SEKARANG... 1 Muharram 1435 H/ 5 November 2013
Tiap bulan Sura, sambutlah Kumara, yang sudah terlihat menebus dosanya, di hadapan Yang Maha Kuasa. Masih muda sudah dipanggil orangtua, warisannya Gatotkaca sejuta. Ludahnya ludah api, ucapannya sakti, yang membantah pasti mati.
Pada mulanya, segalanya kosong. Hingga mata yang terpejam perlahan-lahan terbuka. Saat kesadaran berangsur kembali, kudapati diriku terhuyung-huyung. Setelah bangkit pun, aku hanya berdiri mematung, bagai orang linglung. Sesaat hilang ingatan, aku mencoba mengingat apa yang baru terjadi. Samar-samar, bayangan beberapa detik sebelum
5
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 5
18/03/2014 12:29:58
kejadian mengerjap dalam benakku. Potongan-potongan memori berlesatan di dalam kepalaku. Gadis kecil cantik berkuncir dua tertawa menggamit tangan hangat ibunya. Ayah memanggul putra yang ceria, didudukkan di tengkuknya. Dua sejoli bertukar tatapan saling mencinta. Ribuan pengunjung menonton pertunjukan meriah di tempat lapang terbuka. Pesta rakyat! Pesta ceria bagi semua orang! Perhelatan akbar yang semestinya menjadikan semua yang mengunjungi larut dalam kegembiraan.... Tapi mendadak, semua terenggut! Dalam satu gelombang kejut! Dan aku terlempar! Kepalaku berpusing. Denyutnya membuatku pening. Aku mencoba bertahan tidak limbung, namun kedua kakiku gemetar, nyaris tak kuasa menopang. Aku bahkan tak dapat merasakan kakiku ada! Dan telingaku mendadak seperti kedap suara! Aku berseru, tapi tidak terdengar! Kulihat orang menjerit, tapi hanya hampa yang terlontar dari bibir yang bersandiwara. Lalu datang gelombang dan segalanya jadi gelap! Aku meraba-raba dalam kepulan pekat, mencari pegangan. Terbatuk-batuk dalam lautan asap menyesakkan, kakiku terantuk sesuatu. Terjerembap, kujatuh terduduk. Perlahan kebul memudar‌ Seiring angin menggiring... Campur aduk kurasakan. Beribuan pertanyaan. Kecamuk ini tak dapat kulukiskan. Hati ini tidak tenang. Bukan gelisah yang membuat perut keras mengejan. Ada sesuatu yang salah. Ada yang belum datang! Ya, aku tahu... Semestinya memang aku bersyukur, karena aku selamat! Tapi, tidak!
6
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 6
18/03/2014 12:29:59
Untuk menghela napas lega, masih terlalu cepat! Keadaan gawat itu belum lewat! Desau angin dingin yang lewat menusuk tulang menggidikkan kuduk, bagai mengisyaratkan, badai memang belum selesai! Hanya reda yang berjeda. Gemuruh menggentar langit. Deru angin yang lewat mengibar kembali pucuk-pucuk bendera, menerbangkan bau bakar, bagai mengabarkan, lanjutan mencekam dari drama ini masih ada. Spanduk itu tak hendak bergoyang, hanya pasrah diombang-ambingkan, lemah bergelombang. Umbul-umbul berkelebat. Aku bergeming, tercekat. Desir semilir yang menjauh masih terdengar lirih. Sementara awan mendung hitam tebal bergulung-gulung menggayut dalam senyap di langit yang hampir hujan, berarak di rentang jarak. Merayap, lamban mendekat, tapi belum hendak turun, hanya menambah getir suasana yang beraroma darah anyir. Perubahan aliran udara menyengat pembuluh kewaspadaanku. Refleks, saat sebuah tangan terulur dari belakang dan menepuk bahuku, aku berjengit, menoleh! “Kau tak apa-apa?” Orang itu berseru di dalam deru. “APAAA?!… Oh, maaf! Terima kasih... Aku tidak apa-apa, tapi orang-orang di sana…” “Mereka bergeletakan di mana-mana! Ya, Tuhaaan!” Mendadak kupingku yang semula seperti tersumpal kembali dapat mendengar. Seperti tuli kala pesawat terbang melesat, hingga mendaki ketinggian ribuan kaki, lalu… PLOP! Aku menelan ludah! Dan sumbat pun pecah! Gangguan pendengaran selama beberapa detik adalah imbas dari hempas 7
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 7
18/03/2014 12:29:59
suara dentuman dahsyat dari jarak cukup dekat! Beruntung, tubuhku saat itu terlindungi pilar. Meski denyar terasa nyeri dan dengung dalam kepala tak berhenti berdenging, sepasang indraku tak sampai rusak karenanya. Kini dunia kembali bersuara. Dan mendadak, jadi riuh sekali kedengarannya! “Pak Gubernur…! Di mana Bapak Gubernur?! Apakah beliau selamat?” Lelaki berseragam putih tenaga medis itu berlari meninggalkanku, bergabung dengan teman-temannya yang sibuk menolong berjatuhan korban jiwa dan terluka. Lima perwira tentara sigap menghalau warga yang berjejalan, berdesakan, melongok penasaran dari pembatas terluar, memaksa menghambur masuk. Satpol PP dan polisi turut menghalangi agar pengunjung tidak mendekat. Tampak jelas kecemasan warga mengkhawatirkan keselamatan pemimpin ibukota yang bersahaja. Lengkingan sirine yang meraung-raung menyayat udara parau. Kepulan asap tebal masih menggumpal dari balik reruntuhan bangunan utama di tengah lapang yang hancur lebur, porak poranda, luluh lantak oleh guncang ledakan sebuah megabom dalam skala besar tak terkira! Sangat dahsyat! Aku langsung menandai… Ini pasti ulahnya! Ini pemenuhan sabdanya yang gagal! Akhirnya terlaksana juga… Inikah... BRAHMASTRA?!… Inikah... BHARADAH KEDUA?!! Bangsat! Bajingan! Biadab! Bahkan setan pun tidak sekeji ini! Makiku di dalam hati! Tapi aku sadar, tak ada 8
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 8
18/03/2014 12:29:59
gunanya merutuk dan menyerapah. Sudah jelas! Kami telah kecolongan! Kali ini kami gagal mencegah amuk prahara yang berkobar dan menggila di puncak pementasannya! Jerit dan tangis begitu pilu, menyayat, memekakkan telinga. Tajam mengoyak sembilu yang tercacah hingga kelu. Di tengah hiruk-pihuk dan pekik orang-orang kalut mencari kerabat atau siapa saja yang dikenalnya, aku memperhatikan seliweran wajah-wajah panik, berlari berserabutan. Segalanya kacau balau! Semuanya karut marut! Sekusut gumpal benang tebal semrawut. Ratusan jasad bergelimpangan, beberapa tidak utuh lagi. Serpihan kulit tersebar, potongan anggota badan tergolek dan berserakan. Darah segar lagi kental berceceran, bermuncratan, hingga bercipratan di jalan, di gundukan puing, di mana-mana! Sungguh pemandangan yang mengiris hati. Aku menatap pakaianku sendiri. Terkoyak dan compang-camping, baju dan celana sobek jadi perca. Meski selamat dari lesatan gotri, paku, baut, dan entah apalagi isi perut bom laknat itu, tak ayal tubuhku penuh goresan di sana-sini, bak tercabik-cabik, walau hanya disebabkan oleh hawa panas gelombang ledakan! Sungguh bukan main, gelar aksi orang gila itu, kali ini! Aku mendengus lewat hidung, menghela napas berat. Kulit masih terasa panas terbakar. Menyaksikan sekeliling, aku berusaha mencerna kembali yang terjadi, sambil merunut barangkali ada selintas hal yang terlihat tapi kulewatkan. Sesuatu yang bisa menjadi kelumit petunjuk... Sampai kapan?!... 9
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 9
18/03/2014 12:29:59
Sampai kapan kegilaan dan teror keji ini baru berakhir? Sampai kapan sandiwara degil ini dipentaskan? Apakah sampai kau puas bermain?... HAHHH?!!... Ataukah sampai mimpi di siang bolongmu terwujud?!... Sampai cita-cita sintingmu tercapai?! Terus terang, aku lelah! Sungguh, amat sangat lelah! Semuanya juga pasti sudah lelah‌ Tapi cerita ini belum berakhir‌[] *
10
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 10
18/03/2014 12:29:59
KILAS BALIK... 27 November 2009 13:50 WIB
SEPULUH menit. Hanya itu sisa waktu yang mereka miliki. Tik! Jam digital itu berganti menit. Dua digit detiknya terus berlari. Ditingkah detak jantung berdebar kencang, degup gugup naluri memacu cepat adrenalin, menyembur deras dalam denyut kalut pembuluh nadi. Derap langkah demi langkah susul-menyusul berebut menuruni tangga batu, mengejar milidetik meluncur laju. Hitung mundur bergulir! Sisa sembilan menit lagi! Drang! Drang! Drang! Brang!!! Gerendel itu pun hancur dirusak popor senapan. Rantai besi bergembok yang menjerat gerbang menuju lorong terbawah bangunan tua itu direnggut, urai cepat, lepas, terbuka! “Cari! Berpencar!! Temukan!!!� Gaung seruan itu memekik, memecahkan sunyi. Bunyi tapak-tapak langkah di atas kecipak menyebar, menjauh,
11
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 11
18/03/2014 12:29:59
berlari, menyusuri kelam suram penjara bawah tanah yang menyimpan beribu kisah pilu korban pembantaian dan kebiadaban yang jauh dari manusiawi, lebih setengah abad lalu, di sini! Penjara bawah tanah itu sejatinya adalah bekas saluran pembuangan air, terletak di dasar gedung bersejarah bertingkat tiga peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Bangunan yang angker dan bergeming angkuh di simpang kota itu adalah saksi bisu kekejaman tentara penjajah Jepang, sekaligus aksi heroik dan patriotik para pemuda dan pejuang Indonesia. Dinding lorong yang sempit dan langit-langit rendah terasa menghimpit. Satu regu kecil pasukan elit menyebar dalam perut bumi, mengabaikan kuduk yang bergidik ngeri. Dalam ilusi, mereka bagai tengah berhadapan dengan ratusan makhluk gaib yang bersarang di sana. Setan penasaran, lelembut, hantu jejadian, memedi, arwah gentayangan, penampakan bayangan. Tidak! Kini bukan waktunya untuk takut pada sesuatu yang semestinya sudah mati. Justru, sudah tidak ada waktu lagi! Jika mereka gagal mengemban misi, akan jatuh korban lebih banyak lagi. Nasib semua orang, bahkan penduduk dari seluruh negeri, kini bergantung pada mereka yang ada di bawah sini, saat ini! Jika hidup terlalu berharga untuk diakhiri, dan peluang bertahan hidup dalam sempitnya waktu menjadi begitu berarti, maka ini saatnya berjudi dengan waktu, bertaruh untuk bertahan tetap hidup... Atau mati! Delapan menit lagi, atau tak ada esok hari. “Di siniiii!!� 12
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 12
18/03/2014 12:29:59
Spontan, anggota pasukan khusus lainnya yang tengah berjibaku dengan kegelapan berhenti dan tergopoh menghampiri sumber seruan. Lima orang tiba nyaris bertabrakan. Kelimanya berkerumun di depan salah satu sel jongkok setinggi satu meter yang pengap, becek, lembap, digenangi air keruh yang berbau busuk tajam oleh bangkai tikus teronggok di sudut. Aroma anyir darah peninggalan kesadisan masa silam bagai turut tercium, bercampur mengocok perut, bergolak menjadi satu. Seperti sang pemanggil, yang lain pun turut menggigil. Di hadapan mereka kini, sebuah peti mati terbuat dari kayu jati teronggok dalam remang seram, bergeming dalam bisu di pojok ruang! Dalam hening yang mencekam, bunyi detikan itu nyaring menggema di seantero dinding lapuk bawah bumi. Merayap jauh hingga ke lubuk hati, menggetarkan tiap lapis membran tipis sanubari. Tinggal tujuh menit sepuluh detik waktu yang mereka miliki. Dua orang mengerahkan tenaga untuk menyingkirkan tutup peti yang berat hingga tersibak. Terbaring dalam peti, dua buah tabung lonjong dan besar berketinggian orang dewasa, dengan rangkaian kabel ruwet melilit, memangku kotak hitam berjendela yang memendarkan pulas warna merah darah, dari empat digit angka penunjuk waktu tersisa‌ 06:59 Menuju tamat riwayat Republik Indonesia![] *
13
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 13
18/03/2014 12:29:59
Indonesia bersiaga menyambut pesta akbar di panggung politik bangsa. Tatkala negara bersiap menyongsong suksesi kepemimpinan yang niscaya, Di saat itu pula memuncak pementasan gelombang prahara! Ini adalah kisah tentang tujuh pemuda ksatria, yang bersahabat dan pernah saling bersumpah Satya Bela Negara. Saat negara berada di ambang malapetaka, mereka akan bangkit untuk membela! Beranjak dari impian dan cita-cita mulia, dari kelompok bermain masa kecil, lahirlah sebuah Saga! SAPTA SATRIA BANGKIT NO-TO-NO-GO-RO! MUNCULNYA SATRIO PININGIT SETELAH GORO-GORO!
14
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 14
18/03/2014 12:29:59
PURWACARITA
Awal Mei 2009. Museum Radya Pustaka, Surakarta, gempar! Tak kurang dari 42 naskah kuno dipastikan hilang dari museum paling tua di Indonesia itu. Adalah Nancy K. Florida, anggota tim pembuatan mikrofilm dari lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, yang 25 tahun silam datang ke museum itu untuk meneliti lalu membuat daftar koleksi naskah kuno warisan budaya luhur para leluhur bangsa. Museum yang mulai dibangun 28 Oktober 1890 oleh Kanjeng Adipati Sosroningrat IV, pepatih dalem pemerintahan Pakubuwono IX dan X itu, diresmikan pembukaannya setelah Indonesia merdeka oleh Presiden Soekarno pada 11 November 1953. Ketika Nancy berkunjung kembali pada Februari 2009, ia menyempatkan untuk melakukan inventarisasi dan verifikasi. Tak dinyana, setelah dilakukan cross-check data dengan petugas perpustakaan, banyak karya agung pujangga itu yang
15
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 15
18/03/2014 12:29:59
raib, tak tentu rimbanya! Entah terselip, tercecer, dipinjam, atau dicuri! Maka diusutlah perkara itu oleh polisi. Di antara karya agung yang tak terhingga nilainya dan turut menghilang adalah naskah tulisan tangan asli dari pujangga besar keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ronggowarsito1. Naskah versi adaptasi dari Kakawin Bharatayudha adikarya Mpu Panuluh dan Mpu Sedah dari zaman kejayaan Prabu Jayabaya, Raja Kediri abad ke-12, itu penuh dengan ilustrasi dan beriluminasi prada emas! Ternyata pencurian itu bukanlah kasus yang pertama. Jika sebuah patung dapat menangis, patung dada Ronggowarsito yang dipajang di halaman museum itu mungkin akan menjerit sekeras-kerasnya, tatkala pada 2007 menjadi saksi bisu dipalsukannya lima buah arca klasik, dan yang asli dicuri. Kelak diketahui, pencurian itu merupakan hasil konspirasi dari “orang dalam� museum dengan pialang tenar serta agen barang antik. Lima arca utama yang hilang adalah Ciwa Mahadewa, Durga Mahisasuramardhini, Durga Mahisasuramardhini II, Agastya, dan Mahakala. Meski kelimanya berhasil ditemukan kembali dan dapat diselamatkan oleh anak bangsa yang peduli, dibeli dari tangan kurator asing di balai lelang Amsterdam, Belanda, apa yang terjadi 1 Raden Ngabehi Ronggowarsito bernama asli Bagus Burham. Putra Raden Mas Pajangswara ini adalah pujangga besar Keraton Surakarta abad ke-19. Sebagai cucu kandung Yosodipuro II, tokoh pujangga generasi sebelumnya, Ronggowarsito aktif menulis beragam karya abadi yang sarat nilai humaniora, dari falsafah, sejarah, lakon wayang, primbon, kisah raja-raja, ilmu kebatinan, dongeng, syair, adat kesusilaan, hingga serat-serat yang konon mengandung ramalan masa depan negara yang kini dinamakan Indonesia. Karyanya yang terkenal antara lain adalah Serat Kalatidha, Jayabaya, Joko Lodhang, Sabdatama, Sabdajati, Paramayoga, Nitisruti, Candrarini, Cemporet, dan Pustaka Raja.
16
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 16
18/03/2014 12:29:59
pada arca tersebut sebelum kembali, mungkin tak ada yang benar-benar mengetahui. Hanya bergelintir orang yang memiliki mata batin yang lebih jernih dapat awas menyadari, dua kejadian di tempat yang sama pada waktu yang berbeda, pencurian naskah serta arca kuno, itu adalah percik pemicu rentetan kegemparan yang akan mengguncang Tanah Air dalam waktu tidak lama lagi! Fajar merah berdarah pun menyingsing di ufuk timur. Tirai kisah ini perlahan tersibak.[] *
17
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 17
18/03/2014 12:29:59
PAMBUKANING GAPURA 1986
“Aku cinta… kamu cinta… semua cinta… buatan Indonesia…” Lamat-lamat, terdengar alunan nada dari luar kamar yang penuh dengan mainan berserakan. Suara merdu kelompok musik Bimbo membuka acara Apresiasi Film Nasional di stasiun televisi kebanggaan dan satu-satunya milik pemerintah, Televisi Republik Indonesia (TVRI). Siaran warta tiga puluh menit itu, Dunia Dalam Berita, baru saja usai. Jam dinding bundar bergambar Semar tambun, bertengger tenang dan anggun. Bilah jarum yang diserupakan sepasang tangan Ki Lurah Badranaya itu yang panjang tepat menunjuk arah bawah dan yang pendek menuding ke kiri sedikit ke atas. Pukul dua puluh satu lewat tiga puluh menit.
18
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 18
18/03/2014 12:29:59
Tirai merah tebal di panggung perlahan terbelah kian melebar. Laki-laki lanjut usia bertubuh kurus tinggi itu menguap kemudian bangkit beringsut dari sofa tua butut. Tertatih-tatih ia berjalan bertumpu tongkat mendekati boks berlayar hitam-putih. Diputarnya kenop ke kiri dan mematikan televisi. Dia menghampiri pintu kamar setengah terbuka. Lampu di dalam kamar itu masih terang menyala. “Jadi, Nak, sudah siap untuk mendengarkan kisah baru lagi malam ini?� “Oh! Iya donk! Siapppp, Eyang!� Bocah lelaki tampan, gemuk, sehat, dan berkulit putih bersih itu tersenyum lebar, tatapannya polos berbinar, kepala mengangguk semangat! Spontan dilemparkannya kepingan-kepingan Lego hingga berserakan di lantai marmer. Melompat sigap ke atas kasur berseprai warna biru muda, ditariknya selimut tebal ke atas pangkuan. Duduk bersila, dada anak kecil berusia sepuluh tahun itu bergemuruh kencang, menanti lanjutan dongeng sang kakek yang selalu mampu menakjubkannya! Wajah tirus, mata sipit, dengan sorot teduh ramah itu mendekati kasur, mengulas senyum tipis di bibir hangat yang tak sepucat kerut garis tua di raut senjanya. Sejumput rambut putih menyembul dari balik topi pet lusuh kelabu yang baru saja dilepas dari kepala lelaki berusia tujuh puluh tahun itu. Sejenak, topi kumal itu ditepuk-tepuk sebelum diletakkan di atas bantal. Tongkat disandarkan di sebelah dipan. Laki-laki renta menyisir gemetar rambut jarang ke belakang, lalu duduk di hadapan anak kecil bersenyum lebar 19
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 19
18/03/2014 12:29:59
terkembang, sambil mengusap lembut rambut berponi lebat dengan penuh curah kasih sayang. “Hari ini kita akan berkenalan dengan Abimanyu! Kau tahu siapa itu, Abimanyu?” “Putra kesayangan Arjuna, Eyang!” “ANAK PINTAR!!! Bagaimana kamu tahu?” Si bocah menyeringai dengan lebarnya. Dia memang menggemari kisah wayang. “Kau benar, Nak! Abimanyu adalah putra dari Raden Arjuna dengan Dewi Wara Subadra alias Rara Ireng, yang tak lain adalah adik kandung Prabu Kresna, Raja Dwarawati yang menjadi penasihat Pandawa dalam perang Bharatayudha. Sesuai namanya, ‘abhi’ dalam bahasa Sansekerta bermakna ‘berani’, ‘man’yu’ artinya ‘tabiat’. Watak Abimanyu pemberani, tapi juga halus, baik tingkah laku dan budi bahasa, terang dalam ucapan, berhati keras, besar tanggung jawab dan tak pernah gentar atau takut. Abimanyu mewarisi tak hanya kecakapan raga, tapi juga olah keprajuritan dan ilmu kanuragan dari ayahnya. Dia juga dididik kebijaksanaan dan seni ketatanegaraan oleh pamannya, Sri Kresna, serta digembleng dalam olah kebatinan oleh kakeknya, Begawan Abiyasa alias Kresna Dwipayana.” “Kenapa Kakek ingin bercerita tentang Abimanyu?” “Karena dia seorang pemuda istimewa! Seperti kamu! Abimanyu walau masih amat muda dikagumi lantaran keberanian dan kesetiaannya kepada Tanah Air. Segala kecintaan dan baktinya tercurah kepada keluarga Pandawa. Sejak masih dalam kandungan ibunya, Abimanyu telah 20
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 20
18/03/2014 12:29:59
dianugerahi Wahyu Hidayat oleh Dewata, yang membuatnya mampu memahami segala hal dengan mudah. Pada usia remaja, berkat kecerdasan yang di atas rata-rata dan kesungguhannya dalam bertapa brata, Abimanyu ‘kejatuhan’ Wahyu Makutha Raja sekaligus Wahyu Cakraningrat, yang seolah menegaskan bahwa hanya dari garis keturunannyalah kelak dilahirkan raja-raja besar, penerus takhta kerajaan agung leluhur: HASTINAPURA!!!”[] *
21
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 21
18/03/2014 12:29:59
EKA
Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri Rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi Atilar silastuti, sujana sarjana kelu Kalulun Kala Tidha, tidhem tandhaning dumadi Ardeyengrat dene karoban rubeda Keadaan negara waktu sekarang sudah semakin merosot Segalanya rusak karena tak ada yang dapat dijadikan panutan Banyak orang meninggalkan petuah atau aturan lama Cerdik cendekia terbawa arus zaman Kala Tidha Dunia mencekam penuh keraguan serta kerepotan (Serat Kalatidha, Pupuh Sinom 1)
22
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 22
18/03/2014 12:29:59
NO
Mula den titenana, Samangsa tanah Jawa mengku, ratu wis ora bapa Titikane nganggo kethu bengi, asesirih Ratu Bengi Pangapesane perempuan ayu ngiwi-iwi Ajejuluk sarwo agung edi Karena itu simak dan perhatikanlah, Saat tanah Jawa mempunyai raja tak berayah, tandanya memakai peci malam, bergelar Raja Malam, kelemahannya perempuan cantik yang merayu-rayu, bergelar serba agung dan mulia‌ (Jangka Jayabaya, bait 120)
23
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 23
18/03/2014 12:29:59