ARTIKEL UTAMA
Islam di Ruang Publik Indonesia Oleh Mujiburrahman Dosen IAIN Antasari Banjarmasin
D
i kalangan akademis, agama biasanya tidak hanya dilihat sebagai kumpulan berbagai ajaran atau doktrin melainkan juga sebagai realitas sosial, yaitu kenya- taan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Kita boleh saja mengklaim bahwa kebenaran ajaran suatu agama bersifat universal dan abadi, tetapi hal ini tidak seharusnya menghalangi kita untuk mengakui bahwa ajaran agama tersebut berinteraksi dan berkembang bersamaan dengan kenyataan sosial dan budaya para penganut agama terse - but. Kajian-kajian agama yang berkembang di kalangan akademis nam- paknya dengan sadar mencoba mem- perhatikan dua hal ini (ajaran agama dan konteks sosialnya), meskipun dengan penekanan yang berbeda. Dalam kajian keislaman, para ahli disiplin tradisional seperti ilmu kalam, filsafat, tasawuf dan hukum Islam, biasanya memberikan per- hatian yang lebih banyak kepada ajatak mau akan menjalani proses
1
ran-ajaran Islam yang terkandung dalam disiplin-disiplin tersebut, namun pada saat yang sama mereka juga memperhatikan konteks sosialnya. Misalnya, dalam kajian tasawuf, orang tidak saja akan membahas ber- bagai ajaran tasawuf, melainkan juga mencoba menjelaskan kapan, dimana dan siapa orang yang me- ngembangkan ajaran tersebut, apa hubungannya dengan ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh para tokoh sebelumnya, serta bagaimana kondisi sosial politik yang melatarbelakanginya. Di sisi lain, para ahli sosiologi, antropologi dan ilmu politik biasanya lebih menekankan perhatian mereka kepada agama sebagai realitas sosial, namun hal ini tidak berarti bahwa ajaran agama tidak penting bagi mereka. Kasus bom bunuh diri, misalnya, tidak cukup hanya dijelaskan dari sudut sosial politik tanpa memperhatikan ajaran agama (atau lebih tepatnya, paham keagamaan) yang mensahkan tinda- kan tersebut. Dalam kesempatan ini, saya hanya akan memfokuskan pembicaseku- larisasi di mana peran sentral
raan pada salah satu perkembangan dalam kajian terhadap agama di kalangan ahli-ahli ilmu sosial, khususnya para ilmuwan Barat.1 Secara umum, dengan melihat perkembangan agama Kristen di sekitar mereka, banyak para pemikir besar di Barat (terutama di abad 19 dan awal abad 20) yang berpandangan bahwa otoritas agama dalam kehidupan sosial, perlahan tapi pasti, akan digeser oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta ideologiideologi sekuler seperti liberalisme, kapital- isme, komunisme dsb. Dengan kata- kata lain, masyarakat modern mau Gere- ja atas kehidupan masyarakat
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
ARTIKEL UTAMA di abad pertengahan akan digeser oleh kekuatan-kekuatan sekuler di za- man modern. Namun belakangan, tesis sekularisasi tersebut mulai dipertanyakan orang. Sosiolog terke- muka, Peter L. Berger dan Jose Casanova, misalnya, melihat bahwa sekularisasi dalam arti marginalisasi agama dalam kehidupan sosial tidak sepenuhnya terjadi di Barat.2 Perkembangan agama Kristen di Amerika Serikat dan Amerika Latin menunjukkan bahwa agama tetap punya peranan penting dalam dan akses yang begitu mudah dan sulit dibend ung? Salah satu car a
yang dikembangkan oleh para ilmuwan sosial untuk melihat fenomena agama dalam hidup kemasyarakatan kontemporer adalah dengan melihat bagaimana agama hadir di ruang publik (public sphere). II Dalam bahasa Inggris, kata ‘public’ sebagai kata sifat mengandung arti: (1) hal yang berkaitan dengan orang banyak; (2) untuk semua orang; (3) hal yang berkaitan dengan pelayanan pemerintah. Kata ‘pub- demokrasi di Eropa berasal dari ru- ang publik yang tumbuh di
kalangan kelas borjuis. Apa yang dimaksud Habermas dengan ruang publik ini adalah suatu ruang di mana para anggota masyarakat dapat berdisku- si dan berdebat mengenai masalah- masalah yang berkaitan dengan ke- pentingan orang banyak.5 Adanya cafe-cafe, klub-klub diskusi serta media cetak yang berkembang di Eropa abad ke-18 telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan budaya partisipasi politik yang egaliter dan terbuka. Ruang publik inilah yang menj adi dasar utama bagi
Ketika melihat dan mengamati perkembangan di dunia Islam, para pengamat sosial dari Barat ini juga menemukan kenyataan bahwa agama tetap memiliki peranan penting dalam hidup kemasyarakatan kontemporer. kehidupan sosial politik, meskipun tentu tidak sama persis dengan peran yang dimainkan Gereja di abad pertengahan. Ketika melihat dan mengamati perkembangan di dunia Islam, para pengamat sosial dari Barat ini juga menemukan kenyataan bahwa agama tetap memiliki peranan penting dalam hidup kemasyarakatan kontemporer. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada agama? Bagaimana hubungan antara agama dan perkembangan ilmu dan teknologi yang telah melahirkan era industri dan era informasi dengan kecanggihan media elektronik dan cetak dalam sistem komunikasi yang serba cepat lic’ biasanya dihadapkan dengan kata ‘private’
2
yang berarti: (1) hal yang pribadi dan rahasia; (2) untuk orang tertentu, bukan untuk semua orang; (3) swasta, tak tergantung pada pemerintah. 3 Makna kata ‘public’ dan lawan- nya ‘private’ di atas sekurang-kurang- nya dapat memberikan gambaran umum kepada kita mengenai apa yang disebut ‘public sphere’ yang disi- ni saya terjemahkan dengan ‘ruang publik’. Istilah ini diperkenalkan oleh pemikir Jerman, Jurgen Habermas, dalam sebuah karyanya yang edisi Inggrisnya diterbitkan tahun 1989.4 Dalam karya ini, Habermas mengem- bangkan argumen bahwa kelahiran pertumbuhan demokrasi
perwakilan di Eropa di abad berikutnya hingga sekarang. Pandangan Habermas mengenai ‘ruang publik’ telah banyak dikritik orang sebagai tidak sesuai dengan kenyataan dan terlalu idealistik.6 Jauh dari apa yang diidealkan Habermas, ruang publik di Eropa abad 18 tidaklah bersipat egaliter. Ada banyak bukti sejarah yang menun- jukkan bahwa ruang publik kaum borjuis Eropa itu membuat diskrimi- nasi atas anggota masyarakat lain berdasarkan faktor kekayaan, gender dan agama. Selain itu, Habermas juga dianggap mengabaikan kenyataan bahwa ada banyak publik, bu-
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
ARTIKEL UTAMA kan satu publik, yang terus bertarung untuk kepentingan mereka masing- masing. Asumsi tesis Habermas bah- wa melalui ruang publik, masyarakat pada akhirnya akan dapat mencapai keputusan bersama berdasarkan per- timbangan rasional belaka, juga dikritik orang. Dalam kenyataan, setiap orang atau kelompok kepentingan akan mengajukan argumen yang dalam pandangan mereka masing-masing adalah rasional. Artinya, mengandaikan adanya rasionalitas universal dalam masalah kepenting- an umum seringkali tidak sesuai dengan realitas. Terlepas dari kritik-kritik diatas, pandangan Habermas menge nai ruang publik telah memberikan suatu sudut pandang yang penting mengenai perubahan masyarakat secara umum dan pertumbuhan demokrasi secara khusus. Melalui ide ruang publik ini, Habermas menunjukkan dengan baik bahwa perkembangan demokrasi tidak sematamata tergantung kepada pemerintah, tetapi terutama kepada kekuatan dan budaya politik yang berkem- bang di masyarakat. Dengan ung- kapan lain, demokrasi bukan seka- dar sistem pemerintahan melainkan budaya politik masyarakat. Sekarang, apa hubungan antara agama dengan ruang publik? Habermas sendiri sama sekali tidak me- nyentuh agama ketika ia menjelas- kan idenya mengenai ruang publik. Namun para ilmuwan sosial yang mengkaji berbagai masyarakat Islam nampaknya tertarik dengan ide ini karena berbagai alasan.7 Pertama, seperti telah disinggung diatas, ham- pir di semua masyarakat Muslim, agama adalah persoalan publik yang sangat terkait dengan politik. Asum- si bahwa agama hanya akan menja- di urusan pribadi seperti yang oleh
3
para pengamat telah ter j adi di sebagian negara di Eropa Barat, nampaknya tidak berlaku untuk masyarakat Muslim. Kedua, arus deras informasi yang disalurkan melalui me - dia elektronik dan cetak telah dapat membuka ruang publik dalam masyarakat Islam, bahkan di negara yang sangat otoritarian sekalipun. Seperti halnya di Indonesia, di negara-negara Timur Tengah orang deng-
an relatif gampang dapat menemukan cafe-cafe internet, wartel serta V CD dan DVD (tak peduli asli atau bajakan), disamping melimpahnya media cetak berupa surat kabar, majalah, buku-buku hingga brosur dan pamplet. Singkatnya, media cetak dan elektronik telah membuka ruang publik bagi masyarakat Muslim. Di negara Muslim yang demokratis seperti Indonesia saat ini, tentu saja ruang publiknya jauh lebih bebas ketimbang di negara-negara monarki di Timur Tengah. Namun, dalam kasus yang disebut terakhir inipun, negara tak sepenuhnya dapat mengontrol dan mengendalikan ruang publik. Ketiga, tersedianya ruang publik ini pada gilirannya membuka- kan peluang bagi fragmentasi dan pe - nyebaran otoritas keagamaan di masyarakat. Tak ada lagi lembaga atau
perorangan yang dapat meng- klaim dirinya sebagai satu-satunya suara kebenaran. Ruang publik telah membuka kesempatan yang luas bagi setiap orang untuk memilih, berdebat dan menawarkan tafsiran lain terhadap ajaran agama yang dipeluknya. III Sebagian ilmuwan sosial yang mengkaji Islam di Indonesia, terutama sejak paruh kedua tahun 1990-an, juga mencoba melihat Islam sebagai fenomena di ruang pub - lik. Diantara mereka adalah Robert W Hefner, Kenneth M. George, dan John R. Bowen. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan tahun 1997, Hefner mencoba menganalsis per- tarungan ideologis antara para pen- dukung majalah Media Dakwah yang diterbitkan oleh Dewan Dak- wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan koran Republika yang ditopang oleh para aktifis Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) .8 Menurut Hefner, isi Media Dakwah cenderung ‘anti-humanis’, ‘anti-liberal’ dan menggambarkan Islam sebagai ‘kebenaran tanpa kom- promi’ (uncompromising truth). Tipi- kal pembaca majalah ini adalah o- rang-orang terdidik dari kelas me- nengah ke bawah, atau para pekerja miskin. Para pembaca ini umumnya adalah orang-orang yang punya sim- pati besar terhadap partai Masyumi yang telah dibubarkan Soekarno di tahun 1960, dan gagal direhabilitasi di masa awal Orde Baru. DDII, lem- baga yang menerbitkan Media Dak- wah, merupakan organisasi yang didirikan tahun 1967 oleh tokoh Masyumi, Mohammad Natsir Di sisi lain, Republika, menurut Hefner, mencoba menampilkan diri sebagai koran dengan pembaca yang lebih luas, termasuk kaum Muslim kelas menengah dan atas. Karena itu, Re-
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
ARTIKEL UTAMA publika menampilkan laporan-laporan mengenai seni-budaya, acaraacara televisi, sastra dan fashion yang sedang trendy serta pandangan- pandangan Islam yang menekankan pluralisme dan toleransi. Pada saatnya, ketegangan ankejadian itu adalah organisasi anakanak muda yang berideologi kiri, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD), Republika mulai membuat liputan yang berimbang. Akibatnya, orang-orang DDII memperotes Re-
publika dan menuduhnya sebagai pendukung Komunisme. Konon, protes DDII ini didukung oleh faksi anti pembaruan di kalangan inteligen negara saat itu. Kontras antara Republika dan Media Dakwah yang dibuat Hefner barangkali terlalu tajam. Dalam kenyataannya, di tubuh Republika 1998 ini, George menganalisis Festival Istiqlal tahun 1994 dan 1995 yang sepenuhnya didukung oleh pemerin- tah Orde Baru. Dalam Festival ini, berbagai seni
pertunjukan digelar dan para cendekiawan Muslim diun- dang untuk berbicara tentang bu- daya Islam di Nusantara dalam se rangkaian seminar. Diantara hal yang paling menarik perhatian pub - lik dalam Festival ini adalah mushaf berukuran besar yang disebut Mushaf Istiqlal. Mushaf ini dibuat oleh para seniman dan pelukis ahli dengan menggunakan teknologi komputer.
Sebagian ilmuwan sosial yang mengkaji Islam di Indonesia, terutama sejak paruh kedua tahun 1990-an, juga mencoba melihat Islam sebagai fenomena di ruang publik. Diantara mereka adalah Robert W Hefner, Kenneth M. George, dan John R. Bowen. tara kubu DDII dan Republika pun terjadi. Pada mulanya, orang-orang DDII memprotes Republika dengan tuduhan bahwa koran ini menampil- kan liputan seni yang tidak Islami, mendukung aliran Syiah serta pemi- kiran-pemikiran Islam yang dike- mukakan Ahmad Wahib.9 Dalam kasus-kasus ini, pihak pimpinan Republika masih dapat berkompromi dengan protes orang-orang DDII. Selain itu, karena ICMI sangat de- kat dengan pemerintah saat itu, Republika pada mulanya lebih cen- derung kepada versi pemerintah mengenai kasus penyerangan kantor PDI tanggal 27 Juli 1996 yang terke- nal itu. Namun ketika pemerintah mulai menuduh bahwa dalang dari sendiri kata lain, Mushaf Istiqlal mencerminkan kebijakan Orde Baru yang hanya dapat mentolerir Islam sebagai budaya tapi tak dapat menerima Islam sebagai ideologi politik. Lagi- lagi, disini kita melihat
4
nampaknya kita dapat menemukan orang-orang yang sepaham dengan orang-orang DDII. Terlepas dari masalah ini, Hefner dengan te pat melihat kasus-kasus di atas sebagai ilustrasi dari peran sentral media cetak dalam pertarungan untuk menguasai opini publik di kalangan kaum Muslim, dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh mereka yang ingin mengembangkan suatu ruang publik yang terbuka dan pluralistik di bawah kungkungan ke- kuasaan otoriter Orde Baru. Tulisan lainnya yang juga mengamati Islam sebagai fenomena di ruang publik Indonesia dilakukan oleh Kenneth M. George.10 Dalam karyanya yang diterbitkan tahun bahwa ru- ang publik untuk Islam dibatasi oleh rambu-rambu yang dibuat oleh pe - merintah. Selain Hefner dan George, seorang antropolog ternama, John R. Bowen, juga mencoba melihat per-
Yang menarik adalah bahwa dekorasi pinggir mushaf tersebut menggabungkan 42 jenis dekorasi yang dianggap mewakili berbagai daerah di Indonesia. George menilai bahwa Mushaf Istiqlal adalah contoh yang sangat baik bagaimana Islam dihadir- kan di ruang publik di masa-masa akhir Orde Baru tersebut.Para pengamat politik umumnya sepakat bahwa di tahun 1990-an, pemerin- tah Orde Baru berusaha mendekati kelompok Islam santri.11 Namun ini tidak berarti bahwa pemerintah da- pat mentolerir Islam sebagai ideolo - gi politik. Dalam Mushaf Istiqlal, Islam (teks al- Qur’an) diletakkan berdampingan dengan budaya Indone sia (dekorasi pinggir). Dengan katakembangan Islam di Indonesia di ruang publik. Dalam beberapa karya yang ditulisnya, Bowen mencoba melihat proses perkembangan hu- kum Islam di Indonesia sebagai proses penalaran
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
ARTIKEL UTAMA publik (public reasoning). Menurut Bowen, ada dua jenis komprehensif, menurut Bowen, se - benarnya saling melengkapi. Namun Bowen melihat bahwa perkembang- an hukum Islam di Indonesia lebih cenderung kepada penalaran komprehensif. Dalam proses pembuatan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dilahirkan tahun 1991, Bowen melihat adanya upaya pihak pemerintah untuk mengesankan bahwa KHI adalah hasil penalaran kolektif. Untuk itu telah dilakukan wawancara
dengan 166 ulama di 10 kota di Indonesia, disamping diadakannya se - minar-seminar dan workshop yang dihadiri oleh para professor hukum Islam, para hakim, dan pejabat-pe- j abat Mahkamah Agung.12 Disisi lain, sebagai sebuah harus mempertimbangkan nilainilai dan hukum yang hidup di masya- rakat. Bagi Bowen, penalaran kom- prehensif hukum Islam semacam ini tidak lain adalah upaya untuk menafsirkan teks-teks agama sehing- ga dapat sejalan
dengan ideal-ideal lain seperti ketetapan hukum adat dan hak-hak asasi manusia (yakni kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan). Menurut Bowen, inilah konsepsi keadilan yang bersifat pub- lik dan sekaligus Islami. 13 Seperti kajian Hefner dan George diatas, kajian Bowen juga mencermati bagaimana Islam hadir di ruang publik di masa Orde Baru, dan seperti pengamat lainnya, Bowen melihat adanya peran penting yang
Menurut Bowen, ada dua jenis kecenderungan penalaran dalam hukum Islam, yaitu yang bersifat transendental dan yang komprehensif. kecenderungan penalaran dalam hukum Islam, yaitu yang bersifat transendental dan yang komprehensif. Yang pertama adalah penalaran yang berusaha memahami kehendak Tuhan yang tercantum dalam al- Qur’an dan Hadis sehingga dicapai suatu kebenaran ketuhanan yang unik, sedangkan yang kedua adalah usaha untuk menemukan kepenting- an sosial dari pengembangan hukum Islam yang diperoleh melalui konsen- sus diantara para ulama atau sikap akomodatif terhadap kekuasaan yang ada. Baik penalaran yang bersipat transendental ataupun yang konsesus dari negosiasi yang panjang dalam penalaran publik itu, KHI mencerminkan perpaduan yang unik antara upaya mempertahankan pandangan konservatif berdasarkan teks alQur’an di satu pihak, dan mengakomodasi kenyataan sosial di pihak lain. Contoh yang menarik dalam hal ini adalah masalah
5
keteta- pan hak waris bagi perempuan dan laki-laki yang oleh al-Qur’an dite- tapkan bahwa lakilaki dapat bagi- an dua kali dari bagian perempuan. Ketetapan ini masih dipertahankan oleh KHI, namun pada saat yang sama KHI menyatakan bahwa hakim dimainkan negara di dalamnya. Setelah tumbangnya Orde Baru di tahun 1998, ruang publik di Indonesia jauh lebih bebas karena kon- trol negara sudah sangat berkurang. Jumlah penerbitan media pun me- ningkat, dan dengan demikian, suara-suara yang sebelumnya terte - kan dan tak terdengar, sekarang mulai muncul menggema di ruang publik. Dalam sebuah tulisan yang terbit tahun 2003, Hefner mencoba melihat usaha yang dilakukan oleh suatu kelompok Islam militan di Indonesia yang menamakan diri Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal-
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
ARTIKEL UTAMA jamaah (FKAWJ).14 Organisasi ini didirikan oleh seorang tokoh bernama Ja‘far Umar Thalib, seorang ulama yang sebelumnya belajar Islam di Saudi Arabia dan Yaman serta per- nah ikut terjun berjihad di Afghanistan melawan pendudukan Uni Soviet. Pida tahun 1994, Thalib mendi- rikan lembaga pendidikan Islam di Yogyakarta bernama Jamdah Ihya’ al- Sunnah, dan kebanyakan yang be- lajar di lembaga ini adalah para mahasiswa. Dibantu dengan teknologi komputer yang ada, setahun kemudian, sebagian murid Thalib menerbitkan sebuah tabloid sederhana yang disebut Salafy. Dengan muncul- nya warung-warung internet (war- net) di Indonesia, murid-murid Thalib yang tinggal di kota-kota yang berbeda dapat melakukan ko- munikasi, termasuk untuk layout Salafy. Keterlibatan kelompok ini dalam publikasi semakin intens set- elah FKAWJ mendirikan Laskar Jihad di tahun 2000, dalam rangka berjihad melawan orang-orang Kristen di Ambon. Sejak itu, Laskar Jihad membuat berbagai publikasi, baik dalam bentuk elektronik seperti situs www.laskarjihad.org maupun cetak seperti Buletin Laskar Jihad Ahlussunah Waljamaah dan Maluku Hari Ini. Dalam publikasi ini, dita- mpilkan photo-photo untuk menun- jukkan kekejaman orang Kristen di Ambon terhadap orang Islam, dan liputan tentang jihad yang tengah dilakukan disana. Namun, setelah kasus bom Bali, 12 Oktober 2002, Thalib mendapat tekanan yang kuat dari tokoh-tokoh militer untuk mem- bubarkan Laskar Jihad. Akhirnya, hanya tiga hari setelah bom Bali itu, Thalib membubarkan Laskar Jihad dan menutup situsnya. Menurut Hefner, kasus Laskar Jihad menunjukkan bahwa ruang publik yang bebas tidak dengan
6
sendirinya akan melahirkan budaya politik yang toleran dan terbuka. FKAWJ dengan Laskar Jihad-nya, sebenarnya adalah Islam yang tergolong pinggiran di Indonesia. Tetapi dengan adanya ruang publik yang bebas serta dukungan dari para tokoh militer tertentu, kelompok ini dapat menampilkan dirinya di ruang publik melalui media yang diter- bitkannya. Dengan pandangan yang militan anti-Kristen, Laskar Jihad, kata Hefner, telah menantang pandangan moderat dan toleran dari kelompok-kelompok Islam yang lebih besar di Indonesia. Namun, kare- na posisi Laskar Jihad tergantung pada koalisi dengan satu kekuatan di luar dirinya, pada saatnya, Laskar Jihad harus bersedia dibubarkan. IV Kita telah mendiskusikan ide mengenai ruang publik dan bagaimana ia diterapkan oleh para ilmuwan sosial Barat untuk menganalisis perkembangan Islam di Indonesia. Kelebihan dari ide ini adalah bahwa dengan memperhatikan kehadiran agama di ruang publik, kita akan dapat melihat aneka paham
dan kelompok keagamaan yang bertarung untuk mengajukan pandangan mereka, dan bagaimana pertarungan itu berakhir atau terus berlanjut tanpa keputusan yang pasti. Di sini, beragam suara yang ada harus sama-sama diperhatikan oleh seorang pengamat agar ia dapat memotret partisipasi semua pihak dalam membicarakan masalah publik ter- tentu. Namun, seperti yang dapat kita lihat dari kajian-kajian diatas, ter- nyata dalam kungkungan negara yang otoriter, tidak semua suara bisa di dengar di ruang publik. Dengan adanya doktrin SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan), pe- merintah Orde Baru seringkali mem- batasi apa yang bisa dikemukakan di ruang publik. Akibatnya, pengama- tan atas ruang publik yang terbatas itu tidak akan dapat sepenuhnya memberikan pemahaman yang utuh mengenai pertarungan yang sesungguhnya terjadi. Disisi lain, meskipun
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
ARTIKEL UTAMA ruang publik begitu terbuka di Era Reformasi, keterlibatan berbagai kelompok kepentingan di dalamnya ternyata menjadi semakin kompleks. Kasus Laskar Jihad dan pembubarannya—seperti yang telah kita diskusikan terdahulu—menunjukkan bahwa untuk memahami apa yang terjadi di ruang publik, kita tidak cukup hanya melihat hubungannya dengan negara, melainkan juga hubungan antara para aktor di ruang publik itu dengan kelompok kepentingan lainnya. Akhirnya, dengan mengamati ruang publik kita akan melihat bagaimana fragmentasi otoritas keagamaan berkembang di masyarakat. Kita misalnya akan dapat melihat bagaimana perbedaan dan persamaan pandangan antara kelompok agama yang menjadi arus utama (seperti NU dan Muhammadiyah) dengan kelompok keagamaan lainnya, yang mungkin pinggiran tapi suaranya keras (seperti Hizbut Tahrir dan Majelis Mujahidin). Kita juga dapat melihat, apakah berbagai kelompok kegamaan ini pada akhirnya dapat mencapai konsensus mengenai masalah publik tertentu ataukah tidak, dan mengapa. Tentu saja, hubungan antara kelompok-kelompok keagamaan ini dengan kelompok-kelompok kepentingan lainnya (seperti militer, kaum minoritas Kristen, para pengusaha besar dan ban- tuan luar negeri) harus juga diper- hitungkan. Sebab, untuk mempe- ngaruhi opini publik, khususnya melalui media, orang akan sangat memerlukan biaya yang besar. □
2
Lihat Jose Casanova, Public Religions
William R. Roff (ed.), Islam and the Political
Chicago Press, 1994) dan Peter L.
Economy of Meaning (Berkeley: University of
Berger, “The Desecularisation of the World:
California, 1987), 254-80.
A Global Overview” in Ffeter L. Berger (ed.),
Kenneth M. George, “Designs on
Indonesia’s Muslim Communities” The Journal
Religion and World Politics (Michigan: W.B.
of Asian Studies Vol. 57 No. 3 (August, 1998),
Eerdmans Publishing Company, 1999), 1-18.
693-713.
3
Longman Dictionary of English Lan-
guage and Culture (Harlow: Longman, 1992), 1 062; 1064. 4 Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society Terj. Thomas Berger & Frederick Lawrance (Cambridge: Polity Press, 1989). 5
Seorang
pemikir
terkemuka
asal
Canada, Charles Taylor, merumuskan arti ruang publik sebagai “ruang bersama dimana anggota masayarakat bertemu melalui berbagai media: cetak, elektronik dan juga secara tatap muka, untuk mendiskusi- kan masalah-masalah
yang
menjadi
ke-
pentingan bersama; dan dengan demikian mereka dapat membentuk pandangan yang sama atas masalah-masalah tersebut.” Lihat Charles Taylor, “Modernity and the Rise of the Public Sphere”, The Tanner Lectures on Human Values No. 14 (1993), 220. 6
Untuk kritik-kritik ini, lihat Craig
Calhoun (ed.), Habermas and the Public Sphere (Cambridge: MIT Press, 1992). 7
Lihat Dale F Eickelman dan Jon
Anderson (eds.), New Media in the Muslim World: The Emerging Public Sphere, edisi revisi, (Bloomington:
Indiana
University
Press,
2003). 8
Robert W Hefner, “Print Islam: Mass
Media and Ideological Rivalries Among Indonesian Muslims” Indonesia. No. 64 (1997), 77-103. 9
11
tokoh HMI yang terkenal karena cata- tan hariannya
yang
diterbitkan
setelah
ia
meninggal dunia. Catatan harian tersebut merupakan kumpulan refleksi kritis atas akhir tahun 1960an dan awal 1970an. Lihat
Catatan:
Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Har- ian
Meskipun orang dapat mengklaim hingga batas tertentu bahwa ilmu sosial sudah dikembangkan oleh pemikir Muslim, Ibn Khaldun (w. 1406),dalam perkem bangan modern, ilmu-ilmu sosial umumn- ya dikembangkan oleh para pemikir Bar- at.
Ahmad Wahib, cetakan ke-enam (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003).
Lihat R. William Liddle, “The Is-
lamic Turn in Indonesia: a Political Explanation” The Journal of Asian Studies V>l. 55 No. 3 (1996), 613-34; dan Martin van Bruinessen, “Islamic State or State Islam? Fifty Years of State-Islam Relations in Indonesia,” dalam Igrid Wessel (ed.), Indonesien am Ende des 20 Jahshunderts (Hamburg: Abera-Verlaag, 1996), 19-34. 12
John R. Bowen, “Legal Reasoning
and Public Discourse in Indonesian Islam” dalam Eickelman dan Anderson, New Media in the Muslim World, edisi pertama, 83-97. Istilah penalaran kolektif disamakan Bowen dengan istilah ijtihad jama’i. Hal ini mengingatkan saya kepada teori Fazlur Rahman mengenai hubungan dinamis antara Sunnah, ijtihad dan ijma’ se- cara berurutan. Bagi Rahman, Sunnah ada- lah tradisi Islam yang hidup, yang mengacu kepada contoh yang diberikan Nabi. Dalam merespon perubahan sosial, masya- rakat Muslim abad pertama dan kedua, mencoba mengembangkan tafsiran yang dinamis terhadap contoh yang diberikan Nabi itu, dan inilah yang disebut ijtihad. Apabila hasil dari ijtihad ini diterima orang banyak sebagai konsensus (ijma‘), maka ia menjadi Sunnah. Lihat Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History Cet. Ke-3 (Islamabad: Islamic Research Institute, 1995). 13
Ahmad Wahib adalah salah seor- ang
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (eds.), 1
10
The Deseculazation of the WOrld: Resurgent
masalah-masalah keislaman dan politik di
Walldhu a‘lam
Debate in Contemporary Indonesia“ dalam
in the Modern World (Chicago: University of
Social
John R. Bowen, Shari’a, State and Norms
in
France
and
Indone-
sia(Leiden: ISIM, 2001), 11-2. Lihat juga buku Bowen terbaru, Islam, Law and Equality in Indonesia:
An
Anthropology
of
Public
Reasoning (Cambridge: Cambridge University Press, 2003). 14
Robert W. Hefner, “Civic Pluralism
Denied? The New Media and Jihadi Violence in Indonesia“ dalam Eickelman dan Anderson, New Media in the Muslim World, 159-75.
Untuk analisis kritis dan simpatik terhadap buku ini, lihat A.H. Johns, “An Islamic
DAFTAR PUSTAKA
System or Islamic Values? Nucleus of a
7
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
ARTIKEL UTAMA Berger, Peter L. (1999). “The Desecularisation of the Wsrld: A Global Overview” in Peter L. Berger ed., The Desecu- lazation of the World: Resurgent Religion and W6rld Politics Michigan: W.R Eerd- mans Publishing Company: 1-18. Bowen, John R. (1999). “Legal Reasoning and Public Discourse in Indonesian Islam” dalam Dale F. Eickelman dan Jon Anderson eds., New Media in the Muslim World: The Emerging Public Sphere, edisi pertama. Bloomington: Indiana University Press. : 83-97.
Indonesian Muslims” Indonesia. 64:77-103. ---------- . (2003). “Civic Pluralism Denied? The New Media and Jihadi Violence in Indonesia” dalam Dale F. Eickel- man dan Jon Anderson eds., New Media in the Muslim World: The Emerging Public Sphere, edisi revisi. Bloomington: Indiana University Press. : 15975. Johns, A.H. (1987). ‘An Islamic System or Islamic Values? Nucleus of a Debate in Contemporary Indonesia” dalam William R. Roff, ed., Islam and the Political Economy of
----------- . (2001). Sharia, State and Social Norms in France and Indonesia Leiden: ISIM.
Meaning Berkeley: University of California: 254-80.
----------- . (2003). Islam, Law and Equality in Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning Cambridge: Cambridge University Press.
Turn in Indonesia: a Political Explanation”
Bruinessen, Martin van (1996). “Islamic State or State Islam? Fifty Years of
Liddle, R. William (1996). “The Islamic The Journal of Asian Studies Vol. 55 No. 3 : 613-34. Longman Dictionary of English Language and Culture (Harlow: Longman, 1992).
State-Islam Relations in Indonesia,” dalam Igrid Wessel ed., Indonesien am Ende des
Rahman, Fazlur. (1995). Islamic
20Jahshunderts Hamburg: Abera-Verlaag: 19-34.
Methodology in History Cet. Ke-3 Islamabad: Islamic Research Institute.
Calhoun, Craig. ed., (1992). Habermas and the Public Sphere Cambridge: MIT Press.
and the Rise of the Public Sphere”, The Tanner
Casanova, Jose. (1994). Public Religions
Taylor, Charles. (1993). “Modernity Lectures on Human Values No. 14.
in the Modern World Chicago: University of Chicago Press. Effendi, Djohan dan Ismed Natsir. eds., (2003). Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, cetakan ke-enam. Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute. Eickleman, Dale F. dan Jon Anderson. eds., (2003). New Media in the Muslim World: The Emerging Public Sphere, edisi revisi. Bloomington: Indiana University Press. George, Kenneth M. (1998). “Designs on Indonesia’s Muslim Communities” The Journal of Asian Studies Vol. 57 No. 3: 693713. Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society Terj. Thomas Berger & Frederick Lawrance, Cambridge: Polity Press. Hefner, Robert W. (1997). “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries Among
8
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
ARTIKEL UTAMA
9
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006