. Di samping itu, al-Qarāfī juga mengatakan bahwa di antara perang yang dimaksudkan untuk mengagungkan Allah ta'ālā adalah membunuh orang-orang kafir dengan tujuan menghapus kufr dari hati mereka dan merusak salib.95 Di antara
perang
dengan
adalah
perang
melawan
kezaliman
mereka,
tujuan
memusnahkan,
orang-orang
memotong
menghancurkan
rumah-rumah
mereka,
dan
membunuh
menjadi
penghalang
asal
mereka,
zalim
untuk
kerusakan menebang
binatang-binatang
perang
menurutnya,
terhadap
menolak mereka,
pohon-pohon mereka
mereka,
jika serta
93
Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, Sharh Tanqīh al-Fusūl fi al-Usūl, juz 1, h. 108. 94 Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, Sharh Tanqīh al-Fusūl fi al-Usūl, juz 1, h. 108. 95 Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, Sharh Tanqīh al-Fusūl fi al-Usūl, juz 1, h. 108.
45
menghancurkan sarana-sarana maksiat, seperti berhala dan alat-alat permainan (malāhī).96 Persoalan teologis yang dihadapi oleh para usūlīyūn yang membenarkan jihād sebagai metode penyebaran Islam adalah
sah
kah
keimanan
seseorang
yang
dipaksa
masuk
Islam? Al-Bazdawī dalam karya usūl al-fiqhnya berargumen bahwa
pengakuan
pembenaran
dengan
dalam
keberimanan
hati
seseorang.
lisan adalah
yang rukun
Pengakuan
berkaitan dalam
lisan
dengan
menentukan
tersebut
pada
dasarnya hanyalah indikasi pembenaran hati, tapi kemudian menjadi ketentuan
rukun hukum
sebagaimana di
dunia
berlaku (transaksi)
dalam dan
ketentuandi
akherat
(keyakinan). Atas dasar ini, jika seorang kafir dipaksa untuk beriman, kemudian menyatakan beriman, keimanannya sah karena salah satu rukun tersebut ada, yaitu pengakuan lisan. Hal ini berbeda dengan pemaksaan seorang muslim untuk keluar dari agamanya (murtad). Ia tetap dianggap beriman.97 Logika yang mendasari argumen dalam dua kasus ini tampak tidak konsisten, karena sebagaimana pada kasus murtad, seharusnya keberimanan yang dipaksa adalah juga tidak sah, karena keyakinan adalah persoalan penghayatan hati.98
96
Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, Sharh Tanqīh al-Fusūl fi al-Usūl, juz 1, h. 108. 97 al-Bazdawī, Usūl al-Bazdawī, h. 305. 98 Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation, and Commentary (Beirut: Dār al-'Arabīyah li al-Tibā'ah wa al-Nashr wa al-Tawzī‘, 1968), h. 103.
46
Munculnya pandangan fiqh tentang jihād sebagai metode penyebaran
Islam
karena
didasarkan
atas
kronologi
dan
teori penganuliran. Pertama, berdasarkan kronologi, semua penulis yang dipetakan di atas sepakat bahwa ayat-ayat perintah dakwah secara damai hanya merupakan fase awal. Para fuqahā` menerima penjelasan dalam tafsir, terutama atas dasar penjelasan Ibn 'Abbās, bahwa dakwah tersebut hanya berlaku di fase awal Islam di Makkah. Kedua, ayat perintah memaafkan (āyāt al-'afw wa alsafh) atas perlakuan buruk orang-orang kafir Makkah, ayat perintah tidak menghiraukan (tidak memusuhi) mereka (āyāt al-i'rad),
dan ayat perintah dakwah secara damai, yaitu
dengan hikmah, nasihat yang baik, dan perdebatan dengan cara yang terbaik dianggap telah dianulir oleh ayat-ayat perang yang turun sesudahnya. Ayat-ayat yang umumnya yang dirujuk adalah "maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik"
(Q.15/54:85),
"maka
sampaikanlah
secara
terang-
terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah dari
orang-orang
mushrik"
(Q.15/54:94),
dan
"serulah
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik" (Q.16/70:125). Pandangan
tampak
ekstrem
dalam
konteks
ini
dikemukakan oleh al-Kāsānī bahwa ayat pedang (Q.9/113:5) adalah
rujukan
secara
ofensif,
kebolehan meski
memerangi
sebelumnya
orang-orang
dakwah
tidak
kafir pernah
disampaikan kepada mereka, karena ayat tersebut menganulir
47
fase-fase
awal,
seperti
larangan
berperang
pada
bulan-
bulan suci.99 E. Tawaran Solusi atas Problematika Teori Penganuliran dan Fiqh Jihad a. Memahami ayat al-Qur`an secara integral dengan nilai-nilai moral dasarnya. Klaim pedang
penganuliran
pada
dasarnya
menafsirkan Qur`an
muncul
ayat-ayat
dipahami
secara
al-fiqh
yang
damai
dari
al-Qur`an.
tujuan nilai luhurnya. usūl
ayat-ayat
parsial
dengan
ketidakutuhan Ajaran
terpisah
spesifik dari
ayat dalam al-
tujuan-
Hirarki teori dan kaedah dalam
dikemukakan
Jamāl
al-Dīn
'Atīyah,
antara lain, bisa menjembatani kesenjangan hukum spesifik dan nilainya.100 Skema: Nilai dan Turunan-turunannya Nilai-nilai Aqidah dan Moral
() القيم العقدية و األخالقية Teori-teori Umum Sharī'ah
() النظريات العامة\ الكليات Kaedah dan Teori Terkait Beberapa/Satu Hal
(( القواعد و النظريات المشتركة بين عدة أبواب من أقسام مختلفة\من نفس القسم Teori-teori Khusus
() النظريات الخاصة بأبواب الففه Hukum-hukum Spesifik/Cabang
() األحكام الفرعية للفقه
99
al-Kāsānī, Badā`i' al-Sanā`i', juz 7, h. 100. Diadaptasi dan dimodifikasi dari Jamāl al-Dīn 'Atīyah, alTanzīr al-Fiqhī (Dohah/Qatar: Tp., 1987M/1407), h. 12. 100
48
Penganuliran
ayat-ayat
damai
bisa
dipahami
ulang
dengan mempertimbangkan baik-baik usulan pemikiran tokohtokoh di atas untuk memahami ayat-ayat spesifik dalam "payung"
ayat-ayat
samping
konteks
universal. historis,
Itu
artinya
baik
makro
bahwa
di
sebagaimana
diusulkan oleh Rahman,101 Hadi Ma'rifat,102 maupun Sa'īd al-'Ashmāwī103 (tārīkh),
dengan
biografi
pemahaman
(sīrah),
dan
perangkat
sejarah
hadīth-hadīh
sejarah,
maupun mikro melalui sabab al-nuzūl baik melalui konteks historis internal ayat maupun riwayat-riwayat sahīh, kita perlu
secara
"kesatuan/unit secara
operasional nilai"
integral
merujukkan al-qīmah).104
(wihdat
sebab
atau
ayat
alasan
di
ke
Pemahaman
balik
suatu
perintah/larangan bisa mengurangi terisolasinya ayat-ayat spesifik dari kerangka ajaran fundamentalnya, baik yang dijelaskan dalam (1) ayat yang sedang dibahas maupun (2) secara rujuk-silang diketahui dari sekian ayat-ayat lain yang terkait. Dengan wihdat al-qīmah, dibedakan antara: (1)
perintah
(amr)
dan
larangan
(nahy)
yang
menjadi
sarana (wāsitah) tercapainya suatu tujuan (ghāyah); (2) tujuan
yang
ingin
dicapai;
(3)
nilai
(qīmah)
sebagai
tujuan akhir yang mendasari tujuan tadi dan terwujudnya perintah atau larangan. 101
Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago, 1982), h. 143. Edisi dengan nomor halaman yang sama juga bisa dilihat dalam Issa J. Boullata (ed.), An Anthology of Islamic Studies (Montreal: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992). 102 Muhammad Hadi Ma‘rifah, Tārīkh al-Qur’ān, diterjemahkan dengan judul Sejarah al-Qur’an (Jakarta: al-Huda, 2007), 97-101. 103 Muhammad Sa‘īd al-‗Ashmāwī, Usūl al-Sharī’ah (Cairo: Maktabat Madbūlī dan Beirut: Dār Iqra`, 1983), h. 64-70. 104 Yang dimaksud nilai di sini adalah lima prinsip universal (al-kullīyāt al-khams) yang dikemukakan oleh al-Shātibī, jadi nilai memuat tidak hanya moralitas, melainkan juga pandangan otentik mendasar teologis al-Qur`an, bukan kecenderungan pandangan sektesekte teologi.
49
Skema: Metode sintesis untuk menyatukan "gerak makna" partikular-universal Perintah/ larangan
Sarana
()األمر و النهي
()واسطة Partikular (juz`ī, furū', fusūl)
Konteks makro
(sejarah, biografi, maghāzī)
Konteks mikro
Kesatuan Historis
Latar Belakang Turun Ayat
() أسباب النزول
Struktur historis ayat
()بنية النص التاريخية
()الوحدة التاريخية
Sebab internal
()العلة فى اآلية
Kesatuan Topik
Reduksi
Tujuan
()وحدة الموضوع
()تجريد
()غاية Sebab antarayat
()العلة فى اآليات Kesatuan Nilai
Nilai
()قيمة
()وحدة القيمة
Universal (kullī, usūlī)
Metode
di
atas
diproyeksikan
menjawab
sebagian
problem yang muncul berkaitan dengan ayat-ayat perang. Dalam
banyak
dijelaskan
ayat
tersebut,
alasannya
(seperti
kebolehan terzalimi,
berperang diperangi,
diusir, dihalangi masuk masjid, diejek, dan dibunuh) dan tujuannya (agar penindasan/fitnah tidak terjadi lagi, dan agama Islam berkembang secara alami sebagaimana agamaagama lain) yang disebut sebagai "perang di jalan Allah". Sedangkan,
nilai
sebagai
tujuan
akhirnya
adalah
50
terpenuhinya hak setiap manusia untuk hidup secara damai tanpa ancaman dan penindasan orang lain, dan hak setiap orang memeluk agamanya, dalam hal ini Islam. Pembedaan antara "sarana" (wāsitah, wasīlah) dan "tujuan" (ghāyah, maqsad)
dikemukakan
di
sini
karena
memang
hukum
yang
berisi perintah atau larangan yang terkandung dalam alQur`an
memang
berisi
dua
hal
ini.
Badr
al-Dīn
al-
Zarkashī, misalnya sebagaimana dikutip oleh Shihāb al-Dīn al-Alūsī
dalam
Sufrat
al-Zād
li
Safarat
al-Jihād,
berpendapat bahwa jihād (perang) adalah "kewajiban hanya sebagai sarana" (fardīyat al-wasā`il), bukan "kewajiban sebagai tujuan" (fardīyat al-maqāsid), karena tujuannya adalah
memberi
dengan
petunjuk,
mengemukakan
tersebut
sehingga
penjelasan
diprioritaskan.
berpendapat
bahwa
jika
argumen,
Namun,
jihād
bisa
tercapai
tentu
mayoritas
adalah
"kewajiban
cara ulama
sebagai
tujuan".105 Dalam ungkapan Kāmil Salāmah al-Diqs, "perang bukanlah
kaedah,
melainkan
hanya
pengecualian
dari
kaedah" (inna al-harb laysat hiya al-qā'idah, wa innamā hiya
istithnā`
min
al-qā`idah),
karena
perang
hanya
sarana pertahanan diri untuk mengamankan proses dakwah damai
Islam.106
menempatkan mengakibatkan
Persoalan
jihād
ini
(perang)
hubungan
menjadi
krusial
sebagai
antaragama
tidak
tujuan pernah
karena akan akan
105 Shihāb al-Dīn al-Alūsī, Sufrat al-Zād li Safarat al-Jihād, h. 6-7 (halaman versi pdf), manuskrip (MS) dalam www.mostafa.com. 106 Kāmil Salāmah al-Diqs, Āyāt al-Jihād, h. 261.
51
harmonis.
Hal
itu
adalah
cerminan
dari
kegagalan
membedakan antara ajaran al-Qur`an yang fundamental dan yang kondisional. b. Menelaah ulang fiqh jihad klasik. Kita perlu melakukan penelaahan ulang fiqh hubungan antaragama, terutama yang berkaitan dengan fiqh jihÄ d. Pembahasan fiqh ini yang bertolak dari penganuliran ayatayat damai tidak hanya lahir dari konteks sosio-historispolitis seperti perang-perang Salib yang selalu diliputi oleh Islam
keterancaman yang,
dan
semangat
setidaknya,
tidak
politis selalu
dinasti-dinasti relevan
dengan
kondisi kini dan di sini, melainkan pandangan-pandangan fiqh tersebut juga bertentangan dengan spirit moralitas al-Qur`an
sendiri
yang
kebebasan
beragama,
dijunjung
kesetaraan,
tinggi,
kemanusiaan,
seperti keadilan,
dan hubungan timbal-balik (mu'Ä wadah). F. Penutup Persoalan ayat pedang adalah persoalan klasik yang hingga kini tak tersentuh oleh penanganan intelektual. Padahal persoalan ini berakibat panjang tidak hanya dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur`an ('ulĹŤm al-Qur`Ä n) melainkan dalam fiqh yang melahirkan pembenaran kekerasan terhadap non-muslim masih
yang
sangat
justifikasi
tidak
terasa,
yang
bersalah. yang
Pengaruh
tampak
melatarbelakangi
dari
anomali
ini
justifikasi-
aksi-aksi
kekerasan
terhadap non-muslim, seperti pemboman, perusakan tempat-
52
tempat
ibadah,
dan
pencurian
dalam
kerusuhan-kerusuhan
massa di tanah air. M.A.S. Abdel Haleem pernah mengatakan bahwa ayat pedang hanyalah mitos yang diciptakan oleh kaum muslim sendiri yang muncul dari pemahaman yang tidak utuh terhadap ayat-ayat tertentu dalam al-Qur`an.107 Di samping itu, kekeliruan tersebut muncul dari penyimpulan yang keliru atas fakta-fakta sejarah perang masa Nabi, serta faktor-faktor sosio-historis-politis dan ideologis tertentu yang panjang dalam sejarah Islam.
107
M.A.S. Abdel Haleem, "The Sword-Verse Myth (El mito del'versiculo de la espada)", dalam PeĂąa MarĂn, Salvador, dan de Larramendi, Miguel Hernando (ed.), El Coran ayer y hoy (The Quran Yesterday and Today) (Cordoba: Berenice, 2008), h. 307-340. Artikel ini juga diterbitkan sebagai occasional paper 1 dalam Journal of Quranic Studies (JQS), 2007.
53