Vol III, No 2, November 2010
Jurnal Ilmiah
ISSN: 1979-0589
MANAHIJ Berfikir Kritis - Transformatif
Jurnal Ilmiah MANAHIJ diterbitkan secara berkala dalam 2 kali edisi setiap tahun (edisi Mei & edisi November) oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Sengata (STAIS) Kab. Kutai Timur. Redaksi menerima kiriman tulisan berupa artikel, paper, dan sejumlah tulisan ilmiah lainnya. SUSUNAN REDAKSI : Penanggung Jawab Redaktur Ahli
: Prof. Dr. Hj. Siti Muri’ah : Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, MA Prof. H. Arief Furqon, MA, Ph.D Dr. Arief Rembang, M.Pd.
Dewan Redaksi
: Dr. HM. Ilyasin, M.Pd. Dr. Zurqoni, M.Ag Amir Tajrid, M.Ag Moh. Mahrus, M.Hi Hariyono, M.Si Imam Hanafie, MA
Pimpinan Redaksi Sekretaris Redaksi Desain Cover Layout
: Musthato’, M.Pd.I : Khusnul Wardan, M.Pd : Agus Sulisyanto, S.Pd.I : Moch Khoirul Faizin
Sirkulasi
: Mushthofa Luthfi, S.Pd.I Rohmad Edy Purnomo, SE Ahmad Fahruddin, S.Hi Indriana Rahmawati, S.Ps.I
Bendahara
: Eko Cahyaningrum, SE Siti Fatimah, SE
Alamat Redaksi : Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Sengatta (STAIS) Jl. APT Pranoto No.1 Sangatta Utara Kutai Timur Indonesia telp (0549) 5505855 HP. 08195004122 Fax. 0549 23953 website : www.staiskutim.ac.id email : manahij_staiskutim@yahoo.co.id
i
ii
Vol III, No 2, November 2010
Jurnal Ilmiah
ISSN: 1979-0589
MANAHIJ Berfikir Kritis - Transformatif
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................ i PENGANTAR REDAKSI ................................................................... v EFEKTIFITAS KETELADANAN SEBAGAI METODE PENDIDIKAN ISLAM (Suatu Kajian Tafsir Tarbawi) Zainul Muflihin, M.S.I............................................................................................ 1 MADRASAH NIZAMIYAH (Studi Geneologis Madrasah Pada Islam Klasik) Drs.Mustajib Daroini M.M.Pd.............................................................................. 15 REORIENTASI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL Mujiburrokhman .................................................................................................... 31 DESENTRALISASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (Reformasi Arah dan Pengembangan Pendidikan di Indonesia) Mustatho ................................................................................................................. 45 MULTI MEDIA DALAM PENGAJARAN Khusnul Wardan, M. Pd ....................................................................................... 59
iii
MOTIVASI KERJA GURU (Analisis Faktor-Faktor Penguat Kinerja Guru) Muslihati, S.Pd.I .................................................................................................... 83 PENDIDIKAN ISLAM INTEGRATIF (Tawaran Baru Epistemologi Pendidikan Islam) Zamrony . ................................................................................................................ 105 APLIKASI METODE MIND MAPPING TERHADAP DAYA INGAT
MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SISWA Dr. HM. Ilyasin, M.Pd .......................................................................................... 123
iv
PENGANTAR REDAKSI Puji syukur Alhamdulillah kami haturkan atas terbitnya Jurnal Manahij Vol III No 2 November 2010 ini. Shalawat dan salam mudah-mudahan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Keluarga, Sahabat, pengikut dan orangorang yang senantiasa menapak jejak para Nabi Allah sampai hari penutup kelak amin. Ucapan trimakasih kami sampaikan kepada segenap kolega yang telah membantu atas terbitnya jurnal Manahij vol III No 2 tahun 2010, tanpa dukungan dari semua pihak niscaya penerbitan Jurnal yang kita cintai ini akan mengalami kendala. Secara spesifik kami ucapkan trimakasih kepada Ketua STAIS kutai Timur, Prof.Dr. Hj.Siti Muri’ah yang tak henti-hentinya mensupport dan mengevaluasi perkembangan Jurnal ini, mengalokasikan dana dan semua kebijakan yang membantu iklim ilmiyah di Kampus STAIS Kutim salah satunya adalah melalui penerbitan jurnal manahij ini. Kepada para penulis kami haturkan penghargaan setinggi-tingginya, juga kepada seluruh jajaran team pengelola manahij yang telah bekerja keras mulai dari hunting data, editing, proses layout cover dan tulisan hingga penerbitan ini selesai, tanpa keringat kalian jurnal yang saat ini ada di tangan pembaca hanya menjadi wacana belaka. Mudah-mudahan jerih payah dan peluh kalian akan berbalas manis entah esok atau diakhir nanti,amin. Jurnal Manahij Vol III No 2 November 2010 ini menyajikan tulisan-tulisan terkait dengan dunia pendidikan, probematika dan pemikiran pendidikan dari para dosen, praktisi dan ilmuwan yang selalu hangat dan layak untuk dikaji. Madrasah Nidzamiyah (geneologi Pendidikan Islam Klasik) yang ditulis Mustajib Daroini ini menganalisis proses terbentuknya madrasah di era islam klasik, factor-faktor, tipologi sampai wacana madarasah Nidzsamiyah sebagai lembaga pendidikan Islam modern pada zamannya. Modernitas madrasah Nidzamiyah ada pada system penyelenggaraan pendidikan, pendanaan sampai dengan fleksibilitas Kurikulum yang ada. Zainul Muflihin menulis tentang Metode Teladan bagi Pendidikan Islam (kajian tafsir tarbawi), dosen muda STAIS Kutim ini mengetengahkan tentang keunggulan-keunggulan metode teladan dengan mencontohkan pada pribadi
v
Ibrahim sebagai anasirnya, bahwa pendidikan mutlak diperlukan percontohan dari diri pendidik tidak sebatas penguasaan teori. Mujiburrahman, menggagas tentang perlunya pembacaan ulang tentang pendidikan Islam, utamanya ketika pendidikan Islam dihadapkan pada era yang sangat jauh berbeda dengan dunia awal di mana awal Islam ada. Globalisasi yang saat ini meniscaya semestinya dihadapi oleh para pengelola pendidikan dengan penyesuaian dan pengembangan kemampuan hingga pendidikan Islam tidak ketinggalan zaman. Mujiburrahman mulisnya dalam Reorientasi Pendidikan Islam di era global. Tulisan yang tidak kalah menarik lainnya disumbangkan oleh Mustatho tentang Desentralisasi Pendidikan Nasional (tawaran arah dan pembaharuan pendidikan), Khusnul Wardan dengan Multi Media dalam Pengajaran, Muslichati dengan Motivasi Kerja Guru (Analisis factor penguat kinerja guru), dan terakhir adalah tulisan dari H.M Ilyasin dengan judul Aplikasi Maping Mind dalam pembelajaran PAI. Sebagai penutup kami sampaikan permohonan maaf atas semua kekurangan di sana-sini yang mungkin akan ditemukan di dalam jurnal ini, dan dengan kerendahan hati pengelola jurnal manahij sampaikan kepada pembaca “tiada gading yang tak retak�, wa akhiru da’wana kami ucapkan Selamat membaca!. Salam Pimpinan Redaksi Manahij
vi
Efektifitas Keteladanan sebagai Metode Pendidikan Islam (Suatu Kajian Tafsir Tarbawi) Oleh: Zainul Muflihin, M.S.I
ABSTRACT Modeling is the most powerful methods and proven successful in preparing children moral, spiritual and social. This is because an educator is a major figure in the eyes of a child, which his actions, whether conscious or not be imitated by children and ingrained in him which will be further implications for the development of personality in the future. Modeling as the most effective method in accordance with the views of psychology which states that human nature is like imitating and copying. Imitation is a very strong look, especially in childhood. Psychologists claim that a child learns through his vision reaches 83%, followed by a new hearing and the remaining 11%, and 6% he got from the smell and more. Besides the example shown by parents as educators first and foremost for children, modeling can also be given through the largest child (oldest). This is because a child tends to his brother. Children looked at their brother as a role model, he usually imitate his gestures, behaviors and habits. Therefore, parents rightly focuses more on the oldest. In the current educational context, this method can also be interpreted as an effort to present the stories of the Prophet Muhammad, because he is a perfect example for all mankind, and his personality has proven to attract the sympathy many people to follow his religion. So also by example in itself of the Companions and other Muslim leaders for the children. Kata Kunci: Pendidikan Islam, Metode Pendidikan, Tafsir Tarbawi.
1
Efektifitas Keteladanan sebagai Metode Pendidikan Islam
A. PENDAHULUAN Metode diibaratkan sebagai alat yang dapat digunakan dalam suatu proses pencapaian tujuan. Tanpa metode suatu materi pelajaran tidak akan dapat
dan mengaktifkan berbuat, sehingga menimbulkan kesan terhadap peserta didik tentang apa yang ia pelajari dalam setiap kondisi.4 Pemilihan sebuah metode pen�-
berproses secara efisien dan efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang dimaksud. Metode yang diterapkan akan berdaya guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Metode yang tepat guna adalah bila ia mengandung nilai-nilai yang intrinsik dan eksrinsik sejalan dengan materi pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam.1 Metode berasal dari bahasa Yunani “metoda” yang mengandung
didikan memiliki peran yang signifikan terhadap isi atau materi pendidikan yang akan diajarkan.5 Ada aksentuasi berbeda antara metode pendidikan Islam dengan metode pendidikan pada umumnya. Aksentuasi tersebut terletak pada sumber di mana metode itu diambil. Metode pendidikan Islam hanya bisa digali dan diambil dari alQur’an dan al-Sunnah.6 Karakteristik metode yang ditawarkan al-Qur’an adalah penerapan sistem penyederhanaan dan sistem gradasi. Al-Qur’an kerap memakai nasehat yang baik yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
dua suku kata, meta yang berarti “melalui” dan hodos yang berarti “jalan atau cara”. Jadi, metode adalah jalan atau cara yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan.2 Cara yang ditempuh adalah cara yang paling tepat (efektif) dan cepat (efisien).3 ‘Ali Khalil menyatakan bahwa metode pendidikan merupakan serentetan kegiatan yang dilakukan pendidik dalam rangka menggairahkan
atau kapasitas anak didik sebagai objek seruan. Pendidikan harus disampaikan demikian karena memang pada dasarnya seorang anak memerlukan penyederhanaan dan penyimpulan agar sejalan dengan taraf pemahamannya.7 Tidak ditemukan kata sepakat mengenai jumlah metode pendidikan dalam Islam, namun secara garis besar setidaknya terdapat sembilan metode
2
Vol III, No 2, November 2010
Zainul Muflihin
sebagaimana dikemukakan oleh para pakar pendidikan Muslim, yang meliputi: 1) metode diskusi, tanya jawab atau dialog (hiwar/muhawarah); 2) metode kisah (qishshah); 3) metode perumpamaan (amtsal); 4) metode keteladanan; 5) metode praktik dan pengamalan atau pembiasaan; 6) metode nasehat (‘ibrah/mau’izhah); 7) metode dorongan (targhib) dan ancaman (tarhib); 8) metode pengawasan atau perhatian (mulahazhah); dan 9) metode sanksi (‘uqubah). Dari kesembilan metode tersebut, yang dibahas dalam tulisan ini hanyalah metode keteladanan. Melihat urgensi sebuah metode dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang hendak dicapai sebagaimana diuraikan di atas, maka perlu diupayakan penggalian dan pengkajian terhadap
karena hampir semua unsur pendidikan baik secara tersurat maupun tersirat disinggung di dalamnya.9
sumber utama Islam, yaitu al-Qur’an. Menjadikan al-Qur’an sebagai sumber untuk mencari informasi atau mengkonfirmasi suatu persoalan merupakan hal yang wajar, termasuk guna menemukan sebuah nilai dalam bidang pendidikan. Hal ini tidaklah mustahil karena al-Qur’an sendiri merupakan sumber nilai,8 bahkan Shihab menyebut al-Qur’an sebagai kitab pendidikan
batilan yang telah mengakibatkan bencana pada masa tertentu.10 Terkait dengan metode pendidikan, salah satu kisah dalam al-Qur’an yang patut menjadi perhatian adalah kisah Ibrahim dengan anaknya Isma’il tentang upaya mereka merenovasi Ka’bah. Allah ta’ala berfirman:
Vol III, No 2, November 2010
B. METODE PENDIDIKAN NABI IBRAHIM Dalam mentransformasikan sebuah nilai terkait dengan pendidikan, tidak al-Qur’an jarang menuturkannya dalam bentuk kisah atau menampilkan sosok tertentu untuk dijadikan sebagai teladan. Semua kisah dalam al-Qur’an pada prinsipnya mengandung pesanpesan ajaran Islam yang di satu sisi berfungsi persuasif, yakni mengajak pembacanya untuk ikut memerankan tokoh-tokoh kebaikan yang ditampilkan dalam alur cerita, dan di sisi lain berfungsi preventif, yakni mencegah munculnya kembali tokoh-tokoh ke-
س َما ِع ْي ُل ْ ِ وَاِذْ يَرْ َف ُع اِبْرَا ِه ْي ُم الْ َق َوا ِع َد ِم َن الْ َب ْي ِت وَا 3
Efektifitas Keteladanan sebagai Metode Pendidikan Islam
الس ِم ْي ُع الْ َعلِ ْي ُم َّ رَبَّنَا ت َ َق َّب ْل ِمنَّا اِن ََّك اَن َْت Maknanya: “dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Q.S. al-Baqarah (2): 127 Ayat di atas berkisah tentang Ibrahim ketika membangun Ka‘bah bersama putranya Isma‘il. Allah perintahkan Ibrahim untuk merenovasi Ka’bah yang telah rusak disebabkan terjangan air bah pada masa Nabi Nuh. Malaikat Jibril datang menemui Ibrahim dan menunjukkannya tempat yang dimaksud. Ibrahim lalu pergi menemui anaknya seraya berkata: “Wahai Isma‘il, sesungguhnya aku diperintahkan Allah untuk membangun sebuah rumah”. Isma‘il menjawab: “Kalau begitu patuhilah perintah Tuhanmu”. Ibrahim berujar: “Allah juga menghendaki agar engkau membantuku”. Isma‘il menjawab: “Baik, saya siap melaksanakan”. Mereka berdua akhirnya membangun Ka’bah bersama-sama.11 Al-Alusi berkomentar bahwa ayat ini mengundang setiap orang agar 4
selalu ingat dan membayangkan saat Ka‘bah itu dibangun oleh Ibrahim, disusun batu demi batu hingga menjadi sempurna bangunannya. Ibrahim mengerjakannya tanpa menerima upah dari siapapun, ia hanya berharap agar amalnya itu diterima sebagai bentuk pengabdian yang tulus kepada Allah, sebagaimana dinyatakan dalam lanjutan ayat berikutnya. Argumen al-Alusi ini didasarkan pada penggunaan kata kerja “yarfa’u” yang menunjuk arti masa kini dan akan datang (mudhari’), meski peristiwa ini terjadi jauh sebelum alQur’an turun.12 Sedangkan kata al-qawa‘id adalah bentuk plural dari qa‘idah yang berarti dasar. Ungkapan “ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar” merupakan bentuk majaz yang maknanya adalah membangun, karena seseorang yang meletakkan pondasi biasanya ia akan membangun bangunan yang tinggi di atasnya.13 Ungkapan tersebut juga memahamkan kita bahwa Ibrahim bukanlah orang pertama yang membangun Ka‘bah. Ia bersama puteranya hanya meninggikan dasar-dasarnya saja, sementara Ka‘bah telah ada sebelumnya.14 Vol III, No 2, November 2010
Zainul Muflihin
Potongan ayat berikutnya meru�pakan untaian doa yang dipanjatkan oleh Ibrahim dan anaknya.15 Keduanya membangun Ka‘bah, berputar mengelilinginya sambil mengucapkan doa
pada pemahaman yang komprehensif dan mendalam, demikian pula sebaliknya. Ibrahim yang dikenal sebagai bapak tauhid, dalam mendidik anaknya
ini.16 Kalimat taqabbal minna mengindikasikan bahwa mereka membangun Ka‘bah itu semata-mata ikhlas demi Allah tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk materi. Pemilihan redaksi “taqabbal” dan bukan menggunakan “iqbal” mengindikasikan kuatnya keinginan Ibrahim agar amalnya itu diterima. Kata taqabbal dan iqbal samasama mengandung fungsi harapan, tetapi stressing pada kata taqabbal semakin kuat dibandingkan dengan kata iqbal.17
selain melalui kata-kata verbal, ia juga mengaplikasikan pendidikannya itu dalam tindakan nyata, yakni dengan mengajaknya membangun Ka‘bah sebagai simbol tauhid. Ayat di atas menjadi penjelas bahwa salah satu metode Ibrahim dalam mendidik anaknya adalah dengan keteladanan, meski metode ini bukan satu-satunya yang digunakan Ibrahim, mengingat masih diperlukan kajian terhadap ayat-ayat lain yang mengisahkan tentang Ibrahim dalam al-Qur’an. Statemen mengenai pemakaian keteladanan sebagai metode
C. PEMBAHASAN AYAT Ka‘bah dibangun oleh Ibrahim bersama anaknya, Isma‘il yang ketika itu usianya masih relatif kecil.18 Poin berharga yang dapat ditarik dari ayat di atas terkait dengan pendidikan adalah, bahwa pendidikan yang dilakukan orang tua pada anak semestinya tidak hanya bersifat teoritis, namun juga mengarah pada tataran praksis. Pendidikan yang diberikan secara teoritis saja tidak akan mengantarkan anak Vol III, No 2, November 2010
oleh Ibrahim ini dipertegas oleh ge�lar shiddiq yang disematkan pada diri Ibrahim.19 Sifat ini mengandung arti bahwa Ibrahim adalah sosok yang amat membenarkan perintah dan larangan Allah, yang ia cerminkan dalam keyakinan, ucapan dan perbuatannya. Ketiga-tiganya berjalan seiring dan selaras, ucapannya senantiasa sesuai dengan keyakinan dan perbuatannya, 5
Efektifitas Keteladanan sebagai Metode Pendidikan Islam
demikian juga keyakinan atau perbuatannya. Artinya, semua nilai pendidikan yang disampaikan Ibrahim kepada Isma‘il telah menyatu dalam dirinya, menjadi cerminan kesehariannya dan dapat disaksikan langsung oleh orang lain termasuk anaknya sendiri. Metode keteladanan adalah metode yang menekankan pada pemberian contoh praktis tentang bagaimana seharusnya berbicara, bersikap, dan bertindak. Maksudnya ialah sesuatu yang diyakini oleh pendidik sebagai kebenaran dogmatis, normatif, argumentatif, atau intuitif, harus terlebih dahulu dijiwai dan dimunculkan sebagai identitas pribadinya, untuk seterusnya ditetapkan menjadi materi pelajaran. Ketika materi tersebut disampaikan kepada anak didik, dia bukan
pengaruh dan terbukti berhasil mempersiapkan anak dalam aspek moral, spiritual dan sosialnya. Hal ini disebabkan seorang pendidik merupakan figur utama dalam pandangan anak, yang tindak-tanduknya, baik disadari atau tidak akan ditiru oleh anak dan tertanam dalam kepribadiannya.21 Setiap manusia mempunyai karakter meniru. Peniruan bersumber dari kondisi kejiwaan seseorang yang merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan orang lain (empati), sehingga dalam hal ini seorang anak cenderung meniru orang dewasa, kaum lemah cenderung meniru kaum kuat, dan bawahan cenderung meniru atasannya. Dengan kata, lain kebutuhan seorang manusia terhadap figur teladan tidak dapat dipungkiri,
lagi sekedar teori verbal, tetapi sudah berubah menjadi teori praktis, karena pendidik sudah lebih dulu tampil dalam performa figur ideal yang dimaksud. Dengan demikian, pada metode keteladanan ini dapat berlaku apa yang dinamakan dengan prinsip “the medium is the message�.20 ‘Ulwan memandang bahwa keteladanan adalah metode paling ber-
terutama seorang anak.22 Proses pendidikan yang telah dibuat sedemikian jelas demi perkembangan anak didik melalui sistematisasi psikologis, mental dan potensi tetap tidak bisa membantah bahwa seorang anak didik senantiasa memerlukan pola pendidikan realistis yang dicontohkan oleh seorang pendidik dalam tatararan faktual kehidupannya sehari-hari.23 Artinya,
6
Vol III, No 2, November 2010
Zainul Muflihin
dalam pendidikan anak mutlak membutuhkan sebuah teladan. Dengan metode keteladanan, peran seorang pendidik benar-benar sentral karena ia tidak hanya dituntut untuk menguasai konsep mengenai nilai-nilai yang ia ajarkan secara teoritis, melainkan juga dituntut mampu menerjemahkannya dalam kehidupan nyata untuk kemudian ditiru, dicontoh, dan diteladani oleh anak didiknya. Dalam menerapkan metode keteladanan, kompetensi kepribadian lebih utama dan dominan dibandingkan dengan kompetensi pedagogik, profesional, maupun sosial. Seorang guru adalah model bagi anak didiknya. Sebagai model, ia adalah contoh yang akan ditiru dan menjadi acuan bagi anak didik. Seorang guru harus berhati-hati dalam
dijadikan rujukan, tanpa disertai proses filterisasi. Bila contoh yang diberikan berupa pengejawantahan dari nilai-nilai ketakwaan, maka hal itulah yang akan ditiru oleh anak, dan begitu sebaliknya. Peluang inilah yang menjadikan keteladanan sebagai metode paling ampuh dalam pendidikan. Tanpa keteladanan, pendidikan hanya merupakan teori dan retorika belaka.25 Dalam konteks pendidikan saat ini, selain menggunakan keteladanan pada diri pendidik, metode ini juga bisa dimaknai sebagai upaya menyajikan kisah-kisah Nabi Muhammad, karena ia adalah teladan sempurna bagi segenap manusia,26 dan keteladanannya telah terbukti menarik simpati banyak manusia untuk mengikuti agamanya. Begitu juga dengan memberikan tela-
berbicara, bersikap dan bertindak, agar ia tidak mewariskan hal-hal negatif kepada sang murid.24 Keteladanan merupakan metode paling jitu dalam pendidikan dikarenakan guru selaku tokoh sentral, ditempatkan pada posisi strategis; sebagai pusat perhatian dan contoh terbaik di mata murid-muridnya. Atas dasar itu, semua hal yang melekat padanya akan
dan pada diri para sahabat dan tokoh Muslim lainnya bagi anak. Keteladanan seperti ini akan memberikan peran yang cukup penting dalam pertumbuhan anak. Dengan menyajikan kerasnya perjuangan para tokoh tersebut dalam berdakwah, kesabaran mereka dalam menghadapi cobaan, pengorbanan dan keberanian mereka dalam mengajarkan kebaikan pada umat manusia diharap-
Vol III, No 2, November 2010
7
Efektifitas Keteladanan sebagai Metode Pendidikan Islam
kan anak menjadi tertarik, terkesan, mengagumi, selanjutnya menjadikan mereka teladan dalam kehidupannya.27 Upaya untuk merealisasikan hal ini dapat diwujudkan ketika diadakan
Selain keteladanan yang ditampilkan oleh orang tua, keteladanan juga bisa diberikan melalui anak yang paling besar (sulung). Hal ini dikarenakan seorang anak biasanya cenderung
perayaan hari-hari besar Islam, semisal Maulid Nabi maupun lainnya. Pemberian keteladanan perlu ditekankan, terlebih di masa sekarang di mana anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk menonton televisi dengan berbagai variasi tayangannya yang memang dikemas cukup apik. Akibatnya, anak secara tidak sadar, lambat tapi pasti meniru apa yang ia lihat dari layar kaca televisi, ia menjadikan tokoh-tokoh dalam dunia film sebagai teladan mereka, sehingga tidak jarang perilaku anak baik dalam berpakaian maupun ucapan cenderung
kepada sang kakak. Anak memandang sang kakak sebagai panutan, ia biasanya meniru gerak-gerik, perilaku dan kebiasaan yang dilakukan olek kakaknya. Oleh karena itu sepatutnya orang tua memusatkan perhatian lebih kepada anak yang paling besar, kemudian anak di bawahnya, sehingga anak yang sulung menjadai teladan yang baik bagi adik-adiknya.28 Dengan demikian metode keteladanan akan lebih efektif, anak dapat melihat dan mengamati kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarganya, terutama orang tuanya.
meniru perilaku tokoh dalam film tersebut. Sebaliknya, tokoh-tokoh Muslim sebagai teladan sejati amat jauh dari jangkauan pikiran anak. Hal itu sah-sah saja jika memang porsi yang diberikan kepada anak tidak berlebihan dan ada nilai positif yang dapat diambil anak, seperti sikap keberanian, patriot dan tegas dalam membela kebenaran dan menumpas kejahatan.
Keteladanan sebagai metode paling efektif sejalan dengan tinjauan ilmu psikologi yang menyatakan bahwa sifat manusia adalah suka meniru dan mencontoh. Peniruan itu sangat kuat terlihat terutama pada masa kanak-kanak. Seorang anak mempunyai kecenderungan ingin meniru apa-apa yang ada di sekelilingnya. Hal-hal baik maupun buruk akan diserap da-
8
Vol III, No 2, November 2010
Zainul Muflihin
lam memorinya yang selanjutnya akan dipraktekkan dalam kehidupannya. Kecenderungan mencontoh ini amat besar peranannya dalam perkembangan dan pertumbuhan anak.29 Urgensi ke-
gota keluarganya. Seorang suami harus berbuat baik kepada istri, demikian pula istri wajib berbuat baik kepada suami, dan mereka juga wajib berbuat hal serupa kepada anak-anak mereka.
teladanan ditegaskan oleh pernyataan para pakar psikologi yang mengatakan bahwa seorang anak belajar melalui penglihatannya mencapai 83%, baru disusul dengan pendengaran 11% dan sisanya 6% ia dapatkan dari penciuman dan lainnya.30 Agar metode ini berhasil dan tepat sasaran, maka seorang pendidik harus mampu menampilkan diri sebagai figur yang baik dalam segala hal. Tanpa ada cermin dari orang tua, maka akan sulit membentuk anak sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah
Jika nuansa seperti ini dapat terwujud dalam keluarga, maka akan muncul lingkungan yang kondusif dan nuansa harmonis, yang disadari atau tidak akan berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya untuk menjadi manusia yang baik, sebagaimana yang ia teladani dari orang tuanya. Orang tua pada hakikatnya merupakan pendidik pertama sekaligus utama bagi anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang disadari atau tidak akan berimplikasi terhadap perkembangan
bersabda yang maknanya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku daripada kalian�.31 Hadis tersebut mengajarkan keteladanan Rasulullah dalam hidup berkeluarga. Lebih dari itu, hadis di atas menyiratkan makna agar setiap orang tua bertindak sebagai figur bagi ang-
anak.32 Hubungan orang tua sesama mereka yang tampak serasi, penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa pada pembinaan pribadi anak yang tenang, terbuka dan mudah dididik, karena ia mendapat kesempatan yang cukup dan baik untuk tumbuh berkembang. Sebaliknya, anak yang melihat hubungan orang tuanya tampak tidak serasi, banyak perselisihan dan
Vol III, No 2, November 2010
9
Efektifitas Keteladanan sebagai Metode Pendidikan Islam
percekcokan akan membawanya pada pertumbuhan pribadi yang sukar dan sulit dibentuk,33 serta mengakibatkan timbulnya ketidakstabilan dalam perkembangan kepribadian pada masamasa selanjutnya. Beberapa kasus kenakalan anak atau remaja, sebagian besar adalah muncul dari mereka yang kurang mendapat perhatian dan perlakuan layak dari lingkungan sosialnya, terutama orang tua.34 Dalam kaitannya dengan metode keteladanan ini, Ki Hajar Dewantara telah menetapkan sebuah konsepsi yang cukup populer, yaitu “ing ngarsa sung tuladha� (di depan menjadi contoh). Pendidik selayaknya tidak hanya mampu memberi contoh melainkan juga menjadi contoh. Menjadi contoh mempunyai konsekuensi yang relatif
didukung oleh lingkungan masyarakat. Keteladanan akan sulit dicapai bila tidak ada kesesuaian antara keluarga dengan kondisi masyarakat. Keluarga yang baik akan sulit membentuk anak yang baik jika anak dibiarkan bergaul dengan teman atau masyarakat yang tidak baik.36 Oleh sebab itu, tidaklah salah jika orang tua bersikap protektif terhadap anaknya dalam mengontrol pergaulan dan lingkungan yang dianggap dapat membawa pengaruh negatif dalam diri anak. Agar metode keteladanan dapat berpengaruh pada anak, al-Khayyath sebagaimana dikutip oleh Sya’idah mengemukakan beberapa poin yang mesti diperhatikan oleh setiap pendidik terutama orang tua, antara lain: a) keteladanan itu dilakukan
berat daripada hanya sekedar memberi contoh. Untuk dapat menjadi contoh seseorang tidak cukup hanya memberi contoh, namun lebih dari itu dirinya menjadi cermin dari setiap nilai-nilai yang ia ajarkan pada anak didik.35 Namun demikian, keluarga sebagai lingkungan pertama bagi anak, dalam menerapkan keteladanan akan menjadi lebih efektif jika
ikhlas karena Allah dan bukan atas dorongan riya’; b) menyadari dengan sepenuhnya akan tanggung jawabnya sebagai pendidik bagi anak; c) tidak ada pertentangan antara ucapan dan perbuatannya, keduanya harus berjalan seiring; d) menjadi pendidik baik dalam ilmu, ibadah, akhlak, mu‘amalah dan dakwah; e) mengajak dengan lemah lembut, sabar, dan berbaik sangka; f)
10
Vol III, No 2, November 2010
Zainul Muflihin
mengetahui wilayah pendidikan yang ia laksanakan.37 D. KESIMPULAN Melihat uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode keteladanan merupakan metode yang amat efektif dalam pendidikan. Nabi Ibrahim, dalam mendidik anaknya selain menggunakan kata-kata verbal, juga memberi contoh dan menjadi contoh bagi sang anak. Dengan demikian, anak akan dapat langsung menyaksikan nilai atau inti dari materi yang sedang dididikkan itu. Dalam konteks kekinian, metode keteladanan tetap memegang peranan penting. Metode ini lebih diperlukan seiring menjamurnya tontonan baik secara langsung atau tidak oleh anak. Oleh sebab itu, metode ini akan berdaya guna bila orang tua sebagai pendidik anak secara khusus dan guru secara umum mampu menerapkan metode ini dengan baik dalam proses pendidikan mereka, sehingga mampu mewujudkan anak didik yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikn itu sendiri. Wallahu a’lam wa ahkam. ****
Vol III, No 2, November 2010
11
Efektifitas Keteladanan sebagai Metode Pendidikan Islam
CATATAN KAKI (Endnotes) 1 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 61. 2 Ibid. 3 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 9. 4 ‘Ali Khalil Abu al-‘Anain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1980), hal. 218. 5 ‘Abd al-Rahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj. Shihabuddin, cet. ke-2, (Jakarta: Gema Insani, 1983), hal. 173. 6 ‘Ali ‘Abd al-Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, terj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 53. 7 al-Nahlawi, Pendidikan Islam, hal. 153. 8 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi alQur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 2002), hal. 2. 9 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hal. 93. 10 Arifin Ahmad, Materi dan Metode Pendidikan dalam Surah Luqman, Tesis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2008), hlm. 15. 11 Tim Bidang Kajian Ilmu-ilmu Keislaman pada Jam‘iyyah al-Masyari‘ alKhairiyyah al-Islamiyyah, Qashash al-Anbiya’, cet. ke-3, (Beirut: Dar al-Masyari‘, 1998), hal. 92. 12 Syihab al-Din Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma‘ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim wa al-Sab‘ al-Matsani (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Jilid I, hal. 381. 13 Ibid. 14 M. Quraish Shihab, Membumikan AlQur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), Jilid I, hal. 307-308. 15 ‘Abd Allah ibn Ahmad al-Nasafi, Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), Jilid I, hal. 82. 16 Abu al-Fida’ Isma‘il ibn Katsir al-
12
Qurasyi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Fajalah: Dar Mishr, t.t.), Jilid I, hal. 177. 17 Muhammad ibn ‘Umar al-Razi, “Mafatih al-Ghaib” Jilid II, hal. 348 dalam DVD. al-Maktabah al-Syamilah, versi 2.00, t.t. 18 al-Razi, “Mafatih al-Ghaib”, Jilid II, hal. 347 dalam DVD. al-Maktabah. 19 QS. Maryam [19]: 41. 20 Khamim Zarkasyi Putro, Orang Tua Sahabat Anak dan Remaja (Yogyakarta: Cerdas Pustaka, 2005), hal. 134. 21 ‘Abd Allah Nashih ‘Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), Jilid II, cet. ke-2, hal. 142. 22 al-Nahlawi, Pendidikan Islam, hal. 263. 23 Ibid., hal. 260. 24 Arifin Ahmad, Materi dan Metode Pendidikan dalam Surat Luqman, Tesis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2008), hal. 132. 25 Ibid. 26 Q.S. al-Ahzab [33]: 21. 27 Khasnah Sya’idah, Pemikiran Pendidikan Anak ‘Abd Allah Nashih ‘Ulwan, Disertasi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005), hal. 260-261. 28 ‘Ulwan, Pendidikan Anak, Jilid II, hal. 181-182. 29 Ibid., hal. 254. 30 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Jakarta: CV Ruhama, 1994), hal. 56. 31 Muhammad ibn ‘Isa al-Tirmidzi, “Sunan al-Tirmidzi”, no. hadis 3830 dalam CD. Mausu‘ah al-Hadits al-Syarif, versi 2.00, 1997. 32 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), cet. ke-17, hal. 67. 33 Ibid. 34 Putro, Orang Tua, hal. 59. 35 Ki Sugeng Subagya, “Revitalisasi Pendidikan Watak” dalam Harian Kompas, Sabtu 23 Mei 2009. 36 Sya’idah, Pemikiran Pendidikan, hal. 254-255. 37 Ibid., hal. 255-256.
Vol III, No 2, November 2010
Zainul Muflihin
DAFTAR PUSTAKA Abu al-‘Anain, ‘Ali Khalil. Falsafah alTarbiyah al-Islamiyyah fi alQur’an al-Karim. Beirut: Dar
Al-Tirmidzi, Muhammad ibn ‘Isa. “Sunan al-Tirmidzi” dalam CD. Mausu‘ah al-Hadits al-
al-Fikr al-‘Arabi, 1980. Ahmad, Arifin. Materi dan Metode Pendidikan dalam Surat Luqman, Tesis. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2008. Al-Alusi, Syihab al-Din Mahmud. Ruh al-Ma‘ani fi Tafsir al-Qur’an al‘Azhim wa al-Sab‘ al-Matsani. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 2001. Al-Nahlawi, ‘Abd al-Rahman. Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani, cet. ke-2, 1983. Al-Nasafi, ‘Abd Allah ibn Ahmad. Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil. Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah, Jilid I , 1995. Al-Razi, Muhammad ibn ‘Umar. “Mafatih al-Ghaib” dalam DVD. al-Maktabah alSyamilah, versi 2.00, t.t.
Syarif, versi 2.00, 1997. Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. ke-17, 2005. _____________. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV Ruhama, 1994. Ibn Katsir, Abu al-Fida’ Isma‘il. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Fajalah: Dar Mishr, Jilid II, t.t. Mahmud, ‘Ali ‘Abd al-Halim. Pendidikan Ruhani, terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Putro, Khamim Zarkasyi. Orang Tua Sahabat Anak dan Remaja. Yogyakarta: Cerdas Pustaka, 2005. Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 2002. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-
Vol III, No 2, November 2010
13
Efektifitas Keteladanan sebagai Metode Pendidikan Islam
Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, Jilid I , 1999. _____________. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama alQur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007. Sya’idah, Khasnah. Pemikiran Pendidikan Anak ‘Abd Allah Nashih ‘Ulwan, Disertasi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005. Tim Bidang Kajian Ilmu-ilmu Keislaman pada Jam‘iyyah al-Masyari‘ al-Khairiyyah al-Islamiyyah, Qashash alAnbiya’. Beirut: Dar alMasyari‘, cet. ke-3, 1998. Subagya, Ki Sugeng. “Revitalisasi Pendidikan Watak” dalam Harian Kompas, Sabtu 23 Mei 2009. ‘Ulwan, ‘Abd Allah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri. Jakarta: Pustaka Amani, Jilid II, cet. ke-2, 1999.
14
Vol III, No 2, November 2010
MADRASAH NIZAMIYAH (Studi Geneologis Madrasah Pada Islam Klasik) Oleh: Drs.Mustajib Daroini M.M.Pd
ABSTRACT Nidzamiyah School had become the pride of the classical Islamic period. Madrasah Nidzamiyah forerunner of modern education concepts and management. This paper discusses the establishment of Madrasah Nizamiya motivation, madrasas in the classical Islamic period when identified with the Madrasah was first established in the fifth century and became a symbol of achievement Hijiryah century. Madrasah in those days to have some system of education, Islamic education institutions in the classical Islamic period appeared in several forms, and the madrasa is a transformation of the mosque, instead of the Daar al-Ilm. Since the beginning of Madrasah Nizamiya is an educational institution that wing Sunni fiqh and hadith, reject the teaching of Greek philosophy and ilm Mantiq, because it is both misleading and damaging. Kata Kunci: Madrasah, Nizhamiyah dan Pendidikan Islam
Vol III, No 2, November 2010
15
Madrasah Nizamiyah
A. PENDAHULUAN Madrasah sebagai sebuah institusi Pendidikan Islam merupakan sebuah gagasan dan prestasi yang cukup gemilang pada abad ke lima hijriyah, demikian dikatakan al-Maqrizi dalam karyanya “Itti’adz al-Hunafa bi Akhbar al-Aimmah al-Fatimiyyin al-Khulafa” beliau mengatakan bahwa “Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat dan tabi’in, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah hijriah” (Badawi, 1988: 186). Madrasah yang pertama kali didirikan pada abad kelima Hijriah (ke-11 M) adalah Madrasah Nizamiyah yang didirikan pada tahun 457 H. oleh Nizam al-Mulk. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ahmad Syalabi, bahkan Muhammad Abd Rahim Ghanimah dalam karyanya al-Jama’ah al-Islamiyah al-Kubra menyatakan bahwa kata “madrasah” belum dijumpai pada sumbersumber sejarah hingga kira-kira akhir abad ke 4 Masehi. Sebagai sebuah institusi pendidikan yang muncul dan dikembangkan oleh seorang penguasa pada masa dinasti Saljuk, Madrasah Nidzamiyah memang sempat menjadi kebanggan 16
pada masa itu. Madrasah dengan segala keunikan konsep dan manajemennya, baik tempo dulu maupun sekarang tetap menarik untuk dibahas. Hal inilah yang mengundang pengakuan para sejarawan bahwa Madrasah Nidzamiyah merupakan cikal bakal konsep dan manajemen pendidikan modern. Tulisan ini akan mencoba menelusuri dengan memadukan berbagai sumber sejarah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya asal-muasal pendirian Madrasah Nidzamiyah, apa motivasi pendiriannya, bagaimana perkembangan dan apa pengaruh keberadaan Madrasah Nizamiyah terhadap dunia pendidikan baik dahulu maupun sekarang ini. B. SEJARAH MADRASAH NIZHAMIYAH Madrasah sebagai sebuah institusi Pendidikan Islam merupakan sebuah gagasan dan prestasi yang cukup gemilang pada abad ke lima hijriyah (AlManshur, 1988: 186). Madrasah yang pertama kali didirikan pada abad kelima Hijriah (ke-11 M) adalah Madrasah Nizamiyah yang didirikan pada tahun 457 H. oleh Nizam al-Mulk. Pendapat Vol III, No 2, November 2010
Mustajib Daroini
ini dikuatkan oleh Ahmad Syalabi, Muhammad Abd Rahim Ghanimah dalam karyanya al-Jama’ah al-Islamiyah al-Kubra menyatakan bahwa kata “madrasah” belum dijumpai pada sumbersumber sejarah hingga kira-kira akhir abad ke 4 Masehi. Namun demikian secara umum, pada abad ke empat Hijriah sebenarnya telah dikenal beberapa sistem pendidi-
sebagai berikut; 1. Failasuf menggunakan : Dar alhikmah, al-Muntadiyat, Hawanit dan Wariqin. 2. Mutasawwif menggunakan : alZawaya, al-Ribat, al-Masajid dan Halaqat al-Dzikr. 3. Syi’iyyin menggunakan : Dar alHikmah, al-Masajid, pertemuan rahasia.
kan (madaris al-tarbiyah) Islam. Hasan Abd al-‘Ala, menyebutkan lima sistem pendidikan Islam dengan kualifikasi sebagai berikut: Sistem Pendidikan Mu’tazilah, sistem pendidikan Ihwan al-Safa, Sistem pendidikan Bercorak filsafat, Sistem pendidikan Bercorak tasawuf, dan sistem pendidikan bercorak fiqh. Hasan Muhammad Hasan dan
4. Mutakallim menggunakan: alMasajid, al-Maktabat, Hawanit, alWariqin dan al-Muntadiyah. 5. Fuqaha (dan Ahli Hadits): alKatatib, al-Madaris, al-Masajid (Maksum, 1999: 52). Dengan melihat gambaran Sistem dan Institusi pendidikan Islalm di atas, maka jelaslah bahwa madrasah merupakan tradisi sistem pendidikan
Nadiyah Muhammad Jamaluddin juga menyebutkan ada lima sistem, yaitu; Sistem pendidikan bercorak Teologi, Sistem pendidikan bercorak Syi’ah, Sistem pendidikan bercorak Tasawuf, Sistem pendidikan bersifat Filsafat, dan sistem pendidikan bercorak fiqh (dan hadits). Adapun mengenai Institusi yang dipakai oleh masing-masing Sistem Pendidikan dapat digambarkan
yang bercorak fiqh. Masing-masing sistem di atas memiliki institusi yang khusus walaupun umumnya memanfaatkan masjid sebagai tempat belajarnya. Pada masa khalifah Abasiyah di Baghdad, madrasah menjadi lembaga pendidikan yang par exelence. Setelah perkembangan masjid dan kuttab, madrasah berkembang sangat pesat. Dalam sejarah Islam dikenal ban-
Vol III, No 2, November 2010
17
Madrasah Nizamiyah
yak sekali tempat dan pusat pendidikan dengan jenis, tingkatan dan sifatnya yang khas. Dalam buku al-Tarbiyah al-Islamiyah, Nuzumuha Falsafatuha, Tarikhuha, Ahmad Syalabi menyebut-
al-Salun al-Adbiyah, Daur al-Kutub wa Daur al-‘Ilm, dan Madrasah. Sesuai sumber diatas, Ahmad syalabi juga menyinggung masalah Daur al-Hikmah atau sejenisnya, yang oleh Hasan Abd
kan tempat tempat itu sebagai berikut: al-Kuttab, al-Qushur, Hawanit al-Wariqin, Manazil al-‘Ulama’, al-Badiah dan madrasah. Ia membagi institusi-institusi pendidikan Islam tersebut menjadi dua kelompok; yaitu kelompok sebelum madrasah, dan sesudah madrasah. Madrasah dengan demikian dianggap tonggak baru dalam penyelenggaraan Pendidikan Islam. Madrasah yang dimaksud ialah madrasah yang dibangun oleh Nizam al-Mulk tahun 459 H. Namun demikian, ia juga mengatakan bahwa institusi-institusi sebelum madrasah itu tetap dipakai sesuai dengan
al-‘Al dikategorikan sebagai Daur alKutub atau Daur al-‘Ilm. Akan tetapi Ahmad Syalabi tidak memasukkannya sebagai tempat pendidikan, melainkan termasuk al-Maktabat. Hasan Abd al’Al menyimpulkan bahwa “madrasah adalah institusi yang timbul pada abad ke empat hijriyah”. Dan mengganggapnya sebagai “Era baru dari tahapan perkembangan institusi pendidikan Islam.” Jadi menurut Hasan Abd ‘Ala, madrasah sudah ada sebelum sebelum masa Nizam al-Mulk. Selain itu masih ada tempattempat pendidikan seperti al-Muntadi-
sifat tradisionalnya sekalipun jumlah dan peminatnya sedikit”( Syalabi, 1987: 43). Hasan Abd ‘Ala, yang melakukan penelitian khusus mengenai institusi-institusi pendidikan Islam pada abad ke 4 hijriyah, menyebutkan bahwa institusi pendidikan Islam abad itu meliputi: al-Kuttab, al-Masjid, Hawanit al-Wariqin, Manazil al-Ulama,
yat, al-Hawanit, al-Zawaya, al-Ribat, Halaqat al-Dzikr. Hassan Muhammad Hassan dan Nadiyah Jamaluddin menyebutkan institusi-institusi itu ada dikaitkan dengan pendidikan yang dilakukan oleh aliran-aliran pemikiran yang ada dalam Islam. Semua itu, menunjukkan bahwa tempat pendidikan didalam Islam sangat variatif. Hal ini memang sesuai dengan keyakinan
18
Vol III, No 2, November 2010
Mustajib Daroini
dalam Islam yang mewajibkan menuntut ilmu, dan memasukkannya sebagai ibadah. Dengan itu, pendidikan tidak harus pada tempat tertentu. Namun demikian madrasah tentu lebih memilliki sesuatu yang khusus dibandingkan dari yang lainnya. Gambaran di atas juga menunjukkan bahwa institusi pendidikan Islam selalu mengalami perkembangan, sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat Muslim pada masa itu. Perkembangan dan kebutuhan masyarakat antara lain ditandai. 1. Perkembangan ilmu. Kaum Muslimin pada masa awal kedatangan Islam membutuhkan pemahaman al-Qur’an secara apa adanya, begitu juga membutuhkan ketrampilan membaca dan menulis. Sehingga menurut Ibn Khadun tercatat pada masa awal kedatangan Islam orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis hanya 17 orang, semuanya lakilaki. Kemudian pada masa Umawi, masyarakat Muslim telah banyak memperhatikan al-‘ilm al-naqliyyah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an Karim yang meVol III, No 2, November 2010
liputi al-Tafsir, al-Qira’at, al-Hadits dan Ushul al-Fiqh dan al-‘Ulum alLisaniyyah seperti Ilm al-Lughah, ilm al-Nahw, Ilm al-Bayan dan al-Adab. Pada Masa Abbasiyah sangat mungkin masyarakat Muslim mulai berhubungan dengan al-‘Ulum al-Aqliyah atau ilmu kealaman, seperti kedokteran, filsafat dan matematik (Said Mursi Ahmad, 198: 2209). 2. Perkembangan kebutuhan. Pada masa awal, yang menjadi kebutuhan utama ialah menda’wahkan Islam. Karena itu, sasaranpun pada mulanya ditujukan kepada orang-orang dewasa. Ketika keadaan semakin baik, penganut Islam semakin banyak dan kuat, terdapatlah kebutuhan untuk melakukan pendidikan untuk anakanak. Selanjutnya timbul kebutuhan untuk mendidik guru, untuk pengembangan ilmu, dan untuk kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang lebih maju, termasuk mempersiapkan pegawai. Sebelum lahirnya madrasah, masjid merupakan tempat yang paling umum untuk penyelenggaraan pendidikan dan menampung semua 19
Madrasah Nizamiyah
kegiatan diatas. Namun demikian, pendidikan yang diselenggarakan di masjid pada waktu itu memiliki suatu keunggulan yang sangat menunjang proses pendidikan yaitu kebebasan. Di masjid seorang pelajar bebas untuk memilih halaqah yang disukainya, dan bebas pula untuk melakukan perdebatan. Fungsi masjid sebagai tempat pendidikan dalam perkembangannya dipertimbangkan kembali, sehingga mendorong dibukanya lembaga-lembaga pendidikan baru. Dalam hal ini, terdapat sejumlah teori yang menjelaskan alasan dipertimbangkannya kembali masjid sebagai tempat pendidikan, sehingga terjadi transformasi lembaga pendidikan dari masjid kebentuk lainnya. Beberapa alasan yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan di masjid dipertimbangkan lagi antara lain: 1. Kegiatan pendidikan di masjid dianggap telah mengganggu fungsi utama lembaga itu sebagai tempat ibadah. 2. Berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan 20
perkembangan ilmu pengetahuan yang makin maju, banyak ilmu tidak bisa lagi sepenuhnya diajarkan di masjid, sehingga masjid kurang dipertimbangkan sebagai tempat utama pendidikan 3. Timbulnya orientasi baru dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagian guru mulai berfikir untuk memperoleh rizki dari kegiatan pendidikan. Untuk menjamin perolehan penghasilan yang memadai itu, maka didirikanlah lembagalembaga lain yaitu madrasah, karena jaminan seperti itu tidak mungkin diperoleh di Masjid. Berdasarkan alasan dan teoriteori di atas menunjukkan bahwa didirikannya madrasah adalah sebagai upaya memenuhi tuntutan perkembangan kebutuhan dan ilmu pengetahuan dalam masyarakat Islam pada abad 4 Hijriyah, namun demikian tidak berarti kegiatan pendidikan dimasjid menjadi berhenti setelah didirikannya madrasah. Semua tetap berjalan dengan kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Disamping itu, usaha-usaha pribadi ulama dan guru sufi dalam melaksanakan aktifitas pendidikan juga Vol III, No 2, November 2010
Mustajib Daroini
tetap berlangsung (Hisyam Nashabe, 1989: 25). C. MOTIVASI PENDIRIAN MADRASAH
jukkan bahwa madrasah telah berdiri sejak abad ke empat Hijriyah, hal ini bila dihubungkan dengan keberadaan Madrasah Naisabur dalam “Tarikh Naisabur” nya al-Hakim al-Naisabur
Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam merupakan prestasi pada abad ke lima hijriyah, demikian dikatakan al-Maqrizi dalam karyanya “Itti’adz al-Hunafa bi Akhbar al-Aimmah al-Fatimiyyin al-Khulafa” ia mengatakan : “Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masamasa sahabat dan tabi’in, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah hijriah” (Badawi, 1988: 186). Madrasah pertama yang didirikan pada abad kelima Hijriah (ke-11 M) itu adalah Madrasah Nidzamiyah yang didirikan pada tahun 457 H. oleh
(wafat 406 H. / 1015 M). Ia menyebutkan bahwa “Abi Ishaq al-Isfirayani (wafat 418 H/1027 M adalah orang yang pertama mendirikan madrasah Naisabur. Namun demikian, memang tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh Madrasah Nidzamiyah melampaui pengaruh madrasah-madrasah yang didirikan sebelumnya. Ahmad Syalabi, misalnya, menjadikan pendirian Madrasah Nizamiyah sebagai pembatas, untuk membedakannya dengan era pendidikan Islam sebelumnya. Era baru yang dimaksud adalah era adanya keten-
Nizam al-Mulk. Pernyataan sejarawan ini dikuatkan oleh pendapat Ahmad Syalabi dan bahkan pula Muhammad Abd Rahim Ghanimah dalam karyanya al-Jama’ah al-Islamiyah al-Kubra beliau menyatakan bahwa kata “madrasah” belum dapat dijumpai pada sumbersumber sejarah hingga kira-kira akhir abad ke 4 Masehi. Akan tetapi, banyak bukti yang signifikan justru menun-
tuan-ketentuan yang lebih jelas yang berkaitan dengan komponen-komponen pendidikan dan adanya keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan madrasah.”Madrasah Nizamiyah merupakan lembaga pendidikan resmi dan pemerintah terlibat dalam menetapkan tujuan-tujuannya, menggariskan kurikulum, memilih guru, dan memberi dana yang teratur kepada Madrasah”.
Vol III, No 2, November 2010
21
Madrasah Nizamiyah
Madrasah merupakan lembaga resmi dari pemerintah yang menhasilkan karyawan-karyawan dan pegawai-pegawai pemerintah. Makdisi, mempunyai pendapat yang lain, sekalipun sebenarnya ia menyetujui adanya “peraturan-peraturan” (nizam) sebagai kelebihan madrasah, ia menganggap madrasah khususnya Madrasah Nizamiyah sebagai madrasah perseorangan. Dalam kaitan itu, Nizam al-Mulk adalah seorang pribadi yang mengelola madrasah untuk tujuan-tujuan sendiri. Jadi tidak ada keterlibatan pemerintah secara formal. Pendapat ini dari satu segi, ada benarnya bila dilihat Nizam al-Mulk seorang yang punya posisi, pengaruh dan pengorbanannya. Namun bila ditimbang dengan kenyataan bahwa Nizam Mulk itu seorang wazir aktif dan diantara motivasi yang melatarbelakangi pendiriannya ialah masalah politik dan ketenagakerjaan yang tidak dapat dipisahkan dengan kehendak memperlancar tugas dan mempertahankan negara, baik untuk keuntungan pribadinya maupun demi kesultanan Saljuk. Yang pasti Madrasah Nizamiyah didirikan dengan tiga motifasi yaitu; 22
1. Menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran syi’ah 2. Menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarkan madzab Sunni dan menyebarkannya ketempat-tempat lain, dan 3. Membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan kesultanan Saljuk (Ibid., 61-62). Dengan demikian dapat diketahui bahwa sebenarnya multi motivasilah yang mendasari kelahiran Madrasah Nizamiyah, yaitu selain motivasi agama, dan motivasi ekonomi karena berkaitan dengan ketenagakerjaan, juga motivasi politik karena ingin mengantisipasi atau bahkan melawan gerakan musuh Dinasti saljuk yang Sunnni yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir yang beraliran syi’ah. Dengan berdirinya madrasah, maka pendidikan Islam memasuki periode baru yaitu “pendidikan menjadi fungsi negara, dan sekolahsekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik”.
Vol III, No 2, November 2010
Mustajib Daroini
D. TRADISI KEILMUAN MADRASAH Pendidikan Islam dalam perjalanannya, sangat dipengaruhi oleh dua arus pergumulan, bidang politik dan pemikiran, yang saling berkaitan. Terutama sejak abad ke 3 Hijriyah terdapat pertentangan antar pemikiran dalam Islam semakin tajam. Pendidikan dalam hal ini dijadikan sarana pergumulan itu. Uraian sebelum ini, mengenai mengenaui tujuan Madrasah Nizamiyah, telah menampakkan dengan jelas keadaan tersebut. Dan gambaran tersebut akan nampak pula pada usaha beberapa pemikir pendidikan Islam dalam menjelaskan sejarah dan perkembangan Pendidikan Islam. Majid ‘Irsan al-Kailani dalam bukunya Tatawwur Mafhum al-Nazariyah al-Tarbiyah al-Islamiyah membagi pola-pola pendidikan Islam menjadi empat, dengan berdasar pada aliran pemikiran yang timbul dalam Islam. Pola-pola tersebut adalah madrasah al-fuqaha wa al-muhadditsin, Madrasah alSufiyah, madrasah al-Falasifah, wa al-Ulum al-Tabi’iiyyah, dan madrasah al-Usuliyyah wa ‘ilm al-Kalam. Hasan Abd al-‘Al dalam bukunya al-Tarbiyah al-Islamiyah fi Vol III, No 2, November 2010
al-Qarn al-Rabi’ al Hijri membaginya menjadi lima, juga berdasar pada aliran pemikiran, tetapi dengan memasukkan kecenderungan politik. Kelima pola tersebut ialah Madrasah al-Mu’tazilah, Madrasah Ikhwan al-Safa, Madrasah alFalasifah, Madrasah al-Sufiyyah dan madrasah al-Fiqhiyyah . Pemisahan antara Ikhwan alSafa dengan Madrasah al-Falasifah lebih menunjuk pada kecenderungan politik jika dikaitkan dengan hubungan perseteruan antara Ikhwan al-Safa, yang berafiliasi dengan syi’ah, dengan pemerintah Abbasiah di Baghdad, yang memiliki kecenderungan kepada filsafat Hasan Muhammad dan Nadiyah Jamluddin melakukan hal yang serupa dengan Hasan Abd al-‘Al, namun lebih kongkrit dalam menyebut unsure politik. Keduanya membagi pola-pola pendidikan sebagai berikut; al-Madrasah al-Kalamiyah, Madrasah alSyi’iyyah, Madrasah al-Sufiyyah, Madrasah al-Falasifah, dan Madrasah al-Fiqhiyyah. Salah satu bentuk pengaruh dari adanya pergumulan bidang politik dan pemikiran itu ialah dijumpainya tempat-tempat pendidikan yang khusus sekaligus merupakan cirri aliran pe23
Madrasah Nizamiyah
mikiran tertentu. Sebagai misal, Dar al-Hikmah lebih menunjukkan kepada pola pendidikan failasuf dan pengikut Syi’ah, al-Zawaya dan al-Ribat adalah khas sufi, sedangkan madrasah, pada awalnya, merupakan lembaga pendidikan yang didukung ulama’ fiqh dan hadits. Adanya keanekaan tempat dan lembaga pendidikan itu karena masingmasing pemikiran (dan tujuan-tujuan politis) memiliki karakter tertentu, sehingga menghajatkan tempat-tempat atau lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran yang khusus pula. Tradisi keilmuan di madrasah dapat dilihat dari 3 hal; yaitu transformasi, aliran dan kecenderungan politik pemerintahnya. Dalam hal transformasi akan dapat dilihat sejauh mana madrasah mempertahankan elemen pendidikan masjid disatu pihak dan menambahkan elemen-elemen baru dipihak lain. Sedangkan dalam aliran keagamaan, dapat dilihat bagaimana madrasah dipengaruhi oleh perkembangan sekte-sekte pemikiran keagamaan yang berkembang . Adapun dalam hal kecenderungan politik pemerintah, tradisi keilmuan akan dapat menjelaskan bagaimana politik dapat 24
menemukan pola kajian yang dikembangkan di madrasah. 1. Aspek Transformasi Madrasah. Seperti telah kami ungkapkan sebelumnya, bahwa madrasah adalah merupakan transformasi lembaga pendidikan dari masjid. Namun demikian madrasah tetap menampakkan elemen masjid walaupun ada perubahan dari segi kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai pada tingkat lanjutan. Secara fisik madrasah pada abad pertengahan Islam pada dasarnya adalah bangunan masjid yang ditambah dengan lokasi-lokasi khusus untuk pendidikan (‘iwan) dan penginapan (pemondokan). Disamping itu madrasah mencerminkan transformasi dalam bidang administrasi dan managemen. Berbeda dengan masjid, madrasah telah mengarah pada sistem pengelolaan pendidikan yang lebih profesional. Madrasah memiliki aturanaturan tertentu menyangkut hampir seluruh komponen pendidikan. Sebagai misal, jika di masjid seseorang dapat bebas dan tidak terikat dalam memilih guru atau halaqah hal itu tidak dapat lagi dilakukan di madrasah. Madrasah membedakan tingkatan dan tugas Vol III, No 2, November 2010
Mustajib Daroini
antara mudarris (guru), mu’id (asisten), dan wu’adz (tutor). Jika dilihat dari kesamaan fungsi dan tujuannya, terdapat indikasi bahwa transformasi struktur itu tidak diikuti oleh transformasi sub-
dan ilmu Sastra dengan berbagai macamnya, maupun al-‘Ulum al-Aqliyah seperti matematika, mantiq, filsafat dan kalam” (al-Ghani ‘Abud 1987: 223). Seharusnya kemajuan keilmuan
stansi keilmuan yang berarti. Dari sisi keilmuan, ilmu-ilmu yang diajarkan dimadrasah masih merupakan kelanjutan dari yang diselenggarakan dimasjid. Dimasjid, pada awalnya diajarkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah agama (ilmu-ilmu syari’ah). Kemudian mencakup juga “al-‘ulum al-ajnabiyyah (ilmu bumi, matematika, mantiq, filsafat, ilmu kalam, ilmu bahasa dan sastra serta ilmu tib) walaupun ini masih sangat terbatas. 2. Aspek Aliran Keagamaan Pada akhir abad ke-4 atau awal abad ke-5 Hijriyah, pada waktu mun-
tersebut terrefleksikan kedalam usaha pendidikan umat. Akan tetapai, kecenderungan Sunni membatsai kawasan keilmuan untuk madrasah sebab Madrasah merupakan lembaga pendidikan Sunni, atau lembaga pendidikan fiqh dan Hadits. Dan aliran ini sejak awal telah menolak filsafat dan mantiq Yunani. Penentangan ini bertitik tolak pada masalah yang sangat mendasar, yaitu berupa penentangan terhadap mantiq. Ulama’-ulama’ dari aliram pemikiran ini telah banyak mengarang buku yang menjelaskan alasan dan sikap penentangan mereka.
culnya madrasah, perkembangan keilmuan masyarakat Muslim dapat dikatakan telah mencapai tahap sempurna. “Tidak sampai sampai 50 tahun, dari akhir dinasti Umawi hingga awal dinasti Abbasiah, hampir seluruh ilmu telah berhasil disusun dan disistematisasikan, baik itu menyangkut al-‘Ulum al—Naqliyah yang mencakup ilmu-ilmu al-Qur’an, Hadits, fiqih, dan Usul Fiqh, Ilmu Bahasa
Seperti Ibn Taimiyah mengeluarkan buku Nasihah Ahl al-Imam fi al-Radd ‘ala Mantiq al Yunan; al-Suyuthi mengarang Saun al-Mantiq wa al-Kalam ‘an Fan al-Mantiq wa al-Kalam; al-Ghazali menyusun Tahafut al-Falasifah. Selain itu, Ibn Salah memberikan fatwa melarang mantiq karena dianggap sebagai pintu menuju filsafat dan keesatan. Ibnu Taimiyah secara jelas menentang filsa-
Vol III, No 2, November 2010
25
Madrasah Nizamiyah
fat dan failasuf dan bahkan menempatkannya sebagai kufur dan merusak. Oleh sebab itu, madrasah Sunni tidak mengajarkan mantiq dan tradisi berfikir filsafat. Keadaan ini membawa konsekwensi logis madrasah kurang mendapat motivasi untuk memperhatikan ilmu-ilmu yang membutuhkan basis logika dan filsafat yang kuat, seperti ilmu pasti dan kealaman, kedokteran, kimia, fisika, dan lainnya. Sebaliknya ilmu-Ilmu demikian justru mendapat tempat dalam sistem pendidikan bercorak filsafat seperti daur al-ilm dan daur al-kutub. Melihat tidak diajarkannya ‘Ilm Mantiq di Madrasah Nizamiyah juga orientasi pengajaran fiqh hanya pada satu madzab yaitu madzab Syafi’i dan kurangnya perhatian terhadap ‘ilm alaqliyah, khususnya ‘ilm tib, maka al-mustanshir bi Allah menyadari itu sebagai kekurangan Madrasah Nizamiyah, sehingga ia berinisaiatif mendirikan madrasah baru pada tahun 1233 –1234 M yang disebut al-Muntasyiriah. Dengan demikian ia berusaha mengatasi kekurangan Madrasah Nizamiyah dengan menyediakan fasilitas pengajaran fiqih tiga madzaqb lainnya dalam 26
satu lokasi. 3. Aspek Politik Pemerintahan Madrasah merupakan babak baru dalam pendidikan Islam karena pemerintah telah ikut terlibat didalamnya. Namun keterlibatan tersebut sangat erat kaitannya dengan tujuan pemerintah, sehingga pendidikan merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Dari sudut keilmuan, keterlibatan pemerintah dalam Madrasah Nizamiyah telah mengarahkan madrasah hanya kepada ilmu yang mendukung satu madzab dari empat madzab. Hal ini berlaku juga pada madrasah-madrasah yang didirikan dinasti Ayyubiyyah. Hanya Madrasah al-Muntashiriyah yang berbeda dengan itu karena dibeberapa tempat berusaha untuk melakukan keseimbangan dengan madzab-madzab lain. Disisi lain keterlibatan pemerintah juga mempengaruhi bidang keilmuan Hadits yang diajarkan di madrasah. Pilihan terhadap pengajaran hadits berorientasi pada upaya menghidupkan ajaran Sunni dan melawan Syi’ah yang hanya percaya pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahl bait. Hadits yang Vol III, No 2, November 2010
Mustajib Daroini
harus diajarkan dimadrasah Nizamiyah PENDIDIKAN adalah hadits-hadits yang berkaitan Sebagai sebuah ide, madradengan kepahlawanan dan jihad. sah mempunyai pengaruh yang luas Ada yang lebih penting lagi, bah- dan monumental. Dengan mengutip wa pemilihan materi-materi pelajaran pernyataan al-Dailami, Abd Ghani memiliki kaitan dengan tujuan-tujuan politis, atau tujuan-tujuan sektarian, maka penyampaiannya pun cenderung tertutup dan bersifat indoktrinasi. Ideologisasi dari materi-materi pelajaran tidak memberi kesempatan untuk mengembangkan cara berfikir yang bebas. Sehingga dampaknya peserta didik terpaksa beralih madzab hanya agar memperoleh keuntungan dari pendidikan madrasah yang bersifat demikian.
Abud mengatakan “pendirian universitas-universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi dan pengaruh madrasah (Nizamiyah) (Badawi, 1988: 239). George Makdisi dalam beberapa tulisannya membuktikan, bahwa tradisi akademik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah. Didunia Islam, besarnya pengaruh madrasah merupakan fenomena
Keterlibatan penguasa berkaitan dengan kepentingan ideologi ini, bahkan terkadang lebih jauh lagi menyangkut masalah metode. Sebagai akibatnya, proses belajar mengajar hanya terbatas pada mengahafal, membaca, dan mengulangi ucapan orang sebelumnya tanpa tambahan dan pembaharuan. Dengan demikian, metode tersebut tidak menguntungkan dilihat dari ukuran kualitas belajar.
umum. Madrasah pada masa klasik merupakan model umum dan standard untuk pendidikan Islam tingkat menengah. Dan dalam kaitan ini, keterlibatan pejabat pemerintah yang sering disebut memiliki kaitan dengan ide dan penyebaran madrasah ialah Nizam alMulk (450-485 H / 1063 M.), Nur alDin Zanky (541-569 H. / 1146 – 1174 M.) Salahuddin al-Ayyubi (564 – 589 H. / 1169 – 1193 M.), dan al-Mustansir bi Allah. (623-640 H./1226-1242 M.). Banyak keterangan mereka menjelaskan bahwa upaya mereka hanya seba-
E. EKSISTENSI MADRASAH TERHADAP DUNIA Vol III, No 2, November 2010
27
Madrasah Nizamiyah
gai konsekwensi logis sebagai muslim yang sadar. Jadi, bersifat pribadi atau perseorangan. Namun demikian tidak bisa dipungkiri banhwa kedudukan dan kepentingan mereka dalam pemerintahan merupakan sesuatu yang yang menentukan dalam perkembangan madrasah selanjutnya. Dalam batas ini memang madrasah merupakan kebijakan religio politik untuk penguasa. Dengan adanya perhatian, atau campur tangan pemerintah, madrasah segera tersebar dengan luas. Banyak saudagar, ulama ataupun yang lainnya, juga mendirikan madrasah dengan model dan standard yang relatif sama. Al-Zawawi mencatat bahwa pada masa Saljuk terdapat lebih dari 30 madrsah yang didirikan oleh mereka yang tidak memiliki kaitan dengan penguasa. Sementara Ahmad Syalabi mencatat ada enam belas madrasah pada masa dinasti Ayyubiyun yang didirikan oleh perorangan. Namun ada tiga diantaranya yang ada kaitannya dengan penguasa atau kekuasaan. Selain faktor di atas, madrasah dapat diterima luas karena tujuan dan kurikulumnya yang sesuai dengan kecenderungan masyarakat ketika itu. 28
Madrasah dianggap mewakili harapan masyarakatnya. Hal itu, dapat ditinjau dari sudut pandang soaial keagamaan maupun ekonomi. Secara sosial keagamaan, madrasah diterima masyarakat Muslim pada waktu itu karena sesuai dengan lingkungan dan keyakinannya. Pertama; materi yang diajarkan adalah pelajaran fiqh. Materi ini dianggap merupakan kebutuhan masyarakat umumnya dalam rangka hidup dan kehidupan yang sesuai dengan keyakinannya. Kedua; ajaran yang diberikan dimadrasah adalah ajaran Sunni. Ajaran ini dalam sepanjang sejarah, dianut oleh kebanyakan umat Islam. Ketiga; Pengajar di madrasah adalah para Ulama’. Ulama’ sebagai pemegang ilmu syari’ah adalah paling berkepentingan untuk menjadikan syari’at dapat diterima. Disamping itu, ulama’ memilki kedudukan khusus dalam masyarakat, sebagai panutan, pembela masyarakat dan kedudukan khusus dalam pemerintah sebagai penasehat. Secara ekonomi, madrasah adalah lembaga yang menjanjikan kerja. Pengajaran fiqh, sejak semula, dapat memberikan kesempatan kerja, karena Vol III, No 2, November 2010
Mustajib Daroini
dengan menguasai fiqh seseorang akan dibutuhkan didalam masyarakat waktu itu. Kedudukan sebagai seorang faqih menjadi lebih sejahtera apalalagi jika menjadi pegawai pemerintah, khusus-
ilmu non keagaam dipihak lain. Sikap madrasah yang terlalu konservatif akan mendorong lembaga itu terasing dan bahkan lenyap dari perkembangan modern. Sebaliknya, sikap akomodatif
nya dilapangan hukum dan pengadilan. Pada era modern saat ini madrasah masih tetap eksis. Namun demikian, eksistensinya menjadi dipertanyakan ketika kurikulumnya masih dimonopoli oleh ‘ulum al-Naqliyah (Islamic science). Karena posisi madrasah yang menaruh jarak dengan sain modern itulah maka madrasah sering disebut sebagai lembaga tradisional. Kurikulum madrasah yang membatasi diri pada ilmu-ilmu agama agaknya mengancam eksistensi dirinya sendiri. Meskipun demikian, jika dilakukan penyesuaian dengan ke-
yang berlebihan terhadp kecenderungan pendidikan modern (sekuler) juga akan menjerumuskan madrasah kedalam sistem pendidikan yang lepas dari nilai-nilai keislaman. ****
cenderungan pendidikan modern, madrasah masih tetap dituntut untuk menampilkan citranya sendiri yang memperhatikan ilmu-ilmu agama secara lebih proporsional. Madrasah dalam era modern berada pada dalam posisi tarik menarik-menarik antara keharusan mempertahankan pengajaran ilmu-ilmu agama secara modern disatu pihak, dan mengembangkan pengajaran ilmuVol III, No 2, November 2010
29
Madrasah Nizamiyah
DAFTAR PUSTAKA
Al-Futuh, Abdul Majid, Al-Tarikh, alSiyasi wa al Fikri, Al-Manshur Mathabi’ Al Waffa, 1988
Syalabi Ahmad, Al-Tarbiyah al-Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha, Maktabah AlNahdhah al-Mashyirah, Kairo 1987.
‘Abu Abdul Ghani, Dirasah Muqaranat li Tarikh al-Tarbiyah, dar AlFikr al-Arabi, 1987 ------------------, History of Muslim Education, Dar al-kasysyaf, Badawi, Abd Majid Abd Futuh, Tarikh Bairut 1954 Al-Siyasi wa al-Fikri, Matabi’ Al-Waffa, Almanshur 1988 Fajar, Abd Malik, Tantangan Madrasah dulu dan Sekarang, Gema Insani Press bandung 1997 Hisyam, Nashabe, Muslim Education Institution, Library Du Liban, Bairut 1989 Maksun, H., Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, logos Wacana ilmu, Jakarta 1999 Said, Mursi Ahmad, Tatawwur al-fikr al-Tarbawi, ‘Alam al-Kutub, Kairo 1982
30
Vol III, No 2, November 2010
REORIENTASI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL Oleh : Mujiburrokhman
ABSTRACT Education means a practical that does ever get business with configuration developmental effort human, so they can actualize in its qualified form. Certainly that Islamic education institute presents that qualified in various type and that education ladder highly expected sooth by a variety party, particularly Islamic people. Even feel as requirement that imperative especially for middleweight Moslem circle into what does quantitative ever increasing lately now. Islamic education development is not talk simply, since requiring marks sense planning cohesively and comprehensive. Despitefully, also needs to be backed up by activity “ research and evaluation ”. In A. Malik Fajar’s opinion, research and education evaluation constitutes empirical inquiry one of solution to get good ways in development base.
Key Wods: Pendidikan, Reorientasi Pendidikan Islam, Globalisasi.
Vol III, No 2, November 2010
31
Reorientasi Pengembangan Pendidikan Islam Di Era Global
A. PENDAHULUAN Pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan praktis yang selalu berurusan dengan upaya pengembangan kepribadian manusia, sehingga mereka dapat mengaktualisasikan dirinya dalam wujudnya yang berkualitas. Hanya lewat pendidikan, manusia akan memperoleh koleksi pengalaman serta perubahan-perubahan dalam kemampuan berfikir, bernalar, berdaya cipta, berbudi pekerti dan lain-lain. Oleh karenanya, pendidikan harus diletakkan dalam kerangka permasalahan yang jelas mengingat posisi strategis dan kritis yang diembannya. Melalui posisi strategisnya, pendidikan sesunggguhnya menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk menggerakkan seluruh aspek kehidupan dan menjadi tumpuan masa depan suatu bangsa dalam menghadapi perubahan zaman. Tidak berlebihan jika para ahli mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu aktifitas manusia yang paling sarat dengan berbagai muatan. Bagaimana nasib suatu bangsa dan akan dibawa kemana mereka tergantung kepada pendidikan. Pendidikan dengan demikian, 32
dapat dipandang dari dua hal, pertama sebagai fenomena individual, dan kedua, sebagai fenomena sosialbudaya. Sebagai fenomena individual, pendidikan dipandang sebagai proses pengembangan manusia sebagai realitas mikrokosmos yang didalamnya terdapat potensi-potensi dasar yang dapat dikembangkan dan dididik (educability). Sebagai homo-educandum, demikian manusia sering disebut dalam berbagai literatur pendidikan. Kalau Ibnu Taimiyah, sebagaimana diungkapkan oleh Juhaya S. Praja (UQ.1990) menjelaskan bahwa manusia mempunyai tiga potensi dasar (fitroh), (a) daya intelektual (quwwah al-akal), daya ofensif (quwwah alsyahwah), dan daya defensif (quwwah al-ghodob), Maka setidaknya pengembangan potensi-potensi inilah yang digarap dalam konteks yang pertama ini. Sebagai fenomena sosial-budaya, pendidikan dipandang sebagai aktifitas yang memberikan suasana kondusif bagi pengembangan etos kultural manusia sehingga mampu berinteraksi dengan alam lingkungannya (Arifin dkk, 1995). Dari sudut pandang ini, pendidikan sebagai proses Vol III, No 2, November 2010
Mujiburrokhman
pembudayaan anak manusia, yakni proses sosialisasi nilai-nilai moral, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan yang berkembang dalam masyarakat dan membebaskannya dari segala bentuk kepentingan. Dengan demikian, sampai kapan pun tugas pendiikan selalu berkaitan dengan masalah pengembangan kemampuan-kemampuan manusia dan pengembangan kepribadiannya. Namun demikian proses pengembangan kemampuan dan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, pendidikan dikatakan sebagai proses pembudayaan yang selektif. (Soetandyo Wignyosubroto, 1994,45). Disamping itu pendidikan merupakan salah satu bentuk instrumen masyarakat untuk memenuhi harapan-harapannya. Sebagai instru-
iatan pendidikan mengandung muatan nilai-nilai atau moralitas tertentu yang mesti dikembangkan secara terarah dan sistematis melalui pendekatan yang relevan. Dalam upaya mencapai kualitas manusia sesuai tuntutan masyarakat tersebut, muncullah persoalan-persoalan konseptual dan tehnis dalam menjalankan aktifitas pendidikan. Dilihat dari paradigma filosofisnya, setiap pendidikan mempunyai pandangan dasar serta visi kultural yang berbeda tergantung pada dasar filsafat hidupnya yang pada gilirannya akan berpengaruh pada pengembanagan operasioanal pendidikan yang meliputi kurikulum, metodologi, materi ajar, evaluasi, pengelolaan organisasi pendidikan dan seterusnya. Bagi kita, bangsa Indonesia, posisi pen-
men masyarakat, pendidikan memiliki tugas konservasi (conservative function) terhadap warisan sosial-budaya masyarakat. Sebagai transfer nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat dan tugas pengintervensian inovasi (Progress function) dengan menciptakan transaksi dan transformasi daya-daya insaniyah untuk mencapai kualitas manusia yang diharapkan. Dalam kerangka ini, keg-
didikan termasuk pendidikan agama, dalam kerangka pembangunan nasional masuk dalam PROPERNAS (program Perencanaan Nasional). Persoalannya sekarang adalah bagaimana model pendidikan yang relevan dan mampu menjawab tantangan masa depan di tengah masa transisi bangsa yang sarat dengan berbagai permasalahan moral sebagaimana yang telah diuraikan di
Vol III, No 2, November 2010
33
Reorientasi Pengembangan Pendidikan Islam Di Era Global
atas?. tulisan ini membahas tentang reorientasi pendidikan Islam guna menjawab tantangan dan kebutuhan zaman (globalisasi). B. MAKNA PENDIDIKAN ISLAM Pendidikan Islam adalah pendidikan dalam perspektif al-tarbiyah al-islamiyyah yang dalam proses pendidikannya melaksanakan fungsifungsi pendidikan yang terdiri dari empat aspek yaitu: 1) Menjaga dan memelihara potensi peserta didik, 2) Mengembangkan seluruh potensi peserta didik, 3) Mengarahkan seluruh potensi peserta didik secara sempurna, dan 4) Dilaksanakan secara bertahap. Implementasi al-tarbiyah al-islamiyyah didasarkan firman Allah SWT, da-
ia adalah mahluk pedagogis yang dilahirkan membawa potensi dapat didik dan mendidik, sehingga mampu menjadi khalifah fi al-ardhi, penerima dan pelaksana ajaran Allah, pendukung dan pengembang kebudayaan. Fikiran dan perasaan serta kemampuannnya berbuat merupakan komponen dari potensi ini. Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan dalam Islam berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap menurut ajaran Islam. Potensi-potensi yang dikembangkan itu meliputi potensi beragama, intelek, sosial, ekonomi, seni, persaingan, keadilan, pengembangan harga diri, cinta tanah air dan sebagainya. Tujuan pengembangan ada yang bersifat individual, yaitu yang berkaitan
lam Al-Qur’an surat Al-Isra’:24;“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. Bertolak dari firman Allah di atas, manusia adalah sebaik-baiknya makhluk yang diciptakan Allah dalam bentuk yang terbaik (fi ahsani al-taqwim),
dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktifitas dan kehidupannya di dunia dan di akherat. Ada yang bersifat sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, memperkaya pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat profesional untuk memperoleh ilmu, seni, profesi dan semua aktifitas diantara semua
34
Vol III, No 2, November 2010
Mujiburrokhman
aktifitas-aktifitas masyarakat. (Umar Muhammad al-Taumy al-Syaibani, 1979, 399). Rasullualah SAW ketika mengajar dan mendidik umat ketika itu, tidak terbatas pada sekedar agar mereka dapat membaca, melainkan membaca yang bernuansa bertanggungjawab dan amanah. Ketika beliau mengajarkan “membaca” dibawanya mereka pada tazkiyatu al-nafsi (kesucian diri) dan membuat diri mereka sadar bahwa mereka adalah mahluk ciptaaan Allah. Selanjutnya pendidikan Islam harus mencakup aspek ta’lim dan ta’dib, yaitu menyangkut proses transfer ilmu dan ketrampilan untuk memenuhi hajat hidup, dan menyangkut aspek beradab atau berbudi pekerti. Prinsip ini harus berlaku di segala situasi dan
didikan Islam bukan sekedar mendidik aspek relegius yang menyangkut hubungan dengan Allah saja, tetapi karena Islam adalah agama peradaban, mempunyai sistem akidah, ibadah dan sistem hidup yang menyeluruh untuk manusia, maka pendidikan Islam berorientasi pada kemajuan dan berkembangnya ilmu pengetahuan. (Ibid, 85) Agama dan ilmu keduanya berupa prinsip dan amal sistem dan kehidupan orang-orang Islam dahulu, mereka yakin betapa perlunya ilmu untuk masyarakat, peradaban, dan sumbangan mereka amat besar dalam berbagai bidang ilmu dan metode kajian ilmiah. Namun mereka sekali-kali tidak pernah lupa akan ajaran agama, nilai, ahlak dan tazkiyatun nafsi. (Ibid,86) Pendidikan Islam sebenarnya
kondisi lingkungan sosial dan di waktu segala kebutuhan manusia baik yang primer maupun yang sekunder meningkat, maupun pada zaman dimana hegemoni dimana materialisme tampak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang begitu cepat, pendidikan Islam akan tetap bertahan dalam relevansinya dengan ajaran Islam. Bagi komunitas muslim pen-
mempunyai misi untuk mendidik peserta didik untuk memiliki ilmu, dengan ilmunya mampu menempatkan fungsi al-afidah secara sempurna. Tidak melakukan penyimpangan syari’ dan berlaku baik menurut norma-norma Islam. Mayhew (1958) menjelaskan pada sebuah studinya tentang adanya hubungan yang relatif kecil,antara perubahan
Vol III, No 2, November 2010
35
Reorientasi Pengembangan Pendidikan Islam Di Era Global
perilaku seseorang dan perkembangan pengetahuan yang didapat oleh yang bersangkutan melalui pendidikan formal (pendidikan tinggi). Ini tidak berarti orang-orang dengan bakat dan kecerdasan tinggi tidak diakui di sini, yang dimaksud disini adalah hubungan tersebut memang ada namun pada level yang relatif rendah yang dapat menjelaskan hubungan tersebut secara efektif. (David R Krathwohl, Benjamin S.Bloom, 1973,7) Adanya hubungan yang relatif kecil antara perubahan perilaku pemilik ilmu dengan perilakunya, sebagaimana yang ditemukan Mayhew, bisa saja terjadi, mungkin disebabkan karena berubahnya secara total sifat kebudayaan material manusia. Dampak kebudayaan baru itu terjadi karena perkembangan ilmu pengeta-
Andrini, 1980: 190) Aksesnya dapat menimbulkan disintegrasi kepribadian (personality), muncul penyakit mental pada individu dan disintegrasi orde sosial. Karena sektor-sektor kebudayaan yang tidak sama kecepatan pertumbuhannya, terjadi kemudian disparitas atau perbedaan diantara kebudayaan material dengan perkembangan budaya spritual institusi-institusi sosial. Artinya lembaga-lembaga sosial dan spiritual tidak seimbang, dan jauh tertinggal dibelakang kemajuan-kemajuan ilmiah dan tehnologi. (Ibid,191). Selanjutnya muncul Cultural lag yaitu kegagalan institusi spiritual bersamaan pertumbuhan kebudayaan ilmu dan kebudayaan material yang berkembang sangat pesat, dan proses sekulerisasi pada kebudayaan
huan dan tehnologi yang sangat cepat, serbuan tehnologi informasi yang sangat dahsyat yang mendorong penetrasi dan ekspansi nilai-nilai. Munculnya satu gaya hidup baru, satu tipe budaya baru dan satu klas pemimpin-pemimpin baru yang mempunyai ideologi baru. semua itu dapat merambah secara total pola hidup dan pola kemasyarakatan manusia. (Kartini Kartono dan yeni
material tampak lebih tajam. Lembaga ekonomi misalnya, dapat diubah lebih cepat dari pada lembaga relegius. Sebab lembaga ekonomi kurang terus dinilai dengan kriteria emosi atau sentimen, jika dibandingkan dengan lembagalembaga kebudayaan dan relegius. (Ibid 191) Proses sekulerisasi pada kebudayaan material, gaya hidup dan
36
Vol III, No 2, November 2010
Mujiburrokhman
nilai-nilai yang dibawa oleh mediummedium produk kemajuan tehnologi komunikasi akan memunculkan massculture dengan segala konsekuensi lanjutannya. (Azumardi Azra,2002: 191) Karenanya pendidikan Islam kiranya mempunyai kekuatan menjadi counterculture dengan kembali memperkokoh tradisi Islam dikalangan peserta didik muda dan anak-anak usia dini. Seraya mengaktifkan pendidikan al-af ’idah dengan memerankan secara aktif kedua orang tua, dan mendorong kepedulian masyarakat terhadap proses pendidikan hati nurani ini. C. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM MENUJU ERA GLOBAL Jalur pendidikan menurut Islam dapat ditempuh melalui berbagai jalur baik jalur pendidikan formal, non formal, maupun informal yang dalam dataran praksis kemanusia kesemua jalur berfungsi saling melengkapi dan memperkaya. (RI, 2003: 11) Semua pedagogis Islam ini harus diserahkan pada ahlinya yang tepat, terutama bidang pelaksana, jangan sampai lemah dalam kompetensi. Karena keberhasilan Vol III, No 2, November 2010
dalam mendidik al-af ’idah yang dimulai pada usia dini dan tingkat dasar merupakan langkah mendidik yang paling fundamental dalam membentuk pribadi muslim dan karakter bangsa. Adalah suatu keniscayaan bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu sesungguhnya sangat diharapkan oleh berbagai pihak, terutama umat Islam. Bahkan kini terasa sebagai kebutuhan yang sangat mendesak terutama bagi kalangan muslim kelas menengah ke atas yang secara kuantitatif terus meningkat belakangan ini. Fenomena sosial yang sangat menarik ini mestinya bisa dijadikan tema sentral kalangan pengelola lembaga pendidikan Islam dalam melakukan pembaharuan dan pengembangannya. Namun yang kita saksikan justru sebaliknya, di berbagai tempat banyak lembaga pendidikan Islam terutama yang tergolong “kelas pinggiran� satu persatu mengalami penyusutan karena kehilangan kepercayaan dari umat maupun peminatnya. Sementara itu lembaga-lembaga pendidikan yang latar belakang keagamaannya berbeda namun dikelola secara profesional dan 37
Reorientasi Pengembangan Pendidikan Islam Di Era Global
menempatkannya pada konteks kemasyarakatan yang lebih luas, memperlihatkan perkembangan yang demikian pesat, sehingga keberadaannya semakin kokoh. Kenyataan itu secara tidak langsung menuntut para pengelola pendidikan Islam untuk lebih yang bersifat rasional dan lebih berorientasi kepada kebutuhan masyarakat luas. Apalagi sekarang ini, yang menjadi mainstream pemikiran pendidikan adalah mempersiapkan sumber daya manusia di masa mendatang dan bukan semata-mata sebagai alat untuk membangun pengaruh politik atau alat dakwah dalam arti sempit. Kalau persepsi yang terakhir ini yang dijadikan acuan untuk tetap bertahan, maka boleh jadi pendidikan bukan saja tidak menolong
Kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya bukan karena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang memulai memudar, melainkan karena sebagian besar kurang menjanjikan masa depan dan kurang responsif terhadap pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial dan cita-cita. Masyarakat yang berpendidikan akan semakin beragam pertimbangannya dalam memilih pendidikan bagi anak-anaknya. Hal ini berbeda dengan kondisi tempo dulu yang masih serba terbatas dan terbelakang. Tempo dulu, pendidikan lebih merupakan model untuk pembentukan maupun pewarisan nilai-nilai kea-
masa depan peserta didik, tetapi lebih jauh kebalikan dari itu, yaitu dinilai sebagai perbuatan yang merugikan. Oleh karena itu, persoalan dunia pendidikan sebenarnya termasuk peka dan rawan. Pendidikan yang tidak didasarkan pada orientasi yang jelas dapat mengakibatkan kegagalan dalam hidup secara berantai dari generasi ke generasi. (A.Malik Fajar, 2006,10)
gamaan dan tradisi masyarakatnya. Artinya, kalau anaknya sudah mempunyai sikap positif dalam beragama dan dalam memelihara tradisi masyarakatnya, maka pendidikan dinilai sudah menjalankan misinya. Tentang seberapa jauh persoalan keterkaitan dengan kepentingan ekonomi, sudah semakin terdidik dan terbuka, pada umumnya lebih rasional, pragmatis dan berfikir
38
Vol III, No 2, November 2010
Mujiburrokhman
jangka panjang dan karenanya pula. Ketiga aspek tersebut (nilai, status sosial dan cita-cita) dijadikan pertimbangan secara bersama-sama. Bahkan, dua pertimbangan terakhir (status sosial dan cita-cita) cenderung lebih dominan. Sebenarnya komitmen masyarakat kita terhadap nilai-nilai agamanya masih cukup tinggi. Bahkan ada kecenderungan meningkat. Hal ini terkait tatkala muncul pendidikan Islam yang dinilai bermutu dan cukup menjanjikan, maka mereka akan menjadikannya sebagai pilihan pertama. Sebagai contoh dikemukakan disini,
merekomendasikan sebagai salah satu model “sekolah unggulan�. Pengembangan pendidikan Islam bukanlah pekerjaan sederhana, karena memerlukan adanya perencanaan secara terpadu dan menyeluruh. Dalam hal ini, perencanaan berfungsi membantu memfokuskan pada sasaran, pengalokasian dan kontinunitasnya serta sebagai suatu proses berfikir untuk menentukan apa yang akan dicapai, bagaimana mencapainya, siapa yang mengerjakannya dan kapan dilaksanakannya. Maka perencanaan juga memerlukan adanya kejelasan terhadap masa depan yang akan dicapai
seperti kehadiran sekolah-sekolah pada perguruan Al-Azhar di Jakarta, Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 di Malang, dan SMA Muhammadiyah 1
atau dijanjikannya. Oleh karena itu dalam perencanaan ada semboyan bahwa luck is the result of good planning, and good planning is the result of information well ap-
di Yogyakarta yang setiap tahun ajaran baru selalu dipadati calon siswa dan siswi. Terhadap lembaga pendidikan seperti ini, ternyata daya beli masyarakat tinggi walaupun biaya pendidikannya cukup tinggi. Pemerintah nampaknya tidak keberatan dan tidak membatasi upaya-upaya pengembangan lembagalembaga pendidikan yang menyandang ciri-ciri khas itu. Bahkan pemerintah
plied.(Ibid) Selain perencanaan yang baik dan tepat, Menurut A. Malik Fajar (1999, 12), untuk pendidikan Islam yang lebih baik juga perlu didukung dengan kegiatan “riset dan evaluasi�. Dalam kajian A. Malik Fajar ini, riset dan evaluasi pendidikan merupakan empirical inquiry yang dapat dijadikan landasan pengembangan secara bijak. Sayangnya, kegia-
Vol III, No 2, November 2010
39
Reorientasi Pengembangan Pendidikan Islam Di Era Global
tan riset dan evaluasi pendidikan Islam itu sampai sekarang belum ada yang menekuninya, meskipun dalam berbagai pembicaraan dan diskusi seputar pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam sering disebut-sebut perlunya umat Islam memiliki “lembaga riset dan evaluasi pendidikan� atau Research and Development (R&D)�. Maka pertanyaannya kapan umat Islam yang kaya dengan lembaga-lembaga pendidikannya itu memiliki lembaga riset dan pengembangan pendidikan Islam yang tangguh dan mumpuni. Bukankah kita sudah memiliki modalnya baik yang berupa tenaga ahli maupun yang berupa kelembagaan (pondok pesantren, madrasah, sekolah dan perguruan tinggi). Pertanyaan-pertanyaan itulah barangkali yang segera dijawab.
menjalankan fungsi-fungsi alokasi posisi secara makro yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keadaan ini menuntut kita untuk melakukan pembenahan dan pengembangan yang lebih jauh dan menjanjikan masa depan. Pembenahan dan pengembangan ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu, macrocospic (tinjauan makro), dan microscopic (tinjauan mikro). Dalam pendekatan pertama, pendidikan dianalisis dalam hubungannya dengan kerangka sosial yang lebih luas, sedangkan dalam pendekatan yang kedua, pendidikan dianalisis sebagai satu kesatuan unit yang hidup dimana terdapat saling interaksi di dalam dirinya sendiri. (Ibid, 13) Dua pendekatan yang disebutkan di atas bersifat saling melengkapi, terutama ditengah masyarakat yang semakin kompleks yang dilahirkan D. PENUTUP oleh interaksi dengan berbagai aspek Paparan di atas memberikan kehidupan seperti saat ini. Oleh kargambaran yang cukup jelas, bahwa ena itu, kalau kita ingin menatap masa potensi pendidikan yang telah dimiliki depan pendidikan Islam yang mampu oleh umat Islam baik yang berbentuk memainkan peran yang sangat strategis madrasah dan sekolah maupun pergu- dan diperhitungkan untuk dijadikan ruan tinggi, nampaknya belum menjadi pilihan, maka perlu ada keterbukaan kekuatan aktual, karena itu, pendidikan wawasan dan keberanian dalam meIslam masih jauh dari harapan untuk mecahkan masalah-masalah mendasar 40
Vol III, No 2, November 2010
Mujiburrokhman
dan menyeluruh, seperti yang berkaitan dengan: pertama, kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah-langkah operasionalnya, kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya, ketiga, perbaikan, pembaharuan, dan pengembangan dalam sistem pengelolaan atau manajemennya, dan keempat, peningkatan sumber daya manusia yang diperlukan. Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan pendidikan Islam dapat berperan lebih artikulatif di masa yang akan datang. Sesungguhnya harus disadari, secara kualitatif lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sekarang ini muncul serta dinilai “terkemuka� (outstanding), masih jauh dari tuntutan ideal. Karena memang dalam bahasa
zakat mal yang khusus untuk dana pendidikan. Langkah-langkah tersebut ditempuh dengan berpijak pada landasan niat dan tekat bahwa kita umat Islam, sudah seharusnyalah mewariskan sesuatu yang terbaik bagi generasi mendatang. Wa Allu A’lamu. ****
pengembangan pendidikan berlaku adagium, start from beginning to the end, and end for beginning. Tentu harus diakui pula bahwa untuk semua itu dibutuhkan dana dalam jumlah besar. Sistem pendanaan ini harus mendapat perhatian khusus dari kalangan umat Islam. Sebagai alternatif cara yang dapat ditempuh ialah dengan gerakan wajib ber-infaq atau dengan mengalokasikan Vol III, No 2, November 2010
41
Reorientasi Pengembangan Pendidikan Islam Di Era Global
DAFTAR PUSTAKA
al-Syaibani, Umar Muhammad alLondon: Longman Group Taumy, Filsafat Pendidikan Ltd, 1973 Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Drost, J.I.G.M.S.J, Sekolah Mengajar Atau Mendidik, Kanisius Arifin, MT, Riset, Pengajaran dan Press: Yogyakarta, 2001 Revitalisasi Universitas, Bernas,16 Oktober 1993 Fajar, Malik A, Pengembangan Pendidikan Islam Yang Menjadikan Masa Azizy, Qodri A, Pendidikan (Agama) Depan, dalam Quo Vadis Untuk Membangun Etika Pendidikan Islam, ed.Mudjia Sosial (Mendidik Anak Raharjo UIN Malang Press, Sukses Masa Depan: Pandai 2006, dan Bermanfaat), Semarang: Aneka Ilmu, 2003 Fajar, Abdullah M, Strategi Pengembangan Pendidikan Azra, Azumardi, Esei-esei Intelektual Islam Melalui Riset dan Muslim dan Pendidikan Islam, Evaluasi “ dalam Pendidikan Jakarta: Logos, 1998. Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara ------------------------, Paradigma Baru Wacana, 1999. Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Gie, The Liang, Konsep Tentang Ilmu, Demokratisasi, Jakarta: Yogyakarta: Yayasan Studi Kompas., 2002, Ilmu dan tehnologi,1984. David R. Kratwohl, Benjamin S. Bloom Gelner, & Bertran B.Masia, Toxonomy of Educational Objextives,
Ernes, Menolak Posmodernisme, Bandung: Penerbit Mizan, 1994,
42
Vol III, No 2, November 2010
Mujiburrokhman
Jumbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Sosial dan Keagamaan, UIN Malang Press:1999. Shihab, Qurais, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1991
Kartono, Kartini dan Andari, Yenny, Hygiene Mental dan Kesehatan Dalam Islam, Bandung: Tilaar HAR, Beberapa Aspek Reformasi Mandar Maju, 1989, Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21, Mas’ud, Abdurrahman dan Muhtarom Magelang: Indonesia Tera, H.M, Reproduksi Ulama’ di 1999. Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Withead Alfred N., dalam The Aim of Education (New York: The M.S, Jhohar, Reformasi dan Masa Free Press,1957 Depan Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: IKIP Wignyosoebroto Soetandyo, Fungsi Yogyakarta,1999, Lembaga pendidikan Tinggi Dalam Mewujudkan Sumber Maclellan, James, Philosophy of Education, Daya Manusia Berkualitas, Englewood Cliffs: PrenticeMakalah disajikan Pada Hall, 1976. Praja, Juhaya Seminar Nasional Dalam S, Ulumul Qur’an: Sebuah Rangka HUT XXVII Pengantar, Khazanah Laboratorium Pancasila Intelektual: Bandung, 2006 IKIP Malang, Juli 1994. Purbawakartja, Soegarda dan Harahap, H.A.H, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981 Raharjo, Mudjia, Agama dan Moralitas: Reaktualisasi Pendidikan Agama Islam Di Masa Transisi, dalam : Quo Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam,
Vol III, No 2, November 2010
43
Reorientasi Pengembangan Pendidikan Islam Di Era Global
44
Vol III, No 2, November 2010
DESENTRALISASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (Reformasi Arah dan Pengembangan Pendidikan di Indonesia)
Oleh: Mustatho
ABSTRTACT The main reduction for national education is its dominant role center (centralization) in take policy and education management. This centralization becomes bureaucracy tool to the favor power politics, so inappropriate and irrelevant with that education requirement is alone. So fairly if education reform by undertaking kind of “ the plaint ” to aught system and advising that apply education decentralization. Education reform in essentials aims most composes it decentralistic’s condition, well on bureaucracy level and also education management comes up foremost guard, namely schooled. To school based leadership or school based management make beginning. Even more actual that education necessarily gets society basis ( community based education). Despitefully UNESCO has formulated education basic vision which is learning to think, learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together or learning to learn. This mean, terminological future education UNESCO shall point on four its basics. How about our national education?. This paper gave that explanation. Kata Kunci: Pendidikan Nasional, Reformasi Pendidikan, Desentralisasi.
Vol III, No 2, November 2010
45
Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional
A. PENDAHULUAN Perubahan kondisi social politik di Indonesia yang muncul akibat dari adanya krisis ekonomi kemudian berkembang menjadi krisis sosial politik berimplikasi kepada perubahan dalam berbagai bidang antara lain bidang pendidikan. Isu sentralisasi dan desentralisasi muncul sebagai upaya pemberdayaan daerah. Terdorong oleh suasana perubahan politik kenegaraan, semakin diyakini bahwa salah satu upaya penting yang harus dilakukan dalam peningkatan kualitas pendidikan adalah dengan pemberdayaan sekolah yang intinya memberikan kewenangan dan pendelegasian kewenangan (delegation of authorithy) kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan (quality
berian atonomi daerah. Alasan yang mendasar diberlakukannya keputusan politik untuk memberi otonomi kepada daerah didorong pula oleh tuntutan pembangunan nasional yang semakin meningkat dan semakin kompleks sehingga menghendaki penanganan yang lebih efisien serta mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan, termasuk di dalamnya perencanaan, pelaksanaan dan tanggung jawab bersama atas pembangunan di daerahnya. UU tersebut sekarang diperbaharui dalam UU No. 2 tahun 1999, tentang pemerintah daerah yang telah diberlakukan mulai 7 Mei 1999 dan secara tuntas akan dilaksanakan secara efektif tahun 2000. Undang-undang ini merupakan implementasi Tap MPR RI No. XVMPR/1998, tentang penye-
continuous improvement) Pada awalanya isu pokok pendekatan manajemen dan desentralisasi sudah tertuang dalam jiwa PP No. 65 tahun 1951 adalah pemberian wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar, dan hal ini mendapat wadahnya dalam UU No. 5 tahun 1974 mengenai pemerintahan di daerah yang menjurus kepada pem-
lenggaraan otonomi daerah. Pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai dengan diterapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, adalah penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan
46
Vol III, No 2, November 2010
Mustatho Bidang Pendidikan. Dari tarik ulur persoalan sentralisasi-desentralisasi inilah penulis menspesifikasi kajian pada pentingnya reformasi dan desentralisasi pendidikan Nasional. B. MAKNA PENDIDIKAN Pendidikan dalam pengertian bahasa disebut : The process of training and developing the knowledge, skills, mind, character, etc., especially by formal scholing (proses melatih dan mengembangkan pengetahuan, keahlian, pikiran, perilaku, dan lain-lain, terutama oleh sekolah formal). Pendidikan dalam pengertian ini, dalam kenyataannya, sering dipraktekkan dengan pengajaran yang sifatnya verbalistik. Yang terjadi adalah dikte, diktat, hafalan, tanya jawab, dan semacamnya. Kalau kenyataannya sep-
mahami atau mengetahui, juga sekaligus menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Islam. Kata pendidikan telah didefinisikan oleh para ahlinya dengan bermacam-macam definisi, yang masingmasing mempunyai alasan dan argumentasinya. (Azumardi Azra, 1998: 3-4) Dari beberapa definisi yang dapat kita sederhanakan dari esensi pendidikan, yaitu “adanya proses transfer nilai, pengetahuan dan ketrampilan, dari generasi tua kepada generasi muda, agar generasi muda dapat hidup�. Dalam batas tertentu, targetnya juga untuk mampu hidup lebih dari pada generasi tua. Generasi tua berperan sebagai pelaku atau hanya sebagai fasilitator. Pengertian ini sangat umum dan meliputi pendidikan formal, non-formal,
erti itu, berarti anak didik baru mampu menjadi penerima informasi, belum menunjukkan bukti telah menghayati nilai-nilai yang diajarkan. Terlebih lagi mengenai pendidikan agama, seharusnya bukan sekedar untuk menghafal beberapa dalil agama atau beberapa syarat- rukun setiap ibadah, namun harus merupakan upaya, proses, usaha mendidik murid, disamping untuk me-
dan informal. Arti ini juga meliputi privat antara orang tua dengan anaknya dan publik yang biasanya ditentukan oleh kebijakan politik sesuai dengan sistem yang ada di negara tertentu. Ada tiga kebutuhan penting yang akan ditransfer melalui pendidikan yaitu, value (nilai), pengetahuan (knowledge), dan ketrampilan (skill), dimana seni termasuk didalamnya. Oleh
Vol III, No 2, November 2010
47
Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional
karena itu, tujuan pendidikannya juga beragam, sesuai dengan bagaimana masyarakat atau negara mendefinisikan pendidikan dan bagaimana pula filsafat hidupnya. Menurut James Maclellan dalam Philosophy of Education (1976), maka “education” doesn’t designate any particular activities or practise but rather indicates a kind of purpose or intention with one might engage in pedagogical activities of various shorts, where “pedagogical activities” means those designed to produce learning in another (Pendidikan tidak menunjuk aktiftas atau praktek tertentu, namun lebih menyatakan (mengindikasikan) bentuk tujuan atau niat dengan cara seseorang dengan berbagai macam rupa aktifitas yang berkaitan dengan pendidikan, dimana aktifitas-aktifitas ini berarti hal-hal yang direncanakan untuk menghasilkan pembelajaran pada yang lain).
menghendaki juga pembenahanpembenahan pada konsep dan tujuan penddidikan lebih flesksibel dan dinamis sesuai dengan perkembangan yang ada. UUD 1945 Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang.” Selanjutnya pasal 31, ayat 5 menyebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan C. TUJUAN PENDIDIKAN nasional berfungsi mengembangkan NASIONAL kemampuan dan membentuk Pendidikan yang baik watak serta peradaban bangsa adalah pendidikan yang selalu yang bermartabat dalam rangka mendasarkan diri pada kebutuhan mencerdaskan kehidupan bangsa, masyarakat dimana pendidikan itu bertujuan untuk berkembangnya dilaksanakan. Dinamika masyakarat potensi peserta didik agar menjadi
48
Vol III, No 2, November 2010
Mustatho manusia yang beriman dan bertakwa mengikuti, bahkan juga tidak mankepada Tuhan Yang Maha Esa, deg atau tumpul. Hasilnya akan berakhlak mulia, sehat, berilmu, menjadikan orang menjadi indecakap, kreatif, mandiri, dan menjadi penden, gemar membaca, mau warga negara yang demokratis serta selalu belajar, mempunyai pertimbertanggung jawab.�. bangan rasional tidak semata-mata Kalau tujuan pendidikan emosional dan selalu curious untuk nasional sudah terumuskan seperti tahu segala sesuatu. Curiousity (keitu, maka fokus berikutnya adalah ingintahuan) menjadi sangat pentcara menyampaikan atau bahkan ing dalam hidup, dan hal ini baru menanamkan nilai yang ada dalam tujuan terwujud jika kita mampu selalu pendidikan tersebut. UNESCO (United berfikir. Nation Educational, Scientific and Cultural 2. Learning to do (belajar hidup atau beOrganization) pada rapat tahunannya lajar bagaimana berbuat/bekerja). di Melbourne Australia tahun 1998 Pendidikan dituntut untuk menmerumuskan cara dan prinsip belajar jadikan anak didik setelah selesai sebagai berikut learning to think, learning (lulus) mampu berbuat dan sekalito know, learning to do, learning to be, learning gus mampu memperbaiki kualitas to live together. Ke arah pembelajaran hidupnya, sesuai dengan tantanseperti yang dirumuskan UNESCO gan yang ada. Ini realistis. Dengan inilah semestinya pendidikan Nasional ketatnya kompetisi global, kita didi arahkan. Lebih jauh Qadri Azizi tuntut untuk semakin profesional, mendeskripsikan ke empat prinsip mempunyai skill yang berkualitas belajar tersebut: untuk mampu berkompetisi 1. Learning to think (belajar bagaima- 3. Learning to be (belajar bagaimana na berfikir), atau learning to know. tetap hidup, atau sebagai dirinya). Berfikir yang terus menerus ini buUntuk dapat tetap hidup diperlukan hal yang tak mudah. Termasuk kan pula “tahu diri�. Disamping di sini adalah sasaran berfikir seitu learning to be (belajar untuk tetap cara rasional, tidak semata-mata hidup) juga mempunyai arti men-
Vol III, No 2, November 2010
49
Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional
gajarkan sadar lingkungan untuk menjaga bumi yang dihuni dari kerusakan. Oleh karena itu, reformasi pendidikan harus juga mendidik anak didik untuk sadar lingkungan agar bumi kita terjaga dan terpelihara. Ini menambah kejelasan adanya konteks etika dalam kehidupan bagi seseorang. 4. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama-sama). Ini merupakan kenyataan (pluralisme) hal ini dapat terwujud jika kita bersedia menerima kenyataan akan adanya perbedaan. Pemahaman terhadap adanya pluralisme akan menyadarkan kita akan nilai-nilai universal seperti HAM, demokrasi, dan semacamnya. Learning to life together berarti, pendidikan harus menga-
yang sentralistis yang selama ini ada menjadi satu sebab kemunduran pendidikan nasional Indonesia. Sentralisasi pendidikan menjadi alat birokrasi untuk kepentingan politik para penguasa. Kebijakan pendidikan yang sangat sentralistik dan serba seragam ini tidak memberikan ruang gerak yang memadai bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dan relevan dengan kebutuhannya sendiri. Masyarakat hanya diperlakukan sebagai obyek, sementara jenis dan jenjang bahkan sampai bentuk kurikulum pun dipaksakan bahkan harus sama dengan pusat. Imbas dari pola pendidikan yang mengutamakan unifikasi (penyeragaman) ini menyebabkan bukan saja kebiasaan atau tradisi dan budaya masyarakat tertindas, namun juga hasil
rahkan anak-anak didik agar siap dan mampu hidup bersama-sama, tanpa permusuhan karena perbedaan etnis, agama dan golongan. (A.Qodri Azizi, 2003, 30-34)
pendidikan tidak mampu memperbaiki dan memberi bekal kepada masyarakat untuk menentukan kehidupan masa depannya. Dampak lebih lanjut, selain muncul kejanggalan-kejanggalan di dunia pendidikan, sentralisasi mengakD. IDE DESENTRALISASI ibatkan sekolah menjadi terasing dari PENDIDIKAN habitatnya sendiri, yakni masyarakat. Faktor sentralisasi kebijakan (A.Qodri Azizy, 2003:6) dan basis penyelenggaraan pendidikan Di samping itu sebagai akibat 50
Vol III, No 2, November 2010
Mustatho dari kelemahan sistem pendidikan yang sentralistis dan penekanan tujuan pendidikan nasional yang ingin mencetak setiap anak didik menjadi warganegara (citizen) yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa, ternyata tidak biasa dipenuhi dalam sistem pendidikan nasional. Justru sebaliknya, pendidikan kita malah menghasilkan sistem sosial yang kemudian melahirkan krisis multidimensional seperti kita masih rasakan akhir-akhir ini. Dalam konteks seperti inilah tidak mustahil terjadinya benang merah antara pelaksanaan pendidikan nasional yang selama ini kita lakukan dengan terjadinya krisis multidimensional. Meskipun demikian, kita sadar bahwa pendidikan hanyalah salah satu dari sistem sosial itu sendiri. Pada dataran ini wajar kalau prespektif pendidikan kritis melakukan “gugatan� terhadap sistem yang selama ini sentralistis menjadi lebih humanis dan desentralis. Alur pikir pendidikan kritis secara operasional mengandaikan usaha reformasi pendidikan, yakni terciptanya kondisi pendidikan yang desentralistik baik pada tataran birokrasi maupun pengelolaan pendidikan sampai pada garda terdeVol III, No 2, November 2010
pannya, yakni sekolah. Untuk itu, school based-leadership atau school based-management mulai dicanangkan. Lebih konkrit lagi, reformasi dan desentralisasi dimaksud menghendaki pendidikan seharusnya dikembalikan kepada habitatnya yang asli, yaitu masyarakat (society). Pendidikan adalah milik masyarakat dan untuk masyarakat. Lebih konkrit dari usaha reformasi pendidikan adalah dengan menjadikan semestinya berbasis pada masyarakat (communitybased-education), Kritik terhadap penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik ini sebenarnya sudah mulai terdengar sebelum terjadinya krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia. Dikatakan demikian karena sebenarnya berbagai kritik pendidikan telah ada sebelum lengsernya penguasa otoriter Orde Baru yang mengakibatkan krisis di segala bidang; namun kritik tersumbat oleh otoritarianisme yang diperankan oleh penguasa saat itu. Jika ditelisik lebih jeli, akar tunggang dari krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia berpangkal pada krisis moral bangsa. Krisis moral ini salah satu penyebabnya adalah 51
Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional
pelaksanaan sistem pendidikan nasionnyataan yang ada di masyarakat. al (baik yang dilakukan oleh sekolah Lebih parah lagi, masyarakat diangmaupun madrasah) yang terlalu sengap sebagai obyek pendidikan yang tralistik dan market oriented yang selama diperlakukan sebagai orang-orang ini menjadi praktik dari pendidikan yang tidak mempunyai daya atau Nasional di Indonesia. Menurut HAR kemampuan untuk ikut menentuTilaar gejala krisis multidimensional kan jenis dan bentuk pendidikan bangsa berpangkal pada sistem penyang sesuai dengan kebutuhannnya didikan yang ada, alasan ini didasarkan sendiri. Masyarakat tidak pernah dengan beberapa pertimbangan, sebadijadikan sebagai subyek dalam gai berikut: menentukan pendidikannya. Itulah 1. Sistem pendidikan yang kaku dan sebabnya, model pemberdayaan sentralistik. Hal ini mencakup uni(empowering) masyarakat tidak performitas dalam segala bidang, ternah diperkenalkan. masuk cara berpakaian (seragam 3. Mengkombinasikan dua sistem sekolah), kurikulum, materi ujian, tersebut di atas (sentralistik dan sistem evaluasi, dan sebagainya. tidak adanya pemberdayaan Pendek kata, sentralisasi diprakmasyarakat) ditunjang oleh sistem tekkan dalam segala bidang yang birokrasi kaku yang tidak jarang berkaitan dengan pelaksanaan dijadikan alat kekuasaan atau alat pendidikan nasional sedetail-depolitik penguasa. Birokrasi model tailnya. Sebagai contoh, pada asseperti ini menjadi ladang tumbuh pek kurikulum, hampir tidak ada suburnya budaya KKN yang hal ruang bagi sekolah sebagai garda itu melemahkan budaya profesionterdepan penyelenggaraan penalisme dan prestasi. (HAR Tilaar, didikan untuk menambah, apalagi 1999: 17) ikut mendesain kurikulum yang diajarkan di sekolah. E. KOMITMEN 2. Sistem pendidikan nasional tidak DESENTRALISASI pernah mempertimbangkan kePENDIDIKAN 52
Vol III, No 2, November 2010
Mustatho Pada awalanya isu pokok pendekatan manajemen dan desentralisasi pendidikan telah tertuang dalam jiwa PP No. 65 tahun 1951 yang berisi tentang pemberian wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar, dan hal ini mendapat wadahnya dalam UU No. 5 tahun 1974 mengenai pemerintahan di daerah yang menjurus kepada pemberian atonomi daerah. Alasan yang mendasar diberlakukannya keputusan politik untuk memberi otonomi kepada daerah didorong pula oleh tuntutan pembangunan nasional yang semakin meningkat dan semakin komplek sehingga meminta penanganan ang lebih efisien serta mengikutsertakan masyarakat sedapatdapatnya mengambil keputusan, dalam merencanakan, melaksanakan dan bertanggung jawab atas pembangunan di daerahnya. Kemudian UU tersebut sekarang diperbaharui dalam UU No. 22 tahun 1999, tentang pemerintah daerah yang telah diberlakukan mulai 7 Mei 1999 dan secara tuntas akan dilaksanakan secara efektif tahun 2000. Undangundang ini merupakan implementasi Tap MPR RI No. XVMPR/1998, tenVol III, No 2, November 2010
tang penyelenggaraan otonomi daerah yang kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan. Langkah efektif untuk mengimplementasikan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang telah disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 salah satunya adalah dengan mengembangkan konsep school based management (SBM), yang mengalihkan dan mengambil keputusan dari pusat, propensi atau daerah Kabupaten dan kota ke sekolah secara mandiri. Konsep ini secara otomatis menjadikan guru sebagai pemimpin di sekolah atau di kelas. Konsep ini juga membuat sekolah menjadi otonom. Undang-Undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, memberikan kesempatan pengelolaan pendidikan untuk di kelola secara otonom diKabupate/Kotamadya bahkan sampai ke desa dan sekolah. Pasl 11 ayat 2 Undang-Undang tersebut menatakan “ Pendidikan termasu 53
Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional
bidang yang wajib dilaksanakan oleh daerah Kabupaten dan daerah kota� Pasal di atas memberikan peluang pada sekolah untuk secara mandiri melaksanakan tujuan fungsi organic (planning, organizing, coordinating, actuating, motivating, controlling, evaluating, dan sanksi) manajemen di sekolah atau di madrasah, baik dalam pembanguna fisik sekolah maupun dalam penentuan proses belajar mengajar. Sebetulnya konsep SBM ini sudah ratusan tahun dijalankan di madrasah-madrasah dn pondok pesantre di Indonesia, yaitu pada empat zaman, zaman penjajahan Belanja, zaman orde lama (1945-1965), zaman orde baru (1966-1998), zaman reformasi (1998-1999) da semakin eksisi dalam zaman otonomi daerah karena memang sesuai dengan kebutuhan
tinggi. Jadi disatu pihak kita menginginkan pembangunan kita lama kelamaan harus tumbuh dari bawah, dan saran untuk mencapainya adalah dengan pendekatan desentralisas. Dipihak lain sistem pendidikan nasional semakin ditingkatkan mutunya. Quality control dari suatu system meminta penyelenggaran yang lugas, efisien, dan oleh sebab itu cenderung kepada sentralisasi. Kiranya sudah jelas kedua jenis pendekatan manajemen pendidikan dasar ini tidak bertentangan satu dengan lainnya, malah saling mengisi. Kedua pendekatan itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, bergantung kepada situasi dan kondisi tahap pembanguan serta syarat-syarat
masyarakat. Sebaliknya jiwa PP No. 28 tahun 1990 cenderung ke arah pendekatan manajemen sentralistik. Hal ini mudah dimengerti, karena PP tersebut keluar daari UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Sebagai suatu sistem tentunya harus bersifat efektif. Secara teknis harus efisien agar keluaran dari sistem itu bermutu
obyektif lainnya yang dalam ilmu manajemen disebut managerial environment. Banyak juga ahli pendidikan dan antropolog yang menyoroti tentang kelemahan pendekatan sentraliasi, antara lain Mattulada ia mengatakan “bahwa pembangunan nasional harusah dikembangkan dari asa otonomi yang mendorong prakarsa, kreativitas dari sumbernyayang terletak di dalam
54
Vol III, No 2, November 2010
Mustatho wilayah pembangunan itu sendiri. Menurut Sidi Indra Jati ada empat isu kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang perlu direonstruksi dalam rangka otonomi daerah. Hal tersebut berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan, peningkatan relevansi pendidikan dan pemerataan pelayanan pendidikan Selanjutnya menurut para ahli, manajemen sentralistik berakar pada faktor-faktor sejarah dan budaya kita yang menghambat pengembangan kewiraswastaan serta sumber pengembangankelembagaan serta pengelolaan. Pengalman colonial telah menumbuhkan kecendrungan yang mematikan inisiatif karena terdapat unsure paksaan sehingga secara inheren resistensi dan kecurigaan terhadap petunjuk yang dat-
sikap kewiraswastaan, sikap bereksperimentasi serta ingin mengambil resiko.
ing dari atas. Selain itu budaya feodalisme yang melahirkan kepemimpinan “father figure� menumbuhkan berbagai sikap kepemimpinan yang selain diakui mempunyai nilai-nilai positifnya, lebih banyak menjadi penghalang bagi tumbuhnya kepemimpinan yang kreatif dan terbuka sehingga lebih dapat mendorong pembangunan. Sikap-ikap negatif di atas jelas tidak memupuk
it ultimate analysis, as the preservation and glorification of the state. The state usually conceived of as society organized for primery purpose of protecting those who make up this society from the danger of external attack ad internal disintegration� Nasionalisme dalam pendidikan bertujuan, terutama memelihara dan memuliakan negara. Negara biasanya diartikan sebagai suatu masyarakat yang
Vol III, No 2, November 2010
F. PENUTUP Setiap Negara atau bangsa selalu menyelenggarakan pendidikan demi cita-cita nasional bangsa yang bersangkutan. Pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu Negara yang berdasarkan kepada sosio kultural, psikologis, ekonomis dan politis dimana dengn jalan pendidikan tersebut ditujukan untuk membentuk ciri khusus atau watak bangsa yang bersangkutan, yang sering juga disebut dengan kepribadian nasional Pada umumnya pendidikan nasional ditujukan sebagaimana yang tersimpul dan dilukiskan oleh Wilds, yaitu: “Nasionalism in education aims, in
55
Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional
disusun demi tujuan utamanya melindungi warga Negara dari bahaya serangan dari luar dan disentegrasi yang terjadi dalam negara itu. Melalui proses pendidikan, suatu bangsa berusaha untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang kehidupannya, baik dalam bidang ekonomi, social, politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan dalam bidang-bidang kehidupan budaya lainnya. Melalui proses pendidikan pula suatu bangsa berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang direncanakan Proses pendidikan yang diselenggarakan dan dilaksanakan suatu bangsa, dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan watak atau kepribadian bangsa, memajukan kehidupan bangsa dalam berbagai bidang kehidupannya, serta mencapai tujuan nasional bangsa yang bersangkutan, itulah yang disebut dengan system pendidikan nasional, biasanya tumbuh dan berkembang dari sejarah bangsa yang bersangkutan, yang dipengaruhi oleh berbagai factor dan sumber daya serta potensi-potensi yang ada dikalangan bangsa itu disamping faktor-faktor luar tentunya. 56
****
Vol III, No 2, November 2010
Mustatho
DAFTAR PUSTAKA Arifin, MT, Riset, Pengajaran dan Revitalisasi Universitas, Bernas,16 Oktober 1993
Islam Di Masa Transisi, dalam : Quo Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, Malang, UIN Malang Press, 2001.
Azra Azumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1998.Azizy, ----------------------, Paradigma Tilaar, HAR, Beberapa Aspek Reformasi Baru Pendidikan Nasional, Pendidikan Nasional: Dalam Rekonstruksi dan Demokratisasi, Perspektif Abad 21, Magelang: Jakarta: Kompas., 2002, Indonesia Tera, 1999.
M.S, Reformasi dan Masa Withead Alfred N., dalam The Aim of Depan Pendidikan di Education (New York: The Indonesia, Yogyakarta: IKIP Free Press,1957 Yogyakarta,1999, Wignyosoebroto Soetandyo, Fungsi Praja, Juhaya S, Ulumul Qur’an: Lembaga pendidikan Tinggi Sebuah Pengantar, Khazanah Dalam Mewujudkan Sumber Intelektual: Bandung, 2006 Daya Manusia Berkualitas, Makalah disajikan Pada Qodri A, Pendidikan (Agama) Untuk Seminar Nasional Dalam Membangun Etika Sosial Rangka HUT XXVII (Mendidik Anak Sukses Masa Laboratorium Pancasila IKIP Depan: Pandai dan Bermanfaat), Malang, Juli 1994. Semarang:Aneka Ilmu, 2003 Jhohar
Raharjo, Mudjia, Agama dan Moralitas: Reaktualisasi Pendidikan Agama Vol III, No 2, November 2010
57
Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional
58
Vol III, No 2, November 2010
MULTI MEDIA DALAM PENGAJARAN Oleh: Khusnul Wardan, M. Pd
ABSTRACT Teaching media are classified into five groups, namely (1) human-based media (teacher, instructor, tutor, role playing, group activities), (2) printbased media (books, guides, exercise books, work tool, and sheet off), (3) visual-based media (books, job aids, charts, graphs, maps, drawings, transparencies, slides), (4)-based audio-visual media (video, film, slide-tape programs, television); (5) computer-based media (computerassisted instruction, interactive video). Other experts classifying the medium of instruction into eight types: (1) print media, (2) display media, (3) overhead transparacies, (4) audiotape recordings, (5) series of slides and filmstrips, (6) multi-image presentation, (7) video and film footage of life, and (8) computer. Kata Kunci: Media, Pengajaran
Vol III, No 2, November 2010
59
Multi Media Dalam Pengajaran
A. PENDAHULUAN Media sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri arti pentingnya dalam pendidikan. Penggunaan media yang baik dapat membantu tugas guru dalam menyampaikan pesan-pesan dari bahan pelajaran yang diberikan guru kepada anak didik. Guru sadar bahwa tanpa bantuan media, maka bahan pelajaran sukar untuk dicerna dan dipahami oleh setiap anak didik, terutama bahan pelajaran yang rumit atau kompleks. Setiap materi pelajaran tentu memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi. Pada satu sisi ada bahan pelajaran yang tidak memerlukan alat bantu, tetapi dilain pihak ada bahan pelajaran yang sangat memerlukan alat bantu
punyai fungsi melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan pengajaran. Hal ini dilandasi dengan keyakinan bahwa proses belajar mengajar dengan bantuan media akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baim tanpa bantua media. Anjuran agar penggunaan media dalam pengajaran terkadang sukar dilaksanakan disebabkan dana yang terbatas untuk membelinya. Menyadari akan hal itu, disarankan agar tidak memaksakan diri untuk membelinya, tetapi cukup membuat media pengajaran yang sederhana selama menunjang tercapainya tujuan pengajaran.
berupa media pengajaran seperti globe, grafik, gambar dan sebagainya. Bahan pelajaran yang tingkat kesukaran tertentu sukar diproses oleh anak didik, apa lagi bagi anak didik yang kurang menyukai bahan pelajaran yang disampaikan itu, maka penggunaan media dapat meminimalisir kelemahan yang ada dalam proses belajaran-mengajar. Sebagai alat bantu, media mem-
kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Banyak batasan yang diberikan orang tentang media. Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Comunication Technology AECT) di Amerika misalnya, membatasi media sebagai segala
60
B. PENGERTIAN MEDIA Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari
Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Gagne (1970) sebagaimana dikutip oleh Arif. S. Sadiman dkk, menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Sementara itu Brigss (1970) dalam Sadiman dkk, berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan dan merangsang untuk belajar. Profesor Ely dalam kuliahnya di Fakultas Pascasarjana IKIP Malang tahun 1982 mengatakan bahwa pemilihan media seyogyanya tidak terlepas dari konteksnya bahwa media merupakan komponen dari sistem intruksional secara keseluruhan. Karena itu, meskipun tujuan dan isinya sudah diketahui,
pemilihan media. Pertama, ketersedian sumber setempat. Artinya bila media yang bersangkutan tidak terdapat pada sumber-sumber yang ada harus dibeli atau dibuat sendiri. Kedua adalah apakah untuk membeli atau memproduksi media tersebut ada dana, tenaga dan fasilitasnya. Ketiga adalah faktor yang menyangkut keluwesan, kepraktisan dan ketahanan media bersangkutan untuk waktu yang lama. Artinya media dapat digunakan di manapun dengan peralatan yang ada di sekitarnya dan kapan pun serta mudah dijinjing dan dipindahkan. Keempat adalah efektivitas bianyanya dalam jangka waktu yang panjang. Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (1991:5) mengemukakan rumusan tentang kriteria dalam memilih media un-
faktor-faktor lain seperti karekteristik siswa, strategi belajar-mengajar, organisasi kelompok belajar, alokasi waktu dan sumber, serta prosedur penilaiannya juga perlu dipertimbangkan. Sementara Dick dan Carey (1978) menyebutkan bahwa disamping kesesuaian dengan tujuan prilaku belajar, setidaknya masih ada empat faktor lagi yang perlu dipertimbangkan dalam
tuk pengajaran sebagai berikut: Ketepatan dengan tujuan pengajaran; artinya media pengajaran dipilih berdasarkan tujuan intruksional yang telah ditetapkan. 1. Dukungan terhadap isi bahan pelajaran; artinya bahan pelajaran yang sifatnya fakta, prinsip, konsep dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar lebih mudah
Vol III, No 2, November 2010
61
Multi Media Dalam Pengajaran
dipahami siswa. 2. Kemudahan memperoleh media; artinya media yang digunakan mudah diperoleh, setidak tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar. 3. Keterampilan guru dalam menggunakan media tersebut. 4. Tersedia waktu untuk menggunakannya sehingga media tersebut dapat bermanfaat bagi siswa selama pengajaran berlangsung. 5. Sesuai dengan taraf berfikir siswa, sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh siswa. Secara umum media pengajaran mempunyai kegunaan sebagai berikut: (1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis atau
indra seperti misalnya objek yang terlalu besar dapat digantikan dengan realita, gambar, film bingkai atau model. Objek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro dan lain-lainnya. Kejadian atau peristiwa yang terjadi dimasa lampau bisa ditampilkan kembali lewat rekaman film, video, film bingkai, foto maupun secara verbal. Objek yang terlalu komplek dapat disajikan dengan model dianggram dan lainnya, gerak yang terlalu cepat atau lambat dapat dengan hight-speed photografy, (3) Penggunaan media pengajaran secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik. Anak didik biasanya akan berlaku pasif dan masa bodoh bila guru mengajar secara monoton dan tidak terencana secara matang. Sikap semacam ini akan berimbas
hanya dalam bentuk kata-kata tertulis dan lisan belaka. Dengan penggunaan media pengajaran tersebut dapat membantu guru menyampaikan materi pelajaran secara lebih luas dan mendalam, karena dalam media dapat ditampilkan meteri yang sederhana dan menarik dengan memperhatikan tingkat perkembangan anak didik, (2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya
pada ketidak mampuan guru dalam mengelola kelas dan berakibat pada proses belajar mengajar yang tidak kondusip lagi. Dengan sifat yang unik pada siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk semua siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bila semua itu harus di atasi
62
Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
sendiri, terlebih lagi bila latar belakang mengajar. guru dan siswa berbeda maka akan su- 3. Melengkapi dan memperkaya inlit mengatasi masalah yang terjadi di formasi dalam kegiatan-belajar dalam kelas dan sekolah. Dengan banmengajar. tuan media pengajaran kesulitan-kesu- 4. Meningkatkan efektifitas dan efilitan yang dihadapi guru di dalam kelas dapat teratasi dengan cara memberikan rangsangan yang sama terhadap siswa, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama. Menurut Derek Rowntree, media pengajaran berfungsi sebagai berikut: 1. Membangkitkan informasi dalamproses belajar mengajar. 2. Mengulang apa yang telah dipela-
siensi dalam menyampaikan bahan pelajaran. 5. Menambah variasi dalam menyajikan materi. 6. Dapat mengatasi keterbatasan ruang dan waktu. Pengelompokan berbagai jenis media telah dikelompokan pula oleh beberapa ahli. Leshin, Pollock dan Reigeluth (1992) mengklasifikasikan media ke dalam lima kelompok, yaitu
jari. (1) media berbasis manusia (guru, in3. Menyediakan stimulus belajar. struktur, tutor, main-peran, kegiatan 4. Mengaktifkan respon peserta di- kelompok), (2) media berbasis cetak dik. (buku, penuntun, buku latihan, alat 5. Memberikan balikan dengan segera. 6. Menggalakkan latihan yang serasi. Pendapat lain mengatakan bahwa fungsi media adalah sebagai berikut: 1. Menyampaikan informasi dalam proses belajar mengajar. 2. Memperjelas informasi pada waktu tatap muka dalam proses belajarVol III, No 2, November 2010
bantu kerja, dan lembaran lepas); (3) media berbasis visual (buku, alat bantu kerja, bagan, grafik, peta, gambar, transparansi, slide); (4) media berbasis audio-visual (video, film, program slide-tape, televisi); (5) media berbasis komputer (pengajaran dengan bantuan komputer, interaktif video). Salah satu ciri dari media ini adalah bahwa ia membawa pesan atau informasi ke63
Multi Media Dalam Pengajaran
pada penerima pesan. Sebagian di antaranya memperoses pesan yang diungkapkan oleh para siswa sehingga media ini disebut dengan media interaktif. Yang terpenting adalah informasi atau pesan disiapkan untuk kebutuhan dan kemampuan siswa dalam mengikuti proses belajar-mengajar serta siswa mampu berpartisipasi dalam kegiatan belajar tersebut. Dengan adanya media pembelajaran tersebut terciptalah lingkungan belajar yang interaktif yang memberikan respon terhadap kebutuhan belajar siswa dengan jalan menyiapkan kegiatan belajar yang efektif guna menjamin terjadinya proses belajar yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. C. JENIS DAN MACAM MEDIA PENGAJARAN Kemp dan Dayton (1985) mengelompokkan media ke dalam delapan jenis yaitu (1) media cetak, (2) media pajang, (3) overhead transparacies, (4) rekaman audiotape, (5) seri slide dan filmstrips, (6) penyajian multi-image, (7) rekaman video dan film hidup, dan (8) komputer.
64
1. Media Cetak Media cetak meliputi bahanbahan yang disiapkan di atas kertas untuk proses pengajaran dan bahan informasi. Media cetak terdiri dari buku teks atau buku ajar, lembaran penuntun berupa daftar cek tentang langkahlangkah yang harus diikuti ketika akan mengoperasikan suatu peralatan atau pemeliharaan peralatan. Lembaran ini biasanya berisi gambar atau poto di samping teks penjelasannya. Bentuk lain dari media cetak adalah penuntun belajar yang disiapkan untuk para siswa lebih maju ke unit berikutnya agar dapat menyelesaikan mata pelajaran. Di samping itu ada pula penuntun instruktur yang memberikan tuntunan dan bantuan kepada para instruktur pada saat mempersiapkan dan menyampaikan pelajaran. Bentuk media cetak yang lainnya adalah brosur dan newsletter. Brosur merupakan pengumuman atau pemberitahuan mengenai suatu program dan pelayanan, sedangkan newlsetter berisikan laporan kegiatan suatu organisasi. Teks terprogram adalah jenis media cetak yang banyak digunakan. Dalam buku teks terprogram infor-
Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
masi disajikan secara terkendali dalam arti bahwa siswa hanya memiliki akses untuk melihat dan membaca teks yang diinginkan langkah demi langkah. Teks informasi ini merupakan stimulus yang meminta siswa untuk memberikan respon, kemudian siswa diberitahukan jawaban benar dengan membandingkan jawabannya dengan jawaban yang telah disediakan pada halaman buku itu. Dengan tahapan demikian siswa dapat meneruskan bacaannya apabila ia sudah menguasai informasi yang disajikan, atau siswa diminta mengulang membaca informasi yang serupa sebelum ia disajikan informasi baru. Dalam penggunaan teks program ini harus melihat sisi kemampuan siswa yang akan menggunakan teks program tersebut. Guru dianjurkan un-
membaca maupun siswa yang lamban dalam membaca, (b) siswa akan mengikuti urutan pikiran secara logis dan dapat mengulangi materi yang ada, (c) perpaduan teks dan gambar dalam media cetak dapat menambah daya tarik serta dapat memperlancar pemahaman in formasi yang disajikan dalam dua format yaitu verbal dan visual (d) khusus pada teks terprogram siswa akan berpartisipasi dan berinteraksi dengan cepat dan aktif karena harus memberi respon terhadap pertanyaan dan latihan yang disusun dalam teks terprogram tersebut.
tuk melakukan pembinaan yang berkesinambungan dalam penggunaan teks terprogram tersebut. Ada beberapa kelebihan media cetakan termasuk teks terprogram antara lain adalah: (a) siswa dapat belajar dan maju sesuai dengan kecepatan masing-masing individu. Materi pelajaran dapat dirancang sedemikian rupa sehingga mampu memenuhi kebutuhan siswa yang cepat
kecil. Media pajang ini biasanya bentuknya sederhana dan mudah dibawah dan dipindakkan kemana-mana. Penggunaan media pajang ini diharapkan dapat membantu guru dalam menyampaikan pesan pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya. Dalam merancang media pajang seorang guru harus memperhatikan nilai estetika atau keindahan media pajang tersebut,
Vol III, No 2, November 2010
2. Media Pajang Media pajang pada umumnya digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi dihadapan kelompok
65
Multi Media Dalam Pengajaran
mualai dari bentuk, ukuran dan warna media tersebut. Dengan perancangan yang baik media pajang mampu menampilkan informasi yang efektif serta mampu membuat pokus siswa dalam pembelajaran. Media pajang ini papan tulis, flip chart, papan magnet, papan kain, papan buletin dan papan pameran. Penggunaan papan tulis dikalangan para guru lazim dilakukan baik di daerah pedesaaan maupun di daerah perkotaan. Dalam penggunaan media papan tulis ini guru diharapkan kreatif dan inovatif pengaturan penggunaannya, misalnya dalam pengunaan kapur tulis yang bervariasi dengan mengkombinasikan berbagai macam warna yang ada serta bentuk tulisan yang bervariasi pula. Begitu pula sebaliknya bila guru yang bersangkutan menggunakan
jaran.
media spidol untuk menulis diharapkan mengkombinasikan penggunaan warna tersebut. Penyajian dengan Flip chart sangat menguntungkan untuk informasi visual seperti, kerangka berpikir, diagram, bagan atau grafik karena dengan mudah karton-karton yang disusun sebelum penyajian dibuka dan dibalik dan ditunjukkan kepada siswa yang akan mengikuti proses pembela-
tetapi dapat pula digunakan untuk menampilkan visual tiga dimensi. Papan buletin biasanya ditempat pada lokasi yang dapat menarik perhatian para siswa yang lewat sehingga dapat singgah membaca informasi di papan tersebut. Dalam perancangan dan pembuatan papan buletin harus mempertimbangkan nilai-nilai keindahan agar dapat menarik perhatian para pembaca, uku-
66
Sedangkan papan magnetik merupakan papan pamers yang terdiri dari permukaan baja tipis yang dilapisi magnet. Objek dan informasi yang akan disajikan di atas karton yang di belakangnya terdapat magnet kecil sehingga dengan mudah karton ditempelkan ke papan magnetik dan dapat dipindah-pindah sesuai dengan kebutuhan. Dalam penggunaan papan magnetik ini perlu dirancang dengan baik oleh guru, agar dalam pelaksanaan proses belajar nanti tidak terkendala dengan hal-hal yang sifatnya teknis. Kemampuan guru dalam merancang, membuat dan mengoperasikan media papan magnetik ini juga tidak dapat diabaikan. Sedangkan papan buletin berfungsi sama dengan papan magnetik
Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
ran harus disesuaikan dengan kebutuhan dan lokasi tempat pemasangan papan buletin tersebut. Ada beberapa kelebihan media pamer ini antara lain, (1) bermanfaat di ruang mana pun tanpa ada penyesuaian khusus. Dapan dipajang di dalam ruang yang tertutup maupun di luar rungan terbuka, (2) pemakai dapat secara fleksibel membuat perubahan-perubahan yang diingkinkan sementara penyajian sedang berlangsung. Perubahan-perubahan ini dapat dilakukan dengan melihat kondisi dan arah pembahasan materi yang sedang diajarkan kepada para siswa, (3) mudah dipersiapkan dan mudah digunakan, (4) pasilitas papan tulis selalu tersedia di ruang-ruang kelas. Sedangkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh media pajang ini adalah sebagai berikut: (1) media pajang terbatas penggunaan hanya pada kelompok-kelompok kecil saja sedangkan untuk kelompok-kelompok besar penggunaan media ini reatif sulit dilakukan karena jangkauannnya terbatas, (2) memerlukan keahlian khusus dari peyajinya apa lagi kalau materi-materi yang disampaikan memerlukan penjelasan verbal, Vol III, No 2, November 2010
(3) adanya anggapan media pamer tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan media-media yang diproyeksikan. Dengan adanya anggapan yang miring ini penggunaan media pamer atau pajang sering diabaikan oleh guru, padahal penggunaan media ini sangat membantu kelancaran proses belajar mengajar yang diselenggarakan, (4) pada saat menulis di papan tulis guru membelakangi siswa, dan jika itu berlangsung lama tentu akan mengganggu suasana dan pengelolaan kelas. 3. Proyektor Transparansi (OHP) Media pengajaran selanjutnya adalah proyektor transparansi (OHP). Transparansi yang diproyeksikan adalah media visual baik berupa huruf, lambang, gambar, grafik atau gabungan dari keduanya pada lembaran bahan tembus pandang atau bahan plastik yang dipersiapkan untuk diproyeksikan kesebuah layar atau dinding melalui sebuah alat yang disebut proyektor. Media proyektor ini mampu memperbesar gambar maupun tulisan yang ditampilkan dilayar sehingga berguna untuk menyajikan informasi yang lebih jelas pada semua kelompok 67
Multi Media Dalam Pengajaran
baik kelompok kecil maupun kelompok besar. Alat proyeksi ini dirancang untuk dapat digunakan di depan kelas sehingga guru selalu dapat berhadapan dengan siswanya. Dalam merancang dan membuat media transparan guru dianjurkan membuat yang sederhana, menarik dan dapat merangsang pola pikir anak didika. Slide transparan juga dapat ditambah dengan ilustrasiilustrasi atau gambar-gambar yang menarik dan ada kaitannya dengan materi yang akan disampaikan agar siswa lebih pokus pada materi pelajaran. Ada beberapa kelebihan media proyeksi ini antara lain yaitu, (1) Pantulan proyeksi gambar dapat terlihat jelas pada ruangan yang terang sehingga tidak membutuhkan ruangan khusus yang agak gelap, dengan demikian guru dan
membuat sendiri trasnparansi dengan mudah baik yang dibuat secara manual atau pun melalui proses cetak lainnya, (5) peralatannya mudah diproyeksikan dan tidak memerlukan perawatan khusus, (6) memiliki kemampuan untuk menampilkan warna, (7) dapat disimpan dan digunakan secara berulang kali, (8) dapat dijadikan pedoman dan penuntun bagi guru dalam penyampaian materi. Sedangkan kelemahankelemahan adalah fasilitas OHP harus tersedia sementara tidak semua sekolah mampu untuk membelinya, harus ada listrik yang tersedia dalam rungan kelas saat penyajian materi menggunakan OHP tersebut, harus memiliki teknik yang khusus untuk pengaturan urutan baik dalam hal penyajian maupun penyimpanan.
siswa tetap dapat saling melihat atau bertatap muka, (2) alat proyeksi dapat menjangkau kelompok kecil maupun kelompok yang lebih besar, (3) guru dapat selalu bertatap muka dengan para siswanya karena OHP dapat diletakkan di depan kelas atau di ditempattempat yang strategis lainnya, dengan demikian guru dapat mengendalikan kelas dengan baik, (4) Guru dapat
Ada beberapa model OHP, akan tetapi pada dasarnya semua mempunyai prinsip kerja yang sama. Perbedaannya adalah pada berbagai macam tambahan variasi dan kelengkapan. Sementara itu yang umum digunakan adalah yang berbentuk segi empat dengan kontruksi lampu, kipas pendingin dan reflektor ditempatkan dalam kotak bagian bawah. Hal ini
68
Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
berakibat bentuk OHP tersebut mempunyai bentuk agak besar, tetapi mempunyai keuntungan tahan untuk pemakaian waktu yang lama. Ini disebabkan adanya kipas pendingin sehingga udara panas di dalam kotak yang ditimbulkan oleh panas lampu bisa dihembuskan ke luar. Ada jenis lain yang dirancang untuk mudah dibawa-bawa karena bentuknya lebih ramping. Pada OHP jenis ini lampu proyektor dipasang menyatu dengan lensa dibagian atas OHP tidak dilengkapi dengan kipas pendingin. Bagian kotak bawah tidak diperlukan lagi sehingga lebih tipis dan bila dilipat hanya setebal tas jinjing. Karena tidak dilengkapi dengan kipas pendingin sistem pendinginya tidak berjalan dengan sempurna.
penyampain materi. Perekaman pesan dan isi pelajaran ini bertujuan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sebagai upaya mendukung proses belajar mengajar yang dinnginkan. Rekaman audio-tape adalah cara yang ekonomis untuk mempersiapkan materi pelajaran dan penyampain jenis informasi yang lainnya. Materi rekaman ini dapat digunakan pada kelompok kecil, kelompok besar maupun pembelajaran secara individual dan belajar mandiri. Sudjana dan Rivai (1991:130) mengemukakan hubungan antara media audio dengan pengembangan keterampilan anak didik yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan mendengarkan. Aspek keterampilan mendengarkan sangat dibutuhkan 4. Rekaman Audio-Tape oleh para siswa guna menunjang proMedia pembelajaran yang lain ses belajar-mengajar. Ada sebagian adalah rekaman audio-tape. Pesan dan kelompok siswa memiliki kemampuan materi pelajaran dapat disajikan dalam mendengar yang baik, tapi tidak jarang bentuk rekaman dan dapat diputar kelompok siswa yang lain memiliki kekemabali pada saat yang diinginkan. mampuan mendengarkan relatif kuPesan dan materi pelajaran tersebut rang. Kurangnya keterampilan menpada saat direkam harus tersaji dengan dengarkan ini akan menghambat siswa baik dan runtut, hal ini dimaksudkan bersangkutan dalam mengikuti materi untuk mempermudah guru pada saat pelajaran. Keterampilan yang dapat di-
Vol III, No 2, November 2010
69
Multi Media Dalam Pengajaran
capai dengan penggunaan media melikalimat yang mereka dengar. puti: 4. Menentukan arti dari konteks. 1. Pemusatan perhatian dan memperSiswa mendengarkan pernyataan tahankan perhatian. Siswa mengiyang belum lengkap sambil berudentifikasi kejadian tertentu dari saha menyempurnakannya dengan rekaman yang telah disajikan dan memilih kata-kata yang telah disididengarkannya. Dengan mengiapkan. Kata-kata yang disiapkan itu dentifikasi kejadian tersebut siswa berbunyi sangat mirip dan hanya dilatih untuk lebih fokus memecadapat dibedakan apabila sudah dahkan masalah atau kejadian yang lam kontek kalimat. Keterampilan ada dalam rekaman pelajaran yang ini akan melatih kejelian siswa damereka dengarkan. lam memahami arti dari kata-kata 2. Mengikuti pengarahan, misalnya yang memilki kesamaan tetapi besambil mendengarkan pernyataan lum memiliki makna yang utuh atau kata kalimat singkat siswa dan sempurna. menandai salah satu pilihan yang 5. Memilah-milah informasi atau gamengandung arti yang sama. gasan yang relevan dan informasi 3. Melatih daya analisis. Siswa menenyang tidak relevan. Misalnya, rekatukan urutan-urutan kejadian atau man yang diperdengarkan mengperistiwa, atau menentukan ungandung dua sisi informasi yang kapan mana yang menjadi sebab berbeda dan siswa mengelompokdab ungkapan mana yang menjadi kan informasi ke dalam dua kelomakibat dari pernyataan-pernyataan pok itu. Dengan mengelompokkan atau kalimat-kalimat rekaman yang kedua informasi yang berbeda terdidengarnya. Dengan kemampuan sebut siswa akan lebih mudah memenganalis pekembangan pola pinentukan mana informasi yang sikir siswa akan lebih terarah dan tefatnya penting dan mana informasi rasah. Siswa yang memilki kemamyang tidak penting. puan analisis yang baik akan mudah 6. Merangkum, mengemukakan menentukan kedudukan pola-pola kembali, atau mengingat kembali 70
Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
informasi. Misalnya setelah selesai mendengarkan rekaman informasi, cerita atau peristiwa yang disajikan siswa diminta untuk mengungkapkan kembali dengan kalimat-
gambar hidup dan juga sebagai radio yang dapat dilihat dan didengar secara bersamaan. Televisi juga dapat menberitakan kejadian-kejadian yang sebenarnya pada saat suatu peristiwa terjadi
kalimat mereka sendiri. Siswa juga bisa diminta untuk membuat resume atau berupa narasi tentang materi yang telah mereka dengarkan. Dengan merangkum, membuat catatan-catatan kecil akan melatih kemampuan siswa dalam mengingat kembali materi-materi yang telah mereka terima.
dengan disertai komentar penyiarnya. Kedua aspek tersebut secara simultan dapat didengar dan dilihat oleh para pemirsanya. Peristiwa-peristiwa tersebut langsung disiarkan dari stasiun pemancar TV tersebut. Dewasa ini televisi yang dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dengan mudah dapat dijangkau melalui siaran dari udara ke udara dan dapat dihubungkan melalui satelit. Dengan demikian, ada dua jenis pengiriman dan penyiaran gambar dan suara, yaitu penyiaran langsung kejadian atau peristiwa yang kita saksikan sementara ia terjadi dan penyiaran program yang telah direkam di atas pita film atau pita video. Ketika kita menyaksikan siaran peristiwa di satu tempat, kita seakan akan mengamati dan menjalani pengalaman kehidupan nyata. Kita dapat mendengar dan melihat, bahkan kita dapat merasakannya. Televisi pendidikan adalah penggunaan program video yang direncanakan untuk mencapai tu-
5. Televisi Media pengajaran berikunya adalah televisi. Oemar Hamalik menďż˝gatakan bahwa “Television is an elektronic motion picture with lonjoinded or attendent sound, bauth picture and sound reach the eye and ear simultaneously from a remote broadcast pointâ€?. Depinisi tersebut menjelaskan bahwa televisi sesungguhnya adalah perlengkapan elektronik yang pada dasarnya sama dengan gambar hidup yang meliputi gambar dan suara. Maka sebenarnya televisi sama dengan film, yakni dapat didengar dan dilihat. Media ini berperan sebagai Vol III, No 2, November 2010
71
Multi Media Dalam Pengajaran
juan pengajaran tertentu tanpa melihat siapa yang menyiarkannya. Televisi pendidikan tidak sekedar menghibur tetapi yang lebih penting adalah memberikan pendidikan yang optimal. Oleh karena itu ia memiliki ciri tersendiri antara lain yaitu: (1) dituntun oleh instruktur khusus atau guru khusus melalui pengalaman-pengalaman visual, (2) sistematis, materi pelajaran disampaikan secara sistematis dan berurutan sesuai dengan urutan kompetensi dasar yang diharapkan yang tercntum dalam silabus yang telah disusun oleh instruktur atau guru pamong yang bersangkutan, (3) teratur dan berurutan, siaran disajikan dengan selang waktu yang beraturan secara berurutan di mana satu siaran dibangun atau mendasari siaran yang lainnya, dan (4) terpadu, siaran berkaitan dengan pengalaman belajar lainnya seperti latihan, membaca, diskusi, percobaan, laboratorium, menulis dan pemecahan masalah. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa siswa yang belajar melalui program televisi untuk berbagai macam mata pelajaran dapat menguasai mata pelajaran tersebut dengan baik sama 72
seperti siswa-siswa yang mempelajarinya melalui tatap muka dengan guru di kelas. Bahkan ada kecenderung mereka yang belajar melalui program televis memilki wawasan yang lebih luas, cepat tanggap terhadap persoalan yang timbul, memiliki rasa empati yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan mereka yang hanya belajar melalui tatap muka di kelas. Ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh media televisi di antaranya sebagai berikut: (a) televisi dapat memancarkan berbagai jenis bahan audio visual termasuk gambar diam, film, objeks spesimen, dan drama. Dengan kemampuan memancarkan berbagai jenis informasi tersebut siswa yang belajar melalui media televisi tidak akan mengalami kesulitan untuk mengakses informasi-informasi yang mereka butuhan dalam belajar, (2) televisi bisa menyajikan model dan contoh-contoh yang baik bagi para siswa. Siswa biasanya akan mudah meniru dan mencontoh apa yang mereka lihat dan saksikan melalui televisi, (3) televisi dapat membawa dunia nyata kerumah dan kelas-kelas, seperti orang, tempat-tempat, peristiwa-peristiwa melalui penyiVol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
aran langsung atau berupa rekaman, (4) televisi dapat memberikan kepada siswa peluang untuk dapat melihat dan mendengar diri sendiri, (5) televisi dapat menyajikan program-program yang dapat dipahami oleh siswa dari tingkat usia dan tingkatan pendidikan yang bebeda-beda. Program-program pendidikan dan pengajaran yang disajikan dalam televisi biasanya disesuaikan dengan tingkat pemahaman, usia dan tingkat pendidikan siswa bersangkutan, (6) televisi dapat menyajikan visual dan suara yang amat sulit diperoleh dalam dunia nyata, misalnya ekspresi wajah para pemeran , dental operation, dan lain-lainnya, (7) televisi dapat menghemat waktu guru dan siswa, misalnya dengan merekam materi pelajaran yang disajikan dalam siaran pendidikan yang diselenggarakan oleh stasiun televisi kemudian memutar ulang kembali rekaman tersebut tanpa harus menyetel kembali televisi. Disamping itu media televisi sangat ekonomis dalam pemanfaatan waktu dan ruang karena dapat menjangkau semua kalangan baik kelompok kecil maupun kelompok besar, masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Vol III, No 2, November 2010
Sedangkan keterbatasan media televisi adalah sebagai berikut: (1) Televis hanya mampu menyajikan komunikasi satu arah sehingga dalam penyajian materi yang dominan adalah tutor saja sedangkan para pemirsa atau pendengar pasif tak bisa berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan tersebut, (2) Televis pada saat disiarkan akan berjalan terus dan tidak ada kesempatan untuk memahammi pesan-pesan yang sedang sisampaikan sesuai dengan kemampuan individual siswa. Program televisi biasanya tidak mempertimbangkan tingkat kemampuan individul yang dimiliki oleh para siswa, (3) Guru tidak memiliki kemampuan untuk merevisi film sebelum disiarkan, akibatnya guru menyiarkan film apa adanya tanpa adanya proses sensor terlebih dahulu, (4) Layar pesawat televisi tidak dapat menjangkau kelas besar sehingga sulit bagi semua siswa untuk dapat melihat secara rinci gambar yang sedang disiarkan,hal ini akan berimbas kepada kemampuan siswa untuk merekam semua peristiwa yang sedang disajikan tersebut. Bila guru menugaskan para siswa untuk membuat rekam ulang atau resume 73
Multi Media Dalam Pengajaran
kembali materi yang telah disampaikan melalui media televisi tersebut siswa akan mengalami kesulitan karena tidak semua materi dapat direkam dengan baik, (5) Kekhawatiran muncul bahwa
akan disesuaikan dengan banyaknya jumlah program yang telah disusun oleh guru yang bersangkutan dalam setiap tatap muka di kelas. Panjangnya program penyajian akan bervariasi
siswa tidak memiliki hubungan pribadi dengan guru, dan siswa bisa jadi bersikap pasif selama proses penayangan film atau pelajaran.
setiap harinya. Program visual dapat dikombinasikan dengan suara yang dikenal dengan film bingkai bersuara. Program kombinasi film bingkai bersuara pada umumnya berkisar antara 10 samapai dengan 30 menit dengan jumlah gambar yang bervariasi antara 10 sampai dengan 100 buah gambar atau lebih. Berbeda dengan gambar yang disertai dengan rekaman waktu tayangnya sudah tertentu, gambar yang tidak disertai suara biasanya dapat ditayangkan seberapa lama pun disesuaikan dengan kebutuhan dan isi pesan dan informasi yang ingi disamapaikan melalui media gambar tersebut. Media slide (film bingkai) memiliki beberapa beberapa keuntungan sebagai berikut, antara lain: (1) urutan gambar dapat diubah ubah oleh guru sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pada saat proses belajar mengajar berlangsung, (2) isi pelajaran yang sama yang terdapat dalam gambar film bingkai dapat disebarkan dan digunakan di-
6. Slide Slide merupakan salah satu media pengajaran yang dapat digunakan oleh para guru dalam menyampaikan materi pelajaran di dalam kelas. Penggunaan media slide ini diharapkan membantu para guru ketika penyajian materi dan dan dapat membantu siswa dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru. Slide adalah suatu film transparansi yang berukuran 35 mm dengan bingkai 2x2 inci. Bingkai tersebut terbuat dari karton atau plastik. Flim bingkai diproyeksikan melalui slide proyektor. Jumlah film bingkai disesuaikan dengan jumlah materi atau pokok bahasan yang akan ditayangkan dan tergantung dengan tujuan yang hendak dicapai dalam proses belajar mengajar tersebut. Lama penyajian 74
Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
berbagai tempat secara bersamaan atau secara serentak, (3) gambar pada film bingkai tertentu dapat ditayangkan dalam waktu yang cukup lama sesuai dengan kebutuhan untuk dapat menarik perhatian dan membangun persepsi siswa yang sama terhadap konsep yang sedang mereka pelajari atau pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam gambar-gambar tersebut, (4) film bingkai dapat ditayangka dalam ruangan yang masih terang dan tidak perlu benar-benar gelap dan jika tidak terdapat layar khusus dinding pun dapat dijadikan sebagai media tempat memproyeksikan gambar tersebut, (5) film bingkai dapat menyajikan gambar dan grafik untuk berbagai bidang ilmu kepada kelompok atau perorangan dengan usia yang tidak terbatas, (6) film bingkai dapat digunakan sendiri atau dapat digabungan dengan suara atau rekaman, (7) film bingkai dapat menyajikan peristiwa masa lalu atau peristiwa di tempat lain. Di samping itu dengan film bingkai objek yang besar atau terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan mata, objek yang berbahaya dapat ditayangkan dengan jelas. Sedangkan keterbatasan dari Vol III, No 2, November 2010
media slide atau film bingkai adalah sebagai berikut: (1) gambar dan grafik visual yang disajikan tidak bergerak sehingga daya tariknya tidak sekuat dengan televisi atau film. Oleh karena itu visualisasi objek atau proses yang bergerak akan kurang efektif bila disajikan dengan menggunakan media slide ini, (2) film bingkai terlepas-lepas sehingga memerlukan perhatian yang cukup serius untuk penyimpanannya agar film bingkai tersebut tidak hilang atau tercecer dimana-mana, (3) meskipun biaya produksi tidak terlalu mahal, film bingkai masih memerluka biaya yang besar dari pada pembuatan media foto, gambar, grafik yang tidak diproyeksikan. 7. Film Dan Video Media film atau yang lazim disebut dengan gambar hidup merupakan gambar-gambar dalam frame di mana frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar terlihat gambar itu seperti hidup. Film bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga memberikan visual yang kontinu. Begitu juga halnya dengan film, video dapat 75
Multi Media Dalam Pengajaran
menggambarkan suatu objek yang bergerak bersama-sama dengan suara yang almiah atau suara yang sesuai dengan karekter yang ada. Kemampuan film dan video melukiskan gambar hidup dan suara memberinya daya tarik tersendiri bila dibandingkan dengan media pengajaran yang lainnya. Kedua media ini pada umumnya digunakan untuk media hiburan, dokumentasi, dan pendidikan. Mereka dapat menyajikan informasi, memaparkan proses, menjelaskan konsep-konsep yang rumit, mengajarkan keterampilan, menyingkat atau bahkan memperpanjang waktu dan dapat mempengaruhi sikap para siswa yang menontonnya. Penggunaan media pembelajaran yang berupa film dan video ini sangat membantu para guru untuk menyampaikan
film dan video adalah: (1) film dan video dapat melengkapi pengalaman dasar para siswa ketika mereka membaca, diskusi, praktik dan lain-lainnya. Film merupakan pengganti alam sekitar bahkan dapat menunjukkan objek yang secara normal tidak dapat dilihat oleh pandangan mata, seperti cara kerja jantung ketika berdenyut dan lainnya, (2) film dan video dapat menggambarkan suatu proses secara tepat yang disaksikan secara berulang-ulang jika diperlukan, contohya adalah langkah-langkah dan cara yang benar dalam melaksanakan wudhu atau sholat, (3) film dan video dapat mendorong dan meningkatkan motivasi belajar siswa dan dapat menanamkan sikap-sikap efektif lainnya. Misalnya film kesehatan yang menyajikan proses terjangkitnya se-
pesan-pesan yang sifatnya rumit atau konsep-konsep yang susah dipahami oleh siswa bila tidak menggunakan media sebagai alat bantu. Ketika siswa menyaksikan tayangan film dan video, mereka akan terbawa dalam alur cerita film dan video yang disajikan tersebut. Perhatian siswa dapat ditingkat melalui penggunaan media ini. Ada beberapa keuntungan media
seorang oleh peyakit diare atau penyakit lainnya yang membuat siswa sadar akan pentingnya kebersihan makanan dan menjaga kesehatan tubuh dan kebersihan lingkungan tempat tinggal, (4) film dan video mengndung nilai-nilai yang positif dan dapat menundang pemikiran dan pembahasan dalam kelompok-kelompok siswa. Film dan video dapat membawa dunia ke dalam
76
Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
kelas, (5) film dan video dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya bila dilihat secara langsung seperti tanah longsor, lahar gunung berapi atau perilaku binatang-binatang buas lainnya, (6) film dan video dapat disajikan kepada kelompok-kolompok besar atau pun pada kelompok kecil, kelompok yang heterogen maupun perorangan, (7) dengan kemampuan dan teknik pengambilan gambar frame demi frame, film yang dalam kecepatan normal memakan waktu satu minggu dapat ditampilkan dalam waktu satu atau dua menit, misalnya bagaimana kejadian mekarnya kembang mulai dari lahirnya kuncup sampai kuncup itu mekar dn lain sebagainya. Sedangkan keterbatasan media film dan video adalah sebagai berikut: (1) pengadaan film dan video pada umunya memerlukan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup panjang. Bila sekolah yang memilki dana pendidikan yang serba pas-pasan akan kesulitan untuk memproduksi film dan video tersebut, (2) pada saat film dan video disajikan gambar-gambar tersebut terus menerus bergerak sehingga tidak semua siswa dapat merekam dan Vol III, No 2, November 2010
mengikuti informasi yang ingin disampaikan melalui film tersebut, (3) film dan video yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan belajar yang dinginkan para siswa, kecuali film dan video tersebut dirancang dan diproduksi khusus untuk kegiatan belajar. 8. Komputer Media komputer lazim dipergunakan dalam proses pengajaran di lembaga-lembaga pendikan formal maupun lembaga-lembaga informal. Penggunaan media komputer didesain sedemikian rupa untuk membantu guru meyampaikan pesan-pesan yang telah dirumuskan sebelumnya. Terlebih lagi jika di lembaga tersebut telah memiliki jaringan internet akan lebih memudahkan guru dalam penyampain pesan. Siswa akan berlomba-lomba untuk mengakses informasi via jaringan internet yang tersedia. Komputer adalah mesin yang dirancang khusus untuk memanipulasi yang diberi kode, mesin elektronik yang otomatis melakukan pekerjaan dan melakukan perhitungan sederhana maupun rumit. Satu unit komputer terdiri atas empat komponen 77
Multi Media Dalam Pengajaran
dasar, yaitu input (misalnya keyboard dan writing pad), prosesor (CPU, unit pemroses data yang diinput), penyimpanan data (memori yang menyimpan data yang akan diproses oleh CPU baik secara permanen (ROM) maupun untuk sementara (RAM), dan output (misal layarI monitor, printer atau plotter. Komputer dewasa ini memiliki kemampuan untuk menggabungkan dan mengendalikan berbagai macam peratan lainnya seperti CD player, video tape dan audio tape. Komputer juga dapat merekam, menganalisis dan memberikan reaksi kepada respon yang diinput oleh para pemakai atau siswa. Pemanfaatan komputer untuk media pendidikan yang dikenal dengan sistem pembelajaran dengan menggunakan komputer (CAI) dikembangkan dalam beberapa format antara lain, drills and practice, tutorial, simulasi, permainan dan discovery. Komputer juga dapat digunakan untuk pengarsipan data-data siswa, tes dan administrasi sekalah lainnya. Ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh media pengajaran komputer sebagai berikut: 78
1. Komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban dalam penerima pelajaran, karena komputer dapat memberikan iklim yang lebih bersifat efektif dengan cara yang lebih individual, tidak pernah lupa, tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan intruksi sesuai dengan program yang diinginkan dan digunakan. 2. Komputer dapat merangsang siswa untu mengerjakan latihan, melakukan kegiatan laboratorium atau simulasi karena dalam komputer tersedia berbagai macam animasi baik yang berupa gambar, grafik, warna dan musik yang dapat menambah realisme. 3. Kendali berada ditangan siswa sehingga kecepan belajar siswa dapat disesuaikan dengan tingkat penguasaannya. Dengan kata lain, komputer dapat berinteraksi dengan siswa secara perorangan misalnya dengan cara bertanya dan menjawab soal-soal dan menilai jawaban. 4. Kemampuan merekam aktivitas siswa selama menggunakan program pembelajaran memberikan Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
kesempatan lebih baik untuk pembelajaran secara perorangan dan perkembangan siswa dapat selalu dipantau setiap saat. 5. Dapat berhubungan dengan, dan mengendalikan peralatan lain seperti compact disc, video tape, dan peralatan lainnya dengan program pengendali dari komputer. Sedangkan keterbatasan yang dimiliki oleh oleh media komputer adalah: (1) meskipun perangkat keras komputer cenderung mengalami penurunan, namun harga perangkat lunanya masih tergolong sangat mahal, akibatnya hanya sekolah-sekolah tertentu yang dapat menyediakan media komputer untuk proses pembelajaran dalam kelas, (2) untuk mengoperasikan komputer dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus dalam bidang komputer. Bagi guru yang tidak memiliki kemampuan dalam pengoperasian komputer akan mengalami kesulitan dalam penggunaan media ini, (3) keragaman model komputer (perangkat keras) sering menyebabkan program (sofware) yang tersedia untuk satu model tidak cocok dengan model lainnya, (4) program yang tersedia saat ini Vol III, No 2, November 2010
belum memperhitungkan kreativitas siswa, sehingga hal tersebut akan menghambat pengembangan kreativitas siswa yang bersangkutan, (5) komputer hanya efektif bila digunakan oleh satu orang saja atau beberapa orang dalam kelompok kecil. Untuk kelompok yang besar diperlukan adanya tambahan peratan lain yang mampu memperoyeksikan pesan-pesan yang ada di monitor ke layar yang lebih lebar. D. KESIMPULAN Para ahli mengelompokkan media ke dalam delapan jenis yaitu (1) media cetak, (2) media pajang, (3) overhead transparacies, (4) rekaman audiotape, (5) seri slide dan filmstrips, (6) penyajian multi-image, (7) rekaman video dan film hidup, dan (8) komputer. Sedangkan ahli yang lainnya mengklasifikasikan media ke dalam lima kelompok, yaitu (1) media berbasis manusia (guru, instruktur, tutor, mainperan, kegiatan kelompok), (2) media berbasis cetak (buku, penuntun, buku latihan, alat bantu kerja, dan lembaran lepas); (3) media berbasis visual (buku, alat bantu kerja, bagan, grafik, peta, gambar, transparansi, slide); (4) me79
Multi Media Dalam Pengajaran
dia berbasis audio-visual (video, film, program slide-tape, televisi); (5) media berbasis komputer (pengajaran dengan bantuan komputer, interaktif video). Peran media dalam pengajaran sangan dibutuhkan oleh setiap guru yang ingin menyampaikan pesan atau pengetahuan kepada anak didik. Tidak semua mata pelajaran dapat disampaikan oleh guru secaara langsung, tetapi ada beberapa mata pelajaran yang sukar dan membutuhkan media sebagai perantara dalam menyampaikan pesan kepada para peserta didik. Namun demikian, ada satu hal yang perlu diingat dan diperhatikan dalam penggunaan media yaitu kompetensi guru bersangkutan. Efektif tidaknya penggunaan media tersebut tergantung kepada apakah guru dapat menggunakan media tersebut. Media pengajaran pada dasarnya tidak perlu yang mewah dan mahal, yang sederhana pun kalau guru mampu membuat dan mendesainnya dapat memperlancar proses belajar mengajar. ****
80
Vol III, No 2, November 2010
Khusnul Wardan
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Azhar, , Media Pembelajaran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Media, New York: Harper & Row, Publishers, 1985.
Rahardjo, R., Desain Media: Pengantar Asnawir dan Usman, M. Basyiruddin, Pembuatan OHT, Jakarta: Media Pembelajaran, Jakarta: NUFFI C/Depdikbud/AA, Ciputat Pers, 2002. 1991. Leshin, Pollock, J., dan Sadiman, Arief, dkk, Media Pendidikan, Reigeluth, CM., Instruksional Pengertian, Pengembangan, dan Design Strategies And Tactics, Pemanfaatannya, Jakarta: Raja Englewood Cliffs: Edicational Grafindo Persada, 2008. Techology Publications, 1992. Sudjana, Nana dan Rivai, Abdul, Media Pengajaran, Bandung: Sinar Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Baru, 1990. Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Suparno, Efendi, Ruslan, Sahlan, Sulaiman, Dimensi Dimensi Danim, Sudarman, , Media Komunikasi Mengajar, Bandung: Sinar Pendidikan, Jakarta: Bumi Baru, 1988. Aksara, 1994. C.B.,
Hamalik, Oemar, Media Pendidikan (Cetakan ke 7), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994 J.E., Kemp, dan Dauton, D.K, Planning and Producing Instructional Vol III, No 2, November 2010
81
Multi Media Dalam Pengajaran
82
Vol III, No 2, November 2010
MOTIVASI KERJA GURU (Analisis Faktor-Faktor Penguat Kinerja Guru) Oleh: Muslihati, S.Pd.I
ABSTRACT Work motivation of teachers is the overall driving force or driving force that gave rise to the desire to perform an activity or activities in carrying out duties as a teacher who carried out systematically, repeatedly, continuously and progressively to achieve the goal. Driving force or the driving force is the motivation of the self that includes (1) the drive to improve performance, (2) drive to avoid failure, (3) encouragement to work hard, (4) the urge to try to work hard, (5) encouragement to be responsible for the task, (6) encouragement to develop themselves. And motivation from the outside include: (1) awards (2) collaboration (3) rules, and (4) provision of incentives. Kata Kunci: Motivasi, Kinerja, Pengajaran
Vol III, No 2, November 2010
83
Motivasi Kerja Guru
A. PENDAHULUAN Motivasi guru dalam bekerja sangat berkaitan dengan apa yang menjadi keinginan, harapan dan berbagai tujuan yang hendak dicapainya. Factor-faktor inilah yang akan mempengaruhi prilaku dan sikap seorang guru dalam bekerja. Profesi guru dituntut tidak saja harus memiliki seperangkat pengetahuan dan kemampuan yang memadai tetapi juga harus memiliki motivasi kerja yang kuat. Namun dalam kenyataanya, permasalahan permasalahan yang dihadapi guru sangat�lah kompleks, dan mempengaruhi rendahnya motivasi bekerja mereka. Salah satu masalah yang mengemuka adalah kualitas guru, guru mengajar tanpa persiapan yang matang dan sekedar menyampaikan materi ajar, pengajaran terasa monoton dan membosankan, serta ditambah dengan kurangnya motivasi dalam melaksanakan tugasnya. Disamping itu, pekerjaan guru ditinjau dari aspek finansial merupakan pekerjaan yang tidak menarik. Pendapatan yang diperoleh guru dibanding dengan tugas dan tanggung jawabnya masih sangat jauh timpangnya. Sebagai manusia, guru memer84
lukan hidup yang normal dan wajar, akan tetapi hal ini tidak diperolehnya dari pendapatannya sebagai guru. Akibatnya konsentrasi dan motivasi kerja guru menjadi rendah. Berdasarkan pengamatan di lapangan, rendahnya motivasi kerja guru ditunjukkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) guru hadir di sekolah hanya ketika ada jam mengajar saja, padahal sebagai seorang guru yang berstatus PNS, guru seharusnya hadir di sekolah setiap hari kerja baik terdapat jam mengajar maupun tidak, (2) guru sering kali tidak memperhatikan pencapaian prestasi belajar siswa, dan terkesan kurang peduli apakah siswa sudah menguasai materi pelajaran yang diberikan atau belum, (3) pengajaran yang dilakukan guru di sekolah cenderung monoton, hanya menggunakan metode ceramah untuk menyampaikan materi pelajaran dan kurang memanfaatkan media praktek yang tersedia di sekolah. Dari gambaran di atas nampak bahwa guru dihadapkan pada banyak permasalahan menyangkut dirinya sebagai pendidik maupun sebagai manusia. Sebagai pendidik, guru dihadapkan Vol III, No 2, November 2010
Muslihati
pada tanggung jawab bagi pencapaian perkembangan maupun kedewasaan peserta didik melalui proses penanaman nilai-nilai, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dimana guru memiliki peran sentral bagi berlangsungnya proses tersebut. Untuk itu, guru seharusnya perlu mengimbanginya dengan senantiasa melakukan proses belajar dan mengembangkan diri terus menerus agar dapat berperan sentral sesuai tuntutan profesinya. Bahkan untuk mengemban tanggung jawab pendidikan ini diperlukan dukungan dari pihak lain seperti orang tua, masyarakat (termasuk tokoh dan media publik), serta keinginan politis dari pemerintah. Beban pendidikan ini akan semakin berat terasa apabila rendahnya prestasi belajar dan kenakalan siswa seperti tawuran pelajar serta merosotnya moral siswa hanya ditudingkan kepada guru, sementara masih banyak pihak-pihak lain yang harus ikut bertanggung jawab tidak dilibatkan. Persoalan tersebut hanya sebagian dari persoalan yang dihadapi guru sehingga guru cenderung kurang memiliki motivasi kerja.
Vol III, No 2, November 2010
B. DEFINISI MOTIVASI Istilah motivasi (motivation) berasal dari perkataan Bahasa Latin, yakni movere yang berarti �menggerakkan� (to move). Mitchell dalam J. Winardi (2001:1) menyebutkan rumusan untuk istilah motivasi adalah: �...motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya sikap, diarahkan dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan kearah tujuan tertentu�. Kapasitas tersebut antara lain meliputi: kemampuan, bakat, keterampilan, latihan, peralatan dan teknologi yang dapat digunakan untuk bekerja. Motivasi sendiri dalam bahas Indonesia berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Pengertian motif menurut Stanford dalam Mangkunegara (2002: 93) adalah kecenderungan untuk beraktifitas, dimulai dari dorongan dalam diri dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Sedangkan motivasi adalah suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah satu tujuan tertentu. Motivasi kerja didefinisikan sebagai 85
Motivasi Kerja Guru
kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Berdasarkan pendapat tersebut bahwa motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri guru yang perlu dipenuhi guru agar guru tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan guru agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. Pengertian motivasi menurut Siagian (1984: 138) adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang atau anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keterampilan atau keahlian, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan menurut Bafadal (1992: 61) mengatakan bahwa motivasi adalah merupakan kemauan untuk mengerjakan sesuatu. Kemudian dikatakan lebih lanjut kemauan tersebut tampak pada usaha seseorang untuk mengerjakan 86
sesuatu. Seseorang yang memiliki motivasi tinggi akan lebih keras berusaha dari pada seseorang yang memiliki motivasi yang rendah. Tetapi motivasi bukanlah perilaku, ia merupakan proses internal yang kompleks yang tidak bisa diamati secara langsung, melainkan bisa dipahami melalui kerasnya usaha seseorang dalam mengerjakan sesuatu. Dari definisi yang diungkapkan Bafadal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah keinginan dan kemauan seseorang untuk mengambil keputusan, bertindak, dan menggunakan seluruh kemampuan psikis, sosial, dan kekuatan fisiknya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sedangkan sejumlah teori motivasi, banyak menegaskan bahwa motivasi itu berawal dari kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi, sehingga menimbulkan ketegangan-ketegangan yang mendorong seseorang untuk bertindak. Dengan kata lain, seseorang misalnya guru yang bekerja atau melakukan aktivitas tertentu itu selalu terdorong oleh motif-motif tertentu, yaitu dalam upaya memenuhi kebutuhan dirinya. Vol III, No 2, November 2010
Muslihati
angan. Keduanya seperti kedua sisi C. KEBUTUHAN MOTIVASI mata uang logam. Keduanya saling SEBAGAI PENINGKAT beriringan satu dengan yang lainnya, KERJA selalu ada keterkaitan dan keterganMotivasi menurut Nitisemito tungannya. Apabila tujuan seseorang (1989: 77) adalah usaha atau kegiatan manajer untuk dapat menimbulkan atau meningkatkan semangat dan kegairahan kerja dari para pekerja-pekerja atau karyawan-karyawannya. Dengan motivasi para pekerja diharapkan semangat dan kegairahan kerja dapat ditingkatkan untuk mendorong agar para pekerja bekerja lebih semangat dan lebih bergairah. Motivasi didefinisikan sebagai kekuatan yang mendorong seseorang untuk berperilaku. Selain itu motivasi juga didefinisikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan diri. Sedangkan Zainuddin (1996: 96) mengatakan bahwa motivasi adalah suatu konsep yang biasanya diutarakan dengan istilah kebutuhan dan rangsVol III, No 2, November 2010
yang diidam-idamkannya tidak bisa tercapai maka orang tersebut akan merasa resah, gundah dan runyam. Yang bersangkutan akan memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang putus asa atau frustasi. The Liang Gie (1981: 85) mengungkapkan pengertian motivasi adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang manajer yang memberikan inspirasi, semangat, dan dorongan kepada orang lain (pegawai) untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini dimaksudkan untuk menggiatkan orang-orang atau pegawai agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari orang tersebut. Motivasi merupakan dorongan dari dalam diri sendiri, dan merupakan latar belakang yang mendasari perilaku individu, serta merupakan hal yang menyebabkan dan menyalurkan keinginan pegawai. Setiap pekerjaan selain membutuhkan keterampilan, intelektual juga membutuhkan moti87
Motivasi Kerja Guru
vasi yang cukup pada diri seseorang, sehingga pekerjaan yang dilaksanakan dapat berhasil dengan baik. Dengan demikian motivasi sangat penting dimiliki oleh seseorang guru karena mereka bekerja sama dengan atasan dan mitra kerjanya. Oleh karena itu seorang guru dituntut pengenalan atau pemahaman akan sifat dan karakteristik pekerjaannya, yang merupakan suatu kebutuhan yang dilandasi oleh motiv tertentu. Motivasi merupakan tenaga pendorong yang dilakukan dengan penuh kesadaran untuk bertindak dan biasanya tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Sedangkan tindakan merupakan suatu aktivitas anggota tubuh yang dilandasi oleh kesadaran untuk melaksanakan tindakan atau kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. Motivasi menurut Hasibuan (1996: 95) adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upaya untuk mencapai kepuasan. Definisi lain tentang motivasi mengatakan bahwa:�...motivasi merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal 88
atau eksternal bagi seseorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan konsistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu�. Menurut Sardiman (1986: 73) motiv diartikan sebagai daya penggerak dan mendorong seseorang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Motif yang sudah aktif disebut motivasi. Menurut Gibson motivasi merupakan konsep yang kita gunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau di dalam diri seseorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Sedangkan Winardi (1979: 312) mendefinisikan motivasi sebagai keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan. Hadari Nawawi (1997: 351) mengemukakan bahwa Motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong atau menjadi penyebab seseorang melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang dilakukan secara sadar, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam keadaan terpaksa seseorang melakukan suatu kegiatan yang tidak disukaiVol III, No 2, November 2010
Muslihati
nya, sehingga kegiatan yang didorong oleh sesuatu yang tidak disukai berupa kegiatan yang terpaksa dilakukan cenderung berlangsung tidak efektif dan efisien. Sehubungan dengan uraian-uraian di atas, Nawawi membedakan dua bentuk motivasi yang meliputi: motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah pendorong prilaku yang bersumber dari dalam diri seseorang sebagai individu, berupa kesadaran mengenal pentingnya manfaat atau makna pekerjaan yang dilaksanakan, baik karena mampu memenuhi kebutuhan atau menyenangkan, ataukah kemungkinan seseorang mampu mencapai tujuan, maupun karena memberikan harapan tertentu yang bersifat pasti di masa depan. Untuk mengembangkan motivasi kerja guru dapat dilakukan dengan meningkatkan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan faktor pemuas guru dalam bekerja. Hal ini dapat dilakukan oleh pimpinan atau supervisor. Pekerjaan yang dapat diberikan tentu pekerjaan yang penuh tantangan dan inovatif yang dapat dipertanggung jawabkan oleh guru baik secara peroVol III, No 2, November 2010
rangan atau pribadi, mengusahakan buku-buku bidang studi untuk dipelajari dan didiskusikan oleh sekelompok guru bidang studi dan lain-lainnya. Menurut Kartini Kartono (1985: 224) yang dimaksud dengan motivasi adalah segala sesuatu yang menjadi penyebab timbulnya tingkah laku menuju pada satu sasaran tertentu, atau alasan dasar, pikiran dasar, dorongan bagi seseorang untuk berbuat, atau ide pokok yang sementara berpengaruh besar terhadap tingkah laku manusia, yang biasanya merupakan satu peristiwa masa lampau, ingatan, gambaran fantasi dan perasaan-perasaan tertentu. Sedangkan Gary A. Yukl (1998: 98) mengartikan motivasi sebagai suatu proses dimana perilaku diberikan energi dan diarahkan. Motivasi adalah kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Menurut Soetopo (2000: 105) pemberian motivasi meliputi kegiatankegiatan antara lain: (1) mengkomunikasikan dan menjelaskan tujuan-tujuan organisasi kepada para bawahannya, (2) menentukan standar-standar pelaksanaannya, (3) memberikan bimbingan 89
Motivasi Kerja Guru
kepada bawahan, dan (4) memberikan penghargaan kepada bawahan yang berprestasi. Penghargaan bagi yang berprestasi merupakan reward yang dapat mengubah sikap atau perilaku dari
dari masa lalu ke masa yang akan datang. Sedangkan faktor dari luar dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber, bisa karena pengaruh pemimpin, kolega atau faktor-faktor lain yang sangat
seseorang atau kelompok. Sikap dapat ditimbulkan oleh faktor dari dalam diri sendiri (instrinsik) atau faktor dari luar (ekstrinsik). Hal ini senada dengan pendapat Wahjosumijo (1992: 174) motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Dan motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut instrinsik atau faktor dari luar yang disebut faktor ekstrinsik. Faktor di dalam diri seseorang dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan, atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau ke masa depan. Faktor-faktor dari diri seseorang saling beriteraksi dan saling melengkapi untuk dapat menimbulkan atau menghasilkan harapan dalam hidupnya. Sikap dan pengalaman dari diri seseorang akan lebih menonjolkan kemampuan perilaku yang menjangkau
kompleks. Peranan pemimpin adalah sangat kuat pengaruhnya terhadap motivasi selain faktor mitra kerja da didukung oleh lingkungan kerja yang kondusif dan reward yang memuaskan. Tetapi baik faktor instrinsik maupun faktor ekstrinsik motivasi timbul karena adanya rangsangan. Sedangkan menurut Hardjito (1997: 38) motivasi adalah merupakan dorongan kerja yang timbul dari diri seseorang ataupun karena dipengaruhi orang lain untuk bertindak dan berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Jadi motivasi tidak hanya timbul karena pengaruh luar/ orang lain, tetapi juga dapat timbul karena dorongan dari dalam diri manusia sendiri. Dalam manajemen yang penting bagaimana dapat mengupayakan agar seseorang sadar dan timbul motivasi dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian motivasi akan menjadi senjata bagi keberhasilan pemimpin atau manajer. Menurut Certo da-
90
Vol III, No 2, November 2010
Muslihati
lam Bafadal, motivasi merupakan bagian dalam (innerstate) pribadi seseorang yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan tertentu dengan cara tertentu. Dalam proses motivasional pada diri seseorang memiliki dua unsur yaitu unsur kebutuhan dan unsur dorongan. Kebutuhan merupakan kekurangankekurangan yang dimiliki seseorang. Secara teknis, proses dasar motivasional seseorang itu berawal dari adanya kekurangan-kekurangan dalam diri seseorang atau adanya kebutuhankebutuhan yang belum terpenuhi. Kekurangan ini akan menimbulkan ketegangan-ketegangan yang mendorong seseorang untuk bertindak. Selanjutnya dorongan-dorongan ini membangkitkan seseorang untuk bertindak dalam mencapai tujuan tertentu. Apabila tujuan-tujuan ini dicapai, maka berarti kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi dan sekaligus menghilangkan ketegangan. Sebaliknya jika kebutuhan itu belum terpenuhi, maka akan timbul perilaku yang tidak tepat dalam bentuk penyerangan atau tidak hadir dalam melaksanakan kerja atau tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Vol III, No 2, November 2010
Menurut Griffin (1987: 389) proses motivasi dimulai dengan adanya suatu dorongan dan kebutuhan dalam diri yang membuat seseorang bergerak untuk melakukan sesuatu menuju tujuan tertentu, dimana seseorang tersebut yakin bahwa dia dapat memuaskan kebutuhan dan dorongan dalam dirinya. Setelah mencapai tujuannya, individu secara sadar atau tidak sadar akan menilai apakah usahanya akan bermanfaat. Pada tahap dimana individu mempersepsi usahanya sebagai sesuatu yang memuaskan, perilaku untuk melakukan usaha tersebut akan dikuatkan dan individu akan meneruskan atau mengulangi perilakunya. Adanya penguatan atas apa yang terjadi sebagai hasil suatu perilaku, mempengaruhi kebutuhan lain sehingga proses ini berulang menjadi siklus alami. Adapun Richard M. Steers (1984: 132) menyebutkan bahwa terdapat empat komponen dari proses motivasi, yaitu: (1) kebutuhan dan harapan, (2) perilaku, (3) tujuan, dan (4) umpan balik. Model motivasi sederhana di atas hanya menggambarkan proses dasar yang menekankan pada siklus alami motivasi. Hal ini menunjukkan bahwa 91
Motivasi Kerja Guru
manusia dalam situasi disequilibrium yang kontinu, secara konstan berusaha memuaskan suatu variasi kebutuhan. Sekali waktu, kebutuhan seseorang relatif terpenuhi, kebutuhan atau keinginan lain muncul untuk menstimulasi tindakan berikutnya. Dari kedua konsep tentang proses motivasi tersebut di atas, terlihat bahwa motivasi merupakan suatu proses yang berulang atau terjadi siklus kembali kepada kebutuhan dasar di dalam diri individu setelah tercapinya suatu tujuan yang diinginkan oleh individu. Menurut pandangan Amstrong (1999: 65) motivasi merupakan sesuatu yang mampu menggerakkan seseorang untuk bertindak atau berperilaku menurut cara-cara tertentu. Motivasi dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri yang merupakan faktor-faktor dari dalam dan dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku tertentu. Sementara motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang didapatkan dari orang lain bukan berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Seseorang yang memotivasi 92
orang lain maka motivasi yang diperolehnya berupa motivasi ekstrinsik. Abraham Maslow dalam Soewarno Handayaningrat (1982: 36) membagi kebutuhan manusia dalam hirarki kebutuhan, bahwa motivasi manusia berhubungan dengan lima kebutuhan, yaitu: (1) kebutuhan fisik (Physiological need), (2) kebutuhan untuk memperoleh keamanan dan keselematan (Security of safety need), (3) kebutuhan bermasyarakat (social need), (4) kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (esteem need), (5) kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan (self actualization need). Menurut Abraham Maslow, proses motivasi seseorang secara bertahap mengikuti pemenuhan kebutuhan, dari kebutuhan yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling kompleks. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar, yang bersifat primer dan vital, yang menyangkut fungsifungsi biologis seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan, kesehatan fisik, seks, dan lain-lain. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, seperti terjaminnya keamanan, terlindung dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, Vol III, No 2, November 2010
Muslihati
kemiskinan, kelaparan, perlakuan tidak adil dan lain sebagainya. Kebutuhan sosial meliputi kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, dan sebagainya. Kebutuhan akan penghargaan, termasuk kebutuhan dihargai karena prestasi, kemampuan, kedudukan, pangkat, dan sebagainya. Kebutuhan akan aktualisasi diri, seperti kebutuhan mempertinggi potensi yang dimiliki, mengembangkan diri secara maksimum, kreatifitas, ekspresi diri, dan sebaginya. Kebutuhan tertinggi menurut Maslow adalah kebutuhan transenden, yaitu kebutuhan yang meliputi untuk berperilaku mulia, memberi arti bagi orang lain, terhadap sesama, terhadap alam, dan sebagainya. Frederich Herberg Dalam Sedarmayanti (2001: 60) menyatakan pada manusia berlaku faktor motivasi dan faktor pemeliharaan dilingkungan pekerjaanya. Dari hasil penelitiannya menyimpulkan adanya enam faktor motivasi yaitu: (1) prestasi; (2) pengakuan; (3) kemajuan kenaikan pangkat; (4) pekerjaan itu sendiri; (5) kemungkinan untuk tumbuh; (6) tanggung jawab. Sedangkan untuk pemeliharaan Vol III, No 2, November 2010
terdapat sepuluh faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) kebijaksanaan; (2) supervisi teknis; (3) hubungan antara manusia dengan atasan; (4) hubungan manusia dengan pembinanya; (5) hubungan manusia dengan bawahannya; (6) gaji dan upah; (7) kestabilan kerja; (8) kehidupan pribadi; (9) kondisi tempat kerja; dan (10) status. Douglas McGregor mengemukakan dalam Manulang (1998: 110-111) mengemukakan dua pandangan yang saling bertentangan tentang kondrat manusia, yang dia sebut sebagai Teori X dan Teori Y. Dalam teori X, model tradisionil, McGregor berasumsi bahwa �manusia� pada dasarnya tidak senang bekerja dan tidak bertanggung jawab dan harus dipaksa kerja. Teori Y model modern, adalah didasarkan pada asumsi bahwa �manusia� pada dasarnya suka bekerja sama, tekun bekerja, dan bertanggung jawab. Dari model Teori X, manusia adalah satu di antara unsur-unsur produksi selain uang, material dan peralatan, yang kesemuanya harus dikendalikan oleh manajemen. Manusia adalah sejenis makhluk hedonistis dan cenderung kepada kesenangan dan 93
Motivasi Kerja Guru
penderitaan, tidak senang bekerja dan akan menghindari kerja jika dapat. Karena kebencian terhadap kerja, sebagian besar orang-orang harus dipaksa dan diancam dengan hukuman agar membuatnya mengerahkan upaya yang mencukupi untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi. Dalam masyarakat materialistis dengan taraf hidup yang relatif rendah dan kekurangan lapangan kerja, teori manajemen ini cenderung untuk diterapkan dengan baik, tetapi dalam masyarakat yang kurang materialistis dengan taraf hidup yang lebih tinggi serta peluang-peluang yang lebih besar untuk memperoleh pekerjaan, model Teori X akan memenuhi kegagalan. Teori Y McGregor, sebagaimana Teori X, dimulai dengan asumsi bahwa
menjadi tanggung jawab manajemen di dalam mengembangkannya. Tugas mutlak dari manajemen menurut Teori Y adalah mengatur kondisi-kondisi organisasi dan metode-meode operasi agar karyawan dapat mencapai tujuantujuannya sendiri ke arah tujuan-tujuan organisasi. Ini adalah suatu pencetusan dari rasa integrasi. Selanjutnya teori harapan motivasi, yaitu teori dimana seseorang dihadapkan pada satu set hasil tingkat pertama dan memilih suatu hasil yang didasarkan pada bagaimana pilihan tersebut dihubungkan dengan hasil tingkat kedua. Preferensi individu didasarkan pada kekuatan (valensi) dari keinginan mencapai posisi tingkat kedua, dan persepsi hubungan antara hasil tingkat pertama dan kedua. Hasil
manajemen bertanggung jawab atas pengorganisasian unsur-unsur produksi, yaitu uang, bahan-bahan, peralatan dan karyawan. Teori Y mengemukakan motivasi, potensi untuk berkembang, kapasitas untuk memikul tanggung jawab dan kesedian untuk mengarahkan perilaku ke arah terwujudnya tujuan-tujuan organisasi, kesemuanya terdapat dalam individu, tetapi
tingkat pertama diperoleh dari perilaku yang dihubungkan dengan pelaksanaan pekerja itu sendiri. Hasil ini termasuk produktivitas, absensi, dan termasuk mutu produktivitas. Hasil tingkat kedua adalah kejadian-kejadian seperti imbalan atau hukuman yang mungkin diakibatkan oleh hasil pertama seperti: perbaikan, upah, penerimaan kelompok atau penolakan dan promosi.
94
Vol III, No 2, November 2010
Muslihati
Dalam teori harapan ada istilah yang penting untuk diketahui seperti: (1) instrumentalitas adalah konsep teori harapan motivasi dimana seseorang menganggap bahwa ada hubungan antara hasil tingkat pertama dan kedua, (2) valensi adalah kekuatan preferensi seseorang untuk suatu hasil tertentu. Contoh seseorang mungkin memilih kenaikan gaji 9% dari pada dipindah ke suatu departemen baru, atau dipindah ke suatu fasilitas baru. Suatu ha�sil mempunyai valensi positif bila disenangi, dan valensi negatif bila tidak disenangi atau dihindari. (3) harapan adalah suatu keyakinan bahwa suatu tindakan tertentu akan diikuti oleh suatu hasil tertentu, (4) kekuatan disamakan dengan motivasi, (5) kemampuan menunjukkan suatu potensi seseorang untuk melaksanakan pekerjaan. Tema umum dalam teori harapan mengenai motivasi adalah (1) kepuasan sadar oleh individu (dalam situasi kerja atau dalam seluruh ruang kehidupan) untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu, (2) nilai-nilai individual dalam memilih hasil yang diinginkan, (3) harapan individual mengenai jumlah usaha yang dibutuhkan untuk mencapai Vol III, No 2, November 2010
hasil tertentu, dan (4) harapan individual tentang probabilitas memperoleh imbalan atas tercapainya suatu hasil yang diinginkan. Motivasi merupakan pendorong atau pemicu usaha memuaskan kehendak untuk mencapai hasil. Kepuasan akan terjadi apabila hasilnya telah tercapai. Motivasi dan kepuasaan inilah yang akan menghasilkan performa. Berdasarkan teori yang dikemukakan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan unsur-unsur pekerjaan, yang apa bila ada akan menimbukan kepuasaan kerja; dan apabila tidak ada, tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap motivasi atau kepuasaan. Sedangkan faktor ketidak puasan merupakan unsur-unsur pekerjaan, yang apabila ada mencegah ketidak puasan akan tetapi tidak menciptakan kepuasaan. Tidak menpunyai pengaruh positif atas motivasi atau kepuasan. Apabila tidak ada mempunyai pengaruh negatif terhadap motivasi atau kepuasan. Untuk memotivasi para guru, kepala sekolah harus mengetahui motif dan motivasi yang diinginkan guru. Orang mau bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan 95
Motivasi Kerja Guru
yang disadari maupun kebutuhan yang tidak disadarinya yang berbentuk materi atau non materi, kebutuhan fisik maupun rohani. Peterson dan Plowman dalam Hasibuan mengatakan bahwa orang mau bekerja karena faktor-faktor berikut: a. The Desire to Live (keinginan untuk hidup). Keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap orang. Manusia bekerja untuk dapat makan dan makan untuk dapat melanjutkan hidupnya. b. The Desire for Position (keinginan untuk suatu posisi). Keinginan untuk suatu posisi dengan memiliki sesuatu merupakan keinginan manusia yang kedua dan ini salah satu sebab mengapa manusia mau bekerja. c. The Desire for Fower (keinginan akan kekuasaan). Keinginan akan kekuasaan merupakan keinginan selangkah di atas keinginan untuk memiliki, yang mendorong orang mau bekerja. d. The Desire for Recognition (keinginan akan pengakuan). Keinginan akan pengakuan, penghormatan, dan status sosial, merupakan je96
nis terakhir dari kebutuhan yang mendorong orang untuk bekerja. Dengan demikian, setiap pekerja mempunyai motiv keinginan (want) dan kebutuhan (needs) tertentu dan mengharapkan kepuasan dari hasil kinerjanya. Hoy dan Miskal dalam Bafadal (1979: 70) menemukakan bahwa motivasi kerja adalah kemauan seseorang untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Motivasi kerja bisa tinggi bisa rendah. Tinggi rendahnya motivasi kerja sangat mempengaruhi performansinya dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Menurut Anoraga (1992: 35) motivasi mendorong manusia untuk bekerja. Dorongan dan semangat ini membuat seseorang tidak mudah menyerah dan tetap bertahan pada perilaku tertentu untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Ditambahkannya, motivasi merupakan hasrat seseorang untuk melakukan pekerjaan paling baik atau menggunakan usaha maksimum dalam mengerjakan tugas yang ditetapkan. Seseorang yang memiliki motivasi tinggi akan bekerja sebaik-baiknya disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh demi hasil yang memuaskan. Motivasi kerja merupakan Vol III, No 2, November 2010
Muslihati
keinginan atau kebutuhan-kebutuhan apa saja yang melatarbelakangi seseorang sehingga dia terdorong untuk bekerja. Salah satu aspek pembinaan dan pemanfaatan pegawai dengan pemberian motivasi kepada pegawai. Dengan istilah populer sekarang �pemberian kegairahan kerja� kepada pegawai, dengan maksud agar pegawai tersebut bekerja dengan segala daya dan upaya. Menurut Nawawi (1997: 356) fungsi motivasi dibagi dalam tiga macam, yaitu: (1) motivasi sebagai penggerak bagi manusia sebagaimana bahan bakar pada kendaraan, (2) motivasi merupakan pengatur dalam memilih alternatif di antara dua atau lebih kegiatan dengan memperkuat suatu motivasi atau memperlemah yang lain sehingga seseorang akan melakukan aktivitas atau meninggalkan aktivitas yang lain, dan (3) motivasi merupakan pengatur arah atau tujuan dalam melakukan aktivitas. Dengan perkataan lain, seseorang akan memilih dan berusaha untuk mencapai tujuan pada sistem yang memberikan motivasi tinggi bukan mewujudkan tujuan pada sistem dengan motivasi yang rendah. Berkaitan dengan fungsi menggerakkan, motivaVol III, No 2, November 2010
si akan menjadi sumber kekuatan bagi manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki daya gerak yang mencakup seluruh aktivitas mental yang dirasakan atau dialami dan memberikan kondisi sehingga terjadi perilaku tertentu. Sebagai fungsi pengatur motivasi memiliki peran ganda yaitu pengatur dalam memilih alternatif kegiatan dan pengatur dalam memilih tujuan. Peran sebagai pengatur alternatif diwujudkan dalam bentuk memilih aktivitas mana yang memiliki motivasi yang lebih besar dari berbagai alternatif aktivitas yang ada secara bersamaan. Sedangkan hubungannya dengan peran motivasi sebagai pengatur dalam memilih tujuan dimanifestasikan dalam bentuk memilih aktivitas mana yang sesuai dengan tujuan pribadi seseorang. Menurut Elis Supartini beberapa faktor yang dapat menimbulkan motivasi kerja guru, baik yang bersifat motivator maupun faktor lainnya yang berada di lingkungan kerja guru di sekolah, antara lain: a. Dorongan untuk bekerja Seseorang akan melaksanakan suatu pekerjaan tertentu, dimaksudkan sebagai upaya untuk 97
Motivasi Kerja Guru
merealisir keinginan-keinginan memiliki kebebasan untuk menenyang ada pada dirinya. Keinginantukan sendiri apa yang dihadapikeinginan yang dimaksudkan bernya dan bagaimana menyelesaikan kaitan dengan jenis-jenis kebutusendiri tugas-tugas yang diberikan han yang ada. Dengan demikian, kepadanya. Pemberian tanggung kecenderungan dan intensitas perjawab secara individual kepada buatan seseorang dalam bekerja guru memungkinkan memberi kemungkinan besar dipengaruhi kesempatan kepada guru untuk oleh jenis kebutuhan yang ada pada mengoptimalkan segenap potensi diri orang yang bersangkutan. yang dimilikinya dalam bekerja. b. Tanggung jawab terhadap tugas Pada akhirnya, ia akan mencapai Sebagai konsekuensi atas kesuksesan dalam merealisasikan jabatan yang diemban guru, maka keinginan-keinginan yang didamseorang guru akan mempunyai sebakan. jumlah tugas yang harus dilakukan c. Minat Terhadap Tugas sesuai jabatannya. Beban tugas ini Guru melaksanakan tugasberkaitan dengan kuantitas dan kutugas yang dibebankan kepada alitas yang diberikan guru. Dengan dirinya itu dapat dikatakan sebagai demikian, berat ringannya beban realisasi dari kegiatan-kegiatan yang tugas yang ada pada guru akan didambakan. Pelaksanaan suatu mempengaruhi usaha-usahanya tugas dapat berjalan dengan lancar dalam bekerja sesuai kemampuandan mencapai sasarannya, antara nya. lain diwarnai oleh ada tidaknya Motivasi kerja guru dalam minat guru terhadap tugas yang mengembangkan kegiatan belajar dibebankan. Jadi, besar kecilnya mengajar di sekolah akan ditentuminat guru terhadap suatu tugas kan oleh besar kecilnya tanggung yang akan mempengaruhi kadar jawab yang ada pada guru dalam atau mutu motivasi kerja guru melaksanakan tugasnya. Dengan mengembangkan kurikulum di tanggung jawab ini, para guru akan sekolah. Minat dan kemampuan 98
Vol III, No 2, November 2010
Muslihati
terhadap sesuatu pekerjaan berpengaruh pula terhadap moral kerja. d. Penghargaan Atas Tugas Penghargaan atas suatu jabatan atau keberhasilan yang dicapai guru dalam bekerja merupakan salah satu motivator yang mendorongnya bekerja lebih baik. Penghargaan, penghormatan, pengakuan, serta perlakuan terhadap karyawan pendidik sebagai subyek atau manusia yang memiliki kehendak, pikiran, perasaan dan lain-lain sangat besar pengaruhnya terhadap moral kerja mereka. Adanya penghargaan terhadap tugas, dapat menyebabkan munculnya rasa cinta dan bangga terhadap tugas-tugas yang diberikan. Rasa cinta dan bangga yang dimiliki itu memungkinkan yang bersangkutan dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Hal ini disebabkan karena adanya penghargaan ini dapat memberi kepuasaan kepadanya sehingga menyebabkan mereka bekerja lebih giat lagi. Buat apa seseorang menjadi guru kalau dia Vol III, No 2, November 2010
sendiri tidak menyenangi pekerjaan tersebut. Meskipun dalam kenyataannya masih sulit ditemukan seorang guru yang benar-benar bangga terhadap jabatannya sebagai guru. Sehubungan dengan beberapa tugas guru yang berkaitan dengan kegitan keguruan di sekolah, apabila guru menghargai terhadap tugas-tugas tersebut maka guru yang bersangkutan dalam bekerjanya akan diwarnai oleh rasa cinta dan bangga sehingga memungkinkan mereka dapat mengoptimalkan pola kerjanya. Rasa cinta dan bangga ini tidak harus ditampakkan lewat kata-kata, tetapi yang lebih penting adalah realisasinya di dalam tindakan. Ia akan selalu memperhatikan tugas-tugas yang diberikan meskipun ringan dalam pelaksanaannya, tidak merasa rendah diri bila berada di luar lingkungan kerja, menjaga harkat dan martabat jabatan guru dan berusaha meningkatkan citra guru pada dunia luar melalui pengabdian kepada masyarakat. Motivasi merupakan pendorong 99
Motivasi Kerja Guru
bagi seseorang sehingga orang tersebut dapat melakukan suatu kegiatan. Suatu pekerjaan yang dilakukan atas dasar motivasi akan terasa lebih menyenangkan dan tidak membosankan. Motivasi akan memberikan kekuatan bagi seseorang sehingga orang tersebut mampu bekerja dengan giat dan bertahan dalam waktu relatif cukup lama serta tidak mudah menyerah menghadapi berbagai kesulitan dalam mencapai suatu tujuan. Sebaliknya orang yang tidak memiliki motivasi akan cepat menyerah menghadapi pekerjaan yang mudah sekalipun. Oleh karena itu motivasi bagi seseorang merupakan hal yang penting dan modal utama dalam meraih suatu keberhasilan. Menurut Hasibuan (1996: 97-98) pemberian motivasi harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan individual anggota yang kadang-kadang tidak sejalan dengan kepentingan organisasi. Beberapa tujuan pemberian motivasi dikemukakan Hasibuan sebagai berikut: (1) mendorong gairah dan semangat kerja karyawan, (2) meningkatkan moral dan kepuasaan kerja karyawan, (3) meningkatkan produktivitas kerja karyawan, (4) mempertahan 100
loyalitas dan kestabilan karyawan perusahaan, (5) meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi karyawan, (6) mengefektifkan pengadaan karyawan, (7) menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik, (8) meningkatkan kreatifitas dan partisipasi karyawan, (9) meningkatkan kesejahteraan karyawan, dan (10) mempertinggi rasa tanggung jawab. Berdasarkan uraian di atas, maka motivasi kerja guru adalah keseluruhan daya penggerak atau tenaga pendorong yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan kegiatan atau aktivitas dalam menjalankan tugas sebagai guru yang dilaksanakan secara sistematis, berulang-ulang, kontinu dan progresif untuk mencapai tujuan. Tenaga pendorong atau daya penggerak tersebut adalah motivasi dari dalam diri yang meliputi (1) dorongan untuk meningkatkan prestasi, (2) dorongan untuk menghindari kegagalan, (3) dorongan untuk bekerja keras, (4) dorongan untuk berusaha bekerja keras, (5) dorongan untuk bertanggung jawab terhadap tugas, (6) dorongan untuk mengembangkan diri. Dan motivasi dari luar meliputi: (1) penghar-
Vol III, No 2, November 2010
Muslihati
gaan (2) kerjasama (3) aturan, dan (4) pemberian insentif. pemberian insentif. **** D. KESIMPULAN Motivasi kerja adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upaya untuk mencapai kepuasan. Motivasi kerja guru adalah keseluruhan daya penggerak atau tenaga pendorong yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan kegiatan atau aktivitas dalam menjalankan tugas sebagai guru yang dilaksanakan secara sistematis, berulang-ulang, kontinu dan progresif untuk mencapai tujuan. Tenaga pendorong atau daya penggerak tersebut adalah motivasi dari dalam diri yang meliputi (1) dorongan untuk meningkatkan prestasi, (2) dorongan untuk menghindari kegagalan, (3) dorongan untuk bekerja keras, (4) dorongan untuk berusaha bekerja keras, (5) dorongan untuk bertanggung jawab terhadap tugas, (6) dorongan untuk mengembangkan diri. Dan motivasi dari luar meliputi: (1) penghargaan (2) kerjasama (3) aturan, dan (4) Vol III, No 2, November 2010
101
Motivasi Kerja Guru
Amstrong, Michael, Seri Pedoman Proses, Jakarta: Erlangga, Manajemen Sumber Daya 1984. Manusia, Terjemahan: Sofyan Cikmat dan Haryanto, Jakarta: Gibson, James L., et all, Organization, Elex Media Komputindo, Terjemahan: Ninuk Adiarni, 1999. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996. Anoraga, Panji, Psikologi Kerja, Jakarta: Reneka Cipta, 1992. Handayaningrat, Soewarno, Pengantar Studi Administrasi dan Bafadal, Ibrahim, Supervisi Pengajaran Management, Jakarta: Gunung Teori dan Aplikasinya Dalam Agung, 1982. Membina Professionalisme Guru, Jakarta: Rineka Cipta, 1979. Hardjito, Dydiet, Manajemen Situasi, Jakarta: Pradya ------------------------, Supervisi Pengajaran, Paramita1997. Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Hasibuan, Malayu, Organisasi dan Gie, The Liang, Efesiensi Kerja Motivasi Dasar Peningkatan Bagi Pembangunan Negara, Produktivitas, Jakarta: Bumi Yogyakarta: Gajah Mada Aksara, 1996. University, 1981. Indrawijaya, Perilaku Organisasi, Griffin, Ricky W., , Management, Boston: Bandung: Sinar Baru, 1989. Houghton-Mifflin Co, 1987. Kartono, Kartini, Psikologi Sosial Untuk Gallerman. PW, Motivasi dan Manajen Perusahaan Dan Produktivitas, terjemahan Industri, Jakarta: Rajawali, Soepomo S. Wardoyo, Jakarta: 1985. LPPM, 1984. Kast, Fremon E. dan Rosenzweig, Gary A. Yukl, Kepemimpinan Dalam James E, Organisasi dan Organisasi, Terjemahan: Yusuf Manajemen, Terjemahan: Udaya, Jakarta: Prenhallindo, Hasymi Ali, Jakarta: Bumi 1998. Aksara,1995. Gibson,
102
Ivancevicp, Donnelly, , Manullang, Manajemen Sumber Daya Organisasi, Prilaku, Struktur, Manusia, Yogyakarta: BPFE
Vol III, No 2, November 2010
Muslihati
UGM, 1998.
di Sekolah, (www.depdiknas. go.id/publikasi/Buletin/ Pppg_Tertulis/08_2001/ motivasi_kerja_guru.htm
Mangkunegara, Prabu, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Wahjosumidjo, Motivasi dan Kepemimpinan, Jakarta: Ghalia Nawawi, Hadari, Manajemen Sumber Indonesia, 1992. Daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif, Yogyakarta: Winardi, J, Asas-Asas Manajemen, Gajahmada University Press, Bandung: Alumni, 1979. 1997. ------------------------, Motivasi dan Nitisemito, Alex, Manajemen Suatu Pemotivasian Dalam Manajemen, Dasar Pengantar, Jakarta: Jakarta:Raja grafindo Persada, Ghalia Indonesia1989. 2001. Sardiman, AM, , Interaksi dan Motivasi Zainudin, Organisasi, Belajar Mengajar, Jakarta: Struktur, Proses, Rajawali, 1986. Erlangga,1996.
Prilaku, Jakarta:
Siagian, Sondang, , Teori Motivasi dan Aplikasinya, Jakarta: Bumi Aksara, 1984. Soetopo, Administrasi Manajemen dan Organisasi, Jakarta: LAN RI, 2000. Steers, Richard M., Efektivitas Organisasi, Terjemahan: Magdalena Jamin, Jakarta: Erlangga, 1984. Supartini, Elis, Motivasi Kerja Guru Dalam Mengembangkan Kurikulum
Vol III, No 2, November 2010
103
Motivasi Kerja Guru
104
Vol III, No 2, November 2010
PENDIDIKAN ISLAM INTEGRATIF (Tawaran Baru Epistemologi Pendidikan Islam) Oleh: Zamrony ABSTRACT As an agent of civilization and social change, Islamic education in an atmosphere of modernization and globalization demanded to play a role in a dynamic and proactive. Its presence is expected to contribute meaningful and positive change for the improvement and advancement of the Muslim civilization, both on theoretical and practical intellectual terrain. Islamic education is not merely a process of transformation of moral values to shield themselves from negative access globalization and modernization. But the most urgent is how the moral values that have been inculcated through Islamic education is able to take an active role as a generator that has a power of social pressure and the crush of cultural backwardness, ignorance, economic and poverty in the midst of rapid social mobility. Therefore we need a constructive effort by the building of Islamic education. Epistemology provides understanding and skills that are integral and comprehensive. Someone who knows something of the process must know the outcome. Conversely, many who know the results but do not know the process. Unlike students who are given only bread and then she enjoyed it, with students who are invited to make bread, then enjoy it. Of course, knowledge of learners who know the process of making bread to enjoy it more complete, robust, and memorable Kata Kunci: Pendidikan Islam, Integralistik, Epistemologi
Vol III, No 2, November 2010
105
Pendidikan Islam Integratif
A. PENDAHULUAN Lembaga pendidikan Islam sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya adalah agen peradaban dan perubahan sosial. Lembaga pen-
pemikiran, keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik dari aspek materi, sistem pendidikan, maupun dalam bentuk kelembagaan (Moh. Shofan, 2004:6). Dua model yang dimaksud ada-
didikan yang saat ini berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Keberadaannya diharapkan mampu memberikan kontribusi dan perubahan positif yang berarti bagi perbaikan dan kemajuan peradaban umat Islam, baik pada dataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses transformasi nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi dan modernisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan lewat pendidikan Islam tersebut mampu berperan aktif sebagai generator yang memiliki power pembebas dari tekanan dan himpitan keterbelakangan sosial budaya, kebodohan, ekonomi dan kemiskinan di tengah mobilitas sosial yang begitu cepat. Dalam perkembangannya, pendidikan Islam melahirkan dua arus
lah pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis (ketimuran), yang dalam perkembangannya lebih menekankan aspek doktriner-normatif yang cenderung ekslusif-apologetis dan pendidikan Islam yang modernis (ala Barat) yang pada perkembagannya ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya (transendental). Hujair AH. Sanaky (2003: 97-98), menilai akar sejarah munculnya pandangan dualisme pendidikan Islam ini setidaknya bersumber pada pertama, pandangan formisme, artinya segala aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, yaitu segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, dan kedua, berasal dari warisan penjajah kolonial Belanda. Hal ini seperti dikatan juga oleh Edward Hallett Carr, yang dikutip oleh Djoko Soerjo, bahwa sejarah (pendidikan) merupakan suatu dialog tiada akhir antara masa kini dan masa lalu (2007: 26). Munculnya dua model pendidi-
106
Vol III, No 2, November 2010
Zamrony
kan Islam kemudian berdampak pada ambivalensi orientasi pendidikan Islam (Saifuddin, 1998: 103). Salah satu dampak negatifnya adalah adanya paradigma dualisme-dikotomis dalam sistem pendidikan Islam. Sebagai konsekuensinya, pendidikan dengan dualismenya memerlukan suatu perubahan alur berpikir dengan mengkombinasikan antara dua sistem pemikiran, yaitu positivistik-rasionalistik dengan religiusnormatif. Oleh sebab itu, pada tataran ini penulis mencoba untuk melakukan kajian yang bersifat normatif dalam membingkai pendidikan Islam dengan spirit integratif. Artinya, penulis mencoba “mengintegralkan” ranah ilmu pengetahuan dan hasil dari ilmu pengetahuan yang berupa teknologi dengan spirit Iman (tauhid). Apalagi dalam konteks kontemporer, ilmu pengetahuan dan teknologi telah terfregmentasi pada kawasan yang terpolarisasi antara Timur dan Barat atau dengan bahasa yang vulgar antara Protestan dengan Islam. Dengan demikian, penulis mencoba “membaca” secara mendasar aspek yang akan menjadi pijakan utama Pendidikan Islam dalam Vol III, No 2, November 2010
mengintegralkan dua ranah tersebut. B. SPIRIT INTEGRASI PENDIDIKAN ISLAM Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia (QS. Al-Alaq: 1-5). Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah (QS. Al-Hajj: 54). Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif, Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. Al-Mujadalah: 11). Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat (long life education) (Mudyahardjo,2002: 169) atau bahkan sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur. Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah 107
Pendidikan Islam Integratif
sebabnya Nabi Muhammad tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina. Pendidikan Islam kini dihadapkan kepada perubahan yang mendasar, terutama untuk mempersiapkan manusia yang akan berintegrasi dengan masyarakat dengan berbagai macam latar belakang budaya dan agama serta multi talenta ilmu pengetahuan. Dan yang paling utama adalah membangun moralitas manusia modern dalam menggampai peradaban madani. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah proses pendidikan Islam tersebut, ada dua hal sebagai “grand project” dalam membangun pendidikan Islam yang mampu menjadi tameng era modern, yakni pertama; pendidik pendidikan Islam semestinya mengutamakan integritas moral yang tinggi dengan mengedepankan etika-akhlakiah sebagai bagian integral dengan kepribadian manusia (H.A.R. Tilaar, 2005: 8). Kedua; landasan filosofis pendidikan Islam yang selama ini dikhotomik semestinya dikembalikan pada spirit integralistik dan pandangan monokhotomik yang berlandaskan wahyu Allah, al-Qur’an dan al-Hadist. 108
Dalam wacana integrasi-monokhotomik ini pendidikan Islam ke depan diyakini dapat berpartisipasi dalam membentuk manusia integral (aspek duniawi/ilmu pengetahuan dan teknologi) dan ukhrawi (iman dan taqwa), moralis dan beretika Islami. Apalagi dalam menengahi model-model pemahaman Islam radikal yang sering diklaim sebagai embrio munculnya ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama yang multi etnis, ras dan agama. Pendidikan Islam, terutama di masa akan datang, kiranya bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal itu. Untuk mewujudkannya, seluruh unsur sistem pendidikan Islam, khususnya pembelajaran pendidikan Islam, sebaiknya ditelaah kembali. Paradigma integrasi pendidikan Islam mempunyai 4 (empat) landasan pikir yaitu:1). Kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu); 2). Kesatuan kenabian; 3). Tidak ada paksaan dalam beragama; dan 4). Pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Semua yang demikian disebut normatif karena sudah merupakan ketetaVol III, No 2, November 2010
Zamrony
pan Tuhan. Masing-masing klasifikasi didukung oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk justifikasi yang lain. Dua dari empat isu pokok yang pertama tersebut merupa-
diterapkan dengan penggunaan nalar rasionalitik namun tetap berlandaskan ayat-ayat normatif bahwa terdapat sekumpulan kebenaran adikodrati yang statis yang diwahyukan oleh Tuhan ke-
kan landasan kecerdasan spiritual dan dua yang terakhir merupakan landasan kecerdasan emosional. Dari aspek kesatuan ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan pandangannya dari al-Qur’an surat an-Nisa ayat 131 dan juga dalam surat Ali Imran ayat 64 (al-Faruqi,1986: 190). Sedangkan dari aspek kesatuan pesan ketuhanan (wahyu) dapat dilihat dalam surat an- Nisa’ ayat 163. Dari aspek kesatuan kenabian, al-Faruqi mendasarkan pandangannya dari alQur’an surat al-Anbiya’ ayat 73 dan Ali Imran ayat 84 (ibid., 74). Pandangan Islam yang terkait dengan kebebasan menganut agama didasarkan kepada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256. Terakhir adalah mengenai pengakuan al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 69 akan eksistensi agama-agama lain dan juga surat al-Ma’idah ayat 82 (al-Faruqi, 1976:
pada manusia. Namun tidak mereduksi tataran proses sejarah dalam pewahyuan (turunya al-Qur’an), dengan demikian antara aspek normatif dengan data historis menjadi bagian utuh. Sehingga dalam perspektif Islam, seluruh pengetahuan yang terkait dengan isuisu hubungan antara agama terkesan baik atau bisa dibawa pada penjabaran moral dan etika agama. Hal yang penting lagi adalah pendidikan Islam dapat dibangun atas landasan nilai-nilai yang kokoh dan universal, dan nilai-nilai tersebut dijadikan pijakan, sekaligus tujuan, dan evaluasi terhadap keberhasilan dari pendidikan Islam sendiri. Sebab implikasi sebuah ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam haruslah muncul dalam tindakan nyata. Baik tidaknya ilmu pengetahuan yang meresap dalam diri individu akan terukur dengan tindakan nyata yang dibuktikannya. Oleh sebab itu pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam diperlukan etika pro-
305)
Secara operasional pendidikan Islam integratif-monokhotomik dapat Vol III, No 2, November 2010
109
Pendidikan Islam Integratif
fetik, yakni etika yang dikembangkan atas dasar nilai-nilai Ilahiyah (qauliyah) bagi pengembangan dan penerapan ilmu. Ada beberapa butir nilai, hasil deduksi dari al-Qur’an yang dapat dikembangkan untuk etika profetik pengembangan dan penerapan pendidikan Islam (Muhaimin, 2006) yaitu : 1. Nilai Ibadah, yakni bagi pemangku ilmu pendidikan Islam, pengembangan dan penerapannya merupakan ibadah (QS. AlDzariyat: 56 dan Ali Imran: 190191). 2. Nilai Ihsan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya dikembangkan untuk berbuat baik kepada semua pihak pada setiap generasi, disebabkan karenanAllah telah berbuat baik kepada manusia dengan aneka nikmat-Nya, dan dilarang berbuat kerusakan dalam bentuk apa pun (QS. Al-Qashah: 77). 3. Nilai masa depan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang akan hidup dan 110
4.
5.
6.
7.
menghadapi tantangan-tantangan masa depan yang jauh berbeda dengan periode sebelumnya (QS. Al-Hasyr: 18). Nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi kepentingan dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta (QS. Al-Anbiyaa: 107). Nilai amanah, yakni ilmu pendidikan islam itu adalah amanah Allah bagi pemangkunya, sehingga pengembangan dan penerapannya dilakukan dengan niat, cara dan tujuan sebagaimana yang dikehendaki-Nya (QS. AlAhzab: 72). Nilai dakwah, yakni pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam merupakan wujud dialog dakwa menyampaikan kebenaran Islam (QS. Fushshilat: 33). Nilai tabsyir, yakni pemangku ilmu pendidikan Islam senantiasa memberikan harapan baik kepada umat manusia tentang masa depan mereka, termasuk menjaga keseimbangan atau kelestarian alam (QS. Al-Baqarah: 119). Vol III, No 2, November 2010
Zamrony
C. EPISTEMOLOGI INTEGRATIF PENDIDIKAN ISLAM Aspek epistemologi dalam kerangka pendidikan, menyediakan ruang untuk memperdebatkan persoalan filosofis yang tidak dapat dijawab oleh wilayah ilmu, karena sifat ilmu menjunjung sakralitas nilai-nilai ilmiah dengan mendasarkan pada wilayah fisik-empirik. Perdebatan dalam wilayah epistemologi pendidikan menurut Muhaimin menyangkut “pengembangan potensi dasar manusia (fitrah), pewarisan budaya, dan interaksi antara potensi dan budaya. Pada tataran praktis juga memperdebatkan masalah kurikulum pendidikan, metode, pendidik dan peserta didik� (Muhaimin, 2005: 66). Pertanyaan epistemologis mengarah pada upaya pengembangan pendidikan berkaitan dengan persoalan konsep dasar dan sekaligus metodologinya. Oleh karena itu pada konteks yang lebih umum, jika subtansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu -menurut Abdul Munir Mulkhanmaka “problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga merupakan problem pendidikan Vol III, No 2, November 2010
Islam� (Mulkhan, 1993: 213). Pendekatan epistemologi membuka kesadaran dan pengertian peserta didik untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan dihadapan peserta didik dibandingkan hasilnya. Pendekatan epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang integral dan komprehensif. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Berbeda peserta didik yang hanya diberikan roti kemudian dia menikmatinya, dengan peserta didik yang diajak untuk membuat roti, kemudian menikmatinya. Tentunya pengetahuan peserta didik yang mengetahui proses pembuatan roti sampai menikmati itu lebih utuh, kokoh, dan berkesan. Karena epistemologi merupakan pendekatan yang berbasis proses, maka epistemologi melahirkan konsekuensikonsekuensi logis, yang berupa: 1. Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi 111
Pendidikan Islam Integratif
bebas untuk dinilai, mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan, dan tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional. Selain itu, perlu ditambahkan lagi dengan penggunaan indera dan akal pada wilayah obyek ilmu, sedangkan wahyu memberikan bimbingan atau menuntun akal untuk mewarnai ilmu itu dengan keimanan dan nilai-nilai spiritual. 2. Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan peserta didik dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan peserta didik untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar. 3. Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma ideologis ini -karena otoritasnya- dapat 112
mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma ideologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi, menemukan, ilmu pengetahuan (ayat kauniyah) dengan petunjuk wahyu Allah SWT. Dan paradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler. Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak pada wahyu Allah. 4. Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun penelitian terhadap ayat qouliyah atau naqliyah (al-qur’an dan sunVol III, No 2, November 2010
Zamrony
nah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang Islam. Karena kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis, dan transendental perlu diturunkan dan dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan. Ilmu-ilmu yang berbasis pada realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, spikologi, filsafat kritis yang sifatnya membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh persoalan-persoalan dan pengalaman empiris. 5. Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada perumbuhan yang integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak (QS. al-Mujadalah: 11). Semua dimensi ini Vol III, No 2, November 2010
bergerak saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga perpaduan seluruh dimensi ini mampu menelorkan manusia paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada semua bersumber dari Allah, semua milik Allah, difungsikan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah dan sebagai abdullah, dan akan kembali kepada Allah (mentauhidkan Allah). Bisa dikatakan bahwa hasil produk integrasi ini adalah manusia yang beriman tauhidiyah, berilmu amaliyah, beramal ilmiah, bertaqwa ilahiyah, berakhlak robbaniyah dan berperadaban islamiyah. 6. Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini pendidikan Islam harus menyediakan berbagai media penunjang untuk mencapai hasil pendidikan yang diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa media pendidikan Islam adalah 113
Pendidikan Islam Integratif
seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW: “tafakkaruu filkholqi walaa tafakkaruu fil khooliq, fainnakum laa taqdiruuna qodrohu” yang artinya “berpikirlah kamu sekalian tentang makhluk ciptaan Allah, jangan kamu berpikir tentang Allah, sesungguhnya kalian tidak akan mampu memikirkan-Nya”. (HR. Abu Syekh dari Ibn Abas). 7. Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan penguasaan materi yang komperhensif tentang materi ajar yang terintegrasi antara ilmu dan wahyu. Disamping terkait dengan pendekatan epistemologi dan konsekuensinya, epistemologi sendiri berbicara sekaligus tentang sumber ilmu pengetahuan atau cara memperolehnya. Menurut Mujamil Qomar ditinjau dari cara memperolehnya, adakalanya pengetahuan pendidikan diperoleh setelah “mengalami” (aposteirori), oleh Imam Ghazali disebut ilmu nazari, yang dalam istilah Barat disebut empirisme. Pengetahuan juga dapat diperoleh melalui perenungan dan penggagasan. Hal ini disebut pengetahuan 114
pendidikan apriori, oleh Imam Ghozali disebut ilmu awali atau menurut istilah Barat disebut rasionalisme (Qomar, 2005: 262). Pengetahuan pendidikan yang pertama bersumber dari indera, sedang pengetahuan pendidikan yang kedua bersumber dari akal. Jika dibandingkan dengan pengetahuan yang bersumber dari indera dan akal, maka masih ada tingkatan pengetahuan yang jauh lebih tinggi, yaitu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan petunjuk wahyu. Pengetahuan yang bersumber dari indera ataupun akal, kebenarannya bersifat nisbi. Artinya, jika ada penelitian dan pembuktian lain yang berhasil mematahkan hasil penelitian pertama, maka hasil penelitian pertama tidak berlaku lagi dan yang digunakan adalah hasil penelitian kedua, begitu seterusnya. Sedangkan pengetahuan yang bersumber pada petunjuk wahyu, kebenarannya bersifat mutlak. Epistemologi terakhir inilah yang hanya dimiliki oleh pendidikan Islam. Mujamil Qomar menambahkan bahwa di samping itu, masih ada pengetahuan yang diperoleh secara -cuma-cuma- dari Tuhan melalui mimpi, intuisi, ilham, dan semacamnya (Ibid). Vol III, No 2, November 2010
Zamrony
Betapapun besarnya kekuatan akal untuk menjalankan proses berpikir, bernalar, merenung, menggagas, berspekulasi, dan berimajinasi untuk menemukan pengetahuan baru, tetapi perlu ditegaskan lagi bahwa akal memiliki keterbatasan. Kemampuan yang sangat terbatas tersebut akhirnya yang melimit otoritas akal dalam menemukan sesuatu realitas yang diakui ada, tetapi akal tidak mampu menjangkaunya. Kenyataan ini dapat dijadikan peringatan agar manusia tidak bersifat arogan setelah menemukan dari sedikit ilmu Allah yang tersembunyi dibalik sunnatullah atau alam ciptaan-Nya. Epistemologi Barat memiliki ciri-ciri pendekatan skeptis (keraguraguan atau kesangsian), pendekatan rasional-empirik, pendekatan dikotomik, pendekatan positif-objektif, dan pendekatan yang menentang dimensi spiritual. Sedangkan epistemologi pendidikan Islam selama ini terkesan masih bersifat teologis, doktrinal, pasif, sekuler, mandul, jalan ditempat, dan tertinggal jauh dengan epistemologi pendidikan Barat terutama sains dan teknologi. Dalam hal ini, alternatif yang mujarab untuk menVol III, No 2, November 2010
cairkan kebekuan epistemplogi dalam bangunan pendidikan Islam dan untuk menyelamatkan umat Islam dan peradabannya akibat epistemologi Barat, maka kita harus melakukan reformasi pada epistemologi pendidikan Islam yang sudah terbaratkan, yaitu dengan melakukan langkah-langkah –terutama dalam membangun kurikulum dan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sebagai berikut: 1. Dengan cara membangun epistemologi yang berpijak pada alQur’an dan as-Sunnah yang didesain dengan mempertimbangkan konsep ilmu pengetahuan, islamisasi ilmu pengetahuan dan karakter ilmu dalam perspekti Islam yang bersandar pada kekuatan spiritual yang memiliki hubungan harmonis antara akal dan wahyu, interdependensi akal dengan intuisi dan terkait nilai-nilai spiritual. Episemologi Pendidikan Islam seperti ini, menjadi tumpuan harapan dalam membangun kehidupan umat Islam yang lebih baik dengan suatu peradaban Islam yang lebih mapan dan stabil. Epistemologi pendidikan Islam seperti ini me115
Pendidikan Islam Integratif
nekankan totalitas pengalaman dan kenyataan (empirisme) serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam (rasionalisme), sehingga ilmu yang diperoleh dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis benarbenar mencetak generasi-generasi yang seimbang antara intelektual, skill, dan spiritualnya serta moralitasnya. 2. Kita harus memperioritaskan epistemologi pendidikan Islam yang berbasis proses tauhid, pengalaman empirik, di mana dari realitas empirik ini kemudian diamati, dikaji, dan diteliti dengan mengandalkan metode observasi dan eksperimentasi disertai tehnik-tehniknya dengan spirit tauhid keimanan. Langkah ini menekankan bahwa epistemologi harus dimaknai sebagai proses, prosedur, cara atau kerja metodoligi penelitian guna mencapai pengetahuan baru, bukan epistemologi dalam makna sumber atau alat untuk mencapai pengetahuan. Kemudian, muatanmuatan teologis atau hegemoni te116
ologi atas epistemologi harus dihilangkan sedemikian rupa sehingga epistemologi menjadi independen atau berdiri sendiri. 3. Orientasi atau penekanan pada knowing (ma’rifah), pengetahuan teoritik, atau akademik yang cenderung menjadikan peserta didik pasif dalam belajar di bawah otoriter guru, perlu dirubah ke arah orientasi epistemologi pendidikan Islam yang menekankan pada doing, aktivitas dan kreativitas, atau kerja profesional yang menjadikan peserta didik aktif dan kretif dalam belajar. Dalam proses doing, aktivitas, kreativitas tersebut nilainilai spiritual dan moralitas masuk di dalamnya, sehingga di samping peserta didik menemukan ilmu pengetahuan baru dia juga mengakses nilai-nilai spiritual secara bersamaan. 4. Mengembangkan metode atau pendekatan yang lebih mencerdaskan peserta didik dari pada pendekatan tradisional yang menekankan pendekatan hafalan saja, seperti 1) metode ‘aqli (proses berpikir atau rasional) yaitu metode Vol III, No 2, November 2010
Zamrony
yang dipergunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria kebenaran memalui proses berpikir yang bisa diterim akal. Metode ini memandang bahwa segala sesuatu dianggap benar, jika bisa diterima rasio (Ali ‘Imran: 190-191); 2) metode dzauqi, hikmah, atau jelajah qolbu (metode intuitif) yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan jalan mengasah kepekaan qolbu peserta didik agar pengetahuan yang tiba-tiba itu muncul, walupun tanpa didahului oleh pengalaman atau pengetahuan sebelumnya. Dalam istilah agama intuitif adalah ilham. “Siapa yang mampu menjaga keilkhlasan hatinya selama 40 hari lamanya, maka akan dipancarkan dari dalam hatinya sumber-sumber (seperti mata air) ilmu hikmah� (Al-Hadits); 3) metode jadali (metode dialogis atau diskusi) yaitu metode untuk menggali pengetahuan dengan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk tanya-jawab antara dua orang atau lebih berdasarkan
Vol III, No 2, November 2010
argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dihadapan wahyu (surat An-Nahl: 111 dan 125); 4) metode moqaranah (komparatif) yaitu metode dengan membandingkan teori atau praktik maupun dua pendapat tokoh dengan tujuan untuk mencari kelemahan-kelemahan dan kelebihan atau pun memadukan pengertian dan pemahaman supaya diperoleh ketegasan yang dimaksud dari permasalahan yang ada (surat AlHasyr: 20); 5) metode naqdi (kritik) yaitu metode untuk menggali pengetahuan dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi ilmu kemudian menawarkan solusisolusinya. Metode ini bisa dikatakan dengan washiyah atau nasehat (surat al-‘ashr ayat 1-3); 6) metode muhasabah (koreksi atau evaluasi) yaitu metode untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara melakukan koreksi dan evaluasi terhadap pengetahuan untuk ditemukan kekurangan-kekurangan dan ditawarkan alternatif baru sebagai solusinya. Umar bin Khothab ber117
Pendidikan Islam Integratif
kata: “hasibuu qobla antuhaasabuu�, artinya: “koreksilah dirimu, sebelum kelak kamu dikoreksi Allah�. Metode-metode yang dikembangkan untuk membangun daya kritis atau intelektual peserta didik ini harus disandarkan pada wahyu, nilai-nilai spiritual, maupun metode ilmiah secara integral yang implementasinya berbasis proses tauhid. Wahyu berfungsi memberikan dorongan, arahan, bimbingan, pengendalian, kontrol terhadap pelaksaan metode tersebut. Nilai-nilai spiritual atau etika Islami berfungsi menanamkan etika islam pada peserta didik saat proses metode itu berlangsung. Sedangkan metode ilmiah dijadikan acuan mendasar untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang memenuhi syarat empirik, rasional, dan ilmiah. Integrasi ini akan dapat merubah bangunan epistemologi pendidikan Islam yang nantinya diharapkan mampu menjadi solusi praktis untuk membangun peradaban Islam yang lebih maju.
118
D. PENUTUP Reformasi epistemologi Islam dalam dunia pendidikan sangat penting dilakukan demi menghasilkan pendidikan bermutu yang mencerdaskan, terlebih dalam krisis kekinian yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi dan pendidikan umat saat ini. Krisis yang terjadi dalam dunia pengetahuan dan pendidikan umat saat ini didasari rendahnya motivasi belajar umat serta kurangnya rasa cinta dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, terutama dalam bingkai ketauhidan. Proses sekulerisasi pendidikan lewat jalur epistemologi, telah menggeser dimensi moral dan spiritual dari pendidikan Islam, di samping kurangnya pengetahuan dan kelemahan intelektual. Selain itu, ketergantungan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi wujud nyata dari keterbelakangan umat yang mengakibatkan krisis intelektual yang semakin parah. Dalam epistemologi sekuler hanya didasarkan pada kekuatan akal (rasional) dan empiris semata, sedangkan dalam epistemologi pendidikan Islam pengetahuan tak hanya didasari oleh dua faktor tersebut, tetapi juga Vol III, No 2, November 2010
Zamrony
bersumber pada wahyu yang berasal dari Al-Quran dan As Sunnah. Wahyu itu justru menjadi kualitas tertinggi dari ilmu pengetahuan dasar. Wahyu melindungi akal dari kesalahan dan menyediakan informasi tentang suatu hal yang tidak kasat mata mengingat akal tidak bisa memahami secara penuh dunia yang empiris tanpa bantuan, sekaligus wahyu berperan sebagai imam bagi akal. Wahyu yang membimbing, mengarahkan, mengontrol, dan memberikan inspirasi terhadap epistemologi. Selain itu, pengetahuan manusia dalam disiplin ilmu juga sangat terbatas, sehingga wahyu diperlukan bagi manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Akal manusia bisa diperdaya dan kecerdasannya pun terbatas dalam menginterpretasikan beragam persepsi. Di sisi lain, manusia tidak bisa mengetahui hal yang tak kasat mata, di mana masa lalu dan masa depan diyakini tidak dapat diketahui. Sehingga pada tataran ini, aspek-aspek yang ada dalam pendidikan Islam bersumber langsung pada Allah dan Nabi Muhammad. Jadi, yang menjadi pendorong di dalam perjuangan Islam ialah iman. Artinya iman adalah Vol III, No 2, November 2010
menjadi mesin penggerak utama dan melaksanakan perjuangan menegakkan kalimah Allah di muka bumi. Iman itu bukanlah iman taqlid dan tidak juga iman ilmu karena kedua jenis iman ini tidak mampu menggerakkan manusia berjuang dan meneruskan perjuangan. Paling kurang iman yang mampu menjadi pendorong perjuangan ialah iman ‘ayan yaitu iman yang menjadikan hati seseorang itu senantiasa takut, cinta dan merasa kehebatan Allah. Perasaan hati juga sentiasa dipenuhi dengan rasa kasih dan rindu kepada-Nya. Hati seperti ini merasakan bahwa Allah bersama-samanya dalam setiap detik, mengetahui, melihat, dan mendengar setiap tingkah lakunya. ****
119
Pendidikan Islam Integratif
DAFTAR PUSTAKA Al-Faruqi, Isma’il Raji, On The Nature Bruner, Jerome, Proses Pendidikan: of Islamic Da’wah, dalam Upaya Pembenahan Pendidikan, International Review of Jakarta: Binarupa Aksara, Mission, Vol. LXV, No. 260, 1994. October 1976. Fadjar, A. Malik, Visi Pembaharuan -----------------------, The Cultural Atlas of Pendidikan Islam, Jakarta: Islam, New York: Macmillan, LP3NI, 1998. 1986. Gilson, Etienne, Tuhan di Mata Para ----------------------, The Role of Islam in Filosuf, Peterj.: Silvester Global Inter-Religious Defendence, Goridus Sukur, Bandung: dalam Ataullah Siddiqui, Islam Mizan, 2004. and Other Faiths, Horndon USA: The International Huda, Noer, Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam Di Indonesia, Institute of Islam Thought, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 1998. 2007. Amstrong, Karen, A History of God: The 4000-Year Quest of Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Judaism, Christianity and Islam, Dunia Pendidikan, Jakarta: New York: Ballantine Books, Rajawali Press, 2006. 1993. Badaruddin, Kemas, Filsafat Pendidikan ------------------, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: Islam, Yogyakarta: Pustaka di Sekolah, Madrasah dan Pelajar, 2007. Perguruan Tinggi, Jakarta: Raja 120
Vol III, No 2, November 2010
Zamrony
Grafindo Persada, 2005. Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: SIPRES, 1993.
Safiria Insani Press, 2003. Saifuddin, A. M., Desekularisasi Pemikiran, Bandung: Mizan, 1998. -----------------------, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1993.
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Sealy, Erlangga, 2005.
John, Religious Education Philosophical Perspective, London: George Allen & Unwin, 1985
Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Raja Shofan, Moh., Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Grafindo Persada, 2002. dalam Logos, Jurnal IlmuRodger, Alex R., Educational and Faith Ilmu Sosial dan Humaniora, in Open Society, Britain: The Vol.4, No.1 Januari 2005. Handel Press, 1982. -------------------, Pendidikan Berparadigma Sanaky, Hujair A. H., Permasalahan Profetik, Yogyakarta: IRCiSoD, dan Penataan Pendidikan 2004. Islam Menuju Pendidikan yang Bermutu, dalam Jurnal El- Tilaar, H.A.R., Multicultural Education and Its Challenges in Indonesia, Tarbawi Jurnal Pendidikan makalah pada International Islam No. 1, Vol. 1 Tahun Seminar on Multicultural 2008. Education, Cross Cultural -------------------, Paradigma Pendidikan Understandding for Democracy Islam: Membangun Masyarakat and Justice, Yogyakarta 26 Madani Indonesia, Yogyakarta: Agustus 2005. Redja,
Vol III, No 2, November 2010
121
Pendidikan Islam Integratif
Tholkhah, Imam dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Benang Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Titus, Harold H. dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, Peterj.: M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
122
Vol III, No 2, November 2010
APLIKASI METODE MIND MAPPING TERHADAP DAYA INGAT MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SISWA Dr. HM. Ilyasin, M.Pd ABSTRACT In the learning process, method has dominated in the effort for achive of aim because it becomes in pass on graded study material to the curriculum. Without method, a tutorial material won’t proceeds efficiently and effectively for making of education aim. This points out that Islamic education process (PAI) shall be done as upon. It is expected in order to cognitive, afective and pchicomotoryc’s aspect can be reached. The method of mind mapping is a tool of note that creative by use of color, image, symbol and warped branch so gets to make easy of remembers a lot of information by reached its goal teaching. To the effects of mind mapping (map collects thoughts) are : create or think of data that is thought important by own. Benefit of mind mapping method (map collects thoughts) for example: to write with creative, to manage of networking places, to think of idea independently ( brainstorming ), to arrange “task list” with detail, to do of presentation comprehensively, to do of registry effectively, to help development of process by self. The excess of mind mapping (map collects thoughts) to be appealed by traditional note, for example: economizing of time because reduce of word in the writing that unbenefite, Vol III, No 2, November 2010
123
Aplikasi Metode Mind Mapping Terhadap Daya Ingat Materi PAI Siswa
hastening of time because just read key word, increasing creativity, motivating of brain because there are some colour, picture, and gets dimension, and flexible. Mind mapping (mapping collects thoughts) is notes efficiently more one. Because of this technic, writing idea in the shaped key word, begins to set material that is passed on directly, and gives chance look for bearing and association. Mind mapping really helps someone, since mind mapping by use of imagination and association. To study of mind mapping also really helps to remember information (PAI’S material). Key word: Metode, Mind Mapping, Daya Ingat, Materi PAI, Aplikasi. A. PENDAHULUAN Dalam proses pembelajaran, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan karena ia menjadi sarana dalam menyampaikan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum. Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan berproses secara efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju
perhatikan potensi individual serta kinerja otak. Manusia memiliki dua jenis otak, kanan dan kiri. Otak manusia jika dilatih dapat mengeluarkan cahaya pengetahuan ke segala penjuru karena jaringan syaraf otaknya berkesinambungan membentuk bulatan bola yang dihubungkan oleh sel-sel syaraf yang miliaran jumlahnya. (Bobbi De Porter, Mike Hernacki, 1999: 36). Jadi
tujuan pendidikan. Ini menunjukkan bahwa proses pendidikan agama Islam (PAI) harus dilakukan dengan metode yang efisien, efektif dan tepat. Hal ini diharapkan supaya aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dapat tercapai. (M. Arifin, 2003: 144) Apabila melihat proses pendidikan selama ini, terdapat kesan bahwa proses pembelajarannya kurang mem-
harus ada keseimbangan mengaktifkan otak kiri dan otak kanan. Karena otak kanan memiliki kemampuan berfikir imajinatif, holistik, kreatif, dan dapat menghasilkan ide-ide “Subversif ” , sementara otak kiri cenderung berciri linier dan analitis. Menghadapi ini semua yang paling penting adalah bagaimana mengoptimalkan potensi “mind” dan “brain”
124
Vol III, No 2, November 2010
M. Ilyasin
untuk meraih prestasi secara cepat dan efektif. Ada beberapa istilah yang sejalan dengan gagasan ini, antara lain Quantum learning, Accelerated learning, Braind Based learning, Learning Revolution,
apa yang tersimpan dalam memori. (Bobbi De Porter, Mike Hernacki, op. cit., 167). Metode mencatat yang cepat menyebar luas ke seluruh dunia ada-
Multiple Intelligences, dan istilah yang lain lagi. (Mel Siberman, 1996: xi). Dalam hal proses pembelajaran, siswa juga dituntut untuk memiliki ketrampilan dalam mengorganisasikan informasi. Tidak hanya siswa, selain itu guru juga harus dapat menyampaikan informasi baik verbal maupun visual. Salah satu kemampuan dalam bidang visual yaitu dalam bentuk catatan. Mencatat yang efektif adalah salah satu kemampuan terpenting yang pernah dipelajari orang. Bagi pelajar hal ini seringkali berarti perbedaan antara mendapat nilai rendah atau tinggi pada saat ujian. Alasan pertama untuk mencatat adalah meningkatkan daya ingat. Pikiran manusia yang menakjubkan dapat menyimpan segala sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan. Memori manusia sempurna, seperti komputer. Tujuannya bukanlah untuk membantu pikiran mengingat, memori melakukannya secara otomatis, tujuannya adalah untuk membantu diri siswa mengingat
lah metode mind mapping (peta pikiran). Metode ini dikembangkan oleh Tony Buzan pada awal tahun 1960-an, dan berhasil baik karena meniru cara otak bekerja. (Tony Buzan, 2004: XIV-XV). Hal ini berarti mengingat informasi akan lebih mudah dan lebih bisa diandalkan daripada menggunakan teknik pencatatan tradisional. Asumsinya adalah mind map akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak akan diduga sebelumnya. Dengan metode mind map seperti ini seseorang akan memperoleh prestasi belajar secara berlipat ganda. Hal ini tentu saja memberikan peluang dan tantangan yang menggembirakan bagi kalangan pendidik khususnya dalam pendidikan agama Islam (PAI).
Vol III, No 2, November 2010
B. METODE MIND MAPPING (PETA PIKIRAN) 1. Pengertian Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) Menurut Muhammad Zein 125
Aplikasi Metode Mind Mapping Terhadap Daya Ingat Materi PAI Siswa
metode adalah suatu cara kerja yang sistematik dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan. (Muhammad Zein, 1995: 167) Sedangkan menurut Shaleh Abdul Aziz dan abdul Majid dalam bukunya Tarbiyah waa Turuqut Tadris I menerangkan sebagai berikut: كلمة طريقة التدريس هناك معنيان طريقة التدريس معنى ضيق المقصود به توصيل المعلومات ومعني واسع شامل وهو اكتساب المعلومات مضافا اليه وجهات نظر وعادات فى التكفير وغيرهما Kata metode mengajar adalah cara menyampaikan pengetahuan, arti yang lebih luas yaitu memperoleh pengetahuan-pengetahuan dan di tambah pandangan-pandangan, kebiasaan-kebiasaan berfikir dan sebagainya. (Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Majid, 1979: 239). Metode mengajar haruslah bersifat fleksibel dan sangat tergantung dengan berbagai faktor. Dengan kata lain dapat dikatakan “no single method is the best”, tidak ada satu metode yang terbaik, yang ada adalah metode yang sesuai. (Chabib Toha, 1998: 183) Dilihat dari jenisnya ada beberapa metode mengajar salah satunya adalah metode mind mapping (peta pikiran). 126
Metode mencatat yang menyebar luas dengan cepat ke seluruh dunia dinamakan metode mind mapping (peta pikiran). Pada awalnya konsep pemetaan pikiran berasal dari karya David ausubel (advanced Organizers). (WM. Blake: http://www.studgys.net/ indon/mapping.htm, h.3). Konsep pemetaan pikiran ini di kembangkan oleh Tony buzan pada awal tahun 1960-an. (Bobbi De Portet, Mike Hernacki : 2003, h. 167) Hal ini didasari ketika Tony Buzan masih menjadi mahasiswa tingkat satu di perguruan tinggi. Buzan mencari cara bagaimana memperbaiki ingatan seseorang melalui catatan. Kemudian Buzan mulai terpesona dengan sistem ingatan yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Yunani. Sistem tersebut memungkinkan mengingat kembali ratusan bahkan ribuan fakta dengan sempurna. Sistem ingatan dari Yunani ini berdasarkan imajinasi dan asosiasi. Ini tidak ada dalam catatan Buzan. Karena pada waktu masih di tingkat sekolah, Buzan membuat catatan yang ruwet, monoton dan hanya dalam satu warna. Kemudian Buzan mulai mempelajari psikologi. Dalam psikologi ada dua hal Vol III, No 2, November 2010
M. Ilyasin
yang paling penting terjadi dalam otak selama belajar yaitu asosiasi dan imajinasi. Buzan terpesona dengan otak karena kehebatan dan potensi yang dimiliki otak. Selama penjelajahan Buzan sering berjalan-jalan di alam terbuka. Buzan mulai menyadari bahwa manusia bagian dari alam, maka pemikiran dan cara mencatat harus berhubungan dengan alam. Hanya ada satu alat berfikir yang dapat mengaplikasikan seluruh kegiatan manusia, dan harus berdasarkan cara kerja alamiah otak. Pada akhirnya Buzan menemukan alat tersebut yaitu alat yang mirip sulur bintang, sederhana dan cantik yang benarbenar mencerminkan kreativitas dan kecemerlangan alamiah berfikir. Alat tersebut dinamakan mind map. Mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar otak. Menurut Tony Buzan Mind map adalah cara mencatat yang kreatif, efektif dan secara harfiah akan “memetakan” pikiran-pikiran seseorang. Mind map juga sangat sederhana. Mind map juga merupakan peta rute yang paling hebat bagi ingatan, memungkinkan
Vol III, No 2, November 2010
menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Ini berarti mengingat informasi akan lebih mudah dan lebih bisa diandalkan daripada menggunakan teknik pencatatan tradisional. (Tony Buzan : 2006, h. 4-5). Mind map juga menggunakan kemampuan otak akan pengenalan visual untuk mendapatkan hasil yang sebesarbesarnya. Dengan kombinasi warna, gambar, dan cabang-cabang yang melengkung, mind map lebih merangsang secara visual daripada metode pencatatan tradisional, yang cenderung linear dan satu warna. Ini akan sangat memudahkan seseorang untuk mengingat informasi. (Ibid., hlm. 9). Ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Baqarah:185 yang berbunyi: :(البقرة.... ي ُ ِر ْي ُد هللاُ ِب ُك ُم ْالي ُْس َر وَ َالي ُِر ْي ُد ِب ُك ُم ْالع ُْس َر )185 “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 185) Peta pikiran melibatkan kedua belahan otak kiri dan otak kanan. gambar, simbol, warna, dan susunan acak, terutama aktivitas belahan kanan otak, tergabung dalam sistem ini, 127
Aplikasi Metode Mind Mapping Terhadap Daya Ingat Materi PAI Siswa
seperti halnya belahan kiri memproses kata-kata, logika, dan urutan (sekuens). (Bobbi Deporter, Mike Hernacki, op. cit., hlm. 167). Peta pikiran menirukan proses berfikir ini yakni memungkink-
cari cara untuk mengaitkannya dengan gerakan fisik. Hal ini juga menunjukkan alasan bahwa membuat catatan ketika mempelajari suatu mata kuliah atau sebuah buku itu penting. Di situ akan
an seseorang berpindah-pindah topik. Seseorang merekam informasi melalui simbol, gambar, arti emosi, dan warna, mirip seperti cara otak memprosesnya. Sudah jelas takkan ada pembelajaran tanpa ingatan. Oleh karena itu, perlu mengetahui sedikit cara ingatan bekerja dan meningkatkannya. Semua proses belajar melibatkan ingatan karena itu makin banyak bahan atau peristiwa yang mampu diingat oleh mahasiswa dan makin kaya orang tersebut akan pengetahuan. (J.T. Lobby Loekmono : 1994, h. 75). Terutama karena sekitar 70% materi yang telah dipelajari bisa terlupakan dalam 24 jam jika tidak melakukan upaya khusus untuk mengingat. Peneliti juga mencatat bahwa seseorang memiliki ingataningatan khusus untuk suara, tampilan visual, dan perasaan. Hal ini menjelaskan bahwa tidak hanya perlu membaca suatu materi, tetapi mengulangnya dengan bersuara, dan jika mungkin men-
mendengarkan dan juga menulis. Jadi, melibatkan ingatan untuk tampilan visual (catatan), suara (pembicaraan), dan gerakan (gerak fisik atau menulis). (Colin Rose : 2002, h. 111). Informasi dapat direkam di dalam memori dalam bentuk visual (gambar-gambar) atau dalam bentuk verbal (kata-kata). Memori verbal dan memori visual ini bukan merupakan dua proses yang berbeda, tetapi keduanya mungkin juga terjadi di dua tempat yang berlainan. (Kenneth L. Higbee :Â 1991, h. 37) Mind mapping adalah alat yang penuh daya dan ranah otak. Mind map melibatkan kedua sisi otak karena mind map menggunakan gambar, warna dan imajinasi (wilayah otak kanan) bersamaan dengan kata, angka, dan logika (wilayah otak kiri). (Tony Buzan, loc. cit., hlm. 60). Joyce wycoff mengatakan bahwa pemetaan pikiran adalah cara yang sangat baik untuk menghasilkan dan menata gagasan sebelum mulai
128
Vol III, No 2, November 2010
M. Ilyasin
menulis. (Joyce Wycoff : 2004, h. 83) Sedangkan menurut Bobbi De Poter dalam bukunya Quantum Learning, peta pikiran adalah teknik pemanfaatan keselurahan otak dengan menggunakan citra visual dan prasarana grafis lainnya untuk membentuk kesan antara otak kanan dan otak kiri ikut terlibat sehingga mempermudah memasukkan informasi ke dalam otak. (Bobbi De Porter, Mike Hernacki : 2003), h. 153). Dari semua yang di paparkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa metode mind mapping adalah suatu cara mencatat yang kreatif dengan menggunakan warna, gambar, simbol serta cabang yang melengkung sehingga dapat memudahkan mengingat banyak informasi demi tercapainya tujuan pengajaran.
c. Kata-kata kunci digunakan untuk menyampaikan gagasan. d. Hanya ada satu kata kunci ditulis perbaris. e. Gagasan kata kunci dihubungkan ke fokus pusat dengan garis. f. Warna digunakan untuk menerangi dan menekankan pentingnya sebuah gagasan. (Joyce Wycoff, op. cit., hlm. 67). Melalui masa evolusi jutaan tahun, otak mengembangkan mekanisme yang rumit dalam merasakan dan menggunakan warna. Penelitianpenelitian menunjukkan bahwa warna bisa menggairahkan dan menenangkan jiwa. Manusia menyukai warna; warna itu alamiah dan lebih menarik dari pada dunia buatan yang hitamputih. Menambahkan warna ke peta pikiran adalah langkah maju yang ala2. Ciri–ciri Metode Mapping mi. Warna dapat digunakan dalam beAdapun unsur-unsur dari me- berapa cara : tode mind mapping adalah: 1. Penataan a. Fokus pusat yang berisi citra atau Warna bisa digunakan untuk lambang gambar masalah atau inmenyoroti wilayah-wilayah berbeda formasi yang dipetakan, diletakkan di peta pikiran. Untuk menata indi tengah halaman. formasi menjadi beberapa bahasan b. Gagasan dibiarkan mengalir bebas yang terpisah. tanpa penilaian. 2. Urun rembuk Vol III, No 2, November 2010
129
Aplikasi Metode Mind Mapping Terhadap Daya Ingat Materi PAI Siswa
Setiap sesi awal urun rembuk, mungkin ingin kembali menyoroti gagasan dengan warna lain untuk urun rembuk berikutnya, atau untuk memilih poin-poin kunci. Ada kelompok yang memberikan warna berlainan pada setiap pesertanya agar sumbangan pikirannya bisa segera dikenali. 3. Presentasi Informasi yang di presentasikan dalam wilayah yang di tandai dengan warna lebih mudah diingat. Orang akan mengingat informasi di “bagian merah” atau di “bagian hijau”. 4. Aliran gagasan Jika energi seseorang menurun, atau gagasan berhenti ketika memetakan pikiran, mengubah warna kadang-kadang dapat membantu dimulainya saluran pemikiran lain. 5. Gambar dan lambang di gunakan untuk menyoroti gagasan dan merangsang pikiran agar membentuk kaitan yang lain. (Joyce Wycoff, op. cit., hlm. 77) Gambar dan lambang adalah stenografi bagi otak. Bagian kanan 130
otak cepat merasakan gambar dan pola. Menambahkan lambang dan gambar pada peta pikiran membantu menyampaikan pesan visual ke benak seseorang. Tiap kali seseorang menyampaikan pesan dengan berbagai cara yang bervariasi, kemungkinan pesan tersebut sepenuhnya yang diterima akan meningkat. Tujuan membuat gambar untuk meningkatkan gagasangagasan tertentu dan menunjukkan hubungan di antara gagasan-gagasan. (Gavin J.Fairbain, Susan A. Fairbairn, op. cit., hlm. 126.) Beberapa penelitian menunjukkan ada lima unsur kunci untuk membuat fakta dapat diingat. Belajar paling baik bila informasi: a. Di beri tekanan, b. Berhubungan dengan kegiatan belajar sebelumnya, c. Melibatkan lima indra, d. Memiliki keutamaan pribadi, e. Muncul di awal atau akhir periode belajar. Peta pikiran melibatkan penggunaan semua unsur ini, menghasilkan beberapa catatan yang mudah diingat. (Bobbi De porter, Mike Hernacki, op. cit., hlm. 167). Vol III, No 2, November 2010
M. Ilyasin
3. Cara Membuat Mind Mapping sama menariknya dengan gambar. (Peta Pikiran) Warna membuat mind map lebih Untuk memulai membuat mind hidup, menambahkan energi kemapping yang diperlukan adalah bendapada pemikiran yang kreatif, dan benda berikut ini: menyenangkan. a. Selembar kertas kosong; d. Hubungkan cabang-cabang utama b. Pena warna-warni, pensil warna, ke gambar pusat dan cabang-cabang atau krayon; tingkat dua dan tiga ke tingkat satu c. Otak; dan dua, dan seterusnya. Mengapa? d. Imajinasi. (Tony Buzan : 2005, h. Karena otak bekerja menurut aso9) siasi. Otak senang mengaitkan dua Cara membuat mind mapping adaatau tiga atau empat hal sekaligus. lah sebagai berikut : Bila menghubungkan cabang-caa. Mulailah dari bagian tengah kertas bang, akan lebih mudah mengerti yang kosong yang sisi panjangnya dan mengingat. diletakkan mendatar. Dikarenakan e. Buatlah garis hubung yang melengmemulai dari tengah memberi kekung, bukan garis lurus. Mengapa? bebasan kepada otak untuk meKarena garis lurus akan membonyebar ke segala arah dan mensankan otak. Cabang-cabang yang gungkapkan dirinya dengan lebih melengkung dan organis, seperti bebas dan alami. cabang-cabang pohon, jauh lebih b. Gunakan gambar atau foto untuk menarik bagi mata. ide sentral. Sebab sebuah gambar f. Gunakan satu kata kunci untuk bermakna seribu kata dan memsetiap garis. Mengapa? Karena bantu seseorang menggunakan kata kunci tunggal memberi lebih imajinasi. Sebuah gambar sentral banyak daya dan fleksibilitas karakan menarik, membuat tetap terena mind map. Setiap kata tunggal fokus, membantu berkonsentrasi, atau gambar adalah pengganda, dan mengaktifkan otak. menghasilkan sederet asosiasi dan c. Gunakan warna. Bagi otak warna hubungannya sendiri. Jika mengVol III, No 2, November 2010
131
Aplikasi Metode Mind Mapping Terhadap Daya Ingat Materi PAI Siswa
gunakan kata tunggal, setiap kata akan lebih bebas dan karenanya lebih bisa memicu ide dan pikiran baru. g. Gunakan gambar. Mengapa? Karena seperti gambar sentral, setiap gambar bermakna seribu kata. Jadi jika mempunyai gambar di dalam mind map sebanyak 10, maka sudah setara dengan 10.000 catatan. (Tony Buzan, op. cit., hlm. 15) Kiat-kiat untuk membuat mind mapping (peta pikiran) a. Di tengah kertas, buatlah lingkaran dari gagasan utamanya. b. Tambahkan sebuah cabang dari pusatnya untuk tiap-tiap poin kunci. Gunakan bolpoin warna-warni. c. Tuliskan kata kunci atau frase pada tiap cabang-cabang, kembangkan untuk menambahkan detail-detail. d. Tambahkan simbol dan ilustrasi. e. Gunakan huruf-huruf kapital. f. Tulislah gagasan-gagasan penting dengan huruf-huruf yang lebih besar. g. Hidupkan peta pikiran. h. Garis bawahi kata-kata itu dan gunakan huruf-huruf tebal. 132
i. Bersikap kreatif dan berani. j. Gunakan bentuk-bentuk acak untuk menunjukkan poin-poin atau gagasan-gagasan. (Bobbi Deporter, Mike Hernacki, op. cit., hlm. 157) 4. Tujuan, Manfaat, Keuntungan Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) a. Tujuan metode mind mapping (peta pikiran) 1. Peta pikiran mengajarkan cara mencatat yang sistematis dan mendorong aliran proses berfikir yang alami, yakni dengan menciptakan putaran umpan-balik yang positif antara otak dan catatan. Potensi otak menghasilkan gagasan sangat tidak terbatas. Kemampuan ini dapat dicapai secara maksimal jika membiarkan ide mengembara seperti air yang mengalir, bebas belum ada keinginan untuk menatanya. ( P. Pasaribu, T. Lukman, op. cit., hlm. 69) 2. Tujuan dari peta pikiran adalah menciptakan atau menangkap pikiran serta data yang dianggap penting sesuai dengan cara sendiri, sedangkan membuat catatan meruVol III, No 2, November 2010
M. Ilyasin
pakan kegiatan mengorganisasikan h. Untuk membantu prospikiran sendiri (kreatif, inovatif). es pengembangan diri. mencatat berarti meringkas pikiran (Hernowo : 2003, h. 124.) orang lain seperti yang diekspresikan dalam buku, artikel, ceramah c. Keuntungan metode mind mapdan lain sebagainya.( Ibid., hlm. ping (peta pikiran) 70). Catatan gaya tradisional biasanya menggunakan satu warna, sehingga seb. Manfaat metode mind mapping cara visual akan sangat membosankan. (peta pikiran) Sifat monoton yang dihasilkan catatan 1. Penggunaan pemetaan pikiran oleh catatan standar membuat otak hampir tak terbatas. Manfaat teknik akan menolak dan nyaris tidak mungini dapat dilihat dalam proses yang kin mengingat isinya. Memboroskan membutuhkan informasi atau pen- waktu pada gaya mencatat standar sergelolaan. Berikut ini adalah beber- ing dijumpai, di beberapa bagian misapa manfaat metode mind mapping alnya mendorong orang mencatat hal (peta pikiran): yang tidak perlu, mengharuskan orang a. Untuk menulis secara kreatif membaca catatan yang tidak perlu dan b. Untuk mengelola “jaringan mengharuskan orang lebih berkonpekerjaan�. sentrasi untuk mendapatkan kata-kata c. Untuk menuangkan ide secara bebas (brainstorming). d. Untuk menjadikan rapat-rapat lebih produktif. e. Untuk menyusun “daftar tugas� secara detail. f. Untuk melakukan presentasi secara komprehensif. g. Untuk melakukan pencatatan secara efektif. Vol III, No 2, November 2010
kunci. Kelemahan yang terakhir adalah gagal merangsang kreativitas otak. Membandingkan peta pikiran dengan sistem catatan tradisional, dapat diumpamakan membandingkan sinetron dengan buku yang penuh tulisan saja. Kelebihan peta pikiran dibanding catatan tradisional, antara lain: 1) Menghemat waktu karena mengurangi penulisan kata-kata yang 133
Aplikasi Metode Mind Mapping Terhadap Daya Ingat Materi PAI Siswa
tidak berkaitan, Mempercepat waktu membaca karena hanya membaca kata-kata kunci, Mempercepat waktu mereview, Konsentrasi terhadap informasi yang penting dan berkaitan, Menambahkan perhatian terhadap kata kunci, Meningkatkan kreativitas, Memotivasi otak karena berwarna, bergambar, dan berdimensi, Fleksibel, dalam arti memberikan ruang untuk penemuan atau penambahan ide-ide atau informasiinformasi yang baru, Menyelaraskan ritme otak dan bacaan pada gelombang yang sama. (P. Pasaribu, T. Lukman, op. cit., hlm. 72).
Sebab hal ini sangat menentukan ber2) hasil tidaknya seorang pelajar atau mahasiswa dalam belajar. Cukup banyak pelajar atau mahasiswa yang gagal da3) lam belajar, disebabkan tidak menge4) tahui sistem ingatan dirinya. (Syaiful Bahri Djamarah : 2002, h. 25)Â Ingatan 5) adalah kekuatan jiwa untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan6) kesan. Jadi ada 3 unsur dalam ingatan, 7) ialah: menerima kesan-kesan, menyimpan, memproduksikan. (H. Abu 8) Ahmadi : 1998, h. 70). Menurut Muhibbin Syah mengutip pendapat Bruno (1987), bahwa memori ialah proses mental yang me9) liputi pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi dan pengetahuan yang semuanya terpusat pada otak. (Muhibbin Syah : 1999, h. 67). Ingatan adalah mitra dalam mengembangkan semua ketrampilan. C. DAYA INGAT MATERI Kunci untuk belajar adalah mengubah PENDIDIKAN AGAMA pengalaman yang ada dan menyimpanISLAM (PAI) SISWA nya agar di kemudian hari, pengala1. Pengertian Daya Ingat Materi man tersebut dapat dipanggil kembali Pendidikan Agama Islam (PAI) demi kepentingan mengingat. (David Siswa Gamon, Allen d. Bragdon : 2004, h. Dalam rangka belajar perlu seka- 76) Menurut Sumadi Suryabrata, inli mengenali sistem ingatan diri sendiri. gatan dapat didefinisikan sebagai ke134
Vol III, No 2, November 2010
M. Ilyasin
cakapan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksikan kesan-kesan. (Sumadi Suryabrata : 1995, h. 44). Aristoteles berpendapat bahwa memory (ingatan) berada dalam hati manusia, sementara proses berpikir berada dalam kepala. Teori Plato menyatakan bahwa memory (ingatan) adalah seperti tabula rasa (lembaran kosong) telah bertahan sekian lama dalam sejarah. Plato mengatakan bahwa kesankesan (impuls) diukir diatas semacam lembaran zat tertentu, mirip seperti seorang seniman membentuk pola-pola dengan benda yang tajam.( Ingemar Svantesson, op. cit., hlm. 20). Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa daya ingat adalah kemampuan jiwa untuk mencamkan, menyimpan serta menyatakan kembali kesan-kesan baik berupa informasi maupun pengetahuan yang terpusat pada otak. Mengingat tidak sama dengan menghafal. Menurut Gordon H. Bower, Memory is the faculty of retaining and recalling past experience, or the ability to remember, and remember is defined as recalling an experience to mind or thinking of it again. (Gordon H. Bower : 1981, h. Vol III, No 2, November 2010
2). Menghafal adalah proses menyimpan data ke memori otak, kemampuan menghafal manusia sangat besar. Sedangkan daya ingat adalah kemampuan mengingat kembali data-data yang tersimpan di memori bila diperlukan. (Agus Nggermanto : 2001, h. 55-57) Jadi, “ingat� selangkah lebih jauh dari menghafal. Untuk mengingat materi yang telah dipelajari, siswa perlu merekamnya dengan kuat supaya meninggalkan kesan. Penguasaan terhadap materi yang dilakukan oleh siswa merupakan suatu hal yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan keberhasilannya dalam belajar. Materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa minimal sebagaimana tercantum dalam GBPP. (Hafni Ladjid : 2004, h. 128-129) Sebagai hasil dari adanya sistem intruksional tersebut terjadilah perubahan perilaku peserta didik ke arah yang lebih baik. Hasil belajar atau bentuk perilaku yang diharapkan itu, itu meliputi tiga aspek yaitu, pertama, aspek kognitif, meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan pengetahuan dan perkembangan keterampilan/ 135
Aplikasi Metode Mind Mapping Terhadap Daya Ingat Materi PAI Siswa
kemampuan yang diperlukan untuk jawaban. menggunakan pengetahuan tersebut, 2) Mengungkapkan/mengingat kedua, aspek afektif, meliputi perubakembali (recall), dalam hal ini han-perubahan dalam segi sikap dan siswa diminta untuk menginmental, perasaan dan kesadaran, dan gat kembali satu/lebih fakta. ketiga, aspek psikomotor, yang melipu(Suharsimi Arikunto : 2003), ti perubahan-perubahan dalam bentuk hlm. 3) tindakan motorik. (Zakiah Daradjat, b. Pemahaman dkk.,: 2001, h. 197) Pemahaman adalah kemamAspek kognitif terdiri atas enam puan seseorang untuk mengerti / tingkatan, disusun dari tingkatan terenmemahami sesuatu setelah itu dikedah hingga yang tertinggi yaitu: tahui dan diingat. (Anas Sudijono a. Pengetahuan : 2005, h. 8) Misalnya menjelaskan Istilah pengetahuan dimaksusunan dengan kalimatnya sendiri sudkan sebagai terjemahan dari sesuatu yang dibacanya/didengarkata knowledge, dalam Taksonomi nya memberi contoh lain dari yang Bloom artinya adalah tingkat ketelah dicontohkan. mampuan yang anya meminta re- c. Aplikasi sponden atau testee untuk mengeKemampuan atau keternal atau mengetahui adanya konampilan menggunakan abstraksisep, fakta, atau istilah-istilah tanpa abtraksi, kaidah-kaidah dan ketenharus mengerti, atau dapat menilai tuan yang terdapat dalam ajaran atau menggunakannya. (M. Ngalim Islam dalam situasi konkret yang Purwanto, : 2002, h. 47) dihadapinya sehari-hari Dalam bukunya Suharsimi d. Analisis Arikunto membagi pengetahuan menKemampuan menguraikan jadi 2, yaitu: sesuatu bahan ke dalam unsur1) Mengenal (recognition), daunsur sehingga ide-ide, pikiranlam hal ini siswa diminta untuk pikiran yang dinyatakan menjadi memilih satu dari 2 atau lebih eksplisit. 136
Vol III, No 2, November 2010
M. Ilyasin
e. Sintesis Sintesis adalah kemampuan berfikir yang mempunyai kebalikan dari proses berfikir analisis untuk suatu proses yang memadukan bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur/ berbentuk pola baru. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dengan soal sintesis ini siswa diminta untuk melakukan generalisasi. f. Evaluasi Evaluasi yaitu kemampuan untuk menilai, menimbang, dan melakukan pemilihan yang tepat atau mengambil suatu keputusan. (Nana Sudjana: 1999, h. 24) Dari semua keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa, daya ingat materi PAI adalah Kemampuan untuk menerima, menyimpan serta menyatakan kembali kesan yang berupa pengetahuan PAI yang mana hasil berupa aspek kognitif (pengetahuan, pemahaman). Â D. PENGARUH APLIKASI METODE MIND MAPPING (PETA PIKIRAN) Vol III, No 2, November 2010
TERHADAP DAYA INGAT MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SISWA Dalam proses pembelajaran PAI dibutuhkan kemampuan untuk mengorganisasikan informasi (materi PAI). Salah satu kemampuan yang harus dimiliki yaitu dalam bentuk catatan. Mencatat yang efektif adalah salah satu kemampuan terpenting yang pernah dipelajari orang. Mencatat adalah teknik mengingat dasar yang dapat memperbaiki daya ingat serta kemampuan memanggil kembali informasi sebanyak enam kali. Tujuan dari mencatat adalah mampu mendalami bahan pelajaran untuk meningkatkan memori. Pemetaan pikiran merupakan cara mencatat yang lebih efisien. Karena dalam teknik ini, menulis gagasan dalam bentuk kata kunci, langsung mulai menata bahan yang disampaikan, dan memberi kesempatan mencari kaitan dan asosiasi. Dalam membuat mind mapping lebih baik membiarkan diri terlibat dengan bahan saat menambahkan perasaan, gagasan, dan pemikiran sendiri. Mind map sangat membantu seseorang, karena mind 137
Aplikasi Metode Mind Mapping Terhadap Daya Ingat Materi PAI Siswa
map dengan menggunakan imajinasi dan asosiasi. Dalam belajar mind map juga sangat membantu mengingat informasi (materi PAI). Mind mapping didasarkankan pada teori-teori yang baru dibahas tentang cara dimana otak berfungsi untuk mengatur dan menyimpan informasi. Mind mapping merupakan contoh sangat baik tentang pendayagunaan teknik yang bisa membantu memahami konsep-konsep dan menghafalkan informasinya. (Edmund Bachman : 2005, h. 76) Pengalaman multi-indrawi membantu membentuk ingatan yang awet. Jadi, apabila ingin mengingat, sebaiknya ada pengalaman visual, auditori, dan fisik dalam suatu proses pembelajaran. Mind mapping ini bersifat multisensori. Karena mind mapping (peta pikiran) ini menggunakan kemampuan fisik (menulis), kemampuan visual (melihat), kemampuan auditori eksternal (mendengarkan), dan kemampuan auditori internal (bicara pada diri sendiri). Â E. KESIMPULAN Dari semua yang di paparkan 138
di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa metode mind mapping adalah suatu cara mencatat yang kreatif dengan menggunakan warna, gambar, simbol serta cabang yang melengkung sehingga dapat memudahkan mengingat banyak informasi demi tercapainya tujuan pengajaran. Adapun unsur-unsur dari metode mind mapping adalah fokus pusat yang berisi citra atau lambang gambar masalah atau informasi yang dipetakan, diletakkan di tengah halaman, gagasan dibiarkan mengalir bebas tanpa penilaian, kata-kata kunci digunakan untuk menyampaikan gagasan, hanya ada satu kata kunci ditulis perbaris, gagasan kata kunci dihubungkan ke fokus pusat dengan garis, warna digunakan untuk menerangi dan menekankan pentingnya sebuah gagasan. Tujuan dari mind mapping (peta pikiran) adalah menciptakan atau menangkap pikiran serta data yang dianggap penting sesuai dengan cara sendiri, sedangkan membuat catatan merupakan kegiatan mengorganisasikan pikiran sendiri (kreatif, inovatif). Mencatat berarti meringkas pikiran orang lain seperti yang diekspresikan dalam buku, Vol III, No 2, November 2010
M. Ilyasin
artikel, ceramah dan lain sebagainya. Manfaat dari metode mind mapping (peta pikiran) antara lain: untuk menulis secara kreatif, untuk mengelola “jaringan pekerjaan”, untuk menuangkan ide secara bebas (brainstorming), untuk menjadikan rapatrapat lebih produktif, untuk menyusun “daftar tugas” secara detail, untuk melakukan presentasi secara komprehensif, untuk melakukan pencatatan secara efektif, untuk membantu proses pengembangan diri. Kelebihan peta pikiran dibanding catatan tradisional, antara lain: menghemat waktu karena mengurangi penulisan kata-kata yang tidak berkaitan, mempercepat waktu membaca karena hanya membaca kata-kata kunci, mempercepat waktu mereview, konsentrasi terhadap informasi yang penting dan berkaitan, menambahkan perhatian terhadap kata kunci, meningkatkan kreativitas, memotivasi otak karena berwarna, bergambar, dan berdimensi, fleksibel, dalam arti memberikan ruang untuk penemuan atau penambahan ide-ide atau informasiinformasi yang baru, menyelaraskan ritme otak dan bacaan pada gelombang Vol III, No 2, November 2010
yang sama. Pemetaan pikiran merupakan cara mencatat yang lebih efisien. Karena dalam teknik ini, menulis gagasan dalam bentuk kata kunci, langsung mulai menata bahan yang disampaikan, dan memberi kesempatan mencari kaitan dan asosiasi. Dalam membuat mind mapping lebih baik membiarkan diri terlibat dengan bahan saat menambahkan perasaan, gagasan, dan pemikiran sendiri. Mind map sangat membantu seseorang, karena mind map dengan menggunakan imajinasi dan asosiasi. Dalam belajar mind map juga sangat membantu mengingat informasi (materi PAI). Wa’allahu ‘alamu bi al-Showab. ****
139
Aplikasi Metode Mind Mapping Terhadap Daya Ingat Materi PAI Siswa
DAFTAR PUSTAKA Al-Gulayaini, Mustafa, ‘Idhatun Nasyi’in, Beirut: Al Maktabah Al-Ashiriyah Lith Tabaa’ah Wannaisyr, 1953. Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Aziz , Shaleh Abdul, Abdul Aziz Abdul Majid, Tarbiyah waa turuqut tadris I, Mesir: Daarul Ma’arif, 1979. Bachman, Edmund, Metode Belajar Berfikir Kritis dan Inovatif, Jakarta: PT Prestasi Pustakarya, 2005. Blake, WM., “Konsep atau Pemetaan Pikiran untuk Belajar”, http://www.studgys.net/indon/mapping. Buzan, Tony, Buku Pintar Mind Map, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006. --------, Cara Cemerlang Menjadi Bintang Di tempat Kerja, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. --------, Mind Map untuk Meningkatkan Kreativitas, Jakarta: Gramedia 140
Pustaka, 2004. Daradjat, Zakiah, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2001. Fahmi, Musthafa, Sikulujiyyah at-taallum, Al-Fujalah: Dar Miss atTiba’ah, t.th. Gamon, David, Allen d. Bragdon, Cara Baru Mengasah Otak Dengan Asyik, Bandung: Kaifa, 2004 --------, Genius Learning strategy, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Hernowo, Quantum Reading: Cara Cepat Nan Bermanfaat Untuk Merangsang Munculnya Potensi Membaca, Bandung: MLC, 2003. Loekmono, J.T. Lobby, Belajar Bagaimana Belajar, Jakarta: Gunung Mulia, 1994. Porter, Bobbi De, Mike Hernacki, Quantum Businnes: Membiasakan, Berbisnis secara Etis dan Sehat, Bandung: Kaifa, 2003. --------, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Vol III, No 2, November 2010
M. Ilyasin
Bandung: Kaifa, 1999. Porter, Bobby De, Mark Reardon, Sarah Singer. Naurie, Quantum Teaching: Mempraktikan Quantum Learning diruang Kelas, Bandung: Kaifa, 2002. Rose, Colin, Malcolm J. Nicholl, Accelerted learning Cara Belajar Cepat Abad XXI, Bandung: Nuansa, 2002. Stine, Jean Marie, Double your Brain Power Meningkatkan Daya Ingat Anda Dengan Menggunakan Seluruh Otak Anda, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Sudjana, Nana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta: PT logos Wacana Ilmu, 1999. Toha, Chabib, PBM PAI Di Sekolah Eksistensi dan Proses BelajarMengajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Wycoff, Joyce, Menjadi Super Kreatif Melalui Metode pemetaan Pikiran, Bandung: Kaifa, 2004. Zein, Muhammad, Pengantar Ilmu
Vol III, No 2, November 2010
dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: AK Group dan Indra Buana, 1995.
141