Tangan dan Hati Terbuka

Page 1

Undangan untuk Bersekutu Memberi tumpangan bukanlah soal hidangan mewah atau pengalaman yang berkesan . . . melainkan sikap hati yang terbuka menerima orang-orang apa adanya. Itulah yang dilakukan Kristus bagi kita, dan kita mendapat hak istimewa untuk mengikuti teladan-Nya. Mungkin awalnya terasa kurang nyaman, tetapi ketika kita membuka pintu rumah dan hati kita bagi sesama, kita membuka diri untuk menerima berkat-berkat yang tak terduga. Pasanglah tanda “Selamat Datang” pada pintu kehidupan Anda dan lihatlah apa yang sanggup dikerjakan Allah melalui diri Anda.

Tangan dan Hati Terbuka Menyambut Sesama Serupa Kristus

Amy Peterson adalah penulis, pengajar, dan pelayan di Gereja Episkopal. Sejumlah buku telah ditulisnya, antara lain: Where Goodness Still Grows: Reclaiming Virtue in an Age of Hypocrisy dan Dangerous Territory: My Misguided Quest to Save the World. Tulisannya pernah diterbitkan di sejumlah media, antara lain: Image, The Washington Post, Christianity Today, Christian Century, The Millions, River Teeth, St. Katherine Review, Relief, dan lainnya.

dhdindonesia.com

AS819

Amy Peterson



pengantar

Tangan dan Hati Terbuka Menyambut Sesama Serupa Kristus

A

my Peterson bertanya-tanya, mungkinkah ada “sesuatu dalam gen saya, yang membuat sebagian besar mimpi saya berisi bayangan tentang bus, kereta, dan ransel.” Sejak usia dini ia sangat bersemangat untuk melihat dunia ini dengan lebih luas dan memberikan pengaruh di dalamnya. Setelah banyak impiannya menjadi kenyataan, Amy menemukan ada banyak hal yang ternyata tidak seperti yang diharapkan. Menimba dari beragam pengalamannya di luar negeri, juga saat bersama Jack, suaminya, tinggal di tengah sebuah komunitas terencana, ia telah belajar sedikit banyak mengenai kebutuhan yang sangat penting dan alkitabiah tentang menyambut sesama dengan tangan terbuka. Terlepas dari ketakutan, perbedaan, dan kesangsian kita, kita perlu menawarkan sekaligus menerima tumpangan dengan rendah hati, penuh rahmat, dan kasih. 1


Dalam Tangan dan Hati Terbuka, ia bukan menjelaskan cara melakukannya, melainkan mendampingi kita di sepanjang perjalanan, sebab seperti kita, Amy Peterson juga adalah seorang pendatang di tengah dunia ini. Our Daily Bread Ministries

2

TANGAN DAN HATI TERBUKA


daftar isi satu

Di Rumah Orang yang Tidak Dikenal ��������������������������� 5 dua

Orang Asing Melayani Orang Asing ��������������������������� 11 tiga

Seruan dalam Perjanjian Baru ��������������������������������������� 17 empat

Berbagai Kesulitan yang Dijumpai �����������������������������20 lima

Berkat-Berkat Tak Terduga saat Menyambut Sesama �������������������������������������������������26 Lampiran

Ide-Ide untuk Menyambut Sesama ���������������������������� 31 EDITOR: Tim Gustafson, J.R. Hudberg, Peggy Willison GAMBAR SAMPUL: Art4all via Shutterstock.com PERANCANG: Steve Gier PENERJEMAH: Arvin Saputra EDITOR TERJEMAHAN: Rosi L. Simamora PENYELARAS BAHASA: Dwiyanto Fadjaray PENATA LETAK: Mary Chang GAMBAR ISI: (hlm.1) Art4all via Shutterstock.com; (hlm.4) Clipart deSIGN via Shutterstock.com; (hlm.10) Crystal Eye Studio via Shutterstock.com; (hlm.17) Rudall30 via Shutterstock.com; (hlm.21) Ardea-studio via Shutterstock.com; (hlm.27) Shutterstock.com (composite) Kutipan ayat diambil dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia, LAI © 1974 © 2022 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, MI Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dicetak di Indonesia. Indonesian Discovery Series “Humble Heart, Open Hands”



satu

Di Rumah Orang yang Tidak Dikenal

W

aktu itu akhir musim semi, tahun 2004, menjelang akhir tahun pertama saya mengajar bahasa Inggris di Asia Tenggara. Sambil mengendarai motor listrik dari kampus universitas tempat saya bekerja, saya berharap satu malam di tepi pantai akan menyegarkan saya untuk menghadapi akhir semester. Jalanan berdebu segera berganti dengan deretan sawah, warnanya cerah dan muda, di sepanjang kiri dan kanan jalan menuju pantai. Saya menaikkan kecepatan dan angin menyejukkan udara panas yang tak kenal ampun. Sebuah sepeda motor berhenti di samping motor saya. Si pengendara, seperti semua wanita di negara tempat saya tinggal, mengenakan atasan lengan panjang, celana panjang, topi, dan syal untuk melindungi wajahnya dari 5


sinar matahari. Ia menurunkan syal, menampakkan senyuman lebar. “Halo!” kata wanita yang tersenyum itu. “Hai,” jawab saya, berusaha menyembunyikan perasaan jengkel. Tidak tahukah bahwa saya sedang Tidak tahukah mencoba menyendiri? Namun, di bahwa saya wilayah ini banyak warga setempat yang belum pernah melihat orang sedang mencoba asing, dan mereka selalu ingin menyendiri? mengajak saya bicara. “Nama saya Leigh!” serunya. “Anda orang Amerika?” Saya mengiyakan, berharap percakapan kami segera berakhir. Setelah satu-dua kalimat, percakapan kami memang berakhir. “Oh! Itu rumah saya,” katanya, melambatkan langkah dan berbalik sambil menunjuk sebuah rumah kayu kecil berfondasi semen di tengah sawah dan pepohonan kelapa sawit. “Silakan datang ke rumah saya!” katanya. Saya mengatakan terima kasih, tetapi melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat tinggal. Setelah tiba di hotel, saya meminta stafnya untuk mengisi ulang listrik sepeda motor saya agar dayanya penuh untuk perjalanan pulang keesokan paginya. Saya pun menyambar buku-buku dan jurnal saya, lalu menuju ke pantai. Setelah satu hari satu malam dihabiskan dengan bersaat teduh dan berdoa, saya siap kembali ke kampus dan menyelesaikan semester tersebut. Namun, di tengah perjalanan pulang, sepeda motor saya mulai kehilangan kecepatan. Tak lama kemudian, saat kecepatan motor saya tidak lebih dari 4 kilometer per jam, saya tersadar rupanya pengurus hotel tidak mengisi ulang listrik sepeda motor saya 6

TANGAN DAN HATI TERBUKA


sampai tuntas. Barangkali mereka ingin menghemat listrik. Sepeda motor saya pun kehabisan daya. Saya memandang sekitar saya. Tidak tampak siapa-siapa, hanya pemandangan serba hijau yang panas menyengat dan bunyi dengung nyamuk. Jarak dari kota masih sekitar 10 kilometer, dan saya dalam kesulitan. Kalaupun seseorang datang, tidak mungkin mereka membawakan segalon bensin. Lagi pula saya tidak butuh bensin, melainkan colokan listrik. Lalu saya menyadari sesuatu: persis ketika motor saya kehabisan daya, saya melewati rumah Leigh. Wanita yang pernah memperkenalkan diri kepada saya sehari sebelumnya itu tinggal persis di tempat saya berada, di tengah sawah ini. Saya pun berbelok menyusuri jalan tanah menuju rumah kecil milik wanita ceria yang tidak saya kenal itu. Leigh senang sekali melihat saya, dan mengizinkan saya mengisi ulang listrik sepeda motor saya di samping rumahnya. Sekarang saya baru menyadari bahwa ia sedang hamil tua, dan barangkali usianya hanya beberapa tahun lebih tua Dengan daripada saya. Leigh mempersilakan saya duduk, lalu mengeluarkan kemampuan buah kelapa dan parang. bahasa yang Terpesona sekaligus agak ngeri, terbatas, kami saya menyaksikan wanita hamil menghabiskan berperawakan mungil ini membelah kelapa dan menuangkan airnya ke satu jam dengan dalam dua gelas. Ia menawarkan bercakap-cakap, segelas kepada saya, lalu duduk berbagi kisahmendampingi saya. Dengan kisah kehidupan. kemampuan bahasa yang terbatas, kami menghabiskan satu jam dengan Di Rumah Orang yang Tidak Dikenal

7


bercakap-cakap, berbagi kisah-kisah kehidupan. Ia bercerita bahwa ia pernah berkuliah, menikahi pacarnya sejak SMA, lalu pindah ke kebun kelapa sawit suaminya. Suaminya sering melakukan perjalanan bisnis, sehingga ia ditinggal sendirian dalam keadaan hamil. Ia menyurati teman-teman sekelasnya yang telah menikah dengan orang asing dan pindah ke Australia serta Inggris; ia merindukan mereka. Saya bercerita tentang keluarga yang saya tinggalkan di Amerika, dan tentang pekerjaan saya mengajar bahasa Inggris di universitas. Berkat kemurahan hati Leigh, akhirnya saya dapat meneruskan perjalanan pulang. Saya tidak bisa Selama dua belas tahun sejak motor saya kehabisan daya di tengah menunjukkan sawah yang sepi di Asia Tenggara, bahwa saya saya sering mengingat momen tadi layak dipercaya, sebagai contoh sambutan yang tidak bisa secara konsisten ditawarkan kepada membuktikan saya di sana. Saya seorang asing yang membutuhkan pertolongan. bahwa saya Saya tidak bisa menunjukkan pantas ditolong, bahwa saya layak dipercaya, tidak dan juga tidak bisa membuktikan bahwa saya bisa memberikan pantas ditolong, dan juga tidak bisa memberikan kompensasi. Meski kompensasi. demikian, saya disambut dan Meski demikian, dilayani dengan hangat. saya disambut Cara saya disambut sebagai dan dilayani orang asing di Asia Tenggara tersebut memicu hasrat saya dengan hangat. untuk memberikan sambutan 8

TANGAN DAN HATI TERBUKA


serupa ketika saya kembali ke Amerika. Namun, ketika saya pulang dan mulai belajar serta mempraktikkannya, saya menyadari betapa minim pemahaman saya mengenai hal itu. Ketika mempelajari apa yang dimaksud Memberi dengan “memberi tumpangan” (hospitality) dalam Alkitab, saya sadar tumpangan betapa berbedanya makna kata itu adalah soal sikap dari apa yang saya pahami sejak hati. Memberi kecil. Memberi tumpangan bukanlah tumpangan soal mempunyai perangkat makan artinya yang serasi dan menu berstandar tinggi, atau dekorasi yang pantas membuka diri dipamerkan. Memberi tumpangan secara emosional, bukanlah soal pesta-pesta yang fisik, rohani, direncanakan dengan sempurna terhadap orang di rumah-rumah tanpa cacat cela asing—dan dengan kudapan mewah. Memberi tumpangan tidak ada hubungannya membuka dengan rumah bersih atau menjadi diri untuk tuan rumah yang royal. Dalam mendapatkan budaya kita, hal-hal tersebut berkat-berkat tak yang kita maksudkan ketika kita berbicara tentang hospitality, atau terduga sebagai keramahtamahan. Kita bahkan balasannya. memiliki apa yang disebut industri hospitality, yang mencakup jasa penyediaan penginapan dan makanan—yang barangkali agak kontradiktif dengan arti pemberian tumpangan dalam Alkitab. Secara alkitabiah, memberi tumpangan bukanlah Di Rumah Orang yang Tidak Dikenal

9


soal mengadakan pesta bagi teman-teman Anda atau mendapatkan keuntungan finansial dari orang-orang asing. Sebaliknya, memberi tumpangan, atau menyambut sesama, adalah soal sikap hati. Memberi tumpangan artinya membuka diri secara emosional, fisik, rohani terhadap orang asing—dan membuka diri untuk mendapatkan berkat-berkat tak terduga sebagai balasannya.

10

TANGAN DAN HATI TERBUKA


ANDA DAPAT MEMBERI DAMPAK YANG BERARTI! Materi kami tidak dikenakan biaya. Pelayanan kami didukung oleh persembahan kasih dari para pembaca kami. Jika Anda ingin mendukung pelayanan kami, Anda dapat mengirimkan persembahan kasih melalui rekening a/n YAYASAN ODB INDONESIA Green Garden

253-300-2510

Daan Mogot Baru

0000-570195

Taman Semanan Indah

118-000-6070-162

Scan QR code ini untuk donasi dengan aplikasi e-wallet.

Yayasan ODB Indonesia Silakan konfirmasi persembahan kasih Anda melalui: WhatsApp: 0878-7878-9978 E-mail: indonesia@odb.org

Dukung kami dengan klik di sini.


dua

Orang Asing Melayani Orang Asing

A

braham menerima berkat yang tak terduga itu. Pada suatu hari, ketika Abraham duduk di pintu kemahnya, beristirahat di bawah naungan pepohonan besar di Mamre, ia mengangkat wajahnya dan melihat tiga orang berdiri di dekatnya. Ia bergegas menghampiri orang-orang asing itu dan menyambut mereka sebagai tamu terhormat. “Biarlah diambil air sedikit,” katanya, dengan mengajak mereka untuk beristirahat bersamanya, “basuhlah kakimu dan duduklah beristirahat di bawah pohon ini; biarlah kuambil sepotong roti, supaya tuan-tuan segar kembali; kemudian bolehlah tuan-tuan meneruskan perjalanannya” (KEJADIAN 18:4-5). Abraham meminta Sara, istrinya, memanggang roti bagi orang-orang 11


asing itu, dan ia memilih sendiri anak lembu dari antara ternaknya untuk diolah hambanya menjadi hidangan bagi para tamunya. Sementara menikmati hidangan istimewa tersebut, orang-orang asing itu pun berbicara. Mereka membawa pesan dari Allah: tahun depan, mereka berkata, Sara akan melahirkan seorang anak laki-laki (KEJADIAN 18:1-15). Cara hidup Abraham dan adat istiadatnya tidak jauh berbeda dari adat suku Bedouin dan para nomad masa klini. Kebiasaan memberikan sambutan dan tumpangan seperti itu masih terus dilakukan terhadap para tamu di sebagian besar wilayah Timur Tengah, tanpa membedakan apakah tamu itu memang dinantikan atau tidak.

Dengan menyambut orang-orang asing itu, Abraham mengetahui sesuatu tentang Allah, dan tentang rancangan Allah baginya. “Tak dipungkiri bahwa kisah pertama dari tradisi alkitabiah tentang memberi tumpangan ini memandang positif sambutan terhadap orang asing,” tulis Christine Pohl dalam Making Room. “Memberi tumpangan dikaitkan dengan kehadiran Allah, janji, dan berkat.” Perbuatan tersebut juga punya andil dalam kisah besar Israel sebagai bangsa asing yang dipilih Allah untuk menjadi umatNya, keluarga-Nya. Barangkali Abraham sangat senang menawarkan tumpangan kepada orang-orang asing itu karena ia sendiri tahu, seperti apa rasanya menjadi orang asing. Allah telah memanggil Abraham untuk meninggalkan keluarga dan tanah kelahirannya, dan menetap di tempat asing. Abraham tahu bahwa keturunannya juga akan membutuhkan sambutan serupa. Ketika Allah berjanji akan menjadikan keturunan Abraham tak terhitung banyaknya seperti bintang di langit, Dia sudah memperingatkan Abraham, “Ketahuilah dengan sesungguhnya bahwa keturunanmu akan menjadi orang asing 12

TANGAN DAN HATI TERBUKA


dalam suatu negeri, yang bukan kepunyaan mereka, dan bahwa mereka akan diperbudak dan dianiaya, empat ratus tahun lamanya” (KEJADIAN 15:13). Beberapa generasi kemudian, nubuat tersebut digenapkan. Bencana kelaparan telah mendesak keturunan Abraham mengungsi ke Mesir, dan seiring berjalannya waktu, orang Mesir memperbudak orang Israel, dan menjebak mereka dalam perbudakan jauh dari tempat kediaman mereka. Setelah Musa memimpin umat Allah keluar dari perbudakan di Mesir, ia menyampaikan hukum-hukum Allah Menyambut kepada mereka. Allah mengingatkan umat-Nya, bahwa sementara mereka orang asing menikmati kebebasan dan kediaman adalah yang baru, mereka tetap harus cara hidup memandang diri mereka sebagai mendasar yang pendatang. Allah sajalah yang empunya tanah, dan mereka harus dirancangkan menjadi pengelolanya, tetapi mereka Allah bagi umattetaplah “orang asing dan pendatang” Nya. (IMAMAT 25:23). Menyambut atau memberikan tumpangan kepada orang asing adalah cara hidup mendasar yang dirancangkan Allah bagi umat-Nya. “Orang asing janganlah kamu tekan,” demikian perintah yang diberikan kepada Musa. “Kamu sendiri telah mengenal keadaan jiwa orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (KELUARAN 23:9). Pengalaman bangsa Israel yang pernah ditindas menjadi kunci bagi keterbukaan mereka untuk menyambut orang lain. Apa artinya menjadi “pendatang” di Timur Tengah Orang Asing Melayani Orang Asing

13


3.000 tahun yang lalu? Sekarang ini kita sering menganggap pendatang atau orang asing hanya sebagai pelancong, yaitu mereka yang lebih suka bepergian melihat dunia daripada menetap. Barangkali dalam bayangan kita, mereka adalah para imigran dan pengungsi, entah karena pilihan sendiri atau keadaan, yang meninggalkan tempat kediaman mereka dan menetap di tempat lain. Namun, dalam masyarakat agraris, menjadi pendatang memiliki arti yang unik. Karena akses kepada tanah bernilai esensial bagi kehidupan, para pendatang yang tidak mempunyai tanah menghadapi risiko; keamanan dan kesejahteraannya tergantung pada kesediaan suatu komunitas untuk menyambut mereka. Para pendatang termasuk yang paling berisiko dalam masyarakat agraris, seperti halnya orang miskin, para janda, dan yatim piatu. Ada baiknya kita melihat berbagai versi terjemahan Alkitab bahasa Indonesia untuk kata ini. Versi Terjemahan Baru dan Bahasa Indonesia Sehari-hari menyebutnya “orang asing”; versi Terjemahan Sederhana Indonesia menerjemahkannya sebagai “pendatang”; versi Modified Indonesian Literal Translation menulisnya sebagai “pengembara”. Semua terjemahan itu mengandung ide tentang seseorang yang keluar dari atau tidak berada di tempat asalnya.

Pada dunia timur masa silam, memberi tumpangan kepada orang asing dipandang sebagai tugas suci kepada sesama manusia, tetapi bagi Israel, hal tersebut juga diatur menurut hukum secara eksplisit. Bahkan, mengasihi orang asing dan juga sesama adalah perintah yang setara bagi umat Allah (IMAMAT 19). Hukum-hukum yang spesifik menuntut orang Israel untuk memperhatikan para pendatang, membayar mereka dengan upah setara dan tepat waktu (ULANGAN 24:14-15), bahkan melibatkan mereka dalam kehidupan ibadah (ULANGAN 29:10-15). 14

TANGAN DAN HATI TERBUKA


Kitab Rut memberi gambaran jelas bagaimana sebagian dari hukum ini diberlakukan. Lahir sebagai orang Moab, Rut kemudian menikah dengan pria Israel yang menetap di Moab karena menghindari bencana kelaparan di Betlehem. Ketika semua pria dalam keluarga suaminya meninggal, Naomi, ibu mertua Rut, mendorong Rut kembali ke kampung halamannya dan mencari suami baru. Rut menolak. Ia ingin tinggal bersama ibu mertuanya, katanya, “Ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (RUT 1:16). Dengan iman kepada Allah Israel, kedua wanita itu kembali ke Betlehem. Mereka berdua sangat rentan: samasama janda, dan walaupun Naomi orang Israel, Rut orang asing—pendatang yang berasal dari bangsa dengan reputasi yang sangat buruk. Dalam generasi-generasi sebelumnya, orang Moab menolak untuk menyambut orang Israel yang melarikan diri dari perbudakan di Mesir, dan hubunganhubungan amoral dengan wanita-wanita Moab pernah menyeret umat Allah kepada penyembahan berhala (BILANGAN 25:1-2). Allah bahkan telah menyatakan bahwa “Seorang Moab janganlah masuk jemaah Tuhan, bahkan keturunannya yang kesepuluhpun tidak boleh masuk jemaah Tuhan sampai selama-lamanya” (ULANGAN 23:3-6). Maka Rut si wanita Moab dan Naomi, ibu mertuanya, pasti bertanya-tanya, bagaimana mereka akan disambut di Betlehem. Akankah mereka menerima sambutan, tempat tinggal, dan nafkah bagi diri mereka sendiri? Barangkali Rut tahu bahwa Allah Israel telah membuat pengecualian dalam hukum bagi para janda dan orang asing seperti mereka, dengan mengajar umat-Nya: Apabila engkau menuai di ladangmu, lalu terlupa seberkas di ladang, maka janganlah engkau kembali untuk mengambilnya; Orang Asing Melayani Orang Asing

15


itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda—supaya Tuhan, Allahmu, memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu. Apabila engkau memetik hasil pohon zaitunmu dengan memukulmukulnya, janganlah engkau memeriksa dahan-dahannya sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda. Apabila engkau mengumpulkan hasil kebun anggurmu, janganlah engkau mengadakan pemetikan sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda. Haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir; itulah sebabnya aku memerintahkan engkau melakukan hal ini. (ULANGAN 24:19-22) Karena Rut dan Naomi tidak mempunyai tanah sendiri, Rut berkata kepada Naomi, “Biarkanlah aku pergi ke ladang memungut bulir-bulir jelai di belakang orang yang murah hati kepadaku” (RUT 2:2). Ternyata, ladang tempat ia menemukan pekerjaan itu adalah kepunyaan Boas, yang kebetulan kerabat dekat Naomi (RUT 2:3,20). Boas mendorong Rut untuk terus memungut dari ladangnya, dan memperlihatkan kemurahan hati yang besar kepadanya, bahkan melampaui apa yang diperintahkan hukum, dan pada akhirnya Boas menikahi Rut. Putra mereka, Obed, adalah kakek Daud, raja terbesar yang pernah memimpin Israel. Ketaatan Boas untuk memberikan tumpangan telah membawa seorang asing masuk ke dalam keluarga umat Israel, dan Allah memberkati iman Rut serta ketaatan Boas, dengan menjadikan Rut orang Moab bagian dari silsilah yang akhirnya melahirkan Sang Mesias, Yesus (MATIUS 1:5-6). Allah memberikan tumpangan dan perhatian kepada orang Israel, yang tahu seperti apa rasanya menjadi orang asing dan kaum pendatang yang membutuhkan sambutan dan penerimaan. Karena itulah, Allah mengharapkan umatNya menjadikan kerelaan memberikan tumpangan tersebut sebagai bagian penting dari identitas mereka di dunia.

16

TANGAN DAN HATI TERBUKA


tiga

Seruan dalam Perjanjian Baru

D

alam Perjanjian Baru, pemahaman yang kuat tentang pemberian tumpangan ini tetap penting bagi identitas umat Allah. Sama seperti orang Israel adalah orang asing yang menyambut orang asing, Kristus sendiri adalah pendatang yang menyambut pendatang. Ketika masih kanak-kanak, Yesus dan orangtua-Nya menjadi pengungsi, melarikan diri dari Betlehem ke Mesir demi menyelamatkan nyawa mereka. Pastilah kelangsungan hidup mereka tergantung pada kemurahan banyak orang yang tidak mereka kenal. Belakangan, setelah dewasa, Yesus sering muncul di hadapan orang-orang di berbagai kota dan desa Palestina sebagai pendatang yang tidak memiliki tempat tinggal. “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk 17


meletakkan kepala-Nya,” kata Yesus saat menggambarkan kehidupan-Nya sendiri (MATIUS 8:20). Meski Kristus sendiri adalah pendatang, Dia juga menyambut orang lain. Dia mau disambut dan juga mau menerima siapa saja, termasuk orang-orang yang dipandang rendah atau dihindari: para pemungut cukai, orang Samaria, dan kaum wanita. Pada akhirnya, kematian Yesus pun merupakan bentuk penerimaan. Dia menyerahkan nyawa-Nya agar para pengikut-Nya dapat diterima ke dalam Kerajaan Allah. Kematian-Nya mengaitkan penerimaan, kasih karunia, serta pengorbanan, menjadikan kebajikan-kebajikan tersebut sebagai bagian tak terpisahkan dari iman kita. Paulus mendesak orang Kristen mengikuti teladan Kristus: “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (ROMA 15:7). Kita menyambut dan menerima orang lain karena Kristus sendiri telah menyambut dan menerima kita. Bagi pengikut Kristus, menerima sesama bukanlah pilihan. Salah satu kata Yunani yang dipakai untuk “memberi tumpangan” dalam Perjanjian Baru adalah philoxenia, yang berasal dari phileo, kata yang menggambarkan kasih kekeluargaan, Kita menyambut dan xenos, yang berarti orang asing. dan menerima Berulang kali para penulis Perjanjian Baru menyerukan kepada umat orang lain Kristen untuk mendemonstrasikan karena Kristus kasih terhadap orang asing. sendiri telah “Usahakanlah dirimu untuk selalu menyambut dan memberikan tumpangan,” tulis Paulus, dan Rasul Petrus juga menerima kita. sependapat: “Berilah tumpangan 18

TANGAN DAN HATI TERBUKA


seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut” (ROMA 12:13; 1 PETRUS 4:9). Penulis Kitab Ibrani mengingatkan pembacanya tentang pengalaman Abraham: “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat Umat Kristen demikian beberapa orang dengan pada lima abad tidak diketahuinya telah menjamu pertama Masehi malaikat-malaikat” (IBRANI 13:2). dikenal luas Seperti apakah sambutan itu? Dalam gereja mula-mula, tindakan karena kesediaan memberikan tumpangan memiliki mereka untuk banyak bentuk. Catatan sejarah menyambut memperlihatkan bahwa umat Kristen siapa saja dan pada lima abad pertama Masehi dikenal luas karena kesediaan melayani orang mereka untuk menyambut siapa saja miskin, orang dan merawat orang miskin, orang asing, dan orang asing, dan orang sakit. Sebagian sakit. besar jemaat berkumpul di rumahrumah, sehingga orang percaya terbiasa membuka pintu rumah mereka kepada satu sama lain untuk beribadah dan makan bersama. Dalam perjalanan Paulus dan para misionaris lain untuk menyebarkan Injil, mereka mengandalkan warga lokal untuk memberi mereka tumpangan di setiap tempat. Doa terakhir Yesus yang tercatat bagi murid-murid-Nya adalah doa memohon kesatuan (YOHANES 17), dan para pengikut-Nya—yang datang dari kelompok sosial dan etnis berbeda-beda—pasti mengerti, bahwa untuk mencapai kesatuan, mereka perlu belajar menyambut orang yang berbeda dari mereka. Tentu, prosesnya tidaklah selalu mulus. Seruan dalam Perjanjian Baru

19


empat

Berbagai Kesulitan yang Dijumpai

P

roses saya belajar untuk memberikan tumpangan juga tidak selalu mulus. Beberapa tahun setelah kami kembali ke Amerika dari Asia Tenggara, saya dan Jack memutuskan untuk pindah ke Seattle. Kami tidak mempunyai pekerjaan atau rencana yang jelas, tetapi saudara perempuan Jack menampung kami selama beberapa minggu pertama, lalu melalui gereja kami menemukan tempat tinggal sendiri. Waktu itu kami tinggal di sebuah rumah tua besar di distrik universitas, milik suami-istri pensiunan yang ingin rumah itu digunakan untuk pelayanan. Karena terinsiprasi oleh sikap murah hati yang kami terima sebagai orang asing di negara lain, kami ingin menawarkan sambutan serupa kepada siswa-siswi internasional di Amerika Serikat. Sebagai pengurus rumah tadi, kami menempati sebuah kamar, dan menyewakan ketujuh kamar lainnya kepada siswa-siswi dari 20


Tiongkok, Taiwan, Korea, Indonesia, Jepang, Nepal, dan Kamerun. Bersama teman-teman satu rumah itu, kami menerapkan apa yang disebut komunitas terencana. Kami berbagi tanggung jawab dalam memasak dan bersih-bersih, makan malam bersama lima kali seminggu, dan berkumpul untuk berdoa seminggu sekali. Setiap Jumat malam, kami mengadakan “Persekutuan Kristen Internasional,” acara makan malam dan studi Alkitab yang rutin dihadiri oleh kirakira tiga puluh siswa internasional lainnya di daerah kami. Kehidupan seperti itu indah, tetapi terkadang—bahkan sering—kami gagal menunjukkan sambutan yang seharusnya kami praktikkan. Salah satu teman serumah kami di awal adalah kakak-beradik dari Korea yang tidak lancar berbahasa Inggris. Mereka tidak ingin pindah ke Amerika, tetapi dipaksa oleh orangtua mereka. Setelah beberapa minggu, kami menyadari salah seorang dari mereka punya kebiasaan makan banyak lalu memuntahkannya. Ia makan sangat sedikit ketika makan bersama, tetapi malamnya seloyang roti pisang menghilang. Lalu, kami mendengar toilet digelontor berulang kali. Kami tidak tahu bagaimana cara menolongnya. Kami pun tidak terlalu berusaha mencari jalan keluar. Kami merasa lega ketika mereka meninggalkan rumah. Kemudian, seorang teman serumah dari Nepal selalu meninggalkan piring kotor di atas kompor. Kami tidak ingin menegur perbuatannya. Teman-teman dari Tiongkok dan Korea bertengkar tentang cara menanak nasi dan membersihkan kamar mandi. Teman serumah dari Jepang begitu tertutup sampai-sampai kami tidak mengenalnya; tetapi pertanyaannya, benarkah kami telah sungguh-sungguh berusaha? Jemaat mula-mula juga mengalami konflik ketika orang dari latar belakang budaya yang berbeda-beda berkumpul untuk beribadah bersama. Ketidaksepahaman di antara Berbagai Kesulitan yang Dijumpai

21


mereka bukan hanya soal teori, melainkan bersifat praktis, seperti masalah yang kami hadapi. Sebagian konflik terbesar yang dicatat dalam Kitab Kisah Para Rasul terpusat pada soal apakah umat Kristen perlu mengikuti tradisi Yahudi. Apakah umat Kristen perlu mempertahankan kosher—cara makan yang diikuti orang Yahudi selama berabad-abad, dengan tidak makan daging babi dan kerang? Apakah para petobat baru harus disunat? Apakah boleh makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala? Saat jemaat mula-mula bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Allah memakai pergumulan mereka untuk menyatakan diri-Nya. Melalui hubungan lintas budaya yang mereka jalani, akhirnya mereka mengerti bahwa Injil Kristus tidak diperuntukkan hanya bagi orang Yahudi, melainkan juga bagi orang bukan Yahudi, dan bagi siapa saja di mana saja yang takut akan Allah (KISAH PARA RASUL 10 & 15) . Kisah Para Rasul 10 menerangkan sang perwira dari “pasukan Italia” sebagai orang “saleh, ia serta seisi rumahnya takut akan Allah dan ia memberi banyak sedekah kepada umat Yahudi dan senantiasa berdoa kepada Allah” (AY.1-2). Dalam Kisah Para Rasul 15, beberapa orang Yahudi mengajar umat Tuhan bahwa tradisi agamawi Yahudi berupa sunat juga penting bagi keselamatan. Paulus dan Barnabas menolak keras pengajaran sesat itu, dan perdebatan itu akhirnya lebih mengokohkan kesatuan antara umat Kristen Yahudi dan yang bukan Yahudi (AY.1-35).

Pertumbuhan gerakan Kristen yang baru berkembang itu bergantung pada wanita-wanita yang bersedia memberikan tumpangan bagi para misionaris keliling dan jemaat yang baru terbentuk. Kaum wanita—khususnya para janda— adalah orang-orang yang paling siap untuk menerima para misionaris keliling, pengajar, dan orang Kristen yang melakukan perjalanan. Jemaat-jemaat yang baru terbentuk 22

TANGAN DAN HATI TERBUKA


berkumpul di rumah para wanita, seperti Kloe, Priskila, Nimfa. Dalam salah satu perjalanan misinya, Rasul Paulus berjumpa seorang wanita bernama Lidia yang mempercayai pesan sang rasul dan mengundangnya ke rumahnya. Sambutan Lidia kepada Paulus barangkali menantang sang rasul untuk memikirkan ulang prasangka-prasangka budaya dan sosio-ekonomi yang telah mendarah daging dalam dirinya. Paulus telah datang ke Filipi di Makedonia. Ia pergi ke sana karena memimpikan “seorang Makedonia berdiri di situ,” yang memintanya datang dan menolongnya (KISAH PARA RASUL 16:9). Namun, setelah beberapa hari di kota itu, orang dalam mimpinya tadi belum muncul juga. Jadi, siapa orang di Filipi yang siap mendengarkan pesan Paulus? Teks Alkitab tidak memberi tahu kita di mana Paulus dan rekan-rekannya tinggal selama beberapa hari pertama. Kota Filipi belum pernah mendengar Injil, bahkan bisa jadi tidak memiliki sinagoga Yahudi (tempat yang biasanya Paulus kunjungi lebih dulu di sebuah kota), karena pada hari Sabat, mereka tidak pergi ke sinagoga untuk beribadah. Mereka pergi “ke luar pintu gerbang kota. . . . menyusur tepi sungai”, dengan menduga akan menemukan tempat sembahyang (KISAH PARA RASUL 16:13). Benar saja. Mereka menemukan sebuah komunitas religius para wanita, termasuk Lidia, seorang “yang beribadah kepada Allah,” berasal dari Tiatira, dan penjual kain ungu (AY.14). (Istilah “yang beribadah kepada Allah” sering dipakai untuk menggambarkan orang bukan Yahudi yang takut akan Allah, yang beribadah kepada Allah tetapi belum pernah mendengar Injil Yesus Kristus). Wanita-wanita itu menyambut Paulus, dan memberinya tumpangan. Lidia dan seisi rumahnya mendengarkan Paulus berkhotbah, memberi diri dibaptis, dan “mendesak” Paulus untuk tinggal bersama mereka (AY.15). Berbagai Kesulitan yang Dijumpai

23


Contoh orang-orang bukan Yahudi yang takut akan Allah dalam Alkitab juga termasuk dua orang perwira Romawi. Kita berjumpa dengan yang pertama dalam Lukas 7:2-10 ketika Yesus menyembuhkan hamba sang pemimpin pasukan; yang berikutnya adalah perwira dalam Kisah Para Rasul 10. Paulus mengacu kepada orang-orang seperti itu ketika berbicara dalam suatu sinagoga di Antiokhia dengan mengatakan, “Hai orang-orang Israel dan kamu yang takut akan Allah, dengarkanlah!” (KISAH PARA RASUL 13:16).

Sejak kecil, setiap kali mendengarkan kisah Lidia, saya diberi tahu bahwa ia wanita pebisnis kaya raya yang memberi tumpangan untuk Paulus. Suatu riset mengindikasikan bahwa kisahnya ternyata tidak demikian. Menurut Arthur Sutherland dalam buku I Was a Stranger: A Christian Theology of Hospitality, nama Lidia adalah suatu ethnicon, yaitu nama yang diberikan kepada budak untuk menggambarkan asal-usul, kebangsaan, dan etnisnya. Lidia adalah seorang budak yang telah dibebaskan dari kota bernama Lidia di wilayah Tiatira. Kemungkinan besar ia terpaksa pindah ke Filipi setelah dibebaskan, karena budakbudak yang dibebaskan hanya dapat bekerja di wilayah yang sama dengan mantan majikan mereka, jika pekerjaan mereka tidak mengakibatkan kerugian ekonomi bagi mantan majikan mereka. Mencelup kain bukanlah pekerjaan papan atas: tempat mencelup kain itu bau, karena proses mencelup wol melibatkan banyak sekali air seni hewan, dan sebagian besar pekerjaannya dilakukan dengan tangan, sehingga tangan dan lengan para pekerjanya ternoda, dan itu menjadi tanda yang nyata dari kelompok masyarakat berstatus sosial rendah. Jadi, Lidia dan seisi rumahnya kemungkinan besar adalah sekelompok wanita imigran dengan pekerjaan berupah minimal. Mereka miskin, wanita, dan berbau seperti air seni. Ketika Paulus dan rekan-rekannya setuju 24

TANGAN DAN HATI TERBUKA


menerima undangannya untuk menumpang, itulah contoh orang asing menyambut orang asing lainnya, dan contoh bagaimana seorang wanita kelas rendahan “mendesak” Paulus untuk menumpang di rumahnya. Kata yang dipakai— mendesak—menunjukkan adanya pemaksaan, dan Paulus perlu diyakinkan. Hal itu juga menunjukkan bahwa Lidia hendak mengatakan, “Jika Injil yang engkau khotbahkan itu sungguhan, dan sekarang engkau dan aku sungguh-sungguh bersaudara, sama-sama ahli waris Kristus, maka buktikanlah itu dengan bersedia menumpang di rumahku.” Permintaan Lidia yang gigih itu melampaui tradisi yang berlaku, yang menyatakan bahwa seorang wanita seharusnya hanya menampung orang-orang yang dikenalnya dengan akrab. Kristus telah mematahkan tradisi tersebut: berdasarkan kesatuan mereka dalam Kristus, Lidia memiliki otoritas untuk menyambut, menerima, dan melindungi orang-orang asing. Kisah Lidia memperlihatkan bahwa kerelaan memberi tumpangan bukanlah didasarkan pada tersedianya harta milik, melainkan pada fakta bahwa kita ini milik Kristus. Sambutan dapat ditawarkan oleh orang asing kepada orang asing lainnya, dapat mematahkan adat istiadat, dapat terasa tidak nyaman sekaligus membawa berkat—semua itu didasarkan pada identitas yang sama-sama kita miliki di dalam Kristus. Pengalaman pribadi saya mengajarkan bahwa membangun relasi dengan orang-orang yang berbeda dari saya, memberikan tumpangan kepada orang asing, dan menerima orang lain dengan terbuka memang bukan persoalan sederhana atau langsung mulus. Namun, saya juga tahu bahwa Allah menyatakan diri-Nya sendiri dalam hubungan-hubungan tersebut, dan memakai semua itu untuk membongkar prasangka dan praduga kita, dan Dia muncul dengan cara-cara yang tak terduga. Berbagai Kesulitan yang Dijumpai

25


lima

Berkat-Berkat Tak Terduga saat Menyambut Sesama

T

erlepas dari banyaknya kegagalan kami di rumah kami bersama di Seattle, hubungan-hubungan yang terjalin di rumah tersebut telah memberkati kami. Rosie, putri pertama kami lahir saat kami tinggal di sana, dan setelah kelahirannya, Kei, teman serumah kami menghubungi ibunya di Korea, dan meminta resep sup untuk ibu yang baru melahirkan. Ia pun memasaknya untuk saya—sup yang kental dan penuh krim, lengkap dengan nasi dan kaldu ayam. Grace menjadi Ayi Grace, atau Bibi Grace, bagi putri kami. Anu membawa gaun putri penuh renda dari Nepal untuk ulang tahun pertama Rosie. Mereka mengajari kami tradisi budaya mereka masing-masing, dan Rosie didoakan dalam bahasa Tionghoa, Korea, Jepang, dan Prancis. 26


Menurut Kitab Suci, ketika kita memberikan tumpangan dan sambutan kepada orang lain, kita dapat berharap menerima berkat-berkat dari Allah. Dalam tradisi alkitabiah, para tamu membawa tuan rumah mereka kepada hubungan dengan Allah. Saat Abraham menyambut orang-orang asing yang menemuinya, ia menerima pesan dan janji dari Allah (KEJADIAN 18). Ketika Nabi Elia dan Elisa mengalami kekurangan, mereka menemukan tempat bernaung di rumah para wanita. Kedua nabi yang menerima tumpangan dan para wanita yang memberi tumpangan itu sama-sama diberkati oleh Allah karenanya. Yesus mengajarkan bahwa para pengikut-Nya yang sejati adalah mereka yang menyambut orang-orang asing (MATIUS 25), dan penulis Kitab Ibrani mengingatkan bahwa orang-orang asing itu bisa jadi adalah malaikat-malaikat yang menyamar (13:2). Seperti di zaman Alkitab, saat ini gereja juga sangat perlu menunjukkan penerimaan kepada orang-orang asing. Di dunia kita masa kini, perasaan kesepian dan tersisih adalah masalah-masalah nyata yang setidaknya dapat diredam dengan penerimaan. Kita tinggal dalam masyarakat yang terpecah-pecah. Di Amerika Serikat sendiri, semakin sedikit individu yang menikah, dan semakin sedikit orang muda yang berkomitmen terhadap gereja, sehingga banyak orang semakin merasa terisolasi. Namun, yang terlebih penting, sekarang semakin banyak pengungsi dan kelompok orang yang tersisih di dunia—65,3 juta orang telah digusur dari kediaman mereka, dan 21,3 juta di antaranya adalah pengungsi. Lebih dari setengah dari pengungsi tersebut berusia di bawah 18 tahun. Di dunia ini, hampir 34.000 orang tergusur paksa setiap harinya akibat konflik atau penganiayaan. Siapakah yang bersedia menyambut pengungsipengungsi ini dengan kasih Kristus? Berkat-berkat Tak Terduga saat Menyambut Sesama

27


Barangkali langkah pertama dalam menyambut sesama adalah dengan belajar melihat orang-orang yang berkekurangan. Memang mudah bagi kita untuk membatasi lingkaran persahabatan kita dengan orang-orang yang mirip dengan kita dan yang membuat kita merasa nyaman. Namun, dengan berbuat demikian, kita bisa gagal mengenali orangorang yang justru paling membutuhkan sambutan dan penerimaan. Seperti Paulus, mungkin kita harus pergi “ke luar pintu gerbang kota” untuk menemukan orang-orang yang berbeda penampilan atau aroma, yang sedang menanti dan berharap untuk mendengar pesan dari Allah yang pengasih. Menyambut sesama atau memberikan tumpangan dapat dilakukan dengan beragam cara. Kita dapat menyambut para imigran dan pengungsi ke dalam kota dan rumah kita, membantu mereka yang baru tiba untuk menjalani hidup dalam lingkungan yang asing bagi mereka, membantu mereka mencari perabot dan harga sewa yang wajar, membantu mereka mempelajari sistem transportasi umum atau bahasa kita. Kita dapat mengadopsi anak-anak yang membutuhkan keluarga atau mengambil anak asuh untuk dirawat di rumah kita. Kita dapat memperhatikan warga lansia yang kesepian dan terisolasi di panti wreda, dan berusaha bersahabat dengan mereka. Kita dapat menyambut teman-teman lajang ke dalam kehidupan keluarga kita. Ketika kita meminta Allah membukakan mata kita terhadap mereka yang membutuhkan sambutan dan tumpangan, Allah akan menjawabnya. Dampak luar biasa dari tindakan kita menyambut dan menerima sesama adalah perubahan hidup yang kita alami, seturut dengan berkat-berkat yang kita terima. Saat kita menjalin hubungan dengan orang-orang yang berbeda dari kita, kita akan menemukan sudut pandang kita diperluas, empati kita diperdalam, dan praduga kita ditantang. Allah 28

TANGAN DAN HATI TERBUKA


memakai tindakan kita yang menyambut sesama untuk mengubah kita, sebagaimana hal itu juga telah mengubah Petrus dan Paulus. Jika kita hanya menjalin hubungan dengan orang-orang yang mirip dengan kita, yang serupa latar belakang sosio-ekonominya, atau yang bersuku sama, kita akan mempunyai sudut pandang yang terbatas tentang diri Allah dan cara kerja hidup ini. Memang sudut pandang kita tentang Allah akan selalu terbatas selama kita ada di dunia, tetapi kita akan semakin mengenal Dia ketika kita melihat Dia melalui mata orang-orang yang berbeda dari kita. Memberi tumpangan dan menyambut sesama bahwa dapat membuat kita melihat secercah pemandangan surga, tempat kita akan berkumpul bersama sekumpulan besar orang dari segala bangsa, suku, kaum, dan bahasa, untuk memuji Allah bersama-sama (WAHYU 7:9).

Kesimpulan Memberikan tumpangan dan menyambut sesama adalah kebajikan dasar bagi para pengikut Allah. Yesus adalah tuan rumah yang telah menyambut kita ke dalam Kerajaan Allah, dan ini mengingatkan kita bahwa kita adalah pendatang di muka bumi ini. Dia menyerukan kepada kita, yang adalah pendatang, untuk menyambut dan menerima para pendatang lainnya. Penerimaan itu didasarkan pada kebenaran bahwa kita semua adalah manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, yang layak dikasihi dan diperhatikan. Memberikan tumpangan dan menyambut sesama adalah sikap iman yang tegas terhadap rasa takut. Menyambut sesama menyatakan bahwa karena kasih Allah yang besar, kita dapat menyambut orang-orang asing dan tidak merasa takut terhadap mereka. Sikap ini tidak sama dengan “industri” wisata dan jasa hiburan, dengan apa yang dilakukan oleh hotel dan restoran. Jika ada sifat timbal balik dari sikap itu, Berkat-berkat Tak Terduga saat Menyambut Sesama

29


hal itu terletak pada kesadaran bahwa sekarang mungkin orang lain yang membutuhkan kita, tetapi suatu saat nanti kitalah yang membutuhkan mereka; kita ada dalam ketergantungan kepada satu sama lain, tidak hidup masingmasing. Banyak dari kita tidak mempercayai hal ini. Kita lebih percaya pada otonomi diri kita. Kita adalah individualis yang telah menjalani hidup serba mandiri dan aman, sehingga kita lupa betapa rentan diri kita sesungguhnya, bahwa sesungguhnya kita hidup dan bernapas semata-mata karena belas kasihan Allah dan sesama kita. Jika kita dapat mengingat hal ini, bukankah hati kita akan lebih terbuka kepada mereka yang lemah dan terpinggirkan? Seandainya kita ingat bahwa kita pun orang asing, kita akan menyambut orang asing lainnya. Akan tetapi, kita telah menjadi begitu kerasan di dunia ini, sampai-sampai kita percaya bahwa kitalah penentu nasib kita sendiri. Kita hanya mengurus diri sendiri dan berharap orang lain melakukan hal yang sama. Dengan membuka hati, memberikan tumpangan, dan menyambut sesama, kita diingatkan bahwa segala yang kita miliki sekarang hanyalah pinjaman dari Allah. Dalam Kitab Imamat, Allah memberi tahu orang Israel bahwa tanah yang diberikan-Nya kepada mereka adalah milik-Nya, dan mereka tinggal di sana sebagai orang asing dan pendatang. Petrus mengungkapkan pemikiran serupa dalam suratnya kepada umat pilihan, dengan menyebut kita “pendatang dan perantau” di dunia ini. Memberikan tumpangan menjadi inti identitas Kristen; suatu hati yang terbuka, pintu rumah yang terbuka, orang asing yang menyambut orang asing lainnya, supaya masing-masing pribadi dapat bertumbuh semakin sesuai dengan maksud penciptaan Allah, berkembang semakin indah, dan semakin mendekat kepada kediaman kita yang kekal, suatu kerajaan yang tidak terguncangkan.

30

TANGAN DAN HATI TERBUKA


Lampiran Ide-Ide untuk Menyambut Sesama Undanglah seorang teman atau sebuah keluarga di gereja untuk makan bersama. Mulailah dengan sederhana, misalnya dengan memesan pizza! Paulus menulis dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, bahwa kita harus “berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (GALATIA 6:10). Jika menyambut orang asing terasa menakutkan, mulailah dengan orang-orang yang Anda kenal di gereja. Jadilah relawan untuk membantu keluarga pengungsi di wilayah Anda. Tanyakan bagaimana Anda dapat menjadi relawan untuk membantu para pengungsi kepada dinas sosial di wilayah Anda. Atau hubungi lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam bidang bantuan kemanusiaan di kota Anda. Kunjungilah komunitas pensiunan atau panti wreda. Tanyakan kepada staf setempat apakah ada penghuni yang tidak mempunyai keluarga atau teman di area itu. Berusahalah menjadi teman mereka. Carilah perkumpulan antar-agama. Jika semua teman Anda adalah orang Kristen, carilah perkumpulan antar-agama supaya Anda bisa bertemu dan berinteraksi dengan orangorang dari kepercayaan yang berbeda-beda. Bertemanlah dengan orang-orang yang berbeda dengan Anda, dan undanglah mereka ke rumah Anda.

31


Daftarkan kamar kosong Anda di layanan penyewaan penginapan. Punya kamar kosong di rumah Anda? Daftarkanlah dengan harga yang terjangkau di Airbnb atau layanan penyewaan sejenisnya. Ketika para pelancong atau wisatawan tinggal bersama Anda selama satu-dua malam, sambutlah mereka dengan hangat dan murah hati. Saya mengenal beberapa orang yang berhasil mengundang tamu Airbnb mereka untuk menghadiri studi Alkitab selama tinggal bersama mereka. Tawarkanlah kamar tidur Anda yang kosong dengan cuma-cuma. Jika ada kamar tidur kosong di rumah Anda, tawarkanlah kepada seseorang yang mungkin membutuhkannya—seorang mahasiswa yang berusaha menghemat ongkos, siswa dari program pertukaran pelajar yang datang ke kota Anda untuk satu semester atau satu tahun, atau seorang lajang yang senang untuk tinggal bersama keluarga Anda beberapa waktu lamanya.

32

TANGAN DAN HATI TERBUKA


Undangan untuk Bersekutu Memberi tumpangan bukanlah soal hidangan mewah atau pengalaman yang berkesan . . . melainkan sikap hati yang terbuka menerima orang-orang apa adanya. Itulah yang dilakukan Kristus bagi kita, dan kita mendapat hak istimewa untuk mengikuti teladan-Nya. Mungkin awalnya terasa kurang nyaman, tetapi ketika kita membuka pintu rumah dan hati kita bagi sesama, kita membuka diri untuk menerima berkat-berkat yang tak terduga. Pasanglah tanda “Selamat Datang” pada pintu kehidupan Anda dan lihatlah apa yang sanggup dikerjakan Allah melalui diri Anda.

Tangan dan Hati Terbuka Menyambut Sesama Serupa Kristus

Amy Peterson adalah penulis, pengajar, dan pelayan di Gereja Episkopal. Sejumlah buku telah ditulisnya, antara lain: Where Goodness Still Grows: Reclaiming Virtue in an Age of Hypocrisy dan Dangerous Territory: My Misguided Quest to Save the World. Tulisannya pernah diterbitkan di sejumlah media, antara lain: Image, The Washington Post, Christianity Today, Christian Century, The Millions, River Teeth, St. Katherine Review, Relief, dan lainnya.

dhdindonesia.com

AS819

Amy Peterson


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.