Perempuan Wirausaha

Page 1

15

PEREMPUAN WIRAUSAHA SOSIAL: MENGINSPIRASI INDONESIA



15

PEREMPUAN WIRAUSAHA SOSIAL: MENGINSPIRASI INDONESIA


15 Perempuan WIRAUSAHa Sosial: Menginspirasi Indonesia @ 2016 Diterbitkan oleh: Oxfam di Indonesia Jl. Taman Margasatwa No. 26A Ragunan, Jakarta 12550 T.: +62 21 7811-827 F.: +62 21 7813-321 Oxfam: Dini Widiastuti Heny Soelistyowati Penulis: Nasrullah dan tim untuk Oxfam di Indonesia Perancang Grafis: Arief Darmawan untuk Oxfam di Indonesia

Proyek-proyek yang dilaksanakan oleh Oxfam di Indonesia bersama mitra-mitranya merupakan inisiatif bersama Kementerian Sosial Republik Indonesia.

Peta: Tival Godoras untuk Oxfam di Indonesia

Sangkalan: Pandangan yang dikemukakan di dalamnya bukan pendapat resmi Kementerian Sosial Republik Indonesia.

Mixed Sources

from responsible resources 100% Cert on FSC-C012827 www.fsc.org Š 1996 Forest Stewardship Council

Dicetak di atas kertas Earth One. Diproduksi dari bubur kertas FSC, mendukung penggunaan sumber daya hutan yang bertanggung jawab.


Daftar Isi Pengantar

iv

Lokasi

viii

Skema Pengembangan Bisnis

x

1. Fania Food: Dari Dapur Keluarga, Sukses Menguasai Pasar Indonesia 2. KSU Muara Baimbai: Merawat Mangrove, Menjaga Kehidupan 3. Beras Super Sri Sadono: Bangga Menjadi Petani Beras 4. Cokelat nDalem: Sebuah Tandahati dari Jogja 5. Du’Anyam: Menganyam Kehidupan para Ibu 6. Mina Food: Terus Mencoba dan Pantang Menyerah 7. Pelangi Nusantara: Terbang Tinggi dengan Kain Perca 8. Kelompok Tani Pita Aksi: Para Pejuang Pangan Organik dari Pitusunggu 9. Lapis Talas Sangkuriang: Mengolah Talas menjadi Kudapan Kelas Dunia 10. Kakoa Chocolate: Memuliakan Petani Kakao 11. Arafa Tea: Dari Hulu sampai Hilir Perjuangkan Teh Produk Unggulan Bangsa 12. Komodo Water: Berbisnis Sekaligus Pemberdayaan Masyarakat 13. AV Peduli: Mendayagunakan Sampah, Meningkatkan Ekonomi Masyarakat 14. Kopi Luwak Lanang: Rasa Pahit yang Berbuah Manis 15. Rumah Sampah Tapi Indah: Memberdayakan Penyandang Tuna Rungu dengan Limbah

1

iii

14 28 40 54 68 80 94 106 120 132 146 162 176 186


Kata Pengantar Wirausaha memiliki peranan yang besar dalam ekonomi nasional. Mereka bukan hanya berperan menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran serta meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi kadang juga menjadi penggerak kemajuan komunitas dan kadang merupakan inovator yang mampu mengubah potensi menjadi sesuatu yang menghasilkan nilai ekonomi. Berapa tepatnya dan di mana wirausaha Indonesia, terutama yang perempuan? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan sederhana. Yang jelas Indonesia membutuhkan lebih banyak wirausaha. Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas 2014) mencatat baru sebesar 4,9% perempuan usia kerja yang mempekerjakan pekerja baik temporer maupun tetap. Sebagai catatan, kategori yang sama untuk laki-laki adalah 15,5%. Masih perlu kiranya upaya untuk mendorong tumbuhnya wirausaha-wirausaha perempuan. Pada umumnya perempuan memiliki lebih banyak hambatan dalam mendirikan dan menjalankan usaha. Namun ada banyak perempuanperempuan tangguh yang berhasil mengatasi hambatan dan bisa dijadikan inspirasi bagi yang lainnya. Di manakah para perempuan wirausaha itu? Bagaimana profil dan karakteristik wirausaha perempuan yang berhasil? Buku ini adalah cerita dari 15 perempuan dengan beragam latar belakang yang menjalani hidupnya dengan penuh dedikasi. Perempuan yang paham bahwa pilihan untuk bekerja bukan hanya dari balik meja namun juga menjadi wirausaha. Model pekerjaan yang juga bisa dilakukan sembari tetap mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangganya, meskipun pekerjaan domestik bukan semata-mata tugas perempuan saja. Para perempuan ini tidak sekedar menghasilkan tambahan penghasilan bagi keluarga mereka, tapi juga berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan dan memiliki agenda sosial. Pelajaran dan contoh yang bisa ditiru oleh para pembaca buku ini adalah cara para wirausahawa perempuan ini memulai bisnis mereka, riset dan analisis yang dilakukan serta pemilihan sektor dan target pembelinya. Sementara itu, bisa kita ikuti bagaimana pengalaman mereka mulai

15 Perempuan Wirausaha Sosial

iv

Menginspirasi Indonesia


menjadi pengusaha sosial dengan melibatkan komunitas di sekitar mereka, mengembangkan rencana bisnis dan mempertimbangkan gender sebagai salah satu elemen penting dalam usaha sosial. Kemudian pembaca juga bisa belajar sistem keuangan ketika membangun usaha, seperti cara mendapatkan modal, skema yang dipilih, serta keuntungan dan kerugian dari pemilihan skema. Tidak hanya itu, kami juga ingin menggali lingkungan yang seperti apa yang dapat mendukung proses membangun usaha. Sehingga pembaca juga akan mendapati tentang dukungan seperti apa yang didapatkan oleh para wirausaha perempuan dari keluarganya, orangtua dan lingkungannya. Narasumber yang sejatinya kami ingin hadirkan di buku ini adalah perempuan yang bergerak di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan, dan hal ini menjadi sesuatu yang spesial mengingat bidang bisnis tersebut didominasi oleh kaum laki-laki. Namun, pada perjalanannya, ternyata banyak cerita menarik lain yang kami dapatkan dari rekan wartawan, organisasi kemanusian, dan media bisnis. Sehingga kami putuskan untuk sedikit lebih fleksibel untuk kriteria bidang bisnis narasumber kami, sehingga buku ini akhirnya memiliki cakupan yang lebih luas dan lebih kaya lagi menggambarkan geliat wirausaha perempuan-perempuan Indonesia. Kami ucapkan terima kasih atas bantuan semua pihak terkait dalam proses pembuatan buku ini.Utamanya kami ingin memberikan penghargaan atas dukungan dari British Council, yang sangat membantu ketika mulai mengumpulkan profil-profil pengusaha muda yang menginspirasi. Oxfam di Indonesia, sebagai bagian dari gerakan global untuk perubahan dan mewujudkan masa depan yang bebas dari kemiskinan, memiliki harapan agar buku ini dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada para pemuda pemudi Indonesia lainnya di seluruh Indonesia untuk membangun usaha untuk kesejahteraan keluarga hingga masyarakat di lingkungannya. Jakarta, Juni 2016 Dini Widiastuti Direktur Program Keadilan Ekonomi

v


Dari Penulis Panas terik matahari menyengat siang itu. Jam tangan saya menunjukkan pukul 13.00 WITA. Pergelangan kedua tangan bergetar berusaha mengendalikan setang motor yang membelah jalan sepi, berliku, menanjak dan berbatu di Pulau Solor, Nusa Tenggara Timur. Tujuan saya adalah Desa Tanah Werang, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur. Dari Kabupaten Larantuka, saya membutuhkan sekitar 60 menit dengan kapal penyeberangan dan 45 menit jalan darat dari Pelabuhan Menanga untuk mencapai desa tersebut. Selama perjalanan, isi kepala saya cuma satu. Kok mau orang jauh-jauh datang kemari setiap hari? Pertanyaan saya kemudian terjawab tidak lama kemudian. Hannah dan satu karyawannya, tim dari Du’Anyam – perusahaan produk anyaman daun lontar - tenggelam dalam suasana kekeluargaan dengan ibu-ibu yang selama ini menjadi pemasok kerajinan daun lontar. Hasil kerajian tersebut kemudian dibeli oleh Du’Anyam dan dipasarkan di Pulau Jawa dan Bali. Tidak hanya berbisnis, serangkaian kegiatan penyuluhan kesehatan ibu dan anak pun dilakukan di desa dampingan mereka. Di pulau lain, Sabrina, pemilik PT. Aneka Cokelat Kakoa, sedang menjelaskan kepada petani tentang hasil uji petik kualitas biji kakao milik mereka. Semua dilakukan di teras samping rumah salah satu penduduk Kabupaten Pesisir Barat – berjarak lebih dari 180 km dari ibukota Provinsi Lampung – dalam cuaca panas terik. Sembari memotret suasana itu, lagi-lagi saya berpikir, kenapa ada orang yang mau meninggalkan kehidupan mapannya di luar negeri “hanya” untuk bekerja seperti ini? Potongan kisah tersebut saya temukan dalam proses wawancara narasumber untuk buku “15 Perempuan Wirausaha Sosial: Menginspirasi Indonesia” yang sedang Anda pegang ini. Selama kurang lebih empat bulan, saya berkeliling dari Kabupaten Serdang Bedagai di Sumatera Utara hingga Kabupaten Flores Barat di Nusa Tenggara Timur untuk melakukan wawancara terhadap perempuan

15 Perempuan Wirausaha Sosial

vi

Menginspirasi Indonesia


dengan berbagai bidang usaha. Saya tidak sendiri. Tiga orang penulis lainnya mendatangi sosok perempuan inspiratif lainnya yang tersebar di Kota Bogor, Bandung, Tangerang Selatan, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Malang dan Surabaya. Semua narasumber yang kami temui sangat bersemangat untuk menceritakan perjalanan dan perjuangannya dalam membangun bisnis yang rata-rata terbilang masih baru. Dan, hampir semua narasumber yang kami wawancara juga “malu-malu� ketika ditanya tentang keuntungan atau omset bisnisnya. Entah mengapa, namun tidak menjawab pertanyaan adalah hak narasumber. Buku ini bukanlah buku panduan atau langkah-langkah bagi mereka yang ingin menjadi pengusaha sosial. Namun, buku ini adalah bukti bahwa menjadi pengusaha bukan hanya semata-mata persoalan mencari (banyak) uang. Menjadi pengusaha juga berarti membuka kesempatan lebih besar kepada pelakunya untuk dapat membantu lingkungan sekitarnya. Sosok perempuan di buku ini juga membuktikan anggapan banyak orang bahwa untuk menjadi pengusaha harus selalu perlu modal besar. Dini Bangun Wijayanti dan Rizka Wahyu Romadhona telah membuktikan hal itu. Keinginan yang kuat serta kerja keras adalah kunci keberhasilan. Saya ucapkan terima kasih kepada Oxfam yang telah menginisiasi pembuatan buku ini. Oxfam telah memfasilitasi dan menjembatani cerita-cerita pengusaha perempuan yang dapat menjadi inspirasi bagi perempuan atau laki-laki lainnya di Indonesia. Salam, Nasrullah Tim Penulis

vii


1 KSU Muara Baimbai 2 Kokoa Chocolate

Lokasi 15 Perempuan Wirausaha Sosial

3 Rumah Sampah Tapi Indah 4 Lapis Bogor Sangkuriang 5 Arafa Tea viii

Menginspirasi Indonesia


6 Fania Food

11 Pelangi Nusantara

7 Cokelat nDalem

12 AV Peduli

8 Mina Food

13 Kelompok Petani Pita Aksi

9 Beras Sri Sadono

14 Komodo Water

10 Kopi Luwak Lanang

15 Du’Anyam ix


Skema Pengembangan Hotel

Swalayan PEMERINTAH

Mall

PIHAK KETIGA TOKO SENDIRI

SWASTA

PAMERAN Bukalapak

OUTLET

Pemasaran

Tokopedia

SITUS PENJUALAN BERBAGI

DARING

Facebook

MEDIA SOSIAL

LAMAN SENDIRI Path

Instagram

PIHAK KETIGA /MITRA

Pengolahan

BELI JADI

KARYAWAN 15 Perempuan Wirausaha Sosial

x

Menginspirasi Indonesia

MANDIRI


Bisnis

Sangkalan: Skema ini disusun berdasarkan hasil dari wawancara dengan para narasumber

PENGAMATAN KEBUTUHAN & POTENSI LINGKUNGAN

MANDIRI PELATIHAN

IDE WARALABA

Bisnis

CROWDFUNDING

Modal

MANDIRI PROPOSAL & LOMBA

RIset &

BANK

MEDIA SOSIAL

PELATIHAN

MANDIRI

DARING

Pengembangan KONSULTAN xi


Fania Food: Dari Dapur Keluarga, Sukses Menguasai Pasar Indonesia

Hani ketika ditemui di rumah produksinya di kawasan Kota Gede, Yogyakarta.


Foto-foto: Rosita Carolina Yasin untuk Oxfam di Indonesia.

untuk s untuk produksi di dapur, Hani tidak segan Meskipun telah memiliki 13 karyawan khusu Food. Fania k produ s kualita wasi menga tetap turun langsung mengerjakan dan


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

Bidang Bisnis: Aneka produk boga bahari (seafood) ___________________________

Fania Food

Berdiri Sejak:

2008

__________

Jenis Produk:

Harga: Rp11.000,00 - Rp17.000,00 • 18 jenis beku (antara lain _______________________ otak-otak bandeng, bandeng presto, nugget ikan, otak-otak ikan, Supplier: tahu bakso, sosis ikan, pasar ikan bola-bola cumi. ___________ • 5 jenis kering (antara lain abon duri bandeng, nila crispy, amplang bandeng dan wader crispy) _____________________________

Kapasitas Produksi:

Âą 200 kg ikan/hari ________________________

Omset:

Rp180 juta/bulan

Penjualan: Kerja sama dengan supermarket di Jogjakarta, sekolah, instansi pemerintah, rumah sakit, 50 agen Jawa-Bali. Media sosial (online)

________________________

14 orang

Karyawan: 50 agen di luar Yogyakarta

15 Perempuan Wirausaha Sosial

2

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Gedongan Baru II No.14 RT.07 Pelemwulung, Banguntapan, Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

3


“Membuka usaha, bukan sekadar mencari uang, tapi bagaimana bisa menjadikan diri lebih berguna buat orang banyak.� Hani Kusdaryanti

B

erawal dari usaha sambilan yang dikerjakan di dapur keluarga dengan bantuan pengasuh anaknya, Hani Kusdaryanti (39) sukses membangun usaha pengolahan daging ikan. Kini, pemilik Fania Food ini memiliki rumah produksi sendiri dengan 13 pekerja dapur, seorang tenaga administrasi, dan lebih dari 50 agen yang tersebar di banyak kota di Indonesia. Rata-rata Fania Food menghabiskan 100-200 kg bahan baku ikan per

15 Perempuan Wirausaha Sosial

hari, bahkan menjelang hari raya Idul Fitri, rumah produksinya bisa menghabiskan 300 kg ikan per hari. Omsetnya pun mencapai 180 juta rupiah per bulan. Pencapaian tersebut tidak diraih Hani dalam sekejap. Dia mesti bekerja keras dengan otot, otak, dan hati. Melalui penjagaan mutu, analisis pasar yang cermat, dan menjaga hubungan baik dengan pelanggan maupun agen adalah modal utama kesuksesan usaha Fania Food.

4

Menginspirasi Indonesia


Nama: Hani Kusdaryanti Tempat, Tanggal Lahir: Kudus, 1977 Alamat: Gedongan Baru II No.14 RT7 Pelemwulung, Banguntapan, Bantul Pendidikan terakhir: IPPI Yogyakarta Pekerjaan: Pemilik dan Direktur Fania Food Bidang usaha: Produk olahan makanan laut

Untuk menemukan rumah produksi Fania Food, kita mesti menelusuri jalan sempit di kawasan Kota Gede,Yogyakarta. Di ujung gang terdapat sebuah motor dengan kotak besar di sadel belakangnya, bertuliskan ajakan gemar makan ikan, yang menandakan tujuan sudah dekat. Di belakang masjid kampung, sebuah rumah bercat putih dengan alat pendingin ukuran besar terlihat menonjol. Poster besar bertuliskan Fania Food, lengkap dengan sejumlah variasi makanan olahan daging ikan, seperti baso, sosis, lumpia, dan bandeng presto. Inilah rumah produksi Fania Food.

“Selamat datang di kantor sekaligus dapur Fania Food,� kata Hani dengan ramah, dan segera mengajak berkeliling. Kami sengaja diterima di rumah produksi, bukan di Bantul, tempat kediaman Hani. Dengan mengunjungi rumah produksi, kami dapat melihat langsung bagaimana perusahaan makanan olahan ikan tersebut berproses. Seorang pekerja sedang mengemas sejumlah makanan hasil olahan daging ikan. Tak hanya berbagai jenis makanan olahan berbahan baku ikan, terlihat juga aneka makanan berbahan udang dan ayam. “Udang dan ayam hanya pelengkap, utama usaha kami tetap pada ikan,� kata dia.

Hani menerima kami di sebuah ruang tamu sederhana dengan dinding yang dipenuhi berbagai sertifikat penghargaan.

5


Rumah yang dari luar tampak tidak terlalu besar tersebut, ternyata memiliki ruangan dapur yang cukup besar. Sepuluh perempuan sibuk bekerja. Ada yang membuat bakso, menggoreng, dan mencampur bahan. Sekalipun Fania Food merupakan usaha rumah tangga, namun suasananya seperti pabrik besar. Semua pekerja mengenakan seragam biru cerah, masker, dan sarung tangan. Namun, suasana rumahan tetap terasa saat para pekerja itu bergantian menyapa dengan ramah, sebelum kemudian meneruskan perkerjaannya masing-

masing. Sesekali juga terdengar obrol akrab di antara para pekerja. Sementara itu, dari balik jendela dapur, terlihat pemandangan sawah yang luas terhampar. “Dalam menjalani usaha, tidak bisa (hanya) mengandalkan insting atau mengharapkankan bisa besar dengan sendirinya. Semua harus diperhatikan dan dikerjakan, tidak saja dengan tenaga dan pemikiran, tapi juga sepenuh hati,� kata Hani, ibu dua anak yang kini tinggal di Yogyakarta.

Berawal dari Rumah Sejak kecil Hani tinggal dan bersekolah di Kudus, kota perdagangan. Dia baru meninggalkan kotanya ini ketika hendak meneruskan kuliah di Yogyakarta. Di kota inilah dia bertemu dengan suaminya dan kemudian menetap di sana. Pada tahun 2008, Hani telah dikaruniai dua orang anak. Sejak memiliki anak kedua inilah, suaminya beberapa kali mengharapkan Hani agar lebih fokus untuk mengurus dan mendidik anak-anak mereka. Hani pun berpikir untuk berhenti kerja.

Sebelum terjun secara total di bidang usaha ini, perempuan kelahiran Kudus, Jawa Tengah ini awalnya bekerja sebagai pengajar pada sebuah lembaga pendidikan diploma 1 dan diploma 2 di Yogyakarta sejak tahun 1997. Dia adalah anak pertama, perempuan satu-satunya dari empat bersaudara. Menjadi guru ibarat jalan hidup keluarganya. Itu pula yang ditekuni orangtua dan adiknya yang kedua. Belakangan, adiknya yang ketiga menjalani usaha wiraswasta, mengikuti jejak Hani. Sedangkan adik bungsunya masih kuliah.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

6

Menginspirasi Indonesia


“Namun saya belum berani mengambil keputusan. Selain masih merasa perlu mendapatkan penghasilan rutin, saya juga butuh aktivitas lain di luar rumah. Buat saya bekerja atau membuka usaha bukan sekadar mencari uang, tapi juga status sosial sekaligus kendaraan yang membantu kita berguna untuk orang banyak,” ujar pemenang Piala Presiden untuk Anugerah Pangan Nusantara (2014).

terbuat dari daging ikan tersebut. Mereka pun mulai meminta Hani membuatkan otak-otak tersebut, bahkan mulai ada yang memesan dalam jumlah yang cukup banyak untuk kebutuhan arisan. Untuk memenuhi pesanan ini, Hani lalu secara khusus belajar dari ibunya, mengenai cara pembuatan otak-otak ikan dan Ikan bandeng tulang lunak tersebut. Walau dulu ketika tinggal di Kudus sesekali membantu ibu membuat, namun karena kali ini untuk kebutuhan dijual, Hani tentu merasa perlu memperdalam kemampuan dari ibunya. Selanjutnya, untuk produksi sehari-hari, ia meminta bantuan pengasuh anaknya untuk juga bekerja di dapur.

Dalam rangka untuk mencari alternatif penghasilan tambahan itulah, Hani mulai merintis usaha makanan olahan berbahan baku ikan. Ide awalnya berawal dari kebiasaan orangtua Hani yang kerap berkunjung atau mengirimkan otak-otak yang terbuat dari daging ikan bandeng dari kampung halamannya di Kudus. Otak-otak dan ikan bandeng tulang lunak buatan ibu Hani selalu jadi oleh-oleh yang dinanti seisi rumah. Karena kiriman yang berlimpah, tak jarang Hani membawa otak-otak bandeng tersebut ke tempatnya bekerja, selain juga membagikannya ke tetangga.

Pesanan yang datang bertubi-tubi ini membuat Hani mulai percaya diri bahwa usaha ini memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan. Atas saran suami, Hani kemudian memasang iklan, sebesar 10 cm di sebuah koran daerah. “Anggap saja ini bagian dari tes pasar secara kecil-kecilan,” Jelas Hani. Ternyata iklan kecil itu mendapat banyak tanggapan, dari yang hanya bertanya hingga langsung memesan. “Jika awalnya saya hanya memproduksi 3 kg/hari, sejak pasang iklan bisa mencapai produksi 5 kg/hari,” katanya.

Ternyata banyak teman kerja atau tetangga yang kepincut rasa gurih otak-otak tersebut. Bahkan, banyak yang penasaran dengan makanan bernama otak-otak yang

7


Hani pun semakin gencar menawarkan otak-otak bandeng dan bandeng tulang lunak ke berbagai tempat. Sebelum berangkat ke kantornya, pagi-pagi sekali, dibantu seorang pekerja dapur yang merangkap pengasuh anaknya, ia mulai belanja bahan dan mengolah ikan menjadi otak-otak. Sepulang bekerja di kantor Hani, kembali bergulat dengan otak-otaknya, terutama mengenai pemasarannya.

bisa bertahan lama. “Otak-otak itu berakhir dengan saya makan sendiri,� ujarnya. Hani sempat jatuh mental. Namun, suaminya mendorongnya agar tak pantang menyerah apalagi putus asa. Hani mendapat semangat baru. Akhirnya, walau sempat ditolak sejumlah instansi, Hani melebarkan sayap penjualan dengan menawarkan produknya ke supermarket besar baik yang berskala lokal, nasional, bahkan internasional. Jaringan ke supermarket ini diperoleh dari keikutsertaanya dalam sebuah pameran dagang di Yogyakarta. Dalam pameran itu, Hani berkenalan dengan seorang manajer supermarket berskala internasional yang memintanya untuk presentasi dan membuat penawaran untuk menitipkan produknya.

Usahanya terus berkembang dan bisa menghasilkan otak-otak ikan hingga 30 kg/hari. Namun namanya usaha, pasti ada pasang surutnya. Ada kalanya otakotak ikan olahannya tidak habis terjual sehingga harus kembali ke rumah dalam jumlah yang banyak. Padahal, produk ikan olahannya tidak menggunakan bahan pengawet, sehingga tidak

Kegigihan Menembus Supermarket Walaupun telah mendapat undangan resmi, bukan berarti produk Hani bisa langsung diterima di supermarket tersebut. Pertama kali Hani membawa produknya, justru mendapatkan komentar negatif. Mulai dari kemasan yang tidak menarik, hingga tampilan daging ikan yang dianggap mengkerut. Padahal Hani merasa mengaku telah membawa produk

15 Perempuan Wirausaha Sosial

terbaiknya. Dia tidak menyerah. Untuk ke dua kalinya dia datang lagi, namun lagi-lagi Hani ditolak, kali ini dengan alasan rak yang tersedia telah penuh. Hani kemudian mengganti strategi pemasaran dengan mendekati supermarket lokal. Ternyata mereka menerima produknya dengan senang hati, bahkan

8

Menginspirasi Indonesia


hasil penjualannya sangat tinggi. Bermodalkan pembukuan dan bukti permintaan dari supermarket lokal, Hani kembali mendatangi supermarket besar itu dan mereka kemudian menerima produknya. “Bukti memang lebih bisa bicara ketimbang apapun,� kisah Hani, menyampaikan rahasianya menembus supermarket besar.

yang harus dikeluarkan untuk setiap sertifikat, akhirnya Hani berhasil memenuhi semua persyaratan itu. Dia kemudian mendaftarkan merek dagang Fania Food, yang diambil dari gabungan dua nama anaknya Farell dan Intania. Sesuai harapan, begitu berhasil menembus supermarket besar, penjualannya meroket. Pada tahun 2010, Fania Food bisa mengolah daging ikan hingga 200 kg/hari. Untuk itu, Hani juga menambah tenaga kerja yang ia ambil dari kaum ibu rumah tangga yang merupakan tetangga sekitar rumah produksi. Jika awalnya satu orang, lalu menambah pekerja hingga menjadi enam orang. Pada tahun itu pula, Hani berhasil membeli sebuah rumah senilai 100 jutaan rupiah di Kota Gede, yang kemudian dijadikan rumah produksinya. Bukan cuma itu, lewat bantuan Dinas Perindustrian dan Dinas Perikanan dan Kelautan Yogyakarta, Fania Food sering diikutkan ke berbagai lomba wirausaha dan berkali-kali menang. Di antaranya adalah Juara 3 kategori UKM (Usaha Kecil dan Menengah) pengolahan ikan terbaik tingkat Nasional, Anugerah Adibhakti Mina Bahari dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal itu membuat Fania Food semakin dikenal dan mendapat kepercayaan dari kosumen.

Diterima oleh pihak supermarket besar, tidak berarti Hani bisa langsung begitu saja memasukan barangnya. Dia harus melengkapi produk tersebut dengan berbagai surat perizinan, mulai dari merek dagang yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan, sertifikat halal, hingga sertifikat SNI (Standar Nasional Indonesia). Walau sempat kebingungan lantaran birokrasi yang belum dimengerti serta besarnya biaya

9


Totalitas Usaha Walaupun usahanya mulai diakui secara nasional, namun pada sekitar akhir tahun 2010, penjualannya mengalami penurunan, baik yang dijual melalui agen maupun penjualan di supermarket. Hingga puncaknya Hani harus mengurangi jumlah produksi sebesar 30 kg/hari.

berpikir untuk membuat variasi makanan olahan ikan, selain otakotak dan ikan bandeng presto,” ujar Hani. Hani pun teringat pada workshop tentang pengolahan aneka produk makanan dari ikan yang pernah diikutinya di Bogor di tahun itu. “Waktu itu saya malah agak sombong dan tidak terlalu memperhatikan materi pelajaran. Saya merasa, otak-otak dan ikan bandeng presto yang saya produksi telah berhasil, kenapa harus belajar membuat yang lain ?” kisah Hani. “Ternyata saya keliru. Maka saat itu pula, saya langsung mencari buku resep yang pernah dibagikan di workshop itu.”

Mendapati situasi ini ini, Hani yang semula mengelola Fania Food sebagai sambilan, akhirnya memutuskan untuk cuti dari pekerjaan rutinnya sebagai pengajar. Selama sepuluh hari ia keliling ke supermarket, menemui agen, serta pelanggan setia. Hani menemukan beberapa informasi penting, di antaranya munculnya para kompetitor yang menjual produk serupa. Produkproduk kompetitor ini diproduksi oleh pabrik besar dengan menggunakan pengawet sehingga bisa bertahan lama dan harganya pun lebih murah.

Bersama ‘si Mbak”, demikian Hani menyebut pekerja dapurnya, dia mulai mencoba mempraktikkan resep itu. Hani kemudian meminta masukan para pelanggan maupun agen. Mulai dari meminta usulan mengenai variasi makanan apa Selain itu, Hani juga mendapat yang diinginkan, hingga membagi masukan dari agen dan pelanggan secara gratis variasi makanan yang mulai bosan dengan produk yang baru dikembangkan. “Setiap Fania Food yang cenderung orang punya masukan. Mulai dari sama, yaitu otak-otak dan ikan rasa, jenis hingga kemasan. Saya bandeng presto. Akibatnya, banyak memikirkan dan mempertimbangkan pelanggan yang beralih ke merek setiap masukan itu,” kisah Hani. atau produk lain. “Maka saya

15 Perempuan Wirausaha Sosial

10

Menginspirasi Indonesia


Dengan metode ini, Fania Food kini sudah memiliki 18 produk makanan ikan dalam bentuk beku yang ditawarkan, antara lain otak-otak bandeng, bandeng presto, nuget ikan, otak-otak ikan, tahu bakso, sosis ikan, dan bola-bola cumi. Selain itu, dia juga memiliki lima produk makanan kering, antara lain abon duri bandeng, nila crispy, amplang bandeng, dan wader crispy. Harganya bervariasi, mulai dari Rp11.000,00 – Rp17.000,00, dengan kemasan 200-250 gram. Untuk presto dan otak-otak bandeng, ia menjualnya per ekor. Bahkan, kini Hani menargetkan ada satu produk baru tiap tiga bulan. Tim masaknya pun sudah berjumlah 13 orang.

50 agen penjualan yang tersebar di sejumlah kota, seperti Yogyakarta, Solo, Jakarta, Bandung, Cimahi, Depok, Surabaya, Kudus, Nganjuk, Banyumas, Medan, Denpasar, Malang, Semarang, Boyolali, dan Banjarnegara. Selain di supermarket, produk Fania Food juga hingga berhasil menembus rumah sakit, kantin sekolah, kantin TNI, dan banyak lagi.

Produksi dan penjualan aneka produk olahan ikan Fania Food pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011, omsetnya telah mencapai 90 juta rupiah per bulan. Pada saat itulah, akhirnya Hani memutuskan untuk berhenti dari pekerjannya sebagai staf pengajar dan bendahara di sebuah Belakangan ia juga memberdayakan lembaga pendidikan. Hani memilih Hari Susanto, sang suami, yang untuk fokus mengelola Fania Food. selama ini bekerja di dunia TI Keputusan itu terbukti tepat, karena (Teknologi Informasi) untuk ikut omset penjualannya semakin menangani usaha, di antaranya membesar. Pada akhir 2014, marketing via online. Penjualan omsetnya telah mencapai 180 juta Fania Food semakin meluas seiring rupiah per bulan. dengan banyaknya pihak yang menawarkan diri untuk menjadi Namun, keputusan untuk agen penjualan. Hani mematok meninggalkan pekerjaannya pembagian keuntungan berupa sebagai pengajar yang telah 20 persen dari harga jual diberikan ditekuninya selama 14 tahun itu kepada agen. Hingga kini Fania awalnya tidak mudah. Tentangan Food memiliki lebih dari keras datang dari keluarga besarnya, khususnya sang Ibu.

11


“Jika ternyata mau ‘jadi bakulan ikan’ (pedagang Ikan) ngapain sekolah tinggi dan jauh-jauh ke Yogyakarta,” ujar Hani, menirukan komentar ibunya.

membuka daerah pemasaran dan menularkan pengetahuan dan kemampuannya. “Saya datang ke PAUD, ibu-bu PKK, dan pihak mana saja yang membutuhkan pengetahuan atau kemampuan yang saya miliki. Baik itu mengenai manfaat mengkonsumsi ikan hingga bagaimana mengolah ikan menjadi sejumlah variasi makanan,” kata dia.

Di keluarganya, menjadi guru memang sudah semacam tradisi. Maklum, kakek dan orangtua Hani, juga berprofesi sebagai guru. Namun, Hani bisa meyakinkan ibunya. Dia berjanji untuk tetap berkomitmen dalam dunia pengajaran. “Setidaknya saya akan lebih punya waktu buat anak-anak saya, menjalani fungsi sebagai orangtua, sekaligus guru buat mereka,” kata Hani.

Kepada ibu-ibu rumah tangga yang merasa punya waktu lebih, ingin punya pendapatan tambahan, Hani mengajak untuk tidak ragu-ragu. “Jangan tunggu punya modal besar. Modal semangat saja, kalau kita menyukai yang kita kerjakan, pasti bisa,” katanya.

Seiring dengan berjalannya waktu, Hani ternyata tetap tidak bisa lari dari dunia belajar dan mengajar. Pengalamannya mengolah daging ikan dan kesuksesan memasarkannya, ditambah beberapa penghargaan yang diraihnya, membuat beberapa pihak meminta Hani menularkan pengetahuan dan kemampuannya. Dinas Kelautan dan Perikanan Yogyakarta kerap meminta saya untuk mengkampanyekan gemar makan ikan ke berbagai daerah. Setidaknya dua bulan sekali, Hani diundang ke luar Pulau Jawa, seperti ke Lombok, Gorontalo, Makasar, Balikpapan, untuk 15 Perempuan Wirausaha Sosial

12

Menginspirasi Indonesia


Tips usaha Fania Food:

1. Bekerja, tidak hanya dengan tenaga dan pikiran saja, tapi juga dengan hati. Hani percaya segala hal yang dikerjakan dengan hati akan diterima orang lain juga hingga ke hati. “Tidak ada ‘hal kecil’ dalam bekerja dan membuka usaha, semua adalah hal besar.” 2. Utamakan Mutu. Hani tidak mau berkompromi dengan mutu demi mendapatkan konsumen yang lebih banyak. “Saya pernah mendapat pesanan sekian ton, namun saya tolak karena permintaan tersebut mengharuskan saya menggunakan kualitas daging yang tidak baik.” 3. Kelola keluhan menjadi masukan. Banyak pihak menerima keluhan pelanggan atau agen sebagai omongan yang cerewet atau tidak paham usaha keras yang telah dilakukan. Padahal kalau benar-benar mendengar dan mengelola sebagai masukan, bisa menjadi modal penting untuk maju. “Saya selalu meminta pendapat pelanggan, agen mengenai rasa, kemasan hingga produk apa yang ingin saya keluarkan.” 4. Pekerja adalah mitra, bukan bawahan. Saya membuka ketersediaan bahan, bumbu, dan lainnya seluas-luasnya bagi pekerja saya. Mengenai upah dan kebutuhan lain, selalu dibicarakan bersama. “Fania memiliki tradisi berbagi produk untuk pekerja. Jangan sampai mereka yang telah bekerja memasak, namun tidak pernah mencicipi hasilnya.” 5. Tidak putus asa. Hani berprinsip, kesuksesan tidak datang dalam satu malam, jangan juga biarkan kegagalan menghentikan kita pada langkah menuju itu. “Yang penting adalah terus berusaha, gagal atau sukses, bukan kita yang menentukan.”

13


KSU Muara Baimbai: Merawat Mangrove, Menjaga Kehidupan

Pen

sepeda pagi har gunjung menikmati ber

15 Perempuan Wirausaha Sosial

14

i di lokasi wisata pantai

Menginspirasi Indonesia

la oleh mangrove yang dikelo KSU Muara Baimbai.


15

Foto-foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

Penginapan yang dapat disewa oleh pengunjung bila ingin menikmati suasana hutan mangrove.


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

KSU Muara Baimbai

Bidang Bisnis: Berdiri Sejak: Aneka produk kudapan dari bakau, wisata mangrove, _______________ koperasi simpan pinjam, jual beli hasil tangkapan nelayan Modal: _____________________________ Iuran anggota Rp15.000,00 /orang +

Juli 2013

Jenis Produk: kudapan dari bakau (kerupuk, dodol, teh) _____________________ Omset:

Âą Rp1,5 miliar/tahun

(semua bidang bisnis) ____________________________

84 orang

Karyawan: (anggota KSU) ____________________________ Penjualan: Toko sendiri di kantor KSU, pesanan, kawasan wisata mangrove

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Rp100.000.000,00

(bantuan British Council) _____________________________ Harga: Rp7.000,00 - Rp10.000,00 (produk bakau) _____________________ Supplier: anggota koperasi ___________________ Kapasitas Produksi:

Âą50 kg/bulan untuk kerupuk

16

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Dusun III, Desa Sei Nagalawan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara

17


Kini, area pesisir yang tadinya gersang, sudah mulai rimbun dengan ribuan pohon mangrove yang tumbuh subur dan menjadi habitat hidup beberapa jenis ikan dan burung seperti bangau putih, cucut udang, kalahiyang dan berunak. Jumiati Nama: Jumiati Tempat, Tanggal Lahir: Lubuk Cuik, 8 Januari 1981 Pendidikan: SMK Kabupaten Batu Bara Pekerjaan: Ketua Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung, Desa Sei Nagalawan Bidang usaha: produk makanan dan minuman dari bakau, wisata mangrove, jual beli hasil tangkapan nelayan dan simpan pinjam

15 Perempuan Wirausaha Sosial

18

Menginspirasi Indonesia


S

ore menjelang. Langit cerah. Angin menggoyangkan dedaunan mangrove atau bakau, mengusik burung bangau yang hilir mudik beterbangan. Ikan-ikan kecil merayap di selasela akar mangrove, menarik perhatian kerumuman orang yang berjalan di atas jembatan dari bilah bambu. Kerumuman orang yang lain asyik berfoto di pantai berpasir putih dengan latar belakang deburan ombak Selat Malaka. Itulah pemandangan suatu sore di kampung kecil di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Kurang dari sepuluh tahun lalu, kawasan ini sebenarnya hanyalah desa biasa yang dihuni nelayannelayan kecil. Pantainya tergerus abrasi dan warga desa dibelit kemiskinan. Namun, kini kawasan ini menjelma sebagi “Pusat Wisata Mangrove Kampoeng Nipah�. Selain menyajikan permainya hutan bakau yang menjadi habitat aneka satwa, kampung ini juga dikenal sebagai penghasil aneka panganan terbuat dari mangrove. Itu semua dimulai dari usaha Jumiati dan suaminya, Sutrisno, yang merintis penanaman mangrove sejak 2009. Rumah produksi makanan berbahan bakau ini hanya sekitar 500 meter dari hutan wisata. Rumah yang sekaligus menjad kantor Koperasi Kelompok Perempuan Muara Tanjung Desa Sei Nagalawan itu terbuat dari kombinasi dinding bata dan anyaman bambu. Papan informasi bertuliskan Koperasi Serba Usaha (KSU) Muara Baimbai terpampang jelas di dekat pintu masuk. Dari dalam ruangan terdengar suara beberapa perempuan berdiskusi. “Yang ini buat contoh ke Medan,� ujar Jumiati, sambil menunjukkan produk kerupuk yang dibungkus plastik alumunium, sebelum memasukkannya ke dalam tas jinjing. Perempuan yang lain sibuk memasukkan kerupuk ke dalam wadah plastik, lalu memberikan

19


kepada rekannya untuk ditimbang. Kerupuk-kerupuk yang telah terbungkus plastik kemudian dikemas dengan alat press sealed. Begitu seterusnya hingga setidaknya terkemas 50 bungkus kerupuk yang siap dijajakan di kawasan Wisata Mangrove Kampoeng Nipah.

pemerintah dari kabupaten ataupun provinsi, terutama bila ada kegiatan pameran.

Menurut Jumiati, pembuatan kerupuk daun bakau ini tidak terlampau sulit. Namun, hanya jenis jeruju (Acantus Ilicifolius) saja yang bisa diolah menjadi kerupuk. Setelah pucuk daun Daun pohon bakau yang diolah jeruju dipetik, kemudian dibersihkan menjadi kerupuk itu berasal dari jenis dan dipotong tepian daunnya yang jeruju. Selain kerupuk, daun ini juga agak tajam. Setelah daun-daun bisa diolah menjadi teh. Sementara tersebut diblender dan direbus hingga itu, buah pohon bakau dari jenis mendidih, kemudian dicampur dengan pidada dan api-api, diolah menjadi tepung tapioka dan beberapa bumbu, dodol dan minuman sejenis sirup. seperti ketumbar, bawang putih, dan “Kalau kerupuk yang bungkusnya garam. Adonan ini kemudian dicetak plastik biasa, harganya Rp7.000,00 dan digoreng dalam minyak panas. per 100 gram. Kalau bungkusnya Hasilnya adalah kerupuk yang garing plastik alumunium jadi Rp10.000,00” dan renyah. Aromanya pun khas, ujar Jumiati, yang juga menjabat dengan warna hijau muda alami. sebagai Ketua Kelompok Perempuan Muara Tanjung. Sedangkan untuk membuat teh dari daun jeruju, prosesnya lebih “Tadinya kami menyewa toko di gampang lagi. Daun jeruju pilihan Bengkel, tapi sekarang tutup. dimasukkan ke dalam alat pencacah Ongkosnya mahal,” sebut Jumiati. daun sehingga berukuran kecil. Bengkel yang dimaksud adalah Cacahan daun ini kemudian nama sebuah pasar tradisional disangrai hingga terlihat mengering, yang terletak sekitar 14 kilometer lalu siap diseduh dengan air panas. dari desa mereka. “Sekarang, “Kalau teh, Rp10.000,00 per pemasarannya hanya ke pantai 30 gram,” ucap ibu dua anak ini (kawasan Wisata Mangrove menjelaskan harga jual kemasan ini. Kampoeng Nipah) dan kalau ada pesanan aja,” tambah Jumiati, Delapan tahun sejak dirintis, perempuan kelahiran Sumatera produksi kerupuk ini dapat mencapai namun masih memiliki dialek Jawa hingga 50 kg per bulannya dengan yang kental ini. Salah satu pemesan keuntungan rata-rata 4 juta rupiah tetap usaha mereka adalah instansi per bulan. Pendapatan tambahan ini belum ditambahkan dari usaha lain

15 Perempuan Wirausaha Sosial

20

Menginspirasi Indonesia


koperasi perempuan ini yang meliputi simpan pinjam, wisata mangrove, jual beli hasil tangkapan ikan. Sektor wisata termasuk yang paling banyak memberi sumbangan pemasukan, mencapai 100 juta rupiah per bulan. Jika dirata-rata, para perempuan anggota kelompok ini bisa meraup penghasilan sebesar 4 juta rupiah hingga 9 juta rupiah per bulan dari pembagian sisa hasil usaha koperasi. Jumiati dan salah satu anggota KSU Muara Baimbai sedang mempersiapkan kayu bakar untuk memasak atau api unggun bagi pengunjung wisata mangrove.

Dampak Kerusakan Mangrove Sesungguhnya, tidak pernah ada dalam benak Jumiati dan para perempuan nelayan lain bahwa mangrove ternyata bisa meningkatkan taraf hidup mereka. Hingga tahun 2009, keluarga nelayan ini masih dibelit kemiskinan. Penghasilan keluarga mereka rata-rata Rp3.000,00 – Rp9.000,00 per hari yang semuanya diperoleh dari hasil tangkapan suami mereka sebagai nelayan. Jumiati, dan kebanyakan perempuan nelayan lainnya, berperan sebagai ibu rumah tangga yang belum bisa membantu peningkatan ekonomi keluarga. Penghasilan ini tak bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, sehingga seringkali mereka harus meminjam uang dari “bakrie� (batakkredit) dengan bunga mencekik.

21

Tidak sedikit masyarakat yang harus menjual harta mereka seperti cincin kawin demi membeli beras dan lauk-pauk. Seperti kebanyakan desa pesisir, mayoritas masyarakat Desa Sei Nagalawan bermata pencaharian sebagai nelayan. Sebagaimana mayoritas nelayan di negeri ini, mereka menggunakan alat tangkap sederhana seperti jaring dan perahu sampan kecil. Selain kerja keras, pendapatan seharihari mereka sangat ditentukan oleh kondisi cuaca. Padahal, cuaca bisa menjadi sangat tidak bersahabat saat musim angin barat. Ombak sangat tinggi dan badai kerap terjadi. Namun, tidak melaut berarti tidak makan. Maka,


banyak nelayan yang sering nekat tetap melaut di musim angin barat dan akibatnya banyak yang celaka, bahkan tak pulang selamanya.

suami Jumiati yang juga didaulat menjadi Ketua Koperasi Serba Usaha Muara Baimbai. Sebelum pengembangan industri tambak tersebut, desa mereka memang Kerusakan kawasan mangrove belum memiliki listrik dan akses membuat nelayan kecil terpaksa masuk dari jalan raya antar harus mencari ikan semakin jauh kabupaten hanyalah jalan setapak ke laut. Kawasan pantai tak lagi dan berlumpur di musim hujan menyediakan cukup ikan. Padahal, meskipun terletak hanya 15 jika merunut kembali hingga tahun kilometer dari ibukota Kecamatan 1970-an, desa yang berjarak sekitar Perbaungan. Luas wilayah yang 42 km dari Bandara Kualanamu mencapai 871 hektar, membuat ini merupakan bagian dari sabuk masyarakat terbagi menjadi tiga hijau mangrove yang memanjang dusun. Jumiati dan suaminya di pesisir timur Sumatera Utara. tinggal di Dusun 3, dusun terjauh Orang-orang tua masih ingat bahwa dan berbatasan langsung dengan untuk menangkap ikan dan udang Selat Malaka. serta kepiting lebih mudah dan tidak perlu berlayar hingga jauh Namun, pembangunan itu ternyata ke tengah laut. Namun, semenjak membawa dampak negatif terhadap pembangunan besar-besaran di lingkungan. Kerusakan ekologi tahun 1980-an, kawasan ini beralih membuat pendapatan nelayan dari fungsi menjadi tambak udang, laut semakin berkurang. Sejatinya, perkebunan, dan sawah. Tidak hutan mangrove dapat memberikan kurang dari 2.500 hektar lahan manfaat yang besar bagi ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang sekitarnya. Mangrove (Genus: Bedagai rusak akibat kegiatan masif Rhizopora) memiliki beragam jenis ini, terutama untuk pengembangan spesies seperti kurap (Rhizopora industri udang windu. Selain mucronata), minyak (Rhizopora menghilangnya udang dan ikan di apiculata) dan jeruju (Acantus pesisir, dampak buruk lainnya dari Ilicifolius). Tanaman yang juga rusaknya mangrove adalah angin dikenal sebagai bakau ini memiliki kencang dan gelombang pasang banyak manfaat seperti menahan yang kerap menerjang hingga ke terjadinya abrasi dan intrusi air laut Desa Sei Nagalawan. ke lahan pemukiman, tempat hidup kepiting, ikan dan burung hingga “Memang ada bagusnya juga. menjadi produk makanan yang Desa kami ada listrik dan jalan dapat dikonsumsi. dibangun,� kenang Sutrisno,

15 Perempuan Wirausaha Sosial

22

Menginspirasi Indonesia


Mulai Menanam Mangrove Situasi inilah yang kemudian menggerakkan Jumiati dan suaminya. Keduanya bertekad memperbaiki kondisi hutan mangrove di pesisir desa berpenduduk sekitar tiga ribu jiwa ini. Dengan memperbaiki mangrove, maka ekonomi warga akan meningkat. “Kami mulai dari orang terdekat dulu,” kenang Sutrisno, lelaki asli keturunan etnis Banjar, Kalimantan Selatan yang semasa mudanya sudah dikenal sebagai aktivis nelayan.

beberapa kerabat dan kawan dekat. Namun, semangat saja ternyata tidak cukup. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang penanaman dan perawatannya, sebagian besar mangrove yang ditanam mati. Hanya sekitar 300 bibit yang dapat tumbuh dengan baik. Jumiati dan Sutrisno pantang menyerah. Sambil terus menanam, mereka belajar. “Saat itu kami masih membentuk kelompok konservasi mangrove,” kenang Jumiati. Sepanjang tahun itu pula, Jala senantiasa mendampingi mereka dalam hal Namun, upaya ini tidak mudah. pengembangan mangrove yang “Gimana orang mau percaya baik. Ia dan perempuan lainnya (pemberdayaan masyarakat) kalau pun bersemangat untuk menanam kalian masih saja miskin?” ujar bakau dengan alasan utama Sutrisno menirukan ucapan salah untuk melindungi desa mereka satu temannya, yang juga aktivis dari terpaan angin kencang dan nelayan dari Medan. Perkataan itu gelombang pasang dari laut. Selain benar-benar membekas di benak itu, mereka memimpikan kembalinya Sutrisno dan Jumiati, yang kemudian ekosistem mangrove seperti dulu makin memantapkan niat mereka sehingga hasil tangkapan ikan bisa untuk membangun jalan keluar bagi berlimpah lagi. kemiskinan warga mereka. Sekitar akhir tahun 2006, ketika Pada tahun 2004, Jumiati dan tanaman bakau sudah mulai tumbuh Sutrisno memulai penanaman dengan baik, Jala memberikan mangrove. Melalui jaringan pengetahuan terkait jenis bakau Sutrisno di Serikat Nelayan yang dapat diolah dan dikonsumsi Sumatera Utara (SNSU), yaitu oleh manusia. Dari lembaga inilah, Jala (Jaringan Advokasi Nelayan Jumiati dan kawan-kawannya Sumatera Utara), mereka mendapat mengetahui bawah ternyata jenis bantuan dua ribu bibit mangrove. bakau jeruju, api-api, dan pidada Dengan bersemangat, mereka yang mulai tumbuh subur di lokasi menanamnya, yang dibantu oleh penanaman mereka ternyata dapat

23


diolah menjadi kerupuk, dodol, hingga sirup. Di tahun yang sama pula, melalui pendekatan yang dilakukan oleh Sutrisno dan Jumiati, mereka mendorong terbentuknya Koperasi Muara Baimbai yang ditujukan untuk para nelayan lakilaki, dan Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung sebagai wadah bagi istri nelayan untuk mengelola kegiatan mangrove ini.

Hingga pada tahun 2007, Yayasan Kekar, dari salah satu jaringan Sutrisno dan Jumiati, memberikan bantuan pendampingan tentang pengembangan kredit simpan pinjam. Mereka pun segera membentuk usaha kredit simpan pinjam atau Credit Union (CU). Dengan cara berpatungan, setiap anggota sepakat untuk menyerahkan iuran awal sebesar Rp15.000,00 yang terdiri dari Rp5.000,00 sebagai iuran wajib dan Rp10.000,00 sebagai uang pangkal. Keberadaan CU ini ternyata sangat membantu anggotanya. Mereka bisa meminjam tanpa harus ketar-ketir terjerat bunga tinggi seperti ketika mereka meminjam kepada “bakrie�. Lebih menguntungkannya lagi, setiap lebaran, CU ini pun memiliki sisa hasil usaha (SHU) yang dapat dibagikan kepada anggotanya.

Jika para lelaki sibuk melaut, para perempuan nelayan ini mulai belajar berjualan. Dengan modal berpatungan dari 12 orang anggotanya, mereka mampu membeli dua karung beras. Dari situ, mereka menjual kembali dengan dalam bentuk bungkusan kecil seberat satu kilogram dengan harga Rp4.500,00. Usaha ini diminati oleh tetangga mereka karena menggunakan sistem cicilan dan dengan harga lebih murah dari tempat lain. Namun, tidak lama berjalan, kurangnya pengetahuan akan manajemen dan memutar uang untuk modal usaha, membuat usaha mereka menyusut dan akhirnya terhenti. Meskipun telah mendapatkan pengetahuan mengenai potensi pengolahan bakau, kebutuhan akan sembako murah untuk konsumsi sehari-hari dianggap lebih dibutuhkan. Baru pada awal 2008 mereka mulai melirik potensi pengolahan kawasan mangrove yang dapat membantu ekonomi rumah tangga.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Kelompok nelayan laki-laki pun mulai merasakan manfaat CU, seperti tersedianya dana perbaikan perahu atau alat tangkap. Pada perjalanannya, kedua kelompok ini kemudian bekerja sama dan bergabung di dalam nama Koperasi Serba Usaha Muara Baimbai yang mencakup bidang usaha simpan pinjam, pengolahan produk kawasan mangrove, jual beli hasil tangkapan nelayan dan pengelolaan wisata mangrove.

24

Menginspirasi Indonesia


Para ibu an

ggota kelom

pok KSU M

uara Baimba

i.

Jalur susur hutan mangrove.

Pohon mangrove yan

g tumbuh subur di kaw 25

asan pantai.

Foto-foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

Jumiati dan Sutrisno.


Wisata Mangrove Kampoeng Nipah Kini, di atas kawasan pesisir seluas 5 hektar inilah Sutrisno dan Jumiati berserta anggota kelompok KSU Muara Baimbai banyak menghabiskan waktu mereka, terutama di akhir pekan. Mereka mengklaim, ratusan orang datang setiap akhir pekan menikmati wisata mangrove atau sekedar makan di kedai yang mereka siapkan di lokasi yang menghadap tepi laut. Secara bertahap sejak Oktober 2014 mereka membangun beberapa fasilitas seperti homestay, toilet, kedai dan puluhan balai-balai bambu berukuran sekitar 2x2 m beratapkan daun kelapa kering yang dapat digunakan pengunjung untuk beristirahat. Semua fasilitas ini dibangun dengan modal dari berbagai pihak seperti ketika mereka mendapatkan bantuan dana sebesar kurang lebih 100 juta rupiah dari Bristish Council yang menyetujui proposal mereka tentang konsep ekowisata berbasis masyarakat.

Beberapa sekolah sudah menjadi pelanggan regular mereka setiap tahunnya. Untuk mempromosikan usaha mereka, salah satu upaya Sutrisno adalah menggandeng salah satu biro travel wisata yang mempromosikan lokasi ini ke sekolah atau perguruan tinggi hingga masyarakat umum. Para pelajar ini datang lalu diantar berkeliling oleh para pemandu, yang juga adalah anggota koperasi, untuk melihat hutan mangrove dan mendapat penjelasan tentang ekosistem mangrove serta manfaatnya bagi kehidupan. Sebelum datang, para pengunjung dengan tujuan kelas mangrove pun dapat memilih beragam paket pelayanan sesuai keinginan. Misalnya paket trecking dan makan atau trecking, makan dan menanam mangrove. Semua dapat disesuaikan dengan anggaran pengunjung.

Untuk selalu memberikan pelayanan yang optimal, anggota Pengelolaan wisata mangrove ini KSU Muara Baimbai pun selalu banyak menarik perhatian dan melakukan peningkatan kapasitas kunjungan dari berbagai tempat mereka sebagai pemandu. bahkan dari luar negeri. Sebut saja Di sela-sela kegiatan mereka SMKN 10 Medan, SMPN 11 Medan mengurus kawasan wisata ini, hingga kampus dari Malaysia dan tidak jarang mereka bertukar Thailand yang sengaja datang untuk pikiran tentang bagaimana mengikuti kelas mangrove, begitu menjadi pemandu yang para anggota KSU ini menyebutnya. baik termasuk memperbarui

15 Perempuan Wirausaha Sosial

26

Menginspirasi Indonesia


pengetahuan tentang mangrove. “Sekali memandu, mereka (para pemandu), mendapatkan Rp100.000,00,” tambah Jumiati. Tentu saja, hal ini akan memicu semangat pemandu yang rata-rata adalah pemuda ini untuk selalu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka, termasuk keterampilan memandu. “Paling lucu kalau dapat anak SD,” tambah Jumiati sambil menahan tawa. “Rame sekali, kadang minta digendong,” ujarnya sembari tertawa.

mangrove. Mereka juga sudah menjadi langganan pemerintah untuk menghadiri pertemuan hingga ke tingkat nasional.

Sutrisno, Jumiati dan anggota lainnya sedang berupaya untuk mengembangkan bangunan koperasi mereka agar memiliki outlet khusus yang tidak hanya menjajakan produk mangrove buatan mereka, tapi juga produk usaha UKM lainnya di Kecamatan Perbaungan. “Ada kerajinan tangan, camilan bahkan salon,” jelas Jumiati. Sesuai dengan Kini, area pesisir yang tadinya tujuan dibentuknya KSU ini, yaitu gersang, sudah mulai rimbun meningkatkan kesejahteraan dengan ribuan pohon bakau yang dengan proses pendidikan melalui tumbuh subur dan menjadi habitat kegiatan ekonomi, jenis usaha ini hidup beberapa jenis ikan dan tidak hanya mengejar laba dan burung seperti bangau putih, cucut bertindak sebagai derma, namun udang, kalahiyang dan berunak. menciptakan pelayanan diantara Usaha keras membangun desa mereka sendiri dan membantu yang dilakukan lebih dari 10 orang lain. tahun sudah mulai menampakkan hasilnya. Masyarakat desa, Sesungguhnya, Serdang adalah bukan hanya anggota KSU Muara nama sebuah pohon yang kokoh Baimbai ini sudah merasakan dan selalu digunakan sebagai manfaatnya. Jumiati dan temanbahan untuk membuat rumah. teman perempuannya pun Filosofi ini tampak meresap ke tidak lagi hanya membesarkan dalam jiwa para masyarakat usaha mereka sendiri, namun nelayan di pinggiran pantai Desa juga berbagi pengetahuan Sei Nagalawan, Kabupaten Serdang dan pendampingan ke dusun Bedagai, Sumatera Utara yang lain, seperti di kawasan Pantai tak pernah layu dan rapuh untuk Cermin, untuk membuat kerupuk kehidupan yang lebih baik.

27


Beras Super Sri Sadono: Bangga Menjadi Petani Beras

an padi, yang lakukan panen tanam Para petani sedang me at Indonesia. rak sya ma ok pok merupakan makanan

15 Perempuan Wirausaha Sosial

28

Menginspirasi Indonesia


29

Foto-foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

Yayuk bersama ibu, suami dan anaknya di depan toko kelontong mereka.


Profil Bisnis CV. Adikarya

Nama Perusahaan:

Bidang Bisnis: Aneka produk beras ____________________ Jenis Produk: Beras ciherang, IR 64, membrano, pulen, wangi, merah, bekatul instan, bekatul cookies, kedelai instan, bawang goreng, sorghum, tiwul instan, nasi jagung instan, kompos, arang sekam, kacang hijau dan aneka kerajinan ___________________________

Berdiri Sejak:

17 April 2013 _____________________ Modal:

Âą Rp100 juta

(tidak termasuk bangunan/tempat) ___________________________ Harga:

Rp15.000,00 Rp500 juta/tahun Rp45.000,00 Omset:

____________________________

3 orang

Karyawan: __________________________ Penjualan: toko sendiri di desa, distribusi ke penyalur di Malang dan Surabaya

___________________________ Supplier: 10 petani mitra, 2 petani supplier beras merah dan petani supplier beras lainnya di Nganjuk _____________________________ Kapasitas Produksi:

Âą 100 ton/tahun 15 Perempuan Wirausaha Sosial

30

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Dusun Bulu, Desa Putren No. 51 RT2/RW1 Kecamatan Sukomoro Nganjuk, Jawa Timur

31


Sistem zero waste farming atau pertanian tanpa limbah yang mengintegrasikan pertanian dengan sektor pendukungnya, seperti peternakan untuk menghasilkan 4F, yaitu food, feed, fertilizer, fuel (makanan, pakan ternak, kompos, dan bahan bakar berupa gas/listrik). Yayuk Sri Rahayu

15 Perempuan Wirausaha Sosial

32

Menginspirasi Indonesia


J

am menunjuk pukul 06.30 WIB, Yayuk Sri Rahayu baru saja membuka toko kelontong yang terletak di samping garasi mobil di bagian depan rumah ibunya di Dusun Bulu, Desa Putren No.51 RT2/RW1 Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. “Kalau yang ini, Rp20 ribu,” sebut perempuan pengusaha lulusan Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada ini, sambil menunjuk beras merah dalam plastik bening kedap udara seberat 800 gram. “Yang itu, Rp45 ribu,” kali ini ia menunjuk pada tumpukan beras putih kemasan 5 kg di pojok toko. Dalam lemari pajangan di dinding bagian dalam dan depan toko terlihat kemasan beras merah lainnya yang tersusun rapih.

Sayangnya, sampai saat ini, bekatul hanya populer sebagai pakan ternak. Padahal, bekatul mengandung komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi pangan fungsional yang bernilai gizi dan menyehatkan. Kandungan asam amino pada bekatul, juga bisa ditambahkan pada produk-produk kecantikan seperti sabun mandi, pelembab, pembersih kulit, dan lain-lain. Tujuannya untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan kulit. Selain itu, bekatul juga mengandung asam ferulat yang akan melindungi asam lemak melawan kerusakan oksidasi yang disebabkan oleh berbagai polutan, peroksida, dan radikal bebas yang dibentuk selama metabolisme tubuh. Sederet manfaat baik bekatul inilah yang mendorong Yayuk menjajakan bahan makanan ini, termasuk juga minuman dan sabun berbahan bekatul di tokonya.

Tidak hanya menjual beras putih dan merah, toko ini juga menjual varietas beras lainnya seperti IR64, membramo, dan ciherang. Bahkan, produk-produk turunan padi lainnya juga bisa diperoleh di sini, seperti bubuk bekatul dan kue berbahan bekatul. Rice bran atau biasa dikenal sebagai bekatul adalah hasil samping pemrosesan gabah menjadi beras, yang terdiri dari lapisan aleurone, kulit benih dan embrio benih. Setidaknya 10% bekatul dihasilkan dari proses ini. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok, produksi bekatul tentu saja cukup besar.

Yayuk mendirikan toko ini pada tahun 2012. Tak hanya menjual bahan makanan berbasis beras, toko yang diberi nama “Sri Rahayu” ini juga menyediakan perlengkapan mandi, masak, hingga cuci. Produkproduk miliknya selain bisa diperoleh di tokonya di Nganjuk, juga bisa ditemukan di kota lain seperti Malang dan Surabaya. Penjualan di luar Nganjuk ini, dititipkan kepada keluarganya. “Yang di Surabaya,

33


yang beli ya tetangga-tetangga kompleks rumah adik saya, sudah pada hapal,” tambahnya.

1,5 ton dari penjualan di Malang, dan 500 kg di Surabaya. Semua beras yang dijual Yayuk ini dihasilkan dari areal persawahan seluas seluas 3,5 hektar milik keluarganya. Dalam satu tahun, sawah yang terletak di Desa Putren itu dapat menghasilkan tiga kali panen, dengan sekali panen mencapai kurang lebih 28-30 ton. “Satu hektar itu kira-kira 8 ton,” ujar perempuan kelahiran 40 tahun silam ini. Jenis yang ditanam adalah jenis padi ciherang, karena karakter bulirnya yang lebih panjang, wanginya khas dan pulen.

Mengikuti tren, Yayuk juga pernah mencoba memasarkan beras dan produk beras lainnya dengan memanfaatkan jalur daring. “Tapi sekarang online sudah enggak, mahal ongkos kirimnya dibandingkan harga barangnya,” ujarnya sembari tertawa. Ia menyebutkan, dalam sebulan, mampu menjual sekurangkurangnya lima ton beras, yang terbagi menjadi tiga ton dari penjualan di tokonya di Nganjuk,

Pertanian Tanpa Limbah Saat ini, sebagian areal persawahan di Desa Putren ini terancam untuk beralih fungsi. “Sekitar 25 hektar sawah di sini kena (pembangunan jalan) tol,” kata perempuan itu, sembari memandang areal persawahan yang dipenuhi oleh tanaman padi yang masih hijau. Rencana pemerintah untuk membangun jalur transportasi jalan tol sepanjang kurang lebih 87 kilometer yang menghubungkan Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Kertosono, akan menghilangkan ratusan hektar lahan sawah dari kabupaten Ngawi, Nganjuk, Magetan, Madiun dan Jombang. Tidak hanya itu, gempuran alih fungsi lahan pun merambah ke

15 Perempuan Wirausaha Sosial

wilayah pembangunan pemukiman. Tidak sedikit masyarakat yang melepas lahan persawahannya untuk dijadikan perumahan dan hunian baru. Terletak sekitar 120 kilometer sebelah barat Surabaya, Nganjuk sebenarnya lebih dikenal sebagai surganya bawang merah di Jawa Timur, bahkan produsen nomor dua se-Indonesia, hanya di bawah Brebes. Produksi per tahunnya mencapai setidaknya 1,3 juta ton. Tidak kurang dari 11 ribu hektar menjadi areal penanaman bawang merah. Namun, Yayuk dan suaminya tidak tergiur untuk mengalihfungsikan lahan mereka. Meskipun secara

34

Menginspirasi Indonesia


“Di sini (hasil pertaniannya) nggak ada yang dibuang,� ungkap ibu satu anak ini sambil tersenyum.

ekonomi, harga bawang lebih tinggi dibandingkan beras, Yayuk tetap menginginkan sawah mereka ditanami padi. Selain meneruskan tradisi keluarga sebagai petani padi, Yayuk juga masih percaya bahwa jika dikelola dengan baik, pertanian padi masih menjanjikan.

Misalnya batang padi atau jerami hasil panen di gudang penyimpanan/lumbung padi seluas Yayuk menerapkan cara bertani 180 meter persegi, yang terletak yang tidak menggunakan pupuk sekitar 500 meter dari rumahnya, kimia dan pestisida karena ingin diubah menjadi kompos bersama menghasilkan beras yang sehat dengan kotoran sapi dari lima ekor untuk dikonsumsi. Berbeda dengan sapi peliharaan mereka. Jerami petani yang hanya mengolah lahan, dan rumput gajah yang ditanam di menanam benih hingga mengolah area seluas 1.400 meter persegi tanaman, Yayuk menggunakan miliknya pun diperuntukkan sebagai pendekatan berbeda yaitu pakan ternak sapi. Bahkan, mengembangkan pertanian organik kotoran ternak pun diolah menjadi dengan sistem zero waste farming bahan bakar biogas yang dapat atau pertanian tanpa limbah yang menghidupkan listrik dan kompor mengintegrasikan pertanian dengan untuk tiga bangunan, yaitu lahan sektor pendukungnya, seperti gudang 1.000 meter persegi (yang peternakan untuk menghasilkan juga berfungsi sebagai kantor, 4F, yaitu food, feed, fertilizer, fuel gudang dan pemrosesan beras), (makanan, pakan ternak, kompos, dan rumah orangtua Yayuk. dan bahan bakar berupa gas/listrik. Untuk teknologi biogas ini, Yayuk menggandeng mitra dari Politeknik Negeri Malang pada tahun 2015. Bahkan bantuan ini pun berlanjut dengan mendapatkan satu buah unit flatbed dryer untuk mengeringkan gabah ketika musim hujan. Lagilagi, bahan bakarnya diperoleh dari sekam atau jerami.

Sapi peliharaan Yayuk yang berkontribusi pada penyediaan pupuk organik serta bahan bakar gas. Foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

35


Memilih Menjadi Petani Perempuan kelahiran Nganjuk, 28 Maret 1976 ini sebenarnya tidak pernah membayangkan akan menjadi petani. Ayahnya bekerja di desa sebagai pegawai BRI dan ibunya adalah seorang sekretaris desa sambil menjadi petani padi. Kedua orangtuanya ini menginginkan Yayuk keluar dari desa dan hidup lebih baik di kota. Yayuk sempat menuruti kemauan orangtuanya ini dengan menjajal hidup di luar desa.

Selama kurang lebih empat tahun, ia hidup di ibukota dengan karir yang menjanjikan. Beberapa kali dia dikirim ke luar negeri. Namun, dengan alasan melanjutkan pendidikan, ia lalu berhenti kerja dan pindah ke Yogyakarta pada tahun 2003. Ia memilih melanjutkan kuliah pascasarjana di Universitas Gajah Mada mengambil jurusan Magister Management. Sembari menyelesaikan studinya, ia bekerja sebagai Quality Control Representative di Indonesia untuk sebuah perusahaan dari Hong Kong, RT Sourcing Asia Ltd. Pekerjaan ini banyak menuntutnya bepergian ke daerah-daerah untuk mengunjungi pabrik-pabrik. Pekerjaan ini dilakoninya hingga lulus kuliah tahun 2007.

Selepas menyelesaikan kuliah S1nya di Teknik Elektro Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 1999, Yayuk lalu bekerja di salah satu perusahaan dari Eropa, IKEA di Jakarta sebagai Quality Assurance Engineer. Tugasnya adalah mencari supplier sekaligus mengontrol kualitas untuk produk IKEA yang diproduksi di Indonesia.

Nama: Yayuk Sri Rahayu Tempat, Tanggal Lahir: Nganjuk, 28 Maret 1976 Alamat: Dusun Bulu, Desa Putren No.51 RT2/RW1 Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur Pendidikan Terakhir: Magister Manajemen Universitas Gajah Mada angkatan 2004 Pekerjaan: Pemilik dan Direktur CV. Adikarya Bidang usaha: Agrobisnis

15 Perempuan Wirausaha Sosial

36

Menginspirasi Indonesia


Pada tahun 2005, Yayuk mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Trisula Darma Saputra. Hingga kemudian ia menyelesaikan gelar masternya pada tahun 2007, Yayuk memutuskan untuk pulang ke Nganjuk. “Saya tiga kali keguguran,� kenangnya. Ia merasa kesibukan antara bekerja dan menyelesaikan kuliahnya yang membuat kondisi tubuhnya tidak begitu kuat selama kehamilan. Keputusannya untuk pulang kembali ke Nganjuk dan beristirahat inilah yang kemudian membuka matanya terhadap kondisi pertanian di desanya.

Pola tanam dengan sistem tumpang sari ini misalnya, diakui Yayuk memberikan banyak manfaat. Selain sebagai penahan angin agar padi tak mudah roboh, daun sengon juga bisa menjadi pupuk organik. Lebih jauh lagi, akarnya dapat membantu menyuburkan tanah karena mengikat nitrogen. Bahkan, bila mencapai diameter sekitar 10-15cm, pohon sengon memiliki nilai jual cukup tinggi. “Harganya bisa sampai Rp900 ribu (per pohon),� ujar perempuan peraih beasiswa Honda untuk mewakili Indonesia di Forum IATSS (International Association of Traffic and Safety Sciences) pada bulan April-Mei 2008.

Lahan persawahan yang dimiliki oleh keluarganya selama ini dikelola oleh petani yang juga tetangga rumahnya. Setelah mengamati pola pertanian tradisional yang diterapkan oleh petani mitra keluarganya, ia lalu tertarik untuk mencoba menerapkan pola pertanian yang lebih baik lagi, misalnya tumpang sari dengan rumput gajah atau pohon sengon. Sejak dulu, kakeknya memang menerapkan pola tanam tradisional yaitu tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Namun, di tangan Yayuk, ia menambahkan pendekatan yang lebih memberikan nilai tambah.

Sebagai pemilik lahan pertanian, ia menyadari bahwa kesejahteraan petani adalah hal yang penting dalam menjalankan bisnisnya. Yayuk pun menerapkan pola kemitraan dengan 10 petani mitranya dengan sistem bagi hasil. Ia menyediakan bibit hingga bantuan modal untuk biaya operasional. Pembagian pendapatan ini menerapkan sistem 50% - 50% pada musim panen pertama, 30% - 70% pada musim kedua dan ketiga, dengan porsi 70% untuk petani. Yayuk mengklaim bahwa sistem ini lebih

37


disukai oleh petani karena mereka mendapatkan lahan garapan yang tetap, tanpa harus membayar uang sewa terlebih dahulu, seperti sistem yang biasa ditemukan di pasaran. Selain itu, risiko kegagalan dan kerugian panen pun ditanggung bersama kedua belah pihak. Bahkan, yang paling penting adalah, menghindarkan para petani dari tengkulak karena untuk biaya produksi dan sewa lahan, petani biasanya meminjam dari tengkulak dengan bunga tinggi dan menjadikan tanaman di sawah sebagai jaminan.

Namun kini, masyarakat makin paham bahwa beras yang diberi nama merek dagang Sri Sadono berasal dari sistem penanaman yang ramah lingkungan dan terjamin kesehatannya.

Yayuk pun menambahkan bahwa butuh setidaknya dua tahun setelah pertama kali mengusulkan merek dagang beras Sri Sadono kemudian mendapatkan izin. “Kan harus dicek dulu apakah sudah ada yang pakai atau belum,� perempuan yang juga finalis Arthur Guinness Fund Community Entrepreneur Challenge tahun 2011 ini. Ia menyadari benar Selain memperoleh pasokan tentang pentingnya legalitas untuk beras dari lahan miliknya sendiri, dapat menjalankan bisnis Yayuk yang kini berbisnis di bawah dengan baik. bendera CV. Adikarya, yang mulai didirikan pada tahun 2008, Atas dasar inisiatifnya membangun juga membeli beras dari petani bisnis pertanian yang juga lainnya. Adikarya, melalui gudang melestarikan lingkungan dan penyimpanannya, membeli produk berpihak kepada petani, ia pun petani sepanjang tahun, dan meraih beberapa penghargaan petani dapat mengetahui informasi seperti juara satu UMKM Award harga terbaru di pasaran. yang diadakan oleh Pemerintah Sedangkan untuk konsumen, Kabupaten Nganjuk tahun 2014, beras diproduksi dan diproses di Juara 3 Wanita Wirausaha Femina tempat yang sama, sehingga akan November 2015 dan Finalis Kartini mendapatkan harga yang lebih Next Generation Award 2015 murah karena mempersingkat jalur oleh Kementerian Komunikasi pemasaran beras. Kualitasnya pun dan Informatika. Tidak hanya dari baik. “Dulu awal-awal (jual beras), dalam negeri, pendampingan pembeli nggak yakin, beras kok selama tiga bulan untuk mekanisme burek (tidak putih seperti beras di pengelolaan dan pemasaran pun pasar),� tuturnya sembari tertawa. diberikan oleh LGTVP (LGT Venture

15 Perempuan Wirausaha Sosial

38

Menginspirasi Indonesia


Philanthropy), sebuah organisasi internasional tentang pemberdayaan masyarakat, dalam program Smiling World Accelerator pada tahun 2013. Perempuan yang tidak pernah berhenti belajar tentang pertanian ini juga kerap mengikuti berbagai pelatihan yang diadakan oleh Dinas Koperasi dan UMKM di tingkat kabupaten maupun provinsi atau tentang kewirausahaan dan pembuatan kompos. Tidak hanya itu, ia juga menyadari pentingnya membangun jejaring dalam kegiatan-kegiatan terbuka. Ia pun turut serta dalam International Organic Agriculture Exhibition di Universitas Brawijaya pada November 2014.

Tidak berhenti di usaha pertanian, perempuan yang selalu bersemangat untuk mengembangkan desanya ini, mulai menggerakkan perempuan lainnya untuk melakukan kegiatan kerajinan tangan seperti sulam pita, flanel, kain perca hingga biji-bijian dan bunga kering. Produk-produk tersebut kini dapat diperoleh di tokonya. Kini, tidak hanya terus mengembangkan agrobisnisnya, Yayuk juga membuka kesempatan bagi siapa saja yang tertarik untuk berbagi pengalamannya tentang pertanian tanpa limbah. Ia menginginkan lokasi lahan pertanian dan gudangnya dijadikan Wisata Edukasi Zero Waste Farming. Sebuah keinginan yang tidak mustahil yang datang dari perempuan yang selalu bermimpi untuk memberikan yang terbaik dari setiap karyanya. Perempuan yang terus mempromosikan kepada masyarakat agar mempertahankan kearifan alam pedesaan.

Bekatul sebagai salah satu produk turunan dari tanaman padi yang telah diolah menjadi produk yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

39


Cokelat nDalem: Sebuah Tandahati Dari Jogja

15 Perempuan Wirausaha Sosial

40

Menginspirasi Indonesia


41

cokelatnya kepada sal

ah satu pengunjung.

Foto-foto: Indra Wicaksono untuk Oxfam di Indonesia.

menjelaskan produk Meika Hazim sedang


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

CV. nDalem Mulya Mandiri

Bidang Bisnis: Aneka produk kudapan cokelat _________________ Jenis Produk:

Berdiri Sejak:

4 Januari 2013 _________________________

± Rp40 juta

Modal: (tidak termasuk bangunan/tempat) ___________________________

• Reguler: Klasik (Extra Dark, Dark, Milk Chocolate), Pedas (Cabai, Jahe, Mint), Rempahnesia (Cengkeh, Kayumanis, Serai), Harga: Wedangan (Bajigur, Ronde, Uwuh), Rp14.000,00 - Rp45.000,00 Kopinesia (Aceh, Jogja, Bali, Flores, ______________________ Toraja, Papua) dan Patehan, yang memadukan rasa dari Teh Hijau. Supplier: petani kakao Gunung Kidul, • Premium: 42% White Chocolate, Yogyakarta 52% Milk Chocolate, 68% Balance ____________ Dark Chocolate dan 72% Intense Dark Chocolate Kapasitas Produksi: _____________ Omset:

Rp500 juta/tahun

________________________ Karyawan:

12 orang

15 Perempuan Wirausaha Sosial

3.000 batang cokelat/bulan

(tidak termasuk produk premium) __________________________ Penjualan: Kerja sama dengan supermarket dan hotel di Yogyakarta, Jakarta, Solo. Media sosial dan website (online) 42

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Jl. Bhayangkara No. 23 Yogyakarta 55261

43


Tidak hanya menjual produk, Meika dan suaminya juga “menjual� edukasi tentang cokelat. Bila berkunjung ke gerai mereka, pengunjung dapat melihat beragam informasi tentang cokelat, mulai dari sejarah cokelat di dunia hingga di Indonesia. Nama: Meika Hazim Tempat, Tanggal Lahir: Yogyakarta, 18 Mei 1982 Alamat: Jl. Bhayangkara No 23, Yogyakarta 55261 Pendidikan: S2 Business Administration, Marketing Universitas Gajah Mada Angkatan 2005 Pekerjaan: Pendiri dan Direktur CV. nDalem Mulya Mandiri Kontak: meikahazim@cokelatndalem.co.id, +6281 2296 7892 www.cokelatndalem.co.id, @cokelatndalem

15 Perempuan Wirausaha Sosial

44

Menginspirasi Indonesia


“W

edang Uwuh ditemukan secara tidak sengaja oleh Sultan Agung sewaktu bertapa di Imogiri di bawah sebatang pohon cengkeh. Dalam Bahasa Indonesia, Wedang Uwuh berarti minuman sampah, karena penampakannya yang penuh dedaunan rempah seperti sampah�.

Cokelat nDalem merupakan merek kudapan cokelat dari CV. nDalem Mulya Mandiri, Yogyakarta, sebuah perusahaan penghasil produk cokelat yang berdiri sejak 4 Januari 2013. Adalah Meika Hazim dan Wednes Aria Yuda, pasangan muda suami istri asli Yogyakarta, yang tercatat sebagai pendiri perusahaan yang berlokasi di Jalan Bhayangkara No. 23 Yogyakarta, sebuah gedung bergaya Indische yang berdiri sejak tahun 1930an. Dari salah satu ruangan di rumah orangtua Meika di Jl. Kauman No. 31 itulah pasangan ini memulai segala kegiatan wirausaha mereka. Latar belakang Yuda yang lulusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM, mempermudah riset dan pengembangan resep. Sedangkan latar belakang Meika yang lulusan Bisnis Administrasi dan Pemasaran UGM, mempermudah pengurusan administrasi perusahaan dan strategi penjualan.

Kalimat tersebut dapat ditemukan di bagian belakang kemasan produk cokelat merek nDalem edisi Wedangan rasa Wedang Uwuh. Dalam edisi Wedangan ini terdapat pula cokelat rasa Wedang Bajigur dan Wedang Ronde. Tidak hanya edisi Wedangan, beragam hal yang “Jogja banget� seperti jenis prajurit keraton atau motif batik klasik dapat ditemukan pada kemasan cokelat lain, seperti pada edisi Rempahnesia, edisi Pedas, edisi Klasik, Kopinesia dan Patehan.

Di awal usaha, gerai produk mereka menempati rumah orangtua Yuda di kawasan Seturan. Setelah kurang lebih dua tahun menempati rumah orangtua, bulan November 2015, Meika dan suaminya menyewa bangunan yang terletak kurang lebih 50 meter sebelah barat Jl. Malioboro, ikon wisata kota Yogyakarta. Pada bangunan inilah gerai produk, rumah produksi, museum cokelat dan tempat tinggal mereka, setidaknya untuk dua tahun ke depan. 45


Meika menuturkan, ketika resmi diluncurkan pada 1 Maret 2013, pilihan rasa belum selengkap sekarang. “Saat itu baru lini rasa klasik yaitu dark chocolate, sugar dark chocolate dan extra dark chocolate.� ujarnya. Meika dan suaminya sengaja memilih tanggal 1 Maret untuk mengenalkan produk mereka sebagai momen memperingati serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. Namun, mereka mengubahnya menjadi serangan cokelat 1 Maret. “Di media sosial kami kasih tagar (hashtag) #serangancokelat1maret,“ ujar Meika sembari tertawa.

Selain lini rasa Kopinesia dan Patehan, produk cokelat reguler ini dibanderol dengan harga Rp20 ribu untuk kemasan 85 gram dan Rp14 ribu untuk kemasan 50 gram. Sedangkan khusus untuk lini rasa Kopinesia yang tersedia hanya dalam kemasan 50 gram, dengan harga Rp15 ribu dan Patehan dengan harga Rp17 ribu untuk 50 gram. Tidak hanya itu, Cokelat nDalem juga mengeluarkan edisi spesial yang dikemas dalam cerita cinta pewayangan RamaShinta, yang dijual dalam bentuk 2x50 gram seharga Rp40 ribu. Meika mengungkapkan untuk bahan baku cokelat regulernya, ia masih membeli dari pabrikan di Tangerang. Namun, untuk produk premiumnya, nDalem menggunakan bahan baku biji cokelat pilihan dari petani Gunung Kidul. Produk ini diolah melalui proses yang disebut bean-to-bar.

Kini, tiga tahun sejak peluncuran pertama tersebut, nDalem setidaknya telah memiliki 19 rasa cokelat reguler yang dibagi menjadi enam lini rasa besar, yaitu Klasik (Extra Dark, Dark, Milk Chocolate), Pedas (Cabai, Jahe, Mint), Rempahnesia (Cengkeh, Kayumanis, Serai), Wedangan (Bajigur, Ronde, Uwuh), Kopinesia (Aceh, Jogja, Bali, Flores, Toraja, Papua) dan Patehan, yang memadukan rasa dari Teh Hijau.

Meika berbagi pengalamannya dalam menjalankan bisnis cokelat kepada pengunjung Choco Fest di Yogyakarta tahun 2015. Foto: Cokelat nDalem.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

46

Menginspirasi Indonesia


Gigih Mencoba dan Belajar dunia percokelatan di Yogyakarta. Setelah bertemu dengan Dinas Kehutanan Provinsi hingga Kabupaten Sleman, Meika dan suaminya lalu mendapatkan informasi tentang petani kakao di Kabupaten Gunung Kidul. Mereka terkejut mendapati kenyataan bahwa ternyata di Gunung Kidul sendiri setidaknya masyarakat petani, khususnya petani kakao, cukup banyak dan mengolah lahan yang bila disatukan dapat mencapai luas hingga 500 hektar. “Tersebar di kebun rumah penduduk memang,” tutur perempuan berkacamata ini.

Berangkat dari tujuan untuk membuat cokelat yang enak dari petani di Indonesia, khususnya Yogyakarta, Meika dan suaminya lalu mengembangkan produk lain yaitu jenis bean-to-bar. Jenis cokelat ini sebenarnya belum terlalu populer bagi kebanyakan konsumen masyarakat di Indonesia. Rasanya yang lebih pahit dari produk cokelat yang biasa ditemui di pasaran, membuat pelaku bisnis di bidang cokelat tidak terlalu banyak mengeluarkan jenis produk seperti ini. Namun bagi Meika dan Yuda, ini adalah bagian dari pengembangan dan diversifikasi produk. Selain itu, pengalaman mengikuti ajang Wirausaha Muda Mandiri - sebuah ajang rutin kompetisi bagi UKM seIndonesia sejak tahun 2007 yang diselenggarakan oleh Bank Mandiri – pada tahun 2014 dan menjadi salah satu finalisnya, juga menjadi pengalaman yang tak terlupakan. “Saya dianjurkan membuat cokelat bean-to-bar oleh salah satu juri saat itu,” kenang perempuan yang gemar memakai baju warna merah ini.

Melihat besarnya potensi ini, pasangan yang menikah November 2012 ini lalu mulai aktif ikut dalam forum petani kakao di Yogyakarta. Petani pun mulai meminta perusahaan mereka untuk membeli dan mengolah kakao hasil kebun mereka. Meika dan Yuda dihinggapi rasa ragu-ragu. Bukan tanpa alasan, mengingat tidak mudah mengolah biji kakao menjadi produk cokelat berkualitas dan laku di pasaran. “Tidak seperti kopi yang petik, jemur, sangrai lalu jemur,” ujar Meika.

Sebagai salah satu UKM di Yogyakarta, Meika dan suaminya tidak segan untuk berhubungan dengan pemerintah dalam hal membangun jejaring dan mendapatkan informasi tentang

Namun tekad pantang menyerah dan berani mencoba membuat mereka nekad menghubungi salah satu lembaga non pemerintah, PUM, di Belanda pada tahun

47


2014. Lembaga ini dikenal bisa memberikan bantuan pendampingan oleh tenaga teknis tentang bahan makanan, termasuk pengolahan cokelat. Informasi tentang lembaga ini mereka dapatkan dari hasil mencari secara langsung di internet. Setelah melakukan korespondensi panjang dengan pihak organisasi ini, pada bulan November 2015, barulah didatangkan seorang ahli cokelat, Piet Brinkman yang kemudian membantu, mengajarkan dan mendampingi Meika dan Yuda mempelajari proses membuat cokelat dengan cara bean-to-bar selama 10 hari. “Pak Piet mengirimkan check list alat yang harus kami punyai (untuk belajar bean-to-bar) tapi mahal sekali,” kenang Meika sembari tertawa. Akhirnya, dipilihlah tiga alat minimal yang harus dimiliki untuk proses belajar ini. Alat yang dimaksud adalah oven, mesin grinder/giling dan mikrometer. Beruntung, dari hasil pencarian di internet, mereka menemukan laman di Amerika yang menjual alat grinder dengan harga murah, yaitu sekitar Rp1 juta. “Langsung beli dua,” kenangnya sambil tersenyum. Lalu, meskipun tersedia di Jakarta, mikrometer masih terhitung mahal yaitu sekitar Rp3,5 juta. Beruntung, Piet menawarkan untuk membelikan di Belanda, dengan harga sekitar Rp1,3 juta. “Sampai di Yogya, (uangnya) diganti,” tambahnya

15 Perempuan Wirausaha Sosial

sembari tertawa. Dan untuk oven, mereka memakai oven pemanggang roti yang mudah ditemukan di Indonesia dengan harga terjangkau. Meika menyebutkan bahwa kini perusahaannya mengambil biji kakao dari petani di Gunung Kidul dengan harga Rp37 ribu per kilogram, lebih mahal Rp10 ribu dari harga pasaran, Rp27 ribu. Namun, perusahaannya menerapkan standar tertentu seperti biji kakao yang sudah difermentasi. “Karena masih di kebun sendiri, dibiarkan tumbuh begitu saja, kakaonya bisa dibilang organik,” tutur Meika. “Tidak pakai pestisida. Pakainya pupuk kandang,” tambahnya. Meika menyebutkan bahwa salah satu petani yang menyuplai kebutuhan bahan baku cokelat nDalem adalah Pak Edi, seorang petani kakao yang konsisten menanam dan memelihara kakao sejak tahun 1980an dan menerapkan proses fermentasi terhadap biji kakao miliknya sejak tahun 1992. Kini, berbekal pengetahuan dari Piet, dan melakukan banyak pembelajaran sendiri dari berbagai media, terutama video dari youtube, produk cokelat nDalem edisi premium telah memiliki empat rasa, yaitu 42% White Chocolate, 52% Milk Chocolate, 68% Balance Dark Chocolate dan 72% Intense Dark Chocolate. Seri premium ini dibanderol dengan harga Rp45 ribu

48

Menginspirasi Indonesia


untuk kemasan 85 gram, dan jenis nibs seberat 200 gram dijual dengan harga Rp45 ribu. Meika juga menyebutkan satu pembelajaran penting dari Piet adalah kedisiplinan untuk mencatat semua proses yang dilakukan, agar dapat dievaluasi atau menjadi dokumentasi yang bertujuan sebagai landasan pemikiran pengambilan keputusan perusahaan dalam pengembangan produk.

Salah satu sudut di kantor Cokelat nDalem yang dijadikan ruangan informasi tentang sejarah cokelat dunia dan di Indonesia. Foto: Indra untuk Oxfam di Indonesia.

Bisnis dan Edukasi Cokelat Bersama dengan suaminya, Meika merintis usaha cokelat mereka dengan modal sekitar Rp40 juta, semua dari tabungan pribadi. Modal ini dipergunakan untuk membeli peralatan kantor dan dapur. Sementara buat membeli bahan baku sekitar Rp15 juta. “Sisanya (kebutuhan lain) kan udah nggak nyewa tempat dulu (seperti rumah orangtua),” tambah perempuan yang gemar membaca buku-buku motivasi dan marketing ini.

dengan gambar dan deskripsi terperinci, dan ditempelkan di dinding salah satu ruangan.

Lebih jauh lagi, pengunjung dapat menyaksikan proses pembuatan cokelat dari balik kaca ruangan berukuran 8x4 meter persegi setiap hari Senin hingga Jumat pada pukul 08.00 hingga 16.00. Namun, khusus untuk hari Sabtu, pengunjung dapat menyaksikan proses pembuatan cokelat hanya sampai pukul 14.00. “Setelah itu Tidak hanya menjual produk, Meika kami harus melakukan pembersihan dan suaminya juga “menjual” rutin mingguan,” jelasnya. edukasi tentang cokelat. Bila berkunjung ke gerai mereka, Meika dan Yuda tidak pernah pengunjung dapat melihat beragam berhenti untuk berinovasi, tidak informasi tentang cokelat, mulai hanya pengembangan produk, dari sejarah cokelat di dunia hingga namun juga melakukan edukasi, di Indonesia. Tidak hanya itu, baik secara mandiri maupun bekerja tahapan proses pembuatan cokelat sama dengan penggiat wirausaha pun dijelaskan secara menarik, lainnya. Beragam kegiatan dilakukan

49


di gerai mereka, seperti membuat tur Night at Chocolate Museum untuk memperkenalkan sejarah dan proses pembuatan produk cokelat, sesi diskusi yang dibalut dengan nama Choco Break – mengenalkan istilah baru selain tea break atau coffee break – yang menghadirkan pembicara dari pelaku wirausaha di Yogyakarta. Selain mengadakan kegiatan sendiri, gerai ini juga kerap menerima kunjungan dari mahasiswa perguruan tinggi di Yogyakarta sebagai bagian dari mata kuliah kewirausahaan, seperti program diploma agro industri UGM dan UII. Selain itu, Meika dan timnya rajin untuk mengikuti pelbagai pameran baik di dalam maupun luar Yogyakarta seperti Cocoa Day 2015 di Yogyakarta atau Trade Expo Indonesia 2015 di Jakarta.

oleh Meika, berbagi pengetahuan tentang pembukuan UKM yang baik dan benar, kepada pelaku UKM lainnya di Yogyakarta. Kini, dengan jumlah karyawan 12 orang yang terdiri dari bagian produksi, marketing administrasi kantor dan logistik, cokelat nDalem mampu meraup keuntungan Rp500 juta per tahunnya. Sekurangkurangnya 3.000 cokelat batangan reguler mampu diproduksi setiap bulannya, belum terhitung produk premiumnya. “Soalnya masih baru (Februari 2016) jadi belum ketahuan produksinya,� ungkap Yuda, yang banyak berkutat dibagian pengembangan produk.

Untuk mendapatkan produk nDalem, pembeli tidak harus datang ke gerai mereka. Mengikuti Tidak hanya mengisi pameran, tren yang ada, perusahaan Meika Meika pun kerap diundang menjadi pun menerima pembelian secara pembicara di beberapa acara daring melalui media sosial mereka. seperti seminar UKM di Yogyakarta Bahkan, kerja sama dengan mitra atau menghadiri undangan mereka di Jogja, Jawa Tengah Kementerian Perindustrian yang dan Jakarta pun membawa produk memiliki Balai DIKLAT Kakao di ini dapat ditemukan di geraiMakassar. Satu hal yang diklaim gerai seperti Hypermart di Yogya, Meika sejauh ini yang membuat Carrefour di Kota Solo, hingga perusahaannya bisa berkembang Pacific Place dan Grand Indonesia dengan baik adalah kedisiplinan di Jakarta. Tidak hanya itu, nDalem mereka untuk membuat laporandapat pula ditemukan di sejumlah laporan baik deskripsi kegiatan hotel di Yogyakarta seperti Melia maupun pembukuan keuangan yang Purosani dan Novotel. baik. Ini yang juga sedang dilakukan

15 Perempuan Wirausaha Sosial

50

Menginspirasi Indonesia


i dari Sekolah Wirausaha Aisyiyah

Meika selalu bersemang at untuk berbagi cerita dan pengalaman dalam menjalankan perusahaannya kepada siapapun. 51

tahun 2015.

Foto-foto: Cokelat nDalem untuk Oxfam di Indonesia.

Menerima kunjungan mahasisw


Cokelat Mengubah Jalan Hidup Lahir dan besar di Yogyakarta, Meika telah mengenal dunia kerja jauh sebelum ia mendirikan perusahaannya sekarang. Sejak semester dua di bangku kuliah Fakultas Ekonomi di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta tahun 2000, ia telah bekerja sebagai tim pelatihan di PT. ADD (pemegang merek kaos DAGADU) selama empat tahun (2001-2005). Hingga menyelesaikan kuliah tahun 2005, dan melanjutkan studi master bisnis administrasinya di Universitas Gajah Mada pada tahun 20052008 pun ia juga lakukan sembari bekerja sebagai presenter dan reporter TVRI Jogja selama kurang lebih dua tahun (Januari 2006 Desember 2007).

Atas ajakan dan obrolan dengan beberapa orang temannya, Meika lalu mencoba bisnis cokelat pertamanya. Usaha ini hanya mampu bertahan kurang lebih dua tahun, Desember 2010 hingga Agustus 2012. Tidak lagi menemukan kecocokan dengan timnya, bisnis ini kemudian berhenti.

Namun, Meika sudah melihat potensi besar untuk mengembangkan bisnis cokelat lebih jauh lagi. Hingga kemudian ia menikah dengan Yuda pada 10 November 2012, yang juga memiliki passion di bidang cokelat, ia lalu kembali menyiapkan diri untuk terjun menjalankan bisnis cokelat. Meika dan Yuda lalu berbagi peran, di mana Yuda banyak mengembangkan resep Keinginannya yang besar untuk dan jenis produk sedangkan Meika travelling pun mengantarkannya lebih kepada aspek legalitas serta pada pekerjaan di Batam sebagai perizinan merek dagang. “Desember Public Relations dan Executive 2012, Mas Yuda ngambil kursus Assistant Infinite Frameworks cokelat di Chocolate School di Studios, salah satu studio animasi besar di Indonesia, pada Juni 2009 Jakarta,� jelasnya. “Saya baru ikut hingga Oktober 2010. Pada periode kursusnya Desember 2015 lalu,� tambah perempuan yang juga yang sama pula, ia menekuni pekerjaan sebagai penyiar radio KEI pernah didaulat sebagai pemenang pada ajang Dimas Diajeng Jogja FM Batam. Namun, kerinduannya tahun 2005. akan Kota Yogya membuatnya meninggalkan pekerjaannya Perempuan yang juga menjadi tersebut dan pulang kembali ke dosen mata kuliah kewirausahaan tanah kelahirannya. di almamaternya dulu, Universitas Islam Indonesia, ini pun

15 Perempuan Wirausaha Sosial

52

Menginspirasi Indonesia


mengakui bahwa kesulitan dan tantangan paling besarnya adalah mengenalkan rasa yang tidak biasa ke konsumen. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mengetahui bahwa cara paling mudah untuk mengetahui ini adalah melempar tester ke pasar. “Setiap ada pameran, saya selalu bawa tester,� ujarnya sambil tertawa. Dari situ ia kemudian banyak mendapat komentar dari orang. Bersaing dengan merek yang sudah terkenal pun menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan yang juga mendapat predikat recommended dari situs perjalanan Tripadvisor ini.

perempuan yang menyukai jenis film drama ini. Meika mengakui banyak belajar negosiasi dan membangun jejaring bisnis dari ayahnya dan kegigihan serta sifat pantang menyerah dari ibunya. Perempuan yang murah senyum ini pun selalu bersemangat untuk berbagi cerita dan inspirasi kepada siapa saja yang tertarik untuk belajar mengenai kewirausahaan. Sebagaimana namanya, nDalem, yang berarti rumah dalam Bahasa Jawa, dan slogan heartfully made chocolate, Meika berharap penikmat cokelat mereka mendapatkan rasa nyamannya rumah dan menyentuh hati ketika merasakan cokelat buatan mereka. Cokelat sebagai #tandahati dari Jogja.

Tumbuh dan besar di lingkungan keluarga pengusaha, ayahnya seorang pengusaha otomotif dan ibu dengan usaha keluarganya, memberikan banyak inspirasi bagi

53


Du’Anyam: Menganyam Kehidupan para Ibu

15 Perempuan Wirausaha Sosial

54

Menginspirasi Indonesia


Foto-foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

55


Profil Bisnis Du’Anyam

Nama Perusahaan: Kantor: Gedung Kemang 15 Lt. 3 Jl. Kemang Raya No. 15 Jakarta Selatan, Indonesia _____________________ Bidang Bisnis: Aneka produk anyaman daun lontar _______________________ Jenis Produk: Sendal, keranjang, tas pantai, dompet, kotak tisu, tempat dokumen, tempat sampah ___________________________

8 orang

Karyawan: Tidak termasuk ibu-ibu penganyam __________________________ Penjualan: Online, pameran, kerja sama hotel/spa

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Berdiri Sejak:

Juli 2013 _______________ Modal:

± USD5.000,00 _____________________ Harga:

Rp15.000,00 Rp1.000.000,00

______________________ Supplier: Ibu-ibu penganyam dari Larantuka ____________________ Kapasitas Produksi:

±300 keranjang/bulan ±200 tikar/bulan dan produk lain

56

Menginspirasi Indonesia


Lokasi Provinsi Nusa Tenggara Timur

57


“Dengan ikut kompetisi, meskipun nggak menang, kita akan belajar membuat rencana bisnis yang benar, perencanaan keuangan yang baik serta mendapatkan masukan dari panelis.� Azalea Ayuningtyas Nama: Azalea Ayuningtyas Tempat, Tanggal Lahir: Jakarta, 15 November 1989 Alamat: Jakarta Barat Pendidikan Terakhir: S2 Epidemiologi, Harvard School of Public Health angkatan 2013 Pekerjaan: Managing Director Du’Anyam Bidang usaha: Produk anyaman daun lontar dari NTT Kontak: www.duanyam.com, azalea.ayuningtyas@duanyam.com, +62 819 3293 4075 15 Perempuan Wirausaha Sosial

58

Menginspirasi Indonesia


“S

emakin tinggi pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki seseorang, semakin besar pula tanggung jawabnya kepada masyarakat.”

masih kuliah, dia sudah bekerja di beberapa perusahaan besar. Misalnya, Kalbe Farma (Juni 2009 – Juli 2009) dan Michigan Center for Translational Pathology (2008-2010). Begitu lulus master, dia bekerja di perusahaan konsultan strategi, pemasaran, penetapan harga dan penjualan, Simon-Kucher and Partners (2013-2014). Hingga pada tahun 2013, ketika masih bekerja untuk Simon-Kucher and Partners, Ayu merasakan kegamangan dalam hidupnya. Beragam pertanyaan tentang kehidupan dan dan tujuan hidup terus berkecamuk.

Prinsip inilah yang dipegang teguh Azalea Ayuningtyas atau biasa dipanggil Ayu, lulusan master dari salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia, Harvard School of Public Health. Rasa tanggung jawab itu pula yang mendorong Ayu memilih meninggalkan kenyamaan bekerja di perusahaan besar demi mengembangkan kewirausahaan sosial bersama masyarakat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia pun terkenang dengan perjalanannya ke India. Perjalanan Lahir dan besar di Jakarta, yang telah mengubah cara perempuan berambut panjang ini pandangnya tentang hidup. “Ketika merasa bersyukur bisa menjalani di Harvard, saya pernah mengambil hidup bersama keluarga yang kelas penelitian di area kumuh mendukung kehidupannya dengan perkotaan di India,” kenangnya. baik. Perkenalannya dengan isu Saat itu, ketika sedang melakukan sosial banyak dipengaruhi oleh wawancara dengan menggunakan kegiatan orangtuanya yang banyak beragam kuisioner, seorang ibumelakukan kegiatan sosial di Jakarta, ibu datang dan memarahinya. termasuk memberikan bantuan ketika Penuh kekesalan, ibu paruh baya gempa bumi yang meluluhlantakkan tersebut menyebutkan dengan sebagain Kota Yogyakarta pada tahun lantang tentang tidak ada gunanya 2006. Dia merasa bersyukur dengan penelitian, sementara kehidupannya kehidupannya dan berkeinginan tidak kunjung berubah. Hal tersebut untuk bisa berbagi serta memberikan membekas di benak Ayu. “Saya ingin dampak baik kepada orang lain. melakukan sesuatu yang langsung terlihat nyata,” ujarnya dengan tegas. Ayu menamatkan pendidikan S1 di bidang Biologi dari University of Perjalannya ke Flores memberinya Michigan (2007-2011) dan Master jalan untuk menjajal kehidupan yang Epidemiologi dari Harvard School’s diyakininya. Pada pertengahan of Public Health (2011-2013). Saat tahun 2013, dia mengunjungi teman 59


lamanya, Yohanna Keraf, di Flores. Tak sekadar jalan-jalan, Ayu juga melakukan survei tentang kondisi kesehatan ibu hamil dan anak-anak di pulau ini. Selain Yohanna, dia juga ditemani para sahabatnnya Zona Ngadiman, Melia Winata, dan Jessica Tjahja. Bersama mereka, Ayu kemudian mendirikan Du’Anyam.

kesehatan. Meskipun di beberapa lokasi sudah terdapat pendampingan dari lembaga-lembaga sosial, namun terbatas di sektor penyuluhan dan pelatihan peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan. Program pemerintah seperti “Tabungan Ibu Hamil� pun dirasa tidak mampu menjawab persoalan mendasar dari masyarakat tersebut.

Ayu merasa terpanggil. Flores memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa, namun di sisi lain, masyarakatnya memiliki keterbatasan ekonomi dan pelayanan kesehatan. Situasi lebih mengenaskan terjadi di pedesaan yang jauh dari jalan raya. Ayu menemukan beberapa hal mencengangkan seperti kasus kekurangan asupan gizi, utamanya protein, pada wanita hamil di Flores Timur. Angkanya mencapai mencapai 140 kasus setiap tahunnya. Angka ini merupakan yang tertinggi di Indonesia. Sedangkan persentase gizi buruk balita menduduki posisi kedua tertinggi setelah Papua Barat.

Ayu melihat bahwa masyarakat sebenarnya telah memahami pentingnya makanan bergizi, terutama untuk menjaga kesehatan ibu hamil. Jadi, bukannya tidak mau sehat, namun, masyarakat memang tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kenyataan itu sangat mengganggu Ayu. Dia dan teman-temannya sepakat untuk mendorong peningkatan ekonomi sebagai solusi dan landasan agar masyarakat di Flores, terutama ibuibu, bisa memenuhi kebutuhan dasar akan kesehatan keluarga. Ayu dan kawan-kawannya kemudian menggali informasi ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan hingga Dinas Pemberdayaan Perempuan untuk memetakan potensi ekonomi yang ada, selain juga melakukan pengamatan dan wawancara ke masyarakat. Perhatian Ayu jatuh kepada kemahiran orang-orang flores membuat aneka produk anyaman dari daun lontar.

Selain blusukan di desa-desa dan menemui masyarakat di Flores, Ayu juga banyak berdiskusi dengan pihak pemerintah seperti dinas kesehatan, dokter, dan bidan desa. Dari perjalanannya itu, Ayu menyimpulkan bahwa persoalan kesehatan ibuibu, terutama ibu hamil, berakar pada kemiskinan. Masyarakat tidak memiliki ketahanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk untuk memenuhi kebutuhan gizi dan

15 Perempuan Wirausaha Sosial

60

Menginspirasi Indonesia


Anyaman Daun Lontar Pohon lontar atau dikenal juga dengan nama pohon siwalan (Borassus flabellifer) yang bisa tumbuh subur di Flores, merupakan tanaman multifungsi. Tidak hanya daunnya, buah dari pohon yang tingginya dapat mencapai 30 meter ini kerap digunakan sebagai bahan olahan makanan. Sedangkan menganyam daun lontar adalah bagian dari tradisi turun temurun. Mereka biasa menganyam daun lontar ini menjadi beragam perlengkapan rumah tangga seperti tikar untuk alas tidur, keranjang untuk meletakkan bahan masakan, hingga aneka perlengkapan untuk acara adat.

daun ini lalu disuwir dengan ukuran yang sama, baru kemudian dianyam sesuai dengan keinginan. Untuk pewarnaan, masyarakat menggunakan pewarna alami seperti dari daun jati atau rendaman lumpur dan kunyit. Namun, untuk beberapa jenis warna seperti merah muda, masih menggunakan pewarna kimia. Sekalipun bahan baku daun lontar berlimpah dan hampir setiap orang di desa mampu menganyamnya, namun keterampilan tersebut selama ini tidak mampu meningkatkan ekonomi masyarakat. Sulitnya akses menuju lokasi yang terpencil, dan tidak adanya informasi tentang pasar, membuat masyarakat tidak pernah tahu potensi anyaman daun lontar. Namun, Ayu melihat potensi besar dari anyaman lontar ini. Dia paham benar akan potensi pasar, baik di dalam maupun di luar negeri. Dia pun berinisiatif menjadi jembatan bagi para perempuan desa ini ke pasar. Dengan perbaikan ekonomi, Ayu berharap, akan ada perbaikan kualitas hidup, dan terutama kualitas kesehatan masyarakat.

Proses pembuatan anyaman dimulai dari mengambil lembarlembar daun lontar dan kemudian menjemurnya selama kurang lebih dua hari. Setelah kering, lembaran

Pohon lontar tumbuh subur dan liar di Pulau Solor, NTT menjadikan bahan baku anyaman mudah di temukan. Foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

61


Dia pun bertekad menerapkan salah satu pelajaran tentang kewirausahaan sosial yang dipelajarinya di Harvard School’s of Public Health. Konsep ini, sesuai pemahaman Ayu, harus memadukan antara niat mulia untuk pemberdayaan dan usaha bisnis yang menguntungkan. Jika hanya berbasis pada donasi, maka kewirausahaan sosial tidak akan berkelanjutan.

rekan lainnya, mereka sepakat untuk menjadikan kegiatan ini sebagai usaha kewirausahaan sosial yang disebut “Du’Anyam”, dari kata du’a yang berarti ibu dan anyam berarti kegiatan merangkai serat.

Pertama-tama mereka memantapkan landasan usaha, yaitu memberi kesempatan bekerja bagi ibu-ibu, terutama ibu-ibu hamil dan ibu muda dengan Ayu pada akhirnya memutuskan mengembangkan keterampilan untuk mundur dari pekerjaannya menganyam mereka agar memiliki di Simon-Kucher and Partners. Dia nilai jual tinggi dengan tujuan bertekad untuk mengejar kembali untuk meningkatkan kondisi ketertarikannya di bidang sosial ekonomi. Latar belakang Hanna, kemasyarakatan. “Saya selalu bersemangat bila mengingat kegiatan begitu Yohanna Keraf biasa sosial,” terangnya sambil tersenyum. dipanggil, yang kuat dibidang pendampingan masyarakat dan Awalnya, keputusan ini sulit diterima jejaring dengan pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, sangat keluarganya. “Ibu saya terutama, selalu khawatir anak perempuan kok membantu membangun kegiatan pergi jauh-jauh ke NTT, nanti kenapa- ini. Sedangkan Melia Winata yang memiliki pengalaman kuat di bidang kenapa,” ceritanya sembari tertawa perlahan. Namun, pada akhirnya, Ayu bisnis seperti retail dan properti membantu menentukan strategi mampu meyakinkan orangtuanya dan rencana bisnis Du’Anyam. Hal dengan berbagai penghargaan dari ini dilakukan selama kurang lebih dalam dan luar negeri. enam bulan. Pada tahun 2013, Ayu dan kedua Selain Hanna dan Melia, Ayu juga temannya, Yohanna Keraf dan dibantu empat rekan muda lainnya, Melia Winata, memutuskan untuk yang masing-masing handal di merintis kewirausahaan sosial ini. Saat dia ajukan proposalnya, mereka bidangnya, mulai dari divisi legal, hingga konsultan managemen mendapat tanggapan positif dari dan e-commerse Zona Ngadiman pemerintah maupun masyarakat. (market analysis dan IT), Valiska Segera setelah mendapatkan Nathania (Corporate) Legal, dukungan tambahan dari rekan-

15 Perempuan Wirausaha Sosial

62

Menginspirasi Indonesia


Satu buah anyaman tikar dikerjakann oleh satu orang perempuan sembari melaksanakan tugas-tugas domestik rumah tangganya. Foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

Social Venture Competition (GSVC) dari UC Berkeley’s Haas School of Business tahun 2015 untuk tingkat Asia Tenggara. Mereka mendapat hadiah sebesar 10.000 dolar AS. Selain dari lembaga luar negeri Du’Anyam juga mendapat pengakuan dari lembaga di dalam negeri. UnLtd Indonesia, sebuah organisasi yang mendukung kewirausahaan dan pengusaha sosial di Indonesia, pun memberikan dukungan kepada Du’Anyam. Mereka turut memberikan pendampingan serta memperkenalkan Du’Anyam kepada pihak-pihak terkait, seperti para desainer maupun akses ke pasar sejak bulan Juni 2015. Dukungan UnLtd ini akan berakhir pada bulan Juni 2016.

Jessica Tjahja (Finance Analyst) dan Pramoda Dei Soedarmo (Management Consulting). Tim yang solid inilah yang turut kontribusi pada percepatan kegiatan sehingga bisa mendapat pengakuan dari MIT IDEAS Global Challenge Awards pada tahun 2014 dan memenangkan dana hibah sebesar 5.000 dolar AS (sekitar Rp60.000.000,00). IDEAS Global Challenge merupakan ajang bergengsi yang diadakan oleh Massachussets Institue of Technology (MIT), sebuah kampus ternama di Boston, AS. Dana ini digunakan untuk meningkatkan kualitas produk, melakukan riset pasar, dan membentuk kerja sama dengan beberapa UKM. Mereka menjadikan Desa Dun Tana Lewoingu, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, sebagai desa percontohan untuk proyek Du’Anyam ini.

“Dengan ikut kompetisi, meskipun nggak menang, kita akan belajar membuat rencana bisnis yang benar, perencanaan keuangan yang baik serta mendapatkan masukan dari panelis,” ujar Ayu dengan penuh keyakinan. Perempuan dengan pembawaan tenang ini pun mengakui bahwa mendapatkan dana hibah dari mengikuti kompetisi akan membantu memotivasi diri untuk menjadi lebih maju.

Setahun kemudian, Du’Anyam kembali mendapat penghargaan internasional. Kali ini dari Global

63


Pada tahun 2015, tepatnya di bulan September, produk Du’Anyam, untuk pertama kalinya sukses dipasarkan di dua hotel dan villa di Bali. Saat itu, hotel tersebut meminta sekitar 200 pasang sendal. Sepanjang tahun itu pula, Ayu mulai melakukan ekspansi ke desa lain karena produknya terbukti bisa diterima pasaran. Ada lima desa yang kemudian bergabung dalam manajemen Du’Anyam, yaitu Dun Tana Lewoingu, Tanah Werang, Sulengwaseng, Liwo dan Ilepadung, kesemuanya di Kabupaten Flores Timur. Kini, memasuki tiga tahun perjalanan Du’Anyam, produk mereka sudah mulai memasuki pasar retail. Ayu berharap mereka dapat terus melakukan ekspansi hingga 15 desa.

suvenir dari Du’Anyam. Bahkan, kini ada hotel yang sudah memesan tidak kurang dari 300 sandal anyaman setiap bulannya. Ayu menambahkan, untuk daya tahan produk para perempuan Flores ini sudah teruji. “Misalnya, untuk sandal sejenis slipper hotel, bila dipakai setiap hari, bisa tahan selama empat bulan,” jelasnya. Bahkan, masyarakat di Desa Tanah Werang, Pulau Solor, masih menggunakan anyaman daun lontar sebagai bahan dinding rumah dan mampu bertahan hingga 7-8 tahun baru kemudian diganti dengan anyaman baru.

Selain memenuhi pesanan hotel, produk Du’Anyam pun sudah mulai memiliki pasar sendiri di dalam negeri, terutama setelah Di lima desa tersebut, tidak kurang keikutsertaan mereka dalam dari 80 perempuan, dengan rentang berbagai pameran kerajinan usia 17 hingga 45 tahun, yang telah seperti Trade Expo Indonesia bergabung dalam payung Du’Anyam skala internasional di Jakarta yang dan mampu menghasilkan diselenggarakan oleh Kementerian sekurang-kurangnya 300 keranjang Perdagangan pada tahun 2014. setiap bulannya. “Untuk tikar, Untuk pasar di luar negeri masih sekitar 200 buah per bulannya,” menggunakan relasi pribadi. ujar perempuan yang menggemari Tentu saja, mengikuti tren bisnis olahraga bola basket ini. “Selain itu, saat ini, Du’Anyam pun menjual ada sendal hotel, tas pantai atau produknya melalui penjualan online keranjang untuk alat-alat spa.” atau daring. Untuk penjualan retail atau langsung ini, harga Harga jual produk ini bervariasi produk yang ditawarkan bervariasi mulai dari Rp15.000,00 per buah mulai dari Rp50.000,00 per buah hingga Rp150.000,00 per buah. hingga Rp1.000.000,00 per buah, Sebanyak sembilan hotel dan villa tergantung pada desain dan di Bali saat ini sudah memesan kualitas material.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

64

Menginspirasi Indonesia


Meskipun para perajin di lima desa yang dibina Du’Anyam secara tradisional sudah terbiasa membuat anyaman, namun mereka harus terus didampingi dalam hal inovasi dan pengembangan desain agar bisa memenuhi kebutuhan pasar. “Kami memiliki desainer yang mengembangkan diversifikasi produk,” tambah perempuan kelahiran 26 tahun silam ini. Hanna, yang sekarang menjabat sebagai Direktur Operasional bertanggung jawab terhadap bagian ini. Du’Anyam sekarang memiliki tiga orang karyawan yang menjalankan operasional mereka di Flores.

Ayu memberikan penjelasan tentang skema kemitraan Du’Anyam kepada ibu-ibu di Desa Duntana, Larantuka pada Agustus 2015. Foto: Du’Anyam.

Untuk pembagian usaha, Du’Anyam memberikan komisi atas jasa menganyam. Dan lebih jauh lagi, ada sharing profit terhadap penjualan barang yang dipesan. Bahan baku utama daun lontar didapatkan secara langsung oleh ibu-ibu penganyam dari pohon lontar yang tumbuh liar di sekitar desa mereka. Namun, bahan baku pelengkap seperti karet kulit atau kancing misalnya, disediakan oleh UKM di Tasikmalaya di mana Du’Anyam juga bekerja sama untuk mendapatkan produk akhir. Berbagai program pelatihan yang diberikan seperti peningkatan kualitas anyaman, manajemen keuangan, hingga penyuluhan gizi serta gaya hidup sehat masih dimasukkan ke dalam biaya pengeluaran Du’Anyam. Ke

depan, Ayu berharap agar para perajin dapat membentuk koperasi sehingga dapat menjadi mitra bisnis bagi Du’Anyam. Namun, di balik kemajuan pesat Du’Anyam dalam membangun kewirausahaan sosial ini, ternyata mereka pun sebenarnya menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah sulitnya meyakinkan masyarakat, terutama dari kalangan pria yang tak mengizinkan istri atau anaknya terlibat dalam kegiatan ini. Suatu ketika salah seorang du’a atau pengayam yang sudah dianggap ahli, yaitu Mama Mili, pernah menyampaikan keberatan suaminya atas keikutsertaannya dalam

65


kegiatan Du’Anyam ini. Alasannya, selama ini masyarakat sudah sering mendapatkan pelatihan dari berbagai lembaga sosial, namun tidak ada kelanjutannya.

kendala berikutnya adalah cuaca. Musim penghujan bisa menghambat pengeringan daun lontar. Namun, tidak kekurangan akal, Du’Anyam lalu mencoba memfasilitasi pengeringan dengan menyediakan Mama Mili, akhirnya tetap meja besar yang dilengkapi dengan meneruskan kegiatan tudung dari plastik UV (ultra violet) menganyamnya walaupun yang dapat mengurung panas harus sembunyi-sembunyi. Hasil seperti yang didapatkan dari efek anyamannya pun dititipkan ke rumah rumah kaca. tetangga. Baru setelah enam bulan, mulai terlihat hasil jerih payahnya. Tantangan lain dalam mengembangkan Mama Mili akhirnya mendapatkan produk ini adalah belum tersedianya uang dari pesanan anyamannya. sebagian bahan baku tambahan Uang ini digunakan untuk membantu ataupun sumber daya manusia memenuhi kebutuhan keluarga, di Flores untuk menghasilkan sehingga suaminya akhirnya beberapa produk Du’Anyam. percaya bahwa kegiatan Du’Anyam “Untuk keranjang, seluruh bahan memberikan prospek. Bahkan, memang murni dari Flores,” ujar suami Mama Mili mengambil alih Ayu. “Sedangkan produk yang pekerjaan rumah tangga, seperti membutuhkan bahan tambahan mencuci piring, bila istrinya sedang mengerjakan pesanan anyaman. Dua orang nenek dari Desa Tanah Werang Para suami pun senang karena sedang memamerkan hasil anyamannya dengan mendapat uang tambahan dengan motif khusus yang kini hanya bisa dilakukan oleh mempersiapkan daun anyaman mereka berdua. Foto: Nasrullah untuk Oxfam mulai dari mengambil dari pohon, menjemur, hingga memilah dan mengikatnya. Ayu merasa bahwa dampak kegiatan ini lebih besar tidak hanya secara ekonomi maupun akses kesehatan, namun juga membawa perubahan pada pembagian kerja di rumah. Selain kendala sosial berupa keraguan sebagian masyarakat yang akhirnya bisa diselesaikan dengan bukti banyaknya pesanan,

15 Perempuan Wirausaha Sosial

66

Menginspirasi Indonesia


Tips dan saran untuk memulai usaha: • Berani meninggalkan kemapanan dan mengambil keputusan. • Bertekad kuat, termasuk siap menghadapi tentangan dari orang terdekat • Bila memiliki ide usaha, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan orang lain yang memiliki pengalaman. Diskusi tersebut dapat membantu dalam hal perencanaan. Tidak perlu takut ide kita diambil orang. • Rajin mencari kesempatan mengikuti kompetisi dana hibah. Meskipun tidak menang, hal tersebut akan memberikan kita koneksi baru yang akan membantu pengembangan usaha. • Jangan mudah menyerah dan setengah hati. • Kalau percaya akan suatu ide, harus memahami bahwa konsep seringkali berbeda dengan pelaksanaan.

seperti karet sendal atau kulit untuk tas, kami bekerja sama dengan salah satu UKM di Jawa Barat.” Demi kelancaran bisnis, Du’Anyam terpaksa bekerja sama dengan pihak ketiga di luar Flores untuk penyediaan bahan tambahan serta penyelesaian akhir produk. Ayu berharap untuk ke depannya, semua bahan dan pengerjaan bisa dilakukan di Flores.

Adaptasi sistem lokal pun perlu dilakukan. “Tidak bisa memakai sistem pesan setelah jadi baru dibayar,” ujarnya. “Barang jadi, dicek kualitasnya oleh BuKor, bila cocok, langsung dibayar. Bagi mereka itu lebih meyakinkan,” tambahnya. Untuk ke depannya, Du’Anyam akan merambah ke sektor home decor and living dan aksesoris pakaian. Strategi ini sudah dimulai dengan bekerja sama dengan merek lokal yang ada di Jakarta seperti Nook Living yang sudah memiliki pasar di desain interior atau Arbor and Troy yang juga memiliki pasar di home decor furniture dan office accesories. Ayu menambahkan, Du’Anyam kini tidak hanya mengenalkan produk anyaman dari Nusa Tenggara Timur namun juga rotan dari Nusa Tenggara Barat dan anyaman lainnya di Indonesia.

Tentu saja, sebagai sebuah bisnis usaha, kemampuan pembukuan layak dimiliki. Ayu dan timnya lalu menyediakan pelatihan dalam hal dokumentasi, pencatatan dan menyediakan modal awal bagi koordinator desa, yang biasa disebut BuKor (Ibu Koordinator), untuk memberikan laporan kepada satu orang staf yang ditempatkan di Larantuka.

67


Mina Food: Terus Mencoba dan Pantang Menyerah

Di dalam ge

rai Mina Fo od, seoran g calon pem mencari info be rmasi tentan g menjadi m li sedang itra reseller.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

68

Menginspirasi Indonesia


salah satu unit usaha a Mina Food sebagai Dini berhasil membaw ang, Jawa Tengah. mb Re di a tam per bahari makanan olahan boga

69

Foto-foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

Menyiapkan kulit lumpia sebagai pembungkus daging ikan tengiri untuk dija dikan salah satu produk ola han Mina Food.


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

Mina Food

Bidang Bisnis: Aneka produk boga bahari (seafood) _______________________

Berdiri Sejak:

2006

_________________________

Jenis Produk:

Modal:

Rp40 juta

27 jenis seperti fish stick, nugget ikan, bakso ikan, udang pangko, (tidak termasuk bangunan/tempat, ekado udang hingga bakwan udang peralatan) ___________________________ ___________________________ Omset:

Rp20 juta/bulan

Harga: Rp2.000,00 - Rp13.000,00 _____________________

Karyawan:

Supplier: enam nelayan, beli langsung dari pelabuhan _________________

____________________________

7 orang di Rembang 20 orang di Tangerang (sedang dikontrak oleh perusahaan lain)

Kapasitas Produksi:

Âą 500 kg/bulan

________________________ Penjualan: Outlet di Rembang, reseller ke seluruh Indonesia 15 Perempuan Wirausaha Sosial

70

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Jl. Gajah Mada No. 182 Kabupaten Rembang Jawa Tengah

71


T

iga anak berseragam sekolah dasar terlihat sumringah ketika keluar dari pintu sebuah rumah siang itu. Masing-masing membawa satu piring kertas kecil berisi empat buah kudapan gorengan. Mereka berjalan menuju tempat duduk di sudut halaman dan mulai menikmati kudapannya sambil bersendau gurau.

“Di sini hanya outlet-nya. Kalau rumah produksi ada di (Jalan) Magersari,” ungkapnya. Tidak kurang dari 27 jenis produk olahan berbahan baku ikan dan udang yang dijual baik dalam bentuk beku maupun siap saji. Semua bahan baku yang diperolehnya berasal dari hasil tangkapan nelayan di Rembang. Setidaknya enam orang nelayan tetap yang selalu menyuplai hasil tangkapannya ke Mina Food. “Ya, begitu, biasanya anak-anak Namun, bila bahan baku tersebut pulang sekolah pada mampir (beli dirasa kurang karena banyaknya jajanan) di tempat kami,” jelas Dini permintaan, ia tidak segan Bangun Wijayanti (33 tahun), pendiri untuk menghubungi perusahaan sekaligus pemilik usaha boga bahari atau nelayan lain yang dapat Mina Food yang berlokasi di Jalan memberikan bahan baku tambahan. Gajah Mada No 182, Rembang, Jawa Tengah. Dini berani membeli ikan dengan harga lebih tinggi dari nelayan Dini ramah menyapa anak-anak asalkan hasil tangkapan itu masih yang tampak berkeringat di tengah segar. Kesegaran ikan ini bisa gerahnya cuaca Kota Rembang diperoleh karena memang baru siang itu. Ramainya lalu lintas truk ditangkap atau karena nelayan dan kendaraan lainnya di jalan yang bersangkutan sudah lintas Pantai Utara di akhir pekan menerapkan standar rantai dingin, itu tidak mengurangi keceriaan yaitu mempertahankan suhu anak-anak menikmati potongan ikan yang telah ditangkap tetap “ekado” yang masih terlihat mendekati 00 Celcius. Mina Food mengebulkan asap karena baru pun hanya menerima bahan baku keluar dari penggorengan. Ekado yang sudah berbentuk fillet (daging adalah produk olahan daging ikan tanpa tulang) sehinga nelayan yang diblender bersama bumbumasih bisa menjual sisa bahan bumbu seperti bawang dan garam bakunya dengan menjual ke pabrik lalu dibalut dengan kulit pangsit tepung ikan. dan digoreng.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

72

Menginspirasi Indonesia


Mengembangkan Potensi Daerah Terletak di pantai utara Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Rembang memiliki luas wilayah sekitar 1.000 kilometer persegi, dengan 35% di antaranya adalah kawasan pesisir yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa. Dengan luasnya area pesisir ini, potensi perikanan laut Kota Rembang merupakan sektor yang menjanjikan untuk peningkatan sumber ekonomi masyarakatnya. Jumlah produksi perikanan yang melebihi 58 ribu ton pada tahun 2012 menjadikan kabupaten yang memiliki garis pantai sepanjang lebih dari 35 kilometer ini adalah salah satu pemain penting untuk industri perikanan di Jawa Tengah. Namun, sejauh ini, industri pengolahan ikan di Rembang masih terbatas pada produksi ikan pindang, ikan asin, dan ikan asap. Khusus untuk industri pengolahan frozen food atau fish jelly masih kurang. Kebanyakan ikan dikirim ke luar daerah sehingga tidak memberi nilai tambah bagi masyarakat. Faktor inilah yang kemudian menggerakkan perempuan kelahiran Rembang 33 tahun silam ini untuk merintis bisnis makanan olahan berbahan baku ikan.

memberi Dini informasi tentang dunia di luar bidang pendidikan. Hingga lulus SMA, Dini masih belum tahu tentang arah hidupnya. Meskipun sebenarnya, tanpa sepengetahuan orangtuanya, sejak SMA, ia sudah mulai berwirausaha kecil-kecilan sebagai reseller kaos sebuah merek ternama dari Yogyakarta.

Dini lahir dan besar di Rembang dengan didikan orangtua yang jauh dari dunia usaha. Kedua orangtuanya adalah guru di sekolah menengah atas di Kabupaten Rembang yang tidak banyak

Perlahan Dini menerima “paksaan� orangtuanya untuk pulang ke kampung halaman. Bahkan, dia kemudian menemukan peluang usaha baru di bidang perikanan. Peluang itu datang setelah Dini

73

Pilihannya untuk mendaftar ke Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta Angkatan 36 Tahun 2000 pun sebenarnya didasari oleh keinginan untuk melihat dunia luar. Maka, begitu lulus sekolah, dia pun mencari pekerjaan di luar kota. Pucuk dicinta, dia diterima bekerja di salah satu laboratorium perusahaan perikanan di Manado, Sulawesi Utara. Ia segera bersiap-siap, bahkan telah membeli tiket dari hasil uang tabungannya selama sekolah. Namun, menjelang keberangkatan, ibunya menyusul ke Jakarta dan meminta Dini untuk kembali ke Rembang. Ia pun merelakan impiannya berkeliling Indonesia menguap dan dengan berat hati kembali ke kampung halaman. “Sepanjang jalan di bus, saya terus menangis,� kenangnya.


banyak blusukan dan mencermati geliat industri perikanan di kotanya, terutama di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Rembang. Di situ ia melihat besarnya potensi hasil tangkapan perikanan di kabupaten ini. Dini memulai usahanya di bidang perikanan dengan menjadi pedagang perantara ikan asin. Pola bisninya cukup sederhana, dia membeli ikan asin dari nelayan di Rembang dan mengirimnya ke luar daerah. “Jadi broker lah istilahnya,” kenangnya. Tidak main-main, permintaannya bahkan mencapai 1-2 ton untuk sekali pengiriman. “Pernah sampai 10 ton sebulan,” tambahnya. Di sela-sela kegiatannya ini, Dini juga menyempatkan diri menjadi guru honorer di salah satu sekolah menengah atas di Rembang, mengajar Bahasa Jepang berbekal kemampuan yang diperolehnya semasa sekolah di Sekolah Tinggi Perikanan.

Sekalipun usahanya telah memberi cukup pemasukan, namun Dini merasa tidak mendapat kepuasan. Ia merasa bisa berbuat lebih dengan pengetahuannya di bidang pengolahan ikan yang dipelajarinya selama di sekolah. Perlahan, dia mulai mencoba usaha pengolahan ikan menjadi produk konsumsi sejenis nugget. Dengan berbekal uang Rp500.000,00 ia membeli sendiri ikan tengiri dari nelayan dan bumbubumbu dasar di pasar, kemudian mencoba mengolahnya. “Saya bikin nugget bakso dari ikan tengiri,” ungkapnya. “Awalnya dijual ke teman sendiri, eh kok pada suka,” tambahnya sambil tertawa. Dari sini, Dini melihat potensi besar untuk mendapatkan penghasilan, sekaligus kepuasan karena telah memberi nilai tambah dan membuka lapangan pekerjaan baru.

Jalan Berliku ujarnya dengan penuh keyakinan. Dengan pembawaan yang supel dan ramah kepada orang lain, Dini mulai mencari konsumen di luar kota dengan berbagai cara, misalnya mengikuti berbagai acara seperti bazar Ramadhan di Kota Semarang atau Rembang Expo yang rutin dilakukan setiap peringatan hari jadi Kabupaten Rembang, peringatan Hari Kartini, atau Hari Pendidikan

Melihat nugget ikan tenggirinya digemari oleh teman-temannya, Dini semakin bersemangat untuk melakukan percobaan dan membuat berbagai macam produk lainnya. Sikap untuk terus mencoba ini, menurut Dini, merupakan salah satu sifat dasarnya. ”Saya orang yang memiliki karakter selalu penasaran. Kalau sudah menginginkan sesuatu, akan saya kejar sampai dapat,” 15 Perempuan Wirausaha Sosial

74

Menginspirasi Indonesia


Nasional. Konsumen pertamanya adalah pembeli dari Semarang. Setelah mencoba, ternyata pembeli tersebut suka dan seminggu kemudian memesan sebanyak 500 paket nugget ikan tenggiri, yang satu paketnya berisi 10 potong.

baku, satu untuk bahan jadi dan tiga lagi untuk produk yang dijual di outlet. Dari berbagai cara untuk mengenalkan produknya, Dini mengakui pesanan paling banyak datang secara langsung. “Dari rekomendasi orang yang sudah mecoba produk saya,” ujarnya dengan bangga.

Pesanan ini lalu dikerjakan bersama satu orang karyawan yang direkrutnya. Tidak lama sejak pesanan itu, ia pun menerima pesanan dari Kota Surabaya. “Namun saya tolak, karena dia mintanya dikasih pengawet biar tahan lama,” ungkapnya. Dini dengan tegas menyatakan tidak mau menggunakan bahan pengawet untuk setiap produknya karena tidak ingin “meracuni” masyarakat. Menurut dia, dengan pengolahan yang tepat, produk ikan bisa tahan lama walaupun tanpa pengawet.

Sejak mulai memproduksi makanan olahan ikan, Dini merasa telah menemukan panggilan hidupnya. Bahkan, dia memiliki cita-cita untuk terus membesarkan usahanya hingga ke taraf nasional. Perlahan, cita-cita Dini mulai terwujud. Sejak dirintis pada tahun 2006, kini Mina Food telah memiliki 27 jenis produk olahan ikan seperti fish stick, nugget ikan, bakso ikan, udang pangko, ekado udang hingga bakwan udang. Keengganannya menggunakan Setiap bulan perusahaan ini telah bahan pengawet membuat Dini mengirim sekitar 500 kg produk, yang sangat hati-hati dalam mengolah terdiri dari bermacam-macam jenis produknya. Prinsip penerapan sesuai pesanan, ke berbagai kota sistem rantai dingin dalam seperti Magelang, Salatiga hingga penanganan hasil perikanan benar- Banyuwangi. “Tiap kota maunya benar diterapkannya. Penerapan beda-beda. Seperti di Magelang sistem ini sangat diperlukan mintanya fish stick, kalau Salatiga karena dengan menggunakan suhu bakso,” jelasnya dengan tersenyum. rendah (mendekati 00 C), akan Dini menyampaikan setiap bulannya menghambat proses pembusukan mampu meraup keuntungan bersih dari pertumbuhan mikroba, bahkan hingga Rp20 juta. dapat membunuh mikroba. Kini, setidaknya Mina Food memiliki Salah satu produk Mina Food tujuh freezer berukuran besar yang cukup digemari adalah jenis dengan fungsinya masing-masing ekado, yaitu daging ikan yang yaitu tiga untuk menyimpan bahan sudah digiling/blender dan dicampur 75


beberapa bumbu dasar seperti garam, bawang putih, bawang merah dan lada, lalu dibungkus dengan kulit lumpia dan digoreng dalam minyak panas. Ia menjualnya dengan dua cara, yaitu dalam bentuk beku dengan berat 250 gr per bungkusnya dan diberi harga Rp15.000,00, dan dengan cara digoreng, dengan satu porsinya berisi empat potong dan diberi harga Rp2.000,00.

untuk menerima pesanan, membeli bahan-bahan dasar serta melakukan pembukuan. Semua tim ini dipimpin oleh satu orang manager operasional.

Sekalipun usahanya menunjukkan perkembangan pesat dan memberikan keuntungan materi cukup tinggi, namun Dini tidak serta merta mendapat dukungan dari keluarga. Misalnya, ketika melihat dia berniat membeli mesin freezer Dini menyebut bisa menjual 300 porsi berukuran besar, suaminya awalnya ekado goreng setiap harinya, yang tidak setuju. “Suami awalnya nggak didistribusikan ke dua sekolah dan setuju karena dipikirnya saya satu rumah sakit di Rembang, selain hanya coba-coba. Dia takut nanti yang dijual langsung di gerai Mina alatnya mangkrak (tidak terpakai),” Food. Setiap bulannya, jenis ekado kenangnya sembari tertawa. ini bisa diproduksi hingga mencapai Namun, Dini tidak menyerah. 250 kg. Produk lain yang juga Dia akhirnya ia bisa memiliki digemari adalah jenis udang pangko freezer tersebut dan terbukti hingga yang juga dijual beku dengan berat sekarang tetap dipergunakan untuk 150 gram per bungkusnya. “Kalau ini menyimpan bahan baku dalam (udang pangko) harganya Rp13ribu- jumlah banyak agar tetap segar an,” jelas perempuan yang tidak dalam beberapa waktu. “Saya sungkan berbagi pengetahuan akhirnya bisa membujuk suami,” tentang resep masakannya. Selain tambahnya sambil menahan tawa. mengolahnya menjadi pangko, Dini juga mengolah udang menjadi Ketika usahanya semakin udang gulung dan bakwan. Setiap meningkat, pada tahun 2013, bulannya dia membutuhkan paling Dini akhirnya harus meninggalkan tidak 100 kg daging udang. Kota Rembang. Tahun itu, ia memutuskan untuk pindah ke Kini, untuk menjalankan rumah Kota Kendal, mengikuti suaminya produksinya, ia memiliki tiga yang sudah dua tahun bermukim orang karyawan yang semuanya di sana karena tugasnya sebagai adalah perempuan dari lingkungan pegawai negeri sipil. “Sebelumnya, sekitarnya di Rembang. Sedangkan saya enam tahun jauh-jauhan. untuk gerainya, ia memiliki tiga Dia (suaminya) di Jakarta, saya di orang karyawan yang bertugas Rembang,” ujar Dini. 15 Perempuan Wirausaha Sosial

76

Menginspirasi Indonesia


Ketika memutuskan untuk pindah ke Kendal, Dini sempat ingin menutup usahanya, Mina Food karena khawatir tidak akan ada yang mengelola. Namun, niat itu diurungkan karena memikirkan nasib karyawan yang selama ini bekerja dengannya. “Saya tidak sematamata mencari keuntungan saat membangun Mina Food, namun juga ingin membantu banyak orang,” ujar ibu dua orang anak ini.

Dini lalu menyebutkan bahwa produknya tidak hanya dijual secara langsung di gerai mereka di Rembang, namun juga menerima reseller dari berbagai kota. “Saya sampai tidak tahu resellernya sudah ada berapa,” ujarnya sambil tertawa. Terbukti, siang itu seorang perempuan datang ke gerainya dan menanyakan kesempatan untuk menjadi reseller di Pekalongan, sebuah kota yang berjarak setidaknya enam jam dari Kabupaten Rembang.

Sebelum pindah ke Kendal, ia mengangkat seorang karyawan yang bertugas untuk menjalankan operasional usahanya, termasuk pembukuan, dan pelaporan. Sekalipun sudah ada yang mengelola usahanya di Rembang, Dini pun masih sering bolak-balik ke kampung halamannya untuk memantau. Semangatnya untuk mengembangkan usaha Mina Food terus bersemi. Bahkan, Dini sedang menjajaki membuat merek baru yang akan diberi nama Ayasiefood. “Belum launching. Lagi nyari supplier,” ujarnya sembari tersenyum.

Tidak berhenti di situ, Dini juga membuka kerja sama dengan beberapa perusahaan lain seperti Pelangi Food di Tangerang dalam bentuk menyediakan produk ikan dan udang kreasinya. Mina Food pun mendapatkan kontrak selama kurang lebih 20 tahun sebagai mitra mereka. “Saya sekarang memiliki 20 karyawan di Tangerang (kerja sama dengan Pelangi Food),” jelasnya. Karyawan ini bertugas untuk menyediakan produk olahan ikan dan udang untuk merek Pelangi Food. “Nah, meskipun mereknya nanti Pelangi Food, tapi di kemasannya nanti akan ditulis: ‘diproduksi oleh Mina Food untuk Pelangi Food Tangerang’,” ungkapnya sambil tersenyum.

Belakangan, Dini mulai menikmati hidup di dua kota, Rembang dan Kendal. Dia juga mulai kerap blusukan ke daerah-daerah nelayan di Kendal dan berbagi pengetahuan dengan para nelayan seperti desain alat pengolahan produk ikan pindang yang lebih higienis dan hemat bahan bakar. “Bagi saya, arti hidup itu kalau kita bisa membahagiakan orang lain,” tuturnya dengan penuh keyakinan.

Rumah produksi Mina Food memanfaatkan rumah keluarganya di Jl. Magersari. Total ada tiga orang karyawan yang bekerja di sana dan semuanya perempuan tamatan

77


Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di atas lahan seluas 705 meter persegi itulah, Dini dan karyawannya tak pernah berhenti melakukan inovasi produk. Ia pun tak lupa untuk selalu menjaga kualitas produknya tidak hanya rasa, namun juga kebersihan.

di Rembang, tidak hanya untuk kemajuan usahanya sendiri, namun ke depan juga akan membuat workshop secara reguler yang ditujukan kepada masyarakat Rembang yang ingin belajar mengenai industri pengolahan produk perikanan. “Saya ingin orang di kampung saya bisa belajar Untuk menjaga kualitas tentang pengolahan ikan, bisa produknya, semua karyawan, menggunakan alat-alat modern baik yang di Rembang maupun seperti grinder, chopper mixer,� yang ditempatkan di Tangerang, ungkapnya. Impian itu agaknya mendapatkan pelatihan selama tidak lagi berlebihan. Beberapa kurang lebih tiga bulan yang sekolah di Rembang kini sudah mencakup pengolahan bahan baku, menjadikan Mina Food sebagai mendapatkan rasa yang sesuai, tempat rujukan untuk mata mengetahui bahan baku yang segar pelajaran kewirausahaan. dan standar kebersihan yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

Rasa ingin tahu yang besar serta sikap pantang menyerah adalah kunci Dini mengembangkan usahanya. Foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

Meskipun sudah menetap di Kendal dan hanya sesekali pulang ke Rembang, namun Dini tidak akan memindahkan usahanya dari kota pesisir ini. Dia masih ingin terus mengembangan Mina Food

Nama: Dini Bangun Wijayanti Tempat, Tanggal Lahir: Rembang, 29 Maret 1983 Alamat: Desa Magersari, Rembang, Jawa Tengah Pendidikan Terakhir: Sekolah Tinggi Perikanan Angkatan 36 Tahun 2000-2004 Pekerjaan: Pendiri dan Pemilik Mina Food (produk olahan boga bahari) 15 Perempuan Wirausaha Sosial

78

Menginspirasi Indonesia


“Saya tidak mau menggunakan bahan pengawet untuk setiap produk saya karena tidak ingin “meracuni” masyarakat. Dengan pengolahan yang tepat, produk ikan bisa tahan lama walaupun tanpa pengawet.” Dini Bangun Wijayanti

Tips mendirikan usaha dari Dini: • Niat yang keras. Modal besar tidak menjamin usaha sukses. • Perempuan, jangan konsumtif. Setelah punya untung banyak, jangan belanja. Jangan beli macam-macam. Diputar lagi modal usaha. • Usaha itu nggak perlu modal besar. Rumah biasa pun juga bisa kalau memang punya niat.

79


Pelangi Nusantara: Terbang Tinggi dengan Kain Perca

ksikan proses penjahitan Tidak hanya membeli, pengunjung dapat menya dan obrolan dengan Noor Suryanti.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

80

Menginspirasi Indonesia


Setiap barang yang dip roduksi PelaNusa, selalu mencantumkan profil komunitas secara singkat.

Selain men jahit, ibu-ib u di Komun juga belaja itas Pelangi r untuk men Nusanta desain dan mencari tahu ra seputar war tren na, pola da n jenis jahi tan. 81

Foto-foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

khas hasil karya Pola yang menjadi ciri santara. Komunitas Pelangi Nu


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

Pelangi Nusantara

Bidang Bisnis: Aneka produk kain perca _________________________ Jenis Produk: Sarung bantal, bed cover, taplak meja, tas, dompet, selimut dan lain-lain __________________________ Omset:

Âą Rp30 juta/bulan ____________________________ Karyawan:

Berdiri Sejak:

1998

__________ Modal:

Rp500.000,00

(tidak termasuk bangunan/tempat) ___________________________ Supplier: penjahit busana muslim, industri kain, toko baju, pengrajin batik di yogyakarta _________________________

150 orang penjahit binaan

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Penjualan: Online, toko/outlet di Malang, pesanan

82

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Jl. Wijaya Barat No. 84 Singosari, Malang Jawa Timur

83


“Rezeki tidak akan habis hanya karena dibagi-bagi, yang ada malah bertambah.� Endahning Noor Suryanti

Nama: Ir. Endahning Noor Suryanti Tempat, Tanggal Lahir: Malang, 23 April 1966 Alamat: Jl. Wijaya Barat No. 84 Singosari, Malang, Jawa Timur Pendidikan Terakhir: Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya (1984-1989) Pekerjaan: Pendiri dan ketua komunitas Pelangi Nusantara Penghargaan: UKM Innovative Kementerian Koperasi dan UKM 2015 Pramakarya Award 2015

15 Perempuan Wirausaha Sosial

84

Menginspirasi Indonesia


J

ika Aladin, tokoh dalam dongeng 1001 malam, dikisahkan dapat terbang menjelajah dunia dengan permadani ajaib, maka Endahning Noor Suryanti (50) bisa “terbang” dengan kain perca. Bahkan, dia juga membawa 150 warga binaannya di Pelangi Nusantara untuk “terbang” bersama.

duduk-duduk di lantai, menyimak pengarahan dari Noor Suryanti. Di pelataran ini pula, para perempuan itu biasanya memilah kain perca, menggunting, dan menjahitnya.

Bagian dalam rumah dipenuhi aneka barang kerajinan dari potongan kain perca itu, mulai dari sarung bantal, bed cover, taplak meja, tas, dan Berkat kegigihannya membangun dompet. Selain memajang hasil komunitas perajin kain perca, Noor karya mereka, ruangan biasanya Suryanti, perempuan dari Singosari, juga dijadikan ruang diskusi untuk Malang, Jawa Timur, terpilih membahas persoalan manajemen, sebagai pemenang Community desain, hingga menghitung harga Enterpreneurs Challenges untuk jual yang pantas. kategori pemula (start-up) yang diselenggarakan oleh Arthur Gunnes Hampir semua perempuan yang Fund dan British Council pada tahun tergabung dalam Komunitas 2013. Pemberian penghargaan dan Pelangi Nusantara ini sebelumnya hadiah uang senilai Rp100 juta adalah perempuan putus sekolah dilakukan di London, Inggris. yang kemudian menikah muda, Maka, untuk pertama kalinya, mantan TKW (tenaga kerja wanita) ketua Komunitas Pelangi Nusantara yang ingin berhenti dan memilih itu, terbang ke luar negeri. menetap bersama keluarga, serta ibu-ibu rumah tangga biasa. Namun, Sekilas ‘markas besar’ Pelangi para perempuan ini kini telah Nusantara itu tampak seperti mahir merajut perca, bahkan juga rumah kediaman pada umumnya. berdaya untuk memasarkan sendiri Namun, begitu memasukinya produksinya hingga ke pasaran luar pelatarannya, kita bisa langsung negeri. Semua ini berkat kegigihan tahu, ini bukan rumah biasa. Endahning Noor Suryanti atau biasa Di pelataran rumah tersebut dipanggil Yanti. dipenuhi 30-an perempuan yang

85


Hobi Menjahit

mesin obras. Dia kemudian menawarkan jasa menjahitkan bajuYanti adalah anak kedua dari baju seragam sekolah atau baju empat bersaudara. Dia terlahir dari sehari-hari kepada para tetangga. keluarga yang justru bukan penjahit, Enam bulan pertama, ia mendapat bukan pula pedagang. Ayahnya keuntungan Rp500.000,00 per guru matematika dan ibunya bulan. Yanti pun bersemangat dan mengurusi rumah tangga. berusaha terus mengembangkan diri. Selain menerima jahitan, ia Walau sempat menamatkan mulai merancang serta menjual pendidikan di Fakultas Perikanan baju hasil karyanya. Namun, upaya Universitas Brawijaya, Malang, Yanti itu tidak berhasil mendongkrak mengaku tidak pernah berkeinginan pendapatan secara berarti. membuka usaha atau bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya Kebetulan, rumah Yanti berdekatan tersebut. Maka, begitu lulus dengan Sarinah Department Store. kuliah, ibu dari dua anak ini, justru Dia memiliki banyak kenalan di asyik mengikuti sejumlah kursus supermarket itu, mulai dari pelayan keterampilan seperti memasak dan les hingga pihak manajemen. Dari Bahasa Inggris. Dia sempat berjualan obrolan santai dan kedekatannya kue dan kemudian membuat roti serta dengan beberapa karyawan di memasarkannya sendiri. Sarinah, Yanti mendapatkan ide untuk menawarkan baju Namun, usaha ini ternyata tak hasil rancangan dan jahitannya memberi keuntungan seperti yang ke Sarinah. Ternyata, pihak diharapkannya. Maka, pada tahun Sarinah pun membuka diri. 1998 dia mulai merintis usaha “Saya membayangkan baju hasil jahit-menjahit, hobi yang telah rancangan dan jahitan saya bakal ditekuninya sejak SMP (sekolah dipajang di patung peraga di menengah pertama). “Ternyata Sarinah, pasti membanggakan,� memang usaha ini (menjahit) yang kisah Yanti. paling memberikan keuntungan ekonomi. Maka saya memutuskan Namun, jalan menuju kesuksesan untuk serius menekuninya,“ kata tak pernah mudah. Ketika Yanti, dengan logat Jawa timuran Yanti akhirnya membawa baju yang masih sangat kental itu. rancangannya, pihak Sarinah menolak dengan alasan model, Bermodalkan tabungan sebesar warna, hingga hasil jahitan Rp500.000,00, Yanti membeli belum sesuai dengan kualitas sebuah mesin jahit dan sebuah yang mereka inginkan. Dia

15 Perempuan Wirausaha Sosial

86

Menginspirasi Indonesia


memperbaiki rancangannya dan datang kembali ke Sarinah. Lagi-lagi dia ditolak. Namun, Yanti bukan sosok yang gampang menyerah. Dia memiliki tekad kuat untuk bisa menembus Sarinah.

Usaha Yanti terus berkembang. Jika awalnya semuanya dikerjakan sendiri dengan hanya satu mesin jahit, pada tahun 2003 dia mulai mempekerjakan 10 karyawan dan menambah 10 mesin jahit.

Maka, dia mulai bertanya mengenai model, warna, kualitas bahan maupun jahitan yang baik, kepada pihak Departement Store. Selain itu, Yanti juga bertukar pikiran dengan para tetangga yang menjadi pelanggannya. Setelah mengalami tiga kali penolakan, akhirnya baju rancangan Yanti diterima pihak Departement Store. Waktu itu dia menyerahkan sepuluh model baju, masing-masing terdiri dua atau tiga potong. Yanti sangat senang dan bangga dengan pencapaiannya waktu itu. “Ini sebuah sinyal, bahwa usaha menjahit ini harus diteruskan, dikembangkan,� jelas Yanti sambil tersenyum lebar.

Berdasarkan pengamatan terhadap kebiasaan pesanan pihak pelanggan, serta kecenderungan yang ia lihat di media maupun dalam pergaulannya seharihari, Yanti memutuskan untuk memfokuskan usaha jahitnya pada pakaian muslim.

Langkah ini ternyata sangat tepat. Dengan modal belajar secara otodidak, bermodalkan mengikuti tren mode busana muslim dari media, serta masukan pelanggan, usaha busana Muslim Yanti meraih kesuksesan. Bahkan pada pertengahan tahun 2004 omsetnya mencapai Rp50 juta per bulan. Seiring dengan itu, tawaran untuk mengikuti acara peragaan Baju-baju yang dititipkan di Sarinah busana, pameran hingga, peliputan memang tidak lantas laku keras. oleh media, semakin marak. Yanti Beberapa malah tidak laku sama mengikuti pameran di Malang, Jakarta, sekali, sehingga dikembalikan maupun kota-kota di luar Pulau Jawa. padanya. Namun Yanti tidak Tidak heran jika kemudian pelanggan mempermasalahkan hal tersebut. pun berdatangan dari berbagai “Diterimanya baju saya di Sarinah pelosok Indonesia, bahkan hingga telah menjadi iklan atau promosi dari negara lain, seperti Jepang dan tersendiri di kalangan tetangga, Amerika. Yanti pun menargetkan pelanggan, atau calon-calon omset penjualan busananya bisa pelanggan yang mau membeli baju mencapai Rp100 juta per bulan. atau meminta menjahitkan baju atau Tidak butuh lama, pada akhir tahun itu keperluan lain,“ kata Yanti. pula, target tersebut tercapai.

87


Merajut Perca menjadi apa saja. Saya menjalankan masukan beliau, ternyata malah membuka jalan lain dalam hidup saya,� katanya.

Usaha pembuatan busana muslim Yanti bisa dibilang sukses, namun, arah usahanya kemudian berubah pada tahun 2007 saat dia mendapatkan pesanan dari Jepang. Awalnya, Badan Penanaman Modal Jawa Timur mengundang Noor Suryanti untuk ikutan dalam pameran produk dalam negeri di Surabaya. Beberapa tamu luar negeri juga diundang dalam pemeran ini. Saat itulah, ia berkenalan dengan Simodha, pengusaha asal Jepang yang tertarik dengan karya Noor Suryanti.

Secara pendapatan, usaha memproduksi dan menjual pernakpernik rumah tangga dari kain perca memberikan tambahan penghasilan yang lumayan, yaitu sekitar Rp15 juta - Rp20 juta setiap dua bulan. Pendapatan tersebut masih lebih kecil, dibanding usaha busana muslim yang memang jadi fokus utama usaha Yanti dengan penghasilan bulanan bisa hingga Rp100 juta.

Simodha memesan perlengkapan interior rumah, seperti taplak meja, sarung bantal, maupun barang lain, seperti tas, dompet maupun bed cover dari kain perca, sisa guntingan busana muslim yang waktu itu belum menjadi barang dagangan utama Yanti. Membuat berbagai perlengkapan rumah maupun tas dan dompet dari kain perca, awalnya hanya usaha sampingannya sejak tahun 2004, ketika ia memfokuskan diri menjahit busana muslim. Berkat masukan ibunya, Yanti memanfaatkan kain perca, limbah usaha jahitnya tersebut. Maka, saat berpameran, selain menjual baju muslim, Yanti juga kerap membawa beberapa contoh karya barang-barang yang terbuat dari kain perca. “Ibu saya menasehati agar tidak membuang kain perca, tapi memanfaatkan

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Setiap hari Rabu, tidak kurang dari 30 orang perempuan berkumpul untuk belajar menjahit. Foto: Iwan untuk Oxfam di Indonesia

88

Menginspirasi Indonesia


Pelangi Nusantara Semua proses pembelajaran tersebut diberikan Yanti secara cuma-cuma, termasuk bahanbahan yang dipakai. Kecuali, di antara mereka memang mau belajar untuk kemudian buka usaha sendiri, maka akan dikenai biaya terkait sejumlah bahan yang digunakan. Yanti kemudian membeli barang-barang yang dihasilkan para perempuan yang telah dilatihnya tersebut untuk dijual kembali kepada pelanggannya. “Jika mau buka usaha, maka pendekatannya mereka seperti kursus kepada saya, jadi ada biaya yang harus mereka bayarkan. Tapi kalau mau belajar dan menjual hasilnya kepada saya, maka akan saya gratiskan,” jelas Yanti.

Sekalipun sibuk berusaha, Yanti adalah sosok perempuan yang tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seperti terlibat dalam Posyandu, PKK, hingga pembinaan Usaha Kecil Menengah (UKM). Dari kegiatan-kegiatan ini, Yanti mendengar berbagai keluh kesah dan persoalan para perempuan lain di lingkungannya. Banyak di antara mereka adalah wanita yang putus sekolah dan menikah muda. Situasi ini membuat mereka kesulitan mengembangkan diri. Yanti juga bertemu dengan para mantan buruh migran di luar negeri, yang ingin bekerja di kampung sendiri. Namun, lapangan usaha nyaris tak ada, sehingga kebanyakan perempuan ini menganggur. “Setiap kali terlibat dalam forum-forum pertemuan, baik PKK maupun Posyandu, perasaan saya seperti terketuk untuk berbuat sesuatu,” kisahnya.

Namun melatih orang lain menjahit hingga menghasilkan karya yang layak jual ternyata tidak gampang. Yanti pun mulai meluangkan waktu Di antara sepuluh orang yang dilatih, bisa jadi hanya ada dua dan tenaganya untuk mengajari atau tiga yang bisa menghasilkan para perempuan di sekitar lingkungannya menjahit kain perca barang yang layak jual. “Saya tidak menjadi berbagai barang. Perlahan, mau main-main dan kompromi perempuan yang berminat mengikuti terhadap mutu. Jika belum bagus pelatihan jahit menjahit membesar. hasilnya, maka jangan dipaksa Setidaknya ada warga dari sepuluh jual. Harus belajar terus sampai bagus hasilnya.” kecamatan yang secara berkala berkumpul di salah satu rumah warga, seminggu dua kali.

89


Secara berkala Yanti berkeliling mengunjungi para penjahit yang terkumpul menjadi beberapa kelompok. Seminggu sekali Yanti mengumpulkan semua anggota kelopok tersebut di satu tempat untuk mendapatkan penambahan ilmu. Mulai dari menjahit, manajemen, desain, hingga wawasan lain, seperti kemampuan wiraswasta. Perlahan tapi pasti, pada tahun 2010, terbentuklah sepuluh kelompok perajin yang masing-masing terdiri dari 15 perempuan. Setiap kelompok punya nama sendiri-sendiri yang diberikan oleh Noor Suryanti berdasarkan lokasi sekitar. Walaupun kemampuannya belum merata, namun ada di antara mereka yang mulai mampu menghasilkan barang yang baik dan layak jual.

Sedangkan aktivitasnya membina kelompok-kelompok wanita penjahit, akan dihentikannya. “Apapun pilihan yang saya ambil, memiliki konsekuensi masingmasing. Saya bertukar pikiran dengan suami, keluarga, dan sejumlah pihak. Tidak mudah,� ungkap Yanti.

Di tengah situasi ini, Yanti tibatiba mendapatkan pesanan untuk membuat bed cover yang terbuat dari kain perca dengan jumlah besar, yaitu mencapai 5.000 buah. Selama ini, Yanti berusaha memenuhi pesanan pelanggannya. “Siapapun dan berapapun yang pesan harus terus dilayani dan dijaga dengan baik. Hubungan personal dan mutu yang baik, menjadi kunci menjaga pelanggan Ketika kelompok penjahit tetap ingat dan setia kepada binaannya menunjukkan kemajuan, kita,� jelas Yanti. Namun, kali situasi berbeda terjadi pada usaha ini, pelanggan tersebut memberi busana muslim dan berbagai batas waktu yang sangat singkat, barang yang terbuat dari kain perca sehingga Yanti tidak bisa memenuhi yang dijalankan Yanti. Selain daya permintaan tersebut sendiri. beli pasar yang memang menurun, juga mulai muncul pesaing-pesaing Mendapati kondisi ini, membuat baru yang mampu menawarkan Yanti urung menghentikan harga murah. Kenyataan ini, aktivitasnya membina kelompokmembuat Yanti berpikir keras kelompok penjahit tersebut. Adanya dan sempat memutuskan untuk permintaan besar menggambarkan lebih berkonsentrasi dalam adanya peluang dari pasar, yang pembuatan busana muslim saja selama ini tak bisa dipenuhi dari dan menjadikan usaha kain kemampuannya memproduksi perca menjadi sampingan saja, sendiri. Pada titik inilah jiwa sebagaimana sebelumnya. kewirausahaan sosial Yanti

15 Perempuan Wirausaha Sosial

90

Menginspirasi Indonesia


kembali terpanggil. Jika memilih menjalankan usaha yang murni bisnis dengan orientasi keuntungan, yang cukup dijalankan sendiri dibantu sepuluh karyawan, dia mungkin bisa lebih fokus. Tentu, dia harus memperkerjakan lebih banyak karyawan lain. Dia mungkin bisa meraih kesuksesan sendiri, sebagaimana pernah dicobanya.

Konsekuensi utama dari penggabungan tersebut adalah Yanti harus rela membagi kepemilikan usaha yang telah dirintisnya sediri selama bertahuntahun itu dengan orang lain. Karena berbentuk koperasi, maka kepemilikan “Pelangi Nusantara” ada di tangan seluruh anggotanya. Yanti memang menempati posisi kunci dalam koperasi ini. Dia yang Namun, pilihan kedua, yaitu berwenang membagi pekerjaan ke menggabungkan usaha yang setiap kelompok. Namun, mengenai ia miliki dengan 150 penjahit harga, dibicarakan dan diputuskan yang telah dibinanya selama bersama. Setelah “Pelangi ini, hal itu mungki ternyata lebih Nusantara” berjalan, setidaknya menentramkan hatinya. Dia ingin setiap anggota mendapatkan melakukan wirausaha berbasis penghasilan tambahan sebesar gerakan sosial, yang bisa Rp1 juta hingga Rp1,5 juta setiap menghidupi masyarakat. Yanti bulan dari sekitar total pemasukan memiliki visi, jika sepuluh kelompok koperasi sebesar Rp20 juta tersebut berhasil dibina dengan baik Rp30 juta per bulannya. Sedangkan sehingga bisa menghasilkan karya Yanti sendiri, mendapatkan fee berkualitas, maka ia tidak perlu lagi sebesar 10 persen dari setiap menolak tawaran dari pelanggan pesanan yang ia dapatkan. yang datang dengan jumlah besar. Banyak kawan atau kerabatnya Akhirnya, Yanti memutuskan untuk yang memandang negatif menggabungkan bisnis yang pilihan Yanti untuk “membagiselama ini ia jalankan dengan bagi” perusahaan yang ia miliki usaha sepuluh kelompok penjahit sehingga menjadi milik banyak binaannya. Sejak itu, lahirlah orang. Namun, Yanti teguh pada Koperasi Pelangi Nusantara. keputusannya, bahkan dia tidak merasa rugi atau bahkan merasa Nama Pelangi Nusantara ini, kehilangan penghasilan. Sebagai terinspirasi dari fokus utama produksi pendiri dan pengonsep Koperasi dan penjualan pada barang yag Pelangi Nusantara, Yanti kemudian dibuat dari aneka kain perca yang mendapat banyak undangan untuk berasal dari beri pelosok Indonesia, membagi pengalaman maupun ikut sehingga bagai pelangi Nusantara. menangani berbagai bentuk kerja

91


sama usaha antara masyarakat dengan swasta atau masyarakat dengan pemerintah. “Walau telah melebur usaha dan berbagi dengan 150 orang, sejauh ini pendapatan saya tidak berkurang, malah lebih dibanding dulu. Selain dari penjualan dan pembagian hasil, saya juga mendapat penghasilan dari memberikan pendampingan terhadap perusahaan swasta yang ingin melaksanakan proyek tanggung jawab sosialnya dengan meniru apa yang telah saya terapkan di Pelangi Nusantara,” kata Yanti. Yanti juga menjadi Dosen di LP3I Malang, yang membuka mata kuliah khusus Entrepreneur. Sebagai praktisi, Yanti diminta mengajarkan mengenai seluk-beluk entrepreneur yang ia dapatkan dari pengalaman. “Saya tidak pernah mengajar secara formal di dalam kelas. Saya mengajak mahasiswa langsung jalan-jalan ke tempat usaha saya, lalu ngobrol dengan para pengrajin dan menyaksikan bagaimana sebuah aktivitas entreprenuer berjalan.”

Kepada perusahaan-perusaahan ini, Yanti biasanya mengajarkan tentang konsep kerja sama, pembagian kerja, maupun upah, hingga cara pendampingan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat. Dalam pengajaran ini Yanti menerima pendapatan yang cukup besar. Karena sebagai pengajar, ia hanya bekerja sendiri. Seluruh bahan pengajaran ini diperoleh Yanti dari pengalaman pribadinya. Tidak semuanya langsung berhasil, ada juga yang gagal. “Ada juga yang saya pelajari dari berbagai organisasi yang saya ikuti, maupun sejumlah kursus yang diadakan pemerintah maupun lembaga asing, seperti British Council,” kata peraih Paramakarya Award dari Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi, yang penghargaanya diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015.

Beberapa contoh perusahaan yang juga menggunakan kemampuan Yanti untuk membantu mereka mengembangkan kerja sama usaha dengan masyarakat adalah PT. Sampoerna dan PT. Pertamina. Padahal, di awal membentuk Pelangi Nusantara,

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Yanti tidak pernah terpikirkan untuk mendapatkan kesempatan mengajar atau menangani kelompok masyarakat di luar Pelangi Nusantara.

Sejak mendirikan Koperasi Pelangi Nusantara, Yanti mulai mengurangi usaha pribadinya. Dia hanya fokus memproduksi busana muslim setelah ada pesanan. Untuk produksinya pun, Yanti memberi kepercayaan pada mantan pegawainya dulu, yang kini

92

Menginspirasi Indonesia


telah punya usaha sendiri-sendiri. “Banyak mantan pegawai saya yang kemudian membuka usaha jahitan sendiri di rumahnya masing-masing. Setiap ada pesanan yang datang kepada saya, saya memberikan kepada mereka,” kata dia.

dan menganyam. “Persaingan ke depan, bukan cuma datang dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Kalau kita tidak meningkatkan diri, sulit untuk berkembang,” katanya. Pelangi Nusantara juga memberi dampak pada keluarga Yanti, terutama kepada kedua anaknya, Achmad Fadjrul yang saat ini masih kuliah di Politeknik Negeri Malang dan Ghulan Najmudin, yang mengenyam pendidikan di LP3i Bisnis. Dalam berbagai kesempatan, anak-anaknya mengamati, belajar, bahkan sesekali ikut terlibat dalam kegiatan Pelangi Nusantara. “Mereka juga menjadi paham dan semakin termotivasi bagaimana menjalankan usaha yang tidak melulu mengejar untung untuk diri sendiri, tapi bagaimana memberi manfaat untuk masyarakat banyak,” tambah Yanti.

Seiring dengan waktu, Pelangi Nusantara semakin membesar. Kain perca yang awalnya hanya didapatkan dari limbah jahitan usaha busana muslim, tak lagi mencukupi. Yanti kemudian menjalin kerja sama dengan sejumlah industri kain, toko baju, hingga pengrajin batik di Yogyakarta. “Awalnya bahan-bahan ini diperoleh secara gratis, karena selama itu dianggap sebagai limbah. Lama-kelamaan banyak yang tahu bahwa kami mengolah limbah itu untuk membuat bed cover dengan harga jutaan rupiah. Maka kemudian kami harus membeli perca tersebut,” ujar Yanti, sambil tersenyum. Yanti kini tak tersenyum sendirian. Para anggota koperasinya pun merasakan kesuksesan usaha mereka. “Mereka tidak lagi rendah diri karena tidak sekolah tinggi, karena tokoh punya banyak keahlian dan berpenghasilan. Banyak penjahit yang bilang ke anak-anaknya, mereka mau ‘sekolah’ tiap kali mau berangkat menjahit,” kata Yanti.

Ke depannya, sesuai nama Pelangi Nusantara, Yanti ingin membuat karya yang memanfaatkan kain perca dari bahan-bahan kain khas Indonesia, seperti batik, songket, tenun, dan lainnya. “Produk kami banyak yang dipesan pihak luar negri, maka dengan demikian kami bisa jualan interior sekaligus mengenalkan kekayaan budaya Indonesia,” kata peraih penghargaan UKM Innovative dari Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2015 ini.

Selain itu, Yanti juga membekali para penjahitnya dengan kemampuan lain, seperti menyulam

93


Kelompok Tani Pita Aksi: Para Pejuang Pangan Organik dari Pitusunggu

15 Perempuan Wirausaha Sosial

94

Menginspirasi Indonesia


Foto-foto: Dok. Oxfam di Indonesia dan Iwan Setiawan untuk Oxfam di Indonesia

95


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

Kelompok Tani Pita Aksi

Bidang bisnis: Aneka produk sayuran dan beras organik

Berdiri sejak:

________________________

__________

Jenis Produk: kangkung, sawi, tomat, pare, padi dan keripik bayam

_______________________ Penjualan: Warung sendiri, pasar induk kabupaten, pesanan (dalam dan luar kabupaten)

2010

Harga: Musiman

_____________________ Supplier: 25 petani perempuan ____________________ Kapasitas Produksi:

5 - 7 ton/hektar

15 Perempuan Wirausaha Sosial

96

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Dusun Bontosunggu Desa Pitusunggu Kecamatan Ma’rang Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan

97


“Saya yakin, karena menurut saya kesehatan penting. Organik kan sehat, tidak ada campuran kimianya. Saya coba terus kembangkan. Ternyata berhasil.” Sitti Rahmah Nama: Sitti Rahmah Tempat, Tanggal Lahir: Pangkep , 4 Januari 1972 Alamat : Dusun Bontosunggu, Desa Pitusunggu, Kecamatan Ma’rang, Pangkep, Sulawesi Selatan Pendidikan: SMAN Ma’Rang Kabupaten Pangkep ( 1990) Organisasi: Pendiri dan ketua Koperasi Tani Wanita Pita Aksi, guru PAUD

15 Perempuan Wirausaha Sosial

98

Menginspirasi Indonesia


D

ibutuhkan dua jam perjalanan dari Kota Makassar untuk mencapai Dusun Bontosunggu, Desa Pitusunggu, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Karena khawatir kami akan kesulitan menemukan rumahnya, Sitti Rahmah (50) kemudian meminta anaknya, Kharunnisya, untuk menjemput di tepi Jalan Raya Poros Pangkep. Dengan sepeda motor, Kharunnisya membawa kami melalui jalan kampung tak beraspal dan berlubang. Lumpur menggenai beberapa ruas jalan itu. Setelah sekitar lima belas menit, kami tiba di rumah keluarga Sitti Rahmah.

alat ini, saya memotong sendiri semua rumput dan daun yang kami kumpulkan dengan pisau,” tambah pendiri Kelompok Wanita Tani, Pita Aksi yang juga guru pendidikan anak usia dini ini. Di bagian depan bangunan rumahnya, terdapat sebuah ruangan berlantai bersih yang dibatasi pagar pendek. Sebuah papan tulis berada di dinding, di samping deretan foto para tamu yang pernah berkunjung, mulai dari foto mahasiswa hingga Duta Besar Kanada. Di ruangan itulah Sitti biasanya berkumpul untuk mendiskusikan persoalan pertanian organik dengan setidaknya 50 perempuan tani lainnya, baik dari desanya maupun desa tetangga. “Pertanian organik modalnya murah, hasil jualnya mahal. Selain itu sehat dan caranya pun relatif mudah. Namun awalnya tidak ada yang mencoba, bahkan ketika saya baru memulai tidak ada yang tertarik ikutan,” kata Sitti.

Rumah berdinding kayu dan sebagian lantainya berupa tanah itu dikelilingi aneka tanaman sehingga terasa teduh. Di halaman depan, sayur kangkung tumbuh sangat subur. Sedangkan lahan seluas sekitar 10 meter x 10 meter di samping rumahnya ditumbuhi padi yang menghijau. “Saat ini musim hujan, kami mengurangi menanam sayur dan menggantinya dengan padi,” kata Sitti Rahmah, ibu tiga anak kelahiran 1972 ini, saat menerima kami di rumahnya.

Penampilan Sitti sangat sederhana, nyaris tidak berbeda dengan kebanyakan wanita desa lainnya. Ketika ditemui, ia mengenakan jilbab lebar, kaos lengan panjang, dan celana panjang. Ia juga Di bagian belakang rumahnya, rendah hati, walaupun telah sukses terdapat aneka jenis sayuran seperti memelopori gerakan pertanian cabai, terung, pare, dan semangka. organik di desanya. “Banyak orang Juga di belakang rumah, terdapat minta saya cerita, datang ke sini alat pemotong daun dan rumput menganggap saya sukses. Padahal yang digunakan untuk pembuatan sukses itu apa? Saya hanya pupuk organik. “Waktu belum punya menanam sayur,” katanya. 99


Selain sikap pantang menyerah dan kemauan belajar yang besar, rasa kepedulian yang tinggi adalah modal Sitti dalam membangun gerakan pertanian organik di tanah desanya. Posisi Desa Pitusunggu yang dekat dengan laut membuat tanahnya asin sehingga kerap membuat tanaman yang dibudidayakan petani gagal panen. Tidak heran jika kemudian banyak di antara mereka mengubah lahan sawahnya menjadi tambak untuk membudidayakan udang. Apalagi pada tahun 1990-an, harga udang cukup tinggi. Bisa mencapai Rp120.000,00 per kg. Hanya lima tahun petani menikmati tingginya harga udang. Tiba-tiba harga udang anjlok hingga Rp30.000,00 per kg, seiring dengan penurunan hasil panen. Banyak petani yang jatuh bangkrut dan kemudian membiarkan tanah yang dimiliki tidak tergarap, alias menjadi lahan tidur.

Pemerintah Indonesia mengklaim jumlah total produksi gabah kering per tahun 2015 sebesar 74,9 juta ton, yang setara dengan 43,61 juta ton beras atau naik 5,8% dari tahun sebelumnya. Foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

Pertanian Organik. Sitti Rahmah memilih mengikuti Sekolah Lapang Pertanian Organik yang berfokus pada pemanfaatan pekarangan. Dari 25 peserta, yang mana 20 di antaranya adalah perempuan, Tahun 2010, Sitti tertarik sisanya lelaki. Banyaknya peserta untuk mengikuti program yang diselenggarakan Oxfam di Indonesia perempuan, memang menjadi bagian dari tujuan Oxfam sebagai di daerahnya. Oxfam, konfederasi dari 20 organisasi dan telah memiliki penyelenggara untuk lebih memberdayakan mereka. perwakilan di lebih dari 90 negara termasuk Indonesia, membuat Selama tiga bulan mengikuti proyek peningkatan kesejahteraan pelatihan, Sitti diajari bagaimana masyarakat pesisir dengan nama Restoring Coastal Livelihood (RCL). bercocok tanam secara organik, mengolah tanah, membuat bibit, Lembaga ini bermitra dengan Mangrove Action Project (MAP) yang bagaimana mengatasi hama, mengenali cuaca, hingga pemasaran saat itu membuka Sekolah Lapang dari hasil pertanian organik. Tambak dan Sekolah Lapang

15 Perempuan Wirausaha Sosial

100

Menginspirasi Indonesia


Mengajak dengan Contoh Nyata Berbeda dengan kebanyakan peserta pelatihan yang masih ragu dengan pertanian organik, Sitti justru merasa mendapat pencerahan dan tertantang untuk mencobanya. Berselang sebulan sejak belajar, ia pun mencoba mempraktikkannya di lahan pekarangan rumahnya. Berawal dari lahan yang sangat terbatas dan dengan menggunakan polybag, Sitti ternyata memperoleh hasil yang memuaskan. “Setidaknya untuk kebutuhan sendiri saya tidak perlu membeli sayuran lagi, bahkan saya bisa menjual ke pasar,� kata Sitti.

Ternyata keberhasilan Sitti memanen sayur-sayuran dan mulai membuat wanita lain tertarik. Enam bulan kemudian, terdapat 25 wanita yang tertarik belajar metode tanam organik itu. Mereka kemudian membentuk Kelompok Tani Pita Aksi, yang semua anggotanya perempuan. Nama Pita, diambil dari nama desa mereka, Pitusunggu yang diplesetkan menjadi Pita. Sedangkan aksi, sesuai artinya, gerakan nyata. Maka anggap saja Pita aksi adalah gerakan nyata dari Pitusunggu.

Sitti sengaja mengajak para perempuan karena ia mereka sebenarnya memiliki waktu luang, namun belum terberdayakan. Upaya untuk mengajak para perempuan untuk ikutan bertani ternyata awalnya kerap mendapatkan tantangan dari para suami. Banyak kalangan pria yang masih berpendapat wanita sebaiknya kerja di dapur saja. “Wanita, di mana-mana sering dipandang Namun, mengajak warga desanya sebelah mata dan tidak bisa apauntuk kembali bertani ternyata tidak apa. Saya mau melalui Kelompok mudah. Sitti tidak putus asa. Bahkan Tani Pita Aksi kami bisa bertani, suaminya pun masih tetap memilih menghasilkan sayuran bahkan untuk menggeluti pembudidayaan menambah penghasilan,� jelasnya. udang di tambak, dibandingkan Sitti tak pantang penyerah. Dia membantu usaha pertanian. Sitti terus menyemangati dan mengajak tetap bersikukuh membudidayakan para perempuan anggota Kelompok tanaman organik untuk memberikan Tani Pita Aksi untuk bertani organik. contoh kepada para tetangganya Perlahan, para perempuan yang dan orang-orang terdekatnya. menjadi Kelompok Tani Pita Aksi Keberhasilan ini tidak berlangsung lama. Hama tikus, kerap kali menyerang lahan pertanian organik miliknya. Kejadian ini, menurut Sitti akibat banyaknya lahan yang tidak tergarap sehingga menjadi sarang tikus. Untuk mengatasi ini, Sitti perlu mengajak warga lain untuk ikutan memanfaatkan lahan tersebut agar dan tidak lagi menjadi sarang tikus.

101


mulai mau mengolah tanah yang semula ditelantarkan. Hal ini tentu tidak mudah karena kondisi tanah yang keras dan dipenuhi belukar. Dengan bergotong royong mereka mengolah tanah tersebut agar bisa ditanami kembali. “Mulai dari memangkas semak, mencabut pohon serta menggunakan alatalat pertanian seperti traktor dan lainnya, kami bersama-sama mengolah tanah tersebut,” ujar Sitti.

penjualan hasil panen dibantu oleh MAP untuk disalurkan ke Gelael. Namun sejak masa dampingan MAP sudah selesai, serta adanya permintaan sertifikasi dari pihak supermarket, kini kami menjualnya sendiri ke pasar induk,” ujar Sitti.

Kegigihan para perempuan Pitusunggu ini perlahan mengetuk hati para lelaki di desa ini. Setelah dua tahun, suami Sitti, Muhamad Arief, mulai tergerak untuk membantu kelompok tani yang dibentuk istrinya. Arief yang semula tidak mau terlibat, kemudian membantu mengolah lahan, membuat wadah untuk bibit, hingga membantu penjualan hasil tani ke pasar. “Kami biasa menanam kangkung, sawi, tomat, pare, dan juga padi. Belajar dari pengalaman, kali ini kami menggunakan bibit padi yang tahan air garam. Bibit ini kami dapatkan dari mengikuti pendidikan waktu itu,” Jelas Sitti. Panen pertama dari sayuran yang ditanam di lahan 10x10 meter saja setidaknya Sitti menghasilkan pendapatan Rp500.000,00 per bulan. Sedangkan panenan padi, dari lahan yang seluas 1 hektar bisa mencapai 5-7 ton. “Waktu itu

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Selain ke pasar, ada juga pelanggan dari Makasar yang sengaja datang untuk membeli sayuran dan beras organik. “Para pelanggan tersebut mendapatkan informasi mengenai kesediaan sayuran dan beras organik dari berbagai media maupun cerita para tetangga,” kata Sitti. Putrinya yang kuliah di Makassar turut membangu penjualan. Seringkali dia membawa beras dan sayuran organik hasil panen ibunya untuk dijual ke dosen-dosennya. Untuk meluaskan penjualan, Sitti juga membangun warung sederhana yang menjual hasil panen di pinggir Jalan Raya Poros Pangkep. Upaya lain yang dilakukan adalah adalah mengolah bayam menjadi keripik, sehingga bisa dijual dalam waktu yang lebih lama. Melalui pengamatan di sekolah, ketika Sitti mengajar sebagai guru PAUD, ia mendapati banyak barang jajanan berupa kerupuk dari tepung terigu. Sitti kemudian mencoba membuat kerupuk dari bayam dan ternyata berhasil. Ia pun mengajarkan hasil eksperimennya kepada anggota Kelompok Tani Pita Aksi.

102

Menginspirasi Indonesia


Sitti sangat meyakini bahwa pertanian organik sangat memberikan manfaat bagi kehidupan, selain juga meningkatkan kemandirian petani. Dengan berbekal keyakinan itu, ia tidak putus asa untuk mengembangkan model tanam ini. “Tahun 2013, saya sudah bisa menerapkan teknik organik baik untuk budi daya sayuran, padi, tambak. Saya yakin kesehatan itu penting. Teknik organik kan sehat, tidak ada campuran kimianya, makanya saya coba terus kembangkan. Ternyata berhasil,” tutur Sitti.

dedaunan atau rumput. ”Dengan modal daun kering dan rumput serta kotoran ternak, maka nyaris kami tidak mengeluarkan uang sama sekali untuk mendapatkan pupuk. Sudah enam tahun saya tidak pernah membeli pupuk,” kata Sitti.

Sitti bahkan juga dapat memanfaatkan gulma tanaman menjadi pupuk organik, yaitu dengan mencampurnya dengan daun-daun lain, kotoran ternak, sekam, pohon pisang, dan lainlain. Untuk mengusir tikus, Sitti memilih cara yang alamiah juga, misalnya dengan buah mengkudu. Dengan memotong-motong buah Ia menceritakan pengalaman mengkudu menjadi ukuran tertentu tetangganya yang menderita yang kemudian diletakan pada penyakit diabetes yang semula sejumlah tempat yang menjadi tidak bisa mengonsumsi beras di tempat mangkal atau jalan tikus, pasaran biasa, namun ternyata tidak maka hama itu bisa diatasi. masalah saat mengkonsumsi beras Semakin tua buah mengkudu, maka organik yang ditanamnya. “Kalau baunya semakin manjur untuk dengan padi organik, kadar gulanya mengusir tikus. Sedangkan untuk tetap stabil. Padahal dia tidak mengusir wereng, ia menanam makan beras merah, hanya beras sereh dan lengkuas di sekitar lahan putih saja,” tambahnya. bertaninya. Baginya, dengan cara organik, semua hal bisa bermanfaat, Selain aspek kesehatan, Sitti bahkan sampah sekalipun. juga merasakan manfaat lain dari pertanian organiknya. Biaya yang Tahun 2013 keberhasilan budidaya ia keluarkan jauh lebih hemat tanaman organik Sitti mulai dibandingkan harus menggunakan diketahui hingga ke desa-desa pupuk kimia, karena semua bahan tetangga. Bahkan ada ketua Badan produksi diambil dari limbah organik Perwakilan Desa Mutiara ingin di lingkungannya. Paling banter, mengembangkan teknik organik dia hanya perlu membeli solar tersebut di desanya. Sitti kemudian untuk bahan bakar mesin pencacah tergerak membantu membentuk

103


kelompok tani organik di desa tetangga tersebut. Beberapa desa lain pun mulai tertarik dan kemudian menyusul membentuk kelompok tani serupa. “Saya mau kembangkan pertanian organik seluas-luasnya. Saya ingin ibu-ibu di desa sebelah

bisa berkembang juga pertanian organiknya, seperti di desa kami. Karena dengan pertanian organik lebih sehat. Hasil penjualannya pun lebih besar, walau kalau dijual di pasar lokal sama saja harganya, karena masih banyak orang yang tidak berpikir kesehatan,” jelas Sitti.

Meningkatkan Kesejahteraan Pertanian organik itu telah mengubah kesejahteraan kehidupan keluarganya secara nyata. “Saya bisa menabung dari hasil pertanian organik sejak tahun 2013-2014. Hasilnya, saya bisa turut andil membiayai kuliah anak saya. Padahal suami saya hampir saja menggadaikan tambak untuk biaya kuliah. Tapi saya bilang jangan dulu digadaikan, saya lihat dulu tabungan saya. Ternyata ada Rp11 juta, jadi cukup untuk tambahan anak saya praktik kuliah kebidanan di Magelang pada tahun 2014,” ujar Sitti.

Heroes tahun 2013, bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret 2013. Presiden RI, Joko Widodo, juga menganugerahkan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara pada tahun 2015. Mimpi Sitti ingin menginjak istana dan bertemu Presiden pun jadi nyata.

Meskipun berbagai penghargaan telah diterimanya, namun menurut Sitti, yang paling membahagikan dalam hidupnya adalah ketika bisa mengajak kaum perempuan memajukan pertanian organik. “Saya senang Tak hanya menopang ekonomi bisa menularkan pertanian keluarga, kegigihan Sitti Rahmah organik ke ibu-ibu lain dan desa untuk membudidayakan tanaman lain. Sekarang ibu-ibu sudah organik sampai menjadi gerakan tertarik mengolah hasil pertanian pangan di wilayahnya, telah organik misalnya menjadi keripik. mengubah jalan hidupnya. Jadi saya usahakan agar bisa Canadian International Development mendatangkan orang yang Agency bersama Oxfam dan mengajarkan materi tersebut GROW International telah untuk ibu-ibu,” tuturnya. memilihnya sebagai Female Food

15 Perempuan Wirausaha Sosial

104

Menginspirasi Indonesia


Usaha Sitti tidak berhenti pada mengajak para wanita untuk bertani organik saja. Ia juga lalu mengubah kebiasaan berbudidaya udang yang selama ini menggunakan makanan dan obat-obatan kimia menjadi organik. Hal ini diawali ketika Sitti mencoba memelihara ikan Nila di sawah yang dikerjakan secara organik. Walau tidak secara khusus diberi makan, ternyata Sitti dapat menikmati ikan nila yang semakin besar. Hal menarik adalah untuk menangkap ikan tersebut Sitti menempuh cara memancing bersama-sama anggota kelompoknya. “Aktivitas memancing bersama ini menjadi hiburan sekaligus menjalin kebersamaan,“ tambah Sitti Rahmah. Dari pengalaman ini Sitti lalu mengajak suaminya yang selama ini telah menangani tambak untuk mengubah cara berbudidaya udang dengan cara organik. Dampak yang paling terasa tentu biaya menjadi lebih murah. Karena makanan dan pemeliharaan semuanya, menggunakan bahan organik yang didapat dari lahan, seperti sisa sayuran dan daun-daunan.

Bermodalkan pendidikan budidaya rumput laut yang ia ikuti ketika diadakan Oxfam, pada tahun 2010 di Makasar Sitti membagi tugas, para lelaki menebar bibit dan memanen rumput laut. Sedangkan para wanita membersihkan, mengemas hingga menjual rumput laut tersebut. Hingga saat ini, di tengah aktivitasnya bertani organik, Sitti Rahmah masih juga menjalani rutinitas sebagai guru PAUD, bersama tiga guru lainnya. Dengan menerima honor sebesar Rp500.000,00 yang dibagi rata dengan tiga guru lainnya, Sitti juga mengajari baca tulis untuk wanita di desa. “Banyak ibu-ibu yang mengantar anak ke PAUD, namun mereka sendiri tidak bisa baca dan menulis. Di kelompok tani saya juga, ada 10 wanita yang tidak bisa. Jadi saya mau mereka belajar, bisa dan makin maju,� kata Sitti.

Pada tahun 2011, Sitti juga mengajak para lelaki di desa untuk melakukan budidaya rumput laut.

105


Lapis Talas Sangkuriang: Mengolah Talas Menjadi Kudapan Kelas Dunia 15 Perempuan Wirausaha Sosial

106

Menginspirasi Indonesia


Foto-foto: Khoiril Tri Hatnanto untuk Oxfam di Indonesia.

107


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

PT. Agrinesia Raya

Bidang Bisnis: Aneka produk talas ____________________

Berdiri Sejak:

Juni 2011 _______________

Jenis Produk: • Original (keju, blueberry, tiramisu, cokelat, cappucino) • Full talas (keju, blueberry, tiramisu, cokelat, cappucino) • Teh hijau (keju, cokelat, cokelat green tea) • Durian (keju dan cokelat) • Brownies keju, Strawberry keju dan Coco pandan _____________________________ Omset:

Modal:

Rp500.000,00

(hanya bahan baku dan alat pengukus, tidak termasuk alat-alat lain) ________________________ Harga: Rp29.000,00 - Rp33.000,00 ______________________

± Rp500 juta/tahun

Supplier: _____________________________ petani Bogor, dalam proses membuka pertanian talas _______________________ Karyawan:

200 orang _______________ Penjualan: online media sosial, laman, outlet, reseller

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Kapasitas Produksi:

> 1.000 kotak/hari

108

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Jl. Sentul Raya No. 77 Cipambuan - Babakan Madang Bogor 16810, Jawa Barat

109


“Saya sih fokus saja membenahi usaha ini dan terus melakukan inovasi. Itu yang jadi kunci untuk bisa terus bertahan di tengah persaingan.� Rizka Wahyu Romadhona

Nama: Rizka Wahyu Romadhona Tempat, Tanggal Lahir: Surabaya, 15 Juni 1984 Alamat: Sentul Bogor Pendidikan Terakhir: S2 Manajemen Bisnis Institute Pertanian Bogor angkatan 2014 Pekerjaan: Pemilik Lapis Talas Bogor Sangkuriang Bidang Usaha: Aneka produk olahan talas Kontak: dunia_rizka@yahoo.com, +628111156849

15 Perempuan Wirausaha Sosial

110

Menginspirasi Indonesia


A

da yang kurang rasanya jika plesir ke Bogor tanpa membawa pulang oleh-oleh. Roti unyil, asinan, pie apel, atau makaroni panggang, adalah penganan yang telah lama dikenal sebagai buah tangan khas Kota Hujan. Namun, empat tahun belakangan ini, ada sejenis penganan baru yang jadi primadona wisatawan yang ke Bogor, yaitu kue lapis talas.

adalah pemilik “Lapis Talas Bogor Sangkuriang�, pelopor pembuatan lapis talas di Bogor.

Usaha pembuatan lapis talas itu dirintis Rizka sejak 2011. Dimulai dari dapur keluarga, kini Rizka sukses memiliki empat outlet dan satu pabrik semi-otomatis yang tersebar di kawasan Bogor. Manajemen perusahaan pun bisa dibilang sudah sangat profesional. Seorang general manager ditunjuk Ternyata di balik popularitas lapis Rizka untuk mengatur manajemen talas Bogor ini adalah sosok Rizka perusahaan. Divisi-divisi dalam Wahyu Romadhona, perempuan perusahaan pun sudah terbagi lulusan sarjana teknik elektro. Rizka dengan baik.

Jiwa Kewirausahaan Perjuangan Rizka sebelum meraih sukses seperti sekarang terbilang panjang. Sebelum akhirnya menjadi pengusaha di bidang makanan, Rizka sempat mencicipi rasanya jadi karyawan di beberapa perusahaan. Selepas menamatkan pendidikan sarjana di bidang teknik elektro di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya pada 2006, Rizka sempat merantau ke Purwakarta. Berbekal ilmu pengetahuan di bidang elektronika, Rizka bekerja di salah satu perusahaan kontraktor bidang elektronik. Namun, langkahnya mengadu nasib di salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat itu hanya bertahan sembilan bulan. Rizka kemudian pindah bekerja di

Jakarta dengan bidang yang sama, elektronika. Dia meniti karir di PT. Siemens Indonesia dan tinggal di dekat kantornya di kawasan Pulo Gadung. Setelah dipersunting Anggara pada tahun 2009, Rizka kemudian tinggal di kota asal suaminya di Bogor. Tiap hari Rizka terpaksa harus menempuh jarak yang lumayan jauh dari rumah ke tempata bekerja. “Setiap hari saya harus naik bus Jakarta-Bogor,� kata dia. Di perusahaan itulah jiwa wirausaha Rizka terpanggil. Awalnya, Rizka kerap merasa lapar di tengah jam kerja dan terpaksa harus mengandalkan makanan cepat saji yang disediakan kantin kantor. Hal yang sama dialami rekan-rekan 111


kantornya. Kantin pun diserbu para karyawan, dan inilah yang kemudian memberikan ide pada Rizka: karyawan membutuhkan makanan cepat saji sebagai pengganjal perut di tengah jam kerja. Rizka pun tertarik menyediakan makanan alternatif kepada rekan-rekannya.

bakso,” ucap perempuan kelahiran Surabaya, 15 Juni 1984 itu.

Perlahan, usaha yang dijalani mereka berkembang. Mengusung nama Warung Bakso Mandiri, Rizka dan suami bisa memiliki 20 outlet melalui sistem kemitraan yang mereka terapkan. Rumah, mobil, Kebetulan suami Rizka, Anggara hingga motor untuk operasional, Kasih Nugroho Jati, adalah pengusaha jadi bukti kesuksesan Riza dan bakso. Dia telah merintis usaha suami berbisnis bakso. Sayang, bakso rumahan di Bogor sejak kesuksesan itu tidak bertahan lama. 2008, setelah sebelumnya pernah Godaan untuk mencoba bisnis magang di warung bakso Kepala lain menjadi bumerang. Sambil Sapi di Surabaya. Namun, bakso menjalankan bisnis bakso, Rizka bukanlah sejenis makanan yang dan suami tergoda untuk membuka mudah disajikan. Maka, Rizka pun bisnis cendol dan keripik. mengemas baksonya sedemikian rupa agar bisa jadi hidangan siap saji. “Uang yang harusnya diputar untuk “Saya kemas kecil-kecil sudah lengkap modal bakso kami pakai untuk bisnis dengan bumbu. Jadi tinggal seduh dan lain. Jadinya berantakan,” kenangnya. siap disajikan di kantor,” ujarnya. Hasilnya, bisnis baru mereka belum Tidak disangka, peminat bakso siap menghasilkan, sementara bisnis saji Rizka cukup banyak. Dari yang bakso mereka jadi kekurangan awalnya hanya rekan kerja seruangan, modal. Tiga motor operasional pelanggannya kemudian datang mereka pun harus ditarik oleh dari ruangan dan divisi lain. Rizka pemberi leasing. Mobil pribadi dan suami pun kebanjiran pesanan. yang selama ini juga menjadi mobil Melihat langsung potensi bisnis operasional harus dijual untuk yang begitu besar, Rizka dan suami membayar utang. Cicilan rumah pun mulai berhitung. Hasil berjualan sempat terbengkalai selama empat bakso siap saji ternyata jauh lebih bulan. Itu benar-benar menjadi menguntungkan ketimbang bekerja mimpi buruk bagi Rizka dan suami. sebagai karyawan perusahaan. “Sampai cincin kawin kami gadai, pas kami mau tebus sudah dilelang “Bismillah. Akhirnya, pada 2010, karena tenggatnya sudah habis,” saya mundur dari kantor dan kata dia dengan mimik wajah sedih. mulai fokus bantu suami berbisnis

15 Perempuan Wirausaha Sosial

112

Menginspirasi Indonesia


Pantang Menyerah Rizka tak gampang menyerah. Kebutuhan hidup memaksanya bangkit dari keterpurukan. Rizka terus berpikir untuk menemukan usaha lain yang bisa dilakukan selanjutnya. Akhirnya, muncul ide menjual oleh-oleh khas Bogor, setelah melihat tayangan televisi yang menayangkan kisah tentang Denny Delyandri, lelaki asal Magelang yang sukses menjadikan kek pisang sebagai oleh-oleh khas Batam.

kawasan tersebut. Salah satunya pohon talas. Sebelumnya, Rizka kerap kerap membawa oleh-oleh talas mentah saat pulang kampung ke Surabaya. Namun, talas mentah ini belum pernah diolah sebagai makanan olahan. Paling banter hanya dikukus atau digoreng. “Biasanya malah ujung-ujungnya terbuang karena enggak tahu harus diapakan,” tuturnya.

Rizka tertantang untuk mengolah umbi talas ini menjadi makanan Rizka beranggapan bahwa Bogor olahan. “Di Surabaya ada kue lapis memiliki potensi tinggi sebagai berbahan singkong, kenapa tidak pasar bagi penjualan oleh-oleh mencoba membuat lapis dari bahan mengingat keberadaannya sebagai talas? Terlebih selama ini belum kota pariwisata. Hampir setiap ada yang mengolah talas menjadi pekan, daerah yang kerap disebut kue lapis, hanya sebatas keripik dan Kota Hujan ini selalu padat dipenuhi gorengan saja,” kisahnya. wisatawan. “Jika bisa menjaring 10 persen saja dari wisatawan untuk Setelah mendapatkan ide itu, Rizka membeli oleh-oleh, hasilnya bisa kemudian meminta bantuan ibunya lumayan,” kata dia. tentang proses pembuatan kue lapis. Ibunya sebenarnya bukan Rizka kemudian memutar otak untuk koki atau pembuat kue profesional, menciptakan oleh-oleh baru khas namun dia kerap mencatat resepBogor. Selama ini memang sudah resep yang ditontonnya dari banyak oleh-oleh dari Bogor, namun berbagai acara kuliner di televisi. kebanyakan berupa panganan tradisional, seperti asinan. Rizka Rizka kemudian mulai mencoba ingin menciptakan ikon baru. mempraktikkannya. Modal awalnya Akhirnya, dia melirik talas, sejenis adalah uang di tabungannya yang umbi yang banyak dijual di Bogor. hanya tersisa Rp500 ribu. Uang Ya, intensitas curah hujan di Bogor itu digunakan untuk membeli yang tinggi membuat berbagai bahan baku dan alat pengukus. tanaman pertanian tumbuh subur di Sedangkan, alat-alat lain meminjam

113


mertua. Berikutnya, selama 22 jam, dari pukul 06.00 hingga pukul 04.00 keesokan harinya, Rizka berkutat di dapur untuk mewujudkan kue lapis talas pertama ini. “Dari proyek yang dibuat semalaman inilah muncul ide memberi nama ‘Talas Bogor Sangkuriang.’ Harapannya produk kami bisa melegenda seperti legenda Sangkuriang,” terangnya. Eksperimen pertama ini tidak menghasilkan produk yang diharapkan. Bahkan, berkali-kali usahanya menemui kegagalan. Namun, Rizka terus mencoba. Mulai dari menggunakan talas segar sampai akhirnya menemukan bahan baku yang lebih cocok, yaitu tepung talas. Dukungan dan kepercayaan suami membuat Rizka yakin atas usahanya. “Tepung talas jadi pilihan yang terbaik untuk resep lapis. Bolunya bisa mengembang dengan baik,” ujarnya. Butuh waktu hampir satu bulan, hingga akhirnya Rizka menemukan resep yang tepat. Berikutnya, dia mencoba mengetes pasar dengan menjajakan lapis talas buatannya ke para tetangga rumah. Tak disangka, responsnya bagus. Satu persatu tetangganya pun mulai memesan kue lapis buatan Rizka. Awalnya Rizka tidak hanya mengandalkan penjualan secara konvensional dari mulut ke mulut, lalu mulai menjajaki

15 Perempuan Wirausaha Sosial

media sosial. Dia juga banyak mencoba jemput bola dengan masuk ke komunitas-komunitas dan berbagai perkumpulan. Dia juga mulai merambah ke instansi pemerintahan di Bogor, misalnya, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor. Produk yang dia tawarkan Rizka ini mendapat respons sangat baik. Bahkan Rizka ditawari menjadi mitra binaan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Dia pun kerap mendapat tawaran untuk mengikuti pameran dan pelatihan. Kemudian, Rizka juga mencoba masuk ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor. Sama seperti sebelumnya, respons yang dia terima juga cukup baik. “Karena konsep dagangan kami adalah oleholeh asal Bogor, saya cantumkan logo ‘Visit Bogor’, Alhamdulillah respons Dinas Pariwisata sangat positif,” tuturnya. Dari situ, Rizka mulai dikenal oleh Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota dan Kabupaten Bogor. Mereka kemudian membantu memfasilitasi penjualan produk lapis talas ini. Misalnya, ketika ada kegiatan di hotel-hotel di Bogor, Rizka kerap diundang untuk berjualan dengan sistem bagi hasil. Perlahan namun pasti, “Lapis Talas Sangkuriang” mulai dikenal masyarakat. Awalnya per hari hanya

114

Menginspirasi Indonesia


dua boks yang terjual, kemudian terus meningkat hingga mencapai 50-100 boks per hari. Per boks dibanderal dengan harga Rp25 ribu.

lagi di Jalan Pajajaran Bogor, disusul kemudian pembukaan outlet di kawasan Puncak Bogor pada Desember 2012. Penjualan lapisnya saat itu sudah mencapai Rizka dan suaminya pun mengaku di atas seribu boks per hari. mulai keteteran meladeni pesanan. “Harga naiknya tidak signifikan, Ketersediaan tenaga kerja dan mulai Rp25 hingga sekarang dan alat produksi menjadi kendala menjadi Rp30 ribu per boks. mereka. Rizka mulai membeli Namun, untuk omzet Alhamdulillah,� mesin-mesin semi otomatis untuk kata perempuan yang mendapat mempercepat produksi. Setelah penghargaan Wirausaha Muda sebelumnya hanya dibantu suami dan Mandiri 2012 se-Jabodetabek ini. beberapa tetangga dekat pun, Rizka kemudian mulai merekrut karyawan. Permintaan barang yang semakin tinggi membuat Rizka akhirnya Setelah nama produknya semakin mulai keteteran. Kapasitas produksi dikenal, pada Desember 2011, yang terbatas dan pengelolaan Rizka akhirnya memberanikan tenaga kerja menjadi tantangan diri membuka toko sendiri. Outlet utamanya. Bahkan, Rizka terpaksa pertamanya ada di Jalan Sholeh harus pindah tempat usaha hingga Iskandar, Bogor. Selang empat enam kali karena sudah tidak bulan, dia kembali membuka outlet mampu menampung penambahan alat-alat produksi.

Manajemen Usaha Pada tahun 2013, Rizka akhirnya memiliki pabrik sendiri di kawasan Tanah Baru Bogor. Persoalan rumah produksi pun terselesaikan. Namun, pengelolaan tenaga kerja dan manajemen perusahaan, ternyata menjadi persoalan baru. “Waktu karyawan sudah 60 orang, kami berdua mulai keteteran. Suami saya lulusan Teknik Sipil dan saya Teknik Elektro, enggak tahu manajemen, bahkan kita (khawatir) sampai mau tutup saja usaha ini,� ujar dia.

Tidak ingin persoalan manajemen kembali mengganggu usahanya, sebagaimana terjadi saat menjalankan bisnis bakso, Rizka kali ini lebih berhati-hati. Dia membenahi manajemen yang hampir saja membuat usahanya bangkrut. Rizka dan suami merasa kesulitan mengatur manajemen sumber daya manusia, yang berdampak pada ketidakstabilan kualitas cita rasa produk. �Awalnya banyak masukan dari pelanggan

115


kalau rasanya berubah-ubah. Inikan bahaya kalau tidak bisa menjaga kualitas. Makanya, ketika itu, saya sempat berpikir untuk mengakhiri usaha ini, pusing ngatur orang banyak,” kenang dia.

talas aneka merek beredar di Bogor. Beberapa merupakan pengusaha lama yang memang menambah varian produk oleh-oleh mereka. Sedangkan yang lainnya merupakan pengusaha baru yang ikut mencari peruntungan dari lapis talas Bogor yang kian digandrungi masyarakat.

Rizka pun mulai belajar dan mempercayakan pembenahan manajemen pada konsultan. Seorang ahli di bidang manajemen secara rutin memberi mereka masukan dalam pengambilan langkah bisnis.

“Ada beberapa juga yang dulunya bekerja di sini, lalu keluar dan membuat usaha lapis talas Bogor dengan merek berbeda,” cerita Rizka.

Pada pertengahan tahun 2013, barulah manajemen usahanya tersusun rapi. Hingga kini karyawan Lapis Talas Sangkuriang sudah mencapai 200 orang. “Tahun 2014, kami baru mengangkat GM (General Manager). Jadi saya dan suami sudah enggak perlu ikut pusing lagi mikirin manajemen,” katanya. Rizka bertugas mengontrol administrasi dan sang suami lebih banyak di bidang produksi. Mereka juga lebih banyak fokus pengembangan bisnis di tingkat reseller. Ada sekitar 15 reseller yang tersebar di Jabodetabek. Berbagai pelatihan diberikan untuk menjaga kualitas penjualan. Kesuksesan Rizka menjadi pelopor lapis talas Bogor membuat banyak pengusaha melirik jenis usaha serupa. Menurut Rizka, saat ini tidak kurang dari 20 mereka lapis

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Ya, mantan karyawan Rizka kini menjadi salah satu pesaingnya di dunia usaha. Salah satu yang terkuat. Cita rasa yang ditawarkan lapis talas Bogor produksi mantan karyawannya itu memang mirip dengan yang diproduksi Rizka. Maklum, si empunya usaha dulu bekerja sebagai supervisor produksi di perusahaan Rizka. Sebagai supervisor, dia diberi kepercayaan oleh Rizka untuk mengetahui resep lapis talas Bogor tersebut. “Saya cukup terbuka soal resep. Kalau beberapa pengusaha kan ada yang betul-betul tidak mau membocorkan resepnya. Teman saya malah ada yang sampai tidak menikah karena takut resepnya bocor,” papar Rizka. Namanya juga usaha, ujian bisa datang dari mana saja. Termasuk dari karyawan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi saingan dalam usaha.

116

Menginspirasi Indonesia


Namun, Rizka tidak membiarkan hal tersebut menjadi hambatannya untuk menjalankan usaha. Menurutnya, ketimbang sibuk melirik para pesaing yang kian hari kian banyak jumlahnya, lebih baik fokus untuk memperkuat usaha sendiri.

Sukses berbisnis di tanah rantau memacu Rizka untuk terjun ke bisnis di kampung halamannya Surabaya. Tidak jauh-jauh dari bisnisnya di Bogor, di Surabaya Rizka juga memilih usaha oleh-oleh, utamanya lapis. Namun, dia menyesuaikan produk lapisnya sesuai ketersediaan bahan baku di Jawa Timur, yaitu singkong. Sebuah pabrik dan outlet pun sudah disiapkan Rizka di Kota Pahlawan itu.

“Saya sih fokus saja membenahi usaha ini dan terus melakukan inovasi. Itu yang jadi kunci untuk bisa terus bertahan di tengah persaingan,” ungkap dia.

“Sebenarnya sudah sejak 2014 ingin mengembangkan lapis ke Surabaya. Tapi saat itu belum diperbolehkan sama coach kami. Baru empat bulan lalu kami buka di Surabaya. Alhamdulillah, responsnya positif,” jelasnya.

Inovasi terus dilakukan Rizka. Dari yang awalnya hanya punya varian lapis talas original dan brownies, kini Rizka punya tujuh varian rasa yang cukup unik. Ada rasa teh hijau, stroberi, durian, coco pandan, dan yang lainnya.

Mengamankan Bahan Baku Kian hari, perkembangan usaha lapis talas Rizka terus berkembang. Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan tersedianya bahan baku utama, yaitu tepung talas. Hingga saat ini, belum banyak orang yang menjual tepung talas. Seringkali untuk bisa mendapatkan satu kilogram tepung talas saja, Rizka harus berebut dengan pembeli lainnya. Padahal, saat ini permintaannya terus naik. Bukan hanya dari Rizka, namun juga dari beberapa rumah produksi lain yang membuat penganan serupa.

Menurut Rizka, sejak dirinya menjalankan usaha lapis Bogor, banyak pihak yang mengikuti jejaknya. Sejak itu juga, permintaan terhadap tepung talas meningkat. Rizka menambahkan, jumlah petani yang menanam talas pun ikut bertambah. “Sejak tahun 2012, banyak petani yang sebelumnya menanam singkong beralih membudidayakan pohon talas. Bahkan, tidak sedikit petani yang kemudian menjual talas dalam bentuk tepung. Penyuplai pun sudah banyak,” jelasnya.

117


Lapis Talas Sangkuriang memiliki empat gerai resmi di Bogor dan 15 reseller se-Jabodetabek.

Mesin steamer tunnel dipesan khusus dari per usahaan fabrikasi di Jepang. Me sin dapat mempertahan kan cita rasa dan kualitas produk .

15 Perempuan Wirausaha Sosial

118

Menginspirasi Indonesia


Namun, Rizka masih melihat pasar tepung talas masih terbuka lebar seiring permintaannya yang meninggi. Maka, peraih gelar Magister dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2014 itu kini melirik bisnis hulu talas. Dia memiliki keinginan untuk mengembangkan pertanian talas di kawasan Cijeruk, Bogor. Selain mengamankan pasokan bahan baku talas, ibu dari Zhafira Batrisya Jati dan Rizkina Aqila Jati ini juga melirik bisnis ayam petelur. Sebab, harga telur yang jadi bahan baku utama lapis talas harganya terbilang fluktuatif.

Untuk mengembangkan usaha di sektor hulu ini, Rizka berencana menggandeng petani lokal dengan sistem pemberdayaan masyarakat. Rencana ini diyakini Rizka sangat efektif dalam mengembangkan usahanya. Selain karena peluangnya besar, megambil alih sektor hulu disebut Rizka menjadi cara strategi untuk menghadapi persaingan. “Dengan memegang sektor hulu, kita bisa menjaga kualitas produk dengan bahan baku yang kita kontrol sendiri. Harga pun jadinya bisa lebih terkontrol. Tidak ikut harga pasar yang naik turun,” tutup Rizka.

Tips dan Saran Memulai Usaha: • Tidak pernah putus asa dan ulet • Pintar membaca peluang dengan melihat apa yang dibutuhkan orang • Fokus • Berinovasi untuk hal-hal baru

119


Kakoa Chocolate: Memuliakan Petani Kakao

unyai misi untuk Kakoa Chocolate memp

membeli langsung, hteraan petani dengan meningkatkan keseja kualitas produksi. an kat ing pen a gun an dan memberikan pelatih

15 Perempuan Wirausaha Sosial

120

Menginspirasi Indonesia


Uji petik dila kukan untu biji kakao ya k mengetahu ng dibawa i kualitas oleh petani . 100 biji un tu satu karung k setiap biji kakao.

Tidak kurang dari 26 petani dari Desa Tanjun g Rejo, Lampung menyelesaik an pelatihan peningkat an kualitas tanaman kakao selam a dua bulan pada Feb ruari 2016. Enam diantaranya ada lah perempuan. 121

Foto-foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

Salah satu produk Kakoa Chocolate yang paling diminati, Salted Cashew.


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

PT. Aneka Coklat Kakoa

Bidang Bisnis: Aneka produk kudapan cokelat _______________________

Berdiri Sejak:

Juli 2013

_________________________

Jenis Produk: • Cokelat batangan (bars), persegi (squares), flakes dan cokelat kering (nibs) • Rasa: dark chocolate, chili chocolate, creamy coffee, salted cashew, coconut brittel, dan sea salt & pepper __________________________ Karyawan:

10 orang

Modal:

± USD50.000

(tidak termasuk bangunan/tempat) ___________________________ Harga: Rp39.000,00 /50gr _____________________ Supplier: petani kakao Lampung _______________________

(di luar karyawan pabrik) ___________________ Penjualan: Kerja sama dengan supermarket Jakarta dan Tangerang Selatan, media sosial online dan website.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Kapasitas Produksi:

± 10 ribu batang-cokelat/bulan

122

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Jl. Laksamana Malahayati No. 17/2 Bandar Lampung

123


“Kami mempunyai misi sosial untuk memberdayakan petani agar memiliki cokelat berkualitas ekspor.� Sabrina Mustopo Nama: Sabrina Mustopo Tempat, Tanggal Lahir: Jakarta, 27 Oktober 1984 Pendidikan terakhir: International Agriculture and Rural Development Cornell University (2005 – 2007) Pekerjaan: Pendiri dan Direktur PT. Aneka Coklat Kakoa (www.kakoachocolate.com)

15 Perempuan Wirausaha Sosial

124

Menginspirasi Indonesia


T

angan Sabrina Mustopo (31) cekatan membelah biji kakao kering, bahan utama untuk membuat cokelat. Mata perempuan muda itu awas mengamati biji kakao yang berada di telapak tangan, sebelum berkata, “Ini yang putih-putih jamuran.” Dia menunjukkan jamur yang dimaksud kepada para petani yang mengelilinginya. Sabrina kemudian menjelaskan tentang penyebab munculnya jamur pada biji kakao tersebut serta memberi saran tentang pentingnya menjaga suhu ruangan tetap kering dan tidak lembab selama masa penyimpanan biji kakao. Perempuan itu lalu mengambil biji kakao kering lainnya, membelahnya, dan menyelidikinya. Begitu berulang-ulang. Terik matahari yang memanggang Pesisir Barat, Lampung, tidak menyurutkan semangatnya untuk memeriksa sekurang-kurangnya seratus biji kakao kering. Pemeriksaan itu dilakukan sebagai uji petik terhadap tiga karung berisi biji kakao kering yang dibawa para petani dari Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Pesisir Barat.

Sabrina Mustopo adalah pendiri dan direktur PT. Aneka Cokelat Kakoa. Perusahaan ini memegang merek dagang produk cokelat dan teh “Kakoa Chocolate”, jenis cokelat premium bercita rasa Indonesia. Saat ini, Kakoa Chocolate memiliki empat bentuk produk cokelat yaitu bars, squares, nibs dan flakes. Sedangkan untuk teh, sejauh ini terdapat empat pilihan rasa yang memadukan kulit biji cokelat kering dengan beragam bahan lain seperti berry jenis goji, kayu manis, jahe atau daun sirsak. Sebagai pemilik perusahaan, Sabrina masih turun langsung ke kebun kakao milik petani untuk memastikan kualitas pasokan produksinya. Tak hanya berkepentingan untuk mendapatkan produk terbaik demi keuntungan perusahannya semata, dia juga merasa berkewajiban mengajari petani agar menghasilkan produkproduk terbaik sehingga mereka bisa mendapatkan harga sepadan. “Saya bertanggung jawab bagian pelatihan (petani) dan menjaga kualitas produksi,” katanya di bawah rimbunan pohon cokelat siang itu.

125


Perusahaan yang didirikan Sabrina sejak Juli 2013 ini membeli biji kakao langsung dari petani yang tersebar di Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, serta Kabupaten Malinau di Kalimantan Utara. Strategi untuk membeli kakao langsung dari petani ini adalah sebagai upaya memotong rantai penjualan. Tak hanya menguntungkan bagi perusahan Sabrina, dengan memangkas rantai penjualan, petani pun bisa mendapatkan harga lebih tinggi. Jika, biasanya petani hanya bisa menjual biji kakao kering kepada pengumpul dengan harga pasaran Rp23.000,00 - Rp40.000,00 per kilogram, PT. Aneka Cokelat Kakoa berani membeli biji kakao kering dengan harga jauh lebih tinggi, yaitu sekitar Rp60.000,00 per kilogram.

Tak sekadar menuntut kakao yang berkualitas, PT. Aneka Coklat Kakoa membantu petani memenuhi kualitas itu. Mereka melakukan serangkaian pelatihan kepada petani selama dua bulan secara gratis. Petani diajari bagaimana merawat kebun kakao, mengatasi penyakit tanaman, serta teknik mengolah biji cokelat yang benar. “Kami mempunyai misi sosial untuk memberdayakan petani agar memiliki cokelat berkualitas ekspor,� ungkap perempuan yang berpenampilan santai dan sederhana ini. Kini, tidak kurang 160 petani dari lima desa, yaitu Sedayu, Sukaraja, Pemerihan, Tanjung Rejo, dan Sukabanjar di Lampung yang telah mendapatkan pelatihan dan bantuan alat pertanian seperti gunting pangkas dan pisau stek secara gratis.

Namun, ada beberapa syarat yang diajukan oleh PT. Aneka Cokelat Kakoa kepada petani agar kakao mereka bisa mendapatkan harga setinggi itu. Syarat itu di antaranya, biji kakao itu dihasilkan dari tanaman yang dipelihara secara organik, berukuran besar, dan difermentasi dengan cara yang tepat. Tidak hanya melakukan uji petik, Sabrina juga tidak segan memberikan penjelasan terhadap hasil dan kualitas biji kakao yang dibawa oleh petani. Foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

126

Menginspirasi Indonesia


Petani sebagai Mitra Sekalipun Sabrina terbilang pemain baru dalam bisnis usaha cokelat, namun dia sosok yang cepat belajar. Pengetahuannya tentang budi daya tanaman, termasuk kakao, pun tak perlu diragukan. Dia adalah lulusan International Agriculture and Rural Development dari Cornell University, New York, Amerika Serikat tahun 2007. Pengalamannya bekerja sebagai konsultan di McKinsey, sebuah perusahaan konsultan ternama di bidang pertanian yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, dan ditempatkan selama empat tahun di Belgia dan tiga tahun di Singapura, memberinya banyak kesempatan untuk melakukan riset dan bertemu dengan berbagai kalangan mulai dari pemerintah, penggiat LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), hingga petani. Sebagai konsultan, Sabrina berpengalaman memberikan saran terhadap pemerintah di negara-negara Afrika maupun Asia Pasifik tentang bagaimana mengembangkan usaha pertanian. Dari pengalaman itulah ia melihat banyaknya permasalahan, sekaligus besarnya potensi pertanian, khususnya biji cokelat, di negerinya. Indonesia merupakan pengekspor biji cokelat terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, namun kondisi jutaan petaninya jauh dari sejahtera. Kenyataan inilah yang mengusik perempuan yang telah

meninggalkan Indonesia sejak umur empat tahun ini, untuk akhirnya terjun ke usaha percokelatan di tanah air. “Kenapa tidak ada yang mengerjakan (potensi besar) ini?� ujarnya. Pengalamannya sebagai konsultan pertanian di berbagai negara membuat pendekatan Sabrina berbeda dengan perusahaan cokelat lainnya. Salah satunya adalah sistem pendampingan terhadap petani. Setiap kelompok petani yang terdiri dari 20-60 anggota memilih satu orang koordinator yang bertanggung jawab membantu anggota kelompoknya meningkatkan penjualan dan memperbaiki kualitas produksi. Para koordinator ini juga mendampingi anggotanya untuk mendapatkan bantuan teknis pemeliharaan tanaman, termasuk memastikan mereka mengisi log book (buku catatan) dengan baik dan benar, serta mengkoordinasi waktu panen. Kini, setidaknya ada lima orang petani yang telah mendapatkan pelatihan khusus sebagai koordinator. Begitu para petani yang menjadi mitranya ini telah menerapkan metode tanam yang benar, PT. Aneka Cokelat Kakoa kemudian memberikan sertifikasi kebun organik. Tak hanya untuk kebun kakao, tetapi juga aneka tanaman lain yang ada di kebun itu, seperti lada atau kelapa. Dengan jaringan yang dimilikinya, Sabrina membantu mengenalkan pengusaha yang 127


mencari produk sampingan organik tersebut kepada petani. Hal ini dilakukan karena perusahaan yang dimilikinya hanya membeli biji kakao. Setiap petani akan diberikan buku catatan yang harus diisi guna memantau perkembangan kebun mereka. Buku catatan ini berisi informasi profil kebun seperti jumlah pohon, perlakuan perawatan, dan pemberian pupuk organik. Sabrina mengatakan hal ini bertujuan untuk mengetahui manfaat dari pelatihan yang diberikan terhadap peningkatan produktivitas. “I know other perusahaan yang memberikan pelatihan, tapi saya tidak tahu about monitoring tools-nya,� tambah perempuan yang belum terlalu fasih berbahasa Indonesia ini.

pertanyaan petani, namun dalam soal kualitas biji cokelat dia tidak mau berkompromi. Perusahaannya hanya membeli biji kakao yang telah memenuhi standar yang ditetapkan. Dalam hal ini, Sabrina akan mempersilakan para petani-petani menjual produk yang tidak memenuhi strandar tersebut kepada perusahaan atau pembeli lain. Bahkan, Sabrina pun membebaskan petani untuk menjual produk cokelatnya ke perusahaan lain yang bisa membeli dengan harga lebih tinggi, meskipun sebelumnya dia sudah mendapatkan pelatihan secara cumacuma dari perusahaannya.

Sejak mendirikan perusahaan kakao ini, Sabrina yang sebelumnya lebih mengenal jalan-jalan di pelosok Amerika Serikat dibandingkan dengan jalanan di Indonesia, Meskipun Sabrina menjabat sebagai kini semakin mengenali tanah direktur perusahaan, dengan airnya. Keinginannya untuk turun pengetahuannya di bidang pertanian, ke lapangan dan bertemu sendiri ia tak segan untuk turun langsung dengan para petani, membuatnya menjawab pertanyaan para petani, mesti melewati jalanan berliku termasuk tentang penyakit yang ke pedalaman, termasuk ke area biasa menyerang tanaman kakao. Taman Nasional Bukit Barisan Bila ia tidak memiliki jawabannya, Selatan. Ia pun tidak ragu untuk dengan sigap ia akan mencari tahu berkendara melalui jalan buruk dari berbagai sumber, termasuk menuju desa yang jaraknya tidak dari koleganya di luar negeri. Ia pun kurang dari 185 kilometer dari terlihat bersemangat menjelaskan Kota Bandar Lampung. Bersama manfaat biji cokelat yang dengan WWF, ia harus memastikan difermentasi terlebih dahulu daripada agar petani yang bermitra dengan menjual langsung biji cokelat basah. perusahaannya tidak berkebun di area taman nasional. Sementara itu, Sekalipun Sabrina menunjukkan di Malinau, PT. Aneka Cokelat Kakoa keberpihakan dan ketelatenan luar menggandeng lembaga dari Jerman, biasa dalam menghadapi pertanyaan- GIZ, dengan tujuan serupa. 15 Perempuan Wirausaha Sosial

128

Menginspirasi Indonesia


Awal Usaha PT. Aneka Coklat Kakoa dibangun Sabrina bersama seorang mantan koleganya di McKinsey dengan modal awal sekitar 30.000 dolar AS. Uang ini dipergunakannya untuk membeli peralatan pengolahan dan pengemasan produk, serta untuk membeli biji kakao dari petani. Sedangkan untuk pabrik, Sabrina memanfaatkan salah satu bangunan yang cukup luas milik keluarganya di Bandar Lampung. Kini, kurang dari satu setengah tahun sejak produk cokelatnya diluncurkan pada Oktober 2014 silam, pabriknya telah mampu memproduksi sekitar 10 ribu cokelat batangan setiap bulannya.

kemasan. Dalam hal uji coba ini, Sabrina mengandalkan orang-orang terdekat di lingkungan keluarga dan teman-temannya sendiri. “Saya bikin pesta chocolate tasting saja untuk teman dan keluarga,� ujarnya sambil tersenyum. “Mahal kalau pakai konsultan,� tambahnya sambil tertawa ringan.

Berdasarkan masukan dari lingkungannya tersebut, produk cokelatnya sekarang memiliki enam jenis rasa yaitu dark chocolate, chili chocolate, creamy coffee, salted cashew, coconut brittel, dan sea salt & pepper. Produk ini dibuat dalam empat jenis bentuk Salah satu kunci penting agar cokelat, yaitu bars, squares, nibs produk cokelatnya diterima publik, dan flakes dan satu teh cokelat menurut Sabrina, adalah riset pasar yang dibuat dari kulit biji cokelat. sebelum melepasnya ke pasaran. Setiap bentuknya memiliki beragam Termasuk di antaranya adalah pilihan jenis rasa. Misalnya cokelat menguji porduknya secara berulang batangan (bars) dan persegi untuk mendapatkan masukan (squares) memiliki enam jenis rasa, dan perbaikan cita rasa ataupun flakes dengan tiga jenis rasa (dark chocolate, mocha chocolate dan salted), dan cokelat kering (nibs) dengan tiga jenis rasa (dark chocolate, coconut cashew dan mixed spices). Dijual dengan harga sekitar Rp39.000,00 per 50 gram-nya, jenis dark chocolate bar dan nibs adalah yang paling diminati konsumen. Sabrina tidak segan untuk turun langsung berdialog dengan petani, bahkan di dalam kebun yang berjarak sekurang-kurangnya 186 km dari Kota Bandar Lampung. Foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

129


Bagi Sabrina, cita rasa Indonesia itu tak hanya rasa khas. Namun juga tampilan cokelatnya sendiri maupun desain kemasan yang menarik. Salah satu kekhasan produknya adalah aneka cokelatnya dicetak dengan motif buah dan pohon kakao. Sedangkan untuk kemasan, Sabrina banyak menggunakan motif batik. Karena sejak semula menyasar pasar cokelat premium, hingga saat ini, produk Kakoa Chocolate

baru bisa ditemukan di beberapa hotel dan kafe mewah di Jakarta, Kemchicks, Lotte Avenue, dan Ranch Market. Namun, konsumen juga dapat membeli secara daring melalui laman mereka. Tak hanya itu, Sabrina menyadari betul pentingnya melakukan inovasi, baik dalam produk maupun pemasaran. Kini, Kakoa Chocolate pun menerima pesanan desain cokelat dari konsumen untuk acara pernikahan atau cinderamata kantor.

Terpikat pada Pertanian Sejak kecil, Sabrina banyak mendapat pengaruh dari ayahnya yang seorang pengusaha di bidang pertanian. Sekalipun dibesarkan di luar negeri, Sabrina banyak mendengar cerita dari ayahnya tentang besarnya potensi yang dimiliki negerinya, khususnya di bidang pertanian. Hal itulah yang membuatnya tertarik mendalami lebih jauh persoalan itu dengan mengambil kuliah di bidang pertanian. Kini, Sabrina dan keluarganya sudah kembali ke Indonesia, namun mereka masih kerap ke Singapura karena memiliki rumah di sana.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Keputusannya untuk keluar dari pekerjaannya yang mapan di luar negeri dan kembali ke Indonesia untuk memulai usaha bukan tanpa pertimbangan. Setidaknya butuh setahun baginya untuk memantapkan hati meninggalkan karir dan gaji besar. “Dulu berat sekali (pertimbangan sebelum keluar),” ujarnya sambil tertawa. “Ibu saya terutama yang keberatan,” tambahnya sembari tersenyum. “Namun, mau kapan lagi? Saya sangat percaya pada ide (mendirikan perusahaan dan pemberdayan petani) ini,” katanya dengan penuh keyakinan.

130

Menginspirasi Indonesia


Kini, keputusan untuk mandiri itu diterimanya dengan lapang dada. Tak hanya bisa mendirikan usaha sendiri, dia pun mendapatkan pengalaman berharga dalam hidupnya, terutama ketika dia merasa diterima sebagai bagian dari masyarakat desa. Sabrina kini semakin terbiasa menghabiskan malam di rumah petani, menikmati nasi serta ikan goreng dan sambal di warung sederhana tepi jalan bersamasama dengan petani binaannya.

Menghabiskan 80% hidupnya diluar negeri, tidak mengurangi semangatnya membangun petani di Indonesia. Perempuan yang gemar berkebun di halaman rumah dan berlari di waktu senggangnya ini berharap suatu hari nanti Kakoa Chocolate dapat tumbuh lebih besar dan membawa produk cokelat Indonesia bersaing di dunia, dan memberi peningkatan kesejahteraan bagi petani tidak hanya di Lampung, namun daerah lain di Indonesia.

Saran bagi perempuan yang ingin memulai bisnis atau usaha: • Buat perencanaan yang matang, tentukan arah usaha, tetapkan kedisiplinan mengikuti perencanaan tersebut namun tetap fleksibel terhadap perubahan • Bila memiliki modal yang sedikit, dapat memulai usaha yang kecil • Minta dukungan dari keluarga dan teman, terutama bila dihadapkan pada tantangan • Perubahan membutuhkan waktu, bersabarlah.

131


Arafa Tea: Dari Hulu sampai Hilir Perjuangkan Teh Produk Unggulan Bangsa

15 Perempuan Wirausaha Sosial

132

Menginspirasi Indonesia


Foto-foto: Stella Yovita Arya Puter untuk Oxfam di Indonesia.

133


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

Bidang Bisnis: Aneka produk teh __________________

Arafa Tea

Berdiri Sejak:

2007 ________

Jenis Produk: • Teh (white tea buds, white tea wipi, green tea panfired, green tea steamed, genmaicha, oolong tea (green and black), black tea premium) • Bubuk (matcha pure - kaleng dan sachet, matcha latte kaleng dan sachet) • Kudapan Teh Hijau dan Teh Hitam (rice cracker, cereal, chips potato, chocolate, black tea chocolate) • Kosmetik Teh Hijau (dry scrub handbody lotion, face soap, face mask, oil) ______________

Harga:

1-13 dolar AS

(± Rp13.500,00 - Rp175.500,00) _________________________ Supplier: 5 kelompok petani teh di Bandung ___________ Penjualan: Outlet di Bandung, pusat kuliner, online media sosial, reseller, ekspor luar negeri, pameran.

Karyawan:

20 orang

15 Perempuan Wirausaha Sosial

134

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Jl. Bukit Dago Selatan 53A Taman Budaya Jawa Barat Bandung

135


“Membangun jiwa wirausaha itu modal utamanya mental, dan mengubah mental orang lain adalah tantangan yang saya hadapi.� Iffah Syarifah Hendrayati Nama: Iffah Syarifah Hendrayati Tempat, Tanggal Lahir: Bandung, 10 November 1967 Alamat: Cigadung, Bandung Pendidikan terakhir: S2 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Pekerjaan: Pendiri Arafa Tea Kontak: www.arafatea.com, arafateaid@gmail.com, +62878 2530 1550, +62817 0218 404 Iffah, perempuan bergelar M.Psi dari Universitas Indonesia sempat mendirikan sekolah alam di Jakarta yang kini menjadi pengusaha teh.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

136

Menginspirasi Indonesia


T

anaman teh mulai dibudidayakan secara komersial di negeri ini oleh kolonial Belanda sejak awal abad ke-19. Tahun 1835 dilaporkan teh dari Jawa telah dikirim ke Amsterdam. Sejak itu, perkebunan teh dibuka secara meluas di sejumlah wilayah Indonesia dan teh kemudian menjadi salah satu komoditas ekspor penting.

yang konon sejarahnya disajikan bagi kaum bangsawan di Negeri Tiongkok, diekspor ke Benua Eropa, dan paling banyak ditemukan di Inggris.

Perlahan, teh kemudian menjadi salah satu minuman yang populer di negeri ini, bahkan menjadi yang paling populer selain kopi. Namun, teh yang dikonsumsi di dalam negeri kebanyakan adalah kualitas nomor dua. Penduduk Indonesia pada umumnya hanya kenal dengan teh hitam atau teh hijau. Padahal, negeri ini juga menghasilkan teh putih yang dikenal berkualitas baik. Di luar negeri, teh putih Indonesia ini sudah dikenal luas. Tetapi tidak di negeri kita sendiri. Teh putih,

Tak hanya teh putih, banyak varian produk teh yang bernilai ekonomi tinggi, seperti minyak teh, yang belum dikenal masyarakat. Bangsa Indonesia yang menumbuhkan teh ternyata tidak mengenali produk asli terbaik dari negerinya. Lebih parahnya lagi, para petani dan pemetik teh yang menumbuhkan dan merawat tanaman ini, tidak mendapat banyak nilai lebih. Situasi inilah yang mendorong Iffah Syarifah Hendrayati, perempuan kelahiran Bandung, 10 November 1967, terobsesi untuk membangun usaha berbasis pengolahan teh. Tak hanya berdagang demi keuntungan ekonomi, Iffah banyak berjasa dalam mendidik pasar dan juga produsen.

Mencintai Lingkungan Sebelum kemudian dikenal sebagai pengusaha di bidang teh, Iffah sebenarnya lebih dulu dikenal sebagai pendiri sekolah alam Citra Alam di Ciganjur, Jakarta Timur. Usaha itu dirintisnya sesaat setelah dia menikah dan pindah dari Bandung ke Jakarta pada tahun 1991. Suaminya, Ir. Darso Sayat, adalah konsultan TI (Teknologi Informasi) perusahaan perkebunan.

Kepindahan Iffah ke Jakarta menumbuhkan rasa rindu pada suasana pedesaan. Kerinduannya tersebut membuat ibu empat anak ini bercita-cita menciptakan desa di perkotaan. Dia mulai berinisiatif memanfaatkan halaman rumahnya yang luas di wilayah Jakarta Timur dengan menanami aneka tanaman organik dan tanaman herbal.

137


Ketekunannya melestarikan tanaman organik dan herbal serta kepeduliaannya pada generasi muda, mengantarkan lulusan Pascasarjana Psikologi Universitas Indonesia ini membangun sekolah bersama dengan kedua temannya, yang diberi nama Sekolah Citra Alam, di daerah Ciganjur, Jakarta Timur, dengan kurikulum tambahan terkait pelestarian lingkungan hidup di mana penanaman tumbuhan organik termasuk di dalamnya. “Ini saya upayakan dengan modal sendiri, bersama dua teman. Kurikulumnya regular seperti sekolah lain pada umumnya, yang membuatnya lebih spesial adalah ada tambahan terkait lingkungan hidup dan alam,” ungkap Iffah. Tidak hanya itu saja, Iffah juga berpikir bahwa sekolah ini harus menyentuh sisi sosial masyarakat. “Saya memutuskan untuk berbagi pendidikan juga dengan anak-

anak jalanan yang sering saya temui di jembatan-jembatan dari daerah Fatmawati hingga Kampung Rambutan. Karena rumah saya di belakang UI (Universitas Indonesia), saya ajak mahasiswa-mahasiswa UI untuk turut mengajar anak jalanan. Kebetulan yang baik juga, saya punya dua rumah, yang satunya untuk tempat singgah dan belajar anak-anak jalanan,” cerita Iffah. Pendidikan bagi anak-anak jalanan disokong dengan dana bakti sosial yang diupayakan melalui seminarseminar yang diadakan di Sekolah Citra Alam. “Kami sering menggelar seminar parenting yang waktu itu belum sesemarak sekarang, jadi banyak orang tua yang berminat ikutan. Nah, biaya pendaftaran seminarnya kami alokasikan bagi anak jalanan. Saya melakukan semuanya dengan modal keyakinan saja. Saya percaya kalau niatnya baik, pasti ada jalan,” kata Iffah.

Membangun Arafa Persentuhan Iffah dengan dunia teh dimulai pada tahun 2004, ketika dia dan keluarganya pulang kembali ke tanah kelahiran, Bandung, dan bermukim di daerah Dago, tepatnya di Cigadung. Tanaman organik dan herbal yang dilestarikannya di Jakarta turut dipindahkan ke Ciwidey, yang merupakan salah satu daerah penghasil teh terbesar di Jawa Barat. 15 Perempuan Wirausaha Sosial

“Jadi waktu pindah ke Bandung lagi, jadi sering ke Ciwidey. Saya suka melihat para pemetik teh yang tengah bekerja. Saya jatuh cinta pada mereka. Saya sering mendengar kisah mereka yang bekerja dari matahari belum terbit sampai sore, tapi hanya menerima penghasilan tak seberapa,” kisahnya.

138

Menginspirasi Indonesia


Rata-rata para pemetik teh ini dapat memetik 40 kg daun teh dengan upah Rp500,00 per kg. Jadi per hari mereka hanya mendapatkan Rp20.000,00, sementara petani yang punya lahan teh menjual ke perusahaan seharga Rp2.500,00 per kilogram,” jelasnya. Melihat kenyataan tersebut, Iffah tergerak untuk membantu meningkatkan kesejahteraan para pemetik teh. Pada tahun 2007, bersama mahasiswa di Bandung, dia membentuk kelompok yang diberi nama Arafa. Kegiatan awal Tim Arafa adalah berkunjung ke desa-desa penghasil teh terbesar di Jawa Barat untuk berbagi cerita, menemukan persoalan, dan menjembatani kebutuhan-kebutuhan para petani teh. Wilayah kerja Tim Arafa adalah daerah-daerah penghasil teh di Jawa Barat, meliputi Tasikmalaya,

Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Ciwidey. Setelah beberapa kali perjalanan ke lapangan, Iffah mulai menemukan beberapa gagasan untuk menciptakan produkproduk berbahan dasar teh hasil petikan para pemetik teh di lima daerah tersebut. Tahun 2007 Tim Arafa memulai perjalanan bisnis produksi teh yang diberi nama Teh Arafa, dengan mengambil produk mentah dari petani dan menjualnya dalam bentuk produk teh. Iffah lalu membagi keuntungan hasil penjualannya dengan petani. Pada tahun itulah, Iffah akhirnya mengenal teh putih. Dia pun terkejut saat bertemu dengan salah satu eksportir teh putih. Produk Jawa Barat ini selama ini hanya untuk memenuhi pasaran ekspor. “Saya merasa aneh, kok negara kita yang menghasilkan tapi bangsa lain yang menikmati. Keuntungannya juga hanya diperoleh si eksportir,” ujarnya. “Melihat jerih payah pemetik teh, saya tergerak untuk mengupayakan agar teh putih dinikmati juga di Indonesia. Dari situ saya memutuskan untuk menjadikan teh putih sebagai produk premium pertama yang diusung Arafa Tea.” Iffah melakukan pendekatan kepada eksportir tersebut agar Arafa Tea bisa membeli teh putih mereka. Setelah berhasil membeli, Iffah memutuskan menjual teh putih sebagai salah satu produk unggulan Arafa Tea. “Saya

139


bayar media untuk mengangkat fenomena teh putih, tujuannya cuma supaya bangsa kita sadar, dan hasil tanah air kita lebih dihargai tidak cuma di luar negeri tapi dari dalam negeri juga,” jelasnya.

berbeda dengan teh lainnya. Per hektar perkebunan teh hanya dapat menghasilkan 1 kg teh putih kering. Proses penanamannya sama, hanya proses panennya yang sulit. Teh putih diambil dari pucuk yang belum mekar, maka harus dipetik sebelum matahari terbit,” jelasnya.

Perjuangan untuk mengenalkan teh putih kepada kalangan awam ini tidak mudah, terutama karena harganya yang mahal. Pada suatu pameran produk Indonesia tahun 2007 silam, Iffah menjajakan teh putih seharga Rp100.000,00 per 30 gram. Banyak yang heran melihat harganya yang sangat tinggi. “Saya mencoba menyampaikan di pameran tersebut bahwa teh putih

Setelah melakukan percobaan awal untuk mengenalkan teh putih kepada khalayak ramai, Iffah mencoba meneruskannya sendiri, untuk mencoba memulai bisnis teh putih sendiri, menjadi salah satu produk andalan Teh Arafa. Hasil penjualan teh putih dibagikan kepada para pemetik teh.

Inovatif dan Kreatif Setelah satu tahun menjajakan teh putih, Iffah mulai melanjutkan bisnisnya dengan inovasi lain. Menurutnya, bukan modal yang terpenting dalam bisnis, melainkan kreativitas dan keberanian untuk berinovasi. Iffah berpikir agar teh tidak hanya bisa diminum, tetapi juga dimakan. Pada prinsipnya, Iffah menginginkan agar tidak ada bagian dari tanaman teh yang terbuang sia-sia. Tahun 2008 Iffah memulai penelitian tentang teh hijau bubuk atau green tea powder. “Dari penelitian teh hijau bubuk, saya mendapatkan infromasi bahwa semakin halus bubuk teh, semakin 15 Perempuan Wirausaha Sosial

besar kandungan eltianin-nya yang berguna untuk memenuhi nutrisi otak, bagus untuk menemani bekerja dan belajar,” kisahnya. “Penelitiannya tidak gampang, gagal terus. Terinspirasi dari matcha (teh bubuk) Jepang, saya yakin Indonesia juga bisa memproduksinya sendiri.” Setelah penelitian selama satu tahun, akhirnya Arafa Tea berhasil menciptkan teh hijau bubuk yang bisa dikonsumsi. Green tea powder produksi Arafa Tea ini mengantarkan mereka untuk mendapatkan penghargaan Adikarya dari Gubernur Jawa Barat tahun 2011.

140

Menginspirasi Indonesia


Tak berhenti di sana. Pada tahun 2009, Arafa Tea menciptakan cokelat berbahan dasar teh. Semua proses pembuatan sampai kemasan diproses di rumah Iffah, dibantu beberapa pegawai. Keingintahuan dan kreativitas Iffah yang tinggi, telah berbuah berbagai inovasi. Selain teh putih, green tea powder, dan cokelat teh, pada tahun 2012

Arafa Tea mulai melebarkan sayap dengan bekerja sama dengan para pengrajin opak sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Jawa Barat. Opak yang dibeli dari pengrajin opak, dipadukan dengan teh hijau cair dan cokelat ini medapatkan penghargaan Adikarya pada tahun 2013 lalu.

Iffah mengaku, penghargaan bukan menjadi tujuannya. Yang utama adalah menyadarkan generasi bangsa akan nilai lebih teh Indonesia.

Minyak Teh Selain teh putih dan aneka panganan dan minuman berbasis teh, salah satu inovasi dari Arafa Tea adalah minyak teh. Awalnya, Tim Arafa Tea diundang untuk mengikuti pameran produk lokal di Bali pada tahun 2012. Acara ini diikuti peserta dari berbagai negara. Banyak orang mendatangi stan Arafa Tea yang memamerkan beragam produk kreatif berbahan dasar teh.

Iffah menjawab bahwa Arafa Tea memiliki minyak teh. Pengunjung itu kemudian memesan empat liter minyak teh dan akan diambil dua bulan ke depan.

Iffah mulai kebingungan. Namun, dia memiliki keyakinan, kalau orang Tiongkok bisa, Indonesia juga pasti bisa, apalagi produk teh Indonesia merupakan produk unggul. Iffah mulai mengulik fenomena minyak teh. Dibawanya 100 kg teh basah Salah satu pengunjung, orang kepada temannya, profesor Amerika datang menghampiri Iffah farmasi dari Institut Teknologi dan bertanya apakah Arafa Tea Bandung, Prof. Muhammad Sidik. memiliki minyak teh? Barangkali Dia meminta Sidik untuk meneliti suatu kebetulan karena saat itu kemungkinan mengolah teh ini Iffah baru saja membaca artikel menjadi minyak. Ternyata, hasilnya tentang Tiongkok yang dapat jauh dari harapan. Penelitian Sidik menghasilkan minyak teh. Hanya menyimpulkan bahwa daun teh tidak bermodalkan pengetahuan tersebut, mengandung minyak. 141


Namun, Iffah tidak gampang menyerah. Dia datang ke perkebunan teh dan mengamati cara kerja para pemetik teh di lima titik penghasil teh terbesar di Jawa Barat, yang menjadi mitra Arafa Tea. Di sana dia melihat bahwa di hamparan tanaman teh itu banyak ditumbuhi biji dan bunga. “Awalnya saya marah saat itu, karena adanya biji dan bunga menandakan bahwa tanaman teh tidak terawat dengan baik. Saya minta para pemetik memetik biji tanaman teh. Saya juga ikut bantu. Saya bingung, kok bijinya mengeluarkan minyak. Seorang pemetik teh tua nyeletuk bahwa teh memang ada minyaknya, yaa ternyata ada pada bijinya yang selama ini dipangkas,” kisahnya.

Kini, minyak teh teh dijadikan kosmetik di Amerika. “Bahan dasarnya dari Indonesia. Saya bangga pernah jatuh bangun memperjuangkan salah satu produk asli tanah kelahiran, teh,” tambahnya bangga. Penjualan minyak teh disalurkan Arafa Tea melalui RS. Hasan Sadikin yang digunakan sebagai bahan pengobatan bayi dan orangtua karena kandungan antioksidannya yang tinggi. Kini nilai penjualan minyak teh sudah mencapai dua kali lipatnya, yaitu Rp24 juta untuk setiap liternya.

“Entrepreneur itu seniman. Harus bisa mencipta, memberikan yang terbaik, jujur. Jadi baik produsen, pegawai, maupun pembeli tidak Saat itu juga, Iffah meminta menyesal. Jatuh bangun, ditolak, para pekerja untuk memetik dan itu biasa, semuanya tahap untuk mengumpulkan biji tanaman teh. Tiga menjadi entrepreneur yang sukses. karung besar biji teh yang terkumpul Jadi ya apapun harus dijadikan dibawanya pulang untuk diberikan modal untuk lebih semangat,” ucap kepada Prof. Siddiq. Semalaman sosok inspiratif ini menutup kisahnya. suntuk, ditelitinya biji teh sehingga menghasilkan empat liter minyak teh. “Hanya dengan modal keyakinan dan kegigihan, saya tidak jadi pembohong besar. Akhirnya saya bisa memberikan empat liter minyak teh kepada pendatang dari Amerika, setelah dua bulan pembuktian,” jelas Iffah sambil tertawa. Minyak teh tersebut dijualnya seharga Rp12 juta per liter. Tanpa tawar menawar, si pembeli segera membayar Rp48 juta atas empat liter minyak teh.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

142

Menginspirasi Indonesia


Kepedulian Sosial Setelah mulai memantapkan fondasi usahanya, Iffah akhirnya kembali pada niat awalnya untuk membantu para pemetik teh. “Saya ingin membuat semua orang tersenyum mulai dari hulu sampai hilir, dari pemetik teh sampai penikmat teh,” ungkap Iffah. Setelah menerima piala Adikarya dari Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, jalan untuk membantu para petani semakin terbuka. Atas nama Arafa Tea, Iffah mengajukan proposal pembentukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) di lima kawasan produsen teh, sekaligus usulan pembangunan rumah produksi di setiap titik. Proposal itu disetujui Gubernur Jawa Barat dengan dana Rp500 juta bagi setiap titik, yang dialokasikan untuk bangunan Rp210 juta dan Rp290 juta untuk alat produksi. Arafa Tea mengajak Gapoktan bekerja sama membangun rumah produksi. Namun, upaya untuk memberdayakan petani itu tidak mudah. “Setelah Gapoktan menerima uang Rp500 juta dengan konsep kami, mereka menjadi ‘buta’ dan ingin memanfaatkan uang tersebut sendiri tanpa melibatkan Arafa, padahal saya ingin uang itu digunakan sesuai konsep dan tujuan awal. Permasalahannya adalah mental. Tapi saya bersikeras melakukan

pendekatan kepada Gapoktan di lima titik wilayah agar tujuan awal saya dapat terealisasi,” ungkapnya. Setelah perjuangan jatuh bangun ke desa-desa, akhirnya Iffah berhasil mendorong Gapoktan untuk membuat rumah produksi sediri untuk memproduksi produkproduk berbahan dasar teh. Tidak hanya itu saja, kini rumah-rumah produksi dilengkapi dengan CCTV (kamera perekam) yang digunakan Iffah untuk bercerita ke pihak lain, sekaligus untuk melakukan kegiatan pemasaran. Selain itu, para petani dan pemetik teh juga difasilitasi pelatihan untuk dapat memproses teh dan menggunakan rumah produksi dengan baik. “Membangun jiwa wirausaha itu modal utamanya mental, dan mengubah mental orang lain adalah tantangan yang saya hadapi,” jelas Iffah. Kepedulian dan kegigihan Iffah menjalin hubungan baik dengan Gapoktan juga membawa Arafa Tea lagi-lagi mendapatkan Piala Adikarya tahun 2014 yang lalu. Selain pendirian Gapoktan dan rumah produksi ini, Iffah sempat membangun Panti Asuhan kecil di Ujung Berung, Jawa Barat, yang anak-anaknya ditargetkan untuk bekerja di Arafa Tea sebagai pegawai yang diajarkan piawai untuk menjadi wirausahawan kelak.

143


“Anak-anak ini juga disiapkan untuk menjalani Arafa Tea ke depan yang sudah saya rencanakan untuk memulai bisnis serupa Arafa Tea di Bukit Tinggi juga, nanti mereka yang saya percayai untuk bekerja di sana,� jelas Iffah.

sebagai tempat untuk e yang kerap digunakan oleh Iffah Salah satu sudut di Dago Tea Hous proses pembuatannya. ga hing teh daun dari an lukis membuat berbagi cerita tentang sejarah teh,

15 Perempuan Wirausaha Sosial

144

Menginspirasi Indonesia


Penjualanan Arafa Tea Selama ini, sistem penjualan produk-produk Arafa Tea adalah dari mulut ke mulut dan melalui reseller. Iffah mengaku tidak menjadikan penjualan di supermarket sebagai pilihan karena merusak cash flow, di mana sisa produk akan dikembalikan lagi ke pihak produsen. Pada tahun 2014, produk-produk Arafa Tea turut mengisi Dago Tea House, pusat kuliner dan edukasi yang dimiliki Pemerintah Daerah Jawa Barat. Beberapa produk itu antara lain teh putih, green tea powder, cokelat teh, dan rice cracker (opak). Di sana, Arafa Tea memfokuskan penjualanan untuk edukasi. Iffah melakukan pendekatan ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi untuk datang ke Dago Tea House. Di sana Iffah berbagi cerita terkait sejarah teh

dan mengajar para pengunjung tentang proses pembuatan Arafa Tea sambil menikmati aneka produknya. Selain itu, para pengunjung juga diajak mengasah kreativitas dengan membuat lukisan berbahan dasar daun teh. Produk Arafa Tea dijual melalui pameran-pameran yang tidak hanya digelar di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pegawainya kini berjumlah kurang lebih 20 orang melalui pemberdayaan para pecinta teh dari lima titik di wilayah binaan Arafa Tea. Melalui kerja sama yang diupayakannya, Iffah mengambil hasil perkebunan teh dari lima titik untuk kemudian diolah dengan konsep home industry di rumahnya sendiri. Kerja sama dijalin Iffah tidak hanya dengan para pecinta teh dari hulu, tetapi juga dengan sejumlah mahasiswa farmasi ITB yang berinisiatif membuat kosmetik berbahan dasar teh. Produk kosmetik dijadikan produk tambahan Arafa Tea yang juga dijual di Dago Tea House dan reseller Arafa Tea.

145


Komodo Water: Berbisnis Sekaligus Pemberdayaan Masyarakat

mengedukasi anak-anak a menyempatkan diri odo Water, Shana jug gemar membaca. (N) Kom ial dan sos an nis ang bis bar ber sem Tidak hanya k membuang sampah tida erti sep g ran aga di Pulau Pap

15 Perempuan Wirausaha Sosial

146

Menginspirasi Indonesia


gan ter bekerja sama den Distribusi Komodo Wa aan day ber pem i dar ian agai bag nelayan setempat seb ekonomi lokal. (SF)

Instalasi pe ngelolaan ga PERTAMIN s buang ikut A di Blok Sal an bersama awati, Soron pemenuhan g yang digu listrik dan pe nakan untu ngangkatan k minyak bum i. (SF)

147

Foto-foto: Nasrullah (N) & Shana Fatina (SF) untuk Oxfam di Indonesia.

Taman Nasional Komodo memiliki luas 173.300 Ha dengan lima pulau utama yaitu Komodo, Padar, Rinca, Gili Motang dan Nusa Kode dimana jumlah penduduk pada 2010 mencapai 4,300 jiwa. (N)


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

PT. Tinamitra Mandiri

Kantor: Wirausaha Building, Lantai 5 Jl. HR Rasuna Said Kav. C5 Jakarta Selatan, Indonesia ______________________

Berdiri Sejak:

Bidang Bisnis: Tinagas (penyedia jasa konversi kendaraan BBM ke BBG), Komodo Water (air minum kemasan Manggarai Barat), PT. Intermega Sabaku Indonesia (penyedia gas flare Sorong), Ora Dive (dive center Labuan Bajo) dan Hamueco Lodge (resort dan trips Raja Ampat). _______________________

Jenis Produk: • Jasa konversi BBM ke BBG • Komodo Water • Gas Flare • Dive Center • Resort ___________________________

5 orang

Karyawan: (Komodo Water)

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Maret 2010 ___________________

Harga Komodo Water

Rp5.000,00 Rp9.000,00

____________________________ Supplier: Sumber air Pulau Papagarang ___________________ Kapasitas Produksi:

±300 jeriken/minggu ___________________________

Penjualan: Kerja sama dengan supermarket dan hotel di Yogyakarta, Jakarta, Solo. Online media sosial dan website.

148

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Desa Papagarang Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur (NTT)

149


K

apal motor yang ditumpangi Shana Fatina Sukarsono (29), terombang-ambing diamuk gelombang laut musim barat yang mendera Selat Flores pada penghujung tahun 2013 lalu. Beberapa galon air yang hendak dibawa Shana ke Pulau Komodo pun terlempar ke luar perahu. Tak ada yang bisa dilakukan Shana selain memandangi barang dagangan yang sangat dinantikan penduduk Pulau Komodo hilang ditelan gelombang. Bahkan, bukan hanya galon air yang lenyap, nyawa para penumpang kapal itu berada di ujung tanduk. Beberapa kali kapal nyaris terbalik dihajar gelombang. Dengan susah payah, kapal akhirnya merapat di daratan terdekat dan menunggu hingga ombak mereda. “Setelah (kejadian) itu, saya memutuskan menghentikan dulu pengiriman (galon air) di musim angin barat,” kata Shana, mengisahkan beratnya perjalanan untuk mendistribusikan air minum kemasan “Komodo Water” milik perusahaannya, Tinamitra Mandiri. Sekalipun seringkali harus menghadapi pengalaman seru dan menegangkan, namun Shana tak pernah menyesali keputusan untuk meninggalkan kehidupan mapan di kota demi membuka usaha pemenuhan air minum di kawasan Taman Nasional Komodo.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Mengenakan sandal gunung, celana jeans, kaos, dan tas ransel yang dipenuhi aksesoris etnik, membuat penampilan perempuan muda itu lebih seperti aktivis lingkungan atau backpacker. Tidak ada yang menyangka bahwa lulusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 2004 dengan predikat cumlaude ini adalah seorang pendiri dan Presiden Direktur Tinamitra Mandiri Group, sebuah group perusahaan yang bergerak di bidang energi bersih dan terbarukan, penyediaan air bersih dan sanitasi, dan ecotourism. Dalam usia mudanya, Shana, telah menunjukkan pemikiran yang matang. Berbeda dengan kebanyakan anak muda lainnya, perempuan pertama yang menjadi Presiden Keluarga Mahasiswa ITB periode 2008-2009 ini, menunjukkan perhatian yang lebih pada masyarakat dan lingkungannya, dibandingkan hanya mengejar ambisi pribadi. “Indonesia begitu kaya potensinya, namun belum dikelola dengan baik,” ujarnya dengan penuh keyakinan. “Sayangnya, lulusan perguruan tinggi di Indonesia lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan mapan dengan gaji besar. Harus ada yang mengambil risiko untuk memulai sebuah lapangan pekerjaan sendiri.”

150

Menginspirasi Indonesia


Shana meyakini, perubahan sosial hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, dan tidak bergantung pada orang lain. Memiliki usaha ada salah satu cara untuk mencapai kemandirian itu. Perempuan dengan rambut sebahu ini percaya bahwa dengan memiliki uang sendiri, kita bisa bebas menentukan perubahan apa yang ingin kita lakukan sesuai keyakinan. Tekad dan keyakinan sudah kuat. Namun, untuk mencari jalan mewujudkannya awalnya tidaklah gampang. Demikian pula dengan Shana, yang awalnya belum tahu harus memulai bisnis apa. Satu hal yang ia sadari adalah ketertarikannya pada isu pelestarian lingkungan hidup. Masalahnya, selama ini menjadi pengusaha seolah identik dengan perusakan lingkungan, apalagi jika berkaca pada banyaknya pengusaha-pengusaha di bidang industri ekstraktif di Indonesia, yang hanya peduli pada keuntungan pribadi atau perusahaannya dan abai dengan dampak lingkungan. Apakah memiliki usaha berarti harus merusak kelestarian lingkungan? Itu menjadi pertanyaan besar bagi Shana, sekaligus memicunya untuk mencari jalan keluar.

Ketertarikannya akan isu energi terbarukan dan pembangunan keberlanjutan makin besar ketika dia diajak temannya terlibat dalam bisnis carbon trading saat masih duduk di bangku kuliah. Dari situ, dia melihat pengurangan energi fosil menjadi energi terbarukan dapat mengurangi subsidi penggunaan bahan bakar minyak, di sisi lain juga dapat membantu meningkatkan pendapatan seseorang, terutama supir angkutan. Ketika menunggu waktu wisuda, tahun 2009, Shana mendapat tawaran dari rekannya untuk membangun proyek pembangkit listrik tenaga konversi panas laut (OTEC/Ocean Thermal Energy Conversion) dan hidrogen. Bersama dengan delapan orang rekannya, Shana kemudian mendirikan Colano Energy, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang energi hidrogen. Namun, perusahaan pertamanya ini tidak bertahan lama karena lembaga pemberi modal tidak memiliki komitmen yang solid dan teknologi yang masih terlalu dini untuk kebutuhan Indonesia. Perusahaan ini kemudian bubar. Namun, keinginan untuk berkontribusi menyediakan energi yang mudah dan ramah lingkungan terus dipelihara Shana. Hingga kemudian Shana mendirikan Tinamitra Mandiri pada Maret 2010 dengan modal yang bersumber dari kantong pribadinya.

151


Berawal dari memiliki badan hukum yang jelas, Shana pun mulai mengajak beberapa rekannya untuk bermitra dan bekerja sama membangun bisnis dengan tetap memelihara idealisme memberi manfaat bagi komunitas dan menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu unit usaha mereka adalah Tinagas, usaha konversi mesin kendaraan berbahan bakar minyak ke bahan bakar gas yang memiliki bengkel di Bogor, Jawa Barat. Bekerja sama dengan Departemen Perhubungan, Tinamitra Mandiri mengkonversi sekitar 450 kendaraan angkutan kota (angkot) pada tahun 2011. Tidak hanya melakukan konversi minyak ke gas, perusahaan tersebut juga melakukan monitoring seperti frekuensi kendaaran mengisi gas dan alasan kenapa tidak melakukan pengisian. Namun sekarang, kendaraan yang masih menggunakan BBG (bahan bakar gas) hanya tinggal 120 buah kendaraan, dengan segala dinamika yang dihadapinya. Belum adanya kebijakan pemerintah yang mendukung alih fungsi minyak ke gas untuk transportasi, membuat usaha ini tersendat. Bahkan, beberapa aturan justru mempersulit pemilik mobil berbahan bakar gas. Misalnya, dalam uji kelayakan kendaraan bermotor (KIR), alat konversi tersebut harus dilepas

15 Perempuan Wirausaha Sosial

terlebih dahulu. Belum lagi garansi pabrikan akan hilang jika kendaraan sudah dikonversi. Alat konversi yang dipasang pun bersifat cuma-cuma, sehingga tidak ada unsur keharusan bagi supir angkutan tersebut. Sekarang, Tinagas menerima konversi ini berdasarkan permintaan saja. Ke depannya, Tinagas akan melakukan ekspansi bisnis konversi gas ini kepada perusahaan truk dan bus. Tidak hanya itu, Tinagas mulai merambah bisnis Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di Cirebon. Namun, sejak tahun 2015 pemerintah memutuskan SPBG dikelola oleh pemerintah sehingga Tinagas memutuskan untuk menjual aset SPBG ke BUMN dan sekarang hanya menjadi operator stasiun pengisian tersebut. Hingga kini, Shana yang juga Sekertaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Compressed Natural Gas Indonesia (APCNGI) terus berupaya melakukan pendekatan kepada pemerintah terkait kebijakan ini. Pulau Papagarang tampak kering dan tandus di musim kemarau. Sumber: Google Earth

152

Menginspirasi Indonesia


Menghadapi berbagai kendala yang terus muncul, Shana tidak pernah putus asa. Dia kemudian mengembangkan bisnis jual beli gas di Sorong, Papua Barat. Di bawah bendera Intermega Sabaku Indonesia, sister company Tinamitra Mandiri Group, Shana mengelola gas buang ikutan Join Operating Body (JOB) Pertamina – Petrochina di Blok Salawati, Papua Barat. Gas buang ikutan ini, yang merupakan limbah produksi lapangan minyak, kemudian diolah dan dimanfaatkan kembali untuk pembangkit listrik dan lifting minyak.

Lebih jauh, Shana melihat bahwa pembangunan di Indonesia hingga sejauh ini masih berorientasi di Pulau Jawa, termasuk dalam hal penyediaan listrik. Padahal, banyak daerah, terutama di Indonesia timur yang sebenarnya punya potensi kemandirian energi, namun dibiarkan kekurangan listrik karena tidak ada yang mengusahakannya. “Misalnya Flores memiliki cadangan panas bumi yang saya yakin 100% bisa dipergunakan untuk menyediakan pasokan listrik,” tambahnya. “Isu energi ini sangat bergantung dari kebijakan pemerintah. Pengusaha tentunya Keyakinan Shana bahwa setiap akan bersemangat dengan insentif jenis usaha apapun dan dimana pun dan iklim regulasi yang jelas,” harus memberi kontribusi kepada tambahnya sembari tersenyum. lingkungan sekitar tempat usaha tersebut beroperasi, membuatnya Perempuan yang pernah meraih fokus untuk melakukan beberapa penghargaan seperti pengembangan pemenuhan listrik KAIST Green Business Contest oleh di Sorong. “Banyak permintaan KAIST University pada tahun 2012 (untuk mengirim gas) ke Ambon, ini pun sangat memahami bahwa Pulau Seram, namun saya fokus bisnis yang dia jalani tidak seperti mengembangkan Sorong dulu,” pengusaha pada umumnya. Shana ujarnya dengan penuh keyakinan. percaya bahwa seorang pengusaha harus bisa mengembangkan bisnis yang juga mampu menjawab solusi dari persoalan dan memberikan kontribusi pada perubahan pola sosial. Hal ini pula yang kemudian membawanya membuka usaha lain di bidang penyediaan sumber air minum bagi penduduk kepulauan di kawasan Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, yaitu Komodo Water. 153


Penyediaan Air Bersih Usaha ini sebenarnya berawal dari liburan bersama keluarga ke Taman Nasional Komodo pada tahun 2010. Namun, liburan bukan berarti sekadar bersenang-senang. Shana justru melihat sisi lain dari keindahan Taman Nasional Komodo yang diabaikan orang lain, bahkan oleh pemerintah sekalipun. Di balik popularitas Taman Nasional Komodo sebagai tujuan wisata berkelas dunia, Shana melihat, banyak penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan air minum. Ramainya wisatawan yang berkunjung rupanya tidak berdampak langsung terhadap pemenuhan kebutuhan dan hak dasar masyarakat Taman Nasional Komodo dan sekitarnya. Kebanyakan desa yang terdapat di sekitar kawasan taman nasional ini memiliki permasalahan yang sama, yaitu kesulitan air bersih, terutama di musim kemarau. Kebanyakan pulau di kawasan ini memang tidak memliki sumber air bersih sendiri, misalnya Pulau Mesa yang memiliki penduduk 1.500 jiwa. Masyarakat Pulau Mesa terpaksa harus membeli air dari Kota Labuan Bajo yang berjarak sekitar 2,5 jam - 3 jam perjalanan dengan kapal motor. Demikian halnya dengan masyarakat di Pulau Papagarang, yang terletak sekitar 21 km di sebelah Tenggara Kota Labuan Bajo. Penduduk di pulau-

15 Perempuan Wirausaha Sosial

pulau kecil yang kebanyakan miskin ini terpaksa harus membeli air bersih dari Kota Labuan Bajo dengan harga mencapai Rp12.000,00 per galon. Di musim hujan, air memang terpenuhi, walaupun kualitasnya tidak terjamin. Masyarakat sangat mengandalkan air hujan yang ditampung ke dalam ember yang dihubungkan oleh lembarlembar seng yang dipasang di samping setiap rumah. Khusus untuk Papagarang sebenarnya sudah terdapat sebuah instalasi pengolahan air bersih yang dibangun pemerintah pada tahun 2013. Namun, belum setahun sejak dipasang, alat tersebut sudah rusak dan belum diperbaiki hingga sekarang. Sepulang liburan, Shana kemudian bolak-balik ke Taman Nasional Komodo untuk mencari cara membantu memecahkan persoalan minimnya ketersediaan air di sana. Setelah melakukan serangkaian riset selama enam bulan dan melakukan pertemuan dengan masyarakat lokal, Shana akhirnya memutuskan untuk mendirikan Komodo Water. Berbeda dengan kebanyakan perusahaan air minum lain yang hanya mengambil air baku di pegunungan sehingga sering berkonflik dengan masyarakat lokal, Komodo Water mengolah air

154

Menginspirasi Indonesia


Taman Nas ional Komod o adalah tu Tidak kurang juan wisata dari 33 oper kelas dunia. Hanya dela ator selam pan yang di di Labuan B kelola oleh ajo. penduduk lo kal. (N)

Nelayan dari Pulau Papagarang sedang menyelesaikan proses pembuatan ikan pindang asin secara tradisional. (N)

a adalah Karyawan Komodo Water seluruhny Mereka ng. gara Papa u Pula penduduk lokal teknisi hingga menjalankan kegiatan mulai dari memasang stiker di jeriken. (SF)

Instalasi pengelolaan

gas buangan bekerja sama dengan PERTAMINA di Blok Saw alati, Sorong. (SF) 155


payau resapan yang digali di Desa Papagarang. Dengan teknologi reverse osmosis, air payau itu diolah menjadi air bersih siap minum. “Hampir lima bulan setelah survei, kami baru dapat mengebor sumur yang debit airnya memadai,� ujar Shana.

Rp8.000,00 per jeriken. Biasanya agen menaikkan harga Rp1.000,00 per jeriken, sehingga harga jual di Pulau Komodo sekitar Rp9.000,00 per jeriken. Dibandingkan dengan harga air minum kemasan lainnya yang dijual Rp14.000,00 per jeriken, Komodo Water tetap lebih murah.

Sekalipun berasal dari sumber air payau, namun kualitas air minum Komodo Water tidak kalah dengan air kemasan lainnya yang airnya diambil dari gunung. Sebelum mencapai konsumen, Komodo Water harus melewati tiga kali proses penyaringan. Pertama adalah menyaring air payau dari sumur di bak penampungan pertama. Kedua, air disaring kembali agar menjadi air bersih siap pakai. Berikutnya, air kembali disaring kembali sehingga menjadi air siap minum. Setelah itu, barulah air dikemas dalam jeriken dan diberi label. Semua proses pengolahan ini dilakukan di bangunan permanen seluas 105 meter persegi yang berdiri di lahan seluas 2.500 meter persegi tidak jauh dari tepi pantai di Desa Papagarang.

Keuntungan yang diambil oleh Shana dan timnya memang tidak terlalu besar, namun setidaknya cukup untuk menutupi biaya operasional, termasuk membayar tim Komodo Water yang semuanya adalah warga setempat. Untuk membantu operasional Komodo Water, Shana mempekerjakan lima orang penduduk desa setempat. Mereka kemudian diberi pelatihan tentang tata pengelolaan usaha air minum ini. Sedangkan untuk agen penyalur ada di tiap desa. Mengenai siapa yang bisa menjadi karyawan Komodo Water, didasarkan kesepakatan warga sendiri. Uniknya, hampir semua pengelola agen air Komodo Water adalah perempuan. Mereka bekerja di perusahaan ini sembari tetap mengerjakan pekerjaan domestik mereka.

Komodo Water dijual kepada para agen per jeriken berisi 20 liter air dengan harga bervariasi, tergantung lokasinya. Untuk di Desa Papagarang misalnya, satu jeriken dijual Rp5.000,00. Untuk pulau terjauh dari lokasi produksi, seperti Pulau Komodo seharga

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Sekalipun mereka bertatus pekerja di Komodo Water, namun sistem kepegawaian di perusahaan ini berbeda dengan perusahaan pada umumnya.

156

Menginspirasi Indonesia


Karyawannya tidak digaji bulanan, tetapi harian. Hal ini karena masyarakat di sana yang terbiasa dengan upah harian. Per harinya, setiap karyawan mendapatkan upah sebesar Rp50.000,00. Selain itu karyawan tidak diwajibkan membuat laporan berkala, atau pun dibatasi jam kerjanya. Shana dituntut ekstra sabar, tidak boleh terlalu menekan karyawan, dan tidak perlu pasang target terlalu tinggi terhadap kinerja mereka. Dia belajar tentang pentingnya adaptasi dan menyesuaikan dengan pola kerja setempat, sebelum dengan perlahan membangun sistem kerja yang lebih baik. Pada akhirnya Shana menyadari bahwa memberikan contoh yang baik dan bekerja bersama-sama adalah metode paling tepat untuk menjaga semangat masyarakat agar selalu terus bergabung membangun usaha ini. “Saya pengen bisnis, tapi tetap memberi manfaat tambahan kepada masyarakat,” ujarnya.

Menurut Shana, bermitra secara adil dengan masyarakat merupakan solusi lebih baik. “Sejak awal sudah saya sampaikan bahwa ini bisnis, kalian (masyarakat) untung, kami juga untung. Kita bermitra,” tambahnya dengan keyakinan.

Selama enam bulan pertama dihabiskan untuk melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat. Ketika akhirnya masyarakat setuju terhadap pembangunan Komodo Water, giliran Shana yang mengajukan syarat. “Harus dibikin barengbareng, misalnya (masyarakat) menyediakan tempat,” kisahnya. Keterlibatan masyarakat ini merupakan bagian dari upaya membangun rasa kepemilikan. Sebelumnya, Shana harus Sekalipun usaha ini tidak bisa menjelaskan berkali-kali kepada digolongkan sebagai bantuan sosial, masyarakat desa bahwa Tinamitra namun masyarakat di kawasan Mandiri bukan lembaga swadaya Taman Nasional Komodo jelas masyarakat (LSM) yang datang merasa terbantu dengan harga air memberi bantuan. yang murah dan kualitas yang baik. Shana sengaja membuatnya dalam Dengan prinsip pengembangan bentuk bisnis karena dia tidak ingin bisnis berbasis masyarakat, masyarakat melihat ini sebagai Komodo Water bisa tumbuh bentuk bantuan amal. Apalagi, dengan baik. Sejak digagas selama ini banyak bantuan sosial pada Oktober 2010, dan mulai yang tidak mampu berkeberlanjutan. beroperasi pada Februari 2013,

157


saat ini penjualan air minum Komodo Water telah menjangkau tujuh desa (Papagarang, Mesa, Warloka, Komodo, Rinca, Soknar dan Nenteng) di kawasan Taman Nasional Komodo dan dua desa di Pulau Flores (Lente Golohmori dan Kukusan) dengan total jumlah keluarga yang terlayani mencapai 2.780 kepala keluarga (KK). Untuk sekali distribusi, timnya paling tidak bisa membawa 300 jeriken yang bisa melayani tiga desa.

Sekalipun memiliki banyak kesibukan, Shana memutuskan untuk terjun langsung ke dalam setiap pengembangan usahanya. Demikian halnya, untuk mengembangkan usaha Komodo Water, dia pun rela meninggalkan kehidupannya di Jakarta dan pindah ke Desa Papagarang di Kecamatan Komodo. Bahkan, kini Shana menjadikan Desa Papagarang sebagai kampung halaman kedua. Meskipun begitu, ia masih kerap bepergian ke Jakarta atau Ke depan, Shana sedang Papua untuk mengurus bisnis lain menjajaki kemungkinan mendirikan Tinamitra Mandiri. instalasi pengolahan air di Kota Labuan Bajo, dengan tujuan Selain membangun usaha mendistribusikan air ke desa-desa Komodo Water ini, Shana yang terpencil yang susah terjangkau selalu bersemangat untuk karena jalan darat yang belum mengembangkan potensi di memadai. “Mudah-mudahan tahun kawasan Indonesia timur ini, tengah ini bisa dimulai,” ujarnya optimis. menggandeng operator selam lokal dan mendirikan Ora Dive di Labuan Selain menyediakan air dengan Bajo. “Dari 33 operator selam di sini harga lebih terjangkau, dampak (Labuan Bajo), hanya delapan yang sosial dari Komodo Water adalah operator lokal,” ujarnya dengan usaha ini telah memberdayakan serius. “Lainnya dari luar negeri.” masyarakat setempat dengan memberikan kesempatan pekerjaan Tidak berhenti di situ, ia pun dan transfer teknologi kepada mendirikan Hamueco di Raja masyarakatnya seperti keterampilan Ampat, Papua Barat, yang juga bekerja dengan standar kebersihan menggandeng operator lokal. yang baik, operator alat hingga Tak hanya itu, Shana juga keterampilan perbaikan mekanik membangun perpustakaan di Desa sederhana. Komodo Water bermitra Papagarang dengan bantuan dari dengan nelayan, pedagang, dan Perhimpunan Pelajar Indonesia pemilik kapal untuk menjadi agen (PPI) Birmingham, Inggris. penjual dan berbagi keuntungan.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

158

Menginspirasi Indonesia


Jiwa Wirausaha Shana tumbuh di lingkungan keluarga pengusaha. Ayahnya adalah seorang pengusaha di bidang minyak dan gas. Namun, Shana tidak mau tergantung pada keluarga. Itu pula yang membawanya membangun usaha sendiri di Indonesia Timur. Keputusan ini kerap membuat cemas keluarganya, terutama sang ibu yang selalu mengkhawatirkan kondisi anak perempuannya. “Apalagi sejak saya bawa ke Flores, ibu bilang kenapa kamu mau tinggal di tempat seperti ini?� cerita anak kedua dari tiga bersaudara ini. Namun, satu hal yang selalu diingat oleh lajang yang memegang lisensi PADI advance diver ini adalah didikan keluarga untuk selalu bekerja mandiri. Hal itu yang mendorong dia untuk selalu tidak pantang menyerah bila menghadapi tantangan.

membuang sampah sembarangan. Hampir semua warga di pulau yang dihuni oleh setidaknya 340 keluarga ini mengenalnya. Bila sedang menikmati jalan sore, ia pun dengan ramah akan menyapa setiap orang dan berbincangbincang dengan mereka.

Di sela-sela kesibukannya, Shana masih sempat melakukan hobi lainnya yaitu bermain musik, khususnya biola dan mengajar bermain musik di Labuan Bajo dan juga untuk anak jalanan di salah satu studio binaan temannya bila ia kembali ke Jakarta. Selain itu, dia menyukai fotografi dan aktif menjadikannya sebagai media untuk membagi berbagai pengalaman petualangannya. Meskipun semua administrasi perusahaannya ada di Jakarta, ketika ditanya tentang alamatnya, dengan tersenyum manis, Shana Perempuan yang murah senyum ini akan bahwa tempat tinggalnya kini selalu bersemangat bila bercerita adalah Desa Papagarang. tentang kehidupan masyarakat yang dilihatnya selama tinggal di Shana yang juga menyukai tempat-tempat yang mungkin oleh olahraga alam bebas seperti orang seusianya hanya dilihat mendaki gunung ini juga sangat sebagai tujuan berlibur, bukan bersemangat bila berbicara untuk menetap. Ketika sedang tentang olahraga lari. Ia pernah berada di Desa Papagarang, tidak mengikuti beberapa lomba lari yang jarang Shana meluangkan waktu menempuh jarak hingga 17 km. untuk bermain bersama anak“Saya lagi latihan buat maraton anak dan mengajarkan mereka tahun ini (2016), doakan ya� secara bertahap untuk tidak ujarnya sembari tertawa.

159


“Saya ingin di mana saya berbisnis, masyarakat setempat mendapat manfaat, hidup baik dan layak, keadilan sosial, kohesi sosial, dan memiliki ketahanan sosial.� Shana Fatina Sukarsono Nama: Shana Fatina Sukarsono Tempat, Tanggal Lahir: California, 29 Oktober 1986 Alamat: Desa Papagarang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT Pendidikan Terakhir: Sarjana Teknik Industri ITB angkatan 2004 Pekerjaan: Pendiri dan Presiden Direktur Tinamitra Mandiri Group, Sekjen Asosiasi Pengusaha Compressed Natural Gas Indonesia (APCNGI) Bidang bisnis: Tinagas (penyedia jasa konversi kendaraan BBM ke BBG), Komodo Water (air minum kemasan Manggarai Barat), PT. Intermega Sabaku Indonesia (penyedia gas flare Sorong), Ora Dive (dive center Labuan Bajo) dan Hamueco Lodge (resort dan trips Raja Ampat).

15 Perempuan Wirausaha Sosial

160

Menginspirasi Indonesia


Menjadi Pengusaha Shana lalu berbagi bagaimana memulai bisnis berdasarkan pengalaman pribadinya. Apapun jenis usahanya, Shana percaya beberapa hal tetap sama. • Mengukur kemampuan diri sendiri dalam hal memahami benar usaha yang akan dikerjakan. Menghitung dengan jelas dan detail pengeluaran yang direncanakan. Berpikirlah sebagai user/penyedia. Melakukan penghitungan sendiri untuk mengurangi biaya yang tidak perlu. Harus menjalankan sendiri. Dalam kasus Shana, dia belajar hingga detail seperti mengoperasikan genset, mengemudikan kapal, untuk memahami hitungan bisnisnya • Memilih sumber daya manusia yang benar. Harus jeli melihat potensi sumber daya manusia (SDM) karyawan. • Mencari tahu konsumen. Mencari tahu benar kebutuhan/masalahnya sebab tipis batasan kebutuhan dan keinginan. Contoh: Masyarakat Flores pernah berharap memiliki penyedia es batu, Tinamitra Mandiri sudah membuat, ternyata tidak ada yang membeli. • Tertib administrasi, catatan cash flow dan catatan transaksi harus jelas. • Harus legal terdaftar secara hukum. Jaga reputasi. • Sabar dalam melihat perkembangan bisnis. Misalnya setelah bisnis berjalan beberapa bulan baru keliatan harus butuh modifikasi pada pengeluaran, sistem atau cara kerja. • Otak dan ide pemikiran adalah modal utama. • Banyak mencari informasi tentang lomba dana hibah yang banyak ditemui sekarang. Meskipun tidak menang, biasanya akan mendapatkan masukan pelatihan manajemen.

Shana tidak pernah lelah mencari kesempatan untuk mengembangkan potensi Taman Nasional Komodo dengan memberikan dampak nyata bagi masyarakatnya. 161


AV Peduli: Mendayagunakan Sampah, Meningkatkan Ekonomi Masyarakat

15 Perempuan Wirausaha Sosial

162

Menginspirasi Indonesia


Foto-foto: AV Peduli untuk Oxfam di Indonesia.

163


Profil Bisnis Nama Perusahaan: Bidang Bisnis: Aneka produk dari sampah plastik, kertas semen

AV Peduli

Berdiri Sejak:

2014

_____________________

___________________ Jenis Produk: Merek dagang Hey Static (50 jenis) sejak 2014: Dompet, tas, ikat pinggang, sepatu, rompi, kalung, anting-anting dan lain-lain

Harga:

Rp100.000,00 Rp300.000,00 ___________________________

___________________________ Omset:

Âą Rp60 juta/tahun __________________________

Supplier: warga binaan dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik. Untuk kertas semen: dari kontraktor bangunan sekitar Surabaya

Penjualan: Pesanan (dalam dan luar negeri), pameran, menitipkan ke toko lain, online media sosial.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

164

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Jl. Jemursari 4 No. 5 Surabaya 60237 Jawa Timur

165


“AV Peduli memang telah berubah menjadi Hey Startic yang memiliki orientasi bisnis. Namun, bukan berarti ini menghilangkan jiwa sosial. Oleh karena itu, pemberdayaan warga eks PSK kampung Dolly ini menjadi penting.� Vania Santoso

15 Perempuan Wirausaha Sosial

166

Menginspirasi Indonesia


“L

ebih baik hidup dari sampah, daripada hidup jadi sampah.“

Kecerdasan, keramahan, dan kemampuan berkomunikasi yang baik, ditambah penampilan menarik, merupakan ciri khas dari perempuan Tubuh kecilnya menyimpan ambisi yang telah dinobatkan sebagai Duta besar, yakni membuat dunia Lingkungan Hidup oleh Menteri lebih baik dengan menumbuhkan Kehutanan dan Lingkungan Hidup kesadaran masyarakat untuk pada tahun 2005 ini. Lagi-lagi hal itu mengelola sampah. Untuk mencapai diperolehnya berkat aksi nyatanya cita-citanya ini, dia mulai dengan dalam hal pengelolaan sampah. mengajak para perempuan di Saat itu usianya masih 14 tahun. sekitar tempat tinggalnya untuk lebih peduli dengan persoalan Awalnya saat berusia 13 tahun sampah. Hingga kini, ia sukses Vania Santoso, kelahiran Surabaya, meningkatkan ekonomi ratusan 11 januari 1992 ini bersama keluarga berbasiskan pengelolaan kakaknya Agnes Santoso, suka sampah. Masyarakat dampingannya berlari di pagi hari. Lama kelamaan terdiri dari beragam kelompok, area berlari pagi mereka menyempit meliputi para pekerja di “bank karena harus menghindari bau sampah”, perajin yang mengelola menyengat akibat sampah yang sampah untuk dijadikan berbagai dibuang di berbagai tempat. barang layak pakai, hingga pelatih “Jika dibiarkan terus, lama-lama, dan penyuluhan manajemen semua tempat bisa dipenuhi udara sampah. Berkat persampahan ini kotor dan sampah. Bagaimana pula Vania Santoso bisa keliling menghentikan atau setidaknya dunia untuk mengikuti berbagai menguranginya?“ ungkap Vania pelatihan, lomba, maupun kepada Agnes kakaknya, kala itu. memenuhi undangan sebagai juri atau pembicara. ”Belakangan saya juga mendapati bahwa tidak semua bencana “Semua yang kita punya, yang alam disebabkan semata oleh kita nikmati, pada akhirnya adalah alam, misalnya banjir dan longsor berasal dari alam. Jadi bukan jelas ulah manusia. Maka untuk hal yang aneh jika kita kemudian memulai gerakan cinta lingkungan harus menggerakan semua orang hidup harus mulai dari manusia,” untuk menyelamatkan lingkungan,” ujar Vania dengan nada bicara kata Vania Santoso, mahasiswi penuh antusias. berprestasi terbaik ketiga Tingkat Nasional (2014) dari DIKTI.

167


Berawal dari Kepedulian Bersama kakaknya, Vania kemudian membentuk sebuah komunitas yang mengutamakan gerakan pada kepedulian terhadap lingkungan hidup secara luas yang diberi nama AV Care atau biasa juga disebut sebagai AV Peduli, sekitar tahun 2005. Beberapa mahasiswa, rekan kuliah Agnes di Fakultas Hukum Universitas Airlangga turut bergabung. Sedangkan nama AV Care, yang merupakan kepanjangan dari A Vision: Concern About Renewing Environment.

sejumlah masalah lingkungan, antara lain revitalisasi sungai dan membina warga yang tinggal di bantaran. Mulai dari kebersihan sungai, penanaman pohon untuk mencegah longsor hingga penanaman kesadaran menjaga lingkungan hidup pada warga agar selanjutnya dapat menjaga, walau program AV Peduli telah usai.

Pada tahun 2005 Vania mendapati berita yang berisi mengenai lembaga kesehatan dunia, WHO yang mengeluarkan pernyataan Saat itu Vania telah memulai karier bahwa Indonesia sebagai negara sebagai penyanyi, presenter, terkotor sedunia. Hal ini menohok dan model. Dia pun memulai sekaligus membuka jalan buat aksi kampanye lingkungan AV Peduli untuk lebih fokus pada hidup melalui apa yang ia sebut persoalan pengelolaan sampah. sebagai “edutainment�. Vania Selain itu, saya juga memang punya mengkampanyekan berbagai kegemaran dalam hal kerajinan. persoalan lingkungan hidup melalui Jadi sedikit-banyak telah memulai media hiburan, seperti menyanyi, banyak hal dalam membuat barang fashion show. “Kami mulai dengan layak guna dari berbagai bahan, membuat lagu, merekam dan termasuk sampah. membagikan CD-nya ke berbagai tempat, hingga menyelenggarakan Untuk menjadikan kesadaran fashion show yang materinya mengelola sampah ini tumbuh luas di adalah sampah daur ulang. dalam masyarakat, Vania, melalui AV Kami berusaha menjadikan Peduli keluar masuk kampung dan aktivitas kepedulian terhadap bertemu dengan ketua RT (Rukun lingkungan menjadi sesuatu yang Tetangga), lurah maupun camat menyenangkan,� kata anak bungsu untuk bekerja sama mengajak warga dari dua bersaudara ini. sadar akan peduli sampah. Tidak saja berkampanye, melalui Namun siapa peduli sampah? klub AV Peduli, Vania juga berperan Barang yang jelas kotor dan jadi untuk terjun langsung mengatasi buangan tersebut tentu bukan 15 Perempuan Wirausaha Sosial

168

Menginspirasi Indonesia


hal menarik. “Dari 30 warga yang kami undang, yang datang hanya lima orang. Setiap kali pertemuan, orangnya ganti-ganti dan kadang tidak ada yang datang sama sekali,” kisah Vania yang pada tahun 2009 menjadi Duta Lingkungan Hidup Asia Pasifik untuk Indonesia dari PBB ini. Berbagai macam produk bernilai ini dihasilkan dari sampah buangan masyarakat. Sebuah bisnis yang mendukung upaya pelestarian lingkungan. Foto: AV Peduli.

Memberi Nilai Tambah Setelah melalui berbagai pertemuan yang awalnya hanya bermaksud mensosialisasikan pentingnya menjaga lingkungan serta bagaimana mengelola sampah, Vania menyadari pentingnya memberikan manfaat ekonomi sebagai daya tarik bagi para peserta. Jika hanya diberi penjelasan dan pengarahan, orang mungkin akan bosan atau bahkan enggan melakukannya. Mereka harus mendapatkan manfaat ekonomi dari sampah. Maka mulailah Vani memberi kelas mengenai bagaimana membuat kompos dari sampah yang kemudian bisa digunakan untuk menanam sayuran, menanam pohon obat-obatan, hingga mengajari bagaimana menyulap sampah menjadi barang kerajinan yang bisa dijual. Setidaknya butuh

satu tahun untuk membangun ikatan yang kuat antara AV Peduli dengan warga binaan. Dalam menghadapi berbagai tantangan misalnya rendahnya kepedulian warga, Vania punya taktik menumbuhkannya. Menghadapi kesulitan mencari dana, Vania juga bisa tambal sulam dari pendapatan yang ia peroleh sebagai artis dan uang saku pribadi. Namun ada satu persoalan yang sangat sulit, bahkan sempat membuat dirinya hampir mundur, yaitu adanya “serangan” orang tak dikenal yang rajin sekali menyebarkan keburukan mengenai apa yang dilakukan Vania. “Mulai dari telepon dan pesan singkat yang berisi fitnah bahwa saya melakukan kebohongan publik, bahwa proyek saya tidak pernah nyata, dan sebagainya,” ungkap Vania, yang 169


melakukan aktivitas kampanye lingkungannya ini di antara kesibukan sekolah dan bekerja. Pernah suatu ketika Vania diliput media karena dianggap berkiprah dengan cara-cara menarik guna menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup. “Kemudian pihak redaksi menerima informasi dari pihak yang tidak disebutkan, bahwa saya melakukan kebohongan dan hanya memperdaya warga. Setelah saya jelaskan serta mengundang media untuk melihat sendiri apa yang sedang dan telah saya kerjakan, akhirnya isu itu sirna,” kata dia.

kampanye dan pengelolaan sampah di Australia, menjadi peserta konferensi lingkungan hidup yang diselenggaraan oleh PBB di Malaysia. Dari forum PBB tersebut dia mendapat informasi mengenai adanya lomba lingkungan hidup internasional di Swedia. Hingga saat itu tidak pernah ada peserta asal Indonesia yang berhasil masuk final. Vania tertantang untuk mencobanya. Proposal berjudul Usefull Waste For A Better Future, dikirimkannya melalui surat elektronik.

Tanpa menyangka, Vania malah terpilih sebagai salah satu finalis, sehingga diminta mempresentasikan proposalnya di Serangan “hater” ini sempat depan para juri di Swedia, dengan membuat Vania terpukul. Untungnya biaya sepenuhnya ditanggung kakak dan kedua orangtuanya panitia. Bisa ikut lomba saja terus memberi dukungan. Vania merasa senang, apalagi “Jangan berhenti karena satu-dua ketika diundang sebagai finalis. orang yang tidak suka. Apalagi Vania sangat bersemangat dan kalau kamu yakin banyak orang mempersiapkan presentasinya merasakan manfaat, kenapa harus dengan antusias. Hasilnya, dia menyerah?” ujar Vania menirukan mendapatkan juara pertama. “Saya nasihat ayahnya. Maka dengan benar-benar menangis, ketika nama memegang perumpamaan ‘anjing saya dipanggil dan dinyatakan menggongong kafilah berlalu’, Vania sebagai pemenang,” tutur terus berjalan, bahkan makin berlari pembicara termuda pada TUNZA kencang dan jauh. International Youth Conference di Jerman (2007) ini. Kesempatan sebagai Duta Lingkungan, membuat Vania belajar Sebagai pemenang pertama, ia banyak hal dan mendapatkan berhasil membawa hadiah berupa banyak peluang, bahkan hingga uang tunai sebesar 10.000 dolar AS. di luar negeri. Misalnya, dia Selain itu, setiba di Indonesia, dia diundang studi banding mengenai juga mendapatkan sambutan yang

15 Perempuan Wirausaha Sosial

170

Menginspirasi Indonesia


baik dari Gubernur Jawa Timur dan Walikota Surabaya. Bahkan mereka turut memberikan penghargaan.

warga binaan Vania. Apalagi ia juga belum punya toko yang menjadi tempat memajang dan menjual.

Berbagai pencapaian ini menjadikan AV Peduli semakin dikenal dan banyak warga binaan yang dulu ragu atau menolak, malah menawarkan diri untuk ikutan. Jika awalnya lima orang, jumlahnya kemudian menjadi 30 orang, dan kini telah ada ratusan orang yang tersebar di sejumlah pelosok Jawa. Saat ini yang secara konsisten mendapatkan binaan langsung berada tiga kota, yakni Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Sedangkan yang lain adalah pendampingan sementara, karena selanjutnya sudah bisa jalan sendiri.

Untungnya Vania sering mendapatkan undangan ke luar negeri dan panitia biasanya memperbolehkannya membawa dan menjual barang tersebut dalam acara-acara tersebut. Maka, Vania pun sekaligus menjadi tenaga pemasaran dan beberapa di antaranya cukup sukses. Banyak konsumen dari Vietnam, Australia, Amerika, Norwegia yang memesan produk tersebut dalam jumlah besar.

Aktivitas AV Peduli pun semakin gencar, tersebar luas di banyak kota, bahkan mendunia. Namun, ketika banyak warga yang tertarik untuk mengelola dan memanfaatkan sampah menjadi barang layak guna, muncul masalah baru, yaitu pemasaran produk. Di negara maju, barang-barang buatan tangan yang berbahan daur ulang akan dihargai masyarakat dengan harga tinggi. Namun di Indonesia, penghargaan tersebut tentu belum tercipta. “Bahan saja dari sampah, kenapa saya harus beli, dengan harga mahal lagi,” demikian kira-kira cara pandang konsumen di Indonesia, sebagaimana dituturkan Vania. Cara pandang ini adalah hambatan besar untuk memasarkan karya-karya

Jika barang yang dibawa langsung ludes dijual saat acara berlangsung, Vania juga membuka pesanan untuk kemudian di kirim, misalnya ke Belanda dan Australia. “Memang tidak sampai satu kontainer, jumlah sebatas seratusan buah” katanya. Hasil penjualan ini, selalu Vania laporkan kepada warga binaan. “Tidak ada kegembiraan yang lebih besar, dibandingkan melihat keceriaan dan kebanggan warga binaan karena barangnya terjual di luar negeri. Mereka seperti tidak percaya dan banyak yang terus bertanya, masa sih?” kata Ketua Divisi Sumber Daya Manusia HIPMI Jawa Timur ini. Mengenai pembagian hasil, Vania menetapkan 60 persen diberikan kepada warga binaan, sedangkan AV Peduli mendapat 40 persen.

171


AV bertanggung jawab terhadap pemasaran, desain produk, penyediaan bahan, dan kontrol kualitas. Antara tahun 2005-2011, AV Peduli masih konsentrasi untuk penumbuhan kesadaran akan cinta lingkungan hidup, serta sesekali melakukan bisnis dengan menjual barang-barang yang bahannya dibuat dari hasil daur ulang. Walaupun demikian, setidaknya warga mendapat masukan sebesar Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan. Hingga pada tahun 2012, Vania diundang ke Pittsburgh, Amerika untuk mengikuti One Young World. Di sana ada pembahasan mengenai bisnis global. Vania belajar mengenai usaha penumbuhan kesadaran masyarakat terhadap cinta lingkungan hidup serta manajemen daur ulang sampah dapat diarahkan menjadi sebuah bisnis yang menguntungkan, tanpa harus menghilangkan atau mengurangi faktor sosial. “Saya harus menerapkan ini, bukan agar jadi lebih besar, tapi tentu akan lebih bermanfaat buat orang banyak,” tambah peraih penghargaan Asia’s Most Inspiring Young Entreprenuer and Change Maker oleh FYSE, sebuah Lembaga di Hongkong. Selain informasi yang diperoleh dari acara itu, Vania juga banyak belajar tentang bisnis dari bangku kuliahnya di Jurusan Manajemen, Universitas Airlangga (Unair).

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Bahkan, Vania yang merupakan mahasiswa berprestasi di Unair ini, mengajukan sebuah proposal yang intinya bagaimana mengajak anak muda untuk dapat peduli lingkungan dan sekaligus berbinis. Hal ini lalu disambut oleh pihak kampus yang mewadahi dan melaksanakan penelitian mengenai bagaimana membuat pelindung dan pewarna alami yang dapat membuat barang daur ulang lebih kuat dan memiliki gaya, namun tetap bersumber dari bahan-bahan alami. Sejak itu, Vania mulai fokus membina warga binaannya untuk lebih berorienasi bisnis. “Saya memilih, mendidik, dan mengajak warga yang mau berbuat lebih. Saya sekarang dibantu 11 orang yang saya sebut sebagai pionir,” kata Vania. Para pionir yang tersebar di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik ini kemudian mengkoordinir sejumlah warga binaan. Sejak tahun 2011 hingga 2014, Vania memperkuat jaringan, menekuni berbagai riset untuk bahan dan desain hingga penguatan sumber daya manusia. “Saya ingin mendapatkan kesan sebagai penghasil produk yang bukan sekedar memanfaatkan sampah, tapi juga memiliki daya yang kuat, gaya yang bagus, dan punya nilai ekonomis,” kata Juara I Wirausaha Inovatif berbasis Sosial oleh InoTek ini.

172

Menginspirasi Indonesia


Mendirikan Hey Startic Setelah malang melintang di dunia pengolahan persampahan, pada tahun 2014, Vania akhirnya mendirikan “Hey Startic�, ruang usaha yang memproduksi dan menjual barang layak guna berbahan sampah daur ulang. Ada lebih dari 50 jenis produk, mulai dari dompet, tas, ikat pinggang, sepatu, vest, kalung, giwang, dan lainnya. Berbeda dengan AV peduli, Hey Startic memfokuskan pada produksi barang-barang yang berasal dari kantong semen. Berbeda dengan AV peduli yang lebih mengutamakan kampanye dan pemberdayaan warga untuk memanfaatkan sampah untuk menjadi barang layak guna, Hey Startic sejak awal pendiriannya telah ditujukan sebagai Ecopreneurship atau sebuah usaha yang berbasis pada lingkungan hidup. Dengan demikian AV peduli tetap ada, namun memiliki fokus gerak yang berbeda dengan Hey Startic. Vania menggunakan kantong semen bekas sebagai bahan dasar produk kerajinannya. Bahan ini dipilih karena termasuk sampah yang paling sulit dikurangi. Kantong semen akan terus ada selama pembangunan properti terus berjalan. Selain itu, secara kualitas, kantong semen juga memiliki daya yang kuat sehingga tidak mudah

dihancurkan secara alami. Untuk mendapatkan kantong semen, selain dari para pengumpul sampah, Vania juga bekerja sama dengan sejumlah kontraktor. Setelah dibersihkan, kantong semen bekas ini kemudian diberi pewarna alam dan dilapisi getah-getah tanaman tertentu sehingga bisa tahan air. Setelah siap, kantong semen bekas ini bisa dipakai untuk bahan dasar berbagai macam kerajian. Bahkan, untuk beberapa produk, kantong semen bekas ini bisa padu saat digabungkan dengan bahan dari kulit, kain batik, hingga kain songket. Barang-barang ini kemudian diikutkan dalam berbagai pameran produk kerajinan seperti Inacraft. Harga jualnya sekitar Rp100.000,00 - Rp300.000,00 per produk. Kini, produknya telah berhasil menembus pasar internasional, seperti Malaysia, Belanda, dan Australia. Walaupun belum stabil, omset penjualan produk ini pernah mencapai Rp60 juta dalam sebulan. Ini tentu prestasi sendiri bagi lembaga usaha Hey Startic yang belum genap setahun. Selain bekerja sama dengan warga binaan sejak tahun 2005, belakangan Vania juga merangkul warga eks penghuni Kampung

173


Dolly, yang dulunya berprofesi sebagai PSK (pekerja seks komersial), untuk ikut menjadi pengrajin dengan diberi keahlian membatik di kantong semen. “AV Peduli memang telah berubah menjadi Hey Startic yang memiliki orientasi bisnis. Namun, bukan berarti ini menghilangkan jiwa sosial. Oleh karena itu, pemberdayaan warga eks PSK kampung Dolly ini menjadi penting,” katanya. Selain kesibukan menjalankan usaha di Hey Startic, Vania juga masih aktif menjadi konsultan untuk pendirian bank-bank sampah. Hingga saat ini sudah ada puluhan bank sampah yang didirikannya dan banyak di antaranya yang sudah dapat berjalan sendiri. Untuk kebutuhan bahan baku usaha Hey Startic, Vania juga masih mengandalkan bank sampah binaannya. Vania memberi harga sampah per satuan. Misalnya, sampah bungkus sachet kopi dihargai Rp300,00. “Dengan cara seperti ini semakin banyak unsur warga yang bisa ikut, bahkan pedagang asongan pun akan mengumpulkan sampah untuk dijual,” jelas Vania.

termasuk juga di Bandara Juanda, Surabaya. “Saya meyakinkan mereka bahwa ini bukan sekadar barang daur ulang atau barang sosial karena dibuat oleh warga binaan, tapi memang berkualitas secara gaya maupun dayanya yang tahan lama,” kata Vania. Ke depan, Vania bermimpi untuk memiliki sebuah tempat yang bakal menyatukan “eco tourism”, “eco learning” hingga “eco entrepreneur”, sehingga bisa memikat turis, pembeli sekaligus siapa saja yang mau belajar bagaimana memanfaatkan sampah mejadi barang layak guna. “Pada akhirnya, kegembiraan terbesar saya adalah kegembiraan kita semua, karena semakin banyak yang peduli, maka lingkungan menjadi makin baik,” ujar Vania.

Hingga saat ini Hey Startic belum memiliki toko atau tempat jualan sendiri, namun telah berhasil menembus sejumlah toko oleh-oleh di sejumlah kota,

15 Perempuan Wirausaha Sosial

174

Menginspirasi Indonesia


Nama: Vania Santoso Tempat, Tanggal Lahir: 11 Januari 1992, Pendidikan: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Wisudawan Terbaik Sarjana Manajemen 2014 Organisasi: Pendiri AV peduli, Pendiri Hey Startic, Ketua Divisi Sumber Daya Manusia HIPMI PT. Jawa Timur Penghargaan: • Tanda Kehormatan Presiden Satyalencana Wirakarya dari Presiden Indonesia 2011 • Juara Young Social Entrepreneur dari Singapore International Foundation • Green Entrepreneur yang kisahnya dibukukan oleh United Nation Population Fund • Duta Lingkungan Asia-pasifik Untuk Indonesia, untuk PBB Kontak: vani.santoso@gmail.com, www.avpeduli.com

175


Kopi Luwak Lanang: Rasa Pahit yang Berbuah Manis

15 Perempuan Wirausaha Sosial

176

Menginspirasi Indonesia


Foto-foto: Nasrullah untuk Oxfam di Indonesia.

177


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

CV. Karya Semesta

Bidang Bisnis: Penyedia aneka produk kopi luwak _______________________ Jenis Produk: Kopi Luwak Lanang, Kopi Lanang Landep, dan Kopi Gajah Hitam _____________________ Omset: Tahun 2012 mencapai

Rp1,6 miliar

______________________ Karyawan:

Puluhan

________________ Penjualan: Ekspor, kafe, online dan pameran

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Berdiri Sejak:

2008

________

Harga: • Luwak Lanang (10 gram Rp40 ribu, 1000 gram Rp1.275.000,00) • Lanang Landep (150 gram Rp30 ribu, 1000 gram Rp160 ribu) • Gajah Hitam (250 gram Rp18 ribu, 1000 gram Rp 50 ribu) _________________________ Supplier: Kebun kopi Malang dan Bondowoso ____________________ Kapasitas Produksi:

1,6 ton/bulan

Untuk kopi Luwak Lanang, dan puluhan ton dari petani supplier

178

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Gresik, Jawa Timur

179


Ketika melewati kantor Depperindag (Departemen Perindustrian dan Perdagangan) Kota Surabaya, dengan percaya diri, ia masuk ke dalam kantor tersebut hanya dengan anggapan akan mendapat informasi atau sekadar membangun jejaring baru. Niat baik dan keberaniannya terbukti. Theresia Deka Putri

15 Perempuan Wirausaha Sosial

180

Menginspirasi Indonesia


J

am menunjuk pukul 08.45 WIB. Baru satu orang pengunjung yang terlihat di kafe berukuran sekitar 6x6 meter persegi di bagian luar bangunan Mal Ramayana, Gresik. Setelah mempersilakan saya duduk, seorang pelayan lalu memberi menu hidangan. Pelayan tersebut lalu menerangkan perbedaan antara dua jenis menu minuman kopi yang saya tanyakan, yaitu kopi Luwak Lanang dan Lanang Landep. Setelah mendengarkan penjelasannya, saya lalu memesan satu cangkir kopi Luwak Lanang seharga Rp40.000,00. Tidak lebih dari lima menit, kopi pesanan saya datang yang diletakkan di atas nampan kayu dengan desain seperti alas kaki tradisional Jepang, Bakiak, lengkap dengan secangkir gula

putih sebagai pilihan. Presentasi yang cukup unik dan belum pernah saya temukan di kedai kopi lain. Tidak berapa lama, Theresia Deka Putri atau biasa dipanggil Putri, pemilik kedai kopi itu tiba. Tidak hanya pemilik kedai kopi, ia adalah pendiri sekaligus pemilik CV. Karya Semesta, perusahaan yang bergerak di bidang produk olahan kopi. Bukan sembarang kopi, namun kopi luwak, jenis kopi yang sudah mendunia. “Kedai ini masih baru kok, belum satu tahun,” Putri memulai obrolan kami pagi itu. Perempuan berusia 27 tahun ini tampak berusaha untuk tersenyum meskipun raut wajah lelah terlihat. “Sedang persiapan buka kafe baru lagi di Surabaya,” tambahnya sembari menyebutkan bahwa sekarang ia memiliki dua kedai kopi di Jawa Timur, yaitu di Gresik dan Surabaya dan satu di Malaysia. “Tahun 2016 ini rencana mau buka tiga lagi (di Surabaya),” ujarnya.

Nama: Theresia Deka Putri Tempat, Tanggal Lahir: Kediri, 1989 Alamat: Gresik, Jawa Timur Pendidikan terakhir: S1 Manajemen, STESIA Surabaya Pekerjaan: Pendiri dan Direktur CV Karya Semesta Kontak: putri_luwak@yahoo.com, +6281330398900 Pernah merasakan hanya memiliki uang Rp1.000,00 dan terbelit hutang karena rekanan yang tidak membayar barang jualannya, Putri kini memiliki usaha kopi bernilai miliaran rupiah.

181


Kopi Luwak Kopi Luwak sejatinya adalah seduhan kopi yang diolah dari biji kopi yang telah diperam di dalam perut luwak (Paradoxorus hermaphroditus) dan kemudian dikeluarkan bersama feses binatang ini. Biji kopi yang sudah dikonsumsi oleh hewan berbulu abu-abu kecokelatan ini diyakini memiliki rasa dan aroma yang lebih enak karena sudah melewati proses fermentasi alami. Khusus untuk jenis kopi luwak milik Putri, menggunakan biji kopi yang dikonsumsi oleh luwak jantan atau lanang. “Enzim-nya membuat rasa dan aroma lebih kuat,� jelas perempuan yang gemar berkaraoke disela-sela waktu senggangnya ini. Anak ketiga dari lima bersaudara ini lalu mengungkapkan bahwa jenis kopi luwak merek Luwak Lanang miliknya selalu habis dipesan oleh

15 Perempuan Wirausaha Sosial

pelanggan dari luar negeri seperti Malaysia, Jepang, Korea, Taiwan, Cina hingga Polandia. Sejatinya, produk kopi dari hewan luwak masih mendapat protes terutama dari komunitas atau organisasi pencinta hewan. Beberapa dokumentasi yang bisa ditemukan di internet menunjukkan buruknya kondisi penangkaran hewan sejenis musang ini. Mereka hanya diberi makan kopi, hidup di kurungan besi sehingga mudah stres dan sakit. Hal ini tidak dilakukan oleh Putri. Ia mengklaim bahwa luwak peliharaannya hidup di dalam kebun yang diberi pagar pembatas dan pengaman, tanpa kurungan khusus sehingga luwak seolah-olah hidup di habitat aslinya. “Kalau luwak stres, ndak enak kopinya Mas,� ujarnya dengan logat Surabaya yang kental. Cerita tentang kopi luwak pernah masuk ke dalam film Hollywood berjudul The Bucket List yang dimainkan oleh Morgan Freeman dan Jack Nicholson.

182

Menginspirasi Indonesia


Jalan Panjang Nan Berliku Pencapaian Putri dalam bisnis kopi begitu berliku. Sejak di bangku SMP, dia sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia bisnis. Saat itu ia berjualan sepatu atau produk fashion lainnya yang dibeli di Surabaya, lalu dijual kembali ke teman-teman di sekolahnya. Modalnya diperoleh dari celengennya sendiri. Di SMA, dia tidak segan untuk berjualan kue-kue kering dan pisang goreng. “Kadang di dalam kelas bau gorengan,” ceritanya sambil tertawa. Motivasinya berjualan saat itu adalah agar mendapatkan uang jajan tambahan. Sebagai perempuan yang sudah terbiasa untuk hidup mandiri, Putri pun sempat bekerja sebagai tenaga pemasaran sebuah produk perawatan kulit sebuah perusahaan di Surabaya. Tugasnya adalah melakukan promosi dan penjualan ke kabupaten atau kota di Jawa Timur. Kegiatan ini dilakoninya selama dua tahun, yaitu pada 2005 hingga 2006. Karena keuletannya, ia dipercaya sebagai koordinator tim.

beli di pasar Gresik. Kopi tersebut ia sangrai, giling, dan bungkus sendiri lalu disetor ke warung-warung yang ia temui sembari berjualan produk perawatan kulit tersebut. Ia mengaku “membeli” kopi tersebut dengan modal kepercayaan. “Saya bayar kalau laku,” ujarnya sembari tertawa. Ia kemudian mulai berjualan kopi merek lain, yang sudah terkenal, sembari mencoba memperkenalkan kopinya sendiri. “Waktu itu sekitar 20 persen produk sendiri, 80 persen produk orang lain,” kenangnya. Ia beranggapan, bila kopi produksinya tidak laku, minimal ada barang lain yang laku. Menjual kopi merek lain ini dilakoninya hingga tahun 2010.

Usaha berjualan kopi ini tak sepenuhnya mulus. Namun, pikiran yang positif membuatnya selalu bisa menemukan jalan keluar. Suatu ketika, di tahun 2009, ia hanya memiliki uang Rp1.000,00 dalam bentuk dua kepingan Rp500,00. Saat itu, salah seorang agen penjual kopi mengambil barang namun tidak membayar. Ia tertipu sejumlah uang bernilai sekitar “Saya keluar masuk pasar (untuk Rp700 juta. Ketika sedang beristirahat menyetor barang),” kenangnya. Dari di sekitar Jembatan Wonokromo, situ, ia melihat kebiasaan orang sembari menimbang-nimbang dua menikmati kopi di warung-warung. kepingan tersebut, lewatlah seorang “Semua warung kopi pasti ramai,” pengemis dan perasaan iba pun tambahnya. Ia lalu memutuskan muncul. Putri memberikan satu keping untuk mulai menjual kopi yang ia untuk pengemis tersebut.

183


Ia kembali mengemudikan motornya ketika dari kejauhan melihat selembar kertas melayang jatuh dari Jembatan Wonokromo. Ia lalu mengejar kertas tersebut yang diperkirakannya sebagai uang dan ternyata benar. Uang senilai Rp10.000,00 tersebut ia pergunakan untuk makan di warung tepi jalan. Di sanalah ia bertemu dengan seorang sopir yang kemudian dalam obrolan tersebut terceletuk profesi Putri sebagai penjual produk kopi. Supir tersebut lalu menghubungi mantan bosnya yang juga pemain kopi. “Dari situ saya lalu mendapat pesanan kopi bernilai sekitar Rp50.000.000,00,� kenangnya. Ia juga mengisahkan bahwa suatu hari, pada Januari 2010, ketika melewati kantor Depperindag (Departemen Perindustrian dan Perdagangan) Kota Surabaya, dengan percaya diri, ia masuk ke dalam kantor tersebut hanya dengan anggapan akan mendapat informasi atau sekedar membangun jejaring baru. Niat baik dan keberaniannya terbukti. Ia berkenalan dengan salah satu staf dinas yang menawarkan untuk mengikuti pameran-pameran pemerintah di Kota Surabaya hingga ke Jakarta. Saat itu ia sudah menggunakan merek Kopi Luwak. Namun produk yang ditawarkan adalah jenis kopi Lanang Landep, pilihan kopi yang berbiji tunggal atau tidak berbelah

15 Perempuan Wirausaha Sosial

yang biasa disebut peaberry coffee, yang dipercaya memberi khasiat khusus vitalitas pada pria. Jenis kopi yang menyasar golongan menengah ke atas. Pameran pertamanya di JCC (Jakarta Convention Center) Jakarta. Di sana ia bertemu dengan seseorang yang menyarankannya untuk menggunakan kopi khusus luwak jantan. Belakangan diketahuinya orang itu adalah rektor Universitas Andalas. Sepulangnya dari Jakarta, ia lalu berkeliling ke petani-petani untuk memperoleh informasi lebih jelas tentang kopi luwak jantan. Dari situ, ia mulai fokus kepada penyediaan kopi luwak lanang. Kini, tidak kurang 30 kali setiap tahunnya ia mengikuti pameran di Jawa sejak pameran pertamanya itu. Setiap pameran itu pula, Putri tidak pernah lupa untuk menghubungi kenalannya di kota-kota tersebut. Dengan cara tersebut, Putri selalu membangun komunikasi dengan konsumennya. Hal ini membuatkan dikenal luas di kalangan pengusaha di Jawa Timur, hingga nasional. Berbagai penghargaan pun ia raih seperti Wirausaha Muda Eksportir Produk Minuman dari Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2012 hingga Terbaik 1 UKM Pangan Awards dari Kementerian Perdagangan.

184

Menginspirasi Indonesia


Produk kopi Putri sekarang terdiri dari tiga jenis kopi yaitu Luwak Lanang, Lanang Landep dan Gajah Hitam. Untuk jenis Luwak Lanang, tersedia kemasan sachet alumunium 10 gram hingga 1000 gram dan dibanderol seharga Rp40.000,00 hingga Rp1.275.000,00. Sedangkan Lanang Landep tersedia dari kemasan 150 gram yang dipatok seharga Rp30.000,00 hingga 1000 gram dengan harga Rp160.000,00. Kedua jenis kopi ini ditujukan untuk pasar menengah ke atas. Untuk menengah ke bawah, Putri menyediakan merek Gajah Hitam yang tersedia dari kemasan 250 gram hingga 1000 gram, yang dipatok dari harga Rp18.000,00 hingga Rp50.000,00. Meskipun enggan menyebutkan omset penjualannya sekarang, Putri menyebutkan bahwa pada tahun 2012, perusahaannya berhasil mencapai target Rp1,6 miliar per tahunnya. Ia menambahkan bahwa dari semua produk yang tersedia, jenis kopi luwak lanang adalah paling diminati oleh pasar luar negeri seperti Taiwan, Korea Selatan, Cina, Malaysia, Jepang dan Polandia. Ia mengaku menghasilkan 1,6 ton kopi Luwak Lanang setiap tahunnya dari kebun seluas 4 hektar miliknya sendiri. Untuk mencukupi produksinya, ia tetap membeli puluhan ton dari petani kopi lainnya yang tersebar di Bondowoso dan Malang.

Berawal dari upaya dan semangat gigihnya merintis usaha kopi ini, kini Putri memimpin puluhan karyawan yang menjalankan perusahaannya. Meskipun sudah tidak lagi berkeliling menjajakan dan mengenalkan produk kopi dari warung ke warung, ia tetap memiliki keinginan untuk mengenalkan usaha kopi ini ke berbagai pihak, termasuk anak-anak muda. Tahun depan, ia berkeinginan untuk membuka wisata kopi di salah satu kebun yang baru akan dibuka tahun ini. Ia tetap ingin membedakan kebun produksi dan wisata untuk menjaga agar luwak-luwak di kebunnya tidak terganggu.

Dimulai dari menggiling secara manual dengan alat tradisional, kini Putri sudah memiliki alat penggiling kopi elektrik untuk cafenya.

185


Rumah Sampah Tapi Indah: Memberdayakan Penyandang Tuna Rungu dengan Limbah

15 Perempuan Wirausaha Sosial

186

Menginspirasi Indonesia


Foto-foto: Stella Yovita Arya Puter untuk Oxfam di Indonesia.

187


Profil Bisnis Nama Perusahaan:

Rumah Sampah Tapi Indah

Bidang Bisnis: Aneka produk daur ulang sampah ____________________ Jenis Produk: Boneka kain perca, tas, tempat tisu, kostum (rompi, rok, topi) dan lain-lain _______________________ Omset:

Âą Rp15.000.000,00 __________________________ Karyawan:

penyandang tuna rungu dan lansia

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Berdiri Sejak:

1995

_______

Harga:

Rp10.000,00 Rp400.000,00 ___________________ Suplai ke: hotel dan kantor __________________ Penjualan: Outlet di rumah produksi, pesanan, pameran (dalam dan luar negeri)

188

Menginspirasi Indonesia


Lokasi: Jl. SD Inpres, Pisangan Barat Cirendeu, Ciputat Tangerang Selatan, Banten

189


“Usaha ini banyak ruginya waktu itu, kami jatuh bangun, tapi kalau tidak terus berusaha ya susah, namanya juga bisnis. Selain itu, semangat anak-anak penyandang tuna rungu, teman-teman Nining, menjadi penyemangat saya saat itu. Senang melihat mereka berkesempatan memiliki keterampilan sebagai modal masa depannya.� Sunarni

15 Perempuan Wirausaha Sosial

190

Menginspirasi Indonesia


S

ejak beberapa tahun terakhir, sampah mulai dikenal sebagai peluang usaha baru. Beragam individu dan komunitas adu semangat dalam inovasi daur ulang sampah, mulai dari hanya sekadar mengisi waktu luang, sampai menjadi bisnis besar yang menghasilkan banyak keuntungan. Lain halnya dengan Sunarni, pemilik “Rumah Sampah Tapi Indah.” Ia sudah menggeluti kegiatan daur ulang sejak tahun 1995, ketika orang belum banyak melirik sampah. Dengan “Rumah Sampah Tapi Indah”, perempuan kelahiran Kota Jakarta 37 tahun yang lalu ini tidak sekadar menghasilkan uang dari sampah untuk menopang kebutuhan keluarganya, namun juga membantu membekali anak-anak berkebutuhan khusus, utamanya para penyandang tuna rungu dengan keterampilan yang berharga.

Rumah Sampah Tapi Indah itu berlokasi di gang kecil, di daerah Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan. Di tempat inilah Sunarni bersama dengan beberapa karyawannya, yang sebagian adalah anak tuna rungu untuk mengolah limbah menjadi aneka produk. Berbagai jenis produk daur ulang itu terlihat dari pintu masuk rumah ini, mulai dari boneka dari kain perca, tas berbagai ukuran yang terbuat dari anyaman kemasan pasta gigi, tempat tisu dari kemasan kopi, hingga kostum seperti rompi, rok, dan topi yang juga terbuat dari pembungkus kopi berukuran kecil. “Keterampilan ini semua awalnya saya pelajari dari Ibu saya, Kasmi. Gara-gara beliau, saya juga bisa ngajarin yang lain. Dulu rumah ini cuma ngontrak, karena produkproduk ini lah saya dan keluarga jadi bisa bangun rumah sendiri, hingga punya area menjahit di lantai dua,” ungkap perempuan yang sedang mengandung anak ketiganya ini.

Nama: Sunarni Tempat, Tanggal Lahir: 5 Juni 1978 Alamat: Pisangan Barat, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten Pendidikan terakhir: D3 Pariwisata Pekerjaan: Pendiri Rumah Sampah Tapi Indah Kontak: +62812 1811 8683

191


Rintisan Ibunda Saat Sunarni kecil hingga duduk di bangku SMA, ibunya, Kasmi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah keluarga berkewarganegaraan Belanda. Selain membantu pekerjaan rumah tangga, almarhumah sang Ibu diberi kesempatan untuk ikut kursus keterampilan, salah satunya adalah menjahit, oleh keluarga Belanda ini. Setelah keluarga Belanda tersebut kembali ke negera asalnya, Ibu Kasmi mulai menerapkan keterampilan menjahitnya untuk menghasilkan uang. Tahun 1995, Kasmi mulai membuat boneka dari kain perca. Dengan modal minim dan meminta limbah kain perca dari para penjahit sekitar rumah, Ibu tiga anak asal Wonogiri ini menjalankan usahanya secara mandiri. Teman-teman keluarga asal Belanda tempat ia bekerja dahulu sering kali datang untuk membeli boneka hasil karya Kasmi. Bahkan, seringkali mereka memesan dalam jumlah banyak.

di Departemen Kehakiman selama satu tahun (2000 – 2001) sebagai tata kearsipan. Namun, panggilan hidupnya tidak di sana. Dia keluar dari pekerjaan kantoran dan memilih membantu ibunya mengolah limbah. “Semenjak Ibu meninggal, 10 Februari 2012 lalu, di usia saya 33 tahun, saya mengambil alih sepenuhnya usaha yang telah dirintis Ibu. Alhamdulillah, dukungan penuh dari suami selalu menjadi penyemangat,” ungkapnya. Suami Sunarni, Misno, selalu memberikan dukungan kepada Sunarni. Mulai dari memotivasi, mendukung setiap kegiatan, sampai rela meninggalkan pekerjaan di suatu bank swasta untuk sepenuhnya terlibat dalam bisnis “Rumah Sampah Tapi Indah” pasca kepergian Ibu Kasmi.

Kasni telah mengajari Sunarni menjahit sejak anaknya itu masih di bangku sekolah sekitar tahun 1995. Awalnya, Sunarni mengaku senang memperhatikan sang ibunda menjahit, dan perlahan mempraktikkannya sendiri dengan bimbingan ibunya. Selepas masa kuliahnya, Sunarni sempat bekerja

15 Perempuan Wirausaha Sosial

192

Menginspirasi Indonesia


Inspirasi Sang Adik Selain almarhumah sang Bunda yang merintis kegiatan daur ulang dan menularkannya pada Sumarni, adik bungsunya, Nining (33), juga menjadi sumber inspirasi utama bagi Sunarni untuk mengembangkan “rumah sampahnya”.

teman-teman Nining, menjadi penyemangat saya saat itu. Senang melihat mereka berkesempatan memiliki keterampilan sebagai modal masa depannya,” kata Sunarni terharu. Hari demi hari, suka duka dilaluinya bersama dengan sejumlah penyandang tuna Nining sejak kecil menyandang tuna rungu yang rajin belajar mendaur rungu. “Sejak awal Ibu memulai ulang kain perca. Pada awalnya usaha, Ia ingin agar anak-anak jumlah mereka hanya tiga orang. seperti Nining mendapatkan manfaat dari usaha daur ulang ini,” Pembuatan boneka-boneka kain ungkap Sunarni. perca ini mulai berkembang saat seorang teman mengajak Sunarni Berawal dari pikiran demikian, turut serta dalam pameran di Hotel Sunarni memutuskan untuk Ritz Carlton, Jakarta, tahun 1997 mengajak para siswa-siswi Sekolah silam. Melalui bazar tersebut, Luar Biasa (SLB) di tempat Nining Sunarni memberanikan diri bersekolah, untuk belajar menjahit membawa beberapa anak didiknya di rumahnya. Ajakan Sunarni dan memamerkan hasil karya mendapat tanggapan positif dari mereka. “Tidak saya sangka, seperti Nining dan teman-temannya. jualan kacang, laku! Banyak orang Sepulang sekolah, anak-anak asing yang beli. Tidak hanya itu berkebutuhan khusus tersebut saja, para pembeli juga memberikan belajar menjahit kain perca sampai ide agar produk daur ulang ini lebih menghasilkan beberapa boneka. kreatif dan inovatif,” ceritanya. Hasil karya mereka dibeli oleh orang asing dan dipamerkan Dari situ, Sunarni kemudian pada berbagai kesempatan di memutuskan untuk memanfaatkan acara-acara kelurahan dan limbah plastik. Saat itu, daur ulang di kantor walikota. limbah plastik belum ‘seheboh’ sekarang ini, jadi peminatnya “Usaha ini banyak ruginya waktu itu, menggunung, terutama orangkami jatuh bangun, tapi kalau tidak orang asing yang tinggal di terus berusaha ya susah, namanya Indonesia, maupun turis-turis juga bisnis. Selain itu, semangat asing yang datang membeli anak-anak penyandang tuna rungu, sebagai buah tangan.

193


Berbagai strategi dilakukan Sunarni, agar anak-anak penyandang tuna rungu tetap bisa berinovasi dengan kreativitasnya. Sunarni mulai menjalin kerja sama dengan berbagai hotel dan kantor untuk mengirimkan limbah plastik ke rumahnya untuk kemudian didaur ulang menjadi tas dan tempat tisu. Tidak hanya itu saja, Sunarni juga bekerja sama dengan berbagai SLB untuk mengajak para muridnya belajar daur ulang limbah di rumahnya sepulang sekolah. SLB tingkat SMA diberikan kesempatan menjalani Pelatihan Kerja Lapangan (PKL) di rumahnya, khusus bagi para murid yang mengambil jurusan terkait kerajinan tangan. Sunarmi menjual hasil karya melalui berbagai pameran dan para pengunjung yang datang langsung ker rumah produksinya. Hasil penjualan tersebut juga dibagikan kepada para penyandang tuna rungu yang gigih menghasilkan produk.

rumah saya ada lantai dua khusus untuk anak-anak menjahit,� ungkapnya penuh semangat. Sunarni mengaku, sudah banyak sekali jumlah penyandang tuna rungu yang telah meluangkan waktunya mengasah keterampilan sejak awal hingga sekarang. Banyak yang keluar dan masuk. Untuk saat ini jumlahnya sebelas orang, termasuk adiknya, Nining yang memegang kendali keuangan “Rumah Sampah Tapi Indah�.

Pada tahun 2000, lulusan D3 Ilmu Pariwisata ini sudah mampu membangun rumah dari hasil penjualan daur ulang limbah, sehingga menjadi lebih layak untuk anak-anak melakukan kegiatan mendaur ulang limbah. “Sekarang,

Salah satu alat jahit yang digunakan oleh komunitas Rumah Sampah Tapi Indah untuk menghasilkan produk-produk yang kini makin dikenal di pameran internasional. Setidaknya ada 11 anak disabilitas yang berkegiatan di rumah Sumarni.

15 Perempuan Wirausaha Sosial

194

Menginspirasi Indonesia


Hidup dari Limbah Ternyata, nama “Rumah Sampah Tapi Indah” pada spanduk yang terpasang di depan rumah Sunarni tidak terlahir sejak awal. Tahun 2005, salah satu pelanggan asal Jerman, Lizeet, setiap bulan datang ke rumahnya untuk membeli dua ratus tas berbagai ukuran untuk disalurkan ke Australia melalui anaknya. Lizeetlah yang memberikan nama “Rumah Sampah Tapi Indah” yang kemudian digunakan Sunarni hingga kini.

“Manusia yang normal seperti kita ini kerja apa saja bisa usaha dengan sendirinya, sementara orang-orang berkebutuhan khusus seperti adik saya dan temantemannya, tanpa bantuan kita, mereka mau apa-apa, sulit. Niat saya hanya ingin beri harapan kepada mereka. Kalau nggak punya pengalaman atau keterampilan, keluarga sebagai orang-orang terdekatnya akan merasa minder, tapi sebaliknya, kalau anak“Di rumah ini saya hidup dari anak penyandang tuna rungu itu limbah. Bukan pekerja kantoran. punya keahlian atau keterampilan Semua biaya hidup juga dari limbah, membuat sesuatu, pasti Sedikit demi sedikit, lama-lama keluarganya akan bangga,” ungkap menjadi bukit. Saya berkomitmen Sunarni untuk terus menjalani apa yang sudah saya mulai. “Rumah Sampah Usahanya Sumarni makin dikenal Tapi Indah” ini akan terus saya melalui berbagai pameran, majukan, kalau bisa hingga turun terutama pameran internasional. temurun,” kata Sunarni. Tanpa lelah Sunarni menjalin kerja sama dengan pihak dan Anak-anak penyandang tuna komunitas lain untuk mendapatkan rungu diberikan kesempatan untuk hasil yang lebih maksimal. Selain belajar menjahit dan ditargetkan bekerja sama dengan hotel dan untuk dapat bekerja secara mandiri kantor agar mengirimkan limbah setelah mahir mendaur ulang plastiknya ke “Rumah Sampah limbah. Masing-masing dari mereka Tapi Indah”, Sunarni juga bekerja didorong untuk belajar sampai mahir sama dengan berbagai komunitas, dan kemudian keluar dari “Rumah seperti komunitas lansia dan para Sampah Tapi Indah” dengan tujuan pengrajin lainnya. memberikan kesempatan bagi anakanak lain.

195


Pelukis Inggris dari Jakarta International School (JIS) sebenarnya pernah datang mengungkapkan ketertarikannya membantu komunitas Sunarni. Namun, kontraknya di Indonesia sudah keburu jatuh tempo. Dia hanya sempat memberikan beberapa lukisan bertema Kota Jakarta pada Sunarni dalam bentuk soft copy. “Lukisannya saya coba cetak, dan saya padukan dengan bahan lain untuk dijahit. Ternyata produk yang satu itu sangat booming. Mungkin karena membawa tema Kota Jakarta. Jadi laku sebagai oleh-oleh, sampai lolos masuk dan laku di Bandara Internasional Soekarno-Hatta,” ungkap Sunarni.

Setelah sukses menggandeng para penyandang tuna rungu, Sunarni kemudian mengajak komunitas lanjut usia (lansia). Komunitas lansia yang memiliki aktivitas menganyam limbah dari produk kemasan, sehingga dapat dipadukan dengan kain menjadi dompet dan tas dengan beragam ukuran. Sunarni percaya bahwa kerja sama dengan pihak lain jadi kunci lain kesuksesannya.

Bisnis Plus Sosial Setelah bertahun-tahun menjalani usahanya dilandasi dengan niat baiknya memberi harapan bagi para penyandang tuna rungu, Sunarni mulai terkenal dan didatangi banyak media untuk diliput. Tidak hanya itu, tiba-tiba Sunarni mendapat kabar bahwa inovasinya mendapatkan Danamon Award untuk kategori Social Entrepreneur. Tanpa disangka-sangka, “Rumah

15 Perempuan Wirausaha Sosial

Sampah Tapi Indah” membawanya memenangkan tabungan sebesar 40 juta rupiah pada tahun 2013 lalu. “Saya menjalankan usaha ini tidak pernah muluk-muluk. Saya tidak pernah punya target. Terekspos media tidak pernah menjadi tujuan saya. Santai saja menjalaninya, yang penting konsisten dengan tujuan saya,” ungkap Sunarni dengan rendah hati.

196

Menginspirasi Indonesia


Hingga saat ini, Sunarni setidaknya telah mengantongi empat penghargaan. “Saya tidak pernah menyangka, karena memang tujuan kami bukan untuk hal-hal komersial apalagi untuk mendapat penghargaan. Pasang iklan saja tidak pernah. Saya benar-benar santai saja. Tiba-tiba dapat hadiah, ya rezeki anak-anak penyandang tuna rungu juga kalau begitu,” jelas Sunarni sambil tertawa kecil. Selain mendapatkan berbagai pengharagaan, kini Sunarni kerap diundang untuk menularkan kemampuannya di berbagai kota. Pada tahun 2010 sampai 2013, Sunarni dikontrak Sampoerna Foundation untuk pergi ke luar kota ke daerah-daerah binaan lembaga ini untuk mengajarkan cara daur ulang sampah. Para Ibu yang ‘miskin’ rutinitas menjadi target proyek ini. Selain mengasah keterampilan, hal ini diharapkan juga meningkatkan perekonomian keluarga. Sunarni rajin diundang ke daerah-daerah di Indonesia tidak hanya untuk memberikan pelatihan sebagai pengajar, tetapi juga untuk berbagi kisah sukses sebagai pembicara di berbagai kegiatan.

dan duka dilaluinya dengan sabar dan rendah hati. Walaupun kini produk buatan Sunarni dan anakanak penyandang tuna rungu telah tersebar sampai ke bandara hingga Ranch Market, Sunarni masih terus berharap agar anak-anaknya kelak dapat meneruskan usahanya dan memperbesar “Rumah Sampah Tapi Indah” menjadi toko tempat produkproduk daur ulang. Saat ini, menurut Sunarni, tidak pernah kurang dari tiga ratus produk dihasilkannya setiap bulannya. “Ya, tergantung banyaknya pesanan juga. Kalau dihitung-hitung, omset per bulannya kurang lebih Rp15 juta,” ungkap Sunarni. Sebagian keuntungan ini dialokasikan untuk membayar gaji tetap karyawan. Tak hanya gaji, karyawannya juga mendapat bonus setiap minggu, tergantung besaran omset dan juga untuk Tunjangan Hari Raya (THR).

“Oh ya, kalau kerja kantoran, saya pikir saya akan kerja tergantung orang lain, tetapi dengan bisnis seperti ini, ya tergantung saya saja, saya bisa atur sendiri waktunya. Selain lebih santai dan menguntungkan, usaha seperti ini juga berguna buat orang lain yang Konsisten, rendah hati, percaya diri, membutuhkan, sekalian menabung serta pantang mundur menjadi kunci di surga, he he he.” ungkap kesuksesan Sunarni. Berbagai suka Sunarni bangga.

197


15 Perempuan Wirausaha Sosial

198

Menginspirasi Indonesia



oxfamblogs.org/indonesia Oxfam in Indonesia @OxfamIndonesia @oxfamdiindonesia Oxfam adalah konfederasi internasional dari 20 organisasi yang berjejaring bersama di lebih dari 90 negara, sebagai bagian dari gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan dan kemiskinan.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.