18 minute read
yang Memerlukan Kasih
Agaknya bertolak belakang bila salah satu gambaran terindah tentang cinta yang pernah dikenal dihubungkan dengan kota seperti Korintus.
Penduduknya yang bejat dan tidak kenal ampun dikenal senang mementingkan diri sendiri. Hidup banyak orang hanya dimanfaatkan lalu dibuang. Namun, bila dicermati, tidak ada konteks yang lebih tepat untuk itu. Jika ada masyarakat yang butuh prinsip-prinsip kasih sejati untuk mengubah hidup mereka, jemaat Korintuslah orangnya.
Orang-orang Kristen di Korintus memiliki banyak masalah yang harus dihadapi. Agama utama di kota mereka adalah pemujaan terhadap Dewi Afrodit, dewi cinta bangsa
Yunani yang kuil pemujaannya mempekerjakan 1.000 imam perempuan sebagai pelacur.
Kemakmuran menimbulkan tantangan lain. Pusat kota
Korintus yang terletak di Isthmus, yang menghubungkan bagian utara dan selatan Yunani, telah memberikan kemakmuran ekonomi yang justru menyebabkan kemerosotan moral. Materialisme, seiring dengan agama yang berorientasi pada seks, menghasilkan suatu budaya dan situasi yang mementingkan kesenangan pribadi.
Kota Korintus sangat terkenal karena kebobrokan moralnya, sampai-sampai orang Yunani yang bermoral bejat, suka pesta pora, serta mabuk-mabukan, sering disebut berperilaku seperti orang
Korintus�
Sebagaimana yang sering terjadi di zaman kita sekarang ini, gereja di Korintus mulai mencerminkan kondisi lingkungannya. Rasul Paulus menegur beragam masalah dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di kota itu:
• perpecahan umat Allah (pasal 1–3)
• kesombongan dan keangkuhan rohani (pasal 4)
• percabulan (pasal 5)
• perkara hukum di antara orang percaya (pasal 6)
• pernikahan yang bermasalah (pasal 7)
• penyalahgunaan kebebasan rohani (pasal 8–10)
• penyalahgunaan perjamuan Tuhan (pasal 11)
• penyalahgunaan karunia rohani (pasal 12,14)
• pengabaian dasar-dasar doktrinal (pasal 15).
Pembaca surat Paulus perlu mengerti bahwa mengikuti
Kristus lebih dari sekadar mengejar pengetahuan, hikmat, dan kuasa. Semua kefasihan mereka dalam berbicara, doktrin yang benar, ungkapan iman, dan korban syukur akan justru membuat orang menjauh jika mereka sendiri tidak menemukan kembali arti kasih yang sebenarnya. Dengan serangkaian hal yang bertolak belakang dalam 13:1-3, Paulus menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi apabila kita berusaha melakukan kebaikan tanpa kasih.
Pemahaman yang dibutuhkan jemaat Korintus pun penting bagi kita semua. Kita bisa saja mempunyai segunung pengetahuan dari dan tentang Allah, tetapi gagal memahami isi hati-Nya. Mungkin Roh Kudus telah tinggal di dalam hidup kita, tetapi kita tidak mempedulikan orangorang di sekitar kita. Mungkin saja kita cepat mengenali kesalahan orang, tanpa menyadari bahwa kita juga keliru.
Pemahaman itu tidak dimaksudkan untuk mendakwa diri kita. 1 Korintus 13 tidak hendak menjatuhkan kita.
Bagian itu dimaksudkan untuk menerangi jalan kita yang telah menyimpang. Kita diingatkan agar tidak membiarkan kegagalan dalam hubungan dan sikap kita merusak diri kita.
Kita tidak boleh membiarkan perdebatan demi kepentingan diri kita berakibat buruk terhadap kredibilitas Tuhan kita. Orang-orang tidak akan mempedulikan apa yang kita ketahui sebelum mereka melihat bagaimana kita mempedulikan mereka. Orang lain tidak akan meyakini kepercayaan kita jika mereka tidak melihat kita memperhatikan mereka, seperti kita memerhatikan diri kita sendiri. Tanpa kasih Kristus yang mendorong kita, pewartaan kabar baik menjadi penghakiman. Kemurnian doktrinal menjadi kemunafikan. Komitmen pribadi menjadi pembenaran diri. Ibadah menjadi rutinitas tanpa hati.
Kaum Farisi adalah salah satu dari tiga kelompok agama Yahudi yang sangat penting pada masa Yesus hidup� Mereka dikenal karena ketaatan yang ketat kepada hukum Perjanjian Lama dan komitmen yang kuat untuk menjaga kemurnian agamawi�
Allah memanggil kita tidak semata-mata untuk hidup lebih baik, melainkan sedang menawarkan untuk mengubah hidup kita dari dalam batin kita. Dia tidak semata-mata menawarkan sebuah standar hidup yang lebih tinggi, tetapi juga rindu untuk mengangkat hidup kita meninggalkan cara hidup biasa dan melakukan suatu pekerjaan dalam diri kita yang tidak pernah dapat kita kerjakan sendiri.
Tiga
Tanda-Tanda Kasih Sejati
Dengan penampilan dan musik yang baru, The Beatles mengajak seluruh generasi menyanyikan
“all you need is love” (yang kamu butuhkan hanya cinta). Ketika mereka bergabung kembali, The Beatles tetap menyanyikan lagu bertema cinta. Namun, lirik lagu “Real Love” (Cinta Sejati ) yang ditulis John Lennon mengungkapkan kesedihan. Lagu tersebut menggambarkan cinta sebagai suatu tujuan dan anugerah dalam hidup, tetapi berakhir dengan kesedihan karena ia merasa ditakdirkan “hidup seorang diri saja.”
Lirik Lennon tak hanya menguraikan pengalaman generasinya, tapi juga pengalaman kita semua. Kita mencari cinta, lalu beranggapan bahwa kita telah memperolehnya, dan menjadi kecewa ketika perasaan itu hilang.
Apakah cinta yang sangat sukar dipahami itu? Seandainya kita hidup di zaman Rasul Paulus, bahasa Yunani akan membantu kita menjelaskan jenis “cinta kasih” yang kita cari.
Kata eros adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan cinta romantis. Storge menjelaskan sebuah cinta yang kuat, yang melindungi dan memberikan rasa aman.
Phileo adalah cinta antarkeluarga dan sahabat.
Kemudian ada agape (paling sering digunakan untuk membicarakan kasih Allah) yang menjelaskan kasih dalam bentuknya yang paling murni dan mendalam.
Karena Paulus memilih kata agape untuk menjelaskan kasih dalam 1 Korintus 13, tampaknya ia ingin agar kita memahami bahwa itulah jenis kasih ilahi yang paling tinggi, yang memberikan pengertian abadi terhadap semua jenis cinta yang lain. Dengan menggunakan kata agape untuk menjelaskan kasih yang dilihat dari sudut pandang Pencipta, sang rasul menulis:
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.
Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersuka cita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (1 korintus 13:4-7).
Ketika kita melihat elemen-elemen yang berbeda dari kasih yang luhur tersebut, jelaslah mengapa kasih agape adalah kasih sejati—yang kita ingin dan butuhkan.
Kasih Sejati itu “Sabar.” Dalam bahasa Yunani kata itu berarti “tabah menderita.” Expository Dictionary of New Testament
Words dari Vine menjelaskan bahwa kata makrothumia menggambarkan “sifat pengekangan diri dalam menghadapi hasutan dan tidak buru-buru membalas dendam atau menghukum.” Seorang penafsir mengartikannya “tidak cepat marah.”
Kasih sejati tidak membalas dendam atau berniat untuk melakukannya. Kasih sejati tidak menyimpan kepahitan, tetapi bertahan dengan sabar. Kasih ini mampu mengenali dan mengatasi sakit hati yang ada, tetapi tanpa menyimpan dendam. Sifat kasih seperti ini memampukan seseorang untuk melakukan sesuatu yang orang lain bilang tidak mungkin mereka lakukan.
Joan, misalnya. Suaminya, Charles, terlibat dalam perselingkuhan yang berkepanjangan, hingga akhirnya meninggalkan pernikahan dan keluarga mereka. Pasangan tersebut akhirnya bercerai. Namun, dalam segala luka dan rasa sakit yang dialaminya, Joan tidak pernah lupa mengapa ia pernah mencintai suaminya.
Setelah berbulan-bulan terluka, sedih, dan mencoba membangun kembali kehidupannya seorang diri, suatu hari Joan mendapat kabar bahwa Charles mengalami kecelakaan di tempat kerja dan kini dirawat di rumah sakit.
Allah memakai penderitaan akibat kecelakaan itu untuk menggugah hati seorang pria yang telah lama tersesat.
Suatu hari Charles menelepon Joan dan menanyakan apakah masih ada harapan untuk memulihkan pernikahan mereka yang telah hancur. Sungguh pertanyaan yang sulit, sekaligus membuka kemungkinan timbulnya luka dan kesedihan yang lebih pahit! Bisa dimengerti jika wanita lain dalam kondisi yang sama mungkin akan menolak tawaran itu. Walaupun Joan khawatir, ia dan Charles mengikuti konseling rohani selama berbulan-bulan. Dua tahun setelah
Joan dipaksa menghadapi penderitaan paling berat yang pernah dialami wanita, ia rujuk kembali dengan Charles.
Kerelaan untuk tidak merasa jengkel itu tidak berarti bahwa dosa-dosa masa lalu dapat dengan mudah dilupakan.
Namun, kasih sejati tidak memberikan celah bagi dendam yang pahit. Kasih itu benar-benar “sabar”.
Kasih yang “sabar” tidak mengharuskan mereka yang telah dilukai untuk bertahan dalam atau memasuki kembali situasi-situasi yang membahayakan mereka� Kasih sejati menuntut tindakan kita keluar dari sikap yang benar�
Kasih Sejati itu “Murah Hati.” Menurut seorang ahli bahasa Yunani, A. T. Robertson, kata dalam bahasa Yunani yang berarti “murah hati” dapat juga berarti “berguna atau baik budi”. Bila kita selalu berpedoman bahwa tujuan kasih sejati adalah mewujudkan kesejahteraan seseorang yang kita kasihi, maka kita akan melihat bahwa kasih itu tak hanya harus sabar, tetapi juga penuh kemurahan.
Kemurahan, bukan kekasaran, lebih tepat untuk mendorong munculnya kebaikan dalam diri orang lain. Seperti dikatakan Amsal, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman” (15:1), demikian juga kasih yang praktis dan berguna akan mampu menampilkan yang terbaik dalam orang yang kita kasihi.
Bersikap lembut dan “penuh kasih karunia” adalah sebuah sifat yang dimiliki Kristus (yohanes 1:14). Lihatlah bagaimana Yesus menjelaskan tentang diri-Nya sendiri kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan-Nya:
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (matius 11:28-29).
Itulah gambaran Pribadi dengan kasih dan kuasa terbesar yang pernah ada—sangat berkuasa untuk menciptakan jagat raya dan sangat bijaksana untuk berhadapan dengan para penguasa yang munafik dan sombong pada zaman-Nya.
Sekalipun demikian, Yesus melakukannya dengan penuh kebenaran dan kasih karunia.
Yesus mengingatkan kita bahwa meski kasih memerlukan kebenaran, tetapi bila kebenaran ditunjukkan tanpa kemurahan hati, itu bukanlah kasih. Dia juga mengingatkan kita bahwa kasih memang memerlukan kesabaran, tetapi kesabaran tanpa kemurahan hati bukanlah kasih.
Kasih Sejati “Tidak Cemburu.” Melanjutkan penjelasannya tentang kasih, Paulus mengatakan bahwa kasih sejati tidak iri terhadap berkat, kesuksesan, atau kesejahteraan orang lain. Kasih tidak berkata, “Jika aku tidak dapat memiliki yang kuinginkan, aku pun tidak ingin engkau mendapatkannya.” Sebaliknya, kasih sejati berkata, “Aku turut gembira sekalipun aku tidak pernah meraih prestasi, penghargaan, dan kesenangan hidup yang sedang kamu nikmati. Meski aku berharap mendapatkannya, aku tidak berharap engkau kehilangan semua itu.”
Paulus menggunakan contoh positif dan juga contoh negatif untuk menyajikan pemahaman yang menyeluruh tentang sifat dan fungsi kasih dalam hidup orang percaya�
Sifat kasih yang “tidak cemburu” ini mungkin menjadi aspek yang paling sering kita temui. Sudah berapa seringkah kita melihat orang lain hidup makmur sementara kita harus berjuang keras untuk bertahan hidup? Bahkan murid-murid Yesus sendiri bertengkar tentang siapa yang layak mendapat tempat terhormat di antara mereka.
Kitab Suci tidak mengatakan bahwa kita harus mampu menghadapi PHK tanpa rasa kecewa atau retaknya suatu hubungan tanpa rasa sakit. Paulus juga tidak mengatakan bahwa jika kita memiliki kasih, kita tidak akan pernah merasa sedih atau kehilangan. Namun, ia berkata bahwa bila kita memiliki kasih sejati, kita tidak akan cemburu.
Penderitaan kita tidak menjadi alasan untuk merasa iri melihat orang lain yang keadaannya lebih baik dari kita.
Bagaimana kita dapat mengasihi dengan sikap seperti itu?
Jawabannya: hanya dengan kemampuan yang diberikan
Roh Kristus. Rahasia kelapangan hati dalam menghadapi kekecewaan adalah dengan memiliki keyakinan yang penuh kepada Allah Sang Pemelihara yang juga Gembala dan Bapa kita. Kekecewaan akan selalu terjadi. Situasi yang tidak adil akan menguji iman dan juga kasih kita. Namun, secara pribadi kita bisa kecewa, tetapi tetap dapat mengasihi orang lain jika kita belajar untuk percaya kepada Allah.
Kasih Sejati “Tidak Memegahkan Diri.” Buku-buku pengembangan diri memberi tahu kita bahwa jika ingin maju, kita perlu memiliki sikap yang menampilkan kesuksesan, menonjolkan prestasi kita, dan membesar-besarkan talenta kita. Namun, kasih sejati tidak menyombongkan prestasinya sendiri. Kasih tidak ingin menonjolkan diri sendiri. Sudah sejak lama konsep ini berakar dalam Alkitab. Raja Salomo menguraikan konsep kasih ini dengan baik ketika menulis, “Biarlah orang lain memuji engkau dan bukan mulutmu”
(amsal 27:2). Singkatnya, kasih sejati tidak mendesak untuk dijadikan pusat perhatian.
Uraian keempat tentang kasih ini adalah sisi lain dari sifat kasih yang tidak cemburu. Cemburu berarti menginginkan milik orang lain, sedangkan memegahkan diri berarti membuat orang lain cemburu akan apa yang kita miliki. Cemburu membuat kita merendahkan orang lain; memegahkan diri akan melambungkan diri kita sendiri.
Namun, kasih sejati tak hanya mampu menghargai kesuksesan orang lain, tetapi juga tahu bagaimana harus bersikap jika kesuksesan menghampiri kita, yakni dengan penuh syukur dan kerendahan hati.
Kasih Sejati “Tidak Sombong.” Kata dalam bahasa
Yunani yang dipakai Paulus mempunyai arti “membesarbesarkan diri”. Dalam menjelaskan sifat yang bertentangan dengan kasih sejati ini, ia menggunakan istilah yang telah digunakannya dalam surat yang sama ketika ia mendesak umat di Korintus yang tidak mempunyai kasih agar tidak “menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain” (1 korintus 4:6).
Kesombongan merupakan dosa pertama yang diperbuat Iblis ketika ia berkata, “Aku hendak naik mengatasi ketinggian awanawan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!” (YESAYA 14:14)�
Pada bagian awal suratnya, Paulus menjelaskan bahwa jemaat Korintus hanya memperhatikan diri sendiri sehingga tak punya ruang untuk merasakan penderitaan orang lain.
Dalam pasal 13 ia menggunakan kata yang sama untuk menggambarkan bahwa keangkuhan yang membuat kita menolak bantuan orang lain juga membuat kita tidak peka terhadap mereka yang membutuhkan bantuan kita. Orang sombong, yang hanya memperhatikan diri sendiri dan melebih-lebihkan kepentingan dirinya, cenderung menganggap bahwa kebahagiaan, pendapat, dan perasaan mereka sendiri adalah satu-satunya hal yang penting. Orang sombong dengan mudah mengabaikan kebutuhan dan perasaan orang lain.
Doa-doa kita dapat memberi petunjuk apakah kita membesarbesarkan kepentingan diri kita sendiri. Apakah kita hanya berdoa untuk diri dan kepentingan kita sendiri, atau kita juga berdoa untuk anak-anak, pasangan kita, dan kebutuhan orang lain?
Pandangan Perjanjian Baru tentang kasih sejati tidak mengajarkan kita untuk melalaikan kebutuhan kita sendiri.
Tanda-Tanda Kasih Sejati
Alkitab mengajar kita untuk mengingat bahwa kebutuhan kita tak lebih penting daripada kebutuhan orang lain.
Kasih Sejati “Tidak Melakukan yang Tidak Sopan.”
Satu-satunya tempat lain dalam Perjanjian Baru yang mencantumkan ungkapan ini adalah 1 Korintus 7:36, yang menjelaskan hubungan pasangan yang belum menikah. Ungkapan ini dapat diterjemahkan “tidak berbuat kasar, tidak pantas, tidak berkelakuan biadab, tidak sewajarnya, atau tidak senonoh.” Setelah menegaskan bahwa prioritas tertinggi kita adalah pengabdian kepada Allah, sang rasul menyatakan bahwa jika seorang pria dan wanita menghadapi godaan seksual, maka sebaiknya mereka menikah daripada “tidak berlaku wajar”.
Bagaimana perbuatan yang “tidak wajar” berhubungan dengan prinsip kasih sejati yang dicatat dalam 1 Korintus 13?
Kita diingatkan bahwa sifat kasih sejati yang mulia tak akan menuntut hal yang tidak pantas dari orang lain. Kasih sejati tak akan memaksa orang yang belum menikah mengatakan, “Jika kamu mencintaiku, kamu harus membuktikannya dengan menyerahkan dirimu kepadaku.” Orang yang mencintai tak akan meminta sesamanya membuktikan kesetiaan mereka dengan menipu, berbuat curang, atau mencuri demi kepentingan mereka.
Kasih sejati tidak memanfaatkan persahabatan untuk memaksa siapa saja agar melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip hati nurani atau iman, atau prinsip-prinsip moral Allah. Penyimpangan seksual yang bejat, tindakan menutup-nutupi kejahatan, rahasia-rahasia terburuk dalam keluarga, masyarakat, kelompok, atau persahabatan telah disimpan rapat-rapat dengan menyalahgunakan kasih.
Kasih tak sepatutnya dipakai untuk memaksa.
Kasih Sejati “Tidak Mencari Keuntungan Diri
Sendiri.” Inilah ungkapan yang paling disukai Paulus untuk menjelaskan sifat tidak mementingkan diri sendiri. Ungkapan ini menggambarkan seseorang yang lebih berfokus ke luar dirinya. Dalam Filipi 2, Paulus mengungkapkan prinsip kasih sejati demikian: “[Hendaklah kamu] tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (ay.3-4).
Paulus memiliki kerinduan besar agar mereka yang menyandang nama Kristus itu bersatu, atau memiliki kesatuan pikiran. Namun, kesatuan ini tidak akan pernah menjadi kenyataan dalam gereja, pernikahan, atau berbagai bentuk hubungan yang lain sebelum kita memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana kita memperhatikan kepentingan diri sendiri. Bahkan Paulus lebih jauh lagi menyatakan bahwa kasih sejati akan mendahulukan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan diri sendiri.
Pengorbanan diri terasa bertentangan dengan watak manusia, tetapi mengekspresikan pikiran Kristus (filipi 2:5).
Dia merendahkan diri-Nya sendiri dan meninggalkan takhta-Nya di surga, untuk hidup dalam keterbatasan tubuh jasmani, hidup dalam kemiskinan, menjadi pelayan bagi orang-orang yang akan menolak-Nya, membasuh kaki para murid yang akan mengkhianati-Nya, dan mati di atas kayu salib demi menebus manusia berdosa yang tidak layak menerima Dia. Seluruh hidup Yesus menjadi teladan kasih sejati yang mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan orang lain.
Kasih Sejati “Tidak Pemarah.” Kata berikutnya yang digunakan Paulus dalam mendefinisikan kasih sejati, menggambarkan hati yang tidak mudah terpancing amarah.
Dengan kata lain, kasih sejati tidak mempunyai sumbu pendek yang membuatnya mudah tersinggung atau marah.
Ciri ini adalah kebalikan dari karakteristik pertama tentang kasih—suatu cara negatif untuk mengatakan bahwa kasih itu sabar dan tabah.
Betapa mudahnya kita melupakan kualitas kasih sejati yang penting ini. Setelah beberapa tahun merasa kecewa kepada satu sama lain, sepasang suami-istri begitu mudah terpancing amarahnya. Orangtua yang frustrasi mengumpat anak-anaknya. Karyawan menjadi cepat marah ketika atasan atau teman sekerjanya tidak memperhatikan sesuatu yang berhak diterimanya.
Mengapa kita mudah terpancing untuk marah? Kadangkadang kita menyimpan amarah dan menjadi panas hati karena kita menginginkan sesuatu saat itu juga, dan kita tidak mau menunggu. Kadang-kadang tabiat kita yang mudah marah membuktikan keegoisan kita sendiri.
Namun, ada sisi lain dari gambaran itu. Meskipun kasih tidak pemarah karena alasan yang mementingkan diri sendiri, adakalanya wajar bagi kita untuk menjadi kecewa dan tergoncang secara emosional. Sebagai contoh dalam
Kisah Para Rasul 17:16, kita membaca: “Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya [marahlah hatinya —Terjemahan Lama] karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala.”
Dalam contoh ini, kemarahan Paulus memang dapat dibenarkan karena berlandaskan kasih. Saat ia menunggu, hatinya perlahan-lahan terbakar oleh amarah. Semakin ia melihat dan memikirkan penyembahan berhala di kota itu, ia semakin prihatin dan sedih mengingat orang-orang yang terluka dan tersesat oleh kepercayaan yang salah tersebut.
Yesus juga pernah sangat marah ketika Dia menjungkirbalikkan meja-meja penukaran uang di depan Bait suci.
Karena kasih-Nya yang begitu besar, Dia marah terhadap komersialisme yang mengusik orang-orang yang datang ke Rumah Bapa-Nya. Dia prihatin terhadap mereka yang terenggut ketenangannya untuk berdoa (matius 21:12-13).
Yesus tidak mengekspresikan rasa tersinggung dan marah yang menunjukkan tidak adanya kasih. Ketika keadaan memancing keprihatinan-Nya, dengan peduli dan kasih Dia bertindak melawan perbuatan yang merugikan orang-orang yang Dia kasihi.
Pengalaman Paulus di Athena dan tindakan Yesus di Bait suci mengingatkan kita bahwa memang ada saatnya kita pantas menjadi marah. Namun demikian, kemarahan itu harus diluapkan dengan kasih, dan tanpa dosa (efesus 4:26).
Kasih Sejati “Tidak Menyimpan Kesalahan Orang Lain.”
Paulus tidak diilhami oleh tiga kera dalam dongen yang
“tidak melihat yang jahat, tidak mendengar yang jahat, dan tidak bicara yang jahat”. Kata dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan sebagai “tidak menyimpan kesalahan orang lain” adalah istilah dalam bidang akuntansi yang berarti
“memperhitungkan sesuatu, menyimpan dalam pembukuan atau catatan keuangan.” Kata “kesalahan” yang dipakai di sini mengacu pada perbuatan salah atau penderitaan yang diakibatkan orang lain.
Kasih yang “tidak menyimpan kesalahan orang lain” tidak akan mengingat-ingat perbuatan keji orang lain dengan maksud balas dendam di kemudian hari. Dengan kata lain, kasih sejati tidak akan menyimpan kemarahan atau membiarkan dendam terus membara terhadap orang lain.
Ketika kita menyimpan kesalahan orang lain dengan maksud untuk membalasnya, kita sendiri mungkin akan membayar lebih mahal daripada yang kita kehendaki.
“Menyamakan kedudukan” dengan lawan adalah hal yang baik dalam dunia olahraga, tetapi itu tidak berlaku dalam kasih. Kasih sejati tidak menyimpan kesalahan, karena kasih menemukan rasa aman di dalam hadirat dan pemeliharaan
Allah. Jika kita tahu bahwa Allah mengendalikan hasil akhirnya, dan Dia selalu memperhatikan yang kita butuhkan, maka kita tidak perlu mengingat-ingat kesalahan orang lain.
Kasih Sejati “Tidak Bersukacita karena Ketidakadilan.”
Singkatnya, Paulus menyatakan, “Kasih tidak menemukan kesenangan dalam segala hal yang dinyatakan salah oleh
Allah.” Kasih juga tidak diam-diam merasa senang dengan kegagalan moral orang lain. Kasih tidak menyebarkan kegagalan orang lain hanya karena kegagalan itu terasa memuaskan. Kasih tidak bergosip supaya kita terlihat lebih pandai, atau untuk merasa puas dengan menyebarluaskan rasa malu seseorang.
Namun, kasih sejati juga peduli akan akibat dosa dalam jangka panjang. Ketika oleh kasih kita perlu menyingkap suatu perbuatan dosa, itu hanya boleh dilakukan demi kebaikan orang lain, dan tidak ada alasan lain yang dapat membenarkan perbuatan kita.
Kasih sejati tahu bahwa kejahatan yang dilakukan pada saat kita bersenang-senang tanpa berpikir panjang akan menuai penyesalan ketika kita akhirnya sadar.
Kasih menyadari bahwa dosa yang ditanam sebagai bibit kebodohan akan suatu hari menuai perpisahan, keterasingan, dan kesepian.
Kasih sejati tidak bersukacita atas ketidakadilan karena ia tidak hanya mempedulikan hari ini, tetapi juga hari esok.
Kasih tidak akan memperlakukan kejahatan sebagai suatu pilihan yang tanpa dosa.
Kasih Sejati “Bersukacita karena Kebenaran.” Paulus baru saja menyatakan bahwa kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan. Sekarang kita membaca bahwa kasih justru bersukacita—karena kebenaran. Mengapa ia mengatakan
“kebenaran”? Mengapa ia tidak mengatakan, “Kasih bersukacita karena keadilan”?
Satu alasan Rasul Paulus memilih kata-kata tersebut mungkin karena adanya hubungan erat antara keadilan dan kebenaran. Dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Tesalonika, Paulus berbicara tentang mereka yang akan dihukum karena “tidak percaya akan kebenaran dan . . . suka kejahatan” (2 tesalonika 2:12).
Ajaran Paulus kepada jemaat di Tesalonika membuat kita mengerti alasan ia mengatakan, kasih bersukacita “karena kebenaran.” Ia ingin kita merenungkan hubungan yang mendalam antara apa yang kita percayai dan apa yang kita lakukan . Di satu sisi, apa yang kita percayai menentukan apa yang kita lakukan. Sebaliknya, apa yang ingin kita lakukan menentukan apa yang ingin kita percayai.
Secara umum, Alkitab berpendapat bahwa tindakan adalah buah dari keyakinan atau kepercayaan. Orang yang sangat meyakini prinsip bahwa kebenaran lebih baik daripada tipu daya biasanya lebih mungkin mengucapkan kebenaran, daripada seseorang yang tidak yakin kebenaran lebih baik daripada kebohongan�
Itulah sebabnya Alkitab sangat menekankan pada kepercayaan yang benar. Doktrin yang baik adalah pemikiran yang benar tentang Allah, diri kita sendiri, dan sesama. Pemikiran yang benar, pada gilirannya, memampukan kita sungguh-sungguh saling mengasihi.
Kejahatan atau ketidakadilan menolak kebenaran.
Semua perilaku yang keliru berakar dari kepercayaan yang salah tentang kenyataan. Segala hal yang tidak bermoral berakar pada sikap menipu diri sendiri yang berkata, “Saya lebih tahu daripada Allah bagaimana saya dapat melayani kepentingan saya sendiri dan orang lain.”
Paulus mempunyai alasan yang baik untuk menyatakan bahwa kasih “tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi
Tanda-Tanda Kasih Sejati karena kebenaran.” Lawan dari ketidakadilan bukan hanya keadilan, tetapi juga kebenaran. Mempercayai kebenaran tentang Allah, sesama manusia, dan diri kita sendiri dapat menolong kita lebih menikmati hidup sebagaimana seharusnya. Kita belajar untuk saling mengasihi dalam kasih karunia dan kebenaran daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Membuang kepercayaan kita yang keliru dan yang merusak diri kita, akan membuat kita mampu untuk bersukacita tatkala kita menemukan keberanian moral, integritas, kesabaran, dan kesetiaan pada diri siapa pun. Itulah kasih sejati.
Di atas dasar keadilan dan kebenaran tersebut, Paulus kini telah siap untuk bergerak menuju puncak penggambarannya tentang kasih.
Kasih Sejati “Menutupi Segala Sesuatu.” Kata menutupi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti “atap”.
Di balik kesederhanaannya tersimpan makna yang sangat mulia. Kasih menutupi dan melindungi bagaikan atap menutupi rumah dan melindunginya dari badai. Kasih terus mengupayakan kebaikan bagi sesama manusia apa pun yang terjadi.
Kasih tahan menghadapi badai kekecewaan, hujan kegagalan, serta tiupan angin waktu dan keadaan. Kasih memberikan perlindungan terhadap dinginnya musim salju dan sengatan matahari di musim panas. Kasih menyediakan tempat perlindungan yang dapat bertahan dalam keadaan seburuk apa pun.
Kasih tak dapat melindungi seseorang dari pahitnya kenyataan hidup di dunia yang rusak ini. Demikian juga kasih tak dapat melindungi mereka dari akibat yang timbul dari pilihan mereka sendiri. Namun, kasih dapat menyediakan tempat bagi orang-orang yang kecewa dan tersakiti untuk menemukan seseorang yang peduli pada kesejahteraan mereka. Kasih menyediakan seorang penolong dan perantara yang selalu berdoa bagi kebaikan orang yang tidak mau bertobat sekalipun. Bagi orang-orang yang paling berdosa, kasih menawarkan tempat untuk membawa hati mereka pada pertobatan.
“Menutupi segala sesuatu” bukan berarti bahwa kasih secara pasif menerima semua dosa, seperti sebuah alas kaki yang secara pasif menahan kaki pemakainya. Namun, yang dimaksud adalah kasih tidak pernah berhenti memperhatikan dan tidak pernah berhenti menawarkan sebuah tempat pengampunan. Kasih tidak akan membenci, memandang rendah, dan mengutuk sesama. Karena peduli, kasih tetap berdoa, sabar menghadapi dosa orang lain, menegur ketika perlu, dan siap memberi pengampunan.
Namun, di sinilah gambaran tentang atap itu tidak lagi dapat digunakan. Kasih tanpa syarat seperti itu bukanlah pelindung yang pasif, melainkan bersifat dinamis, selalu memberi tanggapan yang sesuai dengan pilihan orang yang dikasihi. Sekalipun sifat kasih tidak pernah berubah, strategi dan taktiknya terus-menerus berubah demi mengupayakan kesejahteraan orang lain dalam “segala sesuatu”.
Kasih Sejati “Percaya Segala Sesuatu.” Secara sekilas, sifat kasih ini mungkin meninggalkan kesan bahwa mereka yang peduli terhadap sesama pasti mudah ditipu dan lugu. Bukan itu maksud Paulus. Ia juga tidak menyatakan bahwa kasih selalu memberikan praduga tak bersalah terhadap seseorang. Adakalanya seorang teman yang mengasihi perlu mengambil sikap tidak percaya agar dapat tiba pada inti masalah.
Di sini Paulus menjunjung hubungan mendasar antara kasih dan iman. 1 Korintus 13 mengingatkan kita bahwa kasih sejati dikobarkan oleh iman kita kepada Allah. Kasih sejati bertumbuh dan terpelihara oleh iman, ketika kita
“percaya segala sesuatu” yang difirmankan Allah tentang diri-Nya, diri kita, dan sesama kita. Jika kita meragukan jaminan yang diberikan Allah tentang kesabaran dan kemurahan-Nya atas kita, kita tidak akan mampu bersikap sabar dan bermurah hati kepada orang lain. Jika kita meragukan kesanggupan Allah untuk menyediakan segala kebutuhan kita, kita akan cenderung enggan bermurah hati kepada orang lain.
Kebenaran bahwa kasih “percaya segala sesuatu” menjadi inti dari pemahaman kita tentang kasih yang meneladani Kristus. Kasih sejati berakar dan berdasar dalam iman. Iman, pada gilirannya, berakar dan berdasar pada apa yang dikatakan Allah dalam firman-Nya.
Jika kita tidak “percaya segala sesuatu” yang dikatakan
Allah, kasih kita tidak akan tahan terhadap kekecewaan, penolakan, dan penghinaan yang dialami dalam hidup ini.
Jika tidak membangun kasih kita dengan dasar firman Allah, kasih kita akan cepat menyerah. Hanya dengan beriman kepada Allah, kasih kita akan tetap kuat.
Kasih Sejati “Mengharapkan Segala Sesuatu.” Kalimat ini merupakan lanjutan dari pernyataan sebelumnya.
Jika kita sungguh-sungguh mempercayai firman dan kedaulatan rencana Allah, kita juga akan mempunyai alasan untuk “mengharapkan segala sesuatu”. Jika kita percaya kepada kasih karunia Allah, kita pun dapat percaya bahwa kegagalan manusia bukanlah akhir segalanya. Kasih sejati memiliki pengharapan, karena apa yang dapat Allah lakukan dalam kehidupan seseorang.
Sepertinya tidak masuk akal untuk menganggap bahwa
Paulus meminta kita untuk berharap secara membabi buta, seperti ia meminta kita untuk percaya tanpa benar-benar tahu apa yang dipercayai. Namun, hanya mereka yang percaya kepada Allah yang disaksikan oleh Alkitab itulah yang akan memiliki dasar yang kuat untuk membagikan kasih dan memiliki pengharapan dalam dunia sekarang ini.
Tentang Allah, pemazmur mengatakan, “Kepada-Mulah aku berharap” (mazmur 39:8). Paulus menulis, “Pengharapan tidak mengecewakan” (roma 5:5). Kemudian Petrus menambahkan, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita
Yesus Kristus, yang . . . telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan” (1 petrus 1:3).
Itulah kekuatan kasih. Kekuatan itu dikobarkan dan dipelihara tidak oleh keadaan emosional dan fisik yang terus berubah, melainkan oleh kepercayaan dan pengharapan mendalam yang diberikan Allah kepada mereka yang mempercayai-Nya. Kasih sejati mampu memandang kehidupan, dan juga menjalaninya, dengan optimisme yang menyegarkan, karena “Kristus ada di tengah-tengah [kita], Kristus yang adalah pengharapan akan kemuliaan!” (kolose 1:27).
Kasih Sejati “Sabar Menanggung Segala Sesuatu.”
Paulus menyimpulkan penggambarannya tentang kasih seperti ia memulainya di ayat 4, “Kasih itu sabar.” Perbedaan antara penggambaran pertama dan yang terakhir ini terlihat dari kata-kata yang dipilih Paulus untuk menerangkan unsur yang indah dari kasih sejati. Dengan pengertian bahwa rahasia kasih sejati terletak dalam kepercayaan dan pengharapan yang benar, Paulus telah memberi kita sebuah dasar untuk mengatakan bahwa kasih itu “sabar menanggung segala sesuatu.”
Yesus berbicara tentang dibutuhkannya ketahanan ketika Dia berkata, “Kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat�” (MATIUS 10:22)
Kata dalam bahasa Yunani di ayat 4 ini berfokus pada sikap “sabar” dalam menanggung perlakuan tidak adil dari orang lain, tetapi tanpa memendam kebencian. Yang ditekankan di sini adalah bagaimana kita menanggapi beragam peristiwa hidup. Kasih tidak menyerah dan tidak berhenti. Kasih tidak menjauh. Kasih bertahan menghadapi penderitaan, karena mengetahui bahwa tujuan akhirnya memang layak diperjuangkan.