Faiq Tobroni, S.H.I Abstrak Pemberantasan terorisme telah menjadi wacana hangat. Sejumlah
instrumen
telah
melawan
terorisme.
Mulai
disiapkan dari
untuk
berperang
pembuatan
Peraturan
Pemerintah No. 1 dan 2 Th. 2002 menjadi UU No. 15/2003 tentang
Pemberantasan
Aksi
Kejahatan
Terorisme
dan
pembentukan Densus 88 Anti Teror. Upaya
ini
pentingnya
patut
juga
pelanggaran
didukung,
perlu
HAM
bagi
namun
dicermati pihak
agar
yang
tidak tidak
dianggap
kalah terjadi
teroris.
Kesadaran ini penting karena pada dasarnya mereka juga manusia
yang
harus
dipenuhi
hak
asasinya.
Perlakuan-
perlakuan hukum dalam UU 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme,
menurut
beberapa
kritikan,
tidak
sepenuhnya
bersih dari sikap represif terhadap hak asasi pelaku yang dianggap teroris. HAM menjadi
bagi
pelaku
yang
fokus
kajian
di
dianggap
sini
teroris
meliputi
hak
yang
akan
asasi
saat
menjalani prosesi pengadilan (adanya asas retroaktif yang bertentangan dengan asas legalitas)
dan eksekusi hukuman
(adanya hukuman mati yang bertentangan dengan Hak Hidup). Hak untuk hidup dan tidak dituntut berdasarkan asas retroaktif diatur dalam Pasal 28I UUD 1945. Dalam hal inilah,
kajian
politik
hukum
(legal
policy)
mendapati
posisi pentingnya.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
1
Faiq Tobroni, S.H.I Menurut retroaktif
Artidjo demikian
Alkotsar, memang
bahwa
pemberlakuan
diperlukan
dalam
asas
menangani
kejahatan kemanusiaan berat. Seandainya tanpa asas ini maka akan banyak kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa diproses
hukum.
pemberlakuan pidana
Sedangkan
mengenai
masih
adanya
mati, menurut pakar, bahwa pemenuhan
hak hidup sebagaimana dalam Pasal 28I tetap bisa dibatasi dengan
Pasal
28J
UUD
1945,
termasuk
adalah
adanya
pengecualian pemenuhan bagi pelaku kejahatan kemanusiaan berat (terorisme). Sebagai rekomendasi dari paper ini adalah perlunya peninjauan ulang menempatkan hukuman mati sebagai sarana menangkal
suburnya
terorisme.
Mengutip
dari
beberapa
fakta dan analisis, strategi ini layak diragukan. Fakta membuktikan sekali
bahwa
tidak
Amrozi,
menyesal
Imam saat
Samudra divonis
dan
Rois
pidana
Selanjutnya fakta bahwa setelah eksekusi mereka
sama mati.
ternyata
masih subur bermunculan teroris baru. Kata kunci: Teroris, HAM, Retroaktif dan Hukuman Mati.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
2
Faiq Tobroni, S.H.I Menguji Politik Hukum Perlindungan HAM dalam UU Pemberantasan Terorisme (Menimbang Pemenuhan Hak Asasi Pihak Yang Dipidana Sebagai Teroris) Oleh: Faiq Tobroni1 A. Pendahuluan HAM dan terorisme adalah dua kata yang konotasinya sangat
bertolak
suatu
gambaran
belakang.
Penyebutan
masyarakat
yang
berkonotasi
menjunjung
Suatu
berharganya
nilai-nilai kemanusiaan manusia. Sedangkan, berkonotasi
suatu
yang
tinggi
peradaban.
terorisme
masyarakat
HAM
telah
gambaran
mengakui
masyarakat
yang
dalam benak pikirannya terbelenggu dengan budaya bar-bar, kekerasan,
ahumanis
dan
amoral.
Suatu
masyarakat
yang
mengabaikan berharganya nilai-nilai kemanusiaan manusia. Berangkat
dari
dua
pengertian
yang
antagonis
tersebut, membicarakan pemenuhan HAM bagi teroris juga agak terasa kurang wajar. Hal ini berawal dari kenyataan bahwa teroris telah lebih dahulu mengabaikan hak asasi korban
pengeboman.
Hak-hak
dikorbankan oleh teroris tidak
disiksa,
pencaharian
hak
ekonomi
asasi
manusia
yang
telah
seperti hak hidup, hak untuk
untuk serta
tidak
hak-hak
kehilangan yang
lain.
mata Dengan
demikian, pembicaraan untuk memenuhi hak asasi teroris terasa tidak penting lagi.
1
Mahasiswa Magister Hukum BKU Hukum dan HAM di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Penulis dapat dihubungi faiqtobroni@yahoo.com
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
3
Faiq Tobroni, S.H.I Kalau mau merenungkan lebih dalam tentang kemanusiaan manusia,
akan
seharusnya
tetapi,
terjadi.
perasaan-perasaan
Semua
manusia
di
di
dunia
atas
tidak
menyetujui
prinsip bahwa kekerasan tidak akan pernah berhenti jika selalu dibalas dengan kekerasan. Dalam bahasa sederhanya, permusuhan tidak akan pernah berhenti kalau balas dendam selalu
dilanjutkan.
Dengan
demikian,
melakukan
balas
dendam (dengan hukuman yang melanggar hak asasi teroris) bukanlah solusi terbaik untuk menghentikan terorisme itu sendiri. Pandangan-pandangan
perlindungan
HAM
di
atas
sudah
seharusnya tertampung dalam UU No.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Aksi Kejahatan Terorisme. Dalam hal ini, aspek HAM bagi teroris yang akan dibahas mencakup saat proses pengadilan dan saat eksekusi hukuman. Dalam dua bidang
tersebut,
saya
menemukan
beberapa
masalah
yang
perlu didiskusikan menyangkut pemenuhan HAM. Dalam proses pengadilannya, UU Terorisme mencantumkan prinsip
retroaktif.
Terorisme
Dalam
mencantumkan
eksekusi
pemberlakuan
hukumannya, hukuman
UU
mati.
Pencantuman dua hal tersebut di atas, bila direnungkan lebih
jauh,
pasal-pasal bahwa
terasa HAM
ironi
dalam
UUD
karena 1945.
bertentangan Pasal
28I
dengan
menyatakan
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
4
Faiq Tobroni, S.H.I di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun�. Dengan pencantuman
demikian dua
hal
permasalahannya,
tersebut
di
atas
apakah
bisa
dikatakan
merupakan pelanggaran HAM? Berangkat dari satu pertanyaan ini, masalah utama tulisan ini adalah menyangkut melihat politik
hukum
teroris.
Dengan
berhipotesis tertentu
(legal
demikian,
bahwa
saat
policy)
memenuhi
sebelum
Indonesia
aspek
HAM
penulisan,
mempunyai
mengimplementasikan
bagi
penulis
pengecualian
konsep
HAM
yang
dimiliki UUD 1945 ke dalam UU no.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Aksi
Kejahatan
Terorisme
karena
mencantumkan asas retroaktif dan hukuman mati. Berdasarkan permasalahan yang telah saya sajikan di atas,
penulis
akan
menganalisisnya
dengan
kerangka
berfikir normatif. Artinya, masalah-masalah yang muncul akan
penulis
bahas
atas
dasar
politik
hukum
(legal
policy) tujuan pembentukan hukum. Di samping itu, penulis juga akan mencantumkan pemikiran-pemikiran doktrin hukum yang diutarakan para ahli. B. Pembahasan B.1. Tinjauan Politik Hukum dan Definisi HAM Ada banyak definisi politik hukum. Dari beragamnya definisi,
Mahfudz
meliputi
dua
MD
hal,
menyingkat yakni
cakupan
membuat
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
politik
undang-undang
hukum dan
5
Faiq Tobroni, S.H.I melaksanakannya.2 Mahfudz merumuskan bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.3 Dalam
pengertian
yang
lain,
Suparman
Marzuki
mendefinisikannya bahwa politik hukum sebagai kebijakan hukum
(legal
policy)
yang
dibuat
dan
atau
telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia. Legal
Policy
yang
dimaksud
mencakup
implementasinya
meliputi: (a) pembangunan hukum dan pembaruan terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan dengan penciptaan hukum yang diperlukan; (b) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan
fungsi
lembaga
dan
pembinaan
para
anggota
penegak hukum.4 Kaitannya
dengan
peraturan
HAM,
politik
hukum
merupakan pintu masuk untuk mengetahui arahan resmi dan cara
memperlakukan
didefinisikan manusia lahir
di
sebagai
setiap
menjadi
HAM.
saat
Menurut hak-hak dan
manusia.5
di
aliran yang setiap
Keberadaan
naturalis,
HAM
dimiliki
seluruh
tempat
semenjak
hak
ini
tidak
2 Moh. Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 15. 3 Mohammad Mahfudz, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 24. 4 Suparman Marzuki, Politik Hukum HAM di Indonesia; Studi Atas Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu (Program Doktor UII Yogyakarta: Disertasi, 2010), hlm. 32. 5 Jack Donelly, The Concept of Human Rights (New York: St Martin’s Press, 1985), hlm. 8-27.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
6
Faiq Tobroni, S.H.I membutuhkan pengakuan baik dari pemerintah maupun dari sistem
hukum
manapun
karena
hak-hak
tersebut
bersifat
universal dan harus diakui karena keberadaannya sebagai manusia. Dengan
penalaran
ini,
sumber
hak
asasi
manusia
sesungguhnya berasal dari keberadaannya sebagai manusia atau individu. Meminta pengakuan terhadap hak-hak ini, sebagai
contoh
pengakuannya
perlu
mendapat
legitimasi
dari negara, maka akan mereduksi hak-hak asasi menjadi hak-hak hukum. Jika demikian maka bukan individu yang bertindak justru
sebagai
sumber
hak-hak
tersebut
menjadikan
negara
menjadi
sumber
manusia.
Pendapat
ini
ditolak
oleh
melainkan hak
aliran
asasi
naturalis
karena Hak Asasi Manusia bersifat alamiah.6 Hak-hak ini adalah meliputi hak hidup, kebebasan dan kekayaan seperti dinyatakan oleh Locke. Ahli
HAM
di
Indonesia,
seperti
Muladi7
Seotandyo8, juga mempunyai pendapat yang sesuai
dan
dengan
aliran naturalis di atas. Menurut mereka, HAM adalah hak yang melekat (in heren) dalam diri setiap manusia karena posisinya sebagai manusia.
Pengertian ini kemudian telah
diakomodasi dalam Pasal 1 UU 39/1999 menyatakan bahwa HAM
6
Maurice Cranston, What Are Human Rights? (New York: Basic Books, 1962), hlm. 1-3. 7 Muladi, Demokratisasi, HAM dan Reformasi Hukum Indonesia (Jakarta: The Habibie Centre, 2002). 8 Soetandyo, HAM: Konsep dasar dan pengertiannya Yang Klasik Pada Masa Awal Perkembangannya, dalam Kumpulan Tulisan tentang HAM (Suarabaya: PUSHAM UNAIR, 2003).
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
7
Faiq Tobroni, S.H.I adalah
separangkat
hak
yang
melekat
pada
hakekat
dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan
anugerah-Nya
dijunjung
tinggi
dan
Pemerintah
dan
setiap
yang
dilindungi orang
wajib
oleh
demi
dihormati,
Negara,
hukum,
kehormatan
serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. B.2. Tinjauan tentang Definisi Terorisme Perlakuan terhadap terorisme saja sebenarnya sempat bermasalah
bermasalah
terkadang
diidentikkan
tertentu.
Terdapat
bertindak
atas
saat
pendefinisian.
dengan
anggapan nama
pembelaan bahwa
terhadap
pelakunya
kepentingan
Terorisme
agama
agama
(teroris) tertentu.
Justifikasi ini semakin menguat karena sejauh fakta yang telah
ada,
terorisme
yang
terjadi
di
Indonesia
berhubungan erat dengan agama tertentu. Sebagai contoh sebut saja Islam yang selalu menjadi sasaran terorisme. Beberapa kejadian bom bunuh diri di Indonesia
menunjukkan
motivasi
teroris
menurut
penulis,
teror
dalam
penggunaan
melakukan sebenarnya
bentuk
apapun.
Islam
teror. Islam Dalam
sebagai
Menaggapi tidak kasus
topeng
hal
ini,
menganjurkan pelaku
teror
sering mengaitkan tindakan bom bunuh dirinya atas nama jihad, ini terjadi karena penyalahgunaan ajaran Islam. Jihad
tidak
hanya
berbentuk
perjuangan
fisik.
Pengkaji Islam di Amerika, Dr. Jamilah, menyatakan bahwa jihad tidak hanya
perang suci namun juga mencakup upaya
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
8
Faiq Tobroni, S.H.I membuat
kebaikan
berpengertian
Allah.9
karena
segala
upaya
Jihad
manusia
sesungguhnya
untuk
menciptakan
kebaikan di muka bumi ini. Definisi ini diperkuat ahli kajian
Timur
Tengah,
Amstrong,
yang
menyatakan
bahwa
jihad bisa berupa perjuangan fisik dan non-fisik.10 Jihad bertujuan demi kebaikan sedangkan teror akan berakibat pada kerusakan. Ketidakadilan mengaitkan teror dengan agama tertentu ini, pada faktanya, sering menjadi landasan justifikasi negara-negara
tertentu
untuk
memerangi
negara
Islam.
Sebut saja langkah kebijakan yang diambil pemerintahan Bush dalam menyerang Afghanistan dan Iraq, serta negaranegara lain. Langkah politik ini, menurut penulis, lebih tertuju
untuk
memenuhi
kepentingannya
Bush
sendiri
daripada untuk aksi kemanusiaan. Disebabkan tentang Peradilan
masih
terorisme, ad
hoc
kaburnya
Antonio
berbagai
Cassese,
internasional
bagi
pengertian
mantan
hakim
Yugoslavia
(ICTY)
memiliki kesimpulan bahwa terorisme memiliki tiga elemen utama. Pertama, perbuatan tersebut mendapatkan pelarangan di hampir seluruh hukum internasional. Kedua, ditujukan untuk
menciptakan
terhadap
negara,
teror
dengan
masyarakat
kekerasan
dan
atau
kelompok
ancaman
masyarakat
9
Jamilah Kolocotronis, Islamic Jihad: An Historical Perspective (Indianapolis: American Trust Publications, 1990), hlm.X. 10 Karen Amstrong, Islam: A Short History (New York: Modern Library, 2000), hlm. 45.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
9
Faiq Tobroni, S.H.I tertentu. Ketiga, dimotivasi oleh hal-hal yang bersifat religius, politis atau ideologis.11 Pengertian
terorisme
dalam
Perppu
no.
1/2002
sebenarnya juga masih menyisakan ketidakjelasan. Pasal 1 hanya
memakai
terorisme.
istilah
Pasal
itu
aman
hanya
untuk
mendefinisikan
menyebutkan
bahwa
Tindak
pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Di
sini
penulis
ingin
memberi
kesimpulan
sendiri
bahwa terorisme memang terkutuk. Terorisme merupakan aksi teror yang mengakibatkan korban nyawa, harta-benda dll. Teroris
bertindak
mempunyai
motif
untuk
mengancam
keamanan serta keselamatan negara dan masyarakat. Namun yang tidak penulis setujui adalah anggapan bahwa teror terjadi untuk membela agama. Justru citra agama, seperti Islam,
menjadi
korban
karena
ulah
teroris.
Sehingga
definisi yang tepat untuk terorisme adalah tindakan teror yang
dilaksanakan
kelompok
tertentu
untuk
mengancam
keamanan serta keselamatan untuk kepentingan kelompoknya sendiri dan bukan untuk kepentingan agama manapun. B.3. Pasal-Pasal UU 15/2003 Mengabaikan HAM Sejak ditetapkannya Perppu No. menjadi
UU
No.
15/2003
tentang
yang 1
dan
Diindikasikan 2
Th.
Pemberantasan
2002 Aksi
11
Antonio Cassese, International Criminal Law (New York: Oxford University Press, 2003), hlm. 124.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
10
Faiq Tobroni, S.H.I Kejahatan
Terorisme,
setidaknya
telah
terdapat
banyak
diskusi mengkritisi undang-undang ini. Salah satu urgensi mencermati ulang UU ini, telah dinyatakan sendiri oleh Mantan
Menteri
menawarkan
Keadilan,
terdapat
Yusril
Ihza
indikasi
Mahendra,
perlunya
yang
melakukan
amandemen. Isu ini kemudian ditangkap oleh Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dalam
sebuah
Kontribusi
Workshop
Muslim
pembicaranya perpektif
Nasional
terhadap
terbagi pidana,
tahun
Amandemen
ke
dalam
hukum
UU
tiga
2004
tentang
15/2003, kategori
internasional
para yakni
dan
hukum
administrasi negara. Setiap kategori perspektif tersebut disampaikan oleh ahlinya masing-masing. Jawahir
Thontowi
sesuai
perspektif
hukum
internasional memaparkan bahwa setidaknya terdapat tiga faktor
yang
15/2003:
harus
pertama,
mengakomodasi terdapat
dalam
seberapa
jauh
prinsip-prinsip
diperhatikan apakah
nilai-nilai
minimalis
perumusan
undang-undang dan
ini
internasional;
tersebut Hak
tidak
UU
telah
prinsip-prinsip
konvensi-konvensi undang-undang
dalam
yang kedua,
melanggar
Asasi
Manusia
Internasional; ketiga, bagaimana norma-norma hukum yang ada memberikan atau memfasilitasi terjadinya ekstradisi mengingat
aktor-aktor
dalam
terorisme
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
acapkali
dilalui
11
Faiq Tobroni, S.H.I melalui
Jaringan
Kejahatan
Organisasi
Lintas
Negara
(Transnational Organized Crime).12 Dalam telah
perspektif
terdapat
internasional
hukum
dua
yang
Internasional,
belas
(12)
mengatur
sebenarnya
ketentuan
tentang
hukum
tindak
pidana
terorisme. Di antara dua belas komponen tersebut, menurut Jawahir terdapat empat komponen hukum internasional yang pokok: Kelompok
pertama,
konvensi
internasional
tentang
terorisme yang terkait dengan perbuatan ancaman kekerasan dilakukan di atas kapal laut, dan pesawat terbang, baik ancaman laut
itu
dan
ditujukan
kapalnya
kepada
maupun
penumpang,
pilot
pesawat
nahkoda
kapal
terbang
dan
pesawatnya itu sendiri.13 Kelompok mengenai
kedua,
terorisme
ketentuan
berkaitan
hukum
dengan
internasional
kejahatan
terhadap
subyek-subyek hukum seperti anggota korps diplomatik, dan orang-orang internasional
tertentu termasuk
yang
dilindungi
orang-orang
asing
oleh
hukum
turis
maupun
12 Jawahir Thontowi, Islam, Neo-Imperialisme dan Terorisme (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 127. 13 Konvensi itu antara lain: Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, 1970; Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, 1971;Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety Marine Navigation, 1988; Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Self.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
12
Faiq Tobroni, S.H.I pekerja, termasuk penculikan dan pembersihan etnik atau bangsa sing (sweeping foreigners).14 Kelompok mengenai bahan
ketiga,
teorisme
nuklir,
menimbulkan benda,
yang
dan
bahaya
termasuk
ketentuan
hukum
internasional
terkait
dengan
penyalahgunaan
bahan
peledak
pemasaran
bagi
keselamatan
penggunaan
bom
manusia
oleh
dan
teroris
yang harta dengan
menggunakan berbagai senjata dan bahan-bahan kimia atau nuklir lainnya.15 Kelompok keempat, ketentuan hukum internasional yang mengatur
tentang
bentuk
kerjasama,
terutama
dalam
dukungan keuangan bagi gerakan terorisme. Dalam konteks ini bisa terkait negara-negara pemasok, pemelihara dan aktor-aktor
terorisme
yang
diduga
terlibat
dengan
perencanaan, pengorganisasian, dan dukungan material non material, termasuk di dalamnya, aktor intelektual.16 Mudzakir pidana
dalam
memberi
pembahasaannya
catatan
bahwa
sesuai
terdapat
perspektif
ketidaksesuaian
prinsip dalam mengesahkan bukti awal antara UU 15/2003 dengan KUHP. Informasi dari intelejen, setelah disahkan oleh pengadilan, bisa digunakan sebagai bukti awal dalam
14 Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Person, 1973; and International Convention Against The Taking of Hostages, 1979. 15 Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, 1986; Convention on the marking of the Plastic Explosive for the purpose of detection, 1991; international convention for the suppression of terrorist bombing, 1997. 16 International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
13
Faiq Tobroni, S.H.I investigasi
polisi.
Hal
ini
jelas-jelas
bertentangan
dengan KUHP dan pada saat yang sama menjebol jurisidksi mapan kewenangan polisi Indonesia. Sebagai amandemen yang penting, Mudzakir menyarankan, substansi Pasal 26 harus dirubah. Penggunaan data intelejen hanya bisa digunakan untuk
kepentingan
investigasi
semata.
Dengan
demikian,
ini tidak bisa digunakan sebagai bukti formal. Pembicara ketiga adalah mencermati UU 15/2003 melalui perspektif
Hukum
memberikan
catatan
Administrasi tentang
Negara.
pemberian
SF
Marbun
kewenangan
penuh
bagi presiden untuk bertindak sebagai kordinator kekuatan anti-terorisme.
Pasal
intervensi
eksekutif
merupakan
kewenangan
penyalahgunaan menyatakan
45 ke
Pasal
ini
dalam
hukum
kekuasaan.
bahwa
UU
apa dan
Dalam 45,
terlihat yang
sebagai
seharusnya
terdapat
ancaman
rekomendasinya,
yang
memberikan
Marbun
Presiden
berupa kekuatan untuk memformulasikan kebijakan darurat dalam
mengeliminasi
terorisme,
harus
dihapuskan
karena
berpotensi memungkinkan adanya penyalahgunaan. Kekhawatiran dari pemberian kewenangan yang terlalu luas demikian adalah kemungkinan munculnya undang-undang keamanan negara yang operasinya meniru
Tindakan Keamanan
Internal (the Internal Security Act) seperti di Malaysia. Ini seperti telah diutarakan beberapa jendral dan pejabat tinggi negara. Panglima TNI Endriantono Sutarto, Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil,
mantan kepala Kopkamtib
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
14
Faiq Tobroni, S.H.I (Komandan Sudomo
Operasi
pernah
Pemulihan
berpendapat
Kemanan
tentang
dan
Ketertiban)
perlunya
mempunyai
hukum keamanan national seperti ISA di Malaysia. Argumen mereka adalah bahwa UU 15/2003 sendiri masih belum
cukup
Malaysia
dan
adalah
kuat.
Salah
mengikuti
satu
kemanan
karakteristik preventif
ISA
(mencegah
segala sesuatu yang kemungkinan menganggu keamanan dan kestabilan). Mereka mengklaim bahwa melalui sistem ini maka keamanan dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat bisa
terpelihara.
preventif
keamanan
Dalam
kata
lain,
yang
memadai
lemahnya
merupakan
upaya
salah
satu
kelemahan yang ada dalam UU 15/2003. Tawaran ini segera saja ditolak secara keseluruhan oleh
aktivis
Wakil
HAM.
Presiden
Sholahuddin
Menteri
mantan
Menteri
Politik
Komisi
Wahid,
Mantan
Mereka
Hak
Widjayanto,
Muladi,
Koordinasi Bambang
tidak
Nasional
Bambang
Keadilan
Susilo
yang
dan
untuk
setuju
meliputi:
Asasi
Manusia,
Herman
Siregar,
Munarman.
Urusan
Yudhoyono,
Menurut
Keamanan
Indonesia
dan tidak
mempunyai rencana untuk mengesahkan suatu undang-undang apapun yang identik dengan ISA Malaysia tersebut. Asas Retroaktif Vs Pemenuhan HAM? Dalam perspektif pemenuhan HAM, bahwa dalam penegakan hukum
pemberantasan
setidaknya
terdapat
Pelaku
Bali
Bom
terorisme
melalui
paradoks
saat
Amrozi,
cs.
UU
perlakuan
Sebagaimana
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
15/2003
kita
ini
terhadap ketahui
15
Faiq Tobroni, S.H.I bahwa Amrozi, cs melakukan bom bali pada tahun 2001, yang dengan demukian UU 15/2003 belun disahkan. Akan tetapi, pada akhirnya, proses pengadilan telah memvonis hukuman mati bagi Amrozi, cs berdasarkan UU 15/2003. Menyikapi hal
ini,
Jawahir
menyatakan
pencantuman prinsip
retroaktif
bahwa
berkenaan
dengan
dalam perundang-undangan
anti-terorisme bertentangan dengan prinsip legalitas yang dianut dalam hukum pidana.17 Prinsip
retroaktif
ini
terdapat
dalam
Pasal
46
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002
berbunyi
Pengganti
“Ketentuan
Undang-undang
dalam
ini
Peraturan
dapat
Pemerintah
diperlakukan
surut
untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini,
yang
atau
penerapannya
Peraturan
ditetapkan
Pemerintah
dengan
Pengganti
Undang-undang Undang-undang
tersendiri.” Berdasarkan beberapa masukan dari para pembicara di atas, proses pengadilan yang terindikasi melanggar HAM adalah
pemberlakuan
mempunyai
hak
berlaku surut.
untuk
asas tidak
retroaktif. dituntut
Setiap
dengan
Pasal 28I menyatakan bahwa
hukum
orang yang
“Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
17
Tom Davis (ed), Human Rights 2003: The Year in Review, in Jawahir Thontowi “The Islamic Perspective of the War on Terrorism and Current Indonesian Responses (Monash University: The Castan Centre for Human Rights Law, 2004), hlm. 106.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
16
Faiq Tobroni, S.H.I dan
hati
nurani,
hak
beragama,
hak
untuk
tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. B.4. Menyoal Efektivitas Hukuman Mati Pidana mati ditampung sebagai hukuman bagi teroris, yakni
Pasal
618,
Pasal
Keberadaan hukuman mati
919,
Pasal
1020
dan
Pasal
1421.
sampai saat ini masih menjadi
perdebatan. Menyikapi hukuman mati, para ahli terbelah
18
Peraturan Pemerintah No. 1 Th. 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.” 19 Pasal 9 menyatakan “Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 20 Pasal 10 Menyatakan Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (pidana mati), setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional. 21 Pasal 14 menyatakan “Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.”
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
17
Faiq Tobroni, S.H.I menjadi
dua
kelompok
yakni
retentionist
(pendukung
hukuman mati) dan abolishionist (penghapus hukuman mati). Mereka
yang
menolak
hukuman
mati
beranggapan
bahwa
hukuman ini bertentangan dengan HAM. Pasal 28I UUD 1945 juga menyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk saat menjadi terpidana. Kecenderungan negara-negara di dunia juga mulai menghapus hukuman mati. Setelah membaca dan memperhatikan bunyi pasal 28 UUD 1945,
Prof.
Universitas
William Nasional
Asasi
Manusia
dalam
segala
tersebut.
Dia
A.
Schabas
Irlandia
Irlandia—
–seorang
dan
guru
Direktur
mengatakan
bahwa
bentuknya
bertentangan
mengkritik
pelaksanaan
besar
Pusat
hukuman dengan
Hak mati
pasal
konstitusi
ini
dengan menunjukkan adanya pertolak-belakangan dalam dua model pengakuan atas “hak untuk hidup� tersebut, yakni: (i) ketentuan yang absolut mengenai hak untuk hidup dan tidak
diperbolehkannya
pembatasan namun
tersirat;
secara
penyiksaan,
(ii)
eksplisit
dengan
dikukuhkannya
mengakui
hukuman
sejumlah
hak-hak mati
asasi, sebagai
pembatasan terhadap hak untuk hidup. Ketentuan pertama seharusnya mempunyai konsekuensi bahwa
segala
pengakuan
dan
bentuk
hukuman
tidak
sejalan
mati
bertentangan
(incompatible)
dengan
atas
hak
hidup manusia dan/atau pelarangan penyiksaan (prohibition on torture). Ia menyarankan Mahkamah Konstitusi Indonesia MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
18
Faiq Tobroni, S.H.I berpikir
konsisten.
Ditambahkannya
bahwa
penghapusan
hukuman mati di beberapa negara telah berjalan berangsurangsur
dari
memperketat
pelaksanaannya
sampai
penghapusannya.22 Komponen instrumen internasional yang tertuju untuk menghapus hukuman mati adalah: 1. Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi,
“Setiap
orang
berhak
atas
kehidupan,
kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. 2.
Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal
7
Political
International
Covenant
Rights-ICCPR,
yang
on
Pasal
Civil 6
and
berbunyi
“bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu” dan Pasal 7 berbunyi “tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam,
diperlakukan
manusiawi
atau
meratifikasinya
atau
dihina”. menjadi
dihukum
secara
Indonesia Undang-Undang
tidak
juga
telah
12
tahun
2005. 3. Second Optional Protocol of ICCPR aiming of The Abolition of Death Penalty, tahun 1990. Instrumen ini
bertujuan
untuk
penghapusan
hukuman
mati.
22
William A. Schabas, The Abolition of the Death Penalty in International Law (Cambridge: University Press of Cambridge, 2002). Lihat juga Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Gramedia Kompas, 2007), hlm. 84.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
19
Faiq Tobroni, S.H.I Hingga
saat
ini,
tercatat
50
negara
telah
meratifikasi. Protocol
4.
No.
Protection
6
Human
European Rights
Convention
for
and Fundamental
the
Freedom,
1950 (berlaku mulai 1 Maret 1985). Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan hukuman mati di kawasan Eropa 5. The Rome Statute of International Criminal Court, 17
Juli
ketentuan
1998.
Pasal
tersebut
7
(tujuh)
tidak
instrumen
atau
hukuman
mati
mengatur
sebagai salah satu cara penghukuman. Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi . Menurut ahli hukum Indonesia, hukuman mati sebagai sanksi pidana tidak memenuhi aspek penghormatan kepada the sanctity of (human) life. Hukuman ini hanya mempunyai aspek untuk mendeter (menangkal) orang lain agar jangan melakukan perbuatan yang menyebabkan terpidana dikenakan hukuman
mati.
Pada
hakikatnya
hukuman
mati
menetapkan
manusia hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang bukan manusia yang dikenainya. Ini berarti bahwa hukuman mati secara langsung bertentangan dengan titik tolak
dan
tujuan
dari
hukum
itu
sendiri,
yakni
penghormatan atas martabat manusia dalam kebersamaannya. Dengan
demikian,
hakikatnya
hukuman
dapatlah mati
tidak
disimpulkan mempunyai
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
bahwa
pada
tempat
dalam
20
Faiq Tobroni, S.H.I gagasan
hukum
berdasarkan
Pandangan
Hidup
Pancasila
(Kekeluargaan).23 Prof.
Sahetapy
dalam
skripsi
dan
disertasinya
menyatakan
dengan
gamblang
bahwa
hukuman
bertentangan
dengan
Pancasila.
Karena
Pancasila
sila
keduanya
menekankan
“keadilan”
berangkat
dari
“keberadaban”,
mati
berbarengan
pemahaman
bahwa
dalam dengan
hukuman
mati bertentangan dengan Pancasila, maka sehingga hukuman yang
patut
bukannya
mereka
turut
dibunuh
namun
perlu
direstorasi dengan pembinaan yang intensif .24 Menurutnya, landasan
teori
diberlakukannya
hukuman
mati
yang
didasarkan kepada teori retributif dan deterrent effects sama sekali tidak bisa dipakai menjadi landasan pembenar diberlakukannnya hukuman mati. Menguji Hukuman Terorisme Banyak
kalangan
Mati
mengkritik
Sebagai
Efek
pemeberlakuan
Jera
hukuman
mati yang dijadikan sarana efektif menangkal merebaknya terorisme. Alasan lain secara lebih rinci didasarkan atas pemikiran sebagai berikut: Pertama, hukuman mati saat ini tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat modern kerena menyerahkan keputusan hidup-mati seseorang ke tangan hakim yang tidak luput dari kesalahan. Kedua, hukuman
mati
tidak
selalu
efektif
sebagai
salah
satu
23
Ibid.,,, dalam Arief Sidharta “Analisis Filosofikal terhadap Hukuman Mati di Indonesia” ... hlm. 224-237. 24 J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana (Jakarta: Rajawali, 1982), hal. 202.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
21
Faiq Tobroni, S.H.I upaya pencegahan atau membuat orang jera untuk melakukan kejahatan.25 Ketiga, atas dasar pertimbangan kemanusiaan, hukuman
mati
kesempatan
melanggar
seorang
nilai-nilai
terpidana
HAM
untuk
yang
menutup diri.26
memperbaiki
Dari sini, para aktivis HAM menilai meski bukan tindakan yang menentang hak hidup secara langsung, namun penerapan hukuman
mati
pembunuhan
sesungguhnya
yang
telah
merupakan
direncanakan
bentuk
atas
tindak
nama
hukum
(negara).27 Bukti bahwa hukuman mati tidak ampuh untuk memberi efek
jera
kepada
pelaku
teroris
ini
menemui
faktanya
dengan pengakuan terdakwa yang telah divonis pidana mati. Tahun 2002 Pengadilan Negeri Denpasar memvonis hukuman mati
bagi trio Bom Bali I. Mereka adalah Imam Samudra,
Amrozi dan Ali Ghufron alias Mukhlas. Imam dan Amrozi secara terang-terangan menolak mengajukan grasi.28 akhirnya,
kejaksaan
agung
baru
mengeksekusi
Ali
Pada dan
Amrozi pada tahun 2009. Lalu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
pada
tanggal
13
November
2005
memvonis
Iwan
Darmawan alias Rois dengan hukuman mati. Menariknya, dia tidak mau sedikitpun melawan untuk melakukan grasi karena 25
Efektivitas penegakan hukum bergantung pula pada tingkat kepercayaan masyarakat. Roger Cotterrel, Sociology of Law: Theory and Method of Study of Law (London: Butterworth, 1984), hlm. 54. 26 Lihat Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati (Jakarta: Aksara Press Persada, 1985), hlm. 99. 27 Barda Nawawi Arief, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara (Semarang: CV Ananta, 1994), hlm. 18. 28 Imam Samudra: Saya tak akan Minta Grasi, Republika, 18 Agustus 2005. Keluarga Pengebom Bali Menolak Ajukan Grasi, Koran Tempo, 15 Oktober 2005.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
22
Faiq Tobroni, S.H.I dalam
keyakinannya
bahwa
akibat
vonis
kepadanya
yang
dholim, maka dia akan mendapat balasan sebagai seorang syuhada’.29 Selain itu, setelah terjadinya bom bunuh diri di bali, bom bunuh diri masih sering terjadi di Indonesia. Di
antaranya
adalah
di
yang
Hotel
paling
J.W.
terbaru
Marriot
pada
dan
tahun
Ritz
2009
Carlton.
ini
Pasca
pengeboman tersebut, Polisi berhasil menangkap Ibrahim di Temanggung, Nurdin M. Top beserta pengawalnya di Solo, Syaifuddin
Zuhri
di
Tangerang
serta
beberapa
teroris
lain. Kritik lain mengenai hukuman mati diberikan pakar beberapa
pakar
lain.
Menurutnya,
landasan
teori
diberlakukannya hukuman mati yang didasarkan kepada teori retributif dan deterrent effects sama sekali tidak bisa dipakai
menjadi
hukuman mati.
landasan
pembenar
diberlakukannnya
Kalau dibaca secara analisis pasal HAM di
UUD 1945 maka penggunaan teori retributif itu tertolak dengan semangat UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dijamin kehidupannya dan tidak mendapat
penyiksaan.
Hak-hak
demikian
merupakan
(non-
derogable rights) yakni hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, baik dia menjadi narapidana maupun orang
29
yang
merdeka.
Berdasarkan
sila
kedua,
spirit
Divonis Mati, Rois Bersyukur, Suara Pembaruan, 14 September
2005.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
23
Faiq Tobroni, S.H.I Pancasila
selain
menganjurkan
menekankan
keberadaban.
keadilan
juga
sangat
Teori pembalasan (retributif)
hanya bisa memenuhi amanat Pancasila dari aspek keadilan saja, sedangkan tidak memenuhi aspek keberadaban. Dengan demikian, hukuman mati bertentangan dengan pemenuhan hak hidup yang sifatnya non-derogable rights.
B.5. Analisis Mengenai pemberlakuan Asas Retroaktif dan Hukuman Mati Menyikapi akan
mengutip
pandangannya,
pemberlakuan pendapat bahwa
asas
Dr.
memang
retroaktif
Artidjo asas
ini,
Alkotsar.
retroaktif
saya Dalam
ini
boleh
diberlakukan bagi kejahatan HAM berat. Menurutnya, dasar teoritis
retroaktif
adalah
sebagai
berikut:
pertama,
principle of justice; kedua, tanpa adanya retroaktif maka akan banyak penjahat kemanusiaan yang tidak diadili dan akan
menimbulkan
ketiga,
semakin
penerapannya
banyaknya
tidak
bisa
pelanggaran; dianggap
dan
sebagai
pelanggaran asas legalitas dalam hukum HAM Internasional demi menegakkan prinsip keadilan dan kemanusiaan.30 Terorisme
bisa
disepadankan
dengan
kejahatan
HAM
karena memakan korban banyak nyawa. Artidjo menambahkan bahwa pemberlakuan asas ini berdasarkan kenyataan sudah dilarangnya
kejahatan
tersebut
secara
prinsipil
sejak
30
Artidjo Alkotsar. Hukum HAM Internasional (Pascasarjana Fakultas Hukum UII: Modul Kuliah, 2010).
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
24
Faiq Tobroni, S.H.I awal
bahkan
sebelum
terbentuknya
UU
Terorisme.
Secara
prinsipil membunuh orang lain dengan sengaja merupakan larangan dalam ajaran agama dan budaya apapun, bahkan telah tercantum dalam KUHP. Dengan demikian, prinsip tersebut tinggal disamakan dalam
membaca
melakukan pasti
bom
akan
kasus
terorisme.
bunuh
diri
merenggut
Aksi
secara
nyawa
terorisme
dengan
konsekuensinya
banyak
orang.
sudah
Berdasarkan
akibatnya yang lebih parah dalam kejahatan terorisme di banding dengan pembunuhan biasa, dengan demikian, hukuman mati bagi teroris mendapati dasarnya dari prinsip ini. Memvonis hukuman mati bagi Amrozi, cs dengan menggunakan UU 15/2003 tidak melanggar asas legalitas. Apalagi dalam penjelasan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM dinyatakan bahwa
asas
melindungi
retroaktif hak
asasi
dapat
diberlakukan
manusia
itu
dalam
sendiri
rangka
berdasarkan
Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Pada menyetujui
bagian
hukuman
dianggap
mati,
sebagai
hukum
Indonesia
pelanggaran
tidak
terhadap
HAM.
Mengenai konsep HAM menurut UUD 1945, telah dijelaskan oleh Lukman Saefudin pada persidangan tanggal 23 Mei 2007 bahwa pada dasarnya saat merumuskan Bab XA (Hak Asasi Manusia) rujukannya atau yang melatarbelakanginya adalah ketetapan
MPR
Nomor
XVII/MPR/1998.
Dari
ketetapan
MPR
tersebut kemudian lahir Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya adalah sama MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
25
Faiq Tobroni, S.H.I yaitu menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.31 Dari perspektif original intent pembentukan UUD 1945, seluruh keberlakuan hak asasi manusia dapat dibatasi. Jadi, penafsiran secara sistematis hak asasi manusia yang diatur dalam pasal 28A sampai dengan pasal 28I UUD 1945 tunduk kepada pembatasan yang diatur dalam pasal 28J UUD 1945. Sistematika ini juga sejalan dengan sistem pengaturan dalam universal declaration of human rights yang juga menempatkan pasal pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu pasal 29 ayat (2).32 Kelompok
yang
harus
memandang
juga
sebagai
Berlakunya
menuntut
HAM
selain
masalah
penghapusan sebagai
nasional
dokumen-dokumen
diselaraskan,
diserasikan
hukuman
masalah
universal,
masing-masing internasional
dan
mati
diseimbangkan
bangsa. harus serta
memperoleh dukungan dan tertanam dalam budaya bangsa.33 Apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia, hukuman mati tidak saja legal dalam undang-undang, namun juga sesuai spirit
rakyat
yang
bermayoritas
beragama
Islam.
Karenanya, wajar dan sah jika hukum Islam ikut andil dan
31
Sebenarnya mengenai batasan pelaksanaan HAM juga telah dibahas dalam konstitusi sebelum amandemen, meliputi: Konstitusi RIS 1949 dan UUDs 1950. Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 102-110. 32 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi dalam “Putusan Mahkamah Konstitusi: Hukuman Mati Tidak Bertentangan dengan Konstitusi...hlm. 373. 33 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan Penerbit Undip, 1997), hlm. 2-4.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
26
Faiq Tobroni, S.H.I memperjuangkan
hukuman
mati
untuk
tetap
eksis
di
Indonesia.34 Untuk
menghargai
kepentingan
bangsa
dan
negara,
Muladi mengemukakan bahwa setidaknya ada empat kelompok pandangan
tentang
hukuman
mati
dalam
perspektif
HAM.
Pertama, mereka yang berpandangan universal-absolut, yang melihat HAM sebagai nilai-nilai universal. Mereka tidak menghargai sama sekali profil sosial budaya yang melekat pada
masing-masing
berpandangan
bangsa.
universal-relatif,
Kedua, mereka
Mereka ini
di
yang samping
memandang persoalan HAM sebagai masalah universal, juga ada
pengecualian
internasional.
yang
didasarkan
Ketiga,
partikularistik-absolut,
atas
mereka yang
asas-asas
yang
melihat
hukum
berpandangan HAM
sebagai
persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan alasan yang kuat, dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya dokumen-dokumen
internasional.
Keempat,
mereka
yang
berpandangan partikularistik-relatif, yang memandang HAM selain sebagai masalah universal, juga sebagai masalah nasional masing-masing bangsa. Menurut pandangan keempat ini,
berlakunya
diselaraskan,
dokumen-dokumen
diserasikan
dan
internasional diseimbangkan
harus serta
memperoleh dukungan dan tertanam dalam budaya bangsa.35
34
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Angkasa, 1996), Ed. II, hlm. 33. 35 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,... hlm. 2-4.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
27
Faiq Tobroni, S.H.I Berdasarkan empat pandangan tersebut, lanjut Muladi, sikap
bangsa
pandangan
Indonesia
sudah
jelas,
partikularistik-relatif,
menemukan
titik
tersebut
atas
mengesampingkan
dialogis dasar
di
antara
Pancasila
substansi
dan
yaitu
menganut
dengan
berusaha
empat
pandangan
UUD
1945,
dokumen-dokumen
tanpa
internasional
tentang HAM.36 Kehendak untuk menghapuskan hukuman mati di Indonesia orang
pada
(pelaku)
menjadi
dasarnya
lebih
ketimbang
korban
menonjolkan
perlindungan
kejahatan.
Selain
pada
faktor
masyarakat
itu,
menurut
yang para
pembela HAM, ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) UUD
1945
ketentuan
dianggap itu
secara
sebagai eksplisit
nilai
mutlak.
dibatasi
Padahal,
keberlakuannya
berdasarkan ketentuan Pasal 28J UUD 1945.37 C. Kesimpulan Teroris juga manusia. Mereka juga mempunyai hak asasi yang melekat dalam dirinya karena posisi kemanusiaanya. Dengan
demikian,
teroris
mempunyai
hak
untuk
tidak
dilanggar hak asasinya selama proses pengadilan dan vonis hukuman baginya. Adanya pemberlakuan asas retroaktif dan hukuman
mati
ini
mengundang
pertanyaan
menyangkut
perlindungan HAM bagi teroris. Dalam bahasan di atas telah dinyatakan secara jelas bahwa dua objek tersebut tidaklah melanggar HAM. Hal ini 36
Ibid..., hlm. 4. Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi,... hlm. 271. 37
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
28
Faiq Tobroni, S.H.I disebabkan
Indonesia
mempunyai
politik
hukum
(legal
policy) yang khusus dalam pemberlakuan hukum perlindungan HAM.
Terkait
berdasarkan kategori
pemberlakuan
kesepakatan
kejahatan
asas
bahwa
HAM
berat.
retroaktif,
teorisme Hukuman
ini
dimasukkan
bagi
pelakunya
dipersamakan dengan penjahat HAM. Karena menjadi penjahat HAM, maka pasal 28I tidak berlaku bagi mereka. Kemudian
mengenai
diperjelaskan membahas
juga
hak
HAM
tidaklah pasal
Lukman mulai
hukuman
pelaksanaan
dibatasi
menurut
pasal-pasal
bahwa
hidup
Pemberlakuannya hukumnya,
pemberlakuan
28I
bersifat 28J.
Saefuddin, 28A-28I
pasal
mati,
mutlak.
Secara bahwa
adalah
yang
politik
keberadaan
tidak
mutlak
keberadaannya. Pemberlakuan HAM masih dibatasi oleh Pasal 28J.
Kehendak
Indonesia
untuk
pada
menghapuskan
dasarnya
hukuman
secara
mati
eksplisit
di
dibatasi
keberlakuannya berdasarkan ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Berdasarkan, dua permasalah pokok tersebut di atas, penulis tidak mempermasalahkan mengenai pencantuman asas retroaktif justru
dalam
perlu
Berdasarkan
UU
Pemberantasan
dalam
teori
Terorisme.
kejahatan
sederhana
dari
Asas
kemanusiaan Artidjo
ini
berat.
Alkotsar
di
atas, bahwa sekiranya tidak ada asas retroaktif ini maka akan
banyak
diproses
kejahatan
hukum.
Di
kemanusiaan
samping
itu,
yang
tidak
bahwasannya
prinsipil kejahatan kemanusiaan seperti terorisme MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
bisa secara telah
29
Faiq Tobroni, S.H.I mendapatkan
dasar
pemidanaannya
dalam
kejahatan
pembunuhan berencana sebagaimana dalam Pasal 304 KUHP. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah masalah pemberlakuan bahwa
hukuman
hukuman
menghentikan lapangan, seperti
mati
kritik
sama
Imam
Samudra
pasca
eksekusi
muncul
banyak
teroris
mati
dengan
benar dan
terpidana baru.
tampaknya
harus
karena
dikaji
tidak
Bukti
ternyata
policy
di
terpidana
justru
mati.
mati
Legal
efektif
kenyataan
Rois
pidana
meragukan
sarana
Berdasarkan
tampaknya
sekali
kalangan
menjadi
ini
adalah
hukuman
Banyak
bisa
terorisme.
Amrozi,
menyesal
mati.
lain
justru
pemberlakuan ulang
demi
efektivitas mencegah terorisme selanjutnya. Mungkin saran yang tepat adalah diberi bimbingan dan penyadaran dalam tahanan penjara.
Daftar Pustaka 1. Buku-buku Alkotsar, Artidjo. Hukum HAM Internasional (Pascasarjana Fakultas Hukum UII: Modul Kuliah, 2010). Amstrong, Karen, Islam: A Short History (New York: Modern Library, 2000). Arief, Barda Nawawi, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara (Semarang: CV Ananta, 1994). Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Angkasa, 1996). Cassese, Antonio, International Criminal Law (New York: Oxford University Press, 2003). Cotterrel, Roger, Sociology of Law: Theory and Method of Study of Law (London: Butterworth, 1984). Cranston, Maurice, What Are Human Rights? (New York: Basic Books, 1962). Davis, Tom (ed), Human Rights 2003: The Year in Review (Monash University: The Castan Centre for Human MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
30
Faiq Tobroni, S.H.I Rights Law, 2004). Peraturan Pemerintah No. 1 Th. 2001 Donelly, Jack, The Concept of Human Rights (New York: St Martin’s Press, 1985). Kolocotronis, Jamilah, Islamic Jihad: An Historical Perspective (Indianapolis: American Trust Publications, 1990). Lubis, Todung Mulya dan Alexander Lay (ed), Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Gramedia Kompas, 2007). Mahfudz, Moh. MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2006). Mahfudz, Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009). Marzuki, Suparman, Politik Hukum HAM di Indonesia; Studi Atas Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu (Program Doktor UII Yogyakarta: Disertasi, 2010). Muhtaj, Majda El-, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007). Muladi, Demokratisasi, HAM dan Reformasi Hukum Indonesia (Jakarta: The Habibie Centre, 2002). Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan Penerbit Undip, 1997). Sahetapi, J.E., Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana (Jakarta: Rajawali, 1982). Salmi, Akhiar, Eksistensi Hukuman Mati (Jakarta: Aksara Press Persada, 1985). Schabas, William A., The Abolition of the Death Penalty in International Law (Cambridge: University Press of Cambridge, 2002). Soetandyo, HAM: Konsep dasar dan pengertiannya Yang Klasik Pada Masa Awal Perkembangannya, dalam Kumpulan Tulisan tentang HAM (Suarabaya: PUSHAM UNAIR, 2003). Thontowi, Jawahir, Islam, Neo-Imperialisme dan Terorisme (Yogyakarta: UII Press, 2004). 2. Konvensi dan UU UUD 1945 Peraturan Pemerintah No. 1 dan 2 Th. 2002 tentang Pemberantasan Aksi Kejahatan Terorisme UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Aksi Kejahatan Terorisme Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, 1970. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, 1971. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety Marine Navigation, 1988.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
31
Faiq Tobroni, S.H.I Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Self. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Person, 1973. International Convention Against The Taking of Hostages, 1979. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, 1986. Convention on the marking of the Plastic Explosive for the purpose of detection, 1991. International convention for the suppression of terrorist bombing, 1997. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999. 3. Surat Kabar Imam Samudra: Saya tak akan Minta Grasi, Republika, 18 Agustus 2005. Keluarga Pengebom Bali Menolak Ajukan Grasi, Koran Tempo, 15 Oktober 2005. Divonis Mati, Rois Bersyukur, Suara Pembaruan, 14 September 2005.
MH UII Yogyakarta Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta 55223
32