KEMISKINAN, LALU DI MANA PERAN NEGARA? Oleh: Miming Ismail
KATA PEMBUKA Masalah kemiskinan akhir-akhir ini ramai menjadi wacana publik terutama di negara-negara ketiga ter- masuk Indonesia. Di Indonesia jelang pemilihan umum (Pemilu) 2009 nanti, kemiskinan kerapkali dijadikan komoditas politik. Lepas dari itu, masalah kemiskinan sendiri memang kian nampak ketika globalisasi sedang melaju kencang. Perubahan modus produksi, industri- alisasi dan gejolak pasar bebas merubah secara fundamental hidup masayarakat banyak, bahkan kini mulai rentan resesi ekonomi akibat krisis finansial berdampak pada melambungnya harga komoditas dan harga minyak dunia. Implikasinya masalah sosial seperti kemiskinan pun semakin akut terutama di Indonesia. Dalam konteks ini apakah negara juga turut memainkan perannya. Apakah masalah kemiskinan terkait dengan lemahnya tingkat kemampuan regulasi negara, atau tingkat daya beli atau penyesuaian diri masyarakat yang lemah terhadap perubahan fundamental ekonomi dunia. Atau kemiskinan itu lahir dari sistem ketatanegaraan yang lemah sehingga abai menanggulangi masalah kemiskinan, terlebih ketika sistem pengelolaan yang korup. Lalu, apa senjata paling jitu di tengah keterbatasan suatu negara dalam menanggulangi masalah kemiskinan.
1
Apakah wacana walefare state (Negara Kesejahteraan) dapat menjadi alternatif bagi tata kelola kenegaraan dalam konteks Indonesia? Terkait dengan beberapa pokok di atas, tulisan ini secara ringkas akan membahas tema kemiskinan dalam kaitannya dengan peran negara. Kemiskinan dan peran negara tentu saja memiliki paralelismenya dalam upaya kembali merumuskan kebijakan politik yang dapat mengarahkan pada kesejahteraan masyarakat, itu juga terkait dengan masalah distribusi keadilan. Sejauhmana cita- cita keadilan sosial itu dapat direalisasikan dengan proses deliberasi politik. Juga upaya menimbang kembali konsep Negara Kesejahteraan sebagai alternatif keluar dari jerat kemiskinan. Esai Joseph E. Stiglitz, guru besar pada Columbia University yang juga peraih hadiah nobel ekonomi 2001 belum lama ini di Koran Tempo (21/06/2009) secara kritis menyitir bagaimana kelangkaan pangan terjadi justru di tengah zaman yang berkelimpahan. Ia melihat di tengah gelembung harga komoditas dan bahan bakar minyak dunia, kini tidak hanya masyarakat miskin yang tertatih menghadapi hidup sehari-harinya, tapi juga menimpa mereka para kelas menengah terutama di Amerika. Pasalnya mereka kini sedang dirundung nestapa karena penghasilannya setiap hari kian menurun secara drastis. Sementara ekonomi global sendiri kini tengah mengalami perlambatan. Para politisi bahkan semakin sulit untuk mencari jalan keluar dari krisis harga pangan dan minyak dunia ini. Kondisi global macam ini tentu saja berimplikasi pada lemahnya daya tahan ekonomi masyarakat Indonesia terlebih dalam situasi negara yang belum sepenuhnya mengalami proses demokratisasi. Karena itu setelah gejolak resesi ekonomi dunia, terutama krisis di sektor finansial di Amerika, mau tak mau pemerintah Indonesia kembali harus menelurkan kebijakan dilematis dan kontroversial dengan menaikkan harga bahan bakar minyak belum lama ini. Kondisi ini tentu saja meningkatkan angka kemiskinan. Terlebih ketika kenaikan harga itu belum didukung oleh kemampuan masyarakat dalam mengelola resource ekonomi dan lemahnya sumber daya.
KONSEPSI UMUM KEMISKINAN Kemiskinan sendiri secara umum biasanya terkait dengan masalah ketiadaan sumberdaya ekonomi, sosial-kultural dan politik. Ketiadaan modal sosial-ekonomi inilah yang kemudian membatasi gerak aktifitas dan aktualisasi diri setiap indvidu dalam dinamika sosial. Bagaimanapun, manusia dalam realitas sosial sangat ditentukan oleh basis-basis ekonomi yang kuat dalam rangka membangun serta mengembangkan dirinya ke arah realisasi segala potensinya. Namun sejak modus-modus produksi berubah
2
dan arus komoditi sedemikian dahsyat melebihi apa yang diramalkan Marx abad- 19 lalu, seketika masyarakat manusia pun dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sekitarnya. Hal tersebut menuntut kerja keras atau etos kerja maksimal dengan prasyarat tertentu yang memungkinkan aktualisasi diri itu mungkin. Terutama keharusan adanya topangan kemampuan diri atau kapasitas individu, baik secara kultural maupun struktural. Pengandaian-pengandaian macam ini tentu saja menuntut tatanan negara yang kuat dan turut menyokong pembangunan mental dan ekonomi suatu masyarakat. Kriteria rasionalitas masyarakat tentu saja bagian dari tingkat kemajuan kesadaran masyarakat yang juga turut menentukan relasi, modus dan interaksi di dalamnya. Dan dalam arti tertentu juga turut menentukan kondisi sosio-ekonomi masyarakat di dalamnya terutama sejauh kriteria itu berlangsung dalam hukum sejarah yang ditopang oleh kemampuan rasionalitas masyarakat. Fenomena kemiskinan, deprivasi sosial, dan kondisi-kondisi ketidaksamaan lainnya dalam sebuah tatanan politik juga sangat ditentukan oleh pilihan-pilihan ideal tersebut. Di mana ketika nilai atau pilihan rasionalitas itu berbenturan dengan hukum sejarah dan perkembangan modus dan arus komoditas serta laju kebudayaan yang kian fantastis, masyarakat juga akan dihadapkan pada problem sosial ekonomi baru dalam realitas yang centang perentang dengan segala perubahan dan pilihan sesuai dengan hukum sejarah. Di suku-suku tertentu jauh sebelum modernitas lahir, manusia telah memiliki tatanan sosialnya tersendiri. Meski gejolak dan kesenjangan belum berlangsung secara masif dan sistematis, namun tetap saja masalah kemiskinan dan kesenjangan itu ada, meski dalam kadar dan porsinya yang lebih kecil. Namun ketika modernitas datang, formasi sosial ekonomi pun mengalami perkembangan, perubahan modus produksi, transaksi lintas benua, kecanggihan teknologi dan informasi yang cepat dan serentak masalah kesenjangan dan kemiskinan pun kian rentan terjadi terutama ketika masyarakat manusia yang hidup di dalamnya belum mencapai taraf hidup maksimal. Kondisi itulah yang kemudian memunculkan problem deprivasi sosial, frustasi dan bunuh diri masal dalam masyarakat yang belum siap menghadapi tantangan globalisasi. Fenomena negatif ini akan tampak kita lihat terutama di negara-negara yang masih mengalami transisi dari sistem pemerintahan yang otoritarian ke demokratis seperti Indonesia. Kemiskinan dalam arti tertentu juga merupakan masalah kemanusiaan paling purba dalam sejarah perkembangan masyarakat. Kata miskin sendiri secara sederhana dapat berarti kondisi atau keadaan tidak berharta (harta seseorang yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari), serba kekurangan dan lawan dari kata
3
itu adalah kaya atau yang identik dengan gelimang harta dan atau kondisi seseorang yang berkecukupan dan kelebihan dalam mencukupi kebutuhan pokok atau standar hidupnya. Kondisi kemiskinan itu tentu saja merupakan masalah yang hingga hari ini tak kunjung selesai sebab memiliki problematika dan dinamikanya tersendiri dalam masyarakat. Terutama terkait dengan krisis sosial ekonomi politik dalam suatu tatanan politis masyarakat. Sampai saat ini angka kemiskinan di Indonesia masih sangat besar bahkan cenderung meningkat menyusul gejolak resesi ekonomi dunia. Walaupun dalam batas tertentu trendnya mengalami penurunan. Hal itu terutama didasarkan data BPS 2007 yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini sekitar 37,17 juta jiwa atau 16,58% dari total 222 juta jiwa penduduk Indonesia. Angka-angka itu tentu saja masih tidak statis karena itu selalu terbuka kemungkinan peningkatan dan penurunan. Dalam konteks inilah pemerintah akhirnya menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas dalam pembangunan nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 pemerintah bahkan menargetkan pengurangan kemiskinan hingga 8,2%. Angka itu tentu saja lebih besar daripada yang ditetapkan Millenium Development Goals (MDGs) yaitu berkurangnya angka kemiskinan setengahnya pada tahun 2015. Jadi jelas bahwa kemiskinan merupakan persoalan yang harus diselesaikan. Selain rencana dan langkah penanggulangan kondisi kemiskinan yang tampak dalam, data itu tentu saja juga mempengaruhi dinamika kemiskinan baik secara teoritis maupun praktis. Sesuai dengan konteks dan relasinya dengan struktur dan basis kultural yang terus berubah dalam realitas masyarakat kita. Karena itu selain penting melihat kemiskinan secara konseptual yang lebih umum kita juga patut melihat beberapa konsep yang lebih spesifik terkait dengan karakteristik dan tipe- tipe tertentu mengenai kemiskinan, terutama bagaimana negara menempati peran dan posisinya dalam menanggulangi masalah yang kian akut ini.
DELIBERASI POLITIK Dalam diskursus negara bangsa (nation state) sendiri masalah kemiskinan selalu menjadi tema pokok dalam perbincangan filsafat politik mutakhir. Perbincangan itu terutama terkait dengan masalah demokrasi dan keadilan sosial. Di mana
4
problem sentral dalam demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan itu pada saat yang sama akan berbenturan dengan masalah kesenjangan sosial atau antara hak dan kewajiban individu dan negara dalam merealisasikan cita-cita keadilan. John Rawls dalam bukunya "Political Liberalism" (1996) menjelaskan bahwa masalah pokok dalam proses deliberasi politik adalah masalah distribusi keadilan dan hak-hak individu yang hingga kini masih menjadi masalah. Terutama karena disebabkan oleh masalah ketiadaan kondisi netralitas dalam suatu keputusan yang masih didominasi oleh kepentingan individu dan golongan. Belum lagi masalah hak-hak konstitusional warga negara yang masih tumpang tindih dalam regulasi kenegaraannya, terlebih dalam kondisi ketidakpastian hukum dan konstitusi. Subjek-subjek politik dalam tahap ini masih dibayangkan sebagai individu yang belum sepenuhnya dapat menempatkan diri dalam ruang publik politis secara netral. Terutama itu terkait dengan identitas baik agama maupun etnisitas yang masih menguat dalam diskursus politik mutakhir. Dalam kondisi macam itulah benturan dan konflik akan terjadi karena setiap individu tidak dapat melepaskan identitas dan atributnya di ruang publik politik. Belum lagi kesadaran pada hukum dan hak asasi manusia masih belum tertanam karena ketidakpastian konstitusi. Benturan dan konflik kepentingan itulah yang akhirnya menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam ruang publik sehingga kondisi kesamaan hak dan kewajiban tidak sepenuhnya terjadi. Kemiskinan pun merebak, angka pengangguran meningkat, angka kriminalitas tiap tahun meroket seiring dengan ketidakpastian harapan dan optimisme masyarakat. Rentetan pesimisme itu tentu saja disebabkan oleh krisis ruang publik politik yang tidak mencerminkan keputusan dan kebijakan yang adil. Dalam kondisi keputusan politik tidak netral itu janji keadilan hanya akan menjadi buaian kosong disiang hari. Akibatnya negeri ini pun menghadapi tantangan moral dan politik terutama untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme yang berbasis pada solidaritas, rasionalitas dan kedaulatan individu yang kokoh dengan pilihan-idealismenya. Sehingga problem kesenjangan yang melahirkan kemiskinan, diskriminasi, tirani mayoritas itu tidak akan terus berlangsung. Sebab itu penting menekankan kembali proses deliberasi politik yang mengandaikan tegaknya hak-hak konstitusional warga negara, yang di dalamnya termasuk jaminan hak ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Senada dengan Rawls, Habermas (filsuf kontemporer asal Jerman) sepakat bahwa proses deliberasi politik harus dilandaskan pada konstitusi ruang publik yang mencerminkan keadilan, rasionalitas, dan dalam kondisi kesamaan dan kesetaraan. Namun ia menampik bahwa identitas dan atribut yang ada dalam komunitas itu selalu negatif. Sebab dalam arti tertentu komunitas juga dapat menj adi basis nilai dan menyokong etos kerja di tengah komunitas politis. Dengan itu Habermas sesungguhnya berusaha mensintesakan antara liberalisme dan komunitarianisme yang selama ini keliru dipahami. Penekanan pada individu memang dalam arti tertentu akan menegaskan kebebasan dan kedaulatan, namun pada saat yang sama ektensifikasinya, terutama dalam konteks hak milik, ketika individu mengalami keluasan di bidang ekonominya sebagaimana dalam liberalisme, pada fase itu akan memunculkan kesenjangan dan eksploitasi atas individu lain yang tidak mengalami perkembangan dirinya. Kesenjangan ini akan tampak ketika di satu sisi individu mengalami akumulasi ekonominya, namun di sisi lain individu lainnya justru sebaliknya lebih bergantung bahkan nyaris tidak mengalami keluasan akses ekonomi politiknya, terlebih ketika arus finansial yang kini tak lagi mudah untuk dideteksi validitasnya. Realitas dan kesenjangan itu tampak ketika masyarakat modern dengan segala kecanggihan teknik dan informasinya sangat mungkin memanipulasi data dan kesadaran. Sehingga muncul kesenjangan
5
antara sektor riil dan sektor finansial yang bergerak dipasar modal. Karena itu Habermas melihat komunitas juga penting sebagai basis nilai dan solidaritas , dimana individu di dalamnya dapat saling berdialog dan terjadi ke-saling pengertian di antara satu dan lainnya. Kemungkinan dialog itulah yang kemudian melahirkan teori tindakan komunikasi yang menjadi basis dalam diskursus ruang publik politis. Sehingga meski individu dalam ruang publik itu membawa identitasnya hak-hak konstitusional setiap warga negara tetap akan terjamin sejauh dilandasi pada kriteria dan kesepakatan-kesepakatan yang rasional tanpa tekanan dan dominasi. Dalam ideal ruang publik macam inilah fenomena kemiskinan, kesenangan, nasionalisme dan sejenisnya dapat diperbincangkan sehingga melahirkan kebijakan dan konstitusi yang mencerminkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, tanpa mengabaikan kebebasan individu. Terkait dengan itu, lebih jauh Rawls justru menambahkan alternatif lainnya, meski dalam arti tertentu memiliki kesamaan, namun dalam beberapa hal secara prosedural lebih radikal, terutama gagasannya mengenai ideal ruang publik yang ia bayangkan. Dalam konteks itu ia lebih menekankan individu ketimbang komunitas. Ia melihat bahwa dalam proses pengambilan keputusan dalam ruang publik itu setidaknya setiap kebijakan di ruang publik harus mencitrakan tipe ideal, yaitu tercapainya netralitas sebuah keputusan, di mana hal itu mengandaikan sebuah proses keputusan berdasarkan kondisi kesamaan dan kesetaraan. Di mana individu dalam konteks ini dibayangkan sebagai individu yang berwajah pucat pasi, atau lepas dari segala atribut dan identitas, kepentingan dan sejenisnya dalam proses pengambilan keputusan politik, atau dengan kata lain individu yang ada di dalamnya berada dalam posisi asali (original position). Dengan posisi itulah keputusan dapat bersifat netral dan fair. Tipe ideal macam ini juga sebentuk prosedural bagi tercapainya ide keadilan, dengan mendasarkan pada ide masyarakat sebagai sebuah sistem kooperasi yang fair. Dan dalam kondisi
6
tersebutlah kemungkinan gejolak dan ketidakadilan sosial dalam bentuk kemiskinan akan dapat diminimalisir dalam rangka demokratisasi ruang publik itu sendiri. Kondisi yang digambarkan Rawls dan Habermas di atas tentu saja berguna bagi refleksi kita perihal kebijakan atau tatanan politik yang sedang terjadi di Indonesia. Di mana berbagai keputusan publik di parlemen selama ini lebih mencerminkan aspirasi kelompok elit tertentu, terutama soal kebijakan kenaikan harga yang turut menyumbang angka kemiskinan dan masalah lainnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Berbagai keputusan timpang yang terjadi selama ini bukan saja tidak mencerminkan keadilan tetapi juga merupakan bentuk dari keputusan yang tidak pernah netral dari kepentingan individu dan kelompok yang dibawa setiap individu dalam parlemen. Karena itu ideal dan prosedur demokrasi yang semestinya ditempuh tak pernah mencapai hasil maksimal, malah sebaliknya prosedur itu hanya menjadi etalase politik di parlemen. Sehingga parlemen sebagai salah satu ruang publik politis tidak mencerminkan aspirasi politik sesungguhnya, yakni tegaknya hak-hak konstitusional warga negara dalam ruang publik politis, termasuk kesejahteraan sosial. Fenomena di atas tentu saja merupakan titik pijak refleksi kita atas kenyataan pahit mengenai perubahan formasi sosial ekonomi masyarakat. Di mana kemiskinan di dalamnya menjadi problem utama yang terus diperbincangkan dalam transisi politik mutakhir. Di hari ini kemiskinan bahkan semakin nampak kita jumpai di negara- negara berkembang, seperti Indonesia. Karena istilah "negara berkembang" sendiri biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara "miskin", dengan karakter negara yang belum sepenuhnya mengalami demokratisasi, di mana negara-negara berkembang seperti Indonesia sendiri masih berada dalam proses pembenahan diri dari kondisi otoritarianisme masa lalu, di mana negara pos-otoritarianisme seperti Indonesia hingga hari ini masih dihantui bayang-bayang ingatan kelam masa lalu. Karena reformasi yang bergulir sepuluh tahun silam hingga hari ini masih jauh dari harapan. Akibatnya problem kesenjangan sosial ekonomi sebagai warisan rezim lama itu hingga kini masih menjadi simtom krisis harus terus menerus didiagnosa dalam rangka deliberasi politik. Oleh sebab itu problem paling purba (kemiskinan) tadi hingga hari ini nampak dalam keseharian masyarakat kita. Berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika dan
7
Eropa yang kini justru sedang mengalami transisi dari negara demokrasi ke negara yang lebih sejahtera, dengan segala capaian teknik dan industrinya. Atau yang kerap disebut sebagai negara kesejahteraan walefare state. Meski perkembangan mutakhir menunjukkan krisis energi dan resesi ekonomi di Amerika belum lama ini, telah membuat panik perekonomian dunia. Dalam situasi macam inilah bayang-bayang kemiskinan semakin menghantui hari-hari masyarakat Indonesia, terutama membuat ratusan bahkan ribuan orang di negeri ini terhempas oleh laju zaman yang kian fantastis, hingga melabrak mimpi dan cita-cita luhur kebangsaan yang pernah berkobar 1908 silam. Karena itu dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan karena masalah ini masih hadir di tengah-tengah kita dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Meskipun berbagai cara dan solusi telah ditempuh untuk menanggulangi kemiskinan, tapi upaya pengentasan kemiskinan sampai hari ini belum berjalan efektif. Untuk itu pengkajian konsep kemiskinan merupakan upaya positif guna menghasilkan pendekatan dan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah krusial yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini. Terutama dari pokok pembahasan ini kita dapat bercermin dari potensi dan peluang yang ada pada elan vital, terkait peranan negara dalam menyiasati di tengah keterbatasannya.
MENIMBANG “NEGARA KESEJAHTERAAN�? Terkait dengan perubahan pesat di sektor ekonomi dan keuangan dunia yang meniscayakan kondisi-kondisi perubahan pola transaksi ekonomi di satu pihak, dan kelembagaan politik dipihak lain, peranan civil society dan negara idealnya menyediakan alternatif dan langkah antisipasi bagi setiap kemungkinan negatif yang lahir dari dampak globalisasi. Karena itu konsep negara kesejahteraan menjadi varian tersendiri dari banyak alternatif bentuk kenegaraan yang layak dipertimbangkan, sebagai jalan tengah bagi sistem kenegaraan suatu bangsa. Banyak kalangan melihat bahwa negara kesejahteraan merupakan varian lain dari tujuan kenegaraan, atau bahkan kerap dianggap sebagai reduksi atas demokrasi. Karena bermula dari anggapan bahwa negara kesejahteraan kerap menilai demokrasi sebagai kemakmuran ekonomi semata. Perdebatan ini akhirnya memunculkan ragam tafsir. Banyak respon, baik positif maupun negatif, terhadap sistem negara kesejahteraan yang digagas banyak kalangan ini. Lalu, apakah benar negara kesejahteraan lebih menitikberatkan pada kemakmuran ekonomi, tanpa kebebasan individu? Apakah benar bahwa kebebasan dan kesejahteraan merupakan dua hal terpisah dari demokrasi? Atau jangan-jangan keduanya sama-sama berperan membangun demokratisasi? Mengenai konsep negara kesejahteran kita pertama-tama harus bercermin dari negara-negara kecil yang turut memainkan peranannya dalam konteks kesejahteraan masyarakat. Hasil riset terkait “Negara Kesejahteraan dan Globalisasi" yang dilakukan lembaga riset Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK, 2008) Universitas Paramadina Jakarta misalnya, menunjukkan bahwa negara tertentu tetap dapat menegaskan eksistensi negaranya di saat globalisasi korporasi mengalami intensifikasinya; Swedia, Brazil, dan Boswana adalah beberapa contoh penting, di mana negara-negara tersebut bukan bagian dari negara dengan ukuran ekonomi raksasa, atau dengan sejarah koloni kuat, kaya minyak, atau foreign reserve, namun dengan keterbatasannya itu, justru negara-negara tersebut dapat mencapai tingkat
8
kemakmuran yang mengesankan selama beberapa tahun terakhir ini. Tiga kasus negara-negara di atas sekaligus mematahkan asumsi bahwa negara yang makmur adalah "negara bekas penjajah", atau negara kaya minyak, atau negara dengan ukuran ekonomi besar semacam Amerika dan China. Selain itu, riset itu juga memuat beberapa analisa tentang bentuk-bentuk kemiskinan yang diakibatkan karena negara lalai atau lemah dalam mengantisipasi gejolak ekonomi politik yang muncul dari globalisasi, terutama di Indonesia. Kelalaian tersebut terlihat berdasarkan beberapa indikator dalam kasus negera- negara berkembang seperti Indonesia. Selain itu analisa mengenai bentuk komparasi, sebagai cermin untuk melihat bagaimana negara-negara dengan contoh keterbatasan di atas mampu mengatasi gejolak kemiskinan bahkan menorehkan kemakmuran atau kesejahteraan di negara masingmasing. Dalam konteks ini peranan negara menjadi penting dalam rangka melakukan penanggulangan masalah kemiskinan dan krisis ekonomi politik lainnya yang selama ini muncul akibat gejolak dan dampak negatif dari globalisasi. Karena itu penting melihat kembali kerangka kebijakan negara, agar implementasi kebijakan itu mampu menyelesaikan problem atau sekurang-kurangnya meminimalisir setiap ketimpangan yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan beberapa problem di atas, ide negara kesejahteraan menjadi penting bukan saja karena ia ingin menempatkan peran sentral negara dalam mengatur setiap lalu lintas ekonomi (regulasi ekonomi), tapi juga perannya dalam membentengi kultur dan atau peradaban masyarakat, tanpa menyisihkan kebebasan individu di dalamnya. Hal tersebut setidaknya bertolak dari apa yang disebut Stiglitz sebagai gejolak mekanisme atau sistem pasar bebas yang tidak sepenuhnya memainkan peranannya secara sempurna, sebagaimana dibayangkan ekonom klasik Adam Smith. Dalam konteks ini peranan negara sebagai regulator ekonomi politik menjadi penting dalam rangka mendampingi atau menjembatani setiap ketimpangan dan
9
mengawasi setiap kemungkinan manipulasi yang ada dalam sistem pasar bebas, terutama ketimpangan informasi yang asimetris. Kenyataan ideal yang dianggap penting dalam konteks negara kesejahteraan itu misalnya termaktub dalam risalat ekonom klasik Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and the Causes of the Wealth of Nations. Ia menyimpulkan dua tugas ideal yang menjadi tanggungjawab negara. Pertama, negara berkewajiban memberi rasa aman dari segala ancaman dalam bentuk apapun bagi semua warganya. Kedua, negara juga harus mendorong dan menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi semua warga. Keamanan biasanya menjadi pilar utama bagi terwujudnya kesejahteraan. Karena dalam situasi yang tidak stabil, baik secara sosial maupun politik, akan meyulitkan upaya mewujudkan kesejahteraan. Namun, stabilitas keamanan juga sulit terwujud bila kesejahteraan masyarakat tidak terjamin. Jadi dua hal ini sebenarnya saling mengandaikan dalam kehidupan masyarakat. (PSIK, 2008, hal. 16-17) Konsep ideal di atas tentunya tidak serta merta akan terwujud tanpa melihat tugas dan posisi negara dalam meregulasi kekuasaannya, terutama dalam upaya- upaya ke arah kesejahteraan sosial. Maka tak heran bila beberapa negara memilih negara kesejahteraan sebagai sistem kenegaraan, justru di tengah keterbatasan suatu negara. Hal itu didasarkan pada beberapa faktor penting sebagai tolok ukur keberhasilan suatu negara terutama terkait dengan enam hal penting, yaitu, pertama adalah upaya mempromosikan efisiensi ekonomi; kedua, untuk mengurangi kemiskinan; ketiga, mempromosikan kesetaraan sosial (social equality); keempat, mempromosikan integrasi sosial atau menghindari eksklusi sosial; kelima mempromosikan stabilitas sosial; dan keenam, mempromosikan otonomi atau kemandirian individu. (PSIK, 2008, hal. 22) Beberapa alasan di atas sekurang-kurangnya menjadi bagian penting dalam upaya membangun kesejahteraan sosial. Sehingga praktik-praktik yang mengarah pada kesenjangan sosial dan ekonomi dapat diminimalisir dalam rangka menciptakan struktur kuasa yang dinamis di satu pihak, dan kemakmuran di pihak lainnya. Sementara ciri khas lainnya yang khas dalam kajian negara kesejahteraan yang juga dapat dipetik adalah konteks yang diambil dari praktik dan nilai-nilai Islam yang memiliki akar kuatnya dalam tradisi Muhammad. Praktik-praktik itu (negara kesejahteraan) sebenarnya jauh-jauh hari telah menjadi praktik keislaman yang
10
melekat dengan sistem zakat, munculnya Baitul Maal dalam masa kepemimpinan nabi Muhammad. Serta praktik ekonomi lainnya yang mendasarkan pada prinsip etis dan keseimbangan. Sehingga tingkat akumulasi kapital tidak terjadi, karena praktik-praktik ekonomi saat itu didasarkan pada prinsip etisteologis. Hal ini juga sebenarnya nampak dalam praktik keagamaan lainnya, sebagaimana juga kapitalisme yang lahir dan paralel dengan semangat dan etika protestantisme, sebagaimana ditegaskan Weber. Karena itu diskursus tentang negara kesejahteraan dengan tipe ideal ekonomi dan sosialnya sebenarnya memiliki basis atau akar-akar kulturalnya terutama dalam semangat keagamaan terutama dalam konteks keislaman dan keindonesiaan. Dan di saat tatanan politik demokrasi tengah menghadapi ancaman utama dari berbagai kekuatan korporasi transnasional ekonomi, barangkali ide negara kesejahteraan menjadi satu alternatif pemikiran tersendiri yang layak dipertimbangkan, setidaknya untuk mencoba mengaktifasikan proyek politik deliberatif dalam konteks Indonesia. Sehingga kecenderungan individualisme dan keserakahan korporasi dapat diseimbangkan dengan praktik etis yang disokong oleh negara terkait dengan peran dan siasatnya yang terbatas itu. Sehingga kemungkinan kesejahteraan itu dapat tercapai secara maksimum, dari situasi yang semula terbatas sebagaimana kita alami saat ini. Semoga* Miming Ismail Aktivis Forum Muda Paramadina
DAFTAR BACAAN Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arloka, 1994 BPS, "data 2007" Jhon Rawls, Political Liberalism, Columbia: Columbia University Press, 1996 Tim Peneliti PSIK, Negara kesejahteraan dan Globalisasi, PSIK Universitas Paramadina, Jakarta, 2008 Joseph E. Stiglitz, Kelangkaan di Zaman Berkelimpahan, Koran Tempo, Jakarta 2008 F. Budi Hardiman, Diktat Filsafat Politik, STF. Driyarkara, Jakarta, 2008
11