Kenistaan dan Kemuliaan Kalvari

Page 1

Kenistaan dan Kemuliaan Kalvari

Diterbitkan dan didistribusikan oleh PT. Duta Harapan Dunia www.dhdindonesia.com

LY883

Bi l l C rowd er



DAFTAR ISI Penderitaan dan Kemuliaan. . . . . . . . . 2 Kenistaan Kalvari . . . . . . 4 Siksaan Penyaliban. . . . . 4 Kehinaan Penyaliban. . . . 7 Pemandangan Penyaliban. . 8 Kenistaan Penyaliban. . . . 9 Kemuliaan Kalvari. . . . . 16 Kemuliaan dari Belas Kasihan . . . . 18 Kemuliaan dari Kehinaan. . . . . . . . 21 Kemuliaan dari Kegenapan. . . . . . . 26 Kemuliaan dari Kuasa. . . . . . . . . . . 27 Semua Karena Salib. . . . . . 28

Penerbit: RBC Ministries Penulis: Bill Crowder Editor Pelaksana: David Sper Penerjemah: Hendry M. Tanadja Editor Terjemahan: Dwiyanto, Heri Marbun Penyelaras Bahasa: Bungaran, Juni Liem, Bing Selomulyo Penata Letak: Jane Selomulyo, Mary Chang Desain Sampul: Terry Bidgood Bacaan Alkitab merupakan kutipan dari ALKITAB versi Terjemahan Baru © LAI Cetakan ke-23 tahun 2003 Copyright © 2013 RBC Ministries, Grand Rapids, Michigan. Dicetak di Indonesia.

KENISTAAN DAN KEMULIAAN KALVARI

L

ayakkah sebuah skandal publik, pertempuran militer, atau inisiatif perdamaian menjadi tajuk utama dari setiap surat kabar yang pernah terbit di dunia ini? Hari kematian Kristus merupakan satu peristiwa yang sepatutnya diberitakan secara besar-besaran. Dalam seluruh alam ciptaan atau di sepanjang sejarah umat manusia, tiada satu hal pun yang lebih mengungkapkan isi hati Sang Pencipta—atau isi hati kita sendiri—selain dari peristiwa penderitaan dan kematian Yesus. Disarikan dari buku The Path of His Passion, Bill Crowder merenungkan tragedi sekaligus keajaiban dari hari kematian Kristus. Dengan menunjukkan kenistaan sekaligus kemuliaan salib itu, Bill membantu kita memahami mengapa peristiwa agung yang tidak diperhatikan oleh dunia itu sesungguhnya layak, bahkan sangat layak, untuk menjadi fokus utama dari hati kita setiap hari di sepanjang hidup ini. Martin R. DeHaan II


PENDERITAAN DAN KEMULIAAN

S

aya suka musik. Kekuatan, emosi, keindahan, dan energi yang terkandung di dalamnya memikat dan membuai saya melalui caracara yang tidak bisa dilakukan oleh media ekspresi lainnya. Salah satu momen seperti itu terjadi pada tahun 1978 di sebuah studio rekaman. Saya sedang berada di studio utama dari Great Circle Sound di Nashville, Tennessee, setelah menyelesaikan penyuntingan dan pemolesan album kedua dari grup vokal kampus kami. Produser kami meminta kami untuk beristirahat, dan saya sedang sendirian di ruang kendali bersama teknisi kami. Ketika kami masih membahas proyek album kampus yang hampir tuntas ini, si teknisi berkata, “Aku ingin kau dengarkan sesuatu yang belum pernah didengar orang lain. Kami baru saja selesai memproduksi album untuk Phil Johnson, dan ia menulis sebuah lagu yang luar biasa. Aku akan memutar lagunya, mematikan lampu, dan membiarkanmu di sini untuk menikmati lagunya.� 2

Ia pun memutar lagu itu, dan saya hanya bisa duduk terpana dan berlinang air mata sambil mendengar lirik tentang salib Kristus berikut ini: Akulah yang patut dihukum, Aku penyebab semua derita-Nya; Dia memberikan diri-Nya Saat Dia kenakan mahkota duriku. Saya teringat kembali pada lirik itu dan seluruh lagunya, dan pada pengalaman penyembahan pribadi di malam yang sudah larut itu, saat kita akan bersama membahas topik tentang salib Kalvari dan merenungkan pengalaman Tuhan kita saat Dia menanggung dosa dan hukuman kita, mahkota duri kita, dan salib kita. Penyaliban adalah suatu bentuk hukuman mati yang sangat brutal. Praktik ini diciptakan ratusan tahun sebelumnya oleh bangsa Kartago, tetapi bangsa Romawilah yang menjadikan penyaliban sebagai maha karya mereka, dengan menyempurnakannya untuk mengulur waktu kematian seorang terhukum selama mungkin—memaksimalkan penderitaan dari penjahat yang terhukum dan menjadikan penyaliban sebagai peringatan


yang keras bagi orang-orang yang menyaksikannya. Siapa pun yang telah menyaksikan kematian di kayu salib akan pikir-pikir dahulu sebelum melakukan sesuatu untuk menguji kesabaran pemerintahan Romawi dan pasukan mereka. Siapa pun yang berani menentang hukum Romawi akan mengalami penderitaan terhebat sebelum akhirnya kehilangan nyawa dalam keadaan sengsara dan dipermalukan lewat suatu hukuman yang sungguh kejam dan tidak lazim ini. Penyaliban merupakan bentuk eksekusi sempurna dari pasukan penakluk yang terkenal karena kekejamannya. Bahkan, saking brutalnya, penyaliban tidak diperkenankan sebagai bentuk eksekusi bagi warga Romawi. Namun, semua ketegangan tersebut semakin meningkat ketika penyaliban itu berlangsung di Israel dan yang terhukum adalah seorang Yahudi. Kengerian dari penderitaan fisik lewat penyaliban itu pun diperparah oleh stigma dan kutukan rohani yang ditujukan bagi seseorang yang digantung pada sebuah tiang (Ul. 21:22-23).

Untuk memahami makna salib, ada baiknya kita terlebih dahulu memahami sejumlah ide penting yang terambil dari perbedaan gambaran dalam kitab-kitab Injil mengenai peristiwa di bukit Kalvari: • Dalam catatan tiga kitab Injil sinoptis, para penulisnya (Matius, Markus, dan Lukas) menyajikan salib Kristus sebagai alat eksekusi yang menyebabkan penderitaan dan penghinaan. • Sebaliknya, dalam kitab Injil keempat, Yohanes menggambarkan salib sebagai takhta kemuliaan. Sesungguhnya, kedua gambaran tersebut benar. Salib Kalvari adalah penderitaan terbesar yang dialami Kristus, tetapi sekaligus merupakan peristiwa yang membawa kemuliaan terbesar bagi-Nya. Di bagian ini, kita akan melihat salib Yesus Kristus seperti yang digambarkan oleh kitab-kitab Injil sinoptis—yakni sebagai pengalaman yang mengerikan dan penuh derita. Kemudian, di bagian berikutnya, kita akan melihat penyaliban Anak Allah dari sudut pandang seorang rasul yang dikasihi-Nya—yakni sebagai pernyataan kemuliaan, 3


kuasa, dan anugerah. Namun bahkan dalam gambaran para penulis Injil sinoptis mengenai penderitaan yang dahsyat ini, berkas-berkas anugerah dan kasih mendominasi kanvas tempat mereka menggambarkan peristiwa tersebut.

KENISTAAN KALVARI

P

enting untuk kita ketahui bahwa tidak satu pun penulis kitab Injil menggambarkan proses penyaliban secara spesifik. Gambaran tentang penyaliban dinubuatkan secara gamblang dalam Mazmur 22, tetapi kitab-kitab Injil tidak mencantumkannya. Hal ini mungkin karena tidak diperlukan penjelasan bagi para pembaca pada masa itu. Setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan Romawi memahami dengan sangat jelas pedihnya kematian di atas kayu salib. Bagi kita yang hidup di era modern, penyaliban adalah suatu bentuk penghukuman yang tidak lazim. Oleh karena itu, sekalipun menggelisahkan, alangkah bermanfaatnya jika kita melihat 4

realitas sejauh mana Kristus rela menjalani penderitaan demi menebus kita—penderitaan yang mencakup siksaan dari segi fisik, emosional, dan spiritual.

Siksaan Penyaliban

Dan di situ Ia disalibkan mereka, dan bersama-sama dengan Dia disalibkan juga dua orang lain, sebelahmenyebelah, Yesus di tengahtengah (Yoh. 19:18). Aspek penderitaan fisik dari penyaliban amatlah menyakitkan. Salib kayu dibaringkan di tanah dan si terhukum direntangkan di atasnya. Para sejarawan meyakini bahwa pakupaku—sepanjang 23 hingga 30 cm—kemungkinan tidak ditancapkan dengan menembus telapak tangan melainkan melalui rongga-rongga di antara tulang-tulang kecil dari pergelangan tangan. Ini berarti paku yang tertancap tersebut menembus pusat syaraf utama yang menggerakkan tangan dan akan mencegah individu yang dieksekusi untuk menarik paku tersebut melalui sela-sela daging di telapak tangan dan mencoba kabur—meskipun hal itu memang mustahil dilakukan.


Kaki sang korban kemudian ditumpukkan di atas kaki yang satunya dan, dengan lutut yang sedikit ditekuk, diletakkan di atas pijakan kecil pada permukaan kayu salib. Apa yang terjadi selanjutnya memperjelas perlakuan di atas. Begitu sang korban dipakukan ke salib, para algojo akan menaikkan kayu salib itu dengan tali dan menancapkannya dalam sebuah lubang yang telah disiapkan di tanah. Begitu salib itu berdiri tegak, para algojo akan menggunakan batu-batu untuk menyegel alat penyiksa itu agar tetap tertanam dalam lubangnya. Maka tidak heran jika penyiksaan ini tentu sangat menyakitkan. Paku-paku itu pasti terasa membakar syaraf dan otot pada tangan dan kaki. Penegakan kayu salib hampir pasti menimbulkan rasa pening, bahkan mungkin vertigo temporer. Namun yang paling menyakitkan dari semuanya adalah ketika ujung kayu salib itu dimasukkan ke dalam lubang di tanah. Sentakan yang terjadi pastilah mengakibatkan tarikan kencang pada bahu dan siku korban yang tidak dapat menahan kuatnya sentakan pada tubuh mereka. Hal ini

sering mengakibatkan terpisahnya tulang bahu dan pergeseran pada bahu atau siku yang sangat menyakitkan. Sekalipun semua ini begitu mengerikan, ini baru permulaannya. Setelah itu akan datang penderitaan yang jauh lebih mengerikan. Dahsyatnya rasa sakit yang diderita oleh korban penyaliban ini disebabkan oleh sejumlah elemen penyiksaan yang berpadu untuk menghasilkan ekspresi kebiadaban yang teramat mengerikan. Pertama, kematian oleh penyaliban biasanya terjadi karena kekurangan napas. Karena posisi dari kedua tangan direntangkan, dada pun menyempit sehingga korban sulit bernapas. Satusatunya cara bagi korban untuk bernapas adalah dengan menarik tubuhnya ke atas dengan bertopang pada paku yang menancap di pergelangan tangannya dan menolakkan badan dari paku yang telah menancap di kaki dengan berjinjit pada pijakan kecil di bawah kaki, sehingga ia bisa melonggarkan tekanan di dadanya. Ini membuat paruparunya bisa menghirup udara 5


yang sangat dibutuhkannya. Namun demikian, korban hanya mampu menahan sakit karena dipaku untuk waktu yang singkat. Inilah persisnya alasan paku-paku itu ditancapkan di bagian-bagian yang memiliki paling banyak syaraf. Hanya dengan mengendurkan tubuh mereka, rasa sakit akibat menahan paku tersebut hilang. Namun sekali lagi, mereka akan sulit untuk bernapas. Rasa sakit dari paku-paku yang tertancap ini perlahan-lahan diperburuk oleh terbukanya begitu banyak luka menganga yang terkena udara dan peradangan yang diakibatkan oleh luka-luka tersebut. Pemukulan yang dialami Kristus tentu telah membuat kulit punggungnya mengelupas dan sobek—daging punggung yang terluka itu bergesekan dengan permukaan kayu salib yang kasar. Lukaluka tersebut pasti terasa sangat menyakitkan setiap kali Yesus harus mengangkat diriNya untuk bernapas. Tidak pernah ada kesempatan untuk beristirahat—yang ada hanyalah upaya untuk terus-menerus mempertahankan udara di paruparu. Setiap tarikan napas pasti disertai dengan rasa sakit yang 6

amat sangat. Setiap kelegaan selalu disusul perasaan panik karena napas yang mulai sesak. Semua itu diperparah lagi oleh terjadinya krisis yang memburuk dalam tubuh korban. Terhambatnya sirkulasi darah sebagai akibat dari begitu banyaknya pembuluh darah yang terkoyak menyebabkan darah lebih banyak mengalir ke otak ketimbang dari otak ke jantung. Hal ini mengakibatkan tekanan yang amat intens dan rasa sakit yang luar biasa di kepala. Sekali lagi, penyaliban adalah hukuman yang kejam dan tak lazim—dan memang dimaksudkan demikian. Penderitaan fisik lewat penyaliban sungguh tak bisa diterima oleh akal manusia yang beradab. Sungguh ini suatu kematian paling mengerikan yang ditujukan bagi penjahat paling jahanam, pelaku kriminal terkejam, dan pembunuh yang paling haus darah. Alangkah kejamnya jika perlakuan tersebut ditujukan pada seekor binatang gila atau seekor pemangsa liar. Namun perlakuan inilah yang ditimpakan pada Sang Raja Damai, Kekasih jiwa, dan Gembala hati kita. Sungguh tak terbayangkan bahwa Kristus


mengalami perlakuan yang sedemikian kejam, dan kita pun sepatutnya terguncang saat memikirkan bahwa karena begitu kejinya dosa kita sehingga inilah satu-satunya cara agar kita dapat ditebus. Namun sekalipun tak terbayangkan beratnya, penderitaan fisik yang dialami Yesus ini mungkin merupakan elemen yang paling kecil signifikansinya dari seluruh kesusahan yang diderita-Nya.

Kehinaan Penyaliban Sesudah prajurit-prajurit itu menyalibkan Yesus, mereka mengambil pakaian-Nya lalu membaginya menjadi empat bagian untuk tiap-tiap prajurit satu bagian––dan jubah-Nya juga mereka ambil. Jubah itu tidak berjahit, dari atas ke bawah hanya satu tenunan saja. Karena itu mereka berkata seorang kepada yang lain: “Janganlah kita membaginya menjadi beberapa potong, tetapi baiklah kita membuang undi untuk menentukan siapa yang mendapatnya.” Demikianlah hendaknya supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci: “MEREKA MEMBAGI-

BAGI PAKAIAN-KU DI ANTARA

MEREKA DAN MEREKA MEMBUANG UNDI ATAS JUBAH-KU” (Yoh. 19:23-24).

Meski terlihat mengejutkan, tujuan dari penyaliban ini bukan hanya untuk menimbulkan penderitaan fisik yang besar, tetapi juga untuk menimpakan penghinaan sebesar-besarnya di muka umum. Pada abad pertama, pakaian yang dikenakan seorang pria Yahudi pada umumnya terdiri dari lima jenis—sepatu, turban, ikat pinggang, kain cawat, dan jubah. Perhatikan bahwa keempat prajurit dalam regu yang bertanggung jawab atas eksekusi Yesus itu membagi-bagi pakaian Yesus sebagai upah atas pekerjaan yang mereka lakukan. Masing-masing mengambil satu bagian dari pakaian-Nya, dan hanya tersisa jubah-Nya. Ini menyiratkan bahwa kain cawat Yesus pun telah mereka renggut—dengan itu mereka merenggut juga martabat Sang Manusia yang tersalib ini. Dalam pedihnya penggenapan Mazmur 22 ini, para prajurit menelanjangi Yesus dan membuang undi atas jubah-Nya. Dalam Mazmur 22:18-19, dimana penyaliban dinubuatkan bahkan sekitar 7


600 tahun sebelum hukuman itu diciptakan, Daud dengan tepat menyatakan: “Segala tulangku dapat kuhitung; mereka menonton, mereka memandangi aku. Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku.” Kalimat “segala tulangku dapat kuhitung” menunjukkan bahwa Yesus berada dalam keadaan telanjang di hadapan semua orang. Alangkah menakjubkannya bahwa seluruh harta duniawi yang Yesus miliki hanyalah potonganpotongan pakaian yang amat sederhana, dan keempat prajurit Romawi inilah ahli waris-Nya. Mereka membuang undi untuk mendapatkan apa saja yang bisa mereka peroleh, tanpa menyadari bahwa tidak jauh dari mereka, Kristus sedang memberikan dengan cumacuma semua yang dimiliki-Nya oleh kasih-Nya—bagi mereka. Ini merupakan kesaksian yang nyata mengenai kekerasan hati mereka. Mereka adalah orangorang tak berperasaan, tanpa belas kasihan, tanpa rasa peduli. Adegan ini pastilah membuat para malaikat di surga menatap dengan rasa tidak percaya dan 8

kengerian, tetapi para prajurit tersebut mengabaikan semua itu karena ketamakan dan ketidakacuhan mereka. Nabi Yesaya memang benar: “Ia dihina dan dihindari orang, . . . ia sangat dihina . . . dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan” (Yes. 53:3).

PEMANDANGAN Penyaliban

Lalu mereka duduk di situ menjaga Dia (Mat. 27:36). Alkitab terjemahan lain menuliskan, “Lalu duduklah mereka menonton Dia di sana.” Mendiang J. Vernon McGee, seorang pembicara di radio dan pengajar Alkitab yang ternama, dalam tafsirannya atas kitab Injil Matius mengamati: Ketika Kristus menderita di kayu salib, mereka duduk dan menonton-Nya. Inilah tindakan manusiawi yang paling rendah nilainya . . . Di salib Kalvari, moral umat manusia jatuh hingga ke titik nadirnya. Sepertinya penyaliban yang mengerikan itu disaksikan layaknya sebuah tontonan olahraga. Mengapa mereka duduk untuk menonton? Ada yang berkata bahwa mereka


sekadar mengerjakan tugas untuk menjaga suasana atau mencegah publik untuk mengganggu ketertiban. Mungkin demikian—tetapi jika itu maksudnya, seharusnya mereka berdiri tegak dan bukan duduk-duduk. Pemandangan ini sangat mengejutkan. Ketika mereka duduk dan menonton, dengan sikap tak peduli dan tak tergerak oleh ngerinya hukuman penyaliban tersebut, mereka sebenarnya sedang menonton penghukuman atas Pribadi yang telah didapati tidak bersalah! Alexander Maclaren, pengajar Alkitab di tahun 1800-an, menuliskan dalam The Gospel of St. Matthew: “Mereka duduk nyaman dan bersantai di bawah salib, dan berpangku tangan menunggu dengan tatapan kosong.� Namun mereka sedang menatap Pribadi yang sanggup melihat segalanya. Mereka mengamati penderitaan Kristus tanpa merasa bertanggung jawab atas semua perlakuan itu. Padahal merekalah yang telah menyalibkan-Nya! Para prajurit yang cuma mengamat-amati ini menjadi pengingat betapa mudahnya kita menipu diri sendiri dan tidak dapat melihat pengaruh dan

akibat dari tindakan kita. Hal ini juga mengingatkan betapa liciknya kita suka melepaskan diri dari tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan kita yang menghancurkan sesama. Namun demikian, tidak mungkin bagi Anda untuk menghargai pengorbanan Kristus di salib dalam kehidupan Anda sendiri sebelum Anda menghayati realitas utamanya, bahwa Andalah yang telah menyebabkannya! Apa yang Anda lihat ketika Anda memandang Kristus? Apakah Anda menyadari bahwa Anda (dan saya) yang menyebabkan Dia disalibkan? Kesadaran inilah satu-satunya obat penawar bagi virus mematikan yang berupa dosa dan pemberontakan manusia terhadap Allah. Apakah Anda melihat Dia sebagai Juruselamat dan Tuhan, ataukah, seperti para prajurit tersebut, Anda menatap salib dengan perasaan dingin dan kosong, serta menolak untuk merasakan dalamnya penderitaan-Nya demi kita?

Kenistaan Penyaliban

Dan di atas kepala-Nya terpasang tulisan yang 9


menyebut alasan mengapa Ia dihukum: “INILAH YESUS RAJA ORANG YAHUDI.” Bersama dengan Dia disalibkan dua orang penyamun, seorang di sebelah kanan dan seorang di sebelah kiri-Nya. Orangorang yang lewat di sana menghujat Dia dan sambil menggelengkan kepala, mereka berkata: “Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, selamatkanlah diri-Mu jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Demikian juga imam-imam kepala bersamasama ahli-ahli Taurat dan tua-tua mengolok-olokkan Dia dan mereka berkata: “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan! Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya. IA MENARUH HARAPAN-NYA PADA ALLAH: BAIKLAH ALLAH MENYELAMATKAN DIA, JIKALAU ALLAH BERKENAN KEPADA-NYA! Karena Ia telah

berkata: Aku adalah Anak Allah.” Bahkan penyamunpenyamun yang disalibkan 10

bersama-sama dengan Dia mencela-Nya demikian juga (Mat. 27:37-44). Pengajar Alkitab dan penulis Warren Wiersbe menuliskan dalam bukunya Be Loyal (Setialah) bahwa tuduhan yang tertulis, “Inilah Yesus Raja orang Yahudi” merupakan traktat Injil pertama yang pernah ditulis! Dengan deklarasi dari identitas ilahi-Nya itu terpampang jelas di hadapan mereka, orang banyak mulai menista Yesus pada saat Dia tergantung di kayu salib di antara dua pencuri—untuk mati bersama orang-orang yang hendak ditebus-Nya lewat kematian-Nya. Tiga kelompok orang bergiliran mencela Sang Anak Allah, dan celaan mereka tampaknya berpusat pada pengakuan-pengakuan Kristus dan keadaan-Nya yang seakan tidak berdaya di atas kayu salib.

Tiga Kelompok Penista

Orang-orang yang lewat. Kemungkinan mereka ini bukan bagian dari massa yang berteriak, “Salibkan Dia!” Lokasi penyaliban berada di gerbang masuk utama ke kota Yerusalem, dan orang-orang yang lewat ini hendak memasuki kota untuk memulai aktivitas mereka.


Namun dengan seketika, mereka ikut serta mencela para korban penyaliban—tanpa menunjukkan belas kasihan dan rasa iba sama sekali atas penderitaan yang dialami para korban tersebut. Mereka tidak peduli pada alasan penyaliban itu dan hanya melihat orangorang terhukum itu sebagai sasaran empuk untuk dicela beramai-ramai. Para Imam Kepala, Ahli Taurat, dan Tua-Tua. Orang-orang ini merupakan sekelompok pemimpin dari suatu lembaga keagamaan yang sering dikecam keras oleh Yesus. Mereka sepantasnya bersikap profesional dan santun, tetapi Lukas mencatat bahwa mereka “mengejek Dia”— menunjukkan tidak adanya sikap hormat dan belas kasihan (Luk. 23:35). Para “pemimpin agama” ini memberikan gambaran yang gamblang tentang pengaruh dosa yang merusak sifat yang baik. Dalam The Gospel of St. Matthew, Maclaren menuliskan, “Adakah yang lebih lembut dan berbelas kasih selain dari agama yang sejati? Tiada yang lebih kejam dan berbahaya selain kebencian berkedok agama!”

Para pencuri. Awalnya, kedua pencuri ini turut mencela. Namun seiring berlalunya waktu, salah seorang dari mereka melihat yang tidak dilihat oleh khalayak ramai dan para prajurit. Ia pun menyesal, kemudian beriman! Ketiga kelompok penista ini membentuk kerumunan orang yang bertindak kasar dan tak berperasaan. Seorang pengajar Alkitab menyebut bahwa katakata mereka dapat diringkas ke dalam tiga tema yang jelas.

Tiga Tema Penistaan

Mereka menyangkal kuasa Kristus. “Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, selamatkanlah diri-Mu jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Perhatikan bahwa kata-kata mereka memunculkan isu penting, “Jikalau Engkau Anak Allah”, sebuah pernyataan yang menggemakan kata-kata Iblis pada saat Yesus dicobai dalam Matius 4:3-6. Dalam buku tafsiran Expositor’s Bible Commentary, D. A. Carson menulis: “Melalui orangorang yang lewat, Iblis masih mencobai Yesus untuk mengelak 11


dari kehendak Bapa dan menjauhi penderitaan yang lebih berat.” Orang banyak berasumsi bahwa kelemahanlah yang menahan Yesus terpaku di kayu salib, padahal sebenarnya kekuatan-Nya yang tanpa batas itu yang membuat-Nya bertahan! Hebatnya, bukan paku, tali, atau para penjaga yang menahan-Nya di kayu salib, melainkan tali kasih ilahi yang tidak kasat mata. Mereka menyangkal maksud Kristus. “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diriNya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!” Tentu saja sudut pandang mereka sangat sesat. Masalahnya bukanlah Yesus “tidak dapat”, melainkan Dia “tidak ingin”. Mereka bahkan menyiratkan (seperti yang mereka lakukan dalam Matius 9:3-4) bahwa Iblislah yang menjadi sumber segala mukjizatNya; karena jika memang Allah yang memampukan-Nya mengadakan mukjizat, tentu Allah akan membebaskan Yesus. Jelaslah, sekalipun sudah ada nubuat Perjanjian Lama dan pernyataan langsung dari Kristus sendiri, mereka masih tidak memahami maksud kedatanganNya ke dunia. Yesus tidak perlu 12

membuktikan apa pun, karena Dia telah membuktikannya berulang kali. Misi Kristus yang tidak mereka ketahui bukanlah untuk menyelamatkan diriNya sendiri; melainkan untuk menyerahkan diri-Nya. Misi ini sedang digenapi-Nya saat itu juga, bahkan pada saat mereka menyangkalnya. Namun ada makna lain dalam kata-kata mereka. Komentar mereka menyatakan suatu tekad yang sebenarnya tidak akan mereka penuhi juga. Mereka mengatakan akan percaya jika Yesus turun dari salib, padahal faktanya mereka tetap tidak akan percaya. Hal ini terbukti ketika mereka tidak percaya saat Lazarus telah dibangkitkan dari kematian! Mereka bahkan tidak mau percaya. Stalker menulis dalam buku The Trial and Death of Jesus Christ (Peradilan dan Kematian Yesus Kristus): “Jika kekristenan hanyalah sebuah kredo untuk diakui, atau sebuah ibadah yang perayaannya menyenangkan jiwa, atau sebuah jalur pribadi ke surga yang ditempuh seseorang dengan diamdiam, mereka dengan senang hati akan mempercayainya.


Namun karena kekristenan berarti mengakui Kristus dan menanggung kehinaan-Nya . . . mereka sama sekali tidak menginginkannya.” Mereka berkata akan percaya jika Dia turun dari salib. Akan tetapi, justru karena Dia tidak turun dari salib, maka kita percaya. Mereka menyangkal kemanusiaan Kristus. “BAIKLAH ALLAH MENYELAMATKAN DIA, JIKALAU ALLAH BERKENAN KEPADA-NYA!” Para

imam kepala menghina-Nya dengan mengutip Mazmur 22 yang dipercayai sebagai mazmur mesianis, dan menggunakan kata-kata di dalamnya untuk menyerang hubungan Yesus dengan Bapa-Nya. Seolahseolah mereka berkata, “Bapa-Mu tak mengasihi-Mu, tak mempedulikan-Mu, tak punya waktu untuk-Mu!” Daud menubuatkan tentang penolakan terhadap Mesias, “Seperti tikaman maut ke dalam tulangku lawanku mencela aku, sambil berkata kepadaku sepanjang hari: ‘Di mana Allahmu?’” (Mzm. 42:11). Daud bernubuat tentang sesuatu yang paling menyakitkan hati Sang Juruselamat. Bagai pedang yang menghancurkan tulang-tulang-

Nya, penistaan mereka menikam sesuatu yang paling berharga bagi Anak Allah—hubungan-Nya dengan Allah Bapa. Jangan lupa, sudut pandang mereka itu telah dilencengkan oleh ketidakpercayaan dan kekerasan hati. Yang paling mengerikan, semua penistaan mereka didasarkan pada kebenaran pernyataan Alkitab, tetapi pemahaman mereka terhadap pernyataanpernyataan itu menyimpang jauh dari pengertian dan makna yang dimaksudkan. Mereka melihat, tetapi tak pernah memperhatikan. Mereka mendengar, tetapi tak mengerti. Yang menjadi tragedi dalam peristiwa ini bukan hanya penderitaan yang dialami oleh Dia yang sedang disalib, tetapi juga kondisi menyedihkan yang dialami oleh mereka yang memandang-Nya dengan hati penuh hujat, ketidakpercayaan, dan kebencian. Raja Kasih ditolak oleh orang-orang yang dikasihi-Nya. Kita tidak tahu berapa lama penistaan ini berlangsung, tetapi kemungkinan selama tiga jam pertama dari peristiwa penyaliban itu. Sepanjang itu Sang Firman Hidup membisu. 13


Namun ketika Dia berbicara, perkataan-Nya menggelegar, bergema melintasi lembah Yudea dan bergaung di dindingdinding kota Yerusalem, “Bapa, ampuni mereka!” Demikianlah dalamnya kasih ilahi itu. Dia tidak menyatakan ketidakbersalahan-Nya. Dia tidak meminta kelepasan untuk diri-Nya. Dia tidak membalas dengan menghancurkan mereka. Sang Anak Allah yang sedang tergantung di salib itu berseru karena rasa sayangNya kepada manusia—dan memintakan belas kasihan! Bahkan lewat ucapan-Nya, Dia sedang menggenapi apa yang dibutuhkan supaya belas kasihan tersebut dinyatakan. Sekali lagi, kasih Sang Juruselamat begitu berlimpah bagi kita—kasih yang telah kita lihat dalam respons-Nya terhadap para musuh-Nya, pengkhianat-Nya, dan dombadomba-Nya yang tercerai-berai. Kasih inilah yang mengilhami Philip Bliss, seorang penulis himne, untuk menuliskan: Menanggung malu maki Dia Domba tak berdosa Darah peneguh janji Haleluya Jurus’lamat!

14

Saya harus mengakui ketika saya masih kanak-kanak di dalam gereja, saya tidak pernah memahami maksud Isaac Watts ketika kami menyanyikan himne karyanya, “When I Survey The Wondrous Cross” (Memandang Salib Rajaku). Saya tidak memahami liriknya yang rumit dan nadanya yang sendu, dan bagi saya pujian ini terdengar seperti lagu kuno yang tidak menarik bagi saya yang masih muda. Butuh waktu bertahuntahun lamanya sebelum saya bisa melihat secara samar sinar keajaiban yang diungkapkan Watts dengan begitu mendalam. Jauh sebelum Mel Gibson membuat film The Passion of The Christ yang menggambarkan penyaliban dengan luar biasa gamblang dan berdarah-darah, seorang penginjil keliling pernah mengunjungi kampus saya. Kunjungannya menjadi suatu titik balik dalam pemahaman dan penghargaan saya terhadap salib. Suatu malam, si penginjil secara perlahan dan cermat mulai menggambarkan tentang penyaliban pada umumnya dan peristiwa penyaliban Yesus pada khususnya dengan perincian-perincian yang belum pernah saya sadari sebelumnya.


Sebelum malam itu salib selalu disajikan dengan cara yang nyaris steril dan aman—sama sekali tidak seperti realitas salib yang sebenarnya memang mengerikan dan memilukan hati. Saat menyimak perkataan si penginjil yang sedang menjelaskan penderitaan Kristus dengan penuh semangat, saya pun dibuat takjub oleh kenyataan yang begitu bertolak belakang antara kedahsyatan kasih Kristus dengan kebencian manusia yang amat keji. Perkataan penginjil ini membuat saya menyadari dengan jelas betapa jahatnya dosa dan kejinya hati manusia berdosa. Tidak ada peristiwa lain dalam sejarah yang membuat kita begitu jelas melihat kapasitas hati manusia untuk memberontak, membenci, dan menikmati kejahatan. Namun demikian, dari kelamnya kejahatan itu terbitlah salib agung yang dengan penuh kemenangan memproklamasikan kebesaran kasih Allah! Memandang salib berarti menyaksikan titik utama dari seluruh sejarah umat manusia. Hal itu berarti menyaksikan pernyataan kasih terdramatis yang pernah dilihat oleh dunia.

Hal itu juga berarti melihat bagaimana Allah yang kudus tidak bisa menoleransi dosa, meskipun Dia mengasihi para pendosa. Hal itu juga berarti mulai meyakini bahwa seluruh kekekalan berpusat pada peristiwa penyaliban tersebut dan memahami bahwa di dalam kematian Kristus tergapailah kemenangan terbesar surgawi— dan bukan kekalahan seperti disangka oleh orang-orang yang telah disesatkan. Ketika menyimak penjelasan pada malam itu, saya sungguh dibuat tercengang oleh anugerah, dan dibungkam oleh kasih. Akhirnya, melalui perkataan yang berapi-api dari penginjil itu, saya dapat melihat, merasakan, dan memahami maksud yang hendak disampaikan Isaac Watts kepada saya yang selama bertahun-tahun ini merasa bingung saat menyanyikannya. Ia menuliskan: Memandang salib Rajaku yang mati untuk dunia, Kurasa hancur congkakku dan harta hilang harganya. Berpadu kasih dan sedih mengalir dari luka-Mu; Mahkota duri yang pedih menjadi keagungan-Mu. (Kidung Jemaat, No. 169)

15


KEMULIAAN KALVARI

N

atal merupakan salah satu peringatan penting dalam iman Kristen yang dipenuhi dengan kehangatan, sukacita, dan perbuatan yang mulia. Natal memanggil kita untuk menatap Sang Bayi dalam palungan dan menyadari bahwa kini kedamaian mungkin digapai, karena Sang Raja Damai telah tiba. Dengan hadirnya para gembala, bintang yang terang dan bersinar, serta paduan suara malaikat, Natal pun dipenuhi dengan terang dan pengharapan. Meskipun terkadang sulit untuk mengingatnya, sesungguhnya segala peristiwa di hari Natal pertama itu mengantisipasi peristiwa penyaliban yang akan datang. Dalam salah satu lagu Natal favorit saya, sang penulis lagu memahami dengan jelas bahwa Kristus itu “Dilahirkan untuk mati, agar manusia beroleh hidup.” Sungguh suatu kebenaran yang agung, dahsyat, sekaligus mengusik jiwa. Setiap insan dilahirkan dengan menyandang hukuman mati karena ketidaktaatan nenek moyang kita yang pertama. 16

Itulah hukuman kita sebagai kaum yang telah berdosa. Namun kematian bukanlah hukuman atas Yesus, melainkan sesuatu yang ditetapkan atasNya. Kematian bukanlah bagian hidup-Nya, melainkan misiNya. Kematian bukanlah suatu nasib yang tak terhindarkan, melainkan tujuan kedatanganNya ke dunia pada hari Natal pertama tersebut: “Dilahirkan untuk mati.” Tibalah kita pada momen yang mengerikan sekaligus menakjubkan itu ketika misi Kristus sedang digenapi olehNya. Kini kita melihat Sang Juruselamat menggenapi apa yang ditetapkan atas-Nya, yang telah membuat-Nya menyatakan kepada Pilatus, “Untuk itulah Aku lahir” (Yoh. 18:37). Di sinilah kita akan memperhatikan arti dari perkataan-Nya tersebut. Kita akan mencermati dan melihat bagaimana Anak Allah mati—dalam keagungan dan kemuliaan, bukan karena ditaklukkan dan dikalahkan. Kita melihat di halaman 3 bahwa catatan Injil memberikan dua pandangan yang sangat berbeda mengenai penyaliban Yesus Kristus. Para penulis kitab Injil Sinoptis (Matius,


Markus, dan Lukas) secara tepat menguraikan kesengsaraan dan kehinaan salib itu dengan menggambarkannya sebagai alat penyiksaan dan eksekusi. Injil Yohanes, di lain sisi, melukiskan gambaran yang jauh berbeda tentang rangkaian peristiwa pada Jumat Agung pertama tersebut. Yohanes ingin supaya kita melihat salib sebagai takhta kemuliaan dan kekuasaan— takhta tempat Anak Allah menaklukkan kematian, dosa, dan Iblis. Yohanes memberikan bukti yang tidak dapat disanggah tentang kematian Raja segala raja, yang akan menerima kemuliaan-Nya yang terbesar ketika Dia memberikan diri-Nya disalib. Seluruh rangkaian peristiwa penyaliban itu berlangsung selama kurang lebih 6 jam. Dalam 6 jam tersebut, para penulis kitab Injil mencatat tujuh perkataan Yesus dari atas salib—serangkaian perkataan yang sering disebut sebagai Tujuh Sabda Terakhir. Bagaikan dekrit seorang raja dari atas takhtanya, ketujuh deklarasi Yesus ini tak hanya memiliki arti penting, tetapi juga mengandung maksud yang sengaja hendak disampaikan-Nya.

Tiga pernyataan pertama Yesus bersifat horizontal dan menjelaskan kesimpulan Kristus tentang perlakuan-Nya terhadap umat manusia. Ketiganya memiliki ciri sebagai berikut: Pengampunan: “Yesus berkata, ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat’” (Luk. 23:34). Penebusan: “Kata Yesus kepada [salah satu pencuri yang disalib]: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus’” (Luk. 23:43). Belas kasihan: “Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: ‘Ibu, inilah, anakmu!’ Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: ‘Inilah ibumu!’ Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya” (Yoh. 19:26-27). Setelah menyelesaikan tugasNya di bumi, Sang Juruselamat memusatkan pandangan-Nya ke arah surga dan pada tugas utama yang ada di hadapanNya. Empat pernyataan terakhir-Nya bersifat vertikal 17


dan melibatkan Bapa-Nya dalam aksi penebusan yang sedang terjadi di salib Kalvari. Pernyataan-pernyataan ini mengungkapkan aspek-aspek spiritual dari karya Kristus sementara Dia menempuh tahap demi tahap berikut ini: Keadaan Ditinggalkan: “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: ‘ELI, ELI, LAMA SABAKHTANI?’ Artinya: ALLAH-KU, ALLAHKU, MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU?”

(Mat. 27:46). Kesiapan: “Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia—supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci—: ‘Aku haus!’” (Yoh. 19:28). Kegenapan: “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah selesai.’ Lalu Ia menundukkan kepalaNya dan menyerahkan nyawaNya” (Yoh. 19:30). Kelepasan: “Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: ‘Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawa-Ku.’ Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya” (Luk. 23:46). 18

Di atas kepala-Nya telah terpasang suatu tuduhan yang bertuliskan: “INILAH YESUS RAJA ORANG YAHUDI” (Mat. 27:37). Dan hal itu benar. Segala sesuatu yang terjadi pada peristiwa penyalibanNya mengungkapkan tentang keagungan-Nya yang sejati, tidak hanya sebagai Raja orang Yahudi, tetapi juga sebagai Raja segala raja.

KEMULIAAN DARI BELAS KASIHAN

Hal itu telah dilakukan prajurit-prajurit itu. Dan dekat salib Yesus berdiri ibuNya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada muridmurid-Nya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya (Yoh. 19:24-27). Perhatikan perbedaannya yang menyolok. Para prajurit yang membuang undi untuk mendapatkan pakaian-Nya memberikan tanggapan tertentu


kepada Sang Anak Manusia. Namun para wanita menanggapi dengan cara yang berbeda. Bahkan menjelang kematianNya, Yesus membedakan dan mengelompokkan orang berdasarkan cara mereka menanggapi-Nya. Para prajurit hadir di tempat penyaliban Yesus dengan sikap tamak dan apatis, tetapi para wanita hadir di sana dengan sikap penuh kasih dan pengabdian. Motivasi yang jauh berbeda. Hati yang jauh berbeda. Maksud yang jauh berbeda. Ada empat wanita yang hadir di sana—tetapi kehadiran mereka sepertinya tidak disadari oleh khalayak ramai. Walaupun mereka menanggung risiko akan dikenali sebagai pengikut Orang Nazaret yang terhukum itu, mereka mungkin tidak terlalu diperhatikan karena mereka wanita. Namun yang pasti, kehadiran mereka diperhatikan oleh Kristus. Ketika Dia menatap ke bawah salib, siapakah yang Dia lihat? Maria, ibu-Nya, yang mengalami penggenapan nubuat di masa lalu ketika Simeon memberi tahu Maria bahwa “suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri� (Luk. 2:35).

Salome, saudari Maria (Mrk. 15:40), kemungkinan istri dari Zebedeus dan ibu dari Yakobus dan Yohanes (Mat. 27:56). Maria, istri Klopas. Beberapa ahli berpendapat bahwa Klopas adalah nama lain dari Alfeus. Jika ini memang benar, Maria ini adalah ibu dari Yakobus anak Alfeus (Mat. 10:3), Matius (Mrk. 2:14), bahkan mungkin Yudas (bukan Yudas Iskariot). Maria Magdalena, yang akan kita bahas nanti. Kehadiran mereka menunjukkan kedalaman kasih mereka kepada Kristus. Yesus pernah menegur Salome dengan keras (Mat. 20:22), tetapi Salome masih hadir di situ. Yesus telah membebaskan Maria Magdalena dari tujuh roh jahat, dan ia tidak pernah melupakan anugerah-Nya (Luk. 8:2). Sekarang, di saat segalanya terasa akan berakhir, mereka berdua tetap berada di sisi-Nya. Namun dari semua wanita di kaki salib, yang dilihat Sang Juruselamat, ibu-Nyalah yang menarik perhatian-Nya. Meski diri-Nya pasti tersentuh oleh kasih dan pengabdian para wanita itu, perhatian Yesus 19


lebih tertuju kepada Maria, ibu-Nya. Dalam buku The Gospel of John, James M. Boice mengutip seorang penyair yang melukiskan kasih Maria untuk Anaknya sebagai berikut:

Di dekat salib, bunda berjaga Ia berdiri di sana, lelah dalam tangisnya, Di tempat Tuhan tersalib, menjelang kematian-Nya; Jiwa sang bunda meratap menderita, Tertunduk sedih, berkeluh, mengerang, Merasakan tajamnya pedang yang menghunjam Oh betapa berat penderitaannya! Derita bunda, yang menerima anugerah Allah, Derita bunda, yang melahirkan Yang Kudus dari Allah: Oh damba tak terucap yang tiada usai! Oh sepasang mata muram tak sekalipun berpaling Dari Putra agungnya yang tengah menderita.

Alangkah berlipat gandanya penderitaan Yesus ketika melihat ibu-Nya begitu berduka. Di kubur Lazarus, Yesus menangis ketika melihat air mata Maria dan Marta—alangkah lebih 20

dalam kepedihan-Nya ketika melihat tangisan ibu-Nya. Akhirnya, Yesus berkata kepada Maria, ibu-Nya dengan penuh kesadaran. Dengan menyebutnya “Perempuan” (dalam bahasa aslinya–red.), Dia mengakhiri hubungan mereka yang semula sebagai ibu dan anak. Sekalipun bukan bermaksud untuk tidak hormat, penggunaan istilah itu juga bukan untuk menunjukkan rasa sayang. Sebutan itu digunakan untuk menandai pergeseran dalam bentuk hubungan di antara mereka. Dalam Yohanes 2:4, Yesus juga memanggilnya “Perempuan” (dalam bahasa aslinya–red.) dan memberi tahu Maria bahwa waktu-Nya belum tiba. Sekarang waktu itu telah tiba—dan Maria membutuhkan Dia untuk mati demi menebusnya dari dosa juga! Meskipun demikian, bahkan ketika mengakhiri hubungan mereka yang semula sebagai ibu dan anak, Kristus mempedulikan wanita yang sedang bersedih ini. Dalam perhatian-Nya atas rasa kesepian dan kehilangan yang dialami Maria, Yesus berpaling kepada Yohanes— satu-satunya murid yang berani berdiri bersama Maria di bawah


salib Sang Guru. Jelas terlihat bahwa Yusuf sudah meninggal pada saat itu, dan saudarasaudara tiri Yesus belum menjadi percaya (walaupun kelak mereka akan percaya). Alhasil, Kristus mempercayakan Maria kepada salah seorang anggota keluarga sejati-Nya dan menjamin kelangsungan hidup Maria dengan menyerahkannya kepada Yohanes, sang murid yang dikasihi-Nya. Mengenai perhatian yang lembut dan penuh belas kasihan ini, James Stalker menulis dalam The Trial and Death of Jesus Christ (Peradilan dan Kematian Yesus Kristus): “Dengan salib sebagai mimbar-Nya, Yesus menyampaikan khotbah teragung tentang perintah Allah kelima.” Hal ini disetujui oleh William Barclay, seorang ahli Alkitab, dalam tafsirannya tentang Injil Yohanes: Betapa luar biasa mengharukannya saat mengetahui bahwa ternyata Yesus—yang sedang menanggung derita di salib, dimana keselamatan seluruh dunia sedang dipertaruhkan—memikirkan rasa kesepian yang akan dialami ibu-Nya di harihari mendatang. Dia tidak

pernah melupakan tanggung jawab yang diemban-Nya. Dia adalah putra sulung Maria, dan bahkan dalam pergumulan terdahsyat-Nya, Dia tidak melupakan halhal sederhana yang ada di sekitar-Nya. Hingga akhir hayat, bahkan di atas kayu salib, Yesus lebih memikirkan kedukaan orang lain ketimbang kedukaan yang dirasakan-Nya. Itulah arti belas kasihan. Di tengah-tengah penderitaan-Nya yang hebat, Yesus mempedulikan orang-orang yang Dia kasihi, dan dengan sikap-Nya ini, Dia menuntaskan urusanNya dengan manusia. Setelah menjamin kelangsungan hidup Maria, fokus-Nya kini terarah pada tujuan surgawi yang berada di balik semua ini— tugas mahaberat untuk menjadi Anak Domba Allah, yakni korban yang menanggung dosa demi umat manusia yang terhilang.

KEMULIAAN DARI KEHINAAN

Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga. 21


Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “ELI, ELI, LAMA SABAKHTANI?” Artinya: ALLAH-KU, ALLAHKU, MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU?”

(Mat. 27:45-46). Jam dua belas (ay.45) melambangkan tengah hari— siang bolong. Namun pada saat matahari seharusnya bersinar paling terang, di saat langit di atas Yudea seharusnya cerah, seolah-olah semua cahaya yang ada di alam telah dipadamkan. Langit pun menjadi gelap, dan demikianlah, seperti yang dituliskan oleh seorang penulis lagu, “tengah malam di tengah hari”. Sesuatu yang luar biasa sedang terjadi pada salib yang berada di tengah— apakah itu? Di kemudian hari, Rasul Paulus menggambarkan pertukaran yang terjadi itu sebagai berikut: “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor. 5:21). Inilah yang dinubuatkan Yesaya ketika ia menulis, “Tuhan telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian” (Yes. 53:6). Pada 22

momen yang sangat kelam itu, Sang Imam Besar menjadi Anak Domba yang dikorbankan. Petrus mengatakan bahwa “[Kristus] sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib” (1Ptr. 2:24). Yesus diliputi sepenuhnya oleh keberdosaan umat manusia. Allah memilih untuk menimpakan dosa-dosa kita pada Anak Domba yang murni dan tak bercacat ini—kemudian baik Sang Pencipta maupun alam ciptaan-Nya merespons pertukaran yang mengerikan ini. Respons Alam. Langit berubah menjadi gelap karena Sang Terang dunia tengah dilingkupi oleh kejahatan kita. Seluruh ciptaan mengeluh karena mendambakan penebusannya sementara bumi bergetar dan bebatuan terbelah. Namun di dalam, melalui, dan di balik semua peristiwa itu, Allah sedang bekerja. Gempa bumi mengakibatkan terbelahnya tabir penyekat Ruang Maha Kudus dalam Bait Suci di Yerusalem, sehingga semua orang yang datang dalam nama Kristus dapat memiliki “jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman” (Ef. 3:12).


Semua ini terjadi pada saat Allah Bapa sedang bekerja di tengah kegelapan. Matahari yang menjadi gelap diartikan sebagai suatu simbol duka, dan para pemimpin agama Yahudi merasa bahwa peristiwa semacam ini pasti ada kaitannya dengan kedatangan Mesias. Namun peristiwa ini bukanlah peristiwa alam yang biasa terjadi. Peristiwa ini bukanlah gerhana, karena terjadi selama bulan purnama Paskah. Pekatnya kegelapan ini jauh melebihi badai biasa. Satusatunya penjelasan yang masuk akal adalah Allah melakukannya agar seluruh alam ciptaan berduka atas kematian Sang Pencipta dan mencegah mata manusia berdosa untuk menyaksikan penyataan kasih yang indah nan mengerikan dari anugerah yang diberikan Kristus di kayu salib. Respons Bapa. Ternyata Allah Bapa merespons dengan lebih dari sekadar memberikan kegelapan. Dia membisu—dan keheningan ini dilihat oleh Kristus yang memikul dosa manusia sebagai sikap Bapa meninggalkan diri-Nya. Martin Luther menggambarkan keadaan Yesus yang ditinggalkan

tersebut dengan menyerukan, “Allah, ditinggalkan oleh Allah, siapa yang dapat memahaminya?” Seorang pengkhotbah berkata, “Murka Allah menuntutnya; kasih Allah menyediakannya; anugerah Allah menghadirkannya; Anak Allah menjaminnya; Allah Bapa memperkenankannya.” Bahkan ketika bala tentara surga telah siap bertindak atas perintahNya, Kristus tunduk pada rencana kekal yang terlaksana tanpa interupsi. Sebab inilah rencana agung yang telah dirancang sejak permulaan zaman, dan inilah tujuan dari inkarnasi Kristus. Inilah alasan dari kedatangan Yesus. Dan untuk maksud inilah Bapa mengutus-Nya. Respons Kristus. Anak Allah juga merespons, dengan dua seruan penderitaan—saya yakin keduanya ditujukan kepada Bapa-Nya! “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dalam kalimat ini, perkataan Daud dalam Mazmur 22:1 menjadi kenyataan. Penantian di taman Getsemani kini telah menjadi kenyataan yang mengerikan, karena 23


kegentaran yang dialami Kristus di taman itu kini telah menjadi kenistaan di Kalvari. Penderitaan tak terkatakan yang dialami Kristus ini berasal dari tangan Bapa-Nya sendiri! Yesaya 53:10 telah menubuatkan bahwa semua ini berasal dari Bapa: “Tetapi Tuhan berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan.” Kristus berseru dalam kengerian, ketika pedihnya penolakan manusia terhadap diri-Nya semakin diperparah oleh keterpisahan yang terjadi antara Dia dan Bapa-Nya— untuk pertama kalinya di sepanjang sejarah! Seruan “Allah-Ku” melambangkan permohonan dari seorang pendosa yang putus asa, meski Dia sendiri tidak pernah berbuat dosa. Yesus merasakan beratnya beban dari keterasinganNya, karena di dalam keheningan dan penarikan diri Bapa-Nya, Dia mengalami apa artinya benar-benar sendirian. “Tergantung di antara surga dan bumi, tetapi ditolak oleh keduanya.” Dalam bukunya The Trial and Death of Jesus Christ (Peradilan dan Kematian Yesus Kristus), dengan luar biasa Stalker menuliskan tentang 24

kesendirian Sang Juruselamat pada saat tersebut: Betapa dekatnya Dia dengan kita! Mungkin tidak pernah dalam sepanjang hidup-Nya Yesus begitu seutuhnya menyamakan diri-Nya sendiri dengan umat manusia yang berdosa. Karena di sini Dia turun untuk mendampingi kita bukan hanya pada saat kita harus mengalami penderitaan dan kemalangan, kehilangan dan kematian, tetapi pada saat kita sedang menanggung pedihnya rasa sakit yang melampaui penderitaan apa pun, hadirnya kengerian yang menggoncang pikiran, dan padamnya iman dan kasih sebagai cahaya kehidupan—kengerian dari suatu kehidupan tanpa Allah, kehidupan dalam kebingungan yang begitu mengerikan dan mengenaskan, yang tanpa makna dan tak lagi ditopang kasih. “Aku haus.” Dalam Yohanes 19:28-29 tertulis, “Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia—supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci—: ‘Aku haus!’ Di situ ada


suatu bekas penuh anggur asam. Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus.” Dalam pelayanan-Nya, Yesus sering membahas tentang topik haus: “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran” (Mat. 5:6); “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!” (Yoh. 7:37); “Ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum” (Mat. 25:35). Sungguh ironis— Sang Air Hidup kini berseru karena kehausan! Ketika Dia berseru karena kehausan, sebatang hisop digunakan untuk mengunjukkan bunga karang yang telah direndam anggur asam ke mulutNya. (Hisop biasanya digunakan dalam perayaan Paskah untuk mengoleskan darah domba pada tiang dan palang pintu depan rumah.) Namun mengapa—mengapa Dia haus? Saya berpendapat bahwa Dia tidak haus akan air atau anggur asam. Yesus haus akan cawan penderitaan yang pernah Dia minta supaya tidak ditanggungNya pada saat berdoa di taman

Getsemani. Namun lebih jauh dari itu, Dia haus untuk mengalami kembali persekutuan dan kehadiran Bapa-Nya! Dia merasakan kedalaman katakata dari Mazmur 42:3, “Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” Jika seruan “AllahKu” menyatakan permulaan dari masa penanggungan dosa oleh-Nya, seruan “Aku haus” kemungkinan merupakan akhir dari masa penanggungan dosa tersebut. Kedua perkataan Sang Anak Domba yang terpisah oleh rentang waktu 3 jam itu menggambarkan kerinduan-Nya yang luar biasa terhadap Bapa. Saat merasakan kembali kehausan akan kesatuan dan persekutuan dengan Bapa-Nya, Yesus telah tuntas menanggung hukuman dan penderitaan-Nya. Tentulah raut ngeri yang tampak pada wajah Kristus ketika Dia ditinggalkan sendirian dalam kegelapan sekarang telah tergantikan oleh ketenangan hati Sang Anak Allah yang kembali mengalami sinar cemerlang dari kehadiran Allah Bapa. Yang terakhir harus dilakukan hanyalah mengumumkan kemenangan-Nya—kemenangan 25


yang menyediakan solusi yang menuntaskan masalah dosa seluruh umat manusia di segala zaman.

KEMULIAAN DARI KEGENAPAN

Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Sudah selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya (Yoh. 19:30). “Sudah selesai.” Dalam bahasa Yunani, tertulis “te telestai”; “Sudah digenapi”; “Aku telah menyelesaikannya!” Matius 27:50 mencatat bahwa kata-kata terakhir Yesus itu diserukan dengan suara nyaring—itu adalah pekik kemenangan! Spurgeon menulis: Dibutuhkan seluruh perbendaharaan kata yang pernah terucap di dunia ini untuk menjelaskan makna dari satu kata ini. Sungguh kata ini sama sekali tak ternilai. Terlalu tinggi bagiku untuk menggapainya. Terlalu dalam bagiku untuk dapat menyelaminya! Komitmen Yesus terhadap rencana Bapa telah terbukti sepanjang pelayanan-Nya di bumi, dan Dia menunaikan 26

komitmen itu hingga akhir hidup-Nya—“taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:8). “Kata Yesus kepada mereka: ‘Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaanNya’” (Yoh. 4:34). “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya” (Yoh. 17:4). Yesus telah melakukan segalanya! Setiap nubuat telah digenapi-Nya, seluruh pekerjaan telah diselesaikan-Nya, sepenuh kasih telah diberikan-Nya, segala penderitaan telah ditanggungNya. Dia telah menyelesaikan semua yang dikehendaki Bapa untuk dilakukan-Nya. Kemudian Dia beristirahat. Namun sebagaimana setelah penciptaan selesai dalam Kejadian 2, yang dilakukan Yesus di sini bukanlah beristirahat karena kelelahan yang dialami-Nya, melainkan istirahat dalam penggenapan. Dia telah menggenapi keselamatan, sehingga tidak diperlukan lagi pengorbanan untuk selamanya. Tidak diperlukan lagi ritual keagamaan untuk selamanya.


Tidak diperlukan lagi andil dan usaha manusia untuk selamanya. Sebagai karunia dari anugerah yang kekal, Yesus telah menggenapi keselamatan, sekali untuk selamanya—bagi kita semua.

KEMULIAAN DARI KUASA

Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, KE DALAM TANGAN-MU KUSERAHKAN NYAWA-KU.”

Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya (Luk. 23:46). Perhatikan penguasaan diri yang agung dari Kristus. Dia telah melakukan yang difirmankan-Nya. Dia telah membayar lunas hukuman atas dosa manusia. Dia telah menjamin penebusan. Dia telah menjadi tebusan yang menderita dan mati demi “sukacita yang disediakan bagi Dia” (Ibr. 12:2). Satu hal terakhir yang perlu dilakukan-Nya adalah menuntaskan itu semua— dengan jalan menyerahkan nyawa-Nya. Namun bahkan pada titik akhir ini pun, Dia tetap memegang kendali. Perhatikan dengan saksama cara Yesus memanggil Allah

di surga sepanjang 6 jam penderitaan-Nya di kayu salib. Pada permulaan peristiwa penyaliban itu, Dia datang kepada Bapa-Nya untuk memohon pengampunan bagi manusia berdosa. Segera setelah dosa seluruh dunia ditimpakan pada-Nya, Dia berseru, “AllahKu!” dengan seruan pilu karena telah ditinggalkan oleh Bapa. Begitu penebusan itu selesai dilaksanakan, Dia kembali menyerukan, “Ya Bapa!” Misi telah digenapi. Hubungan pun telah dipulihkan. Dengan menyadari penuh segalanya yang harus terjadi, Yesus menyerahkan nyawa-Nya ke dalam tangan Bapa tepat pada pukul 3 sore—waktu untuk mempersembahkan korban petang hari. Kemudian Dia mati. Namun dalam kitab Injil mana pun tidak dicatat bahwa Dia mati. Dengan penuh kuasa, Dia semata-mata menggenapi maksud dari perkataan-Nya sendiri, yakni perkataan yang sungguh-sungguh menunjukkan kuasa-Nya ketika Dia berkata, Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari 27


pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku (Yoh. 10:17-18). Dengan senantiasa tunduk pada kasih Bapa dan selalu taat pada kehendak Bapa, sekarang, pada akhirnya, Yesus menyerahkan nyawaNya kepada Bapa dan mati. Pengarang himne Thomas Kelly menulis: Mahkota duri yang kejam menyiksa Penebus, Diganti tajuk pemenang yang agung dan kudus! Tempat tertinggi pemenang yang baka Pada-Nya diberi, Sang Maharaja semesta! (Kidung Jemaat, No. 219)

Semua Karena Salib

S

emasa kecil saya biasa beribadah di gereja. Setiap hari Minggu, keluarga saya pasti beribadah di gereja. Saya dan saudara-saudara saya duduk tenang (hampir 28

di sepanjang kebaktian) dan mendengarkan hal-hal yang tidak kami pahami. Namun selama bertahun-tahun itu, saya tidak pernah mendengar kabar baik tentang Kristus diberitakan. Saya tidak pernah mendengar pesan Injil. Natal selalu tentang hadiah, dan Paskah itu misteri, dan kedua hari raya itu tidak memberikan dampak rohani apa pun dalam kehidupan saya. Ketika beranjak dewasa, saya melepaskan diri dari akarakar kekristenan yang sarat dengan pengaruh budaya dan kelembagaan tersebut. Saya pun menjauhkan diri dari jerat agama yang terasa begitu hampa dan tidak mengandung sedikit pun makna, kuasa, atau jiwa. Saya lulus dari sekolah menengah atas dan berpindah dari satu gereja ke gereja lain, berusaha mencari jawaban bagi pergumulan saya tetapi tidak menemukannya. Kemudian, pada tahun 1972, sebuah peristiwa mengubah jalan hidup saya. Saat itu, saya sedang bekerja untuk sebuah perusahaan gas di Virginia Barat, dalam suatu regu survei yang ditugaskan untuk meninjau jalur-jalur pipa, lokasi sumur, dan beragam proyek teknik


sipil lainnya. Pada satu hari yang dingin di bulan Januari, kami dijadwalkan melakukan peninjauan terhadap “lubang utama� yang akan menjadi tempat para insinyur mengebor untuk mendapatkan batu bara—batu bara yang dapat digunakan dalam eksperimen untuk menciptakan gas dari batu bara. Peninjauan tersebut harus dimulai dari sebuah titik penanda milik pemerintah AS untuk memastikan bahwa kami memulai peninjauan pada ketinggian yang akurat. Lokasi titik penanda yang dimaksud berada pada beton penyangga suatu jembatan rel kereta api yang melintasi sebuah dasar parit yang kering di dekat Fort Gay, Virginia Barat. Karena saya yang paling miskin pengalaman dari antara anggota regu kami, saya yang harus memanjat jembatan itu sementara rekanrekan saya tetap duduk santai di mobil. Begitu sampai di atas jembatan, segera saya menemukan cakram titik penanda yang ditanam dalam beton penyangga itu. Saat itulah “peristiwa naas� itu terjadi. Saya tidak mengingat dengan jelas bagaimana peristiwa itu terjadi, tetapi laporan berita

mengindikasikan bahwa angin bertiup kencang mencapai kecepatan 112 km/jam pada hari itu. Jadi bertahun-tahun lamanya saya berasumsi bahwa hembusan angin kencang yang menderu dari rongga di belakang sayalah yang melemparkan saya jatuh dari jembatan. Dari ketinggian 12 m, saya terpental dari penyangga jembatan yang baru saya pelajari dengan saksama beberapa saat sebelumnya dan mendarat di tanah dengan leher membentur dasar sungai. Rekan-rekan saya menarik saya keluar dari jurang itu dan membawa saya ke rumah sakit di Huntington tempat saya dirawat dengan mengenakan penyangga leher satu minggu lamanya. Saya pun terpaksa mengambil cuti tiga bulan berikutnya karena kecelakaan tersebut. Selama masa perawatan di rumah sakit, saya ditempatkan dalam sebuah bangsal yang berisi empat ranjang, dan pria yang dirawat di sebelah ranjang saya berusia lebih tua dan dalam kondisi yang kurang sehat. Suatu hari, ketika istri pria ini datang menjenguk, saya bisa mendengar mereka berbisik dan menangis. Saya mengira mereka 29


baru saja menerima kabar buruk dari dokter dan sedang bersedih karenanya. Ternyata saya salah! Di akhir jam bezuk, sang istri bersiap-siap akan pulang, tetapi ia menyempatkan diri datang ke tempat saya terbaring. Ia menatap wajah saya, dan saya melihat air matanya mengalir ketika ia berkata, “Suamiku baru saja menceritakan tentang kecelakaan yang menimpamu. Kami percaya Allah menyelamatkan nyawamu karena Dia ingin memakaimu. Selama ini kami sudah berdoa untukmu dan akan terus berdoa untukmu.� Saya tidak pernah terpikir demikian, tetapi terbaring dengan penyangga leher di ranjang rumah sakit memberi saya banyak waktu untuk berpikir. Pada bulan-bulan berikutnya, pencarian saya akhirnya membawa saya ke suatu gereja yang sungguhsungguh mengajarkan Alkitab; memberi saya pekerjaan yang baru dimana ada seorang rekan kerja seiman yang mendukung saya dalam pertumbuhan iman; dan menuntun saya ke tujuan yang baru. Luar biasanya, perjalanan itu membawa saya kuliah di suatu universitas 30

Kristen. Di sana, dalam kebaktian pada tanggal 12 Oktober 1973, saya mendengar berita Injil dijelaskan, dan saya menerima Kristus yang disalibkan sebagai Juruselamat saya. Yesus telah memikat hati saya dengan anugerah-Nya, dan sejak saat itulah saya pun menjadi pengikut Kristus. Saya sering melihat jalan hidup saya yang telah lalu, dan saya terpikir tentang agama yang hampa. Kini kehampaan itu telah tergantikan oleh keutuhan yang datang dari salib Kalvari. Saya terpikir tentang pasangan suami-istri yang baik di rumah sakit itu yang telah mendoakan saya dan menunjukkan kebaikan serta perhatian mereka. Namun semua itu belum seberapa jika dibandingkan dengan belas kasih dari Kalvari. Saya terpikir tentang seorang rekan kerja yang dengan sabar dan lembut menolong iman saya bertumbuh. Namun itu pun tidak sebanding dengan kesabaran dan kasih setia Allah Mahakudus yang melihat dosa-dosa saya dan mengutus Anak-Nya untuk mati di kayu salib karena Dia “menghendaki supaya jangan ada yang


binasa, melainkan supaya semua orang (termasuk saya) berbalik dan bertobat” (lihat 2Ptr. 3:9). Sekarang, lebih dari 30 tahun kemudian, saya sungguh menghargai semua individu yang telah mempengaruhi perjalanan hidup saya selama ini. Namun Kristus dan kasih-Nya yang dahsyat itulah yang memberi arti dan makna hidup yang tidak pernah saya miliki sebelumnya. Semua karena salib. Dalam kemuliaan-Nya, Dia datang menjadi Juruselamat saya. Seorang penulis himne mengungkapkan hal ini dengan tepat: Kasih ajaib, O, mungkinkah, Tuhan mati menggantikanku.

(Kidung Puji-Pujian Kristen, No. 158)

Buklet ini disarikan dari buku The Path of His Passion karya Bill Crowder, yang diterbitkan oleh Discovery House Publishers, anggota keluarga RBC Ministries. Bill, yang pernah melayani sebagai gembala gereja selama 20 tahun, sekarang melayani sebagai seorang pengajar Alkitab di RBC Ministries. Bill dan istrinya, Marlene, memiliki lima anak.

Buklet Seri Terang Ilahi (STI) berjudul “Kenistaan dan Kemuliaan Kalvari” diterbitkan dan didistribusikan oleh PT Duta Harapan Dunia (DHD) yang merupakan anggota keluarga RBC Ministries. Selama 75 tahun terakhir ini, RBC Ministries telah mengajarkan firman Allah dengan maksud untuk membawa orang-orang dari segala bangsa agar dapat memiliki iman dan kedewasaan di dalam Kristus. Landasan inilah yang menopang kerinduan DHD untuk menjadi saluran berkat di Indonesia dengan cara menyediakan literatur rohani yang dapat menguatkan dan memperlengkapi para pembaca agar semakin mengenal Allah dan memperoleh penghiburan, wawasan, dan penguatan iman melalui firman-Nya. Adapun buku-buku yang dapat diperoleh melalui PT Duta Harapan Dunia: • Santapan Rohani Tahunan (SR) Buku renungan tahunan yang dirancang untuk digunakan sebagai makanan rohani sehari-hari. • Seri Kehidupan Kristen— Pedoman Dasar Hidup Kristen Buku pedoman yang membuat Anda mengerti siapakah Allah itu dan memperluas pengetahuan Anda tentang iman Kristen. • Seri Hikmat Ilahi (SHI) Bahan Pendalaman Alkitab untuk pribadi maupun kelompok. • Seri Terang Ilahi (STI) Buklet yang mengulas beragam topik yang membuka wawasan rohani orang Kristen. Informasi lebih lanjut, hubungi: PT Duta Harapan Dunia PO Box 3500 Jakarta Barat 11035 Tel.: (021) 7111-1430; 2902-8955 Fax: (021) 5435-1975 E-mail: orders@dhdindonesia.com Situs: www.dhdindonesia.com

31 Indonesian Discovery Series ‘The Mockery and Majesty of Calvary’


Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang. Anda dapat mendukung kami dalam melaksanakan misi tersebut melalui persembahan kasih. Klik link di bawah ini untuk informasi dan petunjuk dalam memberikan persembahan kasih. Terima kasih atas dukungan Anda untuk pengembangan materi-materi terbitan Our Daily Bread Ministries. Persembahan kasih seberapa pun dari para sahabat memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.

DONASI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.