Merangkai Karya Membangun Ketangguhan

Page 1


Merangkai Karya Membangun Ketangguhan Kisah Inspiratif Para Perempuan Tangguh

1


Merangkai Karya Membangun Ketangguhan Kisah Inspiratif Para Perempuan Tangguh Diterbitkan oleh Oxfam Indonesia Februari, 2014 Kata Pengantar: Erwin Simangunsong Editor: Ihwana Mustafa Ade Reno Sudiarno Cici Riesmasari Penulis: Muhary Wahyu Nurba Husain Laodet Stefanus Tupeng Ihwana Mustafa

2


Daftar Isi:

Pengantar ..........................................................................................................

4

Perempuan Welo “Tangguh, Bukan Lagi Sebuah Mimpi� ................................

6

Merawat Semangat untuk Maju Bersama ........................................................

15

Perempuan Pendobrak Dari Kaki Lembah .......................................................

18

Menggerakkan Perempuan, Memajukan Daerah .............................................

25

Potret Perempuan Tangguh yang Kreatif .........................................................

28

Mendobrak Adat Dengan Kerja Nyata ..............................................................

34

Perempuan Harus Tangguh Menakar Bencana ................................................

40

Wina, Gadis Pemalu, Penggerak Masyarakat Tegal Maja ................................

45

Mencari Jalan, Membuka Pikiran .....................................................................

48

Perempuan Tangguh Mencegah Abrasi ............................................................

51

Perempuan juga mampu terlibat dalam PRB ...................................................

58

Bersama-sama Menyelamatkan Kehidupan .....................................................

60

Memberi Diri Untuk Orang Lain .......................................................................

64

Perempuan Harus Menyuarakan Kepentingan Perempuan ............................

70

Pembuat Lubang Sampah Kolektif ....................................................................

72

Bersama Menempa Diri Agar Lebih Mandiri ....................................................

77

3


PENGANTAR

P

erempuan Tangguh adalah suatu inisiatif untuk memberdayakan perempuan dalam kerja-kerja pengurangan resiko bencana. Inisiatif ini dilakukan di tiga kabupaten yaitu Flores Timur, Lombok Timur, Lombok Utara dan satu kota yaitu kota Bima. Walaupun inisitif ini berlangsung dalam waktu relatif singkat namun banyak aksi dan perubahan yang telah terjadi. Dalam buku ini akan disajikan cerita-cerita yang menunjukkan bahwa perempuan mampu berperan dalam kerja-kerja pengurangan resiko bencana di tempat dimana mereka tinggal dan bahkan pada tingkat yang lebih tinggi seperti mempengaruhi para pengambil keputusan. Kisah Kelompok Perempuan Tangguh di Desa PainapangKabupaten Flores Timur yang sepakat untuk menanggulangi bencana banjir dengan melakukan aksi penanaman bambu di sekitar pinggiran Kali Lumbele untuk mencegah abrasi mengawali kisah yang ada di buku ini. Selain itu ada juga kelompok Perempuan Tangguh juga telah melakukan advokasi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat ke pemerintahan kota Bima yang akhirnya mendapat bantuan dari Perdagangan (Disperindag) yang membuat tenunan pengrajin Busu kini telah mampu menembus pasar di luar Bima. Ketika gempa berkekuatan 5,4 Skala Richter mengguncang sebagian besar wilayah kabupaten Lombok Utara pada tanggal 22 Juni 2013 lalu, ibu Atun sebagai koordinator Perempuan Tangguh, terlibat dalam pendataan terhadap fasilitas yang rusak dan juga korban jiwa. Dan mendirikan posko dan tenda di lokasi yang terpapar gempa.

4


Cerita-cerita di atas adalah sebahagian kecil dari apa kelompok perempuan dapat lakukan. Cerita-cerita ini diharapkan memberikan inspirasi bagi pembaca buku ini sehingga dapat terlibat dalam usaha-usaha pemberdayaan perempuan dimana para pembaca buku berada. Keberadaan buku ini tentu tidak lepas dari kerja keras tim proyek BDR Eastern Indonesia, tim support teknis di Jakarta, mitra kerja Oxfam KOSLATA, KONSEPSI, LP2DER dan YPPS. Inisiatif ini terselenggara atas dukungan Royal Bank Scotland yang mempunyai kepedualian atas pemberdayaan kaum perempuan untuk terlibat dalam karya-karya social di masyarakatnya. Erwin Simangunsong Area programme Manager Oxfam in Eastern Indonesia

5


Perempuan Welo: “Tangguh, Bukan Lagi Sebuah Mimpi”

6


Welo adalah salah satu dusun di Desa Painapang, Kecamatan Lewolema, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sekitar dua jam perjalanan bersepeda motor dari Welo. Dalam bahasa Lamaholot, bahasa dari kelompok suku yang mendiami Pulau Flores bagian Timur dan Lembata, Welo adalah lubang di pinggir laut atau pinggir pantai dengan pusaran yang selalu memunculkan air yang tidak pernah akan habis. Ada ungkapan yang berbunyi, “welo bego wai mata� yang berarti air yang muncul di pinggir pantai yang tidak pernah habis.

D

usun yang subur ini bisa ditempuh selama 45 menit dari Kota Larantuka dengan motor ojek dengan tarif Rp 50 ribu. Kendaraan umum yang melewati wilayah ini jasuh lebih lambat karena kondisi jalan yang sangat buruk, banyak lubang menganga yang membentuk kolam kotor saat musim hujan. Bus atau truk kayu yang mengangkut penumpang dan barang menempuh perjalanan selama satu jam dengan tarif Rp 20 ribu. Langit senja Dusun Welo pada Senin (13/1) tampak pekat. Hujan seakan siap ditumpahkan saat mengunjungi Dusun ini. Warga kembali dari ladang dengan bawaan di kepala dan bahu. Sebagian warga kembali dari kuburan. Seorang tokoh adat dusun ini, Theodorus Tana Ruron (85) baru saja dimakamkan. Duka masih menggantung di hati. Tapi bebera-

pa perempuan tangguh dan staf YPPS mengitari Kali Lumbele yang dalam bahasa setempat berarti kali yang besar. Deretan dua ribuan anakan bambu yang ditanam Kelompok Perempuan Tangguh pada 28 Desember 2013 lalu mulai bertunas berwarna kehijauan. Anakan bambu itu tumbuh dengan subur di pinggir Kali Lumbele. Akar-akar pohon bergelantungan di bibir kali yang tidak pernah kering ini. Dinding kali yang dibentuk terjangan banjir bandang itu ibarat pisau yang mengikis hamparan daratan sekaligus memperluas kali tersebut. Kikisan dinding itu akan semakin mempersempit hamparan daratan. Ribuan mete dan kelapa milik warga terancam hilang. Di tengah fakta miris yang menggelisahkan warga ini, ada harapan yang

7


bersemi di antara tunas-tunas bambu yang masih belia ini. Harapan itu menyeruak dari kesadaran kelompok Perempuan Tangguh Welo yang difasilitasi oleh YPPS dan Oxfam. Optimisme itu tumbuh dari perbincangan kritis ala kampung yang dibangun para pendamping untuk menggali kesadaran kaum perempuan setempat untuk berpartisipasi dalam jejaring pemberdayaan perempuan Dusun Welo untuk kehidupan yang lebih baik. Perempuan Tangguh adalah kumpulan perempuan Dusun Welo yang peduli dengan bencana banjir bandang. Kelompok ini merupakan leburan dari beberapa kelompok kecil yang terkait dengan usaha pengembangan ekonomi seperti kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) dan kelompok “Mama Sayang� yang merupakan himpunan perempuan-perempuan yang mengambil peran sebagai kepala keluarga karena suami merantau. Kelompok perempuan ini menyebut dirinya “janda sementara� yang didampingi oleh Delegatus Sosial (Delsos) Gereja Keuskupan Larantuka. Kelompok Perempuan Tangguh ini pun disatukan dengan

kelompok kerja (Pokja) yang diasuh oleh Tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) Dusun Welo. Awalnya, kelompok ini lebih berorientasi ekonomi. Usaha simpan pinjam misalnya, membantu perempuan-perempuan ini mengatasi kesulitan ekonomi meski wawasan dan kreativitas masih terbatas dalam mengembangkan ekonomi. Pokja ini membentuk badan pengurus yang terdiri dari Marde Werang sebagai ketua, Theresia Teniban Ruron sebagai bendahara dan Agnes Bulu Tukan sebagai pengawas Pokja. Tahun 2012 Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Larantuka masuk dan mendampingi Kelompok Perempuan Tangguh ini dengan program pengurangan risiko bencana. Pertemuan rutin digelar bersama pendamping dari YPPS. Dalam pelaksanaan program ini, warga Welo membentuk Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) yang melibatkan Kelompok Perempuan Tangguh sebagai penggerak bagi warga Welo. Kelompok perempuan ini menginspirasi perempuan lain yang belum terlibat dan kaum lelaki untuk berpartisipasi dalam gerak pembangunan di dusun ini. Diskusi bertukar

8


pikiran berlangsung dalam berbagai kegiatan kelompok ini seperti “Sabtu Bersih” yaitu program Pokja untuk membersihkan tempat-tempat umum desa pada setiap hari Sabtu seperti jalan desa, balai desa, gereja, sekolah dan pembersihan kali. Diskusi yang digagas YPPS bersama Kelompok Perempuan Tangguh ini bermuara pada fakta bencana banjir bandang yang selalu melanda warga desa ini setiap kali musim hujan. Kelompok perempuan ini akhirnya sepakat untuk menanggulangi bencana banjir dengan melakukan aksi penanaman bambu di sekitar pinggiran Kali Lumbele untuk mencegah abrasi. Aksi ini dibantu oleh kaum lelaki. Mereka memotong bambu, membentuk stek bambu, mencangkul lahan persemaian dan membentuk bedeng, menyemaikan stek bambu, menyiram dan merawat bakal bambu tersebut selama dua bulan. Jumlah stek bambu yang disemaikan kurang lebih 3 ribuan. Setelah tunas-tunas menyembul dari stek bambu di bedeng persemaian, Kelompok Perempuan Tangguh melakukan aksi penanaman pada 28 Desember 2013 dengan menanam kurang lebih seribu

“Aksi penanaman bambu ini membuktikan bahwa kaum perempuan di dusun ini bisa berbuat sesuatu untuk kepentingan seluruh warga. Kami menanam bambu sepanjang seratus meter di pinggir kali untuk mencegah pengikisan tanah di bibir kali.” (Agnes Bulu Tukan) anakan bambu di sepanjang pinggir kirikanan Kali Lumbele. “Aksi penanaman bambu ini membuktikan bahwa kaum perempuan di dusun ini bisa berbuat sesuatu untuk kepentingan seluruh warga. Kami menanam bambu sepanjang seratus meter di pinggir kali untuk mencegah pengikisan tanah di bibir kali. Kami memilih bambu karena akarnya bisa mengikat dan menahan tanah akibat pengikisan banjir bandang. Kami berusaha agar kegiatan ini melibatkan semua perempuan di desa ini,” kata Agnes Bulu Tukan, guru honorer di SDI Welo yang berperan sebagai motivator perempuan di Welo.

9


dalam Kelompok Perempuan Tangguh ini. Saya mengalami kebersamaan yang luar biasa dalam kelompok ini. Saya bisa mendapatkan pengetahuan baru dalam pembicaraan bersama. Pola pikir saya semakin berkembang dan saya mendapatkan wawasan baru dalam mengembangkan hidup ekonomi saya, bersiap menghadapi banjir Saya bisa mendapatkan jalan keluar dari masalahmasalah yang saya hadapi dalam hidup berkeluarga,” ujarnya. Keberadaan Perempuan Tangguh semakin kuat memberikan inspirasi bagi ibu-ibu di Dusun Wello untuk berperan bersama. Kegiatan mereka menyatu dengan kegiatan-kegiatan yang ada di Dusun dan dilakukan secara mandiri. Mahilede Keheket Tukan adalah Ketua Tim Penggerak PKK Dusun Welo, menuturkan “saya bangga dengan keberadaan Kelompok Perempuan Tangguh sebagai pemberi motivasi bagi kaum perempuan yang menggerakkan kaum perempuan berperan aktif dalam pembangunan di dusun ini. Pokja Dusun Welo memiliki program Sabtu Bersih yang digabungkan dengan kegiatan kelompok Perempuan Tangguh. Kami member-

“Dulu, saya dan kaum perempuan di dusun ini hanya duduk saja di dalam rumah dan tunggu hasil undian lotre untuk memastikan giliran mendapatkan uang dalam kelompok Mama Sayang ini...” (Theresia Bota Buan)

Theresia Bota Buan (63) adalah anggota Kelompok PerempuanTangguh. Suaminya telah lama merantau. Ia adalah salah satu dari “janda sementara” yang memikul tanggung jawab sekaligus sebagai ibu dan bapak dalam keluarganya. Awalnya, ia masuk dalam kelompok “Mama Sayang” yang digagas oleh Delsos Keuskupan Larantuka yang bergerak dalam usaha simpan pinjam. Kelompok ini tetap eksis hingga saat ini. “Dulu, saya dan kaum perempuan di dusun ini hanya duduk saja di dalam rumah dan tunggu hasil undian lotre untuk memastikan giliran mendapatkan uang dalam kelompok Mama Sayang ini. Ibu Agnes mengajak saya untuk bergabung

10


ga. Kami menanam bambu di pinggir Kali Lumbele karena banjir bandang itu mengikis tanah dan merusak kehidupan warga di sini,� ungkapnya. Adalah mama Agnes Bulu Tukan, seorang Guru honorer SDI Welo. Dialah yang dipercayakan sebagai koordinator Perempuan Tangguh Dusun Welo. Ia adalah perempuan yang sudah memberikan inspirasi dan mendorong kaum perempuan di Dusunnya untuk bergerak bersama dalam mengambil peran aktfi untuk upaya PRB. Ia pernah mengikuti lokakarya yang dilaksanakan oleh Oxfam di Denpasar-Bali dan diakuinya sebagai awal baginya untuk mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana perempuan dapat berperan aktif dan menjadi penggerak di tengah masyarakat. Menurutnya, perempuan di Welo awalnya tergabung dalam Pokja yang terbatas pada usaha simpan pinjam. Rata-rata pendidikan kaum perempuan adalah sekolah dasar. Pengetahuan dan wawasan sangat terbatas. Perasaan minder, tertutup dan tidak percaya diri sangat mendominasi kaum perempuan. Tapi pendampingan dari YPPS mengubah perempuan di dusun ini. Perubahan itu tampak secara

Mama Agnes Bulu Tukan

sihkan tempat-tempat umum di dusun ini. Kaum perempuan menggalang kekuatan bersama untuk lebih peduli dengan keadaan di dusun kami ini. Wawasan kami kaum perempuan semakin terbuka luas khususnya dalam mengelola keluar-

11


nyata dalam keterlibatan dan partisipasi dalam proses pembangunan, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat dan gereja. “Kehadiran YPPS sangat membantu perkembangan taraf pikiran dan hidup warga di sini. Dulu, hanya ada simpan pinjam. Sekarang, perempuan bisa membentuk kelompok pilih mete yang seharinya dibayar Rp 30 ribu per anggota kelompok. Uang itu menjadi milik kelompok dan berputar di dalam kelompok tersebut. Hal ini sangat membantu meringankan kesulitan ekonomi di dalam keluarga. Ada saling berbagi gagasan baru di dalam kelompk perempuan ini. YPPS bersama perempuan tangguh menggagas dan membentuk Tim Siaga Bencana Desa yang diikuti dengan pelatihan-pelaihan, baik di Larantuka maupun di Bali yang memperluas wawasan kami khususnya dalam pengurangan risiko bencana. Kami mendapat inspirasi untuk tidak melihat bencana banjir bandang semata sebagai bencana yang merusak hidup tapi dapat dikurangi dampaknya melalui aksi penanaman bambu. Bencana sesungguhnya bisa dicegah sejak dini,� kata Agnes.

Menurutnya lagi, YPPS tidak hanya bergerak dalam upaya pengurangan risiko bencana saja tetapi juga menginspirasi dan membuka ruang bagi perempuan untuk berlatih menyampaikan pikiran dan pendapat, betapa pun kecil dan sederhana. Ada upaya membuka diri terhadap pengetahuan baru yang memperkaya wawasan kaum perempuan. Pendampingan ini berperan dalam melatih semangat menjadi pemimpin dalam diri perempuan untuk mempromosikan kegiatan-kegiatan di masyarakat umum demi mempengaruhi orang lain. “Kaum perempuan mendapatkan banyak pengetahuan baru yang membantu perkembangan diri dan pikiran kaum perempuan di sini. Masing-masing kamu juga saling berbagi pengetahuan satu sama lain. Aksi penanaman bambu di pinggir kali desa ini merupakan sosialisasi diri dan potensi kaum perempuan di dusun ini. Kaum perempuan dusun ini membuktikan diri bisa melakukan sesuatu yang berdampak luas bagi seluruh dusun ini. Kami bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi semua warga di sini. Di dalam prosesnya, ada kerja sama, keterbukaan satu sama lain,

12


saling memberi dan menerima pendapat orang lain. Kami juga membuktikan bahwa kerja tidak hanya melulu karena uang tapi sebagai ekspresi potensi yaitu partisipasi dalam pikiran dan tindakan konkret bagi seluruh warga,” tambahnya lagi. Hendrik Hoga Hekin (53) adalah Kepala Dusun Welo yang telah mengabdi selama 15 tahun. Ia bersaksi tentang kisah sukses pendampingan YPPS yang tidak hanya menyentuh kaum perempuan tapi seluruh Warga Welo. Sebelumnya, orang Welo kurang memiliki pengetahuan khususnya dalam pengurangan risiko bencana. Tapi sejak tahun 2012, YPPS membuka wawasan penduduk untuk mencegah bahaya banjir bandang melalui aksi konkret penanaman bambu yang ramah lingkungan. Aksi ini murni swadaya kaum perempuan yang dibantu kaum lelaki. Semua bahan berasal dari Welo. “Kami merasakan dampak kehadiran dan penampingan YPPS. Seluruh warga disadarkan akan bahaya banjir yang bisa dicegah dengan aksi pengurangan risiko. Semua sumber daya datang dari dusun ini. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan lokal bila

digerakkan oleh pengetahuan baru akan membantu memberdayakan warga di sini khususnya kaum perempuan. Warga terdorong untuk mengurangi risiko bencana melalui aksi menjaga dan merawat lingkungan hidup. Ada pengetahuan praktis menyelamatkan barang berharga ketika banjir bandang. Kami punya “Tas Siaga Bencana” untuk menyimpan barang-barang berharga seperti sertifikat, KTP, ijazah, buku bank dan sebagainya. Kami juga melakukan penghijauan hutan di Bukit Barahia yang menjadi sumber bencana banjir bandang bagi dusun ini. Kami tinggal menunggu hujan untuk melakukan reboisasi ini di Bukit Barahia dan mata air Wai Taha,” kata Hendrik.Saat ini rencana ini telah berhasil dilakukan dengan melibatkan masyarakat, perempuan tangguh dan TNI dari Kodim Larantuka. Program pendampingan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) bersama Oxfam di Dusun Welo dalam upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) akan berakhir pada Maret 2014 dan Penguatan Kepemimpinan Perempuan dalam PRB pada Februari 2014. Berbagai kegiatan dan aksi nyata

13


telah tercatat dalam gerak pembangunan dan pemberdayaan kaum perempuan. Warga Welo telah mengalami dampak baik selama pendampingan ini, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga dan sosial. YPPS telah membuka ruang partisipasi warga khususnya kaum perempuan dalam ranah pikiran dan aksi nyata. Kelesuan dan apatisme warga perlahan terkikis. Kali Lumbele telah ditumbuhi tunas-tunas stek bambu muda. Banjir bandang diantisipasi oleh Kelompok Perempuan Tangguh Dusun Welo dengan penghijauan. Pengetahuan siaga bencana telah menjadi bekal dalam menghadapi bencana banjir bandang. Bagaimana kelanjutan program ini pasca berakhirnya program pendampingan ini? Agnes Bulu Tukan mengatakan, program ini telah menyatu dalam keseharian orang Welo. YPPS telah menguatkan kapasitas dan mencerahkan kesadaran warga khususnya kaum perempuan agar menjadi tangguh dalam menghadapi gempuran bencana alam. “Kami telah membuktikan bahwa kaum perempuan memiliki kekuatan untuk membangun desa kami sendiri. Perempuan Welo memiliki kebenaran baru yaitu bicarakan apa yang dirasakan. Tangguh

bukanlah lagi mimpi, perempuan bisa dalam segala hal, baik di rumah maupun di tempat umum,” ujarnya lagi. Rencana tindak lanjut adalah kembali melakukan reboisasi Bukit Barahia yang selama ini menjadi sumber longsor dan memproduksi material banjir bandang yang menggenangi Dusun Welo. Aksi perawatan lingkungan ini akan dilaksanakan selama tahun 2014 saat musim hujan tiba. Selain itu kaum perempuan bersama pemerintah Dusun Welo telah merancang aksi penanaman bakau untuk mencegah ancaman abrasi yang terus saja mengikis daratan dan mempersempit bibir pantai Welo. Anggota Kelompok Perempuan Tangguh Dusun Welo, Lusia Bunga yang akrab disapa Mama Ayang menyatakan tekad kaum perempuan dan warga Dusun Welo untuk terus melanjutkan program pendampingan ini meskipun YPPS dan Oxfam akan berhenti memfasilitasi mereka. Tragedi banjir bandang telah membuahkan kesadaran untuk selalu siaga menghadapi ancaman bencana alam. “Biar kami tidak banyak omong, tapi Kelompok Perempuan Tangguh tetap jalan. Kami sudah punya aksi nyata,” tegasnya.

14


Mer awa t Semanga t untuk Mera wat Semangat Ma ju Ber sama Maju Bers Hidup terpisah dengan suami adalah hal terberat bagi Nuriyati (33). Ia harus melanjutkan hidup bersama anaknya yang masih berumur 6 tahun sembari memenuhi kebutuhan keluarga. Namun sejak aktif menjadi kader pembangunan masyarakat desa, kesehariannya sedkit terobati dengan berkegiatan dan bertemu banyak orang.

A

walnya tahun 2011 Nuriyati diminta oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kelompok Studi Lingkungan dan Pariwisata (KOSLATA) untuk mengikuti pelatihan pengurangan risiko bencana sebagai anggota Tim Siaga Bencana Desa (TSBD). Saat itu, ia tidak terlalu bersemangat. “Saya selalu bilang pada diri saya, untuk apa belajar siap siaga bencana?� ucap Nuri, panggilannya. “Tapi setelah mengikuti tahapan materinya, saya sadar bahwa itu adalah jalan kemuliaan karena kita bisa menyelamatkan diri dan juga menyelamatkan orang.� Setelah mengikuti pelatihan itu ia semakin tertarik menambah wawasannya

tentang kesiapsiagaan bencana. Keinginannya untuk meningkatkan kapasitasnya itu diganjar oleh KOSLATA untuk menghadiri berbagai pelatihan lanjutan. Ia begitu bersemangat melahap materimateri berupa kesiapsiagaan, peringatan dini, mengenali tanda-tanda datangnya bencana, dan bagaimana mengurangi risiko bencana. Selama menjadi anggota TSBD, Nuri senang karena banyak sekali mendapatkan pelatihan. Nuri pun semakin termotivasi untuk memberikan pengarahan kepada masyarakat. Bersama Perempuan Tangguh, Nuri melakukan sosialisasi dengan memutar film dokumenter di Pasar

15


Nuriati, Ketua Forum PRB Desa Rempek dalam kegiatan diskusi Perempuan Tangguh

kita gotong royong, dibarengi pemberian door price, kemudian kita bagikan kupon,” tuturnya gembira, “Nah kupon itu kalau tidak salah habis sekitar 250 lembar. Itu untuk kegiatan gotong royongnya saja, belum lagi untuk pemutaran filmnya. Saat pemutaran film awalnya kita mau pake daftar hadir, tetapi kami kewalahan karena sudah malam. Akhirnya kami hitung dengan kuponnya saja.” Dalam kegiatan sosialisasi itu, semua instansi pemerintah datang. Ada dari Badan Pelayanan Pendapatan Daerah (BPPD), kepala desa, Dinas Kesehatan, dan Kementerian Lingku-

Pancor Getah dan di Pantai Lempenge, Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Selain itu, ajakan untuk berperilaku hidup sehat dan bersih itu juga dilaksanakan oleh Perempuan Tangguh dengan menggandeng Dinas Kesehatan dengan menyediakan nara sumber untuk memberikan penyuluhan. “Alat-alat kemarin termasuk sewa proyektor ada karena dukungan dana dari Oxfam sebesar Rp. 5.500.000,-. Selain menonton, masyarakat juga mendapatkan “tas siaga” 1 bencana secara gratis. Tas siaga ini untuk menyimpan dokumen-dokumen penting. Kemarin

16


ngan Hidup (KLH) serta petugas kepolisian. Hadiahnya berupa jilbab, bola kaki, senter, rice cooker, dan pakaian. Nuri mengaku banyak sekali hal baru yang ia temukan. “Selain meningkatnya ilmu, banyak hal-hal baru yang saya dapatkan, baik itu pengalaman berorganisasi, juga pengetahuan tentang bencana yang awalnya cuma mengetahui secara sekilas.” Dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai daerah rawan bencana, menurut Nuri, tidak pernah mudah. Masyarakat selalu curiga dan enggan mengikuti arahan yang diberikan. “Pokoknya sulit untuk menyuruh merekah pindah,” ujarnya. Masyarakat merasa sudah nyaman tinggal di situ meski sebenarnya daerahnya adalah daerah rawan banjir. Jika air laut pasang, seringkali melimpah dan masuk ke perkampungan seperti di Pantai Lempenge. “Beruntunglah, setelah beberapa kali pertemuan dan diberi pengertian, alhamdulillah mereka mulai mengerti. Keluarga Pak Sauna adalah satu salah satu contoh keluarga yang akhirnya berhasil diyakinkan agar meninggalkan tempatnya tinggal ke tempat yang bebas banjir. Kepindahan keluarga Bapak Sauna akhirnya diikuti

oleh warga Dusun Lempenge lainnya, mereka pindah,” tambah Nuri lega. Nuri yang sudah hampir satu tahun setengah menjadi relawan ini, sekarang jauh lebih santai dalam lebih nyaman melaksanakan sosialisasi. Ia lebih suka pendekatan dengan berkomunikasi dalam bahasa setempat, yaitu bahasa Sasak. Dengan menggunakan bahasa lokal, masyarakat seringkali tergerak untuk beraktivitas secara sukarela. Saat ini Nuri sedang memikirkan penyelesaian Rencana Aksi Masyarakat (RAM) dan program perempuan Tangguh yang terintegrasi di dalamnya yakni sosialisasi PRB ke setiap dusun. Warga yang disasar adalah perempuan dan anakanak kecil. Namun demikian, Nuri dan kawan-kawan telah memancang komitmen dalam diri mereka. “Kami sudah sepakat untuk terus bersama sebagai Perempuan Tangguh dalam setiap kegiatan di desa. Ini harus tetap menyala dalam dada kami. Bahkan bila program ini selesai, kami akan tetap merawat semangat kami.” 1) Tas Siaga adalah tas untuk menyimpan dokumendokumen penting sehingga ketika terjadi bencana tinggal direnggut sembari menyelamatkan diri.

17


Perempu an Pend obr ak D ari Perempuan Pendobr obrak Dari Kaki Lembah

Astuti, Koordinator perempuan tangguh di Kelurahan Ntobo, Kota Bima mendorong masyarakat laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam salah satu implementasi rencana aksi masyarakat.

18


Budaya patriarki di kehidupan masyarakat Bima pada umumnya memang masih kental, dalam segala hal menyangkut hajat hidup selalu menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Namun perempuan sendiri tak pernah risau dengan posisi mereka berada di mana. Sikap itulah yang justru menjadikan perempuan termotivasi untuk bisa lebih tangguh, mengambil peran yang tak kalah penting dengan tugas kaum laki-laki.

M

an paling timur Kota Bima. Lingkungan pemukiman yang berada di tengah lembah ini memiliki karakter khas. Kelurahan Ntobo terletak di Kecamatan Raba Kota Bima dengan topografi berbukit, wilayah ini 80% merupakan wilayah dataran tinggi dan 20% dataran rendah serta berbatasan dengan wilayah lain yakni sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Jatibaru Kecamatan Asakota, Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kumbe Kecamatan Raba, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Rite Kecamatan Raba dan Sebelah timur berbatasan dengan hutan tutupan Maria Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Cerita mengenai perempuan tangguh di Kelurahan Ntobo bukanlah sesuatu yang baru. Dalam sejarah budaya masyarakat Bima, perempuan umumnya me-

emasuki wilayah kelurahan Ntobo yang berbatasan langsung dengan wilayah hutan produksi, yakni kawasan yang telah memberi kehidupan dari generasi ke generasi baik masyarakat pinggir hutan sekitar kelurahan Ntobo maupun masyarakat yang berada di kelurahan lain yang menjadikan sebagai lahan tegalan mereka. Dahulu mata air yang ada di Kelurahan Ntobo sangat berkecukupan, ada tujuh titik yang dimanfaatkan untuk pengairan lahan persawahan dan sebagai sumber air bersih. Akan tetapi potret sumber air yang berlimpah itu pun mulai menipis dengan maraknya aksi illegal loging. Pohon-pohon lebat di wilayah hutan tidak lagi berfungsi baik sebagai benteng yang meminamalisir adanya banjir bandang. Secara geografis, letak Lingkungan Busu kelurahan Ntobo berada di bahagi-

19


miliki peran ganda dalam kehidupan sosialnya. Selain berada pada posisi kelas dua, perempuan hanya diberi peran di dapur untuk melayani dan mengurus suami serta anak-anak. Namun sejalan dengan perkembangan jaman, banyak perempuan kini menjadi sejajar dengan kaum laki-laki. Meningkatnya pola pikir masyarakat, adanya kemudahan akses fasilitas dan pendidikan yang sudah semakin memadai, menjadi beberapa faktor pendorong kesetaraan tersebut. Di lingkungan Busu, Kelurahan Ntobo, kesejajaran posisi perempuan mulai berubah dengan ditandai oleh berbagai keberhasilan dan kesuksesan mereka di berbagai bidang. Kelurahan yang berada di ujung timur kota Bima itu kini perlahan beranjak dari ketertinggalan. Gairah kemandirian warga yang digerakkan oleh kaum perempuan telah memberi warna tersendiri sehingga dapat mengubah cara pandang terhadap kaum perempuan itu sendiri dari cap perempuan adalah warga kelas dua. Perubahan ini dapat terlihat dari adanya kemudahan mereka mengakses informasi dan teknologi, yang akhirnya memberi peluang bagi kaum

perempuan untuk mengambil bagian dalam pengembangan diri. Kaum perempuan di kelurahan Ntobo dari segi tingkat pendidikan tidak kalah dengan kaum kaum laki-laki. Masyarakat Bima atau Dou Mbojo juga mengenal istilah Weha Rima dalam budaya mereka, yang aritnya saling membantu untuk menyelesaikan pekerjaan secara bergantian bersama-sama, contohnya pada saat musim tanam atau musim panen. Para perempuan Bima menghayati istilah ini dalam kehidupan sehari-hari mereka sehingga mengakar kuat dalam kepribadian mereka. Astuti, perempuan berusia 27 tahun, adalah sosok perempuan tangguh yang telah menjadi pemantik bagi perempuan lain di lingkungannya. Ia mampu menggerakkan masyarakat bukan hanya dalam kegiatan gotong royong, tetapi juga dalam kegiatan sosial lainnya. Jauh sebelum program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang dilaksanakan oleh LP2DER (Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat) bersama Oxfam, ibu yang memiliki satu anak ini telah banyak memberi sumbangsih tenaga dan pikiran

20


Kaum perempuan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan terkait PRB di masyarakat

bagi perempuan di lingkungan Busu. Astuti berperan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, baik gotong royong sampai urusan dapur ketika “Mbolo Rasa� (rapat warga) dan lain sebagainya. Bahkan sebelum terlibat dalam program ini, Astuti punya mimpi untuk membangun Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bagi anak-anak di lingkungannya. “Saya terinspirasi kerena melihat banyak balita tidak memiliki tempat bermain yang layak. Saya berharap mereka bisa mendapatkan hak

pendidikan yang sama dengan anakanak lain yang ada di kota ini,� kata Astuti sembari menebar senyum. Setelah Astuti melakukan pendataan anak usia dini dan membangun komunikasi secara intens dengan pemerintah di lingkungannya seperti Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) hingga ke Lurah Ntobo. Ia juga mengumpulkan warga untuk membicarakan mimpi besarnya. Gayung bersambut, warga secara gamblang menyatakan kesepakatannya. Namun tidak semudah seperti

21


Tidak berhenti di situ saja, Kelurahan Ntobo membentuk Kelompok Perempuan Tangguh pada awal tahun 2013 . Beberapa perempuan yang memiliki potensi sebagai pemimpin di kelurahan ini ikut bergabung, termasuk Astuti. Para perempuan tangguh ini merupakan aktor penting yang merupakan anggota Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK). Sejak Program PRB hadir di Kelurahan Ntobo pada bulan September 2012 lalu, kiprah perempuan mulai nampak dan menunjukkan eksistensinya di tengah kehidupan sosial. Oxfam lewat mitranya, LP2DER di Bima pun telah melakukan berbagai kegiatan antara lain pendampingan, memfasilitasi warga, baik penguatan kapasitas maupun pelatihan-pelatihan terkait penguatan kader TSBK khususnya kapasitas perempuan tangguh. Di samping mendapatkan penguatan kapasitas terkait program TSBK, para perempuan tangguh ini juga dibekali berbagai metode dasar melakukan advokasi dan negoisasi dengan berbagai pihak sampai ke tingkat pemerintah. Pelatihan-pelatihan keterampilan lainnya diadakan untuk memaksimalkan potensi sumber daya alam untuk dapat

“Saya melihat banyak anak-anak balita tidak memiliki tempat bermain yang layak. Saya berharap mereka anak usia dini di lingkungan Busu bisa mendapatkan hak pendidikan yang sama denga anak-anak lain yang ada di kota ini� (Astuti) diangankan, membangun PAUD tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Berbagai cara dilakukan oleh Astuti untuk memecahkan kebuntuan itu. Salah satunya adalah melakukan diskusi dengan beberapa sumber yang sebelumnya telah memiliki pengalaman dalam membangun PAUD. Di sanalah ia menemukan jalan, dan dikenalkan dengan bebeberapa koneksi yang ada di pemerintahan. Dan pada akhirnya, Astuti dapat melakukan dialog langsung dengan Walikota Bima saat kunjungan kerjanya di Kelurahan Ntobo. Ia bersyukur karena berhasil mendapatkan bantuan dana sebesar Rp 10 juta.

22


dikelola dan dimanfaatkan dengan maksimal, dimana diharapkan dapat berguna bagi masyarakat. Misalnya pelatihan pembuatan pupuk organik dilakukan karena bahan baku sampah organik bisa didapatkan dari kelompok petani ternak sapi di lingkungan Busu. “Pendanaan pelatihan pembuatan pupuk organik itu didukung oleh pemerintah,� ujar Aan Suryani, salah seorang perempuan tangguh. Setelah pembuatan pupuk organik, kelompok Perempuan Tangguh segera membuka jaringan dengan instansi-instansi pemerintah terkait. Antara lain melakukan negoisasi dengan dinas pertanian agar pupuk organik yang dihasilkan itu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Harapannya masyarakat bisa terbantu ketika kekurangan pupuk saat musim tanam. Meskipun begitu, ada kendala yang harus mereka hadapi. Produksi pupuk dalam bentuk cair dan padat tersebut tergantung dari bahan baku dasarnya, yaitu kotoran sapi. Sementara, sampai saat ini mereka hanya mendapatkan bahan baku ini dari satu kelompok ternak saja. “Jika persediaan kotoran sapi lebih banyak, maka produksi pupuk pun akan banyak,� Aan

Hal lain yang sangat berharga bagi perempuan tangguh adalah berkesempatan membagi pengetahuan tentang hak-hak perempuan. Memberikan dukungan kepada perempuan lain agar bisa melakukan apapun, bermimpi untuk mewujudkan kehidupan mereka yang lebih baik.

berandai-andai. Dia juga menambahkan bahwa jika kekurangan pupuk bisa diatasi dan dengan harga pupuk yang terjangkau, maka akan dapat membantu para petani untuk meningkatkan produksi pertanian mereka dengan biaya produksi yang lebih rendah. Keberadaan perempuan tangguh memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Busu. Banyak hal yang membuat bangga sekaligus bisa menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya untuk samasama melakukan sesuatu yang bermakna. “Kami merasa berguna ketika bisa berbuat sesuatu, misalnya melakukan sosialisasi risiko bencana khususnya

23


kepada ibu-ibu, remaja masjid, siswa dan warga pada umumnya,� tambahnya lagi. Biasanya dari setiap kesempatanan pertemuan TSBK dalam kegiatan sosialisasi PRB, perempuan tangguh dapat memanfaatkan waktu untuk menyampaikan agenda-agenda lain kepada warga. Misalnya sosialisasi Program Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dari Dinas Kesehatan (Dinkes). Adanya kegiatan seperti itu juga karena Perempuan Tangguh Kelurahan Ntobo telah dipilih menjadi mitra oleh Dinkes Kota Bima. Selain itu kelompok Perempuan Tangguh juga telah melakukan advokasi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat ke pemerintahan kota Bima, antara lain berupaya mengadakan mesin penggiling jerami untuk pembuatan pupuk organik. Di samping itu juga mereka memfasilitasi pengrajin tenun Busu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Bima untuk mendapatkan bantuan seperti alat tenun, benang, serta pembinaan terkait menajemen penjualan, membuka pangsa pasar dan lain-lain. Hasilnya adalah tenunan pengrajin Busu kini telah mampu menembus pasar di luar Bima.

“Pengalaman yang luar biasa yang kami rasakan setelah menjadi perempuan tangguh yakni melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah masyarakat setelah kami mampu merebut perhatian Pemerintah Daerah khususnya SKPD1 dengan secara langsung dapat membantu warga baik material maupun dalam bentuk pembinaan lainnya. Hal lain yang sangat berharga bagi perempuan tangguh adalah berkesempatan membagi pengetahuan tentang hak-hak perempuan. Memberikan dukungan kepada perempuan lain agar bisa melakukan apapun, bermimpi untuk mewujudkan kehidupan mereka yang lebih baik,â€? kata Astuti.ď Ž 1) Satuan Kerja Perangkat Daerah

24


Mengger akkan Perempu an, Menggerakkan Perempuan, Mema jukan D aer ah Memajukan Daer aerah Sakinah (39) adalah sosok perempuan yang selalu ingin berbuat demi kemajuan daerahnya. Ia tidak pernah bisa dikungkung di sebuah tempat dalam suatu waktu yang lama. Ia tidak pernah tinggal bersantai di rumah. Makanya jika diundang untuk menghadiri acara di provinsi ia pasti mengusahakan untuk hadir. Tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana kecintaannya terhadap Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur.

K

egiatan saya sehari-hari bisa dikatakan sangat padat sekali. Kadang saya ada di sawah untuk irigasi, satu jam kemudian saya sudah di kantor-kantor untuk advokasi. Dalam sehari bisa sampai 3 atau 4 tempat saya hadiri. Saya tidak bisa diam karena selalu ingin melihat Sembalun maju. Selama ini memang yang saya perjuangkan adalah kecamatan Sembalun, itu adalah tujuan saya sejak dulu,� ungkap Sakinah. Sembari membetulkan letak kacamatanya, ia melanjutkan, “Makanya kalau saya melakukan advokasi ke pemerintah

daerah, saya tidak mau masuk ke satu kantor saja. Pokoknya semua departemen yang terkait dan sesuai dengan program-program kami.� Terkait Program Woman Leadership Strengthening atau Penguatan Kepemimpinan Perempuan oleh Oxfam dan mitranya, Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI), Sakinah bergerak untuk memberdayakan perempuan terutama mengenai pemenuhan kebutuhan mereka sendiri. Termasuk memajukan perempuan dengan kapasitas yang mumpuni. Baik

25


Ibu Sakinah, ikut mengorganisir masyarakat untuk bergotong royong

dalam hal kepemimpinan juga mengenai ketahanan ekonomi. Sakinah mengupayakan pelatihan keterampilan pengolahan hasil pertanian; misalnya: manisan tomat dan keripik kacang buncis. Tapi Sakinah tidak puas bila hanya sampai pelatihan saja. Hasil pertanian yang melimpah memang musti dibare-

ngi kreativitas tinggi dan perhatian serius dari pihak pemerintah atau swasta agar hasil pertanian yang banyak itu tidak rusak percuma. Oleh karena itu, Sakinah dan petani kentang lainnya bekerja sama dengan sebuah perusahaan makanan besar di Indonesia, Indofood. Setiap harinya Indofood membutuh-kan 400 ton kentang. Kentang-kentang tersebut dikirim ke pabrik Indofood untuk diolah. Dengan kontrol kualitas yang ketat, ada kentang-kentang tidak lolos dan dikembalikan. Meskipun demikian, kentangketang ini dapat dimanfaatkan menjadi donat kentang, kripik kentang, stik kentang, dan lain-lain. Adapun yang diolah sendiri oleh warga membutuhkan perpanjangan tangan departemen terkait seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) agar hasil produksi mereka bisa meluas. Selain kentang, di Sembalun juga banyak hasil pertanian yang lain seperti wortel. Sayur ini tidak hanya dijual sebagai sayur saja tapi juga dibuat menjadi manisan wortel, stik wortel dan lainnya. Ada lagi yg lain, talas dan ubi. “Seperti yang saya katakan, di sini banyak sekali sumber daya yang dapat diolah. Sekarang yang kami

26


butuhkan bukan hanya pelatihan-pelatihan untuk teman-teman perempuan tapi ditindaklanjuti hingga menciptakan pasar. Harapan kami adalah memberdayakan perempuan dan mendapat dukungan dari pemerintah yang ada sangkut pautnya dengan perempuan.” Misalkan untuk pengolahan, kelompok Perempuan Tangguh berharap pemerintah juga membantu warga ini dari segi modal hingga akses pasar yang lebih besar. Selain pengolahan makanan, Sakinah juga menjajaki pengolahan pupuk dengan memanfaatkan sampah rumah tangga. Selain bisa mengurangi risiko bencana akan banjir jika sampah dibuang ke sungai yang dapat menyebabkan banjir, juga bisa sebagai tambahan ekonomi bagi perempuan. “Saya bilang kepada teman-teman bahwa jangan laki-laki saja yang bisa membuat pupuk organik tapi kita juga bisa,” tutur Sakinah penuh semangat. “kita harus mencoba untuk membuat pupuk organik setelah pelatihan yang diberikan oleh pemerintah kemarin. Bahkan uji alatnya kemarin itu kita sudah lolos juga. Dan sekarang saya ingin ada

Sekarang yang kami butuhkan bukan hanya pelatihan-pelatihan tapi ditindaklanjuti hingga menciptakan pasar. Harapan kami adalah memberdayakan perempuan, dan mendapat dukungan dari pemerintah yang ada sangkut pautnya dengan perempuan.” (Sakinah) tindak lanjutnya.” Bayangkan bila ini semua berjalan. Pupuk organik selain untuk digunakan sendiri juga bisa dijual. Untuk petani kentang, dibutuhkan sampah ratusan ton untuk pupuk, maka panen kentang akan semakin subur. Otomatis pendapatan daerah juga akan meningkat. “Seandainya itu sudah berjalan dengan baik, bukan tidak mungkin tercapai Lombok Timur yang sejahtera. Dan akan bertambah kekaguman orang-orang bila ternyata di balik ini adalah perempuan yang mengelola itu semua,” tutur Sakinah bersemangat.

27


Po tret Perempu an T angguh Potret Perempuan Tangguh yang Krea tif Kreatif

Perempuan tangguh bekerja bersama dengan kelompok laki-laki dalam penanaman bakau

28


Langit Kota Larantuka, Selasa (14/1) tampak cerah. Gunung Ile Mandiri tegar memangku ribuan rumahwarga. Sebuah kapal motor penyeberangan meninggalkan Pelabuhan Pante Paloh (Larantuka) membelah arus laut yang tenang menuju Tana Merah (Adonara). Kapal motor nelayan sibuk membentangkan jala dan membuang kail pancing. Hanya dalam sekejap kapal motor itu menyatukan Pulau Flores dan Pulau Adonara. Perjalanan menuju Desa Pajinian dilanjutkan dengan sepeda motor kurang lebih 20 menit lagi.

D

esa Pajinian terletak di Kecamatan Waiwadan, Kabupaten Flores Timur. Desa ini hanya dibatasi oleh hamparan laut dengan Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. Warga memasuki haribaan Larantuka hanya dengan waktu tempuh 10 menit menggunakan perahu kapal motor yang biasa disebut “ojek laut” dari Pante Paloh, Kelurahan Weri, Larantuka, menuju Pelabuhan Tanah Merah. Jika arus laut deras, waktu tempuh menjadi antara 15-20 menit. Setiap penumpang dipungut Rp10 ribu jika langsung memborong kapal motor itu tanpa menunggu penumpang lain. Nama Pajinian mengingatkan suku Lamaholot Flores Timur akan perang antara Paji dan Demong beberapa abad silam. Perang itu tetap terasa hingga saat ini yang memecah Lamaholot atas dua suku tersebut yaitu Paji dan Demong.

Secara harfiah nama Pajinian berasal dari dua kata yaitu “Paji” yang oleh warga setempat disebut batas dan “Nian” yang berarti menunggu, berada di tengahtengah. Maka Pajinian berarti kampung yang berada di tengah-tengah, antara Paji dan Demong. Posisi di tengahtengah ini membahasakan sikap menunggu, netral. Desa ini dihuni penduduk sebanyak 695 jiwa dengan 152 kepala keluarga. Mayoritas warga adalah petani dengan pekerjaan sampingan atau tambahan sebagai nelayan kecil dan pegawai negeri sipil (PNS). Pajinian termasuk dalam desa dampingan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) yang merupakan mitra Oxfam. Sejak tahun 2010, desa ini menjadi fokus gerakan pemberdayaan masyarakat dalam program pengurangan risiko bencana dan akti-

29


vitas pemberdayaan ekonomi lainnya. Hampir setiap tahun, desa ini digenangi luapan air dari Kali Waikoak yang terletak di ujung timur desa dan Bukit Rorok. Luapan banjir itu menggenangi rumah warga dan jalan raya yang mengganggu arus lalu lintas desa. Bencana tahunan sangat mengganggu arus aktivitas penduduk. Masalah banjir bandang ini menjadi soal yang pelik bagi warga yang merupakan dampak dari bertani dengan sistem ladang berpindah. Luapan banjir yang menggenangi perkampungan hingga ke jalan raya itu disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya tidak adanya saluran untuk mengatur arus aliran banjir, tidak adanya parit untuk menjebak lajur banjir, kondisi perkampungan yang tidak memiliki jalur kali yang dapat mengarahkan air mengalir ke laut dan tidak adanya tempat sampah sehingga penduduk membuang sampah di sembarangan tempat yang membuat saluran parit tersumbat. Persoalan-persoalan sosial desa ini lalu dikaji dan didiskusikan oleh kelompok perempuan yang menamakan diri sebagai Kelompok Perempuan Tangguh bersama aparat desa dalam berbagai

kesempatan. Berbagai kesibukan harian kadang menjadi tantangan dan kesulitan dalam menentukan waktu yang tepat untuk membedah persoalan-persoalan tersebut. Orientasi utama hidup warga pada peningkatan taraf hidup ekonomi kadang menyulitkan warga untuk duduk dan mendiskusikan bersama-sama tentang persoalan-persoalan tersebut. Rapat desa memang dilakukan secara berkala untuk membicarakan gerak roda pembangunan di desa tapi tidak cukup untuk mendalami masalah-masalah seperti banjir yang terjadi setiap tahun, masalah sampah dan upaya kreatif untuk meningkatkan kehidupan ekonomi warga. Maka warga sepakat untuk memanfaatkan wadah Komunitas Basis Gerejani (KBG) untuk membicarakan masalahmasalah ini. KBG adalah wadah bagi komunitas umat yang menjadi dasar hidup dalam institusi Gereja Katolik. KGB merupakan institusi paling dasar dalam struktur Gereja Katolik untuk memberdayakan hidup umat dalam konteks rohani/spiritual. Komunitas, yang anggotanya adalah warga desa ini juga, memiliki banyak waktu dalam tahun

30


berjalan yang memungkinkan umat bertemu untuk kegiatan-kegiatan rohani dan sosial. Hidup rohani dari institusi Gereja Katolik menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk membangun kehidupan sosial yang lebih sejahtera. Institusi ini mendukung gerakan pemberdayaan masyarakat yang difasilitasi oleh YPPS dan Oxfam. Kelompok Perempuan Tangguh dibagi dalam delapan kelompok dengan mengikuti delapan KBG dalam Desa Pajinian. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pembagian kelompok sekaligus memungkinkan terjadinya pengontrolan dalam pelaksanaan program. Aktivitas Kelompok Perempuan Tangguh dibagi menjadi delapan kelompok KBG, baik dalam rangka upaya menanggulangi risiko bencana, penggalian lubang sampah maupun aktivitas lain untuk meningkatkan taraf ekonomi. Lusia Liliwati, anggota Kelompok Perempuan Tangguh dari KBG 7 mengatakan, “Dana yang dibagikan oleh YPPSOxfam sebagai bentuk dukungan terhadap Kelompok Perempuan Tangguh di Desa Pajinian sebanyak Rp5,4 juta. Dana tersebut dibagi untuk delapan KBG

dengan inisiatif pengelolaan diserahkan kepada kreativitas masing-masing kelompok.” Menurutnya, dalam kelompok 7, Kelompok Perempuan Tangguh sepakat untuk mengembangkan dana tersebut untuk kegiatan memasak minyak kelapa. “Setiap anggota Kelompok Perempuan Tangguh mengumpulkan dua buah kelapa. Kelapa memang sulit diperoleh di desa ini. Biasanya, kami masak kelapa pada hari Sabtu. Sekali masak, kami bisa hasilkan 7-8 botol minyak kelapa yang bersih. Satu botol kami jual dengan harga Rp10 ribu. Pemasaran dilakukan secara bergulir dalam kelompok. Masing-masing bertanggung jawab menjualnya. Tapi selama ini penjualannya sebatas memenuhi kebutuhan kami dalam kelompok,” tambahnya lagi. Hal yang sama dilakukan oleh kelompok 6 sebagaimana yang dikisahkan oleh Fransiska Pada. “Buah kelapa disumbangkan oleh masing-masing anggota kelompok sebanyak dua buah. Aktivitas minyak kelapa dilakukan pada hari Sabtu. Kegiatan ini melibatkan semua perempuan dalam KBG tersebut, walau selalu saja ada perempuan yang tidak aktif dalam kegiatan tersebut

31


sebagian dijual di pasar. “Kegiatan penanaman sayur ini melibatkan semua anggota perempuan tangguh. Kami selalu dibantu oleh para lelaki di desa ini. Kami mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga selain menjualnya untuk mengembangkan modal yang diberikan oleh YPPS sebagai motivasi bagi kami untuk membangun ketahanan ekonomi keluarga. Usaha sayur ini bisa memenuhi kebutuhan gizi dalam keluarga,” ujar Vinsensia. Anggota Kelompok Perempuan Tangguh KBG 5, Marselina Anu mengatakan, kelompoknya mengembangkan dana bergulir yang dibagi ke setiap KBG Desa Pajinian dengan cara simpan pinjam. Tapi kelompok ini mengembangkan dana dengan bergotong-royong mengerjakan kebun warga dengan bayaran yang disepakati bersama. “Dana kelompok itu dipinjam setiap anggota dengan jangka waktu peminjam tiga bulan dengan bunga yang bervariasi. Cara ini sangat membantu anggota kelompok ini dalam memenuhi kebutuhan keluarga misalnya membiayai pendidikan anak maupun keperluan lainnya yang mendesak. Kami juga menambah

“Dana kelompok itu dipinjam setiap anggota dengan jangka waktu peminjam tiga bulan dengan bunga yang bervariasi. Cara ini sangat membantu anggota kelompok ini dalam memenuhi kebutuhan keluarga” (Marselina Anu) karena terbentur dengan agenda mereka lainnya,” katanya. Selain memasak minyak kelapa, dana bergulir itu dikembangkan oleh kelompok 6 KBG dengan menanam sayur-sayuran. Bibit sayur tidak dibeli tetapi memanfaatkan benih sayur lokal yang ada di desa Pajinian seperti merungge (sejenis sayur dengan daun kecil), terung, tomat dan sebagainya. Anggota kelompok menyiapkan lahan, mencangkul, menggemburkan tanah, menanam dan merawatnya, dan menyiramnya secara berkala. Menurut Vinsensia Oli, sayur-sayur itu dijual di antara anggota kelompok untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga dan

32


modal dengan mengerjakan kebun warga dengan bayaran,” katanya. Inisiatif dana bergulir dalam KBG yang dikembangkan dengan beragam cara ini sangat membantu warga dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. “Dana bergulir yang dikembangkan itu membantu kebutuhan ekonomi anggota dan warga desa ini. Hampir semua kelompok terbantu dengan adanya dana bergulir ini. Kadang dana juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan di gereja. Dana ini menjadi tabungan bagi warga di sini,” kata Lusia Liliwati. Dana bergulir yang dibagi ke delapan KGB Pajinian ini umumnya dijalankan dengan metode simpan pinjam. Aliran uang yang ditambah dengan usaha kreatif kelompok ini bisa dipinjam setiap anggota dengan jaminan akan dikembalikan pada waktunya. “Setiap anggota kelompok Perempuan Tangguh membangun kesadaran bahwa uang ini milik bersama yang harus dikembangkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan anggota. YPPS mendampingi kaum perempuan mengembangkan dana bergulir ini untuk meningkatkan kreativitas anggota mendayagunakan modal itu

“Kegiatan penanaman sayur ini melibatkan semua anggota perempuan tangguh... Selain menjualnya , usaha sayur ini bisa memenuhi kebutuhan gizi dalam keluarga” (Vinsensia) dengan bertanggung jawab. Setiap anggota merasa memiliki dana bergulir itu dengan aktif berpartisipasi mengembangkan dana tersebut melalui usaha memasak minyak kelapa, menanam sayur untuk dijual dan simpan pinjam di antara anggota kelompok. Kaum lelaki membantu kelompok ini mengembangkan dana tersebut dengan pekerjaanpekerjaan berat yang tidak bisa dilakukan oleh anggota kelompok perempuan ini. Semangat gemohing (Bahasa etnis Lamaholot Flores Timur: gotong-royong) menyatukan seluruh anggota dan mendorong lahirnya kreativitas dan partisipasi dalam mengembangkan usaha kelompok,” kata Marlen Tukan, staf YPPS di Desa Pajinian.

33


Mend obr ak Ad at Dengan Mendobr obrak Ada Ker ja Ny ata Kerj Nya

Titin, koordinator perempuan tangguh Desa Gumantar, aktif memimpin diskusi informal dengan kelompok perempuan

34


Seberat apapun pekerjaan, sejauh apapun tujuan, bila dibarengi dengan keyakinan dan niat tulus, pasti akan tercapai

T

itin Fitriani (22) adalah sosok perempuan yang selalu gelisah. Ia tak pernah suka berdiam diri tanpa melakukan apa-apa yang berarti. Setiap orang di DusunGumantar, Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, mengenalnya sebagai gadis yang lincah. Ia suka berbicara apa saja yang menyenangkan hatinya. Termasuk jika ia bercerita seputar kegiatannya sebagai salah satu anggota kelompok Perempuan Tangguh dalam upaya mengurangi risiko bencana. Bersama dua sahabatnya, Miniati (21) dan Yuliani widiastuti (20), ia seperti tidak kenal lelah melakukan sosialisasi ke masyarakat mengenai pentingnya mengenali ancaman bencana sebelum terjadi bencana dan apa yang harus dilakukan pada saat kejadian dan setelahnya. Titin tahu persis bahwa Gumantar masuk dalam wilayah rentan terhadap bencana. Pertanian lahan tadah hujan dan lahan irigasi teknis yang dilakukan secara

turun-temurun menjadikan desa ini sangat rentan terhadap ancaman kekeringan di musim kemarau dan ancaman banjir disertai longsor pada musim penghujan. Selain itu, sistem pertanian di wilayah ini tidak ditunjang dengan sistem irigasi yang memadai, tapi hanya mengandalkan pengairan dari mata air gunung Batu Bara yang jumlahnya terbatas. Untuk lebih memudahkan pemahaman masyarakat akan pentingnya penanggulangan risiko bencana, mereka bertiga berinisiatif melakukan pemutaran film di sebuah lapangan di Dusun Tenggorong bersama Tim Siaga Bencana Desa (TSBD). Anggota TSBD lainnya yang menyiapkan segala alat-alatnya, Titin dan kawan-kawan yang bertugas membawanya ke tempat pertunjukan. Membawa peralatan dari Desa Gumantar ke Dusun Tenggorong sejauh 4 kilometer dari pusat desa, bukanlah pekerjaan mudah karena jalanannya menanjak dan licin. Mereka bertiga harus membawa kain layar dan mesin diesel

35


dengan menggunakan kendaraan “ambulans desa”. Kendaraan ambulans desa sebetulnya hanyalah sebuah kendaraan beroda tiga yang biasa dipergunakan untuk ibu-ibu yang hendak melahirkan atau jika ada yang sakit. “Pokoknya seperti jalan ke neraka deh!” cerita Titin mengingat perjuangan yang berat namun tetap bersemangat menceritakan pengalamannya. “Bayangkan, kami harus memegangi mesin diesel yang lebih besar dibanding tubuh kami. Ditambah lagi dua pengeras suara, galon air, jerigen minyak, kardus yang berisi makanan, hadiah, dan perlengkapan lainnya. Kami berupaya memegang dan menahan ambulans desa dengan sekuat tenaga sambil kami bertumpu pada dinding kendaraan dengan kaki kami agar tidak terjungkal keluar.” Suatu hari Titin dan teman-teman berteriak-teriak ketakutan ketika akan membawa peralatan memutar film ke Dusun Tenggorong. Antara cemas kendaraan yang mereka tumpangi akan terbalik dengan keinginan mereka untuk memberi informasi kepada warga kampung akan pentingnya memahami kebencanaan.

Penderitaan mereka tidak sampai di situ saja,mereka juga harus menelan rasa malu karena ejekan orang-orang kampung yang mendengar teriakan mereka seperti hendak melahirkan. “Malu juga sih dibilangin begitu. Tapi waktu itu kami sangat ketakutan, jadi kami abaikan saja,” tambah Miniati tersenyum. “Setelah sampai di tempat tujuan, kami hanya bisa saling berpandangan. Seperti tidak percaya apa yang baru saja kami lakukan. Benar-benar petualangan yang mendebarkan.” Acara sosialisasi ini ditonton kurang lebih 500 warga, baik orang dewasa maupun anak-anak dari Dusun Dasan Beleq, Dusun Gumantar, Dusun Paok Gading, dan Dusun Tenggorong. Warga antusias mencermati adegan demi adegan dalam film dokumenter tersebut. Sesekali mereka mengangguk-angguk dan berbicara satu sama lain. Melalui film yang berdurasi dua jam itu, mereka mengaku lebih mudah memahami potensi bencana, cara mengurangi, dan menghindarinya. Titin bertanya, “Nah, bagaimana filmnya? Bagus?” Mereka menjawab, “Baguuusss!”

36


Titin bertanya lagi, “Paham semua apa yang disampaikan tadi?” Semua serentak menjawab lagi, “Pahaaammm!” “Nah, supaya kami tahu bahwa Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan Saudarasaudara sekalian telah mengerti sepenuhnya, maka kami akan bertanya ya. Bagi yang bisa menjawab dengan benar, kami telah menyiapkan beberapa hadiah yang menarik. Bagaimana? Mau?” Sekali lagi suara mereka memenuhi udara dan dinginnya malam, “Mauuu...”. Titin merasa puas karena sebagian besar dari penonton mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Titin dan kawan-kawan. Tanpa terasa sesi tanya jawab tersebut baru berakhir menjelang pukul 12 malam. Sekarang yang menjadi persoalan bagi Titin dan teman-teman selanjutnya adalah bagaimana selamat dalam perjalanan pulang. Selain jalannya menurun, mereka harus menahan alat-alat di atas kendaraan agar tidak bergoyang seperti saat mereka pergi. Kesulitan makin bertambah karena gelap gulita. Maka sepanjang perjalanan pulang itu mereka hanya diam melawan ketakutan mereka sendiri-sendiri.

Apa yang dialami Titin dan sahabatsahabatnya itu tidak pernah menciutkan nyali mereka betapapun jauh dan sulitnya lokasi dusun-dusun tempat mereka lakukan sosialisasi tentang kebencanaan. Justru penghalang utama yang mesti mereka hadapi adalah pandangan masyarakat yang menilai mereka tidak pantas melakukan kerja-kerja seperti itu karena mereka adalah perempuan. Struktur budaya setempat menempatkan perempuan pada realitas yang memperihatinkan. Sebagai contoh, perempuan tidak boleh memakai celana panjang, tidak boleh naik motor, dan beberapa hal yang dianggap tabu yang tidak boleh dilanggar, menjadikan perempuan semakin termarjinalkan. Kesempatan berkarya dan ruang partisipasi dalam tiap pengambilan keputusan di desa masih didominasi oleh kaum lakilaki sehingga kebijakan yang muncul belum berpihak pada kebutuhan kelompok perempuan. Titin yang lulusan Madrasah Aliyah yang banyak memamahi pelajaran agama, perilakunya dinilai menyimpang karena dianggap terlalu bebas. Banyak orang merasa heran melihat aktivitas Titin

37


yang begitu banyak. Tapi setelah melihat hasil kerja Titin dan teman-temannya, masyarkat lambat laun menerima. “Awalnya kami dicibir. Mereka bilang kami perempuan tidak tahu malu kemana-mana pulangnya selalu malam. Padahal yang kami lakukan adalah halhal positif. Kami tidak tidak takut dengan hukuman adat yang mungkin akan kami terima. Itu terus kami lawan dengan karya. Sehingga lama-kelamaan suarasuara itu bungkam dengan sendirinya dan memahami kerja kami,� tutur Titin.

Kelompok Perempuan Tangguh merupakan turunan dari TSBD karena karena faktor kesetaraan gender belum nampak. Seperti misalnya ketika musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) dilaksanakan, perempuan dilibatkan hanya sebagai pendengar. Tidak lebih dari itu. “Awalnya saya hanya ingin mencari kegiatan karena bosan dengan kehidupan desa yang terlalu sederhana. Saya ingin melakukan sesuatu bukan yang ituitu saja. Saya ingin berbuat lebih jauh dari

38


sekedar menikmati pesona desa yang tak pernah berubah sejak dulu. Mereka juga menganggap bahwa apa yang terjadi di sekitar itu sudah merupakan takdir. Jadi sama sekali tidak ada yang perlu dilakukan untuk mengubahnya. Mereka pasrah saja.” Hal itulah kemudian yang lebih kuat mendorong keinginan Titin dan juga sahabat-sahabatnya agar masyarakat bisa berubah pola pikirnya tentang antisipasi bencana. Maka ketika ada tawaran masuk ke TSBD, Titin pun tidak ragu. Di kelompok Perempuan Tangguh, Titin dipilih menjadi koordinator karena dianggap berani mendobrak dominasi laki-laki dan juga kungkungan adat. Titin bahkan lebih aktif lagi mengikuti pelatihan siaga bencana. Ia tidak ingin melihat kematian yang sia-sia jika terjadi banjir atau longsor yang sebenarnya bisa dihindari. Selain sosialisasi penanggulangan risiko bencana lewat film, kelompok Perempuan Tangguh juga mengupayakan kegiatan gotong royong memungut sampah dan daur ulang sampah yang dimulai di Dusun Paok Gading. Daur ulang sampah ini berupa pembuatan tas

“Mereka bilang kami perempuan tidak tahu malu ke-mana-mana pulangnya selalu malam. Kami tidak tidak takut dengan hukuman adat yang mungkin akan kami terima. Itu terus kami lawan dengan karya. Sehingga lama-kelamaan suara-suara itu bungkam dengan sendirinya dan memahami kerja kami” (Titin) dari kemasan gelas minuman bekas untuk dijadikan berbagai produksi seperti tas dan dompet. Meski program belum genap setahun, Titin berharap Perempuan Tangguh tetap ada sampai kapanpun. Ia bangga menjadi bagian dari aksi-aksi penyadaran dan perubahan. “Justru karena kami perempuan, maka kami bangga dengan apa yang kami lakukan. Semoga saja ini tetap ada dan menginspirasi orang lain untuk bergabung dan bergerak secara bersama-sama.”

39


Perempu an Har us T angguh Perempuan Haru Tangguh Menakar Bencana

40


Perempuan Tangguh yang paham tentang penanggulangan bencana harus menjadi salah satu pilar utama dari membangun ketangguhan perempuan terhadap bencana.

P

Perempuan Tangguh seperti pelatihanpelatihan dan kemah bakti di sekitar sumber mata air dalam rangka kegiatan reboisasi pelestarian mata air Pangguli. Perempuan Tangguh ikut terlibat menjaga mata air dengan peran yang jelas, mereka mengajak semua warga untuk bersama-sama melakukan gotong royong penanaman pohon di kawasan hutan di mana sumber mata air berada. Tidak jarang saat seperti itu dijadikan momen untuk sekaligus mensosialisasikan berbagai program TSBK dan Perempuan Tangguh terhadap warga. Program reboisasi ini sendiri merupakan salah satu kegiatan yang diajukan oleh warga ke dalam Rencana Aksi Masyarakat (RAM) ke dalam Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang difasilitasi oleh Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat (LP2DER) dan Oxfam. “Dalam menyusun RAM , kami melibatkan PKK, kader posyandu, dan ibu-ibu lainnya dan mendiskusikan tentang

erempuan Tangguh yang paham tentang penanggulangan bencana harus menjadi salah satu pilar utama dari membangun ketangguhan perempuan terhadap bencana. Marita (35) salah satu anggota Perempuan Tangguh di Kelurahan Kendo, sadar betul akan hal tersebut. Perempuan harus punya pengetahuan banyak mengenai berbagai seluk-beluk bencana, seperti peringatan dini, mengantisipasi, jalur evakuasi, dan apa yang harus dilakukan saat sebelum dan saat terjadi bencana. “Saya rasa hal ini sangat perlu untuk sama-sama dibangun dan dijaga eksistensinya ke depan,� ungkapnya. Perempuan Tangguh di Kelurahan Kendo di samping melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan, juga melakukan sosialisasi tentang penanganan dini bencana, siaga bencana dan lain sebagainya, yang bekerjasama dengan pemerintah kelurahan dan Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK). Kegiatan lain yang sifatnya memperkuat kapasitas

41


bagaimana pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup,” jelas Marita, “Hutan meski dijaga agar tidak rusak dan gundul, supaya tidak terjadi bencana banjir.” Lebih jauh Marita menjelaskan bahwa Perempuan Tangguh juga melakukan pola interaktif dengan warga untuk meminta masukan atau saran. Dari sekian usulan, reboisasi adalah usulan warga yang paling kuat. Adapun mengenai pengadaan bibit pohon didukung oleh Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Bima. Berbagai kegiatan yang telah dilakukan lambat laun memberi perubahan yang berarti bagi masyarakat khsusnya perempuan.”Sebelum adanya program LP2DER bekerjasama dengan Oxfam ini di Kelurahan Kendo, partisipasi perempuan sangat kurang. Sekarang setelah program berjalan, kehadiran perempuan semakin meningkat dan setiap kegiatan di masyarakat maupun di pemerintahan kelurahan selalu melibatkan perempuan. Hal ini bukan saja menambah pengalaman, namun juga memberikan pembelajaran yang berarti bagi kami perempuan umumnya dan anggota Perempuan Tangguh khususnya” tambah Marita

Salah satu kegiatannya adalah adanya kesempatan untuk belajar dari kelompok Perempuan Tangguh lainnya di daerah lain. Tempat yang disambangi adalah daerah yang yang lebih dahulu memiliki program Tim Siaga dan Perempuan Tangguh. “Dari empat desa yang saya kunjungi saat studi banding ke Larantuka di Flores Timur, semua Perempuan Tangguh di sana sudah ibu-ibu atau telah menikah. Di sana tak ada sekolah setingkat SMU apalagi Perguruan Tinggi yang berada dekat dengan desa mereka. Remaja dan gadis-gadis banyak yang sekolah di luar desa yakni di kota kabupaten,” cerita Marita, “Bedanya dengan di Bima adalah Perempuan Tangguhnya lebih banyak gadis-gadias. Perempuan di Larantuka sana sangat aktif dan sangat didukung oleh suamisuami mereka,” tambahnya. Marita dan beberapa perwakilan Perempuan Tangguh lainnya berkunjung ke Desa Welo di Larantuka. Di sana ada sebuah perkumpulan yang anggotanya adalah para janda yang diberi nama perkumpulan “Mama Sayang”. Perkumpulan membentuk kelompok simpan pinjam yang dibentuk oleh mereka

42


berada.” Marita menjelaskan dengan penuh semangat. Sementara itu, Perempuan Tangguh di Kelurahan Jatiwangi tengah menyusun strategi kegiatan rutin mingguan. Secara berkala mereka melakukan pertemuan untuk membahas dan mengkoordinir warga setiap hari Jumat yang mereka sebut “Jumat Sehat” yakni gotong royong bersama membersihkan saluran pembuangan rumah tangga dan sungai. Tak jarang saat kegiatan Jumat Bersih dimanfaatkan langsung oleh Perempuan Tangguh untuk melakukan kegiatan sosialisasi tentang penanggulangan bencana, karena mengingat jatiwangi di kota Bima adalah salah satu daerah rawan banjir. Pengalaman bencana banjir tahun 2006 yang terjadi di kota Bima, mengakibatkan dua korban perempuan dari Kelurahan Jatiwangi. Nurnaimah, anggota Perempuan Tangguh Jatiwangi, juga menjelaskan bahwa rencana reboisasi di Jatiwangi telah masuk dalam salah satu butir RAM. “Kami sudah mengadakan musyawarah dengan warga dan telah menentukan di mana lokasi yang menjadi tempat dilakukannya reboisasi, yakni di ‘Nggaro te’ dan

“Sebelum adanya program LP2DER bekerjasama dengan Oxfam ini di Kelurahan Kendo, partisipasi perempuan sangat kurang. Sekarang setelah program berjalan, kehadiran perempuan semakin meningkat dan setiap kegiatan di masyarakat maupun di pemerintahan kelurahan selalu melibatkan perempuan” (Marita) sendiri. Setelah ada hasilnya, mereka beli tanah garapan seperti sawah. Hasil dari tanah garapan itu menjadi sumber pendapatan perkumpulan Mama Sayang. Bahkan hebatnya lagi, mereka kelola dengan cara swadaya. Hal ini telah menjadi inspirasi berharga dan saya sudah tidak sabar bertemu dengan semua ibu-ibu, menceritakan tentang kelompok ibu-ibu ini yang bisa memberi manfaat bagi mereka sendiri. Inilah yang kami sebut pembelajaran antar perempuan tangguh dimanapun

43


Ncai Kapenta,” jelas Nurnaimah. “Kami berharap warga umumnya dan perempuan khususnya semakin memahami apa itu bencana, apa yang harus dilakukan, siapa saja yang rentan akan bencana, bagaimana perempuan dan anakanak itu diutamakan atau prioritaskan dalam penanganan bencana,” ungkap Nurnaimah. Nurnaimah dan teman-teman perempuan tangguh lainnya tentu bersyukur dengan semua bentuk pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan peran mereka untuk PRB di tengah masyarakat yang telah diterimanya selama bergabung dengan Perempuan Tangguh. “Hal seperti itu sangat baru dan luar biasa, pengalaman yang menakjubkan. Dan kami pikir perempuan harus dapat melakukan apapun, minimal muncul kesadaran agar bisa mengurus dirinya saat terjadi bencana. Sebab perempuan tangguh juga adalah mereka yang memiliki potensi, mereka selalu harus terlibat dalam memfasilitasi warga dan berbagai kegiatan sosial. Tak hanya itu, kami juga ingin berperan membantu tugas pemerintah di masyarakat” ungkap Nunaimah. Mereka sangat percaya diri

karena telah dibekali berbagai keterampilan seperti teknik memfasilitasi warga, apalagi Perempuan Tangguh yang tergabung dalam TSBD telah mendapatkan pengakuan warga serta legalitas berupa SK sebagai mitra kerja dari pemerintah Kelurahan setempat. “kami semakin banyak mengenal orang penting, khususnya orang-orang yang ada di pemerintahan. Dan hal lain yang lebih bermakna selama terlibat dalam kegiatan program, kami jadi tahu banyak tentang peran dan hak perempuan dan tahu bagaimana cara bicara di depan umum untuk melakukan sosialisasi terkait semua kegiatan sosial warga” tambahnya. Di ujung percakapan santai kami ini, Nurnaimah berharap meski program ini nanti akan selesai, penguatan kapasitas perempuan harus tetap berjalan dan berkelanjutan sehingga pengurangan risiko bencana di desa menjadi prioritas dari kegiatan keseharian mereka dan kami masih yakin akan hal tersebut, tambahnya lagi. Marita dan Nunaimah mewakili perempuan di Kelurahannya, meyakinkan kembali bahwa perempuan harus tangguh, Perempuan harus mampu menakar bencana.

44


Wina, S a dis Pemalu SII G Ga Pengger ak Ma sy ar aka t Penggerak Masy syar araka akat Tegal Ma ja Maj Wina Widiasari, seorang gadis berusia 25 tahun menetap di desa Tegal Maja, Lombok Utara. Wina, begitu gadis ini dipanggil adalah termasuk perempuan yang beruntung karena bisa mengecap pendidikan hingga perguruan Tinggi.

M

eskipun demikian Wina adalah gadis pemalu dan tidak bergaul dengan masyarakatnya dan tidak pernah terlibat kegiatan kemasyarakatan termasuk sejak Sejak dia menyelesaikan kuliahnya 2 tahun yang lalu. Sehari-hari Wina, sebagai tenaga honorer di salah satu sekolah, mengajarkan Matematika. Pada Akhir Tahun 2011, Wina diajak oleh fasilitator masyarakat dari mitra Koslata untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosialisasi tentang Pengurangan Risiko Bencana. Awalnya, Wina sempat ragu karena ia merasa tidak memiliki pengalaman dan tidak percaya diri. Namun Wina tetap ikut karena berpikir bahwa ini

hanyalah datang untuk berpartisipasi. Dari acara sosialisasi ini, Wina melihat Team Siaga Bencana (TSBD) terlibat aktif dalam sosialisasi ini. Wina akhirnya mengetahui bahwa, desa tempat ia tinggal adalah rawan tanah longsor. Wina mendegarkan bagaimana TSBD telah membantu masyarakat dalam upaya PRB. Wina jatuh cinta dengan tim ini. Setelah dari kegiatan tersebut, Koordinator TSBD dan fasilitator masyarakat, mengajak Wina untuk menjadi anggota TSBD. Wina tidak perlu berpikir panjang untuk menerima tawaran ini meskipun dia tetap saja merasa gadis yang tidak percaya diri dan pemalu untuk ber-

45


TSBD saya sudah tau bagaimana bersosialisasi, tau bagaimana berbicara di depan umum dan saya tau bahwa di wilayah desa saya ada beberapa dusun yang rawan sekali terhadap bencana,� ungkap Wina. Bahkan Sekretaris BPD (Bpk. Nursanto) pernah mengungkapkan: “dulu wina ini adalah seorang perempuan pendiam, tapi sekarang sudah bersosialisasi dengan masyarakat, pandai bergaul dan saya menyarankan untuk

interaksi dengan masyarakat. Dan akhirnya, jadilah Wina bagian dari TSBD. Sejak Wina menjadi anggota TSBD dan melakukan berbagai kegiatan sukarela untuk masyarakat Tegal Maja, ia merasa telah berubah menjadi sosok perempuan yang bermakna. “Saya sebelumnya hanyalah perempuan rumahan yang kurang bersosialisasi, kurang bergaul, tidak pernah melakukan kegiatan social, tapi setelah menjadi anggota

46


Wina agar mengajak perempuan-perempuan lain agar bisa menjadi seperti Wina, membantu masyarakat melakukan upaya upaya PRB�. Ini semua, Wina dapat lakukan karena banyak terlibat dalam berbagai pelatihan dan pertemuan yang difasilitasi oleh Oxfam dan mitranya di desa. Sebagai anggota TSBD dan koordinator perempuan tangguh, Wina berperan aktif membantu kaum perempuan di desanya untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang ancaman tanah longsor serta bagaimana menghadapinya. Wina melakukan sosialisasi kepada kelompok-kelompok perempuan terkait kesiapsiagaan melalui pertemuan Posyandu, arisan dan jika ada acara hajatan. Wina pernah menggunakan acara hajatan, dimana banyak kaum perempuan yang berkumpul untuk memberikan sosialisasi dengan memutar film. Selain aktif menjangkau perempuan, Wina juga aktif di desa mengikuti pertemuan desa seperti Musrenbangdes, untuk membantu memperjuangkan rencana aksi masyarakat untuk PRB masuk menjadi rencana pembangunan desa bahkan sampai di tingkat Kabupaten.

Kini banyak perempuan di desa Tegal Maja sudah tahu tetang kesiapsiagaan menghadapi bencana yang bisa datang setiap saat. “Bagi saya, keterlibatan saya dalam TSBD dan program BDR, bukan hanya membantu kaum perempuan di desa saya mengenalkan tentang PRB dan menjagak bersiaga serta berperan aktif tetapi juga telah membuat diri saya memiliki arti bagi masyarakat, tahu siapa itu perangkat desa, apa program kerjanya, terdiri dari unsur-unsur apa saja, karena sebelumnya saya sama sekali tidak tahu tentang perangkat desa. Bisa bekerjasama dengan perangkat desa, dan yang lebih penting saya tau atau mengenal wilayah desa saya yang ternyata sangat rawan. Saya sadar, bahwa saya penting untuk berperan dalam masyarakat dan mendorong perempuan untuk berkembang. Saya bukan lagi perempuan pemalu yang tidak percaya diri bisa berperan di tengah masyarakat tapi saya percaya diri mengatakan bahwa saya kini menjadi salah satu perempuan di desa saya yang dapat menggerakkan masyarakat khususnya kaum perempuan untuk berpikir tentang bencana dan risikonya “ ungkap Wina.ď Ž

47


Mencari J al an, Jal alan, Membuka Pikir an Pikiran Mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat tidaklah semudah membalikkan tangan. Apa yang sudah terbentuk bertahun-tahun dalam diri mereka akan cenderung mereka pertahankan. Termasuk bila kepemimpinan patriarki terlalu kuat dan menomorduakan perempuan. Dominasi laki-laki atau suami akan diterima sebagai suatu kewajaran yang mesti dipatuhi oleh istri.

H

al tersebut dirasakan betul oleh Ibu Farhana (39) ketika mengajak orang-orang bergabung ke dalam kelompok Perempuan Tangguh sebagai program peningkatan kapasitas perempuan. Ketika Ibu Farhana menyampaikan maksud pembentukan ini, tidak sedikit yang mencibir. Anggapan mereka, program ini hanya akan menunjukkan superioritas perempuan di mata laki-laki. “Ya bisa-bisa nanti perempuan jadi merasa lebih tinggi, lebih hebat dan mengalahkan laki-laki,” kata Ibu Farhana menirukan pendapat salah seorang ibu. Setiap kali Ibu Farhana mengajak ibu-ibu di desa Belanting, kecamatan

Sambelie, kabupaten Lombok Timur, ia selalu mendapat pertentangan keras dari para suami yang tidak mengizinkan mereka keluar. Mereka rata-rata beranggapan bahwa istri mereka akan diajari melawan suami mereka, supaya bisa mengalahkan mereka dalam segala hal. “Dikiranya kami akan mengajari istri-istri mereka mereka supaya bisa membangkang perintah suaminya,” ucap Ibu Farhana lagi, kali ini mencontohkan pendapat seorang suami. Barulah setelah diadakan beberapa kali sosialisasi, mereka perlahan-lahan memahami dan memposisikan Ibu Farhana dan kawan-kawan sebagai “pemba-

48


wa perubahan yang baik�. Baik bagi diri perempuan itu sendiri, bagi keluarga, dan bagi masyarakat. Sosialisasi program Perempuan Tangguh ternyata tidak lagi menemui kendala seperti sebelumnya. Hampir setiap dusun memberi respon yang sangat positif. Sekarang banyak yang ingin menjadi Perempuan Tangguh karena merasa terpanggil sendiri. Program Perempuan Tangguh terutama berfokus pada pelatihan kesiapsiagaan desa terhadap bencana yang

diinisiasi oleh Oxfam bersama mitranya Konsepsi. Dalam hal ini perempuan dianggap lebih peduli dan waspada serta tanggap dibanding laki-laki. Bila terjadi bencana, laki-laki biasanya hanya akan menyelamatkan diri. Sebaliknya, perempuan akan segera mencari dimana dan segera menyelamatkan orang-orang di sekitarnya. Di dalam pelatihan tersebut, diajarkan bagaimana cara menanggulangi bencana, bagaimana perempuan bisa menjaga diri, bagaimana cara penanaman kalau musim hujan.

49


Ibu Farhana juga sehari-harinya menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah dasar. Namun sebagai koordinator Perempuan Tangguh, ia harus bisa mengatur waktunya untuk tetap berorganisasi dan keberkegiatan di luar rumah. Dengan mengambil perwakilan dalam setiap dusun, jadwal pertemuan diadakan sesuai kebutuhan setiap masyarakat. Kadang-kadang bisa tiga sampai empat kali pertemuan dalam sebulan. Setiap permasalahan dan keluhan disitu dibahas bersama-sama. Bila ada yang penting sekali, kadang pertemuan diadakan pula pada hari Minggu pagi. Jadi dalam pertemuan itu juga kadang dibincangkan Pola Hidup Bersih, dan Sehat, dibahas bagaimana cara menjaga kebersihan lingkungan, bagaimana caranya membuang sampah yang benar yakni di tempat-tempat sampah yang sudah ditetapkan. Tapi terkadang sosialisasi juga terlampau jauh disalahpahami masyarakat. Mereka mengira Perempuan Tangguh juga akan membagi-bagikan dana seiring program yang ditawarkan. “Misalnya kami mengarahkan agar setiap keluarga harus punya jamban karena jamban masih sangat

kurang di dusun dan tidak mamadai. Terkadang kalau ada yang mau buang air besar mereka pergi ke sawah, kadangkadang buang air besar di antara tanaman-tanaman rimbun sehingga tidak kelihatan dia duduk disana,â€? ucap Nuraini yang juga anggota Perempuan Tangguh. Pernah diupayakan dana dari Puskesmas sebesar 100 ribu tiap rumah. Dana dipakai untuk membeli semen, pipa, kloset. Selebihnya disiapkan sendiri oleh masyarakat. Tapi banyak yang ogah-ogahan karena maunya semuanya dibiayai. Ada malah yang lebih parah. Semua bahan itu dijual kembali ke orang lain. Karena itu, Ibu Farhanah mengambil “jalurâ€? lain untuk menyadarkan mereka. Ibu Farhanah menekankan berulang akan bahaya penyakit diare yang bisa mengakibatkan kematian. Ternyata ini berhasil. Banyak yang merasa ngeri dan akhirnya dengan sukarela membangun sendiri jambannya dan memberitahu sebelah rumahnya untuk berbuat sama. Ibu Farhana kini bisa tersenyum lebar melihat pola pikir masyarakat yang meski sedkit demi sedikit menunjukkan titik perubahan yang positif.ď Ž

50


Perempuan Tangguh Mencegah Abrasi Desa Nurri terletak Kampung Nurabelen (bahasa Lamaholot: Nura: lahan, belen: besar) Pantai Selatan Pulau Flores yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Wulanggitang Kabupaten Flores Timur. Orang mengenal wilayah ini sebagai daerah wisata pantai yang memesona karena berhadapan dengan hamparan daratan Pulau Solor yang dulu terkenal dengan keharuman cendananya.

S

ecara etimologis, nama “Nurri” merupakan gabungan dari tiga kampung yaitu “Nu-Nurabelen, R-Riangkaha dan Ri-Riangbunga.” Desa ini berbatasan dengan Desa Nobo Konga di bagian utara, Desa Riang Rita di bagian selatan, Selat Lewotobi di bagian Timur dan Gunung Api Lewotobi di bagian Barat. Pengunjung bisa memasuki desa ini dengan kendaraan roda empat dengan waktu tempuh antara dua hingga 3 jam, baik dari Larantuka Kabupaten Flores Timur maupun dari Maumere Kabupaten Sikka dengan tarif sebesar Rp25.000 untuk rute LarantukaNurri dan Rp30.000 untuk rute Maumere-

Nurri. Desa Nurri dihuni sebanyak 715 jiwa penduduk atau 177 kepala keluarga. Mayoritas warga adalah petani dan nelayan dan sebagian kecil adalah guru pada TK dan Sekolah Dasar Katolik (SDK) Nurabelen. Desa ini diteduhkan dengan ratusan pohon nimba yang memenuhi seluruh perkampungan. Di balik naungan daun nimba yang selalu hijau ini, menyeruak nama Pater Lorens Hambach SVD, Pastor Misionaris Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) yang menggencarkan penanaman pohon ini. Kesejukan adalah kesan awal bagi setiap tamu di Nurabelen ini. Daun pohon nimba tetap

51


hijau, baik pada musim kemarau maupun hujan, meskipun perkampungan yang sejuk ini dikelilingi hamparan padang savana yang meranggas dan kering digilas mentari musim kemarau. Padang sabana ini selalu menjadi langganan jilatan si jago merah setiap musim kemarau. Orang membakar padang sabana untuk beragam kepentingan antara lain sistem ladang berpindah dan lokasi penggembalaan ternak kambing, sapi dan kuda. Selain itu bencana lain yang mengadang perkampungan Nurabelen ini adalah letusan gubung berapi Lewotobi, banjir, kekeringan dan ancaman abrasi pantai yang terjadi setiap saat. Ancaman-ancaman bencana ini diterima penduduk sebagai sebuah keniscayaan dalam rentang kurun waktu yang sangat lama. Letusan gunung berapi Lewotobi menyisahkan gumpalan debu abu vulkanik yang menyirami areal perkampungan ini. Kekeringan menerbitkan kepasrahan warga akan kondisi alam yang disebut sangat kikir dan kritis. Sementara abrasi pantai oleh gelombang pantai selatan yang terkenal garang semakin menyempitkan luas daratan karena ketiadaan bakau yang disinyalir

mampu menaham gempuran ombak pantai selatan. Abrasi pantai ini mengancam lahan pengolahan garam bagi sebagian besar perempuan desa Nurri yang menggantungkan hidupnya pada distribusi garam. Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) mulai membangun diskusi sejak tahun 2008 dan membentuk kelompok Tim Siaga Bencana Desa (TSBD). Kepala Desa Nurri Nikolaus Parawolo Kwuta (50) adalah mantan Koordinator TSBD Nurri. Ia mengakui, perkembangan tiga kampung yang membentuk Desa Nurri ini sangat dipengaruhi oleh warga terutama terkait dengan kesiagaan mengantisipasi bencana alam. Warga mengalami perubahan yang siginifikan dalam pengetahuan terkait kebencanaan berkat pencerahan dan pendampingan YPPS yang bekerjasama dengan Oxfam. “Kita bersama-sama duduk memetakan berbagai bencana yang mengancam hidup warga di desa ini. Berbagai diskusi dan berbagi gagasan ini perlahan membangun kesadaran warga untuk menyadari berbagai potensi bencana yang setiap saat mengancam ketenangan

52


hidup. Warga mengalami peningkatan dalam kesadaran dan pengetahuan praktis dalam menghadapi bencana dan terutama mencegah sedini mungkin berbagai dampak negatifnya. Warga disiapkan dengan menggali berbagai potensi yang tersedia terutama sumber daya manusia untuk mengantisipasi berbagai dampak yang akan terjadi,� ungkap Parawolo. Perempuan merupakan salah satu potensi yang besar dalam masyarakat. Jika dikelola secara baik, mereka akan mampu menghasilkan kekuatan yang besar bagi pembangunan di desa ini,� katanya. Diskusi yang dibangun antara staf pendamping YPPS dengan Para Perempuan di desa yang tergabung dalam Kelompok Perempuan Tangguh TSBD mendorong mereka menentukan beberapa kegiatan yang menjadi prioritas yaitu kebun kelompok untuk menanam padi, jagung, ubi, sayuran dan penghijauan lahan savana milik kelompok dengan menanam anakan nimba, mahoni dan sebagainya serta melawan ancaman bencana yang mengintip abrasi badan pantai dengan menanam bakau di pinggir laut Nurabelen. Penanaman

bakau inilah yang menjadi andalan kisah sukses Kelompok Perempuan Tangguh di desa ini. Koordinator Kelompok Perempuan Tangguh Desa Nurri, Monika Somi Lewokrore mengatakan, anggota Kelompok Perempuan Tangguh Desa Nurri sebanyak 56 orang. Anggota yang selalu aktif dalam berbagai kegiatan sebanyak 20 orang. Anggota yang lain kadang aktif, kadang juga tidak aktif karena berbagai alasan dan kesibukan dalam rumah tangga. Umumnya anggota Kelompok Perempuan Tangguh adalah kader pos pelayanan terpadu (Posyandu) di Desa Nurri. Menurutnya, berdasarkan pantauan penduduk, luas pantai yang semakin menyempit karena empasan ombak pantai selatan yang terkenal keras dan garang. Sepanjang pantai itu, bakau-bakau yang tua menjelang punah karena hantaman gelombang yang keras. Penyempitan pantai terus terjadi setiap saat. Daratan sekitar pantai kian mengecil. Jika tidak dicegah sedini mungkin maka bukan tidak mungkin suatu waktu luas pantai akan mengancam perkampungan rumah-rumah warga Nurabelen yang berderet di tepi pantai.

53


Ancaman yang sangat besar dari abrasi pantai adalah jalan raya lintas Gunung Lewotobi yang terletak di pinggir pantai Desa Nurri dan sekitarnya sekeliling Gunung Lewotobi. Potensi ancaman abrasi itu menerpa perkampungan sekitar Lewotobi terletak persis di bibir pantai yang setiap saat menjadi sasaran gempuran arus ombak pantai selatan. Ancaman abrasi pantai Nurabelen ini dirasakan secara nyata oleh Kelompok dan termasuk Perempuan Tangguh yang memasak garam. Lokasi pengolahan garam bagi ibu-ibu ini semakin terancam hilang karena setiap saat digerus empasan ombak yang garang dan besar. “Jika tidak dicegah sedini mungkin dengan aksi penanaman bakau secara masal di pinggir laut maka suatu saat luas pantai akan semakin berkurang. Maka ancaman abrasi pantai ini menjadi fokus kegiatan Kelompok Perempuan Tangguh dalam program pengurangan risiko bencana (PRB). Kita membangun kesadaran warga di desa ini dengan menggerakkan aksi penanaman ribuan anakan pohon bakau dan tanaman lokal lainnya untuk mencegah ancaman bencana abrasi. Kelompok Perempuan

Tangguh melakukan aksi ini dalam rangka membangun gerakan mengantisipasi bencana dengan basis penyelamatan kelestarian lingkungan. Gerakan ini menginspirasi warga untuk memikirkan secara bersama keselamatan hidup warga Nurabelen khususnya kelestarian lingkungan pantai dari ancaman bencana abrasi. Ancaman abrasi merupakan kenyataan di desa ini yang mesti dicegah sedini mungkin dengan menanam anakan bakau. Gerakan Kelompok Perempuan Tangguh ini merupakan satu kesatuan dengan gerakan penghijauan dari TSBD dan kelompok kader Posyandu. Penyatuan kelompok gerakan cinta lingkungan ini merupakan ajakan kreatif kepada segenap warga agar berpartisipasi aktif dalam menjaga keutuhan alam lingkungan Nurabelen sebagai rumah tinggal bersama, tidak hanya untuk generasi yang hidup saat ini tapi juga untuk generasi masa depan yang lahir,� tambah Monika. Ia mengisahkan, penanaman bakau diawali dengan aksi menyemai anakan bakau di dalam bambu. Istilah lokalnya, anakan bakau itu dikoker (disemaikan) di dalam bambu yang dipotong dengan

54


ukuran setengah ruas. Bambu itu diisi dengan tanah lalu disiram dalam jangka waktu tertentu. proses perawatan di dalam persemaian memakan waktu 2-3 bulan. Setelah anakan bakau itu tumbuh besar, Kelompok Perempuan Tangguh bersama warga menanamnya secara beramai-ramai di pinggir laut. “Selain menanam anakan bakau yang dikoker di dalam ruas bambu, Kelompok Perempuan Tangguh juga menanam tanaman lokal lainnya seperti waru untuk mencegah ancaman abrasi pantai yang semakin ganas ini. Memang dari sekian banyak anakan yang ditanam, banyak yang mati terhempas gelombang. Bisa juga banyak anakan bakau mati karena saat ditanam, bambu tidak dipecahkan sehingga akar-akar anakan bakau itu tidak keluar menyentuh tanah,� ujarnya lagi. Bidan Desa (Bides) Nurri Yasinta Christianti mengatakan, antusiasme kaum perempuan khususnya kader Posyandu sangat tinggi dalam mengikuti kegiatan ini. Pendampingan YPPS sangat membantu dan mendorong partisipasi perempuan dalam mengembangkan potensi kepemimpinan di

Perempuan Tangguh berupaya mencegah abrasi pantai dengan tanggul pasir

dalam dirinya. Perempuan Desa Nurri digerakkan untuk bekerja tidak hanya untuk keluarga tetapi juga untuk masyarakat secara luas. “Saya bisa memberikan kesaksian bahwa perempuan di Desa Nurri mengalami perkembangan yang pesat baik dalam pengetahuan maupun dalam gerakan untuk mengembangkan potensi lain di dalam dirinya. Perempuan memiliki kemampuan untuk mengorganisasi orang lain. Mereka bisa melakukan

55


pekerjaan apa pun dengan tanggung jawab kalau didampingi secara kreatif. Pendampingan YPPS membantu kaum perempuan dan masyarakat umumnya untuk terlibat dalam berbagai kegiatan publik,� ungkap Christianti. Menurut Bides asal Kabupaten Sikka ini, halangan paling utama adalah kondisi perempuan dalam rumah tangga. Jika ada perempuan yang sedang hamil, mereka tidak bisa mengikuti kegiatan ini. hampir tidak ada halangan yang berarti. Kartini Vinsensia Knoba, anggota Kelompok Perempuan Tangguh mengatakan, tantangan yang besar dalam kelompok ini adalah apatisme warga terkait program pendampingan dari YPPS. Masih banyak perempuan Desa Nurri yang tidak masuk menjadi anggota, apalagi terlibat dalam berbagai aktivitas. “Meski demikian, kami yang terlibat aktif ini terus setia bekerja dan membenahi diri kami. Kami mendapatkan banyak pengetahuan baru yang sangat berguna untuk hidup kami. Kami bisa mencegah secara dini ancaman bencana banjir bandang dan abrasi melalui kegiatankegiatan antisipatif. Kami juga memiliki kebun yang ditanam dengan berbagai

jenis pohon sepeti nimba, jati putih, beberapa jenis kayu lokal dan sebagainya. Kami hanya ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa di atas bentangan padang sabana ini bisa tumbuh pohon produktif yang berguna bagi kehidupan,� katanya. Ketua Kelompok Perempuan Tangguh Desa Nurri Monika Somi Lewokrore mengatakan, dampak dari pendampingan YPPS ini sangat membantu kaum perempuan dalam membentuk diri. “Saya bersyukur dengan dampingan YPPS ini mengalami perkembangan dalam hidup. Saya mengikuti banyak kegiatan yang difasilitasi oleh YPPS dan Oxfam yang memungkinkan saya mendapatkan banyak pengetahuan dan pemahaman baru. Saya bisa bertemu dengan banyak orang lain dari daerah dampingan di seluruh Indonesia dan saling berbagi gagasan dan pikiran. Pengetahuan dan pemahaman baru itu membantu saya untuk lebih percaya diri dan membagikan pengetahuan itu kepada lebih banyak orang. Saya juga mempengaruhi banyak perempuan di desa ini untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di desa dan gereja. Bahkan saya juga

56


mempengaruhi suami dan keluarga dalam suku untuk terlibat dalam berbagai kegiatan ini,” ujarnya. Pengaruh pendampingan YPPS ini menular lebih jauh dalam kehidupan berkelompok di Desa Nurri. Kaum perempuan memiliki ruang untuk selalu bertemu, diskusi, berbagi pikiran yang berdampak pada peningkatan hidup ekonomi. Misalnya kelompok arisan atau simpan pinjam yang membantu hidup keluarga dalam bidang pendidikan (biaya anak sekolah), usaha ternak ayam, ternak babi dan kelompok perempuan pemasak garam dan kelompok bakar kapur putih yang akan digunakan sebagai pelarut saat memakan sirihpinang. Bahan dasar kapur putih adalah karang putih yang biasa didapatkan dengan menyelam di dasar lautan terdalam. Menurut Bides Christanti, kaum perempuan Desa Nurri menjadi kreatif dalam mengola makanan lokal yaitu membuat berbagai jenis kue dari bahan lokal ubi kayu dengan jenis kue gulung (roll cake) dan onde. Terkait keberlanjutan Kelompok Perempuan Tangguh ini, semua anggota sepakat untuk tidak berhenti walaupun

tidak ada lagi pendampingan dari YPPS dan Oxfam. “Kelompok ini telah menjadi milik kami perempuan tangguh di desa ini. berbagai bekal pengetahuan dan ilmu yang kami dapatkan akan kami gunakan untuk membangun hidup keluarga dan desa kami ini. Kami bersyukur telah mengalami perkembangan dalam hidup dan perubahan cara berpikir dan lebih meningkatkan taraf hidup keluarga,” kata Marta Iri Carvalho, anggota kelompok ini. Bides Nurri Christianti mengatakan, perubahan nyata yang dialami setelah pendampingan ini adalah perempuan memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri dan beraktivitas. Perempuan Tangguh memiliki kebun untuk menanam padi, jagung, ubi, sayuran dan lahan yang ditanami tanaman perdagangan seperti nimba, mahoni, jati, trambesi dan sebagainya. “Kami mengharapkan agar kelompok ini terus berlanjut dengan berbekal pengetahuan yang diperoleh selama proses pendampingan ini. Pemerintah dan YPPS diharapkan tetap memberikan pendampingan walau tidak berkelanjutan agar pemberdayaan tetap menjadi perhatian utama warga,” katanya.

57


Perempu an ju ga mampu Perempuan juga terliba td al am PRB alam terlibat dal Sai’un, salah satu warga Desa Sembalun Bumbung, adalah seorang ibu rumah tangga dengan empat orang anak yang. Dia menempuh pendidikan terakhir sampai jenjang perguruan tinggi dengan gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam. Selain kesibukannya mengurus keluarga, Sai’un juga bergabung dengan Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) Sembalun Bumbung sejak tahun 2010 lalu. Ketika banjir Maret 2012, Sai’un berperan sebagai koordinator untuk dapur umum dan logistik. Sai’un termotivasi untuk bergabung dengan TSBD karena keinginannya untuk ikut terlibat membuat pemahaman warga di desanya terhadap bencana semakin baik mengingat desanya sering terjadi bencana, seperti banjir, angin puting beliung, dan kebakaran hutan. Menurutnya, Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang dilaksanakan KONSEPSI dan Oxfam di desanya

telah menambah pengetahuan masyarakat dan membangun semangat pembangunan dalam mengurangi ancaman risiko bencana yang ada. Sai’un masih ingat ketika banjir 2006 terjadi dan program belum masuk di desanya. Saat itu banjir menyebabkan satu warga desa sebelah meninggal. Sementara Sai’un dan warga Desa Sembalun Bumbung lainnya harus mengalami kerugian harta benda, seperti rumah hanyut dan sawah terendam air sehingga gagal panen. Warga bekerja sama dalam masa pemulihan setelah bencana kala itu. Namun pengetahuan teknis tidak sekuat sekarang setelah program masuk, seperti pembagian kerja ketika tanggap darurat: tim evakuasi, tim pengumpulan data, tim logistik dan dapur umum. “Peran perempuan di Desa Sembalun Bumbung belum terlihat jelas. Meskipun ada, masih tersebar. Padahal

58


Para perempuan tangguh Desa Sembalun Bumbung, pemberi inspirasi bagi masyarakatnya

menurut saya perempuan desa ini mampu melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki dalam Program PRB,” kata Sai’un dengan tegas. Melalui program ini diharapkan peran perempuan bisa lebih terlihat lagi. Anggota perempuan TSBD juga aktif dalam kelompok lain seperti Posyandu, PKK dan pengajian. Mereka lah kemudian yang meneruskan pengetahuan tentang PRB kepada anggotaanggota kelompok lainnya sehingga pesan-pesan PRB semakin menyebar.

“Menurut saya penting agar perempuan melakukan kegiatan-kegiatan lain di luar rumah. Apalagi sekarang sudah ada tempatnya seperti TSBD. Mari sebarkan pengetahuan tentang PRB dan juga peduli lingkungan seperti penghijauan. Intinya adalah membangun desa bersama karena jika bersama-sama, pasti kita bisa,” pesan singkat Sai’un untuk para perempuan lainnya sebelum wawancara selesai. 

59


Bersama-sama Menyelamatkan Kehidupan Menyelamatkan satu orang sama halnya menyelamatkan satu kehidupan. Ungkapan inilah yang mendorong Hariatun (24), yang biasa dipanggil Atun, untuk terlibat dalam Memperkuat Kepemimpinan perempuan dalam Pengurangan Risiko Bencana yang dilaksanakan oleh Oxfam bersama KOSLATA dan didukung oleh Royal Bank Scotland (RBS)1. Ketika gempa berkekuatan 5,4 Skala Richter mengguncang sebagian besar wilayah kabupaten Lombok Utara pada tanggal 22 Juni 2013 lalu, saat itulah Atun makin meyakinkan hati untuk membaktikan diri dalam tanggap darurat gempa. Sebagai koordinator Perempuan Tangguh, ia segera melakukan pendataan terhadap fasilitas yang rusak dan juga korban jiwa. Indikator kerusakan dibagi menjadi tiga, yaitu rusak berat, rusak sedang, dan rusak ringan. Selanjutnya mereka mendirikan posko dan tenda di lokasi yang terpapar gempa. Bersama Tim Siaga Bencana Desa (TSBD), ia menyalurkan bantuan kepada korban termasuk mengungsikan keluarga yang

rumahnya tergolong rusak berat ke tempat penampungan sementara. Untungnya tidak ada korban jiwa saat itu. Dan untuk anak-anak, penanganannya lebih kepada menghilangkan trauma (trauma healing) akibat kejadian gempa. Para Perempuan Tangguh dan relawan lainnya mengajak mereka bermain dan bergembira sehingga mereka dapat melupakan kejadian tersebut secara perlahan-lahan. Adapun isu lewat pesan pendek mengenai akan terjadi gempa susulan diredam dengan cara memberi sebanyak mungkin informasi yang tepat mengenai gempa bumi. Mereka dibagikan poster tentang penanggulangan risiko bencana.

60


peduli. Bersama sahabatnya yang lain, Hartati (23) dan Raihayati (24), mereka terus bekerja. Pasca gempa, kelompok Perempuan Tangguh tidak tinggal diam. Atun dan kawan-kawan semakin gencar melakukan sosialisasi dan penyuluhan bagaimana meningkatkan respons atau kewaspadaan terhadap ancaman gempa. Sebanyak 12 dusun yang ada di Desa Pemenang Timur diberi penyuluhan dan simulasi. Kelompok Perempuan Tangguh juga berkonsolidasi dengan kepala desa setempat, menentukan jadwal, membagi anggota Perempuan Tangguh yang akan terlibat dalam sosialisasi. Sosialisasi pengenalan gempa dilakukan terhadap kelompok ibu-ibu dan anak-anak karena keduanya adalah kelompok rentan saat terjadi gempa. Para perempuan tangguh memberikan informasi apa yang harus dilakukan agar rumah aman jika terjadi gempa, seperti posisi lemari, letak barang-barang, dan apa yang harus dilakukan ketika terjadi gempa. Harapannya dengan memberikan informasi mengenai hal-hal yang disebutkan di atas, mereka lebih siap menghadapi gempa.

Hariatun, ketua Forum PRB Desa Pemenang Timur, Lombok Utara

Awalnya, banyak nada miring yang meremehkan kegiatan para perempuan tangguh ini. Karena mereka perempuan, maka orang-orang sering beranggapan bahwa mereka tidak bisa apa-apa. “Kalian bisa apa? Paling-paling kalau terjadi gempa justru kalian yang akan ditolong lebih dulu,� ucap Atun menirukan suara sumbang orang-orang. Atun tidak

61


dapat, namun setidaknya kami prioritaskan yang masuk kategori sangat membutuhkan, yaitu ibu dengan kehamilan 8 hingga 9 bulan dan ibu menyusui dengan bayi berumur di bawah satu tahun,” ujar Raihayati. Tidak mudah memberi pemahaman kepada ibu-ibu akan pentingnya kesiapsiagaan terhadap bencana. Mereka ratarata hanya pasrah dan seakan tidak mau tahu. Untuk itu, Atun dan kawan-kawan memutar otak agar pendekatan mereka sampai. Untungnya mereka telah dibekali teori komunikasi dan berbagai metode pendekatan oleh KOSLATA, lembaga mitra Oxfam dan Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan (YLKMP). Salah satu metode yang dipergunakan adalah pendekatan bahasa lokal. Misalnya “Ina-ina, ama-ama, lamun terjadi gempa, plinggih slapukne harus selamatan dirik dari bawak bangunan (Ibu-ibu, anak-anak, kalau terjadi gempa, harus hindari berada di bawah bangunan.” Setelah beberapa kali pertemuan, mereka mulai rajin datang dan bertanya seputar cara menyelamatkan diri saat terjadi gempa. Meskipun yang diundang

Awalnya, banyak nada miring yang meremehkan kegiatan para perempuan tangguh ini. Karena mereka perempuan, maka orangorang sering beranggapan bahwa mereka tidak bisa apa-apa. “Kalian bisa apa? Paling-paling kalau terjadi gempa justru kalian yang akan ditolong lebih dulu,” ucap Atun menirukan suara sumbang orang-orang. Atun tidak peduli. Selain sosialisasi, Perempuan Tangguh juga menyerahkan paket kepada ibu hamil dan menyusui yang berisi popok, selimut bayi, deterjen, pewangi pakaian, sabun mandi, minyak kayu putih, minyak telon, dan bedak. Penyerahan paket ini dilakukan secara bergiliran di 12 dusun tempat dilaksanakan sosialisasi. “Kami menyerahkan paket sesuai kebutuhan tiap dusun. Misalnya, di Dusun Muara Putat kami berikan 12 paket, di Dusun Karang Baro 6 paket, dan di Dusun Terengan Tanaq Ampar 10 paket,” jelas Hartati. “Tentu tidak semua bisa

62


hanya ibu-ibu dan anak-anak, ternyata banyak bapak-bapak yang juga ikut hadir. Atun dan kawan-kawan mengawal isu penanggulangan risiko bencana ini lebih jauh lagi sehingga masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Tahunan. Melalui RPJMdes dan Rencana Kerja Pembangunan Desan (RKPdes), mereka mendorong pemerintah desa untuk memasukkan isu PRB sebagai bagian rencana pembangunan di desa. Selain itu, mereka mendorong anggaran untuk kesehatan dan pendidikan terkait PRB. Dengan menjadi anggota tim analisis anggaran Kabupaten Lombok Utara, Atun dan teman-teman dapat membantu warga yang membutuhkan layanan kesehatan dengan membantu warga yang sakit mendapatkan pelayanan gratis. Upaya dan capaian Atun dan temantemannya di kelompok Perempuan Tangguh kini menuai pendapat dan dukungan positif dari berbagai pihak. Baik dari keluarga sendiri maupun dukungan pemerintah desa. Dalam musyawarah desa, posisi Atun sebagai ketua Forum PRB selalu mendapat porsi yang lebih luas untuk berpartisipasi dan

“Kehidupan ini hanya satu kali, jadi harus bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, orang lain. Saya tidak ingin mencari sesuatu yang sia-sia. Setidaknya, ada yang mengenang apa yang pernah saya lakukan” (Hariatun) mempengaruhi keputusan. Atun pun bertekad meski jika nanti Oxfam tidak lagi memfasilitasi kelompok Perempuan Tangguh, ia akan melanjut-kan kerja-kerja sosial ini bersama temantemannya di kelompok Perempuan Tangguh TSBD di tahun-tahun men-datang. Ia semakin rajin juga memanfaatkan limbah plastik untuk dijadikan anyam-anyaman berupa tas, dompet, atau gelang. Selain itu Atun melatih ibu-ibu agar menjadi perempuan yang mandiri. “Kehidupan ini hanya satu kali, jadi harus bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, orang lain. Saya tidak ingin mencari sesuatu yang sia-sia. Setidaknya, ada yang mengenang apa yang pernah saya lakukan.”

63


Memberi Diri Untuk Or ang L ain Orang Lain Tatapan matanya tajam, tapi senyum setia terukir di wajahnya. Sosok perempuan Kolaka yang sahaja, Elisabeth Titi Betan (45). Wajah yang sederhana ini sarat dengan perjuangan yang gigih. Ia telah menjanda selama 23 tahun. Selama rentang waktu itu ia mengabdikan diri dalam gerakan pemberdayaan masyarakat di lingkungannya.

S

aya menemukan kebebasan untuk bekerja. Saya bisa bekerja untuk gereja dan masyarakat tanpa beban. Kata-kata itu meluncur dari mulutnya saat ditemui di Desa Kolaka, pertengahan Januari 2013 lalu. Ia lahir di Kolidatang 5 November 1968. Anak dari Bapak Frans Cik Betan dan Ibu Magdalena Saja Langkamau mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Kolidatang, SMPK Pancratio Putra dan Pendidikan Guru Agama Katolik (PGAK) Waibalun, Larantuka. Pendidikan terakhir sebagai guru agama Katolik justru mengantarnya menjadi aktivis pemberdayaan kelompok Perem-

puan Tangguh Desa Kolaka. Ia menjadi inisiator bagi setiap program pemberdayaan masyarakat khususnya kaum perempuan. Jejak keterlibatannya dalam karya pemberdayaan kemanusiaan terekam dalam deretan masa pengabdiannya yang tak kenal lelah. Ia memulainya dengan terlibat dalam Care ISPA , Yayasan Pengembangan Pengembangan Sosial Keuskupan Larantuka (Yaspensel) dalam program padat karya pangan dan pendampingan kesehatan (Posyandu). Hingga bergabung dengan Yayasan Pengembangan dan Pengkajian Sosial (YPPS) 2009 yang kemudian

64


menjadi inisiator terbentuknya kelompok Perempuan Tangguh di Desa Kolaka pada tahun 2013. “Komitmen hidup saya adalah mengabdi dan melayani orang kecil. Saya mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut dengan satu komitmen yang tulus yaitu mencintai rakyat kecil yang dbuktikan dalam upaya keras membangun kesadaran kaum perempuan yang sesuai budaya Lamaholot.. Saya bekerja dengan sekuat tenaga dengan modal ketulusan dan kejujuran. Saya mengabdi dan memberikan seluruh diri saya pada rakyat kecil. Saya tidak memperhitungkan gaji atau honor. Akhirnya kami membentuk kelompok perempuan tangguh pada tahun 2013 yang tergabung dalam Tim Siaga Bencana desa (TSBD) sebagai wadah kreatif. Komitmen untuk mengabdi dan melayani rakyat kecil merupakan endapan dari kekayaan pengalaman Nenek Ignatius Hali Betan, seorang mandor, raja, guru agama yang berjasa menyebarkan agama Katolik di wilayah Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Ia bekerja dengan tulus daam keterbatasan sarana dan fasilitas. Saya sangat diinspirasi oleh nenek saya ini untuk berkomitmen

mengabdi bagi sesama,� ceritanya lugas. Elisabeth Titin Betan adalah sosok inisiator dan motivator bangkitnya gerakan kelompok Perempuan Tangguh di Desa Kolaka yang terletak di Kecamatan Tanjung Bunga Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Luas wilayah kurang lebih 22,50 hektar. Desa ini terbagi atas dua wilayah yang dibagi dalam empat wilayah dusun yaitu Dusun Sabu Loa, Dusun Pati Porong, Dusun Pati Gele, dan Dusun Pati Seda. Desa ini bisa dicapai setelah menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 9,8 kilometer selama 30 menit dengan kondisi jalan berbatu. Jumlah penduduk Desa Kolaka sebanyak 1.060 jiwa terdiri dari 239 kepala keluarga, 574 perempuan dan 486 laki-laki. Mata pencaharian utama adalah petani, nelayan, sopir, montir, tukang kayu (kayu dan batu) serta perempuan petani garam. Desa ini dihuni pemeluk agama Islam (63%) dan Katolik (34%). Tanaman perdagangan yang dominan adalah mete dan kelapa. Para petani garam memanfaatkan lahan yang kian menyempit di pinggir laut sehingga terpaksa mendatangkan garam kasar dari Bima Nusa Tenggara Barat (NTB)

65


untuk memenuhi permintaan. Kelompok Perempuan Tangguh, masyarakat Desa Kolaka difasilitasi oleh YPPS melakukan kajian ancaman bencana bersama masyarakat. Dari kajian tersebut, didapati bahwa abrasi pantai merupakan ancaman utama di pantai Desa Kolaka yang kurang lebih sepanjang 5 sampai 6 kilometer. Setiap tahun ketinggian ombak dan kecepatan arus sangat tinggi antara Juli hingga Oktober. Ancaman ini mempengaruhi aset hidup warga yaitu menyempitnya lokasi permukiman warga, sempitnya lahan masak garam, terendamnya perkebunan kelapa yang menyebabkan banyak yang mati, terancamnya keutuhan bangunan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang berdiri di pinggir pantai. Sejak tahun 1992 hingga saat ini, abrasi sudah terjadi kurang lebih 20 meter dengan perhitungan 1 meter setiap tahunnya. Dalam proses mengkaji kerentanan, tercatat bahwa kesadaran masyarakat rendah terkait dengan ekosistem pantai. Penebangan bakau marak terjadi untuk bahan bangunan dan lokasi pemasakan garam berisiko menyempitkan luas daratan. Desa Kolaka berhadapan

langsung dengan laut Flores (laut lepas) dengan gelombang yang tinggi dan kencangnya arus lautan dan ombak yang besar mematikan banyak pohon bakau, mengancam lahan perkebunan yang posisinya dekat dengan pantai, bahkan fasilitas publik seperti gedung sekolah dan jalan raya pun turut terancam oleh abrasi pantai ini. Selain abrasi, ancaman yang cukup besar adalah banjir yang merendam permukiman penduduk sebanyak 20 kepala keluarga (KK), 11 kelompok perempuan petani garam, sebanyak 110 orang, dan lahan kelapa seluas 2 hektar terendam dan mati. Pertimbangan terkait frekuensi dan intensitas keadaan banjir menempatkan Desa Kolaka masuk kategori desa dengan potensi ancaman tinggi Menurut Elisabeth Titi Betan, gerakan pengurangan risiko bencana (PRB) yang melibatkan kelompok Perempuan Tangguh merupakan perlawanan terhadap fakta budaya Lamaholot yang menomorduakan posisi kaum perempuan. Kehadiran perempuan dalam kegiatankegiatan umum yang rata-rata dihadiri sebanyak 50-60 perempuan ini untuk

66


mencari solusi bagi seluruh warga yang terancam banjir atau abrasi pantai. “Keterlibatan Perempuan Tangguh dalam berbagai aktivitas umum, baik di desa maupun di dusun sangat membantu membuka mata kesadaran kaum perempuan untuk membangun rasa memiliki desa ini. Diskusi dan berbagi dalam kelompok ini membuka akses informasi pengetahuan bagi mereka dan mendorong mereka untuk mengembangkan diri, bakat dan kemampuannya. Perempuan kita dorong ke depan menjadi pemimpin bagi seluruh warga Desa Kolaka ini,” tambahnya. Abrasi pantai yang terus mengikis bibir pantai Desa Kolaka menjadi konsentrasi kelompok perempuan tangguh ini. Sebanyak 200 perempuan tangguh Desa Kolaka melaksanakan rencana tindak lanjut (RTL) dalam pertemuan di Bali pada Juli 2013 yang didukung oleh Oxfam dengan menanam sekitar 2000an anakan bakau di Desa Kolaka, tepatnya di Dusun Laka pada 10 September 2013 dan Dusun Kolidatang pada 12 September 2013. Anggota Kelompok Perempuan Tangguh, Maria Florentina Hurit mengaku

“Diskusi dan berbagi dalam kelompok Perempuan Tangguh membuka akses informasi pengetahuan bagi mereka dan mendorong mereka untuk mengembangkan diri, bakat dan kemampuannya. Perempuan kita dorong ke depan menjadi pemimpin bagi seluruh warga Desa Kolaka ini” (Elisabeth Titi Betan) senang dan sangat bangga karena berkat kehadiran YPPS membuat pemikiran dan cara pandang kaum perempuan berubah. Kaum perempuan bisa membuktikan bahwa mereka mampu terlibat dalam aksi lingkungan hidup ini. “Mama Elisabeth mendorong dan memberikan inspirasi kepada kami agar terlibat dan melibatkan diri dalam seluruh proses perkembangan pemahaman dan pemikiran. Kita tanam bakau hari ini tapi anak dan cucu kita akan menikmatinya. Kalau kita tidak menanam bakau maka suatu saat pantai kita akan meluas yang

67


mengganggu ketenangan hidup. Kita bersama-sama merasakan bertemu dengan semua orang yang mau menata hidup dan masa depan desa kita. Peran Mama Elisabeth ini sangat besar bagi kami,” kata Maria. Perempuan Tangguh Desa Kolaka bangga bisa berperan aktif dalam upaya penanggulangan risiko bencana dengan menanam sekitar dua ribu anakan pohon bakau. Kini mereka menyaksikan bahwa hasil kerja keras itu mulai berbuah dengan tumbuhnya pohon bakau baru di pingir laut. “Semua perempuan bekerja sama menanam anakan bakau tersebut. Saya berpikir, perempuan di desa ini mesti terus didampingi agar bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Bahkan setelah penanaman pertama, banyak anakan yang mati karena diempas keganasan ombak. Maka dilakukan penanaman ulang anakan bakau dan pohon-pohon lokal lainya yaitu pohon waru, reo, asam dan sebagainya,” kata Elisabeth Betan. Terkait hasil yang dialami secara nyata dari kelompok Perempuan Tangguh ini adalah terbangunnya kesadaran warga akan bahaya dan ancaman dari bencana alam yang sebetulnya bisa

dicegah. “Kami mulai menyadari ancaman risiko bencana alam yang akan menimpa kami. Maka kami sadar perlunya menghijaukan berbagi lokasi abrasi dan banjir agar tanah tetap kuat menahan pengikisan oleh air. Kami akan tetap melanjutkan program pengurangan risiko bencana ini dengan lebih giat lagi menggerakkan penghijauan di bibir pantai untuk mencegah abrasi, penghijauan di kali dan lokasi-lokasi yang rawan digerus banjir ketika hujan turun. Kami bersyukur telah dilatih untuk mengantisipasi berbagai dampak bencana alam yang akan terjadi di desa ini,” kata anggota kelompok Perempuan Tangguh lainnya, Martina Maran. Elisabeth Titi Betan hanya tersenyum saat ditanya terkait keberlanjutan kelompok Perempuan Tangguh ini. Berbagai kegiatan berbagi dan diskusi yang dibangun selama ini telah membuka kesadaran warga akan dampak dari upaya PRB. “YPPS telah sekian lama mendampingi kami kelompok Perempuan Tangguh di desa ini. Kegiatan Musrenbang1 yang berlangsung dari desa hingga ke kabupaten melibatkan kelompok ini dan YPPS. Meskipun di

68


Para koordinator perempuan tangguh dari Flores Timur, selalu bersemangat membangun ketangguhan desanya

tingkat kabupaten kami tidak diundang untuk menghadiri Musrenbang, tapi hasil diskusi kami tetap dimasukkan dan diakomodasi oleh pemerintah kabupaten untuk dilaksanakan di desa ini. Jadi meskipun program YPP akan selesai, kami akan terus melanjutkan kegiatankegiatan terkait pengurangan risiko bencana ini dan kegiatan baru agar kehidupan warga sejahtera dan bahagia,� tegasnya. Sekretaris Desa Kolaka, Niko Tenawahang mengatakan, pemerintah gembira dengan kehadiran dan pendampingan YPPS sejak tahun 2009. Lemba-

ga ini telah memainkan peran yang sangat penting dalam pendampingan perempuan tangguh di desa ini. Desa Kolaka memiliki aset sumber daya manusia yang andal berkat pendampingan dan pelatihan yang terus menerus dilakukan oleh YPPS selama ini. “Pandangan kaum perempuan semakin terbuka. Banyak hal yang bisa dilakukan perempuan dengan membuktikan bahwa mereka mampu bekerja secara maksimal untuk kemajuan desa ini,� ujarnya. 1

69

Musyawarah Rencana Pembangunan


Perempuan Harus Menyuarakan Kepentingan Perempuan Kepentingan perempuan seharusnya disuarakan oleh perempuan itu sendiri. Hal ini yang mendorong Sri Hartini (29) untuk bergabung dengan kelompok Perempuan Tangguh bagian dari Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) yang merupakan wadah untuk pengembangan kapasitas kepemimpinan perempuan dan juga hak-hak perempuan.

D

i dalam Program Perempuan Tangguh, pelatihan kepemimpinan diberikan oleh Oxfam dan mitranya, Kelompok Studi Lingkungan dan Pariwisata (KOSLATA) sebagai upaya untuk melibatkan perempuan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dan dalam kegiatan-kegiatan yang lain; misalnya, dalam perencanaan pembangunan yang ada di desa. “Selama ini perempuan tidak punya peran dalam pengambilan keputusan kecuali hanya menjadi D4, yaitu datang, duduk, diam, dan dengar,” jelas Hartini dengan suara lembut meyakinkan, “Kalau dulu untuk kegiatanMusrenbang itu dari satu dusun diminta perwakilan hanya satu perem-

puan. Sekarang sudah menjadi tiga orang per dusun. Jadi sudah ada peningkatan kepedulian terhadap kom-posisi yang seimbang dalam pengambilan keputusan atau kebijakan-kebijakan desa.” Pelibatan perempuan dalam musyawarah di desa, lambat laun menunjukkan pula kualitas hasil keputusan yang diambil. Setiap kebijakan apapun yang muncul, berdampak kecil atau besar terhadap masyarakat, harus mengakodomasi kepentingan kaum perempuan. Hartini pun kini bisa melihat peningkatan pola pikir dalam dirinya setelah ikut pelatihan yang diadakan KOSLATA dan Oxfam. “Sebenarnya saya mau bergabung di Perempuan Tangguh hanya karena

70


melihat ada teman-teman sekolah saya di situ. Rindu berkumpul-kumpul dengan mereka dan bercerita apa saja,” tutur Hartini. “Namun sepertinya ini bukan hura-hura lagi. Ini tentang kesiapsiagaan yang membutuhkan curahan pikiran, tenaga dan waktu.” Perihal waktu bagi perempuan yang tinggal di Dusun Kuripan Desa Rempek ini tidak menjadi masalah. Sejak berpisah dengan suaminya sejak 6 tahun yang lalu dan memiliki satu orang anak ini, ia bisa kemanamana melakukan sosialisasi kepada marsyarakat. Dengan bekal yang ia dapatkan, ia pun merasa lebih tahu bagaimana sikap menghadapi masyarakat, memberikan pemahaman kepada mereka pentingnya mempelajari peringatan dini akan suatu bencana dan pola hidup bersih lingkungan seperti tidak membuang sampah di selokan yang akan menyebabkan banjir. Pertemuan Perempuan Tangguh dalam setiap bulan tidak menentu harinya karena para anggotanya berpencar-pencar. Tapi ada beberapa pertemuan penting yang pernah dilakukan bahkan hanya lewat sms saja, karena sifatnya mendadak dan membutuhkan tindakan cepat. Sejauh ini, Hartini sedikit lega bisa melihat pemahaman dan kesigapan anggota Perempuan Tangguh dalam tanggap darurat bencana.

Jika sebelum bergabung mereka hanya diam saja, tidak tahu apa-apa, kini kemampuan mengemukakan pendapat semakin baik. Wawasan mereka bertambah, mereka juga sudah menyadari kalau mereka juga memiliki hak sebagai perempuan. Dalam hal perilaku, bukan hanya soal membuang sampah sembarangan tapi mereka juga sudah bisa mengenali tanda-tanda longsor, seperti juga gempa yang mana diberikan arahan seperti tidak panik dan keluar ke tanah lapang. Bahkan Perempuan Tangguh juga pernah menanam pohon bersama ibuibu rumah tangga, reboisasi di mata air dekat Dusun Pancor Getah dengan menanam sampai 500 pohon dan ada yang tumbuh sampai sekarang seperti pohon mahoni, kayu jati putih dan lainnya. Kekompakan para Perempuan Tangguh ini mencerminkan sikap warga untuk mencapai terget desa mandiri. “Meskipun kami kadang ada pekerjaan lain, kami selalu mengupayakan bertemu dan berbincang bersama para Perempuan Tangguh,” papar Hartini. “Kami tahu bahwa masa depan kita tergantung seberapa kuat kita saling memikirkan satu sama lain, saling memecahkan masalah yang datang silh berganti. Itu yg seharusnya kita lakukan.” 

71


Pembuat Lubang Sampah Kolektif Perempuan di Desa Pajinian tidak hanya kreatif mengembangkan dana bergulir dalam wadah Komunitas Basis Gerejani (KBG) tapi juga peka dan peduli dengan sanitasi lingkungan. Kesadaran ini lahir dari kajian kritis perempuan tangguh bersama Yayasan Pengembangan dan Pengkajian Sosial (YPPS).

K

BG yang merupakan struktur paling dasar dalam Gereja Katolik menjadi ruang bagi kelompok Perempuan Tangguh untuk mendiskusikan berbagai permasalahan dan program pembangunan di Desa Pajinian. Biasanya, setelah kegiatan gereja berupa doa dan ibadat, kelompok ini membicarakan dan mengkaji berbagai masalah yang muncul di desa. Melalui pembicaraan usai kegiatan gereja ini, sampah muncul sebagai persoalan kolektif. Sampah yang dibuang di sembarangan tempat, selain merusak keindahan dan menjadi sumber penyakit tapi juga menjadi salah satu penyebab banjir di desa hampir setiap tahun.

Delapan kelompok Perempuan Tangguh ini mencari solusi dengan menghadirkan program bersama membuat lubang sampah secara kolektif. Setiap KBG Perempuan Tangguh secara bergotong royong menggali lubang sampah dengan lokasi di sekitar rumah yang dibantu oleh kaum lelaki. Kelompok ini menginspirasi dan mengajak kaum lelaki berpartisipasi dalam kegiatan pembuatan lubang sampah ini. “KBG 8 membuat 10 lubang sampah untuk menampung sampah dari setiap rumah. Lubang-lubang sampah itu berada di antara rumah-rumah warga. Dua atau tiga rumah bisa memiliki satu lubang sampah

72


secara bersama. Saat bekerja, kami menggunakan alat-alat seadanya seperti linggis, tofa, cangkul dan sebagainya. Kami dibantu oleh laki-laki di KBG ini. Pekerjaan menggali lubang sampah ini biasanya berat sehingga dilakukan oleh laki-laki. Kelompok Perempuan Tangguh membantu dengan mengangkut tanah, memindahkan batu dan sebagainya. Kelompok Perempuan Tangguh menyediakan makanan dan minuman untuk memperlancar kegiatan tersebut,� katanya Fransiska Prada, salah satu anggota KGB 8. Fransiska menambahkan, pembuatan lubang sampah merupakan terobosan baru desanya yang diinisiasi oleh kelompok perempuan tangguh dilaksanakan dengan tujuan menghadirkan kebersihan desa. Warga diimbau untuk tidak membuang sampah di sembarangan tempat, khususunya di lokasi-lokasi umum yang mengganggu kebersihan desa. “Penggalian lubang sampah dibantu oleh para suami dari anggota kelompok ini. Di desa ini, kalau kaum perempuan memulai satu aktivitas, pasti ada lelaki yang datang membantu. Ibaratnya, kalau ada gula pasti ada

semut. Kelompok Perempuan Tangguh menjadi daya tarik sendiri bagi para suami dan kaum lelaki lainnya. Maka pekerjaan penggalian lubang sampah yang berat itu bisa diselesaikan dalam sekejap,� katanya. Yosefina Kleden mengatakan, pembuatan lubang sampah ini membangun kesadaran warga untuk menjaga kebersihan lingkungan dan membangkitkan kesadaran kaum perempuan yang secara budaya telanjur dianggap hanya bergerak seputar dapur dan kehidupan rumah tangga. “Saya menyaksikan perubahan besar dalam diri kaum perempuan di desa ini untuk hadir dan berpar-

73


dalam pembangunan. Kami telah berbuat sesuatu yang berguna untuk masa depan desa ini,� ujarnya. Kepala Desa Pajinian Siprianus Tapo mengatakan, kehadiran YPPS dan Oxfam dengan program dana bergulir berbasis KBG dan aksi pengurangan risiko bencana perempuan tangguh melalui pembuatan lubang sampah secara kolektif telah mendorong para perempuan di desa kami untuk ikut memainkan peran secara aktif dalam pembangunan di Desa Pajinian. “Setelah YPPS masuk ke desa ini, banyak kajian dan analisa yang membantu warga membangun desanya dengan lebih aktif. Kami bisa mengatasi kelesuan ekonomi dengan adanya dana bergulir. Kebersihan dan keasrian desa tampak karena dampak dari penggalian lubang sampah yang menyadarkan warga untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat. Perempuan Tangguh melakukan banyak aktivitas yang kreatif untuk meningkatkan ekonomi dan mengembangkan potensi. Perempuan Tangguh menjadi salah satu modal dalam mengembangkan desa ini. Kegiatan Perempuan Tangguh ini disatukan dengan pro-

“Saya menyaksikan perubahan besar dalam diri kaum perempuan di desa ini untuk hadir dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Kegiatan seperti ini meningkatkan rasa percaya diri dalam diri kaum perempuan untuk berperan lebih aktif di lingkungan sekitar� (Yosefina Kleden) tisipasi dalam kehidupan sosial. Kegiatan seperti ini meningkatkan rasa percaya diri dalam diri kaum perempuan untuk berperan lebih aktif di lingkungan sekitar. Kelompok Perempuan Tangguh ini menghadirkan kesadaran kolektif warga akan pentingnya kebersihan dan sanitasi desa. Kami membuktikan bisa berbuat sesuatu untuk seluruh desa ini. Perempuan Tangguh tampil dan hadir sebagai kekuatan besar bagi pembangunan dan pengembangan desa ini. Meski dengan sarana dan fasilitas yang terbatas, kaum perempuan telah menunjukkan dirinya sebagai sebuah kekuatan dalam masya-rakat yang diperhitungkan

74


gram desa dan kegiatan gereja. Ada sinergi untuk membangun wajah desa ini,” katanya. Sekretaris Desa Pajinian, Yoseph Kopong mengatakan, Desa Pajinian memiliki banyak kesulitan tapi bisa diselesaikan secara bersama dengan melibatkan banyak komponen. Kelompok Perempuan Tangguh adalah salah salah satu aset desa yang telah menunjukkan peran dalam membangun desa. “Semua warga berpartisipasi aktif dalam pembangunan desa ini. Swadaya masyarakat sangat tinggi. Semangat gotong royong masih sangat kuat. Bila ada kerja umum, semua warga terlibat, baik kaum perempuan maupun laki-laki. Pekerjaan yang berat bisa diselesaikan dengan cepat. Warga bisa membuat parit sejauh lebih dari 200 meter hanya dengan modal Rp 10 juta. Dana itu hanya digunakan untuk membeli semen dari toko. Bahan selebihnya berasal dari desa ini. Parit itu menghalangi banjir memasuki desa ini. Warga juga bekerja membuat terasering di daerah yang miring untuk mencegah longsor, menanam bakau di pingir laut untuk mencegah abrasi dan membuat parit agar menjebak banjir untuk mence-

“Semua warga berpartisipasi aktif dalam pembangunan desa ini. Swadaya masyarakat sangat tinggi. Semangat gotong royong masih sangat kuat. Bila ada kerja umum, semua warga terlibat, baik kaum perempuan maupun laki-laki” (Yoseph Kopong) gah terjadinya bencana banjir di desa ini,” ungkapnya. Tantangan yang dihadapi kelompok perempuan tangguh adalah minimnya pengetahuan dalam mengembangkan pangan lokal. Usaha meningkatkan ekonomi masih terganjal pada kurangnya pengetahuan mengolah pangan lokal dengan kemasan dan jejaring pemasaran yang masih tertutup. Kelompok Perempuan Tangguh memerlukan pengetahuan bagaimana mengolah, mengembangkan dan memasarkan pangan lokal ke luar desa. “Kaum perempuan memerlukan pengetahuan bagaimana mengolah,

75


mengawetkan dan memasarkan hasil kreasi kelompok perempuan tangguh ini. Pengetahuan baru ini akan memotivasi kaum perempuan di desa ini untuk hidup lebih baik lagi. Perempuan di desa ini kekurangan sarana dan prasarana dalam mengembangkan potensinya. Misalnya, untuk memasak minyak yang dilakukan secara manual. Kita harapkan suatu saat ada bantuan misalnya mesin pemarut kelapa untuk memperlancar usaha memasak minyak kelapa. Selain itu, warga memerlukan pengetahuan terkait pengolahan sampah plastik agar menjadi potensi untuk mengembangkan diri dan hidup kelompoknya. Seminar atau pelatihan tentang pengolahan sampah plastik akan menambah wawasan kaum perempuan dan menjadi peluang baru untuk meningkatkan taraf ekonominya,” kata David Sanga Lamawatu. Kendala yang dihadapi tidak menyurutkan niat kelompok Perempuan Tangguh Desa Pajinian untuk mengembangkan dana bergulir dan usaha-usaha kreatif lainnya demi mengembangkan potensi diri dan membangun desanya. “Program YPPS ini telah menghadirkan pengetahuan dan kesadaran baru dalam

diri kami kaum perempuan di desa ini. Program pendampingan ini telah menjadi bagian dari diri kami. Kami akan tetap berjuang untuk menjadikan program ini bagian dari hidup kami. Pengetahuan yang kami miliki akan terus kami kembangkan,” kata Marselina Anu. Kepala Desa Siprianus Tapo mengatakan, program dampingan YPPS ini akan menjadi program desa ke depan. Kajian dan analisa yang dilakukan kelompok perempuan tangguh akan terus dikembangkan dengan tetap membuka ruang bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam pembangunan di desa. “Kesadaran warga yang telah terbangun ini menjadi kekuatan bagi warga untuk membangun desa ini. Kami belajar dari program ini bahwa proses pembangunan mesti dimulai dengan diskusi bersama masyarakat termasuk kelompok perempuan untuk menghadirkan rasa memiliki desa ini. Rakyat benar-benar dilibatkan secara aktif dalam seluruh proses pembangunan di desa ini. Kami mengharapkan agar pendampingan ini terus dilanjutkan dengan kegiatan kreatif lainnya. Program ini sangat membantu warga di desa ini,” tambahnya lagi.

76


Ber s ama Menemp a Diri Bers Menempa agar Lebih Mandiri Sedikit sulit menggambarkan pekerjaan sehari-hari Sulniyati (35). Ia seorang ibu rumah tangga, guru, petani, kader posyandu, Ketua muslimat desa Sembalun Bumbung, dan ketua komunitas perempuan, serta ketua Pokja 1 di PKK Desa. “Pulang dari mengajar saya langsung turun ke sawah dan kebun. Saya tidak mau ada waktu saya terlewatkan sedikitpun. Prinsip saya, jangan biarkan waktu melindas kita. Kita harus bangkit dan berbuat sesuatu bagi lingkungan kita.”

D

i Tim Siaga Bencana Desa Bencana Desa (TSBD), Sulniyati dikenal paling lincah dan supel ke setiap orang. “Saya suka di TSBD karena pada dasarnya TSBD adalah bagian daripada relawan desa yang tidak mendapatkan suntikan dari pihak mana pun. Kita banyak bergembira dan berbagi. Istilahnya, lebih banyak memberi daripada menerima.” Lewat wadah ini, Sulniyati mampu menggerakkan timnya untuk melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah desa, masyarakat kelompok perempuan dan

kelompok pemuda. Kegiatan-kegiatan untuk pengurangan risiko bencana, pembuatan bronjong untuk mencegah terjadnya luapan air dari sungai, perlindungan mata air. Sulniyati dan anggota TSBD lainnya juga melakukan reboisasi agar bisa mengurangi potensi terjadinya banjir. “Bila melirik ke belakang ke tahun 2006, kita belum tahu apa-apa tentang bencana,” ucap Sulniyati, “Di tahun 2006 itu terjadi banjir besar-besaran sehingga mengakibatkan korban dua orang. Fasilitas sawah dan kebun sekitar dua hektar ikut rusak. Pada saat itu belum

77


Sulniati, bersama perempuan tangguh lainnya. Dari diskusi santai selalu lahir inisiatif-inisiatif PRB yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan

78


terbentuk TSBD dan perempuan-perempuan yang memiliki pengetahuan tentang bencana yang bisa membantu masyarakat” tambah Sulniyati. Suaranya nyaring dan tegas. Sumiati (34), anggota Perempuan tangguh ikut bicara. “Saat itu lampu mati total sekitar pukul dua malam. Komunikasi terputus karena juga HP belum ada. Jadi kita semua menyelamatkan diri sendiri dan mengevakuasi diri sendiri ke tempat yg lebih tinggi. Betul-betul kita hanya bisa pasrah dan mengikuti perasaan dimana tempat yang aman. Ilmu siaga bencana belum kami miliki.” Menurut Sulniyati, ilmu kesiap-siagaan bencana begitu besar manfaat-nya dimana TSBD sejauh ini sudah luar biasa karena mereka mengaplikasikan semua pengetahuan dan keteramplan yang dimliki ke dalam kehidupan sehari-hari. Kami memberikan pengetahuan kepada kelompok perempuan melalui Posyandu, kelompok pengajian. “Awalnya kami khawatir, jika program yang kami lakukan sudah selesai maka semua kegiatan TSBD akan berhenti juga. Maka yang kami lakukan agar TSBD dan Perempuan Tangguh terus berlanjut adalah menciptakan usaha-usaha rumah tangga

seperti membuat dodol tomat, dodol strawberry dan keripik kentang. Semua industri ini, bahan bakunya dapat diperoleh dari desa kami yang seringkali berlebih pada musimnya. Ada juga pohon Asitaba yang daunnya bisa jadi teh. Oxfam dan KONSEPSI telah membantu kami mulai dari cara pembuatannya hingga pemasarannya.” Tutur Sulniyati. Semangat kebersamaan yang selalu bermuara pada kesenangan dan kegembiraan, menjadi motivasi kami dan akan selalu kami jaga sampai kapanpun.” Tambahnya. Beruntunglah semua anggota Perempuan Tangguh ini yang mana rata-rata adalah seorang ibu rumah tangga, mendapat dukungan sepenuhnya dari suami mereka tercinta. Meskipun begitu, tugas keluarga adalah hal utama. Sebagaimana yang dikatakan Qonita, anggota termuda dari Perempuan Tangguh di Sembalun Bumbung ini, “relawan itu berangkat dari panggilan jiwa. Jadi, intinya relawan itu hidupnya untuk orang lain. Prinsip saya sederhana, bergabung dengan perempuan tangguh adalah salah satu metode penempaan diri sehingga lebih mandiri dan menjadi baik dari sebelumnya.”

79


80



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.