7 minute read
Yang Dihasilkan dari
Penderitaan Yesus
Seuntai peribahasa Latin yang sering dikutip berujar bahwa pengalaman adalah guru terbaik.
Kita menyaksikan ini terus-menerus terwujud dalam segenap aspek kehidupan. Para ilmuwan terus menajamkan beragam teori dengan menggunakan hasil percobaan di masa lalu sebagai dasar bagi langkah mendatang. Para olahragawan dan musisi meningkatkan kemampuan melalui serangkaian latihan yang mengasah kecakapan mereka. Ikatan pernikahan diperkuat ketika pasutri bekerja sama selama bertahun-tahun melewati berbagai ujian hidup yang menghadang mereka.
Pengalaman sungguh guru yang berharga dalam hidup.
Mungkin belajar dari pengalaman bukanlah sesuatiu yang baru bagi kita maupun bagi hubungan yang kita jalani, tetapi rasanya janggal membayangkan bahwa Yesus, Anak Allah, juga perlu belajar dari pengalaman. Akan tetapi, Kitab Ibrani menegaskan bahwa itulah yang Yesus lakukan.
Surat kepada orang Ibrani, yang dialamatkan kepada para pengikut Kristus yang sedang menderita, dengan panjang lebar berusaha membuktikan keunggulan Kristus atas segala sesuatu. Namun, meskipun keunggulan Kristus ditegaskan, penulis menyodorkan tiga jawaban penting atas pertanyaan mengenai penderitaan Yesus sebagai
Manusia Sengsara dan apa yang dicapai oleh penderitaanNya (selain keselamatan yang dihasilkan dari penyaliban dan kebangkitan-Nya). Jadi, apa yang dipelajari Yesus?
Dia Belajar Menjadi Taat
Sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya. (ibrani 5:8)
Menariknya, The Bible Knowledge Commentary berkata bahwa di sini penulis Kitab Ibrani sedang bermain kata untuk menggarisbawahi kaitan antara penderitaan dan belajar:
“Dia belajar [emathen] dan Dia menderita [epathen].”
Bagi para pembaca Yunani, rima dari permainan kata itu menekankan arti penting dari apa yang tengah diajarkan, karena ini lebih dari sekadar pemakaian bahasa yang cerdas. Ini adalah pesan mengenai pengalaman Kristus dan arti penting dari pengalaman tersebut.
Meski demikian, di sisi yang lain, ini jelas merupakan pernyataan yang sulit dalam ajaran Kristen. Kesulitan itu datang dari cara kita memaknai kenosis dalam Filipi 2.
Kepada jemaat di Filipi, Paulus menyatakan bahwa, ketika datang ke dunia, Kristus “mengosongkan diri-Nya”
(dalam Bahasa Yunani kenoo, akar kata dari kenosis) atau, “melepaskan semuanya” (ay.7 bis).
Karena itu, inilah inti dari kesulitan teologis yang dimaksudkan tadi: Dari apakah Yesus mengosongkan diriNya ketika Dia datang ke dunia? Para teolog menyodorkan beberapa argumen, antara lain atribut-atribut ilahi-Nya, sifat keilahian-Nya, atau wewenang keilahian-Nya. Debat ini telah berlangsung berabad-abad di antara para teolog.
Ada satu penjelasan yang sangat membantu:
Memang tidak dapat dibantah bahwa ada unsur misteri di balik semua ini . . . Meski tak dapat dipahami sepenuhnya, Inkarnasi sungguh-sungguh memungkinkan Anak Allah yang Mahatahu dan Mahasempurna untuk memperoleh pengalaman langsung mengenai kondisi manusia. Maka penderitaan menjadi kenyataan yang benar-benar dialami-Nya dan oleh karenanya, Dia dapat benar-benar turut merasakan apa yang dialami para pengikut-Nya.
(the bible knowledge commentary)
Terlebih lagi, penulis Kitab Ibrani mengaitkan proses pembelajaran itu bukan kepada sembarang penderitaan, tetapi seperti pada ayat sebelumnya, mengaitkannya secara khusus kepada pengalaman di Getsemani yang kita jumpai di bagian terdahulu:
Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehanNya Ia telah didengarkan. (ibrani 5:7)
The New Bible Commentary melukiskan kaitan antara doa
Yesus di Taman Getsemani dengan pembelajaran yang diterima-Nya sebagai berikut:
Meski Dia Anak Allah, Yesus mengalami godaan untuk menyimpang dari menggenapi kehendak Bapa oleh karena penderitaan yang akan ditanggung-Nya. Dia perlu belajar menerapkan secara nyata makna ketaatan kepada Allah, sebagai manusia yang hidup di muka bumi, sehingga Dia dapat turut menyelami perasaan mereka yang mengalami ujian serupa, dan mengajar kita melalui teladan-Nya sejauh mana Allah patut ditaati dan dipatuhi.
Yesus belajar melalui pengalaman penderitaan-Nya, dan itu membuat-Nya sanggup untuk turut merasakan penderitaan kita. Inilah fokus selanjutnya dari apa yang dipelajari Yesus dari pengalaman manusiawi-Nya.
Dia Turut Merasakan
Dalam film Avengers: Endgame , kita memasuki jagat raya tempat separuh dari populasi makhluk hidup di dalamnya dibinasakan—dan separuh sisanya harus bergumul dengan kepedihan akibat pemusnahan itu. Setiap orang menanggapi dengan cara berbeda. Sebagian terjebak dalam depresi, lainnya berusaha membalas dendam, ada juga yang menyibukkan diri dalam pekerjaan, dan sebagainya. Namun, intinya mereka semua berusaha memproses rasa sakit dan pergumulan dengan cara yang berbeda-beda. Secara pribadi. Seorang diri.
Kita pun demikian. Namun, ke dalam keterkungkungan kita hadirlah Manusia Sengsara. Penulis Kitab Ibrani menegaskan bahwa sebenarnya Anak Allah sangat memahami kita:
Imam Agung kita itu bukanlah imam yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita.
Sebaliknya, Ia sudah dicobai dalam segala hal, sama seperti kita sendiri; hanya Ia tidak berbuat dosa.
(ibrani 4:15 bis)
Kata-kata kuncinya, tentu saja, adalah turut merasakan dan dicobai , dan keduanya saling terkait dalam hati Tuhan kita.
Mari tengok dicobai terlebih dahulu. Akar katanya bisa bermakna ujian positif atau godaan negatif, dan konteks di sini mendukung kedua makna tersebut.
Dalam Matius 4, Yesus mengalami pencobaan yang sungguh-sungguh dari Iblis di tengah kelelahan jasmani yang teramat sangat. Namun, ini hanyalah sebagian kecil dari pencobaan yang dialami Yesus. Penulis Kitab Ibrani menjelaskan bahwa di sepanjang hidup-Nya sebagai manusia, Kristus dicobai “dalam segala hal” tetapi tidak berbuat dosa.
Frasa “dalam segala hal” juga sangat penting karena bersifat menyeluruh. Dalam kemanusiaan-Nya, Kristus
Yang Dihasilkan dari Penderitaan Yesus sepenuhnya mengalami seluruh ujian dan cobaan yang kita alami sebagai manusia. Ketika Anda merasa tak seorang pun mengetahui permasalahan yang Anda hadapi, ingatlah: Yesus sudah pernah mengalami semuanya, sepenuhnya, bahkan seutuhnya—tidak seperti kita. Biasanya kita sudah tersandung di awal ketika godaan datang menerpa, atau menyerah di bawah tekanan yang tidak seberapa, sehingga gagal bertahan sampai akhir.
Itulah mengapa Yesus dapat turut merasakan (kata-kata kunci lain) kelemahan kita—Dia pernah mengalaminya dan berhasil mengatasinya. Wiersbe berkata, “Tiada cobaan yang terlampau besar, tiada godaan yang terlampau kuat, karena Yesus Kristus sanggup menganugerahkan belas kasih dan karunia yang kita butuhkan, tepat pada waktunya.”
Kepedulian-Nya tidak sebatas teori atau bersifat abstrak.
Kepedulian Anak Allah itu nyata, autentik, dan berakar pada pengalaman hidup-Nya sebagai Anak Manusia.
Dia Dapat Menolong
Pada Juli 1587, 117 pria, wanita, dan anak-anak asal Inggris mendarat di Pulau Roanoke, di lepas pantai wilayah yang kini menjadi negara bagian North Carolina, Amerika
Serikat. Pulau tersebut gersang, dan dalam sekejap para pendatang itu kehabisan perbekalan. Mereka memohon agar Gubernur John White kembali ke Inggris untuk membawa perbekalan demi kelangsungan hidup mereka.
Namun, meski White berupaya tanpa lelah, penundaan demi penundaan yang dialaminya membuat pertolongan yang sangat dibutuhkan para pemukim itu tidak kunjung tiba. Ketika akhirnya White berhasil kembali ke Dunia
Baru tiga tahun kemudian, semua pemukim tadi sudah lenyap tanpa bekas, dan ini menjadi salah satu misteri terbesar di Amerika hingga saat ini. Mungkin tidak akan ada yang pernah tahu ke mana mereka pergi. Alasan mereka pergi cukup jelas. Di tengah keputusasaan mereka, tak seorang pun datang menolong.
Meski bisa jadi tidak separah kisah di atas, kita semua pernah mengalami saat-saat ketika kita merasa ditelantarkan atau seruan minta tolong kita tidak didengar. Namun, sekalipun tidak ada yang menanggapi seruan kita, Manusia Sengsara mendengarnya.
Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai. (ibrani 2:18)
The New Bible Commentary menawarkan penerapan penting ini, “Hanya karena Dia menjadi seperti kita, merasakan kerapuhan manusiawi, dan menderita ketika dicobai, Dia dapat memberikan pertolongan yang tepat bagi mereka yang sedang dicobai.”
Yesus memahami apa artinya menjadi manusia.
Dalam Yohanes 4, kita membaca Dia “sangat letih oleh perjalanan,” sehingga Dia duduk di pinggir sumur (ay.6).
Karena haus akibat letih berjalan di bawah terik matahari
Samaria, Dia meminta air minum kepada seorang perempuan (ay.7). Di saat lain dalam pelayanan-Nya, kita membaca bahwa Yesus begitu lelah sehingga Dia tertidur
Yang Dihasilkan dari Penderitaan Yesus di buritan perahu di tengah amukan topan yang sangat dahsyat (markus 4:36-38). Kemudian, dari atas kayu salib
Dia berkata, “Aku haus!” (yohanes 19:28).
Jadi, Imam Besar seperti apakah Yesus bagi kita? Dua gagasan penting yang disodorkan penulis Kitab Ibrani sungguh menguatkan kita:
• Penuh belas kasih—Pertolongan-Nya bersumber dari hati yang penuh belas kasih, bukan penghakiman (lihat yohanes 3:17)
• S etia—Dia dapat diandalkan untuk menolong ketika kita membutuhkan-Nya (lihat ibrani 4:15-16)
Warren Wiersbe berujar, “Ketika berada di dunia, Yesus ‘menjadi sama dengan saudara-saudara-Nya’, dalam pengertian bahwa Dia merasakan kelemahan watak manusia tetapi tanpa berdosa� Dia memahami bagaimana rasanya menjadi bayi yang tak berdaya, anak yang bertumbuh besar, pemuda yang beranjak dewasa� � � � Semua itu adalah bagian dari ‘pelatihan’ yang dijalani-Nya bagi pelayanan ilahiNya sebagai Imam Besar� ”
Kepedulian ini secara gamblang dilukiskan dengan kata-kata “dapat menolong”. Seorang penulis menyatakan bahwa itu artinya, “berlari menanggapi tangisan seorang anak.” Karena Yesus menjadi manusia, Dia sungguhsungguh sanggup melakukan hal tersebut untuk kita. Jadi, entah kita menyerah dalam ujian atau tersandung ke dalam pencobaan, kita memiliki Imam Besar, atau seperti ditulis Yohanes, seorang Pengantara:
Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil. Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia. (1 yohanes 2:1-2)
Kesimpulan
Kini, kita dapat memahami dengan lebih jelas nubuat
Yesaya tentang Kristus dan karya penebusan-Nya:
Ia dihina dan dihindari orang, Seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; Ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia
Dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya,
Dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, Padahal kita mengira dia kena tulah, Dipukul dan ditindas Allah. (yesaya 53:3-4)
Yesus adalah Manusia Sengsara, tetapi kesengsaraanNya bukanlah tanpa tujuan. Wiersbe menulis, “Apa pun ujian yang kita hadapi, Yesus Kristus sanggup memahami kebutuhan kita dan memberi kita pertolongan. Kita tidak perlu meragukan kesanggupan-Nya untuk turut merasakan kelemahan kita dan menguatkan kita. Perlu juga diingat bahwa terkadang Allah menempatkan kita dalam masa-masa sulit supaya kita dapat memahami kebutuhan orang lain dengan lebih baik, dan dimampukan untuk menghibur mereka.”
Apakah Anda memperhatikan bagaimana Wiersbe sedikit membalikkan pokok permasalahannya?
Sebagaimana Yesus memahami kita karena apa yang telah
Dia alami, kita juga dapat lebih baik memahami orang lain ketika kita menderita. Penyair Henry Wadsworth
Longfellow menulis, “Jika kita bisa mengetahui sejarah terpendam dari musuh-musuh kita, kita akan mendapati bahwa setiap orang memiliki kesengsaraan dan penderitaannya sendiri, dan itu cukup untuk memupus semua perseteruan.” Dalam 2 Korintus 1:3-7, Paulus mengingatkan agar kita menghibur orang lain dalam penderitaan atau kegagalan mereka, dengan bermodalkan penghiburan yang kita peroleh dari Allah melalui Putra-Nya:
Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan
Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah. Jika kami menderita, hal itu menjadi penghiburan dan keselamatan kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga. Dan pengharapan kami akan kamu adalah teguh, karena kami tahu, bahwa sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami.
Bagaimana kita dapat menghibur orang-orang yang bergumul di tengah dunia yang mengharapkan kehadiran seorang Manusia Baja? Kita menawarkan
Manusia Sengsara, yang mengetahui, memahami, dan mempedulikan duka dan lara mereka.