Misteri kekayaan hutan lambusango

Page 1

1 Berkenalan dengan Hutan Lambusango Pada bab ini Anda akan mendapatkan informasi mengenai: ? lokasi Hutan Lambusango; ? status Hutan Lambusango; ? kondisi geografis Hutan Lambusango; ? iklim di Hutan Lambusango; ? masyarakat sekitar Hutan Lambusango; ? daya tarik Hutan Lambusango.

1


A.

Di Manakah Hutan Lambusango Berada?

Hutan Lambusango yang berada pada posisi geografis antara 5°09'– 5°24'LS dan 122°43'–23°07'BT merupakan sebagian dari hutan yang terbentuk di Pulau Buton. Pulau yang bernama lain Butung ini memiliki panjang sekitar 130 km dan lebarnya sekitar 50 km. Daratan yang terbentuk ini merupakan daerah pegunungan. Puncak tertinggi pulau ini berada di Gunung Tobelo yang memiliki ketinggian 1.100 meter di atas permukaan air laut (dpl).

Skala: 1:2.125.000

Sumber: Atlas.

Gambar 1.1 Peta Sulawesi Tenggara.

2

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Secara teritorialitas, Pulau Buton termasuk dalam kawasan teritorial Republik Indonesia. Republik Indonesia ini merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (malay archipelago). Negara kepulauan ini memiliki luas wilayah 780 juta ha. Luas wilayah tersebut terdiri atas daratan seluas 1,9 juta km2, laut 3,1 juta km2, dan perairan terbatas seluas 2,7 juta km2. Luas daratan tersebut mencakup 17.508 pulau yang berukuran besar dan kecil. Salah satu pulau tersebut adalah Pulau Buton yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara, dan berjarak 5 km dari pantai sebelah tenggara Sulawesi Tenggara. Adapun secara administratif, Hutan Lambusango berada di enam kecamatan, yaitu Kapontori, Laslimu, Lasalimu Selatan, Siontapina, Wolowa, dan Pasarwajo.

Sumber: PKHL, 2005. Gambar 1.2 Hutan Lambusango berada di jantung Pulau Buton.

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

3


B.

Bagaimanakah Status Hutan Lambusango?

Di Pulau Buton telah ditetapkan empat kawasan konservasi hutan, yaitu Suaka Margasatwa (S.M.)Buton Utara (85.000 ha), Suaka Margasatwa Lambusango (27.700 ha), Cagar Alam (C.A.)Kakenauwe (810 ha), dan Taman Wisata Alam Tirta Rimba (488 ha). Seluruh kawasan tersebut dikelola oleh pemerintah pusat, yaitu Departemen Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumberdaya Hutan (BKSDA) Sulawesi Tenggara yang merupakan unit pelaksana teknis Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHKA).

Gambar 1.3 Perbedaan status hutan di Lambusango yang terdiri atas suaka marga satwa dan cagar alam (warna merah), hutan produksi terbatas (warna hijau), dan hutan produksi (warna kuning). Sumber:dimodifikasi dari Carlisle , 2005.

4

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


S.M. Lambusango dan C.A. Kakenauwe berbatasan dengan kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi. Ketiga kawasan hutan yang terakhir (seluas Âą 35.000 ha) dalam era otonomi daerah dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Buton, yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten Buton. Mengingat bahwa S.M. Lambusango dan C.A. Kakenauwe beserta hutan-hutan dengan status berbeda yang berada di sekitarnya merupakan satu kesatuan ekosistem yang tak terpisahkan. Oleh karena itu, untuk kepentingan efektivitas pengelolaannya, diperlukan adanya suatu komunikasi dan koordinasi yang intensif di antara instansi berwenang. Dengan demikian, seluruh kegiatan pengelolaan yang dilakukan akan bermuara pada kelestarian ekosistem hutan. Hutan inilah yang kemudian disebut sebagai Hutan Lambusango.

Gambar 1.4 Papan penunjuk Kekenauwe yang termasuk bagian dari Hutan Lambusango. Sumber: PKHL, 2005.

Lebih Jauh Mengenal Operation Wallace Operation Wallacea merupakan sebuah organisasi nonpemerintah (ornop) yang bergerak di bidang wisata ilmiah. Ornop yang berkantor pusat di Inggris ini memiliki dua bidang kegiatan di lapangan, yaitu bagian darat (terrestrial) dan kelautan (marine). Di Indonesia sendiri, ornop ini sudah mulai beroperasi sejak 1995. Di Indonesia, organisasi ini disponsori oleh The Wallacea Foundation (TWF) dan selalu bekerja sama dengan Departemen Kehutanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kini, Operation Wallacea menjadi organisasi wisata ilmiah terbesar di Eropa. Hingga tahun 2006, tidak kurang dari 3.000 relawan (volunteer) dan peneliti (scientists), serta 2.000 staf lokal, bergabung dalam ekspedisi ilmiah yang telah menyebar di berbagai negara, yaitu di Indonesia, Honduras, Mesir, Afrika Selatan, dan Kuba. (www.opwall.com)

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

5


C.

Bagaimanakah Kondisi Geografis Hutan Lambusango?

1. Kondisi Tanah Hutan Lambusango merupakan hutan hujan dataran rendah yang kondisi geologinya didominasi oleh batuan ultra basa dan kapur (limestone). Tanah yang terbentuk dari batuan ini mengandung magnesium dan mineral ferik. Jenis tanah ini memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Oleh karena itu, tegakan hutan yang terbentuk relatif kurang rapat. Penetrasi radiasi matahari secara leluasa dapat masuk sampai ke lantai hutan yang menyebabkan semak dan tumbuhan bawah tumbuh subur. Selain itu, sifat batuan kapur yang tidak dapat menyimpan air, dan mudah Sumber: CD Photo Image. terlarutkan oleh air ini, menyebabkan lahan Gambar 1.5 yang terbentuk dari batuan ini bertopografi Kondisi permukaan bergelombang dengan cekungan-cekungan tanah limstone. dalam. Lapisan tanah yang terbentuk dari batuan ini umumnya tipis. Hal ini karena lambatnya proses pelapukan batuan dan tingginya laju erosi. Berbeda dengan tanah yang terbentuk dari aktifitas vulkanis yang umumnya memiliki lapisan tanah yang dalam, subur, dan memiliki daya ikat air (water-holding capacity) yang tinggi. Tanah yang terbentuk dari batuan kapur, selain tipis juga kurang subur serta bersifat kedap air. Air hujan yang jatuh di wilayah berkapur sebagian besar diteruskan, air tersebut kemudian mengalir pada rongga-rongga yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan kapur oleh air hujan. Selanjutnya, terkumpul pada gua-gua yang berada di dalam tanah. Dengan demikian wilayah karst (lahan yang terbentuk oleh batuan kapur) sering disebut sebagai sumber air, mengingat air hujan yang jatuh tersebut, disimpan dalam rongga-rongga dan gua-gua di bawah tanah. Namun demikian, air

6

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


tersebut tidak tersedia pada lapisan permukaan tanah. Oleh karena itu, tanaman di wilayah tersebut sering kekurangan air. Penduduk yang ada di wilayah ini pun tidak secara mudah dapat menemukan sumber air, sebagaimana di wilayah bergeologi vulkanik. Di beberapa blok hutan, gua-gua dengan panjang sekitar 30–50 m bisa ditemukan. Gua-gua tersebut terbentuk di daerah yang tadinya tersusun atas batuan kapur karst. Batuan kapur tersebut tersusun atas kalsium karbonat. Karena hujan yang bersifat asam mengenai daerah ini, kalsium karbonat terlarut. Lama-kelamaan terbentuk ronga-rongga dan saluran-saluran serta ruangan yang semakin membesar hingga terbentuklah sebuah gua. Di dalam gua juga dapat ditemukan stalaktit dan stalagnit. Kedua batuan ini merupakan “pilar-pilar” yang terbentuk dari kalsium karbonat dengan berbagai campuran zat kimia alami. Campuran ini menjadikan warna pucat pada stalaktit dan stalagnit gua.

Sumber: Singer, 2005.

Gambar 1.6 Lanskap Hutan Lambusango bagian barat laut dilihat dari Gua Wangkaka.

Sumber: www.opwall.com.

Gambar 1.7 Stalagnit yang terbentuk di dalam gua.

2. Topografi

Hutan Lambusango berada pada ketinggian antara 50–780 meter dpl. Puncak tertingginya berada di daerah pegunungan Warumbia(8 km dari Dusun Watambo). Wilayah hutan ini cenderung datar, bergelombang, hingga berbukit-bukit yang memiliki kisaran rata-rata kemiringan antara 10°–30° (20–65%). Beberapa sungai yang membelah kawasan hutan ini relatif kecil dan tidak terlalu dalam. Rata-rata lebar sungainya kurang dari 5 m dengan kedalaman kurang dari 2 m, kecuali di bagian timur dan selatan Hutan Lambusango. Di bagian ini terdapat sungai yang memiliki lebar dan kedalaman

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

7


yang lebih dibandingkan dengan sungai lainnya di Hutan Lambusango. Di bagian muara, lebar sungai bisa mencapai 20–30 m. Sungai-sungai tersebut bernama Minaga one, Kumele tondo, dan Winto.

Sumber: Singer, 2005.

Gambar 1.8 Sungai di blok Hutan Lambusango relatif tidak dalam dan tidak lebar.

Sumber: Singer, 2005.

Gambar 1.9 Aliran air yang deras di Sungai Winto.

Daerah Winto yang berada di Hutan Lambusango ini memiliki formasi batuan tertua. Di daerah Winto ini dapat ditemukan jenis batuan perselingan serpih, batu pasir, konglomerat, dan batu gamping. Sedimen formasi batuan tertua ini ditandai dengan adanya kandungan sedimen klastik daratan yang sedikit bersifat karbonat, mengandung sisa tumbuhan, kayu, dan sisipan tipis batubara. Formasi batuan ini diendapkan pada lingkungan neritik (Triono, 2002). I N F O Daerah neritik merupakan daerah laut dangkal, daerah ini masih dapat ditembus cahaya sampai ke dasar laut. Kedalaman daerah ini dapat mencapai 200 m. Biota yang hidup di daerah ini adalah plankton, nekton, neston, dan bentos. Sumber: www.ftp.ui.edu

Pulau Buton dan pulau-pulau kecil di sekitarnya terbentuk dari jenis batuan karang. Jenis pulau ini bercirikan adanya lembah yang curam dan mudah tererosi di beberapa daerah. Hal ini menandakan bahwa Pulau Buton tempat keberadaan Hutan Lambusango belum matang secara geologis. Gambar 1.10 Pulau yang terbentuk oleh karang. Sumber: www.abercrombiekent.

8

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


3.

Proses Geologi-Pembentukan Pulau Buton

Sekitar 280 juta tahun yang lalu, Bumi hanya terdiri atas satu benua besar, bernama Pangea. Kemudian, pada sekitar 250 juta tahun yang lalu, Pangea terpecah menjadi dua benua besar, yaitu Benua Laurasia dan Benua Gondawana. Benua Laurasia ini merupakan cikal bakal dari Benua Amerika Utara, Eropa, dan sebagian besar Asia sekarang. Adapun Benua Gondawana merupakan cikal bakal Benua Amerika Selatan, Afrika, India, Australia, Antartika, dan sebagian Asia sekarang. Amerika Utara

Eurasia

Amerika Selatan

India Afrika

Australia Antartika

Amerika Utara Eurasia Laurasia Afrika India Amerika Selatan Australia Antartika

Amerika Utara

Asia Eropa India

Amerika Selatan

Afrika Australia Antartika

Gambar 1.11 Proses terbentuknya permukaan bumi saat ini dimulai sejak 280 juta tahun yang lalu.

Bagaimana dengan pembentukan pulau-pulau di Indonesia? Perhatikan gambar berikut.

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

9


Sumber: Audley-Charles, 1987 dalam Whitten, 2002.

Gambar 1.12 Pembentukan pulau-pulau di Indonesia termasuk Sulawesi.

Peristiwa geologi pembentukan pulau-pulau di Indonesia bagian timur merupakan paling kompleks di dunia (Audley-Charles, 1981). Kerumitan ini bisa terlihat dari beberapa pulau yang berbentuk aneh, seperti pulau berbentuk anggrek, berbentuk laba-laba (Maluku), dan huruf yang goyang (Sulawesi). Pulau-pulau berbentuk aneh seperti ini telah menarik perhatian para ahli geologi dan ahli lainnya untuk terus mengetahui sejarah alam di kawasan Sulawesi. Sejarah pembentukan subkawasan Sulawesi ini diperkirakan mulai terjadi pada 250 juta tahun yang lalu. Masa disaat dinosaurus masih hidup di muka Bumi. Pada saat itu, Benua Gondawana mulai terpecah. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada Zaman Kenozoikum periode Miosen (25 juta tahun yang lalu), merupakan peristiwa paling dramatik dalam sejarah geologi Indonesia. Hal ini karena lempeng Australia mulai bergeser ke sebelah utara yang berakibat pada melengkungnya bagian

10

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


timur lengkung Banda ke sebelah barat. Gerakan ke arah barat ini bergabung dengan desakan sepanjang patahan Sorong dari bagian barat Papua ke arah timur-barat. Peristiwa yang terjadi 19–13 juta tahun yang lalu ini diperkirakan menentukan bentuk khas Pulau Sulawesi seperti sekarang ini. Perhatikan gambar pembentukan Pulau Sulawesi berikut. Mindanau

Mindanau

Kalimantan

25–7 juta tahun yang lalu

Kalimantan

Sula wesi

Sula wesi

Kalimantan

Mindanau

7–2,5 juta tahun yang lalu Mindanau

2,5 juta tahun yang lalu

Sula wesi

Sula wesi

Kalimantan

sekarang

Gambar 1.13 Pembentukan Pulau Sulawesi.

Sumber: Kinnaird, 1995.

Sementara itu, subkawasan Sulawesi termasuk Pulau Buton, terbentuk dari hasil benturan berulang kali antara dua lempeng utama kerak bumi di bagian barat dan timur (proses tektonik). Hal ini menyebabkan terangkatnya beberapa pulau satelit di sekitar Pulau Sulawesi, termasuk terbentuknya Pulau Buton, Muna, dan Kepulauan Tukang Besi. Pulau Buton diperkirakan mulai terbentuk sekitar 7 juta yang lalu. Berdasarkan umur geologi, umur pulau ini masih relatif muda dibandingkan pulau besar lainnya di Indonesia, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa. Untuk lebih detailnya, Anda dapat membaca tabel berikut untuk mengetahui perkembangan sejarah geologi Sulawesi dari kurun waktu 350 juta tahun yang lalu.

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

11


Tabel 1.1 Perkembangan Sejarah Geologi Pulau Sulawesi Zaman Kenozoikum

Mesozoikum

12

Periode

Kurun

Mulai (juta tahun)

Peristiwa Geologi

Peristiwa Biologi

Kuarter

Holosen

0,01

Tersier Jura

Pliosen

10

Sulawesi berhubungan dengan Kalimantan melalui laut dangkal. Saat itu, Selat Makassar menyempit.

Miosen

25

Sula/Bangai bertabrakan dengan Sulawesi Timur; semenanjung utara mulai berputar; Sulawesi Timur dan Barat mulai bersatu; vulkanisme mulai tersebar luas di Sulawesi Barat.

Hewan-hewan pemakan rumput berlimpah.

Oligosen

40

Bagian barat Indonesia dan bagian barat Sulawesi kurang lebih posisinya seperti sekarang.

Hewan pelari yang besar.

Eosen

60

Australia terpisah dari Antartika. Vulkanisme mulai timbul di bagian barat Sulawesi.

Hewan menyusui modern mulai banyak berkembang.

Kapur

145

Manusia pertama hidup.

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006

Tumbuhan bunga pertama dan punahnya dinosaurus serta Amonit pada akhir kapur.


Tabel 1.1 (sambungan)

Paleozoikum

Jura

215

Bagian barat Indonesia bersama dengan Tibet, Birma, Thailand, Malaysia, dan Sulawesi Barat terpisah dari Benua Gondawana.

Burung dan hewan menyusui pertama, Dinosaurus dan Amonit melimpah

Trias

250

Pangea terpecah menjadi dua: Laurasia dan Gondawana. Pulau-pulau dan bagian-bagian daratan Asia Tenggara merupakan bagian timur Benua Gondawana.

Dinosaurus pertama, pakis dan pohon jarum melimpah

Perm

280

Semua daratan menjadi satu benua, yaitu Pangea.

Karbon

350

Punahnya banyak bentukbentuk hewan laut, termasuk Trilobita. Hutanhutan pembentuk batubara luas. Hewan melata pertama, Hiu dan Amphibia yang berlimpah. Sumber: Whitten dkk, 2005

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

13


D.

Bagaimanakah Iklim di Hutan Lambusango?

Seluruh kepulauan Indonesia berada di lintasan khatulistiwa, posisi geografis ini membuat Indonesia memiliki iklim tropika (tropis) dengan ciri utama: (1) tingginya kelimpahan sinar matahari; (2) suhu rata-rata yang tinggi dan relatif stabil sepanjang tahun; (3) lama waktu siang dan malam hari yang sama sepanjang tahun. Selain itu, wilayah ini juga memiliki kelembapan udara yang tinggi. Pada waktu pagi hari (sebelum matahari terbit), kelembapan udara bisa mencapai 100% (artinya seluruh ruang yang tersedia di udara terisi penuh oleh uap air), kelembapan udara ini kemudian menurun seiring dengan semakin tingginya radiasi matahari. Penurunan kelembapan ini mencapai titik minimum pada saat matahari mencapai titik kulminasi (antara jam 12.00–13.00, saat itu kelembaban udara sekitar 40%). Perpaduan antara tingginya radiasi matahari, suhu, dan kelembapan berpengaruh terhadap tingginya keragaman hayati. Selain itu, berpengaruh pula terhadap karakteristik biologi hutan tropis Indonesia yang bersifat khas. Kekhasan ini ditunjukkan dengan: (1) dominasi pohon yang selalu hijau dan tidak menggugurkan daunnya (evergreen); (2) unsur hara yang terkonsentrasi pada biomasa (tubuh tanaman) hutan; (3) siklus hara yang cepat dan efisien dan hampir tertutup. Kondisi ini membuat hutan tropis di Indonesia, termasuk Hutan Lambusango mampu mempertahankan kesuburannya, walau berada pada tanah dan batuan (mineral) yang miskin hara (Purwanto dan Warsito, 2002). Posisi geografis wilayahnya menjadi sebab utama tingginya limpahan curah hujan, hal ini secara umum bisa dijelaskan melalui dua mekanisme pergerakan udara dan uap air sebagai berikut. Pertama, tingginya kelembapan udara dan intensitas radiasi matahari menyebabkan terangkatnya udara lembap dan panas yang kemudian membentuk awan panas cumulo-nimbus yang merupakan sumber curah hujan konvektif (hujan yang ditimbulkan oleh proses pemanasan dan penguapan setempat). Kedua, pergerakan angin muson yang membuat perbedaan yang jelas antara musim hujan dan kemarau di Indonesia. Pada saat musim dingin (winter) di belahan bumi utara (Eropa) dan musim panas (summer) di belahan bumi selatan (Australia) sekitar

14

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


November–April, menyebabkan angin muson bergerak dari belahan bumi utara menuju belahan bumi selatan. Pergerakan angin ini diikuti dengan penyerapan uap air yang cukup besar. Hal ini karena angin melintasi samudra yang luas (Samudra Hindia). Uap air inilah yang kemudian menjadi curah hujan. Akibatnya, terjadilah musim hujan di Indonesia. Sebaliknya, pada Mei–Oktober terjadi musim panas di belahan bumi utara, dan musim dingin di belahan bumi selatan. Hal ini telah membuat angin muson berganti haluan. Dari Muson Barat Laut yang banyak membawa uap air, menjadi muson tenggara. Oleh karena angin muson ini tidak cukup bekal uap air dari Benua Australia, timbullah musim kemarau di Indonesia. Kondisi ini berlaku pula di Pulau Buton.

E.

Siapakah Masyarakat Sekitar Hutan Lambusango?

Orang Buton merupakan masyarakat yang berada di sekitar Hutan Lambusango. Orang Buton ini merupakan bagian dari suku di Sulawesi Tenggara yang terdiri atas beberapa subetnis yang meliputi Wolio, Wanci, Tomia, Binongko, dan Kalisusu. Di kawasan timur Indonesia ini orang Buton dikenal sebagai suku bangsa maritim bersama dengan orang Bugis/ Makassar, dan Mandar. Zuhdi (1997) menyebutkan bahwa suku bangsa Buton, Bugis, dan Mandar dikenal sebagai suku maritim yang sering menjelajahi wilayah Nusantara hingga keluar batas wilayah Indonesia sampai ke Australia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Cina. Sumber: Singer, 2005. Jumlah penduduk di Pulau Gambar 1.14 Buton/Butung (tidak termasuk Profil orang Buton dengan pakaian penduduk Pulau Kabaena dan adat pernikahannya. Wakatobi), sampai akhir tahun 2005 adalah sekitar 500.000 jiwa. Sekitar 95% penduduk di antaranya beragama Islam, sisanya beragama Protestan, Katholik, dan Hindu. Schrool (2003) menyebutkan bahwa pada tahun 1980, kepadatan

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

15


penduduk di Pulau Buton mencapai 44 jiwa per km2 dengan pertumbuhan kira-kira 2% per tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2004) Kabupaten Buton (terpisah dari Kota Bau-Bau, Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana), memiliki pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat. Pada 1990 jumlah total penduduk laki-laki dan perempuan sebanyak 165.134 jiwa. Selanjutnya, 2004 mencapai 265.724 jiwa. Jumlah perempuan dari total pertumbuhan penduduk selalu sedikit lebih banyak daripada laki-laki. Perhatikan grafik berikut ini. 300.000

Jumlah Penduduk

250.000

200.000

150.000

100.000

50.000

Laki-laki

Perempuan

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

0

Laki-laki+Perempuan

Sumber: BPS Buton, 2004.

Gambar 1.15 Grafik pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Buton tahun 1990–2004.

1. Bagaimanakah Asal Muasal Orang Buton?

Sebelum tahun 1960, orang yang tinggal di Kesultanan Buton disebut orang Buton. Kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton (Butuni atau Butung), Muna dan Kabaena, Kepulauan Tukang Besi (sekarang bernama Wakatobi ) serta dua daerah di bagian tenggara Pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang). Pada 1960 kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu dibubarkan dan wilayah kesultanan tersebut dibagi menjadi dua kabupaten yang sepenuhnya dimasukkan ke dalam wilayah

16

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Indonesia. Kabupaten Muna terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi bagian-bagian lain dari bekas wilayah kesultanan.

Gambar 1.16 Peta wilayah Kesultanan Buton/Wolio hingga 1960.

Lebih Jauh Mengenal Kesultanan Buton Menurut cerita penduduk setempat, pendatang dari Johor mendirikan kerajaan bernama Buton pada sekitar awal abad ke-15. Raja-raja Buton pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa. Interaksi ini memungkinkan raja-raja pendahulu Buton menganut agama Hindu. Namun, setelah memasuki dinasti kerajaan keenam, masuklah agama Islam pada tahun 1540. Dengan demikian, muncullah kesultanan pertama di Buton. Di bawah kepemimpinannya, seluruh anggota kerajaan secara resmi masuk Islam. Saat ini sulit untuk menentukan dengan tepat siapa yang disebut orang Buton itu. Hal tersebut bergantung pada waktu dan keadaan. Saat ini, kebanyakan orang Muna tidak mau disebut sebagai orang Buton (Schrool, 2003). Pada dokumen barat, dijelaskan bahwa Kesultanan Buton terletak di titik strategis pada rute dari Jawa dan Makassar menuju Maluku (pusat produksi rempah-rempah Indonesia). Pada paruh pertama abad ke-17, Kesultanan Buton sulit mempertahankan

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

17


kemerdekaannya dalam perebutan kekuasaan antara dua kesultanan Makassar dan Ternate. Oleh karena itu, pada 1613 Kesultanan Buton membuat perjanjian pertama dengan VOC. Saat itu Kesultanan Buton diwakilkan oleh sultan keempat La Elangi dan VOC oleh Gubernur Jenderal Belanda pertama PieterBoth. Perjanjian ini menjadi bekal Kesultanan Buton untuk menjaga kemerdekaannya terhadap Makassar dan Ternate. Namun, setelah Kesultanan Makassar ditaklukan oleh VOC pada tahun 1667–1669, Kesultanan Buton terbebas dari perebutan kekuasaan tadi. Sejak saat itu, Kesultanan Buton menjadi bagian dari wilayah Pax Neerlandica (Belanda). Selama abad ke-17, 18, dan ke-19, Kesultanan Buton berupaya menjadi kerajaan yang merdeka. Namun, pada abad ke-20, tahun 1906, pemerintah Hindia Belanda membuat persetujuan baru yang menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dapat mencampuri urusan internal kesultanan. Tentunya, hal ini merupakan taktik dalam meredam keinginan Kesultanan Buton. Berbagai hal yang bersifat kesultanan mulai dikikisnya. Pemerintahan Hindia Belanda memainkan peranannya dengan mengembangkan sosio-budaya dan ekonomi yang baru, terutama yang berkaitan dengan pemerintahan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan ekonomi. Hal ini bertujuan agar ada keterpaduan dengan sistem sosio-politik Hindia Belanda. Setelah memasuki era kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada tahun 1949, sistem sosio-politik Kesultanan Buton dipadukan dengan sistem sosio-politik negara Republik Indonesia. Keterpaduan atau penyatuan ini mencapai puncaknya pada 1960 dengan pembubaran kesultanan, beberapa bulan setelah wafatnya sultan terakhir (Schrool, 2003). Sampai saat ini masih dapat dilihat peninggalan zaman kesultanan, berupa benteng dan keraton di Kota Bau-Bau yang sebelumnya pernah menjadi ibu kota Kabupaten Buton. Kompleks keraton yang bernama Wolio Sumber: PKHL, 2005. ini dikelilingi oleh benteng sepanjang dua ribu Sumber: PKHL, 2005. tujuh ratus empat puluh meter. Benteng ini Gambar 1.17 dibangun dalam kurun waktu lima puluh tahun, Benteng sisa peninggalan melampaui tiga masa sultan yang berbeda.

Kesultanan Buton.

2. Apakah Mata Pencaharian Orang Buton?

Sebagai suku maritim, tentunya masyarakat Buton bermatapencaharian sebagai nelayan. Mereka mencari dan menjaring beragam jenis ikan, antara lain Ikan Tembang, Layang, Teri, Kembung, Kerapu, Cakalang, Tongkol, dan Tuna yang terdapat di wilayah kepulauan ini. Selain itu, masih banyak ditemukan hasil laut lainnya, seperti kerang-

18

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


kerangan, Udang, Teripang, dan Rumput Laut. Hasil laut tersebut banyak diperdagang kan di Kecamatan Pasarwajo. Sebagian hasil laut tersebut dikonsumsi sendiri, sebagian lagi diekspor ke Jepang dan Taiwan. Untuk mendukung kegiatan ekspor ini, pemerintah setempat telah membuat pelabuhan alam internasional di Kecamatan Pasarwajo. Pelabuan interna sional ini mampu mela buhkan kapal seberat 75.000 ton. Selain di Pasarwajo, Pulau Buton memiliki pelabuhan yang cukup besar di Kota Bau-Bau.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.19 Pelabuhan Pasarwajo.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.18 Potret nelayan di Pulau Buton.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.20 Pelabuhan Bau-Bau.

I N F O Hingga tahun 2005, pelabuhan Pasarwajo yang mampu didarati kapal berat hingga 75.000 ton itu lebih banyak digunakan untuk pengangkutan aspal (Kompas , 2005).

Di samping kehidupan maritim, saat ini sebagian besar penduduk Buton bermatapencaharian dari sektor perkebunan dan pertanian, seperti jambu mente, cokelat, padi, kelapa, dan kopi. Hingga kini kebutuhan akan lahan perkebunan dan pertanian semakin tinggi seiring pertumbuhan penduduk dan masuknya penduduk pendatang.

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

19


F.

Apakah Daya Tarik Hutan Lambusango?

1. Hutan Lambusango Berada di Kawasan Wallacea

Oleh karena berada di kawasan Wallacea, Hutan Lambusango memiliki flora dan fauna peralihan, yakni peralihan dari flora fauna oriental (Asia) ke Australia. Selain itu, Hutan Lambusango yang tumbuh di suatu pulau yang terisolasi oleh lautan yang dalam ini menyebabkan beberapa flora dan faunanya terisolasi juga. Dengan kata lain, spesies flora dan fauna endemik yang luar biasa banyaknya dapat ditemukan di Hutan Lambusango. Selain endemik, kemungkinan untuk menemukan spesies baru masih terbuka lebar di Hutan Lambusango. Pada bab selanjutnya, Anda akan kami ajak untuk mengenal kekayaan hayati (biodiversitas) Hutan Lambusango.

I N F O

Gambar 1.21 Batas kawasan Wallacea di Indonesia.

Kawasan Wallacea membatasi satu wilayah dengan wilayah lain melalui garis imajiner. Garis imajiner ini diperkenalkan oleh seorang naturalis berasal dari Inggris yang sangat terkenal di dunia, bernama Alfred Russel Wallacea. Berdasarkan hasil penyelidikannya, Wallacea telah berhasil mendeskripsikan batas-batas kawasan secara zoogeografis yang kita kenal sebagai Garis Wallacea. Garis Wallacea dimulai dari arah timur laut ke barat daya, mengikuti kontur Dangkalan Sunda di sepanjang bagian timur Pulau Kalimantan dan Bali. Garis tersebut menandai peralihan antara flora dan fauna oriental yang kaya di sebelah barat dengan flora dan fauna yang miskin di sebelah timur. Sebelah utara kawasan Wallacea adalah Filipina, sebelah barat dibatasi Pulau Kalimantan, sebelah timur adalah Pulau Papua, dan sebelah selatan merupakan Samudra Indonesia serta Australia.

20

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006

Sumber: Robin Sprigett.

Sumber: Microsof Encarta, 2005.

Gambar 1.22 Alfred R. Wallacea


2. Hutan Lambusango Tumbuh di Pulau yang Kaya akan Kandungan Aspal Alami Di bagian tenggara Pulau Buton, aspal telah ditemukan meresap pada sedikitnya wilayah batuan kapur seluas 70.000 ha, dengan deposit sekitar 650 juta ton. Wilayah batuan kapur yang diresapi aspal ini tersebar dari Desa Lawele, Wariti, Kabongka, hingga ke Desa Wasiu.

Lawele

Wariti Kabungka

Wasiu

Sumber: Whitten, dkk., 2002.

Gambar 1.23 Sebaran endapan aspal di Pulau Buton.

Endapan aspal mulai dieksploitasi pada tahun 1920-an terutama digunakan untuk pengaspalan jalan. Aspal tersebut merupakan satusatunya sumber aspal alami di Asia Tenggara (van Bemmelen, 1970). Rata-rata sekitar 500.000 ton batuan beraspal dihasilkan setiap tahunnya (Anonim, 1985). Padahal, jika produksinya ditingkatkan menjadi 1 juta ton per tahun, Pulau Buton masih dapat memproduksi aspal selama 650 tahun. Suatu kandungan sumber daya alam yang melimpah. Selain itu, ternyata kadar aspal di Pulau Buton berkisar antara 20– 30% dan bisa diperoleh pada kedalaman 1,5 meter dari permukaan tanah. Bandingkan dengan aspal alam yang ada di Amerika Serikat yang hanya berkadar 12-15%, di Prancis (Danau Trinidad), kadar aspalnya hanya 6-10% juga baru bisa didapat ratusan meter dari permukaan tanah. Berkenalan dengan Hutan Lambusango

21


Aspal alam Buton sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, tetapi masa "keemasannya" hanya sampai pada akhir tahun 1980-an. Saat itu, aspal Buton mulai dikalahkan oleh aspal minyak dalam proyek pengaspalan jalan. Oleh karena itu, berbagai terobosan telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas produk aspal Buton, di antaranya diolah dalam bentuk aspal mikro. Namun, tetap saja aspal tersebut tidak populer. Saat ini telah dikembangkan pula dalam bentuk Buton Granular Aspalt (BGA). Produk aspal BGA ini mulai diminati untuk pembangunan jalan, bahkan digunakan pula untuk pembangunan jalan tol dan landasan pesawat terbang. Peminatnya sampai di luar negeri, seperti Singapura, Vietnam, dan Cina.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.24 Produk aspal BGA yang telah dikemas.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.25 Produk aspal BGA siap dilabuhkan.

I N F O Keunggulan aspal alam dari Buton itu telah terbukti dalam proyek stabilisasi jalan di Sampit, Kalimantan Tengah. Setelah tiga tahun, kondisi badan jalan di daerah tersebut masih tetap stabil. Sumber: Kompas, 2005

22

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


2 Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango Pada bab ini Anda akan memperoleh informasi mengenai: ? karakteristik umum Hutan Lambusango; ? blok Hutan Lambusango yang unik; ? keragaman hayati di Hutan Lambusango.

23


Berdasarkan ekoregion dunia, hutan di Sulawesi telah diklasifikasikan oleh WWF dalam kategori hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan. Menurut Whitten (2005), hutan dataran rendah berada pada ketinggian 0–1.000 m dpl. Hutan dataran rendah ini terbagi atas hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan di tepian sungai, hutan pada tanah ultra basis dan pada batu kapur (limestone), serta hutan musim. Hutan perbukitan berada pada ketinggian 1.000–1.500 m dpl. Di atas hutan perbukitan terdapat hutan pegunungan bawah yang berada pada ketinggian 1.500–2.400 m dpl. Sementara itu, hutan pegunungan atas berada pada ketinggian 2.400–3.000 m dpl, dan hutan subalpin berada pada ketinggian di atas 3.000 m dpl. Hutan dataran rendah memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan tipe jenis hutan lainnya. Hal ini karena banyak organisme yang dapat beradaptasi pada wilayah ketinggian tersebut. Namun demikian, hutan ini sangat rentan terhadap kerusakan karena paling mudah dijangkau oleh manusia.

A.

Bagaimanakah Karakteristik Umum Hutan Lambusango?

Hutan merupakan kumpulan vegetasi. Oleh karena itu, karakteristik Hutan Lambusango dapat diwakilkan oleh vegetasi yang tumbuh di kawasan tersebut. Substrat hutan di Pulau Buton relatif miskin dengan unsur hara. Kondisi ini menyebabkan jumlah jenis tumbuhan per ha di Pulau Buton secara umum relatif sedikit. Tidak kurang dari 180 spesies pohon di Hutan Lambusango telah tercatat. Whitten, dkk. (2005) menyimpulkan bahwa hutan dataran rendah dengan substrat ultra basis di subkawasan Sulawesi, rata-rata hanya dihuni oleh 35 spesies tumbuhan (dbh lebih besar 15 cm) dalam wilayah 0,5 ha. Bandingkan dengan pulau besar di dekatnya. Di Pulau Kalimantan, jumlah jenis tumbuhan setiap 0,5 ha ditemukan sebanyak 50 spesies, sedangkan di Pulau Papua sebanyak 44 spesies.

24

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


I N F O Dbh =diameter at breast height atau diameter batang pohon setinggi dada. Sekitar 1,3 m dari permukaan tanah. Pada pohon berbanir tinggi (lebih dari 1,3 m dari permukaan tanah) dbh diukur pada ketinggian 20 cm di atas batas ujung banir.

Gambar 2.1 Pengukuran diameter batang oleh seorang peneliti tumbuhan. Sumber: Singer, 2005.

meter

Dalam suatu studi vegetasi yang telah dilakukan oleh O’ Donovan (2001–2003) di Hutan Lambusango blok Kakenauwe ditemukan betapa sedikitnya pohon tingkat bawah (<10 m) yang memiliki dbh >15 cm. Sementara itu, strata pohon dengan ketinggian 10–20 m lebih dominan.

40

30

20

10

10

20

30

40 meter

Sumber: O’Donovan, 2003.

Gambar 2.2 Profil hutan dataran rendah di salah satu plot Hutan Lambusango Blok Kakenauwe.

Hutan Lambusango secara suksesi dikategorikan sebagai hutan sekunder. Hal ini ditandai dengan berlimpahnya vegetasi lapisan bawah (0–10 m) dan tingginya tingkat kompetisi vegetasi lapisan bawah.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

25


Intensitas cahaya mataharinya pun dapat secara leluasa masuk ke dalam hutan. Hal ini karena pohon dengan diameter di atas 5 m dan tinggi di atas 40 m umumnya memiliki jarak tumbuh yang saling berjauhan.

Gambar 2.3 Intensitas cahaya matahari di Hutan Lambusango dapat mencapai vegetasi lapisan bawah.

Sumber: Singer, 2005.

Di beberapa blok kawasan hutan, sering dijumpai bekas-bekas kebun penduduk. Batu yang ditumpuk-tumpuk membentuk pagar di beberapa blok Hutan Lambusango merupakan bukti bahwa jauh sebelum Hutan Lambusango dijadikan sebagai kawasan konservasi telah dijadikan sebagai tempat berkebun dan rumah bagi penduduk. Lahan tersebut kemudian ditinggalkan dan berubah kembali menjadi hutan sekunder.

B.

Adakah Karakteristik Blok Hutan Lambusango yang Unik?

Di Hutan Lambusango bagian barat (dekat Dusun Watambo) terdapat suatu blok kawasan hutan seluas 500 ha yang memiliki fenomena langka dan menarik. Kawasan ini mirip seperti daerah hutan yang lazim pada ketinggian di atas 2.000 m dpl. Padahal, blok hutan ini hanya berada pada ketinggian 300–370 m dpl. Masyarakat Dusun Watambo menyebut wilayah ini sebagai Padang Kuku. Disebut dengan nama “padang� karena memiliki wilayah terbuka yang ditumbuhi pohon-pohon pendek,

26

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


rumput, dan semak belukar. Wilayah yang menghadap ke Teluk Kapontori ini berhubungan dengan lautan lepas. Kawasan puncak gunung ini begitu mengesankan. Posisi puncaknya yang relatif tinggi memberikan sudut pandang yang luas ke seluruh bentang lahan (landscape) di sekitarnya. Selain itu, posisinya yang menghadap lautan lepas memungkinkan Anda untuk menikmati pemandangan matahari terbit dan terbenam dengan sangat indah. Kawasan Padang Kuku didominasi oleh pohon-pohon kerdil (tinggi 1,5–10 m dengan diameter batang 20–40 cm) dengan daun kecil dan tebal. Hutan di Padang Kuku ini merupakan hutan kerdil (dwarf forest) atau disebut juga dengan hutan berawan (Tropical Montane Cloud Forest) dataran rendah. Disebut dengan hutan berawan karena seringnya hutan tersebut diselimuti awan (cloud). Hutan berawan ini memiliki komposisi flora dan kenampakan hutan yang sangat unik. Pohon-pohon hutan berukuran jauh lebih pendek, bengkok-bengkok, memiliki daun dengan ukuran kecil dan keras. Selain itu, hutan berawan miskin spesies. Kondisi demikian ini sama halnya dengan kondisi hutan subalpine. Perbedaanya dengan hutan kerdil berawan dataran tinggi adalah bahwa ukuran daunnya relatif lebih besar dan lantai hutannya tidak berlumut.

Sumber: L.A. Bruijnzeel dan L.S. Hamilton, 2000; Singer, 2005.

Gambar 2.4 Hutan berawan yang terbentuk pada elevasi rendah. Insert: vegetasi yang dijumpai di hutan berawan Padang Kuku.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

27


Fenomena alam yang mendasari keberadaan hutan ini adalah kondisi geologis pegunungan yang terekspose (menghadap) ke wilayah lautan luas (perhatikan kembali Gambar2.4). Hal ini menyebabkan massa udara yang mengandung uap air yang dihasilkan oleh proses evaporasi (penguapan) dari lautan menjadi lebih besar. Massa udara beruap air tersebut naik ke lereng pegunungan. Hal inilah yang menyebabkan wilayah Padang Kuku sering diselimuti oleh kabut. Hubungan antara keberadaan kabut terhadap kekerdilan pohon masih menjadi teka-teki dikalangan para ahli. Namun, umumnya mereka menduga bahwa keberadaan kabut telah menghambat penetrasi sinar matahari. Akibatnya, proses fotosintesa tumbuhan menjadi terhambat. Pertumbuhan pohon pun menjadi kerdil, berdaun kecil, dan tebal. Secara umum, korelasi antara elevasi hutan dan pohon ditunjukkan dengan fenomena semakin kerdilnya pohon seiring dengan semakin tingginya elevasi hutan dari permukaan laut. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya intensitas penutupan kabut (cloud incidence). 45

Hutan hujan dataran rendah Semakin berkabut

Ketinggian (meter)

Hutan pegunungan bawah 30

15

Hutan berawan pegunungan bawah

Hutan berawan pegunungan atas

Hutan berawan subalpin

0 Sumber: L.A. Bruijnzeel dan Hamilton, 2000

Gambar 2.5 Generalisasi ketinggian letak serangkaian formasi hutan di tropika basah

Pada pegunungan besar (yang terletak di pulau besar) yang berada jauh dari pantai (misalnya Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Pulau Jawa), hutan pegunungan yang sering tertutup kabut ini baru terjadi pada elevasi lebih dari 2.000 meter. Namun, pada pegunungan di suatu pulau kecil yang berada di dekat pantai (seperti halnya Padang Kuku di Pulau Buton, Gunung Ranai di Pulau Natuna, dan Gunung Tinggi di

28

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Pulau Bawean), perubahan kenampakan dari hutan pegunungan bawah ke tinggi sering terjadi pada elevasi yang jauh lebih rendah, yaitu hingga kurang dari 500 m (Bruijnzeel dan Hamilton, 2000). Perbedaaan ketinggian keberadaan hutan berawan berkisar pada ketinggian 300–600 m dpl untuk pegunungan di suatu pulau kecil yang menghadap lautan luas. Adapun untuk pegunungan besar yang berada jauh dari pantai keberadaan hutan berawan berada di ketinggian lebih dari 2.000 m. Adanya perbedaan keberadaan hutan berawan ini biasa disebut sebagai massenerhebung effect (Bahasa Jerman yang artinya efek pengangkatan massa udara) atau telescoping effect (Perhatikan Gambar 2.6). Gn. Pangrango (Pulau Jawa) Ketinggian (meter)

3.000

Gn. Salak (Pulau Jawa)

2.500 Gn. Ranai (Pulau Natuna)

2.000 1.500 1.000 500

Gn. Tinggi (Pulau Bawean) Padang Kuku Sumber: L.A. Bruijnzeel dan Hamilton, 2000

Gambar 2.6 Fenomena pembentukan hutan berawan yang dapat terbentuk pada elevasi yang berlainan.

Pembentukan kabut, pada dasarnya ditentukan oleh kelembapan dan suhu udara. Semakin lembap udara, semakin cepat terjadinya proses kondensasi. Oleh karena itu, semakin jauh letak suatu gunung dari laut, udara cenderung semakin kering. Hal ini menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk menuju ke titik kondensasi menjadi lebih lama. Pembentukan awan pun menjadi lama juga. Seiring pergerakan udara, pembentukan awan sempurna terjadi pada elevasi yang lebih tinggi (telescoping effect). Hal ini terjadi di Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Sebaliknya, pada hutan pegunungan yang dekat dan menghadap ke laut, kelembapan udaranya akan tinggi. Tingginya kelmbapan udara ini menyebabkan terjadinya pembentukan awan pada elevasi yang sangat rendah (telescoping effect). Hal ini terjadi di Padang Kuku di Hutan Lambusango. Pengaruh hutan berawan terhadap fungsi hutan sebagai peyedia air akan dibahas di Bab 3.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

29


C.

Bagaimanakah Keragaman Hayati di Hutan Lambusango?

Istilah keragaman hayati digunakan untuk menggambarkan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan, peran ekologis yang ditampilkan, dan keanekaragaman genetis yang dikandungnya. Keanekaragaman hayati membentuk dasar bagi kelangsungan semua kehidupan di Bumi. Dari sudut pandang ekologi, tumbuhan dan satwa yang berbeda menjalankan fungsi-fungsi ekologis yang sangat menentukan bagi kehidupan kita. Misalnya, tumbuhan menyediakan makanan bagi kita, pepohonan menyediakan kayu untuk bangunan. Selain itu, kulit kayu, daun, buah, dan bunga dapat dimakan atau sebagai sumber penting bahan obat-obatan. Pohon yang tinggi pun akan memberikan naungan, makanan, dan perlindungan bagi satwa, serta sebagai topangan bagi rotan. Keragaman peran ekologi ini ditampilkan pula oleh satwa. Misalnya, Kelelawar Buah (fruit bat) membantu proses penyerbukan tanaman pangan, seperti Pisang, Mangga, dan Pepaya. Contoh lainnya adalah aktivitas makan Burung Halo dan Andoke yang dapat membantu memperluas penyebaran pohon-pohonan yang bermanfaat bagi kehidupan. Dampak lebih lanjutnya adalah terbentuknya hutan yang seimbang. Hutan yang demikian ini mampu menyimpan air dan mengalirkannya secara terus-menerus sehingga pada musim hujan tidak menimbulkan banjir, dan tidak kekurangan air pada musim kemarau. Hutan pun mampu mencegah erosi dan longsor, menyediakan habitat, dan memberi udara yang bersih dan segar secara gratis. Singkatnya, keragaman hayati menyediakan tumbuhan dan satwa yang beragam. Darinya kita dapat menuai berbagai manfaat, baik langsung maupun tidak langsung. Kondisi inilah yang selama ini menjamin lingkungan kehidupan kita terasa tetap aman, nyaman, dan sejahtera. Komposisi vegetasi dan topografi hutan mempengaruhi tingkat keragaman satwa yang hidup pada suatu kawasan. Keragaman jenis tumbuhan di suatu kawasan hutan biasanya berbanding lurus dengan keragaman satwa di dalamnya. Semakin beragamnya suatu tumbuhan di suatu kawasan, semakin besar pula peluang tersedianya makanan

30

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


bagi berbagai makhluk hidup. Hal ini berlaku pula di kawasan Hutan Lambusango. Keragaman vegetasi di Hutan Lambusango relatif tinggi. Hal ini menyebabkan daya dukung lingkungan (carrying capacity) untuk berbagai jenis satwa menjadi tinggi. Tingkat keragaman satwanya pun menjadi relatif tinggi pula. Dalam suatu piramida makanan, vegetasi berfungsi sebagai bahan makanan (produsen) bagi berbagai jenis organisme. Tersedianya tumbuhan sebagai sumber makanan bagi hewan akan mengakibatkan efek berantai pada konsumen ke-1, konsumen ke-2, konsumen ke-3, hingga hewan pemangsa utama (top predator).

Gambar 2.7 Contoh piramida makanan yang terjadi di Hutan Lambusango.

Berikut ini beberapa keragaman hayati yang terdapat di Hutan Lambusango.

1. Keragaman Hayati Jamur

Jamur merupakan salah satu keunikan yang memperkaya keanekaragaman makhluk hidup di Hutan Lambusango. Jamur tidak memiliki klorofil. Oleh karena itu, jamur tidak termasuk Kingdom Plantae (tumbuhan) yang bersifat produsen. Hal ini menjadikan jamur sebagai organisme yang bergantung kepada organisme lain maupun sisa-sisa

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

31


organik. Jamur-jamur ini menghasilkan enzim yang dapat menguraikan material organik baik dari organisme hidup maupun yang telah mati. Hasil penguraian itu akan menghasilkan energi bagi jamur. Selain itu, beberapa unsur kimia hasil penguraian akan dilepasnya ke alam. Hal ini menyebabkan jamur memegang peranan penting dalam ekosistem Hutan Lambusango, yaitu sebagai salah satu bagian dari siklus unsurunsur kimia. Di hutan hujan tropis seperti Hutan Lambusango ini, jamur merupakan salah satu organisme yang mudah ditemukan. Pada musim penghujan, jamur akan lebih banyak tumbuh. Terutama di tempat-tempat yang lembap. Lebih spesifik lagi, jamur dapat tumbuh di permukaan tanah, pada tumbu han, dan sisa-sisa organisme seperti batang pohon yang telah mati. Beberapa jenis jamur mengandung protein yang tinggi dan baik untuk dimakan. Namun, tidak semua Sumber: Singer, 2005. Gambar 2.8 jenis jamur dapat dimakan, ada Jamur di pohon mati. beberapa jenis jamur yang beracun dan berbahaya jika dikonsumsi manusia. Jamur kuping (Auricularia auricula), merupakan jenis jamur yang dapat dimakan. Jamur ini tumbuh pula di Hutan Lambusango. Selain itu, Jamur karang (Clavaria abietina) pun ditemukan di Hutan Lambusango. Biasanya jamur ini dapat ditemukan di sekitar pinggiran sungai. Selain hidup di pinggiran sungai, Jamur karang dapat pula hidup di tanah lembap dengan seresah yang tipis. Jamur karang ini memiliki bentuk seperti bunga karang/bunga brokoli berwarna krem kekuningan, berdaging, kenyal, Sumber: Singer, 2005. licin, dan berair. Gambar 2.9 Jamur karang.

32

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


2. Keragaman Hayati Tumbuhan Seperti yang telah Anda ketahui, keragaman hayati tumbuhan Sulawesi lebih rendah dibandingkan dengan pulau-pulau utama lainnya. Lee dkk. (2001) menduga bahwa hal ini disebabkan oleh kurangnya jenis pohon Meranti (Dipterocarpacea). Sebagai perbandingan, jumlah Meranti yang telah tercatat di Sulawesi sebanyak 6 spesies, sedangkan di Kalimantan 267 spesies. Para ahli tumbuhan memperkirakan sekitar 5.000 spesies tumbuhan telah teridentifikasi di Sulawesi. Namun, informasi mengenai kelimpahan dan persebarannya masih sangat sedikit. Spesimen tumbuhannya pun masih sangat sedikit dibandingkan spesimen tumbuhan yang telah ada dari pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, keragaman hayati tumbuhan di Sulawesi belum banyak terungkap. Penelitian yang mengarah pada taksonomi tumbuhan di kawasan Hutan Lambusango sampai tahun 2005 juga belum banyak dilakukan. Namun, terdapat beberapa hal menarik yang dapat diketahui tentang aspek kehidupan tumbuhan di kawasan hutan ini. a. Lumut Lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk dalam divisi Bryophyta. Lumut memiliki pigmen hijau daun yang menghasilkan klorofil a dan b. Oleh karena itu, tumbuhan yang tidak berpembuluh ini dapat melakukan fotosintesis. Tumbuhan lumut hidup di habitat yang lembap dan berair. Hal ini karena lumut tidak memiliki jaringan pengangkut. Air yang masuk ke dalam tubuh lumut dilakukan secara (imbibisi, yaitu kemampuan dinding sel dan isi sel untuk menyerap air dari lingkungannya). Kemudian, air tersebut didistribusikan ke bagian tumbuhan lainnya secara (difusi, yaitu proses perpindahan suatu zat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah) maupun dengan daya kapilaris atau sitoplasma. Di Indonesia, telah teridentifikasi sebanyak 1.500 spesies lumut atau 9% dari jenis lumut yang tercatat di dunia (KLH, 1989). Tumbuhan lumut ini sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Hutan dengan penutupan kanopi rapat dan kelembapan tinggi, menjadi tempat yang baik untuk tumbuhan lumut. Akan tetapi, jika di daerah tersebut sudah ada pembukaan kanopi sehingga menyebabkan cahaya matahari masuk lebih banyak, dan suhu mikro udara berubah, kemungkinan lumut tidak

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

33


dapat tumbuh dengan baik. Untuk dapat hidup dengan baik, lumut memerlukan udara bersih. Di kota-kota besar yang udaranya sudah terkena polusi cukup berat, tumbuhan lumut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, lumut dapat dijadikan indikator kebersihan udara. Lumut-lumut di Hutan Lambusango banyak ditemukan melekat di berbagai tempat yang lembap dan tidak terlalu banyak terkena cahaya matahari. Misalnya, pada bebatuan, batang pohon, dan pohon yang telah tumbang. Di kawasan hutan yang memiliki ketinggian lebih dari 1.000 m dpl, kelembapannya akan semakin tinggi. Hal ini akan meningkatkan pula jumlah lumut yang dapat ditemukan. Lumut janggut (Usnea sp.) yang bentuknya mirip janggut (spesies lumut yang bisa tumbuh memanjang sampai 5 cm) merupakan spesies yang banyak dijumpai di Hutan Lambusango. Lumut ini tumbuh melekat pada batang dan ranting pohon. Sumber: Whithen dkk., 2002. b. Paku Gambar 2.10 Paku-pakuan termasuk ke dalam tumbuhan Lumut Janggut. berpembuluh tidak berbiji. Tumbuhan ini memiliki dua macam daun, yaitu daun berspora (sporofil) dan daun tidak berspora (tropofil). Kedua jenis daun tumbuhan ini memiliki jenis pigmen yang sama dengan Briophyta, yaitu pigmen klorofil a dan b. Oleh karena itu, tumbuhan ini dapat berfotosintesis. Pada saat daun masih muda, kelompok tumbuhan ini menampilkan ciri khasnya, yaitu pucuk daun yang menggulung. Tumbuhan ini umumnya menyukai naungan yang tidak terlalu rapat dan kelembapan cukup. Beberapa jenis paku di Sumber: Singer, 2005. antaranya ada yang tumbuh menempel pada Gambar 2.11 pohon lain (epifit). Saat ini jenis paku-pakuan Ciri khas paku ditunjukkan oleh menggulungnya daun muda.

34

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


yang telah tercatat sekitar 10.000 spesies yang tersebar di seluruh dunia, 1.250 hingga 1.500 di antaranya ditemukan di Indonesia. Di Hutan Lambusango sendiri hidup berbagai jenis tumbuhan paku, seperti Paku tiang dan Paku sarang burung/Bird-nest fern (Asplenium sp.). Disebut Paku sarang burung karena jenis tumbuhan ini mirip seperti sarang burung. Tumbuhan paku ini tumbuh secara epifit pada pohon lain. Dalam satu pohon besar, Asplenium nidus bisa ditemukan lebih dari 10 buah. Cyathea sp. disebut juga Pakis merupakan jenis tumbuhan tingkat rendah yang bisa tumbuh besar seperti pohon (tree fern) hingga bisa mencapai tinggi lebih dari 2 m. Tumbuhan Sumber: Singer, 2005. Gambar 2.12 ini tumbuh di permukaan tanah. Asplenium nidus. Paku-pakuan memiliki susunan daun menarik. Oleh karena itu, tidak sedikit berbagai jenis paku dijadikan sebagai tanaman hias. Selain itu, tumbuhan paku dapat dimanfaatkan pula sebagai sayur-sayuran, obat-obatan, dan kosmetika. c. Rotan dan Palem Rotan dan palem masuk ke dalam famili Palmae. Daun rotan dan palem memiliki ciri serupa, yaitu berdaun majemuk dan menyirip. Hal yang membedakannya adalah rotan memiliki duri tajam pada tangkai dan batangnya, sedangkan palem tidak memiliki duri tajam. Selain itu, diameter batang utama palem juga lebih besar. Secara alami, rotan dalam perkembangan dan pertumbuhannya selalu mengarah ke atas menuju cahaya matahari. Oleh karena itu, cahaya matahari merupakan faktor lingkungan yang sangat berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan rotan. Di dalam pertumbuhan dan perkembangannya, rotan bisa mengalami pertumbuhan sangat cepat (fast growing). Hasil penelitian Powling (2002–2005) menunjukkan bahwa pertumbuhan rotan bisa mencapai 0,7 m–1,4 m setiap tahunnya. Batang rotan pun bisa lebih cepat pertumbuhannya hingga mencapai 4 meter per tahun jika cahaya matahari yang diterima cukup baik. Masuknya cahaya matahari hingga mencapai lapisan bawah hutan, dapat menumbuhkan

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

35


vegetasi dengan berbagai ketinggian. Keragaman ketinggian pohon lapisan bawah ini dimanfaatkan oleh rotan untuk tumbuh dan merambat dengan relatif cepat. Keberadaan tumbuhan inang sebagai tempat merambat rotan sangat penting. Secara alami tumbuhan rotan akan mencari pohon inang. Sebelum menemukan pohon inang, pertumbuhan rotan akan melingkar ke sana-ke mari mencari pohon inang. Jika sudah menemukan pohon inang, secara cepat rotan tersebut akan menjulang ke atas untuk mendapatkan cahaya matahari. Tumbuhan rotan sangat disukai sebagai tempat bersarang berbagai jenis hewan, termasuk serangga. Burung-burung penghuni lapisan bawah (0–10 m), jenis pemakan serangga, seperti Pelanduk Sulawesi (Trichastoma celebense) dan Kehicap ranting (Hypothymis azurea) merupakan contoh hewan yang sangat menyukai keberadaan rotan. Sumber: Powling, 2005; PKHL, 2005. Gambar 2.13 Jumlah rotan yang tercatat di Rotan muda belum merambat. Sulawesi sebanyak 36 spesies (Dransfiled, 1974). Sedikitnya 17 spesies rotan berada di kawasan Hutan Lambusango (Powling pers.com). Ke-17 spesies rotan ini tumbuh luas di berbagai tipe topografi dan ketinggian yang berbeda. Beberapa jenis rotan yang telah berhasil teridentifikasi dalam nama ilmiah di antaranya Rotan torumpu (Calamus koordesianus), Pisi (C. leptostachys), Kai Sisau (C. minahassae), Lambang (C. ornatus), Buta (C. syphonospatus), Umol (C. simphysipus), dan Batang (C. zollingeri). Selain rotan, jenis tumbuhan lain yang termasuk famili Palmae adalah palem. Tumbuhan palem keberadaanya bersifat kosmopolitan. Artinya, dapat dijumpai di berbagai wilayah. Palem dapat dijumpai Sumber: www.plantapalm.com. di daerah tropis, subtropis, dataran rendah, dataran Gambar 2.14 tinggi, pegunungan, dan tanah yang subur maupun Palem baru.

36

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


gersang. Di manapun adanya, hal yang paling penting adalah adanya cahaya matahari yang langsung mengenai palem. Di Hutan Lambusango, telah ditemukan tidak kurang dari 6 spesies tumbuhan palem, di antaranya Palem baru (Caryota mitis), Noko (Daemonorops robusta), Hydriastele celebica, Wiu (Licula celebica), Lanu (Livistona ratundifolia), Nipa (Nipa fruticans), dan Sampu (Pinanga sp.). d. Tumbuhan berkayu Di Hutan Lambusango terdapat sedikitnya 75 spesies pohon dengan tingkat kerapatan 200–220 pohon per ha. (Gunawan, 2005). Hutan Lambusango didominasi pohon famili Verbenaceae (Vitex sp.) dan Monaceae (figs dan Ficus sp.). Pohon merupakan tumbuhan berkayu yang berdiameter > 35 cm, dan menjadi bagian penting bagi ekosistem hutan. Pohon-pohon yang tumbuh di hutan merupakan tempat berlindung bagi berbagai jenis hewan. Kanopi pohon dalam kawasan yang relatif luas merupakan ciri khas suatu hutan. Kanopi bisa berfungsi sebagai tempat bertengger dan koridor bagi berbagai jenis burung dan primata dalam berpindah tempat. Berbagai jenis serangga dapat hidup pada suatu pohon yang besar. Ketersediaan air di hutan dalam jumlah yang cukup, bergantung pula pada keberadaan pohon-pohon. Pada umumnya, pohon-pohon di hutan tropis dataran rendah memiliki ciri ujung daun penetes. Ujung daun dengan bentuk meruncing tersebut berfungsi untuk memudahkan air mengalir pada saat hujan. Dengan demikian, tidak terlalu banyak tumbuh epifit (Lumut daun dan Lumut hati) yang menempel pada daun (Whitten, 2002). Ujung daun meruncing ini sangat baik Sumber: Written. dkk., 2005. untuk memperkecil Gambar 2.15 massa butiran air Jenis-jenis daun penetes. (leafdrip) yang jatuh dipermukaan tanah. Kondisi ini akan memperkecil tumbukan air ke permukaan tanah, sehingga erosi permukaan (spash erosian) diperkecil. Beberapa pohon yang tumbuh di hutan hujan tropis memiliki banir dan dililit oleh liana. Pada pohon besar, tinggi banir pohon bisa mencapai 3 meter. Banir Gambar 1.16 Pohon berbanir. Sumber: Singer, 2005.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

37


ini berfungsi untuk memperkuat tegakkan tumbuhan dan memperluas cabang perakaran. Dengan demikian pohon dapat menyerap nutrisi lebih banyak (Kinnaird, 1995). Banir juga diduga berfungsi untuk mengurangi gaya tarik pada akar. Oleh karena itu, kemungkinan terjadi patahnya batang pohon berakar banir pada bagian dekat permukaan tanah menjadi lebih kecil. Ciri lain vegetasi hutan tropis dataran rendah ini adalah ditemukannya banyak liana. Liana adalah tumbuhan yang dapat me manjat dan menjalar seperti rotan. Namun, liana tidak memiliki nilai komersial seperti halnya rotan. Seperti halnya tumbuhan lain, liana bersaing dengan pohon-pohon yang terdapat di hutan dalam memperoleh cahaya, zat hara, dan air. Akibatnya, dalam pertumbuhannya, liana sering menggangu pohon yang dipanjatnya. Inilah sebabnya, pada hutan produksi yang dikelola Sumber: Kinnaird, 1995. dengan baik, batang-batang tumbuhan Gambar 2.17 pemanjat itu dipotong. Liana. I N F O Beberapa jenis liana mengandung banyak air yang aman diminum oleh manusia.

Pohon-pohon ara (fig trees) yang ditemukan di Hutan Lambusango sangat beragam. Pohon ini dapat berfungsi sebagai pemasok makanan yang melimpah untuk berbagai jenis satwa. Pohon ara memiliki beberapa keistimewaan secara biologis, di antaranya, buahnya cepat masak sehingga dapat tersedia sepanjang tahun. Buah pohon ara ini kaya dengan zat gula sehingga mudah dicerna oleh banyak binatang. Selain itu, terkandung pula zat kalsium yang tinggi dalam buah ara. Zat ini sangat baik untuk pertumbuhan tulang hewan dan perkembangan cangkang telur. Gambar 2.18 Salah satu jenis pohon ara yang tumbuh umum di Hutan Lambusango, buahnya menempel langsung pada batang (frutycaulis).

38

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006

Sumber: Singer, 2005.


Jenis-jenis pohon yang ditemukan di dalam kawasan Hutan Lambusango antara lain Kayu besi (Mitocideros petiolata), Kuma (Palaquium obovatum), Wola (Vitex copassus), Bayam (Intsia bijuga), Cendana (Pterocarpus indicus), Bangkali (Anthocephallus macrophyllus), Kayu angin (Casuarina rumpiana), dan Sengon (Paraserianthes falcataria). Selain itu, pohon Bigi (Dillenia sp.) masih sering ditemukan di Hutan Lambusango, terutama di daerah blok hutan yang dahulunya telah dijadikan kebun oleh penduduk. Buah pohon ini bersegmen. Bagian dalamnya berwarna kuning dan bisa dimakan oleh manusia. Kelelawar, Monyet, dan Babi sangat menyukai buah ini. Pohon Wola (Vitex copassus) dan Maniaga merupakan pohon kelas satu. Jenis Sumber: Singer, 2005. Gambar 2.19 kayunya sangat baik dan sangat disukai Buah Bigi berwarna kuning penduduk untuk bahan bangunan dan bahan dan bersegmen. pembuatan perahu. Secara umum, pohon Wola ini dapat beradaptasi dengan baik di Hutan Lambusango. Populasi pohon Wola saat ini terancam mengalami penurunan cukup tinggi karena penduduk sering menebangnya untuk dijual ke pasar. Padahal, secara ekologis, pohon ini memiliki bunga yang disukai oleh beberapa jenis hewan seperti Lebah (Apis sp.). Beberapa jenis lebah sering ditemukan membuat sarang pada pohon Wola. Oleh karena itu, penurunan jumlah populasi pohon Wola diduga mempengaruhi perkembangan jumlah sarang madu yang terdapat di hutan. Kayu hitam/Eboni (Diospyros calebica) merupakan salah satu jenis pohon yang telah dilindungi oleh undang-undang karena kelangkaan dan endemisitasnya. Kayu Eboni ditemukan di Hutan Lambusango. Karakteristik kulit luar Eboni bergalur agak mengelupas dan kehitaman. Itulah mengapa disebut juga dengan kayu hitam. Eboni biasanya tumbuh secara mengelompok atau Sumber: Singer, 2005. Gambar 2. 20 Kayu hitam di Hutan Lambusango.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

39


kadang terpencar. Banyak dijumpai di hutan-hutan yang tanahnya berbatu-batu, tanah liat, dan berpasir. Keberadaan Eboni di Hutan Lambusango ini sudah sangat langka. Hal ini karena pohon Eboni secara terus-menerus dicari untuk dimanfaatkan penduduk. Harganya pun cukup tinggi di pasaran.

3. Keragaman Hayati Hewan

Hewan Sulawesi merupakan hewan yang paling khas di Indonesia, terutama untuk jenis Mammalia. Dari 127 spesies Mammalia yang ditemukan, 79 (62%) di antaranya bersifat endemik Sulawesi (lihat Tabel 2.1). Jumlah tersebut akan meningkat sampai 98% jika kelelawar tidak dimasukkan. Tabel 2.1

Persentase Jenis Hewan Menyusui, Burung, dan Melata Endemik di Tujuh Kawasan Utama di Indonesia. Hewan Menyusui

Burung

Hewan Melata

Sumatra

10

2

11

Jawa

12

7

8

Pulau

Kalimantan

18

6

24

Sulawesi

69

31

26

Nusa Tenggara

12

30

22

Maluku

17

33

18

Papua

58

52

35

Sumber : Anonim, 1982 dalam Whitten, 2005.

Penelitian dan monitoring satwa di Hutan Lambusango telah banyak di lakukan oleh tim Operation Wallacea dari tahun 1999–2005, terutama satwa kelas Vertebrata. Berikut ini adalah beberapa aspek kehidupan satwa yang terdapat di hutan lambusango. a. Invertebrata Sekitar 1,4 juta jenis organisme hidup telah ditemukan di muka Bumi ini. Satu juta di antaranya merupakan jenis Invertebrata (hewan tidak bertulang belakang). Serangga termasuk ke dalam hewan ini. Ukuran tubuh hewan ini memang kecil, namun serangga memiliki fungsi penting dalam ekosistem hutan. Di Hutan Lambusango terdapat berbagai jenis hewan Invertebrata, seperti semut, cacing, Tonggeret (Cicadas), dan kupu-kupu. Semut dan

40

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


cacing sangat membantu proses siklus nutrisi tanah. Belalang sembah dan laba-laba berfungsi sebagai pengontrol ekosistem, yaitu sebagai pemakan serangga lain yang populasinya berlebih. Tonggeret sering menempel pada pohon dan mengeluarkan suara. Suara ini dihasilkan dari kepakan sayapnya. Suara serangga ini terdengar keras pada siang hari dan tidak terdengar pada malam hari. Tonggeret merupakan contoh serangga yang melakukan ekdisis atau pergantian kulit. Hewan ini seringkali dikaitkan dengan perubahan musim. Jika banyak dijumpai hewan ini, masyarakat menduga musim kemarau telah datang. Gambar 2.21 Tonggeret pun merupakan sumber nutrisi bagi ikan, tupai, Tonggeret dan burung. Sumber: Microsoft Encarta, 2005. Kupu-kupu merupakan serangga yang sangat indah untuk diamati. Kondisi hutan yang mendapatkan cahaya matahari cukup baik untuk ditempati oleh 175 spesies Kupu-kupu. 30 spesies di antaranya endemik. Dalam ekologi, kupu-kupu berfungsi untuk menyebarkan polen dari satu bunga ke bunga yang lainnya. Kupu-kupu merupakan serangga yang sering ditangkap untuk dikoleksi. Warna silika yang indah dan mudah dalam proses pengawetannya, menyebabkan banyak orang ingin mengoleksi satwa ini. Sampai saat ini, di Hutan Lambusango belum Sumber: Singer, 2005. banyak penangkapan kupu-kupu untuk dijual Gambar 2.22 di pasaran. Namun, kerusakan hutan yang Idea sp. terjadi menyebabkan beberapa sumber nektar telah berkurang. Habitat hidup kupu-kupu juga menyempit. Akibatnya, daya dukung lingkungan kupu-kupu menjadi berkurang. Secara keseluruhan akan berdampak pada Sumber: Singer, 2005. menurunnya keragaman jenis kupu-kupu. Gambar 2.23 Beberapa jenis Invertebara air, seperti bentos, Idea sp. udang, ketam, capung, dan siput hidup juga di sungai Hutan Lambusango. Pembukaan hutan menjadi ancaman serius pada organisme yang terdapat di dalam sungai. Banyak organisme sungai yang bergantung pada alokton (bahan yang jatuh ke dalam sungai). Secara langsung maupun tidak langsung, hidup hewan Invertebrata ini sangat

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

41


bergantung pada daun-daun mati dan material tumbuhan lainnya yang jatuh ke sungai (Johnson, 1973 dalam Whiten, 2005). Salah satu hewan pengisap darah, Pacet (Haemadipsa sp.) hidup di Hutan Lambusango. Hewan ini menyukai daerah yang lembap, jumlahnya sering melimpah di daerah tertentu saat musim hujan. Pacet memiliki ukuran tubuh sekitar 3 cm, tetapi panjang dan beratnya dapat meningkat setelah mengisap darah hewan lain. Bobot badannya bisa meningkat hingga 10 kali setelah mengisap darah. Dalam Sumber: Singer, 2005. Gambar 2.24 sekali isapan, persediaan makanannya Pacet yang sedang menghisap diduga cukup untuk sedikitnya mencadarah dari tangan penulis. pai tiga sampai delapan bulan ke depan (Fogden dan Proctor dalam Whitten, 2005). Selain itu, Pacet seringkali mengisap darah manusia. Secara ekologis, Pacet diduga sebagai salah satu sumber makanan hewan lain seperti burung. I N F O Bagian tubuh manusia yang diisap Pacet kadang terus mengeluarkan darah (tetapi tidak membahayakan) hanya pada bekasnya saja kadang terasa gatal. Hal ini karena pacet mengeluarkan zat antipembekuan darah alami ( natural anticoagulan) saat mengisap darah.

b. Vertebrata 1) Ikan Air Tawar Ikan dan belut air tawar merupakan hewan bertulang belakang (Vertebrata) yang hidup di air. Walaupun hidup di dalam air, ikan dan Belut sangat bergantung pada kelestarian hutan. Tumbuhan yang ada di hutan berfungsi sebagai penahan air pada musim hujan sehingga air dapat dialirkan secara terkontrol melalui sungai. Seandainya hutan gundul, pada saat hujan, air tidak dapat tertahan dan terjadi aliran air permukaan (runoff) yang deras. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan erosi pada lahan maupun pada dinding dan dasar sungai. Debit air di sungai pun menjadi tidak terkontrol, bahkan bisa menjadi keruh saat terjadi runoff. Akibatnya, kadar oksigen terlarut dalam air bisa berkurang. Kondisi seperti ini tentu akan menyebabkan lingkungan perairan yang tidak baik bagi seluruh organisame yang hidup di perairan.

42

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Selain itu, pinggiran sungai yang mendadak dibuka kanopinya akan berakibat buruk pula pada kondisi perairan sungai. Cahaya matahari yang masuk ke sungai menjadi berlebihan. Perairan sungai dapat mengalami perubahan fisik yang dramatis, suhu secara mendadak dapat meningkat. Hal ini dapat berakibat pada matinya ikan-ikan. Matinya ikan tersebut disebabkan karena perubahan gas-gas terlarut, termasuk oksigen yang berkurang seiring dengan meningkatnya suhu di sungai. Bersamaan dengan itu, laju konsumsi oksigen oleh organisme sungai pun meningkat. Terjadilah kompetisi perolehan oksigen oleh organisme yang hidup di sungai tersebut. Organisme yang kalah berkompetisi akan mati. Begitu pula pada saat kebakaran hutan terjadi, sekilas organisme di bawah air tidak terkena dampak. Sesungguhnya, pada saat kebakaran terjadi, suhu lingkungan di sungai pun akan bertambah panas. Beberapa organisme air pun akan mati akibat kebakaran hutan. Di kawasan Wallacea terdapat 50 spesies ikan air tawar endemik, 7 jenis ikan gabus (goby) di antaranya adalah endemik. Semula ikan air tawar di kawasan Wallacea merupakan ikan air laut yang hidup di terumbu karang. Ikan-ikan yang terdapat di Sulawesi, seperti ikan gabus merupakan ikan air asin yang toleran terhadap air tawar. Ikan-ikan gabus seperti Syciopus sp. dan Rhyachichthys aspro banyak ditemukan di bagian hulu sungai Hutan Lambusango. Suplai oksigen di daerah hulu sungai cukup melimpah karena di daerah ini banyak terbentuk riak-riak aliran sungai akibat air yang menghantam batuan. Tidak semua jenis ikan dapat ditemukan di daerah hulu sungai ini. Hanya ikan-ikan yang dapat beradaptasi pada aliran air cepatlah yang dapat beradaptasi. Bentuk tubuh ikan yang hidup di daerah hulu sungai harus bisa menyesuaikan dengan tekanan air yang mengalir sangat deras ( Bird, 2005).

Gambar 2.25 Syciopus sp.

Sumber: Bird, 2002.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

43


Rhyachichthys aspro, bentuk tubuhnya beradaptasi untuk hidup di hulu sungai. Bagian depan tubuh rata dan sirip depannya lebih besar, memudahkan ikan ini bergerak dan menekankan tubuhnya pada bebatuan.

Gambar 2.26 Rhyachichthys aspro.

Sumber: Bird, 2002.

Keragaman ikan di daerah hilir sungai biasanya lebih beragam. Hal ini karena lebih banyak ikan yang dapat beradaptasi dengan aliran sungai yang tidak terlalu deras. Di bagian hilir sungai, kandungan oksigen yang ada dalam air tidak terlalu tinggi. Namun, biasanya makanan yang tersedia lebih beragam. Arus air yang lebih tenang serta ruang tepian sungai yang lebih luas memungkinkan hidupnya berbagai makhluk hidup. Larva capung dan beberapa hewan kelompok udang-udangan (Crustacea) merupakan contoh sumber makanan yang disukai ikan-ikan (Bird, 2005). Halfbeak (Nomorhamphus sp.) hidup lebih banyak dipermukaan air. Hal ini berkaitan dengan kedekatannya dengan sumber makanan berupa serangga yang jatuh dari pohon di pinggir sungai. Secara tidak langsung, pohon-pohon di pinggiran sungai pun menyuplai sumber makanan bagi ikan berupa serangga-serangga yang jatuh dari pohon ke air.

Gambar 2.27 Nomorhamphus sp.

Sumber: Bird, 2002.

Belut Sulawesi (Anguilla celebensis) dapat ditemukan pula di sungai yang berlumpur. Ukuran panjang belut ini bisa mencapai lebih dari 70 cm. Untuk mencapai panjang tersebut dibutuhkan waktu bertahun-

44

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


tahun. Belut yang disebut juga dengan nama Ikan sidat, termasuk ikan pemakan daging atau yang lebih populer dengan sebutan ikan karnivora. Di perairan umum, ikan ini lebih menyukai jenis hewan, khususnya organisme benthik seperti udang-udangan, cacing, atau berupa kepiting-kepiting kecil sebagai makanannya. Menurut hasil penelitian, Ikan sidat termasuk famili Anguillidae, dan ordo Apodes. Di Indonesia saat ini paling sedikit terdapat lima jenis Ikan sidat. Para pencari rotan dan madu menyukai belut ini untuk dimakan. Seringkali, mereka mengail binatang ini pada malam hari dengan menggunakan umpan, kail, dan senar. Racun kadang juga digunakan oleh mereka untuk mendapatkan hasil tangkapan lebih banyak. Tentunya, hal ini akan sangat merugikan bagi ekosistem sungai karena banyak makhluk Sumber: Singer, 2005. hidup lainnya yang akan mati terkena racun Gambar 2.28 Belut Sulawesi. tersebut. 2) Reptilia dan Amphibia Di Pulau Buton sedikitnya tercatat 67 spesies herfetofauna (12 spesies Amphibia dan 55 spesies Reptilia). Jumlah herfetofauna yang ditemukan di Pulau Kabaena sebanyak 36 jenis, sedangkan di Pulau Hoga sebanyak 12 jenis. Dari jumlah tersebut, sebanyak 43% herfetofauna Pulau Buton termasuk endemik Sulawesi, bandingkan dengan Pulau Kabaena yang hanya memiliki 29%, dan Hoga sebanyak 17% (Gillespie, 2005) Hutan Lambusango merupakan kawasan penting di Pulau Buton sebagai habitat herfetofauna. Di hutan ini terdapat tidak kurang dari 30 jenis Reptilia dan 7 jenis Amphibia. Reptilia merupakan jenis hewan melata, sedangkan Amphibia adalah binatang yang dapat hidup di dua tipe habitat (air dan darat). Kadal seperti Eutropis sp. banyak ditemukan di hutan ini. Selain itu, berbagai jenis ular berbisa seperti King kobra (Ophiopagus hannah) dan Latubemba (Pit viper) masih bisa ditemukan di Hutan Lambusango.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

45


Sumber: Gillespie, 2002.

Gambar 2.29 Ular Latubemba.

Sumber: Lardner, 2005.

Gambar 2.30 Kadal Eutropis sp. yang ditemukan di Hutan Lambusango.

Di samping Latubemba dan King kobra, ditemukan pula beberapa jenis ular unik, di antaranya: • ular berbentuk mirip cacing, yaitu Calamaria sp.; • ular Cylindrophis melanophus yang dapat mengangkat ekor untuk melindungi kepalanya dari ancaman;

Sumber: Lardner, 2005.

Gambar 2.31 Ular Cylindrophis melanotus dalam kondisi terancam.

•

46

Ular cincin mas (Boiga dendrophila) memiliki warna belang kuninghitam saat belum dewasa (juvenile). Setelah dewasa berubah warna menjadi hitam pekat (Larder pers.com).

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Pada musim hujan, Reptilia bisa lebih mudah untuk ditemukan. Beberapa jenis ular terpaksa harus keluar dari tempat istirahatnya yang basah terendam air. Sebagai hewan berdarah dingin (poikioterm), beberapa spesies Reptilia secara rutin harus mencari tempat-tempat hangat yang tersinari cahaya matahari. Di tempat itu, Reptilia akan berjemur untuk mempertahankan suhu

Sumber: Hadian, 2005.

Gambar 2.32 Ular King kobra yang sedang berjemur.

tubuhnya. Ular-ular dengan ukuran besar pun masih relatif banyak ditemukan di Hutan Lambusango. Pada ekpedisi Operation Wallacea 2005, dalam 2,5 bulan telah ditemukan Ular sanca kembang (Python reticulatus) sebanyak 6 ekor dengan panjang rata-rata 4,5 meter.

Sumber: Singer, 2005.

Gambar 2.33 Sanca kembang (Python reticulates), jenis ular besar yang umum ditemukan di Hutan Lambusango.

Pada malam hari, saat musim penghujan, Amphibia sangat aktif di sepanjang sungai. Musim penghujan merupakan saat yang tepat bagi

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

47


Amphibia untuk berkembang biak. Saat itu banyak telur katak diletakkan pada air yang relatif tenang. Beberapa katak akan tumbuh menjadi berudu dan katak dewasa. Selanjutnya, katak-katak ini menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem sungai. Beberapa jenis katak akan mati dimangsa oleh jenis ular yang hidupnya dekat sungai. Seperti halnya satwa lain, herpetofauna memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Amphibia dan reptilia bisa menjadi sumber makanan bagi satwa lain di hutan, seperti musang, tangkasi, dan burung pemangsa. Bagi petani, keberadaan herfetofauna sangat membantu dalam membasmi hama tanaman. Misalnya, ular dapat membantu untuk membasmi musuh utama petani, yaitu tikus. Katak juga bisa memakan beberapa jenis hama, seperti serangga terbang yang tidak menguntungkan bagi para petani. Beberapa contoh Amphibia di Hutan Lambusango adalah Bufo celebensis dan Rachopus monticola. Bufo celebensis merupakan jenis katak endemik dan paling umum ditemukan di Hutan Lambusango. Sementara itu, Rachopus monticola merupakan jenis katak yang memiliki banyak variasi warna tubuh (Larder, pers.com).

Sumber: Lardner, 2005; Singer, 2005.

Gambar 2.34 Rachopus monticola hijau berspot, hijau berbintik, dan kuning.

3) Aves Aves merupakan Vertebrata yang memiliki bulu dan sayap. Sayap ini digunakan burung untuk tebang. Hewan bersayap ini ikut menentukan dalam penentuan garis Wallacea sebagai pemisah Indonesia bagian barat dan timur, Alfred Russel Wallacea (1858) kali pertama terilhami oleh perbedaan keragaman burung. Weber (1904) berusaha membuat batas perimbangan fauna Asia dan Australia berdasarkan burung pula. Hal ini karena burung merupakan hewan Vertebrata yang relatif sensitif

48

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, burung sering dijadikan sebagai indikator kualitas suatu lingkungan hidup. Tingkat keragaman burung yang relatif tinggi dari suatu daerah biasanya dapat menggambarkan bahwa lingkungan tersebut masih relatif baik. Kerusakan yang terjadi pada kawasan hutan, sering berpengaruh besar pada komposisi jenis burung di kawasan tersebut. Suatu blok hutan di kawasan Lambusango yang sebelumnya didominasi oleh Pelanduk Sulawesi (Trichastoma celebense) dan Kehicap ranting (Hypothymis azurea), tiba-tiba bisa berubah komposisinya seandainya di blok hutan tersebut terjadi pemotongan vegetasi lapisan bawah. Pelanduk Sulawesi dan Kehicap ranting merupakan burung spesialis penghuni vegetasi lapisan bawah. Seandainya secara tiba-tiba, vegetasi lapisan bawah dipotong secara besar-besaran, burung-burung ini pun akan segera berpindah tempat atau populasinya akan menurun drastis. Sedikitnya 230 spesies burung telah tercatat di kawasan Pulau Buton, Muna, Kabaena, dan Wakatobi. Dari jumlah tersebut 84 di antaranya termasuk endemik Sulawesi. Di Hutan Lambusango sendiri telah tercatat sedikitnya 95 spesies burung, 35 spesies (37%) di antaranya termasuk endemik Sulawesi, dan 1 spesies di antaranya termasuk endemik Sulawesi Tenggara. Burung Kakatua jambul-kuning (Cacatua sulphurea), termasuk jenis burung yang dilindungi undang-undang. Di dalam daftar IUCN (International Union for Concervation of Nature and Natural Resources), dalam Red Data Books, burung ini masuk dalam kategori rentan terancam punah (threatened) dan sudah sangat jarang ditemukan di Hutan Lambusango. Selain itu, burung ini pun masuk kategori Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endengerd Species for Wild Flora and Fauna) atau perdagangan flora dan fauna internasional. Artinya, perdagangan hewan secara internasional tidak dapat dilakukan, kecuali hasil budidaya hingga keturunan (filial) ke-2 (F2). Untuk mengeluarkannya ke luar negeri, Sumber: Gardner, 1997. sekali pun untuk keperluan penelitian harus diGambar 2.35 lengkapi izin dan melalui pengawasan yang Kakatua jambul-kuning. ketat.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

49


Dalam survey 1999–2005, burung Kakaktua jambul-kuning di Hutan Lambusango sudah sangat sulit dijumpai. Diperkirakan jumlah populasi yang tersisa tidak lebih dari 10 ekor. Kakatua jambul-kuning bersarang dalam lubang pohon, induk jantan dan betina bekerja sama dalam memelihara anaknya. Penduduk sekitar Hutan Lambusango menginformasikan, sebelum tahun 1970 populasi burung ini cukup melimpah. Burung ini pun dianggap sebagai hama karena sering memakan tanaman diperkebunan dalam kelompok besar. Kondisi seperti ini memicu perburuan Kakatua jambul-kuning. Sifat burung yang mudah dijinakkan seandainya dipelihara, menyebabkan permintaan pasar meningkat dan harga di pasaran relatif tinggi saat itu. Di kawasan hutan ini pula terdapat burung Kacamata Sulawesi (Zosterops consobrinorum). Burung ini termasuk endemik Sulawesi Tenggara. Disebut burung Kacamata karena di sekitar matanya terdapat lingkaran putih seperti menggunakan kaca mata. Burung yang berukuran relatif kecil (sekitar 11 cm) ini hidup bersama dalam kelompok yang berkisar antara 10–30 ekor atau ikut bergabung dengan spesies lain. Kebiasaan hidup bersama dalam kelompok besar diduga merupakan strategi burung dalam mencari makan dan menghindari bahaya Sumber: Kelly & Marples, 2003. burung pemangsa (raptor). Populasi Gambar 2.36 burung endemik Sulawesi Tenggara ini Burung Kacamata Sulawesi. masih relatif banyak. Burung merupakan jenis satwa yang sangat menakjubkan. Bulunya sangat indah dipandang dan suaranya amat merdu untuk didengarkan. Salah satu burung terindah di Hutan Lambusango dan termasuk endemik Sulawesi adalah burung Julang Sulawesi (Aceros cassidix), dalam bahasa daerah disebut burung Halo. Burung ini memiliki panjang tubuh 104 cm dan bentangan sayapnya dapat mencapai lebih dari 1 m. Bulu burung ini berwarna Sumber: www.opwall.com. hitam, dengan leher berwarna kuning Gambar 2.37 mencolok untuk julang jantan. Burung Halo jantan.

50

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Pohon-pohon besar sangat dibutuhkan oleh burung ini untuk bertahan hidup. Burung Julang Sulawesi hanya bisa berbiak pada lubang pohon besar. Betina mengerami anaknya selama 40 hari. Selama anaknya dierami, burung jantan memberi makan betina melalui lubang pohon. Lubang ini merupakan satu-satunya celah tempat Julang betina bisa melihat dunia luar. Burung ini sangat menyukai buah pohon Ara Besar (Ficus sp.) sebagai sumber makanan. Di Hutan Lambusango hidup spesies Aves unik dari kelompok Megapoda. Nama itu secara harfiah berarti ‘kaki besar’. Sumber: Kinnaird, 1995. Hewan ini dinamakan burung Gambar 2.38 Burung Halo jantan Gosong Filipina (Phillipine scrubfowl ). Burung Gosong di sarangnya. Filipina ini memi liki ukuran dan Sumber: Gardner, 1997. Gambar 2.39 bentuk tubuh seperti ayam dengan warna bulu cokelat Burung Gosong memiliki tua. Dalam berpindah tempat, burung ini lebih banyak kaki yang besar dan kuat. berjalan di atas tanah. Burung gosong memiliki perilaku yang khas dalam musim berbiak. Setelah induknya bertelur, telurnya tidak dierami. Telur tersebut hanya ditimbun dalam sebuah tumpukan material seperti gunung kecil (little mount) yang telah mereka buat sebelumnya. Tumpukan material tersebut terbuat dari seresah dan daun-daun kering. Selanjutnya, telur tersebut dibiarkan oleh induknya untuk menetas dengan sendirinya. Secara umum, fungsi keberadaan burung ini di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Sebagai penyebar biji-bijian (seed dispersal). 2. Pengendali hama, seperti burung pemakan serangga dan pemakan tikus. 3. Pengendali gulma (tumbuhan yang tidak menguntungkan petani). 4. Kotoran burung bisa meningkatkan kesuburan tanah. 5. Membantu proses penyerbukan beberapa tumbuhan. 6. Kicauan suara burung memberikan suasana damai dan memberikan hiburan tersendiri.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

51


4) Mammalia Mammalia merupakan binatang bertulang belakang yang menyusui anaknya dan mempunyai rambut. a) Mammalia Kecil Mammalia kecil merupakan hewan menyusui yang memiliki berat kurang dari 1 kg, tidak termasuk kelelawar dan Primata. Sebagian besar Mammalia kecil termasuk binatang pengerat (Rodentia), pemakan serangga (Insectivorous), dan bukan merupakan pemakan daging (Carnivore) (Grimwood, pers.com). Di Hutan Lambusango telah ditemukan tidak kurang dari 16 spesies Mammalia kecil. Sebanyak 12 jenis di antaranya merupakan endemik Sulawesi. Sebagian besar Mammalia kecil yang terdapat di Hutan Lambusango beraktivitas pada malam hari (nocturnal), dan menyukai hidup di dalam hutan. Pada jarak lebih dari 600 m dari pinggir hutan, Mammalia kecil endemik lebih banyak ditemukan (Grimwood, pers.com). Mammalia kecil mempunyai fungsi secara ekologis untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Hewan ini bisa berfungsi sebagai sumber makanan bagi satwa lain, seperti musang, burung, dan ular. Mammalia kecil sering menggali tanah sehingga berfungsi pula dalam mengemburkan tanah dan menyebarkan biji-biji tumbuhan. Beberapa biji jenis pohon tertentu, dalam pertumbuhan dan Sumber: Gillespie, 2002. perkembangannya memerlukan banGambar 2.40 tuan tikus untuk membuka lapisan Taeromy celebensis. tanah yang menutupinya (Perez dkk., 1997). Biji pada spesies pohon yang lain, hanya bisa tumbuh setelah tikus menguburkannya dalam tanah (Leigh dkk., 1993). b) Kelelawar Kelelawar merupakan hewan yang sangat unik. Mereka adalah satusatunya Mammalia yang dapat terbang karena tangannya berkembang menjadi sayap. Kelelawar dari sub-ordo Microchiroptera melahirkan anaknya dengan kaki keluar terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan Mammalia lain yang melahirkan anaknya dengan mengeluarkan kepala terlebih dahulu. Ada 18 ordo di seluruh dunia, sekitar 192 famili, dan

52

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


977 spesies kelelawar (Nowak , 1999). Jumlah spesies kelelawar merupakan kedua terbesar sesudah bangsa binatang pengerat dalam kelas Mammalia. Di Indonesia terdapat lebih dari 200 spesies kelelawar, atau sekitar 20% spesies kelelawar yang telah ditemukan di dunia. Sedikitnya 20 jenis kelelawar telah teridentifikasi di Hutan Lambusango. Sebanyak 17 spesies termasuk pemakan serangga terbang (insectivorous bat), sisanya sebanyak 3 spesies termasuk kelelawar pemakan buah (frugivorous bat) (Amalia, pers.com). Beberapa spesies kelelawar pemakan serangga memiliki kemampuan merelokasikan gema (echolocation) untuk menangkap mangsa. Saat berada pada vegetasi rapat, kelelawar tidak menabrak benda di depannya. Pada saat berekokolasi, kelelawar mengeluarkan gema yang bisa mengenai sebuah benda sehingga gema tersebut memantul dan dapat diterima kembali oleh telinga Sumber: CD. Photo Image. kelelawar. Oleh karena itu, jarak benda Gambar 2.41 tersebut dapat diukur. Ekolokasi yang dilakukan oleh Secara ekologi, peranan kelelawar kelelawar. sangat banyak. Misalnya, kelelawar mempunyai peranan yang sangat penting dalam memencarkan biji pohonpohon yang menghasilkan buah seperti Jambu air, Jambu biji, Kenari, Keluwih, Sawo, Namnaman, Duwet, dan Cendana. Kelelawar dapat membantu memencarkan biji ke tempat-tempat yang jauh lebih luas dibandingkan dengan yang dapat dilakukan oleh binatang-binatang lainnya. Peranan ini sangat penting dalam pemulihan hutan di daerah-daerah yang telah terganggu akibat kegiatan penebangan hutan atau kebakaran hutan (Suyanto, 2001). Kelelawar yang memakan nektar, seperti kalong yang besar dan juga beberapa jenis yang berukuran kecil, berperan sebagai perantara proses penyerbukan bagi vegetasi di hutan, termasuk pohon-pohon dengan nilai komersial tinggi, seperti Durian, Randu, dan jenis-jenis lainnya di hutan mangrove. Keragaman hayati, khususnya tumbuhan, dapat meningkat dengan terbawanya serbuk sari dari pohon-pohon oleh kelelawar yang terbang dalam jarak cukup jauh.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

53


Kalong atau kelelawar pemakan buah-buahan memakan berbagai jenis buah-buahan, baik yang berasal dari pohon di hutan maupun pohon yang dibudidayakan. Saat akan memakan buah, kelelawar sangat pilihpilih mengenai keadaan buahnya. Buah dalam keadaan kurang masak dengan tingkat kematangan yang disukai manusia, sering kali tidak dimakan. Buah yang dimakan kelelawar cenderung merupakan buahbuah yang lunak, mengandung banyak cairan buah, agak berbau apek dan tengik. Selain itu, hanya buah yang terdapat pada posisi yang mudah diambil saja yang akan dimakannya. Dengan demikian, Sumber: Kingston, 2005. Gambar 2.42 pernyataan bahwa kelelawar pemaLenawai hardwick merupakan salah kan buah adalah hama kebun buahsatu jenis kelelawar terkecil di dunia buahan, sama sekali tidak beralasan yang dapat ditemukan di Hutan (Whitten, 2005). Lambusango. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini banyak spesies kelelawar yang populasinya merosot, bahkan jenis-jenis tertentu yang terancam punah. Ancaman terbesar populasi pada Kelelawar adalah kehilangan habi tatnya. Di Hutan Lambusango terdapat kelompok kelelawar yang seharusnya bisa mencari makan di hutan dipaksa harus berpindah tempat. Tempat hidupnya di hutan yang sudah ditebang habis memaksa kelelawar untuk mencari tempat hidupnya di perkebunan penduduk. c) Mammalia Besar Selain Mammalia kecil dan kelelawar, di Hutan Lambusango pun terdapat berbagai jenis Mammalia besar. Berikut ini adalah beberapa Mammalia besar yang ada di Hutan Lambusango. (1) Anoa Anoa merupakan jenis Mammalia berkuku genap (Artiodactyla). Anoa merupakan hewan endemik berpostur besar Sulawesi. Selain terbesar, populasinya pun paling banyak ditemukan di Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu satwa ini telah ditetapkan sebagai spesies kebanggaan (flagship species) oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini pula

54

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


yang menjadikan kawasan Hutan Lambusango menjadi kawasan konservasi. Sebab di hutan ini masih relatif banyak ditemukan Anoa. Hewan Mammalia ini merupakan hewan terkecil dari kelompok Bovini (sapi-sapian), dengan tinggi pundak sekitar satu meter, dan berat bisa mencapai 300 kg. Anoa memiliki tanduk panjang dan lurus-runcing. Tanduk ini bisa mencapai panjang 30 cm. Warna tubuhnya bisa cokelat atau pun hitam. Hewan ini pemakan daun-daun muda (browser), seperti daun bambu dan paku-pakuan. Terdapat dua jenis Anoa yaitu, Anoa dataran rendah (Bubalus depresicornis) dan Anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi). Walaupun demikian, Burton dkk. (2005) menyebutkan bahwa para ahli masih memperdebatkan jumlah spesies Anoa sebenarnya di alam. Ada kemungkinan, walaupun warna tubuh Anoa dataran rendah dan dataran tinggi agak berbeda, mereka masih disebut satu spesies karena dapat kawin satu dengan yang lainnya. Perilaku Anoa di alam belum banyak diketahui. Penduduk di Pulau Buton mengenal Anoa sebagai satwa agresif yang senang menyendiri dan hanya bertemu dengan pasangannya pada saat berbiak. Satwa ini kadang pula menyerang manusia jika merasa terganggu, terluka, atau sedang memelihara anak. Akan tetapi, pada dasarnya satwa ini lebih banyak menghindar seandainya bertemu manusia. Menurut Lee dkk. (2001), Anoa diduga menyukai genangan air dan lumpur, terutama kolam mata air mineral atau kolam yang memiliki kandungan garam alami yang menyembul di permukaan tanah (lick). Anoa telah ditetapkan oleh IUCN dalam Red Data Book sebagai spesies terancam punah (endangered). Dalam aturan perdagangan flora dan fauna internasional, Anoa termasuk dalam Appendix I CITES. Untuk dapat mengeluarkan Anoa atau sebagian anggota tubuhnya ke luar negeri guna kepentingan penelitian telah ada pengawasan yang sangat ketat. Wheleer (pers.com) menyatakan bahwa keberadaan Anoa di Hutan Lambusango diperkirakan tinggal 100–150 ekor. Sumber: Winarni, 2005. Gambar 2.43 Pendataan keberadaan populasi Anoa yang ditemukan di Anoa itu pun masih lebih banyak Hutan Lambusango.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

55


diketahui melalui jejak kaki (foot print) dan kotoran (faeces) bukan dari kontak langsung. Jumlah tersebut diperkirakan masih relatif banyak dibandingkan jumlah Anoa di kawasan konservasi lain di Sulawesi. Namun demikian, dalam monitoring yang telah dilakukan Wheeler dkk., pada tahun 2003–2005, diketahui bahwa populasi Anoa di kawasan Hutan Lambusango cenderung menurun. Gambar 2.44 Dari kiri ke kanan: jejak kaki sapi feral, Anoa, babi, dan Babi rusa. Sumber: Wheeler, 2004.

Penurunan populasi Anoa lebih banyak disebabkan oleh perburuan ilegal dan penyempitan habitatnya. Penduduk memburu Anoa untuk mendapatkan daging, kemudian dikonsumsi atau dijual. Tempat hidup Anoa menyempit karena penebangan liar dan konversi hutan jadi lahan perkebunan. Namun demikian, perkiraan ancaman yang dihadapi Anoa dari kegiatan konversi hutan menjadi areal pertanian dan kebakaran hutan masih sulit dilakukan karena masih sedikitnya data dan informasi mengenai kebutuhan habitat serta kebutuhan pakan Anoa (Burton dkk., 2005). Di beberapa lokasi sekitar Hutan Lambusango, keinginan penduduk untuk menangkap Anoa sudah menurun. Namun, masih banyak di antara penduduk yang tidak sengaja menangkapnya. Mereka mendapatkannya dari perangkap yang dipasang untuk sapi liar (feral cow) dan Babi, tetapi kadang mereka malah mendapatkan Anoa. (2) Andoke Di kawasan Sulawesi telah ditemukan 4 spesies monyet atau 7 subspesies monyet endemik dari genus Macaca. Semua jenis Macaca tersebut memiliki kemiripan dalam bentuk tubuh, warna rambut tubuh yang dominan hitam dan ekornya yang pendek, hampir tidak terlihat. Masing-masing jenis monyet yang ada di Sulawesi persebarannya tidak tumpang tindih (allopatry) (Whitten, 2002). Berdasarkan IUCN, Andoke (Macaca ochreata Sumber: www.opwall.com. brunescens) ini digolongkan jenis satwa dilindungi dan Gambar 2.45 Andoke dikategorikan ke dalam status rentan (vulnerable).

56

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


M.n.nigra

Dalam daftar CITES, andoke ini dimasukkan dalam Appendix II. Artinya, untuk masalah perdagangan internasional, hewan ini dapat diperdagangkan. Namun, dalam quota tertentu dengan pengawasan yang sangat ketat dan harus mendapatkan surat izin resmi. Hal ini karena Andoke merupakan jenis monyet endemik Buton dan Muna. Monyet Buton yang dalam bahasa Inggrisnya disebut Booted Macaque memiliki warna putih di bagian tangan dan kakinya, seperti memakai kaos kaki. Hewan ‘berkaos kaki’ ini memiliki ukuran tubuh sekitar 0,5– Sumber: Whitten dkk., 2002. 0,59 m, sedangkan berat badannya bisa Gambar 2.46 mencapai 12–17 kg. Hewan ini sangat meSebaran jenis monyet yang ada di Sulawesi. nyukai beberapa jenis makanan, seperti buah, bunga, jamur, daun, dan serangga. Pemangsa Andoke di Hutan Lambusango adalah ular Sanca kembang dan burung elang. Untuk menghindari dari pemangsa, Andoke hidup secara berkelompok sehingga sering ditemukan hidup bergerombol 10–40 ekor dalam satu grup. Primata ini memiliki sistem organisasi sosial multimalemultifemale. Artinya, dalam satu kelompok dapat hidup banyak jantan dan banyak betina. Namun demikian, dalam suatu kelompok Andoke, biasanya dipimpin oleh seekor pemimpin (leader). Pimpinan Andoke dalam suatu grup biasanya seekor jantan yang memiliki ukuran tubuh relatif besar dibanding anggota kelompok lainnya. Pemimpin grup ini sering memimpin anggota kelompoknya untuk bergerak mencari makan (foraging) atau memberi tanda bahaya dengan mengeluarkan suara (alarm calling) kepada anggota kelompoknya. Dalam pembagian ruang secara horizontal, dikenal daerah yang sangat dipertahankan oleh kelompok, disebut daerah teritori (teritory area). Daerah teritori ini akan dipertahankan secara keras, bisa sampai berkelahi seandainya ada kelompok Andoke lain berusaha untuk masuk. Populasi dan persebaran Andoke di Pulau Buton ini masih relatif cukup banyak. Namun, diduga telah terjadi penurunan populasi seiring dengan penyempitan habitatnya. Andoke masih mudah untuk dijumpai M.t.hecki

M.t.tonkeana

M.nigra nigrescens

M.o.ochreata

M.o.brunnescens

M.maura

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

57


di dalam hutan Lambusango. Di beberapa lokasi pinggiran hutan yang berbatasan dengan kebun penduduk, seperti Desa Kawele, kepadatan Andoke relatif lebih tinggi. Secara ekologis, Andoke memiliki fungsi menjaga keseimbangan ekosistem, terutama berfungsi sebagai penyebar biji-bijian di alam. Penyebaran biji dapat terjadi secara tidak sengaja. Biji-biji yang mengandung getah dapat menempel pada satwa berambut, seperti Andoke. Pada saat daya lekat biji tersebut terhadap rambut Andoke melemah, biji akan terlepas dan tersebarlah biji tersebut ke wilayah lain. I N F O Cara terbaik untuk mengusir Andoke dari kebun, yaitu dengan cara menanam beberapa tumbuhan cabe di pagar, menakutinya dengan lemparan batu sebelum Andoke merusak kebun (crop raiding), dan melakukan patroli bersama petani seandainya Andoke tersebut dalam grup besar. (Priston, 2005)

(3) Tangkasi Tangkasi (Tarsius sp.) merupakan salah satu jenis Primata terkecil di dunia. Hewan ini memiliki ciri khas kepala bulat yang dapat berputar hampir 180°. Ukuran mata dan kupingnya besar. Berat badannya pun hanya 100–150 gram. Tubuhnya yang mirip tikus ini berukuran 120– 150 mm, dan memiliki ekor yang panjangnya sekitar 220–240 mm. Rambut tangkasi berwarna cokelat tua hingga kelabu. Kakinya yang panjang dipergunakan untuk memanjat dan meloncat. Sumber: opwall, 2005. Satwa ini termasuk insectivorous karena Gambar 2.47 Tangkasi sangat menyukai serangga, seperti Tangkasi (Tarsius sp.). belalang, kumbang, kepik, semut, dan tonggeret. Dalam beberapa literatur, tangkasi juga bisa memakan laba-laba, katak, ular, kadal kecil, kelelawar, dan burung. Di Hutan Lambusango, tangkasi sering terlihat hidup dalam kelompok kecil, berjumlah 4-6 ekor setiap grupnya. Daya jelajah satwa ini sekitar 2 ha (Lillie pers.com). Tangkasi di Sulawesi lebih banyak tersebar dan menempati berbagai tipe habitat dibandingkan Macaca (Shekelle dkk., 1997). Mereka dapat hidup hingga areal perkebunan dan dekat pemukiman penduduk. Setiap pagi, sekitar pukul 05.30–06.30 di Hutan Lambusango, suatu keluarga tangkasi mengeluarkan suara teriakan (calling) yang rumit

58

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


sebelum menempati tempat tidurnya. Tangkasi merupakan hewan noc turnal. Pada umumnya, Tangkasi jantan memulai suara panggilan dengan seri cicit yang teratur, dan yang betina ikut serta dengan seri suara panggilan yang menurun, kemudian suaranya cepat melonjak ke puncak dengan nada sangat tinggi. Suara teriakan ini menyatakan kepada anggota kelompok lain di sekitarnya bahwa pasangan “suami-istri� dalam keadaan baik-baik dan akan menggunakan wilayah kekuasaanya. Di dalam pemilihan tempat tidurnya, tangkasi yang hidup di Hutan Lambusango cenderung menggunakan pohon besar, lubang-lubang pohon, liana, dan lubang-lubang batu sebagai tempat tidur. Persebaran Tangkasi di dunia ini hanya sampai di Kalimantan, Filipina, dan Sulawesi. Terdapat 8 jenis Tangkasi yang tersebar di dunia, lima jenis di antaranya hidup dan merupakan Tangkasi endemik Sulawesi. Schekelle (pers.com) menyebutkan bahwa Tangkasi yang ada di Pulau Buton ini memiliki perbedaan dengan Tangkasi di pulau lain, terutama dalam suara dan karakteristik ekornya. Analisis DNA perlu dilakukan untuk menentukan apakah Tangkasi yang ditemukan di Pulau Buton ini subspesies atau spesies baru. Populasi dan persebaran Tangkasi di Hutan Lambusango masih relatif tinggi. Di Hutan Lambusango Blok C.A. Kakenauwe, Tangkasi relatif mudah ditemukan. Satwa ini dikenal tidak mengganggu manusia dan bukan merupakan hama bagi petani sehingga penduduk tidak membunuhnya. (4) Musang Musang termasuk salah satu hewan karnivora yang suka memakan bijibijian. Selain memakan biji-bijian, musang merupakan pemangsa darat terbesar di Pulau Buton. Di dunia ini telah tercatat 71 spesies hewan karnivora, famili Viverridae. Tiga jenis Musang yang telah tercatat di kawasan Wallacea, satu di antaranya adalah Sulawesi palm civet, termasuk jenis endemik Sulawesi. Spesies Musang yang terdapat di Hutan Lambusango adalah Musang Tenggalung (Viverra tangalunga), sedangkan Sulawesi palm civet keberadaanya masih berupa dugaan karena spesies ini diketahui hidup di Suaka Alam Buton Utara. Tubuh Musang Tenggalung seperti kucing, tetapi kepalanya mirip anjing. Warna tubuhnya belang, putih-hitam, memiliki berat 3,5–4,8 kg

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

59


dan panjang tubuh 60 cm. Musang Tenggalung merupakan jenis introduksi (masuk dari kawasan lain), berasal dari luar Pulau Buton. Kemudian, berkembang sangat baik di hutan Pulau Buton. Musang Tenggalung tersebar cukup baik pula hingga Malaysia, Sumatra, Kalimantan, dan Maluku (Seymour, pers.com). Populasi Musang Tenggalung bisa berkembang cukup baik di Hutan Lambusango karena satwa ini termasuk pemakan banyak pilihan makanan, terutama daging. Ayam hutan, burung, tikus, katak, telur, dan serangga merupakan jenis makanan yang sangat disukai oleh Musang Tenggalung. Berdasarkan hasil penelitian Seymour dkk. (20032005), Musang Tenggalung memiliki Sumber: Opwall, 2005. daerah jelajah per hari sekitar 30-180 Gambar 2.48 ha. Hewan ini lebih aktif pada malam Musang Tenggalung. hari dan kadang-kadang terlihat bergerak di jalan-jalan dekat pemukiman penduduk. Musang Tenggalung sangat mahir memanjat dengan menggunakan kakinya yang lentur berselaput serta bercakar semi-retractile (bisa ditarik sendiri). Musang sering hidup menyendiri. Seandainya Anda sudah tinggal di Hutan Lambusango selama berhari-hari, binatang ini menjadi lebih mudah mendekat. Mereka jadi tidak takut manusia, sering bermain di sekitar camp untuk mendekati tempat sampah di malam hari atau mengambil makanan seperti ikan asin yang ada di dapur. Secara ekologis Musang membantu penyebaran biji-bijian, misalnya pemencaran biji aren (Arenga pinata). Oleh karena biji aren tidak dicerna, biji aren tersebut akan dibuang bersamaan dengan feses. Biji aren yang telah dicerna melalui pencernaan Musang ini memiliki daya kecambah yang tinggi. Hal ini karena daging buah yang menyelubungi biji telah terkupas dengan sempurna. (5) Babi Liar Di Hutan Lambusango ditemukan dua jenis babi liar, yaitu Babi alang-alang (Sus scrofa) dan Babi berkutil Sulawesi (Sus celebensis). Ciri Sus scrofa saat masih kecil adalah warna tubuhnya yang belang dan cokelat muda. Sementara

60

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


itu, ciri khas Sus celebensis adalah pada saat dewasa memiliki tonjolan di dekat hidungnya. Kedua satwa ini saat dewasanya memiliki bobot tubuh sekitar 40–70 kg. Hanya Sus celebensis termasuk satwa endemik Sulawesi. Babi liar biasanya hidup dalam satu kelompok. Setiap induk dapat memiliki anak 2–6 ekor. Populasi Sus celebensis lebih sedikit dibandingkan dengan sus scropa. Keduanya termasuk satwa yang bisa menempati berbagai tipe habitat, di antaranya di daerah padang alang-alang, bakau, kebun penduduk, dan hutan. Persebarannya di Hutan Lambusango sangat mudah diketahui melalui pengamatan langsung, atau melalui Sumber: plala.or.jp. Gambar 2.49 jejak kaki dan kotoran. Babi berkutil Sulawesi. Kedua jenis babi liar tersebut bisa mengonsumsi banyak pilihan makanan, seperti cacing, buah yang jatuh, umbi-umbian, akar beberapa jenis tumbuhan, akar alang-alang, Mammalia kecil, dan bangkai binatang. Babi liar dianggap sebagai hama bagi tanaman penduduk. Oleh karena itu, beberapa penduduk lokal sekitar Hutan Lambusango masih memasang perangkap tradisional untuk menangkap babi. Setelah babi terkena perangkap, penduduk biasanya membunuhnya. Selain hidup liar, kedua jenis babi liar tersebut telah berhasil didomestikasi (dijinakkan) oleh penduduk (Macdonald , 1993). Macdonald (1993) menyebutkan bahwa ancaman lain pada Sus celebensis, yaitu adanya kontaminasi genetik, karena perkawinannya dengan Sus scropa. Saat populasi Sus celebensis semakin sedikit, untuk mempertahankan jumlahnya, binatang ini bisa dikawinkan dengan Sus Sumber: geocities.com. scropa. Variasi genetik alam Sus Gambar 2.50 celebensis di alam dikhawatirkan Belang pada tubuh anak Sus akan menurun. scrofa dapat menipu pemangsa.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

61


Babi mempunyai fungsi secara ekologis, tertutama dalam menggemburkan tanah saat mencari makan, dan menyebarkan biji-bijian. Beberapa jenis tumbuhan hanya akan tumbuh dan menyebar dengan baik setelah dibantu oleh babi. Babi liar bersama keluarganya sering ditemukan istirahat, mencari makan, dan membuang kotoran pada banir pohon. Kotoran babi tersebut bisa berfungsi sebagai pupuk alami, nutrisi tambahan bagi pohon. (6) Kuskus Kuskus termasuk binatang Marsupialia (Mammalia yang memiliki kantung di perutnya). Induk betinanya bisa membawa bayi dalam kantung tersebut. Satwa ini masuk satu ordo dengan Wallabi yang terdapat di Papua dan Kangguru yang terdapat di Australia. Terdapat dua jenis kuskus di Hutan Lambusango, yaitu Kuskus beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus kerdil (Stegocuscus celebensis). Disebut Kuskus beruang karena wajahnya yang mirip beruang. Kuskus beruang memiliki panjang badan dan kepala sekitar 56 cm. Ekornya yang panjang (54 cm) bisa memegang saat memanjat pohon (prehensil). Adapun Kuskus kerdil mempunyai ukuran badan lebih kecil dari Kuskus beruang. Kedua jenis satwa tersebut masuk dalam Mammalia endemik Sulawesi. Sumber: www.opwall.com. Gambar 2.51 Kuskus bergerak sangat lambat (slow moving). Kuskus beruang. Mereka sering terlihat jelas saat berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya. Kedua satwa sangat menyukai daun-daunan dan buah dari pohon ara. Kuskus beruang sangat selektif dalam memilih tumbuhan yang dimakan. Mereka memilih berdasarkan umur daun dan bagian daun yang akan dimakannya (pangkal, ujung, atau seluruh bagian). Sementara itu, Kuskus kerdil lebih menyukai buah sebagai makanan utamanya (frugivorous). Kuskus tidak mengganggu manusia dan bukan merupakan hama bagi petani. Walaupun belum ada monitoring khusus, populasi Kuskus di Hutan Lambusango masih relatif baik. Penduduk di sekitar Hutan Lambusango tidak memburu dan memakan hewan ini. Ancaman utama Sumber: www.opwall.com. keberadaan kuskus adalah hilangnya pohon-pohon dan Gambar 2.52 vegetasi lapisan bawah hutan untuk tempat berlindung, Kuskus kerdil. berbiak, bergerak, dan makan.

62

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


3 Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango Pada bab ini Anda akan kami ajak untuk mengenal konservasi dan permasalahan di Hutan Lambusango. Berikut ini adalah informasi yang akan Anda peroleh, yaitu: ? pengertian konservasi; ? manfaat konservasi; ? cara mengevaluasi hubungan hulu–hilir dalam pelestarian Hutan Lambusango; ? permasalahan konservasi di Hutan Lambusango; ? alasan mengapa Hutan Lambusango perlu dilestarikan.

63


A.

Apa Itu Konservasi Biologi?

Konservasi berasal dari bahasa Latin conservatio yang berarti menjaga atau mengawetkan. Konservasi secara menyeluruh meliputi aspek biotik dan abiotik suatu kawasan. Dalam tingkatannya, konservasi terbagi atas tiga tingkatan, yaitu konservasi genetik, komunitas (hingga ekosistem), dan lanskap. Konservasi biologi secara lengkap memiliki pengertian sebagai disiplin ilmu yang mempelajari segala aspek biodiversitas dengan tujuan menjaga atau mengawetkan sumber daya alam untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dengan kata lain, disiplin ilmu ini bertujuan mengelola biodiversitas agar tetap berkelanjutan untuk kepentingan manusia. Untuk mencapai tujuan ini konservatoris biologi memerlukan masukan dari berbagai cabang disiplin ilmu lain di luar Biologi. Disiplin ilmu lainnya, seperti Antropologi dan Sosiologi dimanfaatkan untuk mengetahui karakteristik masyarakat sekitar hutan. Hasil kajian dari disiplin ilmu ini hanya merupakan data dasar yang selanjutnya harus ditindaklanjuti oleh aksi konservasi berdasarkan disiplin ilmu terapan. Ilmu murni dan ilmu terapan, keduanya saling mengisi untuk menghasilkan suatu aksi konservasi biologi di masyarakat. Kehutanan, Pertanian, dan Perikanan merupakan contoh ilmu terapan yang dipakai dalam manajemen hutan dan masyarakat sekitar hutan. Ilmu manajemen sumber daya ini bisa pula menjadi sumber gagasan dan pendekatan untuk pengembangan penelitian ilmu murni. Berikut ini adalah skema bagaimana keputusan yang diperoleh konservatoris biologi diperoleh. Pengalaman di Lapangan dan Penelitian Ilmu Murni Antropologi Biogeografi Ekologi Studi lingkungan Evolusi Genetika Biologi molekuler Biologi populasi Sosiologi Taksonomi

Manajemen Sumber Daya (Ilmu Terapan) Pertanian Perikanan Kehutanan Tataguna Lahan Kebun Binatang (konservasi ex situ) Kawasan konservasi alam (in situ) Sumber: Primack dkk., 1998.

Gagasan Baru dan Pendekatan

64

Gambar 3.1 Skema pengambilan keputusan konservatoris

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Seperti halnya seorang dokter, konservatoris biologi harus waspada terhadap temuan terakhir dan kajian berbagai disiplin ilmu. Baik itu berupa teori maupun aplikasinya. Melalui pengetahuannya dan berbagai disiplin ilmu ini, sumber masalah akan didiagnosis dan menetapkan tindakan yang tepat. Kewaspadaan ini tentunya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan biodiversitas. Biodiversitas ini tidak saja diartikan sebagai keragaman pada tingkat spesies saja, tetapi penting juga pada level genetik, komunitas (ekosistem), dan level landskap. Namun, di dalam pelaksanaannya, program konservasi ini tidak hanya melindungi aspek keragaman hayati penghuni hutan, tetapi harus mengaitkan dengan faktor manusia juga yang tinggal di sekitar kawasan konservasi. Itulah mengapa kegiatan Antropologi, Sosiologi, dan ilmu pendukung lainnya sangat diperlukan bagi konservasi biologi.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 3.2 Sosialisasi Program Konservasi.

Sumber: Singer, 2005.

B.

Gambar 3.3 Penelitian Mammalia kecil yang dilakukan oleh ilmuwan (scientist) dan relawan Opwall.

Apakah Manfaat Mengkonservasi Hutan?

Hutan sebagai sumber plasma nuftah tentunya memiliki peranan penting dalam penyedia sumber daya alam hayati bagi manusia. Selain itu, hutan juga merupakan penyedia air dan udara bersih. Bagaimanakah hutan memberikan manfaatnya bagi manusia?

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

65


1. Hutan Sebagai Sumber Plasma Nuftah Plasma nutfah (grem plasma) adalah substansi pembawa sifat keturunan, dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik. Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional. Pemanfaatan plasma nutfah tidak terbatas hanya pada kalangan peneliti. Secara tidak sadar, masyarakat pedesaan dan perkotaan telah memperoleh manfaat dari hutan untuk kebutuhan pangannya. Semua hewan dan tanaman yang sekarang dimanfaatkan oleh manusia sebenarnya bersumber dari hutan. Banyak bibit tanaman bersumber dari tumbuhan liar hutan kemudian dikembangkan untuk menjadi kultivar-kultivar baru melalui pemuliaan tanaman. Beberapa jenis satwa liar telah berhasil didomestikasi menjadi hewan ternak yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Contohnya Banteng (Bos javanicus). Semula satwa ini merupakan satwa liar, kemudian melalui proses domestikasi beratus-ratus tahun bisa dijinakan menjadi Sapi Bali. Sapi-sapi berwarna cokelat ini umum dikenal oleh masyarakat di Indonesia termasuk di Pulau Buton. Hutan diyakini pula menyimpan sumber Sumber: Hadian, 2005. Gambar 3.4 kekayaan tumbuhan obat yang belum Sapi Bali yang telah berhasil terungkap seluruhnya. Banyak bahan obat didomestifikasikan. modern dan tradisional bersumber dari hutan, tetapi masih lebih banyak lagi manfaat tumbuhan di hutan yang belum diketahui. Sangat disayangkan seandainya hutan itu hancur dan memusnahkan beberapa organismenya, sementara fungsi dan manfaat sumber plasma nutfah tersebut belum kita ketahui.

2. Hutan Sebagai Penyedia dan Pengatur Tata Air

Kondisi hutan selalu dikaitkan dengan bencana alam, banjir, tanah longsor dan kekeringan. Walaupun demikian, kontroversi tentang fungsi hutan masih juga sering terjadi. Sebagian orang menegaskan bahwa hutan berfungsi sebagai penghasil dan pengatur tata air. Sementara itu, sebagian lagi menyebutkan

66

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


bahwa hutan justru sebagai penguras air. Hal ini berkaitan dengan laju penguapannya yang tinggi. Sebagian orang lagi mempercayai bahwa hutan sebetulnya hanya berfungsi sebagai pengatur tata air (regulate water) dan bukan penghasil air (produce water). Perlu ditegaskan bahwa fungsi hutan pada dasarnya tidak dapat digeneralisasi. Fungsi hutan dapat sebagai pengatur tata air saja, atau dapat pula sekaligus berfungsi sebagai pengatur dan penghasil air. Fungsi hutan ini berkaitan dengan dengan karakteristik (tipe) hutan, keberadaan hutan, dan kondisi tanah serta geologis hutan tersebut berada. Berkaitan dengan fungsi pengaturan air, hutan dapat dibagi dua, yaitu sebagai berikut. (1) Hutan non-cloud forests, yaitu hutan yang memiliki laju penguapan yang relatif tinggi jika dibandingkan penutupan bukan hutan. Hutan yang demikan ini tidak mampu berfungsi sebagai penangkap kabut (cloud-stripping), namun hanya berfungsi sebagai pengatur tata air saja. (2) Hutan cloud-forests, yaitu hutan yang memiliki laju penguapan yang relatif rendah jika dibandingkan dengan penutupan bukan hutan dan hutan pada umumnya. Hutan demikian ini berperan sebagai penangkap kabut sekaligus berfungsi sebagai penghasil dan pengatur tata air. Secara lebih jelas penjelasan tersebut dapat Anda baca pada uraian berikut. a. Hutan yang Hanya Berfungsi Sebagai Pengatur Tata Air Hutan dapat dipandang dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu tegakan pohon (trees), tanah hutan (forest soil) dan bentang lahan (forest landscape). Karakteristik dari ketiga kondisi ini mempengaruhi intensitas fungsi hutan sebagai pengatur tata air. 1) Hutan Sebagai Pengatur Tata Air Ditinjau dari Perspektif Tegakan Pohon Pohon sebagai bagian dari komponen hutan, memiliki laju transpirasi yang tinggi dibandingkan jenis vegetasi penyusun hutan lainnya. Selain itu, tajuk pohon lebih banyak menahan dan menguapkan kembali air hujan ke udara (intersepsi) dibandingkan rumput dan tanaman semusim. Dengan demikian, dari sisi pohon, hutan memang memiliki laju penguapan/ konsumsi air (evapotranspirasi/ET) yang lebih tinggi daripada penutupan lahan bukan hutan. Rata-rata konsumsi air tahunan hutan tropika basah dataran rendah yang berada sekitar 100 meter dari permukaan laut adalah

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

67


sebesar 1.415 mm. Adapun hutan pegunungan yang terletak pada ketinggian sekitar 1.750 m dari permukaan laut adalah sebesar 1.225 mm. Rata-rata ET tanaman pertanian per tahun antara 1.100–1.200 mm sehingga konversi hutan tropika basah menjadi tanaman pertanian di dataran rendah dapat mengurangi laju ET sekitar 200– 300 mm per tahun. Ada lima hal yang menyebabkan laju konsumsi air (ET) lahan berhutan lebih tinggi dibandingkan dengan lahan bukan hutan. (1) Hutan menyerap lebih banyak radiasi gelombang pendek (memiliki albedo yang rendah) dibandingkan dengan lahan bukan hutan sehingga tersedia energi yang lebih tinggi untuk 2 proses evapotranspirasi. (2) Hutan memiliki kekasaran permukaan daun yang lebih tinggi. Dengan demikian, hutan memiliki daya tahan yang rendah untuk mempertahankan butir-butir air yang menempel di tajuk hutan. (3) Hutan lebih banyak dipengaruhi oleh adveksi (aliran energi dari sekitar tajuk hutan yang berpengaruh terhadap peningkatan ketersediaan energi untuk proses intersepsi). (4) Hutan memiliki perakaran yang lebih dalam sehingga mampu menjangkau butir-butir air di dalam tanah untuk proses evapotranspirasi. Sebaliknya, tanaman di lahan bukan hutan cenderung memiliki akar yang pendek. Tanaman berakar pendek ini tidak dapat menyerap air tanah yang dalam. (5) Besarnya luas permukaan daun berpengaruh terhadap luasnya bidang penguapan. Jadi, jika ditinjau dari tegakannya, hutan non-cloud forests memang memiliki konsumsi air yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan bukan hutan. Sifat ini sering mendasari argumentasi berbagai pihak yang berpendapat bahwa hutan bukan penghasil air dan penutupan ini bahkan justru boros air sehingga mereka menyimpulkan bahwa fungsi hutan sebagai penghasil air sebetulnya adalah lebih sebagai mitos daripada kenyataan. 2) Hutan Sebagai Pengatur Tata Air Ditinjau dari Perspektif Tanah Hutan Di lain pihak pohon memberikan kemungkinan terbaik bagi perbaikan sifat tanah. Hal ini berkaitan dengan dihasilkannya serasah yang cukup tinggi oleh pohon. Akibatnya, kandungan bahan organik lantai hutan meningkatkan. Selain itu, kapasitas infiltrasi lantai hutan pun menjadi lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan bukan hutan. Tebalnya lapisan serasah juga meningkatkan aktivitas biologi tanah. Pergantian

68

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


perakaran pohon (tree root turnover) yang amat dinamis dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan ditemukannya banyak pori-pori berukuran besar (macroporosity) pada tanah hutan. Akibatnya, tanah hutan memiliki laju perkolasi yang jauh lebih tinggi. Kelebihan hutan dibandingkan dengan penutupan bukan hutan dalam menahan laju erosi adalah terletak pada penutupan ganda hutan. Penutupan ganda hutan ini adalah kemampuan hutan untuk menghasilkan serasah dan menumbuhkan tumbuhan bawah yang biasanya cukup lebat di bawah naungan hutan dengan tajuk yang agak terbuka. Sebaliknya, penutupan pohon yang tanpa diimbangi oleh terbentuknya serasah dan tumbuhan bawah akan meningkatkan laju erosi permukaan. Hal ini berkaitan dengan energi kinetik tetesan hujan dari pohon setinggi lebih dari 7 meter justru lebih besar dibandingkan tetesan hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Dalam kondisi ini, tetesan air tajuk (crown-drip) memperoleh kembali energi kinetiknya sebesar 90% dari energi kinetik semula. Di samping itu, butir-butir air yang tertahan di daun akan saling terkumpul membentuk butiran air (leafdrip) yang lebih besar sebinga secara total justru meningkatkan erosivitas hujan. Berbagai penelitian dengan menggunakan splash-cup menunjukkan bahwa butir-butir air yang jatuh di bawah tegakan hutan (yang tidak tertutup serasah dan tumbuhan bawah) menghasilkan dampak erosi percikan (splash erosion) yang lebih besar dibandingkan butir air hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Kesimpulannya, walau hutan non-cloud forests memiliki laju penguapan yang tinggi, namun memberikan jaminan peresapan yang lebih tinggi dibandingkan penutupan bukan hutan. Dengan demikian, jumlah efektif air yang meresap ke dalam tanah bisa jadi lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan bukan hutan. Karakteristik ini agak jarang diekspose bagi berbagai pihak yang berpendapat bahwa hutan adalah boros air. 3) Hutan Sebagai Pengatur Tata Air Ditinjau dari Perspekstif Landskap Dari sisi bentang lahan (landscape forest), hutan memberikan tawaran penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis. Berikut ini adalah beberapa alasannya. (1) Di dalam hutan, sangat sedikit sekali ditemukan jalan-jalan setapak, tidak ada saluran irigasi, apalagi jalan berukuran

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

69


besar yang diperkeras. Semua hal tersebut dapat membentuk saluran drainase pada saat hujan. (2) Biomasa hutan yang tidak beraturan juga dapat berperan sebagai filter pergerakan air dan sedimen. (3) Hutan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif yang membuat tanah lebih peka terhadap erosi. (4) Hutan dalam kondisi yang tidak terganggu lebih tahan terhadap kekeringan sehingga tidak mudah terbakar. Hutan sering disebut memiliki efek spons (sponge efect). Efek spons ini berkaitan dengan karakteristik tanah dan landskap hutan. Efek spons ini adalah kemampuan meredam tingginya debit sungai pada saat musim hujan dan memelihara kestabilan aliran air pada musim kemarau. Namun, tidak semua hutan dapat memiliki efek spons ini. Hanya hutan yang memiliki tanah cukup dalamlah (> 3 m) yang dapat memberikan efek spons. Kondisi hutan seperti ini akan berpengaruh secara efektif terhadap seluruh aspek hidrologi. Kegiatan restorasi hutan (reboisasi) pada lahan semacam ini memberikan dampak yang sangat jelas. Dampak tersebut berpengaruh dalam penurunan aliran langsung (Qf), debit puncak banjir (Qp), laju erosi dan sedimentasi, serta pengendalian kekeringan. Sebaliknya, deforestasi akan berdampak kemerosotan seluruh aspek tata air secara drastis. Sementara itu, hutan yang tumbuh pada suatu lahan dengan lapisan tanah yang tipis di atas batuan yang kedap air, akan menimbulkan aliran permukaan (saturation overlandflow) lantai hutan yang tinggi. Hal tersebut pun masih tetap berlaku meskipun penutupan hutannya bagus. Hal ini berkaitan pada kapasitas tanah untuk menyimpan air yang sangat terbatas. Dengan demikian, penutupan hutan seperti apa pun tidak berpengaruh terhadap pengendalian debit puncak banjir. Singkatnya, dalam kondisi semacam ini, ada atau tidak ada hutan, laju aliran permukaan dan debit puncak banjir tetap tinggi. Oleh karena itu, restorasi hutan tidak berpengaruh terhadap penurunan risiko banjir dan kekeringan. Kesimpulannya, tingginya konsumsi air dari lahan berhutan (tegakan hutan) dikompensasi dengan baik oleh perbaikan sifat tanah dan keamanan ekologis ekosistemnya. Jadi, secara keseluruhan hutan memiliki fungsi hidrologi yang lebih baik dibandingkan penutupan lainnya. Fungsi hutan sebagai pengatur tata air ini sangat ditentukan oleh kondisi tanah dan batuan (geologi) sebagai pembentuk lahan hutan.

70

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


b.

Hutan Berperan Sebagai Pengatur dan Penghasil Air (Cloud-Forests) Berbeda dengan hutan non-cloud forests yang memiliki laju evapotranspirasi tinggi, cloud forests memiliki laju evapotranspirasi yang relatif rendah. Laju evapotranspirasinya sekitar 308 mm hingga 392 mm per tahun (Brujnzeel, 1990). Dengan demikian, konversi cloud-forests menjadi penutupan bukan hutan akan meningkatkan ET. Cloud forest (Tropical Montane Cloud Forests) atau hutan berawan, sering pula disebut sebagai “hutan berlumut� (mossy forests). Hal ini berkaitan dengan posisi ketinggiannya dari permukaan laut. Hutan berlumut sering diselimuti oleh awan dan kabut secara menerus. Hal ini menyebabkan hutan memiliki biomas tinggi (daun, ranting, lumut, paku-pakuan, epifit, pohon).

Sumber: L.A. Bruijnzeel dan L.S. Hamilton, 2000.

Gambar 3.5 Hutan berlumut diindikasikan dengan banyaknya lumut yang tumbuh akibat tingginya massa udara yan g mengandung uap air.

Hutan berlumut ini berperan pula sebagai “penangkap� kabut (cloud stripping). Oleh karena itu, disebut pula dengan hutan berawan. Disebut

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

71


demikian ini karena hutan ini berperan sebagai inti kondensasi (codensation nucleus) yang mampu mencairkan awan dan kabut. Hasil pencairan ini akan diteteskan sebagai butir-butir air di lantai hutan. Proses ini dalam hidrologi dikenal dengan istilah intersepsi horizontal (horizontal interception). Berkaitan dengan itu, hutan ini memiliki peranan sangat besar bagi proses pengisian air daerah resapan di wilayah hulu. Besarnya pasokan air yang sampai dan diserap oleh lantai hutan (netprecipitation) hutan berawan ini diketahui jauh lebih besar dari curah hujan yang diterima di wilayah tersebut, yaitu lebih tinggi 20 persen pada musim hujan, dan bahkan lebih dari 100 persen pada musim kemarau. Oleh karena itu, hutan ini dapat diibaratkan sebagai "menara air" yang sanggup mensuplai air disaat kemarau panjang sekalipun, dalam kondisi ini hutan berperan sebagai pengatur tata air dan sekaligus penghasil atau penyimpan air. Tingginya peran pengaturan air dan besarnya kandungan spesies endemik, masih rendahnya pengetahuan tentang ekosistem ini dan tingginya ancaman dari hutan ini, membuat IUCN pada tahun 1995 bersepakat untuk mengampanyekan pelestarian hutan berawan yang bertajuk Decision Time for Tropical Montane Cloud Forests (Saatnya Bertindak Untuk Melestarikan Hutan Pegunungan Berawan). Hutan yang kini telah cukup langka ini masih dapat ditemukan di Hutan Lambusango. Wilayah hutan ini bernama Padang Kuku. Pohon-pohon di wilayah ini berukuran pendek dan berdaun tebal, hal ini berkaitan dengan sering terjadinya penutupan kabut. Lebih Jauh Mengenal Dampak Penggundulan Hutan Terhadap Hutan Sebagai penyedia dan Pengatur Air Hal buruk akan terjadi jika hutan ditebang habis, yakni akan terjadi erosi, baik pada lahan hutan dan dinding serta dasar sungai. Semuanya ini akan menyebabkan pendangkalan pada sungai. Pesisir pantai (estuari) akan terkena dampak pula karena lumpur yang berasal dari hutan terus terangkut sehingga air menjadi keruh dan terjadi pendangkalan. Berikut ini adalah ilustrasi perbandingan kondisi air tanah dan air permukaan tanah pada saat musim kemarau dan hujan di hutan terpelihara dan hutan yang gundul. Perhatikan kondisi aliran muka tanah (water table) dan volume air serta sedimentasi yang terbentuk di sungai.

72

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Gambar 3.6 Hutan terpelihara pada saat musim hujan.

Aliran muka air tanah

Gambar 3.7 Hutan terpelihara pada saat musim kemarau.

Aliran muka air tanah

Gambar 3.9 Hutan gundul pada saat musim kemarau.

Aliran muka air tanah

Sedimentasi

Aliran muka air tanah

Gambar 3.8 Hutan gundul pada saat musim hujan.

Sedimentasi

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

73


3. Hutan Sebagai Penyedia Udara Bersih

Berapa lama Anda dapat bertahan tanpa bernapas? Tidak lebih dari 2 menit bukan? Manusia tidak dapat hidup tanpa udara. Udara dibutuhkan untuk bernapas. Saat bernapas, manusia menghirup oksigen (O2) dan melepaskan karbon dioksida (CO2). Udara pernapasan ini dapat diperoleh di sekitar Anda. Namun, seiring dengan bertambahnya penduduk, penggunaan kendaraan, dan bahan bakar yang semakin meningkat, meningkatkan pula potensi pencemaran udara. Gas karbon dioksida (CO2) yang dikeluarkan manusia juga merupakan zat asam arang yang mencemari udara. Dapat dibayangkan, jika udara yang kita hirup telah tercemar cukup berat. Perasaan tidak nyaman untuk bernapas sering kita rasakan saat di dalam bus yang penuh sesak manusia. Hutan dapat menekan tingkat pencemaran udara. Polusi udara yang tidak menguntungkan makhluk hidup akan dinetralkan oleh pohonpohon yang hidup di hutan. Tumbuhan dalam proses hidupnya sangat memerlukan unsur-unsur yang tidak dibutuhkan bahkan beracun bagi manusia. Dalam proses fotosintesis, jutaan tumbuhan di hutan membutuhkan karbon dioksida untuk kemudian diolah dalam daun bersama air, dan unsur lain dengan bantuan sinar matahari. Pohon-pohon di hutan tersebut kemudian menghasilkan karbohidrat dan energi, sisa pembakarannya diC02 keluarkan berupa oksigen. Semakin C02 02 banyak karbon dioksida yang diserap oleh tumbuhan, oksigen yang dike02 luarkan akan berlimpah pula. 02 Udara bersih inilah yang sehat C02 untuk dihirup manusia. Gambar 3.10 Hutan Lambusango sebagai paru-paru Pulau Buton.

Perasaan sejuk dapat dirasakan saat berada di hutan, karena kita dapat bernapas lega saat menghirup udara bersih yang sehat dan ber-

74

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


limpah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika keberadaan Hutan Lambusango dikatakan sebagai paru-paru Pulau Buton.

4. Hutan Membantu Pengendalian Penyakit Perubahan ekosisitem hutan dapat secara langsung meningkatkan patogen penyebab penyakit pada manusia, seperti kolera, dan meningkatkan populasi organisme pembawa penyakit, seperti nyamuk malaria dan tikus. Pada ekosistem yang rusak, pertukaran penyakit antara binatang, khususnya jenis Primata dan manusia sangat dimungkinkan. Salah satu contoh kasus di Kalimantan, penularan penyakit dari manusia ke Primata dan sebaliknya sering terjadi ( Putro, 2004). Selain itu, penduduk di sekitar hutan yang rusak lebih rentan terkena penyakit malaria. Lubang-lubang di bebatuan akan lebih terbuka, dan kawasan air tergenang bisa lebih banyak. Kondisi ini sangat potensial bagi nyamuk malaria untuk dapat berkembang biak. Terlebih lagi keberadaan ikan di sungai sangat dipengaruhi oleh kondisi hutannya. Pada hutan yang rusak, populasi ikannya akan berkurang, beberapa organisme sungai penyebab penyakit pada manusia dapat berkembang dengan baik karena populasi ikan sebagai pemakan organisme yang tidak menguntungkan manusia berkurang pula.

Sumber: Microsoft Encarta, 2005.

Gambar 3.11 Nyamuk Anopheles sp. penyebab penyakit malaria.

Penduduk sering memanfaatkan air secara langsung dari sungai untuk mandi dan minum. Risiko terkena penyakit kulit akan dirasakan penduduk karena kualitas sungainya sudah menurun. Beberapa penduduk yang terbiasa langsung meminum air dari sungai bisa terkena diare karena organisme penyebab timbulnya penyakit ini dapat berkembang lebih banyak di sungai tersebut.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

75


5. Hutan Membantu Pengendalian Hama Banyak serangga hama dan penyakit pada tanaman budidaya dan ternak yang jenis dan kelimpahannya dikendalikan oleh kualitas ekosistem hutan di sekitarnya. Perubahan ekosistem hutan dapat meningkatkan hama dan penyakit tanaman budidaya dan ternak. Kerusakan ekosistem hutan dapat menyebabkan ledakan populasi serangga atau Mammalia yang mungkin menyerang tanaman budidaya yang ada di sekitar hutan. Contoh hewanhewan tersebut antara lain Belalang, Kumbang, Andoke, dan Babi Hutan. Kerusakan hutan akan mengusir banyak satwa termasuk Kelelawar Pemakan Serangga. Padahal, Kelelawar ini merupakan salah satu hewan yang berfungsi sebagai pengendali hama pertanian secara alami. Dalam satu malam, satu individu Kelelawar bisa memakan ratusan serangga yang melebihi berat tubuhnya. Terlebih lagi jika dalam satu koloni kelelawar. Mereka bisa menghabiskan serangga lebih dari satu ton. Bayangkan jika Kelelawar ini tidak ada di Pulau Buton, beberapa jenis serangga yang menjadi hama pertanian akan tumbuh lebih banyak dan menimbulkan banyak masalah bagi para petani. Penggunaan insektisida, selain memerlukan biaya tambahan, juga menimbulkan efek lain dengan turut matinya beberapa serangga yang menguntungkan pertanian. Sumber pangan penduduk dapat terkontaminasi oleh bahan kimia yang berbahaya bagi manusia.

6. Hutan Memiliki Nilai Estetika, Budaya, dan Spiritual Secara naluri, manusia akan merasa nyaman saat melihat keindahan pemandangan alam, seperti langit yang penuh bintang pada malam hari, pantai yang bersih, serta gunung yang hijau. Demikianlah manusia dibentuk oleh Sang Pencipta, mereka tidak dapat melepaskan mata batinnya dari unsur-unsur alamiah. Batin manusia akan merasa tenteram pula seandainya mendengar kicauan burung saling bersahutan di tepi hutan, gerakan dedaunan ditiup angin di antara pohon-pohon hijau rindang serta gemericik air yang mengalir di antara bebatuan sungai. Saat ini banyak orang kota yang stres dengan rutinitas kesehariannya, sebagai salah satu bentuk pengobatannya adalah mendekatkan diri dengan alam agar jiwanya lebih tenang. Beberapa jenis satwa dan tumbuhan di dalam hutan bisa menjadi sumber inspirasi bagi para seniman untuk menuangkan ekspresinya. Para

76

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


pelajar bisa mempelajari banyak aspek pengetahuan dalam hutan. Satwa seperti kancil dan buaya, bisa dijadikan sebagai sumber figur cerita anakanak (fable) di Indonesia. Setiap provinsi di Indonesia juga memiliki satwa kebanggaan yang bisa melambangkan identitas daerah masingmasing, termasuk Anoa yang menjadi identitas Sulawesi Tenggara.

Gambar 3.12 Logo Provinsi Sulawesi Tenggara. Sumber: www.menlh.go.id

Setiap agama mengajarkan agar kita bisa menyelaraskan hidup dengan lingkungan. Manusia tidak diperkenankan melakukan tindakan serakah menghabiskan sumber daya alam ini. Segala bentuk aksi yang berhubungan dalam pelestarian hutan, tentu akan mendapatkan ganjaran positif dari sang pencipta. Ajaran Islam sangat menaruh perhatian pada nilai-nilai ukuran seluruh ciptaan Tuhan. Islam secara tegas melarang umatnya untuk membuat kerusakan yang melampaui ukuran penciptaan di muka bumi.

C.

Bagaimanakah Mengevaluasi Hubungan Hulu–Hilir Dalam Pelestarian Hutan Lambusango?

Sebagaimana disadari bahwa pengelolaan sumber daya alam memerlukan batas wilayah agar kegiatan perencanaan, pelaksanaan kegiatan, serta monitoring, dan evaluasinya dapat dilakukan dengan batas yang nyata di lapangan. Pengelolaan sumber daya alam idealnya menggunakan batas ekosistem. Namun, penarikan batas tersebut tidak mudah, mengingat ekosistem bersifat terbuka. Dari komponen utama sumber daya alam, yaitu vegetasi, tanah, dan air, airlah yang dipandang memiliki pergerakan yang jelas dan mudah dibatasi wilayah pergerakannya dari hulu hingga ke muara (outlet). DAS (watershed, catchment area) atau daerah aliran sungai adalah wilayah yang memberikan kontribusi pada aliran sungai dan anak sungai.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

77


Batas DAS dapat ditentukan dengan menghubungkan titik-titik tertinggi di sekitar aliran sungai dan anak sungai (batas topografi), tempat air mulai mengalir pada saat terjadi hujan. Batas DAS merupakan batas alam dan tidak berkaitan dengan batas administratif. DAS dapat pula didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas topografi tempat air hujan yang jatuh di wilayah tersebut mengalir ke sungaisungai kecil, menuju sungai besar, dan ke sungai utama hingga mengalir ke danau atau laut. DAS merupakan suatu unit hidrologi, yang terbagi ke dalam beberapa puluh atau ratus sub-DAS. punggung bukit

anak sungai

sungai utama

Gambar 3.13 DAS yang tersusun atas beberapa anak sungai dan satu sungai utama.

Di antara berbagai unit pengelolaan pembangunan yang dikenal saat ini, DAS dapat dipandang sebagai unit pembangunan berwawasan lingkungan ( ecodevelopment unit) yang handal. Dengan menggunakan batas DAS, hubungan keterkaitan dan kebergantungan antara berbagai komponen ekosistem (vegetasi, tanah, dan air), antara wilayah hulu (upstream) dan hilir (down stream) dan antara dampak yang bersifat on-site (di tempat) dan off-site (di hilir) dapat dianalisis dengan mudah dan jelas. Sebagai ilustrasi, dengan menggunakan ‘kacamata’ DAS, pengaruh suatu jenis kegiatan pengelolaan sumber daya alam di bagian hulu sungai akan secara jelas terlihat dampaknya di bagian hilir. Misalnya, kerusakan Hutan Lambusango yang berada di DAS Winto bagian hulu akan

78

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


menyebabkan menurunnya debit sungai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Wining, kondisi ini membuat hanya satu dari tiga turbin di PLTA Wining yang dapat berputar. Akhirnya, pasokan listrik pun merosot. Dampak selanjutnya adalah seringnya terjadi pemadaman listrik di Kota Bau-Bau. Demikian pula jika Anda melihat DAS Wonco. Sungai Wonco berhulu di Hutan Lambusango dan mengalir ke kawasan pesawahan yang ada di Desa Karing-Karing. Kerusakan hutan menyebabkan debit sungai akan berkurang pada musim kemarau. Kondisi ini akan mengurangi pasokan air irigasi di kawasan pesawahan. Jelaslah bahwa keterkaitan antara hulu dan hilir akan begitu nampak bila kita menggunakan batas DAS sebagai dasar analisis kita. Pembangunan yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan batas DAS, saat ini dikenal juga dengan pembangunan yang menggunakan pendekatan landskap.

D.

Apakah Manfaat Daerah Bantaran Sungai (Riparian) di Hutan Lambusango

Di dalam DAS terdapat bagian penting yang disebut dengan bantaran sungai. Bantaran sungai merupakan lahan kiri dan kanan sungai. Di lahan tersebut tumbuh vegetasi riparian yang memiliki fungsi utama sebagai penyangga/sempadan aliran sungai (Sotir, 1990 dalam Waryono, 2005). Tumbuhan dan ekosistem bantaran sungai sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya permukaan air sungai, biasanya basah karena pengaruh air yang meresap dari sungai. Dalam usaha konservasi tingkat landskap keberadaan bantaran sungai harus diperhitungkan. Bantaran sungai biasanya relatif sempit, tetapi memerankan peranan penting dalam siklus hidup berbagai jenis kehidupan liar (Briggs, 1999 dalam Waryono, 2005). Di banyak tempat, khususnya lahan terbuka, bantaran sungai dapat berfungsi sebagai koridor binatang liar dalam berpindah tempat. Sepanjang bantaran sungai yang ditempati oleh banyak variasi jenis tumbuhan, sangat disukai oleh berbagai jenis serangga, burung, Amphibi, Reptil dan Mammalia untuk berpindah tempat. Banyak hewan liar lebih menyukai bantaran sungai saat berpindah tempat karena di daerah tersebut tersedia relatif lebih banyak sumber makanan dan merasa lebih terlindungi oleh vegetasi.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

79


mosaik bercak

matriks matriks

bercak bercak

matriks

koridor

Gambar 3.14 Bantaran sungai.

Sumber: Briggs, 2005.

Bantaran sungai, sebagai daerah perantara dataran yang lebih luas dari sungai itu sendiri, memiliki peran sangat penting bagi ekosistem sungai. Kualitas air sungai sangat ditentukan oleh kondisi bantaran sungai. Tumbuhan di bantaran sungai bisa berfungsi sebagai penyaring materi tanah, air, dan pengendali iklim mikro. Ikan, Invertebrata, dan organisme lain penghuni sungai dapat memperoleh manfaat dari material yang jatuh ke sungai.

E.

Apakah Permasalahan Konservasi di Hutan Lambusango?

Hutan Lambusango adalah paru-paru Pulau Buton dan warisan dunia yang harus dijaga kelestariannya. Keberadaanya saat ini telah mengalami ancaman dari tekanan penduduk. Permasalah penduduk yang utama di Pulau Buton adalah faktor ekonomi dan pendidikan. Banyak kalangan masyarakat yang tidak mengetahui dan menyadari fungsi hutan secara ekologis bagi manusia. Banyak di antara mereka memanfaatkan hutan hanya untuk mempertahankan hidupnya semata. Berikut ini adalah gangguan yang terjadi di Hutan Lambusango.

1. Pengrusakan dan Penurunan Luas Hutan di Pulau Buton

Berdasarkan hasil analisis kanopi hutan di Pulau Buton dari foto satelit oleh Carlisle (2005), diketahui hutan telah mengalami penyusutan dengan sangat cepat. Perhatikan gambar berikut.

80

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


a.

b.

Sumber: Carlisle, 2005.

Keterangan hutan

awan

bukan hutan

bayangan

air

tidak ada data

Gambar 3.15 Klasifikasi area hutan di Pulau Buton berdasarkan foto satelit. a. 29 Desember 1991 b. 16 Oktober 2003

Penyusutan hutan paling banyak terjadi di Pulau Buton bagian selatan, khususnya di Kota Bau-Bau dan sekitarnya. Hutan Wisata Tirta Rimbalah yang paling merasakan imbasnya karena paling dekat dengan pusat kota. Saat ini kondisi hutannya sudah rusak dan berubah fungsi menjadi lahan pemukiman dan perkebunan. Hutan dekat pusat kota Bau-Bau lainnya adalah Hutan Lambusango. Kerusakan yang terjadi di Hutan Lambusango

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

81


akan berakibat negatif terhadap kehidupan masyarakat sekitar, termasuk kehidupan masyarakat Bau-Bau. Tabel 3.1 Luas Kawasan Hutan di Pulau Buton dalam ha dan % Luas Kawasan Hutan (ha) Hutan %

1991

2002

2004

192,047

158,671

136,512

70,2%

58,0%

49,9% Sumber: Carlisle, 2005.

Persentase Luas Hutan

Dalam kurun waktu 9 tahun (1991–2002) luas hutan di Pulau Buton menurun sebanyak 12,2%. Dua tahun berikutnya (2002–2004) luas kawasan hutan menurun kembali sebanyak 8,1%. Penurunan ini diduga sebagian besar disebabkan oleh penebangan liar dan perubahan hutan menjadi lahan perkebunan dan pertanian. Hal ini berkaitan dengan terus bertambahnya penduduk di Pulau Buton yang berdampak pada tingginya tingkat kebutuhan lahan. Keadaan semakin memburuk ketika pada tahun 1999–2001 terjadi eksodus besar-besaran penduduk dari Pulau Maluku ke Pulau Buton. Hal ini menyebabkan semakin tingginya kebutuhan lahan baru sebagai tempat tinggal dan berkebun. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1980

1990

2000 Tahun

2010

2020

Gambar 3.16 Grafik persentase penurunan luas kawasan hutan di Pulau Buton hingga November 2004.

Padahal, idealnya suatu pulau membutuhkan luas hutan sekitar 30%. Tentunya, Pulau Buton sebagai pulau karang memerlukan luas hutan yang lebih dari 30%. Hutan tersebut berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam. Jika penyusutan luas kawasan hutan di Pulau Buton ini terus terjadi, dapat dipastikan pengaruh hilangnya hutan di Pulau Buton lambat laun akan dirasakan penduduk.

82

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


I N F O Besaran kehilangan hutan di Indonesia selama periode 1997-2004 diperkirakan sebesar 4–7 kali luas lapangan bola per menit atau sebanding dengan 2–3,8 juta ha per tahun. Kalau setiap hektar hutan hanya menghasilkan 250 m3 kayu dan harganya Rp800.000,–/m3 , kehilangan tersebut sebanding dengan Rp400–760 triliun per tahun. Kehilangan ekonomi yang sesungguhnya dapat dipastikan jauh lebih besar daripada itu (Putro, 2004).

a.

Penyebab Pengrusakan dan Penurunan Luas Wilayah Hutan di Hutan Lambusango Dari berbagai tipe hutan yang ada di Indonesia, hutan dataran rendah menyimpan tingkat keragaman hayati yang tinggi. Namun demikian, seiring bertambahnya penduduk, hutan dataran rendah sudah sangat sedikit yang tersisa di Sulawesi. Diperkirakan tipe hutan dataran rendah akan hilang dari Sumatra pada tahun 2005, kemudian di Kalimantan pada tahun 2010 (Carlisle, 2005). Saat ini, Hutan Lambusango merupakan bagian penting hutan dataran rendah yang tersisa di Sulawesi. Sebagian besar hutan dataran rendah di Sulawesi sudah hancur karena penjarahan dan berubah menjadi pemukiman penduduk. Beruntunglah hutan dataran rendah di Pulau Buton ini masih dapat dipertahankan hingga sekarang. Kondisi topografi hutannya yang bergunung-gunung dan relatif terjal menjadikan kawasan Hutan Lambusango agak sulit dijarah secara besar-besaran. Namun demikian, ancaman yang kini terjadi terus berlangsung dan tidak bisa dianggap ringan. Berikut ini adalah penyebab rusaknya dan menurunnya luas wilayah Hutan Lambusango. 1) Pembalakan Kayu Penebangan kayu di Hutan Lambusango umumnya dilakukan dengan sistem tebang pilih (selective logging). Artinya, hanya pohon dengan diameter besar saja yang diambil. Proses pembalakannya dilakukan secara semi–manual, yakni penebangan dan penggergajian dilakukan dengan gergaji rantai (chainsaw). Kayu yang ditebang digergaji untuk dijadikan balok-balok dan papan-papan berukuran sedang. Selanjutnya, kayu olahan tersebut dipikul oleh manusia untuk dibawa keluar. Penebangan dengan sistem ini apabila dilakukan secara terkontrol, yaitu hanya

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

83


dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu masyarakat sekitar hutan, sebetulnya tidak terlalu bermasalah. Hal ini mengingat sumber daya hutan bersifat dapat diperbaharui. Selain itu, hutan memang diciptakan untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Sumber: Manurung, 2005.

Gambar 3.17 Penyitaan balok-balok kayu hasil penebangan gelap di Hutan Lambusango.

Akan tetapi, kini penebangan kayu di Hutan Lambusango telah dilakukan secara tidak terkendali, dan sebagian besar dilakukan untuk kepentingan bisnis. Hanya sedikit dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat sekitar hutan. Kayu Hutan Lambusango digunakan untuk mensuplai wilayah di luar Pulau Buton, seperti Kepulauan Wakatobi, bahkan hingga ke pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur. Kondisi ini menyebabkan tingginya kerusakan ekosistem hutan Lambusango selama 10 tahun terakhir. Jika laju penebangan hutan saat ini tidak dapat dikendalikan, Hutan Lambusango yang mempunyai luas 65.000 ha akan rusak parah. Kemungkinan yang tersisa hanya hutan-hutan kecil yang berada di beberapa bukit terjal yang sulit dijangkau manusia. 2) Pemungutan Rotan Pemungutan rotan seharusnya tidak menimbulkan dampak yang begitu berarti bagi kerusakan hutan. Hal ini mengingat rotan merupakan sumber daya hutan bukan kayu. Dengan demikian, pemungutan rotan seharusnya tidak akan menggangu keberadaan pohon sebagai penopang

84

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


utama kehidupan ekosistem hutan. Namun, jika kegiatan yang dilakukan di hutan ini dilakukan secara berlebihan, tentunya akan merusak ekosistem hutan juga. Saat ini kegiatan pemungutan rotan di Hutan Lambusango telah dilakukan secara berlebihan. Kini hampir seluruh Hutan Lambusango telah dijelajahi oleh para pemungut rotan. Hal ini berkaitan dengan semakin menipisnya potensi rotan. Akibatnya, para pemungut rotan bukan hanya sekadar ‘memungut’, namun lebih tepatnya ‘berburu’ rotan. Mereka tidak berburu rotan di hutan yang berstatus sebagai hutan produksi, hutan produksi terbatas, maupun hutan lindung saja, melainkan telah jauh merambah ke hutan konservasi yang berada di jantung Hutan Lambusango. Padahal seluruh sumber daya hutan di wilayah ini dalam status perlindungan secara total (protected area). Namun, apa mau dikata, rotan yang siap ditebang sudah jarang ditemukan di hutan yang berada relatif dekat dengan pinggir jalan angkutan, melainkan rata-rata berjarak antara 15–20 km dari pinggir jalan. Semakin menipisnya potensi rotan siap tebang ini, memaksa para pemungut rotan mengambil rotan yang masih muda atau belum masak tebang. Kondisi ini membuat semakin rusaknya tegakan rotan dan sulitnya rotan mempertahankan jenisnya. Jenis-jenis rotan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti Rotan Batang dan Lambang, kini telah semakin sulit ditemukan. Akibatnya, perolehan rotan menjadi sedikit, namun waktu pemungutannya menjadi lebih lama. Kondisi ini sering membuat para pemungut rotan menjadi kurang sabar. Demi ke mudahan peng ambilan rotan, rotan yang terikat di pohon dan sulit diambil akan ditebang pohonnya. Apabila kondisi ini berlangsung terus, Sumber: Tim Coles, 2005. pemungutan rotan juga akan Gambar 3.18 berdampak pada kerusakan Pemungutan rotan di Hutan Lambusango tegakkan hutan. oleh penduduk setempat.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

85


3) Pembukaan Lahan untuk Pertanian Ada 25 desa yang wilayahnya langsung berbatasan dengan Hutan Lambusango. Lahan di sekitar hutan ini, sampai akhir 2004, masih menjadi sasaran wilayah program transmigrasi. Antara 1999–2002, ratusan ribu hektare kawasan hutan di Kecamatan Lasalimu Selatan ditebang untuk dialihfungsikan menjadi pemukiman, untuk menampung para pengungsi dari Ambon. Kini secara perlahan, hampir seluruh desa di sekitar kawasan hutan memanfaatkan lahan hutan negara untuk memperluas daerah pertaniannya. Hal ini disebabkan karena kurang suburnya lahan pertanian mereka, rendahnya teknologi pertanian, juga oleh ketidak-jelasan batas kawasan hutan.

Gambar 3.19 Kawasan hutan yang dijadikan daerah pertanian.

Sumber: Opwall, 2005.

4) Penambangan Aspal Ada dua kompleks pertambangan aspal yang cukup besar yang berbatasan dan bahkan disinyalir sebagian kini sudah merambah kawasan konservasi. Pertama adalah kompleks pertambangan Kabongka (sebagian izin pertambangan di wilayah ini disinyalir telah masuk kawasan konservasi) dan kedua adalah kompleks pertambangan dekat Desa Lawele yang letaknya berdekatan dengan pelabuhan pengapalan aspal di Nambo. Penambangan aspal di wilayah ini dilakukan secara open-cast (membongkar permukaan lahan). Artinya, seluruh penutupan vegetasi

86

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


yang berada di permukaan tanah habis ditebang. Pembukaan permukaan lahannya dilakukan dengan menggunakan alat berat untuk mengeruk kandungan aspal. Metode penambangan semacam ini jelas berdampak pada kerusakan hutan secara total. Penebangan kayu yang dilakukan sebagai bagian dari proses penambangan juga akan mengundang terjadinya pembalakan secara ilegal, baik di wilayah yang memiliki izin penambangan maupun wilayah di sekitarnya. Pulau Buton memang dikenal memiliki kandungan aspal yang tinggi dan berkualitas. Namun, apabila kandungan aspal di bawah permukaan Hutan Lambusango terus digali, kesempatan bagi Hutan Lambusango untuk mempertahankan eksistensinya menjadi semakin kecil.

Gambar 3.20 Penambangan terbuka aspal di Pulau Buton.

Sumber: PKHL, 2005.

5) Perburuan Satwa Tingkat perburuan perdagangan satwa di Pulau Buton sebenarnya tidak terlalu marak dibandingkan kasus yang terjadi di beberapa pulau besar lain seperti Jawa, Papua, dan Maluku. Di pulau ini tidak ada pasar yang khusus menjual satwa-satwa liar. Namun demikian, masih sering dijumpai masyarakat di Pulau Buton berburu satwa dan memeliharanya dalam kandang. Satwa-satwa seperti Julang Sulawesi, burung elang, burung paruh bengkok (kelompok Kakatua dan Betet), Pergam (kelompok Merpati Hutan), dan Andoke sering dijumpai terkurung dalam kandang di rumah-rumah penduduk.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

87


Alasan penduduk di Pulau Buton berburu satwa liar di hutan antara lain adalah untuk kesenangan bisa memiliki hewan piaraan di rumah serta faktor kebutuhan untuk memenuhi konsumsi makanan. Satwa yang paling sering diburu untuk dijadikan bahan makan antara lain, Ayam Hutan, Babi Liar (terbatas oleh Suku Bali), dan Anoa. Perburuan Anoa sampai saat ini sangat memprihatinkan. Anoa sebagai flagship spesies Provinsi Sumber: Opwall, 2005. Sulawesi Tenggara sampai saat ini masih diburu Gambar 3.21 untuk dijual dagingnya. Di beberapa pasar di Sisa potongan kepala Anoa hasil perburuan liar Kabupaten Buton, masih sering dijumpai pedadi Hutan Lambusango. gang yang menjajakan daging Anoa. Padahal, harga daging Anoa dipasaran umumnya lebih murah daripada daging Sapi. Daging Anoa dijual seharga Rp20.000–Rp25.000 per kg, lebih murah daripada daging Sapi yang saat ini harganya Rp35.000–Rp40.000 per kg. Jika pemanfaatan Anoa diasumsikan 24 ekor per tahun, diperkirakan dalam 20 tahun mendatang populasi Anoa di Hutan Lambusango akan musnah. 600

Laju Kepunahan Anoa yang Konstan

Jumlah Rata-Rata Laju Kepunahan

500

laju kepunahan 3 individu laju kepunahan 8 individu

400

laju kepunahan 9 individu 300

laju kepunahan 12 individu laju kepunahan 18 individu

200

laju kepunahan 24 individu 100

0 20

Tahun

40

50

Sumber: Wheller, 2005.

Gambar 3.22 Grafik laju kepunahan Anoa berdasarkan rata-rata kepunahan per tahun.

88

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Pemerintah, melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1990, jelas-jelas telah melarang perburuan satwa yang dilindungi. Kendala utama yang dijumpai di lapangan adalah masyarakat belum sepenuhnya mengetahui jenis-jenis satwa yang dilindungi. Selain itu, upaya penegakkan hukum masih lemah. Oleh karena itu, perburuan satwa di Hutan Lambusango masih berlanjut terus hingga sekarang.

b. Dampak Kerusakan dan Penurunan Luas Hutan Lambusango Berbagai akibat dari pengrusakan dan penurunan luas hutan dapat terjadi. Berikut ini adalah beberapa contoh akibat pengrusakan dan penurunan luas Hutan Lambusango. 1) Hilangnya Habitat Satwa di Hutan Lambusango Kerusakan hutan membuat runtuhnya seluruh ekosistem dan hilangnya habitat bagi hewan-hewan. Hilangnya habitat ini akan semakin terasa oleh kita saat hewan-hewan kebanggaan Sulawesi Tenggara, seperti Anoa (Bubalus sp.), Kuskus (Ailurops ursinus), Burung Julang Sulawesi (Aceros cassidix), Andoke (Macaca ochreata brunescens), dan Tangkasi (Tarsius sp.) mulai terancam punah. Di lain pihak berbagai hewan yang selama ini menggantungkan hidup dari hutan seperti babi, akan menjadi hama pertanian yang semakin mengganas. 2) Terbentuknya Jalur-Jalur Jalan di Hutan Lambusango Adanya aktivitas masyarakat di dalam hutan menyebabkan terbentuknya jalur-jalur jalan. Baik jalan untuk mencari rotan, pembalakan hutan, maupun perburuan hewan. Dengan adanya jalur-jalur jalan ini membuat Hutan Lambusango memiliki kemudahan yang sangat tinggi bagi masyarakat, baik untuk memungut rotan maupun menebang kayu. Namun, sebaliknya akan membuat hewan semakin terdesak dan kehilangan habitat alaminya. Dengan kata lain, Hutan Lambusango tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk berlindung bagi beberapa hewan yang sensitif terhadap kehadiran manusia. Mengingat hampir seluruh hutan telah dipenuhi oleh jalur-jalur jalan rotan. Jalur-jalur jalan ini, di setiap jarak tertentu semakin melebar, khususnya di tempat-tempat pengumpulan rotan, atau pada tempat-tempat peristirahatan para perotan. Keberadaan jalur-jalur jalan rotan ini pada musim penghujan akan menjadi semacam ‘selokan’ air, yang mengalirkan aliran permukaan (sur-

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

89


face runoff) lantai hutan ke sungai-sungai kecil. Hal ini dapat mengurangi fungsi hutan sebagai penyimpan air dan pengendali banjir. 3) Fragmentasi Habitat Fragmentasi hutan merupakan fenomena terpecah-pecahnya ekosistem hutan menjadi luasan yang lebih kecil sehingga menghambat pergerakan satwa antarblok-blok hutan yang terpecah belah. Terpecah belahnya ekosistem hutan, sering terjadi akibat pembalakan hutan, pembukaan hutan untuk areal pertanian, juga pembangunan jalan-jalan yang memotong ekosistem hutan. Gambar berikut merupakan contoh hutan yang terfragmentasi di Hutan dataran rendah di blok Way Sekampung dan Way Seputih Bukit Barisan Selatan, Sumatra.

Sumber: Purwanto dan Hadiprakasa, 2004.

Gambar 3.23 Hutan pada tahun 1970-an. Saat itu, hutan di blok tersebut masih relatif baik sehingga beberapa Mammalia dan Aves dapat bebas bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain.

Gambar 3.24 Hutan pada tahun 2002-an. Saat itu hutan dataran rendah telah terfragmentasi. Hal ini menyebabkan beberapa jenis satwa bergerak sangat terbatas. Satwa-satwa tersebut hanya dapat hidup berkompetisi pada ruang yang sempit dengan sumber makanan yang lebih terbatas pula.

Fragmentasi dapat mengisolasi pergerakan hewan dari kedua sisi hutan yang terpisah. Pembuatan jalur jalan juga menyebabkan bertambah luasnya daerah transisi (ecotone) dan meluasnya efek tepi (edge effect) hewan. Terbatasnya pergerakan hewan, khususnya jenis-jenis Mammalia dan Primata, mendorong proses perkawinan keluarga (inbreeding) menjadi semakin tinggi yang berakibat semakin rentannya kualitas genetis suatu jenis hayati. Salah satu contoh akibat fragmentasi yang terjadi di Hutan Lambusango adalah kemerosotan populasi Anoa. Kemerosotan populasi

90

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Anoa ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya fragmentasi hutan, selain akibat dari penyusutan kualitas hutan dan tingginya aktivitas manusia di dalam hutan. Anoa adalah satwa yang sangat sensitif dan peka terhadap kehadiran manusia. Hewan ini menyukai hutan-hutan primer yang tidak pernah didatangi manusia. Oleh karena itu, ketika hutan-hutan mulai dirambah manusia untuk lahan pertanian, ditebang pohon dan rotannya, Anoa semakin terdesak dan semakin masuk ke hutan atau ke bukitbukit yang jarang didatangi manusia. Akibatnya, habitat mereka menjadi semakin sempit yang berdampak pula pada semakin terbatasnya sumber makanan. Semakin terisolirnya habitat Anoa berdampak pada merosotnya keragaman genetik dan meningkatnya risiko kepunahan populasi. 4) Berkurangnya Persediaan Air Tawar Dampak lainnya yang akan terjadi bagi masyarakat Pulau Buton adalah berkurangnya persediaan air tawar. Salah satu contoh nyata adalah di Kepulauan Wakatobi, dekat Pulau Buton, terutama daerah Binongko dan Ronduma. Di daerah ini, air tawar untuk minum sangat sulit untuk didapatkan. Hal ini karena luas hutan di Kepulauan Wakatobi sudah sangat sempit. Air hujan mengalir begitu saja tanpa adanya saringan melalui hutan. Walaupun dibuat sumur, air tawar masih relatif sulit untuk didapatkan. Air laut di sekeliling pulau juga dapat dengan mudah mengintrusi ke pulau karang ini. Hal ini selain disebabkan oleh kosongnya cadangan air tanah, juga hilangnya hutan bakau sebagai barier air laut. Kondisi serupa bisa saja terjadi di Pulau Buton apabila kerusakan hutan terus dibiarkan. Mengingat kepulauan Wakatobi dan Pulau Buton memiliki kesamaan geologi.

Aliran muka air tanah hutan terpelihara Aliran muka air tanah hutan gundul

instrusi air laut

Gambar 3.25 Perbedaan aliran muka air laut pada kondisi sebelum hutan ditebang dan kondisi setelah penebangan.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

91


5) Dampak Global Kerusakan dan Penurunan Luas Hutan dapat Menimbulkan Efek Rumah Kaca Seperti yang telah Anda ketahui, tumbuhan hijau menyerap karbon dioksida untuk proses fotosintesis. Hutan yang tersusun atas berbagai jenis pohon dapat menyerap karbon dioksida lebih banyak daripada lahan rumput atau lahan dengan tipe vegetasi lain. Oleh karena itu, pengalihan fungsi hutan yang menghilangkan komponen vegetasinya dapat menimbulkan kenaikan kandungan karbon dioksida di udara. Gas CO2 bersama beberapa gas lain seperti metana bergabung dengan uap air membentuk suatu lapisan yang menyelubungi bumi, dikenal dengan atmosfer. Atmosfer ini berperan dalam mempertahankan kestabilan kehangatan suhu Bumi. Tanpa adanya atmosfer, suhu Bumi akan berkisar -40째C. Efek yang ditimbulkan lapisan ini mirip dengan ketika kita berada di dalam rumah kaca. Oleh karena itu, disebut juga efek rumah kaca. Cahaya

Penambahan CO2

Pengurangan CO2 dengan fotosintesis dapat menurunkan efek rumah kaca

CO2

CO2

Efek rumah kaca Panas

CO2

Gambar 3.26 Pengaruh karbon dioksida terhadap efek rumah kaca.

Bagaimana pengaruh karbon dioksida terhadap efek rumah kaca? Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut. Pada kondisi normal, sebagian panas yang dipancarkan matahari akan diserap oleh permukaan bumi, sebagian lagi akan dikeluarkan dan beberapa darinya akan dipantulkan kembali ke Bumi. Dengan demikian, kehangatan suhu bumi dapat stabil. Namun, dalam kondisi lingkungan yang buruk seperti tingginya penebangan hutan dan tingginya

92

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


pembakaran bahan bakar fosil, akan meningkatan kandungan CO2 . Kondisi ini akan meningkatkan efek dari rumah kaca tersebut. Tingginya kandungan CO2 akan membuat selubung bumi menjadi lebih pekat. Akibatnya, panas matahari akan lebih banyak terperangkap di permukaan bumi. Suhu permukaan bumi pun akan meningkat sehingga dikenal istilah pemanasan global. Akibat lainnya adalah es abadi pada kedua kutub bumi akan mencair secara perlahan. Selanjutnya, pencairan es ini bisa menyebabkan permukaan laut naik. Sekarang permukaan air laut terus naik dengan kisaran 0,1– 0,25 cm/tahun. Pencairan kutub ini dapat terus meningkat dalam beberapa dasawarsa mendatang. Berikut ini adalah dampak yang mungkin ditimbulkan akibat dari pemanasan global. a. Memacu pertumbuhan dan perkembangan organisme patogen dan penular penyakit. b. Memacu perubahan iklim. Curah hujan di sebagian wilayah menurun, sedang di wilayah lain meningkat. Selain itu, frekuensi dan intensitas anomali iklim (kemarau panjang) serta frekuensi timbulnya badai semakin meningkat. c. Volume air laut bertambah (karena mencairnya es abadi di pegunungan tinggi, dan di kutub utara serta selatan). d. Memacu kenaikan muka air laut (karena memuainya volume air laut) sehingga memacu laju erosi pantai (abrasi), instrusi air laut, banjir, dan tenggelamnya pulau-pulau kecil. e. Punahnya berbagai jenis hayati, khususnya untuk jenis-jenis kehidupan liar yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu udara.

F.

Mengapa Hutan Lambusango Harus Dilestarikan?

Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa Hutan Lambusango harus dilestarikan. Hutan Lambusango memiliki tingkat keragaman dan endemisitas yang cukup tinggi sehingga merupakan warisan dunia yang perlu dilestarikan. Berbagai satwa hanya dapat ditemukan di Pulau Buton ini. Anoa sebagai lambang Provinsi Sulawesi Tenggara berada di hutan ini. Kondisi ini menjadikan Hutan Lambusango sebagai magnet turis asing yang dapat memberikan devisa bagi pemerintahan setempat.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

93


Hutan yang tumbuh di pulau karang ini memiliki daya lenting yang rendah (low resillience) sehingga jika hutan telah rusak akan sulit untuk pulih (recovery) kembali. Hal ini karena pohon-pohon yang ada di hutan sekarang pun telah berkompetisi dengan keras untuk terus bertahan hidup. Akar-akar pohon tersebut telah berusaha untuk tumbuh mencari celah-celah di bebatuan karang untuk mengambil nutrisi dan air di dalam tanah. Di Kota Bau-Bau, pada tahun 2005, sering terjadi pemadaman lampu secara bergiliran. Salah satu penyebab dilakukan pergiliran penggunaan listrik ini karena debit air di PLTA Winning sudah mulai berkurang. Turbin pemutar air tidak dapat berputar dengan maksimal. Saat musim kemarau tiba beberapa penduduk sekitar Bau-Bau terpaksa harus membeli air tawar untuk kebutuhan hidupnya. Hal ini karena persediaan air tawar yang layak untuk diminum penduduk sudah semakin terbatas. Hutan Tirta Rimba (488 ha), sebagai hutan konservasi yang paling dekat ke Bau-bau, tadinya diharapkan dapat membantu pasokan air tawar ke kota ini. Namun, kondisinya sekarang sudah sangat memprihatinkan, hutannya sudah hancur akibat berubah fungsi menjadi lahan pemukiman dan perkebunan. Air terjun indah di Tirta Rimba yang tadinya bisa dilihat indah sampai tahun 1999 oleh para wisatawan, sekarang sudah tidak tampak lagi. Berdasarkan uraian di atas, tampaklah jelas mengapa Hutan Lambusango harus dilestarikan. Keberadaan Hutan Lambusango ini berpengaruh terhadap kehidupan di Pulau Buton, baik bagi manusia maupun bagi makhluk hidup lainnya.

Gambar 3.27 Air terjun di Hutan Lambusango. Sumber: Milsom, 2005.

94

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


4 Bagaimanakah Cara Melestarikan Hutan Lambusango? Pada bab ini Anda akan kami ajak untuk mengetahui cara melestarikan kawasan konservasi, khususnya di Hutan Lambusango. Berbagai informasi mengenai pentingnya pendekatan beberapa bidang dalam menyukseskan program konservasi, akan Anda dapatkan. Bidangbidang tersebut adalah: ? penelitian; ? pendidikan; ? penyadartahuan masyarakat; ? pengembangan ekonomi penduduk sekitar kawasan konservasi; ? penegakan hukum. Selain itu, Anda akan kami ajak untuk ikut serta dalam Program Konservasi dengan melakukan aksi sesuai kemampuan Anda.

95


Pelestarian Hutan Lambusango harus memiliki pengertian yang meliputi pelestarian ekosistem isi hutan. Usaha pelestarian hutan tidak bisa hanya dilihat pada salah satu aspek saja, misalnya Anoa. Masing-masing komponen dalam hutan terkait satu sama lain dan saling membutuhkan. Untuk melestarikan Anoa, tidak cukup hanya melindungi satwa tersebut dari perburuan. Lebih dari itu, kita harus pula melestarikan kondisi habitatnya. Usaha konservasi Hutan Lambusango harus dilakukan secara terintegrasi sebagai upaya penyelesaian permasalahan dengan penduduk yang ada di Pulau Buton. Secara alami, Hutan Lambusango sebenarnya akan baik-baik saja jika tidak ada campur tangan manusia. Tumbuhan dan hewan akan tumbuh, berkembang, dan berkompetisi secara alami. Namun, kondisi ini tentu tidak mungkin terus statis karena penduduk di Pulau Buton akan terus bertambah. Kebutuhan penduduk akan semakin meningkat, termasuk kebutuhan akan lahan dan mencari sumber daya alam dari dalam hutan. Penelitian, pendidikan, penyadartahuan masyarakat, pengembangan ekonomi penduduk, dan penegakkan hukum merupakan hal-hal pokok yang harus segera dilakukan secara simultan untuk menyelamatkan ekosistem Hutan Lambusango.

A.

Bagaimana Penelitian Memberikan Kontribusi Bagi Usaha Konservasi?

Penelitian merupakan langkah awal untuk melakukan aksi konservasi di Hutan Lambusango. Hasil penelitian di lapangan akan menjadi salah satu bahan acuan untuk melakukan tindak lanjut usaha konservasi. Tanpa melalui penelitian terlebih dahulu, akan sulit untuk merancang strategi efektif menyelamatkan Hutan Lambusango. Melalui proyek penelitian, secara tidak langsung akan mengajak orang untuk berhenti menebang hutan. Contoh paling nyata, ada di kawasan Hutan Lambusango Blok Kakenauwe. Di blok hutan tersebut paling banyak dikunjungi turis yang bermaksud mengadakan wisata ilmiah dan penelitian. Selama proses penelitian ada suatu interaksi antara para ilmuwan dan masyarakat lokal. Dalam kesempatan itu, para peneliti dan wisatawan bisa memperkenalkan lebih jauh

96

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


keragaman hayati dan arti penting Hutan Lambusango untuk kelestarian hidup. Buktinya, sampai 2005 kondisi Hutan Lambusango Blok Kakenauwe masih terjaga cukup baik.

Sumber: www.opwal.com.

Gambar 4.1 Melalui penelitian, program aksi konservasi dapat diterapkan.

B.

Bagaimana Pendidikan Memberikan Kontribusi Bagi Usaha Konservasi?

Pendidikan adalah hal penting yang harus terus ditingkatkan. Melalui pendidikan, penduduk di Pulau Buton akan mendapatkan keterampilan yang lebih dan dapat berkompetisi antarpenduduk sehingga mereka memiliki beberapa alternatif cara untuk memperoleh nafkah. Penduduk pun tidak harus menebang kayu untuk mendapatkan uang. Namun, pendidikan saja tidak akan cukup, banyak para pejabat dengan pendidikan tinggi justru turut memperparah kerusakan hutan. Dengan ilmu, seseorang bisa saja melakukan hal-hal yang justru lebih cepat memperparah hutan karena mempunyai kekuatan politik, kekuasaan, dan sarana.

Bagaimanakah Cara Melestarikan Hutan Lambusango?

97


Kiat penting untuk membangun sebuah generasi yang sadar akan kelestarian hutan adalah dalam kegiatan pendidikan yang ditujukan kepada para pelajar sekolah. Mereka masih mempunyai cita-cita untuk membangun kehidupan yang baik pada masa mendatang. Mereka merupakan calon pemimpin di pemerintahan dan belum terikat langsung untuk mengambil hasil hutan untuk kebutuhan hidupnya.

Sumber: Milson, 2005.

Gambar 4.2 Melalui pendidikan, program aksi konservasi dapat diterapkan.

Oleh karena itu, kesadaran mengenai pentingnya hukum diharapkan dapat tertanam dalam diri penduduk sekitar kawasan konsevasi. Pelajar dan mahasiswa sebagai generasi mendatang (next generation) akan mempunyai kesadaran lebih awal untuk tidak merusak hutannya. Mereka akan berusaha untuk memikirkan alternatif lain guna mendapatkan penghasilan hidup saat dewasa tanpa harus merusak hutan.

C.

Bagaimana Penyadartahuan Masyarakat Memberikan Kontribusi Bagi Usaha Konservasi?

Penduduk juga harus tahu dan sadar akan pentingnya hutan bagi kehidupan. Permasalahan lingkungan mungkin tidak dapat dirasakan dalam waktu dekat, tetapi akan dirasakan pada waktu yang akan datang,

98

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


20–30 tahun mendatang. Sesaat setelah terkena dampak, baru kita menyadari akan kesalahan yang sudah dilakukan. Bencana alam dan penyesalan penduduk Pulau Buton akan dirasakan oleh generasi mendatang seandainya penyelamatan hutan tidak segera dilakukan. Dalam catatan yang dikumpulkan KLH (2004 dalam Putro 2004) menunjukkan telah terjadi kerugian material dan moril akibat kerusakan hutan. Selama periode 2003 telah terjadi 366 kali bencana banjir di 136 kabupaten di 26 provinsi serta 111 kali bencana tanah longsor di 48 kabupaten 13 provinsi. Dalam tahun yang sama juga tercatat 78 bencana kekeringan di 36 kabupaten di 11 provinsi. Jumlah lahan sawah yang terendam banjir dan gagal panen mencapai 263.071 ha dan sawah puso mencapai 66.838 ha, tersebar di 19 provinsi.

Sumber: Singer, 2005.

Gambar 4.3 Relawan Opwall sedang menikmati keindahan Hutan Lambusango.

Dampak kerusakan hutan telah dirasakan pula oleh para relawan ( volunteer) Operation Wallacea. Para relawan peserta ekspedisi Operation Wallacea, sejak 1995 hingga sekarang selalu datang ke Pulau Buton untuk melihat dan merasakan suatu surga kehidupan liar di Pulau Buton yang disebut Hutan Lambusango. Relawan Opwall tidak bisa melihat keindahan

Bagaimanakah Cara Melestarikan Hutan Lambusango?

99


alam di negerinya, seperti halnya di Hutan Lambusango. Hal ini karena hutan di negaranya sudah hancur sekitar 1.000 tahun yang lalu. Hutanhutan di Eropa telah ditebang habis-habisan saat terjadi revolusi industri. Beberapa jenis satwa yang dulu menjadi kebanggaan mereka sudah punah. Para relawan ini datang ke Hutan Lambusango hanya untuk menikmati sisa-sisa hutan alam di dunia ini agar terus dijaga kelestariannya. Selain itu, para relawan pun meyakinkan pentingnya hutan tropis, termasuk Hutan Lambusango sebagai bagian dari paru-paru dunia. Artinya, Hutan Lambusango pun ikut menyumbangkan oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup di Bumi ini, dan ikut memperlambat kerusakan lapisan ozon. Kerusakan pada hutan tropis, termasuk Hutan Lambusango merupakan kesedihan dan kerugian bagi dunia internasional.

D.

Bagaimana Pengaruh Pengembangan Ekonomi Penduduk Sekitar Hutan Dengan Usaha Konservasi?

Pengembangan ekonomi penduduk di sekitar kawasan konservasi merupakan sisi penting lain yang harus diperhatikan. Hutan tidak bisa dijaga begitu saja, tanpa memperhatikan keberadaan manusia di sekitarnya. Bagaimana pun juga masyarakat sekitar hutan perlu bertahan hidup. Untuk mempertahankan hidupnya berbagai cara tentu akan dilakukan, termasuk menebang kayu secara ilegal jika memang tidak ada pilihan untuk usaha lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat dengan cara pengembangan kemampuan masyarakat untuk mencari alternatif pendapatan, selain dari hutan. Misalnya, melakukan intensifikasi dan diversifikasi pada lahan yang sudah ada. Dalam kondisi masyarakat berdaya, diharapkan tidak ada suatu tuntutan lagi untuk merusak hutan. Hutan dapat dimanfaatkan penduduk secara arif dan bijaksana. Masyarakat berdaya, hutan pun terjaga. Konversi (alih-guna) hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan, dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatkanya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain.

100

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Wana tani (agroforestry) merupakan salah satu sistem pengolahan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut. Aspek hutan dan pertanian dalam wana tani merupakan dua sisi yang harus diperhatikan. Di lahan perkebunan atau pertanian, penduduk dapat memperoleh keuntungan ekonomi dan pangan, tanpa harus merusak hutan lebih luas. Selain itu, lahan wana tani dan daerah perantaranya bisa menjadi tempat hidup berbagai satwa liar, seperti Mammalia, Aves, dan kelelawar. Wana tani dapat membantu usaha konservasi seandainya dilakukan dengan baik. Dalam mengonversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, kita harus memperhatikan tata batas hutan agar wilayah yang dikonversi tidak masuk kawasan yang dilindungi oleh pemerintah. Petani juga lebih baik menanam secara polikultur (berbagai jenis tanaman). Sistem monokultur (menanam satu jenis tanaman) sangat rentan mendapat serangan hama. Selain itu, petani harus dapat memilih jenis tanaman tertentu yang tidak menimbulkan konflik kepentingan dengan satwa. Beberapa satwa akan menyukai tanaman pertanian tertentu sehingga petani tidak dapat memperoleh hasil pertanian yang optimal saat panen tiba. Jahe (zingiberaceae), digabungkan dengan tanaman lain merupakan contoh jenis tanaman yang cocok dikembangkan pada lahan pertanian di sekitar Hutan Lambusango. Tanaman ini tidak disukai oleh satwa Andoke dan Babi Hutan yang dianggap hama oleh para petani. Wisata ilmiah (industri ekowisata) seperti yang telah dikembangkan oleh Operation Wallacea juga cocok untuk dikembangkan di Hutan Lambusango. Dalam pelaksanaan programnya, masyarakat sekitar kawasan hutan sering dilibatkan untuk menjadi pemandu wisata, pembantu logistik, dan penyediaan akomodasi. Pada saat tersebut masyarakat akan memperoleh manfaat tambahan pendapatan akibat kedatangan para wisatawan dan peneliti.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 4.4 Pemondokan wisata yang disediakan bagi turis yang datang ke Hutan Lambusango.

Bagaimanakah Cara Melestarikan Hutan Lambusango?

101


E.

Bagaimana Penegakan Hukum Memberikan Kontribusi Bagi Usaha Konservasi?

Dalam konsep konservasi, hutan tidak hanya dijaga begitu saja sehingga masyarakat tidak boleh mengambil manfaatnya. Hutan boleh diambil manfaatnya, tetapi harus sesuai dengan aturan undang-undang yang telah diberlakukan oleh pemerintah. Pemanfaatan hutan harus mengacu pada pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable use) dan memikirkan efek samping yang akan timbul. Hutan Lambusango ini harus dilestarikan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia baik untuk kepentingan saat ini maupun generasi mendatang. Seandainya ada oknum yang melanggar peraturan undang-undang, termasuk perburuan satwa yang dilindungi dan penebangan kayu secara liar, aparat yang berwenang wajib menindak tegas. Jika pelanggaran di lapangan terus dibiarkan, hal ini bisa menjadi suatu preseden buruk bagi masyarakat lainnya. Oknum lainnya tidak akan ragu-ragu lagi untuk melakukan tindakan serupa, memperluas wilayah perusakan hutan. Anoa sebagai satwa yang terancam punah merupakan flagship species yang dapat dijadikan sebagai entry point (titik masuk) dalam menyelamatkan Hutan Lambusango. Sebenarnya, konservasi kita tidak hanya menyelamatkan Anoa sebagai spesies langka. Namun, kita harus mempunyai paradigma berpikir menyelamatkan seluruh komponen hutan dan keragaman hayati di dunia ini, termasuk Anoa di dalamnya.

Gambar 4.5 Polisi hutan dengan senjatanya siap mengamankan Hutan Lambusango. Sumber: PKHL, 2005.

102

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


F.

Apa yang Dapat Anda Lakukan untuk Menjaga Kelestarian Hutan Lambusango?

Banyak cara untuk turut membantu menjaga kelestarian Hutan Lambusango. Anda dapat berpartisipasi dalam membangun gerakan pelestarian Hutan Lambusango. Kampanye pelestarian Hutan Lambusango tidak selalu identik dengan turun ke jalan-jalan untuk berdemo. Anda bisa bertindak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dengan cara memulai dari diri sendiri. Misalnya, tidak membuang sampah sembarangan di area hutan. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk membantu pelestarian Hutan Lambusango. a. Tidak memotong atau menebang pohon sembarangan. b. Menanam pohon di sekitar rumah Anda. c. Tidak memelihara satwa liar (terutama yang dilindungi) di rumah. d. Aktif dalam kegiatan kebersihan desa, membersihkan selokan atau sungai. e. Mendukung segala bentuk kegiatan untuk kelestarian lingkungan hidup. f. Menjalin hubungan atau terlibat aktif dalam kegiatan lingkungan hidup. Anda tertarik untuk aktif terlibat dalam pelestarian lingkungan hidup dan usaha konservasi Hutan Lambusango? Anda bisa menghubungi beberapa organisasi lingkungan hidup yang ada di Pulau Buton seperti berikut ini. 1. PKHL (Program Konservasi Hutan Lambusango) Jln. Labalawa No. 25, Kota Bau-Bau. Telp : +62-0402-25506 E-mail : pkhl@magnet-all.com 2. Lawana Ecotone (Ecology, Conservation, and Training Organization) Jln. Teuku Umar No. 14, Kota Bau-Bau. Telp : +62-0402-21329 E-mail : lawana_ecotone@yahoo.com 3. Prima (Pengembangan Rakyat Indonesia Madani) Jln. Perintis-Wanggangga, Kota Bau-Bau. E-mail : prima_ngo@telkom.net

Bagaimanakah Cara Melestarikan Hutan Lambusango?

103


4. Pelintas Jln. Latsitarda No. I, Kelurahan Lamangga, Kota Bau-Bau E-mail : pelintas_btn@telkom.net 5. Gecho (Global Environment, Conservation and Humanitarian Organization) Jln. Latsitarda No.44, Kelurahan Tanganapada, Kota Bau-Bau. 6. Elsain (Lembaga Suaka Alam Indonesia) Jln. Chairil Anwar No. 10, Kelurahan Tomba, Kota Bau-Bau. 7. YBH (Yayasan Buana Hijau) Jln. Erlangga (Pos I) Kel. Lanto, Kota Bau-Bau. 8. Sintesa-Buton Jln. Sijawangkati No. 6A, Kelurahan Tanganapada, Kota Bau-Bau Telp/fax : (0402) 26681 E-mail : sintesa_buton@yahoo.com 9. Lakamali (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan) Jln. Dayanu Ikhsanudin No. 9B, Kelurahan Lipu, Kota Bau-Bau. Telp/fax : (0402) 21601 E-mail : laksamali@telkom.net 10. JPKP (Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir) Jln. Chairil Anwar No. 10, Kelurahan Tomba, Kota Bau-Bau. Telp/fax : (0402) 22609 E-mail : pesisirbuton@telkom.net

104

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


5 Informasi Bagi Pengunjung ke Hutan Lambusango Pada bab ini, Anda akan memperoleh informasi mengenai: ? cara berkunjung ke Hutan Lambusango; ? informasi jalur transek di Hutan Lambusango; ? persiapan yang harus diperhatikan sebelum memasuki Hutan Lambusango; ? peraturan selama di dalam Hutan Lambusango; ? tips tambahan mengamati satwa, menelusuri hutan, dan camping.

105


A.

Bagaimana Cara Berkunjung ke Hutan Lambusango?

Untuk memasuki kasawan Hutan Lambusango Anda harus memiliki izin dan mengetahui akses masuk ke hutan.

1. Bagaimana Cara Memperoleh Izin?

Jika Anda ingin memasuki kawasan hutan konservasi (C.A. Kakenauwe dan S.M. Lambusango), terlebih dahulu Anda harus menghubungi kantor pusat BKSDA Kendari. Namun, jika Anda ingin memasuki blok hutan produksi dan hutan produksi terbatas Anda terlebih dahulu harus menghubungi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kehutanan di tempat Anda akan masuk. UPTD tersebar di empat lokasi, yaitu Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, dan Pasarwajo. Dusun Kawele

Resort BKSDA C.A. Kakenauwe & S.M. Lambusango/Dusun Labundo-bundo

UPTD Kapontori/ Kelurahan Wangkaka

UPTD Lasalimu/ Kelurahan Kamaru

Dusun Watambo

UPTD Lasalimu Selatan dan Siontapina/ Kelurahan Ambuau

Bau-Bau

Dusun Kabongka UPTD Pasarwajo dan Walowa

bagian besar adalah S.M. Lambusango, & bagian kecil di atas adalah C.A. Kakenauwe hutan produksi terbatas. hutan produksi. hutan produksi yang sudah rusak. jalan angkutan umum hutan lindung, wilayahnya kecil dan tersebar, tidak tergambar di peta.

Gambar 5.1 Lokasi UPTD kehutanan di sekitar kawasan Hutan Lambusango

106

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Untuk memudahkan dalam memperoleh izin dan informasi di perjalanan, sebenarnya Anda bisa juga menghubungi beberapa tour operator berikut ini. a. Senora Buton Jln. Wolio Umna Plaza Lt-2, Blok 6. 30–31, Kota Bau-Bau Phone: (0274) 26857 E-mai: senora3actour@yahoo.com b. Angsa Indonesia Jln. Sekarwijan 14A Balapan, Yogyakarta 55222 Indonesia Phone: (0274) 554217; 520940 Fax: (0274) 520913, E-mai: angsa@indosat.net.id

2. Bagaimanakah Akses Perjalanan ke Hutan Lambusango?

Untuk masuk Hutan Lambusango, ada beberapa pintu masuk di hampir seluruh bagian. Namun demikian, sedikitnya ada lima lokasi tempat masuk yang lebih mudah. Masing-masing lokasi tempat masuk tersebut mempunyai keunikan tersendiri. Jika Anda memulai perjalanan dari pusat Kota Bau-Bau, ada empat lokasi pintu masuk yang berada satu jalur perjalanan, yaitu Watambo, Wakangka, Kawele, dan Labundo-Bundo. Untuk lokasi terjauh dari pusat kota, Anda membutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam menuju Dusun Labundo-Bundo. Satu lokasi lagi yang tidak searah dengan ke empat pintu masuk tersebut adalah menuju Dusun Kabongka. Untuk mencapai Kabongka, Anda harus memilih arah yang lain. Diperlukan waktu perjalanan sekitar 3 jam dari pusat Kota Bau-Bau. Semua lokasi tersebut dapat dicapai dengan kendaraan umum dari Bau-Bau. Setelah tiba di lokasi yang Anda tuju, cobalah bersikap baik terhadap penduduk setempat. Jika bertemu dengan penduduk setempat sangat dianjurkan untuk bisa tersenyum dan menyapanya. Umumnya mereka sangat bersahabat. Masyarakat sekitar Hutan Lambusango sangat ramah menerima pendatang. Seandainya Anda ingin menginap di rumah penduduk setempat, sangat penting bagi Anda untuk berkunjung ke kepala desa atau kepala dusun setempat. Para kepala desa biasanya akan menolong Anda seandainya mengalami kesulitan. Jika belum mengenal jalan masuk hutan, Anda perlu ditemani oleh salah seorang penunjuk jalan atau jagawana (polisi hutan).

Informasi Bagi Pengunjung ke Hutan Lambusango

107


I N F O Di Pulau Buton, suatu desa bisa terdiri atas beberapa dusun. Kepala desa secara formal tercatat dalam administrasi pemerintahan. Adapun kepala dusun secara informal diakui oleh penduduk setempat. Seorang kepala dusun bisanya merupakan sesepuh juga orang asli wilayah setempat.

Berikut ini keunikan di setiap pintu masuk menuju kawasan konservasi Hutan Lambusango. a. Dusun Labundo-Bundo Jika ingin menginap di tempat penginapan khusus, Anda sebaiknya berkunjung ke dusun ini. Labundo-Bundo merupakan dusun yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan karena posisinya terletak di antara C.A. Kakenauwe dan S.M. Lambusango. Di dusun ini sudah terdapat tempat tinggal (home stay) yang disediakan oleh Dinas Pariwisata Buton. Penginapan ini berdekatan pula dengan pompa bensin, pos jagawana BKSDA, kantor polisi, kantor dusun, serta tersedia pemandu jalan di hutan yang terlatih bekerja dalam kegiatan wisata ilmiah. Dengan demikian, Anda bisa menginap cukup nyaman di sini. Hutan di dekat lokasi ini sangat baik untuk kegiatan pengamatan burung, Kuskus, Tarsius, dan melihat keindahan air terjun Kakenauwe. Anda yang suka berenang bisa pula melakukan snorkeling (berenang dengan menggunakan masker-pipa). Dusun Labundo-Bundo berdekatan dengan Pantai Kakenauwe yang masih memiliki keindahan terumbu karang dan ikan-ikan laut.

Gambar 5.2 Tempat penginapan di Dusun Labundo-Bundo Sumber: PKHL, 2005.

108

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


b. Dusun Kawele Jika Anda ingin mengamati Andoke, datanglah ke dusun ini. Di kebunkebun penduduk yang berbatasan dengan Hutan Lambusango banyak dijumpai Andoke. Andoke di sini relatif mudah ditemukan dan tidak terlalu liar karena mereka sering Sumber: Priston, 2005. berjumpa dengan manusia. Gambar 5.3 Andoke banyak dijumpai di c. Dusun Wakangka Dusun Kawele. Anda yang ingin menikmati perjalanan sehari (one day trip ), sangat cocok jika masuk melalui dusun ini. Berawal dari dusun ini, kemudian melanjutkan perjalanan melaui rute naik turun gunung Wakangka– Watumbubosu–Kateresa–Padang Kuku. Anda akan menikmati perjalanan ke hutan melalui daerah pertanian yang luas, perkebunan, sungai kecil, perbukitan, hutan yang banyak ditumbuhi oleh rotan, hingga daerah terbuka Padang Kuku. d. Dusun Watambo Di dusun ini tersedia banyak pencari madu Sumber: Singer, 2006. yang sangat mengenal Hutan Lambusango. Gambar 5.4 Jika Anda ingin berpetualang selama Perjalanan di Padang Kuku. beberapa hari dalam hutan. Tidak salah untuk mengambil pemandu jalan dari dusun ini. Sekitar 45 menit perjalanan ke puncak, Anda bisa menemui suatu tempat yang unik di Hutan Lambusango. Tempat yang berada di puncak bukit ini disebut Padang Kuku. Blok Hutan Lambusango ini sangat unik. Unik karena memiliki vegetasi terbuka yang banyak ditumbuhi rumput dan pohon-pohon pendek, berdaun kecil tebal seperti di daerah hutan pegunungan atau subalpine. Padahal daerah ini hanya memiliki ketinggian 300–370 m dpl. Anda juga harus berhati-hati karena di lokasi ini sering ditemukan Kalajengking.

Informasi Bagi Pengunjung ke Hutan Lambusango

109


Pada saat sore hari sekitar pukul 17.30–18.00, jika cuaca cerah, Anda dapat duduk di puncak Padang Kuku sambil menikmati pemandangan matahari terbenam (sunset) di Teluk Kapontori.

Gambar 5.5 Keindahan sunset di Teluk Kapontori. Sumber: Singer, 2005.

e. Dusun Kabongka Jika Anda ingin melakukan petualangan yang lebih menantang. Masuklah ke dusun ini. Pemandu jalan dusun setempat akan membawa Anda bertualang melalui sungai yang lebih deras dan dalam. Anda juga bisa melakukan kegiatan turun tebing menggunakan tali (rappelling) jika berjalan lebih jauh lagi. Pada malam hari, Anda dapat menemukan katak berukuran besar (panjang sekitar 30 cm) di sungai sekitar kawasan ini. Tidak jauh dari dusun ini, Anda juga bisa melihat proyek pertambangan aspal di Pulau Buton yang sedang berlangsung.

Gambar 5.6 Penambangan aspal yang berada di dekat Dusun Kabongka. Sumber: www.opwall.com

110

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


B.

Takut Tersesat Saat Melakukan Wisata Hutan?

Selain tersedianya pemandu wisata hutan yang handal, di beberapa blok Hutan Lambusango, Blok Lapago, Anoa, Wahalaka, Wabalamba, Bala, dan Sumber Sari telah tersedia 6 Ă— 4 transek. Setiap transek memiliki panjang 3 km. Selain itu, ada juga dua buah grid berukuran 1 Ă— 1 km yang terdapat di hutan blok Kakenauwe dan Lapago. Transek dan grid ini sangat bermanfaat jika Anda ingin melakukan penelitian hewan atau tumbuhan. Beberapa metode penelitian memerlukan suatu ukuran tertentu dan konsistensi, hal tersebut hanya bisa diperoleh dengan cara membuat transek di hutan. Dalam transek dan grid sudah dilengkapi dengan nomor (tanda-tanda jalan) yang juga akan membantu Anda agar tidak tersesat dalam hutan.

Sumber: Seymour, 2005.

Gambar 5.7 Lokasi transek yang sudah tersedia di Hutan Lambusango.

Informasi Bagi Pengunjung ke Hutan Lambusango

111


C.

Apakah Persiapan yang Harus Diperlukan Sebelum Masuk Hutan Lambusango?

Sebelum masuk ke dalam hutan, tentunya Anda telah memiliki tujuan tertentu. Ada beberapa tips bermanfaat yang perlu Anda perhatikan selama melakukan beberapa kegiatan di hutan. 1. Persiapankan air, makanan, dan perlengkapan seperlunya. 2. Sesuaikan kebutuhan Anda dengan berapa lama Anda akan tinggal dalam hutan. Makanan dan logistik yang berlebih malah akan memberatkan, tetapi bawaan yang kurang juga akan menyebabkan Anda tidak nyaman dalam hutan. 3. Pastikan air selalu Anda bawa, walaupun dalam perjalanan pendek. Cuaca di Buton sangat panas bagi beberapa pengunjung sehingga menyebabkan orang bisa cepat terkena dehidrasi. 4. Jangan lupa untuk selalu membawa perlengkapan kesehatan dan obat-obatan pribadi. 5. Siapkan juga plastik kedap air, untuk menjaga beberapa peralatan penting Anda agar tidak basah saat turun hujan. 6. Jika Anda ingin melakukan pengamatan lebih serius, bawalah alat tulis, kamera, atau handycam untuk mencatat dan merekam objek yang menarik. Buku panduan lapangan seperti untuk mengetahui jenis burung-burung di Kawasan Wallacea dapat Anda bawa ke lapangan atau Anda simpan di desa/camp.

Gambar 5.8 Kenyamanan menggendong ransel mempengaruhi perjalanan Anda. Insert: contoh ransel yang nyaman untuk perjalanan hutan. Sumber: opwall, 2005; CD Photo Image.

112

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


7. 8. 9.

Bawalah peluit sebagai alat pemberi tanda seandainya Anda tersesat. Pakailah ransel dengan konstruksi yang baik dan nyaman dipakai di badan. Penataan barang (packing) ransel yang baik perlu juga Anda perhatikan agar Anda merasa nyaman saat menggendong ransel tersebut.

D.

Bagaimanakah Peraturan Selama Berada di Dalam Hutan Lambusango?

1. Dilarang membawa masuk hewan peliharaan ke dalam kawasan Hutan Lambusango. 2. Dilarang membawa senjata, seperti pisau belati atau perlengkapan berburu lainnya. 3. Dilarang membawa perangkat keras yang menimbulkan polusi suara. 4. Dilarang sembarangan menyalakan api di kawasan konservasi. 5. Dilarang mengganggu, memindahkan, atau mencoret-coret properti Hutan Lambusango. 6. Dilarang memetik bunga atau mencabut tumbuhan liar. 7. Berjalanlah mengikuti jalan yang telah ada. Membuat jalan potong akan berbahaya bagi keselamatan Anda, juga merusak vegetasi hutan. 8. Dilarang membuang sampah. Bawalah pulang sampah tersebut bersama Anda. 9. Dilarang mencemari perairan. 10. Sebaiknya selama wisata hutan, Anda ditemani pemandu jalan atau polisi hutan. Gambar 5.9 Dengan mengikuti jalan setapak yang telah ada, Anda berarti telah membantu melestarikan Hutan Lambusango.

Sumber: Singer, 2005.

Informasi Bagi Pengunjung ke Hutan Lambusango

113


E.

Tips Bagi Anda

1. Tips Pengamatan Satwa a.

Untuk mengamati burung dan Andoke, persiapkanlah teropong (binoculer) atau teleskop (monoculer).

Sumber: CD Photo Image.

Gambar 5.10 Teropong.

b. c. d.

e.

f.

114

Gambar 5.11 Teleskop.

Penggunaan teleskop hanya efektif di daerah terbuka dan memiliki ruang pandang yang luas. Untuk mengamati hewan Vertebrata sebaiknya dilakukan dalam kelompok kecil (tidak lebih dari 5 orang). Jumlah pengamat yang terlalu banyak hanya akan menakuti hewan. Untuk mengamati Aves dan Mammalia, pergunakanlah pakaian yang redup (seperti pakaian berwarna hijau, cokelat, atau hitam), dan tidak menggunakan pakaian yang mencolok (seperti kuning, jingga, atau merah muda). Umumnya waktu pagi hari pukul 6.00–9.00, sangat baik untuk mengamati satwa diurnal, kecuali pengamatan burung elang (raptor watch). Lebih baik Anda memilih waktu pada pukul 10.00–14.00. Saat itu, burung pemangsa akan melakukan aktivitas terbang melingkar-lingkar memanfaatkan panas udara (thermal soaring). Jika Anda ingin mengamati hewan malam, seperti Tangkasi atau Katak Sungai. Jangan lupa untuk membawa senter besar. Namun, waktu paling baik untuk mengamati Tangkasi adalah pagi hari 5.45–6.15, saat itu Tangkasi sedang bergerak menuju ke tempat tidurnya (sleeping site).

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


g.

Beberapa daerah potensial untuk pengamatan hewan adalah di daerah ecotone, pinggir bukit, dan dekat sungai. h. Perhatikan juga bagian lantai hutan karena Anda bisa belajar melakukan pengamatan hewan secara tidak langsung (indirect method). Pada saat tersebut Anda mungkin akan menemukan jejak kaki Anoa, Babi, atau kotoran beberapa hewan. i. Dalam melakukan hunting photograph, Anda harus sabar untuk mendapatkan posisi hewan yang bagus, beberapa hewan di hutan memiliki pergerakan cukup cepat.

2. Tips untuk Anda yang Menyukai Aktivitas Penelusuran Hutan a.

Pergunakan sepatu yang nyaman dipakai serta dapat melindungi angkle (alas kaki) Anda dan memiliki grip baik. Sepatu yang tidak pas di kaki akan menimbulkan lecet kaki Anda. Di beberapa lokasi hutan akan sangat licin, terutama saat musim hujan sehingga kaki Anda rawan cedera.

Sumber: CD Photo Image.

Gambar 5. 12 Sepatu lapangan

b.

c.

Pakailah celana panjang, dan baju lengan panjang, terutama saat musim hujan. Namun, saat musim kemarau, baju lengan panjang akan menyebabkan Anda cepat gerah. Jadi, sesuaikan pakaian Anda dengan kondisi lapangan saat itu. Pakaian seperti ini akan melindungi Anda pada saat berpetualang di alam bebas. Bawalah perlengkapan perjalanan secukupnya. Anda akan merasa cepat lelah jika beban yang dibawa terlalu banyak.

3. Tips untuk Anda yang Memilih Aktivitas Berkemah a.

Jika Anda ingin tinggal lebih lama di dalam hutan, perlengkapan dan bahan makanan yang dibutuhkan akan lebih banyak. Tidak ada salahnya jika Anda meminta bantuan porter (pengangkut barang) untuk memudahkan saat pengangkutan.

Informasi Bagi Pengunjung ke Hutan Lambusango

115


b.

Pilihlah tempat berkemah (camping) di dekat sungai atau sumber air, tetapi jangan berkemah di sungai besar yang memungkinkan air dapat meluap seandainya terjadi banjir. Jangan membuang sampah atau kotoran ke sungai. Buatlah tempat sampah khusus dan tempat untuk mencuci makanan. Sampah atau kotoran yang Anda buang ke dalam air akan mencemari sungai.

Sumber: Opwall, 2005.

Gambar 5.13 Lokasi berkemah camp anoa.

c. d. e.

f.

Sebelum menentukan lokasi kemah, perhatikan jejak binatang sepetri Anoa atau babi. Jangan sampai Anda berkemah di jalur pergerakan binatang tersebut. Perhatikan pula pohon-pohon di sekitarnya Anda sebaiknya tidak mendirikan tenda atau tempat tidur di dekat pohon rapuh yang rawan tumbang. Saat berkemah di musim hujan, perhatikan kebersihan Anda. Seringlah membuka sepatu di sekitar tenda agar kaki Anda tetap kering. Pakaian dan sepatu basah sering cepat menimbulkan jamur pada kulit Anda. Pastikan api padam sebelum Anda meninggalkan lokasi. Waspadalah akan kebakaran hutan. g. Saat Anda tidur, pastikan tubuh Anda terlindungi dari kemungkinan gigitan nyamuk, lipan, atau ular.

Sumber: Singer, 2005.

116

Gambar 5.14 Tempat tidur yang tertutup dan menggantung (hamock)akan melindungi Anda dari hewan-hewan liar.

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


DAFTAR PUSTAKA Audley-Charles, M.G. 1981. Geological History of The Region of Wallace's Line. In Wallace's Line and Plate Tectonics. Ed. T.C. Whitmore. Oxford University Press: Oxford. Bird, D. 2005. The Fishes of Buton and The Lambusango Forest . Report. Operation Wallacea BPS. 2004. Kabupaten Buton Dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik: Buton Burton, J. A., A.H. Mustari dan A.A. Macdonald. Status dan Rekomendasi Konservasi In Situ Anoa (Bubalus sp.) dan Implikasinya Terhadap Konservasi Ex Situ (Conservation Breeding Population). Buletin Konservasi Alam: Bogor. Carlisle, B. 2005. Seeing the wood and the trees: value, variety, and change in Buton's forests. Northumbria University: Newcastle. Coates, B.J., K.D. Bishop and D.Gardner. 1997. A Guide to The Birds of Wallacea: Sulawesi, The Mollucas and Lesser Sunda Islands, Indonesia. Dove Publications: Queensland. Gillespie, G., S. Howard, D. Lockie, M. Scorggie and Boeadi. 2005. Herpetofaunal Richness and Community Structure of Offshore Islands of Sulawesi, Indonesia. Biotropica. 37 (2). Gunawan, H. 2005. Laporan Inventarisasi Hutan UPTD Kapontori Dinas Kehutanan Buton. Laporan. Program Konservasi Hutan Lambusango: Bau-Bau. Janumiro, 2000. Rotan di Indonesia. Kartesius: Jakarta Kelly, D., N. Marples, H.A. Singer, and M. Meads. 2003. Study Biogeography of Birds in Buton, Kabaena and Wakatobi Island. Report. Operation Wallacea: Bau-Bau. Kinnaird, M.F. 1995. North Sulawesi: A Natural History Guide. Yayasan Pengembangan Wallacea: Jakarta Lee,R.J.,J.Riley, R.Merrill dan R.P.Manoppo. 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi: Di Sulawesi Bagian Utara. WCS-IP dan NRM: Jakarta. Macdonald, A.A. 1993. Pigs, Peccaries, and Hippos Status Survey and Action Plan. University of Edinburgh: Scotland. O'Donovan, G. 2001. Report on Botanical and Ecological Status of The Kakenauwe and Lambusango Nature Reserve on Buton Island, Sulawesi. Report. Operation Wallacea: Bau-Bau. Operation Wallacea. 2005. Wallacea: A Biodiversity Hotspot. www.opwall.com Primack, R.B., J. Supriatna., M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Priston, N.E.C. 2005. Crop-raiding by Macaca ochreata brunnescens in Sulawesi: Reality, perceptions and outcomes for conservation. PhD Thesis. University of Cambridge: UK. nancy@cantab.net. Putro, H.R. 2004. Panduan Konservasi Hutan bagi Pengambil Keputusan. Inform

Daftar Pustaka

117


Purwanto, E. 1999. Erosion, Sediment Delivery, and Soil Conservation in an Upland Agricultural Catcment in West Java, Indonesia. A hydrological approach in a socio-economic context . PhD thesis. Vrije Universiteit: Amsterdam. Purwanto, E. and E. Warsito, 2002. Deforestasi dan Perubahan Lingkungan Tata Air Di Indonesia: Resiko, Implikasi, dan Mitos. BIGRAF Publishing: Yogyakarta. Purwanto, E. and Y. Hadiprakarsa, 2004. Managing Way Sekampung amd Way Seputih Basins for Wildlife Conservation: Where the Sinergy Between Wildlife and Watershed Conservation Co-exist. Dinas Pekerjaan Umum dan prasarana Wilayah, Lampung Timur. Purwanto, 2004. Menggalang Kepedulian Hulu-Hilir Dalam Restorasi Ekosistem Pulau Jawa. Paper dipresentasikan pada BP2TPDAS-IBB: Solo Purwanto, E. dan J. Ruijter. 2004. Hubungan antara Hutan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai. Dalam Fahmuddin Agus dkk.. (ed.). Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri , dan Pertanian Lahan Kering Sebagai Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. World Agroforestry Centre: Bogor. Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia and Western New Guinea. Djawatan Meteorology dan Geofisik: Jakarta Shekelle, M. dan S.M. Leksono. 2004. Strategi Konservasi di Sulawesi dengan Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies. Biota. Vol IX. Singer, H.A. 1997. Pola Aktivitas Harian Banteng (Bos Javanicus) di Taman Nasional Alas Purwo. Laporan. Universitas Padjadjaran: Jatinangor. ––––. 2001. Keragaman Burung Di Pulau Buton dan Beberapa Pulau Sekitarnya . Laporan. Operation Wallacea: Bau-Bau. Triono, U. 2002. The Preliminary Survey of Solid Bitumen Acumulation of Kalisusu and Surounding Area, Muna Regency, South-east Sulawesi Province. Noerdjito, M., I. Maryanto, 2005. Kriteria Jenis Hayati yang Harus Dilindungi Oleh dan Untuk Masyarakat Indonesia. Pusat Penelitian Biologi LIPI Bekerjasama dengan World Agroforestry Center-ICRAF: Bogor. Schroorl, P. 2003. Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton. Penerbit Djambatan: Jakarta. Suyanto, A. 2001. Kelelawar Di Indonesia. Puslitbang Biologi - LIPI . van Bemmelen, R.W. 1970. The Geology of Indonesia. Government Printing Office: The Hague Waryono, T. 2005. Pendekatan Pemulihan Bio-Fisik Bantaran Sungai Di Jakarta. Thesis Doktor. Departemem Biologi, Fakultas MIPA. Universitas Indonesia: Jakarta. Whitten, T., M.Mustafa and G.S. Henderson. 2002. The Ecology of Sulawesi. Periplus Wijaya, A. 2005. Survey Populasi Macaca ochreata brunescens. Draft Skripsi. Institut Pertanian Bogor : Bogor. WWF. 2001. Terrestrial Ecoregions of the World. [online]. http://worldwildlife.org/science/ ecoregions/terrestrial.cfm

118

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.