mediasi-dalam-perspektif-islam

Page 1




KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam yang telah menganugerahkan nikmat kedamaian bagi seluruh makhluk. Salawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, teladan mulia yang menuntun umat manusia ke jalan kedamaian. Puji syukur kepada Allah SWT atas terlaksanakannya penerbitan ebook “Mediasi Dalam Pandangan Islam�. Penyusunan ebook ini dimaksudkan sebagai upaya mensyiarkan pesan damai dan nilai salam yang terkandung dalam Islam kepada generasi muda Muslim secara khusus, dan kepada publik masyarakat Indonesia secara umum. Ebook ini tersajikan secara renyah sesuai dengan perspektif generasi muda tanpa mengabaikan standar sisi keilmiahan karya tulis. Di dalamnya, dideskripsikan bagaimana Islam membimbing umat manusia menciptakan kedamaian dan menghindari atau menghentikan konflik. Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang plural serta mudah tersulut perselisihan, konsepsi mediasi konflik yang diajarkan Islam yang dibahas dalam ebook ini sangatlah penting sekaligus dibutuhkan. Tiada gading yang tak retak. Demikian kata pepatah dalam jagad kesusastraan Indonesia. Lazuardi Birru menyadari bahwa karya kecil ini bukanlah suatu kesempurnaan dan bahwa ebook ini masih membutuhkan masukan, kritik atau perbaikan di sana-sini. Dengan segenap kerendahan hati, Lazuardi Birru siap dan terbuka untuk menerima kritik yang membangun dari para pembaca yang budiman. Semoga ebook ini bermanfaat sebagai salah satu referensi bagi bangsa Indonesia dalam menumbuhkan semangat perdamaian di masyarakat.


DAFTAR ISI BAGIAN I KONFLIK DAN CITA-CITA UNIVERSAL ......................................

1

Wajah Dunia yang Memprihatinkan ......................................

1

Ragam Persoalan dan Konflik ................................................

7

Kedamaian dan Cita-cita Dunia ..............................................

11

BAGIAN II ISLAM ANTARA IDEALITAS DAN REALITAS ..............................

16

Ajaran Perdamaian Universal dalam Islam ............................

17

Islam di Mata Dunia ...............................................................

25

BAGIAN III PENCARIAN JALAN KELUAR ....................................................

32

Respon dan Upaya Dunia .......................................................

34

Respon dan Upaya Islam ........................................................

42

BAGIAN IV MEDIASI DALAM PANDANGAN ISLAM ...................................

49

Melacak Akar Segala Konflik ...................................................

51

Sumber dan Bentuk Mediasi dalam Pandangan Islam ...........

58

BAGIAN V MENUJU PERDAMAIAN DUNIA ..............................................

69

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................

71

BIODATA PENULIS ...................................................................

74


BAGIAN I KONFLIK DAN CITA-CITA UNIVERSAL Wajah Dunia yang Memprihatinkan Kehidupan membutuhkan kedamaian dan kenyamanan. Idealitas ini tentu menjadi harapan setiap individu, walau pada realitasnya tidak selalu berbanding lurus dengan idealitas yang diinginkan. Kedamaian dan kenyamanan selalu mempunyai sisi yang terancam dalam setiap sudut kehidupan manusia. Berbagai macam usaha dilakukan guna merangkai kehidupan yang damai dan nyaman, tetapi pada arah yang berlawanan perseteruan antarmanusia juga terus mengusik kedamaian. Pada situasi yang seperti itulah kedamaian dan kenyamanan hidup terus semakin terdesak serta tersudutkan, bahkan pada tahapan tertentu bisa saja kedamaian dan kenyamanan tersebut punah, lalu menjadi sangat sulit ditemukan dalam kehidupan manusia. Sisi realitas yang selalu kurang selaras dengan idealitas meminta setiap individu untuk berpikir keras bagaimana mewujudkan realitas agar mendekati idealitas yang dimaksudkan. Kondisi yang tersuguhkan seperti yang diurai di atas, tentu juga meminta setiap individu untuk ikut bertanggung jawab menjaga idealitas agar tetap bisa berdiri kokoh walau ancaman terus datang bertubi-tubi. Bentuk kesadaran konkret yang diinginkan dari gejala tersebut adalah setiap individu harus mempunyai kesadaran bahwa kedamaian dan kenyamanan merupakan cita-cita setiap individu serta harus dijaga pula secara bersama-sama. Kesadaran bahwa kedamaian milik bersama dan harus dijaga bersama sudah tidak bisa ditawar lagi. Kesadaran tersebut harus diikuti dengan kesadaran lain, bahwa tidak selamanya kedamaian dan kenyamanan itu akan bisa melenggang bebas begitu saja. Di dalamnya terdapat sejumlah batu sandungan yang notabene merupakan akibat adanya gesekan antarkepentingan yang mencuat ke permukaan kehidupan sosial. Gejala ini bukanlah prediksi semata. Perang antarkepentingan memang betul-betul real dan tidak bisa diabaikan begitu saja.


Fakta tersebut tentu juga menjadi segmen yang harus dipertimbangkan dalam rangka menjaga kedamaian. Sebagai contoh, bentuk nyata dari adanya perseteruan antarkepentingan bisa dilihat dari sejumlah catatan sejarah. Di era 1970-an misalnya, tercatat bahwa konflik antarsuku bangsa meningkat cukup tajam jika dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Konflik yang berkembang saat itu digolongkan sebagai bentuk konflik etnis yang berseteru untuk memperjuangkan persoalan identitas. Bentuk konkret konflik etnis bisa dilihat pada kondisi Uni Soviet yang kekokohannya tidak terkalahkan pada masanya tiba-tiba runtuh digerogoti oleh sejumlah pertempuran etnis. Satu demi satu wilayah-wilayah etnis yang berseteru itu pun kemudian memisahkan diri dari kedigdayaan Uni Soviet. Hal serupa juga terjadi di belahan dunia lainnya, seperti di Irlandia, Skotlandia dan Wales yang meminta hak otonomi yang lebih besar dari negara kerajaan Inggris Raya.1 Fakta di atas tidak bisa diabaikan sebagai bagian dari perseteruan kepentingan. Di dalamnya ada kepentingan yang tidak hanya sebatas memperjuangkan identitas, tetapi juga bisa dipahami bahwa kelompok yang memperjuangkan kepentingannya muncul karena adanya kepentingan kelompok lain. Adanya gejala keinginan saling mendominasi itulah yang kerap kali cukup memberikan dampak serius pada keutuhan kedamaian sebagai sebuah cita-cita bersama. Dengan demikian, keberadaan kedamaian betul-betul berada pada kondisi yang sangat rapuh. Peristiwa konflik dalam lintasan sejarah dunia internasional setidaknya tercatat dua kali yang bisa dikategorikan sebagai gejolak konflik yang paling siginifikan. Dua catatan tersebut jatuh pada apa yang disebut dengan Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Dua perang dunia tersebut cukup representatif dijadikan sebagai klimaks dari tumpukan konflik yang melilit dunia ini. Lazim diketahui bahwa persoalan dari sejumlah konflik yang terjadi antara periode Perang Dunia I hingga Perang Dunia II adalah munculnya kesenjangan Koentjaraningrat, Masalah Kesuku Bangsaan dan Integrasi Nasional (Jakarta: UI Press,

1

1993), 3.


antarlapisan masyarakat atau kelas sosial. Sedangkan kondisi yang agak berbeda terjadi pada Perang Dunia II, di mana akar konfliknya berpangkal pada ideologi nasionalisme.2 Dari dua fenomena konflik yang disuguhkan di atas, dapat diapahami bahwa dunia secara umum menyimpan sejumlah anomali yang merugikan sebagian penduduk dunia. Bila melihat pada akar konflik pra-Perang Dunia I, bisa dipahami bahwa pada saat itu kecenderungan penguasa dunia memberlakukan perlakuan diskriminatif terhadap sebagian penduduk dunia. Misalnya, anggapan adanya etnis kelas atas yang mendominasi etnis kelas rendah. Anggapan tersebut kemudian memunculkan kebijakan politik, perilaku budaya ataupun ekonomi yang mendiskreditkan kelompok tertentu, sehingga lahirlah gejolak perlawanan yang menghendaki kesetaraan. Berbeda halnya dengan yang terjadi pada sejumlah konflik pasca-Perang Dunia II yang berakar pada ideologi nasionalisme. Akar konflik ini mungkin didasarkan pada kondisi bangsa-bangsa pada saat itu yang kebanyakan baru lepas dari penjajahan. Di samping kolonialisme mendorong bangsa yang terjajah untuk bangkit, keberadaan ideologi menjadi sangat penting sebagai sebuah usaha mewujudkan nasionalisme guna mencapai kemerdekaan utuh dari sebuah bangsa. Begitu pelik konflik yang melibatkan antarbangsa tersebut. Kenyamanan dan kedamaian menjadi hal yang sangat dibutuhkan untuk meredam berbagai dampak dari konflik yang bergulir tersebut. Bahkan, tidak jarang dampak yang diakibatkan berupa kekerasan yang sangat merugikan, serta bisa saja merenggut nyawa manusia. Sehingga dari situlah kedamaian dunia secara utuh terus menjadi dimensi yang paling didambakan oleh setiap bangsa dalam bentuk kolektif. Beranjak dari kebutuhan di atas, rincian kedamaian bisa dibedakan menjadi dua bagian besar. Dua bagian besar itu adalah kedamaian hubungan antarindividu dan kedamaian hubungan antarkelompok. Dua bagian besar ini menjadi sektor paling dominan untuk dipikirkan secara serius. Hal itu 2

Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),

2.


dimaksudkan karena dua hubungan tersebut adalah sisi paling nyata dari bentuk kehidupan. Tanpa adanya hubungan harmonis antarindividu dan antarkelompok, maka kehidupan itu tidaklah berarti apa-apa. Dua pola hubungan di atas, yang sama-sama membutuhkan jalinan kedamaian mengalir sepanjang hubungan itu berlangsung, sejatinya juga menjadi pokok dari substansi nilai kedamaian yang akan dirajut secara umum. Kehidupan itu memang tidak bisa lepas dari hubungan individu dan kelompok. Mungkin dalam bentuk uraian yang lebih rigid, terminologi hubungan individu dan kelompok itu bisa saja terwujud dalam bentuk terminologi lain, seperti terminologi hubungan dalam agama, politik dan budaya. Kategori-kategori kedamaian dalam berbagai sudut pandang itulah yang kemudian menjadikan makna kedamaian yang dimaksudkan bukanlah persoalan yang sederhana. Kerja keras dan kajian yang serius merupakan bagian dari usaha yang tidak bisa terbantahkan untuk mengungkap komitmenkomitmen penting untuk mewujudkan kedamaian dalam arti yang lebih luas. Uraian singkat di atas merupakan uraian sederhana bagaimana kedamaian dan konflik itu selau berkelindan. Kelindan yang dimaksudkan tidak hanya berupa kondisi kedamaian dan konflik yang saling tumpang tindih, tetapi juga konflik dan kedamaian merupakan dua kubu yang berbeda. Kedamaian identik dengan idelitas dan cita-cita, sementara konflik lebih diidentikkan dengan problem yang mengancam kedamaian. Dapat dipahami bahwa persoalan yang diangkat dalam kajian ini adalah persoalan antara mengokohkan cita-cita perdamaian serta membasmi habis konflik yang menjadi sandungan dari tegaknya cita-cita kedamaian tersebut. Problem kelindan antara cita-cita dan konflik di atas menghendaki adanya bentuk penyelesaian yang integral. Artinya, solusi yang ditawarkan harus benar-benar bersumber dari konsep yang bersifat universal. Sejatinya, banyak hal yang bisa dirujuk sebagai bentuk tawaran penyelesaian pada problem kelindan tersebut. Salah satu pilihan yang bisa dikatakan representatif guna meredam konflik dan merajut kedamaian adalah agama. Diakui atau tidak, agama sepanjang


masa selalu relevan dengan perubahan zaman di mana pun. Tidak hanya itu, masyarakat modern masih meyakini bahwa agama mampu melahirkan sistem dan tata nilai yang akan membuat dunia semakin menapaki puncak peradabannya. Selain itu, agama juga dianggap sangat sesuai dengan insting kemanusiaan.3 Dengan demikian, hingga saat ini manusia secara umum masih tidak mempunyai alasan yang tepat untuk menyisihkan agama dalam penyelesaian pelik persoalan yang melilit hidupnya. Dari sekian agama yang ada, Islam menjadi agama yang sangat layak dipertimbangkan untuk dijadikan sandaran dalam mengurai perseturuan antarkelompok dan antarindividu. Memilih Islam bukan bermaksud mengkerdilkan sejumlah agama yang lain. Pilihan tersebut didasarkan pada kandungan ajaran-ajaran Islam yang memang sangat selaras dengan upaya penyelesaian konflik dan perumusan konsepsi kedamaian dunia. Selain itu, lima belas abad silam, Islam yang tumbuh di tanah kelahiran Nabi Muhammad SAW pada masa perkembangannya menjadi sebuah agama besar dunia yang pemeluknya bisa ditemukan di seluruh penjuru negeri. Islam juga telah mewarnai sejumlah imperium ataupun peradabanperadaban dunia yang membentang dari Afrika Utara sampai ke Asia Tenggara.4 Berdasar pada realitas inilah pilihan tersebut dipijakkan. Sisi lain yang tidak bisa dilepaskan dari Islam adalah kelahiran Islam itu sendiri. Kelahiran Islam sebagai sebuah agama menjadi pangkal yang menguatkan kevalidan dalam memilih Islam sebagai pijakan untuk mengurai konflik yang terjadi. Islam lahir di Semenanjung Arabia yang sangat sarat dengan perilaku kesukuan. Pada saat itu, masyarakat Arab begitu lekat dengan tindak tidak berperikemanusiaan yang mencerminkan kekerdilan intelektual mereka. Intelektualitas serta spiritualitas masyarakat saat itu seakan-akan hanya tertumpu pada identitas suku saja, sehingga peperangan dan konflik antarsuku tidak bisa dielakkan lagi. Pada kondisi yang terpuruk dan pada saat yang sudah sangat

Muhammad Qorib, Solusi Islam (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), 191. John L. Esposito, Islam The Straight Path (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), 1

3 4


menuntut datangnya agen perubahan dan perbaikan itulah, seorang pribadi mulia bernama Muhammad bin Abdullah dengan risalah Islamnya muncul sebagai jalan pembaharu yang menyuguhkan berbagai macam solusi bagi umat saat itu. Jalan reformasi itu begitu sangat kontras bertolak belakang dengan kondisi masyarakat ketika pesan monotheisme Nabi Muhammad SAW dihadapkan pada sejumlah perilaku inhumane orang Arab kala itu. Beberapa contoh perilaku inhumane mereka adalah adanya ketidakadilan sosialekonomi, eksploitasi anak yatim dan janda serta sejumlah tindakan amoral lainnya.5 Dari sejumlah uraian konkret mengenai capaian-capaian Islam dalam meramu peradaban serta sorotan mengenai awal kemunculan Islam itu sendiri, terindikasikan bahwa substansi dari ajaran universal Islam begitu luhur. Keluhuran tersebut kemudian terangkum dalam satu konsepsi yang begitu sangat familiar di tengah-tengah umat Muslim, yakni semboyan Islam rahmatan lil’alamin. Beranjak dari simpulan konsepsi ini pulalah pilihan terhadap Islam sebagai media yang mampu mengembalikan nuansa kedamaian menjadi hal yang tidak perlu disangsikan lagi. Gambaran mengenai cita-cita yang terwakilkan dalam kalimat kedamaian, problematika yang terwakilkan oleh konflik, serta solusi yang terwakilkan oleh Islam merupakan trilogi pokok dari kajian yang akan terurai dari buku ini. Kajian ini akan berpijak pada tiga rumusan masalah besar, yaitu pertama, merumuskan kedamaian sebagai cita-cita universal; kedua, mengurai dan mengenal akar-akar konflik; serta ketiga, mengurai terminologi penyelesaian atau mediasi yang ditawarkan Islam lewat ajaran-ajarannya. Dari ketiga rumusan tersebut, diharapkan terwujud berbagai macam komitmen untuk sebuah kedamaian lewat ajaran-ajaran Islam yang damai. Pada sisi lain, diharapkan juga agar Islam bisa dipahami sebagai problem solver, bukan sebagai problem maker. Akhirnya, pancaran-pancaran ajaran kejernihan dan kedamian Islam itu diharapkan bisa dirasakan oleh semesta alam, sebagaimana adagium yang sering didengungkan selama ini, Islam rahmatan lil’alamin. Esposito, Islam The Straight Path, 13.

5


Ragam Persoalan dan Konflik Rapuhnya kedamaian adalah hal yang sangat disadari oleh setiap penduduk di dunia ini. Ragam persoalan yang disebabkan oleh berbagai macam motif mencuat silih berganti mewarnai perjalanan dunia. Persoalan yang hanya berkisar pada ruang lingkup sangat pribadi, hingga pada persolan yang cakupannya luas kerap kali menjadi bagian model konflik yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Sebelum akhirnya segala persoalan dan konflik itu mendapat perhatian untuk diselesaikan, hal yang sangat penting lebih awal diketahui adalah ragam persoalan dan konflik itu sendiri. Mengenal ragam persoalan dan konflik yang terjadi di tengahtengah dunia merupakan langkah bijak sebelum akhirnya mencari jalan solusinya. Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya agar langkah berikutnya mencari jalan penyelesaian bisa lebih efektif dan efisien. Lebih penting lagi, dengan mendalami konflik maka jalan keluar yang akan diambil tidak akan menimbulkan persoalan lain di kemudian hari. Untuk melihat bagaimana ragam konflik bergulir, kita perlu melihat wajah dunia secara umum. Melihat dunia secara universal tidak akan lepas dengan sejumlah intrik politik yang menghiasai setiap gerak dan dinamika perkembangan duna itu sendiri. Politik dan dunia, tempat tinggal manusia, ini selalu tidak pernah terpisahkan dengan adegan-adegan perpolitikan yang kerap kali menyita perhatian. Awal tahuan 90-an misalnya, menjadi babak baru dari sebuah guliran perpolitikan internasional. Pada saat itu, terjadi perubahan besar-besaran pada wajah perpolitikan Uni Soviet secara khusus. Uni Soviet bubar dan negara-negara federal Rusia memperoleh kemerdekaan. Sebagai hasilnya, patung Lenin dirobohkan dan digantikan dengan berdirinya sejumlah bendera dari negara bekas Uni Soviet. Era tersebut merupakan era transisi. Secara global, transisi tersebut dikategorikan sebagai bagian rekonfigurasi politik global yang melintasi batas budaya.6 Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (Yogyakarta:

6

Qalam, 2010), 3.


Rekonfigurasi politik yang dimaksudkan di atas merupakan salah satu langkah untuk mengayomi kondisi dunia yang semakin majemuk. Namun demikian, simbol-simbol kelompok itu seakan juga ikut bergeliat seiring dengan gerak perpolitikan global yang mencoba meredam gejolak tersebut. Dunia internasional yang secara global baru menyelesaikan persoalan Perang Dingin-nya, dihadapkan pada gejolak baru yang sering mengantarkan pada pertikaian dengan memunculkan musuh-musuh baru pada babak wajah perpolitikan yang juga baru.7 Begitulah wajah dunia secara global yang memang tidak akan pernah lepas dari gesekan konflik yang mengiringi dinamika perkembangan dunia secara terus menerus. Persoalan di atas seakan-akan memang begitu dekat dengan kategori persoalan politik semata, namun bila dicermati dari perkembangan dunia yang semakin majemuk, tentu juga tidak mustahil jika kemudian persoalan tersebut muncul dari sisi dunia yang lain. Persoalan tersebut bisa saja merupakan bagian dari kelanjutan dari era transisi politik global yang memunculkan negara-negara baru. Sebelumnya negara-negara baru tersebut berjuang untuk menyelesaikan persoalan dengan kelompok di luar dirinya, sedangkan pada saat negara baru tersebut terbentuk, persoalan yang harus mereka hadapi adalah persoalan di dalam dirinya sendiri. Persolan tersebut bisa berupa konflik-konflik kecil yang biasanya muncul dari sub-bangsa yang berupa suku dan agama. Persoalan konflik suku dan agama di negara yang majemuk merupakan kondisi yang cukup sulit untuk dihindari. Biasanya, motif konflik yang terjadi tidak lagi dimotori oleh persoalan ideologi bangsa, tetapi merambat pada kepentingan identitas agama, suku atau ras. Agama dan etnisitas bangkit menjadi sentimen yang mampu memobilisasi konflik dalam bentuknya yang luas dan eskalatif. Agama yang semestinya menjadi juru damai, tiba-tiba tampil sebagai senjata perusak dan pembunuh. Gejala tersebut sejatinya tidak hanya terjadi di sebagian kecil dunia, tetapi memang telah menjadi persoalan internasional karena

Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, 5.

7


gejala tersebut muncul di berbagai negara seperti, Israel, India, Balkan dan tidak ketinggalan juga terjadi di Indonesia.8 Di sejumlah negara baru ex-Uni Soviet, bermunculan konflik intern. Gejala yang sama juga terjadi di Indonesia, meskipun sudah merdeka beberapa puluh tahun. Berbagai macam konflik bermunculan, salah satu konflik yang cukup mencuat adalah konflik etnis. Benttuk konkretnya terjadi pada etnis Tionghoa yang mendapat perlakuan diskriminatif, terutama pada periode kekuasaan Orde Baru. Warga Tionghoa dilarang menggunakan simbol-simbol etnis mereka, bahkan untuk persoalan nama saja mereka harus melakukan konversi ke dalam nama-nama yang berbau Indonesia. Kebebasan warga Tionghoa berada dalam kekangan penguasa, sejumlah ritual keyakinan mereka juga tidak luput dari kekangan tersebut. Tidak hanya itu, hak-hak kewarganegaraan juga dibedakan begitu sangat ektrem. Warga Tionghoa dilarang masuk dalam tubuh pemerintahan. Bentuk diksriminatif inilah yang kemudian melahirkan disharmoni antarwarga negara. Puncak dari kegerahan tersebut adalah munculnya rasa sentimentil berlebihan yang telah terbukti mampu menumpahkan darah serta meletupkan konflik komunal yang luar biasa. Tragedi Mei 1998 adalah contoh sempurna untuk menggambarkan konflik tersebut. Persoalan lain di Indonesia juga muncul dari ranah agama. Pada tahun 2002 silam, tiga buah bom meledak hampir bersamaan di Denpasar, Bali yang kemudian menyeret sejumlah umat Muslim sebagai tersangkanya. Wajah Islam saat itu sebagai agama sangatlah kusam, untuk tidak mengatakan tercoreng. Tragedi tersebut dinyatakan oleh banyak kalangan bermotif agama, walau pernyataan tersebut masih sangat perlu dianalisis kembali.

Salah satu pijakan pernyataan yang sangat mendiskreditkan kualitas ajaran Islam adalah karena sejumlah tragedi kekerasan yang berlangsung pada dua dekade terakhir saat itu banyak dicampurtangani oleh orang Islam. Opini yang terbentuk saat itu menjadi sangat merugikan umat Islam. Realita sejumlah orang Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), 90. 8


Islam yang mengatasnamakan agamanya untuk melakoni tindak anarkisme seolah tidak bisa dihindari, sehingga mau tidak mau, opini yang terbentuk di publik itu pun tidak mudah dimentahkan begitu saja. Abdurrahman Wahid dalam salah satu bukunya menyatakan bahwa, keterlibatan kaum Muslimin di kancah kekerasan disebabkan oleh rendahnya mutu sumber daya manusia. Penyebab lainnya adalah sikap dan kecondongan umat Muslim mementingkan kelompoknya sendiri dan sebagian elit politiknya lebih mengutamakan pembangunan masyarakat Islam yang elit.9 Begitu beragam konflik dan persolan yang menyebar pada setiap penjuru dunia. Lintasan sejarah yang bergulir mencatat bahwa konflik dan persoalan tersebut tidak ubahnya seperti mata air yang tidak pernah berhenti mengalir. Wajah dunia dengan seperangkat capaian manusia di berbagai sektor kehidupan boleh saja menapaki klimaksnya, tetapi konflik dan persoalan juga tak akan pernah bosan mengiringi setiap dinamika tersebut. Dari sejumlah deskripsi mengenai persoalan dan konflik yang membungkus dunia secara global, dapat dipahami bahwa konflik bisa dibedakan menjadi tiga ragam besar, yaitu konflik politk; konflik etnis; dan konflik agama. Pengelompokan ragam ini meski mungkin masih tergolong sangat kasar dalam arti masih terlalu global, namun setidaknya sejumlah varian konflik yang bertebaran di muka bumi ini tidak pernah jauh dari tiga ragam besar tersebut. Dari ragam konflik yang dinyatakan di atas, setidaknya telah terhampar suatu gelaran peta dunia yang layak dijadikan sebagai pijakan untuk sebuah langkah preventif dari kemungkinan adanya ujung konflik yang mengganas. Hal itu sangat penting mengingat sejumlah puncak dari sekian konflik yang terjadi sangat merugikan manusia, bahkan pertumpahan darah pun kadang menjadi taruhannya. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institut, 2006),

9

302.


Kedamaian dan Cita-cita Dunia Konsepsi yang paling sering didengungkan oleh setiap individu manusia adalah terciptanya lingkungan yang kondusif guna melahirkan sejumlah karya yang bermanfaat sebesar-besarnya untuk kehidupan. Konsepsi sederhana tersebut kemudian bisa dijelaskan dalam bentuk narasi yang mudah dicerna dalam bentuk kedamaian dan cita-cita dunia. Konsepsi ini dilihat sekilas seakan terpisah dengan apa yang diutarakan sebelumnya mengenai persoalan dan konflik. Keterpisahan tersebut mungkin hanya pada tataran deskriptif-normatif saja. Namun, ketika ditilik dari sisi ketergantungan dunia yang mempunyai sejumlah ragam konflik seperti yang telah diuraikan di atas dengan apa yang disebut penyelesaian, maka memotret konsepsi mengenai kedamaian dan citacita dunia sangatlah perlu untuk diuraikan lebih gamblang. Urgensi uraian mengenai konsepsi kedamaian dan cita-cita dunia itu begitu kentara ketika nurani diajak untuk mencari jalan penyelesaian atas ragam konflik yang terjadi. Kondisinya menjadi sangat menyulitkan ketika pemetaan yang dilakukan tidak berimbang. Sebagai contoh, ketika pemetaan ragam konflik telah terlihat, maka kebutuhan berikutnya yang juga harus dipenuhi adalah pemetaan dari sisi idealiasme atau cita-cita universal dunia. Jika hanya pemetaan ragam konflik saja yang tersedia, sementara bentuk kedamaian dan cita-cita dunia terabaikan, maka bisa dipastikan pencarian jalan keluar akan sangat sulit untuk dilakukan. Mengukur cita-cita universal dunia tentu sangat sulit. Fakta adanya keragaman atau pluralitas menjadikan cita-cita itu juga bermakna plural, sehingga benturan antartujuan itu juga akan memunculkan segmen dunia yang cukup sensitif. Untuk mengantisipasi sensitivitas tersebut, unsur uraian cita-cita paling pokok harus betul-betul bisa dipahami oleh realitas dunia yang plural. Bentuk antisipasi terhadap munculnya sensitivitas tersebut terlihat pada adanya sejumlah komitmen yang mengatasnamakan dunia internasional mengenai cita-cita universal.


Adapun bentuk penerjemahan cita-cita universal untuk menciptakan kedamaian dunia itu pun cukup beragam pada tataran praktisnya. Wawasan yang digunakan untuk merangkul pluralitas sangat beragam, mulai dari wawasan kebangsaan, spritualitas atau agama, hingga etnisitas atau kesukuan juga ikut andil untuk meredam sensitivitas dunia yang meregang. Di kawasan Asia Tenggara misalnya, ada ASEAN sebagai bentuk wawasan regional dan kultur. Di sejumlah kawasan lainnya juga berdiri sejumlah lembaga atau persatuan yang serupa, di mana salah satu tujuannya adalah merangkul keragaman yang ada. Di level internasional, PBB cukup representatif untuk dikategorikan sebagai wadah dan upaya mempersatukan cita-cita internasional, walaupun tidak tertutup kemungkinan di dalamnya terdapat permainan kepentingan yang saling mendominasi. Satu hal dari sekian banyak kebijakan yang bisa memayungi cita-cita perdamaian universal terlihat pada Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang disahkan pada Desember 1948. Di dalamnya disebutkan sejumlah hak-hak primordial kemanusiaan yang harus diamini oleh setiap negara, bangsa, masyarakat, komunitas, dan setiap manusia. Kebebasan berpendapat, berkeyakinan dan menjalankan agama yang diyakini merupakan satu segmen kebijakan penting dalam tubuh DUHAM. Di situlah dunia internasional diajak untuk memiliki kesadaran secara bersama-sama bahwa kehidupan dan dunia ini berada dalam kondisi yang plural.10 PBB dan DUHAM mengisyaratkan akan adanya ruang bagi setiap komunitas atau masyarakat dunia baik di dalam suatu negara maupun antarnegara yang berbeda pandangan untuk saling menghargai hak atau kebebasan masing-masing pihak. Dalam DUHAM, unsur pemaksaan, penjajahan dan kekerasan secara fisik atau psikologis merupakan hal yang dinistakan. Konsepsi tersebut

10 Fathi Osman, “Islam and Human Right: The Chellenge to Muslim and the World�, dalam Abdel Wahab El-Affandi, Rethinking Islam and Modernity (London: The Islamic Foundation, 2001), 34


secara sederhana terumuskan pada kata kunci freedom (kebebasan), right (hak), equality (kesamaan) dan justice (keadilan).11 Empat kata kunci di atas merupakan wawasan yang dilegalkan menjadi suatu kesadaran pokok yang harus melekat pada setiap keragaman yang ada. Kebutuhan akan terwujudnya cita-cita universal tentu tidak bisa dipisahkan dari empat prinsip dasar tersebut. Walau demikian, rumusan empat kata kunci itu bukan berarti terbebas dari komentar berbagai pihak. Dalam proses penentuannya, para tokoh dunia saling berselisih pendapat mengenai rumusan prinsip kebebasan. Perselisihan itu adalah suatu hal yang wajar di dalam proses diskusi, sebab pada akhirnya empat kata kunci itu, setelah diwarnai dengan sejumlah koreksi dan komentar dari berbagai kalangan, dirasa cukup representatif sebagai akar untuk menetukan cita-cita universal yang diinginkan, yakni menciptakan perdamaian dunia. Di sinilah keragaman pendapat penting untuk disadari bersama, bahwa pada hal yang sangat prinsip sekalipun manusia masih berselisih dalam menentukan pandangannya. Perdebatan para pakar HAM dunia yang mengemuka hanya berupa perbedaan pada tataran terminologi. Secara substansial, perbedaan tersebut masih ditemukan koneksinya yang jelas antarperbedaan yang ada. Perbedaan pada tataran terminologi sering ditemukan pada prinsip hak yang diklaim oleh sebagian kecil umat Muslim yang mempunyai kawasan yang lebih sempit dibandingkan kewajiban.12 Bagi kelompok ini penyebutan kewajiban dirasa cukup tepat, namun bila ditilik secara lebih dekat, perbedaan pada kelompok ini masih bisa dikatakan sejajar, karena perbedaannya tidak sampai menggusur prinsip esensi yang terkandung dalam hak itu sendiri. Perbedaan pandangan yang serupa dengan kasus di atas juga terjadi pada prinsip-prinsip yang lain, namun empat prinsip di atas masih dirasa relevan dan tidak ditemukan adanya benturan yang esensi dari masing-masing pendapat yang 11

Tholhatul Choir (ed), Islam dalam Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 360. 12 Choir, Islam dalam Pembacaan Kontemporer, 361.


dilontarkan oleh sejumlah kalangan. Walau demikian, keharusan melakukan pemaknaan ulang secara terus menerus dalam bentuk ijtihad tetap penting untuk melihat kembali empat prinsip di atas, sekaligus sebagai upaya merespon masalah-masalah baru yang berpeluang muncul ke permukaan. Melakukan ijtihad atau pengkajian secara mendalam dan terus menerus guna melihat empat prinsip penting di atas merupakan hal yang tidak bisa dinisbikan dalam upaya pengamalannya ke kehidupan nyata. Jadi, prinsip serta usaha pengkajian (ijtihad) adalah dua sisi yang saling menopang untuk merespon gejala perubahan dunia yang semakin kompleks. Satu bentuk upaya ijtihad lain yang dinilai sebagai kelanjutan dari empat prinsip dasar di atas adalah munculnya kesadaran pluralitas. Kesadaran pluralitas yang kemudian menjadi keniscayaan dalam sistem kehidupan pada akhirnya dikenal dengan pluralisme. Munculnya pluralisme sebagai bentuk kelanjutan pemahaman dari empat prinsip di atas ternyata mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Persoalan pluralisme ini menemukan sandungan yang cukup besar ketika dihubungkan dengan agama. Pluralisme di tataran etnis tidak menemukan sandungan yang cukup berarti, namun ketika pluralisme dikaitkan dengan asas-asas kesakralan seperti agama, banyak para agamawan yang kemudian tidak setuju. Ketidak setujuan para agamawan, terutama di Indonesia yang diwakili oleh MUI, muncul karena menurut mereka paham pluralisme sangat berlawanan dengan paham keislaman.13 Pendapat kaum agamawan di Indonesia terhadap pluralisme dinilai cukup ekstrem, dan kadang cenderung tidak konsisten jika dikaitkan dengan pendapatnya sendiri. Kaum agamawan Muslim ketika diajak berbicara persoalan keadilan, dengan sangat antusias mendukung serta mengamininya sebagai hal yang niscaya dalam kehidupan. Namun ketika diajak memahami keberagaman melalui pluralisme, dengan cepat mereka menyatakan haram. Ini adalah salah satu bukti bahwa kaum agamawan terkesan inkonsisten dalam berpendapat, di ranah Budhi Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme (Jakarta: Gramedia, 2010), 6-7. 13


prinsip mereka setuju, tetapi ketika dibawa pada ranah yang bersifat praktis, mereka seakan kehilangan pegangan prinsip untuk berpendapat. Kaum agamawan cenderung terbelit persoalan wawasan yang terkesan minim. Artinya, mereka kurang memahami ranah praktis dari sebuah prinsip dasar. Sebagai contoh, prinsip keadilan, kebebasan dan keseteraan tidak akan pernah bisa terejawantahkan tanpa adanya kesadaran pluralitas yang terangkum dalam paham puluralisme itu sendiri. Kadar intelektualitas yang kurang komprehensif inilah yang menjadikan kemandegan dalam merajut cita-cita universal. Terlepas dari inkosistensi kaum agamawan di atas, ranah prinsip dan implementasi keadilan harus terus mendapatkan perhatian melalui kajian atau ijtihad yang juga harus terus digalakkan. Secara prinsip, empat kata kunci freedom (kebebasan), right (hak), equality (kesamaan) dan justice (keadilan) adalah ketentuan rujukan yang tidak terbantahkan dalam kehidupan ini. Sedangkan kelanjutan dari hasil ijtihad yang berupa pluralisme dan liberalisme merupakan ranah praktis dari empat prinsip tersebut. Memetakan wajah dunia antara idealitas dan realitas memang banyak lika-likunya. Ada sisi yang mesti dipertahankan, sementara di sisi lain ada yang harus segera diakhiri. Realitas yang bermuatan konflik adalah hal yang harus diakhiri dan dicegah, sementara kedamaian serta ikatan yang merangkul keragaman dan kemajemukan merupakan idealitas yang harus diperjuangkan dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

****


BAGIAN II ISLAM ANTARA IDEALITAS DAN REALITAS Islam sebagai agama yang benar, lurus dan mengajarkan kedamaian harus selalu diperjuangkan implementasinya oleh umat Muslim. Argumentasi mengenai kebenaran ajarannya cukup mapan, setiap sisi ajarannya sungguh bernilai sempurna dan selaras dengan koridor logika manusia sebagai makhluk yang berpikir. Dalam kalimat yang lebih sederhana, Islam adalah agama yang mempunyai performa cukup berimbang antara doktrin keimanan, ritus dan pengamalannya, yang semuanya serasi dengan akal sehat dan nurani manusia. Bahkan, akal manusia bisa saja menjadi petunjuk yang sah dalam dinamika kehidupan beragama. Sebagai contoh, dalam memutuskan status hukum, Islam selalu melibatkan akal di samping wahyu Tuhan yang suci. Karenanya, dalam Islam dikenal dua landasan utama dalam penentuan hukum dan pandangan keagamaan, yang berupa dalil naqli (kitab suci dan sabda Nabi) dan dalil aqli (argumentasi logis). Islam dengan performa yang begitu anggun itu memberikan rasa damai pada setiap hati yang berlabuh padanya. Kebebasan dan hak-hak kemanusiaan yang terwujud dalam kebebasan menggunakan akal dengan maksimal adalah suatu ruang yang sangat mendamaikan. Begitulah Islam menyapa setiap pemeluknya dan alam semesta, sehingga Islam dikenal dengan agama yang membawa perdamaian di muka bumi ini, Islam rahmatan lil’alamin. Ajaran perdamaian yang dibawa Islam datang jauh sebelum adanya penghargaan hak-hak kemanusiaan yang dicetuskan oleh PBB pada tahun 1948 silam. Artinya, kesadaran akan terpenuhinya hak-hak kemanusiaan betul-betul berada dalam diri agama Islam itu sendiri, sehingga ketika muncul perbincangan HAM di lintas internasional, Islam tidak lagi merasa asing dengan perbicangan tersebut. Sejumlah argumentasi baik dari wahyu ataupun hasil ijtihad para


cendikiawan Muslim berjalan searah dengan konsepsi-konsepsi HAM yang dicetuskan dalam DUHAM tersebut. Memperbincangkan keagungan Islam tidak berarti hanya menampilkan sisi paling sensasional dari garis besar ajaran yang dibawanya. Pandangan sesaat dari sisi paling luar belum bisa menggambarkan sepenuhnya wajah Islam yang sebenarnya. Maksud dari wajah yang sebenarnya adalah ketika ajaran dan pengamalan Islam benar-benar menjadi satu kesatuan yang integral. Sisi yang mempesona tidak melulu pada isi ajaran yang memukau, tetapi pesonanya juga harus tampak pada dan berbanding lurus dengan pengamalan riil para pemeluknya. Jadi, baik uraian indah dari sisi ajaran agama maupun kebaikan yang tercipta dalam idealitas perilaku umat yang memeluknya merupakan suatu keharusan. Ajaran Perdamaian Universal dalam Islam Pengantar di atas merupakan suatu pandangan umum mengenai keelokan agama Islam yang lahir empat belas abad silam. Walau pada bagian sebelumnya digambarkan bagaimana keelokan itu mengalir dan berdetak dari jantung ajaran Islam, namun belumlah representatif untuk dikatakan bahwa Islam telah sempurna membawa kedamaian. Argumentasi ini bukan lantas bernilai provokatif, tetapi cenderung sebagai sebuah pandangan yang objektif mengingat data dan fakta mengenai umat Muslim di Indonesia yang pada dekade akhir ini sering menampilkan ketidakramahan kepada umat agama lain. Sebagai pembuka, untuk menggambarkan ajaran Islam yang elok dan damai, penting untuk mengungkap bagaimana agama itu sendiri dalam pandangan manusia secara umum. Selama ini banyak orang memahami bahwa agama merupakan seperangkat keyakinan yang sakral dan mutlak, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan


hubungan manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan semua makhluk di dunia.14 Dari pemahaman manusia mengenai agama seperti yang diungkap di atas, dapat dipahami bahwa dalam agama ada tiga unsur penting yang bisa dikatakan sebagai bagian dari ajaran monumental dalam agama. Tanpa ketiga unsur tersebut, agama secara definitif bisa dinyatakan gagal atau pincang. Agama tidak berarti hanya berisi sejumlah informasi mengenai alam di luar dunia ini dengan berbagai macam warna yang diungkapkan. Misalnya, agama sering kali bercerita mengenai surga yang mengalir sungaisungai di bawahnya serta berhiaskan taman-taman bunga yang indah dan segar. Pada sisi yang lain agama juga sering bercerita kondisi neraka yang penuh dengan berbagai bentuk siksaan yang menakutkan dan menyakitkan. Ujaran mengenai surga dan neraka ini sejatinya adalah bagian kecil dari defenisi agama yang luas. Bila melihat sejumlah agama yang ada, terdapat kecondongan yang cukup variatif. Ada agama yang hanya mengutamakan bagaimana harmonisasi antarmanusia bisa terjaga dengan baik, sementara dalam pandangan mengenai informasi dari dunia luar nonfisik tidak begitu mendapat perhatian yang layak. Kondisi ini tentu sangat kelihatan pincang, harmonisasi terus dilakukan sementara harapan dan kebutuhan manusia dari kesadaran spiritualnya kurang terpenuhi dengan baik. Akibatnya, muncul sejumlah anomali yang menghendaki pemenuhan materi semata, lalu kemudian mengesampingkan pemenuhan sisi spiritual. Adapun agama dalam arti yang sebenarnya adalah agama yang secara khusus dapat membimbing manusia memenuhi ruang fisik dan spiritualnya secara bersama-sama. Inilah sisi paripurna dari agama yang semestinya bisa terangkum dengan apik dari sisi ajaran yang ada dalam agama itu sendiri. Ketika agama hanya mampu menyuguhkan salah satu sisi kebutuhan saja, maka dengan sendirinya agama telah mengurangi makna primordialnya. Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), ix.

14


Pada pandangan lain, agama dinyatakan sebagai bentuk ajaran dan kebenaran yang mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjukpetunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat.15 Pada pandangan ini, sangat terasa bagaimana agama menyuguhkan pemenuhan kebutuhan manusia mengenai kehidupannya di dunia dan kehidupan setelah di dunia. Pemahaman model ini terasa begitu cukup sederhana, mudah dipahami serta tidak mengurangi makna paling prinsip dalam agama itu sendiri. Bila melihat makna agama secara khusus dalam agama Islam, dapat dipahami bahwa Islam merupakan pandangan hidup yang sempurna, yang mencakup semua bidang kehidupan manusia. Kesempurnaan ajaran Islam itu meliputi kepentingan spiritual, intelektual, kepentingan sosial dan semesta alam.16 Horison dan wawasan ajaran Islam yang cukup luas meliputi semua aspek kebutuhan manusia. Hal itu menjadikan Islam sebagai agama yang benar-benar berada pada arti definisinya yang mapan serta sesuai dengan pandangan manusia secara universal. Sisi batiniah dan lahiriah manusia benar-benar tergarap bila melihat definisi agama secara universal seperti pada ulasan sebelumnya. Jadi, Islam sebagai agama tidak bisa digolongkan sebagai agama yang berada pada naungan humanisme atau materialisme semata, karena Islam juga memenuhi kebutuhan manusia dari sisi spiritual dan pijakan-pijakan teologis mengenai alam semesta. Tahap berikutnya dalam pembahasan agama dari sisi definisi adalah menyoroti sisi doktrin. Bagian integral dari agama ini merupakan turunan dari makna definitif universal tentang agama. Jika ditautkan pada Islam, doktrin merupakan pencerminan dari individu atau masyarakat Muslim itu sendiri. Jika sejak awal Islam mendeklarsikan dirinya sebagai agama yang relevan sepanjang zaman, maka idealnya doktrin itu harus terus bisa sejalan dengan kemajuan masyarakat yang bersangkutan.17

Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan, 89. M. Rusdi Karim, Dinamika Islam di Indonesia (Yogyakarta: Hanindita, 1985), 3-4. 17 Karim, Dinamika Islam di Indonesia, 36. 15 16


Akan tetapi kenyataannya doktrin agama sering tidak sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan lantaran para pendukungnya sendiri mengabaikan langkah pengkajian dan revitalisasi. Kondisi ini biasanya diakibatkan oleh adanya keterputusan regenerasi dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Selain itu, biasanya juga disebabkan karena lesunya masyarakat dalam membangun vitalitas untuk mengkaji doktrin agama. Sehingga pada tahap berikutnya, masyarakat yang bersangkutan (dalam hal ini umat Muslim) akan kehilangan kontak dengan dunia riilnya, alias tertinggal.18 Hubungan definisi Islam dan doktrin Islam sebagai agama yang shalihun fi kulli zaman wa makan (relevan sepanjang masa dan di mana pun tempat) merupakan makna lain bahwa Islam secara prinsip selalu akan memberikan perhatiannya pada perkembangan dunia. Berbagai dimensi kehidupan manusia menjadi lingkup paling pokok ajaran Islam sebagai jalan hidup manusia. Sebagai bentuk perhatian Islam terhadap perkembangan dunia, Islam memperhatikan kondisi individu dengan pola aturan yang menjadi standard dalam ajarannya. Pola standard itu kemudian dikenal dengan akhlak. Mungkin banyak orang masih kurang terlalu memperhatikan bahwa apa yang terjadi secara monumental dalam bentuk massive merupakan akumulasi dari motivasi antarindividu yang membentuk sebuah tindakan massive tersebut. Akumulasi motivasi itu kemudian terejawantahkan dengan berbagai macam warna dan corak, ada yang bisa dibilang tindak kelembutan, tetapi juga ada yang dibilang tindak kekerasan. Menanggapi corak tindak akumulasi yang bernilai negatif atau yang benuansa kekerasan, Islam memperhatikan dengan memberikan standard tindakan yang terangkum dalam ajaran akhlak. Akhlak mempunyai pertalian yang cukup erat dengan kondisi sosial secara umum. Sisi akhlak pada seorang individu dan kondisi sosial memang ada hubungannya, karena kondisi sosial itu sangat tergantung pada kondisi individu yang ada di dalamnya.19 Inilah letak Karim, Dinamika Islam di Indonesia, 38. Ahmad Amin, Ethika (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 20.

18

19


keterhubungan antara standard perilaku atau akhlak individu dengan kondisi sosial yang tergelar. Pertalian doktrin Islam dengan kondisi sosial memang sangat erat. Model penanaman akhlak individu merupakan salah satu bentuk perhatian Islam terhadap kehidupan manusia. Bahkan, Islam dikatakan sebagai agama kemanusiaan. Sisi kemanusiaan yang dimaksudkan adalah ajaran Islam yang sangat kompatible dengan fitrah manusia. Contoh paling konkret bisa dilihat pada awal kedatangan Islam di tengah-tengah komunitas Arab penyembah berhala (pagan). Islam waktu itu mencoba menerabas kemapanan adat masyarakat Arab jahiliyah yang terkesan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip kesetaraan, keadilan, kesucian, kemerdekaan serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi urat nadi ajaran Islam itu sendiri.20 Dengan kecondongan doktrin Islam yang tergolong humanistis inilah Islam akhirnya juga dikenal sebagai agama yang sangat compatible dengan sisi primordial manusia. Bila ditilik lebih dalam, prinsip-prinsip primordial doktrin Islam yang cukup apik tersebut sejatinya merupakan satu bentuk pengejawantahan atas satu simpulan rasa sayang dan cinta yang ada dalam ajaran Islam itu sendiri. Cinta inilah sejatinya makna paling sederhana serta simpulan paling mempesona dari ajaran Islam yang ada. Ajaran cinta ini mengambil peran yang cukup penting dari gelaran dinamika Islam secara umum. Hal tersebut begitu bisa dirasakan dengan semakin banyaknya orang di luar Islam yang kemudian jatuh hati terhadap Islam, lantaran mereka bisa memahami sisi terdalam dari ajaran yang ada dalam Islam. Ajaran cinta itu tidak hanya berupa pembelaan terhadap Islam secara apologis. Lebih dalam dari itu, di antara nama Tuhan yang tersurat dalam doktrin Islam adalah Al-Wadud yang berarti cinta. Maksud dari Al-Wadud sebagai nama Sang Ilahi adalah cinta dalam pandangan metafisika yang merupakan bagian dari hirarki Ilahi, semua keberadaan yang memancar dari-Nya dijalari oleh cinta. Cinta adalah nadi dari alam semesta, di mana manusia secara implisit harus mampu memaknai hakikat cinta tersebut dengan sebuah kesadaran, bahwa pada dasarnya Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Erlangga, 2010), 2.

20


Tuhan itu mencintai setiap makhluk-Nya, maka dengan demikian manusia sebagai makhluk terlibat untuk mencintai-Nya pula.21 Cinta dalam pandangan di atas merupakan suatu keniscayaan yang sejatinya memang harus disadari oleh manusia. Kesadaran adanya cinta yang berada secara terus menerus pada tataran kosmik, serta berasal dari setiap lini kehidupan manusia menjadi hal yang tidak terbantahkan. Tuhan Yang Maha Besar menjadi satu-satunya sumber dari cinta tersebut. Pandangan bernuansa tasawuf ini sekilas hanya bisa bermain pada ranah keharmonisan hati, namun ketika dieja kemudian dimuntahkan dalam bentuk tindakan, hal itu akan memunculkan pribadi-pribadi yang ramah dan santun di mana kedamaian yang berpijak pada terminologi cinta itu berpijar dari setiap pribadi Muslim yang mengamalkannya. Ajaran cinta ini bila ditarik ke level praktis mengisyaratkan adanya keniscayaan jalinan cinta hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan Rasulnya, manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan alam semesta. Sejumlah jalinan cinta tersebut, merupakan suatu keindahan di mana puncak sejati dari cinta dan keindahannya berada pada satu titik yaitu Tuhan Yang Maha Agung.22 Ajaran Islam secara penuh selaras dan serasi dengan nurani manusia. Ajaran cinta yang terurai pada penjelasan di atas sama sekali tidak berindikasi pada pola cinta yang terbangun dari suatu kelompok tertentu. Cinta yang ditularkan oleh Islam adalah cinta yang memenuhi jagad raya semesta ini, tanpa ada pembatasan pada suatu kelompok tertentu. Cinta dengan makna yang sangat luas inilah yang secara implisit menempatkan Islam sebagai agama yang menebar kedamaian. Keindahan yang tidak kalah eloknya dengan pesona cinta seperti yang terurai di atas juga terdapat pada pandangan Islam terhadap manusia itu sendiri. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kesempurnaan dan keindahan. Alquran membahasakan kesempurnaan manusia tersebut dalam Sayyed Hussein Nasr, The Garden of Truth (Bandung: Mizan, 2010), 85-86. Nasr, The Garden of Truth, 12-13.

21 22


salah satu ayatnya “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya bentuk�.23 Pandangan Islam yang begitu menghargai posisi manusia dalam arti yang lain bisa dimaknai bahwa Islam ingin mengajak seluruh manusia untuk menyadari akan posisi dirinya dengan cara saling memberikan penghormatan antarmanusia. Kesadaran yang dimaksudkan dalam hal ini tentu tidak hanya sebatas memahami pesan teks secara normatif saja, tetapi manusia diminta untuk menekuni dan mendalami kedalaman nuraninya serta menyisihkan nafsunya. Dengan cara itu, kesadarannya akan memunculkan sikap saling menghargai sesama manusia. Hanya dengan cara saling menghargai itulah predikat makhluk yang paling baik dan sempurna seperti yang digambarkan dalam Alquran akan diraih oleh manusia. Makna lain dari predikat sempurna yang dilekatkan pada manusia tidak hanya berarti secara fisik saja, tetapi juga menggambarkan kondisi ruhani manusia yang sempurna. Bila kesempurnaan pada fisik bisa dinilai lebih cepat dengan tatapan kasat mata, kesempurnaan ruhani hanya bisa dirasakan ketika keindahan dalam diri manusia mampu membangun perilaku yang baik. Tolok ukur perilaku tersebut menjadi penanda yang paling mudah untuk menggambarkan kondisi ruhani manusia. Ketika perilaku itu menunjukkan tindakan yang baik, maka sudah bisa dipastikan bahwa kondisi ruhaninya dalam kondisi baik pula. Begitu juga pada kondisi sebaliknya, jika perilaku buruk yang tercipta, maka bisa dipastikan adanya kekeruhan dalam ruhani manusia tersebut. Perhatian Islam begitu luas tidak hanya melayani hal-hal yang bersifat personal tetapi juga melayani hal-hal yang bersifat kolegial. Adapun bentuk perhatian yang bersifat personal adalah seperti yang terpaparkan sebelumnya, sedangkan maksud dari perhatian yang bersifat kolegial adalah bentuk stimulan yang berupa doktrin untuk seluruh umat Muslim secara keseluruhan agar memberikan kesadaran akan adanya pluralitas di lingkungannya. Kesadaran pluralitas yang dicanangkan oleh Islam tidak hanya sebatas pada taraf ukuran

QS. Al-Tin: 4.

23


untung dan rugi semata, akan tetapi kesadaran yang ditawarkan berupa proporsionalitas yang bertolak dari prinsip keadilan.24 Kesadaran akan adanya pluralitas dari berbagai sisi memang sesuatu yang sangat lumrah ditemui dalam kehidupan nyata. Perbedaan budaya, agama dan etnis adalah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bentuk kesadaran yang dicanangkan Islam bila dirinci lebih konkret lagi adalah keterlibatan umat Muslim secara keseluruhan untuk aktif mengupayakan pemahaman yang dalam guna tercapainya kerukunan yang bersinergi dalam kebhinnekaan.25 Pemaknaan paling sederhana dari kesadaran adanya pluralitas dalam kehidupan tidak ditunjukkan dengan cara mengakuinya saja, akan tetapi yang dimaksudkan dari kesadaran pluralitas tersebut adalah, berupa kerjasama yang saling memberikan keuntungan. Umat Muslim diajak untuk aktif memberikan kontribusi nyata demi kemajuan dunia. Perbedaan yang ada sudah semestinya tidak menjadi sebagai sandungan untuk sebuah perkembangan. Sebaliknya, dari segala perbedaan yang ada, uma Muslim hendaknya sadar bahwa perbedaan tersebut merupakan lahan untuk menanam benih-benih kedamaian guna merajut peradaban masyarakat plural yang anggun. Perjuangan merajut kesadaran pluralitas di masyarakat mempunyai akar doktrin yang cukup kuat, di mana Alquran sebagai korpus terbuka bagi umat Islam dengan sangat tegas memberi pedoman kepada umat manusia, secara khusus bagi umat Muslim. Secara deskriptif-tekstual, Alquran menyatakan: “... dan pada tiap-tiap umat ada (memiliki) kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka, berlomba-lombalah kalian dalam berbuat kebaikan. Di mana saja kalian berada, pasti Allah akan mengumpulkan kalian pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu�.26 Solusi kesadaran pluralitas yang disodorkan Alquran merupakan intisari dari kemajemukan dan pluralisme yang baru-baru ini menjadi sebuah keniscayaan

Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia, 191. Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia, 193. 26 QS. Al-Baqarah: 148. 24 25


di lintas perbincangan dunia internasional. Begitulah adanya secara alami kemajemukan terjadi. Islam tidak perlu berusaha mengusik dengan membenturkan sejumlah perbedaan yang mendasari pluralitas kehidupan. Jalan yang lebih pantas adalah memahaminya dengan tanpa ragu merujuk pada ajaran Alquran seperti yang telah disampaikan di atas. Ajaran kedamaian dalam Islam sesungguhnya dan semestinya tercermin pada setiap aspek dalam Islam. Uraian di atas walau masih sangat minimalis untuk menggambarkan ajaran kedamaian dalam Islam yang luas namun cukup mampu memberikan penjelasan valid mengenai otentisitas ajaran perdamaian yang betul-betul tertanam dalam Islam. Penjelasan yang definitif, makna substansial yang humanistis, ajaran cinta serta perhatian yang cukup intim pada lingkup personal dan kolegial telah menempatkan Islam pada posisi yang tidak bisa diragukan lagi sebagai agama yang mendamaikan. Islam di Mata Dunia Potret wajah Islam yang komprehensif tidak melulu hanya berkutat pada kondisi ajaran yang mengagumkan. Uraian sebelumnya hanya merupakan satu sisi dari wajah Islam yang sebenarnya. Keindahan wajah Islam juga terlihat pada kondisi umat Islam dalam berbagai macam tindakannya yang diasumsikan sebagai pengamalan atas ajaran Islam yang lurus. Amalan yang dilakukan kaum Muslimin tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pandangan dunia mengenai Islam kadang banyak disandarkan pada kondisi umat Muslim, bukan pada ajaran Islam dalam arti ajaran-ajarannya yang bersifat normatif. Hal ini menjadi sangat dimaklumi, karena segala hal yang dilakukan oleh kaum Muslimin lebih terasa dampaknya daripada dimensi ajaran normatif yang bersifat idealisme semata. Sehingga, berbagai persepsi mengenai Islam muncul dalam berbagai warna dan coraknya sesuai dengan tindakan umat Muslim. Kadang memberikan kesejukan, dalam arti umat Muslim dirasa cukup mempesona dalam bertingkah laku. Sementara pada sisi yang lain juga ditemukan


corak persepsi yang cukup menyakitkan, yaitu tatkala kaum Muslimin dirasa tidak mampu menampilkan sisi ajaran Islam yang sempurna. Munculnya berbagai persepsi mengenai Islam dilihat dari amalan umatnya tentu juga menuai respon yang beragam dari umatnya. Paling tidak respon tersebut bisa dibedakan menjadi dua bagian. Bagian yang satu adalah respon yang mengharuskan adanya pemahaman untuk kemudian dilakukan koreksi dan perbaikan dari dalam. Sementara bagian yang lainnya berupa respon yang mengharuskan adanya pelurusan, ketika persepsi itu dinyatakan sebagai bentuk pelecehan serta fitnah yang tidak berdasar pada realitas yang valid. Dua respon di atas merupakan respon yang bisa dibilang cukup rasional dan proporsional. Dalam makna yang lebih sederhana, dua respon tersebut tidak berada pada titik yang ekstrem. Artinya, respon tersebut bukan suatu sikap yang tidak didasari emosional belaka, melainkan didasari dengan adanya pengakuan yang jujur bahwa kondisi realitas itu kadang tidak selalu sejalan dengan apa yang telah dikonsepsikan dalam bentuk ajaran. Terlepas dari persepsi ataupun respon yang akan tergelar, melihat kondisi umat Muslim secara lebih dekat dari berbagai sudut pandang tentu lebih bijak sebelum menentukan apakah suatu persepsi itu harus direspon atau tidak oleh kaum Muslimin. Nikolaos van Dam, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, memberikan komentar bahwa Islam di mata dunia, terutama di Eropa, sering mempunyai konotasi negatif. Konotasi tersebut bisa dilihat dari sejumlah praktik ekstrem umat Islam dalam mengamalkan agamanya, seperti ditegakkannya peraturan-peraturan yang dipijakkan atas nama syariah namun kadang kurang memperhatikan konteks kekinian. Fenomena kekerasan dalam arti sosial seperti praktik hukuman pancung, potong tangan, rajam atau lempar batu sampai mati, poligami di mana pria diizinkan menikah sampai empat istri, menikahi gadis di bawah umur, jihad kekerasan, dan fenomenafenomena lainnya dinilai kurang sinkron dengan gagasan dan semangat zaman yang berlaku.27

Nikolaos van Dam, “Perihal Barat Terhadap Islam�, Suara Pembaruan, edisi 7 Desember

27

2009.


Konotasi negatif di atas menunjukkan bahwa wajah Islam yang ditampilkan oleh sebagian umat Muslim terkesan kurang luwes dalam menanggapi kondisi zaman. Pemberlakuan apa yang pantas pada masa lalu yang diperuntukkan untuk kondisi masa kini dirasa cukup kaku sehingga dampaknya menjadikan wajah Islam tidak bersahabat dengan zaman. Pengertian tentang masa lalu sama sekali tidak berdasar pada pola pengkajian yang komprehensif. Prinsip dan konteks sosio-politis pada masa lalu sering luput dari kajian sebagian Muslim, terutama kelompok ekstremis. Pada akhirnya, amalan-amalan yang mengemuka adalah amalan yang sudah lapuk, di mana sisi kemanusiaan universal sering kali diterabas atas nama Tuhan. Kondisi memprihatinkan di atas, pada pandangan dunia kekinian, memang berada pada konotasi yang negatif. Kekerasan, ketidak adilan serta minimnya perhatian sebagian umat Muslim pada konteks hak-hak asasi manusia menjadi gejala paling monumental dan menjadi tolok ukur dari wajah Islam yang sangar. Kondisi ini tentu tidak sama sekali diinginkan oleh kaum Muslimin itu sendiri. Namun, realita yang ditunjukkan sebagian umat Muslim menjadikan wajah Islam secara keseluruhan benar-benar menyeramkan dan menakutkan. Mungkin sebagian umat Muslim ada yang tidak terima dengan konotasi negatif yang dialamatkan kepada agama mereka. Akan tetapi, bila melihat realita yang terpaparkan di belahan dunia yang lain, dibuktikan dengan adanya gerakan Islam yang cukup ekstrem yang sering menunjukkan sikap kekerasan bahkan tidak jarang juga aksi teror, mau tidak mau stigma buruk pasti terlekat pada agama Islam. Tragedi teror 11 September 2001 di Amerika Serikat adalah simbol paling fenomenal yang mengubah persepsi dunia internasional mengenai Islam. Pada konteks peristiwa itu, Islam yang terwakilkan oleh Al-Qaida dinyatakan sebagai agama yang mempunyai dimensi kekerasan. Tuduhan ini walau mungkin oleh sebagian kalangan lebih banyak bermotif politik, tetapi wacana tentang Islam sebagai agama teroris tidak dapat dielakkan lagi. Praktik-praktik kekerasan yang ditunjukkan oleh sebagian umat Muslim yang membawa simbol-simbol agama benar-benar dimanfaatkan oleh para


orientalis Barat untuk terus memegang tampuk wacana peradaban. Sementara Islam yang secara nyata melakukan tindak kekerasan sebisa mungkin selalu diposisikan subordinat di bawah kekuasaan Barat. Serangan para orientalis adalah tuduhan bahwa keseluruhan umat Islam memang berjiwa teroris. Pada akhirnya, kenyataan yang terbangun di ruang publik terus menyudutkan Islam hingga pada titik di mana Islam tidak bisa berkutik lagi. Penggalan kondisi di atas tentu sangat merugikan umat Islam secara keseluruhan. Namun, umat Muslim secara keseluruhan memang belum bisa berbuat apa-apa, selain hanya terus mencoba mengelak dalam bentuk retorika, sementara pada tingkat tindakan belum begitu terlihat. Berbagai upaya hanya berkisar pada perlawanan yang bersifat lokal, sementara pada taraf internasional masih sangat jauh dari harapan, bahkan yang tersuguhkan malah munculnya kekerasan-kekerasan lain yang justru semakin memperparah borok di tubuh umat Muslim secara keseluruhan. Singkatnya, Islam sebagai agama teror menjadi opini yang terus menguat di lintas perbincangan global. Tuduhan bahwa Islam sebagai agama teroris menjalar melalui berbagai media, sehingga kesan itu terus menguat di kalangan Barat. Pengalaman dan kejadian-kejadian seperti yang tercontohkan di atas menjadi standard dan acuan mengenai persepsi yang terbangun di tengah-tengah publik. Mereka tidak memahami apa yang ada dalam Islam, tetapi yang lebih mereka yakini adalah apa yang diperbuat oleh orang Muslim. Selain itu, kaum orientalis Barat melihat Islam dengan cara melihat apa yang mereka lihat di lingkungan mereka. Sangat jarang mereka melihat Islam nun jauh di sana. Sehingga Islam bagi mereka adalah apa yang diperbuat oleh orang Islam itu sendiri, bukan apa yang ada dalam ajaran Islam.28 Konsepsi Islam yang dilihat dari perbuatan umat Muslim memang tidak sepenuhnya salah. Meskipun di satu sisi memang kadang terasa kurang adil, namun pada sisi yang lain hal tersebut adalah realita yang tidak bisa dibungkam. Fakta memang lebih kuat memberikan kesan pada setiap orang, daripada ajaran

Nikolaos van Dam, “Islam dalam Pandangan Barat�, Republika edisi 29 Oktober 2009.

28


yang hanya berbicara pada lintasan normatif yang kurang mampu memberikan kesan apa-apa. Konsepsi yang mengemuka dari fakta itu pun juga tidak mampu dimentahkan, walau sebagian Muslim sering berkhutbah pada tataran normatifnya. Dunia tidak mau tahu Islam dari bilik ajarannya, tetapi dunia hanya memahami Islam dari amalan dan perbuatan umat Muslim. Oleh karena itu, hal yang tepat bukan berkhutbah di atas mimbar, melainkan beramal nyata di arena pergulatan dunia. Sebagian umat Muslim ada yang membenarkan tindakan kekerasan atau teror yang dilakukan oleh kelompok radikal. Menurut mereka, apa yang dilakukan oleh para ekstremis yang berani melakukan teror terhadap Barat tersebut adalah tindakan yang benar, karena selama ini jika dilihat dari kacamata konflik Israel-Palestina, Barat memberikan dukungan yang berlebihan terhadap Israel dan berbuat tidak adil kepada umat Muslim Palestina. Hal itulah yang memunculkan sikap benci kaum Muslimin terhadap Barat. Konflik tersebut kemudian tidak hanya berupa permusuhan nasionalisme, tetapi melebar pada permusuhan Islam-Barat. Apa yang terjadi di Palestina dan di belahan dunia Arab-Islam mengenai adanya intervensi negara-negara Barat dalam penyelesaian sejumlah kasus yang melibatkan negara Arab-Islam dimaknai oleh dunia Islam sebagai sebuah konflik agama. Wacana ini terus diasah hingga menjadi satu stigma yang berupa antipati berlebihan terhadap Barat. Pada satu kondisi ini, seakan-akan Barat benar-benar menjadi wujud nyata musuh umat Muslim. Kekerasan dan teror terhadap Barat oleh karena itu menjadi bagian yang halal, bahkan sebagian Muslim memandangnya sebagai lahan jihad. Memandang Barat secara negatif serta pandangan Barat yang juga negatif terhadap Islam menjadikan hubungan Barat dan Islam terlihat kurang dinamis. Islam memandang Barat menegakkan ketidakadilan, Barat memandang Islam sebagai agama kekerasan serta tidak kunjung sadar untuk menghentikan intervensinya terhadap dunia Arab-Islam. Masing-masing kubu antara Barat dan Islam mempunyai pandangan yang saling bertentangan. Kondisi ini tidak akan


berakhir sebelum masing-masing kubu mampu menyelami persoalan demi persoalan dengan tidak mengabaikan sisi kelemahan dari dalam dirinya. Proporsionalitas pengambilan suatu pandangan tentu menjadi salah satu standard bagi setiap kelompok untuk menilai kelompok lainnya. Pandangan negatif umat Muslim terhadap Barat dinilai kurang proporsional. Perlakuan dalam bentuk sikap sinis yang kerap kali berupa teror merupakan hal yang harus dihindarkan. Di sisi lain, Barat sebagai kelompok di luar Islam juga harus menerapkan standard yang sama yaitu mencermati setiap gejolak yang dilakukan umat Muslim terhadap mereka dari perspektif internal serta dari pandangan umat Muslim itu sendiri. Jika standard ini berlaku pada kedua kubu antara Islam dan Barat, maka stigma negatif terhadap kedua kubu tidak akan lagi terlontarkan, pada saat yang sama perbaikan sikap dan pandangan pada masing-masing kubu akan terjadi dan masa depan kehidupan damai mulai mewujud. Gambaran kecil mengenai wajah Islam dilihat dari sudut pandang dunia di luar Islam di atas, serta apa yang terjadi dalam dunia umat Muslim sendiri, menunjukkan bahwa wajah Islam saat ini masih terbilang cukup kaku. Artinya, wajah Islam tidak secantik apa yang terungkap dalam ajarannya. Ada kekerdilan berpikir yang terjadi di tengah-tengah umat Muslim. Pengamalan ajaran terkungkung pada apa yang berlaku di masa lalu saja, bukan berdasar pada prinsip dan semangat yang ada dalam ajaran itu sendiri. Wawasan kekinian dianggap bid’ah yang mengancam otentisitas ajaran agama, sehinggga amalan-amalan di masa lalu yang sifatnya sangat tentatif dinilai sebagai sesuatu yang berkelanjutan tanpa boleh ada suatu perubahan apapun di dalamnya. Potong tangan, hukum pancung dan halhal lain yang secara prinsip sebagai hukuman untuk memunculkan kesan jera dinilai sesuatu yang absolut secara praktik, bukan dianggap paten dalam bentuk prinsip. Pola pikir yang jumud (padat, mandeg, tidak mencair) inilah yang telah menyebabkan wajah Islam menjadi kusam di tengah menjulangnya peradaban dunia era modern. Nuansa kedinamisan dan keharmonisan disisihkan, sementara kecurigaan yang melangit terhadap hal-hal yang asing dalam bentuk kelompok


ataupun wacana terus ditajamkan. Praktik teror dan kekerasan dalam rangka menggusur hal-hal yang asing itu terus digalakkan, sehingga wajah Islam betul-betul berada pada titik yang memprihatinkan. Sejumlah dinamika politik internasional yang melibatkan negaranegara Arab di Timur Tengah ditasbihkan sebagai representasi Islam. Sementara Israel, Amerika dan sejumlah negara Barat yang ikut serta meramaikan gejolak konflik ketegangan antarsesama negara Arab di Timur Tengah memunculkan sikap antipati umat Islam terhadap Barat. Pada situasi ini, kembali umat Islam jatuh pada kekerdilan dalam memahami persoalan. Situasi konflik yang semula hanya berupa persoalan politik, ekonomi dan kekuasaan, menjadi krusial dan melebar berupa konflik yang berbau agama. Kemudian muncullah pesan-pesan jihad dari kubu Islam, sebagaimana kubu Barat juga mengumandangkan semangat Crussade sebagai penanda gejolak konflik bermotif agama tersebut. Berkali-kali dibenturkan dengan konteks semacam ini, wajah Islam seakan-akan tidak lagi bisa menawarkan suatu kedamaian pada dunia. Islam lebih dikenal sebagai agama yang penuh amarah, berwajah sangar dan sangat menakutkan. Begitulah wajah Islam saat ini di mata dunia. Persepsi ini tidak perlu direspon secara terburu-buru dengan menyalahkan tudingan tersebut. Yang lebih tepat adalah mempelajari semua rangkaian tudingan tersebut sembari terus melakukan perbaikan dari dalam. Hanya dengan kepala dingin sajalah wajah Islam yang kusam akan kembali cerah menawarkan kedamaian pada dunia. “Hentikan kekerasan tebarkan kedamaian!� Inilah intinya.

****


BAGIAN III PENCARIAN JALAN KELUAR Dunia tidak lagi indah seperti yang diimajinasikan oleh kebanyakan orang. Nuansa sentimen begitu sangat mudah ditemui di belahan bumi mana pun di dunia ini. Untuk tidak mengatakan mengerikan, dunia saat ini telah sarat akan warna-warni konflik yang terus berkembang seiring dengan semakin memuncaknya peradaban yang dicapai oleh manusia. Rasa gerah dan tidak nyaman terselip dibalik gelak tawa dan kebahagiaan setiap orang di muka bumi ini. Wajah manusia tidak lagi jujur menuturkan perasaannya, semua lini kehidupan ini layaknya drama yang menyuguhkan kemunafikan. Kepentingan saling mendominasi menjadi corak pergerakan setiap individu atau kelompok. Dunia universal layaknya belantara yang tidak lagi nyaman untuk ditempati dan disinggahi. Ilustrasi dunia yang cukup jauh dari rasa damai seperti yang tergambarkan di atas merupakan kebenaran dari realita masa kini yang tidak bisa dipungkiri. Kedigdayaan manusia dalam meramu dunia yang semakin gegap gempita dengan kemajuan teknologinya, ternyata pada kenyataannya tidak menjadi ukuran dari suatu kondisi kenyamanan psikis dunia secara universal. Kedigdayaan tersebut seakan hanya berbicara pada tataran performa fisik saja, tetapi secara substansial gejala tersebut tampak tidak berjalan seiring dengan nilai-nilai kebersamaan, keadilan dan kemanusiaan. Bahkan pada persepsi yang lebih ekstrem, dikatakan bahwa kedigdayaan peradaban saat ini tidak lain hanya sebagai simbol dari keangkuhan dan kerakusan manusia semata. Bentuk kerakusan yang kemudian memunculkan sejumlah konflik adalah fakta yang sudah banyak diujarkan oleh sejarah dunia ini. Berbagai bentuk kerakusan yang berupa aksi kudeta kekuasan dalam bentuk politik dan ekonomi, kudeta dari suatu kubu tertentu oleh kubu yang lain, semua itu merupakan cerita yang tidak ada habisnya dalam lintasan perbincangan dunia secara universal.


Cerita runtuhnya kedigdayaan Uni Soviet, yang menjadikan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa di dunia, merupakan simbol kerakusan gerakan politik, kekuasan dan ekonomi. Di situlah sejumlah retorika dimainkan untuk sebuah kepentingan dominasi, agar kemudian sejumlah agenda dan hasrat birahi dari kerakusan itu bisa terlampiaskan dengan bebas. Kadang memang tidak banyak kelompok yang mau jujur mengatakan kepentingan yang sebenarnya. Ada retorika yang selalu menjadi buah bibir paling sedap dalam membumbui setiap hasrat yang terpendam pada agenda suatu gerakan. Fenomena ini dinilai cukup berkembang keberadaannya. Lebih dari itu, gejala ini juga memunculkan ragam konflik yang semakin kompleks. Kenyataan ini jika dikaitkan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan teknologi merupakan suatu bentuk gejala yang cukup sinkron. Sehingga dikatakan pada suatu sudut pandang tertentu, bahwa ketika teknolgi canggih berkembang, maka akan muncul berbagi varian konflik ataupun kekerasan baru.29 Pandangan mengenai varian baru dari sejumlah konflik yang muncul akibat memuncaknya perkembangan teknologi menjadi suatu isyarat ancaman baru bagi kehidupan manusia secara umum. Isyarat tersebut dapat dimaknai dengan pernyataan bahwa dinamika dunia yang terus berkembang dari sisi yang bernilai positif, baik yang berbentuk perkembangan teknologi ataupun perkembangan peradaban yang secara umum semakin memuncak, di sisi lain juga memunculkan ancaman yang tidak kalah dahsyatnya dari capaian peradaban tersebut. Isyarat ancaman seperti yang dikumandangkan di atas walau memang baru bisa dipahami setelah diimbangi dengan perhatian yang penuh, namun pada saatnya nanti, ancaman tersebut betul-betul akan dirasakan secara nyata oleh dunia beserta seluruh penghuninya. Bila saat ini masih belum bisa dirasakan secara signifikan, namun sedikit demi sedikit realita ini terus akan menggiring pada kesadaran yang sebenarnya. Ancaman di balik kedigdayaan itu adalah

29 Lucian W. Pye, dalam Harold R. Isaacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis, Identitas Kelompok dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), viii.


suratan kehidupan yang tidak bisa ditampik, kecuali hanya dengan terus melakukan penyegaran kembali pada dimensi kesadaran terdalam dari diri masing-masing individu dan kelompok di muka bumi ini. Di gelaran fakta yang cukup krusial di atas, manusia berada pada titik kegalauan yang tinggi. Kemajuan teknologi tidak lantas harus ditolak atau dibenci lantaran melahirkan sejumlah varian konflik yang ganas. Kesadaran akan kebutuhan akan kemajuan teknologi menjadikan manusia harus membuka diri untuk menerima dan mengamininya. Tetapi, pada saat yang sama kewaspadaan harus terjaga di balik kedigdayaan tersebut. Selanjutnya, berbagai upaya harus dipilih oleh manusia sebagai bentuk kewaspadaan terhadap munculnya keganasan konflik yang mungkin terjadi. Di sinilah kemudian manusia betul-betul berada pada titik pencarian penyelesaian yang baik, tanpa harus memenggal kemajuan teknologi yang notabene juga sangat dibutuhkan kehadirannya. Respon dan Upaya Dunia Kegerahan manusia dari ancaman berbagai konflik yang mengusik ketenangan kehidupannya menjadikan manusia secara instinktif berusaha mencari jalan keluarnya. Kesadaran tersebut cukup terasa menggelora, dari usaha yang bersifat lokal hingga yang bernuansa internasional. Bila ditarik pada ranah kehidupan spiritual, banyak agama melalui kesadaran yang dimiliki umatnya juga mengupayakan agar persoalan konflik bisa ditangani secepatnya, yaitu dengan mencoba mengkaji ulang ajaran agamanya dengan harapan bisa ditemukan formula jitu dalam menuntaskan problem yang dihadapi dunia. Upaya pencarian jalan keluar secara implisit menjadi suatu kesadaran universal yang menjangkiti setiap elemen pokok dalam kehidupan. Dalam keyakinan Kristen, baik Protestan maupun Katolik, misalnya, salah satu dokumen keuskupan membahas dan memperhatikan sejumlah persoalan menyangkut titik vital paling sensitif dari bergelarnya kedamaian dunia. Salah satu titik yang menjadi perhatiaan dalam dokumen tersebut adalah hal yang berkaitan dengan


posisi martabat manusia. Agama Kristen dalam hal ini begitu serius dalam mencermati persoalan martabat manusia yang berkaitan dengan kebebasan. Dalam dokumen tersebut, dengan jelas dinyatakan bahwa setiap manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak yang berasaskan tanggung jawab yang dibebankan padanya tanpa ada paksaan apapun di dalamnya.30 Dalam hal ini, Gereja sangat sadar bahwa hal yang paling mengancam keselamatan seorang individu adalah persoalan kebebasan, atau dalam bahasa yang lebih mempesona dikenal dengan sebutan kemerdekaan. Kebebasan yang dimaksudkan, yang menempati ranking pertama di antara sekian kebebasan yang harus didapatkan oleh manusia adalah kebebasan beragama. Menurut Gereja, kebebasan bermakna bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak mana pun, baik individual, kelompokkelompok sosial atau kuasa manusiawi dengan berbagai bentuk dan caranya, di muka umum ataupun di ruang privat.31 Secara tegas keyakinan Kristen benar-benar menyadari sepenuhnya bahwa kebebasan merupakan hak mutlak bagi setiap individu. Bekal yang berupa akal bagi setiap individu menjadi suatu pijakan yang mengharuskan kebebasan itu dimiliki secara sadar oleh setiap individu. Tanggung jawab serta risiko apapun tentu juga menjadi bagian yang harus diterima akibat dari tindak kebebasan yang dianugerahkan pada setiap individu tersebut. Hak dan tanggung jawab adalah bagian dari konsekuensi logis yang harus diterima. Hak tidak dapat diberikan dengan utuh selama konsekuensi yang berbentuk tanggung jawab tidak dilakukan secara penuh. Keduanya, hak dan tanggung jawab, adalah dua sisi mata uang yang utuh yang harus diterima secara bersama-sama. Bentuk lain upaya masyarakat global dalam merespon ancaman di balik kemajuan peradaban yang tergelar ditunjukkan oleh organisasi negara-negara dunia, PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Persatuan negara terbesar di dunia ini berupaya mengatasi sejumlah konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia

Uskup Paulus dan Para Anggota Konsili, “Pernyataan Tentang Kebebasan Beragama� dalam Dokumen Gereja Katolik (Roma: Santo Petrus, 1965). 31 Paulus dan Para Anggota Konsili, “Pernyataan Tentang Kebebasan Beragama�. 30


dengan membuat kebijakan atau kesepakatan yang dipatuhi oleh setiap anggotanya. Prinsip-prinsip perdamaian menjadi satu tema pokok yang senantiasa menjadi bahan kampanye di setiap langkah yang diambil oleh PBB dalam menangani sejumlah konflik yang terjadi. Secara gamblang, PBB merupakan lembaga internasional yang mengecap dirinya sebagai pembawa misi perdamaian. Inilah satu bentuk upaya dunia internasional yang bisa dibilang cukup monumental sampai detik ini. Perhatian PBB dalam menyelesaikan sejumlah konflik terhenti pada satu pembahasan pokok, yaitu tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Bila dikaji lebih jauh, bisa dipahami bahwa PBB secara konstitusional mempunyai pandangan bahwa persoalan pokok dari sejumlah konflik pada dasarnya disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak setiap individu. Perhatian PBB tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada dasarnya merupakan titik tolak dari berdirinya PBB itu sendiri. Namun HAM kemudian baru benar-benar dideklarasikan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dan pada akhirnya tanggal tersebut resmi menjadi hari HAM (Universal Declaration of Human Right) sedunia.32 Ancaman yang siap mencabik-cabik keharmonisan dan kerukunan hidup pada dasarnya sangat nyata dan disadari oleh warga dunia. Pencarian serta upaya untuk keluar dari ancaman tersebut terkristalkan dalam berbagai bentuknya. Dari sisi pendekatan teologis, muncul berbagai alternatif solusi melalui ajaran-ajaran agama. Begitu pula muncul di masyarakat kesadaran terbuka lewat lembaga swadaya yang dibangun oleh kekuatan dan kesadaran yang suci untuk mewujudkan kedamaian dunia. Berbagai macam penawaran solusi lainnya atas ancaman konflik yang dapat merobohkan sendi-sendi kerukunan umat manusia juga dirumuskan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Di satu sisi, ancaman terhadap iklim kerukunan dan kedamaian umat manusia memang merupakan kepastian. Namun demikian, di sisi lain upaya pencarian jalan keluar atas masalah krusial tersebut adalah kebutuhan yang tidak 32 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Hak Asasi Manusia, terj. Titis Eddy Arini, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), 3.


mungkin ditolak. Sejumlah tokoh dunia telah membuktikan sekaligus mencontohkan kepada umat manusia betapa upaya peredaman konflik dan penyemaian benih kedamaian harus gigih diperjuangkan. George Washington, Presiden Amerika Serikat, pernah secara fisik terlibat dalam sejumlah peperangan demi kemerdekaan bangsanya. Dalam sebuah petikan pidatonya, Washington menyatakan, “...Jalinlah hubungan baik yang adil dengan semua bangsa lain, ciptakanlah perdamaian dan harmoni dengan semuanya! Agama dan moralitas menghendaki hal itu, jadi mengapa tidak kita adakan kebijakan resmi untuk mengupayakn hal itu?�33 Geroge Washington dalam ujarannya di atas, tergambar sebagai seorang sosok yang sejatinya merupakan bagian dari profil para penegak kedamaian di muka bumi ini. Ujarannya merupakan jawaban atas kepelikan masalah yang menimpa dunia ini. Keadilan, cinta kasih, keharmonisan serta perdamaian merupakan tujuan pokok dari geliat perjuangannya. Lebih dari itu, Washington ternyata juga seorang spiritualis sekaligus moralis. Ungkapan agama dan moral dalam petikan pidatonya adalah cerminan dari seorang tokoh yang mempunyai wawasan yang luas. Analisis berikutnya, Washington dalam mewujdkan perjuangannya memang tidak hanya sekadar berdiam diri di belakang meja. Keterlibatannya dalam perang fisik melawan tentara kolonial Inggris kala itu, menjadikan sosok Washington semakin kokoh dinobatkan sebagai tokoh penebar kedamaian. Sanjungan ini tidak berlebihan, paling tidak masa lalu yang dilewati oleh Washington dengan sejumlah perjuangannya menjadi panutan bagi mereka di era kekinian. Perjuangan serta misi perdamaian itu tidak cukup dilontarkan dari bilik kamar seorang intelektual yang sempit, tetapi juga harus diikuti dengan kegigihan perjuangan nyata di lapangan luas. Inilah satu pokok pelajaran yang dapat diambil dari seorang Washington terkait dengan persoalan pencarian jalan keluar dari ancaman terhadap perdamaian dunia. Haris Munandar (penerj). Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia, (Jakarta: Erlangga, 2007),

33

36.


Tokoh lain juga ditemukan di India. Dialah Jawaharlal Nehru yang lahir pada tanggal 14 November 1889. Tokoh ini tidak hanya bermain cantik di belakang layar tetapi juga beberapa kali terlibat perjuangan secara fisik dengan kaum kolonial Inggris di India. Bahkan diceritakan bahwa Nehru sempat beberapa kali ditangkap dan dipenjara, namun niat tulus untuk mewujudkan kemerdekaan selalu membangunkan dirinya di saat lesu. Begitulah Nehru yang gigih berjuang untuk sebuah kemerdekaan.34 Salah satu poin yang dapat diambil dari seorang Nehru dapat dilihat pada petikan pidatonya yang benar-benar sangat menggugah semangat. Kata-katanya menguatkan nurani yang lemah, serta membangunkan setiap jiwa yang patah arang. Petikan pidatonya yang cukup menggetarkan itu adalah, “Ambisi para orang besar di zaman kita adalah menghapuskan air mata. Mungkin tugas ini takkan terselesaikan seumur hidup kita. Namun yang jelas, selama masih ada air mata, selama itu pula kita masih harus bekerja�.35 Sungguh, Nehru ialah sosok yang luar biasa. Jiwanya yang sempat beberapa kali terancam, tidak menjadikan dirinya lesu untuk memperjuangkan hak bangsanya yang terjajah. Masuk penjara berkali-kali bukan satu hukuman yang membuat dia kapok menyuarakan perdamaian. Pada segemen pidatonya, dapat ditemukan sebuah poin penting bahwa kondisi teraniaya yang dibahasakan oleh Nehru sebagai air mata, harus dimusnahkan dari muka bumi. Baginya, tidak ada tugas yang paling penting dari seorang pemimpin, kecuali harus terus mengupayakan dunia yang bersih dari cucuran air mata penderitaan. Air mata yang dimaksudkan oleh Nehru tidak hanya indikasi dari keteraniayaan. Air mata kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan juga merupakan ancaman yang tidak kalah menyakitkan dari hanya sekadar penganiayaan fisik. Makna air mata yang dikumandangkan dalam pidato Nehru cukup menggambarkan sosok Nehru yang mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi. Kedekatan dengan rakyat jelata adalah titik kunci yang menjadi indikasi Munandar, Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia, 119-120. Munandar, Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia, 121.

34 35


dari pemahamannya yang sangat dalam tentang nilai kemanusiaan. Bentuk upaya yang dilakukan Nehru masih cukup serupa dengan apa yang dilakukan oleh Washington, namun kontekstualitas yang melingkupi seorang individu menjadi ciri khas yang membedakan bentuk perjuangan yang ditampilkannya. Memperjuangkan perdamaian dan kemerdekaan ternyata tidak hanya dikenal di Amerika dan India saja. Di Indonesia juga sangat populer kata perjuangan dan kemerdekaan. Soekarno menjadi wakil tokoh yang kemudian banyak dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai Sang Proklamator. Secara simbolis apa yang dilakukan oleh Soekarno dalam membacakan isi Proklamasi menjadi simbol bahwa bangsa Indonesia juga merasa tidak nyaman dengan kondisi keterjajahan. Tokoh lain sebelum Soekarno tentu sangat banyak. Perjuangan dan kegigihan mereka mewujudkan Indonesia merdeka juga tidak bisa dinisbikan begitu saja. Apa yang dilakukan Soekarno dan para tokoh pendiri bangsa ini sejatinya adalah bagian kecil dari kegerahan bangsa ini terhadap penjajahan. Soekarno atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno dikenal sebagai Bapak Proklamator negeri ini. Ia lahir di Surabaya 6 Juni 1901.36 Hidup di tengah-tengah penjajahan Belanda, keterbatasan dan keterbelengguan sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Walau demikian, Soekarno masih bisa dikatakan mujur, karena di tengah penjajahan tersebut Soekarno masih sempat menikmati bangku sekolah dengan sejumlah syarat yang tidak mudah yang diberikan pihak Belanda kepadanya. Soekarno muda berhasil menjadi salah satu siswa sekolah Belanda di Mojokerto tahun 1911.37 Bung Karno muda memperlihatkan sosok terbaiknya sebagai calon tokoh besar di negeri ini. Bung Karno sejak sekolah di Mojokoerto menjadi siswa yang pandai di antara teman-temannya, sehingga ketika lulus pada Juni 1916 ia berhasil lulus dengan gemilang. Kemudian pada tahun yang sama Bung Karno melanjutkan sekolahnya di HBS Surabaya. HBS waktu itu merupakan sekolah Munandar, Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia, 225. Heru Triatmono (ed), Kisah Istimewa Bung Karno, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 4-5. 36 37


elit, banyak orang menjulukinya sebagai sekolah raja. Maklumlah, karena HBS satu-satunya sekolah tertinggi di negeri ini waktu itu.38 Perjalanan studi yang tergolong cukup tinggi pada masanya menjadikan Bung Karno tumbuh menjadi seorang pribadi yang visioner, berwawasan dan berpengetahuan luas. Berbagai bakat muncul dari dalam dirinya, termasuk salah satunya adalah bakatnya dalam beretorika. Bahkan Soekarno konon dijuluki sebagai seorang orator terbaik di negeri ini. Sejumlah pidatonya memang cukup memukau serta menjadi isnpirasi tersendiri bagi kalangan muda pelanjut tongkat estafet perjuangan negeri ini. Salah satu petikan pidatonya yang cukup memukau disampaikan di depan sidang BPUPKI di Jakarta 1 Juni 1945. “...Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “merdeka,-merdeka atau mati!...�.39 Potongan isi pidato Bung Karno ini menunjukkan bahwa dirinya secara pribadi memiliki satu komitmen bahwa penjajahan adalah kondisi yang harus dilawan tanpa ada alasan untuk berpangku tangan sebelum kemerdekaan itu bisa diraih. Hanya kematian yang boleh menjadi alasan untuk tidak melanjutkan perjuangan menuju kemerdekaan. Begitulah kiranya substansi makna dari pidato Bung Karno yang menggairahkan itu. Bung Karno ternyata tidak hanya hebat sebagai sosok yang mampu berkoar-koar di negerinya sendiri. Di kancah internasional, gejolak perjuangan meraih kemerdekaan juga masih terus disuarakan dengan gencar oleh Bung Karno. Orasi yang menggetarkan dunia disampaikan Soekarno di depan Kongres Amerika Serikat dalam salah satu kunjungan resminya pada tanggal 17 Mei 1956. Soekarno dengan sengit dan geram menyampaikan bahwa berbagai perselisihan dan persetegangan yang terjadi di berbagai belahan dunia menurutnya tidak lepas dari intervensi Barat di dalamnya, karenanya pihak Barat pun secara otomatis harus bertanggung jawab terhadap sejumlah perselisihan tersebut.40 Munandar, Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia, 8-9. Munandar, Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia, 229. 40 Munandar, Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia, 231. 38 39


“Perjuangan itu belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun di Afrika masih berada dalam dominasi kolonial, belum bisa menikmati kemerdekaan. Pada potongan lainnya, Soekarno juga berujar “... Kaki telah berada di jalan menuju demokrasi, tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi. Kami sadar bahwa meskipun selama bertahun-tahun bangsa Indonesia telah berperang melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, jalan menuju demokrasi masih panjang. Tetapi betapa pun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama, dan itu mulai kami lakukan..�. Dua potongan orasi di atas menunjukkan bahwa sosok Bung Karno mempunyai prinsip yang kuat dalam menegakkan perdamaian di muka bumi. Kemerdekaan adalah keniscayaan bagi setiap bangsa, sedangkan kolonilalisme harus segera dihapuskan. Selain itu, sosok Bung Karno juga sangat pemberani, tuntutannya yang begitu tajam terhadap Barat disampaikan dengan sengit tanpa ada rasa takut sedikit pun. Amerika Serikat sebagai bagian dari Barat sama sekali tidak diperhitungkan untuk ditakuti, bahkan Bung Karno secara terbuka di depan Kongres Amerika Serikat memberi ruang dialog yang cukup longgar untuk membicarakan tanggung jawab Barat serta hak-hak negeri terjajah di sejumlah belahan dunia. Perjuangan memang selalu butuh konsistensi yang kuat tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Apa yang dicontohkan oleh Bung Karno di atas merupakan contoh konkret bahwa keberanian serta risiko dari perjuangan itu mutlak harus dihadapi oleh setiap pejuang. Keangkuhan tidak akan pernah habis menjajah setiap bangsa yang memiliki hak kemerdekaan, namun kegigihan memperjuangkan untuk merengkuh kemerdekaan adalah kebutuhan yang harus terus dilakukan tanpa harus memperhatikan seberapa panjang jalan perjuangan tersebut. Tidak penting mengetahui aral dan panjang perjuangan, tetapi yang lebih penting adalah keberanian untuk melangkah. Inilah poin penting dari apa yang digariskan Bung Karno di setiap corak perjuangannya.


Perjuangan melawan ancaman kedamaian dunia sejatinya adalah kewajiban asasi setiap manusia. Ancaman tersebut tidak boleh hanya dilekatkan sebagai problem pada satuan institusi baik yang berlabel agama ataupun lembaga kemanusiaan tertentu saja. Sebab, institusi tersebut tidak akan berarti apa-apa jika individu dan masyarkat dunia secara umum tidak mampu mengamalkannya dalam kehidupan yang nyata. Sejumlah tokoh pejuang perdamaian yang disebutkan di atas merupakan cerminan keterpanggilan individu bahwa kemerdekan merupakan hak setiap manusia. Kemerdekaan merupakan sisi paling primordial dari eksistensi manusia di muka bumi ini. Tanpa kemerdekaan, hidup tidak berarti apa-apa kecuali hanya penderitaan semata. Lintasan perbincangan respon yang melewati berbagai segmen dan komponen dunia secara umun sudah terurai pada ualasan di atas. Sesungguhnya masih cukup banyak bentuk-bentuk respon serta upaya dunia dalam menyelesaikan sejumlah ancaman yang berupa konflik. Respon dan upaya yang dilakukan dunia pada uraian di atas hanya bagian kecil saja dari sekian banyak respon lainnya, namun secara garis besar bisa disimpulkan bahwa respon dan upaya itu benar-benar mengemuka dan menjadi suatu kesadaran bahwa dunia saat ini dan yang akan datang tidak akan pernah terlepas dari ancaman keganasan konflik. Oleh karena itu, usaha dan kegigihan untuk menyelesaikannya merupakan kebutuhan yang sangat mutlak, sebab kegigihan dan konsistensi juga bagian penting penopang dari perjuangan suci itu. Contoh serta profil tokoh yang disuguhkan di atas sungguh layak untuk diteladani dalam memperjuangakan nilai-nilai kemanusiaan. Respon dan Upaya Islam Seperti yang telah dilansir sebelumnya bahwa setiap komponen kehidupan ini secara tidak langsung menginginkan terciptanya kedamaian dunia. Setiap komponen itu juga menyuguhkan berbagai macam upaya guna keberlangsungan kedamaian tersebut. Ancaman yang berupa konflik walau tidak akan pernah berakhir dalam arti tidak ada sama sekali dalam dinamika kehidupan,


tentu juga bukan hal yang mustahil untuk dicegah dan diminimalisir agar tidak terjadi. Konflik tetap akan menjadi bumbu kehidupan bermasyarakat hingga akhir masa. Kesadaran inilah yang kemudian menjadikan setiap komponen hidup ini juga bergerak mengupayakan agar dunia ini tetap stabil dan damai. Islam sebagai bagian dari komponen kehidupan tentu juga menyuguhkan berbagai upaya. Upaya pencegahan atau peredaman konflik tersebut sudah barang tentu menjadi keniscayaan untuk ukuran Islam sebagai agama yang kehadirannya adalah rahmat bagi seluruh alam. Ajaran Islam secara normatif memang dapat dikatakan cukup ampuh untuk menangani kondisi dunia yang sedang meregang akibat konflik yang datang silih berganti. Keberadaan ajaran Islam yang cukup mapan itu kadang menjadikan umatnya begitu percaya diri mengupayakan setiap ajarannya menjadi satu aturan pokok dalam gelaran dinamika kehidupan manusia. Percaya diri yang begitu kuat itu sedikit demi sedikit mengambil alih kesadaran sebagian umat Muslim untuk melakukan pemaksaan kehendak. Pemaksaan dalam arti umat Muslim mengklaim kebenaran secara sepihak, bahwa hanya ajaran Islam saja yang baik dan benar sedangkan yang lain tidak benar, tidak baik, dan oleh karena itu tidak perlu ada. Dalam praktiknya, umat Muslim kadang tidak mau tahu tawaran alternatif yang diajukan oleh pihak lain, bahkan seakan-akan merasa bahwa solusi yang ditawarkan jika berasal dari luar Islam harus diberantas. Idealitas dari ajaran Islam dalam kajian ini sudah terurai pada bagain dua dari buku ini. Sungguh gambaran ajaran yang mempesona itu tidak seharusnya menjadikan umat Muslim kehilangan kesadaran kemanusiaannya. Meskipun demikian, fakta bahwa sebagian umat Muslim ada yang sangat keras dan ekstrem mengamalkan ajaran Islam adalah kenyataan, sehingga dampaknya kadang mencederai Islam itu sendiri serta lingkungan sekitarnya. Percaya diri tanpa batas adalah bagian kecil dari proses bagaimana kemudian kesadaran itu tergusur dari alam primordialnya. Kondisi sebagian umat Muslim yang tertimpa gejala ini pada tahap berikutnya adalah terjebak dalam perangkap kepentingan politik kelompok tertentu. Wacana kemapanan ajaran


Islam dijadikan suatu amunisi paling ampuh untuk mendongkrak kepentingan yang sama sekali di luar ajaran Islam yang sebenarnya. Umat Muslim dalam faktanya dihardik untuk melakukan tindakan ekstrem guna sebuah wacana yang diujar menjadi sihir yang membudakkan sisi kemanusiaan umat Muslim. Sihir atas nama ajaran agama itu kemudian dikemas dalam suatu ajaran suci yang dikenal dengan nama jihad. Padahal kaidah jihad dalam Islam sama sekali tidak sama dengan doktrin kekerasan yang mengatasnamakan jihad itu. Tidak jarang kemudian sebagian umat Muslim sering terlihat begitu ganas menghabisi kemungkaran dengan cara kekerasan. Inilah satu segmen kondisi umat Muslim yang terjebak pada kepercayaan diri tanpa batas, yang kemudian jatuh pada pengamalan ajaran agama yang ekstrem. Ilustrasi kondisi umat Muslim di atas merupakan kondisi riil masyarakat Muslim sejak beberapa tahun terakhir. Secara sporadis gejala tersebut menjadi satu aliran yang kuat. Satu tahap berikutnya, kelompok Islam seperti yang digambarkan di atas jatuh pada kubangan radikalisme, sekaligus pada saat yang sama kelompok tersebut sangat gampang membenarkan tindakan anarki sebagai langkah jihad di mata mereka. Ujungnya, umat Muslim dalam hal ini secara tidak langsung menjungkalkan dirinya sendiri pada suatu pintalan benang yang kusut berupa problem dan musuh internasional, yaitu terorisme. Keyakinan ontologis yang bersumber dari keyakinan keagamaan menjadi motor penggerak paling hemat dan cepat dalam menggapai tujuan politik jangka pendek. Dari sini, banyak pihak kemudian mulai memberikan perhatiannya pada dunia politik Islam secara universal. Merebaknya paham radikalisme yang kemudian berujung pada tindak teror kemudian menyeret sejumlah analisis pada ajaran Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin yang diklaim sebagai cikal bakal kelompok Islam ekstremis yang berafiliasi pada kekuasan dan politik. Sejumlah persepsi menyatakan bahwa doktrin kekerasan serta teologi terorisme disinyalir mempunyai kaitan cukup dekat dengan dua gerakan tersebut.41

41 A.M. Hendro Priyono, Terorisme; Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), 162.


Perlawanan bermotif politik ini sejatinya begitu mudah dipelajari dalam konteks kehidupan nyata. Sejumah tindakan, baik yang terekspos dalam ranah pembicaraan problem internasional ataupun yang berkaitan dengan sejumlah problem di negeri ini mempunyai tujuan dalam rangka memusuhi Amerika. Sejatinya, apa yang diperjuangkan oleh mereka merupakan dasar atau dorongan yang bisa diterima oleh siapa pun. Namun, ketika ditarik pada pembahasan sebagian tindakannya yang berupa kekerasan, maka nilai perjuangan yang mereka nilai suci itu tidak bisa dikenali oleh umat sebagai perjuangan, melainkan kekerasan itu sendiri. Dalam kondisi yang demikian itulah kemudian opini yang tersebar di wilayah publik adalah wajah Islam yang sangat menyeramkan. Opini yang terbetuk itu semakin hari semakin kuat. Sejumlah peristiwa teror terus dialamatkan kepada Islam, bahwa pelaku tindak terorisme adalah Muslim, bahwa Islam mengajarkan atau melegalkan kekerasan, dan tuduhan negatif lainnya. Salah satunya adalah, kejadian teror pada 11 September 2001 yang meluluhlantakkan World Trade Center, pusat perekonomian AS, dan Pentagon, pusat kekuatan militer AS. Kejadian tersebut menjadi titik tolak menggejolaknya tuduhan terorisme yang semakin menguat terhadap Islam. Berdasarkan catatan sejumlah media, wacana teorisme menjadi headline paling seksi pasca-kejadian tersebut.42 Isu Islam sebagai agama terorisme terus menggelora. Tudingan paling nyata dan paling monumental untuk pertama kalinya dialamatkan pada salah satu kelompok Islam garis keras, Al-Qaida. Tudingan yang dilontarkan oleh Amerika Serikat tersebut menyebutkan bahwa Al-Qaida merupakan kelompok yang paling bertanggung jawab di balik Peristiwa 11 September yang menggemparkan tersebut.43 Walau tudingan tersebut juga menuai banyak pro dan kontra, namun opini yang terus bergulir semakin menyudutkan umat Muslim secara keseluruhan.

Hermanto Harun, “Islam Versus Terorisme�, (http://junivan.blogspot.com/2010/10/islamversus-terorisme.html), diakses pada 12 Juli 2012. 43 Chandra Muzaffar, Muslim, Dialog, dan Teror (Jakarta: Ekuator Publika, 2004), 174. 42


Tudingan tersebut tentu tidak representatif untuk menunjukkan bahwa Islam secara keseluruhan adalah agama teroris. Akan tetapi, keberadaan kelompok Islam yang cenderung berfanatik buta terhadap ajaran jihad yang telah diselewengkan, serta sejumlah kekerasan yang didalangi umat Muslim tidak bisa ditepis lagi memang menampakkan wajah sangar Islam. Tragedi Bom Bali yang terjadi pada 2002 merupakan satu babakan baru yang kemudian mengubah sudut pandang masyarakat global terhadap Islam, yakni Islam sebagai agama teroris. Kondisi ini adalah riil. Fakta, kejadian dan gejala kekerasan yang dimotori umat Muslim terus terjadi dan beriringan, sehingga citra Islam sebagai agama teroris semakin kuat. Sebenarnya, pengamalan sebagian umat Muslim yang cukup dekat dengan tindak kekerasan dan teror bukan berarti serta merta mengkonfirmasi bahwa Islam adalah agama teroris. Bila melihat dari kacamata sejarah, kita dapat menilai bahwa sesungguhnya kekerasan yang dilahirkan dari rahim agama sejatinya bukan murni terletup karena problematika agama itu sendiri. Gambaran kekerasan teror di lintasan sejarah kebudayaan Islam, misalnya, bisa dilihat pada peristiwa Karbala dengan terbunuhnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali. Sekilas, peristiwa itu nampak terjadi karena adanya perbedaan pandangan ideologi keagamaan, namun kenyataannya adalah murni problem kekuasaan atau politik.44 Analisis analogi atas peristiwa sejarah tersebut sangat dimungkinkan ketika kita membaca kasus-kasus peperangan atau konflik, yang digembar-gemborkan media massa global, berlatar agama. Boleh jadi, alasan politik adalah yang melatari keseluruhan konflik kekerasan atas nama agama. Gejala jihad yang terkemas dengan sangat apik melalui doktrin keagamaan layaknya menjadi jalan suci untuk menuju keridhaan Tuhan. Perang suci melawan orang kafir sering menjadi bumbu paling efektif untuk menjadikan setiap agenda kekerasan semakin gurih dan menggiurkan bagi seorang Muslim yang mempunyai kedangkalan pemahaman. Yang paling mudah terseret pada pola agenda teror ini tidak lain ialah generasi muda yang masih sangat rapuh dalam Abdurahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam (Yogyakarta: Gama Media, 2003), 34.

44


pemahaman agama. Pada akhirnya, bergulirlah apa yang telah terjadi, yaitu kekerasan, bom bunuh diri dan kekerasan lainnya yang berkedok jihad dengan iming-iming balasan surga dari Tuhan. Apa yang dilakukan oleh segelintir ekstremis Muslim di atas diklaim oleh para pelakunya menjadi bagian dari upaya mereka membangun kedamaian dunia. Tentu saja banyak pihak yang tidak setuju dengan penempatan aktivitas kekerasan tersebut sebagai upaya meramu kedamaian. Namun faktanya, potret inilah yang banyak dipahami oleh dunia saat ini. Sehingga dari anggapan tersebut, mau tidak mau potret umat Muslim tercoreng. Meskipun demikian, bagaimana sebenarnya umat Muslim secara umum memandang peristiwa-peristiwa bom bunuh diri dan berbagai kekerasan lainnya tersebut sangat penting untuk diurai, sekaligus untuk mengkonfirmasikan apakah aktivitas tersebut merupakan bagian dari upaya merespon kedamaian dunia yang sedang terancam. Titik yang paling tidak bisa diterima oleh umat Muslim di seluruh dunia secara umum adalah ketika tindakan terorisme dijadikan sebagai keterwakilan Islam secara keseluruhan. Secara eksplisit para pelaku teror memang tidak mengarahkan bahwa hal itu menjadi bagian upaya umat Islam secara keseluruhan. Namun, berbagai peristiwa kekejian yang tersaji di media massa global menjadi opini yang berkembang dalam perbincangan dunia internasional. Fakta ini merupakan bentuk kejujuran yang mesti diakui oleh umat Muslim, walau tidak harus diakui sebagai representasi Islam secara universal. Kejujuran dalam arti masih ada sebagian umat Muslim yang gemar melakukan tindak kekerasan atas nama agama, kejujuran bahwa umat Muslim harus berintrospeksi diri terhadap perilaku sosial-keagamaannya. Lebih jauh mengenai kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh sebagian Muslim, ada asumsi yang berkembang di kalangan ekstremis bahwa dengan mengulas peristiwa kekerasan lewat opini yang berkembang di perbincangan global merupakan satu langkah yang akurat untuk mewujudkan konsepsi baru dalam merumuskan Islam masa depan yang damai dan mendamaikan. Inilah inti yang diklaim oleh sebagian kecil umat Islam yang


mendasari mengapa aktivitas kekerasan yang mereka lakukan termasuk dalam ketegori upaya umat Islam dalam meredam kekacauan dunia. Pada saat yang sama, hal tersebut menjadi faktor yang menggiring pandangan warga dunia bahwa agama Islam secara total adalah agama yang mengajarkan terorisme kepada pemeluknya. Sebagai bentuk keinsafan dari sejumlah uraian sederhana di atas, harus diakui bahwa apa yang telah dilakukan sebagian umat Muslim masih sangat jauh dari ajaran yang sebenarnya dalam Islam. Keterbelakangan dalam membaca setiap suguhan dan tawaran penyelesaian sebuah konflik hampir menjadi budaya dalam kehidupan sebagian umat Muslim. Sehingga, kadang perbuatan atau amalan sebagian umat Muslim berjalan tanpa diimbangi oleh pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial terlebih dahulu. Kekurangan yang paling signifikan terdapat pada pemahaman yang kurang terhadap agama. Akibatnya, sebagian umat Muslim masih belum mampu memahami mana persolan agama yang murni dan mana yang bermuatan politik. Inilah akar kesalahan dari upaya yang telah diperagakan umat Muslim di beberapa belahan dunia. Oleh sebab itu, sudah saatnya kaum Muslim mengoreksi diri. Hentikan segala bentuk sikap percaya diri yang berlebihan dan budaya ikut-ikutan semata (taqlid)! Sebaliknya, harus digalakkan dan dibudayakan berfikir logis. Kembalikan setiap tindakan pada nurani serta ajaran kedamaian Islam yang sejati!

****


BAGIAN IV MEDIASI DALAM PANDANGAN ISLAM Goncangan sejumlah konflik, kondisi dunia yang terus menapaki titik kegalauannya, serta setiap individu yang seakan kehilangan pegangan dan tuntunan dalam mengarungi kehidupannya, kesemua itu menjadikan setiap sudut dunia ini tidak ubahnya kegelapan yang sangat pekat. Kegagalan sejumlah upaya yang dilakukan manusia untuk menerangi kegelapan itu nampaknya bisa dirasakan oleh setiap orang. Sebagian kegagalan juga terjadi di lingkungan umat Muslim. Sebagai contoh, aksi kekerasan dan terorisme diklaim oleh sebagian kecil umat Muslim sebagai upaya paling jitu dalam meredam konflik, meskipun nyatanya hal tersebut malah semakin menambah akutnya konflik yang terus menggejolak. Kegagalan juga terjadi dan terlihat pada gerakan-gerakan perdamaian internasional. Organisasi negara-negara dunia, PBB, adalah contoh yang cukup mewakili. PBB dinilai oleh banyak orang tidak lebih hanya sekedar simbol internasional untuk menyuarakan perdamaian dunia namun tidak dapat berbuat lebih dari itu, sebab kenyataannya PBB tidak mampu meredam tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara yang mempunyai kekuatan super. Menyebut PBB dan Islam sebagai bagian dari wadah perdamaian yang belum berhasil merealisasikan perdamaian, bukan berarti menuding keduanya sebagai biang dari konflik yang mengemuka. Keduanya hanya wadah saja, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah individu yang ada di dalamnya. Jadi, PBB ataupun Islam sebenanrnya secara intitusional adalah lembaga penting yang tentunya masih sangat diharapkan darinya perubahan-perubahan penting yang dapat menjadikan dunia ini semakin damai dan mendamaikan kehidupan. Perdamaian tanpa lembaga sebagai wadah atau komunitas yang mengikat kebersamaan tidak akan pernah bisa terealisasikan. Inilah satu bukti serta konsekuensi dari makhluk bernama manusia sebagai makhluk sosial di muka


bumi. Hanya dengan lembaga itulah, semua pergerakan dan perubahan bisa dikenal, lalu kemudian terwujud dalam bentuk nyata. Tanpa mau mengatakan apakah lembaga atau komunitas itu penting atau tidak, manusia dengan sendirinya akan membentuk komunitas untuk mewujudkan impiannya. Munculnya negara, suku, bahkan agama sekalipun, dilihat dari terminologi sosial yang merupakan kesepakatan komunitas yang bertujuan menghantarkan umat manusia menapaki cita-citanya, adalah di antara bukti betapa pentingnya sebuah ide terlembagakan. Begitulah komunitas dan kesepakatan membuat lembaga itu sangat vital keberadaannya dalam gerak dinamika kehidupan manusia. Menanggapi kegagalan komunitas dalam membangun kedamaian dunia tidak akan menghasilkan solusi jika langkah yang diambil hanya sekedar membubarkan komunitas tersebut. Membangun komunitas sudah barang tentu sangat sulit, apalagi baru akan memulai membagunnnya. Satu-satunya langkah efektif untuk kondisi yang cukup krusial ini adalah, meremajakan kembali visi dan misi dari kelompok tersebut. Jika hal ini diberlakukan pada Islam sebagai agama, maka langkah konkretnya adalah kembali pada ajaran suci dalam Islam itu sendiri. Uraian mengenai keagungan ajaran Islam sudah terurai pada bab sebelumnya. Kini, harapan-harapan jalan penyelesaian atas konflik dan kekerasan yang melanda dunia sudah betul-betul ditujukan kepada Islam. Sejumlah catatan kejayaan yang pernah diraih Islam menjadi pelajaran tersendiri yang harus kembali dikaji dalam konteks kekinian. Sisi perjuangan umat Muslim menawarkan alternatif solusi terhadap permasalahan kekerasan global juga tidak kalah pentingnya untuk dielaborasi secara kritis, agar nantinya tidak terjadi pengulangan kesalahan, sekaligus pada tahap yang sama mewujudkan kontribusi konstruktif dalam bentuk nyata dari ajaran Islam sebagai agama yang hanif.


Melacak Akar Segala Konflik Melacak akar konflik sangatlah perlu mengingat dari situlah sejumlah gagasan dan langkah untuk merumuskan solusi atas konflik berasal. Hambatan dan rintangan yang menyebabkan upaya penyelesaian konflik menemui kegagalan tentu saja akan selalu ada. Begitulah kondisi riil yang menimpa manusia, hingga kemudian konflik yang berkembang semakin menapaki klimaksnya dan menyisakan lara pada kehidupan manusia itu sendiri. Persoalan menakar akar konflik tentu merupakan bagian dari kerjakerja yang cukup membutuhkan energi besar, karena persoalan konflik itu selain sangat beragam juga sangat bersentuhan dengan berbagai dimensi. Secara umum, konflik yang menimpa umat manusia hingga saat ini merupakan bagian dari ruang lingkup ilmu sosial, mengingat gejala yang mengemuka sering disebabkan oleh sejumlah pergerakan yang sifatnya dilakukan secara massive di masyarakat. Meskipun pasti akan bersinggungan dengan gejala-gejala bidang lain, seperti politik, ekonomi, hukum, dan yang lainnya, menakar persoalan akar konflik sangat efektif dimulai dari kajian berdasarkan terminologi ilmu sosial. Contoh jenis konflik yang terjadi secara massive di tengah masyarakat di antaranya adalah munculnya kebencian satu kelompok terhadap kelompok lain. Misalnya, sebagian umat Muslim menaruh rasa benci yang berlebihan pada Barat sehingga apapun yang datang dari Barat dianggap kafir dan menyesatkan. Kebencian dalam konteks ini baik secara langsung maupun tidak langsung tumbuh menjadi kesadaran bersama di kalangan umat Muslim. Pada tahap berikutnya, kesadaran bersama tersebut mendasari pemikiran mereka untuk melakukan tindakan yang bersifat komunal pula. Demikianlah di antara argumen yang menunjukkan bahwa persoalan konflik yang muncul di masyarakat adalah sangat dekat atau menjadi bagian dari studi ilmu sosial. Dalam banyak hal, konflik juga sangat berkaitan dengan apa yang menjadi keyakinan seorang individu. Keyakinan atau ideologi yang paling banyak diikuti oleh umat manusia tidak lain adalah agama. Dengan demikian, korelasi konflik dengan apa yang ada dalam agama menjadi sangat dekat. Dalam ungkapan


lain, menguak akar konflik secara valid juga sangat mungkin untuk ditelusuri melalui agama. Menggunakan pendekatan ilmu sosial dan agama adalah pilihan paling efektif dalam mengeksplorasi konflik. Kedua pendekatan tersebut bekerja saling mengisi pada sejumlah kekurangan yang ada pada masingmasing pendekatan. Pada konteks sosial, persoalan keyakinan bukanlah bagian yang bisa dimaknai, kecuali setelah menjadi perilaku. Sedangkan dalam konteks keagamaan, persoalan keyakinan tentu sangat mungkin untuk ditelusuri, mengingat apa yang diyakini oleh individu atau kelompok bermula dari ajaran kitab suci atau wahyu Tuhan. Untuk itulah dalam rangka menguak akar konflik yang lebih valid, maka dalam segmen ini pembacaan serta pencarian akar konflik akan dilewati dengan dua pendekatan tersebut. Untuk menghantarkan pada proses penggalian akar suatu konflik, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menyoroti konflik itu sendiri. Salah satu ragam konflik yang bisa disebut bersifat universal karena terjadi di segala penjuru dunia adalah konflik yang berdampak pada tindakan teror. Aksi teror, meski tidak bisa dikatakan secara langsung sebagai konflik tetapi menjadi dampak paling nyata yang kerap kali bisa dirasakan secara langsung oleh setiap orang. Sejatinya, menentukan apakah teror itu merupakan dampak dari adanya konflik atau teror itu sendiri merupakan bagian dari konflik adalah hal yang sulit. Menetukan status teror menjadi perbincangan dan perdebatan yang cukup panjang dalam suatu pencarian akar konflik. Hal ini dikarenakan antara teror, motif tindakan teror, serta akibat dari teror itu sendiri adalah hal yang menyeluruh dan tidak mungkin terpisahkan, bahkan terkadang status teror bisa saja sebagai dampak dari konflik sekaligus bagian dari sumber konflik itu sendiri. Disandarkan pada kawasan lingkupnya, konflik dapat dibedakan menjadi dua bagian; konflik yang berskala domestik dan konflik yang berskala besar atau konflik internasional. Konflik berskala besar tumbuh dari sumber konflik yang kompleks, bukan hanya satu, dan biasanya mengemuka hingga lintasan pemberitaan dunia secara umum.


Sumber-sumber konflik diklasifikasikan menjadi enam bagian besar. Penjelasan singkat mengenai sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut.45 Pertama, untuk ukuran konflik yang bersifat global biasanya bersumber dari perubahan peta geopolitik dan pembagian wilayah kekuasaan secara ekstrem. Contoh yang paling nyata dan paling terasa dalam percaturan politik dunia adalah pembagian wilayah bumi antara negara-negara UtaraSelatan atau Barat-Timur. Kedua, sumber konflik yang bermula dari faktor demografi sosial dan lintas perbatasan. Konflik ini biasanya terjadi pada dua negara yang berdampingan atau berdekatan. Permasalahan yang paling sering mengemuka adalah perebutan batas teritorial, sengketa pulau, sengketa pencaplokan penduduk atau bangsa dengan isu ekonomi, dan sebagainya. Contoh konkret dari konflik yang bersumber dari faktor demografi sosial adalah seperti yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia yang memperebutkan Blok Ambalat, sebuah kawasan lepas pantai kaya minyak, yang dimenangkan oleh Malaysia dalam persidangan arbitrase internasional. Ketiga, sumber konflik yang bernuansa sosial. Biasanya, konflik ini bermula dari ketidak seimbangan akomodasi budaya serta etnis. Ketimpangan pandangan umum dalam memandang satu kebudayaan dari kebudayaan lainnya membentuk konflik komunal yang sangat bersifat sosial. Sebagai contoh, konflik komunal pecah ketika terjadi diskriminasi hak-hak sosial kelompok tertentu karena kepentingan kelompok lainnya. Keempat, sumber konflik dapat bermula dari persoalan ekonomi. Kelima, adalah politik. Contohnya, penguasa atau rezim yang tidak mempunyai legitimasi. Penguasa negara yang lemah semacam itu sangat membuka peluang terjadinya konflik. Keenam, sumber konflik dapat berupa elitisme individual, yakni berupa kepentingan serakah yang dikhususkan demi kemaslahatan kelompok atau individu tertentu saja. Hugh Miall dkk, Resolusi Damai Konflik Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),

45

121.


Merujuk pada apa yang dibangun oleh Ibnu Khaldun, konflik mengemuka karena tiga elemen besar yang melingkupi kehidupan manusia. Pertama, konflik muncul karena watak primordial manusia yang sering kali terbangun darinya rasa sentimen dalam tataran kehidupan hubungan sosial, antara hubungan manusia sebagai pribadi dan sebagai bagian dari kelompok tertentu (keluarga, suku dan lainnya).46 Ada dua hal yang berkaitan dengan kondisi watak primordial manusia secara umum. Pertama, manusia sejak lahir dianugerahi oleh Tuhan dengan cinta. Dengan cinta, setiap individu terdorong untuk mencintai dirinya sendiri sebelum kemudian mencintai orang lain dan lingkungannya. Cinta yang terbangun dengan didasari keangkuhan dan keakuan yang berlebihan membawa dampak pada perilaku pelakunya yang cenderung egoistis. Bentuk cinta yang semacam ini terasa semakin menguat dan dapat dilihat secara kasat mata ketika terjalin dan terbangun pada suatu kelompok. Bentuk cinta yang sifatnya egoistis dalam bentuk kelompok bisa dilihat pada loyalitas manusia terhadap kelompoknya. Dalam cinta yang semacam itu, persoalan identitas dari suatu kelompok menjadi sangat penting bagi setiap manusia. Beranjak dari kondisi inilah, persoalan kelompok dan identitas menjadi hal yang sangat dekat dan tumpang tindih sehingga sering kali memunculkan konflik antarmanusia.47 Watak primordial manusia yang kedua adalah agresifitas yang ada dalam diri manusia. Persoalan agresifitas merupakan suatu bentuk dorongan yang ada dalam diri manusia yang kemudian bisa saja berujung pada pertumpahan darah antarsesama manusia. Bahkan, dikatakan bahwa manusia mempunyai sisi kesamaan dengan hewan, di mana dalam melangsungkan kehidupannya manusia harus melakukan pertahanan diri.48 Dalam hal ini, manusia seakan-akan

Hakimul Ikhwan Affandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),

46

80. Affandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman, 81-82.

47

David C. McClelland, The Achieving Society, (New York: D. Vand Nostrand Company, 1961),

48

36-37.


kehilangan keseimbangannya dalam menjalani kehidupan, agresifitas yang ada dalam dirinya mendominasi lebih kuat sehingga konflik pun tidak dapat dihindari. Uraian mengenai sisi watak primordial manusia yang berupa cinta dan argesifitas adalah titik penting pembicaraan mengenai penyelesaian konflik. Sejumlah konflik yang terjadi memang berakar pada sisi watak primordial ini. Maka cukup berdasar jika Ibnu Khaldun menempatkan watak primordial manusia sebagai akar konflik yang pertama dalam kancah pencarian sumber konflik yang terjadi selama ini. Akar konflik yang kedua menurut Ibnu Khaldun adalah fenomena politik. Persoalan politik dalam pandangan Ibnu Khaldun cenderung dititikberatkan pada persoalan pendirian sebuah negara.49 Pendirian suatu negara menjadi bagian dari fenomena politik yang mengakari munculnya konflik. Pendirian negara memang tidak bisa dipisahkan dari adanya gesekan antarmasyarakat. Sejumlah nuansa perjuangan kerap kali terlihat dari suatu bangsa yang menginginkan kemerdekaan bangsanya. Bangsa kita, bangsa Indonesia, juga berdarah-darah sekian lama dalam berjuang mengusir penjajah. Perseteruan atau konflik yang terjadi ditandai dengan adanya gesekan antara nomaden society (masyarkat pengembara) dan sedentary society (masyarakat yang menetap). Kecenderungan dua corak masyarakat di atas sangatlah berbeda. Nomaden society lebih cenderung mempunyai motifasi untuk bekerja keras, sementara sedentary society lebih cenderung malas dan sangat tergantung pada pemimpinnya.50 Pola kecenderungan yang berbeda ini menjadi satu kondisi yang kemudian menggiring pada ketimpangan masyarakat pada berbagai dimensi kehidupan. Pada penguasaan finansial atau ekonomi misalanya, masyarakat nomaden lebih banyak menguasai dibandingkan masyarakat sedentary. Ketimpangan ini lambat laun memunculkan konflik yang tidak terhindarkan, sehingga masyarakat sedentary meminta dan berusaha membangun kekuatan Affandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman, 87.

49

Affandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman, 90.

50


sebagai bekal untuk melindungi eksistensinya serta untuk menutup blunder yang mereka ciptakan. Bagian lain dari fenomena politik adalah kekuasan raja atau kepala negara. Adanya kepala negara pada awalnya adalah suatu keniscayaan sebagai pengendali otoritas yang diharapkan darinya kemaslahatan bisa terdistribusikan ke sulruh pelosok negeri dengan adil. Tugas tersebut tentu menjadi sesuatu yang sangat urgen sekaligus sebagai bentuk pengejawantahan dari tugas pelestarian terhadap kehidupan umat manusia serta sebagai tugas untuk membangun dan mengembangkan dunia.51 Kebutuhan terhadap seorang pemimpin memang bagian dari kebutuhan asasi kehidupan manusia. Keberadaan seorang pemimpin yang mampu mengarahkan rakyat ke arah kemakmuran, melindungi rakyat dari berbagai ancaman, dan melakukan aktivitas kepemimpinan secara baik dan adil sangat didambakan.52 Berbicara mengenai idealitas seorang pemimpin mengahantarkan pada kesadaran bahwa keberadaan seorang pemimpin benar-benar hal yang sangat pokok dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Lepas dari keniscayaan tersebut, pemimpin dalam konteks lingkup pribadi juga dihadapakan pada problem kualitas yang ada dalam dirinya. Kualitas yang dimaksudkan adalah ketenangan dan kemantapan pemimpin dalam mengatur dirinya sendiri, terutama ketika pribadi pemimpin itu dihadapkan pada watak primordialnya sendiri seperti yang telah dituturkan sebelumnya. Watak primordial bisa dikatakan sebagai bentuk animal power yang dapat menggiring seorang pemimpin untuk melakukan tindak fakhsya’ (kejahatan) pada rakyatnya sendiri. Anarki, korupsi, dan berbagai tindakan amoral lainnya menjadi hal yang ringan dilakukan oleh seorang pemimpin yang telah terjangkiti primordialisme buta. Pada posisi inilah seorang pemimpin akan menjadi biang

Affandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman, 93. Ibnu Khaldun (Ahmadie Thoha Terj.), Muqaddimah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 229.

51 52


timbulnya konflik. Dalam kerangka yang lebih besar, konflik yang lahir karena tindak anarki pemimpin bisa menjadi konflik yang bermotif politik. Sumber konflik yang ketiga menurut Ibnu Khaldun adalah ekonomi. Persoalan ekonomi dalam kehidupan menusia mempunyai peranan sangat penting. Untuk melakukan dinamisasi dalam kehidupan, manusia tidak mungkin terlepas dari urusan ekonomi. Tidak mengherankan kiranya berbagai konflik terjadi gara-gara memperebutkan sumber-sumber perekonomian. Gejala kesenjangan distribusi kesejahteraan adalah satu faktor yang berpeluang besar memunculkan konflik, yakni ketika kelompok yang tertindas menggejolak meminta hak-haknya dan menuntut kesejahteraannya.53 Konflik dan persengketaan begitu mudah ditemukan dalam dinamika kehidupan manusia. Di Indonesia misalnya, konflik bermotif ekonomi bisa dilihat di Papua di mana warga merasa kesejahteraannya dijarah oleh negeri asing, sementara penduduk pribumi tidak diberdayakan bahkan bisa dikatakan dirugikan. Gejala yang demikian memunculkan konflik yang cukup ganas. Beberapa kali terekam di media massa terjadi kasus penembakan dan pembunuhan terhadap warga negara asing yang dianggap representasi dari pihak yang menyengsarakan penduduk Papua. Contoh konflik bermotif kesenjangan kesejahteraan sejatinya sangat banyak. Salah satu segmen kesenjangan pada contoh yang dikemukakan di atas semakin memantapkan bahwa persoalan ekonomi sangat riskan posisinya untuk menjadi sumber konflik. Posisi ekonomi sebagai sumber konflik bisa dibilang menempati posisi yang sangat signifikan, karena akhirakhir ini persoalan perekonomian menjadi kendali yang sangat nyata dari gerak dinamika kehidupan manusia. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, sumber konflik secara garis besar memang tidak jauh dari tiga hal yaitu, watak primordial manusia; politk; dan ekonomi. Tiga sumber ini diakui atau tidak benar-benar telah menjadi lahan Affandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman, 104.

53


subur merebaknya konflik antarmanusia baik yang bersifat individual maupun komunal. Sejatinya, tiga sumber konflik itu adalah sisi paling asasi dari kehidupan manusia. Sisi-sisi tersebut bisa saja menghantarkan manusia pada posisinya sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi. Namun, ketika sisi tersebut disalahgunakan maka konfliklah yang terjadi. Sumber dan Bentuk Mediasi dalam Pandangan Islam Islam merupakan salah satu cagar peradaban yang terjaga hingga saat ini. Catatan sejarah membuktikan bahwa Islam cukup tangguh dan telah banyak memberikan pencerahan dan perubahan pada dunia secara umum. Bentuk ketangguhannya yang lain, dalam perkembangannya, Islam tumbuh dengan sejumlah gerakan yang ada di dalamnya. Kemajemukan gerakan yang timbul tidak lain adalah salah satu faktor yang menyebabkan Islam bisa eksis hingga akhir masa. Keragaman gerakan dalam Islam adalah wujud beragam dan berkembangnya umat Muslim. Secara garis besar, bentuk pergerakan Islam kontemporer dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Pertama, gerakan Islam yang berjuang untuk upaya revivalisme atau kebangkitan. Yang kedua adalah gerakan yang berupaya menampilkan sisi kebebasan dan kelenturan Islam atau juga biasa disebut dalam perbincangan lintas global dengan sebutan gerakan liberal. Kedua bentuk gerakan Islam kontemporer tersebut jika dipandang dari sisi kerangka pemikiran Islam membawa kita pada pemahaman bahwa gerakan Islam modern memiliki kecenderungan arah perjuangan yang bersifat pembaharuan. Kritik dan kontinuitas menjadi nadi dari gerakan-gerakan yang mengemuka tersebut. Walau demikian, wajah gerakan Islam kontemporer tidak sepenuhnya seperti kecenderungan yang telah disebutkan di atas. Sebagian fakta empiris menunjukkan bahwa beberapa gerakan Islam modern terlihat sangat


konservatif dan terkurung pada pendaur ulangan pemikiran lama tanpa memperbarui konteks.54 Jika dirumuskan, pola gerakan Islam kontemporer paling tidak bermuara pada dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan progresif dengan melakukan kritik dan menawarkan format sintesis antara modernisme dan tradisionalisme. Pola gerakan Islam yang seperti ini disebut neo-modernisme. Bentuk kecenderungan kedua dari pergerakan Islam kontemporer adalah upaya mengaktualisasikan nilai teks dengan mengandalkan pemikiran serta mencoba memberikan perubahan gerakan. Model yang kedua ini dikenal dengan transformasi Islam. Isuisu yang berkembang dalam pola gerakan Islam kontemporer yang kedua berupa pembebasan gerakan pemberdayaan. Salah satu isunya yang paling mengemuka adalah liberalisme, sehingga dewasa ini pola gerakan yang kedua ini sering disebut gerakan liberal. Sejatinya gerakan ini merupakan bagian dari gerakan neo-modernisme, hanya saja mempunyai kecenderungan yang lebih sekuler.55 Kemunculan pola langkah dalam peta gerakan Islam kontemporer merupakan suatu respon umat Muslim terhadap berbagai persolan aktual pada era post-modern ini. Islam seakan-akan diposisikan menjadi tumpuan umat untuk mengurai benang kusut problematika zaman. Wujud problematika tersebut di antaranya berupa merebaknya konflik seperti yang telah dituturkan pada bagian sebelumnya. Di samping itu, Islam juga sangat mungkin untuk ditempatkan sebagai media untuk menuntaskan konflik, dalam arti Islam secara implisit menempati posisi yang berstatus sebagai mediator konflik. Langkah dan gerakan Islam di atas jika dikaitkan dengan Islam sebagai suatu nilai yang berkapasitas untuk memedisi konflik, maka dapat dikatakan bahwa gerakan-gerakan Islam kontemporer merupakan bentuk mediator konflik. Namun, sebelum mengurai lebih jauh mengenai mediasi yang ditawarkan oleh

Haedar Nashir, “Agenda Neo-Modernisme Muhammadiyah� dalam Quadrum Edisi 1 April

54

2012, 16. Haedar Nashir, “Agenda Neo-Modernisme Muhammadiyah�, 17.

55


Islam, perlu kiranya mengetahui lebih dalam apa sebenarnya makna dari mediasi itu sendiri. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare, yang berarti berada di tengah. Secara kebahasaan dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah upaya pihak ketiga menjembatani para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan. Mediator harus berada pada posisi tengah atau netral di antara pihak yang bersengketa.56 Secara terminologi, merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak yang membantu mencari alternatif dan mendorong para pihak yang bertikai untuk bersama-sama ikut menyelesaikan sengketa.57 Sejatinya, makna mediasi banyak dikemukakan dalam perbincangan hukum, namun bila ditarik pada persoalan konflik universal maka makna mediasi bisa diartikan sebagai sebuah perangkat yang disiapkan untuk menyelesaikan konflik dengan tidak melakukan pencederaan terhadap kelompok yang bertikai. Santun, ramah dan damai menjadi pondasi yang tidak bisa ditanggalkan pada proses mediasi. Dari definisi di atas, mediasi yang idealnya selalu diselenggarakan pada setiap konflik atau ditawarkan oleh Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, harus bertumpu pada prinsip-prinsip tadi, santun, ramah dan damai. Kekerasan yang sifatnya mencederai nilai-nilai kemanusiaan menjadi hal yang harus dijauhkan dari tindak dan agenda mediasi. Kekerasan dan segala bentuk tindakan yang bertolak dari prinsip perdamaian bukan bagian dari mediasi yang sebenarnya. Dengan demikian, meskipun Islam menawarkan mediasi yang damai, tetapi jika ada tindakan yang kurang elok baik dilakukan oleh sekelompok orang Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat & Hukum Nasional (Jakarta:

56

Media Grop, 2009), 2. Naskah akademik Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003, dikutip oleh Syahrizal

57

Abbas dalam Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat & Hukum Nasional, 8.


secara umum maupun umat Muslim secara khusus, hal itu tetap merupakan konflik yang juga harus dituntaskan melalui mediasi yang ditawarkan Islam. Menyediakan mediasi yang tepat serta akurat tentunya harus dikorelasikan dengan gejala konflik yang terjadi. Namun, untuk merinci konflik yang terjadi, sangat sulit dan rumit jika mengambil jalan dengan menganalisa satu per satu. Menanggapi kepelikan analisis ini, maka merujuk pada sumber-sumber konflik adalah langkah paling mudah menemukan seperangkat mediasi yang jitu untuk menyelesaikan konflik. Merujuk pada referensi yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kita mengetahui bahwa sumber konflik yang pertama adalah persoalan watak primordial manusia yang mengarah pada cinta dan agresifitas. Pada maksud yang lebih dalam, cinta dan agresifitas dapat dimakanai sebagai bentuk egoisme yang secara instinctive dimiliki oleh setiap individu. Dalam bentuk nyata, sikap tersebut termanifestasikan pada sikap percaya diri yang berlebihan, sehingga pada tahap berikutnya memunculkan sikap menyalahkan orang atau kelompok lain. Gejala seperti ini ternyata tidak hanya benar-benar muncul secara instinktif. Dalam doktrin atau ajaran agama, juga terdapat semacam dorongan yang mengarah pada penajaman agresifitas yang dimiliki manusia. Dalam pemahaman keagamaan sebagian umat Muslim, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa agama yang mereka peluk adalah agama yang paling benar, sehingga pada makna yang lain mereka menganggap bahwa agama yang lain adalah salah. Cerminan ini begitu cukup nampak pada ajaran yang tertuang dalam kitab suci.58 Pemahaman ini walau tidak berarti salah pada taraf yang akut, tetapi sangat memungkinkan melahirkan tindakan yang mengarah pada perlakuan kekerasan kepada umat agama lain, sehingga terjadi konflik antaragama. Persoalan agresifitas yang diafirmasi secara implisit oleh wahyu Tuhan menjadikan setiap Muslim harus melakukan pemahaman yang mendalam, utuh Lihat QS. Ali Imran: 85.

58


dan menyeluruh terhadap teks kitab suci. Hal itu penting karena dampak yang dimunculkan akibat penafsiran yang tekstual, kolot, tradisional, serta mengabaikan konteks sosial kekinian sangat membahayakan bagi stabilitas kenyamanan kehidupan umat manusia secara umum. Memaknai agama secara benar dan bijaksana oleh karena itu menjadi langkah awal yang semestinya dilakukan setiap Muslim dalam konteks kehidupan masyarakat yang plural karena dapat meredam dorongan agresifitas terhadap umat agama lain. Agama dalam Bahasa Arab biasa disebut dengan dien yang berarti tunduk, taat, patuh serta jalan wara’.59 Pendapat lain menyatakan bahwa agama adalah ibarat ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Bentuk ikatan yang dibangun ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan tersebut berasal dari kekuatan yang maha tinggi, satu kekuatan gaib yang dimaksudkan tidak bisa digapai oleh penginderaan manusia.60 Dari sejumlah definisi tentang agama di atas, maka agama secara umum merupakan suatu kebutuhan manusia yang asasi serta bentuk pengakuan terhadap adanya kekuatan di atas segala-galanya di luar diri manusia. Melalui pengakuan tersebut kemudian terbangun suatu konsekuensi untuk mematuhi wahyu atau ajaran dari kekuatan yang diyakininya. Secara garis besar, seluruh agama pada dasarnya bertolak dari prinsip ini. Namun kenyataannya, walaupun sama secara prinsip tetapi masih terdapat rasa sentimentil di antara pemeluk agama yang mengarah pada permusuhan. Bermula dari gejala inilah sejumlah anggapan terhadap citra agama semakin buruk. Pada taraf tertentu, agama dianggap sebagai sumber dari sejumlah konflik yang ada. Umat Muslim tentu tidak menerima apabila agamanya dikatakan sebagai biang dari bermunculannya sejumlah konflik. Meskipun demikian, kaum Muslim juga harus menyadari serta tidak menafikan bahwa memang sebagian pemeluknya ada yang memiliki kecenderungan bertindak ekstrem dan menampakkan sifat

Louis Ma’louf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-’Alam (Beirut: Daar el-Masyrooq, 2003), 231.

59

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press), 10.

60


agresifitas primordial. Walaupun pada taraf tertentu dirasa masih cukup wajar, perilaku ekstrem sebagian Muslim tetap harus segera dihentikan agar persoalan dominasi agresifitas dalam pemahaman keagamaan tidak meluas pada kelompok Muslim yang lain. Menjawab adanya agresifitas yang menjangkiti sebagian Muslim, Islam menjawab melalui wahyu Allah dalam Alquran bahwa Islam tidak pernah memberlakukan agama lain sebagai agama yang salah. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati� (QS. Al-Baqarah: 62).61 Ayat tersebut merupakan suatu bentuk ajaran yang menghendaki umat Muslim mempunyai pandangan pluralitas dalam keberagamaan. Pandangan yang bijak menanggapi fakta pluralitas kehidupan tersebut merupakan suatu langkah positif yang memungkinkan terciptanya kedamaian antarumat beragama. Rasa sentimentil yang mengarah pada tindak anarkis dimungkinkan akan bisa ditangani dengan baik sehingga terciptalah dunia yang damai dan menenteramkan. Di samping menggali makna atau hakikat agama baik secara definitif maupun menelusurinya dari sumber ajaran, hal yang penting berikutnya adalah umat Muslim harus mengenal bagaimana sebenarnya Islam lahir dan tumbuh sebagai agama besar di tengah masyarakat yang plural pada saat kemunculannya. Sejarah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa beliau pernah hidup serumah dan diasuh hingga dewasa oleh pamannya, yang hingga nafas terakhirnya belum menerima ajaran yang dibawa oleh beliau. Sosok sang paman, Abu Thalib, meskipun begitu dalam sayangnya kepada Nabi dan begitu pula Nabi sangat mencintainya, secara fakta beliau masih dalam keadaan belum bersyahadat atau belum Muslim. Di balik perbedaan keyakinan antara Rasulullah SAW dan Lihat QS. Al-Baqarah: 62

61


pamannya, kerukunan dan kedamaian tercipta di rumah dan di masyarakat Makkah saat itu.62 Pengalaman Rasulullah SAW hidup serumah dengan pamannya yang tidak seiman mengandung nilai ajaran yang luhur bagi umat Muslim secara khusus dan umat manusia seluruhnya secara umum. Kehidupan kemasyarakatan yang diliputi kemajemukan di segala bidang, termasuk keyakinan, bukanlah penghalang bagi umat Muslim untuk menjalin hubungan yang harmonis dan nyaman dengan umat agama lain. Potret kehidupan Nabi SAW yang menunjukkan persahabatan dengan umat agama lain juga terlihat ketika beliau menjalin kerjasama dengan penguasa Ethiopia yang pada saat itu dikuasai oleh seorang raja yang berafiliasi pada Imperium Romawi dan beragama Nasrani. Peristiwa ini terjadi pada saat hijrah pertama.63 Kerjasama yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW ini menunjukkan adanya kebesaran jiwa beliau serta kualitas kedewasaan pemahaman beliau terhadap agama yang disyiarkannya. Tinjauan definitif serta torehan sejarah Rasulullah SAW di atas menunjukkan bahwa Islam secara ajaran dan tindakan sama sekali tidak membenarkan adanya motivasi egoisme yang berlebihan, serta menunjukkan bahwa di dalam Islam tidak ada anjuran yang mengarahkan pada agresifitas primordial manusia. Yang diajarkan oleh teladan utama umat Muslim adalah kelenturan Islam dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang penuh kemajemukan, yang ditunjukkan dengan jalinan kerjasama dan jalinan persaudaraan yang menghendaki kehidupan harmonis. Umat Muslim sungguh sangat layak dan sudah semestinya meneladani sikap-sikap Rasulullah SAW tersebut. Model kehidupan seperti inilah yang harus dibina dan dilestarikan. Dalam istilah perbincangan global dewasa ini, apa yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut dikenal dengan semangat multikulturalisme. Menanamkan masyarakat secara dalam konteks

kesadaran umum serta umat kehidupan sosial

pluralitas kepada Muslim secara khusus atau kemasyarakatan

Abd al-Salam Harun, Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 99-101.

62

Abd al-Salam Harun, Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam,72.

63


sangatlah penting. Pluralitas dalam suku, ras, warna kulit, bahasa, agama, dan sisi lainnya sungguh merupakan keniscayaan dan kehendak Tuhan. Pluralitas dalam hal agama secara khusus menjadi sorotan pada perbincangan isu global. Agama, sebagai salah satu kebutuhan asasi manusia, mempunyai peran yang sangat penting pada setiap gerak dan dinamika manusia. Sungguh suatu langkah yang tepat jika muatan pluralisme lewat ajaran agama bisa ditanamkan pada setiap individu. Hal tersebut dapat meredam sisi agresifitas yang ada dalam diri manusia. Jika kemudian ajaran pluralisme dalam kerangka kehidupan beragama bisa tertanam dengan baik, maka bisa dimungkinkan agresifitas manusia bisa dikendalikan serta bisa diarahkan pada hal-hal yang berpeluang untuk melahirkan perdamaian dunia. Dari berbagai pandangan dan ulasan singkat di atas dapat dikatakan bahwa ajaran multikulturalisme jika dikaitkan dengan sumber konflik yang berhubungan dengan agresifitas dalam diri manusia menjadi seperangkat mediasi yang bisa ditawarkan Islam guna meredam sejumlah konflik yang bergulir. Inilah satu bentuk mediasi yang memungkinkan untuk diimplikasikan dalam bentuk aksi di tengah-tengah umat. Dengan menanamkan kesadaran akan adanya pluralitas di lintas sisi kehidupan, maka agresifitas yang merupakan bagian dari dimensi primordial manusia secara relatif dapat dikendalikan. Konflik pun menjadi relatif terkontrol serta mudah dihindarkan. Berlanjut pada sumber konflik yang kedua, yaitu politik, dalam pembahasan berikut akan dijabarkan sedemikian peliknya faktor politik mendorong manusia untuk berkonflik. Untuk menentukan bentuk mediasi yang bisa ditawarkan oleh Islam, maka perlu melihat bentuk konflik riil yang muncul dari sumber ini. Konflik yang biasa muncul dari sumber ini adalah sikap anarki seorang pemimpin terhadap rakyatnya sendiri. Di antara bentuk nyata konflik politik adalah perilaku korupsi perangkat administrasi pemerintahan yang sangat merugikan rakyat. Konteks tersebut berlaku di mana saja, termasuk Indonesia. Banyak hal bisa dilihat dari pengalaman Indonesia terkait kasus konflik akibat faktor politik. Korupsi merupakan persoalan paling besar di antara


kejahatan politik yang menimpa negeri ini. Mafia hukum menempati ranking kedua setelah korupsi, di mana hukum di Indonesia menjadi murah diperjualbelikan sehingga hukum tidak lagi memberikan perlindungan bagi mereka yang benar serta tidak menghukum mereka yang salah. Pada kondisi yang demikian kacau itu, bangsa Indonesia menjadi semrawut dan penuh dengan tindakan fakhsya’ (kejahatan/keburukan) para warganya. Beranjak dari gejala nyata di tengah masyarakat tersebut, mau tidak mau konflik antara rakyat dengan penguasa tidak bisa dielakkan lagi. Bentuk mediasi yang bisa ditawarkan Islam dalam hal ini adalah pedoman dalam ajaran Islam bahwa para pemimpin hendaknya menjalankan kepemimpinannya dengan lemah lembut dan penuh keadilan. Rakyat yang hidup di bawah naungan pola kepemimpinan seperti ini akan mempunyai kesempatan untuk mengembangkan segala potensi yang terdapat dalam dirinya. Selain itu, masyarakat juga menjadi berkesempatan mengemukakan pendapatnya secara bebas tanpa ada tekanan dan rasa takut.64 Melihat uraian di atas, dua hal menjadi tekanan dalam konteks Islam sebagai mediator konflik, yaitu konsep keadilan serta kebebasan mengemukakan pendapat oleh masyarakat luas. Kedua poin tersebut tidak bisa lantas diturunkan dalam bentuk tindakan tanpa lebih dahulu memahami kerangka atau wadah formal dari keadilan dan kebebasan tersebut. Salah satu pintu masuk agar kemudian konsep keadilan dan kebebasan itu bisa dipahami dengan runtut adalah mengaitkannya dengan perbincangan hak asasi manusia (HAM). Konsepsi keadilan hanya akan bisa dipahami ketika hak-hak setiap individu bisa dipenuhi. Ketika seorang pemimpin bisa memberikan hakhak rakyatnya secara proporsional maka pemimpin tersebut bisa dikatakan sudah menjalankan keadilan. Berangkat dari runtutan logika yang demikian maka mengurai hak asasi manusia tentu sangat penting.

Hakimul Ikhwan Affandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman, 98.

64


Uraian mengenai relasi HAM dan Islam dapat dilihat dari awal kemunculan Islam itu sendiri. Islam lahir sebagai pemberantas kebodohan masyarakat waktu itu. Salah satu kebodohan yang paling akut diderita oleh masyrakat jahiliyah Arab adalah kerakusan mereka. Bermula dari kerakusan tersebut, tidak segan-segan masyarakat jahiliyah Arab menggadaikan prinsip-prinsip keadilan dengan hal-hal yang bersifat materi belaka. Gelagat ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat umum, tetapi juga menjadi bagian dari budaya para pemimpin Arab waktu itu. Bermula dari kondisi inilah kemudian Islam datang dengan konsep keadilan yang menyatakan bahwa setiap individu tidak boleh saling merugikan dan dirugikan dalam segala aspek kehidupan.65 Lahirnya Islam merupakan tonggak baru dari prinsip keadilan yang dilandaskan pada hak-hak asasi manusia. Setelah sekian lama manusia hidup dalam ketidakadilan di mana sebagian komunitas memiliki keistimewaan menyampaikan pendapat sementara sebagian yang lain terdiskriminasikan dalam hal tersebut, Islam datang menghapus kebiasaan itu. Setiap individu dalam pandangan Islam berhak secara penuh untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi. Sumber konflik yang terakhir adalah ekonomi. Persoalan sumber daya hampir selalu menjadi faktor penyebab konflik. Kekurangan sumber daya juga sering dinyatakan sebagai bagian dari kondisi yang biasanya membentuk corak kehidupan masyarakat yang keras. Sejumlah fakta ditemukan di berbagai belahan dunia di mana persoalan memperebutkan sumber daya kerap kali memicu persetegangan antarmanusia. Kekurangan sumber daya atau kemiskinan pada suatu bangsa atau masyarakat sering terjadi akibat penindasan yang dilakukan oleh penguasa.66 Islam atas

Menanggapi salah satu persoalan sosial tersebut, hadir memberikan solusi sebagai langkah mediasi persoalan tersebut. Alquran secara gamblang

Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam (Jakarta: Widjaya, 1951), 5. Sahiron Syamsuddin, (ed.) Alquran dan Isu-Isu Kontemporer (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 428. 65 66


mengarahkan setiap individu untuk memiliki kesadaran terhadap amanah primordialnya sebagai khalifah di muka bumi. Implikasi dari kesadaran tersebut mengharuskan setiap individu menjalankan fungsinya dengan mengamalkan apa yang diteladankan oleh Alquran, yakni berupa aktivitasaktivitas kesalehan yang bernilai baik secara individual maupun sosial. Untuk mencapai kesadaran setingkat itu dibutuhkan kesadaran dasar, yakni solidaritas sosial yang terintegrasi dalam konsep kekhalifahan. Dalam bahasa sederhana, yang menjadi pengikat dari semua rumusan mediasi yang ditawarkan Islam tidak lain adalah kesadaran humanisme yang harus terejawantahkan dalam bentuk nyata seperti zakat, infaq, hidup rukun dengan umat agama lain dalam masyarakat yang plural, dan kesalehankesalehan lainnya.67 Dari berbagai uraian yang mengikut sertakan sumber-sumber konflik yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditemukan bahwa sumber mediasi yang ditawarkan oleh Islam secara garis besar tentu saja selalu merujuk pada wahyu Allah dan sunah Nabi, serta pengalaman sahabat Nabi dan ulama menanggapi isu-isu kehidupan. Atau singkatnya, mediasi yang ditawarkan Islam adalah berasal dari sumber-sumber yang bersifat Naqli (Alquran dan Sunah) sekaligus pada saat yang sama juga tidak menisbikan potensi nalar sebagai anugerah Allah yang biasa dibahasakan sebagai sumber-sumber aqli. Ketika Islam merujuk pada sumber-sumber mediasi yang disebutkan di atas, secara langsung Islam benar-benar menjadi sosok mediator yang sama sekali tidak terdapat di dalamnya kecenderungan pada pihak manapun, kecuali tujuan mencapai tujuan perdamaian dunia. Hal tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk-bentuk mediasi yang ditawarkan Islam, berupa penanaman kesadaran nilai-nilai multikulturalisme, Hak Asasi Manusia (HAM) dan solidaritas kemanusiaan. Melalui tiga bentuk mediasi itulah, persoalan konflik dari berbagai sumber akan terhindarkan, sehingga perdamaian dunia akan tercipta.

**** Syamsuddin, (ed.) Alquran dan Isu-Isu Kontemporer, 426.

67


BAGIAN V MENUJU PERDAMAIAN DUNIA Apapun alasannya, penindasan dengan berbagai macam coraknya merupakan kondisi paling menyakitkan yang tidak bisa dibenarkan dalam konsepsi apapun di dunia ini. Petunjuk dan norma-norma yang diajarkan dalam kondisi sadar atapun tidak sadar, formal ataupun non-formal juga ikut mengamini bahwa penindasan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan adalah kejahatan mutlak yang patut dihindari oleh setiap manusia, di mana pun dan kapan pun. Maka, secara serempak walaupun tidak diutarakan dalam bentuk verbal, manusia secara universal pasti tidak akan pernah menghalalkan penindasan. Melihat dinamika yang bergulir sejak awal manusia diciptakan, penindasan yang kemudian memunculkan konflik antarsesama manusia nyatanya selalu tereproduksi dan tidak pernah punah dari sisi kehidupan manusia. Konflik seakan datang dan pergi mencumbui setiap sisi kehidupan manusia, baik yang sifatnya personal maupun komunal. Persoalan seakan tidak ada habisnya silih berganti, sehingga pada taraf tertentu konflik menjadi keniscayaan yang terus mengiringi kehidupan manusia hingga akhir masa. Dari kesadaran akan adanya kontinuitas beragam konflik yang membumbui kehidupan manusia, secara tidak langsung manusia terdorong untuk berupaya meminimalisir terjadinya konflik. Umat manusia secara naluriah memahami bahwa damptak konflik menimbulkan kerugian yang signifikan bagi kehidupan. Bentuk dan ragam usaha untuk meminimalisir konflik pun bermunculan, dari yang bertaraf lokal hingga pada taraf yang paling tinggi yaitu usaha yang dilakukan secara serentak oleh setiap individu manusia di seluruh dunia. Jika dimaknai dari sudut yang berbeda, dapat dipahami bahwa secara garis besar manusia menginginkan kehidupan aman, damai dan tenteram tanpa adanya konflik yang terjadi di tengah kehidupan mereka. Berikut adalah kesimpulan dari sejumlah uraian terdahulu dari buku ini.


Pertama, untuk menuju perdamaian dunia setiap orang terlebih dahulu harus mempunyai cita-cita universal yang bisa diakui dan tidak saling mencederai. Adapun bentuk nyata cita-cita universal yang dimaksudkan adalah terciptanya kebebasan atau kemerdekaan (freedom), terpenuhinya hak-hak setiap individu, adanya kesejajaran antarsesama manusia dari berbagai segmen kehidupan (equality), serta yang terakhir terciptanya keadilan bagi setiap individu (justice). Inilah simpulan dari cita-cita universal manusia yang sejatinya adalah kedamaian dunia itu sendiri. Kedua, untuk menuju cita-cita terciptanya kedamain dunia, hal yang mesti diketahui terlebih dahulu sebelum memilih bentuk penyelesaian adalah mengenal akar-akar dari beragam konflik yang terjadi di muka bumi ini. Adapun akar dari beragam konflik itu paling tidak bersumber dari tiga hal, yaitu: watak primordial manusia (cinta terhadap diri dan kelompok, serta agresifitas); faktor politik; dan ekonomi. Tiga akar inilah yang sejatinya banyak memunculkan konflik antarmanusia. Ketiga, diperlukan pemilihan bentuk mediasi yang tepat guna mengarahkan laju kehidupan manusia pada cita-cita kedamaian manusia. Karena kajian ini sejak awal meminta bentuk mediasi yang ditawarkan dalam pandangan Islam, maka bentuk mediasi yang cukup valid dari sudut pandang Islam adalah penanaman nilai multikulturalisme, HAM, serta solidaritas kemanusiaan. Ketiga bentuk mediasi ini harus dijalankan secara integral pada semua lini kehidupan. Ketiganya menjadi suatu keharusan karena dengan memilih ketiganya Islam benar-benar akan menjadi mediator sekaligus sebagai problem solver sejati atas konflik-konflik di masyarakat, tanpa memunculkan terjadinya pencederaan terhadap nilainilai kemanusiaan universal. Ketiga runtutan di atas, mulai dari pencarian cita-cita universal hingga langkah mediasi yang ditawarkan Islam, merupakan rumusan strategi yang sangat efektif untuk menggusur aksi teror dan kekerasan yang selama ini sering terjadi, sehingga perdamaian dunia pun akan terwujud. Wallahu a’lam bis shawab... ****


DAFTAR PUSTAKA Alquran Abbas, Syahrizal, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat & Hukum Nasional, Jakarta: Media Grop, 2009 Achmad, Nur (ed), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001 Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Amin, Ahmad, Ethika, Jakarta: Bulan Bintang, 1995 2010

Bahri, Media Zainul, Tasawuf Mendamaikan Dunia, Jakarta: Erlangga,

Choir, Tholhatul (ed), Islam dalam Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Dam, Nikolaos van, “Islam dalam Pandangan Barat”, Republika, 29 Oktober 2009 Dam, Nikolaos van, “Prihal Barat Terhadap Islam”, Suara Pembaharuan, edisi 7 Desember 2009 El-Affandi, Rethinking Islam and Modernity, London: The Islamic Foundation, 2001 Esposito, John L., Islam The Straight Path, Jakarta : Dian Rakyat, 2010 Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Widjaya, 1951 Harun, Abd al-Salam, Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, Beirut: Dar al-Fikr, tt

Huntington, Samuel, Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2010 Isaacs, Harold R., Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis, Identitas Kelompok dan Perubahan Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993 1985

Karim, M. Rusdi, Dinamika Islam di Indonesia, Yogyakarta: Hanindita,


Khaldun, Ibn (Ahmadie Thoha Terj.), Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000 Koentjaraningrat, Masalah Kesuku Bangsaan dan Integrasi Nasional, Jakarta: UI Press, 1993 2003

Ma’louf, Louis, Al-Munjid fi al-Lughah wa al’alam, Beirut: Dar al-Masyruq,

McClelland, David C., The Achieving Society, New York: D Vand Nostrand Company, 1961 Miall, Hugh dkk, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999 Munandar, Haris (penerj). Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia, Jakarta: Erlangga, 2007 2004

Muzaffar, Chandra, Muslim Dialog dan Teror, Jakarta: Ekuator Publika,

Nashir, Haedar, Agama dan Krisis Kemanusiaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Nashir, Haedar, “Agenda Neo-Modernisme Muhammadiyah”, Quadrum 1 April 2012 Nasr, Seyyed Hussein, The Garden of Truth, Bandung: Mizan, 2010 Press

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UIN

Nickel, James W., Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Hak Asasi Manusia, terj. Titis Eddy Arini, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987 Osman, Fathi, “Islam and Human Right: The Chellenge to Muslim and the World”, dalam Abdel Wahab Rethinking Islam and Modernity, London: The Islamic Foundation, 2001


Paulus, Uskup dan Para Anggota Konsili, Pernyataan Tentang Kebebasan Beragama, dalam dokumen Gereja Katolik Roma: Santo Petrus Desember 1965 Priyono, A.M. Hendro, Terorisme; Fundamnetalis Kristen Yahudi Islam, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009 Qorib, Muhammad, Solusi Islam, Jakarta: Dian Rakyat, 2010 Rachman, Budhi Munawar, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Jakarta: Gramedia, 2010 Syamsuddin, Sahiron (ed) Alquran dan Isus-Isu Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2011 Triatmono, Hero (ed), Kisah Istimewa Bung Karno, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010 Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institut, 2006 Sumber Online Harun, Hermanto, Islam Versus Terorisme (http://junivan.blogspot. com/2010/10/islam-versus-terorisme.html)



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.