10 minute read
Yang Dialami oleh Yesus
Saya pernah mendengar seorang pengkhotbah mengatakan bahwa ada hal-hal dalam hidup ini yang lebih baik dialami daripada diceritakan.
Maksudnya, hidup ini bukanlah teori semata. Hidup ini perlu dialami, dan tidak ada yang dapat menggantikan pengalaman nyata tersebut. Coba tanyakan kepada para pemain yang berlaga di pertandingan final Piala Dunia untuk pertama kalinya. Tak ada yang dapat menyiapkan mereka untuk liputan media yang ingar bingar, berada di muka publik terus-menerus, atau tekanan luar biasa besar untuk berlaga di pertandingan terpenting dalam hidup mereka, dengan disaksikan oleh miliaran pemirsa televisi di seluruh dunia. Para pemain yang kemudian berlaga kembali dalam situasi serupa berbicara terus terang tentang keuntungan yang didapat dari pengalaman mereka sebelumnya. Sungguh suatu momen yang lebih baik dialami daripada diceritakan.
Ini salah satu alasan yang menjadikan inkarnasi Yesus begitu menakjubkan. Dia tidak semata-mata mengambil rupa manusia untuk menjadi penonton. Kristus datang untuk sepenuhnya dan seutuhnya mengalami kehidupan manusia. Yesus tidak datang ke dunia ini hanya untuk mengamati kehidupan di dunia yang rusak oleh dosa, melainkan untuk mengalami seluruhnya. Apa yang dialami-Nya mencakup saat-saat paling sulit dalam kehidupan manusia.
Sengsara Karena Ditolak. Kita semua pernah mengalami penolakan. Bagi sebagian orang, penolakan itu berupa hubungan yang gagal. Bagi yang lain, itu berupa pemutusan hubungan kerja yang tak disangka-sangka. Ada yang ditolak ketika tidak terpilih dalam regu olahraga atau gagal melangkah ke babak berikutnya pada suatu ajang pencarian bakat (atau apa pun yang setara dalam kehidupan sehari-hari).
Mengapa penolakan terasa begitu pahit? Penolakan secara halus (atau terkadang secara gamblang) memberi tahu bahwa kita tidak diinginkan, tidak dibutuhkan, atau tidak bernilai—dan semua isyarat itu melahirkan perasaan tidak berharga yang sangat kuat dalam diri kita. Meski begitu, pertanyaan yang lebih besar adalah: Jika penolakan bisa membuat kita merasa tidak berharga, apa yang kita pikirkan ketika melihat Pribadi termulia di sepanjang sejarah juga mengalami penolakan? Kita menyaksikan hal itu terjadi pada dua tingkatan di Lukas 13:
Pada waktu itu datanglah beberapa orang Farisi dan berkata kepada Yesus: “Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau.” Jawab Yesus kepada mereka: “Pergilah dan katakanlah kepada si serigala itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, pada hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai. Tetapi hari ini dan besok dan lusa Aku harus meneruskan perjalanan-Ku, sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem. Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkalikali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau. Sesungguhnya rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Kamu tidak akan melihat Aku lagi hingga pada saat kamu berkata: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!”
(lukas 13:31-35)
Perhatikan bahwa kisah penolakan terhadap Yesus oleh
Yerusalem ini diawali dengan penolakan yang lebih kecil dan pribadi. Herodes Antipas adalah putra Herodes
Agung dan raja wilayah Yudea yang berada di bawah kendali Romawi. Di kemudian hari, Lukas menulis bahwa
Herodes girang karena berharap Yesus akan mengadakan tanda-tanda ajaib setelah Dia ditangkap (lukas 23:6-12).
Namun, di sini, Herodes menganggap Yesus sebagai ancaman dan berniat membunuh-Nya. Mengapa? Lukas
9:7-9 bisa memberikan alasannya. Agaknya Herodes mengira bahwa Yesus adalah Yohanes Pembaptis yang hidup kembali. Karena Herodes telah membunuh Yohanes, kini ia juga hendak membunuh Yesus. Sungguh penolakan yang sangat kuat!
Yang mengejutkan, justru orang-orang Farisi—yang biasanya memusuhi Yesus—yang memperingatkanNya akan bahaya tadi. Mengapa? The Bible Knowledge
Commentary menawarkan kemungkinan ini:
Mengapa di sini orang Farisi justru melindungi
Yesus? Agaknya peristiwa ini dapat dipahami sebagai dalih orang Farisi untuk menyingkirkan Yesus. Yesus telah menyatakan dengan gamblang bahwa tujuanNya adalah mencapai Yerusalem, dan saat itu Dia sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Orang
Farisi tampaknya berupaya menghalangi Dia untuk menunaikan tugas-Nya, menakut-nakuti supaya Dia menyimpang dari tujuan-Nya.
Namun, kunci dari Lukas 13 adalah kenyataan bahwa meskipun Yerusalem menjadi tujuan dan sasaran Yesus, Dia sudah tahu bahwa mereka telah menolak-Nya. Terlepas dari sambutan gegap gempita yang akan diterima-Nya saat memasuki Yerusalem, Yesus meratapi bahwa Dia
Kemungkinan lain mengapa orang Farisi melindungi Yesus dalam peristiwa ini adalah bahwa setidaknya sebagian dari mereka tidak ingin Yesus dicelakai� Nikodemus sudah beriman kepada Kristus sejak awal pelayanan-Nya� Di kemudian hari, Gamaliel menunjukkan akal sehat dan kebijaksanaan ketika ia melindungi hidup para rasul
(LIHAT KISAH PARA RASUL 5:33-39)� Selain itu, Yusuf dari Arimatea, “seorang anggota Majelis Besar” (belum tentu seorang Farisi) menunjukkan imannya kepada Yesus� sesungguhnya rindu mengumpulkan mereka layaknya induk ayam mengumpulkan anak-anaknya (ay.34), tetapi mereka menolak datang kepada-Nya. Pengajar Alkitab
Warren W. Wiersbe menulis:
Orang-orang telah diberi banyak kesempatan untuk bertobat dan diselamatkan, tetapi mereka menolak mendengarkan panggilan-Nya. “Rumah” merujuk kepada “keturunan” Yakub (“kaum Israel”) sekaligus Bait Suci (“rumah Allah”), keduanya akan “ditinggalkan dan menjadi sunyi.” Kota Yerusalem dan Bait Suci pun dihancurkan dan penduduknya diceraiberaikan.
Yerusalem menolak Yesus, dan mereka menuai buah kehancuran. Namun, Yesus sungguh terluka oleh karena penolakan tersebut, sebagaimana tecermin dari ratapanNya yang teramat pedih.
Sengsara Karena Dukacita. Kematian orang terdekat pertama yang pernah saya alami adalah kepergian mendadak dari Macauley Rivera, sahabat saya semasa kuliah. Mac dan kekasihnya, Sharon, tewas dalam kecelakaan tragis. Saya merasakan kehilangan yang amat mendalam. Empat tahun kemudian, ayah saya berpulang dan kehilangan yang saya rasakan semakin kuat.
Kepedihan yang mengiringi kematian bisa terasa sangat menyesakkan—dan Yesus mengalami-Nya dalam catatan
Yohanes yang terkenal mengenai kematian sahabat Tuhan kita, Lazarus.
Sepertinya itu bukan kali pertama Yesus menghadapi kematian orang terdekat. Dalam hidup-Nya saat itu, sangat mungkin Yesus sudah kehilangan ayah duniawi-Nya, Yusuf, tukang kayu dari Nazaret. Namun, Yohanes 11 mencatat untuk kali pertama dalam kitab-kitab Injil tentang Yesus di tengah situasi dukacita dan rasa kehilangan yang besar.
Meski Yusuf tidak banyak berperan dalam kitab-kitab Injil, tidak berarti ia tidak menjadi bagian dari hidup Yesus� Yesus menyadari jati diri dan panggilan-Nya sejak masa kanak-kanak, tetapi kita tidak boleh menyimpulkan bahwa Dia tidak memiliki hubungan dengan ayah duniawi-Nya� Tentulah kematian Yusuf membawa dukacita mendalam pada diri Yesus�
Konteksnya memberi tahu kita bahwa kedua saudara perempuan Lazarus mengabari Yesus tentang keadaan
Lazarus yang sedang sekarat—tetapi Tuhan kita tidak segera menanggapinya, karena Dia tahu apa yang akan dikerjakan-Nya. Perhatikan:
Ketika Yesus mendengar kabar itu, Ia berkata: “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu
Anak Allah akan dimuliakan.” (yohanes 11:4)
Kemudian:
Demikianlah perkataan-Nya, dan sesudah itu
Ia berkata kepada mereka: “Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya.” Maka kata muridmurid itu kepada-Nya: “Tuhan, jikalau ia tertidur, ia akan sembuh.” Tetapi maksud Yesus ialah tertidur dalam arti mati, sedangkan sangka mereka Yesus berkata tentang tertidur dalam arti biasa. Karena itu
Yesus berkata dengan terus terang: “Lazarus sudah mati.” (yohanes 11:11-14)
Tak diragukan lagi, Yesus tahu apa yang akan dikerjakanNya. Meski begitu, ketika tiba di lokasi pemakaman dan mendapati kedua saudara perempuan Lazarus, Marta dan Maria, serta kerabat mereka sedang bersedih, Yesus tetap berduka. Lihatlah betapa pedihnya hati Yesus menyaksikan kematian sahabat-Nya:
Ketika Yesus melihat Maria menangis dan juga orangorang Yahudi yang datang bersama-sama dia, maka masygullah hati-Nya. Ia sangat terharu dan berkata:
“Di manakah dia kamu baringkan?” Jawab mereka:
“Tuhan, marilah dan lihatlah!” Maka menangislah Yesus .
Kata orang-orang Yahudi: “Lihatlah, betapa kasihNya kepadanya!” Tetapi beberapa orang di antaranya berkata: “Ia yang memelekkan mata orang buta, tidak sanggupkah Ia bertindak, sehingga orang ini tidak mati?” Maka masygullah pula hati Yesus, lalu Ia pergi ke kubur itu. Kubur itu adalah sebuah gua yang ditutup dengan batu. (yohanes 11:33-38, penekanan ditambahkan)
Kosakata yang digunakan Yohanes untuk melukiskan dukacita Yesus sangatlah kuat. Selain menggambarkan
Sang Juruselamat “terharu” dan menangis, Yohanes menulis bahwa hati Yesus merasa “masygul” atas kematian sahabat-Nya.
The New Bible Commentary menulis bahwa istilah tersebut
“menyiratkan kemarahan dan kegeraman, bahkan kemurkaan�
Masalahnya, apa yang menyebabkan luapan perasaan itu? Beberapa pihak berpendapat itu adalah kegeraman moral terhadap dosa yang mengakibatkan kematian dan terhadap kesengsaraan yang mengikutinya� � � � Bisa juga itu adalah rasa duka atas penderitaan umat manusia yang begitu membebani Yesus, karena Dia tahu bahwa cawan penderitaan-Nya sendiri kian dekat�”
Yesus tahu bahwa Dia akan menggunakan kuasa
Allah untuk menghidupkan Lazarus kembali, tetapi tetap saja Dia merasa sangat berduka, bahkan dengan kepedihan yang amat mendalam. Ini sangat signifikan.
Yesus datang untuk mengalahkan maut—dan di sini Dia bertemu dengan musuh-Nya. Jadi, Dia berduka atas kuasa dan akibat yang ditimbulkan oleh musuh yang hendak dihancurkan-Nya itu. Rasul Paulus menulis di kemudian hari, “Musuh yang terakhir, yang dibinasakan ialah maut”
(1 korintus 15:26). Maut bukanlah hal sepele—tidak pula bagi Allah kita, karena Mazmur 116:15 mengingatkan:
Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya.
Hati Allah bahkan tergerak oleh kematian orang-orang fasik. Nabi Yehezkiel mengatakan:
“Apakah Aku berkenan kepada kematian orang fasik? demikianlah firman Tuhan Allah. Bukankah kepada pertobatannya supaya ia hidup?” (yehezkiel 18:23)
Dan:
“Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan Allah, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan
Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?” (33:11)
Sengsara Karena Penderitaan yang Akan Dialami.
Pengalaman saya saat pertama kali memimpin kelompok belajar ke Israel sangatlah menakjubkan. Kami menghabiskan malam pertama di negara mungil itu dalam sebuah hotel di Gunung Karmel. Dari sana kami mengunjungi beberapa tempat penting dalam Alkitab
(Megido, Danau Galilea, dan lainnya) atau bersejarah
(Masada, Museum Peringatan Holocaust Yad Vashem).
Perjalanan itu sarat dengan proses belajar dan bertumbuh yang mendalam.
Namun, ada satu tempat yang melampaui tempat lainnya—lokasi yang rasanya sesuai dengan definisi sebuah tempat “suci”. Itulah Taman Getsemani, tempat penderitaan Yesus dimulai. Di sana, hati saya begitu haru saat merenungkan pergumulan berat Yesus dalam doa di tempat kudus ini. Penulis Injil Matius dan Markus melukiskan pengalaman Yesus dalam taman itu dengan gaya bahasa yang mirip:
Lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.” Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (matius 26:38-39, penekanan ditambahkan)
Lalu sampailah Yesus dan murid-murid-Nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Kata Yesus kepada murid-murid-Nya: “Duduklah di sini, sementara Aku berdoa.” Dan Ia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes serta-Nya. Ia sangat takut dan gentar, lalu kataNya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya . Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.” (markus 14:32-34, penekanan ditambahkan)
Di sini kita menyaksikan kesengsaraan Yesus menjelang peristiwa penyaliban—kesengsaraan yang dapat disebut sebagai kengerian . Kesengsaraan itu telah diungkapkan dalam dua momen berbeda. Yang pertama disebutkan ketika Yesus mendengar tentang keinginan sekelompok orang bukan Yahudi untuk bertemu dengan-Nya di Bait
Suci. Seolah menyiratkan rancangan Allah yang lebih besar, Yesus menanggapi dengan berkata:
“Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan
Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini?
Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini.”
(yohanes 12:27, penekanan ditambahkan)
Kemudian, momen kedua terjadi di ruang atas bersamaan dengan pengkhianatan Yudas terhadap Kristus.
Setelah Yesus berkata demikian Ia sangat terharu , lalu bersaksi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.”
(yohanes 13:21, penekanan ditambahkan)
Pada dua peristiwa ini, Yohanes melukiskan bahwa Yesus terharu . Dalam versi terjemahan lain, digunakan kata-kata seperti sangat sedih , gelisah , gundah , berdukacita . Kita dapat membayangkan seseorang yang resah, tertekan, risau, atau galau. Meskipun sebagai Allah, Yesus tahu tujuan kedatangan-Nya ke dunia, Dia tetap merasakan kepedihan mendalam atas apa yang akan dijelang-Nya.
Saat-saat penuh sengsara itu menuntun kepada waktu yang dihabiskan Yesus di Getsemani, tempat Dia bergumul dengan kenyataan tak terelakkan yang menanti-Nya di kayu salib. Perasaan Yesus berubah dari terharu menjadi
“sangat sedih” dan “takut”. Di Getsemani, kepedihan dalam batin itu kini menyeruak ke permukaan.
Di Getsemani, Yesus merasakan sepenuhnya beban berat dari apa yang akan ditanggung-Nya. Getsemani adalah tempat pemerasan minyak zaitun. Buah zaitun yang dihancurkan dengan cara digiling menggunakan batu gerinda di tempat pemerasan minyak, membentuk gambaran yang tepat mengenai perasaan remuk redam yang mendorong Yesus berdoa agar diluputkan dari tanggung jawab tersebut. Seberapa besar kegundahan
Yesus? Begitu besar hingga Dia berdoa untuk dilepaskan darinya sebanyak tiga kali. Namun, Yesus tetap tunduk pada kehendak Bapa dan kebutuhan kita—dengan memikul kesakitan serta kesengsaraan kita di atas kayu salib. zaitun
Ini membawa kita kepada salib itu sendiri.
Sengsara Menanggung Salib. Pernahkah Anda sekonyongkonyong merasa memahami beratnya beban salib dan apa yang Yesus alami di sana dari sudut pandang yang baru? Bagi saya, hal itu terjadi pada tahun 1978 ketika saya sedang duduk di sebuah studio rekaman di Nashville, untuk mengerjakan album baru bagi grup musik kampus kami. Operator kami berkata bahwa ia ingin saya mendengarkan sesuatu yang hingga saat itu belum pernah didengar siapa pun. Ia menggelapkan ruangan, memutar rekaman, dan meninggalkan saya seorang diri di dalam studio—untuk menyimak akor pembuka dari lagu Phil
Johnson yang sangat menggugah tentang penyaliban, “The Day He Wore My Crown” (Hari Dia Mengenakan Mahkota Duriku). Sungguh momen yang mencengangkan ketika saya merenungkan semua yang telah diderita Yesus bagi dunia, dan bagi saya.
Kini, kita tiba di kayu salib—dan menyaksikan Manusia
Sengsara menjalaninya.
Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga. Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? ” (matius 27:45-46, penekanan ditambahkan)
Ini membawa kita kembali ke titik awal. Kita memulai dengan melihat nubuat Yesaya mengenai Juruselamat yang menderita, terutama ketika ia berkata:
Ia dihina dan dihindari orang, Seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan;
Ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia
Dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, Dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, Padahal kita mengira dia kena tulah, Dipukul dan ditindas Allah.
(yesaya 53:3-4, penekanan ditambahkan)
Kesengsaraan yang dilukiskan secara khusus oleh
Nabi Yesaya adalah penderitaan yang akhirnya dialami sepenuhnya oleh Tuhan Yesus di atas kayu salib. Kini, kesengsaraan tersebut menjadi fokus saat Yesus mengutip perkataan Daud di Mazmur 22 dalam seruan-Nya karena ditinggalkan Bapa pada saat terkelam di Kalvari. Meski demikian, kesengsaraan Yesus menghadirkan berkat ajaib, yaitu pada akhirnya Dia mengalami sukacita:
Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.
(ibrani 12:2, penekanan ditambahkan)
Seperti tindakan-Nya menanggung penyakit dan memikul kesengsaraan kita, pengorbanan Yesus di atas kayu salib itu menjadi ungkapan terbesar kasih-Nya bagi kita. Di sana, Dia bukan hanya menanggung penyakit dan kesengsaraan kita, melainkan juga menanggung dosa dan kesalahan yang mengakibatkan semua beban tersebut serta segenap penderitaan yang menyertainya. Itulah kemenangan paripurna Kristus atas kehancuran dunia kita, meskipun hal itu menggugah-Nya untuk berseru dalam kepedihan.
Seruan kepedihan tadi akhirnya berujung pada pekik kemenangan yang mutlak. Pernyataan Yesus, “Sudah selesai!” (yohanes 19:30) adalah kemenangan atas kesengsaraan yang dialami-Nya sendiri dan atas segala rupa kesengsaraan yang dipikul-Nya demi kita.