Ada Apa dengan Pesantren? Oleh Moeslim Abdurrahman (Antropolog, Ketua al Maun Institute Jakarta)
Akhir-akhir ini, pesantren mendapatkan sorotan, sekaligus juga banyak bantuan dari luar. Pasalnya sederhana, yakni tiba-tiba di era global munculnya radikalisme ini ada kekhawatiran jangan-jangan seperti madrasah di Afghanistan, pesantren bisa menjadi lahan rekrutmen garis keras yang potensial, bahkan oleh mereka yang menawarkan tiket cepat masuk surga hanya dengan keberanian untuk berjihad melalui bom bunuh diri melawan kaum kuffar dan sekutu-sekutunya. Sesungguhnya madrasah di Afghan dan pesantren di Indonesia memang tidak persis sama, apalagi orang luar banyak tidak tahu kalau pesantren adalah salah satu model lembaga pendidikan Islam tradisional yang akarnya sejak lama, dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan budaya ke-Islaman di nusantara yang dikenal ramah dan damai. Dalam kajian tentang pesantren selama ini, tampaknya ada dua hal yang menonjol. Pertama, mengatakan bahwa pesantren sebagai sub -kultur Islam di pedesaan merupakan pialang budaya (cultural broker) bagi mengalirnya gagasan modernisasi dari kota. Peran para kiai sangat penting, sebab selain mereka menyalurkan ide-ide baru juga sekaligus menyeleksinya, mana yang boleh dan mana yang tidak. Hal ini dikatakan Clifford Geertz awal tahun enampuluhan tatkala ia melakukan kajian mengenai agama dan perubahan sosial di Jawa, khususnya di kalangan masyarakat petani sawah di mana pesantren memiliki habitus kulturalnya dan tahun-tahun ini adalah awal modernisasi berkembang dari negara- negara Barat sehingga para pengkaji ilmu-ilmu sosial ingin melihat bagaimana nilai-nilai tradisional berjumpa dengan gagasan-gagasan modernitas. Sekarang ini, teori pialang budaya sudah dianggap 1
redup berkaitan dengan pengaruh media publik yang menjadikan setiap orang secara bebas di mana pun telah menjadi media-citizen atau pemirsa, sehingga kebebasan memperoleh informasi dan mempertimbangkan memilih ide-ide baru dari pasar tidak mungkin lagi bisa dikontrol. Kedua, pesantren sebagai sub - kultur dianggap merupakan bentuk localizing Islam, atau dalam bahasa lain “pribumisasi� Islam. Dalam kaitan ini, pesantren tidak hanya menjadi simpul perjumpaan Islam dengan budaya setempat, tapi juga menjaganya secara harmonis. Memang harus diakui ada masa-masa tertentu, pesantren melakukan purifikasi Islam yang dalam sejarahnya pernah menelorkan ketegangan, namun tidak dapat disangkal seperti pesantren-pesantren di Jawa sesungguhnya juga sudah menjadi bagian institusi budaya setempat yang sangat penting dan tidak terpisahkan. Dalam proses local-cultural-reproduction, cara-cara kiai mengajarkan kitab kuning kepada santrinya dilakukan persis menggunakan pedagogis Jawa, tentang pentingnya menghormati guru dan seterusnya bahkan pengajaran kitab kuning juga disampaikan melalui bahasa Jawa dalam hirarki yang sopan dan tinggi. Jadi, pesantren selain mengajarkan kitab sekaligus dalam hal ini juga mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan tradisi setempat, termasuk memelihara nilai-nilai dan tatanan sosial yang harmonis dengan sekelilingnya. Masalahnya sekarang, dalam era globalisasi ini dunia semakin datar, para antropolog telah kehilangan lokus ethnografinya yang homogen dan pengaruh media menjadi begitu rupa memfasilitasi gejala ideo - escape, sehingga bagaimana kitab kuning harus diberi makna dan tafsiran tentu mengalami keterbukaan yang tidak mungkin lagi dikontrol oleh lembaga kekiaian bahwa yang benar hanyalah dengan tafsiran yang ini, misalnya.
2
Keinginan atau gagasan untuk
melakukan
“rekonstruksi budaya damai” di pesantren, pada dasarnya adalah mulai
pernyataan meragukan,
yang apakah
pesantren sebagai sub-kultur Islam harmonis
pedesaan masih
yang bisa
bertahan dengan era media dan globalisasi ini. Sebab, seperti makna jihad yang selama ini diajarkan sebagai motivasi membangun ethos santri agar memiliki semangat yang tekun dalam belajar sekaligus memberikan basis moralitas bahwa jihad akbar adalah mengontrol hawa nafsu diri sendiri, pemahaman seperti ini sekarang harus bersaing dengan jihad bermakna politik, misalnya yang ditayangkan melalui media global, seolah-olah umat Islam telah dibantai oleh Barat di mana-mana dan jihad tidak lain adalah tindakan melawan kekejaman Barat, termasuk diperbolehkanya melakukan aksi teror yang korbannya adalah orang-orang sipil yang tidak berdosa. Saya ingin mengatakan bahwa termasuk kitab-kitab kuning di pesantren, tafsiran mengenai Islam sekarang ini lebih merupakan “perebutan” tentang maknanya dan hal ini sangat dipengaruhi oleh pergulatan di tingkat struktur politik ketimbang pada dataran untuk membangun moralitas, etika dan spiritual. Lihatlah mereka yang berfatwa bahwa menurut etika perang dalam Islam sesungguhnya ada keterbatasan yang luar biasa agar tidak melakukan tindak pengrusakan, termasuk harus melindungi perempuan dan anak-anak, bahkan termasuk jangan menebang pohon. Namun, bagi mereka yang menganjurkan aksi teror sebagai wujud jihad, fatwa yang diusung adalah diperbolehkannya membunuh perempuan dan anak-anak orang-orang kafir alasannya sebagai balasan yang setimpal karena mereka telah melakukan hal yang sama. Anehnya, bahwa mereka yang “membolehkan” dan yang “melarang” membunuh perempuan dan anak-anak (tanpa pernah dipersoalkan secara umum, bagaimana kalau 3
membunuh orang-orang sipil yang tidak berdosa), dua-duanya mendasarkan hujjah itu dari kitab yang sama, yaitu kitab tafsir Ibnu al- Katsir. Dalam keadaan yang damai, serba harmonis, memang bisa dikatakan bahwa tidak ada agama dan kitab kuning yang mana pun yang membenarkan orang boleh melakukan tindakan teror atau kekerasan. Tapi dalam keadaan konflik, sekali lagi biasanya tafsiran agama tentu akan diperebutkan oleh mereka yang berkepentingan. Oleh kare na itu, menurut saya, dalam perebutan makna dan tafsir itulah kejelasan sikap politik pesantren adalah lebih penting dari sekedar mempersoalkan dasar-dasar teks sebagai landasan argumentasinya. Saya melihat bahwa soal tindakan kekerasan dan munculnya terorisme bukanlah bermula dari kitab, namun hal ini berasal dari persoalan struktur politik global dan tatkala konflik ini merebak ke pesantren kegelisahan politik itulah yang menyelimuti jiwa anak-anak muda yang sedang mencari “ke -Islaman yang dianggap lebih benar daripada yang telah mereka pahami selama ini melalui pengajaran di dalam bilik pesantren.� Kata ustadznya di Sukabumi waktu diwawancarai oleh televisi nasional bahwa anak-anak muda dari Sukabumi yang ikut melakukan bom Kuningan, sebenarnya adalah termasuk santri yang baik, dalam pengertian belajar ngajinya pinter, akhlaknya bagus dan menampakkan anak shaleh yang tenang. Tapi, setelah didatangi oleh orang-orang luar dan bilang bahwa sebagai orang muda mengapa tidak gelisah imannya melihat umat Islam dibantai begitu rupa di Palestina, Irak dan di daerah-daerah lain, maka propaganda semacam itulah yang menyulut rasa jihad mereka dan menuntunnya ikut bergabung dengan kelompokkelompok yang kemudian mengajarinya bagaima- na menyambung ayat jihad dengan detonator melalui kabel-kabel dengan campuran bahan peledak tertentu. Suatu praktek atau cara yang dianggapnya benar untuk memperjuangkan Islam, yang sesungguhnya hal semacam ini bukan bagian dari kurikulum pesantren yang ada selama ini. Bergabung dengan kelompok aksi teror, memang, motivasinya banyak faktor. Dari 200 lebih mereka yang pernah ditahan di Indonesia, sebagian memang adalah dari mereka yang terdidik dan sangat familiar dengan komputer. Namun sebahagian besar mereka sesungguhnya adalah anak-anak muda dari keluarga yang relatif tidak mampu 4
dan mempunyai latar belakang pendidikan madrasah atau pesantren. Mereka ini bergabung dengan kelompok aksi teror dan kekerasan tidak sekedar ingin memenuhi panggilan jihad, tapi juga memenuhi panggilan jiwa yang merasa mereka tidak berharkat lagi (the sense of self-sacrifice and self important), ingin memiliki rasa persaudaraan Islam yang disegani dan solid serta ingin menemukan kembali kebanggaan sebagai orang Islam yang “paling benar� dan akan dimuliakan. Hal ini sesuai dengan hadist yang mereka pahami bahwa umatku akan terpecah menjadi 73 firqah, hanya satu firqah yang selamat dari neraka. Dan yang satu itu, tentu menurut keyakinan mereka, adalah orang yang dipilih oleh Allah SWT yang sekarang ini terjemahannya siapa saja yang berani melakukan jihad dengan bom bunuh diri dan mereka inilah yang disebut kelompok thoifah mansuroh yang dijamin masuk surga. Hadits yang popular diajarkan di pesantren-pesantren ini, biasanya hanya dibahas selintas seolah-olah tidak tegas disampaikan oleh para kiai, siapa sesungguhnya yang tergolong firqah yang dijamin masuk surga tersebut, bahkan seringkali juga dibilang pokoknya yang satu ini adalah mereka yang kembali ke al-Qur’an dan mengikuti jejak Rasul, atau mereka yang mengikuti ahlul as-sunnah wa al-jamah. Pengertian seperti ini, selain samar-samar memang tidak mengundang panggilan yang popular, apalagi bagi mereka yang sedang mencari untuk “lahir kembali� men- jadi seorang Islam yang serius dan fundamentalistik dan mereka lebih memilih jalan pendek sebagai “umat yang terpilih� karena berani bunuh diri tersebut atas nama jihad agar segera masuk surga. Oleh karena itu, dorongan-dorongan psikologis dan sosiologis semacam ini harus dimasukkan sebagai faktor yang kompleks, dari sekedar memahaminya dari sudut seolah-olah kesalahan mereka adalah dalam mempelajari teks belaka.
Jadi, kalau sebelumnya pesantren lebih melakukan localizing lslam, saya kira dalam menelaah kitab-kitab kuning sekarang ini sangat diperlukan perspektif global untuk memahami dunia baru, dunia yang memang sudah berubah betul. Berubah bukan sekedar perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang mendasarkan 5
rasionalitas, tapi dunia yang dibentuk oleh moda konsumsi, informasi dan politik paska-kemerdekaan bangsa-bangsa. Tanpa perspektif ini, saya khawatir kemudian kita sulit membedakan apakah suatu kejadian atau peristiwa bisa diperlakukan, dijelaskan dan diselesaikan sebagai soal agama atau sesungguhnya soal politik. Siapa pun yang membaca teks referensi Islam dan juga sejarah umat Islam yang pernah dilalui, akan sulit memang menerima tragedi seperti peristiwa 11 September untuk dikatakan itulah contoh terjadi the clash of civilization between the West and Islam, sebab terlalu banyak bukti bahwa Islam adalah agama yang sangat menghormati perbedaan dan penuh toleransi. Peristiwa seperti itu sudah barang tentu sulit dijelaskan sebagai pertarungan teologis, sebab masalahnya terkait dengan struktur konflik dunia yang lebih luas.
Banyak pertanyaan di belakang tragedi ini yang tidak mungkin terjawab secara teologis, bahkan pertanyaan paling muskil sejak kapan rezim Wahabi politik dan teologinya berubah, toh belum lama sebelum tragedi itu mereka menyokong kelompok bin Laden untuk dilatih Amerika sebagai mujahidin berperang mengusir re - zim komunis di Kabul. Begitu juga, bagaimana kita harus memahami para mujahidin Indonesia yang pulang berjihad di Afghanistan, kemudian membuat kamp-kamp pelatihan di sini, termasuk merintis berdirinya pesantren-pesantren baru untuk menghidupkan ruh dan semangat jihad yang lama yang pernah ditinggalkan oleh sejarah pemberontakan Islam daerah di masa lalu? Saya kira, kalau kita tidak membingkai kembali setiap lembar kitab kuning dengan perspektif global, seperti munculnya gejala Neo-Pan -Islamisme, Islam- transnasionalisme dan lain sete- rusnya, maka bacaan kita terhadap kitab-kitab tersebut maknanya akan terpisah dari realitas yang obyektif dan agak sulit kita punya ruang agar tetap bisa berebut dalam perebutan makna-makna dan tafsir baru, tentang apa yang kita yakini sebagai nilai Islam dan bagaimana menjadi seorang Muslim dalam era globalisasi sekarang yang lebih terbuka, tanpa menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan orang lain dan menelan korban umatnya sendiri. 6
Akhirnya memang harus diakui bahwa tidak mungkin menghentikan aksi kekerasan dan teror atas nama Islam hanya dengan upaya-upaya memperbaiki atau meluruskan paham jihad, atau dengan mengedepankan khutbah- khutbah tentang pentingnya Islam menjunjung toleransi atau pluralisme, namun paling tidak jika lembaga-lembaga kajian referensi Islam seperti pesantren mampu meneguhkan komitmen moral Islam yang paling dasar tentang kewajiban untuk memelihara dan menjaga keselamatan baik nyawa maupun harta siapa saja yang tidak bersalah dan berdosa (orang-orang sipil di luar wilayah al darul al-harb), saya yakin hal ini merupakan sumbangan yang besar artinya bagi harapan bahwa konflik ketidakadilan dunia sekarang ini tidak harus diselesaikan melalui jalan kekerasan, apalagi dengan tindak kebrutalan atas nama Tuhan. Bukan di situ, saya kira, karakter dan makna jihad yang sesungguhnya, sebab pada dasarnya ketidakadilan dunia sekarang ini korbannya telah melintasi batas -batas bendera perbedaan agama dan ethnisitas, sehingga diperlukan kesadaran baru kemanusiaan untuk saling bekerjasama secara kolektif melawan bentuk ketidakadilan struktur global yang melahirkan disparitas ekonomi dan sosial, akar dari kemiskinan dan proses dehumanisasi, di mana- mana. â–Ą
Daftar Bacaan: Abas, Nasir, Membongkar Jamaah Islamiyah, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005 Abu-Rabi, Ibrahim M., Contemporary Arab Thought: Studies in Post 1967 Arab Intelectual History. London: Pluto Press, 2004 ................................. and Ian Marham (eds.), September 11: Religious Perspectives on the Causes and Consequences. Oxford: Oneworld, 2002. Ba’aduh, Muhammad, Mereka Adalah Teroris: Sebuah Tinjauan Syariat. Solo: Qaulan Sadidan, 2005. Chomsky, Noam, Conversations on Post-9/11 Wbrld. London: Penguin Group, 2005 Engineer, Asghar Ali, On Developing Theology of Peace in Islam. New Delhi: Sterling, 7
2003. Hamzah, Abu dkk., Aku Melawan Teroris: Sebuah Kedustaan Atas Nama Ulama Ahlussunnah, Jakarta: CMM, 2005. Jones, Sidney, The Anatomy of Conflicts in Post-Soeharto Indonesia. Jakarta: CSIS, 2002. ................. “The Changing Face of Terrorism in Indonesia”, The Wall Street Journal.
8