Belas Kasihan Yesus

Page 1

Mampukah Kita

RU473

Berbelas Kasih?

I S B N 978-1-60485-741-2

Diterbitkan dan didistribusikan oleh PT. Duta Harapan Dunia www.dhdindonesia.com

9

781604 857412

Vernon Grounds


mampukah kita berbelas kasih? DAFTAR ISI Mampukah Kita Berbelas Kasih? . . . . . . . 2 Belas Kasih Dalam Perjanjian Lama . . . . . . . . . . . 4 Belas Kasih Dalam Kehidupan Yesus . . . . . . . . . . 10 Kepada Anak-anak . . . . . . . 11 Kepada Wanita . . . . . . . . . . 14 Kepada Anggota Masyarakat Yang Terpinggirkan . . . 19 Kepada Yang Lapar Rohani . . . 22 Teladan Belas Kasih Seperti Kristus . . . . . . . 26

J

ika kita memiliki belas kasihan seperti Yesus, hal itu dapat mengubahkan keadaan keluarga, gereja dan lingkungan kita menuju ke arah yang lebih baik. Hal itu memungkinkan kita memberikan kepada orang lain halhal yang kita inginkan untuk diri kita sendiri, dan juga akan memampukan kita memenuhi tujuan hidup yang menjadi alasan mengapa kita menjalani hidup kita di bumi ini. Anugerah yang mengubahkan hidup inilah yang menjadi semangat hidup penulis buklet ini, Dr. Vernon Grounds. Dr. Grounds pernah menjabat sebagai presiden dan ketua penanggung jawab dari Denver Seminary. Beliau telah berpulang ke rumah Bapa pada tahun 2010 yang lalu. Jejak pelayanan beliau meliputi banyak khotbah, pengajaran, konseling, dan lebih dari 500 artikel yang ditulisnya bagi Our Daily Bread. Hingga akhir hayatnya, beliau memberikan teladan belas kasihan yang ia tuliskan pada halaman-halaman berikut ini lebih baik daripada siapa pun yang pernah saya kenal. —Martin R. De Haan II

Penerbit: RBC Ministries • Diterjemahkan dari: The Compassion of Jesus Editor Pelaksana: David Sper • Penerjemah: Inge Wijaya • Penyunting: Tim Editorial RBC Penata Letak: Jane Selomulyo • Foto sampul: iStockphoto • Bacaan Alkitab merupakan kutipan dari ALKITAB Terjemahan Baru (TB) © LAI 1974 Cetakan ke-23 tahun 2003. Copyright © 2012 Our Daily Bread Ministries. Dicetak di Indonesia. Cetakan ke-2


Mampukah Kita Berbelas Kasih?

S

eorang filsuf asal Jerman bernama Friedrich Nietzsche mengatakan bahwa rasa kasihan adalah moralitas kaum budak yang hanya cocok untuk kaum yang lemah. Lenin, tokoh pendiri paham komunisme, menegaskan bahwa para pengikutnya harus memiliki hati seperti baja dan tidak mengenal belas kasihan. “Kalian tidak akan bisa membuat telur dadar,” katanya kepada para pengikutnya, “tanpa memecahkan beberapa telur; begitupun halnya kalian tidak bisa mencapai revolusi yang sukses tanpa memecahkan beberapa tengkorak.” Seorang ahli etika bernama Philip Hallie mengatakan bahwa Henry David Thoreau, seorang penulis berkebangsaan Amerika yang karyanya masih dibaca luas, pernah mengolok-olok “belas kasihan yang cengeng” dan berpendapat bahwa “belas kasihan tidak memiliki dasar yang kuat” untuk menjadi suatu gaya hidup, dan kita akan kehilangan kesempatan satu-satunya untuk memiliki 2

pengalaman yang kaya dan hidup jika kita menghabiskan hari-hari kita “menderita bersama dengan orang-orang yang menderita, dan berbelas kasihan kepada seluruh korban kemalangan yang ada di dunia.”

Jika yang kuat memberikan kekuatan mereka kepada yang lemah, siapakah yang akan tetap menjadi kuat? Para ahli bersitegang tentang arti yang tepat untuk kata-kata seperti rasa kasihan, simpati, belas kasih dan empati. Walaupun demikian, untuk pembahasan ini, kita akan mengabaikan perbedaanperbedaan tipis yang ada. Kita akan menganggap semua reaksi emosional ini sebagai aspekaspek dari rasa belas kasihan. Kita juga menganggap belas kasihan sebagai kasih terhadap sesama yang diwujudkan dalam tindakan. Rasa kasihan dan simpati, tentu saja merupakan katakata yang sering kita gunakan


setiap hari. Kata-kata tersebut melukiskan apa yang kita rasakan ketika kita mengamati orang lain yang sedang berada dalam kesusahan baik dalam tubuh, pikiran maupun hatinya. Kita mengingat kembali segala sesuatu yang kita rasakan saat kita mengalami hal yang serupa. Dalam imajinasi, kita secara spontan membayangkan seolaholah kita sendiri yang berada dalam situasi orang tersebut. Reaksi yang mungkin timbul seketika adalah mengencangnya otot-otot kita secara tiba-tiba, mengepalkan tangan karena marah, menarik nafas dalamdalam, bahkan sampai menangis karena sedih. Apabila kita begitu kuat ikut menghayati perasaan orang lain, hal inilah yang disebut sebagai empati. Hal tersebut membuat kita seolah-olah menyatu dan sehati secara emosional dengan orang tersebut. Tentu saja, secara fisik, kita adalah dua manusia yang terpisah, tetapi kita dapat dipersatukan secara psikologis. Pada beberapa kasus, rasa penyatuan itu bertambah kuat dan berkepanjangan sama seperti ketika seorang ibu khawatir sepanjang siang dan malam pada saat anaknya sakit parah. Ketika kita berempati,

kita ikut menyelami perasaan orang tersebut, sehingga seolaholah kita mendengar dengan menggunakan telinganya, melihat melalui matanya, berdegup seirama dengan degup jantungnya dan berpikir dengan pikirannya. Suatu reaksi empati yang terpicu karena melihat adanya kebutuhan dan keadaan yang sulit kemudian mendatangkan perasaan prihatin yang mendalam. Ini merupakan emosi yang ikut menyelami perasaan sesama dan muncul dari lubuk hati kita yang paling dalam. Dalam Kolose 3:12, Rasul Paulus menggunakan suatu istilah bahasa Yunani dari organ bagian dalam manusia untuk merujuk pada “hati yang berbelas kasihan.� Dengan memberikan perhatian yang terfokus, kita memperoleh suatu pemahaman yang berbeda daripada pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran yang logis atau ilmiah. Sebagaimana dengan makna dari kata mengenal di dalam Alkitab, kita menerima suatu pemahaman yang sangat mendalam. Kita mengenal dengan suatu keintiman yang mendalam, tidak jauh berbeda dari dalamnya keintiman yang dialami Adam 3


pada saat ia mengenal istrinya Hawa dan ketika mereka menjadi satu daging (Kej. 4:1).

Belas Kasih Dalam Perjanjian Lama

Y

ang menjadi allah para filsuf adalah Penggerak yang Tak Bergerak yang memberi gerakan kepada segala sesuatu yang ada. Dengan tidak tersentuh oleh kebutuhan ciptaannya, allah inilah sumber tenaga yang tak pernah habis dalam pergerakan alam yang teratur. Gambaran allah menurut spekulasi manusia ini adalah allah yang tak punya hati. Begitu sempurnanya, allah ini ada dalam ketenangan yang sama sepanjang zaman. Allah seperti itu tidak memiliki emosi, karena emosi melibatkan perubahan dari suatu bentuk perasaan ke bentuk yang lain—contohnya, dari ketenangan tiba-tiba menjadi kemarahan yang dahsyat. Dalam definisi ini, allah milik para filsuf adalah seperti bongkah es yang tidak akan pernah meleleh. Sebaliknya, Yehovah, Allah umat Israel, bukan hanya 4

sesosok pemikir. Dia bukan hanya menjadi pemikir yang berpikir untuk selama-lamanya. Walaupun tidak pernah berubah dalam sifat dan maksudNya, Allah Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru itu merupakan Allah yang sungguhsungguh berpribadi. Kapan saja berbicara tentang Allah yang sejati dan penuh kasih, Alkitab menggunakan kata ganti perorangan.

Banyak orang membayangkan allah yang tidak memiliki perasaan. Jika demikian, mampukah kita memahami seperti apakah Allah itu? Kita menggunakan kepribadian kita sendiri sebagai petunjuk akan Kepribadian Allah. Kita mengenyahkan segala sesuatu yang tidak sempurna dan membesarkan segala sesuatu tentang Allah hingga tingkat yang tidak terbatas. Hal tersebut membantu kita dalam usaha untuk memahami realitas Allah sebagaimana Dia sesungguhnya sebagai Pribadi yang tidak bercacat.


Alkitab mengungkapkan bahwa satu-satunya Allah yang hidup dan sejati itu memiliki perasaan. Dia merasakan seluruh reaksi yang serupa dengan apa yang kita rasakan. Namun, salah satu perasaan yang berulang kali dihubungkan dengan Allah adalah belas kasihan. Kitab Suci memberitahukan kepada kita bahwa Dia itu kekal, suci, adil, sepenuhnya baik, bijaksana, berkuasa dan penuh kasih. Dan karena kasih-Nya itu, maka Dia berbelas kasih. Hal tersebut mengacu pada suatu sifat ilahi, sebagaimana yang kita bayangkan ketika kita menggambarkan seorang manusia yang memiliki belas kasihan. Coba hilangkan belas kasihan dari sifat-sifat Allah, maka Allah bukan lagi Allah—Allah sebagai pribadi yang berinteraksi dengan Abraham, Ishak dan Yakub; Allah bukan lagi Allah yang memiliki pengalaman serupa dengan lika-liku hidup kita yang mengalami sukacita, dukacita, penyesalan, dan kebaikan penuh belas kasihan. Jika kita menghilangkan belas kasihan dari sifat Allah, Kitab Suci harus ditulis ulang, pemahaman kita tentang sifat Allah harus diubah sama sekali, dan teologi harus

diputarbalikkan. Namun belas kasihan tidak dapat dihilangkan. Sebaliknya, belas kasihan harus diberi tempat terhormat di antara sifat-sifat Allah. Allah adalah Allah yang peduli. Dengan demikian, wajarlah jika Yesus merupakan pewahyuan diri Allah yang ada dalam Perjanjian Lama, belas kasihan juga terwujud di dalam diri-Nya. Dan itulah kenyataannya. Seperti yang dikatakan seorang ilmuwan Inggris dengan nama Jerman, Friedrich von Hügel, ketika ia terbaring sekarat di tempat tidurnya, “Mempedulikan adalah persoalan yang paling penting,” dan dengan susah payah ia menambahkan, “Iman Kristen mengajarkan kita untuk mempedulikan orang lain.” Walaupun benar, kesaksian Von Hügel di ujung hidupnya ini perlu diperjelas dan diuji. Tentu saja orang-orang percaya dalam Perjanjian Lama diajar untuk saling mempedulikan oleh perbuatan dan ketetapan dari Allah Yehovah. Namun Yesus, sebagai teladan belas kasihan yang paling agung, menjadikan kepedulian sebagai pusat perhatian dalam pelayananNya. Dia menyingkirkan segala penyimpangan legalistis dan 5


pembatasan menurut etnis yang ada dari anugerah Allah Tritunggal yang terbuka untuk siapa saja. Kepedulian juga merupakan sikap berbelas kasih terhadap sesama yang dinyatakan Paulus dalam 1 Korintus 13 sebagai nilai hidup yang terbesar—nilai hidup yang diteladankan dengan sempurna oleh Juruselamat dan Tuhan kita.

Karena Yesus merupakan perwujudan Allah dalam Perjanjian Lama, tentulah Dia memiliki hati yang penuh belas kasih. Sebagai seorang berdarah Yahudi dan seorang Yahudi yang saleh dalam sikap hidupNya, Kristus tahu bahwa Allah Bapa-Nya, Yehovah pada Perjanjian Lama, adalah Allah yang berbelas kasih. Sebagai seseorang yang menghayati Perjanjian Pertama dan yang menunjukkan suatu pengetahuan yang khusus terhadap pengajarannya, Kristus sangat menyadari bahwa belas kasih Bapa-Nya sangat ditekankan 6

para penulis yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Teks-teks berikut ini pastilah memberiNya suatu cara pandang yang mendalam terhadap isi hati Allah Yehovah. • “Tetapi Engkau, ya Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setia” (Mzm. 86:15). • “Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali. Dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajah-Ku terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia abadi Aku telah mengasihani engkau, firman Tuhan, Penebusmu. . . . Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setiaKu tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damai-Ku tidak akan bergoyang, firman Tuhan, yang mengasihani engkau” (Yes. 54:7-8,10). • “Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahankesalahan kita dan melemparkan segala dosa


kita ke dalam tubir-tubir laut� (Mik. 7:19). Jika saja hukum Allah tentang belas kasih itu ditaati, kehidupan umat Israel akan menjadi kehidupan paling bahagia yang pernah ada di dunia yang penuh dosa ini. Mazmur 85:11 menggambarkan suatu komunitas di mana keadilan dan damai sejahtera saling berciuman. Kata dalam bahasa Ibrani untuk damai adalah shalom sangatlah kaya makna sehingga hampir tidak dapat diterjemahkan. Demikianlah masyarakat yang diimpikan oleh sang pemazmur, suatu masyarakat yang shalom, di mana tatanan kehidupan ditandai oleh hadirnya sukacita dan keadilan, kesalehan dan kelimpahan, kebaikan dan kepedulian. Namun umat Allah gagal dalam memenuhi kehendak Allah yang diberikan dalam kasih itu. Nabi Yesaya secara blak-blakan melukiskan penyakit moral dan rohani dari bangsa yang tidak taat itu. Di mana kamu mau dipukul lagi, kamu yang bertambah murtad? Seluruh kepala sakit dan seluruh hati lemah lesu. Dari telapak kaki sampai kepala tidak ada yang sehat: bengkak dan bilur dan luka

baru, tidak dipijit dan tidak dibalut dan tidak ditaruh minyak. Negerimu menjadi sunyi sepi, kota-kotamu habis terbakar; di depan matamu orang-orang asing memakan hasil dari tanahmu. Sunyi sepi negeri itu seolah-olah ditunggangbalikkan orang asing (Yes. 1:5-7). Hukuman yang dijatuhkan Allah dalam kasih dan dengan berat hati terjadi berulang kali hingga membuat Israel kewalahan. Setelah pemerintahan Salomo, negara Israel terpecah menjadi 2 kerajaan. Akhirnya para penyembah berhala menyerbu bangsa itu dan mengasingkan para korban yang selamat dari perang, kelaparan dan wabah penyakit. Allah Yehovah dalam belas kasihan-Nya pada akhirnya mengizinkan sisasisa bangsa Israel kembali dari tempat pembuangan. Dengan gigih mereka meneguhkan hati untuk melakukan apa saja agar kegagalan nenek moyang mereka yang penuh dosa itu tidak terulang lagi. Dimulailah suatu periode legalisme (menjunjung tinggi kaidah hukum—Red.) yang panjang dari sekitar tahun 400 SM sampai tahun 400 M. Di bawah ajaran para rabi Yahudi 7


yang berniat baik—banyak dari mereka yang beriman teguh dan terpelajar—terbentuklah suatu sistem yang berisi berbagai batasan dan peraturan. Ajaran dan tafsiran mereka yang awalnya tersebar secara lisan perlahan-lahan mulai dicatat dalam tulisan. Tafsiran demi tafsiran ditambahkan hingga akhirnya semua itu menjadi Mishna dan Talmud yang berjilid-jilid tebalnya, suatu pustaka luar biasa dari berbagai aturan dan larangan yang ketat dan terperinci. Sebagai contoh, perintah keempat dari daftar 10 Perintah Allah adalah larangan bekerja di hari Sabat. Namun apakah yang dimaksud dengan bekerja? Kerja dijabarkan menjadi 39 pemahaman yang berbeda yang disebut “akar dari pekerjaan.” Contohnya, membawa sebuah beban adalah pekerjaan. Namun kemudian muncul pertanyaan “Apakah yang dimaksud dengan beban?” Menurut penafsir Alkitab bernama William Barclay, kitab Mishna mengatakan kepada kita bahwa beban adalah “susu yang cukup untuk sekali tegukan, madu yang cukup untuk dioleskan pada sebuah luka, minyak yang cukup untuk meminyaki bagian terkecil dari 8

tubuh . . . air yang cukup untuk menyeka kotoran mata, kulit yang cukup untuk membuat jimat, tinta yang cukup untuk menuliskan 2 huruf alfabet, pasir kering yang cukup untuk memenuhi sebuah sekop, buluh yang cukup untuk membuat sebatang pena, kerikil yang cukup besar untuk melempari seekor burung, segala sesuatu yang beratnya sama dengan 2 buah kurma kering.”

Dalam usaha untuk mencegah pelanggaran rohani, para rabi Yahudi yang berniat baik justru membangun pagar demi pagar, sampai seluruh tanah itu penuh dengan pagar. Demikianlah peraturan demi peraturan dibuat seketat mungkin. Hukum yang memberi hidup telah diubah dari suatu kesukaan dan sukacita serta sumber tuntunan dan berkat yang mencerahkan jiwa (seperti


yang tertulis dalam Mazmur 119) menjadi suatu kuk perbudakan. Kuk ini menjadi sebuah sistem kaku berupa ritual keagamaan, yang dikecam Yesus dengan amarah yang wajar: Celakalah kamu, hai ahliahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orangorang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk (Mat. 23:13-14).

Hukum yang memberi hidup telah diubah dari suatu kesukaan dan sukacita menjadi kuk perbudakan.

dari padamu selain berlaku adil, mencintai kesetiaan. Dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?� Demikian juga, ada banyak kaum awam Israel yang menjadi teladan dalam kebajikan dan kesalehan, mengasihi Allah, dan melakukan kebaikan kepada sesama. Namun bangsa Yahudi secara keseluruhan, yang tertindas baik oleh penjajah Romawi maupun oleh jajaran pemimpin agama mereka sendiri, memandang hidup sebagai suatu beban yang berat. Dalam keadaan ekonomi yang miskin dan kerohanian yang terabaikan, mereka “lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala� (Mat. 9:36).

Pastilah ada sejumlah pengajar hukum, rabi, imam, dan ahli Taurat yang dalam pelayanannya sebagai hamba Allah Yehovah menyerukan dan menerapkan Mikha 6:8, “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan 9


Belas Kasih Dalam Kehidupan Yesus

D

alam situasi pergolakan inilah, Yesus datang dengan pesan-Nya yang revolusioner tentang kerajaan Allah. Kerajaan ini dapat dimasuki dengan tindakan sederhana berupa iman pertobatan, dan menuntut adanya ketaatan yang penuh kasih kepada Sang Raja dan Bapa serta pelayanan yang penuh kasih kepada saudarasaudari seiman di dalam kerajaan dan keluarga Allah yang baru itu. Tentulah pelayanan yang seperti itu perlu diberikan kepada setiap umat manusia. Satu hukum yang mencakup semua ini adalah cinta kasih— kasih yang Yesus ajarkan pada khotbah-Nya di bukit, suatu kasih yang menggenapi Sepuluh Perintah Allah (Rm. 13:10). Oleh karena itu, motivasi yang mengendalikan sikap dan perilaku dari masyarakat yang sudah dilahirbarukan ini haruslah belas kasihan, yaitu kasih yang diwujudkan dalam tindakan dan suatu kepedulian 10

penuh kasih yang diteladankan oleh Yesus sendiri. Sebagai inkarnasi Allah (Anak Allah dan Allah Anak), Kristus merupakan cermin dalam rupa manusia yang tanpa cacat merefleksikan sifat Bapa-Nya, tidak hanya dalam hal kesucian tetapi juga hati-Nya. Sebagai pribadi yang tidak berdosa dan paling peka terhadap dosa, Yesus menaruh simpati pada orangorang berdosa yang menderita sebagai akibat dari kebobrokan dosa yang diwarisi dan dimiliki dalam diri. Dia sadar bahwa orang banyak yang dilayani-Nya terdiri atas manusia berdosa, dimana banyak dari mereka yang jiwanya seperti buluh yang terkulai, terkoyak dan sangat rapuh. Yesus juga menyadari bahwa orang banyak yang mengerumuni-Nya merupakan jiwa-jiwa yang imannya tidak lagi menyala terang tetapi seperti sumbu yang pudar nyalanya (Mat. 12:20). Dengan lembut dan tidak dengan penghakiman yang kejam, Yesus berusaha menguatkan buluh yang terkulai dan menyalakan kembali sumbu yang pudar. Salah satu teks Perjanjian Lama yang disukaiNya adalah Hosea 6:6, di mana Allah Yehovah berkata, “Sebab


Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih daripada korbankorban bakaran.� Yesus, seperti dituliskan dalam Matius 9:13 dan 12:7, memakai kata-kata penting yang diucapkan Allah sendiri ini untuk membela tindakan belas kasihan-Nya yang mendobrak tembok tradisi.

Belas Kasih Yesus Untuk Anak-anak

Bangsa Israel merupakan masyarakat yang menghargai anak-anak. Contoh penghargaan yang mereka miliki pada keturunan, terutama laki-laki, dapat dibaca dalam Mazmur 127:3-5. Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuhmusuh di pintu gerbang. Penilaian yang tinggi ini diulang lagi pada Mazmur 128:3.

Isterimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anakanakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu! Pengguguran kandungan dan pemanfaatan anak yang dilakukan oleh bangsa-bangsa penyembah berhala di sekitar Tanah Perjanjian merupakan kekejian yang berdosa bagi umat pilihan Allah. Mereka merayakan setiap kelahiran dengan sukacita dan ucapan syukur. Karena bertumbuh bersama saudara laki-laki dan perempuan, tentulah Yesus memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk membantu memperhatikan saudara-saudara-Nya yang lebih muda. Dengan demikian, Dia memperoleh pemahaman nyata terhadap karakteristik dan kebutuhan dari anak-anak (Mrk. 3:31-32; 6:3). Walaupun Injil tidak memberikan informasi yang spesifik tentang hubungan keluarga di dalam rumah tangga Maria dan Yusuf, kita bisa yakin bahwa keduanya adalah orangtua yang peka, penuh perhatian dan takut akan Allah. Yusuf, yang mungkin meninggal di usia muda, jelas merupakan seorang pendoa yang saleh dan penyembah Allah Yehovah yang taat. Dalam membesarkan anak11


anaknya, kita dapat yakin Yusuf mengikuti tuntunan dari Ulangan 6:6-7. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulangulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Maria, seorang wanita dengan ketaatan penuh iman (Luk. 1:38), memiliki pengetahuan yang kaya tentang Perjanjian Lama, seperti yang dinyatakan dalam pujian yang dinaikkannya. Pujiannya merupakan kombinasi yang luar biasa dari teks dan gambaran Alkitab (ay.46-55). Karena itulah Yesus, dengan sikap yang dipengaruhi oleh sikap orangtua-Nya, menjadi pribadi yang mengasihi anak-anak. Di sepanjang pelayanan-Nya, Dia dengan senang menyambut anak-anak, kapan saja mereka datang mengelilingi-Nya. Dia sangat memahami bahwa anak-anak membutuhkan penerimaan yang hangat dan pertolongan orang dewasa. Betapa berbedanya Yesus 12

dengan seorang hamba Allah yang berbakat besar, C. S. Lewis. Lewis dengan jujur mengaku, “Saya sendiri tidak dapat menikmati kebersamaan dengan sekumpulan anak kecil . . . Saya menganggapnya sebagai suatu cela dalam diri saya sendiri—seperti halnya manusia yang mungkin harus mengakui bahwa dirinya tuli nada dan buta warna.� Di antara kerumunan orang yang mengikuti Yesus, ada anakanak yang memang kelaparan atau setidaknya kekurangan gizi. Ada di antaranya menderita penyakit-penyakit umum dan tidak ada obat yang tersedia untuk meringankan penderitaan mereka. Ada di antaranya yang cacat dan buta, dan yang lainnya berada dalam cengkeraman kuasa jahat (Mrk. 9:17-18). Para murid Yesus terganggu oleh keramaian yang ditimbulkan anak-anak sehingga mereka mencoba untuk mengusir para pembuat kegaduhan itu dari kerumunan orang yang ingin mendengar Yesus dari Nazaret. Murid-murid Yesus dengan kasar memerintahkan anak-anak itu untuk diam atau lebih baik pergi. Walaupun demikian, anakanak itu tetap berkumpul di sekeliling Yesus, rindu


untuk diangkat dan dipeluk oleh tangan-Nya yang penuh kasih. Jelas sekali, anak-anak pasti merasakan kasih-Nya kepada mereka. Dia mendekap mereka dan bahkan berdoa memohonkan berkat Allah untuk kehidupan mereka yang masih muda, suatu sikap yang mengejutkan para murid yang berusaha melindungi-Nya. Dia bahkan menegur murid-murid yang memarahi para orangtua dari anak-anak itu (Mrk. 10:1316). Tidak hanya itu, Dia menyatakan bahwa anak-anak akan disambut dalam namaNya dan mereka—yang begitu bergantung, begitu percaya, begitu mau diajar, begitu bebas dari kepalsuan—menjadi contoh dari suatu iman kepada Bapa surgawi yang dapat masuk ke dalam kerajaan-Nya (Mat. 18:1-5). Yesus juga menyatakan bahwa barangsiapa menyesatkan seorang anak, ia akan diberi hukuman yang berat (Mrk. 9:3537,42). Anak-anak, yang menjadi objek dari perhatian malaikat, juga harus menjadi objek perhatian manusia. Mereka tidak sepatutnya dipandang sebagai sekumpulan protoplasma yang bisa diremehkan dan bahkan direndahkan oleh orang dewasa (Mat. 19:13-14).

Perlu kita ketahui bahwa pembunuhan anak kecil merupakan praktek yang umum dalam budaya Yunani-Romawi pada zaman sebelum dan setelah kedatangan Kristus. Sebuah contoh mengerikan dari ketidakpedulian yang kejam terhadap anak sendiri tercatat dalam suatu surat tertanggal tahun 1 M, yang dikirim oleh Hilarion, seorang suami berkebangsaan Romawi, kepada istrinya Alis. Ia menyampaikan salam yang lembut, tetapi juga memberi perintah kepada sang istri, “Apabila kamu akan melahirkan seorang anak, jika ia laki-laki, biarkan ia hidup, jika ia perempuan, buanglah anak itu.” Perilaku yang sangat kejam tersebut juga ditunjukkan oleh Seneca, seorang filsuf besar berpaham Stoik pada abad pertama. Ia menulis, “Kita mencekik seekor anjing gila; kita menyembelih sapi jantan buas, kita menusukkan pisau pada lembu berpenyakitan supaya jangan menulari kawanannya; dan anak-anak yang lahir cacat atau lemah, kita tenggelamkan.” Betapa kejahatan yang tidak kenal belas kasihan ini jauh bertentangan dengan kelemahlembutan Yesus. Bayangkan bagaimana reaksi 13


Tuhan yang penuh belas kasih itu terhadap praktek aborsi pada zaman kita.

Yesus memandang anak-anak melalui mata yang berbelas kasih dan memperhatikan semua kebutuhan mereka. Apakah dengan penyesalan yang tak terungkapkan, Yesus menyaksikan masa depan dari anak-anak yang berseru untuk mendapatkan perhatian-Nya? Ketika tumbuh dewasa, mereka akan menghadapi kesulitan dan eksploitasi di negara mereka yang terjajah. Banyak yang akan mengalami kemiskinan dan perjuangan untuk bertahan hidup. Sebagian lagi akan menderita penyakit parah dan mati di usia muda. Banyak dari mereka akan menjadi pengikut dari agama yang begitu menuntut tetapi tak dapat mengangkat beban emosional mereka, dan pada akhirnya akan membuat rohani mereka terus dahaga. Agama yang mereka anut, yang merupakan substansi dari 14

kebudayaan mereka, hanya akan meningkatkan penderitaan mereka dan menghalangi mereka menikmati sukacita sederhana dalam hidup (Mat. 23:1-4). Dan dalam kekekalan nanti, apakah mereka akan memasuki keindahan hadirat Allah, atau mereka akan terbuang selamanya? Walaupun Tuhan kita bersukacita sewaktu anak-anak datang kepada-Nya, pastilah hati-Nya juga hancur mengingat keadaan mereka.

Belas Kasih Yesus Kepada Wanita

Yesus tidak hanya berbelas kasih kepada anak-anak, tetapi secara khusus Dia pun berbelas kasih kepada kaum wanita. Bahkan sikap-Nya terhadap para wanita dan hubungan-Nya dengan mereka adalah sebuah sikap yang revolusioner. Israel merupakan suatu masyarakat patriakhal (berdasarkan garis keturunan laki-laki), di mana kaum wanita menempati posisi lebih rendah dan diperlakukan tidak sepenting kaum pria dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Walaupun demikian, sulit bagi kita untuk menyamaratakan hal ini, karena kalangan rabi sendiri pun saling berbeda


Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang. Anda dapat mendukung kami dalam melaksanakan misi tersebut melalui persembahan kasih. Klik link di bawah ini untuk informasi dan petunjuk dalam memberikan persembahan kasih. Terima kasih atas dukungan Anda untuk pengembangan materi-materi terbitan Our Daily Bread Ministries. Persembahan kasih seberapa pun dari para sahabat memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.

DONASI


pendapat. Para ayah juga berbeda-beda dalam cara membesarkan anak-anak perempuannya. Dan para suami memiliki perlakuan yang berbeda-beda dalam mengendalikan dan membatasi istrinya. Perbedaan kepribadian dan kasih sayang yang dilimpahkan memberi pengaruh besar dalam kehidupan para wanita Ibrani. Namun tidak dipungkiri bahwa seorang wanita pada umumnya memiliki beban hidup yang berat dalam masyarakat yang patriakhal. Kepercayaan yang berlaku luas mengenai kedudukan wanita yang lebih rendah terungkap dengan tajam dalam doa yang diucapkan oleh kaum lelaki Yahudi berikut ini: “Allah, aku bersyukur tidak lahir sebagai seekor anjing. Aku bersyukur tidak lahir sebagai orang bukan Yahudi. Aku bersyukur tidak lahir sebagai seorang wanita.� Semasa muda, anak-anak perempuan sering kali dicurigai. Mereka diawasi secara ketat untuk mencegah perbuatan apa pun yang mungkin dapat dianggap sebagai perbuatan zina. Ketika seorang wanita memasuki masa menstruasi, ia dianggap tidak bersih dan

perlu disucikan (Im. 15:19-30). Bersentuhan dengan wanita yang sedang menstruasi dianggap najis sehingga dibutuhkan upacara penyucian. Di sisi lain, seorang pria tidak boleh menyentuh wanita selain istrinya, walaupun wanita itu adalah saudara sepupunya dan sentuhan itu terjadi dengan tidak sengaja. Ketika seorang gadis sudah cukup usia untuk menikah, ia akan dipertukarkan oleh ayahnya. Setelah menikah, ia pun dapat dipertukarkan oleh suaminya. Kaum wanita hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tanpa berbagai kenyamanan yang sekarang kita anggap biasa. Peran lain wanita adalah dalam hal melahirkan keturunan dengan frekuensi kehamilan yang amat sering—semakin sering ia melahirkan, semakin dihormatilah dirinya sebagai seorang istri. Setelah seorang wanita melahirkan, ia dianggap tidak suci dan membutuhkan penyucian (Im. 12). Jika seorang istri tidak disukai oleh suaminya, ia dapat diceraikan, tetapi seorang istri tidak dapat menceraikan suaminya (Ul. 24:1-4). Jika seorang istri dicurigai berbuat zina, ia dapat diberi air pahit 15


yang mendatangkan kutukan (Bil. 5:11-31). Akan tetapi, aturan tersebut tidak berlaku untuk suami yang menjadi tersangka. Seorang wanita tak mempunyai hak kepemilikan. Ia tidak dapat menjadi sebagai seorang saksi. Wanita tidak mengambil bagian yang sama dengan pria dalam ibadah. Bernyanyi dan memimpin doa hanya dapat dilakukan oleh pria, sedangkan wanita mendengarkan di bagian yang terpisah dalam sinagog.

Standar ganda pada zaman Yesus bahkan lebih besar daripada standar ganda pada zaman kita. Sesuai aturan, kepada mereka tidak diajarkan Taurat seperti yang diberikan kepada anak lakilaki. Sejumlah rabi bahkan lebih jauh mengatakan, “Lebih baik kata-kata dalam Hukum Taurat dibakar daripada diajarkan kepada wanita. . . . Jika seorang pria mengajarkan Hukum kepada anak perempuannya, ia seolaholah mengajarkan kedurhakaan kepadanya.� Sepuluh pria harus 16

hadir agar suatu ibadah dapat dimulai. Jika ada sembilan pria dan satu wanita, ibadah tidak boleh dimulai! Namun Yesus peka terhadap kebutuhan semua orang, baik pria maupun wanita. Dia menunjukkan secara luas belas kasih-Nya yang mendobrak batasan-batasan menurut jenis kelamin dan tabu dalam tradisi. Dalam penyembuhan yang dilakukan-Nya, Dia mengizinkan diri-Nya disentuh oleh seorang wanita tanpa merasa ngeri dan tanpa mengikuti aturan yang digariskan untuk pentahiran. Lukas menceritakan tentang seorang wanita yang sudah selama 12 tahun mengalami pendarahan (sepertinya sebuah penyakit disfungsi menstruasi). Wanita tersebut mengulurkan tangannya dan menjamah ujung jubah Yesus. Yesus bukannya mengecam wanita tersebut atas perbuatan yang menajiskan laki-laki itu, melainkan dengan lembut Yesus membuatnya mengerti perbedaan antara kepercayaan pada suatu kontak magis dengan suatu iman pada anugerah Allah yang menyelamatkan (Luk. 8:42-48). Seorang wanita lain, yang dikenal sebagai pelacur hina, menuangkan minyak yang


mahal harganya pada kaki sang Juruselamat dan membasuhnya dengan air matanya ketika Yesus sedang makan di rumah seorang Farisi. Dengan penuh belas kasih, Tuhan kita yang mengetahui penyesalan dosa dan iman wanita tersebut, membela perbuatan luar biasa yang terang-terangan itu dan melepasnya dengan berkat damai sejahtera (Luk. 7:36-50). Yesus sekali lagi memperlihatkan sikap belas kasih-Nya kepada kaum wanita, terutama mereka yang dikucilkan karena dosa mereka sendiri, ketika Dia menolak untuk terlibat dalam usaha melempari seorang wanita yang tertangkap basah dalam perzinahan. Kita mungkin bertanya-tanya mengapa para penuduh tersebut tidak menyeret juga pria yang berzina dengan wanita itu ke hadapan Yesus. Namun di sini kita menyaksikan Tuhan kita dengan belas kasihan dan hikmat-Nya mengatasi situasi amoral tersebut secara adil, tetapi juga dengan penuh pengampunan. Dia mengampuni pelanggaran wanita tersebut, memperingatkannya atas pencobaan di masa mendatang, dan melepasnya pergi untuk menjalani hidup yang telah diubahkan (Yoh. 8:1-11). Yesus

bukannya mengabaikan dosa. Tidak sama sekali! Melainkan dengan penuh kasih, Dia menawarkan pengampunan dan pengharapan kepada para wanita yang dicap oleh masyarakat sebagai orang-orang yang rusak secara moral. Para janda secara khusus mendapatkan belas kasihan dan pertolongan dari Juruselamat kita. Perjanjian Lama mencantumkan perintahperintah khusus agar para janda diperlakukan dengan baik dan penuh hormat (Ul. 14:2829; 24:19-21; 26:12-13; Yes. 1:17; Zak. 7:10). Kemungkinan pada masa itu, seperti halnya pada masa kini, ada saja keluarga-keluarga yang lalai dalam memberikan waktu dan perhatian kepada kaum janda yang sering dianggap sebagai warga kelas dua. Sering kali, baik pada masa itu maupun masa kini, para janda mungkin tidak lagi menjadi pusat perhatian dari keluarga mereka. Salah satu contoh dari sikap Tuhan kita kepada para wanita yang terpinggirkan ini adalah ketika Dia berpapasan dengan sebuah prosesi pemakaman di luar kota Nain. Seorang pria muda telah meninggal. Ia adalah anak satu-satunya dari seorang 17


ibu yang sedang berdukacita. Wanita itu akan mengalami kesendirian dan mungkin terjerat kemiskinan. Ketika Yesus melihat prosesi pemakaman itu dan mendengar sang ibu menangis tersedu-sedu, “Tergeraklah hatiNya dengan belas kasihan� (Luk. 7:13). Dia tidak menunggu ibu itu memohon. Dia langsung bertindak. Dia menyentuh peti mati itu, dengan resiko menajiskan diri-Nya, dan memerintahkan kepada mayat tersebut untuk bangkit. Secara ajaib, anak tersebut menaati-Nya dan rohnya kembali ke dalam tubuhnya. Bayangkan betapa luar biasanya ucapan syukur sang ibu ketika kesukaan besar menggantikan kedukaan yang tak terhiburkan! (ay.11-17). Dalam khotbah Yesus di Nazaret ketika Dia memulai pelayanan publik-Nya, Dia menyebut tentang seorang janda (seorang asing dari bangsa Sidon yang menyembah berhala) sebagai penerima anugerah keselamatan Allah. Penyebutan yang dilakukan secara sengaja tersebut menantang prasangka para pendengar-Nya (Luk. 4:25-26). Janda dari Sidon ini bukanlah satu-satunya janda dalam kedukaan yang digunakan Yesus sebagai contoh 18

untuk menantang orang-orang sezaman-Nya dan para pembaca Alkitab di masa sekarang.

Yesus memperhatikan kaum wanita, yang sering kali menderita karena diabaikan, direndahkan dan ditolak. Pada zaman Yesus, kaum pria memiliki pengetahuan yang minim tentang Allah dan hubungan yang dangkal denganNya. Namun kaum wanita berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk. Oleh karena itu, dengan mengesampingkan tradisi, Yesus mengizinkan para wanita untuk menjadi pengikutNya dan sungguh-sungguh turut serta dalam pelayanan dan mendukung perjalanan misi-Nya (Luk. 8:1-3). Para wanita bersama para pria diajar tentang anugerah Allah yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin. Dengan penuh belas kasih, Tuhan kita mengajarkan kebenaran tentang Allah dan kerajaan-Nya kepada para wanita, baik secara pribadi dan di hadapan umum. Dia


menyediakan waktu untuk mengajar Maria dari Betania (Luk. 10:39). Demikian juga, Dia dengan lembut menegur Marta, saudara Maria, dengan nasihat bahwa lebih baik bagi seorang wanita untuk belajar tentang Allah daripada disibukkan oleh tugas rumah tangga seperti menyiapkan makanan. Dengan perkataan-Nya itu, Yesus memutarbalikkan peran kaum wanita dalam tradisi pada masa itu. Sekali lagi, bertempat di sumur Yakub, Yesus secara singkat mengajarkan teologi dasar kepada seorang wanita Samaria. Tidak mengherankan apabila hal ini mengejutkan para murid yang masih terikat pada tradisi. Dia berani berbicara dengan seorang wanita di depan umum! Dia berbicara dengan wanita itu berdua saja! Dia berbicara dengan seorang wanita Samaria yang dipandang hina, dari suatu suku bangsa yang dianggap sesat oleh kaum Yahudi yang alim! (Yoh. 4:1-30). Motivasi apa yang mendasari tindakan Kristus? Belas kasihan. Dia mengerti seluruh aspek kebutuhan mereka. Dia memandang orang-orang tidak dalam kategori yang abstrak seperti pria dan wanita, Yahudi

dan bukan Yahudi, orang asing dan penduduk asli, orang dewasa dan anak-anak. Yesus memandang manusia sebagai pribadi dimana masing-masing diciptakan serupa dengan gambar Allah dan masing-masing merupakan bagian dari umat manusia ciptaan Allah dan yang berpotensi untuk menjadi anggota keluarga rohani-Nya.

Belas Kasih Yesus KEPADA anggota masyarakat yang terpinggirkan

Sama seperti Yesus berbelas kasih kepada para wanita dan anak-anak, Dia juga berbelas kasih kepada kelompok masyarakat lain yang terkucil. Menurut pernyataan-Nya sendiri, Dialah pembebas yang telah datang supaya setiap dan semua manusia yang berdosa dapat memiliki hidup yang berkelimpahan di dunia ini dan setelah itu memperoleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16, 10:10). Dalam kehidupan abad pertama di Israel, wajarlah apabila para pemungut cukai dipandang hina dan dibenci. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang bertindak sebagai agen pemerintahan Romawi. Mereka bertugas mengumpulkan 19


sejumlah uang tertentu dari orang-orang sebangsanya dengan menghalalkan segala cara. Apabila mereka mampu memeras lebih dari jumlah yang dituntut oleh pemerintah, mereka dapat menyimpan sisanya untuk diri sendiri. Ketika Yesus hendak memberi penegasan bahwa seseorang yang tidak menyesali dosanya harus dikeluarkan dari persekutuan orang percaya, Dia mengajar para pengikut-Nya untuk memperlakukan pelanggar tersebut seakan-akan ia adalah seorang pemungut cukai (Mat. 18:17). Oleh karena itu, betapa terkejutnya orang-orang ketika menyaksikan Tuhan kita makan bersama kaum yang dianggap musuh masyarakat. Yesus bahkan mengundang salah satu dari mereka untuk menjadi pengikut-Nya! (Mrk. 2:13-17). Betapa jengkelnya orangorang Yahudi ketika Yesus mengundang seorang pemungut cukai terkenal bernama Zakheus, yang menjadi sangat kaya karena pemerasan kejam yang dilakukannya, untuk masuk dalam rengkuhan belas kasih Allah yang menebus dan mengampuninya! (Luk. 19:1-10). Betapa bingung dan marahnya orang-orang Yahudi yang alim 20

ketika dalam salah satu perumpamaan-Nya, Yesus menjadikan seorang pemungut cukai dan bukan seorang Farisi sebagai penerima anugerah pembenaran dari Allah! (Luk. 18:9-14). Lebih jauh lagi, betapa murkanya orang-orang ketika mendengar Yesus, sahabat dari para pemungut pajak dan orang berdosa ini (Luk. 7:34), menyatakan bahwa para pemungut cukai dan pelacur yang bertobat, setelah mendengar khotbah Yohanes Pembaptis, akan masuk ke dalam kerajaan Allah dengan mendahului para pemimpin agama yang merasa diri mereka suci! (Mat. 21:31-32).

Yang menjadi masalah dari tindakan Yesus adalah bahwa Dia melanggar etika dari suatu masyarakat yang sayangnya kekurangan rasa belas kasihan. Menurut Yesus, belas kasih Allah sanggup dan akan mengubah orang-orang dalam kelompok terpinggirkan itu


menjadi anggota yang disambut dan diterima dalam keluarga Allah. Dalam belas kasih-Nya yang menyelamatkan, Yesus juga mendobrak dinding penghalang yang dibangun oleh tradisi yang cenderung memecah-belah. Dia tidak ragu menyentuh para pengidap kusta yang telah dilarang untuk melakukan kontak dengan siapa pun (Mat. 8:1-4; Mrk. 1:40-44). Bayangkan betapa berartinya sentuhan Yesus bagi orangorang yang dikucilkan ini. Yesus menunjukkan kuasa-Nya dalam memenuhi kebutuhan pribadi demi pribadi tanpa memandang ras mereka. Dia menyembuhkan anak laki-laki seorang pegawai militer Romawi yang menjajah bangsa-Nya (Mat. 8:5-13). Dia juga menyembuhkan anak perempuan dari seorang wanita Kanaan yang tidak mengenal Tuhan (Mat. 15:21-24). Yesus tidak merasa malu untuk berbicara dengan seorang wanita Samaria dan membagikan kepadanya kebenaran yang memerdekakan tentang Allah dan penyembahan yang berkenan kepada Allah (Yoh. 4). Perilaku orang Yahudi yang sudah membudaya terhadap bangsa Samaria terungkap jelas

dalam kritikan yang dilontarkan kepada Yesus sendiri, “Engkau orang Samaria dan kerasukan setan?� (Yoh. 8:48). Namun ketika Yesus menantang kurangnya sikap belas kasih dari kalangan pemimpin agama pada zamanNya, Dia memilih seorang Samaria sebagai contoh dari belas kasihan Allah sendiri— seorang Samaria yang berbelas kasih kepada seorang korban perampokan dan kekerasan (Luk. 10). Adakah cara yang lebih dramatis lagi bagi Yesus dalam mengungkapkan bahwa isi hati-Nya sejalan dengan isi hati Bapa-Nya? Yesus tidak pernah mengabaikan orang-orang awam yang dengan senang hati mendengarkan-Nya (Mrk. 12:37). Kalangan pemimpin Yahudi memandang rendah orang-orang tersebut karena kekurangmengertian mereka soal agama. Mereka berkata, “Orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka!� (Yoh. 7:49). Namun sebaliknya Yesus, yang tergerak oleh belas kasihan, mau mengajar orang banyak itu. Dia berulang kali memberi mereka makan. Dia menyembuhkan mereka yang 21


sakit, dan membebaskan yang berada dalam kuasa kegelapan (Mrk. 5:1-17; 8:1-10). Belas kasih Yesus kepada kaum miskin yang sakit, yang kelaparan, dan yang menderita, terlihat secara menyolok pada perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus (Luk. 16:1931). Hal tersebut tampak lagi dalam penggambaran-Nya yang mengagumkan tentang masa penghakiman yang memperlihatkan kepedulian-Nya terhadap anggota masyarakat yang paling membutuhkan perhatian (Mat. 25:31-46). Hati dan tangan-Nya terbuka lebar, bahkan hingga saat ini, kepada orang-orang yang paling rendah, yang paling hina, dan yang terhilang (Luk. 15).

Belas Kasih Yesus kepada YANG  LAPAR rohani

Sekalipun Tuhan kita peduli pada masalah kelaparan, penyakit dan ketidakadilan, Dia jauh lebih peduli pada hubungan antara manusia dengan Allah dan nasib mereka setelah kematian. Ketika memaparkan maklumat kerajaan-Nya dalam suatu khotbah di sinagog di Nazaret, Yesus mengutip kalimat dari Yesaya 61: 22

Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4:18-19). Dengan mengutip bagian Alkitab dari kitab Yesaya tersebut, Yesus mengumumkan suatu misi dengan dua sisi. Di satu sisi, Dia akan secara harfiah memulihkan penglihatan, memberikan penghiburan, dan membebaskan orang-orang yang terikat pada kebiasaan yang menghancurkan hidup dan menjerat mereka. Di sisi lain, pelayanan-Nya juga merupakan pelayanan rohani yang akan mencelikkan orang yang buta secara rohani (Yoh. 6), memerdekakan mereka yang terbelenggu rohani, menghibur yang dikuasai oleh rasa bersalah dan tertekan oleh derita. Sesungguhnya, mukjizat yang hendak ditunjukkan Yesus, yaitu tindakan supernatural-Nya yang penuh kuasa dan belas kasihan,


akan menjadi penyataan yang dramatis dari sifat kerajaan sejati yang dikukuhkan melalui kedatangan-Nya. Walaupun Yesus menaruh belas kasihan kepada seluruh aspek penderitaan manusia, kepedulian-Nya yang terutama adalah pada kebutuhan rohani mereka. Kehidupan masyarakat pada zaman-Nya sangat dipengaruhi agama, tetapi agama yang ditetapkan Allah untuk memberkati umat-Nya telah mengalami kemerosotan sehingga hanya menjadi suatu legalisme ketat yang mencekik leher. Oleh karena itu, dengan berapi-api, Dia mencela tradisi kaum Farisi yang mengambil

Belas kasih Yesus akan kebutuhan jasmani manusia adalah sebuah tanda dari kepedulianNya akan kebutuhan yang lebih utama dalam hati manusia. “kunci pengetahuan” (Luk. 11:52) dan membiarkan para penganut yang hampa jiwanya dalam ketidaktahuan tentang

Allah. Dalam murka, Dia mengutuk orang-orang fanatik yang berusaha sedemikian rupa ke mana-mana demi mempertobatkan satu orang dan dengan demikian menjadikan orang tersebut “orang neraka, yang dua kali lebih jahat” (Mat. 23:15). Mereka yang menjadi penjaga tradisi ini tidak hanya terasing dari hidup berkelimpahannya kerajaan surga, tetapi juga menghalangi para pencari Allah untuk mengalami “kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita” yang diberikan oleh kerajaan itu (Rm. 14:17). Betapa kekerasan hati “orang buta yang menuntun orang buta” ini mencemaskan hati Yesus yang penuh dengan kasih. Injil mengatakan kepada kita bahwa Yesus menangis (Luk. 19:41, Yoh. 11:35). Suatu ketika, pada saat Yesus mendekati Yerusalem sebelum ditangkap dan disalibkan, Dia memandangi kota yang malang itu dan tidak dapat menahan kesedihan-Nya. Dia sudah melihat ngerinya kehancuran yang akan menimpa kota tumpuan kaki Yehovah ini (Mzm. 99:5) dan meluaplah emosi-Nya. Di awal masa pelayanan-Nya, Dia tidak dapat menahan rasa duka-Nya ketika 23


melihat lebih dahulu parahnya penghancuran ibukota Israel. Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anakanakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anakanaknya dibawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau (Luk. 13:34). Bahkan dalam perjalanan-Nya menuju bukit Kalvari, dengan memikul beban salib-Nya, Yesus mengabaikan penderitaanNya sendiri. Dengan diliputi rasa duka, Dia menubuatkan penderitaan yang terutama akan ditanggung oleh kaum wanita (Luk. 23:27-31). Namun penyebab paling dalam dari rasa dukacita-Nya bukanlah kesusahan yang akan dialami umat-Nya di dunia. Yesus terguncang sampai ke lubuk hati-Nya yang terdalam oleh penglihatan-Nya tentang nasib mereka dalam kekekalan— mereka akan diasingkan dari terang, kasih dan kehidupan Allah, dan tinggal dalam kegelapan dan tanpa harapan selamanya. Berkali-kali Dia meminta dengan sangat orangorang di sekeliling-Nya untuk 24

melepaskan diri dari murka yang akan datang. Dia telah berbicara dengan kefasihan yang sanggup melembutkan hati yang keras, dengan menggunakan penggambaran yang tajam untuk mengguncang rasa puas, tidak peduli, dan tanpa penyesalan dari sikap mereka yang apatis. • Jangan pasrah saja hingga mengalami nasib yang lebih buruk daripada penghakiman yang menimpa Sodom dan Gomora (Mat. 11:24). • Jangan menolak anugerah dari Allah yang Maha pengampun, yang sanggup membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka (Mat. 10:28). Prospek yang sangat menakutkan ini menyiksa batin Yesus, sehingga hati-Nya yang penuh belas kasih itu diliputi dukacita. Meski Yesus makan dan minum bersama orang-orang berdosa, dan meski Dia mengambil bagian dalam kegembiraan dari pesta pernikahan, Dia tidak pernah melupakan “bayang gelap di wajah Allah.â€? Dia telah datang ke dunia kita sebagai perwujudan dari rasa belas kasih, dengan kerelaan untuk mati supaya orang berdosa yang terhilang tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal.


Binasa—itulah bayang gelap di wajah Allah, baik dahulu maupun sekarang. Binasa—satu kata yang menggambarkan keputusasaan dan kengerian, keadaan tanpa harapan yang menjadi alasan kedatangan-Nya untuk menyelamatkan orang berdosa. Dalam belas kasihanNya, Dia merendahkan diri dari tempat yang mulia menuju ke Golgota. Didorong oleh rasa kasihan yang tak terhingga, Yesus mengambil rupa manusia seperti kita dan menukar takhta surgawi dengan paku pada salib Kalvari. Dia merendahkan diri-Nya, meninggalkan takhta surga mulia, dan turun hingga ke kedalaman bumi yang terdalam, mati oleh penyaliban dalam siksaan dan malu di atas salib Romawi, suatu kematian yang sepatutnya diderita oleh penjahat yang paling jahat. Mengapa Yesus rela melakukannya? Dia menjawab bahwa ini semua dilakukan-Nya untuk menyelamatkan mereka yang terhilang (Luk. 19:10). Terhilang! Seluruh kengerian dan kebutuhan terdalam umat manusia terangkum dalam kata ini—sama ngerinya dengan kata binasa. Kedua kata yang mengenaskan itu menyerukan kengerian dengan bersahut-

sahutan. Yang binasa itu terhilang, yang terhilang itu binasa. Terhilang! Penderitaan seorang anak yang menangis tersedu-sedu dengan hati yang hancur, putus asa karena kehilangan rasa aman dan kehangatan rumah peristirahatan dan membeku sendirian pada malam hari di tengah hutan yang terbalut salju. Terhilang! Para penumpang kapal Titanic yang terlempar dari kemewahan dan kegembiraan ke dalam air Samudera Atlantik yang membeku, ditenggelamkan oleh ombak yang tak berbelas kasihan. Terhilang! Seorang istri yang berduka setelah dokter bedah keluar dari ruang operasi untuk mengabarkan bahwa tim medis gagal menyelamatkan suaminya. Terhilang! Jiwa-jiwa yang mengembara dalam “dunia kekelaman untuk selamalamanya� (Yud. 1:13). Terhilang! Jiwa-jiwa yang tersiksa oleh penyesalan sebagai akibat pilihan untuk melepaskan harapan, sukacita dan kedamaian. Terhilang! Jiwa-jiwa yang meratapi kenangan dari kesempatan demi kesempatan untuk meraih pemenuhan yang mulia dan kini telah lepas untuk selamanya. 25


Keadaan rohani yang menyedihkan dari jiwa-jiwa yang terhilang dan binasa itulah yang menggerakkan hati Yesus yang penuh belas kasihan hingga ke kedalamannya yang terdalam.

Teladan Belas Kasihan Seperti KRISTUS

S

elama berada di dunia, Tuhan kita berjalan ke mana-mana untuk berbuat baik (Kis. 10:38). Belas kasih-Nya bukanlah perasaan sentimentil tanpa tindakan, seperti yang dengan sinis ditulis oleh Samuel Taylor Coleridge, “Mengeluhkan kesengsaraan, tetapi menolak orang yang sengsara.� Sebagai-mana nyata dari pelajaran kita tentang pelayanan Yesus, kapan pun Dia melihat adanya kebutuhan dalam diri seseorang atau orang banyak, maka reaksi emosional dari kepedulian-Nya yang mendalam telah memotivasiNya untuk segera bertindak. Dia memberi makan, menyembuhkan, mengajar, menenangkan laut yang bergelora, mengusir kuasa kegelapan, dan bahkan 26

membangkitkan orang dari kematian. Dalam semua hal yang dilakukan dan dikatakanNya, Dia memberikan teladan untuk diikuti murid-murid-Nya di sepanjang masa (1 Ptr. 2:21). Mereka, seperti halnya Yesus, sepatutnya menjadi agen belas kasih melalui perkataan dan perbuatan yang menyuarakan pesan anugerah penebusan Allah. Mereka sepatutnya melayani sebagai saluran pertolongan yang dimampukan oleh Roh Kudus. Perhatikanlah, sebagai contoh, abad-abad setelah kehadiran Juruselamat kita di dunia. Belas kasihan Kristen, yang bekerja melalui para pengikut-Nya, menantang dan mengubah masyarakat Kekaisaran Romawi yang kejam dan tidak berperasaan. Pembunuhan bayi, yang sering kali dilakukan tanpa perasaan dengan cara meninggalkannya di alam terbuka dan bahkan di hadapan binatang; pertarungan gladiator yang bermandikan darah; penyaliban penjahat; perlakuan kejam terhadap budak; perendahan derajat kaum wanita—inilah beberapa praktek yang ditentang dengan berani oleh orang Kristen atas nama belas kasihan Yesus.


Namun cara terbaik untuk menghargai bagaimana teladan belas kasih Tuhan telah mempengaruhi sejarah adalah dengan menyoroti kehidupan orang-orang yang telah melayani sebagai saluran kasih-Nya yang penuh kepedulian. Mereka telah menjadi garam di tengah peradaban yang hambar. Mereka telah menjadi terang dalam gelapnya budaya yang telah bobrok. Mereka telah menyuarakan perlunya belas kasihan dan kebaikan di mana pun terjadi luapan tindakan yang tidak beradab, sekalipun di negara-negara yang telah maju. Berikut ini hanyalah dua ilustrasi dari belas kasihan seperti Kristus.

Karena Kristus berbelas kasih, Dia mencurahkan belas kasihan kepada setiap orang yang dipenuhi oleh-Nya. Jackie Polinger, yang lahir dan dibesarkan di Inggris, adalah seorang musisi Kristen. Sejak berumur 5 tahun, ia merasa

Allah mengarahkannya untuk menjadi misionaris. Namun di mana dan di bawah lembaga apa? Jackie berkonsultasi dengan pendetanya yang menasihatinya untuk berjalan dalam iman dan mengizinkan Allah untuk menuntunnya. Ia mengikuti nasihatnya dan akhirnya memberi diri untuk melayani di Hong Kong. Seorang diri, Jackie memulai karya kemanusiaannya dengan bersaksi di Walled City, Kowloon, yang terkenal karena kejahatannya, tempat tinggal bagi lebih dari 50.000 orang dalam lokasi seluas 6.5 hektar saja. Kota ini merupakan sarang dari semua jenis penjahat— pencuri, penjual obat terlarang, pembunuh dan pelacur. Jalanjalannya dipenuhi dengan tempat bagi orang mengkonsumsi heroin dan opium, belum lagi teater yang menjajakan pornografi. Walled City adalah suatu lingkungan kotor yang dipenuhi tikus, dan dikuasai oleh kelompok kejahatan yang berkuasa dengan kejam. Setiap pagi mayat orang-orang yang mati akibat overdosis pada malam sebelumnya hanya diseret keluar dari tembok kota dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikuburkan. 27


Saat itu, Jackie baru berusia 20 tahun, tidak terlatih dan tidak terlindungi. Ia masuk ke dalam lingkungan yang mengerikan tersebut dan mulai menjadi saluran belas kasih Kristus dengan membagikan kabar baik tentang pengampunan dan cinta kasih-Nya. Ia pun menghadapi permusuhan yang keras. Jendela dan perabotan di klub pemuda yang didirikannya dirusak dan dilumuri kotoran oleh para pengikut seorang pengedar obat-obatan terlarang. Namun si pengedar itu begitu kagum kepada Jackie dan pesannya tentang pengampunan Allah, sehingga ia kemudian menyuruh para anggota kelompoknya yang bersalah untuk datang dan meminta maaf kepada Jackie. Mereka melakukannya, dan sesuai dengan pesan yang disampaikannya, Jackie pun mengampuni mereka. Perlahan perubahan pun terjadi melalui belas kasih yang teguh, keberanian yang luar biasa, dan khotbah yang berpusat pada Kristus yang ditunjukkan oleh Jackie. Ratusan pria dan wanita—pecandu obatobatan, penjahat kambuhan dan pemabuk berat—pun terlepas dari belenggu dosa. Belas kasihan Jackie bukanlah 28

sikap pasif yang sentimentil. Dengan dimotivasi oleh kasih Kalvari, pelayanannya bergerak dinamis dan berdampak luas. Sungguh inilah kekuatan Allah yang sanggup menyelamatkan. Yesus melalui Jackie melanjutkan pekerjaan belas kasih-Nya. Mary Reed, yang lahir di Ohio pada tahun 1858, merupakan contoh lain dari saluran belas kasih yang meneladani Kristus. Setelah mendengar tentang penderitaan para pengidap penyakit kusta di India, ia memutuskan untuk melakukan apa yang dapat dilakukannya demi meringankan beban mereka dan membagikan kabar baik mengenai kasih Allah kepada mereka. Bagi seorang wanita Kristen untuk berharap bahwa ia mampu memberikan perubahan yang berarti dalam kehidupan orang-orang yang teramat menderita di dalam masyarakat yang terpinggirkan tampaknya seperti suatu usaha yang sia-sia. Dengan tekad kuat dan penuh doa, Mary menyerahkan dirinya untuk melayani di India. Yang menjadi lokasi pelayanannya adalah kota Cawnpore dengan kebutuhannya yang begitu besar. Kondisi yang dihadapinya sangatlah sulit dan tidak


terlukiskan. Tidak heran, setelah 8 tahun melayani dengan penuh belas kasih, ia pun mengalami penurunan kondisi fisik. Mary pulang ke negaranya untuk memulihkan dirinya. Namun apakah Mary tetap tinggal di sana? Apakah ia meninggalkan tugas yang luar biasa berat untuk memberikan dampak yang berarti pada situasi yang begitu sulit itu? Dengan tekadnya untuk tidak takluk pada pencobaan tersebut, Mary pun kembali dan pergi ke Pithoraterth di kawasan Himalaya. Dalam perjalanannya, ia bertemu sekelompok pengidap kusta yang terdiri dari 500 orang, yang berusaha menghidupi diri mereka sendiri tanpa dibantu oleh lembaga yang peduli pada penderitaan mereka. Terbeban karena ketidakberdayaan mereka, Mary tidak dapat melupakan para penderita kusta yang terabaikan itu. Setelah satu tahun aktif kembali dalam pelayanannya, Mary ambruk dan dikirim pulang kembali ke Amerika Serikat. Para dokter dibuat tercengang oleh penyakit yang dideritanya. Apa yang menjadi penyebab rasa kesemutan yang menyakitkan di jari telunjuknya dan bintik-bintik di wajahnya? Mary mengetahui penyebabnya

sebelum ia menerima diagnosa yang pasti, bahwa ia telah terkena penyakit kusta. Namun bukannya merasa ngeri, ia justru mengucap syukur kepada Allah untuk penyakit yang biasanya akan membangkitkan sikap takut dan mengasihani diri sendiri itu. Mary memandang penyakit kusta yang dideritanya sebagai anugerah dari Allah dan jawaban dari permohonan doanya agar suatu saat ia akan diizinkan untuk bekerja di tengahtengah para penderita kusta di Himalaya. Hanya dokter dan saudara perempuannya yang tahu kondisi Mary yang sebenarnya. Ketika memutuskan untuk kembali ke India, Mary bersikeras tidak menginginkan adanya perpisahan yang menyedihkan, meski menyadari bahwa ia mungkin takkan melihat lagi keluarga yang dicintainya. Ketika tiba kembali di India, Mary mendatangi pemukiman para penderita kusta yang tidak pernah dikunjungi oleh seorang pun misionaris sebelumnya. “Saya dipanggil Allah untuk datang dan membantu kalian,� katanya kepada para penderita yang tertegun mendengar hal itu. Dan di sanalah Mary menetap sebagai agen Allah dalam 29


menunjukkan belas kasihan Kristus. Walaupun kesulitan yang ada sungguh besar, di bawah kepemimpinan Mary yang penuh pengorbanan, perlahanlahan mulai terbentuk suatu tatanan masyarakat yang baru di Chanbag. Sebuah rumah sakit pun dibangun untuk menawarkan kesembuhan, pertolongan dan pengharapan untuk kaum yang tadinya terpinggirkan dan tak berpengharapan ini. Selama 53 tahun, Mary tinggal dan melayani di Chanbag, dan meninggal di sana pada tahun 1943. Kedua hamba Tuhan Yesus ini merupakan contoh dari sejumlah besar murid Yesus, yang kebanyakan dari mereka tidak dikenal dan tidak menerima pujian. Namun nama mereka dikenal di surga, dan mereka telah menerima satusatunya penghargaan yang mereka rindukan dan patut dapatkan, yakni kata-kata pujian dari Tuhan, “Baik sekali pekerjaanmu, hai hamba-Ku yang baik dan setia.� Jika kita menyebut Yesus sebagai Penebus dan Tuhan kita, kita ditantang untuk mengikuti jejak Jackie dan Mary, sebagaimana mereka telah mengikuti jejak langkah 30

Yesus yang menampilkan belas kasih dalam wujud yang paling agung. Sebagai penerima anugerah keselamatan, kita memiliki hak istimewa untuk mengalirkan cinta kasih agung yang dicurahkan di Kalvari melalui hidup kita hingga diteruskan kepada dunia yang membutuhkannya. Hanya dengan demikianlah sejumlah kebutuhan umat manusia akan terpenuhi.

Jika kita menyebut Yesus sebagai Penebus dan Tuhan kita, kita ditantang untuk mengikuti . . . jejak langkah-Nya yang menampilkan belas kasih dalam wujud yang paling agung. Sejarawan Huston Smith, seorang profesor agama yang disegani di Universitas Syracuse, pernah mengunjungi Aldous Huxley ketika ia menjabat sebagai profesor kehormatan bidang kemanusiaan di MIT. Suatu hari ketika mereka


berjalan dan berbicara bersama, Huxley mengatakan, “Tahukah Huston, rasanya agak memalukan ketika saya menghabiskan seumur hidup saya untuk merenungi kondisi manusia dan tiba pada akhirnya dengan menyadari bahwa sebenarnya saya tak bisa meneruskan suatu nasihat yang lebih mendalam daripada ini, ‘Cobalah untuk bersikap sedikit lebih baik.’� Walaupun hal itu benar, Yesus memberi teladan dan mendorong sesuatu yang lebih dari sekadar sedikit kebaikan. Dia memberi teladan dan mendorong suatu sikap belas kasihan yang mau berkorban. Bagaimana kita dapat menjadi saluran bagi kebaikan-Nya yang penuh belas kasih? Henri Nouwen memberikan petunjuknya kepada kita: Ketika saya berdoa untuk kebutuhan berjuta-juta orang yang tiada habisnya, jiwa saya meluas dan ingin merengkuh semuanya dan membawanya ke hadapan Allah. Namun di tengah pengalaman itu, saya menyadari bahwa belas kasih itu bukan milik saya melainkan Allah yang memberikannya kepada

saya. Saya tidak dapat merengkuh dunia, tetapi Allah dapat. Saya tidak dapat berdoa, tetapi Allah dapat berdoa di dalam saya. Ketika Allah datang dan menjadi sama seperti kita . . . Dia mengizinkan kita untuk mengalami keintiman dari kehidupan ilahi. Dia memampukan kita untuk berbagi dalam belas kasihan Allah yang tiada habisnya. Dan oleh karena anugerah, kita tidak hanya mengalami belas kasihan Allah. Dengan anugerah-Nya yang memberi kesanggupan, kita dapat menjadi saluran dari belas kasih-Nya itu, mengikuti jejak Kristus seperti yang dilakukan oleh banyak pendahulu kita. Namun jika kita sungguh-sungguh meneladani Kristus, seperti dorongan Paulus di dalam 1 Korintus 11:1, belas kasihan kita takkan hanya terbatas pada kebutuhan jasmani, tetapi kita akan menjadikan kebutuhan rohani sesama sebagai prioritas kita yang tertinggi.

31


Buklet Seri Terang Ilahi (STI) berjudul “Mampukah Kita Berbelas Kasih?” diterbitkan dan didistribusikan oleh PT. Duta Harapan Dunia (DHD) yang merupakan anggota keluarga RBC Ministries. Selama 70 tahun terakhir ini, RBC Ministries telah mengajarkan firman Allah dengan maksud untuk membawa orang-orang dari segala bangsa agar dapat memiliki iman dan kedewasaan di dalam Kristus. Landasan inilah yang menopang kerinduan DHD untuk menjadi saluran berkat di Indonesia dengan cara menyediakan literatur rohani yang dapat menguatkan dan memperlengkapi para pembaca agar semakin mengenal Allah dan memperoleh penghiburan, wawasan, dan penguatan iman melalui firman-Nya. Adapun buku-buku yang dapat diperoleh melalui PT. Duta Harapan Dunia: • Santapan Rohani Tahunan (SR) Buku renungan tahunan yang dirancang untuk digunakan sebagai makanan rohani sehari-hari. • Seri Kehidupan Kristen— Pedoman Dasar Hidup Kristen Buku pedoman yang membuat Anda mengerti siapakah Allah itu dan memperluas pengetahuan Anda tentang iman Kristen. • Seri Hikmat Ilahi (SHI) Bahan Pendalaman Alkitab untuk pribadi maupun kelompok. • Seri Terang Ilahi (STI) Buklet yang mengulas beragam topik yang membuka wawasan rohani orang Kristen. Informasi lebih lanjut, hubungi: PT. Duta Harapan Dunia PO Box 3500 Jakarta Barat 11035 Tel.: (021) 7111-1430; 2902-8955 Fax.: (021) 5435-1975 E-mail: info@dhdindonesia.com Situs: www.dhdindonesia.com

32

Indonesian Discovery Series ‘The Compassion of Jesus’


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.