MENGAPA HIDUP BEGITU TIDAK ADIL? Kisah Mazmur 73
DAFTAR ISI Pertanyaan Sulit yang Diajukan Semua Orang . . . 2 Seorang Beriman yang Menyanyikan Lagu Sedih . . 3 Apa yang Menyebabkan Asaf Frustrasi? . . . . . . . . . . . . 5 Apa Reaksi Asaf? . . . . . . . . . 11 Di Mana Asaf Menemukan Jawaban? . . . . 16 Apa yang Asaf Pelajari dari Pergumulannya? . . . . 25 Menjawab Pertanyaan Tentang Kekekalan . . . . . 28
S
aat mengalami hari yang tidak menyenangkan, kita mungkin akan sependapat dengan orangorang sinis yang mengatakan bahwa “meski melakukan perbuatan yang baik, tetap saja dihukum.” Saat kita merenung, kita mungkin mendapati hati kita sakit akibat kesenjangan dan ketidakadilan yang muncul dalam setiap lembar pengalaman hidup manusia. Di manakah keadilan? Bagaimana kita dapat memiliki keyakinan kepada Allah jika kehidupan sepertinya lebih bermurah hati kepada mereka yang tidak mempedulikan-Nya? Dalam halaman-halaman berikut ini, Bill Crowder akan membimbing kita dengan melihat pergumulan dan akhir membahagiakan yang dialami seseorang yang hampir meninggalkan imannya saat menghadapi ketidakadilan. —Martin R. DeHaan II
Penerbit: RBC Ministries • Diterjemahkan dari: Why Is Life So Unfair? The Story of Psalm 73 Editor Pelaksana: David Sper • Penerjemah: Liem Sien Gwan • Penyunting: Tim Editorial RBC Penata Letak: Jane Selomulyo • Foto Sampul: Samuel van Hoogstraten (1653) © Getty Images Bacaan Alkitab merupakan kutipan dari ALKITAB terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia Perjanjian Lama © 1974; Perjanjian Baru © 1997; Cetakan ke-23 tahun 2003. Copyright © 2012 RBC Ministries, Grand Rapids, Michigan. Dicetak di Indonesia. Cetakan ke-2.
PERTANYAAN SULIT YANG DIAJUKAN OLEH SEMUA ORANG
S
etiap hari dalam tayangan berita dan surat kabar, kita menonton dan membaca tentang orang yang menderita dan bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang hidup. • Seorang ibu menangis di luar ruang sidang karena pembunuh putrinya baru saja dibebaskan. Pembebasan itu disebabkan oleh masalah teknis hukum. Ia memohon, “Apakah keadilan sudah tak ada lagi?” • Seorang ayah berusaha menghidupi keluarganya dengan bekerja keras dan hidup dengan benar. Namun saat memikirkan orang-orang yang meraih kekayaan dengan jalan tidak sah (bertentangan dengan hukum), ia bertanyatanya, “Apa gunanya berusaha hidup dengan benar? Mungkin orang benar memang selalu kalah.” • Seorang anak dilarikan ke rumah sakit. Ia adalah korban terakhir dari sebuah bom 4
teroris. Keluarganya menjerit, “Kenapa harus dia? Dosa apa yang ia lakukan sehingga ia mengalami hal ini?” • Seorang janda duduk di samping makam yang masih basah sambil terisak, “Ini tidak adil. Mengapa suamiku yang meninggal, bukannya pengemudi yang mabuk itu? Suamiku sama sekali tidak bersalah.”
Di mana kita dapat menemukan jawaban di dunia yang tampaknya sangat tidak adil ini? Ini hanyalah sebagian dari pertanyaan yang menghantui mereka yang memikirkan kecurangan, ketidakadilan, dan kesenjangan dalam hidup. Apa yang dapat kita katakan kepada orang-orang yang menderita itu—atau bahkan kepada diri kita sendiri? Di mana kita dapat menemukan jawaban yang akan memulihkan keyakinan kita terhadap kehidupan, dan juga kepada Allah?
SEORANG BERIMAN YANG MENYANYIKAN LAGU SEDIH
Asaf menceritakan pikiran dan perasaannya—dan ini bukan sebuah kisah yang indah.
eiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa salah satu hal paling bermanfaat yang dapat dilakukan orang yang menderita adalah membuka halaman tengah Alkitab. Di situ, di tengah-tengah sebuah kitab kidung kuno yang disebut Mazmur terdapat syair-syair yang jujur dan juga membangkitkan semangat. Kitab Mazmur bermanfaat karena sebelum membangkitkan semangat kita dalam harapan yang diperbarui, kitab ini juga membantu kita mengungkapkan amarah, rasa takut, dan frustrasi yang begitu nyata bagi kita dalam masa-masa susah. Salah satu dari para penulis mazmur itu adalah pria bernama Asaf. Ia menulis Mazmur 73 sebagai tanggapan atas kekecewaan dan krisis imannya sendiri. Meski tidak mengungkapkan detail pengalamannya (mungkin hal ini membantu kita semua untuk turut merasakan penderitaannya dalam diri kita),
Dalam Mazmur 73, Asaf menarik perhatian kita dengan keterusterangannya. Ia mengungkapkan kepada kita kekecewaan mendalam yang selama beberapa waktu tidak berani ia akui. Namun akhirnya, tiba saatnya bagi Asaf untuk menceritakan kisahnya. Ia siap mengakui bahwa ia merasa dikhianati tidak hanya oleh kehidupan, tetapi juga oleh Allah. Kacamata yang ia pakai untuk memandang penderitaannya kabur oleh kebencian dan kebingungan pribadi. Akibatnya, ia berkata, “Mengapa hal ini terjadi kepada diriku? Aku percaya kepada Allah leluhur kita. Aku telah berusaha untuk tetap setia kepada Allahku. Aku telah berusaha untuk mengambil pilihan-pilihan yang benar. Namun, aku dibanjiri dengan kesusahan sedangkan orang-orang yang kurang taat berkemakmuran. Ini betul-betul tidak adil!�
S
MENGAPA HIDUP BEGITU TIDAK ADIL?
5
MENGAPA ALLAH TIDAK MENEGAKKAN PERATURAN-NYA SENDIRI?
Salah satu alasan mengapa Asaf begitu merasakan ketidakadilan adalah dalam Israel kuno, orang Yahudi memandang kehidupan melalui “kisi-kisi ganjaran”, yang juga dapat disebut sebagai “hukum pembalasan yang setimpal”. Prinsip ini pada dasarnya menyatakan bahwa mereka yang melakukan kebaikan diberi penghargaan yang setimpal dengan kebaikan mereka, sedangkan pelanggar moral dihukum sesuai dengan kesalahan mereka. Prinsip ini merupakan padanan Perjanjian Lama dari “hukum menabur dan menuai” Perjanjian Baru yang terdapat dalam Galatia 6:7-8. Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barang siapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barang siapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu. Prinsip ganjaran atau pembalasan setimpal 6
merupakan asumsi yang umum dimiliki orang Yahudi. Akibat keterbatasan pemahaman mereka tentang kehidupan setelah kematian, orang Israel kuno mengharapkan keadilan ditegakkan dalam hidup sekarang ini.
Orang Israel kuno mengharapkan keadilan ditegakkan dalam hidup sekarang ini. Terkadang dalam Perjanjian Lama, kita melihat prinsip ini diutarakan sebagai kebenaran teologis atau sebagai kata-kata pengharapan bagi seseorang yang menderita (seperti dalam Mazmur 34 dan 37). Akan tetapi di mana pun kita menjumpainya, prinsip tersebut merupakan bagian dari kerangka yang dipakai oleh umat pilihan untuk memandang kehidupan. Kitab Ayub dalam Perjanjian Lama lebih mudah dipahami jika kita melihatnya dalam konteks yang sama. Karena temanteman Ayub percaya bahwa orang mengalami penderitaan
yang setimpal dengan kesalahan mereka, mereka menuduh Ayub menyembunyikan dosa yang dapat menjelaskan penderitaannya. Namun kesalahan mereka adalah beranggapan bahwa keadilan Allah adalah satu-satunya penjelasan tentang situasi kehidupan pada saat itu, baik ataupun buruk. Hal ini mulai menyingkap masalah yang membentuk latar belakang dari Mazmur 73: Apakah yang terjadi ketika orang jahat sepertinya diberkati sedangkan orang benar sepertinya dikutuk?
MENGAPA HIDUP TERASA SUMBANG?
Ketika Asaf menulis Mazmur 73, ia tidak hanya berbicara tentang teologi atau menawarkan analisis yang dingin bagi persoalan orang lain. Ia sedang menderita dan bergumul. Perkataan dan emosinya mempunyai intensitas yang terfokus dan menyakitkan— memicu munculnya pertanyaanpertanyaan tajam yang tersembunyi di dalam hatinya. Tidaklah sukar untuk memahami mengapa Asaf bergumul. Dalam banyak hal, pengalamannya sangat mirip dengan pengalaman kita. Ia
berbicara bagi kita. Ia percaya kepada Allah, kebenaran, dan keadilan, tetapi pengalaman hidupnya tidak selaras dengan
Pengalaman hidup Asaf tidak selaras dengan keyakinannya. keyakinannya. Bahkan, sepertinya imannya telah diputarbalikkan. Untuk dapat mempertahankan imannya, Asaf harus mendapatkan jawaban. Teori-teori teologinya telah digantikan oleh kekecewaan dan penderitaan pribadi.
APA YANG MENYEBABKAN ASAF FRUSTRASI?
S
alah satu kutipan favorit saya berbunyi, “Hidup harus dijalani ke depan— sayangnya hidup hanya dapat dipahami dengan memandang ke belakang.” Dengan kata lain, terkadang kita baru dapat betulbetul memahami setiap kejadian dalam hidup ini saat menengok ke belakang.
7
Dengan cara pandang “melihat ke belakang” kita mendapatkan konteks yang lebih berarti dan akurat terhadap apa yang telah kita alami. Dengan memandang ke belakang, saya dapat melihat bahwa kedisiplinan dan tantangan-tantangan saat saya kuliah selama beberapa tahun merupakan kamp pelatihan yang penting untuk dua puluh tahun yang saya gunakan dalam pelayanan pastoral—kerap kali dalam cara yang tidak pernah saya bayangkan. Begitu juga, ketika merenungkan kembali suka duka dalam pelayanan saya, saya dapat melihat sekarang bahwa beberapa waktu lalu Allah telah meletakkan dasar untuk apa yang saya lakukan sekarang. Kerap kali hidup lebih jelas terlihat jika kita memiliki kesempatan untuk memandang ke belakang.
Kerap kali hidup lebih jelas terlihat jika kita memiliki kesempatan untuk memandang ke belakang. 8
PENDERITAAN SAAT INI
Asaf, penulis Mazmur 73, juga menghargai cara pandang ke belakang. Ia sampai pada titik di mana ia dapat melihat kembali saat di mana hidupnya penuh dengan keputusasaan, keraguan, dan penderitaan pribadi. Ia mengingat saat-saat di mana ia bertanya-tanya akan kebenaran dan keadilan Allah. Hanya dengan melihat ke belakang ia dapat memahami hidup. Perhatikan kalimat pembukanya: Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya (ay.1). Ingat, inti dari pergumulan Asaf adalah bahwa orang benar (“mereka yang tulus hatinya”) sepertinya tidak diberkati. Ada beberapa pemahaman yang berbeda mengenai makna dari ayat 1. Beberapa orang memandang pernyataan ini sebagai “pengakuan iman” Asaf—apa yang benar-benar ia yakini dalam hidup. Namun, dalam hatinya timbul pertentangan karena kenyataan hidup tampak berlawanan dengan keyakinannya. Yang lain memandang ayat 1 sebagai permulaan dari beberapa perubahan pemikiran
Asaf. Mereka memandang bahwa ia memulai dengan iman, kemudian menjadi kecewa dan hampir meninggalkan imannya. Elemen-elemen kefrustrasian dan kehilangan itu tampak jelas dalam mazmur Asaf. Mungkin ayat 1 mengandung aspek-aspek dari kedua pemikiran tersebut dan juga dari faktor ketiga. Mungkin saja pengalaman Asaf dalam Mazmur 73 digambarkan dari cara pandangnya melihat ke belakang, yaitu titik yang menguntungkan di mana ia mampu melihat kedalaman reaksinya secara lebih akurat. Hati Asaf telah menjadi medan pertempuran tempat di mana pergumulannya berlangsung. Dalam dunia batinnya, telah berkecamuk sebuah pertempuran untuk menentukan apakah ia akan mempercayakan hidupnya kepada Allah atau tidak. Dalam Mazmur 73, Asaf membuka jiwanya dan menyingkapkan pertentangan hatinya yang mengejutkan—dan ke mana pertentangan ini hampir membawanya.
DALAMNYA KEKECEWAAN
Ketika Asaf mengisahkan
pengalamannya, ia mulai membuka hatinya seolah-olah ia sedang mengupas lapisan-lapisan kulit bawang. Ia mengingat kembali reaksinya ketika memasuki masa kekecewaan dan kehilangan—dan betapa tragis reaksinya itu, Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir (ay.2). Perhatikan keakuratan cara pandang ke belakang tersebut. Itulah sebabnya mengapa orang berkata “pandangan ke belakang itu lebih jelas.” Ketika Asaf sedang berada dalam bejana penderitaan, terlihat ia memang selayaknya, bahkan dibenarkan, untuk mengeluh. Namun sekarang ia dapat melihat keluhan itu sebagaimana mestinya. Keluhan itu adalah godaan yang berbahaya untuk membelot dan mundur. Kini ia dapat mengutarakan pikiran-pikiran yang bergejolak di bawah permukaan—tidak hanya dengan jujur, tetapi juga dengan lebih objektif: Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orangorang fasik (ay.3). Keterusterangan Asaf sangat memukul hati saya. Hal itu membuat saya bertanya kepada 9
diri saya sendiri apakah saya akan jujur dengan kegagalankegagalan saya sendiri. Saya bertanya-tanya apakah saya akan begitu terbuka. Keterbukaan diri Asaf ketika mengisahkan penderitaannya menampar saya dengan tantangannya untuk bersikap apa adanya dan jujur terhadap diri sendiri—dan terhadap Allah. Jadi apakah yang sedang diakui Asaf? Apa yang sering kita rasakan tetapi jarang kita akui: Terkadang kita mudah iri terhadap kemakmuran orangorang yang tidak mengenal Allah. Sistem kepercayaan Asaf mengatakan bahwa jika ia percaya kepada Allah, semua akan menjadi baik—pada akhirnya nanti. Akan tetapi “pada akhirnya nanti� terasa sangat jauh ketika Anda sedang mengalami penderitaan dan Anda harus menonton orang lain yang sepertinya mengambil keuntungan dari pelanggaran mereka.
KESENJANGAN HIDUP Asaf bergumul dalam hati tentang kecurangan yang ia saksikan di sekelilingnya. Mereka yang tidak memiliki waktu untuk Allah menjadi makmur, sedangkan orang 10
beriman menderita. Tidak banyak berubah. Ini masih berlaku sampai sekarang, bukan? Beberapa tahun lalu ketika saya berada di Moskow, kawan-kawan Rusia saya mengatakan bahwa kemiskinan di sana sangatlah hebat, sampai-sampai para guru digaji dengan vodka (untuk dibarter dengan barang-barang lain di jalanan) dan ahli bedah top Moskow harus menanam sayuran di halamannya untuk memberi makan keluarganya. Sementara itu bagaikan langit dan bumi, dalam siaran berita radio saya mendengar bahwa warga Moskow terkaya adalah pemilik hak penjualan MercedezBenz. Ini berarti bahwa masih banyak orang di kota itu yang cukup kaya untuk membeli mobil mewah. Jika para profesional yang begitu terlatih seperti guru dan dokter hidup dalam kemiskinan, saya jadi bertanyatanya dari mana para pembeli mobil mewah itu mendapatkan uang. Asaf juga melihat ketidakadilan ini. Dan apa yang ia lihat merobek hatinya. Untuk menggambarkan mereka yang sepertinya memiliki keuntungan karena melakukan hal-hal yang tidak benar, ia menulis dalam ayat 4-9:
Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka; mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain. Sebab itu mereka berkalungkan kecongkakan dan berpakaian kekerasan. Karena kegemukan, kesalahan mereka mencolok, hati mereka meluap-luap dengan sangkaan. Mereka menyindir dan mengatangatai dengan jahatnya, hal pemerasan dibicarakan mereka dengan tinggi hati. Mereka membuka mulut melawan langit, dan lidah mereka membual di bumi.
Mereka yang tidak memiliki waktu untuk Allah menjadi makmur, sedangkan orang beriman menderita. Sebuah penggambaran yang sangat hebat! Lihatlah tingkah laku orang-orang yang egois dan tak bermoral seperti yang digambarkan Asaf sepotong demi sepotong.
Mereka mati tanpa merasakan kesakitan (ay.4). Mereka mati dengan kenyang dan puas. Sepanjang hidup mereka menikmati hidup sepuaspuasnya. Alkitab menyebutnya di bagian terakhir dari ayat 4, “sehat dan gemuk tubuh mereka;� yang melambangkan kemakmuran besar di zaman di mana kebanyakan orang harus berusaha keras untuk bertahan hidup. Mereka tidak mengalami kesusahan atau sakit penyakit seperti orang lain (ay.5). Mereka sepertinya kebal terhadap kesulitan, pergumulan, dan pengorbanan yang normalnya ada dalam hidup. Kesulitan sepertinya bahkan tidak menyentuh orang-orang yang menikmati kemakmuran dengan melakukan kejahatan. Kesombongan dan kejahatan mereka membuahkan kekayaan (ay.6). Iman Asaf mengajarnya untuk percaya bahwa mereka yang menolak Allah akan menderita akibat keputusan mereka itu. Akan tetapi ketika mengamati kehidupan, ia melihat bahwa seolah-olah mereka yang berani untuk menjadi angkuh dan kejam justru dihargai dan mendapatkan upah. 11
Kelimpahan mereka tidak terbayangkan (ay.7). Asaf melihat perwujudan jasmani dari kekayaan mereka yaitu “mata mereka menonjol karena kegemukan” (terjemahan dari Alkitab versi The New American Standard Bible). Perkataan mereka penuh dengan penghinaan, keangkuhan, dan kesombongan (ay.8,9). Siapa yang menjadi sasaran penghinaan mereka? Tidak hanya mereka yang lebih menghargai karakter daripada kekayaan materi, tetapi juga Allah yang mereka percayai.
KESALAHAN YANG UTAMA
Jelaslah bahwa yang paling mengganggu Asaf tentang para orang kaya dan pemberontak ini adalah sikap mereka terhadap Allah. Mereka menghina Dia dengan segala perbuatan mereka. Akhirnya kemakmuran hanya membuat mereka bersikap demikian: Dan mereka berkata, “Bagaimana Allah tahu hal itu, adakah pengetahuan pada Yang Mahatinggi?” (ay.11). Penafsir Alkitab Allen Ross menulis, “Mereka sepertinya sama sekali tidak memikirkan 12
dan tidak merisaukan hari esok. Bagi mereka hidup adalah untuk saat ini, dan saat ini tampaknya tidak akan berakhir.” Mengapa? Mereka merasa bahwa mereka terlindungi dari penderitaan hidup yang normal (ay.4-6). Dengan demikian, mereka beranggapan bahwa mereka juga kebal dari balasan ilahi terhadap sikap, dosa, dan penghinaan yang mereka lakukan.
KESIMPULAN ASAF YANG MENGECILKAN HATI
Ketika Asaf memandang kekayaan dan kebahagiaan yang dimiliki para orang dursila dan egois, ia sampai pada kesimpulan yang mengecilkan hati: Dalam segala kejahatan mereka, mereka yang hidup untuk diri sendiri sepertinya tetap bertambah makmur. Sesungguhnya, itulah orangorang fasik: mereka menambah harta benda dan senang selamanya! (ay.12). Tak heran jika Asaf frustrasi! Ia melihat orang jahat bertambah makmur, dan mereka terlihat kebal terhadap masalah hidup. Mereka menghina Allah dan seolah-olah tak mendapat hukuman. Kesenjangan dan ketidakadilan yang mencolok ini
melatar-belakangi pengakuan Asaf di ayat 3, “Sebab aku cemburu kepada pembualpembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik.” Tak sulit membayangkan bahwa dalam keadaan yang sama, kita pun akan berteriak, “Ini sungguh tidak adil!” Rasa frustrasi Asaf terhadap kesenjangan hidup hanyalah satu hal. Itu hanya permulaan. Bagaimana ia menanggapi ketidakadilan merupakan masalah yang lebih besar lagi.
APA REAKSI ASAF?
F
aith Hill, artis musik country yang terkenal, merekam sebuah lagu yang berjudul, “When The Lights Go Down,” sebuah lagu tentang penderitaan, kesepian, dan yang paling utama, kejujuran. Lagu ini menggambarkan seorang bartender pecandu alkohol yang berjuang melawan keinginannya untuk minum minuman keras, seorang bintang Hollywood yang ditinggalkan “teman-temannya” setelah kemashyurannya meredup, dan seseorang yang bergumul dengan kenyataan akan kekecewaan
yang timbul akibat putusnya suatu hubungan. Itu adalah sebuah lagu tentang kenyataan-kenyataan hidup—dan pertanyaanpertanyaan sulit yang ditimbulkannya. Bagian refreinnya menyuarakan kekosongan hidup (“ketika engkau merasakan kekosongan di dalam jiwamu itu”), dan lebih banyak lagi tentang hidup yang sepertinya tanpa tujuan dan arti: “Saat cahaya memudar dan tak ada yang tersisa, Saat cahaya memudar dan kenyataanlah yang kau lihat, Dan aku bertanya apakah hidupku hanyalah tentang Ketakutan dan keragu-raguan Saat cahaya memudar.” Kata-kata ini, menurut saya, menggambarkan rasa kekecewaan Asaf.
KERAGUAN ASAF
Asaf menyatakan kekhawatiran yang sama dalam mazmurnya— apakah hidup cukup berarti untuk dijalani? Apakah penting bahwa saya telah berusaha untuk hidup demi Allah? Dalam Mazmur tidak banyak ayat yang memaparkan emosi manusia yang blak-blakan dan jujur secara lebih gamblang daripada ayat 13: 13
Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Ini adalah pernyataan yang sangat keras! “Sia-sia” merupakan inti dari keputusasaan Salomo dalam kitab Pengkhotbah. Ketika ia berseru, “Segala sesuatu adalah sia-sia,” ia bermaksud bahwa hidup tidaklah berarti atau berharga. Ia menyimpulkan bahwa semua yang telah ia coba tidak berarti.
Asaf bertanya-tanya apakah usahanya untuk hidup bagi Allah sia-sia belaka. Asaf mengungkapkan perasaan itu di ayat 13 dengan mempertanyakan nilai kepercayaannya kepada Allah. Hidupnya telah dijalani dengan tujuan berupa integritas pribadi dan kesetiaan. Namun sekarang, dalam keputusasaannya, ia bertanya-tanya apakah usahanya itu sia-sia belaka. Akibatnya? Asaf hampir menyerah dan meninggalkan Allah. Reaksi Asaf meliputi sederet pertanyaan yang 14
terdengar sangat lazim bahkan bagi kita: • Apa yang saya dapatkan? • Kapan giliran saya diuntungkan? • Apa untungnya bagi saya? Dalam film bisbol Field of Dreams, Ray Kinsella membangun sebuah lapangan bisbol di tengah ladang jagungnya dan terjadilah halhal ajaib—tetapi hanya kepada orang lain. Akhirnya, dengan gusar ia berkata, “Aku telah melakukan semua yang diminta dariku! Aku tidak paham, tetapi aku telah melakukannya; dan tak sekali pun aku bertanya, ‘Apa untungnya bagiku?’” Ketika Joe, temannya, bertanya, “Apa maksudmu Ray?” Kinsella menjawab, “Maksudku, apa untungnya bagiku?” Hal itu tampaknya sangat mirip dengan apa yang dipikirkan Asaf. Ada amarah yang begitu kuat di balik kata-kata dalam ayat 13. Dan lebih dari itu, ada suatu kebenaran yang lain. Ketika sepertinya Allah tidak memegang kendali, keraguan dapat membuat kita ingin menyerah. Inilah kesaksian Salomo dalam kitab Pengkhotbah. Ia menutup pencariannya akan kepuasan dengan kata-kata,
“Oleh sebab itu aku membenci hidup . . .” (2:17).
Ketika sepertinya Allah tidak memegang kendali, keraguan dapat membuat kita ingin menyerah. Asaf sangat kecewa sehingga ia merasa jika menjaga kesucian hati sepertinya sia-sia. Lagi pula, apa yang ia dapat dari komitmen rohaninya? Yang ia dapatkan hanya tulah dan hukuman. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi (ay.14). Kita dapat memahami reaksinya—“Itu tidak masuk akal. Jadi kenapa repot-repot?”
KETAKUTAN ASAF
Perhatikan reaksi Asaf terhadap pengertian yang baru ia dapatkan: Seandainya aku berkata, “Aku mau berkata-kata seperti itu,” maka sesungguhnya aku telah berkhianat kepada angkatan anak-anakmu (ay.15). Ia ingin menyatakan ketidaksetujuannya terhadap cara Allah
dalam mengatur kehidupan (“seperti itu” mengacu pada ayat 13,14)—tetapi ia berhenti di situ. Seakan-akan tinggal selangkah lagi ia akan membuang iman dan harapannya, dan bahkan Allah. Namun ketika ia merenungkan posisinya yang berbahaya ini, tampaknya ada sesuatu yang menariknya kembali. Apakah itu? Asaf adalah seorang yang mengemban beban kepemimpinan. Ia adalah kepala para pemusik Daud, juga menjadi penulis mazmur dan pelihat (1 Taw. 16:5, 25:2; 2 Taw. 29:30). Ia adalah seorang tokoh yang memberikan pengaruh rohani—setara dengan pemimpin musik dan pujian pada masa kini. Namun, ia mulai meragukan kebaikan Allah. Padahal ia memimpin orang-orang untuk memujiNya. Jabatan Asaf memiliki tanggung jawab besar karena pengaruh yang diembannya. Seiring dengan hak istimewa dari jabatan itu, muncul beban yang harus ditanggung tentang bagaimana jabatan itu digunakan untuk mempengaruhi kehidupan rakyat. Film The Four Feathers membantu penggambaran beratnya beban yang muncul dari tanggung jawab. Harry 15
Faversham digambarkan sebagai seorang pemuda di angkatan bersenjata Inggris pada akhir tahun 1800-an. Pada masa itu, ketika Kerajaan Inggris tak pernah mengalami kekalahan, tak ada kehormatan yang lebih besar yang dapat dibawa oleh seorang pemuda untuk mengharumkan keluarga dan namanya selain mengabdi pada angkatan bersenjata Inggris. Harry masuk angkatan bersenjata bersama temantemannya. Ia dihormati di dalam resimennya, dan sepertinya ia berada pada “jalur yang benar.” Namun, tiba-tiba resimennya mendapat pengumuman bahwa mereka akan diterjunkan ke Sudan untuk memadamkan sebuah pemberontakan—dan Harry ketakutan. Bayang-bayang pertempuran dan kengerian perang melumpuhkannya dengan rasa takut. Harry pun mengundurkan diri. Dampak dari keputusannya yang sangat pribadi tersebut semakin berkembang. Ia dijauhi oleh kawan-kawannya. Mereka masing-masing mengiriminya sehelai bulu putih—yang mereka anggap sebagai lambang untuk pengecut dan penghinaan. Ia ditolak oleh tunangannya, yang menginginkannya menjadi 16
seorang pahlawan. Ia pun diasingkan oleh ayahnya— seorang tokoh militer—yang menyatakan bahwa ia bahkan tidak mengenal Harry. Harry telah membuat sebuah keputusan yang dampaknya sangat merusak semua hubungan pribadi dalam hidupnya. Asaf juga bergumul dengan keinginan untuk meninggalkan Allah. Ia ingin meninggalkan semua komitmennya. Namun ia memandang ke depan dan melihat dampak negatif yang mungkin timbul dari pilihan semacam itu terhadap orangorang di sekitarnya. Bagaikan
Asaf ingin meninggalkan komitmennya. Tapi ia memandang ke depan dan melihat efek negatif yang mungkin timbul dari pilihan semacam itu terhadap orang-orang di sekitarnya. sebuah batu yang dilemparkan ke danau yang tenang, riak kegagalannya akan menyebar dan mempengaruhi mereka yang
berada jauh di luar lingkaran pribadinya. Semua kepicikan dan kegagalan iman itu berbahaya. Akan tetapi potensi daya rusaknya menjadi berlipat ganda karena luasnya jangkauan pengaruh seseorang.
RASA TANGGUNG JAWAB ASAF
Asaf ingin melampiaskan kemarahan dan kegusarannya pada ketidakadilan dan kecurangan dalam hidup—serta kepada Allah yang membiarkan hal-hal itu terjadi. Namun ia segera menghentikannya. Ia menahan diri untuk tidak menyatakan semua yang ada di hatinya karena hal itu dapat menyebabkan luka dan kekecewaan umat Allah yang menjadi tanggung jawabnya. Bacalah ayat 15 sekali lagi dan perhatikan kekhawatirannya: Seandainya aku berkata, “Aku mau berkata-kata seperti itu,� maka sesungguhnya aku telah berkhianat kepada angkatan anak-anakmu. Asaf menahan diri untuk tidak menyatakan semua ketakutan dan keraguannya karena ia memikirkan dampak negatif yang mungkin timbul pada sesama anak Allah. Inilah titik
penting dalam pikiran Asaf, karena hikmat sejati dalam pikirannya mengatasi keraguan dan ketakutannya. Bahkan di tengah pergumulannya, Asaf mengendalikan sejumlah kerusakan dengan memikirkan dampak yang mungkin timbul karena amarahnya yang membara, kecemburuan, dan keraguannya terhadap kehidupan sesamanya. Hal ini juga menjadi pengingat bagi kita, karena kita pun harus mampu membuat pertimbangan. Dengan siapa kita dapat berbagi kekhawatiran, ketakutan, keraguan, dan krisis yang kita alami? Sangat berbahaya jika kita tanpa sadar melakukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan terhadap seorang yang belum dewasa imannya. Kita semua saling bertanggung jawab. Dan rasa tanggung jawab terhadap sesama itulah yang membuat kita dapat mengendalikan serta menguasai diri ketika mengatasi amarah dan perasaan dikhianati yang kita alami.
PENDERITAAN ASAF DALAM KESUNYIAN Asaf tidak dapat menyatukan iman dan kepercayaannya dengan keraguannya, tetapi ia
17
tidak mau merusak sesamanya dengan mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya. Jadi apa yang ia lakukan? Ia memilih jalan yang lain: Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku (ay.16). Asaf memilih untuk menanggung penderitaan— secara diam-diam. Dan betapa berat penderitaannya itu! Usahanya untuk memahami penderitaannya saja sangat menyakitkan. Ia bergumul dengan ketidakadilan dalam hidup dan imannya yang rapuh, dan ia pasti bertanya-tanya: • Kapan pertanyaanpertanyaanku akan terjawab? • Kapan penderitaan ini akan berujung pada kelegaan? • Kapan akan ada keadilan di dunia? • Kapan semuanya ini dapat dipahami?
DI MANA ASAF MENEMUKAN JAWABAN?
H
idup ini penuh dengan pertanyaan—ke mana kita mencari jawaban? Salah satu acara TV tentang perbaikan rumah, This Old House, baru-baru ini menambahkan segmen baru yang berjudul “Ask This Old House.” Orang-orang didorong untuk mengirimkan pertanyaan tentang pipa air, pertamanan, pertukangan, atau yang lainnya, melalui surat atau surel (surat elektronik) kepada para ahli dalam acara itu. Jawabannya lalu disiarkan bersama tayangan tersebut. Saat ini saya dan istri saya sedang melakukan renovasi “rumah tua” kami, jadi ini adalah bantuan yang menarik hati kami.
Mutu jawaban yang kita terima tergantung kepada siapa kita mencari jawaban. Namun, ada pertanyaanpertanyaan lain yang tidak dapat 18
dijawab oleh media massa atau tim ahli mereka. Terkadang kita tidak mendapatkan jawaban sebelum kita masuk dalam hadirat Allah. Begitulah pengalaman Asaf. Ia mengatakan bahwa ia terus bergumul . . . Akhirnya aku masuk ke Rumah Tuhan, lalu mengertilah aku . . . (ay.17 BIS).
KEBUTUHAN KITA AKAN PERLINDUNGAN
Seruan Quasimodo, si bongkok dari Notre Dame yang menyayat hati, “Tempat kudus, tempat kudus!” menjadi seruan semua orang yang menderita. Quasimodo memandang tempat kudus sebagai tempat perlindungan. Namun Asaf justru mendapati itu sebagai tempat di mana ia akan menemukan jawaban. Kata tempat kudus muncul di seluruh Perjanjian Lama. Terkadang kata itu dipakai untuk menyebut tabernakel, kemah pertemuan yang dulunya menjadi tempat ibadah bagi orang Israel sebelum bait suci Yerusalem dibangun (Kel. 25:8; 36:1,6). Pada kesempatan lain, kata itu tampaknya merujuk pada bait suci itu sendiri (1 Ra. 6).
Terkadang kata tempat kudus tidak merujuk pada bangunan tertentu melainkan pada suatu gagasan—gagasan untuk tinggal di dalam hadirat Allah (Yes. 8:14). Itulah yang Daud dambakan dalam Mazmur 23 ketika ia merindukan “air yang tenang” (ay.2), di mana Tuhan—Gembalanya—akan menyegarkan jiwanya. Itulah yang dicari Kristus sendiri, ketika menjadi manusia, pada saat Dia sering menjauhkan diri dari orang banyak, pekerjaan-Nya, murid-murid-Nya, dan pergi sendirian ke sebuah gunung untuk menghabiskan waktu bersama Bapa-Nya. Tempat kudus menunjukkan konsep dari suatu tempat yang dikhususkan untuk perlindungan, peristirahatan, dan pembaruan rohani. Kita semua membutuhkan tempat semacam itu—tempat persembunyian rohani di mana hati kita dipulihkan dan diberi kekuatan untuk menghadapi pergumulan hari ini dan tantangan hari esok.
TEMPAT KUDUS ASAF Asaf mendapatkan pemulihan seperti itu. Dalam ayat 17, ia “masuk ke dalam tempat kudus Allah” dan mendapatkan wawasan serta pemahaman
19
baru. Dalam hadirat Allahnya, semuanya berubah kecuali keadaan di sekeliling Asaf. Pandangan mata Asaflah yang dikoreksi. Dengan cara pandang terhadap Allah yang diperbarui, Asaf mendapati masalahmasalah kecil menjadi jelas. Sebelum masuk ke tempat kudus, Asaf tidak tahan menghadapi tidak adilnya kondisi saat itu. Namun ketika berada di tempat kudus, Asaf melihat bahwa ketidakadilan itu akan terlihat sangat berbeda pada hari Allah mengadili musuh-musuh-Nya.
Dengan cara pandang terhadap Allah yang diperbarui, Asaf mendapati hal-hal kecil yang semula tampak kabur kini menjadi jelas. Untuk menjelaskan mengapa Asaf bersikap picik dan terlalu terpaku dengan dirinya sendiri sebelum ia masuk ke tempat kudus Allah, penafsir Alkitab Roy Clements menuliskan: 20
Penyembahan menempatkan Allah pada pusat pandangan kita. Ini sangat penting karena hanya saat Allah menjadi pusat pandangan, maka kita melihat keadaan sebagaimana adanya. Menurut Derek Kidner dalam Tyndale Old Testament Commentaries (Tafsiran Perjanjian Lama Tyndale), solusi masalah mulai terjadi ketika Asaf datang kepada Allah sendiri—“bukan sebagai objek spekulasi, melainkan sebagai objek penyembahan.� Apa saja pelajaran kekal yang Asaf peroleh ketika bertemu Allah dalam penyembahan?
Akhir Pemberontakan
. . . sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka. Sesungguhnya di tempattempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur. Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan! Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina (Mzm. 73:17-20).
Yang pertama dari beberapa pelajaran penting, perhatian Asaf diarahkan kepada mereka yang membuatnya iri hati. Pada ayat 2-3, Asaf melihat kemakmuran mereka dan menjadi sangat iri sehingga ia hampir tergelincir dan jatuh. Akan tetapi itu terjadi ketika Asaf memandang mereka dalam perspektif horisontal. Namun, dalam tempat kudus Allah, perspektif Asaf diubah menjadi vertikal—dan yang dilihatnya sangatlah berbeda. Akhirnya ia dapat melihat apa yang Allah lihat, dan mengerti bahwa mengerikan sekali yang akan terjadi pada orang fasik. Tidak Adanya Perlindungan (ay.18). Menurut perspektif dunia, orangorang itu tampak terlindungi. Mereka tampaknya “kebal” dan jauh dari masalah. Namun dalam pandangan Allah, mereka berdiri di tanah yang goyah (“tempat yang licin”) dan menuju kehancuran. Ketika Asaf melihat bagaimana keadaan mereka pada hari penghakiman, ia tidak lagi merasa iri kepada mereka. Tidak Adanya Persiapan (ay.19). “Orang fasik yang mujur” itu tidak saja sedang menuju penghakiman, mereka bahkan juga tidak menyadari
kapan tibanya hari penghakiman tersebut. Seperti orang-orang pada zaman Nuh yang menolak peringatan yang diberikan selama bertahun-tahun, ketika penghakiman itu datang, mereka akan terlambat untuk melakukan sesuatu. Tidak Adanya Harapan (ay.20). Ketika Allah bertindak terhadap mereka, penghakimanNya akan datang tanpa ampun. Dalam waktu dan hikmat Allah, “prinsip pembalasan” yang diyakini Asaf akan ditegakkan (lihat hlm. 4,5). Akan tetapi, Allahlah yang akan menentukan waktu dan tempatnya. Bersama bangsa Israel pada zaman Perjanjian Lama, Asaf memahami prinsip pembalasan yang adil. Kesalahannya adalah ia berusaha menyaksikan keadilan Allah pada zaman di mana Allah masih menyatakan kebenaran dan kemurahan hatiNya bagi orang fasik yang mujur itu. Hanya di tempat kudus Allah, ia melihat dengan jelas penghakiman terhadap orangorang fasik yang egois itu sama pastinya dengan penggenapan janji-janji Allah bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Namun hal itu tidak akan terjadi pada saat itu juga. Allah 21
mengendalikan jam dan kalender pertanggungjawaban. Perspektif baru Asaf membuat sikapnya berubah. Akan tetapi penghakiman yang muncul dalam pandangannya sama sekali bukanlah alasan untuk dirayakan. Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan Allah, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel? (Yeh. 33:11). Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat (2 Ptr. 3:9). Bagi Asaf, penghakiman yang akan datang bagi orangorang fasik merupakan suatu peringatan. Dengan cara yang tidak ia duga, amarahnya surut. Sekarang, bukannya menudingkan tangan kepada mereka yang tampaknya lolos dari penghakiman Allah, ia 22
justru mulai memandang dirinya sendiri.
Awal Hikmat
Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu (ay.21-22). Di tempat penyembahan, Asaf mendapati bahwa sebenarnya yang harus ia keluhkan bukanlah para pembangkang moral, atau bahkan Allah. Sekarang Asaf dapat melihat bahwa masalah sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia terlalu berkutat pada ketidakadilan hidup, bukannya kepada Dia yang akan menghakimi dengan sempurna dan adil.
Asaf terlalu berkutat pada ketidakadilan hidup, bukannya kepada Dia yang akan menghakimi dengan sempurna dan adil. Dengan membiarkan konflik iman seperti itu melanda dirinya, Asaf telah mengorbankan
kenyamanan dan ketenangan yang seharusnya dirancang untuk dihadirkan oleh iman. Dalam ayat 21-22 terlihat jelas pemulihan rohani sang pemazmur. Perhatikan urutan kejadiannya. • Dalam ayat 2, Asaf menyadari apa yang hampir ia lakukan terhadap dirinya sendiri, dan ia merasa prihatin karenanya. • Dalam ayat 15, Asaf menyadari apa yang hampir ia lakukan terhadap sesama orang percaya, dan ia menjadi bungkam. • Dalam ayat 21-22, Asaf melihat dengan jelas sikap dan tindakannya merupakan pelanggaran terhadap keadilan Allah yang sesungguhnya. Kita tidak mungkin menghindari keterusterangan yang Asaf pakai untuk menggambarkan dirinya. Ia tidak menganggap dirinya layak untuk marah atau sekadar memperlihatkan “kejengkelan yang pada tempatnya”. Ia berkata, “Hatiku merasa pahit.” Mungkin hal yang paling sulit untuk diakui tentang diri sendiri adalah bahwa kita merasa bersalah karena menyimpan kepahitan hati terhadap orang lain. Namun tampaknya kepahitan hati Asaf ditujukan kepada Allah
sendiri. Dan hal itulah yang akhirnya sangat ia sesali. “Ketika buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya.” Asaf sampai pada titik di mana ia mengalami penderitaan pribadi. Dan ini adalah jenis penderitaan yang paling parah— jenis penderitaan yang berasal dari luka yang ditimbulkan diri sendiri. Kerap kali, apa yang kita lakukan terhadap diri sendiri jauh lebih buruk daripada yang mungkin dilakukan oleh orang lain. Ini terjadi terutama jika kita menempatkan diri kita dalam apa yang disebut John Bunyan sebagai “Kancah Penderitaan” dalam bukunya yang berjudul The Pilgrim’s Progress (Perjalanan Seorang Musafir). Kita melakukannya dengan mempertanyakan kebaikan, karakter, dan kesetiaan Allah. “Aku dungu dan tidak mengerti.” Penafsir Alkitab, James M. Boice, menulis: [Asaf] melihat bahwa dengan mempertanyakan cara Allah mengatur kehidupan, ia tidak berlaku bijak, tetapi ia justru menjadi “dungu dan tidak mengerti.” Kita harus selalu ingat bahwa Allah berkata, “Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu, 23
dan jalanmu bukanlah jalanKu” (Yes. 55:8). Bagi kita, mempertanyakan atau mengkritik hikmat Allah, atau berusaha menilai kinerja Allah merupakan upaya untuk melakukan tugas yang tak mampu kita lakukan. Hikmat-Nya adalah sempurna dan kekal, dan Dia tidak melakukan kesalahan.
Pekerjaan Allah saat ini dapat dipercaya karena hanya Dia yang memiliki pengetahuan yang sempurna akan masa yang akan datang. Ketika tergoda untuk mempertanyakan cara Allah menangani sesuatu, kita akan tertolong jika mengingatkan diri kita sendiri bahwa pekerjaan Allah saat ini dapat dipercaya karena hanya Dia yang memiliki pengetahuan yang sempurna akan masa yang akan datang. “Seperti hewan aku di dekat-Mu.” Asaf memakai kata hewan sebagai kiasan dalam ayat ini. Perkataannya mengingatkan pada apa yang ditulis Daniel 24
tentang Nebukadnezar, raja Babel yang agung. Ketika Nebukadnezar dengan sombong merayakan hikmat dan kebesarannya sendiri, Allah membuat Nebukadnezar berpikir dan bertingkah laku seperti hewan liar. Ia tinggal di padang di mana ia memakan rumput selama tujuh tahun. Dan ketika Allah dengan murah hati memulihkan akal budinya, Nebukadnezar membuat pernyataan yang amat dalam ini: Tetapi setelah lewat waktu yang ditentukan, aku, Nebukadnezar, menengadah ke langit, dan akal budiku kembali lagi kepadaku. Lalu aku memuji Yang Mahatinggi dan membesarkan dan memuliakan Yang Hidup kekal itu, karena kekuasaanNya ialah kekuasaan yang kekal dan kerajaan-Nya turuntemurun. Semua penduduk bumi dianggap remeh; Ia berbuat menurut kehendakNya terhadap bala tentara langit dan penduduk bumi; dan tidak ada seorang pun yang dapat menolak tanganNya dengan berkata kepadaNya, “Apa yang Kaubuat?” (Dan. 4:34,35). Tak seorang pun dari kita yang memiliki kapasitas untuk
memahami segala keajaiban dan cara Allah surgawi. Sama seperti raja Babel, ketika Asaf datang ke hadirat Allah, ia menganggap dirinya sendiri tidak layak untuk menghakimi Allah karena bertindak tidak adil.
Allah yang Berkelimpahan
Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku. Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan (ay.23-24). Ketika berada di tempat kudus Allah, Asaf menemukan pandangan yang baik akan Allah, ia mendapati dirinya dipenuhi rasa syukur yang berlimpah serta kepercayaan kepada Allah. Dengan antusiasme yang baru ia menyatakan: Allah akan senantiasa bersama kita. Ketika melewati hari-hari yang gelap dalam hidupnya, Asaf melihat bahwa ia tidak sendiri. Ia keluar dari tempat kudus Allah dengan yakin bahwa tidak ada sumber keteguhan hati yang lebih besar daripada pengertian bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan atau mengabaikan kita. Jaminan yang sama diberikan oleh Kristus
kepada murid-murid-Nya ketika Dia berkata, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Allah akan mengangkat kita. Asaf tidak hanya dapat mengandalkan penyertaan Allah, ia juga dapat yakin bahwa Tuhan sendiri akan menguatkannya—suatu kenyataan yang menenangkan hati pada saat hidup terasa berat. Pemikiran yang sama diutarakan Rasul Paulus ketika ia menuliskan, “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah” (2 Kor. 3:5). Allah akan menuntun kita dengan nasihat-Nya. Pemazmur tidak hanya mendapatkan jaminan penyertaan dan kekuatan dari Allah, tetapi ia juga dapat mengandalkan Roh dan firman Allah untuk menuntunnya pulang. Allah akan menerima kita ke dalam kemuliaan. Mungkin penemuan Asaf yang paling indah adalah bahwa penyertaan, kekuatan, dan hikmat Allah tidak akan berakhir. Asaf tahu bahwa pada saat kehidupan berhenti, Allah akan memenuhi janji25
Nya untuk tinggal bersama Dia selama-lamanya. Inilah sumber penguatan yang dahsyat bagi mereka yang hidup dalam dunia yang telah jatuh ini! Seperti inikah perlakuan dari Allah yang telah melupakan dan meninggalkan kita? Tentu tidak. Ini menggambarkan perlakuan dari Allah yang tidak akan pernah meninggalkan atau mengabaikan kita (Ul. 31:6,8; Ibr. 13:5). Saya memiliki seorang sahabat yang luar biasa di Moskow bernama Tamara Platova. Setiap hari ia menunjukkan keyakinan yang teguh kepada Allah ketika ia menghadapi kehidupan di tempat yang sulit dan tidak bertambah mudah. Ia menjadi orang Kristen selama masa komunisme dan mengalami kesulitan serta aniaya. Itu merupakan harga yang harus dibayar karena mengikuti Juruselamat dalam rezim totaliter tersebut. Karena ia dianggap melakukan “kejahatan� dengan menjadi pengikut Kristus, kesempatannya untuk menikmati pendidikan, pekerjaan, pelatihan, dan terutama pelayanan menjadi terbatas. Dengan runtuhnya negara komunis pada awal 1990-an, muncullah harapan bahwa 26
negara dan perekonomiannya akan menganut perdagangan bebas dan menjadi calon negara adikuasa yang demokratis. Akan tetapi hal itu tidak terjadi. Kondisi ekonomi orangorang seperti Tamara di masa kebebasan ternyata jauh lebih buruk dibandingkan ketika mereka berada di bawah tirani komunis. Sekarang di usia 60-an, Tamara bekerja sampai 80 jam seminggu untuk dapat berjuang mempertahankan hidup. Meski demikian, pada saat saya bersama Tamara, saya tidak mendengar keluhankeluhan tentang semua kesulitan hidup atau keraguan tentang kebaikan Allah. Hidupnya—baik perkataan maupun perbuatan— menjadi teladan hidup tentang keyakinan yang tenang dan kuat dalam Allah yang penyertaan, pertolongan, dan pengharapanNya merupakan sukacita dalam hidupnya. Seperti yang dipelajari oleh Asaf di tempat kudus Allah, kehidupan Tamara menyuarakan janji dari mazmur sang gembala: Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku (Mzm. 23:4).
APA YANG ASAF PELAJARI DARI PERGUMULANNYA
D
alam ayat-ayat penutup di Mazmur 73, Asaf menuturkan tentang apa yang ia pelajari dari pergumulannya. Jika kita menelaah ayat 25-28, muncul empat prinsip yang mendalam, yang dapat diterapkan dalam berbagai keadaan hidup. yang indah.
PRINSIP #1: Allah Lebih Penting daripada Semua Hal Lain dalam Hidup.
Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi (ay.25). Asaf menyadari bahwa akhirnya hanya Allah yang ia miliki dan perlukan. Ia dapat bersandar pada pemeliharaanNya dan berkeyakinan bahwa tak ada hal lain yang layak untuk dibandingkan dengan Tuhannya.
PRINSIP #2: Hanya Allahlah Kekuatan yang Kita Butuhkan.
Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya (ay.26). Ketika Asaf tergoda untuk mengandalkan kekuatannya sendiri atau membuat jalan keluar sendiri, ia mendapati bahwa hanya di dalam Allahlah ia dapat menemukan kekuatan tanpa batas yang ia perlukan sekarang dan selamanya.
PRINSIP #3: Allah Akan Bertindak Adil Seperti Halnya Dia Murah Hati.
Sebab sesungguhnya, siapa yang jauh dari pada-Mu akan binasa; Kaubinasakan semua orang, yang berzinah dengan meninggalkan Engkau (ay.27). Asaf mendapati dirinya iri terhadap orang fasik dan kemakmuran mereka (ay.3). Ia bergumul dengan kesenjangan hidup yang jelas terlihat (ay.412). Asaf bahkan sampai pada titik di mana ia merasa bahwa hidupnya untuk Allah adalah sia-sia (ay. 13). Namun pada akhirnya, Asaf mengakui bahwa hal-hal tersebut harus diserahkan kepada Allah. Seperti yang dikatakan Abraham, “Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil? 27
(Kej. 18:25). Ya—dan Asaf telah belajar meyakini bahwa Tuhan, dalam waktu dan hikmat-Nya sendiri, akan membereskan semua ketidakadilan dalam hidup dengan sikap murah hati tetapi tetap adil.
PRINSIP #4: Allah Mendekat Pada Mereka yang Mendekat Kepada-Nya.
Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan Allah, supaya dapat menceritakan segala pekerjaanNya (ay.28). Asaf tidak bertanggung jawab untuk menghukum dunia atau berusaha memanipulasi keadilan dari ketidakadilan. Seperti Yakobus, Asaf belajar bahwa tanggung jawabnya dalam hidup adalah, “Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu” (Yak. 4:8). Jadi, apa kesimpulan Asaf? Realitas alkitabiah dan teologis bahwa Allah—dalam kebaikan dan kemahakuasaan-Nya— memegang kendali termasuk saat kita menderita dan tidak tahu penyebabnya. Inilah jaminan yang meyakinkan, bahkan jika hidup terasa tidak adil sekalipun, Allah akan selalu adil. 28
Dengan iman, Asaf akhirnya mengerti dan percaya. Ia menutupnya dengan suatu pengakuan berdasarkan keyakinan pribadi yang dalam dan teruji seperti yang ia sebutkan ketika mengawali kisahnya: Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya (ay.1).
Di tempat kudus Allah, Asaf belajar melalui penderitaan, air mata, kehilangan, dan kekecewaan bahwa keadaan hidup tidak menghilangkan kebaikan Allah. Di akhir masa pergumulannya melawan keraguan, ia menyadari bahwa Allah memang memberkati mereka yang “bersih hatinya”. Hati adalah kuncinya. Bahkan, kata hati muncul enam kali dalam mazmur ini (ayat 1,7,13,21,26). Berulang kali Asaf menggambarkan
keadaan hatinya—bukan situasi hidupnya—sebagai elemen kunci dari hidup bersama Allah. Oleh karena itu, Kristus sendiri dapat menyatakan: Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah (Mat. 5:8). Di tempat kudus Allah, Asaf belajar melalui penderitaan, air mata, kehilangan, dan kekecewaan bahwa keadaan hidup tidak menghilangkan kebaikan Allah. Pada kenyataannya, pelajaran dalam pengalaman Asaf kemungkinan adalah justru pada masa-masa kegelapan hidup, kemuliaan dari kebaikan Allah terlihat paling jelas. Kebaikan Allah yang kita pelajari pada masamasa kegelapan membuat terang menjadi lebih berarti saat kita melihatnya. Harapan inilah yang memungkinkan Fanny Crosby (1820-1915) menulis lagu-lagu tentang sukacita, damai, dan surga, meski ia buta. Mungkin inilah alasan mengapa dari ratusan himne yang ditulis Fanny, kata-kata terbaiknya ada di dalam himne ini: Di jalanku ‘ku diiring oleh Yesus, Tuhanku. Apakah yang kurang lagi, jika Dia Panduku?
Diberi damai sorgawi, asal imanku teguh, suka duka dipakai-Nya untuk kebaikanku; suka duka dipakai-Nya untuk kebaikanku. (Kidung Jemaat, No. 408)
Sungguh perkataan yang hebat! Kata-kata itu bukan berasal dari orang yang hidupnya penuh kemudahan, bebas dari kepedihan, dan menikmati kenyamanan. Itu adalah katakata dari seorang wanita yang telah belajar bahwa entah apa pun keadaan dan pergumulan hidup yang dihadapi, Tuhan kita melakukan segala sesuatu dengan baik. Mengenal Allah dan mempercayai kebaikan-Nya membuat kita terhindar dari semata-mata memandang keadaan di luar diri kita dan secara keliru menganggap bahwa Allah tidak mengendalikan keadaan, atau tidak adil, atau tidak peduli. Perbedaan cara pandang ini timbul dari pengenalan yang dalam akan Allah. Hanya dengan demikian, kita dapat percaya kepada Dia sepenuhnya. Di tempat kudus-Nya, Asaf belajar bahwa hubungan semacam ini dibangun dan 29
dikembangkan dalam pujian serta penyembahan. Hubungan ini menyelipkan hal-hal kekal ke dalam masalah-masalah hidup sehari-hari. Dan hal ini mengingatkan kita bahwa Allah tidak menyusun perhitunganNya dengan mengikuti jadwal kita. Seperti syair pujian yang ditulis oleh Diane Ball yang mengatakan: Saat-Nya, saat-Nya Ia ‘kan genapkan pada saat-Nya. Tunjukkanlah padaku mengerti kehendak-Mu ‘ku mau taat pada-Mu Tuhanku. (Buku Lagu Perkantas, No. 95)
MENJAWAB PERTANYAAN TENTANG KEKEKALAN
A
lkitab tidak menjanjikan hidup yang bebas dari penderitaan, kesulitan, atau kehilangan kepada orang percaya. Orang Kristen tidak bebas dari pergumulan, sakit hati, atau kekecewaan. Dan terkadang kita akan mendapati bahwa di tengah masa-masa 30
sukacita dan berkat akan muncul masa-masa di mana kita sangat memerlukan cara pandang yang diperbarui. Alkitab berjanji kepada mereka yang percaya kepada Kristus bahwa mereka akan memiliki seorang Teman dalam perjalanan yang akan menolong, mendorong, dan menguatkan mereka pada saat menghadapi situasi apa pun yang mungkin menghadang mereka. Dia adalah Pribadi yang telah berjanji: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata, “Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Ibr. 13:5-6). Supaya dapat memiliki keyakinan seperti ini kita harus hidup dengan teguh di tengah dunia yang penuh dengan kebimbangan. Dia adalah Pribadi yang menjadi Tempat Kudus kita. Apabila Anda mengenal Kristus, perkenankanlah Dia membangun harapan dari penyertaan-Nya ke dalam pengalaman hidup Anda. Jika Anda belum percaya kepada Kristus, Anda tahu bahwa dunia ini adalah sebuah tempat yang
penuh kesulitan dan pergumulan. Akan tetapi Anda tidak harus menghadapi sendirian segala masalah tersebut. Yesus Kristus datang dalam dunia untuk memulihkan hubungan kita dengan Allah yang terputus dan untuk memberi kita hidup yang memiliki tujuan dan arti, sekarang dan selamanya. Rasul Yohanes menulis: Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16). Apa yang Asaf pelajari dalam perlindungan Allah, dapat Anda temukan dengan menerima kasih dan pengampunan Allah. Dan ketika memasuki hubungan yang baru dengan Kristus, Anda akan mendapati bahwa sesungguhnya Dialah pertolongan dan harapan yang Anda perlukan dalam kehidupan—dan dalam kekekalan.
Buklet Seri Terang Ilahi (STI) berjudul “Mengapa Hidup Begitu Tidak Adil?” diterbitkan dan didistribusikan oleh PT. Duta Harapan Dunia (DHD) yang merupakan anggota keluarga RBC Ministries. Selama 70 tahun terakhir ini, RBC Ministries telah mengajarkan firman Allah dengan maksud untuk membawa orang-orang dari segala bangsa agar dapat memiliki iman dan kedewasaan di dalam Kristus. Landasan inilah yang menopang kerinduan DHD untuk menjadi saluran berkat di Indonesia dengan cara menyediakan literatur rohani yang dapat menguatkan dan memperlengkapi para pembaca agar semakin mengenal Allah dan memperoleh penghiburan, wawasan, dan penguatan iman melalui firman-Nya. Adapun buku-buku yang dapat diperoleh melalui PT. Duta Harapan Dunia: • Santapan Rohani Tahunan (SR) Buku renungan tahunan yang dirancang untuk digunakan sebagai makanan rohani sehari-hari. • Seri Kehidupan Kristen— Pedoman Dasar Hidup Kristen Buku pedoman yang membuat Anda mengerti siapakah Allah itu dan memperluas pengetahuan Anda tentang iman Kristen. • Seri Hikmat Ilahi (SHI) Bahan Pendalaman Alkitab untuk pribadi maupun kelompok. • Seri Terang Ilahi (STI) Buklet yang mengulas beragam topik yang membuka wawasan rohani orang Kristen. Informasi lebih lanjut, hubungi: PT. Duta Harapan Dunia PO Box 3500 Jakarta Barat 11035 Tel.: (021) 7111-1430; 2902-8955 Fax.: (021) 5435-1975 E-mail: info@dhdindonesia.com Situs: www.dhdindonesia.com
Indonesian Discovery Series ‘Why Is Life So Unfair?’
Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang. Anda dapat mendukung kami dalam melaksanakan misi tersebut melalui persembahan kasih. Klik link di bawah ini untuk informasi dan petunjuk dalam memberikan persembahan kasih. Terima kasih atas dukungan Anda untuk pengembangan materi-materi terbitan Our Daily Bread Ministries. Persembahan kasih seberapa pun dari para sahabat memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.
DONASI