“Penerapan Pendidikan Multikultural di
Pesantren : Strategi Mengubah Stigma Pesantren sebagai Gudang Terorisme dan Radikalisme� Oleh: Angga Setiyawan
ABSTRAK Kasus teror dan terorisme di Indonesia memang menjadi isu hangat yang tak pernah sepi dibicarakan. Sejak kemunculan kasus peledakan bom Bali satu pada tahun 2002 dan bom Bali dua pada tahun 2005, Indonesia menyatakan perang terhadap aksi teror dan terorisme. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata kasus peledakan bom yang terjadi akhir-akhir ini adalah kasus bom bunuh diri. Jika memperhatikan latar belakang para pelaku, sebagian besar merupakan alumni pondok pesantren yang sejatinya paham akan nilai-nilai luhur agama dan kitab suci. Demikian pula beberapa pelaku pengeboman Bali juga melibatkan mereka yang pernah belajar di pesantren. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian Amerika Serikat mulai membidik pesantren sebagai basis terorisme di Indonesia. Munculnya asumsi yang mengatakan bahwa pesantren sebagai basis terorisme bermula saat muncul isu bahwa Pesantren Ngruki merupakan salah satu basis al Jamaah al Islamiyah. Berdasarkan rumusan masalah inilah, maka tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah : 1)Mendeskripsikan sistem pendidikan yang diterapkan pesantren, 2) Mendeskripsikan potensi dan strategi penerapan pendidikan multikultural di pesantren dalam upaya mengubah stigma pesantren sebagai gudang terorisme dan radikalisme. Berdasarkan pemaparan dalam karya tulis ini, adapun simpulan yang dapat ditarik antara lain : 1) Sejauh ini, sistem pendidikan yang berjalan di
2
pesantren pada umumnya sudah mengikuti arus modernisasi dengan menyeimbangkan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Salah satu langkah yang dilakukan pesantren dalam hal ini adalah dengan menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal yang sering disebut dengan madrasah. Adapun jenjang pendidikan dalam madrasah itu sendiri meliputi madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) dan Aliyah (setingkat SMA) bahkan Perguruan Tinggi. 2) Penerapan pendidikan multikultural di pesantren mempunyai potensi yang besar dalam menekan perkembanagan terorisme dan radikalisme serta mengubah kecurigaan publik yang menganggap pesantren sebagai gudang teroris. Pemikiran-pemikiran sentimen agama dan kebudayaan sebagai faktor utama munculnya radikalisme dan terorisme mampu dilebur dengan pemahaman yang baik tentang konsep multikultural. Adapun strategi pelaksanaannya adalah dengan melakukan diskusi forum kepada para santri yang berada dijenjang pendidikan setingkat SMA disamping pelajarn formal dalam madrasah. Diskusi forum ini dapat dilakukan dalam forum ceramah-ceramah atau kajian yang biasa dilakukan tiap pagi dan tiap sore. Kata Kunci: terorisme, radikalisme, pesantren, pendidikan multikultural
3
I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus teror dan terorisme di Indonesia memang menjadi
isu
hangat
yang
tak
pernah
sepi
dibicarakan. Sejak kemunculan kasus peledakan bom Bali satu pada tahun 2002 dan bom Bali dua
pada
tahun 2005, Indonesia menyatakan perang terhadap aksi teror dan terorisme. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata kasus peledakan bom yang terjadi akhir-akhir ini adalah kasus
bom
belakang
bunuh para
diri.
pelaku,
Jika
memperhatikan
sebagian
besar
latar
merupakan
alumni pondok pesantren yang sejatinya paham akan nilai-nilai
luhur
agama
http://islamlib.com/id).
dan
kitab
Demikian
suci
pula
(dalam beberapa
pelaku pengeboman Bali juga melibatkan mereka yang pernah
belajar
di
pesantren.
Karena
itu,
tidak
mengherankan jika kemudian Amerika Serikat mulai membidik
pesantren
sebagai
basis
terorisme
di
Indonesia. Munculnya asumsi yang mengatakan bahwa
4
pesantren
sebagai
basis
terorisme
bermula
saat
muncul isu bahwa Pesantren Ngruki merupakan salah satu
basis
al
Jamaah
al
Islamiyah
(dalam
http://www.radarlampung.co.id). Berdasarkan inilah
problematika
penulis
dan
mencoba
opini
publik
memberi
gagasan
penanggulangan opini publik tersebut dan mencegah penyebarluasannya
melalui
multikultural
pesantren.
pendidikan
di
penerapan
multikultural
pendidikan
Melalui
penerapan
diharapkan
mampu
menciptakan karakter para santri yang mahir ilmu agama,
berwawasan
menyikapi
segala
global,
perbedaan
serta kultur
arif yang
dalam
mencakup
suku, ras, agama dan aliran kepercayaan. Sehingga ke depannya nanti angka kasus teror dan terorisme di
Indonesia
dapat
ditekan
atau
bahkan
diatas,
masalah
dihilangkan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dalam
karya
berikut:
latar
tulis
ini
belakang dapat
dirumuskan
sebagai
5
1. Bagaimanakah
sistem
pendidikan
yang
diterapkan
strategi
penerapan
pesantren saat ini? 2. Bagaimana
potensi
dan
pendidikan multikultural di pesantren dalam upaya mengubah stigma pesantren sebagai gudang terorisme dan radikalisme? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan
yang
ingin
dicapai
dari
penyusunan
gagasan tulis ini adalah : 1.Mendeskripsikan sistem pendidikan yang diterapkan pesantren. 2.Mendeskripsikan
potensi
dan
strategi
penerapan
pendidikan multikultural di pesantren dalam upaya mengubah
stigma
pesantren
sebagai
gudang
terorisme dan radikalisme. 1.4 Manfaat Penulisan Penulisan bermanfaat
karya
baik
tulis
secara
ini
teoretis
diharapkan maupun
dapat
praktis.
Secara teoretis karya tulis ini diharapkan mampu memberikan pendidikan tuntutan
kontribusi formal
arus
dalam
terhadap pesantren
modernisasi.
Secara
perkembangan yang
memenuhi
praktis
karya
6
tulis
ini
diharapkan
menghadapi baru-baru sebagai
serta ini
mampu
menanggulangi
dialamatkan
lahan
memberikan
subur
strategi
kecurigaan
pada
pondok
pertumbuhan
yang
pesanten
terorisme
dan
radikalisme melalui pendidikan Multikultural yang mampu menumbuhkan karakter santri yang mahir ilmu agama, berwawasan global, dan arif dalam menyikapi segala
macam
perbedaan.
Lebih
jauh
lagi,
kedepannya karya tulis ini juga diharapkan mampu menekan
angka
terorisme
dan
radikalisme
di
Indonesia. 1.5 Ruang Lingkup Penulisan Penulisan karya tulis yang berjudul “Penerapan pendidikan Multikultural di Pesantren : Strategi Mengubah Stigma Pesantren sebagai Gudang Terorisme dan
Radikalisme�
terlingup
dalam
bidang
dalam
Ma’hadi,
2004),
adalah
pendidikan
pendidikan. II. TELAAH PUSTAKA 2.2 Pendidikan Multikultural Menurut pendidikan
Hilliard
(
multikultural
untuk
7
atau tentang kebudayaan dalam merespon perubahan demografis
dan
kultural
yang
terjadi
dalam
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan.
konsep
multikultural
Jadi
dapat
disini
dikatakan
tidak
hanya
bahwa
sebatas
dalam lingkungan lokal atau wilayah Indonesia saja melainkan
juga
melingkupi
wilayah
internasional
atau dunia secara keseluruhan. Pendidikan
multikultural
pada
prinsipnya
mengajarkan pada kita tentang pentingnya menjaga harmoni
hubungan
antar
manusia
dalam
kaitannya
dengan segala perbedaan yang ada secara kultural, etnik,
bahkan
religi
sekalipun
(Soyomukti
2008:78). Melalui pendidikan multikultural inilah manusia diajarkan untuk hidup damai berdampingan dengan segala macam keberagaman yang ada. Dari
kedua
definisi
di
atas,
dapat
ditarik
sebuah simpulan bahwa pada dasarnya konsep utama pendidikan keberagaman
multikultural dengan
adalah
tujuan
memahami
terciptanya
harmoni atau perdamaian dalam hidup. 2.1 Pesantren
adanya sebuah
8
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk
mempelajari,
menghayati,
dan
menekankan
pentingnya
memahami,
mengamalkan
ajaran
moral
mendalami,
Islam
keagamaan
dengan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari (Mastuhu, 1994:55) Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren memang lebih
identik
atau biasa disebut sebagai
pondok pesantren. M. Arifin (dalam A. malik, dkk 2007:8)
mendefinisikan
pondok
pesantren
sebagai
suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitarnya, dengan sistem asrama (pemondokan di dalam komplek) dimana santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian madrasah
yang
sepenuhnya
di
bawah
kedaulatan
kepemimpinan seseorang atau beberapa orang kyai. Secara
umum
dapat
dikatakan
bahwa
pesantren
merupakan lembaga pendidikan islam. Sebagai sebuah lembaga
pendidikan,
dituntut
untuk
otomatis
memberikan
pesantren
ilmu-ilmu
juga
pengetauan
umum lain di luar dari pengajaran agama yang biasa diberikan. 2.3
Terorisme dan Radikalisme
9
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:1185) Terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan. usaha
Sedangkan menciptakan
kekejaman
oleh
Indonesia
bahkan
teror
aksi
sering
teror
dimaknai
ketakutan,
seseorang hampir
di
diidentikkan
sebagai
kengerian,
atau
dan
kelompok.
seluruh dengan
dunia
Di aksi
aksi-aksi
pengeboman yang dilakukan di tempat-tempat umum yang menelan banyak korban jiwa. Aksi teror itu sendiri
biasanya
dilandasi
oleh
adanya
paham
radikalisme. Radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (KBBI, 2002:919)
III. METODE PENULISAN 3.1
Pendekatan Penulisan Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah
pendekatan
berdasarkan pendekatan
kajian ini
deskriptif kepustakaan.
diharapkan
dapat
kualitatif Pemilihan memberikan
gambaran secara cermat mengenai potensi dari objek
10
kajian. Dalam hal ini penulis berusaha memberikan alternatif solusi mengatasi masalah isu terorisme dan
radikalisme
Terutama
yang
berkaitan
berkembang dengan
di
Indonesia.
kecurigaan
public
terhadap pesantren sebagai lading subur tumbuhnya terorisme dan radikalisme.
3.2
Sasaran Penulisan Karya tulis ini mengkaji mengenai potensi dari pengembangan
sistem
pendidikan
Multikultural
sebagai sebuah usaha untuk mengatasi kecurigaan publik terhadap pesantren yang dianggap sebagai gudang teroris. Adapun sasaran dari gagasan tulis ini
adalah
para
santri
yang
berada
dijenjang
pendidikan setingkat SMA. Hal ini berkaitan dengan mental
dan
pribadi
santri
diusia
inilah
yang
sedang beranjak dewasa dan mencari jati diri serta sudah
bisa
untuk
dalam
menghadapi
mulai
diajak
perubahan
berpikir
sosial
yang
kritis terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat.
3.3
Sumber Data Penulisan karya tulis ini mengambil sumber data dari kondisi di lapangan berdasarkan penelitian
11
yang
pernah
kajian
serta
dilakukan
berkaitan
sumber-sumber
dengan
dari
objek
buku-buku
dan
teori yang relevan dengan topik penulisan, seperti artikel
koran
dan
internet.
Sumber
kajian
ini
diharapkan dapat memperkuat pembahasan topik.
3.4
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan
data
dilakukan
melalui
teknik
pemanfaatan data penelitian yang pernah dilakukan terhadap objek kajian serta memilah-milah sumbersumber
pustaka
yang
mendukung
penyelesaian
permasalahan dalam gagasan tulis ini.
3.5
Prosedur Penyusunan Karya Tulis Penyusunan gagasan tulis ini melalui tahapantahapan
yang
sistematis.
Adapun
langkah-langkah
yang dilakukan dalam menyusun gagasan tulis ini adalah
sebagai
merumuskan
berikut
masalah,
sumber-sumber
b)
:
a)
mencari
kepustakaan
yang
menemukan dan
dan
menyeleksi
relevan,
c)
menganalisis data untuk menjawab permasalahan, d) merumuskan pembahasan masalah, e) menarik simpulan dan merekomendasikan saran, dan f) menyusun karya tulis.
12
VI. ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Sistem Pendidikan Pesantren Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar untuk
mengembangkan
kepribadian
dan
kemampuan
peserta didik di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung
seumur
hidup
(Munib,
dkk
2006:26).
Yang perlu digaris bawahi disini adalah “di dalam dan
di
luar
sekolah�
hidup�.
Dengan
ketika
manusia
serta
demikian
“berlangsung
dapat
berusaha
dikatakan
meningkatkan
seumur bahwa
kualitas
hidup baik meningkatkan pengetahuan, kepribadian, atau pun keterampilan, maka tidak ada alasan untuk nihilnya wadah penyaluran keinginan tersebut. Sama halnya dengan para santri yang menuntut ilmu di pesanten, mereka tidak hanya dijejali dengan ilmuilmu
agama
saja
melainkan
juga
harus
diimbangi
dengan ilmu pengetahuan umum lain. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pada dasarnya pesantren
hanya
mengajarkan
agama
yang
sumber
kajiannya kitab-kitab yang berbahasa Arab (Nata, 2001:107).
Beberapa
metode
yang
lazim
digunakan
13
dalam pesantren antara lain: wetonan, sorogan, dan hafalan. santri
Wetonan
adalah
mengikuti
metode
pelajaran
kuliah
dengan
di
mana
duduk
di
sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak perlu.
kitab
masing-masing
Sorogan
menghadap
guru
adalah atau
dan
metode
kyai
mencatat
di
seorang
mana demi
jika
santri seorang
dengan membawa kitab yang yang akan dipelajarinya. Pengajian dengan metode ini merupakan pelimpahan nilai-nilai sebagai proses delivery of culture di pesantren
dengan
istilah
tutorship
atau
mentorship. Sedangkan metode hafalan adalah suatu metode di mana santri menghapal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Kebiasaan menghafal
dalam
merupakan
tradisi
system yang
pendidikan
sudah
pesantren
berlangsung
sejak
awal berdirinya. Sistem pendidikan dalam pesantren paling tidak meliputi (Tuanaya,
kurikulum 2007:2008).
modernisasi
kurikulum
menggabungkan pesantren.
dan
kurikulum
Praktek
metode Usaha
pembaruan
dilakukan dari
lapangannya
pembelajaran atau
dengan
cara
pemerintah adalah
dan
dengan
14
memasukkan tetap
pelajaran
memberikan
ilmu
pengetahuan
pelajaran
agama
umum
Islam
dan
sebagai
identitas dari pesantren itu sendiri. Dhofier menjadi
(1984)
dua
pesantren
mengklasifikasikan
macam
yaitu
khalaf.
mengajarkan
Pesantren
kitab-kitab
pendidikannya.
pesantren
Sedangkan
pesantren salaf
salaf
islam
dan hanya
sebagai
inti
khalaf
telah
pesantren
memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah yang yang telah dikembangkan atau membuka tipetipe sekolah umum di dalam lingkungan pesantren. Seiring pesantren
perkembangan juga
globalisasi
harus
dan
jaman,
mau
menyesuaikan
modernisasi.
tidak
mau
dengan
arus
Sebagai
lembaga
pendidikan, pesantren mulai bergerak mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran yang selama ini dianggap kuno. Salah satu langkah yang dilakukan pesantren
dalam
menyelenggarakan
hal
kegiatan
ini
adalah
pendidikan
dengan
formal
yang
sering disebut dengan madrasah. Dalam madrasah ini para santri memperoleh ilmu-ilmu pengetahuan umum sebagaimana
diajarkan
dalam
sekolah-sekolah
negeri. Adapun jenjang pendidikan dalam madrasah
15
itu
sendiri
(setingkat
meliputi
SD),
madrasah
madrasah
Ibtidaiyah
Tsanawiyah
(setingkat
SMP) dan Aliyah (setingkat SMA) bahkan Perguruan Tinggi.
Nafi’,
kecakapan
dkk
yang
masing-masing
(2007:87)
mengklasifikasikan
menjadi
bekal
jenjang.
Untuk
para
santri
jenjang
di
dasar
(Ibtidaiyah) adalah kecakapan santri memahami dan menjalankan ajaran agama Islam untuk pribadinya. Untuk
jenjang
menengah
pertama
(Tsanawiyah)
diberikan bekal kecakapan untuk lingkup keluarga kelak.
Jenjang
ditekankan para
yang
pada
santri.
diharapkan
menengah tingkat Pada
mampu
telah
atas
komunitas
jenjang
untuk
(Aliyah) tiap
ini
diperolehnya
individu
para
mengaplikasikan
lebih
santri
ilmu-ilmu
kedalam
kehidupan
bermasyarakat. 4.2
Potensi
dan
multikultural stigma
strategi
di
pesantren
penerapan
pesantren
dalam
sebagai
gudang
pendidikan
upaya
mengubah
terorisme
dan
radikalisme. Pesantren berbasis adanya
sebagai
islam wacana
memang
sebuah tidak
pengajaran
lembaga bisa
tentang
pendidikan
terlepas
dari
jihad.
Namun
16
konsep jihad itu sendiri sering salah diartikan secara
sempit
oleh
para
santri.
para santri muncul beriringan
Stereotip
dari
dengan menguatnya
fanatisme dalam individu santri. Pengetahuan yang kurang utama
proporsional munculnya
menjadi
paham
salah
jihad
satu
yang
pemicu
radikal
dan
berujung pada aksi-aksi teror.
Berbicara soal terorisme dan radikalisme serta bagaimana dari
cara
mengatasinya
analisa
terbentuknya
mengenai kedua
tidak
faktor
paham
yang
mampu
menyulut
terlepas pendukung
tersebut.
http://www.pesantrenvirtual.com, faktor
akan
ada
radikalisme
Dalam beberapa sebagai
pilar utama dalam aksi-aksi terorisme antara lain:
1. Faktor Pemikiran Berbagai
kerumitan
dan
kekacauan
yang
terjadi
hampir diseluruh dunia menimbulkan kemuakkan dari sebagian orang yang menganggap kekacauan tersebut sudah jauh keluar dari ajaran agama dan tidak bisa ditolerir lagi. Akibatnya muncul pemikiran untuk membumi hanguskan kerumitan yang terjadi
17
sebagai
upaya
untuk
mengantisipasi
perluasan
kekacauan itu.
2. Faktor Ekonomi William
Nock
pengarang
buku
“Perwajahan
Dunia
Baru� mengatakan: Terorisme yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi
yang
terjadi
di
dunia�.
Boleh
jadi
problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam
dan
dapat
melakukan
apa
saja,
termasuk
adalah
politik
melakukan terror.
3. Faktor Politik jika
politik
yang
dijalankan
kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal,
kekuatan-kekuatan
asing,
bahkan
politik
pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah
muncul
kelompok-kelompok
atas
nama
yang
berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya.
18
4. Faktor Sosial Diantara
faktor
menyimpang sering
adalah
terjadi
di
munculnya adanya
kondisi
dalam
perkara-perkara
yang
yang
berhujung
pada
pada
akhirnya
pemahaman konflik
masyarakat.
menyedot
perhatian
antipati
yang
Banyaknya
tindakan-tindakan
melahirkan
yang
massa
anarkis,
sekelompok
orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat.
5. Faktor Psikologis Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual kepahitan
seseorang. hidupnya,
Pengalamannya linkungannya,
dengan
kegaggalan
dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat
kegagalan
mengakibatkan
hidup
perasaan
diri
yang
dideranya,
terisolasi
dari
masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut
akan
melakukan
perbuatan
yang
19
mengejutkan
sebagai
reaksi
untuk
sekedar
menampakkan eksistensi dirinya.
6. Faktor Pendidikan Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering
menghardik
daripada
mendidik.
Maka
lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi.
Dengan melihat dan menganalisa faktor-faktor yang menyulut tumbuhnya radikalisme di atas, maka bukan sebuah
hal
yang
berlebihan
jika
dikatakan
bahwa
konsep pendidikan multikultural merupakan alternatif solusi paling efktif dan potensial guna menekan laju pertumbuhan radikalisme.
Secara umum konsep pendidikan multikultural tidak hanya berhenti sebatas kritik budaya saja, tetapi lebih diharapkan untuk menjadi counter hegemony yang bermakna
penolakan
menyebabkan
terhadap
terciptanya
akar-akar
sosial
yang
monokulturalisasi
di
20
masyarakat.
Dalam
konteks
ini,
pesantren
sebagai
sebuah lembaga pendidikan dituntut untuk mau membuka diri dengan pluralitas kebudayaan dan agama meskipun pada
dasarnya
pesantren
adalah
lembaga
pendidikan
berbasis islam. Selain itu pesantren juga diharuskan mengikuti
perubahan
sosial
yang
terjadi
dalam
masyarakat. Yang dimaksud dengan mengikuti perubahan sosial santri
dalam
masyarkat
dibiarkan
melupakan
ajaran
melainkan
para
bukan
‘liar’
tanpa
agama
sebagai
santri
memperoleh
serta
pluralitas
kebudayaan
lingkungan
disini
para
pengawasan
dan
kajian
diharuskan
memahami
sosial
berarti
mencari
pengetahuan
dan
agama
mereka.
utama,
di
Dengan
dan
mengenai sekitar demikian
pertumbuhan radikalisme yang berakar dari sentimen budaya dan agama dapat dihindari.
Bagian terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk
menguasai
dan
mampu
mengajarkan
mata
diajarkan.
Lebih
dari
diharapkan
dapat
menanamkan
pendidikan
pelajaran itu,
multikultural
secara
atau
professional
mata
seorang
kuliah
yang
pendidik
juga
nilai-nilai seperti
inti
dari
demokrasi,
21
humanisme, nilai
dan
pluralisme
keberagaman
pada
atau
menanamkan
peserta
didik.
nilai-
Berkaitan
dengan hal ini, maka strategi yag dapat dilakukan dalam
penerapan
pesantren santri
adalah
yang
pendidikan dengan
berada
multikultural
mengarahkan
dijenjang
sasaran
pendidikan
di pada
madrasah
aliyah atau setingkat SMA. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat anak seusia inilah yang dianggap sudah dewasa dan mampu diajak berpikir kritis. Sikap kritis
inilah
yang
harus
diarahkan dengan benar.
menjadi
perhatian
dan
Selain itu usia ini juga
dinilai rentan terhadap pendoktrinan yang berujung radikalisme
dan
terorisme
sehingga
jika
tidak
diarahkan dengan baik, maka bukan hal yang mustahil mereka akan menjadi pelaku tindak teror.
Dalam prakteknya, pengurus pesantren dan pengajar tidak perlu membuat mata pelajaran atau mata kuliah dan
rancangan
menerapkan dasarnya
program
pembelajaran
pendidikan
konsep
multikultural
multikultural
itu
khusus
untuk
ini.
Pada
sendiri
secara
tersirat bahkan tersurat sudah ada dalam beberapa mata
pelajaran
Namun
harus
seperti kita
sosiologi
akui
bahwa
dan
antropologi.
porsi
konsep
22
multikultural dalam kedua mata pelajaran itu masih terbilang minim. Sehingga tidak mungkin bila hanya mengandalkan
kedua
mata
pelajaran
tersebut
untuk
menanamkan konsep multikultural. Maka dari itu yang lebih penting dan paling utama dalah para pengajar maupun kyai dalam tiap-tiap pesantren diharapkan mau menyelipkan santri dalam
di
pengetahuan luar
madrasah
multikultural
kegiatan seperti
belajar
dalam
kepada
mengajar
ceramah
atau
para
formal kajian
kitab rutin yang dilakukan setiap pagi atau sore. Praktek kegiatan ini dapat dilakukan dengan format diskusi forum yang berjalan dua arus, sehingga para santri secara tidak langsung dilatih untuk berpikir kritis dalam menghadapi berbagai macam keberagaman atau pluralitas dan perubahan sosial yag ada dengan menggunakan agama sebagai pedoman utama mereka dalam berpikir dan bersikap.
V. PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan Pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
23
1. Sejauh
ini,
pesantren
sistem
pada
modernisasi
pendidikan
umumnya
yang
sudah
dengan
berjalan
mengikuti
menyeimbangkan
di
arus antara
pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Sebagai lembaga
pendidikan,
mengembangkan
pesantren
kurikulum
dan
mulai
metode
bergerak
pembelajaran
yang selama ini dianggap kuno. Salah satu langkah yang
dilakukan
pesantren
dalam
hal
ini
adalah
dengan menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal yang
sering
jenjang
disebut
pendidikan
meliputi
madrasah
madrasah
Tsanawiyah
dengan
dalam
madrasah.
madrasah
Ibtidaiyah (setingkat
itu
Adapun sendiri
(setingkat SMP)
dan
SD), Aliyah
(setingkat SMA) bahkan Perguruan Tinggi. Masingmasing
dari
ditetapkan
jenjang berbagai
pendidikan bekal
atau
tersebut
telah
kecakapan
yang
wajib diajarkan kepada santri. Untuk jenjang dasar (Ibtidaiyah) adalah kecakapan santri memahami dan menjalankan ajaran agama Islam untuk pribadinya. Untuk
jenjang
menengah
pertama
(Tsanawiyah)
diberikan bekal kecakapan untuk lingkup keluarga kelak.
Jenjang
menengah
atas
(Aliyah)
lebih
ditekankan pada tingkat komunitas tiap individu para santri.
24
2. Penerapan mempunyai
pendidikan potensi
perkembanagan
multikultural yang
terorisme
mengubah
kecurigaan
pesantren
sebagai
besar dan
pesantren
dalam
menekan
radikalisme
publik gudang
di
yang
teroris.
serta
menganggap Pemikiran-
pemikiran sentimen agama dan kebudayaan sebagai faktor utama munculnya radikalisme dan terorisme mampu dilebur dengan pemahaman yang baik tentang konsep
multikultural.
pelaksanaannya forum
kepada
adalah para
Adapun
dengan
melakukan
santri yang berada
strategi diskusi dijenjang
pendidikan setingkat SMA disamping pelajarn formal dalam madrasah. Diskusi forum ini dapat dilakukan dalam forum ceramah-ceramah atau kajian yang biasa dilakukan tiap pagi dan tiap sore. 5.1 Saran Adapun saran yang dapat direkomendasikan adalah pemerintah melalui Departemen Agama dan Departemen Pendidikan diharapkan lebih memperhatikan kondisi dan perkembangan pesantren di seluruh tanah air. Hal
ini
perlu
dilakukan
agar
perkembangan
dan
pengajaran di pesantren dapat dipantau dengan baik serta
menghindari
pendoktrinan-pendoktrinan
yang
25
menyimpang terhadap para santri. Selain itu pihak pesantren juga diharapkan mau menjalin kerjasama yang baik dengan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan
dalam
rangka
belajar mengajar.
penyelenggaraan
kegiatan
Tak sampai disitu saja,
pihak
pesantren dan para pengajar maupun kyai diharapkan juga
mampu
profesional
menyeimbangkan
antara
proporsional
pendidikan
umum.
diharapkan
mampu
menanamkan
nilai-nilai
keberagaman
atau
pluralitas
agama
para
santri
hal
ini
sehingga
dalam
agama
pendidikan
kepada
Dalam
dan
para
mampu
dan
pengajar
dan
luhur budaya
mencipatak
pribadi santri yang mahir ilmu agama, berwawasan global, dan arif dalam menanggapi perbedaan serta tidak
ada
fanatisme
sempit
yang
berujung
pada
radikalisme dan terorisme dalam individu santri.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsari.1984. Tradisi Pesantren. Jakarta : LP3ES Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta : INIS.
26
Munib,
ahmad,
dkk.
2009.
Pengantar
Ilmu
Pendidikan.
Semarang : UNNES Press. Nafi’,
M.
Dian, dkk. 2007. Praksis Pesantren. Yogyakarta : ITD.
Pembelajaran
Nata,
Abuddin (ed). 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia.
Pusat
Bahasa. 2002. Kamus Besar Jakarta : Balai Pustaka.
Soyomukti,
Bahasa
Indonesia.
Nurani. 2008. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Tuanaya, A. Malik, dkk. 2007. Modernisasi Pesantren. Jakarta : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. Ma'hady, el-Muhaemin. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. UIN syarif Hidayatullah Jakarta Ghazali, Abd. Moqsith. Pesantren, Terorisme, dan Langkah Penyelamatan. Dalam http://islamlib.com/id/artikel/pesantrenterorisme-dan-langkah-penyelamatan/, diakses pada tanggal 20 Juni 2010 Mughni, Muladi. Faktor-faktor Penyulut Radikalisme Agama. Dalam http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/com ponent/content/article/22-pengajian/1265faktor-faktor-penyulut-radikalisme-agama, diakses pada tanggal 20 Juni 2010. Mustofa, Imam. 2010. Isu Terorisme dan Ponpes. Dalam http://www.radarlampung.co.id/web/opini/15339 -isu-terorisme-dan-ponpes.html, diakses pada tanggal 19 Juni 2010.
27