Islam dalam Keberagaman Oleh Lily Zakiyah Munir
D
ua tahun yang lalu saya tinggal di Afghanistan selama enam bulan. Di negeri yang dikenal lewat Talibannya ini saya mengamati secara langsung kehidupan rakyat Afghan, yang hampir seratus persen Muslim. Kehadiran saya di sana seperti berada dalam “laboratorium hidup� tentang praktik keagamaan kaum Muslim. Seperti kebanyakan manusia Indonesia, mereka hangat, terbuka, dan sangat menghormati tamu. Di tempat lahirnya sufi besar Jalaludin Rumi, banyak orang Afghan yang menjunjung tinggi tasawwuf dan spiritualitas. Mereka cukup toleran dan berbagai kelompok etnis dan serta aliran Sunni dan Shi’ah hidup berdampingan. Budaya mereka sangat patriarkis dan status perempuan di hampir semua sektor kehidupan sangat menyedihkn. Nasib Afghanistan menjadi lain ketika negeri itu menjadi ajang perebutan konflik negara luar. Selama lebih dari seperempat abad, negeri itu terlibat dalam konflik dan perang saudara yang meluluhlantak-
Lily Zakiyah Munir Direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (CEPDES), Jombang.
kan negeri padang pasir tersebut. Yang menyedihkan, adalah digunakannya agama (Islam) untuk melegitimasi pembunuhan dan pe perangan. Ada tujuh kelompok atau faksi yang terlibat dalam perang saudara. Semua menggunakan nama Islam, dan para milisi itu semua menamakan diri Mujahidin. Mereka saling meneriakkan Allah Akbar dan kemudian saling membunuh. Puncakanya adalah ketika salah satu faksi yang bertikai itu, dengan dukungan negeri adidaya, menang dan berkuasa, yaitu kelompok Taliban. Ini awal bencana atas
nama agama. Begitu berkuasa, Taliban menerapakan syariah yang kaku, kejam dan menafikan perbedaan. Hukum yang diterapkan yaitu apa kata mullah. Dialah yang menentukan apakah seseorang akan dicambuk, dirajam, dipotong tangan atau dipancung. Tradisi rakyat Afghan dihapus. Perempuan tidak boleh bersekolah dan bekerja. Mereka tidak boleh berada di luar rumah tanpa muhrim. Perempuan yang kelihatan betisnya dicambuk. Segala macam permainan seperti main layangan atau musik dilarang. Sekolah hanya untuk anak laki-laki, dan itupun hanya mengajarkan pelajaran agama. Semua itu mereka lakukan atas nama syariah Islam. Teologi Intoleran di Masyarakat Muslim
Sikap tidak toleran di kalangan Muslim bisa terjadi terhadap sesama Muslim seperti yang dilakukan Tali
ban di atas. Tidak hanya di Afghnistan, di negeri kita juga terjadi. Kelompok yang tidak sejalan dianggap sesat, dihujat serta diserang. Banyak peristiwa yang bisa dikisahkan tentang penyerangan atau pembakaran tempat ibadah dari kelompok yang dianggap sesat. Bila yang berseberangan itu memiliki kekuatan politik, maka kelompok atau aliran itu dilarang. Contoh yang masih jelas dalam ingatan kita adalah kasus Jemaah Ahmadiyah. Hal itu tidak akan terjadi jika mereka menghargai perbedaan dan menyadari bahwa negara Indonesia adalah negara Pancasila, yang dibangun oleh para Pendiri Bangsa dengan motto Bhineka Tunggal Ika. Keragaman merupakan kenyataan, dan keragaman dalam kebersatuan harus senantiasa kita jaga. Sikap tidak toleran juga terjadi terhadap keompok di luar Muslim. Mereka menganggap nonMuslim adalah kafir dan boleh diperangi. Kaum ekstrimis ini mendasarkan tindakannya memusuhi non-Muslim dengan mengartikan ayat-ayat al- Qur’an secara tekstual, tanpa mengaitkannya dengan konteks dan pesan-pesan universal Islam tentang keberagaman, toleransi, perdamaian, atau keadilan. Ayatayat itu antara lain seperti berikut. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengam bil Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka orang itu termasuk golon- gan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang zalim (al-Maidah/5:51). Artinya: Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (Ali ‘Imran/3:85). Artinya: Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti dari kekafiran, maka sesungguhnya Allah maha melhat Apa yang merka kerjakan (Al-Anfal/8:39). Menurut Khaled Abou ElFadl, Profesor hukum Islam lulusan al- Azhar yang kini mengajar di UCLA, ada dua kelompok yang diangap puritan yaitu Wahabi dan Salafi. Wahabi adalah kelompok ortodoks yang mengklaim kebenaran “jalan lurus” (shiratal mustaqiem) dengan cara mengadopsi teks keagamaan secara apa adanya. Pendukung Wahabi menolak disebut penganut mazhab tertentu, karena mereka menganggap dirinya hanya tunduk kepada al- salaf al-salih (para pendahulu kita yang baik, yaitu Nabi Muhammad SAW dan para sahabat). Salafisme, ironisnya, bermula dari gerakan pembebasan yang dimotori oleh Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha di awal abad 20. Mereka berargumentasi bahwa untuk menjawab tantangan modernitas, kaum Muslim hendaknya kembali ke sumber asal agama yaitu alQuran dan Sunnah Nabi, dan tidak terjebak pada intepretasi yang tekstual. Namun, pada tahun 1970an Wahabi berhasil melakukan transformasi aliran Salafi dari gerakan yang berorientasi modernitas dan pembebasan menjadi teologi yang literalis, puritan, dan konsevatif. Naiknya harga minyak pada dekade itu membuat Arab Saudi, pendukung utama Wahabi, dapat menyebarkan liran ini ke seluruh dunia dengan wajah Salafisme. Mereka mengajak Muslim kembali ke dasar- dasar agama yang otentik, yang tidak tercemari oleh praktik
keberagam- aan yang korup dalam sejarah Islam. Dalam kenyataan, menurut El-Fadl, Arab Saudi memproyeksikan praktek-praktek budayanya sendiri yang konservatif ke dalam sumbersumber tekstual Islam dan menyebarkan dalam bentuk ortodoksi Islam. Prinsip-prinsip Keberagaman dalam Islam.
Islam mengajarkan bahwa keberagaman merupakan fakta alamiah dan hal itu membuat alam kita menjadi indah. Tuhan telah mencipatakan alam ini dalam keberagaman. Allah berfirman dalam alQur’an: Artinya: Tidaklah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada pula yang hitam pekat. Dan demikian pula di antara manusia dan binatang-bina- tang melata dan binatang ternak; ada yang bermacam-macam warnan- ya (dan jenisnya). Dan sesungguhnya yang takut di antara hamba-ham- ba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Faathir/35:27-28). Manusia diciptakan dalam keberagaman. Mereka terdiri dari berbagai suku, ras, etnik, jenis kelamin, warana kulit, rambut, bahasa dan sebagainya. Keberagaman ini dipan- dang sebagi alamiah dan merupakan ‘tanda adanya Allah’ sebagaimana disebutkan dalam al- Qur’an. Keber- agaman ini menunjukkan kekuasaan
Allah yang kreatif dan bijak- sana dan merupakan hal yang sehat bagi manusia karena memberikan kekayaan dan keindahan dalam hidup ma- nusia. Allah menghendaki bahwa manusia mengambil manfaat dari keberagaman ini dan bukannya menjadikan mereka terkotak-kotak dalam permusuhan. Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami mencip- takan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Se- sungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu (Al-huj rat/49:13). Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tapi mereka senanatiasa bersilisih penda- pat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah mencipatakan mereka. (Huud/11:118-119). Selain mengajarkan tentang keberagaman manusia, al-Qur’an juga mengajarkan tentang keberagaman yang lebh spesifik, yaitu dalam hal agama dan hukum atau perun- dangan. Meskipun alQur’an me- nyatakan bahwa Islam adalah kebe- naran Illahiyah, dan bahwa Nabi Muhamad SAW adalah penutup di antara para Nabi, al-Qur’an tidak menafikan adanya jalan lain menu- j u keselamatan. al-Qur’an menyata-
kan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk memberikan kasih-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki. al-Qur’an juga mengakui keberagaman dalam keyakinan agama dan dalam hukum. al- Quran menyebutkan hal itu: Artinya: Sesunggunya orango- rang Mukmin, orang Yahudi, Shabi- in, Nasrani dan siapa saja ( di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Al-Maidah/5:69). Artinya: Sesungguhnya orangorang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orangorang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhdaap mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati (Al-Baqarah/2:62). Penghargaan terhadap keberag- aman terjadi bila kita mengakui prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Martabat dan kehormatan manusia; (2) Keset- araan antar sesama manusia; (3) Hak asasi manusia universal; (4) Kebebasan berpikir, be- ragama dan memiliki hati nu- rani. Keempat prinsip ini ada dalam Islam. Demikian pula prinsip-prinsip toleran yang didefinisikan oleh Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB, UNESCO, terdapat dalam aja- ran Islam. Prinsip tersebut ad- alah sebagai berikut: “Konsisten dengan penghargaan pada hak asasi manusia, toleransi berarti tidak mentorerir ketidakadilan sosial atau meninggalkan atau melemahkan keyakinan seseor- ang. Toleransi berarti bahwa seseorang bebas memiliki key- akinannya dan menerima bahwa or- ang lain memiliki keyakinannya pula. Ini berarti menerima kenyataan bahwa manusia, secara alamiah be - ragam dalam penampilan, situasi, percakapan, perilaku, dan nilai-nilai, memiliki hak untuk hidup damai dan menjadi diri sendiri seperti apa adanya. Ini juga berarti bahwa pendapat seseorang tidak boleh dipaksakan kepada orang lain”. Keberagaman dalam Teologi Islam
Sebagai seorang Muslim dan Mu’min yang terlibat dalam kegiatan sosial, saya melihat pentingnya sebuah teologi yang berakar pada realitas sosial, bukan teologi yang hanya bergantung di langit saja. Kita perlu menggabungkan teologi dan antropologi, yang dapat memberikan bobot seimbang antara hablul min Allah dan hablu min alnaas. Para
ARTIKEL UTAMA tradisionalis sering menafsirkan seolah-olah Islam hanya menyangk ut Than saja, atau hubungan antara manusia dan Tuhan. Ini adalah pendekatan yang terlalu normatif dan teosentris. Saya percaya bahwa agama harus dibawa turun ke bumi. Agama harus menyapa dan memberi solusi bagi penderitaan manusia. Teologi yang mengabaikan ini, dan hanya terfokus pada Tuhan, melegitimasi penderitaan manusia dan bukan menolong manusia untuk keluar dari penderitaan. Teologi Islam yang seperti ini yang perlu dikembangkan. Cara me- mahami agama seperti ini memungkinkan seseorang untuk untuk me- mahami dan memiliki perspektif tentang masalahmasalah sosial. Tbologi seperti ini juga terbuka ter- hadap keimanan orang lain, berse- dia mendengarkan dan belajar dari mereka, berdialog dengan mereka, dan membuka diri terhadap kemung- kinan untuk bekerjasama tentang isu-isu kemanusiaan yang dihadapi bersama. Pemahaman teologi seperti ini melihat ke depan, tidak bergayut pada masa lalu, dan bersedia mene- rima sisi-sisi baik yang ditawarkan oleh modernitas. Dalam teologi Islam dikenal beberapa sekte dan aliran. Lahirnya ilmu Kalam di abad kedua Hijriyah sering diasosiasikan dengan aliran rasionalis Mu’tazilah. Munculnya ilmu Kalam merupakan akibat banyaknya kontroversi dan perdebatan tentang berbagai isu keagamaan mendasar yang dianggap tidak penting semasa Nabi SAW hidup. Setelah Beliau wafat, terjadilah perselisihan yang memecah belah kaum Muslim, dan kemudian terjadi lagi yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Ustman Ibn Affan. Ada beberapa isu mendasar yang menjadi perdebatan ilmu
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
Kalam dan memecah belah kaum Muslimin. Pertama adalah tentang otoritas poli- tik dan legitimasi. Mereka sepakat dengan pemilihan Khulafaur Rasyidun, kecuali kelompok Khawarij yang tidak mengakui kepemimpinan Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Mereka berhadapan dengan kelompok Syiah. Isu kedua adalah tentang status pendosa besar. Kelompok Khawarij berpandangan bahwa orang yang melakukan dosa besar dianggap hilang keimanannya. Ini bertentangan dengan pandangan mainstream muslim. Isu ketiga yang menimbulkan pertentangan adalah tentang kebebasan berbuat (free will) oleh manusia. Kelompok Mu’tazilah dan Qadariyah berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk berbuat. Di sisi lain, kelompok Jabbariyah berpandangan berpandangan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan mengontrol perbuatan- nya karena Tuhan merupakan satu- satunya pencipta dan pelaku. Dua kelompok yang membentuk tradisi Sunni adalah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Keduanya lahir pada abad ke-10 Masehi (abad 4 Hijriyah). Mereka berbeda pendapat tentang beberapa hal mendasar, antara lain tentang free wil. Doktrin Asyariyyah mengkalim bahwa pengetahun tentang Tuhan berasal dari wahyu melalui para Nabi; sementara
berpandangan bahwa perbuatan manusia tidak akan terjadi jika Tuhan tidak menghendakinya, dan bahwa pengetahuan Tuhan mencakup keseluruhan apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Doktrin ini juga berpandangan bahwa karena kehendak Tuhan jualah, maka manusia memiliki kebebasan untuk mem- buat pilihan bebas. Karena itu ada- lah adil jika Tuhan membuat manu- sia bertanggung jawab atas perbuatannya. Aliran ini menjadi dominan di kalangan Sunni, yang memiliki tradisi toleran dan akomodatif terhadap perbedaan kecil dan melakukan konsensus untuk masalah doktrinal. Doktrin Maturidiyyah berpan- dangan bahwa meskipun manusia memiliki free will tetapi Tuhan tetaplah Maha Kuasa dan mengontrol semuanya. Kemampuan manusia mem-
Bagan Ilustrasi Keberagaman dalam Tradisi Sunni
Maturidiyyah berpandangan bahwa pengetahuan tentang eksistensi Tuhan dapat diperoleh dari akal semata. Mengenai kebebasan manusia dan kekuasaan Tuhan, Asyariyyah
4
ARTIKEL UTAMA pertandingan, maka tidak ada j alan lain bagi manusia selain menerima adanya perbedaan dalam interpretasi dan implementasi syariah. Perbedaan dan ke beragaman merupakan hukum Keberagaman dalam Fiqih alam (sunnatullah) yang tak Prinsip keberagaman dalam terbantahkan. Islam juga kita temui di bidang huFiqh, yang secara harfiah kum (Fiqh). Di atas disiplin ilmu berarti ‘pemahaman’, merupakan Fiqih adalah syari’ah, yang berarti suatu disiplin ilmu yang berusaha jalan menuju Islam atau, persisnya, mema- hami hukum Islam baik jalan menuju Allah karena tujuan yang umum maupun detil. Fiqh hidup seorang Muslim adalah kemudian dipa- hami sebagai suatu Allah. Untuk mencapai tujuan ini, cabang ilmu yang berkaitan dengan banyak jalan yang dapat ditempuh, syariah secara praktis. Fiqh yang bisa berbeda satu sama lain. merupakan interpretasi manusia Yang penting adalah bahwa atas teks-teks keagamaan yang manusia tidak tersesat sehingga memiliki konteks historis. Kare- na berakhir di tempat lain yang bukan itu, perbedaan para ahli Fiqh atau Allah. Banyaknya jalan menuju fuqaha tidak dapat dihindari. Allah merupakan Kehendak Suci Bahkan, seorang fuqaha yang sama Allah sebagaimana diungkap- kan memiliki pandangan berbeda kare dalam al-Qur’an: na perbedaan konteks. Contohnya Artinya: Untuk tiap-tiap adalah Imam Syafii yang dikenal ummat di antara kamu, Kami dengan qaul qadim dan qaul jadid. berikan aturan dan jalan yang Dinamika kegiatan intelektual terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu ter- hadap pemberian-Nya kepadamu; maka berlombalombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. Al-Maidah (5): 48). Artinya: Dan tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia meng- hadap kepadanya. Maka berlomba- lombalah kamu dalam berbuat ke- bajikan. Di mana saja kamu berada, Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (QS Al-Baqarah/2: 148). Jika Tuhan sudah menyebutkan secara eksplisit adanya berbagai jalan menuj u Tuhan, dan memerintahkan manusia untuk berlomba dalam ke di akhir Dinasti Umayyah dan awal - baikan seperti dalam bedakan yang baik dari yang buruk berarti bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatan baik dan bu- ruknya.
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
Dinasti Abbasiah berpengaruh penting dalam membentuk Fiqh di awal kelahirannya. Pada zaman itu, sebagian besar kegiatan intelektual berpu- sat di Kuffah dan Madinah, dan karenanya kedua ini kota ini dianggap sebagai asal ilmu Fiqh. Sama seperti pendekatan dalam interpretasi al-Qur’an atau meriwayatkan hadits, yaitu tekstual dan rasional, Fiqh juga mengikuti pola ini. Aliran Madinah, karena dekatnya dengan sumber teks-teks hadits, berkembang menjadi aliran tekstualis (ahl hadits), yang sangat memprioritaskan teks. Aliran Kuffah, karena jauh dari sumber teks hadits, menekankan pentingnya peran akal dan, karenanya, dikenal sebagai kelompok rasional (ahl ra’yi). Dari kedua pusat ini, Madinah dan Kuffah, sejumlah mazhab dilahirkan. Empat
5
ARTIKEL UTAMA mazhab besar yang masih hidup hingga sekarang adalah Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hanbali. Sejarah Keberagamaan dalam Islam
Yang pantas dicatat dengan tinta emas tentang keberagaman dalam sejarah Islam adalah zaman pemerintahan Nabi Muhammad SAW di negara kota Madinah. Untuk me- ngatur kehidupan sepuluh ribu pen- duduk Madinah yang pluralis dan multi-relegius dengan latar belakang kesukuan dan agama yang berbeda, Nabi Muhammad mengeluarkan Piagam Madinah yang terkenal itu pada tahun 622 M. Piagam Madinah memiliki arti penting bukan saja karena merupakan konstitusi yang pertama ditulis, tetapi juga karena disahkan untuk masyarakat yang pluralis, dengan memberikan hak yang sama kepada setiap warga serta hak berbicara yang sama bagi mereka. Piagam itu terdiri dari 47 pasal (ada yang menghitung sebagai 52 pasal). Di dalamnya ada pasal tentang pembentukan negara-bangsa yang berdaulat dengan kewargane garaan yang pluralis terdiri dari ber- bagai kelompok masyarakat, teruta- ma Arab Muslim dari Mekah (kaum Muhajirin), Arab Muslim dari Madinah (kaum Anshar), penganut monoteisme dari Madinah (Yahudi) dan kelompok lain yang masih belum beragama. Kelompok-kelompok ini membentuk satu komunitas sebagai warga negara yang sama (ummah), memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, yang berbeda dari kelompok masyarakat lain. Berikut ini cuplikan beberapa pasal dalam Piagam Madinah. Pasal 25 Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga Pasal 37 Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi j anji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan ke- pada pihak yang teraniaya. Pasal 46 Kaum Yahudi Al-Aws, sekutu dan diri mereka memeliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (penghianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini.
tinggi keberagaman. Prinsip prinsip keberagaman dapat dij umpai dalam al- Qur’an, dalam disiplin ilmu Fiqh dan ilmu Kalam, serta dalam sejarah Islam. Betapa indahnya hidup yang dihiasi dengan keberagaman dan penghormatan atas atas perbedaan. Kedamaian bisa tercapai dan konflik bisa dihindarkan. Kaum Muslim yang berpandangan ekslusif, yang belakangan ini semakin marak dengan penghujatan terhadap agama dan kelompok lain, semestinya merenungkan kembali tentang sikap mereka. Islam adalah agama yag membawa ajaran tentang kedamaian, toleransi, kesetaraan, pembebasan, dan keadilan. Inilah yang mesti kita cerminkan dalam pe rilaku kita sebagai Muslim. Wallahu a’lam bi alshawab. Jakarta, 7 April 2006
Pasal 47 Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah pen- jamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW Penutup
Uraian di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menj unj ung
6
ARTIKEL UTAMA
AL-WASATHIYYAH, Vol. 01, No. 03, 2006
7