MENGGALI AKAR TERORISME DI INDONESIA Oleh Ahmad Asroni Abstrak Sejak satu dekade terakhir, Indonesia sepertinya tak pernah sepi dari aksi terorisme dan radikalisme agama. Akibatnya, banyak nyawa anak bangsa yang tidak berdosa melayang sia-sia. Lantaran ulah para teroris yang notabene beragama Islam, maka tidak sedikit publik dunia, terutama negara-negara Barat memandang Islam sebagai agama teroris, agama kekerasan, dan sederet stereotip negatif lainnya. Padahal, Islam sejatinya adalah agama damai dan cinta perdamaian. Akar penyebab terorisme sangat kompleks dan beragam. Ada beberapa penjelasan yang dapat dipakai untuk memotret keterkaitan antara agama dan terorisme. Pertama, pada tingkat doktrinal, agama mempunyai potensi untuk memunculkan kelompok fundamentalis. Realitas menunjukkan bahwa gerakan-gerakan ekstrim hampir selalu terdapat dalam semua agama. Kedua, agama dalam era posmodernisme antara lain ditandai dengan munculnya “kekerasan spiritualâ€? yang kemudian diekspresikan dalam kekerasan sosial. Nilainilai modernisasi yang dikembangkan Barat bagi teroris dianggap sebagai Westoxification (racun Barat). Ketiga, respons atas hegemoni dan sekularisme Barat yang dianggap mengancam umat Islam. Faktor lain yang merangsang kemunculan terorisme dan radikalisme adalah keterpurukan ekonomi yang dialami hampir kebanyakan negara-negara Muslim. Selain itu, kemunculan terorisme terkait erat dengan kebijakan politik luar negeri negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat yang sering dianggap merugikan umat Islam. Kendatipun faktor-faktor yang menyebabkan terorisme 
Penulis adalah aktivis Relogions and Tolerance Studies Forum (RTSF), Yogyakarta.
1
kompleks dan beragam, namun semua itu bermuara pada satu titik, yakni perasaan tertindas (tertekan). Terorisme merupakan cerminan dari ketidakberdayaan kaum teroris terhadap gempuran modernitas dan perasaan diperlakukan tidak adil, baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Bagi mereka, aksi terorisme merupakan bagian dari jihad. Adapun agenda-agenda yang dapat dilakukan untuk membendung arus terorisme dan radikalisme agama di Indonesia sebagai berikut: Pertama, menyelenggarakan pendidikan multikultural di institusi pendidikan. Kedua, mengoptimalkan peran ulama untuk mendakwahkan nilai-nilai keislaman yang damai dan inklusif. Ketiga, karena terorisme terkait dengan politik global bersentimen ideologi keagamaan, maka sudah semestinya pemerintah Indonesia membangun komitmen untuk senantiasa peduli terhadap “saudara-saudara seagama� di negara-negara lain. Keempat, meningkatkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi masyarakat. Kata Kunci: terorisme, teroris, Islam, Barat, kekerasan.
Prolog Terorisme pernah
dan
beranjak
radikalisme
dari
bumi
agama
Indonesia.
sepertinya Betapa
tak
tidak,
sepanjang satu dekade terakhir bumi pertiwi ini kerap diguncang bom. Kasus terorisme yang belum lama terjadi adalah tragedi bom bunuh diri yang terjadi pada 17 Juli 2009
di
menewaskan
hotel
JW
Marriot
sedikitnya
dan
Ritz
sembilan
jiwa
Carlton manusia
yang dan
mencederai puluhan orang tak berdosa. Lagi-lagi jihad 2
menjadi alasan utama para teroris melakukan perbuatan biadab tersebut. Mati sebagai “mujahid” menjadi impian para teroris untuk mendapatkan tiket gratis ke surga kendatipun
harus
mengorbankan
dirinya
dan
merenggut
nyawa orang-orang tak berdosa. Seolah tidak ada jalan yang lebih maslahat untuk menuju surga selain dengan “jihad”. Jihad yang sejatinya memiliki makna yang baik di
tangan
teroris
berubah
menjadi
semacam
ideologi
penebar maut. Selain terorisme, praktik radikalisme Islam juga terjadi
di
mana-mana.
Hal
ini
dapat
dilihat
dari
banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan ormas-ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam
(FUI),
ormas-ormas
Majelis Islam
Mujahidin
lainnya.
Indonesia
Akibat
ulah
(MMI)
dan
teroris
dan
kelompok Islam radikalis tersebut, sebagian kalangan — terutama publik Barat— menganggap Islam sebagai agama teroris. Kalau kita telisik ke belakang, stigmatisasi Islam sebagai agama teroris sebenarnya telah mencuat pasca tragedi 11 September 2001. Sejak itu, diskursus terorisme
kerap
dibahas
bersanding
dengan
wacana
fundamentalisme Islam. Hal ini lantaran Amerika yang dirundung duka saat itu menuduh bahwa Osama bin Ladin dan
kroninya
merupakan
dalang 3
di
balik
serangan
mematikan itu. Pandangan negatif bahwa Islam compatible dengan terorisme di antaranya dilontarkan oleh Bernard Lewis.
Ia
mengemukakan
fundamentalists,
and
bahwa: most
"Most
Muslim
fundamentalist
are are
not not
terrorist, but most present day terrorist are Muslims and proudly identify themselves as such."
1
Memahami Terorisme Mendefinisikan terorisme bukanlah pekerjaan yang gampang. Hal ini karena penggunaan term terorisme sarat dengan
kepentingan,
tergantung
siapa
yang
menggunakannya. Amerika dan sekutu-sekutunya misalnya, acapkali dengan mudahnya melabeli orang atau kelompok yang tidak sepaham dengannya sebagai teroris. Pelabelan ini terutama dialamatkan kepada kelompok-kelompok Islam tertentu.
Sebaliknya,
disematkan
predikat
Serikat
beserta
orang
teroris
kroninya
atau balik
kelompok menuduh
sebagai
teroris
yang
Amerika yang
sesungguhnya (real terrorist). Menurut Noam Chomsky, terminologi terorisme mulai digunakan
pada
akhir
menunjuk
aksi-aksi
abad
ke-18,
kekerasan
1
terutama
untuk
pemerintah
yang
Bernard Lewis, The Crisis of Islam, Holy War and Unholy Terror, (London: Weidenfeld&Nicolson, 2003), hlm. 107.
4
dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat.2 Knet Lyne Oot sebagaimana dikutip M. Riza Sihbudi, mendefinisikan terorisme
sebagai:
(1) sebuah
aksi
militer
atau
psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau
membuat
(2) sebuah
kehancuran
pemaksaan
ekonomi
tingkah
laku
atau
material;
lain;
(3)
sebuah
tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas; (4) Tindakan kriminal bertujuan politis; (5) kekerasan bermotifkan politis; dan (6) sebuah aksi kriminal guna memperoleh
tujuan
politis
atau
ekonomis.3
Terorisme
selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas, dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris.
Karena
itu,
terorisme
sebagai
paham
yang
identik dengan teror seringkali menimbulkan konkuensi negatif bagi kemanusiaan.4 Deny Suito menuturkan bahwa terorisme merupakan penggunaan tindak kekerasan secara tidak sah terhadap orang-orang
atau
harta
benda
dengan
tujuan
mengintimidasi atau menekan pemerintah atau masyarakat
2
Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 19-20. 3 M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 94. 4 Zuhairi Misrawi, “Islam dan Terorisme�, http://islamlib. com/id/artikel/islam-dan-terorisme. Diakses pada 25 Juni 2010.
5
untuk
tujuan
sosial
politik
tertentu.5
Pada
konteks
hukum, terorisme diartikan sebagai tindak pidana yang ditujukan
terhadap
negara
dan
dimaksudkan
atau
diperhitungkan untuk menciptakan suatu keadaan teror dalam
pikiran
masyarakat
tertentu
umum.
atau
Oleh
golongan
karenanya,
tertentu
penanganan
atau aksi
terorisme dalam konteks hukum telah ditetapkan dalam suatu Convention for the Preventive and Punishment of Terorism yang diikuti pula dengan European Convention on the Suppression of Terorism (ECST) di Eropa pada tanggal 27 Januari 1977. Konvensi tersebut mendefinisikan terorisme sebagai crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusian) yang sifatnya internasional, regional dan nasional yang diarahkan
pada
jiwa
orang-orang
yang
tak
bersalah.
Pemerintah Amerika merumuskan terorisme dalam Tittle 22 dari
United
Pertama,
State
istilah
Code,
Section
terorisme
2656f
berarti
(d)
aksi
yakni:
kekerasan
bermotivasi politik yang direncanakan sebelumnya, yang dilakukan
terhadap
sasaran
non-tempur
(non-combant)
oleh agen-agen rahasia atau subnasional, yang biasanya dimaksudkan
untuk
mempengaruhi
5
kalangan
tertentu.
Deny Suito, "Islam Menolak Terorisme", http://cmm.or.id/ cmn-indmore.php?id=1096030M15, diakses pada 21 Juni 2010.
6
Kedua,
istilah
terorisme lebih
yang
dari
teroris
terorisme melibatkan
satu
Internasional
warga negara
negara.
Ketiga,
setiap
kelompok
berarti
berarti
atau
sebutan atau
wilayah kelompok memiliki
subkelompok yang mempraktikkan terorisme Internasional. Definisi karena
ketiga melalui
inilah
yang
definisi
banyak
ini
menuai
Amerika
kritikan
Serikat
kerap
memojokkan negara-negara tertentu yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan Amerika Serikat.6 Yonah Alexander sebagaimana dikutip oleh Jack D. Douglas
dan
terorisme
Frances
sebagai
Chaput
suatu
Waksler
kebijakan
mendefinisikan
yang
dimaksudkan
untuk menyerang dengan teror kepada orang, penggunaan metode intimidasi, fakta berupa penteroran atau kondisi diteror.7
Sementara
Juergensmeyer8
Mark
dalam
buku
berjudul Terror In the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence mendedahkan terorisme sebagai usaha untuk
menakuti-nakuti
menurutnya,
kata
ini
(to
terrify).
secara
6
umum
Lebih
digunakan
lanjut dalam
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal: Dari Wacana Menuju Gerakan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 59-60. 7 Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, “Kekerasan� dalam Teori-teori Kekerasan, Thomas Santoso (ed.), (Surabaya: PT Ghalia Indonesia-Universitas Kristen Petra, 2002), hlm. 17. 8 Mark Juergensmeyer, Terror In the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. Amien Rozany Pane, (Yogyakarta: Tarawang Press, 2003), hlm. 8.
7
pengertian
politik,
tatanan
sipil
Perancis
pada
menyebabkan
sebagai
semasa akhir
serangan
pemerintahan
abad
terjadinya
suatu
Teror
terhadap Revolusi
ke-18.
Banyak
faktor
terorisme
tetapi
yang
yang lebih
sering terjadi adalah aksi terorisme atas nama agama. Dalam konteks ini agama dijadikan motivasi dan sikap pembenaran (justification) untuk melakukan kekerasan. Masih
menurut
Juergensmeyer,
persepsi
umum
mengenai
kekerasan agama muncul secara global dalam dekade Abad XX.
Bahkan,
Amerika
pada
Serikat,
tahun
1998,
Madeleine
Menteri
Albright
Luar
Negeri
me-release
30
kelompok teroris dunia yang sangat berbahaya dan lebih dari separuhnya berbasis agama. Menurut catatan RAND- St. Andrews Chronology of International
Terrorism
sebagaimana
dikutip
Mark
Juergensmeyer dalam buku yang sama, proporsi kelompokkelompok agama meningkat dari 16 yang berasal dari 49 kelompok teroris yang diidentifikasi tahun 1994 menjadi 26 dari 56 kelompok teroris yang terdaftar pada tahun berikutnya. Itulah yang membuat Menteri Luar Negeri AS sebelumnya, Warren Christopher, mengatakan bahwa aksiaksi terorisme yang mengatasnamakan agama dan identitas etnik
telah
menjadi
sebuah
8
tantangan
keamanan
terpenting
yang
dihadapi
Amerika
Serikat
di
masa
bergolaknya Perang Dingin (cold war ). Dalam banyak kasus, terorisme selalu melibatkan komunitas untuk
dan
jaringan
melakukan
organisasi
aksinya.
yang
Terorisme
cukup
juga
besar
menuntut
persetujuannya, pengakuan sosial, dan pembenaran dari ideologi yang melegitimasinya atau penguasa yang paling disegani.
kendatipun
aksi-aksi
terorisme
tampak
dilakukan oleh pelaku tunggal, namun aksi-aksi tersebut selalu ideologi
memiliki yang
jaringan-jaringan
mengesahkan
dan
pendukung
membenarkan
dan
aksi-aksi
mereka. Di belakang pembunuhan Yitzhak Rabin misalnya, ada sebuah gerakan besar Zionisme Mesianik di Israel dan luar negeri yang mem-back up-nya. Di belakang pelaku penyerangan pusat gedung suaka Yahudi, Timothy McVeigh dan Buford Furrow, terdapat kelompok Kristen militan. Kultur
aksi
terorisme
oleh
pelakunya
dipersepsikan
sebagai respons terhadap aksi kekerasan dan perasaan tertekan (tertindas) yang mereka terima. Logika semacam ini dapat diterima kebanyakan orang. Persepsi-persepsi demikian yang membentuk kultur kekerasan menjalar ke
9
seluruh
dunia.9
Contoh
lain
adalah
pembunuhan
Anwar
Sadat oleh kelompok Islam garis keras Tafkir Wal Hijrah yang
terjadi
di
Mesir,
pembunuhan
terhadap
Indira
Gandhi, seorang Perdana Menteri India pada tahun 1984 oleh
kelompok
Sikh
dan
upaya
pembunuhan
terhadap
Presiden Husni Mubarak di Addis Ababa oleh kelompok Islam ekstrim Mesir.10
Agama dan Akar Terorisme Akar
penyebab
terorisme
cukup
kompleks.
Ada
beberapa penjelasan yang dapat dipakai untuk memotret keterkaitan antara agama dan terorisme.11 Pertama, pada tingkat
doktrinal,
agama
mempunyai
potensi
untuk
memunculkan kelompok fundamentalis. Fakta menunjukkan gerakan-gerakan ekstrim hampir selalu terdapat dalam semua agama.. Kedua, agama dalam era posmodernisme antara lain ditandai dengan munculnya “kekerasan spiritual” yang kemudian diekspresikan dalam kekerasan sosial. Karen Armstrong
mengemukakan
bahwa
9
kemunculan
gerakan
Ibid., hlm. 16. Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 147-148. 11 Rumadi, “Perselingkuhan Agama dan Terorisme” dalam Abd. Moqsith Ghazali, dkk. Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hlm. 43. 10
10
fundamentalisme
berkaitan
Fundamentalisme
agama
terhadap pertama berbagai
kebudayaan kali
di
penjuru
erat
abad
ke-20
sekular
Barat dunia.
dengan
dan
yang
modernitas.
merupakan ilmiah
kemudian
yang
respons muncul
merambah
Gerakan tersebut
tidak
ke bisa
lepas dari pengaruh rasionalisme ilmiah Barat. Lebih lanjut menurutnya, tidak ada satu hal pun, termasuk agama yang tidak berubah. Agama tidak pernah luput dari cengkraman modernisasi.12 Nilai-nilai modernisasi yang dikembangkan Barat tersebut oleh kalangan teroris dan radikalis
sering
dianggap
sebagai
Westoxification
(racun Barat).13 Menurut sebagian umat Islam, proses modernisasi
senantiasa
sekularisasi.
Proses
membawa
modernisasi
nilai-nilai
turut
andil
dalam
mengikiskan pola-pola lama termasuk pengikisan nilainilai agama terhadap pribadi-pribadi Muslim. Ketiga,
respons
atas
hegemoni
dan
sekularisme
Barat yang dianggap mengancam umat Islam. Pemikiranpemikiran sekuler Barat yang telah merasuki dunia Islam dianggap sebagai ancaman serius dari “orang kafir� yang mesti
dilawan.
Hegemoni
ini
semakin
menghujam
kuat
12 Karen Armstrong, The Battle for God, terj. Satrio Wahono dan Abdullah Ali, (Jakarta: Mizan, 2001), hlm. xiii. 13 John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 6.
11
dengan
ideologi
kapitalisme
mengkerdilkan
sendi-sendi
konteks
Muhammad
ini,
yang
dianggap
perekonomian
Ismail
Yusanto,
Islam. Juru
telah Dalam bicara
Hizbut Tahrir (HTI) Indonesia mengatakan: “…Memilih sistem kapitalisme sama saja dengan terus mempertahankan krisis, oleh karena sistem kapitalisme itulah yang menjadi pangkal terjadinya krisis bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara-negara lain termasuk AS, sebagai gembong kapitalisme. Memilih sosialisme-komunisme juga tidak logis karena sistem itu telah bangkrut dan bahkan ditinggalkan para pemeluknya sendiri. Alternatif pilihan terakhir hanyalah Islam”.14 Faktor lain yang merangsang kemunculan terorisme dan
radikalisme
adalah
keterpurukan
ekonomi
yang
dialami hampir kebanyakan negara-negara muslim. Menurut laporan
Tim
Peneliti
dari
Universitas
Indonesia
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra menyebutkan bahwa kerusuhan Maluku berawal dari “sakit hati” masyarakat lokal terhadap imigran yang mayoritas Muslim. Kelompok imigran
ini
Akibatnya, mereka
menguasai
penduduk
tidak
hanya
berbagai
pribumi mengalami
Ambon
sektor
ekonomi.
merasakan
economic
bahwa
displacement,
14 Muhammad Ismail Yusanto, "Selamatkan Indonesia dengan Syari'at Islam", dalam Burhanuddin (ed.), dkk., Syariat Islam: Pandangan Islam Liberal (Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL)-The Asia Foundation, 2003), hlm. 144.
12
ketersingkiran ekonomi, tetapi juga mengalami deprivasi sosial-psikologis.15 Selain itu, menjamurnya tindakan terorisme atas nama Islam sangat terkait dengan kebijakan politik luar negeri negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat terhadap negara-negara Islam. Sentimen anti Amerika, misalnya, bukan hanya didorong oleh kebencian membabi buta
dari
kemarahan luar
para di
negeri
teroris,
namun
juga
kalangan
umat Islam
Amerika
Serikat
dimotivasi
terhadap
yang
sering
oleh
kebijakan dianggap
merugikan umat Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada pemihakan
Amerika
terhadap
Israel
dalam
konfliknya
dengan negara-negara Arab, terutama Palestina.16 Kasus lain adalah penyerangan Amerika cs terhadap Irak dan Afghanistan
yang
tidak
hanya
dikecam
banyak
oleh
kalangan umat Islam, tetapi juga banyak dikecam oleh dunia internasional. Represivitas Amerika Serikat dan beberapa negara Barat
terhadap
negara-negara
Islam
di
Timur
Tengah
menyulut kemarahan umat Islam di dunia. Nasib beberapa negara muslim yang terzalimi tersebut mengundang rasa 15
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Kerukunan Antarumat, Idris Thaha (ed.), (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 207-208. 16 Saiful Mujani, dkk., Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat (Jakarta: PPIM UIN Jakarta-Freedom Institute-Penerbit Nalar, 2005), hlm. 29.
13
empati
umat
Muslim
di
berbagai
penjuru
dunia
untuk
menggalang aksi solidaritas. Dalam konteks Indonesia, sentimen
ini
sempat
terwujud dalam
upaya
perekrutan
relawan mujahidin yang sedianya akan dikirim ke daerah konflik. Para calon mujahidin mendapatkan pendidikan atau latihan perang di beberapa kantong camp militer mujahidin. Selepas tamat dari pendidikan tersebut, para alumni
yang
biasanya
berkesempatan
menjadi
aktivis
kembali garis
ke
tanah
keras
dan
airnya
melakukan
berbagai aksi terorisme di Indonesia. Teroris seperti Imam Samudra, Amrozi, Mukhlas, dan Abu Dujana merupakan alumni perang Afganistan.17
Psikologi (Agama) Kaum Teroris Kendatipun munculnya bermuara
faktor-faktor
terorisme pada
(tertekan).
satu
beragam, titik,
Perasaan
yang namun
yakni
tertindas
menyebabkan semuanya
perasaan
tertindas
sejatinya
merupakan
problem psikologis yang diturunkan dari sosio-politik,
ekonomi,
dan
seseorang
atau
suatu
seseorang
atau
kelompok
kultural
komunitas. akan
17
itu
permasalahan
yang
Secara
melakukan
mengitari naluriah, resistensi
Akhmad Elang Muttaqin, “Mengakrabi Radikalisme�, dalam Ahmad Asroni, dkk., Kajian Islam Kontemporer (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2007), hlm. 16.
14
apabila terancam dan (merasa) diperlakukan tidak adil. Apa yang dialami para teroris seperti Amrozi cs apabila ditelusuri
secara
psikologis
sesungguhnya
merupakan
cerminan dari ketidakberdayaan mereka terhadap gempuran modernitas dan perasaan diperlakukan tidak adil, baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Menurut pandangan kaum teroris, kehadiran Barat dengan
segerbong
ideologi
yang
dibawanya
memberikan
ancaman bagi sakralitas Islam. Selain itu, perlakuan yang tidak adil yang dilakukan sebagian negara-negara Barat
terhadap
negara-negara
Islam
menimbulkan
rasa
simpati dan empati sebagian umat Islam (baca: teroris) untuk
melawan
kesewenang-wenangan
tersebut.
Maka
menjadi “wajar� manakala mereka berjuang mati-matian untuk
“membela�
kesucian
Islam.
Bagi
mereka,
aksi
terorisme yang mereka lakukan adalah bagian dari jihad fi
sabilillah
meski
nyawa
taruhannya.
Mereka
tidak
pernah takut mati dan mereka menganggap bahwa mati di laga jihad akan dijamin masuk surga. Panggilan jihad atau
holy
war
ini
sangat
menarik
banyak
kalangan
teroris dikarenakan adanya keyakinan pada mereka bahwa perang suci tidak mengenal kalah. Pandangan mereka ini bila ditelusuri, salah satunya, merujuk pada Q.S alBaqarah: 154 dan ayat lain yang terkait sebut saja Q.S 15
Ali
‘Imran:
169-171.18
Ayat
tersebut
memberikan
penjelasan akan janji Tuhan tentang jaminan masuk surga bagi
para
bertekad
syuhada
atau
melakukan
mujahid.
“perang
Bagi
suci”,
mereka
kemenangan
yang telah
menanti. Jika tidak menang di dunia ini, maka pasti memperoleh
kemenangan
tidak
perang
ada
membela
iman.
di
yang
akherat.
Oleh
lebih
mulia
ini
semakin
Fenomena
karena
kecuali menarik
itu,
perang jika
kepentingan politik yang bersifat ideologis terlibat di dalamnya.19
Malah,
tidak
jarang
mereka
mengidamkan
dapat meninggal di medan jihad. Agama memiliki efek yang
luar
biasa
terhadap
sikap
dan
individu atau kelompok, baik positif Apa
yang
mereka
lakukan
tingkah
laku
maupun negatif.20 disandarkan
pada
legitimasi teologis. Dalam konteks ini, tidak sedikit teks
al-Qur’an
dan
Hadis
yang
mereka
kutip
untuk
18 Terjemahan ayat ini berbunyi: ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawariran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan ni’mat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman”. Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1983), hlm. 105-106. 19 Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995), hlm. 72. 20 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 47.
16
melegitimasi
tindakan
terorisme
terutama
ayat-ayat
tentang jihad. Jihad merupakan tema sentral berkaitan dengan sudut pandang kaum Muslim terhadap agama dan komunitas
di
luar
agama
Islam.
Sebagian
umat
Islam
menganggap jihad itu sebagai rukun Islam yang keenam. Terkait legitimasi kekerasan atas nama jihad, Lester R. Kurtz mengatakan “Although the idea of Islamic Jihad has been widely misunderstood and distorted, it does offer clear legitimation for violent acts against those who allegedly disobey Allah.21 Pada umumnya kaum teroris memaknai jihad sebagai perang terhadap umat agama lain. Mereka mengimani kredo jihad sebagai sebuah perintah suci untuk memerangi umat agama
lain
kewajiban
yang mulia
dianggap kafir, sekaligus bagi
setiap
Muslim
merupakan
dalam
rangka
menegakkan hukum Tuhan. Mereka berasumsi, karena nabi Muhammad SAW menghabiskan hidupnya dalam peperangan, maka
orang-orang
Muslim
harus
mengikuti
teladannya
dengan cara memaksa umat agama lain untuk diislamkan meski itu dengan memakai pedang.22
21
Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village: The World’s Religions in Sociological Perspective (California: Pine Forge Press, 1995), hlm. 216. 22 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (Austin: University of Texas, 1982), hlm. 2.
17
Epistemologi
pemikiran
teroris
berjubah
Islam
berpijak pada beberapa teks al-Qur’an. Ayat al-Qur’an tersebut adalah Q.S al-An’am: 6, 56-57, 62, Q.S Yusuf: 40, 67. Redaksi dan kandungan dari kelima ayat diatas kurang lebih sama yaitu berisi tentang otoritas mutlak “hukum” Tuhan. Walaupun sebenarnya asbabul nuzul dari kelima
ayat
tersebut
hanya
berbicara
dalam
konteks
ibadah dan otoritas eskatologis Tuhan.23 Hal demikian terbukti pada perkataan mereka bahwa siapapun yang enggan menegasikan sistem selain Allah dan memusuhi kedaulatan dan sistem Allah (hakimiyyat Allah
dan
Karena mengakui
syari’at
mereka
Allah)
telah
otoritas
adalah
musyrik
menpersekutukan
selain-Nya
dan
jahiliah.
Tuhan
menggunakan
dengan sistem
selain sistem-Nya.24 Barangsiapa yang enggan menerapkan syari'at
Islam
adalah
kafir,
fasik,
dan
zalim.
Pandangan mereka itu berpijak pada firman Allah dalam Q.S al-Mâ’idah: 44-47. ”...wa man lam yahkum bi mâ anzala
Allâh
fa
dzâlimûn...al-fasiqun”. berikut:
ulâika
hum
Terjemahannya
“...barangsiapa
tidak
al-kâfirûn...aladalah
sebagai
memutuskan
perkara
23 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 418-420. 24 Sayyid Qutb, Ma‘âlim fî al-Tharîq (Cairo: Dâr Syurûq, 1992), hlm. 10.
18
menurut
apa
adalah
yang
diturunkan
orang-orang
Allah,
yang
maka
mereka
itu
kafir...dzalim...fasik�.
Singkatnya, manusia harus menerima kedaulautan Tuhan tersebut. Tidak ada sedikitpun ruang bagi manusia untuk berkreasi. Semua sudah taken for granted dari Tuhan. Untuk
merealisasikan
“kedaulatan
Tuhan�
ini,
maka
penerapan syari’at Islam di level publik (negara) bukan menjadi
alternatif
lagi,
melainkan
menjadi
sebuah
imperatif. Fenomena semacam itu dapat dilihat pada pengakuan mereka bahwa merekalah umat terbaik, umat Islamiyyah, selainnya adalah
pendapat
berpegang lainnya
buruk,
pada adalah
sesat,
jahiliah.
terbenar
dan
"syari'at" salah.
Oleh
harus
Tuhan,
Pendapat
mereka
ditaati
karena
sedang
karenanya,
pendapat
mereka
yang
"bid'ah atau sesat" tersebut harus dimusuhi.25 Klaim kebesaran dan kebenaran diri tadi cepat atau lambat akan menimbulkan gejala fasis, penyakit psikis, serta 25
Barangkali tepat apa yang dikemukakan Lester R. Kurtz yang mengemukakan bahwa pada dasarnya konflik agama (atau kekerasan berbasis agama) terjadi salah satunya berakar pada pandangan dan sikap dari sebagian penganut agama untuk menjaga "kebajikan" dan memerangi "kejahatan". Dengan kata lain, mereka melakukan kekerasan terhadap kelompok lain lantaran adanya praktik bid'ah (heresy) dalam beragama di masyarakat. Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, hlm. 213-214. Pandangan yang hampir sama juga dilontarkan Mark Juergensmeyer. Ia berpendapat bahwa kekerasan berbasis agama terkait dengan apa yang ia sebut dengan konflik-konflik metafisik (metaphysical conflicts) antara kebajikan (good) dan kejahatan (evil). Mark Juergensmeyer, Terror In the Mind of God, hlm. 219.
19
menghasilkan
cara
pandang
dikotomis.
Kemudian,
mendorong diri untuk memberi label-label buruk terhadap golongan
yang
tak
musyrik,
kafir,
sejalan,
zalim,
seperti
munafik
dan
memberi jahiliah
label kepada
seteru atau orang yang tak setuju dengan ide hakimiyyat Allah dan penerapan syari'at. Dengan tanpa kesadaran penuh bahwa labelisasi itu berakar dari interpretasi literal
yang
tak
bersandar
pada
asbabul
nuzul
yang
sebenarnya.26 Pemahaman
teologis
mereka
yang
dangkal
yang
berujung pada labelisasi atau stereotipisasi terhadap orang atau kelompok yang tidak sepaham dengan mereka itu mengakibatkan kebencian yang mendalam. Kebencian ini terus mengendap dalam benak mereka dan diajarkan kepada keluarga dan kolega mereka. Kebencian tersebut pada
gilirannya
(prasangka)
yang
akan bisa
melahirkan jadi
berbagai
bersifat
prejudice
laten.
Gordon
Allport dalam bukunya, The Nature of Prejudice (1954) mengemukakan bahwa prasangka merupakan pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau kesimpulan
yang
sekelompok
orang
dangkal
terhadap
tertentu.
26
Prasangka
seseorang timbul
atau karena
Zaenul Ma’arif, “Menggali Akar Fundamentalisme Islam: Paradigma Sebagai Pisau Analisis�, http://islamlib.com/id/index. php?page=article&id=74, diakses pada 23 Juni 2010.
20
kesan
yang
menyakitkan
menyenangkan pendapat
dan
umum
atau
adanya
atau
pengalaman
anggapan
kebiasaan
yang
di
yang
sudah
dalam
tak
menjadi
lingkungan
tertentu.27 Dalam realitasnya, para teroris menganggap Barat
terutama
seideologi
Amerika
dengan
dibinasakan.
dan
mereka
Mereka
kelompok
sebagai
menilai
musuh
Barat
yang yang
sebagai
tidak harus
peradaban
kafir dan tak beradab. Para teroris akan senantiasa berburuk
sangka
terhadap
semua
kelompok
yang
berseberangan dengan ideologi mereka, kendatipun apa yang dilakukan the others itu baik. Prasangka sendiri dapat
berupa
sosial.
prasangka
Manakala
personal
prasangka
dan
sosial
juga
prasangka
dibiarkan
terus-
menerus mengendap dan berkembang, tentu saja, selain berpotensi menimbulkan konflik, ia juga akan mengancam keutuhan
masyarakat
yang
bisa
berujung
pada
disintegrasi bangsa. Terkait aksi terorisme dan kekerasan yang kerap diperagakan kelompok Islam radikal, menarik menyimak pendapat psikologi
Jerrold politik
M
Post di
(2003),
George
seorang
Washington
guru
besar
University,
sebagaimana dikutip M. Hilaly Basya yang mengemukakan
27
Abu Ahmadi, 2002), hlm. 211.
Psikologi
Sosial
21
(Jakarta:
Rineka
Cipta,
bahwa
munculnya
terorisme
dan
perilaku
anarkhis
merupakan akibat dari apa yang disebut dengan “luka narsistik”. “Luka narsistik” merupakan psikologi yang terbelah
yang
kesalahan
dicerminkan
yang
dari sikap
diakibatkan
oleh
selalu
pihak
melihat
lain
yang
berdampak pada arogansi dan merasa selalu paling benar ketika berhadapan dengan pihak lain. “Luka narsistik” merupakan
cermin
dari
budaya tidak
terbuka
terhadap
kritik diri (self introspection), sehingga pengidapnya terbiasa
melihat
kelemahan
dirinya
diakibatkan
oleh
orang lain. Kemudian, orang lain yang diidentifikasi sebagai penyebab tersebut akan ditetapkan sebagai musuh yang
disingkirkan.28
harus
Dalam
konteks
inilah,
negara-negara Barat teristimewa Amerika dan kelompokkelompok
yang
tidak
menerapkan hukum
Allah
dianggap
taghut (setan) yang harus segera dilenyapkan dari muka bumi.
Agenda-agenda yang Urgen untuk Dilakukan Lantaran complicated
dan
akar
penyebab
beragam,
maka
terorisme langkah-langkah
sangat untuk
menanggulanginya pun harus komprehensif dan bersifat 28
M. Hilaly Basya, “Terorisme dalam Tinjauan Psikologi Agama”, http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id. diakses pada 27 Juni 2010.
22
jangka
panjang.
Tak
dapat
dipungkiri,
pendekatan
militer dan hukum selama ini memang cukup efektif dalam melumpuhkan para teroris, namun upaya tersebut belum dapat
mencerabut
terorisme
sampai
akar-akarnya.
Buktinya, sekalipun Densus 88 sukses meniarapkan para teroris,
namun
bermunculan. seribu.
tetap
saja teroris-teroris
Ibaratnya,
Karena
itu,
satu
selain
teroris pendekatan
yang
mati
baru
tumbuh
militer
dan
hukum, ada beberapa agenda penting lainnya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi terorisme dan radikalisme agama. Pertama, menyelenggarakan pendidikan multikultural di setiap level dan institusi pendidikan. Sebagaimana diketahui bersama Indonesia adalah sebuah bangsa yang majemuk. Betapa tidak, negeri yang dihuni lebih dari 200 juta manusia ini memiliki keragaman agama, etnis, bahasa,
dan
budaya.29
Apabila
dapat
dikelola
secara
baik, kemajemukan sejatinya merupakan modal sosial yang amat berharga bagi pembangunan bangsa. Sebaliknya, jika 29
Bukti bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang majemuk (plural) dapat dilihat dari kondisi sosio-kulturalgeografis Indonesia yang beragam. Tercatat, jumlah pulau yang ada di Indonesia sekitar 13.000 pulau, baik pulau besar maupun kecil. Populasinya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, penduduk Indonesia menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu serta bermacam-macam aliran kepercayaan. M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 4.
23
tidak
dapat
berpotensi sosial.
dikelola
secara
menimbulkan
Jika
dikaji
baik,
konflik
secara
maka
dan
kemajemukan
gesekan-gesekan
psiko-sosial,
merebaknya
konflik dan tindak kekerasan di Indonesia, berakar dari prasangka-prasangka sosial (social prejudice). Pada setiap masyarakat majemuk seperti Indonesia, akan
senantiasa
muncul
prasangka-prasangka
yang
berpengaruh terhadap interaksi sosial antara berbagai golongan masyarakat. Berbagai prasangka sosial tersebut biasanya
diwariskan
gilirannya, stereotipe
dari
prasangka dan
generasi sosial
diskriminasi
sebelumnya. akan
satu
Pada
memunculkan
kelompok
terhadap
kelompok lain.30 Untuk dapat mengelola prasangka-prasangka sosial supaya
tidak
mengarah
pada hal-hal
yang
destruktif-
disintegratif, maka diperlukan upaya untuk menumbuhkembangkan
nilai-nilai
multikultural
yang
menghargai
segenap perbedaan, sehingga akan mengikis prasangkaprasangka sosial. Salah satu ranah yang dapat digarap untuk
mendakwahkan
melalui
pendidikan
nilai-nilai
multikultural
multikultural.
Hal
ini
adalah lantaran
pendidikan multikultural menyediakan ruang-ruang bagi
30
Hairus Salim & Suhadi, Membangun Pluralisme dari Bawah (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 16-17.
24
penanaman dan pengimplimentasian nilai-nilai etika dan kebajikan. Pendidikan penanaman
cara
multikultural hidup
merupakan
menghargai, tulus,
proses
dan
toleran
terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengahtengah
plural.31
masyarakat
Melalui
pendidikan
multikultural, peserta didik yang datang dari berbagai golongan
penduduk
agama,
budaya,
yang
berbeda.32
dibimbing
cara
hidup,
untuk
saling
adat-istiadat,
Pendidikan
mengenal kebiasaan
multikultural
dapat
diajarkan di berbagai institusi pendidikan, baik formal maupun informal, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Materi pendidikan multikultural dapat diperoleh dari berbagai media, semisal mulai dari buku, media massa, internet hingga kearifan lokal (local wisdom) yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan multikultural yang
dimiliki
digarisbawahi
masyarakat. dalam
Satu
hal
penyelenggaraan
yang
perlu
pendidikan
multikultural adalah pendidik haruslah orang-orang yang memiliki kesadaran multikultural.
31
Musa Asy’arie, “Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa”, http//www.64.203.71.11/kompas/cetak/0409/03/opini/12465 46.htm. Diakses pada 24 Juni 2010. 32 Mochtar Buchori, “Pendidikan Multikultural”, http//www.pa ramadina.wordpress.com-2007-03-04-pendidikan-multikultural.htm. Diakses pada 24 Juni 2010.
25
Mencari multikultural gampang.
pendidik
yang
di
ini
negeri
Buktinya,
memiliki bukanlah
berdasarkan
hasil
kesadaran
perkara
yang
survei
yang
dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa kebanyakan guru agama Islam di sekolah umum
dan
swasta
di
Jawa
menentang
pluralisme
dan
sebaliknya sepakat dengan keberadaan radikalisme dan konservatisme.33
Untuk
dapat
33
mencetak
pendidik
yang
Survei ini melibatkan 500 orang pelajar Islam dan para guru sepulau Jawa sebagai responden. Hasil survei PPIM menunjukkan bahwa 62,4 % dari para guru agama Islam yang disurvei, yang berasal dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menolak kepemimpinan non-Muslim. Survei tersebut mengungkapkan 68,6 % dari responden menolak prinsip-prinsip non Muslim menjadi peraturan di sekolah mereka dan 33,8 % menolak keberadaan guru non Muslim di sekolahsekolah mereka. Sekitar 73,1 % dari para guru itu tidak menghendaki para penganut agama lain membangun rumah ibadahnya di lingkungan mereka. Sekitar 85,6 % dari para guru melarang para siswa mereka untuk ikut merayakan hari-hari besar yang merupakan bagian dari tradisi-tradisi bangsa Barat (contoh : Valentin Day), sementara 87 % melarang para siswanya untuk mempelajari agamaagama. Sekitar 48 % dari para guru lebih menyukai kalau para pelajar perempuan dan laki-laki dipisahkan ke dalam kelas yang berbeda. Survei itu juga menunjukkan 75,4 % dari responden para guru meminta kepada para siswa mereka untuk mengajak para guru yang non Muslim untuk berpindah ke agama Islam, sementara itu 61,1 % menolak keberadaan sekte baru di dalam Islam. Sejalan dengan keyakinannya yang tegas, 67,4 % responden mengatakan bahwa mereka lebih merasa sebagai Muslim dibandingkan sebagai bangsa Indonesia. Mayoritas dari responden juga mendukung adopsi hukum syariah di dalam negeri untuk membantu kejahatan perang. Menurut survei, 58,9 % dari responden berpendapat hukuman rajam (dilempari dengan batu) adalah bentuk hukuman untuk bermacam-macam kejahatan dan 47,5 % berkata hukuman untuk kasus pencurian adalah dengan dipotong tangan, sementara itu 21,3 % menghendaki hukuman mati bagi mereka yang murtad atau keluar dari agama Islam. Hanya 3 % dari para guru tersebut yang merasakan bahwa tugas mereka adalah untuk menghasilkan siswa yang bersikap toleran. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, “Sikap dan Perilaku Sosial-Keagamaan Guru-Guru Agama di Jawa�, http://www. Ppim.or.id/riset/?id=20090309233154. Diakses pada 27 Maret 2009.
26
memiliki
kesadaran
misalnya
dengan
multikultural
menyelenggarakan
dapat
ditempuh
berbagai
training,
workshop, seminar, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berwawasan
multikultural
kepada
para
pendidik.34
Pendidikan multikultural tidak harus dalam bentuk mata pelajaran/kuliah
tersendiri,
namun
dapat
secara
integratif disisipkan dalam mata pelajaran/kuliah yang ada. Kedua,
mengoptimalkan
mendakwahkan
nilai-nilai
peran
keislaman
ulama yang
untuk
damai
dan
inklusif. Dalam konteks ini, peran ulama begitu sentral karena merekalah mempunyai "otoritas" dan akses untuk mengajarkan nilai-nilai adiluhung kepada umat. Lebihlebih secara sosiologis, masyarakat muslim Indonesia yang sebagian besar masih paternalistik, memungkinkan ulama
menjadi
salah
satu
tumpuan
sekaligus
garda
terdepan untuk menyebarkan doktrin Islam yang damai dan toleran. Ketiga, karena terorisme terkait dengan politik global
bersentimen
semestinya
ideologi
pemerintah
keagamaan,
Indonesia
maka
membangun
sudah
komitmen
34 Indriyani Ma’rifah, Signifikansi Pendidikan dalam Novel dan Damai di Bumi! Karya Karl May terhadap Pendidikan Agama Islam (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 130.
27
untuk
senantiasa
peduli
terhadap
“saudara-saudara
seagama” di negara-negara lain. Kebijakan politik luar negeri
Indonesia
Pemerintah mendorong
harus
Indonesia
harus
terciptanya
caranya
adalah
Amerika
dan
melakukan untuk
bebas
berperan
perdamaian
dengan
sekutunya
benar-benar
aktif.
aktif
dunia.
dalam
Salah
lobi-lobi
menekan
satu kepada
Israel
supaya
menghentikan aksi-aksi brutalnya terhadap warga sipil Palestina. Keempat, meningkatkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi
masyarakat.
Sudah
menjadi
rahasia
umum
bahwasannya radikakalisme Islam (dan radikalisme agama pada umumnya) lebih kerap dimotivasi oleh persoalanpersoalan berbau
ekonomi SARA
ketimbang
yang
terjadi
masalah di
agama. Poso
Konflik misalnya,
dilatarbelakangi pengaruh kelompok imigran yang pindah secara
spontan
ekonomi.
ketika
Kompetisi
tersedianya untuk
peluang
tanah
mendapatkan
dan
“sumber
penghidupan” antara transmigran Jawa dan Bali dengan kelompok
migran
berujung
pada
tersebut
memperpanas
kerusuhan.35
35
Demikian
situasi pula
yang dengan
David Rohde, “Indonesia Unravelling?” Foreign Affair, 80, 8 November 2001, hlm. 113.
28
kerusuhan berbau SARA yang melibatkan umat Islam dan umat Kristen di Maluku lebih dipicu masalah ekonomi. Dari
beberapa
kasus
konflik
berbau
agama
yang
terjadi di Indonesia, kecemburuan sosial menjadi faktor utama yang melatarbelakanginya. Tentu saja, kecemburuan sosial
tersebut
akan
selamanya
menghinggapi
benak
masyarakat yang berkonflik jika tidak tertangani dengan tepat. Kendatipun bersifat psikis, kecemburuan sosial sejatinya bersumber dari hal-hal yang bersifat sosioekonomi-politik.
Untuk
itu,
penulis
meyakini
peningkatan kesejahteraan dan keadilan ekonomi dapat mengikis potensi konflik dan membendung terorisme. Peningkatan bagi
kesejahteraan
masyarakat
bisa
dan
keadilan
diartikan
ekonomi
sebagai
upaya
pemberdayaan ekonomi kerakyatan, peningkatan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan penerapan kebijakan ekonomi
yang
tidak
memihak kelompok
tertentu.
Untuk
merealisasikan semua itu dapat dilakukan di antaranya dengan lunak
memberikan kepada
peningkatan
bantuan
rakyat industri
modal kerja
kecil,
reoptimalisasi
agraris,
pelatihan kerja, dan seterusnya.
29
dengan
memberikan
kredit
koperasi, pelatihan-
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Armstrong, Karen, The Battle for God, terj. Satrio Wahono dan Abdullah Ali, Jakarta: Mizan, 2001. Asy’arie, Musa, “Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa”, http//www.64.203.71.11/kompas/cetak/0409/ 03/opini/1246546.htm. Diakses pada 24 Juni 2010. Azra,
Azyumardi, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Kerukunan Antarumat, Idris Thaha (ed.), Jakarta: Kompas, 2002.
Basya, M. Hilaly, “Terorisme dalam Tinjauan Psikologi Agama”, http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id. diakses pada 27 Juni 2010. Buchori, Mochtar, “Pendidikan Multikultural”,http//www. paramadina.wordpres.com-2007-03-04-pendidikanmultikultural.htm. Diakses pada 24 Juni 2010. Chomsky, Noam, Menguak Tabir Terorisme Internasional, Bandung: Mizan, 1991. Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1983. Douglas, Jack D. & Frances Chaput Waksler, “Kekerasan” dalam Teori-teori Kekerasan, Thomas Santoso (ed.), Surabaya: PT Ghalia Indonesia-Universitas Kristen Petra, 2002. Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Austin: University of Texas, 1982.
Thought,
Esposito, John L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, Bandung: Mizan, 1994. Hidayat, Komaruddin & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995.
30
Juergensmeyer, Mark, Terror In the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. Amien Rozany Pane, Yogyakarta: Tarawang Press, 2003. Kurtz, Lester R., Gods in the Global Village: The World’s Religions in Sociological Perspective, California: Pine Forge Press, 1995. Lewis, Bernard, The Crisis of Islam, Holy War and Unholy Terror, London: Weidenfeld&Nicolson, 2003. M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Bandung: Mizan, 1991. Ma’arif, Zaenul, “Menggali Akar Fundamentalisme Islam: Paradigma Sebagai Pisau Analisis”, http://islam lib.com/id/index.php?page=article&id=74, diakses pada 23 Juni 2010. Ma’rifah, Indriyani, Signifikansi Pendidikan dalam Novel dan Damai di Bumi! Karya Karl May terhadap Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga, 2009. Misrawi, Zuhairi, “Islam dan Terorisme”, http://islam lib.com/id/artikel/islam-dan-terorisme. Diakses pada 25 Juni 2010. Mujani, Saiful, dkk., Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat, Jakarta: PPIM UIN Jakarta-Freedom Institute-Penerbit Nalar, 2005. Muttaqin, Akhmad Elang, “Mengakrabi Radikalisme”, dalam Ahmad Asroni, dkk. Kajian Islam Kontemporer, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Prasetyo, Eko, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal: Dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. PPIM
UIN Syarif Hidayatullah, “Sikap dan Perilaku Sosial-Keagamaan Guru-Guru Agama di Jawa”, http:// www.ppim.or.id/riset/?id=20090309233154. Diakses pada 27 Maret 2009.
31
Qutb, Sayyid, Ma‘âlim fî al-Tharîq, Cairo: Dâr Syurûq, 1992. Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan, 2004. Rohde, David, “Indonesia Unravelling?” Foreign Affair, 80, 8 November 2001. Rumadi, “Perselingkuhan Agama dan Terorisme” dalam Abd. Moqsith Ghazali, dkk., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis, Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005. Salim, Hairus & Suhadi, Membangun Bawah, Yogyakarta: LKiS, 2007.
Pluralisme
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999.
dari
Terbuka
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2004. Suito, Deny, "Islam Menolak Terorisme", http://cmm.or .id/cmn-indmore.php?id=1096030M15, diakses pada 21 Juni 2010. Yaqin, M. Ainul, Pendidikan Multikultural: CrossCultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005. Yusanto, Muhammad Ismail, "Selamatkan Indonesia dengan Syari'at Islam", dalam Burhanuddin (ed.), dkk., Syariat Islam: Pandangan Islam Liberal, Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL)-The Asia Foundation, 2003.
32
33