Jurnal Manahij Edisi 2011-05

Page 1



Vol. IV No.1 Mei 2011

ISSN: 1979-0589

Jurnal Ilmiah

MANAHIJ Berfikir Kritis -Transformatif

Jurnal Ilmiah MANAHIJ diterbitkan secara berkala dalam 2 kali edisi setiap tahun (Edisi Mei & Edisi November) oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta (STAIS) Kab. Kutai Timur. Redaksi menerima kiriman tulisan berupa artikel, paper, dan sejumlah tulisan ilmiah lainnya. SUSUNAN REDAKSI JURNAL MANAHIJ STAIS KUTAI TIMUR Penanggung Jawab Editor Ahli

: Ketua STAIS Kutai Timur : Prof. Dr. Hj. Siti Muri’ah Prof. H. Arif Furqon, MA, Ph.D Dr. H.M. Ilyasin, M.Pd. Dr. Zurqoni, M.Ag Dr. Arif Rembang, M.Pd.

Mitra Bestari

: Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, MA Prof. Dr.H. Kamrani Buseri, MA

Pimpinan Redaksi Sekretaris Design Cover Lay Out Anggota Dewan Redaksi

: Mustatho’, M.Pd.I : Khusnul Wardan, M.Pd : Agus Sulisyanto, S.Pd.I : Moch Khoirul Faizin : Surono, M.S.I Mustajib Daroini, M.MPd. Hariyono, M.Si Imam Hanafie, MA

Bendahara

: Eko Cahyaningrum, S.E Siti Fatimah, SE

Sirkulasi

: Rohmat Edi Purnomo, S.Pd Ahmad Fahrudin, S.H.I Indriana Rahmawati, S.Ps.I

Alamat Redaksi: Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta (STAIS) Jl. APT. Pranoto No.1 Sangatta Utara Kutai Timur Indonesia Telp. (0549) 5505855 HP. 08195004122 Fax. 0549 23953 website: http://www.staiskutim.ac.id | email: manahij_staiskutim@yahoo.co.id

Vol IV No 1 Mei 2011

i


ii


Jurnal Ilmiah

MANAHIJ Berfikir Kritis -Transformatif

DAFTAR ISI DAFTAR ISI .................................................................................. iii PENGANTAR REDAKSI ............................................................. v PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN MULTIKULTURALISME; (Sumbangsih Agama Islam dalam Membingkai NKRI) Siti Muri`ah ...................................................................................................... 1 DEVELOPING CRITICAL READING SKILLS FOR INFORMATION AND ENJOYMENT Didi Sudrajat .................................................................................................... 19 ETIKA GURU DAN MURID DALAM INTERAKSI EDUKATIF PERSPEKTIF K.H. HASYIM ASY’ARI (Kajian Studi Kitab Adab Al-‘Alim Wa Al-Muta’alim) Eko Nursalim .................................................................................................. 31 MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATA KULIAH AGAMA ISLAM MAHASISWA MELALUI MODEL PENGAJARAN BERDASARKAN MASALAH Sri Abidah Suryaningsih ................................................................................ 43 PENGAJARAN BAHASA PADA USIA SEKOLAH: PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA Mohamad Muklis ............................................................................................ 61 MODEL ASESMEN PEMBELAJARAN DOSEN Zurqoni ............................................................................................................ 71 MENGURAI NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM LIRIK LAGU WALI BAND Imam Hanafie . ................................................................................................ 95

Vol IV No 1 Mei 2011

iii


PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, SUPERVISI PEMBELAJARAN, DAN PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH TERHADAP KINERJA SEKOLAH DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

Khusnul Wardan ............................................................................................. 117 PENDIDIKAN DI PESANTREN (Antara Mempertahankan Tradisi dan Kebutuhan Modernisasi) Khojir ............................................................................................................... 139 TENTANG PENULIS .................................................................. 155 PEDOMAN PENULISAN ........................................................... 161

iv


PENGANTAR REDAKSI Puji syukur Alhamdulillah kami haturkan atas terbitnya Jurnal Manahij Vol IV No 1 Mei 2011. Shalawat dan salam mudah-mudahan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Keluarga, Sahabat, pengikut dan orang-orang yang senantiasa menapak jejak para Nabi Allah sampai hari penutup kelak amin. Ucapan trimakasih kami sampaikan kepada segenap kolega yang telah membantu atas terbitnya jurnal Manahij Vol IV No 1 tahun 2011, tanpa dukungan dari semua pihak niscaya penerbitan Jurnal yang kita cintai ini akan mengalami kendala. Secara spesifik kami ucapkan trimakasih kepada Ketua STAIS kutai Timur, Prof.Dr. Hj.Siti Muri’ah yang tak henti-hentinya mensupport dan mengevaluasi perkembangan Jurnal ini, mengalokasikan dana dan semua kebijakan yang membantu iklim ilmiyah di Kampus STAIS Kutim salah satunya adalah melalui penerbitan jurnal manahij ini. Kepada para penulis kami haturkan penghargaan setinggi-tingginya, juga kepada seluruh jajaran team pengelola manahij yang telah bekerja keras mulai dari hunting data, editing, proses layout cover dan tulisan hingga penerbitan ini selesai, tanpa keringat kalian jurnal yang saat ini ada di tangan pembaca hanya menjadi wacana belaka. Mudah-mudahan jerih payah dan peluh kalian akan berbalas manis entah esok atau diakhir nanti,amin. Dalam Jurnal Manahij Vol IV No 1 Mei 2011 ini pembaca akan menemukan design tulisan (lay out) yang berbeda dari biasanya; pertama dari model dua kolom menjadi satu kolom penuh, kedua system rujukan in note menjadi foot note. Dengan perubahan design (lay out) dari dua kolom menjadi satu kolom diharapkan memberi kemudahan untuk membaca dan menikmati tulisan yang ada. Sementara alasan perubahan dari in note menjadi foot note diharapkan dengan foot note akan mempermudah pembaca mencari sumber utama (acuan) penulisan. Setelah dua perubahan ini, ke depan redaktur jurnal Manahij menggagas untuk merubah nama Jurnal dengan nama yang sesuai dengan content pendidikan dan visi jurusan tarbiyah yang menjadi induk pengelolaan jurnal ini. Jurnal Manahij Vol IV No 1 Mei 2011 ini menyajikan tulisan-tulisan terkait dengan dunia pendidikan, probematika dan pemikiran pendidikan dari para dosen, praktisi dan ilmuwan yang selalu hangat dan layak untuk dikaji. Pendidikan Agama Islam dan Multikulturalisme yang ditulis Siti Muri’ah ini menganalisis keterkaitan antara basis pendidikan multicultural yang dimiliki Islam dengan kebutuhan persatuan dan kesatuan NKRI. Etika Guru dan Murid Vol IV No 1 Mei 2011

v


dalam Interaksi Edukatif Prespektif K.H. Hasyim Asyari yang ditulis dosen muda STAIS Eko Nursalim menghadirkan metode dan macam-macam bentuk interaksi edukatif dalam belajar mengajar prespektif K.H. Hasyim Asy’ari. Tulisan-tulisan lain tidak kalah pentingnya hadir dari Khojir tentang pesantren, Khusnul Wardan tentang Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap Kinerja Sekolah. Zurqoni menulis tentang model assement pembelajara dose; dan lain seterusnya. Sebagai penutup kami sampaikan permohonan maaf atas semua kekurangan di sana-sini yang mungkin akan ditemukan di dalam jurnal ini, dan dengan kerendahan hati pengelola jurnal manahij sampaikan kepada pembaca “tiada gading yang tak retak”, wa akhiru da’wana kami ucapkan Selamat membaca!.

Salam Pimpinan Redaksi Manahij

vi


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN MULTIKULTURALISME; (Sumbangsih Agama Islam dalam Membingkai NKRI) Oleh : Siti Muri`ah

Abstrak The multicultural values for national unity has been proclaimed by the founding father of Indonesia; At the initial phase of Indonesia’s history, this nation has known the foundation of multiculturalism from thinking his characters. Like the egalitarian principle that first appeared in writing Abdul Rivai in 1902 in his duke of Mind, he introduced the term in lieu of noble mind bangswasan origin. From Soekarno bung term appears to call for others. Greeting word bung, which means you are an egalitarian form of greeting because it does not distinguish a hierarchy of social. Likewise in Islam, the history and teachings of Islam has taught multicultural in three aspects at once, first theological perspective, second historical perspective and third sociological perspective. Multicultural education paradigm owned Islam can be applied and corresponds with the principles of national education as set forth in Chapter III, article 4 of Law No. 20 of 2002 on national education system Kata Kunci: Multikultural, Pendidikan Islam dan NKRI

Vol IV No 1 Mei 2011

1


Pendidikan Agama Islam Dan Multikulturalisme;

Pendahuluan

Islam sebagai agama hadir ke dunia untuk mewujudkan kesejahteraan bagi umat manusia. Islam Membingkai kemanusiaan dengan persaudaraan dan kasih sayang kepada sesama dan lingkungannya (rahmatan lil’alamin). Tak pelak visi “rahmatan lil ‘alamin” ini membutuhkan tata atur dan sistem kelola kehidupan yang mengarah kepada terwujudnya komunitas masyarakat yang berperadaban dengan penghargaan kepada nilai kemanusiaan (bayariah), keislaman dan kenegara-bangsaan (wathaniyah). Islam dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semestinya tidak dipertentangkan secara diametric; sebaliknya Islam adalah agama yang mempunyai simpul-simpul nilai yang bisa menopang terhadap keberadaan nilai kultur dan kemajemukan (multicultural) yang ada di Indonesia. Demikian juga realitas kehidupan kenegaraan di Indonesia ini di atur dalam acuan dan norma syari’at Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada realitas kehidupan bangsa tercinta ini, yang memiliki slogan nasional yakni “Bhinneka Tunggal Ika” yang mendasari kehidupan bernegaranya dengan Pancasila. Pancasila dapat dinilai memiliki ruh keislaman di semua silanya; sila pertama dalam Pancasila yang menitik tekankan kepada keTuhanan Yang Maha Esa menjadi acuan utama sila-sila setelahnya yakni kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang berdimensi kebijaksanaan dan permusyarawaratan, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kendati demikian masih banyak ditemui adanya konflik yang menghambat cita-cita mulia yaitu mewujudkan demokrasi, serta hampir selalu menyinggung agama dan keragaman budaya. Bahkan kita kerap dihadapkan pada kenyataan banyaknya konflik dan ketegangan yang dipicu oleh sentimen keagamaan. Demikian juga keragaman kultural belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya. Alih-alih sebagai kekuatan pendorong dinamika kehidupan berbangsa, keragaman kultural justru menambah panjang daftar percekcokan di kalangan masyarakat akar rumput. Bila seluruh elemen masyarakat mampu mengelola dengan baik dengan cara menempatkan agama Islam secara benar dan memberikan apresiasi terhadap keragaman budaya, maka tidak mustahil demokrasi akan terwujud seiring dengan terciptanya stabilitas pertahanan dan keamanan bangsa. Keragaman budaya (multikulturalisme) dalam pandangan Islam adalah Sunnatullah yang bersifat mutlak (karena berasal dari Tuhan Yang Maha Esa). Dan dalam memberikan pemaknaannya, seyogyanya manusia menghindari sifat serakah untuk menguasai ‘kemutlakan’ tersebut. Karena dalam realitasnya, banyak pemberian pemaknaan keberagaman budaya ini dimaknai lain oleh manusia dengan tujuan yang ‘tidak suci’ sehingga berdampak pada perbedaan faham yang memunculkan perbenturan keyakinan. Tidak berhenti di sini saja, potensi konflik antara kebudayaan (yang tertanam pada manusia)

2


Siti Muri`ah

dengan moralitas cerminan dari agama (yang bersumber dari Tuhan YME) tidak terelakkan. Konflik eksistensial ini semakin serius bila ketegangan yang terjadi menyentuh hal-hal yang bersifat transcendent dan bertabrakan sesuatu yang immanent. Pada saat seperti inilah kekeringan nilai-nilai spiritual dan keislaman mulai diderita oleh umat manusia, sehingga diperlukan upaya untuk menyuburkan kembali nilai luhur dan ajaran Islam yang sebenarnya dalam kehidupan bernegra dan berbangsa kita.

Islam dan Multikulturalisme

Terma multikulturalisme adalah gabungan dari tiga kata sekaligus, yakni multy (banyak), cultur (budaya), isme (aliran/paham). Multikulturalisme secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya. Artinya, tidak ada pembedaan stereotype antara kebudayaan suku “primitif � dan peradaban masyarakat industri modern. Keduanya memiliki kesetaraan nilai, dan peran yang dalam mengabdikan kekhususan peran sosial-historis masing-masing (Parsudi Suparlan, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002). Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur sosial masyarakat yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Multikulturalisme juga, mau tidak mau harus menjelaskan hak persamaan dalam berbagai permasalahan masyarakat, melingkupi politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum (law enforcement) kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Multikulturalisme dalam praktek merupakan suatu strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan, bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial yang bisa melahirkan persatuan kuat, tetapi justru pengakuan tehadap adanya pluralitas (kebhinnekaan) budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang demokratis (Yana Syafrie YH, Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan, WASPADA Online, 22 Mei 2004 15:54 WIB). Dalam masyarakat plural, seperti di Indonesia multikulturalisme adalah hal niscaya yang harus melekat sebagai sebuah paham dalam diri masing-masing comunitas, -paham keberagaman dalam kesatuan ini akan mengeleminasi segala konflik. Pengalaman konflik yang cukup frekuwentif yang terjadi pada beberapa tempat dapat dijadikan tolok ukur bahwa negeri ini masih merangkak dalam memahami subtansi multikulturalisme. Vol IV No 1 Mei 2011

3


Pendidikan Agama Islam Dan Multikulturalisme;

Tema multikulturalisme ini semakin menarik lagi terlebih setelah adanya arus pikir yang berusaha mempertentangkan pesoalan multikultural vis a vis agama; khususnya dengan agama Islam. Diakui banyak pemikir bahwa sebenarnya, cita-cita agung multikulturalisme ini tidak bertentangan dengan agama Islam; meski basis teoretis masih tetap problematik. Bagi sebagian teolog muslim nilai-nilai multikulturalisme dianggap ekstra-religius sehingga mereka menolak konsep ini. Namun demikian belakangan telah muncul prakarsa yang dilakukan sejumlah pemikir Arab, seperti Mohammed Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu-Zaid, dan lain-lain, untuk merekonsiliasi antara tradisi dan agama. Meski gagasan-gagasan mereka mendapat tanggapan keras dari ulama-ulama konservatif. Di Indonesia sendiri banyak pemikir muslim yang terlibat aktif dalam dialog dan pemikiran aktif untuk memberi pengertian akan sinergitas Islam dengan multikulturalisme; mereka di antaranya adalah Mun’im A. Sirry (peneliti yayasan Paramadina Jakarta/Kompas, Kamis 1 Mei 2003) menyatakan bahwa dalam rangka membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan nonreligius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern ini. Abdolkarim Soroush, intelektual Muslim asal Iran, menegaskan bahwa umat beragama dihadapkan pada dua persoalan: local problems (problem-problem lokal) dan universal problems (problem-problem universal) yakni problem kemanusiaan secara keseluruhan. Menurut dia, saat ini, problem-problem seperti perdamaian, hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, telah menjadi problem global, dan harus diselesaikan pada level itu (Reason, Freedom & Democracy in Islam, 2000). Hanya dengan transformasi internal dan interaksi dengan gagasan-gagasan modern, agama akan mampu melakukan reformulasi sintesis kreatif terhadap tuntutan multikulturalisme yang telah menjadi semangat zaman. Dimensi multikulturalisme ini sebenarnya tersirat kuat dalam Islam dengan pernyataan bahwa Islam adalah penebar kasih sayang bagi seluruh alam

4


Siti Muri`ah

(rahmatan lil alamin). Pengejawantahan dari pernyataan tersebut tidak hanya dalam konteks teologis, tetapi sosial budaya. Islam, seperti yang tercermin dalam sikap Rasulullah SAW, sangat menghargai eksistensi pluralitas budaya dan agama. Salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya adalah puasa. Ia merupakan ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya. Dalam kajian yang sama, Mun’im Sirry melihat ada 3 (tiga) istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda, yakni pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Pada abad ke20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya, satu ideologi, satu partai politik, satu calon pemimpin, dianggap sebagai bentuk pemaksaan dari negara. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu Parekh (Gurpreet Mahajan, Democracy, Difference and Justice, 1998), baru sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Secara teoritis, inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Di sinilah konsep multikulturalisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda demokratisasi dan nondiskriminasi. Perhatian yang besar terhadap equalitas (persamaan) dan nondiskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan multikulturalisme dengan demokrasi. Bukankah sisi terpenting dari nilai demokrasi adalah keharusan memperlakukan berbagai kelompok atau individu yang berbeda tanpa diskriminasi ?. Secara historis, diketahui bahwa demokratisasi terjadi melalui perjuangan berbagai unsur masyarakat melawan sumber-sumber diskriminasi sosial. Manusia dilahirkan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama. Tidak ada diskriminasi Vol IV No 1 Mei 2011

5


Pendidikan Agama Islam Dan Multikulturalisme;

yang didasarkan pada kelas, jender, ras, atau minoritas agama dalam domain publik. Sebaliknya, setiap individu harus diperlakukan sebagai warga dengan hak-hak dan kewenangan yang sama. Sebagai alternatif atas penolakan terhadap diskriminasi, multikulturalisme memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk tradisi budaya, termasuk agama di dalamnya. Sinergitas Islam dan Multikulturalisme Lahirnya agama pada misi awalnya selalu memiliki dua nilai sekaligus, yakni nilai universal (spiritual) sekaligus segmental (multikultural). Artinya, kehadiran agama adalah wujud akomodosai lintas budaya tanpa ada pembedaan budaya, mengakui keragaman, lintas etnik dan tanpa mengagungkan etnik tertentu, maupun memuliakan jenis kelamin tertentu. Semua agama semestinya menjadi kebanggaan bersama umat manusia. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu nilai yang perlu dikembangkan adalah sikap inklusif untuk menghargai secara sejajar semua corak budaya. Di sinilah perlunya ditumbuhkan multikulturalisme keagamaan atau agama yang ramah budaya. Dalam kasus penyelenggaraan ritual keagamaan di Indonesia, misalnya puasa, hari raya Idul Fitri, dan Natal, hanya menghadirkan kegembiraan subyektif atau sektoral. Puasa dan Idul Fitri hanya menjadi kebanggaan umat Islam, Natal menjadi milik umat Nasrani, dan begitu seterusnya. Kenyataan ini merupakan akibat pemahaman keagamaan yang teosentris. Agama hanya dipahami sebagai persembahan untuk Tuhan yang diyakini memiliki wilayah dan personifikasi berbeda antar-agama. Pada titik ini Tuhan dibingkai sesuai dengan keyakinan masing-masing. Padahal Tuhan “memproklamirkan� dirinya sebagai penebar cinta kasih untuk semua umat manusia dalam keragaman budaya tanpa merendahkan satu budaya dan mengagungkan budaya lainnya. Dalam multikulturalisme tidak ada dominasi budaya mayoritas dan tirani budaya minoritas. Semuanya tumbuh bersama dan memiliki peluang yang sama untuk menggapai kesejahteraan bersama. Masing-masing budaya memiliki kesempatan yang sama untuk menampakkan eksistensinya tanpa diskriminasi. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pemberdayaan terhadap seluruh potensi yang ada dalam masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama maupun sosial budaya. Bila hal tersebut dikesampingkan, artinya agama hanya dijadikan sebagai sarana untuk menjustifikasi kepentingan pribadi sehingga terseraklah nilainilai universalitasnya yang berakibat tumbuh-suburnya diskriminasi di segala lini kehidupan. Maka saat itulah kekacauan akan terjadi, bahkan akan muncul banyak pihak yang menyalahgunakan wewenang agama yang semula sebagai norma yang mengatur kehidupan manusia agar hidup rukun, tentram dan damai, menjadi sebaliknya yaitu sebagai alat utama memecah belah umat, me-

6


Siti Muri`ah

nyalahkan orang lain yang tidak sependapat bahkan akan memberhanguskan pihak yang dianggap sebagai lawannya.

Basis Paradigmatik Pendidikan Multikultural dalam Islam

Multikulturalisme yang bermakna penghargaan dan pengakuan terhadap budaya lain, di dalam Islam dapat dibenarkan keberadaannya. Multikulturalisme dalam Islam dapat dirujukkan minimal dalam tiga kategori, yakni petama prespektif teologis, kedua prespektif historis dan ketiga prespektif sosiologis. Multikultural dalam prespektif teologis Islam dapat ditemukan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui bahwa kemajemukan yang ada di dunia ini adalah sebuah kenyataan yang sudah menjadi sunnatullah (ketentuan Allah). Di dalam al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 Allah menyebutnya bahwa kemajemukan adalah kehendakknya, sebagai arti ayat ini “Wahai manusia, sungguh telah Allah ciptakan kalian dari seorang lelaki dan perempuan, dan menjadikan kalian dari berbagai bangsa dan suku agar kalian saling mengenal….” Abdullah Yusuf Ali dalam buku tafsirnya The Holy Qur’an: Translate and Commentary memberikan komentar bahwa ayat ini tidaklah ditujukan untuk persaudaraan muslim saja, tetapi kepada seluruh umat manusia, karena hakekat keduanya sama. Dari ayat 13 surat al-Hujurat di atas, sangat tegas bahwa Islam pada dasarnya menganggap sama pada setiap manusia, yakni tercipta dan dilahirkan dari sepasang orang tua mereka (laki-laki dan perempuan), kemudian keterlahiran ini sendiri mempunyai tujuan untuk saling mengenal dan memahami karakter masing-masing kelompok seatelah manusia ini menjadi kelompok yang berbeda. Dalam surat lain, Q.S. al-Rum ayat 22 Allah berfirman yang artinya “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. Ayat ini menerangkan bahwa perbedaan warna kulit, bahasa, dan budaya harus diterima sebagai sesuatu yang positif dan merupakan tanda-tanda dari kebesaran Allah swt. Untuk itu sikap yang diperlukan bagi seorang muslim dalam merepon kemajemukan dan perbedaan adalah dengan memandangnya secara positif dan optimis, bahwa kemajemukan yang ada justru akan memperkokoh dan memperindah sisi kemanusiaan. Dengannya seorang muslim akan mampu bertindak dengan bijak dan selalu termotivasi untuk berbuat baik. Secara semiotik, ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang toleransi juga merupakan fondasi umat Islam dalam menatap keberagaman, baik kultur, ras, etnik ataupun agama. Q. S. al-Kafirun ayat 5 yang artinya “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Surat berisi tentang prinsip untuk saling menghargai antar pemeluk agama. Mengingat tingginya arti toleransi ini, al-Qur’an Vol IV No 1 Mei 2011

7


Pendidikan Agama Islam Dan Multikulturalisme;

justru memfasilitasi, bukannya mengebiri terhadap keberadaan orang yang beragama lain. Toleransi sendiri adalah nilai yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Terlebih di Indonesia, yang memiliki komposisi masyarakat yang sangat heterogen, terdiri dari berbagai suku, agama dan ras yang berbeda (M. Quraisy Shihab, Jakarta: Lentera Hati, 2002). Multikulturalisme prespektif historis dalam Islam, dapat dirujuk langsung dari sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinahnya. Piagam Madinah adalah konsesi atas Hijrahnya Nabi Muhammad saw pada tahun 622 Masehi yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah. Sebelum hijrah, Nabi memulainya dengan membuat Perjanjian Aqabah (bai’at al-‘aqabah). Baiat adalah transaksi, seperti jual beli. Artinya, dalam perjanjian ada transaksi seperti akad dalam perdagangan, berkompromi sampai pada yang disepakati. Dalam Perjanjian Aqabah pada tahun 621 M ini disebutkan bahwa orang-orang Madinah akan bersedia menerima Nabi dan para sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah dengan jaminan Nabi bisa dipercaya menjadi rekonsiliator untuk menegakkan konflik kesukuan (tribal) yang tidak ada di Madinah saat itu. Konsep Islam terhadap orang-orang yang terikat dalam perjanjian tersebut disebut sebagai ”umat”. Umat adalah siapapun yang ikut dalam semua kesepakatan atau perjanjian Piagam Madinah, termasuk di dalamnya adalah Nabi. Siapapun yang diserang akan dibela dan siapapun yang berkhianat akan diserang. Karena itu, pada zaman Nabi tidak ada yang menyerang kecuali dia berkhianat. Piagam Madinah disusun dalam posisi yang sama, hidup, kehormatan dan kehendak mencapai kebahagiaan menjadi jaminan dalam piagam tersebut (Yudi Latif, MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta, 23 Mei 2007). Prespektif ketiga adalah prespektif sosiologis intern umat Islam sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam praktek keberagamaan umat Islam di seantero dunia Islam. Secara internal umat Islam memeliki keanekaragaman madzhab fiqih, tasawuf dan kalam. Dalam bidang fiqih umat Islam Indonesia mengenal adanya madzhab lima, dari Imam Syafii dengan qaul jadid dan qadimnya, Imam Hanafi, Hambali, Abu Hanifah dan Imam Ja’far. Begitu juga dalam ilmu kalam, Imam al-Asy’ari, dan Maturidy disebut sebagai penggagas Ahlussunnah (Sunni), Wasil bin Atho’ dengan mu’tazilahnya, khawarij, murjiah juga ada Syi’ah dan para pendukung Imam Ali dibelakangnya. Kemajemukan internal umat Islam juga ditemukan dalam praktek pengelompokan sosial, politik kepartaian serta model pendidikannya. Dinasti dan kekhalifahan yang pernah ada dalam sejarah Islam seperti Dinasti Mughal, Fathimiyah, Abasiah dan terakhir dinasti Turki Usmani adalah contoh konkret tentang keragaman yang ada dalam Islam. Dari sudut multikulturalisme internal ini, pluralisme identitas cultural keagamaan bagi masyarakat muslim,

8


Siti Muri`ah

bukanlah menjadi sekedar fakta, lebih dari itu, multikulturalisme telah menjadi semangat, sikap hidup dan pendekatan dalam menjalani kehidupan dengan orang lain. Sejarah dan ajaran Islam yang mengajarkan multikultalisme ini semestinya dapat diteruskan menjadi basis penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, tidak hanya bagi lembaga pendidikan Islam tetapi bagi penyelenggaraan pendidikan secara keseluruahan; terlebih dengan nilai penting multicultural ini persatuan dan kesatuan bangsa dapat ditegakkan. Setidaknya paradigma pendidikan multicultural yang dimiliki Islam dapat diaplikasikan dan berkesesuaian dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Bab III pasal 4 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2002 tentang system pendidikan nasional; terutama pada ayat (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural dan kemajemukan bangsa; ayat (2) pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multimakna; dan ayat (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Urgensi Multikulturalisme bagi Persatuan Bangsa

Dalam kehidupan bernegara, konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya, satu ideologi, satu partai politik, satu calon pemimpin, dianggap sebagai bentuk pemaksaan dari negara. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu Parekh (Gurpreet Mahajan, Democracy, Difference and Justice, 1998), baru sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Secara teoritis, inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja Vol IV No 1 Mei 2011

9


Pendidikan Agama Islam Dan Multikulturalisme;

tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Di sinilah konsep multikulturalisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda demokratisasi dan nondiskriminasi. Perhatian yang besar terhadap equalitas (persamaan) dan nondiskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan multikulturalisme dengan demokrasi. Bukankah sisi terpenting dari nilai demokrasi adalah keharusan memperlakukan berbagai kelompok atau individu yang berbeda tanpa diskriminasi ?. Secara historis, diketahui bahwa demokratisasi terjadi melalui perjuangan berbagai unsur masyarakat melawan sumber-sumber diskriminasi sosial. Manusia dilahirkan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama. Tidak ada diskriminasi yang didasarkan pada kelas, jender, ras, atau minoritas agama dalam domain publik. Sebaliknya, setiap individu harus diperlakukan sebagai warga dengan hak-hak dan kewenangan yang sama. Sebagai alternatif atas penolakan terhadap diskriminasi, multikulturalisme memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk tradisi budaya, termasuk agama. Nilai urgent multicultural bagi persatuan bangsa jauh-jauh hari telah diproklamirkan oleh para founding father bangsa Indonesia; Pada fase awal sejarah Indonesia, bangsa ini telah mengenal fondasi multikulturalisme dari pemikiran beberapa tokohnya. Seperti prinsip egalitarian yang muncul pertama kali melalui tulisan Abdul Rivai pada tahun 1902 dalam karyanya Bangsawan Pikiran, ia memperkenalkan istilah bangsawan pikiran sebagai pengganti dari bangswasan asal. Dengan memperkenalkan istilah bangsawan pikiran untuk menggeser bangsawan asal, kalangan inteligensia modern ingin mendobrak konstruksi sosial yang timpang dan previledge status keningratan bangsawan asal di atas kelompok lain, untuk digantikan dengan bangsawan fikiran yang mengutamakan prestasi dan kesetaraan (Yudi Latif, 2005). Mulai dari sinilah imaji keindonesiaan dibangun di atas fondasi kesetaraan dari tiap-tiap orang yang memperjuangkannya, dimana penghargaan terhadap tiap-tiap orang diberikan atas dasar pencapaian prestasi dan komitmen kepada rakyat bukan atas dasar status keningratan maupun perbedaan etnis ataupun dominasi agama tertentu. Perubahan mentalitas dari pengagungan pada bangsawan asal menuju bangsawan pikiran membawa kalangan intelegensia modern Indonesia pada orientasi cita-cita kemadjoean. Fenomena ini adalah perubahan revolusioner sebagai batu pijakan awal untuk membangun masyarakat terbuka, setara dan pluralistik. Semenjak saat itulah pergerakan nasional moderen dimulai pertama-tama sebagai upaya menghancurkan sekat-sekat hierarkhi masyarakat tribus yang menempatkan perbedaan asal-asul keturunan dan tatanan aristokrasi dalam posisi adiluhung. Respek terhadap keragaman atas dasar penghargaan terhadap nilai ke-

10


Siti Muri`ah

setaraan menjadi langkah awal membangun model nasionalisme inklusif dan berkeadaban sekaligus membongkar sekat-sekat ketimpangan social diantara kelompok-kelompok sosial di masyarakat. Perjuangan mewujudkan karakter kebangsaan yang bercirikan inklusifegalitarian ini menapak lebih jauh seiring dengan kemerdekaan Republik Indonesia. Lepasnya bangsa Indonesia dari rantai penjajahan diikuti dengan semangat kolektif bangsa untuk menghapuskan segala diskriminasi sosial yang diciptakan oleh formasi kolonialisme. Pada saat itu suatu simbol revolusioner baru yang mengandung semangat kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan muncul dalam istilah panggilan bung yang diperkenalkan oleh Soekarno. Kata sapaan bung yang berarti saudara dapat dibandingkan dengan kata citizen (rakyat) atau kamerad (kawan) dalam bahasa Rusia. Sebutan bung bagi kaum muda adalah bentuk sapaan egaliter karena tidak membedakan hierarkhi strata sosial. Kandungan makna yang muncul didalamnya--sesuai dengan konteks gelombang pasang api revolusi di Indonesia paska kemerdekaan--dapat diartikan sebagai “saudara revolusioner� atau “saudara nasionalis Indonesia�. Dalam istilah tersebut segenap strata sosial kaya, miskin, tua, muda dipersatukan dalam solidaritas sosial dan kesetaraan status bersama sebagai bangsa Indonesia (Kahin, 1995). Titik kulminasi dari perjuangan kaum intelegensia nasional Indonesia untuk membangun fundamen bagi karakter bangsa kemudian tercapai dengan terumuskan nilai-nilai esensial kenegaraan Pancasila. Sejak awal perumusannya kalangan intelegensia dan pemimpin Indonesia seperti Bung Karno telah merumuskan Pancasila sebagai bentuk kesepakatan diantara kekuatankekuatan politik yang ada untuk membangun konsensus bersama diantara setiap identitas-identitas kebangsaan. Penghapusan tujuh kata yang tertera di dalam Piagam Jakarta (menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya) adalah visi multicultural dari founding father bangsa untuk membangun sebuah cita-cita kebangsaan yang inklusif dan menjadikan Indonesia sebagai rumah kebangsaan bagi seluruh warga negaranya (Bernard Dahm,1987).

Penutup; Merajut Kebersamaan Menuju Keutuhan Bangsa

Sebagai langkah yang bijak dalam menyikapi adanya beragam problem yang mengancam pecahnya persaudaraan bangsa yang masyarakatnya majmuk, adalah mencari solusi untuk keluar dari jeratan persoalan tersebut. Berikut ini beberapa tawaran untuk merajut kembali tali persatuan yang terurai akibat perbedaan pandangan yang bersumber dari keanekaragaman agama, sosial-budaya, etnis dan lainnya. Untuk membangun kembali semangat persatuan dan kesatuan bangsa ini diperlukan : 1. Perlunya gerakan inklusifitas yang didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif, gerakan inklusif umat diyakini sebagai penopang bagi terciptanya Vol IV No 1 Mei 2011

11


Pendidikan Agama Islam Dan Multikulturalisme;

harmonisasi sosial masyarakat di era multikultural. Karena bagaimanapun, multikulturalisme adalah suatu kenyataan historis di dalam masyarakat yang harus disikapi secara baik. Di sinilah eksklusivitas beragama yang diyakini secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan ideologis untuk menyampaikan pesan perdamaian. Kedua, secara praksis, praktik kehidupan beragama yang masih mendikotomikan klaim kebenaran dan keselamatan di dalam masing-masing umat agama mesti dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama dengan agama lainnya. Bukankah, problem pluralisme kerap kali disebabkan oleh fanatisme kebenaran agama yang menimbulkan sikapsikap radikal. Karena itulah, upaya-upaya konkret untuk membangun toleransi antarumat beragama mesti terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang berkelanjutan. Dengan demikian, secara wacana dan praksis gerakan, sikap umat agama tidak sampai pada kesadaran dan gerakan radikal. Pembokaran (dekonstruksi) kesadaran eksklusif, militan, dan radikal adalah langkah awal untuk menjamin masa depan pluralisme. Pada gilirannya, pembangunan kembali (rekonstruksi) kesadaran agama yang toleran, inklusif, dan pluralis adalah langkah terakhir untuk menyampaikan pesan perdamaian agamaagama di tengah-tengah masyarakat multikultural. Inilah kondisi yang diinginkan dalam menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik di tengah-tengah ancaman terorisme dan kekerasan. 2. Mengadakan pendidikan Pluralisme dan Multikulturalisme di sekolahsekolah, untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang keragaman keberagamaan dan hanya melalui pendidikanlah orang bisa mengubah mindset-nya. Usulan pendidikan pluralisme ini juga berasal dari sambutan M. Syafi’i Anwar di Regional Conference yang diselenggarakan ICIP bekerja sama dengan Uni Eropa pada 25-28 November 2004 serta sejalan dengan Deklarasi Bali tentang Membangun Kerukunan Antar-agama dalam Komunitas Internasional dari 174 tokoh Asia-Eropa yang mengikuti dialog antar-agama 21 Juli 2005. Dalam deklarasi itu diusulkan antara lain membuat kurikulum di sekolah lanjutan mengenai studi antar-agama, yang dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman dan saling menghormati antarpemeluk agama yang berbeda-beda. Untuk membicarakan level teologi akan lebih baik jika sudah masuk SMA atau perguruan tinggi. Yang terutama diajarkan adalah sejarah agama- agama. Bila orang sudah tahu tentang sejarah agama-agama niscaya tidak akan pernah menjadi radikal. Sehingga ketika menjalankan dakwah agamanya selalu melihat sejarah. Misalnya, dakwah Wali Songo yang terbukti dalam sejarah berhasil menyebarkan Islam melalui kultural serta beradaptasi dengan kultur local, kepercayaan-kepercayaan dan kebijaksanaan local (local

12


Siti Muri`ah

wisdom) harusnya menjadi contoh. Bagaimana Sunan Kalijaga memasukkan unsur Islam dalam cerita pewayangan. Tentu itu harus bisa dijadikan pengalaman berharga dalam melakukan dakwah. Karena itulah, kalau kemudian Islam menjadi mayoritas, tidak selayaknya mereka menilai rendah kepada minoritas. Demikian pula dengan agama-agama lainnya. 3. Memahami Tafsir Multikultural. Seharusnya Agama dipahami sebagai formulasi idealisasi (firman) Tuhan tentang kehidupan. Deskripsi (tafsir) budaya terhadap firman Tuhan tersebut telah melahirkan warna-warni agama sesuai dengan keragaman budaya. Inilah tafsir multikultural agama yang lahir dari perbedaan sudut pandang budaya. Oleh sebab itu, tidak ada alasan sedikit pun untuk menegasikan satu bentuk agama karena dianggap minoritas atau mengagungkan agama lain karena dianut oleh mayoritas, karena masing-masing berangkat dari satu nilai yang sama, yaitu firman Tuhan. Dalam konteks budaya, maka tidak ada satu pun budaya yang berhak mengeliminasi budaya lain, karena di dalamnya terkandung satu nilai yang sama, yaitu nilai kemanusiaan. Problem multikulturalisme dalam konteks agama terkendala tidak saja oleh keberadaan agama lain, tetapi juga di dalam agama itu sendiri. Hal ini biasanya bermula dari model penafsiran terhadap firman Tuhan secara ekstrem. Secara umum pola tafsir atas firman Tuhan cenderung “terjebak� pada model yang diametral, yaitu antara tafsir tekstual dengan tafsir kontekstual atau antara tafsir formal dengan tafsir substansial. Antara wahyu sebagai realitas yang statis dan wahyu sebagai realitas progresif. Penafsiran pertama lebih mengedepankan faktor personal-emosional, yaitu agama sebagai milik kelompoknya saja, sementara penafsiran kedua (kontekstual dan substansial) mengedepankan faktor sosial-rasional. Dua sisi ini sebenarnya bukan hal yang terpisah. Dalam kacamata multikulturalisme, kedua model penafsiran tersebut mendapat jawaban sintesis dalam konteks pengamalan menjalani ritualitas keagamaan seperti puasa yang tidak hanya menjadi tradisi agama tertentu, tetapi menjadi ruh yang berlaku bagi seluruh agama dengan ajaran yang berbeda (QS 2:183). Muatan ayat tersebut setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, legitimasi teologis (tekstual). Yaitu bahwa puasa merupakan ajaran Tuhan yang diturunkan untuk peningkatan kualitas diri. Kedua, legitimasi budaya (kontekstual). Yaitu bahwa puasa merupakan nilai luhur yang sudah membudaya dalam masyarakat sebelum Islam yang perlu terus dilestarikan. Adanya legitimasi teologis dan budaya akan menyebabkan puasa berdampak pada wilayah sosial sekaligus spiritual. Dua sisi yang sering dipahami secara dikotomis dan tersegmentasi oleh sebagian umat Islam. 4. Memberikan pemahaman adanya nilai universal dalam agama. Multikulturalisme mengandaikan adanya kesadaran internal yang inklusif Vol IV No 1 Mei 2011

13


Pendidikan Agama Islam Dan Multikulturalisme;

dan mengejawantah dalam perilaku sosial. Ritual agama, idealnya mengantarkan para pelakunya menemukan kesadaran hati nurani yang bersifat universal sehingga memiliki daya pandang egaliter terhadap sesama. Sebuah kesadaran yang mengikat kecerdasan emosi seorang hamba dengan Tuhannya dan menjadi landasan bagi terbangunnya kecerdasan relasirasional antar-sesama, serta refleksi-esoteris dan kesadaran-eksoteris yang tumbuh sebagai manifestasi dari proses internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Inilah sebuah proses yang oleh filosof Denmark Soren Kierkegaard (18131855) disebut sebagai proses dari aesthetic stage menuju religious stage. Ibadah itu bukan sekadar firman (perintah) yang bersifat personal, tetapi juga amal (aktualisasi) yang bersifat sosial. Misalnya pada konteks puasa selain menjadi tradisi agama-agama yang memiliki makna universal juga harus dijadikan energi positif bagi menguatnya pemahaman multikultural yang disemangati oleh nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyah) dan kemanusiaan (insaniyah). Transformasi spiritual dan semangat multikultural yang dicapai lewat puasa idealnya bisa dinikmati dan dirasakan oleh seluruh umat manusia tanpa terjebak oleh sekat-sekat budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun teologis, apalagi politis. Dalam rangka itu, maka pemahaman terhadap agama- agama harus dilakukan dalam konteks kesamaan misi universal kemanusiaan. Universalitas ini tidak akan mematikan potensi-potensi khas yang ada dalam agama maupun budaya yang beragam. Justru potensi-potensi tersebut bisa tumbuh bersama dalam keragaman (multikultural). Dan ini hanya akan terselenggara apabila ada komitmen dan kesungguhan semua komunitas atau jamaah budaya dan agama baik sebagai mayoritas maupun minoritas untuk bersikap inklusif dan toleran secara setara untuk kepentingan bersama. Dengan demikian, agama bisa tampil sebagai milik semua untuk bersama. 5. Menemukan landasan strategis dalam ajaran agama. Islam sebagai sebuah risalah profetik dan ajaran ketuhanan yang realistis, secara doktrinal memandang perbedaan dan pluralitas sebagai sunnatullah. Oleh karenanya, Islam menyuruh pemeluknya untuk menjalin hidup secara rukun, toleran, serta saling menghargai dengan semua kelompok masyarakat yang ada tanpa harus membedakan ras, suku, warna kulit, dan agama atau keyakinan apapun (QS. al-Hujurat: 13), melarang berprasangka buruk terhadap orang lain (QS. al-Hujurat: 12), memerintahkan manusia untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa (QS. al-Maidah: 2), melarang perbuatan zalim serta mengedepankan pemberian maaf (QS. asy-Syura: 40), serta memerintahkan untuk lemah lembut terhadap orang lain (QS. Ali Imran: 139). Ilham Mundzir (aktivis UIN Jakarta) menyatakan bahwa Islam bukan saja sudah memiliki wawasan multikultural dan kemajemukan secara

14


Siti Muri`ah

doktrinal an sich sebagaimana terlihat dalam ayat-ayat al Qur’an di atas, melainkan juga mempunyai modal nyata pada tataran praksisnya. Kemajemukan Islam ini terlihat jelas dari banyaknya aliran, firqah baik dari sisi fiqh, teologi, politik, tasawuf, maupun politik. Dalam bidang fiqih, misalnya, dijumpai adanya perbagai corak mazhab seperti Syafi’iyah, Malikiyah, Dhahiriyah, Syi’ah, Hanafiyah, dll. Dalam bidang teologi, ditemukan adanya sekte Khawarij, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Syi’ah. Tak hanya itu, di bidang tasawuf dan politik pun juga terdapat banyak aliran pemikiran yang sangat beragam. Walhasil, Islam sudah memiliki modal teoritis dan praktis berkenaan dengan multikulturalisme dan pluralisme, ini yang pertama. Kedua, pada saat yang bersamaan, perkembangan mutakhir yang terjadi dalam masyarakat modern (Barat) juga memungkinkan terwujudnya tatanan dunia yang lebih harmonis. Tetapi, pada aspek kedua ini tentu saja mensyaratkan adanya komitmen, ketulusan dan kejujuran dari pihak Barat untuk mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia, dan persamaan harkat antar sesama manusia secara paripurna, perlu melakukan introspeksi dan kritik diri atas pelbagai sikap, karakter arogansinya. Sehingga, bila Barat masih memakai standar ganda, dan inkonsisten terhadap nilai-nilai itu, maka harapan terwujudnya tatanan global yang adil menjadi impian kosong belaka. 6. Menghindari benturan peradaban ketika terjadi relasi Islam dengan Barat. Untuk menghindari terjadinya benturan peradaban diperlukan adanya dialog dan komunikasi antarperadaban guna memutuskan mata rantai kecurigaan, permusuhan dan pertentangan antara kedua pihak. Upaya dialog ini, menurut Ali Asghar Engineer, merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan pemahaman yang lebih baik di antara pihak-pihak yang bertikai. Seperti halnya penyebaran informasi yang salah melalui, berbagai macam cara yang rentan menimbulkan kesalahpahaman dan konflik, dialog juga bisa menjadi wahana yang efektif menghasilkan kesepahaman. Dialog ini dapat dilakukan oleh semua kalangan mulai dari para intelektual, para agamawan, serta masyarakat dari semua penganut agama (Islam Masa Kini, 2004). Dialog di tingkat intelektual, akan menganalisa lebih jauh mengenai peristiwa-peristiwa dan memahami kekuatan utama yang mendorong munculnya konflik. Di sini, para intelektual juga berupaya mencari strategistrategi yang dapat menciptakan suasana harmonis antar-keagamaan dan antar-budaya. Para orientalis Barat dituntut untuk lebih obyektif dan jujur dalam melihat Islam, dan pada saat yang sama para intelektual Muslim juga tidak boleh mengobarkan api kebencian terhadap masyarakat Barat. Di tingkat keagamaan, para agamawan harus berperan aktif menggali, Vol IV No 1 Mei 2011

15


Pendidikan Agama Islam Dan Multikulturalisme;

mengeksplorasi akar-akar teologi pluralisme, persaudaraan sejati dalam ajaran teologinya masing-masing. Sebagai misal, paham Hindu menekankan anti kekerasan, dan Budha menekankan pada ajaran kasih. Agama Kristen menekankan pada cinta, sedangkan Islam senantiasa menekankan pada keadilan dan persamaan. Dari sini kita melihat bahwa kesemua nilainilai tersebut saling melengkapi satu sama lainnya. Terakhir, partisipasi setiap masyarakat agama untuk saling menghormati, menghargai perbedaan agama dan budaya sangat dibutuhkan, terutama untuk senantiasa mewaspadai kemungkinan munculnya provokasi dari pihak-pihak yang menginginkan adanya pertikaian, ketidakharmonisan antar-agama dan antar-budaya. Hanya dengan sikap seperti itulah kiranya semua umat dapat hidup di dunia ini secara damai dalam bingkai pluralisme dan multikulturalisme.

16


DAFTAR PUSTAKA

Hara, A. Eby, Pengalaman Multikulturalisme di Berbagai Negara, dalam “AlWasathiyyah”, Vol I, februari 2006. Hilmy, Masdar, Melembagakan Dialog, (Antar Teks) Agama, Kompas, Jakarta, 5 April 2002. Kahin, George Mc Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Sinar Harapan dan UNS Press, 1995. Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: genealogi Inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005. ------------------, Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah, dalam “Islam, HAM, dan Keindonesiaan, Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama”, MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta, 23 Mei 2007 Liliweri, Alo, Gatra Gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, Pustaka pelajar,2001. Makmun, Abin Syamsuddin, Psikologi Kependidikan, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2001. Ma’arif, Syamsul, Islam Dan Pendidikan Pluralisme, (Menampilkan Wajah Islam Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan), makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam Di Lembang Bandung Tanggal 26-30 November Tahun 2006 Shihab, M. Quraisy, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 15 Vol., Jakarta: Lentera Hati, 2002. Suparlan, Parsudi, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, Simposium Internasional Bali, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002. YH, Yana Syafrie, Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan, WASPADA Online, 22 Mei 2004 15:54 WIB.

Vol IV No 1 Mei 2011

17


18


DEVELOPING CRITICAL READING SKILLS FOR INFORMATION AND ENJOYMENT Oleh: Didi Sudrajat

Abstract: Membaca secara kritis telah menjadi isu dalam pengajaran membaca di seluruh sekolahan di Indonesia. Tujuan utama dari membaca kritis adalah untuk mencapai pemahaman dengan menggunakan berbagai teknik membaca. Masalah pemahaman terhadap bacaan, bagaimanapun adalah sulit untuk ditangani dan lembaga memerlukan set pengajaran melalui prinsipprinsip dalam perencanaan yang komprehensif. Masalah utama dari membaca kritis adalah meminta siswa untuk terlibat dalam perilaku membaca yang sesuai dengan tujuan membaca. Makalah ini menyajikan sedikit tinjauan literatur dalam mengajar membaca pada umumnya, memberikan teori pemahaman tentang membaca, membaca proses, dan mengembangkan teknik membaca kritis. Keywords: critical reading, comprehension, schemata.

An Introduction When we read a passage, there is usually a reason for doing so. In real life, the reasons vary. However, Grellet (1984) classifies them into two main reasons for reading, namely reading for information and reading for enjoyment. Primarily, reading is a means of communicating information between the writer and the reader. The reader tries to understand ideas that the writer Vol IV No 1 Mei 2011

19


Developing Critical Reading Skills For Information And Enjoyment

has put in printing. Reading may involve decoding and comprehension process. Decoding process refers to the process of saying printed words into representation similar to oral language either silently or aloud. In addition, comprehension is the process of understanding the representation (Budiharso, 2006). Referring to above statement, reading can be done aloud or silently. It may be considered to be reading aloud when the reader enunciates the sounds which are symbolized by the written marks on the script in his hand. While in silent reading, the reader will derive meaning from the word communications in the text without necessarily vocalizing what he is reading. For the purpose of comprehending the text, silent reading has to be occurred. This is based on Dwyer (1983) that: Reading aloud forces the student to focus on each word (not look at words as a whole lor comprehension) and make him struggle to pronounce correctly and deliver expressively what he is reading loudly. These may make the students lose all sense of the meaning of what he is reading. Furthermore, Tarigan (1984) states that reading aloud emphasizes more on pronunciation than on meaning, while the main objective of reading comprehension is getting the information or meaning from written materials. Reading, therefore, is a complex process by which a reader reconstructs, to some degrees, a message encoded by a writer in graphic language. To comprehend the text, a reader needs two kinds of information: visual and non visual. Visual information is the written information which must be caught by eyes. Non visual information is the information involving the relevance of language competence, knowledge about the topic being read, and knowledge of the world about reading. Both visual and non-visual information have reciprocal relationship (Smith in Budiharso, 2006). Lewis (1978) confirms that comprehension is not a single skill, but a composite of related, multiple processes. Therefore, no matter how one lists the various comprehension skills, it is almost impossible to determine the sequence of skills accurately, because each skill is interwoven with others in different relationships depending on the reading task at hand. Calfee and Drum (1985) present three components which are essential to any act of reading comprehension, namely text, a reader of the text and an interpretation of the text by the reader. In accordance with the information used by the readers during the reading process, Goodman quoted by Bastidas (1986) in The Cloze Procedures as a teaching Technique to Improve Reading Comprehension states that the reader must have a knowledge of the language (semantic, syntactic, and graphonemic systems), a knowledge of the story or topic being read, and an understanding of what has happened previously. Briefly, then comprehension depends on the successful processing of these previously

20


Didi Sudrajat stated factors. Meanwhile, Coady quoted by Carrell and Eisterhold in Schema Theory and ESL Reading Pedagogy has elaborated the process to produce comprehension on the basic psycholinguistic model of reading which involves the interaction of reader’s background knowledge, conceptual abilities and process strategies, as the following figure:

Process Strategies

Conceptual Ability

Background Knowledge

Further, Coady explains that conceptual ability means general intellectual capacity, and processing strategies means various subcomponents of reading ability (e.g. grapheme-morpho-phoneme correspondences, syllablemorpheme information, syntactic information, lexical meaning, and contextual meaning). Briefly, it should be obvious that reading is an interactive process. It is the process of combining textual information with the information a reader brings to a text. In this view the rdading process is not simply a matter of extracting information from the text. Rather, it is one in which the reading activities a range of knowledge in the reader’s mind that he or she uses. In this regard, reading is viewed as a kind of dialogue between the reader and the text. Understanding of reading is the best considered as the interaction that occurs between the reader and the text, an interpretive process (Grabe in Budiharso, 2006).

The Process of Reading

Reading can be considered as a product and as a process. Reading as a process is an activity carried out by the reader in his attempt to get the meaning of a written material. Reading as a product is an ability or skill achieved by the reader which can be measured (Hafni, 1991). In order to achieve or to get the meaning of a written material, the reader must, of course, process a good reading act in the reading process. The process of reading can be divided into two parts, i.e., visual process and comprehension process. Visual process is an activity carried out by eyes, while comprehension process is carried out by mental activity. Strevens Vol IV No 1 Mei 2011

21


Developing Critical Reading Skills For Information And Enjoyment

(1993) describes the process of reading as deciphering and decoding. Deciphering is a form of pattem recognition which includes, i) distinguishing writing from other kinds of patterns, ii) learning the letter shapes, iii) becoming accustomed to the direction of writing, iv) finding beginnings and ends, v) leaming to adjust the rate learning how to refer back or forward to resolve ambiguity or doubt. He also explains that the second process of reading is decoding is part of the total process of comprehension. So far he describes that reading skills linking the flow of deciphered information to the reader’s knowledge of the language -its grammar, vocabulary, semantics, pronunciation- and that of the nature. To his opinion the reader has to bring together vision, hearing, memory, and imagination in order to discover the meaning, to interpret it, and to put it into action, and finally the language he has read is assimilated into his total experience. Citobroto (1992) also agrees that the process of reading consists of two steps. He believes that reading is not only combining letters into syllable, syllables into word, words into sentences and so on, but the first step of reading is that the reader should look at group of words, which he calls it as recognition process. Then, the reader stops for a moment to predict and interpret what he has read. He calls this second step or process as fixation process. Abbot et al. (1991) also support the above mentioned idea. They describe the nature of reading as visual task and cognitive task. Further they explain the visual task as the deciphering marks on the page, and receiving the signals from the brain by the eyes. Secondly, cognitive task, to their opinion, is the interpretation of the visual information so that one is not simply ‘breaking at the print.’ They describe the second process as the reconstruction taking place in the reader’s mind. This process concerns with the thinking skills and covers the reader’s attempt to build up the meaning the writer had in mind when he wrote the text. Another point of view is stated by Olson and Ames (1992). To their opinion the first step of reading is identifying the word symbols on the printed page, and the second is associating them or reacting to them with a group of mental association.

Developing Critical Reading Skills

To develop the students’ critical reading skills can be improved by developing the students’ skills for and awareness of aspects necessary for critical reading. The aspects are covered denotation and connoiation, figurative language, and distinguishing facts from opinions. a. Denotation and Connotation All words refer to something. If we look up a word in the dictionary it

22


Didi Sudrajat will give us the meaning of the word, namely what that word denotes. Denotation, then, is the meaning of a word as we would find in the dictionary. However, the connotative meaning of a word is normally not found in the dictionary. It is the associated meaning that a word has. For example if we look up the word red in the dictionary, it will tell us that red is the name of a certain color. But we also know that the word red is also used to mean communist. We will not find this meaning in the dictionary because it is the connotative meaning of the word red. Connotation can be general or personal. The connotative meaning of red as communist is general, because many people would understand if we use the word red to mean communist. On the other hands, the word school or home may have different connotative meaning for different people, depending on the experiences each one has in those places. The connotative meanings of words are often used in advertising and political speeches to make us believe their assertions and buy their goods or ideas. Some people in advertising do not like to use the word cheap because it has a connotation of shoddiness, poor workmanship and poor quality. They prefer to use the wotd affordable instead. Similarly, fat is an unattractive word; no one likes to be called for (or admit that he or she is), therefore clothing manufactures would use terms like large or outsize. However, connotations are not only used for the purpose of deceiving or persuading people. Creative writers often use word-connotation to give a clearer description of things we do not normally see, feel, or hear. In reading or listening to advertisements and political speeches we must be on guard against deception, but in reading creative writers (literature) we must be receptive to the connotative meanings of the words so that we can see what the writer sees, hear what he or she hears, and feel what he or she feels. Some words have strong emotional values and they are often used for their connotative meanings. For example: ambition, beauty, country, coltrage, destiny, freedom, friendship, glory, grief, harmony, home, hope, justice, youth, etc. Wordsworth wrote the following line to describe the quietness of a beach. Notice how he skillfully uses words connote quietness, and enable us to see and feel everything as if we were there watching the beach with him. It is beautiful evening, calm and free. The holy time is quiet as a Nun. Breathless with adoration the broad sun. Is sinking down in its tranquility. The gentleness ofheaven broods o’er the sea. Listen! The mighty Being is awake. And doth with his eternal motion make. Vol IV No 1 Mei 2011

23


Developing Critical Reading Skills For Information And Enjoyment

A sound like thunder - everlastingly. (Can you find the words which give a feeling of quietness?) b. Figurative Language; Clice; Jargon Besides the connotative meanings of words, there are other uses of language which we should be aware of before we can read critically. The first that we shall look into is figurative language or figures of speech. Like connotative words, figurative language refers to the use of words, not in their literal sense, but in a creative or imaginative way, creative writers create or use figurative language to make their writings more forceful and more vivid for the readers. Poets use a lot of figurative language, but poetry is not the only place where we will find figurative language in use. Many prose writers also use figurative language to give different meanings to otherwise common things. It helps us to see ordinary things differently, in a different light, as it were, drawing up a new image of the same old things. Millan (1997) confirms figurative language is used to give great immediacy, greater, or stronger impact on an otherwise commonplace idea. The two most common figurative language in use are metaphor and smile. A metaphor, like smile, compares two different things. The comparison it makes is direct, that is by saying directly that something is something else, for example: an iron will, a harvest of gold, etc. When someone says: she has an iron will to succeed, we have a better idea of the quality of her will. By saying that she has a strong will we do not have any idea of how strong he will is; by using the metaphor iron with its connotations, we can easily imagine that her will is not only strong, but, like iron, it is unbendable and long lasting. The word iron connotes hardness, durability and, perhaps, also inflexibility. Thus iron will tells us something more than just strong will. Similarly the expression a harvest of gold, can mean that the yellow color of the wheat or rice being harvested is likened to gold, with its connotation of being an expensive metal and therefore conjures up on image of valuable harvest. It can also mean that what is obtained or harvested is something of value, like gold. A smile is an indirect comparison - that is, the comparison made by using words such as: as, like, as if, as though, and as ... as. For example, The snow covered the land like a white blanket, here the snow is likened to a blanket. Here are some more examples: a. The water of the Dead Sea is said to be so thick that one can float there as if one’s body is made of cork. b. The baobab tree, which grows in the Kalahari Desert, has a bark that is thin and smooth, and sags in folds toward the base of the tree, like the skin of an elephant’s leg. Comparing the body to a cork and bark to the skin on an elephant’s leg gives us vivid pictures of how thick the water in the Dead

24


Didi Sudrajat

Sea is, and how the the back of a baobab tree looks like. The image we get is clearer than what we would get through a literal description. Another figure of speech is cliché or trite expression. This means that once upon a time these expressions were considered very clever and effective, but because they have been used again and again, they became overused and lose their freshless and effectiveness. People who use cliches in their writing or speech are considered lacking in originality and imitators of other people. The following expressions are generally considered as clichds: The blind leading the blind; keep the pot boiling; bite the hand that feeds you; the apple of one’s eye; busy as a bee; deathly pale; humble origin; to kill the fatted calf; etc. As we see from the above list, many of the above expressions are new for us, and we would consider them good and effective. Indeed, many expressions which are regarded as trite or hackneyed by native speakers are in fact new to, non-native speakers like us because we are not familiar with the language as the native speakers. Therefore, we should not hesitate to use those expressions, when we really think they are necessary, provided, of course, that we use them appropriately and do not use them too often. Here is what Altick (lt;i; ruy, about using cliches: It would be pedantic, not to say useless, to insist that good writers never, never use cliches .... But good writers, if they use cliches at all, use them with the utmost caution. In informal discourse, furthermore, clichés are almost indispensable. When we are relaxing with friends, we do not want to be bothered to find new or at least unaccented ways of saying things; we rely upon our ready supply of cliches, and if we do not overdraw our account, no one thinks the worse of us. So long as we succeed in communicating to our friends the small, commonplace ideas we have in our minds no harm is done. When we read our textbooks, e.g. on linguistics or psychology or social sciences, etc. we will find words which are often used in one textbook but not in the others. Those words are called technical words or jargon. Each field has its own jargon. Thus we have medical jargon, educational jargon, computer jargon, etc. Jargon or technical words are used by people in a certain profession. People outside that profession might not know those jargons. Jargon is useful when it is used among the people of the same profession because they understand the terminology. However, jargon should not be used outside the group because it shows poor taste and pompousness. The following is an extract from a piece of writing by Russell Baker who Vol IV No 1 Mei 2011

25


Developing Critical Reading Skills For Information And Enjoyment

uses jargon to retell the story of Red Riding Hood. One upon a point in time, a smail person named Little Red Riding Hood initiated plans for the preparation, delivery and transportation of foodstuffs to her grandmother, a senior citizen residing in a place of residence in a forest of indeterminate dimension. In the process of implementing this program, her incursion into the forest was in mid-transportation process when it attained interface with an alleged perpetrator. The individual, a wolf, made inquiry as to the whereabouts of Little Red Riding Hood’s goal as well as interring that he was desirous of ascertaining the contents ofLittle Red Riding Hood’s foodstuff basket, and all that. Russell Baker is a political writer whose column is published in many American newspapers. He rewrites this fairy tale to make fun of the worst aspects of the English language (Quoted from Milan, 1997). c. Distinguishing Fact from Opinion: Recognizing Fallacious Reasoning We have seen how language can be used to express truth or distort truth, to make something more attractive or less attractive than it really is. Connotative words are not the only device to cover truth. Faulty or fallacious reasoning is another device we should aware of. This is more difficult to detect because we have to read beyond what is stated to know what is behind the statement. To be able to do this, we should know two kinds of reasoning: inductive and deductive reasoning. 1. Inductive Reasoning Inductive reasoning is drawing a general conclusion from many related evidence. In everyday life we often do this. After comparing the prices of several items in Supermarket A and B, we often say that supermarket A is cheaper (or more expensive) than B. Here, we are making a generalization which is not necessarily true. What about prices of other items which have not been compared? What we should have said is. Some things are cheaper (or more expensive) in A and B. Naturally we are supposed to be able to back up your statement by mentioning what things are cheaper or more expensive. We often make sweeping generalization by omitting words such as usually, nearly all, few, seldom, often, etc. and use words like: always, never, all, only. Sometimes these words are not expressed but merely implied, e.g. Supermarket A is cheaper than supermarket B. This statement implies that all things are cheaper in supermarket A. Therefore, whenever we read that Asian students do better than American students in High School, we must recognize this as a generuli-

26


Didi Sudrajat zation and that there are apt to be exceptions. Even if the words usually or some are used, we should still ask ourselves how often is usually or how many is some. This does not mean that we always ask for evidence or statistical data, but we should be aware that many statements are generalization and that exceptions do exist. 2. Deductive Reasoning In deductive reasoning we draw a conclusion from a general to specific whereas in deductive reasoning is commonly expressed by syllogism which consists of two premises and a conclusion, for example: Major premise: All A,s are B’s. Minor premise: C is A Conclusion : Therefore C is B This syllogism is valid because the premises already imply or contain the conclusion. If we accept the premises then we must accept the conclusion. However, even if a syilogism is valid, it is not necesarily. Here is an example: Major premise : All Balinese are artists Minor premise : Ketut is a Balinese Conclusion : Ketut is an artist This syllogism is valid because it follows the correct form, nevertheless it is not true because the major premise is not true. The syllogism itself for the deductive argument can also be invalid. Here is an example: Major premise : FKIP Unikarta trains teachers Minor premise : Susan is a teacher. Conclusion : FKIP Unikarta trained Susan A valid syllogism would be: Major premise : FKIP Unikarta trains teachers Minor premise : Susan is trained by FKIP Unikarta Conclusion : Susan is a teacher. To make varid syllogism, we must make sure that the subject of the conclusion is also the subject of the minor premise (Susan), and the predicate of the conclusion is also the predicate of major premise (teacher). Vol IV No 1 Mei 2011

27


Developing Critical Reading Skills For Information And Enjoyment

Another common form of syllogism is one with a negative premise as the following example shows: Major premise : No A is B Minor premise : C is B Conclusion : C is not A Here the predicate of the major premise is also the predicate of the minor premise. From the above examples we can say that to make valid argument or syllogisms, the idea expressed by the minor premise should be contained in the major premise. Thus, again, we cannot introduce a new or a different idea in the minor premise. Here is another example: Major premise : If John does not attend classes, he will fail. Minor premise : John will not fail Conclusion : John does not attend classes. Regardless whether the conclusion is true or not, the syllogism is invalid because John will not fail is not contained in the major premise. In order to have a valid syllogism the minor premise would have to be John does not attend classes or John will fail, and conclusion would then be John will fail and John does not attend classes, respectively. 3. Opinion So far, we have talked about deductive and deductive reasoning, it would be useful to know more about what opinion really is. Here is a passage adapted from Beyond Feelings: A Guide to Critical Thinking by Vincent Ryan Ruggiero (1994).

How Good Are Your Opinions?

Opinion can mean two things: (1) personal preferences and (2) considered judgment. When we say that every one is entitled to his or her opinion, we are thinking of opinion as meaning personal preferences. Therefore, when somebody says: I think this car is ugly, it would be foolish and useless to challenge that statement. The person is merely stating his opinion, his personal preference, and as you have heard many times before, it is no use arguing about taste. What is beautiful to you may well be ugly to someone else. In this case, verybody is indeed entitled to his or her opinion. However, consider this case: A newspaper reports that the Supreme Court has delivered its opinion on a certain case. Obviously this is not a state-

28


Didi Sudrajat ment of personal preferences or of personal likes and dislikes. In this case the Supreme Court’s opinion is a careful judgment, which has been carefully arrived at, after a through inquiry and deliberation. Most of what is called opinion falls somewhere between personal preference and careful judgment. This means that we use opinion not to mean personal preference or careful judgment. Although everyone is entitled to his or her own opinion it does not guarantee favorable consequences. It is important to remember that what we believe is not necessarily correct or true. Free societies are based on the wise observation that knowledge comes through mistakes, and because truth is elusive, every person must find his/ her own way to wisdom. In other words, we should realize, in doing so, we do not harm others. According to Francis Bacon in Milan (1997), there are four kinds of errors that can make people have wrong opinions: (1) error or tendencies to error are common among all person because they are human, (2) errors that come from human communication and the limitation of language, (3) errors in the general fashion or attitude of an age, and (4) errors posed to an individual by a particular situation. In forming our opinions, it is useful to find out the views of those who know more about the subject then we do. In this way we broaden our perspective, see details we did not see before, and consider facts we were not aware of. No one can know everyhing. It is not a mark of inferiority but of good sense to consult those who have given their social attention to the field of knowledge at issue. Each of us knows something about food and food preparation, but this does not make us experts on running a restaurant or on the food packaging industry. It takes more than experience to make us authorities on a particular skill or subject matter. For all of us, whether expefts or amateurs, it is natural to form opinions. We are constantly receiving sensory impressions and responding to them first on the level of simple likes and dislikes, then on the level of thought. Even if we wanted to escape having opinions, we couldn’t. Nor shouldn’t we want to. One of the things that makes human beings vastly more complex and interesiing than plants or animals is their ability to form opinions. This ability has two sides, though, if it can lift man to the heights of understanding, it can also topple him to the depths of ludicrousness. Both the wise man and the fool have opinions. The difference is, the wise man forms his with care, and as time increases his understanding, refines them to fit even more precisely the reality they interpret.

Vol IV No 1 Mei 2011

29


Developing Critical Reading Skills For Information And Enjoyment

REFERENCES Abbot, G., J. Greenwood D., Mc Keating, and P. Wigard. 1991. The Teaching of English of an Internationat Language. Glaslow: William Collins Sons and Co. Limited. Altick, Richard D., Lunsford, Andrea A. 1994. Preface to Critical Reading. New York: Holt, Rinehart and Waston, Inc. Bastidas A and Jesus A. 1986. The Cloze Procedures as a Teaching Technique to Improve Reading Comprehension. English Teaching Forum, 25 (I) Budiharso, Teguh. 2006a. English Language in Teaching: Discourse Anarysis, and Contrastive Rhetoric. Samarinda:Certel Books Budiharso, Teguh. 2006b. Rhetoric and Linguistic Features: A Contrastive Rhetoric Analysis of Essay Writing. yogyakarta: Stepa Publishing. Calfee, Robert, and Priscilla, Drum. 1995, Handbook of Research on Teaching. New York: Macmillan Publishing Company. Carrell, Patricia, and Joan C. Eisterhold. 1993. Schemata Theory and ESL Reading Pedagogy. TESOL QUATERLY, 17(4). Citrobroto, S. 1994. Prinsip-Prinsip dan Teknik Berkomunikasi. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Dwyer, Margareth A. 1993. Some Strategies for Improving Reading Efficiency. English Teaching Forum, l l(3). Grellet, Francois. 1994. Developing Reading Skills. Cambridge: Cambridge University Press. Hafni. 1991. Pemilihan dan Pengembangan Bahan Pengajaran Membaca. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Lewis, John F. 1998. Teaching English. New York: American Book company. Millan, Deane K. 1997. Developing Reading Skills.New York: Random House. Oslon, A. and W.S. Ames. 1992. Teaching Reading Skills in Secondary School. New York: International Textbook Company. Strevens, Peter. 1993. New Orientation in Teaching of English. Oxford: Oxford University Press.

30


ETIKA GURU DAN MURID DALAM INTERAKSI EDUKATIF PERSPEKTIF K.H. HASYIM ASY’ARI (Kajian Studi Kitab Adab Al-‘Alim Wa Al-Muta’alim) Oleh: Eko Nursalim

Abstract Education has a strategic role in our society. School as one of dedication place is the teacher’s frame in nobleness of inteligence and mind to give spiritual value, transforms the wordly and beyond norms to the pupil in order to be a good creature, educated, creative, autonomous, and be useful in national development in the future. Teacher and pupil are two creatures that can’t be separated in education. Where is a teacher, there is a pupil who wants to get knowledge. Vice versa, there is pupil who always needs to be guided. Their mutualism needs to be built and kept. This is the easy way to get their purpose. Teacher and pupil are basic element in education to be actual speaking. Teacher is not only praises in their patience, sincere, an good model, but also can be mocked in another sides as well as. Bad behaviour of pupil is always charged in the teacher’s failure in their guiding and educating them. Whereas, pupil bad behaviour is basicly based on their sorrounding elements, and not to their teacher. Kata Kunci: Etika, Guru, Murid dan Interaksi Edukatif

Vol IV No 1 Mei 2011

31


Etika Guru Dan Murid Dalam Interaksi Edukatif

Pendahuluan Masalah pendidikan merupakan prioritas utama sejak awal kehidupan manusia. Bahkan Rasulullah SAW sendiri telah mengisyaratkan bahwa proses belajar bagi setiap insan sejak masih dalam kandungan sampai liang kubur. Sebagai agama yang mengutamakan pendidikan, maka sepanjang kurun kehidupan Islam hingga kini telah muncul banyak ahli pikir yang menyumbangkan buah pikirannya dalam bidang pendidikan khususnya, maupun dalam bidang lain. Mereka menyumbangkan buah pikirannya untuk kesempurnaan dan kemajuan bidang pendidikan Islam yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Guru dalam pandangan Islam adalah orang yang memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan seluruh potensi, baik potensi kognitif, potensi afektif, maupun potensi psikomotorik (Djamarah, 2000: 52). Guru juga berarti orang dewasa yang bertanggung jawab untuk memberikan pertolongan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani maupun rohani agar mencapai kedewasaan dan mampu berdiri sendiri untuk memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah, makhluk sosial maupun makhluk individu yang mandiri. Membangun hubungan yang harmonis antara guru dan murid yaitu dengan memperhatikan dan menjaga etika. Guru sebagai pengajar ilmu adalah mitra murid, murid sebagai pelajar ilmu adalah mitra guru, maka sudah semestinya menjaga etika. Etika guru dan murid mempunyai peranan penting dalam keberhasilan proses pendidikan. Oleh karena itu, mengetahui etika guru dan murid dalam pendidikan menjadi penting (Nurdin, 2004: 156). K.H. Hasyim Asy’ari adalah tokoh gerakan dan pemikir pendidikan Islam (Baihaqi, 2007: 24). Keaktifan beliau dalam dunia pendidikan menumbuhkan kesadaran bahwa dalam pendidikan membutuhkan literatur khususnya yang membahas etika mencari ilmu pengetahuan. Menurutnya, menuntut ilmu adalah perintah agama yang luhur sehingga pelakunya mempunyai etika yang luhur pula. Hal ini yang mendorong pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari untuk menulis buku yang menjelaskan etika guru dan murid dalam proses belajar mengajar. Karya K.H. Hasyim Asy’ari yang menjelaskan hal tersebut diberi judul “Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim”.

Mengenal K.H. Hasyim Asy’ari

Muhammad Hasyim adalah nama yang diberikan oleh orang tuanya, ia lahir dari keluarga kiai Jawa pada 24 Dzul Qa’dah 1287 H./14 Februari 1871 M. di desa Gedang sekitar dua kilometer sebelah Timur Jombang. Ayahnya, Asy’ari, adalah pendiri pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya, kiai Usman, adalah kiai terkenal dan pendiri pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke-19. Selain itu, moyangnya, kiai Sihah, adalah pendiri pesantren

32


Eko Nursalim

Tambakberas, Jombang. Bisa dimaklumi apabila K.H. Hasyim Asy’ari menyerap ilmu agama sejak kecil dari lingkungan pesantren keluarganya sendiri. Kyai Asy’ari, ayah K.H. Hasyim Asy’ari adalah santri terpandai di pesantren kiai Usman. Ilmu dan akhlaknya sangat mengagumkan sang kiai sehingga ia dinikahkankan dengan anaknya Halimah (pernikahan merupakan hal yang biasa dilakukan pesantren untuk menjalin ikatan kiai). Ibu K.H. Hasyim Asy’ari, merupakan anak pertama dari tiga saudara laki-laki dan dua perempuan : Muhammad, Leler, Fadil, dan Nyonya Arif. Kyai Asy’ari berasal dari Tingkir dan keturunan Abdul Wahid dari Tingkir. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja muslim Jawa, Jaka Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi, K.H. Hasyim Asy’ari juga dipercayai merupakan keluarga bangsawan tanah Jawa. K.H. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafi’sah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. Sampai umur lima tahun, ia dalam asuhan orang tua dan kakeknya di pesantren Gedang. Di pesantren ini, para santri mengamalkan ajaran agama Islam dan berbagai cabang ilmu agama Islam. Suasana inilah yang mempengaruhi karakter K.H. Hasyim Asy’ari rajin belajar ilmu-ilmu agama. Pada masa muda K.H. Hasyim Asy’ari, ada dua sistem pendidikan bagi penduduk pribumi Indonesia. Pertama adalah sistem pendidikan yang disediakan untuk para santri muslim di pesantren yang fokus pengajaranya adalah ilmu Agama. Kedua adalah sistem pendidikan barat yang dikenalkan oleh kolonial Belanda dengan tujuan menyiapkan para siswa untuk menempati posisi-posisi administrasi pemerintahan baik tingkat rendah maupun menengah. Akan tetapi, jumlah sekolah Belanda untuk Pribumi (Holland Inlandsche Scholen), yang mulai didirikan pada awal 1914, sangat terbatas bagi masyarakat pribumi Indonesia. Dari kalangan masyarakat pribumi, hanya anak-anak keluarga priayi tinggi yang dapat mendaftarkan diri. Maka belajar juga dibatasi hanya tujuh tahun dan mereka yang berharap melanjutkan pendidikan mereka harus ke Negeri Belanda. Oleh karena itu, hanya beberapa orang saja yang mendapat kesempatan ini. Akan tetapi, orang-orang Eropa dan Timur Asing (yaitu Cina dan Arab) mendapat kesempatan lebih baik untuk belajar di sekolah model Barat yang berkualitas. Sehingga, mayoritas penduduk pribumi yang sebagian besar muslim, tidak mendapat kesempatan pendidikan Belanda. Bahkan jika mereka mempunyai akses, kebanyakan muslim menganggap haram sekolah Belanda karena dianggap sekuler. Jadi, karena pembatasan pemerintah dan keyakinan kaum muslim, institusi pendidikan yang tersedia bagi mayoritas penduduk pribumi hanyalah pesantren (Khuluq, 2008: 26). Perjalanan hidup K.H. Hasyim Asy’ari dapat dilukiskan dengan kata-kata sederhana, “dari pesantren, kembali ke pesantren”. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga pesantren. Setelah tujuh tahun di Makah melakukan ibadah haji Vol IV No 1 Mei 2011

33


Etika Guru Dan Murid Dalam Interaksi Edukatif

dan belajar di lingkungan seperti pesantren, yaitu Masjid al-Haram dan Masjid an-Nabawi, dia kembali ke nusantara untuk mendirikan pesantren dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengajar para santri. Bahkan ia mengatur “kegiatan organisasi kemasyarakatan dan politik” dari pesantren.

Etika dalam Pandangan Islam

Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Arti terakhir ini menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf besar Yunani Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukkan fisafat moral (K. Bertens, 2007: 4). Jadi, jika mengacu pada asal-usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Amin (1983: 40) etika dijelaskan dengan tiga arti: “1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat”. Dari tiga pengertian diatas, arti yang ke-1 cenderung pada filsafat moral, arti yang ke-2 mengarah pada kode etik, sedang arti yang ke-3 merupakan sistem nilai. Arti yang ke-2 inilah yang lebih mendekati pada permasalahan yang dibahas. Membahas tentang etika Islam tidak bisa lepas dari ilmu akhlak yang merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Hal ini karena etika Islam identik dengan ilmu akhlak. Etika Islam atau ilmu akhlak selalu berkaitan dengan perbuatan manusia yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits. Menurut pandangan Islam, etika Islam (Zainudin, 2007: 15) adalah suatu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya (Al-Qur’an dan Hadits) . Etika Islam berbeda dengan etika filsafat, hal ini dikarenakan etika Islam memiliki beberapa karakteristik berikut ini: 1. Mengajarkan dan menuntun manusia kepada perilaku yang baik (mahmudah) dan menjauhikan diri dari perilaku buruk (madzmumah). 2. Bersumber pada ajaran Allah SWT (Al-Qur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah). 3. Bersifat universal dan komprehensif, artinya dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala lapisan, waktu dan tempat. 4. Sesuai dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia. 5. Menyelamatkan manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan (Asnawi, 2006: 12). Berdasarkan pengertian etika dan etika Islam di atas adalah sebagai pengantar dalam pembahasan etika guru dan murid menurut K.H. Hasyim

34


Eko Nursalim

Asy’ari dalam kitabnya Adab al-Alim wa al-Muta’alim.

Makna Etika Guru dan Murid dalam Interaksi Edukatif

K.H. Hasyim Asy’ari termasuk seorang tokoh pendidikan, terutama pendidikan pesantren. Salah satu bukti ketokohannya dalam dunia pendidikan tercermin dalam pemikirannya yang mengungkap tentang etika guru dan murid dalam kitab Adab al- ‘Alim wa al-Muta’alim. 1. Etika Guru Guru adalah orang yang melaksanakan tugas mendidik atau orang yang memberikan pendidikan dan pengajaran. Guru termasuk unsur penting dalam pendidikan disamping peserta didik (murid), tujuan pendidikan, materi, metode, dan alat pendidikan. Mendidik merupakan tugas yang mulia. Hal ini karena ilmu adalah sesuatu yang mulia, maka mengajarkannya berarti memberikan kemuliaan. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki dan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia (Zainudin, 1991: 50). Guru akan menunaikan tugasnya dengan baik atau dapat bertindak sebagai pengajar yang efektif, jika padanya terdapat berbagai kompetensi keguruan, dan melaksanakan fungsinya sebagai guru. Menurut Zakiah Daradjat, ada tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh guru, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan pengajaran, dan kompetensi dalam caracara mengajar (Darajat, 1995: 263). Etika guru merupakan kode etik atau syarat-syarat guru. Etika ini harus diindahkan oleh guru dalam menunaikan tugasnya di dalam kependidikan. Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang etika guru mengarah pada tiga kompetensi diatas, terutama kompetensi kepribadian. a. Etika Pada Diri Sendiri K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan etika guru pada diri sendiri dalam dua puluh point. Dari dua puluh point ini yang mengarah pada kompetensi kepribadian ada tujuh tujuh belas, yaitu; muraqabah, amanah, wibawa, wara’, tawadlu’, khusu’, tawakal, ikhlas, memuliakan ilmu, zuhud, menghindari mata pencaharian hina, menjauhi fitnah, menjaga syi’ar agama, menghidupkan sunah rasul, menjaga syari’at agama, berakhlaq mulia, mensucikan hati dari sifat tercela. Sedangkan yang tiga mengarah pada kompetensi penguasaan atas bahan pengajaran, yaitu; antusias terhadap peningkatan ilmu dan amal, tidak malu untuk mendapatkan ilmu dari orang yang sebawahnya, dan rajin meneliti, menyusun dan mengarang. Al-Ghazali (w. 505 H) mengemukakan sebelas syarat-syarat kepribadian seorang pendidik, yaitu; sabar, kasih sayang, duduk dengan sopan, tidak takabbur, tawadlu’, serius dalam pembicaraan, berhubungan baik dengan muridVol IV No 1 Mei 2011

35


Etika Guru Dan Murid Dalam Interaksi Edukatif

muridnya, santun, membimbing dengan baik, jujur, dan menampilkan hujjah yang benar. Al-Kanani (w. 733 H), salah seorang pakar pendidikan Islam menyebutkan sebelas etika guru pada diri sendiri, yaitu; muraqabah, memuliakan ilmu, zuhud, ikhlas, menjauhi mata pencaharian hina, memelihara syi’ar-syi’ar Islam, rajin menjalankan kesunahan syari’at, berakhlak mulia, memanfaatkan waktu luang untuk ibadah, tidak malu untuk mendapatkan ilmu dari orang yang sebawahnya, dan rajin meneliti, menyusun dan mengarang (Badrudin, 1978: 1019). Dari uraian diatas bisa dipahami bahwa rumusan K.H. Hasyim Asy’ari cenderung dipengaruhi oleh rumusan Al-Ghazali dan Al-Kanani. K.H. Hasyim Asy’ari menambahkan beberapa sifat terpuji dan mulia yang cenderung pada sufistik, seperti amanah, wibawa, wara’, khusu’, tawakal, menjaga kemuliaan ilmu, dan menjauhi hal-hal yang menyebabkan fitnah. Kecenderungan pada nilai-nilai sufistik inilah yang kemudian sangat mewarnai pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari dalam membahas etika guru dan murid dalam pendidikan. b. Etika Dalam Mengajar K.H. Hasyim Asy’ari menuturkan dua belas etika dalam mengajar, yaitu; bersuci, do’a, salam, duduk bisa terlihat oleh seluruh murid, memulai dengan baca Al-Qur’an, mendahulukan mata pelajaran sesuai dengan hirarki, atur volume suara, ciptakan suasana kelas yang kondusif, menegur murid yang tidak etis, memberi sangsi pada murid yang melanggar, bijaksana dalam menjawab pertannyaan, dan memuliakan murid baru. Menurut hemat penulis, uraian K.H. Hasyim Asy’ari tentang etika guru dalam mengajar, seluruhnya mengarah pada kompetensi dalam tekhnis mengajar. Dalam hal ini K.H. Hasyim Asy’ari mempunyai kesamaan pemikiran sebagaimana konsep yang telah disampaikan oleh Al-Kanani. Hal ini terbukti apa yang dituturkannya tidak jauh beda dengan rumusan Al-Kanani. c. Etika Terhadap Murid K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al- ‘Alim wa al-Muta’alim, menyebutkan empat belas etika guru terhadap murid. Dari keempat belas ini yang mengarah pada kompetensi kepribadian ada sepuluh, yaitu; niat tulus, toleran, kasih sayang, adil, perhatian pada semua murid, menjaga hubungan baik dengan murid, membantu murid, perhatian pada murid yang tidak hadir, tawadlu’, dan menyapa dengan memberi salam. Sedangkan yang empat mengarah pada kompetensi dalam cara-cara mengajar, yaitu; menggunakan metode penyampaian yang sesuai, menggunakan bahasa yang mudah, mengevaluasi, dan memberi nasehat. Dalam hal ini, Al-Kanani menuturkan sembilan etika guru di tengahtengah muridnya, yaitu; niat tulus, toleran, kasih sayang, memotivasi murid,

36


Eko Nursalim

menggunakan bahasa yang mudah, evaluasi, adil, membantu murid, dan perhataian pada murid. Rumusan K.H. Hasyim Asy’ari pada intinya sama dengan rumusan Al-Kanani. K.H. Hasyim Asy’ari dalam rumusannya menambah dengan menggunakan metode yang sesuai, menjaga hubungan baik dengan murid, perhatian pada murid yang tidak hadir, tawadlu’, dan menyapa dengan memberi salam. Kemudian perlu kita bandingkan dengan pendapat-pendapat sarjana pendidikan di Indonesia, yaitu antara lain : 1) Amin Daien Indrakusuma (1978: 50) merumuskan persyaratan kepribadian bagi seorang guru adalah sebagai berikut : “...berlaku jujur, bersikap adil terhadap siapapun, lebih-lebih terhadap diri sendiri, cinta kepada kebenaran, bertindak kebijaksanaan, suka memaafkan, tidak membenci, mau mengakui kesalahan sendiri, ikhlas berkorban, tidak mementingkan diri sendiri dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela.” 2) Siti Meichati (1981: 67) menyatakan : “...perhatian dan kesenangan kepada anak didik, kecakapan merangsang anak didik untuk belajar dan mendorong untuk berfikir,simpati, kejujuran, keadilan, sedia menyesuaikan diri, memperhatikan orang lain, kegembiraan dan antusiasme, luas perhatiannya, adil dalam tindakan, menguasai diri, dan menguasai ilmu.” Menyimak beberapa pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa persyaratan bagi seorang pendidik yang telah dirumuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari mempunyai relevansi dengan konsepsi-konsepsi pendidikan modern di Indonesia. Satu hal yang menarik dari teori tentang kode etik (syarat-syarat) guru yang dikembangkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah adanya unsur yang menekankan pentingnya sifat kasih sayang terhadap murid. Hal tersebut didasarkan atas sabda Rasulullah SAW yang artinya : “Sesunggunya saya dan kamu laksana bapak dengan anaknya”. Selain itu juga didasarkan atas paham bahwa bila guru telah memiliki rasa kasih sayang yang tinggi kepada muridnya, maka guru tersebut akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan keahliannya karena ia ingin memberikan yang terbaik kepada murid-muridnya yang disayanginya. Tentunya hal itu dilatarbelakangi oleh sikap untuk selalu bercermin kepada akhlak Allah (asma al-husna) dan meniru akhlak Rasulallah SAW dalam mendidik umatnya. 2. Etika Murid Murid merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan. Secara formal murid bisa diartikan sebagai orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan Vol IV No 1 Mei 2011

37


Etika Guru Dan Murid Dalam Interaksi Edukatif

dan perkembangan merupakan ciri dari peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik atau guru. Pertumbuhan menyangkut fisik, perkembangan menyangkut psikis. Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang etika murid pada hakekatnya merupakan segala sesuatu yang wajib dilakukan oleh murid dalam rangka mencapai tujuannya dalam menuntut ilmu. Kewajiban ini menyangkut halhal yang berkenaan pada dirinya sendiri, berkenaan dalam pembelajaran, dan berkenaan dengan gurunya. a. Etika Pada Diri Sendiri K.H. Hasyim Asy’ari menuturkan sepuluh etika murid pada diri sendiri, yaitu; mensucikan hati, meluruskan niat, memanfaatkan waktu, qona’ah, mengatur waktu, menyedikitkan makan, wara’, menghindari makanan yang menyebabkan malas, mengurangi tidur, menghindari pergaulan yang tidak baik. Dari rumusan diatas bisa dipahami bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sangat memperhatikan masalah hati, waktu, dan lingkungan. Seorang murid yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu harus memperhatikan tiga hal tersebut, terutama masalah kesucian hati. Hati perlu dijaga dari hal-hal yang mengotorinya, yakni sifat-sifat yang tercela menurut agama. Dari kesucian hati ini akan muncul sifat-sifat mulia seperti wara’, qona’ah, dan sebagainya. Setelah hati bersih dilanjutkan dengan menata niat yang baik dan menghiasi diri dengan perilaku-perilaku terpuji. Seorang murid juga harus mengatur waktu dengan baik dan bijaksana dalam menyikapi pengaruh lingkungan. b. Etika Dalam Belajar K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan etika murid dalam belajar dalam tiga belas point, yaitu; mendahulukan ilmu yang pokok, belajar Al-Qur’an, menghindari beda pendapat ulama’, mentashihkan bacaan, belajar hadits, senantiasa meningkatkan pemahaman, rajin dalam kajian ilmu, salam ketika masuk ruangan, tidak malu bertanya, giliran dalam bertanya, duduk dengan tata krama, belajar sampai tamat, dan memotivasi teman. Dari uraian diatas, penulis memahami bahwa K.H. Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya mempelajari mata pelajaran pokok tentang Islam terlebih dahulu, hal ini didasarkan pada upaya menanamkan pokok-pokok keislaman dalam jiwa murid, dan juga menekankan pentingnya pelaksanaan proses belajar mengajar dengan baik yang sesuai dengan tata krama dan sopan santun. c. Etika Kepada Guru K.H. Hasyim Asy’ari menuturkan etika murid kepada guru dalam tiga belas point, yaitu; selektif dalam memilih guru, pilih guru yang kompeten, patuh, hormat, mengerti hak-hak guru, sabar dan tabah, ijin bila masuk ke ruang guru, duduk sopan, komunikasi dengan bahasa yang baik, memperha-

38


Eko Nursalim

tikan keterangan guru, tidak mendahului guru, menerima sesuatu dari guru dengan tangan kanan. Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya memilih guru. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa guru laksana agama, guru adalah sumber ilmu yang dijadikan panutan, maka jangan sampai salah dalam memilih guru, pilihlah guru yang kompeten, karena guru mengajarkan ilmu yang menjadi pedoman dalam hidup ini. Berdasarkan uraian di atas, makna inti etika guru dan murid dapat diuraikan dalam tiga prinsip, yaitu : 1. Kesucian hati Menurut K.H. Hasyim Asy’ari kesucian hati merupakan sesuatu yang pokok dalam masalah pendidikan. Beliau menekankan kepada guru dan murid untuk senantiasa mensucikan hati dalam belajar dan mengajar. Hal ini karena beliau menempatkan hati sebagai sentral dalam pendidikan. Hati perlu disucikan dari penyakit-penyakit hati yang mengotorinya, kemudian dihiasi dengan sifat-sifat mulia. Ilmu adalah sesuatu yang mulia, maka para pemilik ilmu dan pencari ilmu harus menghiasi diri dengan perilaku-perilaku mulia, dan perilaku ini akan muncul dari orang yang hatinya suci dari segala penyakit hati yang mengotori. Penekanan pada hati inilah yang membedakan pemikirannya dari corak pemikiran pendidikan progresivisme dan essensialisme. Maka sikap muraqabah, amanah, tawadlu’, wara’, khusu’, tawakal, dan sebagainya harus dimiliki oleh guru maupun murid (siswa). 2. Optimisme Bahwa tujuan pengajaran dan pembelajaran yang semata-mata mengharap ridla Allah SWT berimplikasi pada motivasi semangat mengajar dan belajar untuk meraih harapan dan cita-cita. Guru memiliki harapan untuk mencerdaskan murid. Maka untuk mewujudkan harapan tersebut, guru harus mempunyai sikap optimis. Sikap optimis inilah yang mendorong guru untuk berusaha secara maksimal mengajarkan ilmunya kepada para murid. Dari optimisme ini lahirlah sikap sabar, toleran, nasehat, kasih sayang, adil, dan sebagainya. Murid mempunyai cita-cita yang tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan. Maka untuk mewujudkan cita-citanya, murid harus mempunyai sikap optimis. Dengan sikap optimis ini ia bersemangat dalam belajar secara maksimal, sehingga muncullah sikap rajin, tekun, sabar, ulet, dan mengerjakan tugas-tugas dari guru dengan baik. 3. Penghargaan Penghargaan yang dimaksud adalah seorang guru menghargai dirinya sendiri, menghargai ilmunya, dan menghargai muridnya. Juga seorang murid menghargai dirinya sendiri, menghargai ilmunya, dan menghargai guru Vol IV No 1 Mei 2011

39


Etika Guru Dan Murid Dalam Interaksi Edukatif

dan teman belajar. Dari sikap penghargaan ini lahir sikap saling menghormati dengan sesama. Guru menghargai dirinya dan ilmunya dengan selalu menjaga diri dari hal-hal yang merendahkan harga diri dan ilmunya. Menghargai muridnya dengan sikap kasih sayang dan suka membantu, sehingga terjalin hubungan yang baik dengan muridnya. Murid menghargai diri dan ilmunya dengan bersikap dan berperilaku terpuji, menghargai gurunya dengan menghormati dan mematuhinya, dan menghormati teman dengan saling membantu dan memotivasi, sehingga terwujud hubungan yang harmonis antara guru, murid, maupun sesama teman belajar.

Kesimpulan

Pentingnya etika guru dan murid dalam pendidikan bisa dimaklumi terutama bila merujuk pada tujuan pendidikan Islam. Para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukan hanya memenuhi otak murid dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi lebih dari itu pendidikan bermaksud mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan fadlilah, membiasakan mereka dengan kesopanan, mempersiapkan mereka untuk selalu bersikap ikhlas dan jujur. Bahwa yang dimaksud dengan etika guru menurut K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al- ‘Alim wa al-Muta’alim adalah sifat-sifat mulia, kode etik, dan syarat-syarat yang harus diindahkan oleh guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Etika guru dalam tataran kekinian bisa dikategorikan dalam kompetensi kepribadian maupun profesional. Etika guru meliputi etika pada diri sendiri, etika dalam mengajar, dan etika terhadap murid. Sedangkan yang dimaksud etika murid adalah sifat-sifat mulia yang harus dimiliki murid dan hal-hal yang harus dilakukan murid dalam menuntut ilmu. Etika murid ini meliputi etika pada diri sendiri, etika dalam belajar, etika kepada guru. Beberapa pemikiran khususnya dalam etika guru dan murid yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam konteks pendidikan modern tetap relevan dan kontekstual untuk dijadikan sumber acuan, khususnya dalam pendidikan Islam.

40


Eko Nursalim

DAFTAR PUSTAKA Al-Kanani, Badruddin Ibn Jama’ah. Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim, Beirut, Dar al-Kutub, 1978. Amin, Ahmad, Etika, terj. K.H. Farid Ma’ruf, Jakarta; Bulan Bintang, 1983. Asnawi, Muh. Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang, Aneka Ilmu, 2006. Asy’ari, Muhammad Hasyim. Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’alim, Muhammad ‘Isham Hadziq (ed.), Jombang; Maktabat at-Turots al- Islami bi Ma’had Tebuireng, 1994. Baihaqi, MIF. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan, Bandung; NUANSA, 2007. Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung; Mizan, 1995. Darodjat, Zakiah. Methodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1995. Djamarah, Syaiful Bahri. Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta; PT. Rineka Cipta, 2000. Indrakusuma, Amin Daien. Pengantar Ilmu Pendidikan, Malang, FIP IKIP Malang, 1978. Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, Cet. Ke. 3, Yogyakarta; LKiS, 2008. K. Bertens, Etika, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2007. Meichati, Siti. Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta, Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1981. Nurdin, Muhammad. Kiat Menjadi Guru Profesional, Cet. Ke. 1, Jogjakarta; Prismasophie, 2004. Ulul Fahmi, Muhammad. Ulama Besar Indonesia : Biografi dan Karyanya, Kendal; PP Al-Itqon, 2007. Zainuddin dkk. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta, Bumi Aksara, 1991. Zainuddin, Ali. Pendidikan Agama Islam, Jakarta; PT Bumi Aksara, 2007.

Vol IV No 1 Mei 2011

41


Etika Guru Dan Murid Dalam Interaksi Edukatif

42


MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATA KULIAH AGAMA ISLAM MAHASISWA MELALUI MODEL PENGAJARAN BERDASARKAN MASALAH Oleh: Sri Abidah Suryaningsih

Abstract The problems discussed in this research is how student learning outcomes Economic Education in Islamic subjects to use the teaching model based on the problem. The problem is limited to the matter of Islam and Globalization, civilization and culture. The purpose of this study to analyze the response of Economics Faculty of Education student at the Islamic subjects to use the teaching model based on the problem, and to improve learning outcomes of students’ learning of Economic Education in Islamic subjects with the implementation of the teaching model based on the problems in teaching and learning activities. Subjects in the study are students Education Economy Forces AA 2007 Non-Regular classes are 65 students. The results of this study indicate that student response to the application of the teaching model based on problems in Islamic Religious Education subjects classified as positive. The result of studying the matter of Islam and Globalization, Islam and civilization, Religion and Culture has increased significantly from 56.9% in the first cycle to 76.9% in cycle II, then in cycle III to 95.3%. The results of this study also includes assessment of student performance during the learning process progresses, based on observations of almost all the students showed good results in making observations, formulating problems, and make a hypothesis. Kata Kunci : Hasil Belajar, Pengajaran Berdasarkan Masalah

Vol IV No 1 Mei 2011

43


Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Agama Islam

Pendahuluan

Lembaga pendidikan dihadapkan pada berbagai permasalahan menyangkut siswa, pengajar, maupun fasilitas pembelajaran. Begitu juga yang dialami pada proses pembelajaran mata kuliah Agama Islam yang diberikan pada mahasiswa Pendidikan Ekonomi kelas AA Fakultas Ekonomi UNESA. Berbagai permasalahan sering bergulir saat mata kuliah Agama Islam disampaikan, antara lain rendahnya tingkat keaktifan mahasiswa pada saat pembelajaran berlangsung. Salah satu penyebabnya adalah heteroginitas pengalaman keagamaan mahasiswa dan masih minimnya pemahaman mereka terhadap agama. Tingkat pemahaman yang belum maksimal tercermin dalam nilai hasil belajar. Hasil belajar pada mata kuliah Agama Islam Pendidikan Ekonomi kelas AA masih kurang memuaskan. Hal ini bisa dilihat dari hasil posttest, dari 65 mahasiswa hanya 25% memperoleh nilai memuaskan atau A selebihnya mendapatkan nilai B (50%) dan 25% mendapat nilai C. Juga dilihat dari rendahnya tingkat partisispasi mahasiswa pada saat diskusi, pada saat penyelesaian studi kasus, dan belum maksimalnya dalam membuat dan mempresentasikan laporan. Hal ini menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam memberikan pendapat masih belum maksimal. Padahal minat mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan Agama Islam sangat tinggi. Antusiasme yang tinggi dalam mengikuti perkuliahan terlihat dari presensi kehadiran dan semangat mengikuti perkuliahan, mengerjakan dan mengumpulkan tugas yang diberikan Dosen. Mahasiswa biasanya tidak menyadari bahwa beberapa materi Agama Islam sering dijumpai kemudian dipecahkan bahkan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti melaksananakan ibadah wajib dan sunnah, tanggung jawab manusia dalam melestarikan alam, beriman, berakhlak dan beretika yang baik, Islam menghadapi era globalisasi, serta materi yang sesuai dengan disiplin ilmu (ekonomi) yaitu muamalah. Tanpa disadari, sebenarnya mereka telah mengetahui lebih banyak tentang ilmu agama. Dengan demikian sebenarnya apa yang dibahas dalam mata kuliah Agama Islam ada dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa. Maka sangatlah sesuai jika dalam penyampaian materi perkuliahan khususnya Agama Islam dengan menggunakan model pengajaran berdasarkan masalah. Metode yang digunakan adalah brainstrorming, diskusi, dan kuis sebagai upaya membelajarkan mahasiswa menyelesaikan beberapa kasus nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, kondisi ini akan membuat pembelajaran menjadi lebih konkrit dan hidup sehingga akan membantu pemahaman mahasiswa. Berdasarkan hasil pengamatan proses pembelajaran dapat diidentifikasi beberapa permasalahan utama dalam pembelajaran mata kuliah Agama Is-

44


Sri Abidah Suryaningsih

lam, antara lain: Bagaimana respon mahasiswa Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi UNESA pada mata kuliah Agama Islam terhadap penggunakan model pengajaran berdasarkan masalah, bagaimana hasil belajar mahasiswa Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi UNESA pada mata kuliah Agama Islam dengan menggunakan model pengajaran berdasarkan masalah. Sedangkan kontribusi hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan bagi mahasiswa untuk meningkatkan hasil belajar pada materi Agama Islam, dan bagi Dosen dapat dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran yang dikembangkan dan sebagai wahana untuk mengembangkan kreatifitas dalam model-model pembelajaran di perguruan tinggi. Pengajaran berdasarkan masalah merupakan model pembelajaran yang efektif untuk pengajaran proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks. (Ratumanan, 2004) Sebagaimana pendapat Arends (1997) pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan ketrampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Pengajaran berdasarkan masalah di lain pihak berlandaskan pada psikologi kognitif sebagai pendukung teoritisnya. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan mahasiswa (perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Walaupun peran pendidik pada pembelajaran berdasarkan masalah kadang melibatkan presentasi dan penjelasan sesuatu hal kepada mahasiswa, namun yang lebih lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga mahasiswa belajar untuk berfikir dan memecahkan masalah oleh mereka sendiri. (Ibrahim & Nur, 2005) Pada pembelajaran ini, guru berperan untuk mengajukan permasalahan atau pertanyaan, memberikan dorongan, motivasi, menyediakan bahan ajar dan fasilitas yang diperlukan. Karakteristik pengajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut: a). Pengajuan pertanyaan atau kasus, belajar berdasarkan masalah mengorganisasikan pembelajaran di sekitar pertanyaan dan permasalahan, guru menunjukkan situasi kehidupan nyata yang jawabannya tiak sederhana dan siswa berlomba untuk menyelasaikannya. b). Keterkaitan dengan disiplin ilmu lain, walaupun pembelajaran berdasarkan masalah ditujukan pada suatu bidang ilmu tertentu (sains,matematika, penelitian sosial), namun dalam pemecahan masalah-masalah aktual, siswa dapat diarahkan dalam penyelidikan diberbagai Vol IV No 1 Mei 2011

45


Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Agama Islam

bidang ilmu. C) Penyelidikan otentik, siswa menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan meramalkan,mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan menyimpulkan. d) Menghasilkan produk dan memamerkannya, menuntut siswa mengkonstruksikan hasil-hasil dalam bentuk hasil karya dan memamerkannya, yang menjelaskan penyelesaian mereka. Setiap kelom�pok menyajikan hasil karyanya bisa berupa laporan, video, dll. di depan kelas, selanjutnya kelompok lain memberikan tanggapan atau kritikan. Dalam hal ini pendidik mengarahkan dan memberi petunjuk kepada siswa lebih terarah. e) Kolaborasi, menghendaki adanya kerjasama antar siswa dalam suatu kelompok kecil. Kerjasama menimbulkan motivasi untuk mendukung peliputan dalam tugas-tugas kompleks dan meningkatkan inkuiri dan dialog pengembangan ketrampilan berfikir dan ketrampilan sosial. ( Ratumanan, 2004)

Temuan Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang pembelajaran berdasarkan masalah dengan metode inkuiri untuk meningkatkan konsepsi-konsepsi, aktivitas dan hasil belajar Sains Siswa SMP pernah dilakukan sebelumnya oleh I wayan Distrik. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peningkatan konsepsi-konsepsi, aktivitas dan hasil belajar siswa pada materi fisika menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah melalui metode inkuiri. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 20 Bandar Lampung dan SMP Al-Kautsar, dengan melibatkan 77 siswa kelas VIII Semester 2 Tahun pelajaran 2006/2007. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilakukan dalam 3 siklus. Kegiatan yang dilakukan meliputi perencanaan, pelaksanaan tindakan, evaluasi dan refleksi untuk tiap siklus. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) Pemahaman konsep siswa pada siklus I rata-rata 70,62, siklus II ratarata 76,74 dan siklus III rata-rata 83,79 (2) aktivitas siswa pada siklus I yaitu rata-ratanya 63,5, siklus II rata-rata aktivitas siswa 74,33, dan siklus III rata-rata aktivitas siswa 79,38. (3) hasil belajar siswa pada siklus I rata-rata 64,12, siklus II nilai rata-rata 69,24, dan pada siklus III nilai rata-rata 74,31.

Metode Penelitian

1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tindakan kelas dilakukan di Jurusan Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya yang berkedudukan di Kampus Unesa Ketintang Surabaya. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan pada semester genap tahun akademik 2008/2009 (bulan Mei sampai Desember 2009). Pelaksanaan tindakan (action) dilakukan pada bulan Agustus - September 2009. Materi pokok perkuliahan mahasiswa Pendidikan Ekonomi yang dipelajari pada mata kuliah

46


Sri Abidah Suryaningsih

Agama Islam adalah Islam dan Globalisasi. 2. Subjek dan Obyek Penelitian Sebagai subjek dalam penelitian adalah mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2007. Mahasiswa Pendidikan Ekonomi angkatan 2007 terbagi dalam 4 kelas. Kelas yang menjadi subyek penelitian adalah Kelas AA Non Reguler dengan jumlah mahasiswa sebanyak 65 orang. 3. Prosedur Penelitian Secara umum, penelitian ini menggunakan langkah-langkah model PTK oleh Kemmis dan McTaggart (1998) yang terdiri dari empat tahap, yaitu: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi yang bersifat siklis. Keempat tahap tersebut dilakukan dalam tiga kali siklus. 1.Tahap Perencanaan Tindakan, tahap ini pada dasarnya adalah membuat rencana tindakan, yaitu membuat rencana (persiapan-persiapan) dalam penerapan pembelajaran berdasarkan masalah untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa Pendidikan Ekonomi. Pada tahap ini terdapat banyak kegiatan, sehingga memerlukan waktu paling lama (3 bulan) dibandingkan dengan tahap-tahap lainnya. Adapun jenis kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini antara lain: 1. menyiapkan perangkat pembelajaran, yang terdiri dari: membuat skenario atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), membuat media pembelajaran Islam dan Globalisasi, membuat tes hasil belajar (THB). b) menyiapkan dan mengembangkan instrumen penelitian, yang terdiri dari: membuat lembar pengamatan aktivitas mahasiswa, membuat angket respon mahasiswa, mengembangkan tes hasil belajar. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh peneliti sebanyak tiga RPP, yaitu untuk tiga kali pertemuan efektif. Pengembangan RPP sebanyak tiga buah ini didasarkan atas alokasi waktu yang terdapat dalam silabus mata kuliah Agama Islam. Dan biasanya untuk menyelesaikan materi Islam dan Globalisasi,Islam dan peradapan, Agama dan Budaya dibutuhkan waktu kira-kira tiga minggu atau tiga kali pertemuan (6sks, satu pertemuan 2 sks atau 100 menit). 2. Tahap Pelaksanaan Tindakan, pada tahap pelaksanaan tindakan (action) ini peneliti akan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan model pembelajaran berdasarkan masalah, dengan metode diskusi. Secara umum, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran berdasarkan masalah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: a) Pretest, dilakukan sebelum proses pembelajaran berlangsung. Pretest digunakan untuk mengetahui kemampuan awal mahasiswa. Hasil pretest juga digunakan sebagai dasar pengelompokan mahasiswa. b) Proses Pembelajaran, proses pembelajaran dilakukan dalam tiga kali pertemuan efektif. Setiap Vol IV No 1 Mei 2011

47


Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Agama Islam

pertemuan berlangsung selama 100 menit atau setara dengan dua SKS. Selama proses pembelajaran dilakukan pengamatan terhadap aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran. Di setiap akhir proses pembelajaran dilaksanakan tes untuk mengetahui perkembangan hasil belajar mahasiswa. c) Posttest dilaksanakan pada akhir pembelajaran untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. 2. Tahap Observasi, obyek yang diamati selama observasi meliputi: mahasiswa dan kelas. Pengamatan terhadap mahasiswa terutama untuk mengetahui perkembangan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Pengamatan terhadap kelas berkaitan dengan iklim kelas dan proses belajar mengajar. Pengamatan terhadap mahasiswa dilakukan dengan menggunakan instrumen lembar pengamatan aktivitas mahasiswa.3. Tahap Evaluasi – Refleksi, Refleksi merupakan ulasan dari hasil kegiatan dan pengamatan. Refleksi dilakukan untuk mengevaluasi proses belajar mengajar yang sudah dilaksanakan. Melalui refleksi ini dapat diungkapkan kelebihan, kekurangan, dan masalah-masalah yang terjadi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Selain menggunakan hasil pengamatan, juga akan digunakan angket �respon mahasiswa� dan tes hasil belajar materi Islam dan Globalisasi. Pengukuran keberhasilan tindakan menggunakan rambu-rambu analisis sebagai pedoman untuk menganalisis proses dan hasil pembelajaran. Tindakan dikatakan berhasil apabila mencapai prosentase minimal 70% sampai 89% atau pada kualifikasi baik (B) dari sejumlah deskriptor yang telah dirumuskan dalam lembar observasi. Hasil pembelajaran dilihat dari hasil tes pada setiap siklus pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Dalam hal ini, hasil belajar mahasiswa dikatakan tuntas atau tidak jika seorang mahasiswa mencapai ketuntasan belajar dengan nilai > 70. Suatu kelas dikatakan tuntas bila dalam kelas telah mencapai > 85% mahasiswa yang telah dikatakan tuntas belajar. Refleksi dimaksudkan untuk memperbaiki skenario pembelajaran dan cara bertindak yang dilakukukan oleh dosen. Hasil dari evaluasi-refleksi digunakan untuk memperbaiki tindakan yang akan diterapkan pada siklus atau pertemuan berikutnya. 4. Analisis Hasil Penelitian Analisis Tes Hasil Belajar Mahasiswa meliputi : 1. Analisis ketuntasan belajar, data hasil tes belajar mahasiswa dianalisis dengan menggunakan kriteria, hasil belajar mahasiswa ditentukan tuntas atau tidak jika seorang mahasiswa mencapai ketuntasan hasil belajar > 70%. Dan suatu kelas dikatakan tuntas jika di dalam kelas telah mencapai > 85% mahasiswa yang telah dikatakan tuntas belajar. 2. Analisis asesmen kinerja. Pada model pengajaran berdasarkan masalah tidak cukup hanya dengan tes tertulis (paper and pencil test), penilaian yang lain melihat dari hasil pekerjaan siswa yang merupakan hasil

48


Sri Abidah Suryaningsih

penyelidikan mereka. Asesmen kinerja dapat berupa asesamen melakukan pengamatan, merumuskan pertanyaan, dan merumuskan hipotesis. (Trianto. 2007)

Hasil Penelitian

1. Penyajian Data Penelitian Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, di bawah ini disajikan beberapa hasil penelitian sebagaimana berikut: berdasarkan angket yang disebarkan kepada mahasiswa pada setiap akhir siklus dapat diperoleh beberapa data tentang respon mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi terhadap penerapan Pembelajaran berdasarkan masalah penyebaran angket, peneliti juga mewawancarai beberapa mahasiswa untuk mendengar pendapat mereka secara bebas. Berdasarkan hasil angket respon mahasiswa pada setiap siklus dapat diperoleh data tentang rata-rata respon mahasiswa, sebagai berikut: Tabel 1 Persentase Rata-rata Respon Mahasiswa Terhadap Pembelajaran Persentase (%)

No.

Kategori Respon

1.

4.

Dengan menerapkan model PBI, Apakah proses belajar mengajar termasuk baru? Dengan menerapkan model PBI, Apakah cara mengajar dosen termasuk baru? Apakah perasaan Anda senang dan antusias selama pembelajaran? Apakah suasana kelas menyenangkan?

5.

Apakah alokasi waktu yang diberikan cukup?

6.

Apakah bahasa yang digunakan dalam pengajuan masalah mudah dipahami? Apakah materi Agama Islam yang diajarkan dirasa bermanfaat dalam kehidupan? Apakah dengan model pembelajaran yang diterapkan Anda lebih mudah memahami materi kuliah? Apakah pembelajaran ini membuat Anda memahami materi Agama Islam dan mampu menyelesaikan studi kasus?

2. 3.

7. 8. 9.

Y

T

95.8

4.1

95.8

4.1

76.9

23

79.4

20.4

89.7

10.2

85.1

14.6

89.7

10.2

73.3

26.6

76.9

23

Vol IV No 1 Mei 2011

49


Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Agama Islam 10. Apakah dalam pembelajaran ini Anda mendapatkan banyak hal yang baru?

81.5

18.4

Sumber: Hasil angket respon mahasiswa dan data diolah a. Hasil Belajar Mahasiswa Dalam penelitian ini ada tiga jenis penilaian yang dilakukan yakni penilaian per siklus yang terdiri dari tiga siklus yakni siklus 1, siklus 2, dan siklus 3, setiap siklus terdapat Pretest digunakan oleh peneliti untuk mengetahui pengetahuan awal mahasiswa dan posttest untuk mengetahui hasil akhir pembelajaran Tabel 2 menyajikan data tentang persentase jumlah mahasiswa yang tuntas berdasarkan hasil belajar mahasiswa pada di setiap siklus. Tabel 2 Persentase Ketuntasan Belajar Mahasiswa Dengan penerapan PBI No

Keterangan

Jumlah Mahasiswa Tidak Tuntas Tuntas

Persentase (%) Tidak Tuntas Tuntas

1

Siklus 1

37

28

56.9

43

2

Siklus II

50

15

76.9

23

3

Siklus III

62

3

95.3

4.6

Sumber: Hasil tes belajar mahasiswa dan data diolah b. Asesmen kinerja Setiap siklus juga menilai dan menganalisis hasil pekerjaan yang berupa hasil penyelidikan mereka terhadap setiap permasalahan yang diangkat berdasarkan tema Islam dan globalisasi, islam dan peradapan, agama dan budaya. Tabel 3 menyajikan data tentang persentase asesmen melakukan pengamatan.

50


Sri Abidah Suryaningsih

Tabel 3 Rekapitulasi Asesmen-diri melakukan pengamatan (siklus I, II,dan III) No

Aspek yang Diamati

1.

Pengamatan dilakukan dengan aman, dengan menggunakan semua indra Pengamatan akurat secara kuantitatif dan kualitatif

2.

3.

Pengidentifikasian perubahanperubahan dalam obyek yang diamati

Penilaian % 1 10 (15,3%)

2 10 (15,3%)

3 25 (38,4%)

4 20 (30.7%)

15 (23%)

10 (15,3%)

20 (30.7%)

20 (30.7%)

15 (23%)

15 (23%)

20 (30.7%)

15 (23%)

Sumber: Hasil lembar observasi mahasiswa dan data diolah Tabel 4 menyajikan data tentang persentase asesmen merumuskan pertanyaan. Tabel 4 Rekapitulasi asesmen-diri merumuskan pertanyaan (siklus I, II, dan III) No

Aspek yang Diamati

1.

Pertanyaan-pertanyaan penuh pemikiran dan relevan diajukan

2.

Pertanyaan-pertanyaan dirumuskan dengan baik Pertanyaan-pertanyaan muncul logis dari pengamatan-pengamatan tersebut Pertanyaan-pertanyaan merupakan diskripsi dari pengamatanpengamatan tersebut

3. 4.

Penilaian % 1

2

3

4

5 (7.6%)

15 (23%)

25 (38,4%)

20 (30.7%)

5 (7.6%)

10 (15,3%)

25 (38.4%)

25 (38.4%)

15 (23%)

15 (23%)

20 (30.7%)

15 (23%)

5 (7.6%)

10 (15,3%)

25 (38.4%)

25 (38.4%)

Vol IV No 1 Mei 2011

51


Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Agama Islam 5.

6.

7.

8.

9. 10.

Pertanyaan-pertanyaan mempertanyakan sebab akibat atau prediksi-prediksi yang masuk akal dari pengamatan-pengamatan tersebut Pertanyaan-pertanyaan menginterpretasikan pengamatanpengamatan Pertanyaan-pertanyaan menganalisis pengamatan-pengamatan Pertanyaan-pertanyaan mengarahkan pada pengamatanpengamatan Suatu pertanyaan dipilih untuk penyelidikan Suatu justifikasi penuh pemikiran diberikan untuk mengapa pertanyaan-pertanyaan tersebut telah dipilih untuk penelitian lebih lanjut

5 (7.6%)

15 (23%)

25 (38,4%)

20 (30.7%)

0

15 (23%)

25 (38.4%)

25 (38.4%)

15 (23%)

15 (23%)

20 (30.7%)

15 (23%)

0

15 (23%)

25 (38.4%)

25 (38.4%)

0

15 (23%)

25 (38.4%)

25 (38.4%)

5 (7.6%)

15 (23%)

25 (38,4%)

20 (30.7%)

Sumber: Hasil lembar observasi mahasiswa dan data diolah Tabel 5 menyajikan data tentang persentase asesmen merumuskan hipo�tesis. Tabel 5 Rekapitulasi Asesmen-diri Merumuskan Hipotesis (siklus I, II,dan III) No

Aspek yang Diamati

1.

2.

52

Penilaian % 1

2

3

4

Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang mencerminkan pengamatan-pengamatan

10 (15,3%)

10 (15,3%)

25 (38,4%)

20 (30.7%)

Prediksi-prediksi dapat dihasilkan dari hipotesis tersebut

5 (7.6%)

10 (15,3%)

25 (38,4%)

20 (30.7%)


Sri Abidah Suryaningsih 3.

Diberikan suatu pembenaran yang penuh pemikiran mengapa dirumuskan hipotesis itu dan prediksi-prediksi lebih spesifik dapat difungsikan sebagai dasar percobaan

15(23%)

15(23%)

20 (30.7%)

15(23%)

Sumber: Hasil lembar observasi mahasiswa dan data diolah 2. Pembahasan Berdasarkan penyajian data hasil penelitian yang telah dikemukakan maka pada bagian ini akan dikemukakan diskusi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sebagai berikut: a. Pelaksanaan Pembelajaran, Pembelajaran dilaksanakan dalam tiga siklus yang dilakukan dalam tiga pertemuan efektif . Pembahasan dalam setiap siklus adalah sebagai berikut: a.1. Siklus 1 Pada siklus I, Dosen menggunakan model pengajaran berdasarkan masalah. Kendala utama yang dihadapi adalah kesulitan pengamatan kegiatan kinerja mahasiswa. Hal ini disebabkan jumlah mahasiswa yang banyak, sedangkan dosen tidak menggunakan asisten dalam pengamatan tersebut. Selain itu permasalahan atau kendala lain yang muncul pada siklus I dapat diidentifikasikan sebagai berikut: Mahasiswa belum terbiasa dituntut untuk berfikir ilmiah menelaah dan memecahkan permasalahan, dan dalam diskusi bersama, mahasiswa belum terbiasa untuk mengungkapkan pendapatnya secara individu. Guna mengatasi kendala-kendala tersebut, upaya yang dilakukan antara lain: memberikan penguatan positif kepada mahasiswa. Diharapkan dengan penguatan positif tersebut mampu meningkatkan percaya diri mahasiswa. a.2. Siklus II Dalam pelaksanaan siklus II, relatif tidak muncul kendala-kendala yang cukup berarti. Sehingga proses belajar mengajar berjalan lebih efektif dan efisien. Kondisi ini lebih disebabkan karena mahasiswa lebih siap dan terkondisikan untuk menerima materi. Selain itu, mahasiswa juga tidak lagi canggung atau lebih berani untuk menyampaikan pendapat mereka. Secara umum terdiskripsi sebagai berikut: a. Mahasiswa telah mampu mengembangkan cara berfikir ilmiah mereka sendiri dan mengkonstruk pemahaman mereka sendiri. b. Mahasiswa telah mampu menyatakan pendapatnya secara individu dalam diskusi Vol IV No 1 Mei 2011

53


Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Agama Islam

bersama. Suasana diskusi bersama menjadi lebih merata dan tidak didominasi oleh kelompok tertentu. c. Mahasiswa dapat memprediksi terhadap beberapa hal yang kemungkinan terjadi dalam pemecahan setiap kasus dengan memandang permasalahan dari sudut yang berbeda. a.3. Siklus III Dalam pelaksanaan siklus ketiga, mahasiswa dituntut menyelesaikan permasalahan secara individu artinya mahasiswa bekerja secara mandiri dalam menyelesaikan permasalahan yang diajukan. Namun selama proses berlangsung tetap didampingi dosen. Situasi ini memacu motivasi semua mahasiswa untuk belajar secara mandiri, dan mamacu mahasiswa untuk berkompetisi membuat laporan secara tertulis untuk selanjutnya di demonstrasikan didepan teman sekelas. Beberapa kemajuan penting yang muncul pada siklus ketiga adalah: Mahasiswa telah mampu mengembangkan analisis secara mandiri, dan Mahasiswa telah mampu menyatakan pendapatnya secara tertulis dalam bentuk laporan individu untuk selanjutnya didemonstrasikan sekaligus di kroscek dengan laporan antar mahasiswa b. Respon Mahasiswa Terhadap Pembelaj3aran Berdasarkan data pada tabel 1 tersebut di atas, ditunjukkan bahwa mahasiswa menganggap proses belajar mengajar pada materi Islam dan Globalisasi, dan Islam dan Peradapan, Agama dan budaya dengan menggunakan model Pengajaran Berdasarkan Masalah adalah hal yang baru. Hal ini terbukti dengan sekitar 95.8% mengatakan ya, sedangkan sisanya 4.1% menjawab tidak. Selain itu, sekitar 95.8% mahasiswa menyatakan bahwa cara mengajar dosen dalam menyampaikan materi Islam dan Globalisasi juga tergolong baru. Sisanya sebesar 4.1% mengatakan tidak. Merujuk pada hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa diperoleh data, bahwa proses belajar mengajar dan cara dosen mengajar termasuk baru karena sejauh ini mereka mempelajari Agama Islam hanya secara teoritik dan Dosen cenderung menggunakan metode ceramah dalam menyampaikan materi. Sejauh ini mereka menganggap ilmu Agama sebagai ilmu yang teoritik dan abstrak. Sehingga dalam proses belajar mengajar sering timbul kebosanan. Menurut mereka dengan diterapkannya Pengajaran berdasarkan Masalah oleh dosen menjadikan materi Agama Islam sebagai ilmu yang nyata atau riil dan terkesan praktis tidak teoritik. Selain itu cara mengajar dosen juga memberikan warna tersendiri dalam pembelajaran Agama Islam. Perasaan mahasiswa selama mengikuti perkuliahan dan suasana kelas pun

54


Sri Abidah Suryaningsih

menjadi menyenangkan. Pernyataan ini didukung oleh sekitar 76.9% mahasiswa menyatakan bahwa mereka merasa senang selama mengikuti perkuliahan dan 79.4% menyatakan suasana kelas menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Pengajaran Berdasarkan Masalah mampu menciptakan iklim yang kondusif untuk pembelajaran, khususnya pada mata kuliah Agama Islam yang sejauh ini dikenal oleh beberapa mahasiswa sebagai mata kuliah yang relatif sulit untuk dipahami, apalagi bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang memadai. Sisanya, sekitar 23% menyatakan bahwa perasaan mereka tidak senang dalam mengikuti perkuliahan dan 20.4% menyatakan suasana kelas kurang menyenangkan. Berdasarkan hasil wawancara, beberapa mahasiswa menyatakan bahwa suasana kelas menjadi kurang menyenangkan diantaranya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Jumlah mahasiswa yang terlalu banyak, yaitu 65 mahasiswa., dan Jumlah mahasiswa yang terlampau banyak juga berdampak pada lemahnya pengelolaan kelas. Dosen cenderung lemah memperhatikan mahasiswa pada barisan belakang. Kendatipun demikian, dalam aspek alokasi waktu yang diberikan dosen, sekitar 89.7% mahasiswa menyatakan bahwa alokasi waktu yang diberikan cukup untuk menyelesaikan setiap materi. Sisanya 10.2% menyatakan bahwa waktu yang dialokasikan kurang memadai. Cukupnya waktu yang telah dialokasikan ini juga didukung oleh penggunaan bahasa dalam pengajuan masalah yang mudah dipahami. Sebanyak 85.1% mahasiswa menyatakan pengajuan masalah oleh dosen lebih mudah dipahami. Namun terlepas dari beberapa respon yang muncul, kemajuan yang terpenting dalam penerapan pengajaran berdasarkan masalah adalah 89.7% mahasiswa menyatakan bahwa materi Agama Islam yang diajarkan bermanfaat dalam kehidupan mereka. Selain itu 73.3% mahasiswa menyatakan bahwa melalui model-model pembelajaran yang telah diterapkan dalam penyampaian materi membuat mereka lebih mudah memahami materi yang diajarkan. Dan sebagian besar atau 81.5% mahasiswa menyatakan bahwa banyak hal-hal baru yang diperoleh dari pembelajaran ini. Dan sekitar 23% mahasiswa masih menyatakan kesulitan untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Meskipun demikian hal ini bukanlah hambatan yang berarti. Kesulitan mahasiswa dalam menyelesaikan permasalahan dikarenakan mahasiswa sebagian besar belum terbiasa menyelesaikan kasus secara sistematis. c. Hasil Belajar Mahasiswa Berdasarkan data pada tabel 2, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan tingkat ketuntasan belajar mahasiswa dari siklus pertama hingga siklus ketiga. Di bawah ini disajikan diagram batang hasil belajar mahasiswa:

Vol IV No 1 Mei 2011

55


Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Agama Islam

Diagram 1 Persentase Ketuntasan Belajar Mahasiswa Dengan penerapan PBI

Sumber: Hasil tes belajar mahasiswa dan data diolah Dari diagram diatas dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan tingkat ketuntasan belajar klasikal dari 56.9% pada siklus I menjadi 76.9% pada siklus II, kemudian pada siklus III menjadi 95.3%. Peningkatan ketuntasan belajar secara klasikal dari siklus I ke siklus II disebabkan karena permasalahan siklus II disusun berdasarkan modul yang telah didiskusikan bersama antara dosen dan mahasiswa. Sedangkan perbaikan ketuntasan kelas pada siklus III disebabkan oleh alokasi waktu yang diberikan disesuaikan dengan tingkat kerumitan permasalah. d. Asesmen kinerja Asesmen-diri melakukan pengamatan, Berdasarkan data pada tabel 3 tersebut di atas, ditunjukkan bahwa 38,4% mahasiswa melakukan pengamatan dengan pelibatan semua indra dengan baik, dan 30.7% mahasiswa melakukannya dengan sangat baik artinya mereka bisa mengorganisasikan hasil pengamatan dengan baik, sehingga menghasilkan suatu studi dan analisa secara rinci, hanya sekitar 20 ( 30.7%) mahasiswa kurang bagus dalam melakukan pengamatan dengan menggunakan seluruh indra secara aman dan benar. Pengamatan akurat secara kuantitatif dan kualitatif juga dilakukan dengan baik dan sangat baik oleh 40 atau 61.5% mahasiswa, sebagai contoh mereka menggunakan sistem matriks untuk pengamatan kuantitatif, dan menganalisis secara akurat untuk pengamatan kualitatif. Hasil analisa permasalahan bisa ditampilkan dalam bentuk grafik, tabel dan diagram. Hanya 25 (38.4%) mahasiswa yang kurang bagus melakukan pengamatan secara akurat. Mahasiswa masih belum bagus dalam Pengidentifikasian perubahanperubahan dalam obyek yang diamati dalam bentuk catatan-catatan yang

56


Sri Abidah Suryaningsih

terorganisir dan mudah dibaca, hampir separuh mahasiswa atau 30 ( 46 %) mahasiswa tidak melakukan tahapan ini. Dan 35 ( 53.8 %) mahasiswa sudah bagus dalam mengidentifkasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam obyek yang diamati. Asesmen-diri merumuskan pertanyaan, berdasarkan rincian pada tabel 4 dapat disimpulkan bahwa 38.4% mahasiswa sudah bagus dalam mengajukan pertanyaan yang mencerminkan suatu pemikiran seksama atas pengamatan-pengamatan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan meliputi pemikiran tingkat lebih tinggi, seperti interpretasi, analisis, dan evaluasi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut langsung memandu prediksi-prediksi yang dapat menjadi dasar untuk percobaan atau analisi kasus lebih lanjut. Sebagian mahasiswa atau sekitar 30.7% mahasiswa telah mampu menunjukkan pemahaman yang hebat dengan merumuskan pertayaan-pertanyaan luar biasa dan sangat menarik. Pemikiran ke arah lebih tinggi terlihat sangat jelas. Hanya sekitar 23 % mahasiswa kurang bagus dalam merumuskan pertanyaan, pemikiran tingkat tinggi tidak tampak, beberapa pertanyaan kelihatan tidak berhubungan dengan kasus yang diamati. Mahasiswa tidak memberikan suatu penjelasan yang dipikirkan dengan seksama terhadap mengapa suatu pertanyaan tertentu telah dipilih untuk penelitian lebih lanjut. Asesmen- diri merumuskan hipotesis, berdasarkan rincian pada tabel 5 dapat disimpulkan bahwa 69.2% mahasiswa sudah mampu membuat suatu hipotesis yang luar biasa bermakna, prediksi-prediksi jelas dapat diuji, memberikan penjelasan-penjelasan penuh pemikiran tentang bagaimana hipotesis ini dan prediksi-prediksi akan dibuat untuk dasar analisa kasus yang amat baik. Sekitar 38.4% mahasiswa kurang bagus dalam membuat hipotesis dan prediksi-prediksi. Mahasiswa tidak memberikan suatu penjelasan penuh pemikiran tentang bagaimana hipotesis dan prediksi tersebut akan menjadi dasar untuk menganalisa permasalahan.

Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan Berdasarkan analisis data yang berasal dari pengamatan pengelolaan pembelajaran, respon mahasiswa, dan hasil belajar mahasiswa, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Respon mahasiswa terhadap penerapan Model pengajaran berdasarkan masalah dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam tergolong positif. Dan hasil belajar pada materi Islam dan Globalisasi, Islam dan Peradapan, Agama dan Budaya mengalami peningkatan yang cukup berarti dari 56.9% pada siklus I menjadi 76.9% pada siklus II, kemudian pada siklus III menjadi 95.3%. Hasil belajar ini juga dilengkapi asesmen kinerja mahasiswa selama proses pembelajaran berlangsung, berdasarkan hasil pengamatan hampir seluruh mahasiswa menunjukkan hasil yang baik dalam Vol IV No 1 Mei 2011

57


Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Agama Islam

melakukan observasi, merumuskan masalah, dan membuat hipotesis. 2. Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: Pengajaran Berdasarkan Masalah perlu diterapkan oleh Dosen sebagai bentuk pendekatan pembelajaran di bangku kuliah, sebab dalam parameter aktivitas mahasiswa, hasil belajar, dan respon mahasiswa pendekatan ini menunjukkan pengaruh yang positif. Dan beberapa perangkat dalam penelitian ini kiranya dapat menjadi salah satu preferensi perangkat pembelajaran yang ada. Sehingga mempermudah Dosen dalam mengelola pembelajaran dalam kelas.

58


Sri Abidah Suryaningsih

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta Arrends,R.I. 1997. Classroom Instruction And Management. New York: McGraw Hll. Inc http://pustakailmiah.unila.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/I-WayanDistrik-PEMBELAJARAN-BERDASARKAN-MASALAH1.pdf Ibrahim, Muslimin, dkk. 2005. Pengajaran berdasarkan masalah. Surabaya: University Press Kemmis, S. & Mc. Taggart, R. 1988. The Action Research Planner. 3rd ed. Victoria: Deakin University Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konstektual, Jakarta:Bumi Aksara Nur, Muhammad. 1978. Evaluasi Pengajaran. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Nur, Muhammad. 2004. Guru yang Berhasil dan Model Pengajaran Langsung. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa Nur, Muhammad, dkk. 2004. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa Purwanto, Ngalim. 2004. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya Ratumanan,Gerson, Tanwey. 2004. Belajar dan Pembelajaran, Unesa University Press Sanjaya, Wina. 2006. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Media Group Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta Surapranata, Sumarna. 2004. Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya Trianto, 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta: Prestasi Pustaka University of Washington College of Education. 2001. Training for Indonesian Education Team In Contextual Teaching and Learning. Seatle, Washington, USA Yani, Turhan.M, 2007. Kurikulum Pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Vol IV No 1 Mei 2011

59


Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Agama Islam

60


PENGAJARAN BAHASA PADA USIA SEKOLAH: PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA Oleh : Mohamad Muklis

Abstract Merging the various elements in language learning is very helpful to achieve better learning results. Strategies used by teachers usually must be adapted to the needs and learning rhythm and schemes (schemata) which has been owned by the learners. Behaviorism theory teaches us that language learning can only be achieved with priority habits in their daily drill. Meanwhile, cognitivism considers that the achievement of one’s linguistic abilities will be affected by the development of cognition sting as well. On the other hand, constructivism put forward new creations in language teaching in order to get the most from the material and the material being taught. Kata kunci: strategi, behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisme

Pendahuluan

Interaksi yang dilakukan oleh manusia adalah bentuk komunikasi yang mereka lakukan sebagai bagian dari proses sasial yang terjadi dalam masyarakat. Demikian juga bagi para pembelajar bahasa di sekolah. Komunikasi yang mereka lakukan adalah bentuk ekspresi diri dari apa yang mereka inginkan kepada lawan bicara agar mereka bisa memahami apa yang diinginkan atau dikehendaki oleh si pembicara. Hal tersebut merupakan salah satu cara dari sekian banyak cara yang dimiliki manusia dalam mengekspresikan keinginanVol IV No 1 Mei 2011

61


Pengajaran Bahasa Pada Usia Sekolah

nya.

Komunikasi yang dilakukan manusia, termasuk para pembelajar, dapat dilakukan dengan banyak cara. Ada yang berkomunikasi dengan menggunakan lisan, tulisan, sinyal, kode dan lain sebagainya. Komunikasi ini bisa dilakukan melalui berbagai media baik langsung maupun tidak langsung. Komunikasi langsung bisa dilakukan dengan cara berbicara langsung dengan lawan bicaranya. Sementara komunikasi yang tidak langsung lebih bervariasi caranya. Ada yang menggunakan telepon, surat, SMS, ataupun berbagai macam tanda dan kode yang sebelumnya telah disepakati pemaknaannya oleh para penggunanya. Dari berbagai peristiwa tindak komunikasi tersebut, hal utama yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari proses tersebut adalah adanya kesamaan pemahaman terhadap apa yang mereka ucapkan atau mereka tunjukkan (sinyal, kode, tulisan, dan lain-lain). Hal ini disebut dengan bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh pemakainya untuk berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa iu sendiri meliputi banyak jenis dan macamnya. Mulai bahasa lisan, tulisan, bahasa tubuh, gerak tangan, atau apapun yang kesemuanya dimaksudkan sebagai alat untuk saling memahami antara seorang penutur dengan penutur lainnya (baca: lawan bicaranya). Penguasaan bahasa-bahasa tersebut merupakan bentuk kesepakatan bersama dari para pemakainya. Kesepakatan bersama itu bisa jadi berupa kesepakatan budaya, kesepakatan ideologi, kesepakatan dalam kelompok ataupun ksepakatan-kesepakatan lainnya. Namun yang paling utama dari kesepakatankesepakatan tersebut adalah adanya kesepahaman pemaknaan dari para pemakai bahasa itu terhadap apa yang menjadi kesepakatan mereka dan pemaknaan dari apa yang mereka sepakati tersebut. Makna merupakan hal yang paling mendasar dari sebuah bahasa. Bahasa tidak akan mungkin terwujud bila diantara para pemakai bahasa tidak terjadi kesepakatan dan kesepahaman makna dari bahasa itu. Perbedaan pemaknaan dari suatu tindak kebahasaan bisa mengakibatkan suatu kesalahan yang fatal dari sebuah proses komunikasi. Hal tersebut mengakibatkan proses komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik. Jadi bisa dikatakan bahwa pembelajaran bahasa pada intinya adalah pembelajaran makna itu sendiri. Selain kesepahaman makna, hal lain yang juga tidak kalah pening dari sebuah proses komunikasi adalah penguasaan bahasa itu sendiri. Penguasaan bahasa juga menjadi salah satu syarat mutlak bagi seseorang untuk dapat bekomunikasi dengan baik kepada lawan bicaranya. Orang yang tidak menguasai bahasa Indonesia tidak akan mugkin bisa berkomunikasi dengan penutur yang hanya memahami bahasa Indonesia saja. Pemakaian bahasa isyarat antara kedua orang tersebut juga mungkin akan sangat terasa kurang bisa saling memahami apa yang dimaksud oleh masing-masing pihak yang disebab-

62


Mohamad Muklis

kan karena perbedaan budaya atau latar belakang yang dimiliki oleh mereka. Untuk itu penguasaan bahasa dan bahkan terlebih lagi budaya yang dimiliki oleh penutur bahasa tersebut seharusnya telah dikuasai oleh seseorang yang ingin berinteraksi dengan penutur bahasa tersebut. Di samping itu, penguasaan bahasa oleh seseorang untuk berkomunikasi haruslah bisa dipahami dan dimengerti oleh lawan bicaranya. Untuk itu, berbagai penguasaan yang menyangkut bahasa itu, seperti perbendaharaan kata yang cukup, penguasaan tata bahasanya, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebahasaan tersebut mutlak harus dimiliki oleh calon penuturnya. Termasuk didalamnya adalah bagaimana agar seseorang tersebut juga bisa menganalisa dan memahami apakah suatu tindak kebahasaan oleh seorang penutur itu sudah dapat dipahami atau sudah layak untuk dianggap sebagai sebuah wacana yang bisa dimengerti oleh lawan bicara. Saat ini, pengajaran bahasa pada umumnya masih menggunakan pola-pola pengajaran dan pendekatan structural, walaupun sudah ada juga yang sudah mengkombinasikan dan bahkan menggantinya dengan pendekatan dan strategi pengajara model konstruktivisme yang lebih variatif dan mengedepankan aspek-aspek kompetensi kebahsaan yang telah dimiliki oleh para siswa. Pengembangan pendekatan dan kurikulum berbasis kompetensi di sekolah-sekolah dewasa ini juga sudah mulai terasa manfaatnya pada keberhasilan pengajaran kebahasaan

Permasalahan Pengajaran Bahasa di Sekolah

Ketika seseorang sedang mencoba untuk mengajarkan bahasa pada orang lain (baca: siswa), bisaanya akan muncul permasalahan yang bisa jadi hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai sebuah permasalahan yang sepele. Banyak dari para pengajar di negara kita, baik di lingkungan sekolah formal maupun nonformal menemui banyak kendala ketika harus mengajarkan bahasa. Kesulitan yang dihadapi oleh para pengajar ini umumnya bervariasi. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain adalah kurangnya kemampuan pengajar dalam memahami bahasa yang diajarkan, kurangnya pengetahuan tentang pengajaran bahasa yang benar, kurangnya referensi yang bisa dipakai sebagai bahan acuan, rendahnya kemampuan dan daya serap siswa dalam mempelajari bahasa, lingkungan yang kurang mendukung, dan lain-lain. Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya harus diupayakan jalan pemecahannya. Berbagai diskusi, pelatihan guru, seminar-seminar kecil dan lain-lain mungkin bisa jadi salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Pengadaan buku-buku yang penunjang akan sangat penting artinya bagi pemulusan langkah untuk bisa meningkatkan kemampuan guru dalam pengajaran dan bagi siswa untuk pembelajaran baVol IV No 1 Mei 2011

63


Pengajaran Bahasa Pada Usia Sekolah

hasa. Keberadaan referensi-referensi mutakhir dan terpercaya niscaya akan bisa meningkatkan motivasi bagi mereka untuk meningkatkan kemampuan memahami, mempelajari, dan mengajarkan wacana. Termasuk di dalamnya adalah referensi tentang buku pegangan bagi guru dan murid sebagai acuan dari proses belajar mengajar (PBM) itu sendiri. Pada bagian lain, masalah lingkungan yang kurang mendukung pengajaran bahasa juga merupakan masalah tersendiri yang juga tidak bias dipisahkan dari problematika pengajaran bahasa. Lihat saja keadaan lingkungan di kebanyakan sekolah dan lembaga pendidikan bahasa yang ada di Indonesia. Mayoritas, keadaan lingkungan tersebut tidak layak atau tidak akan bias menunjang keberhasilan pengajaran bahasa dengan baik. Selain lingkungan, jumlah siswa yang besar dalam satu kelas bahasa secara nyata telah meghambat keberhasilan pengajaran bahasa karena ketidakefektifan PBM. Hampir semua teori pengajaran bahasa menyatakan bahwa besarnya jumlah siswa dalam satu ruang atau kesempatan belajar menjadikan ketidakoptimalan guru dalam berinteraksi dan memperhatikan siswanya untuk bisa aktif dalam PBM. Masalah lain yang juga tidak kalah peliknya adalah kurangnya perhatian dari pihak ketiga (baca: pemerintah, orang tua siswa, dan praktisi kebahasaan) akan masalah tersebut. Hal ini memang di luar sisi pengajaran bahasa itu sendiri. Namun, damapak tidak langsung yang diakibatkan oleh hal tersebut sangat dirasakan terutama oleh para pengajar ketika PBM berlangsung dan output yang dihasilkan juga kurang maksimal. Dalam makalah singkat ini, akan dibahas beberapa teori pengajaran bahasa dan implementasinya di lapangan serta sedikit pemecahan masalah dari problematika yang dihadapi dalam PBM bahasa.

Problem Pengajaran Bahasa dan Pemecahannya

Peliknya permasalahan yang terdapat dalam dunia pendidikan bahasa yang ada dewasa ini membawa kita untuk mencoba berpikir lebih mendalam tentang cara memecahkan masalah-masalah tersebut. Banyak pihak telah seringkali mengadakan seminar-seminar tentang kebahasaan dan termasuk juga pengajaran bahasa di dalamnya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Tidak bisa juga kita pungkiri, perhatian pemerintah selama kurang lebih 5 tahun terakhir ini pada sektor pengajaran bahasa bisa dikatakan lebih baik daripada sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan dibukanya pendidikan penyetaraan bagi para pengajar bahasa di sekolah-sekolah dasar hingga perguruan tinggi sehingga diharapkan akan bisa memenuhi standar minimal yang disyaratkan. Keberadaan buku-buku penunjang pengajaran bahasa juga masih sangat kurang. Pengadaan buku-buku penunjang pengajaran bahasa niscaya akan da-

64


Mohamad Muklis

pat membantu memperbaiki permasalahan yang ada. Penataan lingkungan belajar bahasa yang memadai dapat dikatakan sebagai salah satu syarat wajib bagi keberhasilan pengajaran bahasa. Lingkungan yang tertata rapi dan memadai akan sangat membantu keberhasilan PBM bahasa. Misalanya saja, jika di setiap sekolah mewajibkan satu atau beberapa tempat tertentu di sekolah bagi seluruh “civitas akademika� sekolah itu untuk menggunakan bahasa tertentu dalam berinteraksi dan berkomunikasi, maka, para siswa akan sangat terbantu dengan keberadaan sistem itu. Siswa yang ingin mempraktekkan pelajaran bahasa yang telah dipelajarinya tidak akan kesulitan untuk melakuakan hal itu dan tidak akan takut serta malu jadi bahan olokan temannya yang tidak menyukai bahasa tersebut. Hal ini tentu sangat membantu meningkatkan keberhasilan pengajaran bahasa. Sistem sekolah di Indonesia pada umumnya adalah “membenarkan� atau bahkan mengatur jumlah siswa dalam satu kelas dalam jumlah maksimal atau sekitar 40 siswa. Hal ini tentu saja tidak akan bisa efektif dalam pengajaran bahasa. Pengajaran bahasa hendaknya diatur dalam kelas-kelas kecil untuk lebih memudahkan guru dalam berinteraksi dan memperhatikan setiap siswanya demi tercapainya tujuan utama pembelajaran itu sendiri. Perhatian, interaksi, dan pemberian kesempatan siswa untuk dapat lebih aktif dalam PBM bahasa akan sangat berdampak positif bagi perkembangan pembelajaran bahasa yang sedang di jalani.

Kajian Teori Pengajaran Bahasa

Berkaitan dengan pengajaran bahasa, tentunya kita tidak akan bisa melepaskan diri dari pendapat para ahli tentang pengajaran bahasa, baik dari golongan behavioris, kognitivis, maupun konstruktivis. Dalam berbagai tulisan yang ada, para ahli telah coba untuk memberikan berbagai ilustrasi dan strategi pengajaran bahasa. Kebanyakan dari strategi ini menekankan pada pentingnya praktek dalam pembalajaran wacana. Tarigan1 mengatakan bahwa pengajaran bahasa dapat diberikan dengan berbagai macam strategi. Di antaranya adalah diskusi kelompok, baik kelompok resmi maupun tidak resmi, pelatihan debat, dan pelatihan pidato. Dari pandangan ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa pengajaran dan pembelajaran wacana akan dapat dilakukan dengan pelatihan langsung kepada para pembelajar. Dalam pola pembelajaran melalui strategi diskusi kelompok, misalnya, guru sebagai pengarah diskusi bisa memberikan materi atau topik diskusi sesuai dengan schemata yang telah dimiliki siswa dan meminta para siswa untuk aktif berbicara dan membuat catatan atau laporan tentang hasil diskusi pada akhir bagian. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam diskusi tersebut para siswa diminta untuk aktif (di bawah pengawasan guru tentunya) membuat 1

Henry Guntur Tarigan, 1981. Berbicara sebagai suatu ketrampilan berbahasa. Bandung: Angkasa. hal. 78

Vol IV No 1 Mei 2011

65


Pengajaran Bahasa Pada Usia Sekolah

dan berkreasi membentuk kalimat-kalimat baru yang masih memiliki hubungan dengan topik dan kalimat-kalimat sebelumnya. Dengan demikian, para siswa tersebut secara aktif akan berlatih untuk berbicara secara langsung. Tujuan hal ini adalah untuk melatih pembelajar untuk membiasakan diri mereka aktif berbahasa bukan hanya pada tataran kalimat saja. Akan tetapi, lebih dari itu, para pembelajar diharapkan mampu untuk berinteraksi dengan baik dan benar ketika mereka harus terjun ke dalam lingkungan social yang lebih besar. Sementara itu, pemberian tugas laporan hasil diskusi secara tertulis dari masing-masing peserta diskusi bertujuan untuk melatih bahan yang sudah didiskusikan dalam bentuk tulisan. Woolfolk dalam Cook2 mengatakan bahwa pola pengajaran tersebut di atas dapat dikategorikan pada metode pembelajaran bahasa yang menggabungkan teori behaviorisme yaitu membiasakan diri dengan berlatih berbicara bahasa yang sedang dipelajari dan kognitivisme yaitu mengulang pelajaran dengan menulis pelajaran yang baru saja dipelajari guna mentransfer ingatan atau input yang baru dari short Term Memory (STM) ke Long Term Memory (LTM), sehingga, output baru tersebut akan bisa bertahan lama dalam ingatan seorang pembelajar Model pengajaran di atas pada hakikatnya mengikuti teori konstruktivisme yang lebih mengedepankan kreasi-kreasi baru dalam pengajaran bahasa guna memperoleh hasil maksimal dari bahan dan materi yang diajarkan. Sementara itu, latihan debat dan berpidato juga bertujuan untuk membentuk karakter peserta pembelajaran untuk bisa berbicara dengan baik yang memenuhi kriteria kewacanaan yang urut, utuh, kohesif, dan koheren, sehingga para siswa tidak akan terpatri pemahaman mereka dalam mempelajari bahasa hanya sampai pada tataran kalimat saja, tetapi leih mengarah pada pembentukan kebiasaan berbicara yang bisa mencakup sampai tataran wacana.3 Nana Sudjana4 lebih menekankan pada analisis tugas dalam pengajaran bahasa. Hal ini tentu lebih berkaitan erat dengan bahasa tulis. Para siswa diberi materi berbetuk tulisan pendek atau beberapa paragraf tentang topik-topik tertentu. Pemberian topik disesuaikan dengan kebutuhan dan latar belakang pendidikan yang telah dimiliki siswa. Pemberian tugas secara individu ataupun secara berkelompok juga menjadi petimbangan. Kemudian para siswa di minta untuk menganalisa tentang tulisan tersebut. Analisa yang di maksud dalam pandangan Sudjana ini adalah analisa secara lengkap. Kelengkapan analisa itu meliputi kandungan tulisan, analisa grammatika, analisa kewacanaan, dan analisa lainnya yang disesuaikan dengan tingkat pembelajaran siswa. Dari sini 2 3 4

Cook, G. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press, p. 387 Brown, Douglas, H. Principles of Language Learning and Teaching. New Jersey: Prentice Hall Inc, 1980, p. 135 Nana Sudjana, 1991. Teori-teori belajar untuk pengajaran. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, hal. 99

66


Mohamad Muklis

bisa terlihat bahwa Nana Sudjana tidak hanya menekankan unsur praktek dalam pengajaran bahasa, tetapi lebih menekankan pada sisi kognitif siswanya, yaitu penguasaan unsur-unsur pembentuk dan pelengkap pembentukan suatu bahasa. Perbedaan mendasar antara teori Tarigan dan Sudjana adalah dari sisi materinya. Tarigan lebih menekankan pada kemapuan siswa untuk dapat secara langsung berbicara secara lisan dan melatih kembali input yang diperoleh dengan memberikan laporan berupa catatan-catatan yang dihasilkan dari pembelajaran yang baru saja dilalui. Sementara itu, Sudjana lebih menekankan kemampuan analisis siswa dalam menganalisa tulisan yang diberikan oleh guru atau pengajar lainnya sebagai stimulus bagi siswa untuk mempelajari bahasa. Teori lain yang bisa dijadikan rujukan untuk pengajaran wacana adalah pendapat dari Paulina Pannen5 (2001) tentang belajar kooperatif dan kolaboratif. Menurut Pannen, pengajaran wacana dapat diajarkan dengan pola kooperatif dan kolaboratif (kedua pola ini memakai system belajar bersama atau kelompok). Dalam pola kooperatif, para siswa di minta untuk bekerjasama dalam membuat wacana dan menganalisanya secara acak. Artinya, masingmasing siswa atau sekelompok siswa di minta membuat karya kebahasaan berupa karya tulis untuk kemudian menukarnya dengan siswa atau kelompok lain untuk dianalisa. Sementara itu, pola kolaboratif hampir menyerupai pola kooperatif. Bedanya adalah dalam pola kolaboratif, siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil dan diberi tugas membuat dan menganalisa karya para siswa. Dalam kelompok tersebut sebagian siswa ditugaskan untuk membuat tulisan dengan di analisa oleh anggota kelompok yang lain sampai terbentuk satu tulisan yang memenuhi kaidah kewacanaan yang baik. Sudjana mengemukakan pendapat Gagne tentang prosedur pengajaran bahasa yang baiak dalam sebuah PBM6. Ke sembilan prosedur itu adalah: 1. Menumbuhkan perhatian siswa. 2. Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil-hasil yang diharapkan akan dicapai oleh para siswa. 3. Mendorong para siswa untuk mengingat kembali kemampuan yang menjadi prasyaratnya. 4. Menyajikan stimulus atau input yang sesuai dengan tugas belajarnya. 5. Menawarkan pedoman belajar kepada apara siswa. 6. Menyediakan umpan balik. 7. Menafsirkan perbuatan belajar siswa. 8. Membuat kondisi untuk terjadinya transfer belajar, dan 5 6

Pannen, Paulina, dkk, 2001. Konstruktivisme dalam pembelajaran. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka, hal. 99 Nana Sudjana, 1991. Teori-teori belajar untuk pengajaran. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, hal. 78

Vol IV No 1 Mei 2011

67


Pengajaran Bahasa Pada Usia Sekolah

9. Menjamin tercapainyakesanggupan mengingat kembali. Pola pengajaran lain yang masih banyak digunakan adalah pemberian atau pentransferan pengetahuan guru kepada siswa yang diberikan secara ceramah. Tujuan dari pola ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang wacana dan ilmu kewacanaan kepada para siswa. Dengan pola ini, para siswa diharapkan akan dapat lebih memahami suatu wacana secara lebih baik. Dengan pengetahuan yang cukup, para siswa juga diharapkan mampu untuk membuat dan menganalisa suatu tindak kebahsaaan baik lisan maupun tulisan dengan baik pula. Namun, pada kenyataannya pola pendekatan pengajaran seperti ini dirasakan kurang efektif dan lebih banyak berakhir dengan kekurangpahaman siswa pada materi yang diajarkan.

Kesimpulan

Dari beberapa teori yang dikemukakan pada bagian sebelum ini, dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengajaran wacana dapat diberikan dengan lebih memberikan kesempatan pada para siswa untuk lebih banyak melakukan praktek kewacanaan secara langsung dengan menggunakan berbagai macam strategi pengajaran yang bervariasi, seperti debat, pidato dan diskusi. 2. Pengajaran wacana melalui model dan strategi pengajaran yang lebih mengedepankan kemampuan penganalisaan suatu tulisan atau ujaran bisa menjadi penambah atau pelengkap untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang kewacanaan dan melatih siswa untuk lebih baik dalam memahami wacana dan isinya. 3. Pola-pola pengajaran wacana dapat dilakukan dengan memakai banyak cara atau pendekatan. Di antaranya pendekata kolaboratif dan kooperatif. 4. Selain itu, cara lain yang masih banyak dipakai oleh para pengajar di Indonesia adalah metode ceramah dan membekali siswa dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh pengajarnya yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang kewacanaan. Akan tetapi, pola pengajaran seperti ini dirasakan kurang efektif.

68


Mohamad Muklis

DAFTAR PUSTAKA Brown, Douglas, H. Principles of Language Learning and Teaching. New Jersey: Prentice Hall Inc, 1980 Cook, G. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press Henry Guntur Tarigan, 1981. Berbicara sebagai suatu ketrampilan berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa Nana Sudjana, 1991. Teori-teori belajar untuk pengajaran. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Pannen, Paulina, Mestika Sekarwinahyu, Dina Mustafa, 2001. Konstruktivisme dalam pembelajaran. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka.

Vol IV No 1 Mei 2011

69


Pengajaran Bahasa Pada Usia Sekolah

70


MODEL ASESMEN PEMBELAJARAN DOSEN Oleh: Zurqoni

Abstrak Learning in college has a strategic role in improving the quality of human resources. In this context the necessary qualified teachers in implementing the learning process. Assessment of the quality of teaching faculty involved at least four aspects as a single unit of assessment models, including the planning of teaching, learning activities, educational interaction, and evaluation of learning. Quality of learning in an objective assessment can be done by students, because they are intensively studied as well as directly experience the learning process to be taken together with lecturers. Assessment by students more practical and efficient way to gather information about faculty teaching performance because they are more easily done observers than other approaches. Kata Kunci: Asesmen – Pembelajaran- Dosen

Pendahuluan

Pembelajaran di perguruan tinggi sebagai proses kegiatan bersifat sistemik yang mengarah pencapaian kompetensi tertentu yang harus dikuasai oleh mahasiswa baik kompetensi dalam domain kognitif, afektif maupun konatif. Efektivitas dari suatu proses pembelajaran menurut Slamet (2005) ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan fungsional peserta didik. Kemampuan dasar disini mencakup daya pikir, daya kalbu, dan daya raga. Sedangkan kemampuan fungsional merujuk pada kemampuan memanfaatkan teknologi, mengelola sumber daya, kerjasama, pemanfaaVol IV No 1 Mei 2011

71


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

tan informasi, menjaga harmoni lingkungan, kemampuan berwirausaha dan mengembangkan karir. Pembelajaran di perguruan tinggi dalam cakupan lebih luas berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang ditandai oleh tingkat penguasaan mahasiswa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, sikap adaptif, kreatif, inovatif dan berkepribadian. Sumber daya manusia berkualitas menurut Syarif (Cik Hasan, 1999: 2-7) mencakup kualitas fisik-jasmaniah dan mental-rohaniah dengan karakteristik beriman-taqwa, berbudaya IPTEK, memiliki etos kerja dan disiplin tinggi, kreatif, produktif, efisien dan berwawasan keunggulan, berdaya juang tinggi, dan memiliki ketangguhan moral. Realisasi terhadap pencapaian sejumlah kompetensi tertentu yang harus dikuasai mahasiswa memerlukan suatu model pembelajaran bermutu. Pembelajaran bermutu mengupayakan pemberdayaan potensi dan pengembangan kreativitas mahasiswa, meliputi pengembangan daya nalar, sikap dan skill serta nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan kontinue. Pembelajaran bermutu tidak sekedar transfer of knowledge searah dari dosen kepada mahasiswa, namun lebih dari itu pembelajaran bermutu melibatkan keaktifan mahasiswa baik secara fisik, mental, intelektual maupun emosional melalui proses pembelajaran. Pembelajaran bermutu sebagaimana dimaksud tentu hanya dapat dilaksanakan oleh dosen yang memiliki kompetensi akademik, profesional, personal dan sosial yang memadai, disamping memenuhi beberapa persyaratan lainnya. Pembelajaran bermutu yang dilakukan oleh dosen setidaknya terukur dari aspek perencanaan pembelajaran yang dipersiapkan, proses pembelajaran yang ditempuh, dan aspek pelaksanaan evaluasi yang dilaksanakan oleh dosen tersebut. Dengan kata lain, aspek-aspek tersebut dapat dijadikan sebagai subvariabel untuk membuat model penilaian tentang mutu pembelajaran dosen. Pada sisi lain, kegiatan pembelajaran oleh dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) berdasarkan fenomena empirik menunjukkan adanya variasi dalam pelaksanaannya. Sebagian dosen secara ideal telah melakukan pembelajaran dengan benar-benar mengembangkan potensi dan kreativitas mahasiswa, sementara dosen yang lain baru sebatas `mengajar`. Padahal tuntutan ke arah pembelajaran yang berorientasi pada pemberdayaan mahasiswa dinilai substantif bagi upaya akselerasi peningkatan kompetensi mahasiswa dan kualitas pendidikan tinggi pada umumnya. Mutu pembelajaran dosen yang bervariasi tersebut dapat dikaitkan dengan latar belakang dan jenjang pendidikan yang pernah ditempuh, training-training kependidikan yang pernah diikuti, dan komitmen dalam melaksanakan tugas profesi. Berdasarkan asumsi adanya interkoneksitas antara aspek-aspek pembelajaran di perguruan tinggi, maka upaya mengkonstruk model penilaian mutu pembelajaran dosen PTAI menarik untuk dilakukan.

72


Zurqoni

Esensi Asesmen Pembelajaran

Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi yang digunakan untuk membuat suatu keputusan yang bersifat akuntabel (Anderson, 2003:xi; Stark & Thomas, 1994:3). Asesmen dalam pembelajaran menurut Huba & Feed (2000:8) berkaitan dengan upaya peningkatan pemahaman dan penguasaan peserta didik terhadap materi-materi yang dipelajari berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki. Pelaksanaan asesmen yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi perlu menuntut pemahaman pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pemahaman tersebut menurut Anderson (2003:xi) meliputi alasan mengapa asesmen dilaksanakan, informasi apa yang diperlukan, kapan informasi diperlukan dan bagaimana mengumpulkannya. Dengan kata lain seseorang yang melaksanakan asesmen harus memahami tujuan yang hendak dicapai, informasi penting yang diperlukan, waktu pelaksanaan dan metode yang akan digunakan dalam asesmen. Selanjutnya dinyatakan Astin (1993:2), bahwa asesmen itu secara umum dapat merujuk pada dua jenis kegiatan. Kegiatan pertama sekedar mengumpulkan informasi (pengukuran), sedangkan kegiatan kedua berupa pemanfaatan informasi yang telah dikumpulkan untuk kepentingan peningkatan individu maupun lembaga (evaluasi). Pendapat senada dikemukakan Kellaghan dan Greaney (2001:19) yang menyebut asesmen sebagai prosedur atau aktivitas yang dirancang untuk mengumpulkan informasi mengenai pengetahuan, sikap, dan keterampilan individu atau kelompok peserta didik. Kellaghan & Greaney (2001:19) menambahkan informasi yang diperoleh tersebut digunakan untuk membuat suatu keputusan pendidikan mengenai eksistensi siswa dan memberikan umpan balik terhadap kemajuan yang dicapai siswa. Selain itu untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan siswa guna menentukan efektivitas instruksional, ketercapaian kurikulum dan sebagai sumber informasi bagi pengambilan kebijakan. Pendapat lain mengenai asesmen dikemukakan Patrick & Peter (1991: 3-4), bahwa asesmen mencakup serangkaian proses/prosedur yang digunakan untuk menilai capaian prestasi individu maupun kelompok siswa. Asesmen menurut mereka dapat mengacu pada suatu penilaian secara luas mencakup sumber-sumber bukti dan aspek pengetahuan, pemahaman, sikap dan keterampilan siswa melalui instrumen tertentu. Instrumen tersebut dapat berupa prosedur formal atau informal, seperti tes tertulis, wawancara, tugas-tugas yang menggunakan peralatan dan ujian kelas. Patrick & Peter menegaskan, proses asesmen itu melibatkan pengumpulan bukti prestasi peserta didik, dan suatu asesmen tidak hanya mempercayakan pada tes, pengukuran, skor atau nilai. Berdasarkan uraian tersebut berarti asesmen merujuk pada proses kegiatan pengumpulan informasi menVol IV No 1 Mei 2011

73


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

genai segala sesuatu yang melekat pada diri peserta didik. Informasi tersebut mencakup pengetahuan, sikap, keterampilan yang dimiliki. Melalui asesmen itu pula dapat diketahui potensi dan kelemahan siswa untuk dijadikan sebagai dasar penetapan suatu keputusan terkait dengan program kegiatan yang perlu direalisasikan, selain sebagai dasar pemberian umpan balik (feed back) terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki pada diri peserta didik. Asesmen dalam pelaksanaannya dapat menggunakan jenis instrumen tes maupun non tes. Hakekat asesmen pembelajaran secara spesifik dikemukakan Black & William (1998), yakni rangkaian aktivitas yang dilakukan guru dan peserta didik yang menghasilkan informasi untuk dipergunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan aktivitas pembelajaran yang mereka lakukan. Dinyatakan pula dalam Assessment Reform Group (2002) bila asesmen pembelajaran itu sebagai suatu proses pengumpulan informasi mengenai aktivitas pembelajaran yang disertai interpretasi. Informasi digunakan untuk menentukan kemajuan belajar peserta didik, sasaran yang hendak dicapai dan menentukan strategi terbaik yang seharusnya ditempuh. Selain itu asesmen pembelajaran menurut Crown (2004: 5) mengarah pada perbaikan pembelajaran melalui upaya-upaya yang dilakukan guru dalam membantu peserta didik menempuh tahapan-tahapan belajar, upaya saling membantu diantara peserta didik dalam belajar, dan upaya yang dilakukan peserta didik sendiri dalam menempuh tahapan belajar berikutnya Asesmen pembelajaran sesuai dengan arah yang hendak dicapai melibatkan berbagai kegiatan meliputi pengamatan, pengumpulan informasi, pencatatan, penggambaran, pembuatan skor dan penginterpretasian informasi. Asesmen pembelajaran melibatkan peserta didik dalam menentukan tujuan dan kriteria keberhasilan belajar serta memberi umpan balik secara lisan dan tertulis pada peserta didik berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Umpan balik tersebut berkaitan langsung dengan pembelajaran yang dilakukan dan diberikan menurut cara-cara yang dapat dipahami siswa (http://www. ltscotland. org.uk/assess/for/intro.asp, diambil tanggal 15 Maret 2007). Asesmen pembelajaran sebagaimana dinyatakan dalam QCA (2002) juga memerlukan pelibatan peserta didik dalam menentukan tujuan pembelajaran dan kriteria keberhasilan, disamping aktivitas lainnya. Pelibatan peserta didik didasarkan pada pemikiran mengenai terjadinya peningkatan belajar pada diri mereka jika yang bersangkutan memahami tujuan pembelajaran pada bidang-bidang yang dipelajari, dan memahami pula strategi mencapai tujuan tersebut. Asesmen pembelajaran berdasarkan penegasan Weeden, Winter & Patricia (2002:25) harus memperhatikan beberapa hal, yakni melibatkan peran siswa (sharing) dalam menetapkan tujuan pembelajaran, membantu siswa

74


Zurqoni

agar mengetahui standar keberhasilan belajar yang akan dicapai, melakukan penyesuaian pengajaran berdasarkan hasil asesmen, memperkuat keyakinan adanya kemajuan belajar, dan pengenalan mengenai pengaruh asesmen terhadap motivasi dan harga diri (self esteem) siswa. Selanjutnya asesmen pembelajaran memerlukan umpan balik yang efektif agar siswa memahami tahapan-tahapan dalam belajar dan strategi mencapai kemajuan, melibatkan guru dan siswa dalam menelaah dan merefleksikan data hasil asesmen, serta melibatkan siswa dalam evaluasi diri (self-assessment) dan mendorong keaktifan siswa dalam pembelajaran. Pelibatan siswa dalam asesmen pembelajaran menurut Johnson & Johnson (2002: 4-5) didasarkan pada beberapa asumsi: pertama, siswa cenderung dapat meningkatkan kualitas keputusan. Keterlibatan siswa dalam pembuatan keputusan menjadikan peningkatan penggunaan sumber-sumber yang tersedia, dikarenakan peserta didik mengembangkan pandangan-pandangan yang unik berdasarkan pengalamannya yang penting untuk dinilai; kedua, peserta didik cenderung dapat meningkatkan komitmen untuk menerapkan asesmen secara berkualitas. Pelibatan langsung peserta didik dalam perencanaan akan menghasilkan komitmen lebih kuat untuk penerapan prosedur asesmen; ketiga, peserta didik cenderung mengurangi resistensi peserta didik terhadap umpan balik dan keperluan untuk merubahnya; keempat, peserta didik cenderung meningkatkan capaian prestasinya. Penilaian terhadap tugas-tugas kelas dan memberinya umpan balik memiliki pengaruh positif terhadap prestasi; kelima, peserta didik cenderung menjadikan dirinya lebih termotivasi untuk belajar dan meningkatkan sikap positif terhadap proses pembelajaran maupun asesmen; dan keenam pelibatan peserta didik cenderung meningkatkan penilaian diri (self assessment). Merujuk pada uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa asesmen pembelajaran merupakan rangkaian proses kegiatan yang sistematis berupa pengumpulan informasi mengenai aspek-aspek yang melekat pada diri peserta didik. Informasi tersebut mencakup pemahaman, sikap, keterampilan, potensi dan keterbatasan yang dimiliki siswa untuk dijadikan sebagai dasar penentuan aktivitas yang perlu ditempuh selanjutnya dalam proses pembelajaran. Asesmen pembelajaran juga dapat dijadikan sebagai dasar pemberian umpan balik (feed back) terhadap aktivitas pembelajaran guna memperbaiki proses dan kemajuan belajar. Terkait asesmen mutu pembelajaran, bahwa asesmen ini mendasarkan pengumpulan informasi terhadap kompetensi dan profesionalitas pada tenaga pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran bersama peserta didik. Asesmen mutu pembelajaran dapat dilakukan dengan memanfaatkan keterlibatan peserta didik dalam rangka pencapaian kualitas Vol IV No 1 Mei 2011

75


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

penilaian.

Kompetensi Dosen dalam Proses Pembelajaran

Dosen merupakan salah satu unsur dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Dosen yang bermutu dalam kegiatan pembelajaran menjadi faktor penting bagi peningkatan mutu perguruan tinggi. Eksistensi dosen bermutu dan peningkatannya terus diperlukan perguruan tinggi sepanjang kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung. Menurut Sanusi Uwis, bahwa mutu dosen disini dapat dimaknai berdasarkan pendekatan intrinsik dan instrumental. Pendekatan intrinsik orientasinya substantif, sedangkan instrumental orientasinya situasional dan institusional. Kedua pendekatan tersebut saling melengkapi untuk kemudian menjadi satu kesatuan yang menggambarkan tugas dan tanggung jawab. Dengan demikian, dosen bermutu pada dasarnya dosen yang melaksanakan tugas secara bertanggung jawab (Sanusi Uwis, 1999Â : 27). Tugas dosen tersebut antara lain melaksanakan pendidikan dan pengajaran. Dalam hal ini seorang dosen harus memiliki kompetensi tertentu yang dipersyaratkan baik personal, profesional dan sosial sehingga mampu menjalankan perannya sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi bersama-sama dengan mahasiswa melalui proses pembelajaran. Seorang dosen idealnya berpendidikan minimal Master/Magister dan telah mengikuti training kependidikan. Selain itu dosen diharapkan benar-benar memiliki rasa keterpanggilan tugas, lengkap dengan profesionalismenya dan penuh dengan kreativitas, inovatif dan kepercayaan tinggi, karena dosen tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada mahasiswa agar cerdas, tetapi juga mentransfer moral atau akhlakul karimah. Sanusi yang mengutip pendapat Ryder memperinci tugas dosen berdasarkan tiga faktor, yakni kemahasiswaan, profesi dan institusi (Sanusi Uwis, 1999: 30-32). Dalam kaitannya dengan mahasiswa, tugas dosen dalam pelaksanaan pendidikan diantaranya : (a) melaksanakan tugas mengajar dengan memakai perencanaan bahan kuliah, persiapan perkuliahan, hadir di kelas sesuai dengan jadwal, mengemukakan syarat-syarat perkuliahan secara jelas, serta memberi nilai secara obyektif sesuai dengan ketentuan lembaga, (b) memposisikan mahasiswa sebagai individu harus dihormati dan mempunyai hak-hak yang harus dilindungi, (c) memposisikan diri sebagai teladan bagi mahasiswa dalam hal kemampuan akademik, intelektualitas, integritas pribadi dan etika profesi, dan (d) menyampaikan materi sesuai kompetensinya, dan tidak menggunakan pengaruhnya di kelas (perkuliahan) untuk menyampaikan materi di luar lingkup mata kuliah. Dalam hal tanggung jawab profesi, tugas dosen antara lain: (a) selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dalam disiplin akademiknya,

76


Zurqoni

baik melalui buku-buku maupun kegiatan ilmiah, (b) selalu berusaha meningkatkan keefektifan mengajar, mencari cara-cara baru dalam menyampaikan materi kuliah, memotivasi mahasiswa dan memperbaiki metode evaluasi prestasi mahasiswa, (c) bertanggung jawab untuk ikut serta mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang studinya melalui penelitian, analisis dan penulisan kreatif serta menyajikannya dalam kegiatan diskusi atau seminar, (d) membantu kolega dosen dan lembaga dalam kegiatan pengembangan kurikulum dan kegiatan ilmiah, (e) melindungi dan meningkatkan wibawa akademik dan profesi dosen, dan (f) menunjukkan keteladanan dalam menghormati hak orang lain untuk berpendapat. Selanjutnya dalam hal tanggung jawab institusional, tugas dosen diantaranya: (a) melaksanakan tugas kelembagaan dengan baik, (b) memegang teguh amanah, (c) berusaha sesuai dengan kemampuan profesi dan kemampuan pribadinya, (d) memberikan dukungan pada kegiatan-kegiatan lembaga dengan berpartisipasi aktif di dalamnya, dan (e) menunjukkan komitmen yang mantap dalam pengembangan perpustakaan, laboratorium dan sebagainya. Lebih spesifik, kualifikasi profesional yang harus dimiliki dosen dalam melaksanakan tugas pembelajaran, antara lain menguasai materi pelajaran, mampu menerapkan prinsip-prinsip psikologi, mampu menyelenggarakan proses belajar mengajar, dan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi baru (Muhamad Ali, 2000: 7-9). Mengenai penguasaan dosen terhadap materi perkuliahan disini memiliki cakupan yang luas, dalam arti berbagai literatur terkait dengan materi perkuliahan perlu dikuasai. Penguasaan dosen terhadap materi yang diajarkan akan dapat memberi pengaruh terhadap pengalaman belajar yang berarti pada mahasiswa. Kemudian berkaitan dengan kemampuan dalam menerapkan prinsip-prinsip psikologi, bahwa mengajar didalamnya termasuk proses untuk merubah sikap dan tingkah laku. Untuk mencapai hasil secara maksimal sebagaimana yang diharapkan, maka dosen perlu menerapkan prinsip-prinsip psikologi, terutama berkaitan dengan pembelajaran. Perlu disadari bahwa dalam diri setiap mahasiswa terdapat perbedaan-perbedaan individual meliputi kecerdasan, bakat, minat, motivasi, inteligensi dan aspek kepribadian lainnya. Perbedaan tersebut dapat membawa implikasi bagi pencapaian hasil belajar. Oleh karena itu, dengan berpegang pada prinsip perbedaan individual mahasiswa ini, dosen dapat mencari dan menentukan strategi pembelajaran yang tepat. Selanjutnya, dari aspek kemampuan menyelenggarakan proses pembelajaran, dalam hal ini terkait dengan pengalaman dosen dalam bidang kependidikan, terutama praktek pembelajaran. Karena itu dosen perlu latar belakang pendidikan yang relevan dan berbagai training fungsional kependidikan menjadi sangat penting baginya. Sedangkan kemampuan menyesuaikan diri Vol IV No 1 Mei 2011

77


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

dengan berbagai situasi baru pada dasarnya muncul seiring dengan adanya dinamika intelektual mahasiswa yang dipengaruhi faktor sosialnya sehingga memerlukan kecakapan beradaptasi dengan situasi baru yang dihadapi. Sahertian menambahkan, bahwa tenaga pendidik profesional memiliki beberapa ciri sebagai berikut: (Sahertian, 1992: 7). a. Ahli (expert); ahli dalam bidang pengetahuan atau keterampilan yang diajarkan; a. Memiliki rasa tanggung jawab (responsibility) dan otonomi; memiliki rasa tanggung jawab moral dan intelektual terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan dan memiliki kemandirian dalam menegakkan prinsip-prinsip pendidikan; b. Memiliki rasa kesejawatan; menjunjung tinggi martabat dan kode etik, senantiasa berusaha menjaga dan memeliharanya. Senada dengan uraian tersebut di atas, peningkatan dan pengembangan kompetensi profesional tenaga pendidik penting dilakukan melalui berbagai program pendidikan dan latihan, workshop dan sebagainya. Menurut Ari�kunto (1992: 239-240) kompetensi-kompetensi berkenaan dengan teknis edukatif dan administrasi yang penting dimiliki tenaga pendidik, diantaranya: a. Penguasaan materi pokok sesuai dengan kurikulum dan menguasai materi penunjang. b. Pengelolaan program pembelajaran, meliputi: perumusan tujuan instruksional, pengenalan dan penggunaan metode mengajar, kemampuan memilih, menyusun dan menggunakan prosedur instruksional yang relevan dengan materi, kemampuan melaksanakan program pembelajaran yang dinamis, pengenalan dan pemahaman kemampuan peserta didik, kemampuan merencanakan dan melaksanakan pengajaran remidial. c. Pengelolaan kelas, meliputi memiliki kemampuan pengaturan tata ruang untuk pengajaran, kemampuan menciptakan iklim belajar-mengajar berdasarkan hubungan manusiawi yang harmonis dan sehat. d. Penggunaan media atau sumber, meliputi kemampuan mengenal, memilih dan menggunakan media yang tepat, mampu dan bersedia membuat alatalat bantu pelajaran yang sederhana, kemampuan mengelola dan menggunakan laboratorium dalam proses belajar mengajar, kemampuan mendorong penggunaan perpustakaan dalam proses belajar mengajar. e. Kamapuan mengelola dan menggunakan interaksi belajar mengajar untuk perkembangan fisik dan psikis yang sehat bagi peserta didik. f. Kemampuan melakukan penilaian prestasi belajar peserta didik secara obyektif dan adanya tindak lanjut. Selain itu beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang tenaga pendidik, yakni kompetensi mendiagnosis kebutuhan emosional, sosial,

78


Zurqoni

jasmaniah dan intelektual peserta didik, merumuskan tujuan-tujuan instruksional yang didasarkan atas kebutuhan peserta didik, membuat rencana pelajaran untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, melaksanakan pengajaran sesuai dengan rencana tersebut, merencanakan dan melaksanakan penilaian untuk menilai hasil belajar peserta didik dan efektifitas pengajaran, menyesuaikan pengajaran dengan latar belakang budaya peserta didik, memperlihatkan ketrampilan mengajar dan model-model pengajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran, memperlihatkan pola-pola komunikasi yang efektif dalam kelas, menggunakan sumber-sumber yang sesuai untuk mencapai tujuan pengajaran, memonitor proses dan hasil belajar dan mengadakan perbaikan pengajaran, menguasai materi yang diajarkannya, menggunakan ketrampilan manajerial dan organisasi dalam mendorong perkembangan sosial, emosi, jasmani dan intelektual peserta didik, sensitif terhadap kebutuhan dan perasaan sendiri dan juga terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain (termasuk peserta didik), bekerja efektif dalam kelompok profesional, dan menganalisis efektifitas keprofesionalannya dan terus berusaha memperluas efektifitas tersebut (Sukamdinata, 1988: 10). Kemampuan dosen dalam memahami berbagai aspek pembelajaran, terutama pembelajaran “student oriented� menjadi sangat penting agar dosen tersebut dapat menentukan isi dan bobot materi perkuliahan, penyajian (termasuk penentuan media) dan jenis pembelajaran yang sesuai serta memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Oleh sebab itu dosen diharapkan memiliki karakteristik, antara lain bersikap terbuka, jujur dan transparans, penuh perhatian, sikap saling memerlukan tanpa mengorbankan salah satu pihak serta mengabaikan kreativitas dan individualitas masing-masing (Gordon, t.th.: 23). Rodney yang pendapatnya dikutip Jamil menawarkan konsep agar dosen memiliki karakteristik self directed, yakni : a. Self acceptance; memiliki pandangan positif tentang diri sendiri sebagai pendidik. b. Plan fullnes; dapat melakukan diagnosa kebutuhan belajar dan dapat memilih strategi yang efektif untuk mencapai tujuan belajarnya. c. Intrinsic motivation; tetap melaksanakan tugas dan belajar dengan baik, penuh tanggung jawab, bukan karena mengharapkan hadiah atau takut hukuman. d. Internalized evaluation; mampu dan mau melaksanakan evaluasi diri sendiri, mampu melaksanakan estimasi kemampuan diri dengan tepat. e. Openess to experience; menerima atau terbuka terhadap aktivitas baru yang dapat mendukung pencapaian tujuan pendidikan. f. Flexibility; loyal dalam upaya pendidikan dan bersedia mengubah tujuan atau metode yang digunakan. Vol IV No 1 Mei 2011

79


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

g. Autonomy; memiliki otonomi dalam menentukan bentuk pembelajaran, tetapi tidak terjebak dalam konteks yang sempit (Jamil, 1999: 23). Mengenai tanggung jawab institusional, tugas dosen diantaranya selalu melaksanakan tugas kelembagaan dengan baik, menggunakan dana yang dipercayakan kepadanya dengan sebaik mungkin sesuai dengan anggaran yang ditetapkan, selalu berusaha sesuai dengan kemampuan profesi dan kemampuan pribadinya untuk mencegah terjadinya kerugian finansial ataupun merugikan nama baik lembaga baik secara legal maupun sosial. Seorang dosen harus dapat mencegah terjadinya penggunaan sumber dana dan daya untuk keuntungan dan kepentingan pribadi, memberikan dukungan yang baik pada kegiatan-kegiatan lembaga dengan berpartisipasi aktif di dalamnya, mempunyai komitmen yang mantap dalam pengembangan perpustakaan, laboratorium dan sebagainya serta dalam menyampaikan ide pribadinya kepada masyarakat tidak mengatasnamakan lembaga, tetapi secara pribadi harus menyatakan sebagai cendekiawan atau warga negara. Dengan mengacu pada beberapa karakteristik sebagaimana dikemukakan para ahli tersebut, maka sebenarnya tugas dosen tidaklah mudah, karena selain ia memiliki kompetensi akademik yang berkaitan dengan kemampuannya mengajar serta memiliki dedikasi pada lembaga tersebut, seorang dosen tersebut juga dituntut memiliki kompetensi kepribadian baik berkaitan dengan profesinya maupun hubungannya dengan mahasiswa. Jika beberapa karakteristik tersebut di atas terpenuhi oleh pribadi dosen, maka peningkatan kualitas perguruan tinggi dapat diharapkan karena dosen merupakan faktor pendukung utama perguruan tinggi, dan pada gilirannya akan menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas.

Beberapa Aspek Proses Pembelajaran

Pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan menduduki posisi sangat strategis dalam peningkatan kemampuan intelektual, pembentukan watak, sikap dan skill peserta didik. Pembelajaran merupakan proses kegiatan yang bersifat sistemik mengarah pencapaian kompetensi yang harus dikuasai siswa dalam ranah kognitif, afektif dan konatif. Pembelajaran memiliki peran penting bagi peningkatan kualitas dan kompetensi siswa sehingga diperoleh performan akademik, skill dan perilaku yang baik. Efektivitas proses pembelajaran pada perguruan tinggi sebagai institusi penciptaan kualifikasi manusia sesuai spesifikasinya perlu memperhatikan beberapa aspek, diantaranya memposisikan mahasiswa sebagai mitra belajar, memilih pendekatan yang tepat dalam proses pembelajaran, dan melakukan reinterpretasi pendidikan (Idrus: 1999). Keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh sejumlah komponen yang secara umum dikategorikan menjadi input, proses dan output. Input pem-

80


Zurqoni

belajaran menunjuk pada masukan yang menjadi acuan bagi pengelolaan belajar, seperti materi pelajaran, siswa, guru, media, sumber belajar, dan pengalaman belajar peserta didik. Pengalaman belajar menurut Djemari Mardapi (2004: 15-16), adalah interaksi antara subyek belajar dengan bahan ajar (mengerjakan sesuatu, melakukan pemecahan masalah, mengamati suatu gejala, peristiwa, percobaan dan sejenisnya), dan pengalaman tersebut akan masuk ke dalam memori jangka panjang dan akan menjadi pengetahuan baru apabila memiliki makna. Pengalaman belajar dapat dilakukan/diperoleh di dalam maupun di luar kelas. Sehingga pengalaman belajar ini memiliki cakupan yang luas karena dapat memanfaatkan berbagai situasi di luar kelas untuk mendukung proses pembelajaran. Pengalaman belajar menurut faham constructivism diperlukan oleh siswa agar yang bersangkutan dapat membangun pemahamannya sendiri melalui kegiatan belajar bermakna, sehingga siswa nantinya akan memiliki kemampuan untuk mempraktekkan pengalaman yang diperoleh dalam konteks kehidupan. Pengalaman belajar siswa dapat diperoleh dari kegiatan belajar sebelumnya secara formal dan informal serta diperoleh dari hasil interaksi dengan lingkungan sosialnya. Pengalaman belajar menurut Bern & Erickson (2001:3) berperan membantu peserta didik dengan membuat hubungan dengan konteks internal dan eksternal, yakni pengetahuan yang dimiliki, pengalaman sebelumnya, situasi belajar yang berlangsung, dan kegiatan-kegiatan eksternal, seperti sekolah, rumah, internet dan sebagainya. Pengalaman tersebut akan menghasilkan pemahaman mendalam dan mengembangkan kompetensinya yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi dimasa yang akan datang. Selanjutnya mengenai proses pembelajaran hal ini merujuk pada kejadian berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Pada dasarnya proses pembelajaran adalah interaksi antar manusia (guru-peserta didik), sumber daya dan lingkungannya, dan pengubahan status kemampuan seseorang dari suatu status ke status lain (Amien, 1995:7). Inti dari proses pembelajaran menurut Joyce & Weil (1996: 11) terletak pada lingkungan yang didalamnya peserta didik dapat berinteraksi dan melakukan kegiatan belajar. Berarti proses pembelajaran itu tekanannya pada pola interaksi antara sumber-sumber daya yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai suatu perubahan (lebih baik). Proses pembelajaran memerlukan iklim yang kondusif, karena hal ini dapat mendukung interaksi yang bermanfaat diantara peserta didik, menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas, dan mendukung saling pengertian diantara guru dan siswa (Haryanto, 2003: 8). Selain itu diperlukan interaksi edukatif antara guru dan siswa, sebagaimana Vol IV No 1 Mei 2011

81


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

dinyatakan Ormrod (2003:482), bahwa guru yang mengajar dengan hangat, bersikap komunikatif dan familiar dengan siswa akan menimbulkan kepercayaan dari siswa. Pelajaran menjadi lebih menarik dan siswa merasa enjoy menikmati kegiatan pembelajaran yang bersangkutan pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar siswa ke level lebih tinggi. Ditegaskan pula oleh Slamet (2005), bahwa proses pembelajaran itu menunjuk pada perubahan siswa dari belum terdidik menjadi siswa terdidik. Mutu proses belajar mengajar sangat tergantung mutu interaksi guru-siswa, dan mutu interaksi tersebut sangat tergantung perilaku mereka utamanya di kelas. Perilaku guru di kelas mencakup kejelasan dalam menyampaikan materi pelajaran, penggunaan variasi metode mengajar, variasi media pembelajaran, keantusiasan mengajar, penggunaan jenis pertanyaan, manajemen kelas, penggunaan waktu, kedisiplinan, hubungan interpersonal, ekspektasi, keinovasian pengajaran, dan penggunaan prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif. Proses pembelajaran membutuhkan suatu penguatan minat dan motivasi dalam rangka mencapai keberhasilan. Sebagaimana dinyatakan Djemari Mardapi (2004: 10), bahwa keberhasilan peserta didik dalam melakukan pembelajaran tergantung pada minatnya. Minat belajar bisa timbul atas dasar konsep diri (self-concept), di sisi lain juga bisa dipengaruhi dari luar diantaranya guru sebagai pemberi stimulan dan pendekatan pembelajaran. Djemari Mardapi menambahkan, guru yang mampu mengemas bahan pelajaran sehingga menarik dan memiliki aplikasi di masyarakat akan mendorong peserta didik untuk menyenangi pelajaran tersebut. Demikian halnya pendekatan pembelajaran yang menarik dan memberdayakan, termasuk model penilaian yang melibatkan peserta didik juga akan manjadi aspek eksternal yang dapat mempengaruhi peningkatan minat belajar mereka. Mengenai komponen output (hasil belajar) hal ini merefleksikan seberapa efektif proses belajar mengajar diselenggarakan, dalam arti hasil belajar ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Hasil belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan fungsional. Slamet (2005) dalam hal ini menjabarkan kemampuan dasar yang menurutnya terdiri dari daya pikir, daya kalbu, dan daya raga yang diperlukan oleh siswa untuk mengembangkan dirinya. Daya pikir mencakup dari daya pikir deduktif, induktif, ilmiah, kritis, kreatif, eksploratif, diskoveri, nalar, lateral, dan berpikir sistem. Daya kalbu mencakup daya spiritual, emosional, moral, rasa kasih sayang, kesopanan, toleransi, kejujuran dan kebersihan, disiplin diri, harga diri, tanggungjawab, keberanian moral, kerajian, komitmen, estetika, dan etika. Daya raga meliputi kesehatan, kestaminaan, ketahanan, dan keterampilan.

82


Zurqoni

Mengenai kemampuan fungsional menurut Slamet merujuk pada kemampuan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan, kemampuan mengelola sumber daya, kerjasama, pemanfaatan informasi, penggunaan sistem dalam kehidupan, kemampuan berwirausaha, menjaga harmoni dengan lingkungan, dan kemampuan mengembangkan karir. Berkaitan dengan output ini Sujana (2002:62) menyatakan, bahwa keberhasilan proses belajar mengajar dilihat dari hasil belajar, meliputi aspek perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa. Selain itu dapat pula dilihat dari aspek kualitas dan kuantitas penguasaan tujuan instruksional. Tipe hasil belajar menurut Gegne (1981: 87) meliputi: (a) verbal information, hasil belajar secara umum, seperti kemampuan membaca, menyatakan pendapat, komunikasi/kesanggupan memberi arti kalimat yang diucapkan dan sebagainya; (b) intellectual skill, kesanggupan membedakan beberapa obyek berdasarkan ciri tertentu; (c) cognitive strategy, kemampuan memecahkan sesuatu berdasarkan kemahirannya; (d) attitude, kesediaan menerima/ menolak sesuatu yang diajukan (berdasar norma/nilai yang diyakini); dan (e) motoric skill, kemampuan menggunakan tubuh (motorik) berdasarkan pengetahuan dan sikap Secara umum pengetahuan dapat dibagi dalam tiga kategori, yakni pengetahuan deklaratif, prosedural dan fungsional (Baharudin, 2008: 97-98). Pengetahuan deklaratif, yakni ”mengetahui tentang” (knowing that) suatu kasus atau masalah, diantaranya berupa fakta-fakta, opini-opini, teori-teori dan sebagainya. Pengetahuan prosedural adalah ”mengetahui bagaimana” (knowing how) untuk melakukan sesuatu atau memecahkan sebuah kasus. Pengetahuan kondisional adalah mengetahui ”kapan dan mengapa” (knowing when and why) untuk menggunakan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pencapaian hasil belajar berdasarkan ragam domain pembelajaran diperlukan upaya-upaya tertentu, baik berkaitan dengan input maupun proses pembelajaran, terutama dosen. Sebagai pengajar, dosen dituntut kemampuannya dalam mentransfer pengetahuan dan pengalaman pada siswa secara optimal, karena guru merupakan sumber ilmu pengetahuan yang diterima mahasiswa, namun bukan sumber satu-satunya. Dosen dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, dismping menguasai materi yang diajarkan. Sebagai pengelola kelas dosen sangat berperan dalam menciptakan suasana kelas secara kondusif bagi proses pembelajaran. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh dosen berkenaan dengan pengelolaan kelas diantaranya menciptakan iklim pembelajaran yang serasi, dalam arti dosen harus mampu menangani dan mengarahkan tingkah laku siswa agar tidak merusak suasana kelas (Suryosubroto, 1997: 49). Pengelolaan kelas sangat penting dilakukan oleh dosen dalam kegiatan pembelajaran agar setiap siswa di kelas dapat belajar dengan tertib, sehingga tujuan pembelajaran tercapai seoptimal mungkin. Vol IV No 1 Mei 2011

83


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

Dosen hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahamam yang cukup tentang media pembelajaran, disamping memiliki keterampilan dalam memilih dan menggunakan media dengan baik. Media merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses pembelajaran dan memiliki manfaat, yakni pengajaran akan lebih menarik perhatian mahasiswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya dan dapat lebih dipahami oleh para mahasiswa; metode mengajar akan lebih bervariasi sehingga tidak membuat mahasiswa bosan dan guru tidak kehabisan bahan. Nana Sudjana (1997:2) menyatakan, bahwa dengan metode pembelajaran yang bervariasi membuat siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab mereka tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi juga aktivitas lain. Peran dosen yang strategis selain menuntut kemampuannya dalam membuat perencanaan dan melaksanakan pengajaran, juga kemampuan dalam melakukan evaluasi terhadap hasil kinerjanya. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan tercapai atau belum, dan apakah metode yang diterapkannya efektif atau tidak. Lebih jauh Ngalim Purwanto (1986:4) menyatakan, bahwa evaluasi memiliki beberapa fungsi, yakni untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan anak didik setelah melakukan kegiatan pembelajaran selama jangka waktu tertentu; sampai sejauh mana keberhasilan suatu metode yang diterapkan dalam kegiatan pembelajara; dan mengetahui kekurangan yang diperoleh dari hasil evaluasi itu selanjutnya guru dapat berusaha untuk mengadakan perbaikan. Dosen harus mampu dan terampil melaksanakan evaluasi, karena dengan evaluasi dosen dapat mengetahui prestasi yang telah dicapai oleh mahasiswa setelah melakukan proses pembelajaran. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini akan menjadi umpan balik (feed back) yang kemudian dapat dijadikan titik tolak dalam memperbaiki dan meningkatkan proses pembelajaran selanjutnya, sehingga proses pembelajaran semakin mengalami peningkatan guna mencapai prestasi yang optimal. Sehubungan dengan hal tersebut terdapat beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh dosen agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Persyaratan tersebut menurut Muhammad Ali ( 2000: 7-9), yakni penguasaan materi pelajaran, kemampuan menerapkan prinsip-prinsip psikologi, kemampuan menyelenggarakan proses belajar mengajar, dan kemampuan menyesuaikan diri dengan berbagai situasi baru Mengenai penguasaan guru (baca: dosen) terhadap materi pelajaran yang dimaksudkan disini bukan hanya mengetahui dan menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, namun juga menguasai pendalamannya atau aplikasi bidang studi. Penguasaan guru terhadap materi yang diajarkan akan dapat memberi pengaruh terhadap pengalaman belajar yang berarti pada siswa.

84


Zurqoni

Berkaitan dengan kemampuan guru dalam menerapkan prinsip-prinsip psikologi, bahwa mengajar merupakan proses pengubahan tingkah laku. Untuk mencapai hasil secara maksimal sebagaimana yang diharapkan, maka guru perlu menerapkan prinsip-prinsip psikologi, terutama berkaitan dengan pembelajaran. Perlu disadari bahwa setiap mahasiswa memiliki perbedaan individual yang mencakup kecerdasan, bakat, minat, motivasi, inteligensi dan aspek kepribadian lainnya. Perbedaan tersebut dapat membawa implikasi bagi pencapaian hasil belajar. Oleh karena itu, dengan berpegang pada prinsip perbedaan individual mahasiswa ini, dosen dapat mencari dan menentukan strategi pembelajaran yang tepat. Pada aspek kemampuan dosen dalam menyelenggarakan proses pembelajaran, sebenarnya kemampuan tersebut memerlukan suatu landasan konseptual dan pengalaman praktek. Kemampuan menyesuaikan diri dengan berbagai situasi baru pada dasarnya muncul seiring dengan adanya keinginan untuk meningkatkan diri. Sikap tersebut dapat muncul ketika dosen memiliki kecakapan yang memadahi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran, dan dosen bersangkutan mampu beradaptasi dengan situasi baru. Selain itu, guru sebagai figur yang besar pengaruhnya terhadap penyesusian perilaku peserta didik dituntut memiliki sifat-sifat guru yang efektif, yakni memberi kesempatan, tampak antusias dan berminat dalam aktivitas siswa di kelas; ramah dan optimis, mampu mengontrol diri, mempunyai rasa humor, mengetahui dan mengakui kesalahan-kesalahan sendiri, jujur dan obyektif dalam memperlakukan siswa, dan menunjukkan pengertian dan rasa simpati dalam bekerja dengan siswa-siswinya (Sunarto: 240-241). Pencapaian hasil belajar secara optimal berkaitan dengan kualitas mengajar dosen. Menurut Richey (1973: 30) terdapat lima variabel yang menandai kualitas mengajar yang tinggi: (a) bekerja dengan siswa secara individual, meliputi pemberian tugas secara individual, hubungan guru – siswa akrab, dan pekerja siswa cepat diperiksa dan dikembalikan; (b) perencanaan dan persiapan mengajar, meliputi pembuatan perencanaan, pengetahuan dan materi pelajaran yang esensial selalu disajikan; (c) penggunaan alat bantu mengajar; (d) mengikutsertakan siswa dalam berbagai pengalaman belajar, meliputi menyajikan bermacam-macam pengalaman belajar, mengikutsertakan siswa dalam menyusun rencana pembelajaran, memberi tanggung jawab siswa terhadap tugas-tugasnya, dan memberi motivasi belajar; dan (e) kepemimpinan aktif guru, meliputi membantu siswa memecahkan masalah yang dihadapinya, dan memberi kesempatan siswa untuk berdiskusi dan mengemukakan pendapatnya. Peningkatan kualitas mengajar guru perlu disertai beberapa upaya diVol IV No 1 Mei 2011

85


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

antaranya menguasai materi pelajaran, membuat program dan persiapan mengajar, penguasaan dan penggunaan metode, pendayagunaan media pembelajaran, dan pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan. Hal senada dikemukakan Arikunto (1990: 239-240), bahwa seorang guru harus memiliki sejumlah kompetensi berkenaan dengan teknis edukatif. Kompetensi dimaksud mencakup penguasaan guru terhadap materi pokok pelajaran dan materi penunjang, kemampuan mengelola program belajar mengajar [merumuskan tujuan instruksional, menggunakan metode mengajar, menggunakan prosedur instruksional yang relevan, melaksanakan program belajar mengajar yang dinamis, mengenal dan memahami kemampuan anak didik, mampu merencanakan dan melaksanakan pengajaran remidial]. Kompetensi lainnya, yakni kemampuan guru dalam mengelola kelas [menciptakan iklim belajar-mengajar berdasarkan hubungan manusiawi yang harmonis dan sehat], penggunaan media atau sumber belajar, mampu mengelola interaksi belajar mengajar, dan memiliki kemampuan melakukan penilaian prestasi belajar secara obyektif. Berdasarkan uraian di atas, maka proses pembelajaran setidaknya dapat dipetakan menjadi empat aspek, mencakup perencanaan pengajaran, kegiatan pembelajaran, interaksi edukatif, dan evaluasi pembelajaran seperti terlihat pada gambar berikut: Perencanaan Pengajaran Kegiatan Pembelajaran Interaksi Edukatif

Mutu Pembelajaran

Evaluasi Pembelajaran

Beberapa aspek tersebut diatas sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dan satu sama lain saling berkaitan. Konstruk model asesmen mutu pembelajaran berdasarkan keempat aspek selanjutnya dapat digambarkan sebagai berikut:

86


Zurqoni X1 X..X

Perencanaan Pengajaran

X2 X..X X3

Kegiatan Pembelajara n

Interaksi Edukatif

X..X X4 X..X

Evaluasi Pembelajara n

Perencanaan pengajaran merupakan seperangkat persiapan yang digunakan dosen sebagai acuan adalah seperangkat bahan ajar yang menjadi acuan dalam kegiatan belajar mengajar. Perencanaan pengajaran menjadi acuan bagi dosen dalam mengembangkan intelektual, emosional, spiritual, dan kreativitas peserta didik. Perencanaan pengajaran yang dinilai mencakup intensitas pembuatan silabi mata kuliah/ course-outline, pembuatan time-line, kontrak belajar, penyiapan materi perkuliahan, keragaman referensi perkuliahan, tingkat kemutakhiran referensi disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan perencanaan sarana/media pembelajaran yang akan dipergunakan dosen selama berlangsungnya proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dimaknai sebagai langkah-langkah yang ditempuh dosen dan mahasiswa dalam upaya pengembangan kompetensi akademik dan atau profesional sesuai tujuan mata kuliah. Kegiatan pembelajaran mencakup cara-cara pencapaian tujuan belajar dan pemanfaatan berbagai sumber pendukung. Kegiatan pembelajaran mencakup indikator kemampuan dosen dalam menerapkan strategi pembelajaran yang menarik dan relevan dengan materi perkuliahan, kemampuan dalam penerapan strategi pembelajaran dengan mengupayakan secara optimal agar materi perkuliahan mudah dipahami mahasiswa, penguasaan dosen terhadap materi perkuliahan, kejelasan dosen dalam penyampaian materi perkuliahan, kemampuan dosen mengkaitkan materi perkuliahan dengan topik/bidang lain, kemampuan mengkaitkan materi perkuliahan dengan pengalaman mahasiswa, kemampuan mengkaitkan materi perkuliahan dengan konteks kehidupan di masyarakat, dan kemampuan Vol IV No 1 Mei 2011

87


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

mengkaitkan materi yang diajarkan dengan isu-isu mutakhir [aktual]. Selain itu, mutu kegiatan pembelajaran juga diukur dari intensitas dosen melibatkan mahasiswa secara aktif dalam proses pembelajaran, pemberian kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya/mengajukan gagasan, intensitas dalam penggunaan sarana/media belajar, kemampuan dosen menghidupkan suasana kelas, kemampuan mengelola kelas, dan kemampuan dalam meningkatkan motivasi belajar mahasiswa. Selanjutnya interaksi edukatif merupakan hubungan dosen dan mahasiswa yang bersifat mendidik dan mengedepankan prinsip keteladanan. Interaksi edukatif ini dibangun secara humanis, saling menghormati, saling menghargai pandangan dan sikap diantara keduanya. Interaksi edukatif disini mencakup sikap dosen yang menghargai pandangan mahasiswa, memberikan tanggapan yang baik atas pandangan/pertanyaan mahasiswa, menghargai kreativitas, membangun hubungan/komunikasi yang baik, menunjukkan khariswa/kewibawaan sebagai dosen, memberi keteladanan, memperlakukan mahasiswa secara adil dalam perkuliahan, dapat menerima kritik, saran dan pendapat dari mahasiswa, serta mengenal dengan baik setiap mahasiswa yang mengikuti perkuliahannya. Mengenai evaluasi hasil belajar dilakukan untuk menilai keberhasilan proses pembelajaran yang telah berlangsung. Evaluasi pembelajaran mencakup keajegan dalam melakukan penilaian, penilaian tugas perkuliahan, proporsionalitas penilaian, pemberian umpan balik, dan pelaksanaan remidial teaching.

Pendekatan Asesmen Pembelajaran

Pelaksanaan asesmen mutu pembelajaran dosen dapat dilakukan dengan melibatkan mahasiswa secara intra individu. Dengan kata lain mutu pembelajaran dosen tersebut diukur berdasarkan perspektif mahasiswa. Pendekatan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, penilaian terhadap mutu pembelajaran pendidik dilakukan oleh peserta didik, karena penilaian oleh peserta didik pada umumnya lebih handal dibandingkan metode lain [teman sejawat atau penilaian diri guru] (Pohlman, 1976). Kedua, penilaian terhadap mutu pembelajaran oleh peserta didik dianggap sebagai salah satu kriteria terbaik untuk evaluasi keefektifan pengajaran, sehingga sering disarankan sebagai komponen kunci dalam proses evaluasi pengajaran (Scriven, 1981). Ketiga, penilaian oleh peserta didik lebih praktis dan efisien untuk mengumpulkan informasi tentang performance pengajaran pendidik, karena peserta didik dengan mudah melakukannya dibanding pendekatan lain (Aleamoni, 1981). Penilaian mutu pembelajaran dosen dapat menggunakan instrumen

88


Zurqoni

berupa kuesioner dengan skala model likert yang dimodifikasi sesuai konteksnya. Tahapaan pengembangan instrumen dilakukan melalui teknik Delphi, Focus Group Discussion, kemudian dilakukan uji coba lapangan dengan mengadopsi pola dari Tessmer (1993) sebagaimana ditampilkan dalam gambar berikut: Low Resistence Revision

High Resistence Revision

Expert Review Revise

Self-Evaluation

Revise

Small Group

Revise

Field Test

One to One

Penentuan jumlah subyek uji coba sebagai upaya untuk menguji tingkat kehandalan model asesmen disesuaikan dengan tahapannya. Uji coba perorangan hanya melibatkan beberapa orang mahasiswa, sedangkan uji coba kelompok kecil perlu melibatkan mahasiswa lebih banyak, terutama pada tahap validasi.

Penutup

Mengembangkan model asesmen pembelajaran sebagai upaya untuk dapat menilai proses pembelajaran secara efektif diperlukan oleh para penyelenggara pendidikan maupun stakeholder pendidikan. Karena hasil asesmen pembelajaran secara esensial dapat dijadikan dasar pemberian umpan balik (feed back) terhadap proses pembelajaran guna memperbaiki proses dan kemajuan belajar. Praktek asesmen pembelajaran dengan maksud untuk menilai kualitas proses pembelajaran yang ditempuh dosen bersama mahasiswa memerlukan kesiapan mental dosen tersebut, karena pada saatnya akan ditemukan dosen yang mendapatkan penilaian �kurang bermutu’ dalam pembelajaran. Kondisi ini dapat menjadi ’cambuk’ bagi dosen tersebut untuk meningkatkan kualitas diri. Praktek asesmen mutu pembelajaran dengan memanfaatkan keterlibatan mahasiswa harus dilakukan secara fair antara kedua belah pihak agar tidak terjadi bias penilaian.

Vol IV No 1 Mei 2011

89


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

DAFTAR PUSTAKA Aleamoni, L.M. (1981). Student rating of instruction. New York: Mc Millan Publication. Ali, M. (2000). Guru dalam proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Alken, L.R. (1997). Psychological testing and assessment. Boston: Allyn and Bacon Allen, M.J. & Yen, W.M. (1979). Introduction to measurement theory. Colifornia: Broks/Cole Publishing Company. Amien, M. (1995). Proses belajar mengajar, Bahan penataran latihan prajabatan golongan III. Yogyakarta: IKIP. Anderson, L. W. (2003). Classroom assessment: Enhanching the quality of teacher decision making. London: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher. Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R.(Eds.) (2001). A taxonomy for learning, teaching and assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objective. New York: Longman. Anderson, L.W. (1981). Assessing affective characteristic in the schools. Boston: Allyn and Bacon Arter, J. (2002). Assessment for vs assessment of learning. Diambil pada tanggal 15 Maret 2007, dari http://www. assessmentinst.com/form/articlessee FORv OF.pdf. Asri Budiningsih. (2003). Belajar dan pembelajaran. Yogyakarta: FIP UNY. Astin, A. W. (1993). Assessment for exellence: The philosophy and practice of assessment and evaluation in higher education. United State: The Oryx Press.

90


Zurqoni

Baharuddin & Esa N.W. (2008). Teori belajar dan pembelajaran, Yogyakarta: Arruz Media. Black, P. dan Wiliam, D. (1998). Inside the black box: Raising standards through classroom assessment. Phi Delta Kappa, 80, 2, 139-148. Bloom, B.S., et.al. (1979). Taxonomy of educational obyectives: The classification of educational goals. Handbook I: Cognitive domain. London: Longman Group Ltd. Brma, P., et al. (t.th). Self, negotiated collaborative assessment through col�laborative student modelling. Diambil pada tanggal 20 Maret 2007, dari http://www. dai.ed.ac.uk/groups/aie/ conferences/ovalm/ paper/ paul/ paul etal/.pdf. CEA@Islington. (2003). Quality statement on assessment practice (secondary). Diam�bil pada tanggal 15 Maret 2007, dari http:/www.aaia.org.uk. Clarke, S. (2005). Formative assessment in action: Weaving the element together. London: Hooder Muray. -------- (2005). Formative assessment in the secondary classroom. London: Hooder Muray. Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory. New York: Holt, Rinehart and Winsten. Depdiknas. (2004). Pedoman pembuatan laporan hasil belajar, pedoman pembelajaran tuntas, pedoman pengembangan ranah psikomotor, pedoman penilaian ranah afektif. Jakarta: Ditjen Dikdasmen. Djemari Mardapi. (2002). Pengukuran, penilaian dan evaluasi. Kumpulan makalah seminar dan lokakarya. Yogyakarta: Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta. -------- (2004). Implementasi kurikulum berbasis kompetensi, Makalah seminar konsekuensi sistem penilaian dalam KBK: Bandar Lampung: Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia, Unit Koordinasi Lampung. -------- (2005). Pengembangan instrumen penelitian pendidikan. Yogyakarta: Vol IV No 1 Mei 2011

91


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta. Dochy, F., Segers, M. & Sluijsmans. M. (1999). The use of self-, peer and co-assessment in higher education: a review. Studies in higher education, 24, 331-351. Fazio, L.S. (1987). The delphi: Education and assessment in institutional goal setting: Dalam David S. Cordray & Mark W. Lipsey (Eds). Evaluation studies: Review annual, 11 (pp. 287-297). Colifornia: Sage Publications, Inc. Fraenkel, J.R & Wallen, N.E. (1993). How to design and evaluate research in education. New York: McGraw Hill Inc. Gagne, R. M., & Leslie J. B. (1974). Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Gregory, K., Cameron, C. & Davies, A. (2000). Self assessment and goal setting. Canada: Connection Publishing. Griffin, P. dan Nix, P. (1991). Educational assessment and reporting: A new approach. San Diago-California: Harcourt Brace Jovanovich Inc. Haryanto & Subiyanto (2003). Pengembalian kebebasan guru untuk mengkreasi iklim kelas dalam manajemen berbasis sekolah. Jurnal pendidikan dan kebudayaan, 040. Diambil pada tanggal 6 September 2006, dari http://www. depdiknas.go.id. Johnson, D. W. & Johnson, R. T. (2002). Meaningful assessment: A managable and cooperative process. Boston: Allyn & Bacon. Jones, E.E. & Davis, K.E. (1965). From act to disposition: The atribution process in person perception. Dalam Berkowith, L. (ed.). Advence in experimental social psychology, 2, 219-266. New York: Academic Press. Diambil pada tanggal 20 Juni 2008, dari http://home. comcast.net/ ∼icek. aizen/ book/ chz.pdf. Joyce, B & Weil, M. (1996). Models of teaching. London: Allyn & Bacon. Kellaghan, T. & Greaney, V. (2001). Using assessment to improve the quality of education. Paris: United Nations Educational, Scientific and Culture Organization. Krathwohl, D.R., Bloom, B.S., & Masia, B.B. (1973). Taxonomy of educational obyektives: The classification of educational goals. Handbook II: Affective

92


Zurqoni

domain. London: Longman Group Ltd. Martin, B.L. & Briggs, L.J. (1986). The cognitive and affective domains: Integration for instruction and research. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications. Miller, M . (2005). Learning and teaching in the affective domain. Dalam M. Orey (Ed.). Emerging perspectives on learning, teaching, and technology. Available Website: http://www.coe.uga.edu/epltt/affective.htm. Ministry of Education. (1994). Assessment: Policy to practice. New Zealand: Meaning Media Ltd. Nana Sudjana & Ahmad Rivai (1997). Media pengajaran. Bandung: Sinar Baru. Nasution, H. (1979). Filsafat agama. Jakarta: Bulan Bintang. Ngalim Purwanto. (1986). Prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran. Bandung: Remadja Karya. Nitko, A. J. dan Brookhrat, S. M. (2007). Educational assessment of students, 6th ed. New Jersey: Person Educational Inc. Ormrod, J.E. (2003). Educational psychology, developing learner, 4rd ed. Merill: Pearson Education, Inc. Pedhazur, E.J. (1982). Multiple regression in behavioral research. New York: Holt Rinehart and Wiston, Inc. Peter, Ji et al. (2005). A measurement model of student character as described by the Positive Action Program. Journal of research in character education, 3, 109-121.  Popham, W. J. (1995). Classroom assessment: What teacher need to know. Boston: Allyn & Bacon. Richey, R.W. (1973). Planning for teaching. An introduction to education. t.t: Mc. Graw Hill. Sax, G. (1980). Principles of educational and psychological measurement and evaluation, 2nd edition. California: Wadsworth Publishing Company. Vol IV No 1 Mei 2011

93


Model Asesmen Pembelajaran Dosen

Scriven, M. (1981). Summative teacher evaluation. Beverley Hills: Sage Publication. Simonson, M. and Maushak, N. (2001). Instructional technology and attitude change. Dalam D. Jonassen (Ed.). Handbook of research for educational communications and technology, 984-1016. Mahway, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Slamet, P.H. (2005). MBS, life skill, KBK, CTL dan saling keterkaitannya. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Smith, P. & Ragan, T.J. (1999). Instructional design. New York: John Wiley & Sons. Stark, J. S. dan Thomas, A. (Eds). (1994). Assessment and program evaluation. California: Simon & Schuster Custom Publishing. Stiggins, R.J. (2002). Assessment crisis: The absence of assessment for learning, Phi Delta Kappa. Diambil pada tanggal 15 Maret 2007, dari http://www. pdkintl.org/ kappan/k0206sti.htm. Suciati & Prasetyo Irawan. (2001). Teori belajar dan motivasi. Jakarta: Proyek Pengembangan Universitas Terbuka, Direktorat Dikti Depdiknas. Sudjana. (2002). Penilaian hasil proses belajar mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suharsimi Arikunto. (1990). Manajemen pengajaran secara manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta. Sunarto & B. Agung Hartono. (1999). Perkembangan peserta didik. Jakarta: Rineka Cipta. SundstrÜm, A. (2005). Self-assessment of knowledge and abilities: A literature study. EM. Suryosubroto, B. (1997). Proses belajar mengajar di sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Tessmer, M. (1993). Planning and conducting formative evaluation. London: Kogan Page Ltd. Diambil pada tanggal 16 April 2007, dari http:// www. geocities. com/ zulkardi/books.html. Weeden, P., Winter, J. & Broadfoot, P. (2002). Assessment: What’s in it for school. New York: Routledge Falmer.

94


MENGURAI NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM LIRIK LAGU WALI BAND Oleh: Imam Hanafie

Abstrak: Islamic education is a shared responsibility, not just the responsibility of parents, educators, scholars, and government, but also anyone who has the ability and enough knowledge and expertise in accordance with their respective profession. Islamic education does not always have to be charged to the institutions of formal education, but also the responsibility of anyone and in any field, including in it the field of art music. Instilling the values ​​of Islamic education through the art of music is basically one of the umpteenth model of Islamic education, and including into non-formal education sector. Among his musical group, “Wali Band” is one of a group of concerned music display messages laden with the values ​​of Islamic education in each of the lyrics of the song. Kata Kunci: Pendidikan Islam, Seni Musik, dan Lirik Lagu Wali Band

Pendahuluan

Adalah sebuah keniscayaan bahwa arus modernisasi saat ini telah merambah hampir ke segenap penjuru belahan dunia, dari kota-kota besar hingga merambah ke tempat-tempat terpencil. Oleh karena telah menjadi sebuah keniscayaan, maka segala macam produk modernisasi akan terus merangsek ke segenap penjuru peradaban umat manusia. Arus modernisasi itu kini telah mempenetrasi kedalam hampir semua bidang kehidupan, tak terkecuali di bidang seni yang salah satunya ditandai oleh semakin bervariasinya jenis dan aliran seni musik yang bermunculan dewasa ini. Kehadiran seni musik dengan berbagai jenis dan alirannya itu sedikit Vol IV No 1 Mei 2011

95


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

banyak telah mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup generasi muda jaman sekarang. Banyak generasi muda di era sekarang yang disadari atau tidak telah terjebak kedalam glamouritas performa suatu jenis dan aliran musik tertentu yang sedang menjadi trend, sehingga pengidolaan yang berlebihan dan cenderung mengarah kepada “kultus individu” itu ikut mempengaruhi pola pikir dan gaya hidupnya. Hal ini seharusnya dijadikan sebagai suatu “keprihatinan bersama”, bukan sebaliknya bersikap apatis dan membiarkan mereka terbawa arus budaya atau ideologi yang diusung oleh para musikus atau seniman yang keropos dari nilai-nilai pendidikan Islam sehingga mereka menjadi generasi yang secular oriented yang jauh dari nilai-nilai pendidikan Islam. Oleh karena itu, untuk meminimalisir keterjerumusan generasi muda kedalam propaganda Barat yang salah satunya dilancarkan melalui seni musik yang secular oriented, maka menjadi sebuah keharusan bagi pegiat seni, khususnya seni musik untuk turut serta menciptakan counterbalance power atas propaganda Barat tersebut. Upaya menciptakan counterbalance power melalui jalur seni musik ini harus dilakukan dengan turut serta menghadirkan suatu jenis dan aliran musik yang sarat dengan penanaman nilai-nilai pendidikan Islam melalui lirik-liriknya. Apakah urgensinya menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam melalui jalur seni musik padahal sudah banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bertebaran dan diyakini sangat efektif membentuk karakter religi generasi muda? Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada saat ini lebih efektif dan lebih “jitu” dalam membentuk watak generasi muda agar mereka kelak tumbuh menjadi generasi yang religius. Namun juga tidak boleh dilupakan bahwa generasi muda itu memiliki lebih banyak waktu di luar pendidikan formal, di mana mereka tentu akan bersentuhan pula dengan musik meskipun hanya sekadar mengisi waktu senggang. Gencarnya “pesan-pesan terselubung” yang diusung oleh seorang penyanyi dan musikus dan diperdengarkan berulang-ulang, apalagi jika karya seni musik itu mencapai trending topic yang digemari, maka hal ini lambat laun tentu akan mempengaruhi dan membentuk pola pikir dan gaya hidup sebagaimana gaya hidup sang penyanyi idola dan lirik-lirik yang dinyanyikannya. Nilai-nilai pendidikan Islam yang hendak diinfiltrasikan kedalam seni musik pada dasarnya adalah sejalan dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yakni bertujuan untuk “mengembangkan kemampuan peserta didik untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari.1 Secara umum, tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa, Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan 1

Diah Harianti, Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama, (Jakarta: Depart men Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2007), hal. 3

96


Imam Hanafie

berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT.2 Pengertian nilai-nilai pendidikan Islam secara umum dapat pula ditarik benang merahnya dari statemen Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), khususnya pada pasal 36 ayat (3) yang di antaranya menekankan pada segi: peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.3 Urgensi nilai-nilai pendidikan Islam sebagaimana dikehendaki oleh UUSPN No.20 Tahun 2003 ini juga mempertegas tentang pentingnya membentuk generasi muda (anak didik) agar memiliki kedalaman imtak dan keagungan akhlak, sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Penjelasan ini menunjukkan keterkaitan secara lebih jelas bahwa imtak dan akhlak mulia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai pendidikan Islam, di mana keberadaannya menjadi prioritas yang harus diperhatikan dalam kurikulum sebagaimana diamanatkan dalam UUSPN No.20 Tahun 2003.4 Demikian pentingnya penanaman nilai-nilai pendidikan Islam dalam pembentukan karakter generasi muda dewasa ini, rupanya telah mendorong sekelompok pegiat seni musik yang lirik-liriknya sarat dengan nuansa nilai pendidikan Islam, yaitu group band yang memproklamirkan dirinya dengan nama “Wali”. Melalui artikel ini, penulis mencoba mengurai beberapa liriklirik lagu group band “Wali” yang di dalamnya terdapat pesan-pesan yang bernuansa “mendidik” berperilaku Islami.

Definisi Seni dan Seni Musik

Asal muasal Seni pada awalnya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari suatu ilmu. Term-term abad ini banyak menyandarkan seni sebagai intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni memiliki nilai relatif sehingga sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu pekerja seni (seniman) dengan leluasa dapat memilih batasan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya. Namun demikian, banyak pekerja seni (seniman) mendapat pengaruh dari orang lain dari masa lalu, dan juga beberapa pedoman yang telah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk, misalnya media bakung yang bermakna kematian dan mawar merah yang bermakna cinta.5 2 3 4 5

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 41 Dirjen Pendis Depag RI, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Dirjen Pendis Depag RI, 2006), hal. 25. Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 (Sinar Grafika, 2003) http://www.crayonpedia.org/mw/Pengertian_seni_,_cabang-cabang_seni,_unsur unsur_seni,_sifat_dasar_ seni_secara_umum_7.1

Vol IV No 1 Mei 2011

97


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

Dari segi kebahasaan, Istilah seni pada mulanya berasal dari kata Ars (latin) atau Art (Inggris) yang artinya kemahiran. Ada juga yang menyatakan kata seni berasal dari bahasa Belanda yang artinya genius atau jenius. Sementara kata seni dalam bahasa Indonesia berasal dari kata sangsekerta yang berarti pemujaan. Sementara itu dalam bahasa tradisional Jawa, seni artinya Rawit (pekerjaan yang rumit- rumit/kecil).6 Menurut Elkins (1995) sebagaimana diulas dalam Britanica Online, seni didefinisikan sebagai: “The use of skill and imagination in the creation of aesthetic objects, environments, or experiences that can be shared with others.” By this definition of the word, artistic works have existed for almost as long as humankind: from early pre-historic art to contemporary art; however, some theories restrict the concept to modern Western societies. (penggunaan keterampilan dan imajinasi dalam penciptaan obyek estetis, lingkungan, atau pengalaman yang bisa dibagi dengan orang lain.” Dengan definisi kata, karya-karya artistik telah ada selama hampir sepanjang manusia: dari seni pra-sejarah awal untuk seni kontemporer, namun beberapa teori membatasi konsep masyarakat Barat modern”.7 Konsep seni terus berkembang sejalan dengan berkembangnya kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang dinamis. Beberapa pendapat tentang pengertian seni: 1. Ensiklopedia Indonesia: Seni adalah penciptaan benda atau segala hal yang karena kendahan bentuknya, orang senang melihat dan mendengar, 2. Aristoteles: seni adalah kemampuan membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu, 3. Ki Hajar Dewantara: seni adalah indah, menurutnya seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya, 4. Akhdiat K. Mihardja: seni adalah kegiatan manusia yang merefleksikan kenyataan dalam sesuatu karya, yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani sipenerimanya. 5. Erich Kahler: seni adalah suatu kegiatan manusia yang menjelajahi, menciptakan realitas itu dengan symbol atau kiasan tentang keutuhan “dunia kecil” yang mencerminkan “dunia besar”.8 Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa seni pada hakikatnya adalah hasil karya manusia yang bernilaikan estetik yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan sebagai produk dari kreativitas manusia dalam memadukan potensi 6 7 8

http://rheartlova.blogspot.com/2009/06/pengertian-seni-istilah-seni-pada.html James Elkins, Art History and Images That Are Not Art”, The Art Bulletin, Vol. 47, No. 4 (Dec. 1995). Modul Seni Budaya, (Samarinda: SMKN 1 Samarinda, 2008)

98


Imam Hanafie

akal dan perasaan sehingga dapat dipelajari dan dinikmati umat manusia. Bernyanyi dan bermain musik merupakan bagian dari cabang seni, karenanya tinjauan terhadap definisi seni diperlukan sebagai proses pendahuluan untuk memahami secara komprehensif mengenai seni musik. Menurut Al-Baghdadi (1991), seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pengamatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).9 Diskursus mengenai seni tidak dapat dilepaskan dari perbincangan mengenai keindahan (aesthetics). Adalah sudah menjadi fitrahnya bahwa manusia menyukai keindahan. Keindahan gambar atau pemandangan yang ditangkap melalui indera penglihatan, keindahan gerakan yang dihasilkan oleh seni tari, dan keindahan suara yang dinikmati melalui perantara pendengaran adalah beberapa produk seni yang dilahirkan melalui perantara alat komunikasi yang dapat dinikmati oleh indera manusia. Demikian halnya dengan nyanyian, puisi, yang juga melambangkan keindahan, tidak sedikit manusia yang menyukainya. Estetika pada dasarnya merupakan salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.10 Berkaitan dengan seni musik (instrumental art), seni musik selalu dihubungkan dengan alat-alat musik dan irama yang dihasilkan oleh alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. 9 Abdurrahman Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta: Gema Insani Press, 1991). Hal. 13 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Estetika

Vol IV No 1 Mei 2011

99


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

Sedangkan seni vokal adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal seperti: gitar, biola, piano, dan lain-lain. Atau pula dapat digabungkan dengan alat-alat musik kombinatif seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya.11 Sementara musik itu sendiri adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Definisi hakiki tentang musik juga bermacam-macam, antara lain: • Bunyi/kesan terhadap sesuatu yang ditangkap oleh indera pendengar • Suatu karya seni dengan segenap unsur pokok dan pendukungnya. • Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai musik.12 Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa seni dan musik sangat bertalian erat karena seni musik itu sendiri merupakan cabang dari seni. Seni dan musik keduanya mengandung nilai estetik sebagai buah dari kreativitas manusia yang pada akhirnya merupakan bagian dari kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karya dan karsa umat manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, seni musik sering digunakan oleh sebagian orang untuk menyampaikan ideidenya, mengusung pesan-pesan kritis yang bernilai edukatif, religi, nasionalisme, bahkan propaganda misi-misi tertentu dan sebagainya, disamping dengan maksud menyuguhkan sisi-sisi entertainnya.

Seni Musik Dalam Pandangan Islam

Bagaimana Islam memandang seni musik? Pembahasan kearah ini aka difokuskan pada dua hal, yakni: Pertama, bagaimana pandangan Islam tentang nyanyian (lagu), dan kedua, bagaimana pandangan Islam tentang musik. Pertama, pandangan Islam tentang nyanyian Berkaitan dengan hukum menyanyikan lagu, para ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya, sebagian mengharamkan dan sebagian lagi menghalalkannya dengan berpegang kepada dalilnya masing-masing.13 Dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian disandarkan pada QS. Luqman: 6 yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghina11 Ibid., hal. 14 12 http://id.wikipedia.org/wiki/Musik 13 Sebagian dalil-dalil yang dikemukakan para ulama baik yang menghalalkan musik maupun yang men haramkannya sebagian dikemukakan oleh Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik. http://www. ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):

100


Imam Hanafie

kan.” (QS. Luqmân: 6)14 Di samping dalil yang disandarkan pada Al-Qur’an, terdapat beberapa dalil yang disandarkan pada beberapa Hadits yaitu: Hadits Abu Malik AlAsy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (alma’azif).”15 Dan Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda: “Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.”16 Sedangkan dalil-dalil yang menghalalkan nyanyian di antaranya di dasarkan pada QS. Al-Maidah: 87 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (QS. al-Mâ’idah: 87). Hukum halalnya menyanyikan lagu juga disandarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori yang berbunyi17 : َّ ُ‫اث َفقَا َل أَبُو ب َ ْك ٍر ِمزْ َمار‬ َ ‫الش ْي‬ ‫َي َفقَا َل‬ َ ‫ان مِبَا تَقَاذَ َف ْت أْالَن‬ ٍ ‫ْصارُ ي َ ْو َم بُ َع‬ ِ ْ‫ان َمرَّت ن‬ ِ ‫َانهَّ ُتُ َغ ِّن َي‬ ِ ‫وَ ِع ْن َد َها َق ْي َنت‬ ِ ‫ط‬ َ ‫سلَّ َم دَ ْع ُه َما يَا أبَا ب َ ْك ٍر إ ِ َّن لِ ُك ِّل َق ْو ٍم ِعي ًدا وَإ ِ َّن ِعي َدن َا َه َذا الْ َي ْو ُم‬ َ ‫الن َِّب ُّي‬ َ َ‫صلَّى الل َعلَ ْي ِه و‬ Artinya: “Saat itu di hadapan <Aisyah radliallahu <anha terdapat dua budak perempuan hasil tawanan kaum Anshar dalam perang Bu>ats sedang bernyanyi. Maka Abu Bakar berkata; «Seruling-seruling syetan.» Dia mengucapkannya dua kali. Maka Nabi shallallahu <alaihi wasallam bersabda: «Biarkanlah wahai Abu Bakar. Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan hari raya kita adalah hari ini.» (HR. Bukhari, Hadits No: 3638) Dalam hadits yang lain riwayat Ahmad disebutkan: ُ َّ‫ه‬ ِّ ‫ْش ُد‬ ‫ول‬ ْ ‫س ِج ِد َفقَا َل ِفي َم‬ ْ َ ‫الش ْعرَ ِفي مْال‬ َّ ‫ض َي الل َع ْن ُه َعلَى َح‬ ُ َ ‫س ِج ِد ر‬ ِ ‫سا َن وَ ُه َو يُن‬ ِ َ ‫َمرَّ ُع َم ُر ر‬ ِ ‫س‬ َّ‫ه‬ ُ َّ‫الل صلَّى ه‬ َ ُ ُ ِّ َ َ َ َّ ُ ُ َ ‫ْش ُد‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ْت‬ ‫ن‬ ‫ك‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫ْك‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫و‬ ‫د‬ ‫ْش‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ْت‬ ‫ن‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫ر‬ ‫ع‬ ‫الش‬ ‫د‬ ‫ْش‬ ‫ن‬ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫الل‬ ُ َ‫خ‬ ُ ُ ُ ْ ْ َ ُ ُ َ َ ِ َ ْ َ َ َ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِْ َ ِ ٌْ 14 Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah QS. an-Najm: 59-61; dan QS. al-Isrâ’: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22). 15 HR. Bukhari, Shahih Bukhari, Hadits no. 5590. 16 HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, (Hadits mauquf). 17 Terdapat juga beberapa hadits yang intinya membolehkan nyanyian seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bu hori dari Aisyah ra, bahwa Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata: “Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda: “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra]. Dan dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata: “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, Juz II, hal. 485].

Vol IV No 1 Mei 2011

101


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

َ ‫ِفي ِه وَ ِفي ِه َم ْن ُه َو خَ ْي ٌر ِمن‬ ‫ْك‬ Artinya: “Umar Radliyallahu>anhu melawati Hassan saat tengah bersyair di masjid kemudian <Umar berkata; Di masjid Rasulullah Shallallahu>alaihi wasallam syair disenandungkan? Hassan berkata; <Saya pernah bersyair dan di dalam masjid ada orang yang lebih baik darimu (yaitu Nabi Shallallahu <alaihi wa Salam).” (HR. Ahmad, Hadits No. 20927) Uraian tentang dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya) menunjukkan bahwa kedua pendapat baik yang mengharamkan maupun yang menghalalkan memperlihatkan adanya kontradiksi (ta’arudh) antara satu dalil dengan dalil lainnya. Untuk menyikapi kontradiksi ini diperlukan telaah atas kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah populer di kalangan jumhur ulama dalam rangka menyikapi secara arif beberapa dalil yang tampak kontadiktif tersebut. Imam asy-Syafi’i (dalam asy-Syaukani) menyatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu.18 Menyikapi kontradiksi antara kedua kelompok dalil hadits di atas, keduanya seyogyanya dikompromikan, dengan tidak bermaksud mengkesampingkan salah satunya. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, kedua dalil yang “kontradiktif ” di atas keduanya dapat diberikan tempat dan penginterpretasian yang proporsional. Keputusan ini dapat dianggap lebih tawazun daripada harus mengakomodir salah satu kelompok dalil tetapi diiringi dengan menyingkirkan kelompok dalil yang lain. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Dr. Muhamad Husain Abdullah mengambil suatu diktum fiqih: “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima).19 Pengambilan diktum fiqih ini menurut an-Nahbani (1953) didasarkan pada sebuah alasan bahwa: “suatu dalil itu pada dasarnya adalah untuk diamalkan dan bukan untuk ditanggalkan (Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal)”.20 Dari kedua dalil tentang hukum nyanyian di atas, baik yang mengharamkan maupun menghalalkan dapat ditarik sebuah konklusi bahwa dalil yang mengharamkan masih berkisar pada hukum umum (ijmal) nyanyian. Sedangkan 18 Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr, tth.), hal. 275 19 Muhammad Husain Abdullah,. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut: Darul Bayariq, 1995). hal. 390 20 Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds: Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 1953), hal. 239

102


Imam Hanafie

dalil yang membolehkan terfokus pada hukum khusus atau pengecualian (tkahsis), yakni nyanyian dibolehkan sesuai dengan tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan oleh syara’, seperti pada hari raya. Dengan ungkapan lain, bahwa dalil yang mengharamkan nyanyian merujuk kepada keharaman nyanyian secara mutlak. Sementara itu, dalil yang menghalalkan merujuk kepada bolehnya nyanyian didasarkan pada keharusan adanya batasan atau kriteria yang membolehkannya (muqayyad).21 Dengan demikian dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan secara moderat bahwa nyayian itu ada yang diharamkan dan ada pula yang dihalalkan (baca: dibolehkan), sebuah nyanyian dihukumi haram apabila di dalam nyanyian itu terkandung unsur-unsur kemaksiatan atau kemunkaran, baik dalam bentuk perkataan (qouliyah), perbuatan (fi’liyah), atau dalam bentuk sarana (asy-yâ’), misalnya dalam praktek nyanyian itu disertai dengan minumanminuman keras (khamr), zina, penampakan aurat, campur baur pria-wanita (ikhtilath), atau pesan-pesan dalam syairnya bertentangan dengan syara’, misalnya mempropagandakan ajakan berpacaran, mendorong pergaulan bebas, mempropagandakan sekulerisme, liberalisme dan sebagainya. Sedangkan nyanyian yang dihukumi halal adalah nyanyian yang mengandung kriteria bersih dari unsur-unsur kemaksiatan atau kemunkaran, misalnya syair-syair yang mengandung pujian atas sifat-sifat Allah SWT, memotivasi untuk meneladani akhlak Rasulullah SAW, mengajak bertaubat kembali ke jalan Allah SWT dari perbuatan-perbuatan maksiat, mendorong orang untuk menuntut ilmu, menceritakan keagungan Allah dalam penciptaan alam semesta, dan sebagainya.22 Kedua, pandangan Islam tentang musik Bagaimana Islam memandang musik? Secara tekstual (nash) terdapat satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya, yaitu alat musik berupa rebana23 (ad-duff atau al-ghirbal) berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut: َ‫يل ب ْ ُن َع ْم ٍرو َق ا‬ ُ ِ‫ض ِم ُّي وَ خْالَل‬ ‫ُس َع ْن خَ الِ ِد ب ْ ِن‬ َ ‫َص ُر ب ْ ُن َعلِ ٍّي جْالَ ْه‬ ْ ‫َح َّدثَنَا ن‬ َ ‫يسى ب ْ ُن يُون‬ َ ‫ال َح َّدثَنَا ِع‬ َّ‫ه‬ ُ َ َ ِ ‫َاسم َع ْن َعائ‬ ْ ‫سلَّ َم‬ َ ‫ش َة َع ْن الن َِّب ِّي‬ َ ‫إِلْ َي‬ َ َ‫صلَّى الل َعلَ ْي ِه و‬ ِ ِ ‫اس َع ْن رَبِي َع َة ب ْ ِن أبِي َع ْب ِد الرَّ ْح َم ِن َع ْن الق‬ ْ َ َ َ ‫ال‬ ْ َ‫اح و‬ َ ‫َقا َل أ َ ْعلِنُوا َهذا النِّك‬ ِ َ ‫اضرِبُوا َعل ْي ِه بِال ِغرْب‬ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami dan Al Khalil bin Amru keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus dari Khalid bin Ilyas dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdurrahman 21 Lihat Abdurrahman Al-Baghdadi, Op. Cit., Hal. 64-65, dan Muhammad Asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds: Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah, tth), hal. 102-103 22 Ibid., hal. 64-65 Asy-Syuwaiki, hal. 103 23 Lihat Abdurrahman Al-Jaziri,. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (Haramkah Musik dan Lagu?). Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr, 1999), hal. 52. Lihat juga Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1983), hal. 24

Vol IV No 1 Mei 2011

103


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

dari Al Qasim dari ‘Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhlah rebana.” (HR. Ibnu Majah, Hadits No. 1885) Selain alat musik berupa rebana, seperti gitar, piano, drum, gamelan dan sebagainya, ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya. Pendapat ulama tentang alat musik rebana itu terbelah menjadi dua kelompok, yakni ada sebagian ulama yang mengharamkan dan ada sebagian pula yang membolehkannya. Bagi kelompok hadits yang mengharamkan alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya menurut Syaikh al-Albani24 adalah dha’if.25 Menurut al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad menyetujui pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’.26 Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hazm (dalam alBaghdadi, 1991): “Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.”27 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memainkan alat musik jenis apapun hukum dasarnya adalah mubah (dibolehkan). Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah. Selanjutnya mengenai hukum mendengarkan musik, Islam memandang bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah mubah, baik itu berupa musik yang dikombinasikan dengan nyanyian (vokal), mendengar secara langsung melalui pertunjukan atau konser sepanjang tidak ada unsur kemaksiatan dan kemunkaran yang terkandung di dalamnya. Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya adalah haram. Akan tetapi jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah 24 Syaikh al-Albani, beliau bernama lengkap Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh al-Alb ni (lahir di Shkoder, Albania; 1914 / 1333 H – meninggal di Yordania; 1 Oktober 1999/21 Jumadil Akhir 1420 H; umur 84–85 tahun). Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama Islam di era modern yang dikenal sebagai ahli hadits. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya lantaran ketekunan dan keseriusan mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama). Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul). Syaikh al-Albani wafat malam Sabtu, 21 Jumada Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999. 25 Di samping itu ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ul mul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan lain-lain. 26 Syaikh Nashiruddin al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad Lil Imam al-Bukhari, diterjemahkan oleh Herry Wibowo dan Abdul Kadir Ahmad dalam Koreksi Ilmiah Terhadap Karya Imam Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hal. 259. 27 Abdurrahman al-Baghdadi, Op Cit., hal. 57

104


Imam Hanafie

mubah.28

Sekilas Tentang Group Musik “Wali Band”

Wali Band merupakan grup musik asal Blora yang berdomisili di Kapuk, Cangkereng. Grup musik ini dibentuk pada tahun 2008. Anggotanya berjumlah 5 orang yaitu Faank (vokal), Apoy (gitar), Tomie (drum), Ovie (keyboard & synt), dan Nunu (bass). Salah satu “nilai plus” yang membedakannya dengan kelompok musik lain adalah semua personil band ini berlatar belakang lulusan pesantren dan sebagian merupakan alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Album pertamanya ialah Orang Bilang yang dirilis pada 26 Maret 2008.29 Album pertama bertajuk Orang Bilang ini di tahun 2008 menduduki peringkat satu dan terjual sebanyak 225.000 copy sehingga mendapat sertifikat Quadruple Platinum. Sedangkan album kedua yang dirilis tahun 2009 yang mengandalkan hit Cari Jodoh juga bertengger di posisi pertama dan terjual sebanyak 17.550 copy serta mendapat sertifikat Silver. Di tahun 2009 ini pula Wali Band mengusung hit Mari Sholawat yang menduduki peringkat kesembilan dan terjual sebanyak 2.500 copy. Tahun 2008 di antara lagu-lagu Wali yang termasuk kategori Lagu Studio yang paling populer antara lain berjudul Dik, Orang Bilang, Egokah Aku, Emang Dasar, dan Aku Cinta Allah. Sementara itu di tahun 2009 lagu-lagu Wali yang populer antara lain: Aku Saki, Cari Jodoh, Mari Sholawat, dan Baik-baik Sayang. Wali Band umumnya ber-genre pop metal melayu total dengan sedikit sentuhan irama melayu dalam lagu-lagu mereka. Lagu hit dalam album ini adalah Dik dan Egokah Aku yang menggunakan Shireen Sungkar sebagai model video klip. Lagu Dik yang merupakan andalan dengan memasukkan unsur dangdut itu, tercatat berhasil menjadi RBT (ring back tone) bagi 1 juta pemilik telepon selular hingga pertengahan Mei 2008. Ini menjadi barometer kesuksesan grup yang beranggotakan 5 pria itu. Sukses dengan album perdana, Wali akan segera merilis album keduanya yang sebagian besar diciptakan oleh Faank. Sebelumnya, Wali telah merilis single jagoan dari album terbarunya, Cari Jodoh. Bahkan berkat RBT single Cari Jodoh ini, Wali mendapat hadiah umroh dari labelnya, Nagaswara. Dalam momen Ramadhan 1430 Hijriah (Agustus-September 2009), Wali juga mengeluarkan single religi yang berjudul Mari Sholawat.

Lirik Lagu “Wali Band” dan Nilai-nilai Pendidikan Islam

Lirik-lirik lagu yang diciptakan dan dipopulerkan kelompok musik Wali Band kebanyakan bernuansa religi, atau paling tidak pesan-pesan 28 Ibid., hal. 74 29 http://id.wikipedia.org/wiki/Wali_Band

Vol IV No 1 Mei 2011

105


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

yang disuguhkan kebanyakan bermuatan moral (akhlak), di mana ini juga merupakan inti dari nilai-nilai pendidikan Islam. Nilai-nilai pendidikan ini pada hakikatnya adalah berupaya membangun dan mengembangkan segi keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana terkandung dalam tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yakni bertujuan untuk “mengembangkan kemampuan peserta didik untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari.30 Di antara lirik-lirik lagu Wali Band yang mengarah kepada pembumian nilai-nilai pendidikan Islam dalam artikel ini, penulis hanya mencoba menguraikan 3 buah judul lagu di antara kesekian judullagu karya Wali Band, yaitu: Do’a untukmu Sayang, Tomat (Tobat Maksiat), dan Mari Sholawat. Uraian interpretatif dari ketiga lirik lagu ini adalah sebagaimana penulis uraikan di bawah ini: 1. Lirik lagu Doaku Untukmu Sayang Kau mau apa, pasti kan ku beri kau minta apa, akan aku turuti walau harus aku terlelah dan letih ini demi kamu sayang Aku tak akan berhenti menemani dan menyayangimu hingga matahari tak terbit lagi bahkan bila aku mati ku kan berdoa pada ilahi tuk satukan kami di surga nanti Tahukah kamu apa yang ku pinta disetiap doa sepanjang hariku Tuhan tolong aku tolong jaga dia Tuhan aku sayang dia Lirik lagu Wali berjudul Doa Untukmu Sayang merupakan album terbaru yang dirilis tahun 2011. Lagu ini menceritakan tentang seorang kekasih yang mendoakan kekasihnya. Namun sebenarnya inspirasi lagu ini lahir dari keinginan Apoy (Aan Kurnia) untuk mendoakan istrinya yang sedang hamil sebagi manivestasi dari tanggung jawab lahiririyah maupun batiniyahnya sebagai seorang suami. Lagu ini sarat dengan nilai-nilai religius sebagai inti dari nilai-nilai pendidikan Islam. 30 Diah Harianti, Loc. Cit, hal. 3

106


Imam Hanafie

Bait pertama dalam lagu ini menyiratkan tanggung jawab lahiriyah seorang suami kepada istrinya. Sedangkan bait kedua menggambarkan tanggung jawab batiniyah seorang suami dalam bentuk sikap kesetiaan kepada seorang istri hingga akhir hayatnya. Selanjutnya pada bait ketiga menunjukkan keinginan seorang suami agar sang istri memahami bahwa sangat menyayanginya dan selalu memintakan doa kepada Tuhan agar berkenan melindunginya di kala sang suami tidak sedang di sampingnya. Berkaitan dengan uraian di atas, terdapat beberapa ayat maupun hadits yang dapat dijadikan inspirasi dari hubungan yang baik antara seorang suami dan isterinya. Allah SWT dalam QS. An-Nisa: 19 berfirman: ”…Dan bergaullah dg mereka secara patut….” , QS. Ath-Thalaq: 6 : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu …. “, dan QS. AthThalaq: 7 : “Hendaklah orang yg mampu memberi nafkah menurut kemampuannya…”. Kandungan ayat-ayat ini sejalan dengan bait-bait lirik lagu yang berjudul Doa Untukmu Sayang, di mana seorang suami berkewajiban untuk memperlakukan isterinya dengan sebaik-baiknya, memberikan nafkah lahir dan batin, menjaga dan melindungi isteri dan anak-anaknya dan seterusnya. Selanjutnya beberapa hadits yang terkait dengan lirik lagu Doa Untukmu Sayang di antaranya adalah sebagai berikut: Bait pertama dalam lirik lagu Doa Untukmu Sayang di atas menyiratkan adanya kesadaran dan tekad yang kuat dari seorang suami untuk memberikan yang terbaik bagi istrinya. Sebagai bentuk dari tanggung jawab seorang suami kepada istrinya, seorang suami berkewajiban untuk memberikan nafkah lahiriyah kepada istrinya, memenuhi kebutuhan pangan, sandang, larangan melakukan kekerasan terhadap sang istri, dan menahan diri dari perkataan yang menyebutkan kekurangan istrinya dengan maksud merendahkannya. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya menyatakan: َ َ َ ْ َ ‫يم ب ْ ِن ُم َعاوِي َ َة‬ ْ ِ ‫وسى ب ْ ُن إ‬ َ ‫َح َّدثَنَا ُم‬ ِ ‫س َم ِعيل َح َّدثنَا َح َّما ٌدهَّ أخْ َبرَن َا أبُو َقزَ َع َة ال َبا ِهلِ ُّي َع ْن َح ِك‬ َ َ َ َ ‫الْق‬ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ ُ ‫الل َما َحقُّ زَوْ َج ِة أ َح ِدن َا َعل ْي ِه قال أ ْن تُط ِع َم َها إِذَا ط ِع ْم َت‬ ُ َ ‫ُش ْيرِ ِّي َع ْن أبِي ِه قال قل ُت يَا ر‬ ِ ‫سول‬ َ ْ ْ‫َس ْي َت أو‬ ْ ‫س َو َها إذَا‬ ‫َضرِ ْب الْ َو ْج َه وَ اَل تُ َق ِّب ْح‬ ْ ‫َس ْب َت وَ اَل ت‬ َ ‫اكت‬ َ ‫اكت‬ ُ ‫…وَت َْك‬ ِ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’Il, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah mengabarkan kepada kami Abu Qaza’ah Al Bahali, dari Hakim bin Mu’awiyah Al Qusyairi dari ayahnya, ia berkata; aku katakan; wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang diantara kami atasnya? Beliau berkata: “Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian)…” (ABUDAUD - 1830) ْ ُ ‫أ َ ْن ي‬ ْ ‫س َو َها إذَا‬ ‫ضرِ ْب الْ َو ْج َه وَ اَل يُ َق ِّب ْح وَ اَل ي َ ْه ُجرْ إ ِ اَّل ِفي‬ ْ َ ‫َسى وَ اَل ي‬ َ ‫اكت‬ ُ ‫ط ِع َم َها إِذَا َط ِع َم وَأ َ ْن ي َ ْك‬ ِ ‫الْ َب ْي ِت‬ Vol IV No 1 Mei 2011

107


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

Artinya: “Memberi makan kepadanya apabila dia makan, memberi pakaian apabila ia berpakaian, tidak memukul wajah, tidak menjelek-jelekkannya dan tidak boleh mendiamkannya kecuali di dalam rumah.” (IBNUMAJAH - 1840) Sedangkan pada bait kedua dalam lirik lagu di atas menyiratkan sebuah pelajaran berharga bagi suami kepada istrinya, bahwa seorang suami berkewajiban untuk senantiasa menjalin ikatan kesetiaan dalam berumah tangga hingga akhir hayatnya dengan jalan senantiasa memperlakukan sang istri dengan perlakuan sebaik-baiknya. Begitu pula sebaliknya dengan sang istri. Kesemua itu tidak lain adalah dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT sebagi wujud dari ibadah kepada Allah SWT. ‫اء خَ ْيرًا‬ ُ ‫اس َت ْو‬ َ ‫صوا بِالن‬ ْ َ‫و‬ ِ ‫ِّس‬ Artinya: ”Pergaulilah wanita dengan penuh kebijakan.” (BUKHARI - 4787) : ‫ص َد َق ًة‬ َ ‫َس ُب َها َكان َْت لَ ُه‬ ْ ُ ‫إِذَا أَن ْ َفقَ مْال‬ ِ ‫سلِ ُم ن َ َف َق ًة َعلَى أ َ ْهلِ ِه وَ ُه َو ي َ ْحت‬ Artinya: “Jika seorang muslim memberi nafkah pada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah.” (BUKHARI 4932) Lirik lagi Doa Untukmu Sayang di atas mengandung nilai-nilai pendidikan Islam yang sangat dalam dan sakral. Bahwa seorang suami ataupun calon suami mengemban misi pendidikan Islam melalui upaya membangun kehidupan berumah tangga yang didasari oleh nilai-nilai Qur’ani dan Sunnah Rasulullah, mengingat pendidikan Islam dalam lingkungan keluarga merupakan pondasi yang paling utama untuk mewujudkan pendidikan Islam dalam lingkup yang lebih luas. Bahwa tercapainya misi pendidikan Islam suatu bangsa terletak pada suksesnya pendidikan Islam dalam lingkungan keluarga. 2. Lirik lagu Tomat (Tobat Maksiat) Dengarlah hai sobat saat kau maksiat dan kau bayangkan ajal mendekat apa kan kau buat kau takkan selamat pasti dirimu habis dan tamat bukan ku sok taat sebelum terlambat ayo sama-sama kita taubat

108


Imam Hanafie

dunia sesaat awas kau tersesat ingatlah masih ada akhirat astafighrullahal’adzim reff: ingat mati, ingat sakit ingatlah saat kau sulit ingat ingat hidup cuma satu kali berapa dosa kau buat berapa kali maksiat ingat ingat sobat ingatlah akhirat cepat ucap astafighrullahal’adzim pandanglah ke sana lihat yang di sana mereka yang terbaring di tanah bukankah mereka pernah hidup juga kita pun kan menyusul mereka astafighrullahal’adzim Bait pertama dalam lirik lagu Tomat (Tobat Maksiat) secara eksplisit menyatakan “berbuatlah sesuka hatimu, namun yang harus engkau ingat, maut pasti akan datang menjemputmu”. Bait pertama dalam lirik lagu ini mengingatkan bahwa tidak ada keabadian dalam kehidupan di dunia ini, bahwa setiap makhluk ciptaa Allah SWT pasti akan mengalami kematian dan semua amal perbuatan manusia kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 185 telah menegaskan: “Setiap jiwa akan merasakan mati”. Sedangkan pada bait kedua, ketiga, dan keempat dalam lirik lagu ini berisi ajakan untuk bertaubat sebelum pintu taubat tertutup, mengingatkan bahwa kehidupan dunia itu fana, dan ada kehidupan yang abadi, yaitu akhirat. Ajakan untuk segera bertaubat atas segala kesalahan maupun kekhilafan ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Ali Imran: 133 yang artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.” Dan QS. Al-Baqarah: 222: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” Serta QS. Az-Zumar: 53-55. “Katakanlah, “Hai hamba-hambaKu yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian Vol IV No 1 Mei 2011

109


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

kamu tidak dapat ditolong (lagi).” Berkaitan dengan masalah taubat, Rasullullah SAW dalam beberapa haditsnya menjelaskan: َّ َ‫طا ٌء وَخَ ْي ُر خْال‬ َّ َ‫ُك ُّل ب َ ِني آدَ َم خ‬ ‫ني ال َّت َّوابُو َن‬ َ ِ ‫طائ‬ Artinya: “Semua bani Adam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang segera bertaubat.” (IBNUMAJAH - 4241) َ َّ‫ه‬ ْ‫إ ِ َّن الل َعزَّ وَ َج َّل لَ َي ْق َب ُل ت َ ْوب َ َة الْ َع ْب ِد َما لَ ْم ي ُ َغرْ ِغر‬ Artinya: “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla akan menerima taubat seorang hamba, selagi ia belum sakaratul maut.” (IBNUMAJAH - 4243) Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata, Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda : .‫ات ي َ ْع ِني مْال َ ْو َت‬ ِ ‫أ َ ْك ِث ُروْا ذِ ْكرَ َهاذِ ِم اللَّ َّذ‬ Artinya: “Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yakni kematian.”31 Memperbanyak mengingat mati akan mendorong seseorang untuk memperbanyak amal kebaikan. Orang yang tidak beramal baik atau berbuat buruk mengindikasikan bahwa ia tidak mengingat bahwa dirinya kelak akan memasuki fase kematian. Imam ad-Daqqaq berkata, “Barangsiapa memperbanyak mengingat mati, dia dikaruniai tiga perkara: Menyegerakan taubat, hati yang qana’ah, dan semangat beribadah.”32 Nilai-nilai pendidikan Islam yang dapat dipetik dari bait-bait lirik lagu Tomat (Tobat Maksiat) ini adalah bahwa dengan mengingat kematian akan mendorong seseorang untuk bersegera melakukan taubat. Cerminan dari taubat itu adalah terjadinya perubahan perilaku kearah yang lebih baik dari perilaku-perilaku sebelumnya. Agenda mengingat kematian pada dasarnya adalah upaya untuk mendidik seseorang agar memahami dan menyadari akan pentingnya taubat. Jika taubat telah benar-benar dapat diwujudkan dalam diri seseorang, maka ia akan termotivasi untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan Islam yang tergambar pada terjadinya perubahan perilaku hidup yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, di mana hal ini juga merupakan visi dari pendidikan Islam secara luas. Visi pendidikan Islam itu pada hakikatnya melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi kerasulan para Nabi, mulai dari visi kerasulan Nabi Adam hingga kerasulan Nabi Muhammad SAW. Secara universal, visi pendidikan Islam itu adalah: 31 (HR. at-Tirmidzi, no. 2308 dan Ibnu Majah, no. 4258, dishahih-kan oleh Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqiq Riyadh ash-Shalihin, hadits no. 579). 32 Imam al-Qurthubi, at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah (1/61-63)

110


Imam Hanafie

1. Membangun sebuah kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah, seperti firman-Nya: “Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS. al-Ankabut: 16) 2. Membawa rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman-Nya: “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya: 107). 3. Lirik lagu Mari Sholawat Shalatullah salamullah, ‘ala Thaha Rasulillah Shalatullah salamullah, ’ala Yasin Habibillah Tawasalna bibismillah, wa bilhadi Rasulillah, wa kulli mujahidin lillah, bi ahli badri, ya Allah *courtesy of LirikLaguIndonesia.net Daripada kita pacaran Lebih baik kita shalawatan Daripada kita berduaan Nanti bakal dihasut setan Awas jangan dekat-dekatan Kitakan belum ada ikatan Daripada dekat-dekatan Mending kita shalawatan Bukan aku tak suka padamu Bukan aku tak mau denganmu Tapi aku mau lihat dulu Setebal apa imanmu Sudahlah engkau lupakan Anggap saja kita ta’arufan Sudahlah jangan kau pikirkan Mending kita shalawatan Lirik lagu Mari Sholawat yang diciptakan dan dipopulerkan oleh kelompok musik Wali Band ini di samping dimaksudkan untuk “mensholawatkan masyarakat” juga untuk “memasyarakatkan sholawat”. Upaya ini terbukti dengan digemarinya lagu ini mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sholawat menjadi sesuatu yang urgen untuk disosialisasikan tidak saja melalui pelajaran agama di sekolah, tetapi juga melalui jalur seni musik ini adalah Vol IV No 1 Mei 2011

111


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

karena membaca sholawat adalah bagian dari perintah agama, sebagimana termaktub dalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW di bawah ini: Artinya: “Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang”. (QS. Al-Ahzab: 43) Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS. Al-Ahzab: 56) ُ َّ‫صلُّوا علَي َفإنَّه من صلَّى علَي ص اَل ًة صلَّى ه‬ ْ ‫الل َعلَ ْي ِه ب ِ َها َع‬ ‫شرًا‬ َ َ َّ َ َ ْ َ ُ ِ َّ َ َ Artinya: “bershalawatlah atasku, karena orang yang bershalawat atasku dengan satu shalawat, niscaya Allah akan bershalawat atasnya dengannya sepuluh kali…(MUSLIM - 577) َ ‫ص اَل ًة‬ َ ‫َّاس بِي ي َ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة أ َ ْك َث ُر ُه ْم َعلَ َّي‬ ِ ‫أوْلَى الن‬ Artinya: “Orang yang paling dekat denganku pada hari Qiyamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (TIRMIDZI - 446) Nilai-nilai pendidikan Islam yang dapat digali dari perintah bershalawat kepada Rasululah SAW di antaranya adalah: 1. Meneladani akhlak Rasulullah SAW sebagai “maha guru” setelah Allah SWT 2. Menumbuhkembangkan kecintaan kepada Rasulullah SAW sebagai tokoh idola dan panutan di segala jaman. 3. Berupaya mendapatkan syafa’at Rasulullah SAW di dunia maupun di Hari Kebangkitan 4. Dan seterusnya Pesan-pesan yang lebih urgen dan sesuai dengan perkembangan jaman yang terkandung dalam lirik lagu Mari Sholawat ini selain upaya mensosialisasikan Sholawat Nabi kepada masyarakat luas adalah adalah pesan untuk tetap menjaga akhlaqul karimah dalam pergaulan antar muda-mudi jaman sekarang, khususnya “mendidik” muda-mudi agar memiliki etika pergaulan yang sesuai dengan tuntunan Islam. Etika pergaulan dalam Islam adalah, khususnya antara lelaki dan perempuan garis besarnya adalah sebagai berikut: 1. Saling menjaga pandangan di antara laki-laki dan wanita, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan nafsu dan tidak boleh melihat lawan jenis melebihi apa yang dibutuhkan. (An-Nur:30-31), 2. Sang wanita wajib memakai pakaian yang sesuai dengan syari’at, yaitu pak-

112


Imam Hanafie

aian yang menutupi seluruh tubuh selain wajah, telapak tangan dan kaki (An-Nur:31), 3. Hendaknya bagi wanita untuk selalu menggunakan adab yang islami ketika bermu’amalah dengan lelaki, seperti: a. Di waktu bersenda gurau hendaknya ia menjahui perkataan yang merayu dan menggoda (Al-Ahzab:32), b. Di waktu berjalan hendaknya wanita sesuai dengan apa yang tertulis di surat (An-Nur:31 & Al-Qisos:25) dan, c. Tidak diperbolehkan adanya pertemuan lelaki dan perempuan tanpa disertai dengan muhrim.33 Demikianlah uraian penulis tentang interpretasi nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam beberapa lirik lagu kelompok musik “Wali Band�. Menurut penulis sebenarnya masih banyak terdapat lirik-lirik lagu kelompok musik Wali Band yang juga sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam lirik-lirik yang diciptakannya, seperti Aku Bukan Bang Totib, Tuhan, Dik, Ya Allah, Baik-Baik Sayang, Tetap Bertahan, dan sebagainya. Kedalaman pesan-pesan religius yang diusung oleh kelompok musik Wali Band ini menurut penulis tidak lain karena para musisi dan vokalisnya memiliki background religi yang kuat,sebagaimana penulis uraikan sebelumnya bahwa personil Wali kebanyakan adalah berangkat dari pendidikan pesantren, di samping mereka mengenyam pendidikan tinggi di UIN Jakarta. Background religi mereka inilah yang menjadi hidden curriculum dalam setiap karya-karya yang diciptakannya. Bahwa setiap karya lagu Wali Band ini mengandung pesanpesan religius yang banyakdipengaruhi oleh latar belakang pendidikan personilnya, termasuk lirik-lirik lagu yang bertema percintaan sekalipun.

Penutup

Pendidikan Islam adalah tanggung jawab bersama, tidak saja ia menjadi tanggung jawab orangtua, pendidik, ulama, dan pemerintah. Tetapi pendidikan Islam menjadi tanggung jawab siapa saja yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup sesuai dengan keahlian dan profesinya masing-masing. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak musti harus dibebankan kepada lembaga-lembaga pendidikan baik formal, non formal, maupun informal, tetapi ia juga menjadi tanggung jawab siapapun dan dalam bidang apapun, termasuk di dalamnya bidang seni musik. Menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam melalui jalur seni musik pada dasarnya merupakan salah satu dari kesekian model pendidikan Islam, dan ia termasuk kedalam kelompok pendidikan non formal. Pendidikan Islam tidak musti harus diidentikkan dengan madrasah dan pesantren an sich, karena hal ini hanya akan menafikan bahwa sesungguhnya model pendidikan Islam itu 33 Pacaran Sesuai Ajaran Islam, http://www.pesantrenvirtual.com

Vol IV No 1 Mei 2011

113


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

pluralistik. Abdurrahman Wahid dalam salah satu artikelnya menyatakan: Pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri.34 Transformasi dan Internalisasi pendidikan dewasa ini telah berkembang dengan pesat. Perkembangan ini terjadi dengan semakin meningkatnya kemampuan seseorang dalam bidang iptek. Wawasan yang luas, didukung dengan keahlian mengolah suara, dan ketrampilan memainkan alat musik telah menjadi sebuah media dalam proses transformasi serta intenalisasi nilai-nilai luhur pendidikan Islam. Di antara para tokoh seni musik dan seni suara yang telah melakukan transformasi pengetahuan dan internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam misalnya adalah: Rhoma Irama, Ida Laila, K.H. Ma’ruf Islammudin, Ebiet G. Ade, Emha Ainun Nadjib, dan sederetan tokoh lainnya. Mereka adalah para tokoh yang menyebarkan dakwah Islam serta menanamkan nilai-nilai luhur pendidikan Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an melalui seni musik dan seni suara. Seberapa efektif transformasi nilai-nilai pendidikan Islam melalui jalur seni musik? Menurut penulis Jawabannya adalah kembali kepada sebuah pertanyaan, “seberapa konsisten mereka para pegiat seni musi itu mengusung pesan-pesan religi dalam setiap karya-karyanya”, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55).

34 Abdurrahman Wahid, Pendidikan Islam Harus Beragam, Kedaulatan Rakyat, Edisi Yogyakarta, 21 Desember 2002

114


Imam Hanafie

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain,. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut: Darul Bayariq, 1995) al-Albani, Syaikh Nashiruddin, Dha’if al-Adab al-Mufrad Lil Imam al-Bukhari, diterjemahkan oleh Herry Wibowo dan Abdul Kadir Ahmad dalam Koreksi Ilmiah Terhadap Karya Imam Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002). Al-Baghdadi, Abdurrahman, Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta: Gema Insani Press, 1991) Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (Haramkah Musik dan Lagu?). Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr, 1999), hal. 52. al-Qurthubi, Imam. at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul AlFiqh). Cetakan II. (Al-Quds: Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 1953) Asy-Syaukani, Imam. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr, tth.) Asy-Syuwaiki, Muhammad, Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds: Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah, tth) Dirjen Pendis Depag RI, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Dirjen Pendis Depag RI, 2006) Elkins, James. Art History and Images That Are Not Art”, The Art Bulletin, Vol. 47, No. 4 (Dec. 1995). Harianti, Diah, Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Badan Vol IV No 1 Mei 2011

115


Mengurai Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Lirik Lagu Wali Band

Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2007) http://id.wikipedia.org/wiki/Estetika http://id.wikipedia.org/wiki/Musik http://id.wikipedia.org/wiki/Wali_Band http://rheartlova.blogspot.com, pengertian seni istilah seni http://www.crayonpedia.org, Pengertian Seni Cabang-cabang Seni Unsur http://www.parawaliindonesia.co.cc/2011/04/profil-akun-fb-twitter-personil-wali.html Modul Seni Budaya, (Samarinda: SMKN 1 Samarinda, 2008) Omar, Toha Yahya, Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1983) Pacaran Sesuai Ajaran Islam, http://www.pesantrenvirtual.com Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 (Sinar Grafika, 2003) Wahid, Abdurrahman. Pendidikan Islam Harus Beragam, Kedaulatan Rakyat, Edisi Yogyakarta, 21 Desember 2002

116


PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, SUPERVISI PEMBELAJARAN, DAN PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH TERHADAP KINERJA SEKOLAH DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Oleh: Khusnul Wardan

Abstract: The objective of this research is to find out the effect of the leadership of headmaster, academic supervision, and the participation of school committee on the school achievement. The study was conducted in Tenggarong by 80 randomly selected respondents derived from the teachers of elementary schools. The data were collected by questionairres. The data were analyzed by using regression and correlation formulas. The results of the research revealed that there are positive and significant effect of: (1) the headmater leadership on the school achievement, (2) the academic supervision on the school achievement, (3) the participation of school committee on the school achievement, and (4) the headmater leadership, the academic supervision, and the participation of school committee on the school achievement respectively.

Pendahuluan

Dalam memasuki era global, kompetisi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Oleh karena itu agar kita mampu hidup di era tersebut bahkan mampu bersaing dengan baik, diperlukan modal yang kuat dan strategi yang memadai. Dalam hal ini sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi sesuatu yang penting keberadaannya. Meskipun demikian sumber daya alam yang melimpah bukan merupakan jaminan dalam memenangkan kompetisi global, akan tetapi sumber daya manusia yang berkualitaslah sebagai pemegang kunci kemenangannya. Oleh karena itu sumber daya manusia yang berkualitas menjadi faktor penting dan sekaligus penentu dalam mengantisipasi kehidupan global. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal dasar yang keberadaannya tidak bisa lepas dari peran lembaga pendidikan. Artinya kualitas Vol IV No 1 Mei 2011

117


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

sumber daya manusia yang baik tidak bisa lepas dari peran serta pendidikan yang baik. Pendidikan dikatakan baik apabila dalam perencanaan, pelaksanaan dan hasilnya mampu mengantisipasi terhadap tuntutan perubahan zaman dan bahkan mampu mempelopori terjadinya perubahan. Selama ini mutu pendidikan masih menjadi persoalan mendasar bagi bangsa Indonesia. Bahkan berbagai upaya telah dilakukan guna mencari solusi jalan keluarnya seperti halnya pengembangan kurikulum nasional, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan dan peningkatan mutu manajemen sekolah, namun demikian hingga kini hasilnya masih belum menggembirakan. Memang ada beberapa sekolah yang baik terutama di kota–kota besar, namun demikian jumlahnya relatif sedikit bila dibandingkan dengan kebutuhan. Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa merosotnya pendidikan di Indonesia disebabkan oleh: (1) Penyelenggaran pendidikan yang lebih menitikberatkan pada aspek kuantitas dan kurang dibarengi dengan aspek kualitasnya; (2) Kepemimpinan kepala sekolah masih relatif rendah, dimana sebagian besar kepala sekolah cenderung hanya menguasai masalah administrasi, memonitor kehadiran guru, atau membuat laporan kepengawas, dan belum menunjukkan peranan sebagai pemimpin yang professional; (3) Penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik– sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang–kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat; (4) Peran serta warga masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Sejalan dengan keadaan yang demikian, muncullah desakan yang sangat kuat yang mengarah pada adanya tuntutan perubahan sesuai dengan situasi yang sedang berkembang. Selanjutnya desakan tersebut mendapatkan respon yakni dengan ditetapkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 dimana dalam implikasi khususnya dibidang pendidikan lahir suatu model manajemen yang disebut “ Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.” Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memeberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan Pendidikan Nasional serta peraturan perundang–undangan yang berlaku Manajemen ini bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah un-

118


Khusnul Wardan

tuk mengelola sumber daya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan melalui manajemen ini tidak hanya pada sisi output atau hasilnya saja, melainkan menyeluruh yakni mencakup input, proses dan outputnya. Peningkatan kualitas input mencakup beberapa hal, antara lain : (a) peningkatan kualitas personil, seperti kepala sekolah, guru, konselor, karyawan dan peserta didik, (b) peningkatan fisik, misalnya gedung dan perlengkapan sekolah lainnya, (c) peningkatan operasional, seperti kurikulum, peraturan dan sebagainya dan (d) peningkatan harapan sekolah seperti, visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah. Peningkatan kualitas proses mencakup beberapa hal antara lain : proses pembuatan keputusan, proses pengelolaan lembaga, proses monitoring dan sebagainya. Sedangkan peningkatan mutu output, sebagai parameternya adalah kinerja sekolah, yakni prestasi sekolah baik yang bersifat akademis dan non akademis. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan paradigma baru dalam pendidikan, dalam prakteknya menuntut adanya : (a) kepemimpinan sekolah yang kuat, (b) partisipasi warga sekolah dan warga masyarakat yang tinggi, (c) pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, (d) proses belajar mengajar yang efektif, (e) keterbukaan dan kemauan untuk berubah, (f) responsif dan antisipatif, (g) akuntabilitas, (h) teamwork yang cerdas, kompak dan dinamis, dan sebagainya. Sejalan dengan tuntutan tersebut, maka kepala sekolah, komite sekolah serta supervisi memiliki peranan yang sangat strategis dalam meningkatakan kinerja sekolah. Dengan ditetapkannya UU nomor 20 tahun 2003, maka manajemen berbasis sekolah telah mulai diimplementasikan di sekolah–sekolah, baik ditingkat dasar maupun pada tingkat menengah. Demikian pula diwilayah cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara, adanya ketentuan tersebut disambut dengan baik yakni dengan dibentuknya komite sekolah sebagai partner kepala sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan disetiap sekolah. Namun demikian keadaan sekolah dan masyarakat yang sekarang ini dalam implementasinya masih terdapat beberapa kendala, antara lain adalah: (1) Kemampuan sekolah baik yang menyangkut sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sebagaian besar masih jauh dari harapan. Tentu saja keadaaan ini akan berpengaruh terhadap kinerja sekolah; (2) Sebagian besar penghasilan masyarakat sekitar masih relatif rendah sehingga dukungan khususnya yang berkaitan dengan dana masih jauh dari harapan: (3) Kepedulian masyarakat terhadap kemajuan sekolah yang berada disekitarnya masih sangat kurang, sehingga hal ini berpengaruh terhadap kemajuan sekolah. Keadaan yang demikian tentunya sangatlah berat untuk meraih tingkat kinerja sekolah yang diharapkan, tanpa adanya informasi yang jelas dan rinci, Vol IV No 1 Mei 2011

119


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

mengenai aspek–aspek internal dan eksternal sekolah. Oleh karena itu penelitian perlu dilakukan guna mendapatkan informasi yang akurat sebagai bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan kinerja sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, potensi sekolah dan masyarakat. Beberapa faktor penting dalam implementasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah adanya kepemimpinan yang baik, adanya partisipasi masyarakat yang tinggi, serta, serta adanya aktivitas supervisi yang memadai disetiap sekolah. Oleh karena itu, penelitian ini mengkhususkan pada pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, supervisi pembelajaran dan partisipasi komite sekolah dalam kaitannya dengan kinerja sekolah.

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitatif ex post facto, dimana peneliti melakuan kajian terhadap tiga variabel bebas yaitu kepemimpinan kepala sekolah, supervisi pembelajaran, dan partisipasi komite sekolah, dan satu variabel terikat yaitu kinerja sekolah. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru Sekolah Dasar yang bertugas di wilayah cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai kartanegara . Dari hasil Survey, diperoleh data bahwa diwilayah Dinas Pendidikan Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara terdapat 38 sekolah dasar yang tersebar di 13 Kelurahan. Dengan Jumlah guru kelas sebanyak 592 orang guru. Mengingat populasi yang cukup besar dan tersebar di wilayah yang cukup luas, maka dilakukan pengambilan sampel penelitian terhadap populasi. Pengambilan sampel yang dilakukan menggunakan teknik cluster sampling dan proportionale random sampling, yaitu teknik yang digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proposional. Hal ini dilakukan karena jumlah populasi di 38 (tiga puluh delapan) Sekolah Menengah Dasar di Kecamatan Tenggarong, kabupaten Kutai Kartanegara jumlahnya tidak sama. Untuk menentukan ukuran sampel, penulis mengacu kepada pendapat Garry Lewis (1980), yang menyatakan bahwa jika jumlah populasi berada dalam interval 500 dan 1000, dapat diambil sampel sebanyak 8,6% atau 15,8% dari jumlah populasi dengan menggunakan teknik interpolasi, yaitu sebanyak 80 responden. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen yang berupa angket yang terdiri dari empat bentuk angket yaitu angket tentang kepemimpinan kepala sekolah, pelaksanaan supervisi pembelajaran, partisipasi komite sekolah, dan angket tentang kinerja sekolah. Dalam menganalisis data yang dipeoleh dari hasil penelitian, digunakan beberapa jenis analisis data yaitu analisis deskriptif, uji persyaratan analisis regresi dan analisis regresi serta analisis korelasi untuk menguji hipotesis.

120


Khusnul Wardan

Teknik analisis deskriptif pada penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan karakteristik data pada masing-masing variabel. Dengan mendeskripsikan data pada masing-masing variabel diharapkan dapat memenuhi persyaratan analisis data untuk kepentingan proses analisis data berikutnya. Disamping itu dapat diketahui pula kecenderungan keadaan atau karakteristik sampel pada masing-masing variabel, untuk itu pada tahap ini ditentukan karakteristik data sampel pada masing-masing variabel seperti rerata (mean) setiap variabel, median (ME), modus (MO), standar deviasi (SD) dan distribusi frekuensi. Data frekuensi yang digunakan adalah frekuensi numerik dan distribusi karegori. Distribusi numerik digunakan untuk mengetahui data hasil amatan. Dalam pembuatan distribusi numerik dilibatkan skor terendah, skor tertinggi dan penempatan kelas intervalnya. Distribusi kategori digunakan untuk mengetahui kecenderungan hasil amatan, baik yang berkaitan dengan kecenderungan hasil amatan masing-masing variabel maupun bagian dari komponen variabel. Penetapan rentang kelas dalam distribusi kategori mengacu pada distribusi kurva normal. Untuk mengetahui kecenderungan hasil amatan masing-masing variabel maka ditetapkan pembagiannya menjadi lima kelas yang mengacu pada jumlah alternatif jawaban yang telah ditetapkan dalam angket. Kelima kategori yang dimaksud ialah : a. M + 1,5 SD sampai di atasnya = Sangat Setuju b. M + 0,5 SD sampai M + 1,5 SD = Setuju c. M – 0,5 SD sampai M + 0,5 SD = Netral d. M – 1,5 SD sampai M – 0,5 SD = Tidak setuju. e. Di bawahnya sampai M – 1,5 SD = Sangat Tidak Setuju M adalah mean (rerata), adapun SD adalah standar deviasi. Nilai mean dan nilai standar deviasi diperoleh dari print out program SPSS 13.0 for Windows. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis korelasi. Untuk pengujian hipotesis pertama kedua, dan ketiga menggunakan korelasi sederhana. Sedangkan untuk pengujian hipotesis keempat akan digunakan analisis regresi ganda sebagai berikut. Y = a + b1x1 + b2x2. + b3x3 Keterangan : a = Konstanta b1 = Koefisien regresi variabel x1 (Kualitas kepemimpinan kepala seko lah) b2 = Koefisien regresi variabel x2 (Supervisi pembelajaran) b3 = Koefisien regresi variabel x3 (Partisipasi komite sekolah) Y = Kinerja sekolah. Vol IV No 1 Mei 2011

121


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

Pengujian Hipotesis

Data yang diperoleh dari hasil total skor masing-masing item instrumen penelitian, kemudian dilakukan pengujian persyaratan analisis, yaitu uji normalitas, uji homogenitas, dan uji linearitas yang semuanya menunjukkan bahwa data tersebut dapat digunakan untuk analisis selanjutnya, yaitu pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dalam hal ini adalah untuk menguji : 1) Pengaruh variabel bebas secara sendiri-sendiri yang terdiri atas: kualitas kepemimpinan kepala sekolah, aktivitas supervisi pembelajaran, dan partisipasi komite sekolah dasar di kecamatan Tenggarong, dan variabel terikat yaitu kinerja SD Negeri di kecamatan Tenggarong. 2) Pengaruh variabel-variabel bebas tersebut secara bersama-sama dengan variabel terikat. Landasan teoritis yang digunakan untuk pengajuan hipotesis dalam penelitian ini menggunakan kaidah induktif yang berarti mengambil hipotesis secara khusus, yaitu pengaruh masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat. Setelah hubungan masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat diketahui, maka dilanjutkan dengan melihat hubungan kedua variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Agar dapat menjawab semua hipotesis yang diajukan maka dilakukan pengujian koefisien determinasi terstandar Beta yang dilanjutkan dengan pengujian regresi linear ganda. 1. Pengaruh Variabel Kualitas Kepemimpinan Kepala Sekolah (X1) terhadap Variabel Kinerja Sekolah (Y) Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1) terhadap kinerja Sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y)�. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis regresi linear sederhana antara kualitas kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja sekolah, menghasilkan koefisien arah regresi (b) sebesar 0,784 dan konstanta (a) sebesar 29,344. Dengan demikian bentuk hubungan antara kedua variabel tersebut dapat digambarkan oleh persamaan regresi Y = 29,344 + 0,784X1 Selanjutnya untuk mengetahui derajat keberartian persamaan regresi dilakukan dengan uji F sebagaimana disajikan pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Analisis varians untuk regresi linear variabel X1 dan variabel Y, dengan persamaan regresi Y = 29,344 + 0,784X1 Sumber Varians

122

dk

JK

RJK

Fhitung

Ftabel


Khusnul Wardan

Total 80 4727,800 Koefisien (a) 1 1350960,2 1350960,2 Koefisien (b/a) 1 3005,761 3005,761 Sisa 78 1727,039 22,07 Keterangan: dk = derajat kebebasan JK = Jumlah Kuadrat RJK = Rata-rata Jumlah kuadrat

136,146

3,44

Berdasarkan tabel 4.14 maka dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Y = 29,344 + 0,784X1, dengan Fhitung sebesar 136,146 > dari Ftabel sebesar 3,44 pada taraf signifikansi (Îą) 0,05 adalah signifikan. Persamaan regresi tersebut memberi arti bahwa setiap peningkatan satu satuan skor kualitas kepemimpinan kepala sekolah akan diikuti oleh kenaikan skor kinerja sekolah sebesar 0,784 pada konstanta 29,344. Hasil perhitungan kekuatan pengaruh kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1) terhadap kinerja sekolah (Y) ditunjukkan oleh koefisien korelasi (ry1) sebesar 0,797. Selanjutnya dilakukan uji signifikansi koefisien korelasi dengan menggunakan uji t. Hasil pengujian tampak pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Uji signifikansi koefisien pengaruh kualitas kepemimpinann kepala sekolah (X1) terhadap kinerja sekolah (Y). N

Koefisien Korelasi (r y1)

thitung

ttabel

80

0,797

11,654

2,000

Dari hasil perhitungan uji signifikansi koefisien korelasi tersebut, thitung sebesar 11,654 lebih besar dari ttabel pada taraf signifikansi (Îą) 0,05, yaitu sebesar 2,000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1) terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) Melihat hasil koefisien determinasi (r2y1) sebesar 0,635, maka dapat disimpulkan bahwa varians yang ditimbulkan oleh variabel kualitas kepemimpinan kepala sekolah (x1) terhadap variabel kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabag Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) sebesar 63,5%, selebihnya merupakan sumbangan variabel lain. Hal ini dapat juga dikatakan bahwa perubahan kinerja sekolah dapat dijelaskan oleh kualitas kepemimpinan kepala sekolah sebesar 63,5% melalui persamaan regresi Y = 29,344 + 0,784X1. Vol IV No 1 Mei 2011

123


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

2. Pengaruh Aktivitas Supervisi Pembelajaran (X2) terhadap Kinerja Sekolah (Y). Hipotesis kedua menyatakan bahwa: “Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan aktivitas supervisi pembelajaran (X2) terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y)�. Berdasarkan hasil pergitungan dengan menggunakan analisis regresi linear sederhana pengaruh supervisi pembelajaran terhadap kinerja sekolah, menghasilkan koefisien arah regresi (b) sebesar 0,907 dan konstanta (a) sebesar 26,799. Dengan demikian bentuk hubungan antara kedua variabel tersebut dapat digambarkan oleh persamaan regresi Y = 26,799 + 0,907X2. Persamaan regresi tersebut memberi arti bahwa setiap peningkatan satu satuan skor aktivitas supervisi pembelajaran akan diikuti oleh kenaikan skor kinerja sekolah sebesar 0,907 pada konstanta 29,799. Selanjutnya untuk mengetahui derajat keberartian persamaan regresi dilakukan dengan uji F sebagaimana disajikan pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Analisis varians untuk regresi linear variabel X2 dan variabel Y, dengan persamaan regresi Y = 26,799 + 0,907X2 Sumber Varians Total

dk

JK

RJK

80

4727,800

Koefisien (a)

1

1350960,2

1350960,2

Koefisien (b/a)

1

2989,010

2989,010

Sisa

78

1738,790

22,292

Fhitung

Ftabel

134,083

3,96

Keterangan: dk = derajat kebebasan JK = Jumlah Kuadrat RJK = Rata-rata Jumlah kuadrat Berdasarkan pada tabel 3 mengenai pengujian signifikansi persamaan regresi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Y = 26,799 + 0,807X2, dengan Fhitung sebesar 134,083 > dari Ftabel sebesar 3,44 pada taraf signifikansi (Îą) 0,05 adalah signifikan. Hasil perhitungan kekuatan pengaruh variabel aktivitas supervisi pembelajaran (X2) terhadap variabel kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) ditunjukkan oleh koefisien korelasi (ry2) sebesar 0,795. Selan-

124


Khusnul Wardan

jutnya dilakukan uji signifikansi koefisien korelasi dengan menggunakan uji t. Hasil pengujian tampak pada tabel 4. di bawah ini. Tabel 4. Uji signifikansi koefisien pengaruh aktivitas supervisi pembelajaran (X2) terhadap kinerja sekolah (Y). N

Koefisien Korelasi (r y2)

thitung

ttabel

80

0,795

11,575

2,000

Dari hasil perhitungan uji signifikansi koefisien korelasi tersebut, thitung sebesar 11,575 lebih besar dari ttabel pada taraf signifikansi (Îą) 0,05, yaitu sebesar 2,000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan supervisi pembelajaran (X2) terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y). Melihat hasil koefisien determinasi (r2y2) sebesar 0,632, maka dapat disimpulkan bahwa varians yang ditimbulkan oleh variabel aktivitas supervisi pembelajaran (x2) terhadap variabel kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong (Y) sebesar 63,2%, selebihnya merupakan sumbangan variabel lain. Hal ini dapat juga dikatakan bahwa perubahan kinerja sekolah dapat dijelaskan oleh aktivitas supervisi pembelajaran 63,2% melalui persamaan regresi Y = 26,799 + 0,907X2. 3. Pengaruh variabel Partisipasi Komite Sekolah (X3) terhadap Variabel Kinerja Sekolah (Y). Hipotesis ketiga menyatakan bahwa: “Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan partisipasi komite sekolah (X3) terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y)â€?. Berdasarkan hasil pergitungan dengan menggunakan analisis regresi linear sederhana pengaruh partisipasi komite sekolah terhadap kinerja sekolah, menghasilkan koefisien arah regresi (b) sebesar 0,783 dan konstanta (a) sebesar 28,507. Dengan demikian bentuk hubungan antara kedua variabel tersebut dapat digambarkan oleh persamaan regresi Y = 28,507 + 0,783X3 Selanjutnya untuk mengetahui derajat keberartian persamaan regresi dilakukan dengan uji F sebagaimana disajikan pada tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Analisis varians untuk regresi linear variabel X3 dan variabel Y, dengan persamaan regresi Y = 28,507 + 0,783X3

Vol IV No 1 Mei 2011

125


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

Sumber Varians Total

dk

JK

RJK

80

4727,800

Koefisien (a)

1

1350960,2

1350960,2

Koefisien (b/a)

1

2997,615

2997,615

Sisa

78

1730,185

22,182

Fhitung

Ftabel

135,138

3,44

Berdasarkan tabel 4.13 mengenai pengujian signifikansi persamaan regresi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Y = 28,507 + 0,783X3, dengan Fhitung sebesar 135,138 > dari Ftabel sebesar 3,44 pada taraf signifikansi (Îą) 0,05 adalah signifikan. Hasil perhitungan kekuatan pengaruh partisipasi komite sekolah (X3) terhadapkinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) ditunjukkan oleh koefisien korelasi (ry3) sebesar 0,796. Selanjutnya dilakukan uji signifikansi koefisien korelasi dengan menggunakan uji t. Hasil pengujian tampak pada tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Uji signifikansi koefisien korelasi antara partisipasi komite sekolah (X3) dengan kinerja sekolah (Y). N

Koefisien Korelasi (r y3)

thitung

ttabel

80

0,796

11,614

2,000

Dari hasil perhitungan uji signifikansi koefisien korelasi tersebut, thitung sebesar 11,614 lebih besar dari ttabel pada taraf signifikansi (Îą) 0,05, yaitu sebesar 2,000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan partisipasi komite sekolah (X3) terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y). Melihat hasil koefisien determinasi (r2y2) sebesar 0,668, maka dapat disimpulkan bahwa varians yang ditimbulkan oleh variabel partisipasi komite sekolah (x3) terhadap variabel kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) sebesar 66,8%, selebihnya merupakan sumbangan variabel lain. Hal ini dapat juga dikatakan bahwa perubahan kinerja sekolah dapat dijelaskan oleh partisipasi komite sekolah sebesar 66,8% melalui persamaan regresi Y =. 28,507 + 0,783X3

126


Khusnul Wardan

4. Pengaruh Variabel Kualitas Kepemimpinan Kepala Sekolah (X1), Aktivitas Supervisi Pembelajaran (X2), dan partisipasi Komite Sekolah (X3) Secara Bersama-sama terhadap Kinerja Sekolah (Y). Hipotesis keempat menyatakan bahwa: “Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1), aktivitas supervisis pembelajaran (X2), dan partisipasi komite sekolah (X3), secara bersama-sama terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y)�. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh hasil analisis data bahwa pengaruh kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1), aktivitas supervisi pembelajaran (X2), dan partisipasi komite sekolah (X3) secara bersama-sama terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) menghasilkan persamaan regresi Y = 26,643 + 0,350X1 + 0,333X2 + 0,123X3. Pengujian signifikansi persamaan regresi tersebut didasarkan pada tabel 7 berikut ini. Tabel 7 Analisis varians untuk uji signifikansi regresi ganda Y = 26,643 + 0,350X1 + 0,333X2 + 0,123X3. Sumber Varians

Dk

Jumlah Kuadrat

Rata-rata Kuadrat

Fhitung

Ftabel

Jumlah

79

4727,012

Regresi

3

3043,788

1014,337

45,756

3,72

Sisa

76

1684,788

22,168

Berdasarkan tabel 4.20 dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi ganda Y = 26,643 + 0,350X1 + 0,333X2 + 0,123X3 sangat signifikan. Ini berarti terdapat pengaruh yang yang positif dan signifikan variabel kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1), aktivitas supervisi pembelajaran (X2), dan partisipasi komite sekolah (X3) secara bersama-sama terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong (Y) Untuk melihat kekuatan pengaruh variabel kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1), aktivitas supervisi pembelajaran (X2), dan partisipasi komite sekolah (X3) secara bersama-sama terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong (Y) ditunjukkan oleh Ry123 sebesar 0,802. Koefisien korelasi tersebut sangat signifikan. Tabel 8 Uji signifikansi pengaruh kualitas kepemimpinan kepala sekolah, aktivitas supervisi pembelajaran, dan partisipasi komite sekolah secara Vol IV No 1 Mei 2011

127


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

bersama-sama terhadap kinerja sekolah. Cacah Observasi (n)

Koefisien Korelasi (Ry12)

Fhitung

Ftabel

80

0,802

45,756

3,72

Pada tabel 4.21 tampak bahwa nilai Fhitung sebesar 45,756 lebih besar dari Ftabel pada taraf signifikansi 0,05 yaitu sebesar 3,72, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi ganda pengaruh variabel kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1), aktivitas supervisi pembelajaran (X2) dan partisipasi komite sekolah (X3) secara bersama-sama terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) sangat berarti. Melihat hasil koefisien korelasi R123 sebesar 0,802 dan koefisien determinasi sebesar 0,644 menunjukkan bahwa 64,4% kinerja sekolah dipengaruhi oleh variabel kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1), aktivitas supervis pembelajaran (X2) dan partisipasi komite sekolah (X3). Hal ini berarti terdapat 37% dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain yang mempengaruhi kualitas kinerja sekolah. Hal ini dapat juga dikatakan bahwa perubahan kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) dapat dijelaskan oleh kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1), aktivitas supervisi pembelajaran (X2) dan partisipasi komite sekolah (X3) melalui persamaan regresi ganda Y = 26,643 + 0,350X1 + 0,333X2 + 0,123X3. Mengenai peringkat pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat dapat dilihat berdasarkan urutan besarnya koefisien determinasi dari masing-masing variabel bebas. Dari hasil analisis sebelumnya menunjukkan bahwa variabel kualitas kepemimpinan kepala sekolah memiliki koefisien determinasi sebesar 0,635, variabel aktivitas supervisi pembelajaran memiliki koefisien determinasi sebesar 0,632, dan variable partisipasi komite sekolah memiliki koefisien determinasi sebesar 0,668. Dengan melihat hasil analisis koefisien determinasi tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel partisipasi komite sekolah mempunyai sumbangan yang lebih besar dari, kemudian variabel kualitas kepemimpinan kepala sekolah, dan berikutnya adalah variabel aktivitas supervisi pembelajaran, meskipun perbedaan nilai sumbangan relatifnya tidak begitu besar, yaitu 0,668, 0,635, dan 0,632.

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka diperoleh gambaran bahwa

128


Khusnul Wardan

dari ketiga hipotesis penelitian yang diuji, ternyata ketiga hipotesis tersebut memiliki hubungan yang positif dan signifikan. Selanjutnya, pembahasan hasil penelitian ini akan menjelaskan dua hal yaitu hasil deskripsi tiap-tiap variabel dan hasil analisis korelasi antar variabel. Berdasarkan hasil analisis derkripsi variabel kualitas kepemimpinan kepala sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong (X1) menunjukkan bahwa kualitas kepemimpinan kepala sekolah berada pada kategori cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan rerata skor kualitas kepemimpinan kepala sekolah sebesar 129,95 yang berada pada kategori cukup baik. Hasil analisis deskriptif tersebut menunjukkan bahwa skor yang berkategori sangat baik sebanyak 6 (7,5%) responden, yang berkategori baik sebanyak 16 (20%) responden, yang berkategori cukup baik sebanyak 34 (42,5%) responden, yang berkategori kurang baik sebanyak 18 (22,5%) responden, dan berkategori tidak baik sebanyak 6 (7,5%) responden. Selanjutnya, pada pengujian hipotesis pertama, disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1) terhadap kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) yang ditunjukkan oleh nilai ry1 sebesar 0,797, nilai thitung sebesar 11,654, dan pada taraf signifikansi (Îą) 0,05. Pola hubungan antara kedua variabel tersebut dinyatakan dengan persamaan regresi linear Y = 29,344 + 0,784X1. Persamaan tersebut memberikan informasi bahwa setiap perubahan satu satuan unit skor kualitas kepemimpinan kepala sekolah akan diikuti oleh perubahan skor kinerja sekolah sebesar 0,784. Atau dengan kata lain, makin baik kualitas kepemimpinan kepala sekolah maka akan semakin baik pula kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong. Sebaliknya, semakin buruk kualitas kepemimpinan kepala sekolah maka akan semakin buruk pula kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong. Koefisien korelasi ry1 sebesar 0,797 dan koefisien determinasi r2y1 sebesar 0,635 memberikan informasi bahwa 63,5% perubahan skor kualitas kinerja sekolah dapat dijelaskan oleh variabel kualitas kepemimpinan kepala sekolah melalui persamaan regresi Y = 29,344 + 0,784X1. Analisis deskripsi variabel aktivitas supervisi pembelajaran di SD Negeri di kecamatan Tenggarong (X2) menunjukkan bahwa pelaksaan supervisi pembelajaran cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan rerata skor angket variabel aktivitas supervisi pembelajaran (X2) sebesar 127,84 yang berada pada kategori cukup baik. Selajutnya, dari hasil analisis deskripsi data hasil penelitian tersebut tampak bahwa sebanyak 5 (6,25%) skor responden berada pada kategori sangat baik, sebanyak 24 (30%) skor responden berada pada kategori baik, sebanyak 27 (33,75%) skor responden berada pada kategori cukup baik, Vol IV No 1 Mei 2011

129


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

sebanyak 19 (23,25%) skor responden berada pada kategori kurang baik, dan sisanya sebanyak 5 (6,25%) skor responden berada pada kategori tidak baik. Pada pengujian hipotesis kedua, disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan aktivitas supervisi pembelajaran (X2) terhadap kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) yang ditunjukkan dengan koefisien ry2 sebesar 0,795, nilai thitung sebesar 11,575, dan nilai ttabel sebesar 2,000 pada taraf signifikan (Îą) 0,05. Pola hubungan antara kedua variabel tersebut dinyatakan dengan persamaan regresi linear Y = 26,799 + 0,807X2. Persamaan tersebut memberikan informasi bahwa setiap perubahan satu satuan unit skor variabel aktivitas supervisi pembelajaran akan diikuti oleh perubahan skor kualitas kinerja sekolah sebesar 0,807. Atau dengan kata lain, semakin baik aktivitas supervisi pembelajaran maka akan semakin baik pula kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong. Sebaliknya, semakin buruk aktivitas supervisi pembelajaran maka akan semakin buruk pula kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong. Koefisien korelasi ry2 sebesar 0,795 dan koefisien determinasi r2y2 sebesar 0,632 memberikan informasi bahwa 63,2% perubahan skor kinerja sekolah dapat dijelaskan oleh variabel aktivitas supervisi pembelajaran melalui persamaan regresi Y = 26,799 + 0,807X2. Analisis deskripsi variabel partisipasi komite sekolah di SD Negeri di kecamatan Tenggarong (X3) menunjukkan bahwa partisipasi komite sekolah cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan rerata skor angket variabel partisipasi komite sekolah (X3) sebesar 129,51 yang berada pada kategori cukup tinggi. Selanjutnya, dari hasil analisis deskripsi data variabel partisipasi komite sekolah dapat diketahui bahwa sebanyak 6 (7,5%) skor responden berada pada kategori sangat tinggi, sebanyak 19 (23,75%) skor responden berada pada kategori tinggi, sebanyak 30 (37,5%) skor responden berada pada kategori cukup tinggi, sebanyak 20 (25%) skor responden berada pada kategori rendah, dan sisanya sebanyak 5 (6,25%) skor responden berada pada kategori sangat rendah. Pada pengujian hipotesis ketiga, menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara partisipasi komite sekolah (X3) terhadap kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong (Y) yang ditunjukkan dengan koefisien ry3 sebesar 0,796, nilai thitung sebesar 11,614, dan nilai ttabel sebesar 2,000 pada taraf signifikan (Îą) 0,05. Pola hubungan antara kedua variabel tersebut dinyatakan dengan persamaan regresi linear Y = 28,507 + 0,783X3. Persamaan tersebut memberikan informasi bahwa setiap perubahan satu satuan unit skor variabel partisipasi komite sekolah akan diikuti oleh perubahan skor kualitas kinerja sekolah sebesar 0,783. Atau dengan kata lain, semakin tinggi partisipa-

130


Khusnul Wardan

si komite sekolah maka akan semakin baik pula kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong. Sebaliknya, semakin rendah partisipasi komite sekolah maka akan semakin buruk pula kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong. Koefisien korelasi ry2 sebesar 0,796 dan koefisien determinasi r2y2 sebesar 0,668 memberikan informasi bahwa 66,8% perubahan skor kinerja sekolah dapat dijelaskan oleh variabel partisipasi komite sekolah melalui persamaan regresi Y = 28,507 + 0,783X3. Berdasarkan hasil analisis deskripsi variabel kinerja sekolah (Y) menunjukkan bahwa Sekolah Dasar Negeri di kecamatan Tenggarong mempunyai kulitas kinerja yang cukup baik. Hal ini didukung oleh rerata skor variabel kinerja sekolah sebesar 129,95 yang berada pada kategori cukup baik. Dari hasil analisis distribusi frekuensi dan persentase data variabel kinerja sekolah menunjukkan bahwa sebanyak 6 (7,5%) skor responden berkategori sangat baik, sebanyak 20 (25%) skor responden berkategori baik, sebanyak 28 (35%) skor responden berkategori cukup baik, sebanyak 20 (7,5%) responden berkategori kurang baik, dan sisanya sebanyak 6 (7,5%) skor responden berkategori tidak baik. Pada pengujian hipotesis keempat menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kualitas kepemimpinan kepala sekolah (X1), aktivitas supervisi pembelajaran (X2) dan partisipasi komite sekolah (X3) secara bersama-sama terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong (Y), yang ditunjukkan dengan nilai Ry123 sebesar 0,802 dan Fhitung sebesar 45,756 lebih besar dari Ftabel sebesar 2,74 pada taraf signifikansi (Îą) 0,05. Pola hubungan ketiga variabel dinyatakan dengan persamaan regresi ganda Y = 26,643 + 0,350(X1) + 0,333 (X2) + 0,123 (X3). Persamaan ini memberikan informasi bahwa nilai kualitas kinerja sekolah berubah sebesar 0,350 jika terjadi perubahan sebesar satu satuan unit nilai kualitas kepemimpinan kepala sekolah, atau sebesar 0,333 jika terjadi perubahan sebesar satu satuan unit nilai variabel aktivitas supervisi pembelajaran, dan sebesar 0,123 jika terjadi perubahan satu satuan nilai variabel partisipasi komite sekolah. Atau dengan kata lain, bahwa semakin baik kualitas kepemimpinan kepala sekolah, semakin baik pelaksanaan aktivitas supervisi pembelajaran, dan semakin tinggi partisipasi komite sekolah maka akan semakin baik pula kinerja Sekolah Dasar Negeri di kecamatan Tenggarong. Dan sebaliknya, semakin buruk kualitas kepemimpinan kepala sekolah, semakin buruk pelaksaan aktivitas supervisis pembelajaran, dan semakin rendah partisipasi komite sekolah maka akan semakin buruk pula kualitas Sekolah Dasar Negeri di kecamatan Tenggarong. Koefisien Ry123 sebesar 0,802, dan koefisien determinasi sebesar 0,644 memberikan informasi bahwa 64,4% perubahan nilai yang terjadi pada kualitas Vol IV No 1 Mei 2011

131


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

kinerja sekolah ditentukan secara bersama-sama oleh kualitas kepemimpinan kepala sekolah, aktivitas supervisi pembelajaran, dan partisipasi komite sekolah melalui pola hubungan yang dinyatakan dengan persamaan regresi ganda Y = 26,643 + 0,350(X1) + 0,333 (X2) + 0,123 (X3). Sedangkan, 35,6% perubahan yang terjadi pada kualitas kinerja sekolah ditentukan oleh faktor-faktor lainnya, selain faktor-faktor kualitas kepemimpinan kepala sekolah, supervisi pembelajaran, dan partisipasi komite sekolah. Berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sekolah, Bosker (1997) yang dikutip oleh Jaap Scheerens menjelaskan bahwa ada banyak factor yang berpengaruh terhadap kinerja sekolah, diantaranya: harapan yang tinngi, kepemimpinan pendidikan, konsensus dan kohesi antara staf, kualitas kurikulum/kualitas belajar, iklim sekolah, potensi evaluatif, keterlibatan orang tua, iklim kelas, dan waktu belajar yang efektif. Sedangkan Levine dan Lazotte (1990) dalam Jaap Scheerens menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sekolah antara lain: budaya dan iklim yang produktif, fokus pada pusat keterampilan pembelajaran, monitoring yang tepat, pengembangan staf yang berorientasi pada praktek, kepemimpinan outstanding, keterlibatan orang tua, dan aransemen pengajaran yang efektif. Berdasarkan pendapat Bosker, Levine dan Lazotte di atas, banyak faktor yang berpengaruh terhadap kualitas kinerja sekolah sesuai dengan hasil penelitian bahwa kontribusi factor-faktor tersebut sebesar 35,6%, sedangkan faktor-faktor kualitas kepemimpinan kepala sekolah, supervisi pembelajaran, dan partisipasi komite sekolah memberikuan kontribusi sebesar 64,4%. Selanjutnya, apabila dilihat besarnya koefisien determinasi masing-masing variabel bebas (kualitas kepemimpinan kepala sekolah, aktivitas supervisi pembelajaran, dan partisipasi komite sekolah), dapat diketahui bahwa sumbangan relatif masing-masing variable bebas terhadap variabel terikat (kinerja sekolah) mempunyai perbedaan yang tidak terlalu besar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketiga variabel bebas tersebut mempunyai sumbangan relatif yang hampir sama kuatnya.

Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan Berdasarkan data hasil penelitian dan hasil analisis yang telah diuraikan pada Bab IV, dengan persyaratan-persyaratan analisis data yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan uji linieritas serta keberartian hubungan antara variabel melaui pengujian korelasi dan regresi yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, kualitas kepemimpinan kepala sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah Cabang Dinas Pendidikan di kecamatan Tenggarong berada

132


Khusnul Wardan

pada kategori cukup baik. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis regresi dan korelasi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan kualitas kepemimpinan kepala sekolah terhadap kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di kecamatan Tenggarong yang ditunjukkan oleh koefisien ry1 sebesar 0,797, dengan koefisien determinasi sebesar 0,635, dan nilai thitung sebesar 11,654 dengan pola hubungan antara kedua variabel yang dinyatakan dengan persamaan regresi linear Y = 29,344 + 0,784X1. Kedua, pelaksaan aktivitas supervisi pembelajaran pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong terlaksana dengan cukup baik. Selanjutnya dari hasil analisis regresi dan korelasi dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan pelaksaan aktivitas supervisi pembelajaran terhadap kualitas kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong yang ditunjukkan dengan koefisien r y2 sebesar 0,795, koefisien determinasi sebesar 0,632 dan thitung sebesar 11,575 melalui persamaan regresi Y = 26,799 + 0,807 X2.. Ketiga, partisipasi komite sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong cukup tinggi. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis regresi dan korelasi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara partisipasi komite sekolah dengan kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong ditunjukkan oleh koefisien r y1 sebesar 0,796, dengan koefisien determinasi sebesar 0,634, dan nilai thitung sebesar 11,668 dengan pola hubungan antara kedua variabel yang dinyatakan dengan persamaan regresi linear Y = 28,507 + 0,783X1. Keempat, kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas Pendidikan kecamatan Tenggarong cukup baik. Dari hasil analisis regresi dan korelasi dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan kualitas kepemimpinan kepala sekolah, aktivitas supoervisi pembelajaran dan partisipasi komite sekolah secara bersama-sama terhadap kinerja sekolah pada tingkat sekolah dasar di wilayah cabang Dinas pendidikan kecamatan Tenggarong yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi ganda (Ry123) sebesar 0,802, koefisien determinasi sebesar 0,644 dan nilai Fhitung 45,756 melalui persamaan regresi Y = 26,643 + 0,350X1 + 0,333X2 + 0,123X3. 2. Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, di bawah ini diajukan saran-saran sebagai berikut: - Bagi Kepala Sekolah a. Menerapkan model manajemen sekolah yang disesuaikan dengan karakteristik sekolah dan kondisi warga sekolah, selain itu dalam Vol IV No 1 Mei 2011

133


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

pengambilan keputusan hendaknya dilakukan dengan melibatkan warga sekolah secara partisipatif, yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja sekolah. b. Meningkatkan kompetensinya baik yang berkaitan dengan administrasi, manajemen sekolah, maupun supervisi, sehingga kepala sekolah dapat melakukan tugas, dan fungsi sebagai administrator, manajer, dan supervisor, sehingga dalam melaksanakan tugas, fungsi dan perannya didasarkan pada kompetensi yang dimiliknya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja sekolah. - Bagi Pengawas a. Memahami secara komprehensif bahwa supervisi pembelajaran mempunyai fungsi untuk melihat bagian mana dari proses pembelajaran di sekolah yang masih kurang baik agar diupayakan menjadi lebih baik, dan untuk melihat bagian dari proses pembelajaran yang sudah baik untuk dapat ditingkatkan menjadi lebih baik melalui prinsip-prinsip pembinaan kepada guru. b. Meningkatkan kemampuan dan profesionalisme sebagai seorang pengawas, sehingga dapat merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi supervisi pembelajaran secara efektif dan efisien. - Bagi Pengurus Komite Sekolah a. Meningkatkan partisipasinya dalam memberikan pertimbangan, dukungan dan pengawasan terhadap program-program sekolah sehingga sekolah dapat meningkatkan kinerjanya. b. Meningkatkan partisipasinya dalam melakukan peran dan fungsinya sebagai mediator, baik antara sekolah dan masyarakat mapun antara pemerintah dan masyarakat dalam engatasi dan memecahkan masalah-masalah yang terjadi di sekolah, sehingga sekolah dapat melakukan fungsinya dengan baik dan meningkatkan kinerjanya.

134


Khusnul Wardan

DAFTAR PUSTAKA Amstrong, M. 1994. Manajemen sumber daya manusia. (Terjemahan Sofyan Cikmat & Haryanto). Jakarta : Gramedia (Buku asli diterbitkan tahun 1998) Burhanuddin. 1990. Analisis administrasi manajemen dan kepemimpinan pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Burhan Bungin. 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, buku 1. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang system pendidikan nasional. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Griffin, R.W., & Moorhead, G. 1976. Organizational behavior. Boston : Houghton Mifflin Company. Hadyana Pujaatmaka. 2002. Perilaku organisasi (Terjemahan Robbins, S.P) New Jersey : Upper Saddle River. (Buku asli diterbitkan tahun 1989) Jamaluddin. 2003. Faktor – faktor yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan mutu lulusan Sekolah Menengah Umum. Jurnal ilmu pendidikan, Jilid 10, Nomor 2, 128. Law, S., & Glover, D. 2000. Educational leadership and learning practice, policy and research. Buckingham – Phidelphia : Open University Press. Lazaruth, S. 1987. Kepala sekolah dan tanggung jawabnya. Yogyakarta : Kanisius. Lewis, Garry. 1980. Education planning for development: data analysis for education Vol IV No 1 Mei 2011

135


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

planning. Cambridge: Cambridge uNiversity Press. Mulyasa, E. 2003. Manajemen berbasis sekolah. Bandung : Remaja Rosdakarya. Prasetyo, Z. K. & Slamet. 2003. Manajemen berbasis sekolah dalam mengembangkan dan mewujudkan buduaya mutu dalam pendidikan sains.2, 203-204. Riduwan, 2004. Belajar mudah penelitian untuk guru, karyawan, dan peneliti Pemula. Bandung: Penerbit Alfabeta. Robbins, S. P. 2003. Organizational behavior concepts, controversies, and applications. (6.ed). Engelwood Cliffs N.J : Prentice Hall International. Inc. Sadler, P. 1997. Leadership. London : Kogan Page. Sahertian, P. A. 2000. Konsep dasar & teknik supervisi pendidikan. Jakarta : Bineka Cipta. Sahertian, P. A. & Mataheru, F. 1982. Prinsip & teknik supervisi pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional. Sallis, E. 1993. Total quality management in education. London : Kogan Page. Scheerens, Jaap. 2000. Menjadikan sekolah efektif. (Terjemahan: Abas Aljauhari, Jakarta: Logos wacana Ilmu. Siagian, S. P. 2002. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta : Bumi Aksara. Sudijono, Anas. 1987. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Sugiyono. 2002. Metode penelitian administrasi. Bandung : Alfabeta. Sujana. 1983. Metode statistika. Bandung : Tarsito. Sutisna, Oteng. 1985. Administrasi pendidikan. Bandung : Angkasa. Thoha. 1995. Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta : Rajawali. Usman, H. 1998. Administrasi dan supervisi pendidikan. Yogyakarta : FPTK IKIP Yogyakarta.

136


Khusnul Wardan

Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan kepala sekolah. Jakarta : Raja Grafindo Jakarta. Wiles, K. 1983. Supervision for better schools. New Jersey : Englewood Cliffs. Yukl, G. 1994. Leadership in organizations. Englewood Cliffs. New Jersey : Prentice Hall, Inc.

Vol IV No 1 Mei 2011

137


Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Supervisi Pembelajaran, Dan Partisipasi Komite Sekolah

138


PENDIDIKAN DI PESANTREN

(Antara Mempertahankan Tradisi dan Kebutuhan Modernisasi) Oleh: Khojir

Abstrak: Boarding school (pesantren) as the first Islamic educational institutions in Indonesia has much to contribute in educating children of the nation. Evidently some national figures have been born from the institution. However, in the development of science and technology and the current era of globalization, the existence of boarding schools have a very severe test that is between maintaining tradition or lost in modernity. To maintain its existence many boarding schools have changed the orientation of the values ​​of tradition towards the fulfillment of the demands of modernity, such as changing patterns of leadership and management, curriculum modernization, changes in the patterns of learning methodologies, and Islamic culture. By making adjustments to the needs of modernity and tradition do not leave these schools are able to maintain its presence in the global era. Kata Kunci: Pesantren, Tradisi, Modernitas, Kepemimpinan, Keilmuan, Metodologi Pembelajaran Sub kultur, Genealogi.

Pendahuluan

Lahirnya pendidikan pesantren di Indonesia khususnya di tanah Jawa sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para sejarawan. Menurut Imam Tolkhah dan Barizi menjelaskan bahwa ada dua pendapat tentang munculnya pesantren, pertama bahwa persantren ada sejak abad XVI M yang ditandai dengan karya-karya Jawa klasik seperti Serat Cebolek dan Serat Centini yang mengungkapkan bahwa sejak abad XVI M di Indonesia telah ada lembaga pendidikan yang mengajarkan kitab klasik dalam bidang fiqh, tasawuf dan Vol IV No 1 Mei 2011

139


Pendidikan Di Pesantren

pusat-pusat penyiaran Islam. Kedua bahwa pada abad ke XVIII M pesantren muncul sebagai “perdikan” sistem pendidikan Hindu Budha dan mengalami perkembangan secara independen pada abad XIX M (Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2004: 52). Sementara menurut Nurcholish Madjid istilah pesantren berasal dari bahasa sangsekerta yaitu “sastri” yang mempunyai arti melek huruf (bisa baca tulis). Santri merupakan kolompok orang yang mengkaji secara serius dan mempunyai pemahaman keagamaan yang baik melalui kajian terhadap Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab klasik yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu (Jakarta, Paramadina, 1997: 20.) Zamakhsyari Dhofier mengutip pendapat C, C Berg menganalisis segi semantik istilah pesantren yang dekat dengan bahasa India yakni kata Santri berasal dari kata “shastri” yang mempunyai arti orang yang mengetahui bukubuku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab agama Hindu (Malang, UMM Press, 2006: 98) Terlepas dari perbedaan pendapat munculnya pesantren tersebut, yang jelas kemudian pesantren berkembang pesat sebagai lembaga pendidikan pada masa Raden Rahmad atau lebih akrab disebut dengan sebutan Sunan Ampel di daerah Ampel Denta, Surabaya. Pada saat itu dipilihnya Ampel Denta sebagai tempat penyebaran Agama Islam karena lokasi tersebut merupakan tempat yang sangat strategis dan merupakan pintu gerbang perdangangan Kerajaan Majapahit dan untuk menarik minat masyarakat akhirnya merubah nama Kalibrantas menjadi Keliemas dan Pelabuhan Jenggala Manik menjadi Tanjung perak. Dalam perkembangan selanjutnya pesantren merupakan harapan besar bagi bangsa Indonesia, karena pesantren pada saat itu merupakan pendidikan asli pribumi dan terbukti dalam catatan sejarah banyak melahirkan tokohtokoh besar kader-kader intelektual yang siapa siap mengapreseasikan keilmuanyya di masyarakat.1 Kontribusi pesantren tersebut tidak hanya dalam bidang intelektual akan tetapi dalam berbagai bidang. Seperti generasi awal pada saat awal tumbuhnya pesantren sederetan ulama besar ahli dalam berbagai bidang misalnya Sunan Kudus sebagai fuqaha’, Sunan Bonang terkenal sebagai seniman, Sunan Gunung Jati sebagai ahli strategi perang, Sunan Drajad sebagai ekonom, Raden Fatah sebagai politikus dan negarawan.2 Kontribusi tersebut tidak hanya mengalir pada masa awal, akan tetapi juga melahirkan kader dan tokoh nasional yang merupakan kader-kader terbaik bangsa Indonesia pada masanya. Seperti Syaikh Arsyad Al-Banjari, Syaikh Madfudz AtTarmasi, KH. Hasyim Asy’ary, KH. Wahab Hasbullah, KH. Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid dan sebagainya. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan 1 2

Imam Tolkhah dan Ahmad Barizi, Membuka, … ., h. 49 Abd A’la, Pembaharuan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006) , h. 17

140


Khojir

zaman, maka terjadilah pergeseran nilai, struktur dan pola pikir masyarakat dalam setiap aspek kehidupannya. Di antara aspek tersebut adalah terkait dengan dunia pendidikan khususnya pondok pesantren. Pondok pesantren dituntut untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman dengan tidak kehilangan ruhnya kepesantrenan terutama sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berisi seperangkat moral, nilai dan pendalaman ilmu agama (tafaquh fi al-din) Tuntutan trasformasi merupakan satu kebutuhan pokok. Jika pondok pesantren tidak mengadakan transformasi, maka bisa jadi pendidikan ini akan ditinggalkan oleh masyarakat. Lebih-lebih dewasa ini politik pendidikan nasional menempatkan posisi pesantren pada posisi yang kuat, pendidikan pesantren diakui sebagai salah satu sistem pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor: 20 Tahun 2003. Dengan demikian pergeseran dan modernisasi merupakan suatu keharusan baik dari segi kultur, kelembagan, metodologi pembelajaran, materi pembelajaran, kurikulum, ustadz dan hal-hal yang terkait dengan pesantren.

Tradisi Pesantren

Secara terminologi pesantren adalah artefek peradaban di Indonesia yang dibagun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional yang unik dan indigeous.3 Terlepas dari perbedaan pendapat tentang pengertian pesantren, secara realita bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan asli pribumi dengan sistem asrama tempat santri mendalami ilmu-ilmu agama dengan mengkaji kitab kuning (klasik) yang dibimbing oleh seorang kiai dan para pembantunya (dewan asatidz). Pesantren mempunyai tradisi tersendiri yang berbeda dengan tradisi lain, sehingga Abdurrahman Wahid menyebutnya subkultur. Di antara tradisi-tradisi yang telah melembaga di pesantren tersebut adalah: 1. Segi Kelembagaan dan Kepemimpinan Sebagaian besar pesantren tradisional merupakan lembaga milik pribadi dan bukan lembaga publik. Sehingga pesantren mempunyai kemerdekaan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. karena sang kiai merintis dengan dana dan swadaya sendiri dan sebagaian merupakan partisipasi masyarakat yang secara sukarela memberikan bantuan untuk keberlangsungan pondok pesantren tersebut. Demikian pula dalam kepemimpinan, Beberapa pesantren besar sebagaimana ditunjukkan oleh Mastuhu bahwa kepemimpinan pesantren masih menganut pola kepemimpinan khasrismatik dengan gaya otoriterpaternalistik. Kiai merupakan figur yang sangat diperlukan dalam pesantren. Semakin besar kharismatik kiai, maka semakin besar kecenderungan orang untuk mempersepsi pesantren tersebut. Dengan kepemimpinan kharismatik 3

Nurcholish Madjid, Bilil-Bilik ‌., h. 10

Vol IV No 1 Mei 2011

141


Pendidikan Di Pesantren

ini menurut Abdurrahman Wahid yang dikutip oleh Muzamil Qomar bahwa pesantren belum menetapkan pola kepemimpinannya, dan ada beberapa kerugian yaitu munculya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren, sulitnya keteladanan bagi para pembantunya, pola penggantian secara tiba-tiba dan mendadak seperti meninggalnya kiai serta tidak ada periodesasi yang jelas4. Rata-rata pesantren tradisional bersifat turun temurun dalam kepemimpinan, dan tidak ada suksesi yang jelas. Sehingga orang luar yang bukan dari keturunan kiai meskipun berpotensi sangat sulit untuk memimpin pesantren. Hal ini bisa terjadi jikalau santri tersebut diambil menantu oleh sang kiai.5 2. Segi manajemen Manajemen pesantren tradisional rata-rata bersifat sentralistik. Dalam menentukan semua kebijakan yang menyangkut keuangan, kurikulum, arah dan orientasi pesantren keputusannya sangat tergantung oleh Kiai. Santri dan pembantu Kiai tidak mempunyai otoritas dan pengambilan keputusan. Karena Kiai adalah sosok yang sangat kharismatik, maka apapun yang disampaikan merupakan sebuah keputusan yang tidak dapat diganggugugat, apalagi di diskusikan atau diperdebatkan. Di lingkunan pesantren tradisional berlaku tradisi bahwa santri sangat tunduk dan patuh terhadap apa saja yang disampaikan oleh kiai dengan ungkapan “sami’na wa atha’na” (kami mendengarkan ungkapannya dan kami patuhi perintahnya), atau meminjam bahasa Syamsul Ma’arif disebut hubungan Patron client.6 Dalam masa belajar pesantren tradisional tidak ada pembatasan yang jelas, semakin lama santri belajar di pesantren, ada anggapan dari masyarakat semakin baik dan berkualitas. Sehingga dalam hal ini sangat mempengaruhi administrasi pesantren. Administrasi tidak begitu dan tidak tertib. 3. Segi genealogi Dalam rangka melestarikan tradisi pesantren, para kiai di pesantren menggunakan system genealogi. Hampir seluruh pondok pesantren mempunyai system genealogi. Seperti hasil penelitian Zamakhsyari Dhofier yang berfokus pada dua pesantren besar di Jawa yaitu pesantrenTebuireng Jombang Jawa , pesantren Tegalsari Salatiga Jawa Tengah. Hasil penelitiannya adalah pesantren dalam melestarikan budaya melalu pendekatan genealogi, artinya para kyai menjodohkan anaknya dengan anaknya kiai lain atau sama santrinya 4 5

6

Muzamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: PT Erlangga, tt), h. 38 Seperti Kasus pada Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta, pada saat KH. Munawir meninggal dunia, anak keturunannnya belum ada yang siap, maka KH. Ali Maksum (Mantan Ketau Syuriah) berasal dari Lasem Jawa Tengah id mohon untuk mengendalikan pesantrennya. Demikian pula Kasus KH. Mahrus Ali Pengasuh PP. Lirboyo Kediri berasal dari Cirebon karena cerdas dan berkualitas diambil menantu oleh pengaruhnya. Syamsul Ma’arif, Pesantren VS Kapitalisme Sekolah, (Semarang: Need Press, 2008), h. 82-83

142


Khojir

yang telah memiliki kelebihan dalam bidang keilmuan dengan harapan bisa meneruskan pesantrennya. Dalam rangka melestarikan tradisi pesantren. Dofier mengangkat kasus keluarga Kiai Shihah yang melahirkan kiai-kiai dan pesantren di Jawa.7 Sehingga tidak terlalu mengherankan dalam statemennya bahwa kepemimpinan pesantren hanyalah terbatas untuk kalangan keluarga kiai. Di samping sistem genealogi menurut Dhofier adalah tarikat.adalah salah satu unsur yang penting dalam pelestarian budaya pesantren. Karena dalam thariqah ada ikrar kesetiaan (baiat) kepada organisasinya termasuk pada gurunya, sehingga hal sangat mengikat dan mewariskan tradisi yang turun temurun baik dalam praktik ibadah, amalan-amalan termasuk pola pikir dan pandangan jama’ahnya. Genealogi atau hubungan keilmuan pesantren juga ditunjukkan oleh Abdurrahman Mas’ud dalam penelitiannya yang berjudul “the Pesantren Architects and their Religious Teaching (1859-1950). Dalam penelitiannya ini Abdurrahman Mas’ud tokoh-tokoh pesantren yang mempunyai pengaruh besar dalam dunia pesantren yaitu Nawawi al-Bantani (w. 1897), Khalil Bangkalan Madura (w.1927), Mahfudz at-Tarmisi (w. 1911), Asnawi Kudus (w.1959 dan Hasyim Asy’ary (w. 1947).8 Dalam hasil penelitiannya dua tokoh pesantren pertama disebut dengan “Master Pesantren”, sedangkan tiga tokoh terakhir disebut dengan “Pesantren Strategis” Syaikh Nawawi al-Bantani mempunyai genealogi intelektual sampai ulama’ Jawa yang bermukim di Makkah dan Mesir seperti Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Ahmad Dimyati Makkah, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan di Makkah, dan an-Nahrawi di Mesir. Sedangkan Mahfudz at-Tarmisi mempunyai genealogi intelektual Kyai Sholeh Darajat, Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Sayuthi, Kyai Abdullah at-Tarmasi dan M. Said al-Hadrawi di Makkah. Sedangkan an-Nawawi al-Bantani dan Syaikh Mahfudz at-Tarmasi mengambil posisi jembatan antara ulama’ Jawa Tengah dengan kyai Jawa yang merupakan sumber perkembangan pesantren yang diawali Khalil Banagakalan dan diteruskan generasi berikutnya.9 4. Segi keilmuan pesantren Dalam bidang keilmuan pesantren tradisional tidak mempunyai standarisasi yang jelas, santri dikatakan lulus atau mempunyai kompetensi berdasarkan pandangan kiai. Santri tidak diberi ijazah secara tertulis akan tetapi diberi ijazah secara lisan yang berarti santri tersebut telah diijinkan untuk mengajarkan ilmu. Untuk mengukur bahwa santri tersebut mempunyai kompetensi, diukur dari banyaknya kitab yang telah dikaji dihadapan kiai. Beberapa kitab kuning yang merupakan menu pokok pesantren tradisional dapat dikategori7 8 9

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi … .,h. 85 Abdurrahman Mas’ud, the Pesantren Architects and their Religious Teaching, disertasi doctor, (Los Angeles: California University, 1997), hal. 3 Ibid., hal. 19

Vol IV No 1 Mei 2011

143


Pendidikan Di Pesantren

kan dalam berbagai bidang ilmu. a. Bidang bahasa Awamil al-Jurjani, Matan Jurumiyah, Imriti, Alfiyah Ibnu Malik, Al-Kalilany, Matn al-Bina’, Al-Amtsilah Tashrifiyah, Qawaid al-Sharfiyah. Taisirul Khalaq, Jawahirul Maqnun. b. Bidang Fiqh-Ushul Fiqh Safinah al-Najah, Fathul Qarib al-Mujib, Fathul Muin, Fathul Bary, Ianah alThalibin. Al-Adzkar, BIdayah al-Mujtahid, as-Sulam, AL-Waraqat al-Dimyathi, al-Luma’, Qawaid al-Fiqhiyah lil al-Syuyuthi dan sebagainya. c. Bidang Akhlak/Tasawuf Washaya Aba’,lil Abna’, Ta’lim al-Muta’alim, Bidayah al-Hidayah, Kifayah alAtqiya’, Minhaj al-Abidin, al-Hikam, Ihya’ Ulumuddin, d. Tafsir dan Ulum al-Tafsir, Dzurratun Nasihin. Tafsir al-Ibris, Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Tafsir as-Shawi, e. Bidang Hadits dan Ulumul Hadits Arbain an-Nawawi, Bulughul Maram, Subul as-Shalam, Riyadh as-Shalihin, AlAdzkar an-Nawawi, Mukhtar al-Hadits, Jawahir al-Bukhari, Minhatul Mughits, Shahih Bukhari.10 Kitab Kuning sebagau bahan ajar di pesantren semakin lengkap ketika abad 18 Arsyad al-Banjari menulis kitab Sabilal Muhtadin yang sangat popular dengan merujuk pada beberapa kitan seperti Bugyatal Tullab, Furu’ al-Masalil, Jami’ al-Fawaid, Hidayatul Muta’alimin. Memang kajian dipesantren masih mengandalkan kitab kuning (al-Kutub al Shafro’). Jika ingin menghasilkan kajian yang kritis-analitik dan filosofis maka harus bergumul dengan al-kutub al baidlo’ karena dalam kitab kuning banyak hal yang belum termuat dalam kitab putih. Di samping itu pendekatannya harus dengan menggunakan pendekatan sosio historis, tidak menerima langsung jadi ilmunya.11 5. Metodologi pembelajaran Dari segi metodologi pembelajaran pesantren mempunyai strategi yang sangat khas yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain seperti sorogan12, bandongan atau wetonan,13, lalaran (nadhaman),14 hafalan, taqrar, syawir (baths almasail). Dalam tradisi pesantren metode pembelajaran sorogan merupakan metode yang paling sulit yang harus dihadapi oleh santri, karena santri secara mental harus betul-betul siap sebelum menghadap sang ustadz atau kiai.15 Se10 Indentifikasi kitab-kitab kuning tersebut berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi santri antara tahun 1991-2005. Lihat juga dalam Martin Van Brunessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Thariqah, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Cet. III, (Bandung: Mizan, 1999) 11 Amin Abdullah, Filsafah Kalam di Era Postmodernisme , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 44 12 Sorogan artinya menyodorkan. Sorogan adalah pelayanan individual masing-masing santri. 13 Bandongan adalah semacam kuliah umum tanpa memperhatikan tingkat kelas dan kemampuan. 14 Santri membaca syair-syair secara bersama-sama sambil menunggu kedatangan guru. 15 Zamahsyari Dofier, Tradisi … ., h. 30-31.

144


Khojir

dangkan metode bandongan dilaksanakan kurang lebih sekitar 200 santri, santri mencatat dan mengartikan dengan bahasanya masing-masing dan biasanya memberi kode-kode tertentu. Tentunya metode bandongan ini sangat efektif bagi santri yang telah lulus metode sorogan.16 Dalam skala kecil metode bandongan disebut halaqah (lingkaran studi, Meskupun metode tersebut sangat mengakar dikalangan pesantren akan tetapi masih mempunyai kelemahan yaitu timbulnya leberalisasi dan santri kurang mampu membuat abstraksi (khulasah) terhadap masalah yang telah dikaji. 6. Segi Kultur dan budaya pesantren Dalam komunitas pesantren ada kepercayaan bahwa ngaji adalah (Jawa: ngalap berkah), (mencari berkah), atau di sebut grace. ada beberapa aktivitas santri yang ditengarahi bisa mendatangkan berkah yaitu taat dan patuh pada kiai, penuh hati-hati menghormati kiai dan keluarganya, menjaga kesucian diri, puasa, wirid dan lain sebagainya. Di samping mencari berkah tradisi pesantren penuh dengan kemandirian, hidup sederhana, kerja keras dan ikhlas dalam melakukan sesuatu. Dengan konsep hidup tersebut pesantren selalu menebarkan kedamaian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ronald Alan Lukens Bull, dalam penelitiannya yang bertitel “ A Peaceful Jihad: Javanese Islamic education and Religious Identity Construction. Dalam penelitiannya ini menyatakan bahwa di saat pendidikan sekuler masuk ke Indonesia, pesantren juga merespon pelajaran tambahan dan tetap mempertahankan pelajaran Islam klasik. Generasi belakangan lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat modern, termasuk kurikulum modern yaitu kurikulum yang memberi kesempatan lapangan kerja. Walaupun demikian kelompok ini menentang paham individualism, radikalisme dan egoisme17. Selanjutnya Alan dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa pesantren merupakan suatu institusi mengembangkan Islam dengan damai, karena konsep ini didasarkan pada semboyan “Striving Cause of Gof� (kerja keras didasarkan Karena Allah). Pesantren juga mempunyai kultur tersendiri berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Kekhasan tersebut salah satunya terletak pada persamaan dan tata hubungan dalam kependidikan dan kemasyarakatan seperti: (1) hubungan yang dekat antara kiai dan santri; (2) ketaatan santri yang tinggi pada kiai; (3) hidup hemat dan sederhana; (4) tingginya semangat kemandirian para santri; (5) berkembangnya suasana persaudaraan dan tolong-menolong; (6) kuatnya semangat mencapai cita-cita; (7) tertanamnya sikap disiplin dan

16 Ibid., hal. 30-32 17 Ronald Alan Lukens Bull, dalam penelitiannya yang bertitel “ A Peaceful Jihad: Javanese Islamic education and Rel gious Identity Construction. Disertasi pada (Los Angeles: Arizona State University, 1997), Hal. iii

Vol IV No 1 Mei 2011

145


Pendidikan Di Pesantren

istiqamah.18 Abdurrahman Wahid menyebutnya dengan istilah subkultur dengan beberapa ciri khas: (1) Pola kepemimpinan pesantren yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh Negara; (2) Kitab-kitab rujukan umum yang berlaku dipergunakan dari berbagai abad; (3) Sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagaian dari masyarakat.19

Kebutuhan Modernisasi Pesantren

Di tengah arus modernitas banyak pendidikan Islam tradisional yang tidak mampu bertahan dengan adanya arus modernisasi dan globalisasi. Taruhlah misalnya pendidikan Islam tradisional di Timur Tengah seperti madrasah kuttab, masjid pada seperempat terakhir pada 19 cenderung tidak bisa bertahan karena gelombang pembaharuan dan modernisasi yang semakin kencang telah minimbulkan perubahan-perubahan yang tidak bisa dimundurkan lagi dalam eksistensi lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. Kasus di Turki menjadi pukulan yang sangat telak bagi madrasah ketika pada tahun 1924 Musthafa Kemal Ataturk menghapuskan system Madrasah dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum. Demikian pula nasib kuttab di Mesir, dengan kebijakan yang diambil oleh Muhammad Ali Pasya mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah dasar umum pada tahun 1833, maka posisi madrasah dan kuttan hanya menjadi pelengkap bagi sekolah umum. Bahkan Khediv Ismail pada tahun 1868 mengeluarkan ketetapan untuk mengintegrasikan madrasah dan kuttab ke system pendidikan umum. Nasib tersebut semakin terancam ketika pemerintah Mesir Gamal Abdul Nasir pada tahun 1961 mengeluarkan keputusan penghapusan madrsah dan kuttab.20 Demikian juga di Indonesia, arus modernitas juga menerpa pesantren sebagai lembaga pendidikan indigous Indonesia. Arus modernitas pendidikan di Indonesia dihembuskan dengan kedatangan Kolonial Belanda pada paroh kedua abad 19 mendirikan sekolah rakyat atau sekolah desa (nagari). Respon yang diberikan masyarakat cukup beragam. Bagi masyarakat Jawa sekolah rakyat atau sekolah desa (nagari) dipersepsi sebagai program besar colonial belanda dalam rangka “membelandakan� anak jawa (pribumi) sehingga responnya sangat dingin. Berbeda dengan Jawa, respon masyarakat Minangkabau cenderung relative baik. Sehingga transformasi pendidikan Islam tradisional di Minangkabau dari bentuk surau ditransformasikan secara formal menjadi sekolah nagari cukup mudah, meskipun tidak secara keseluruhan kurikulum dan metodenya mengikuti system pendidikan Belanda. Respon pembaharuan terhadap pendidikan Islam Indonesia ini selanjut18 Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan Perkmbangannya, (Jakarta: Dire torat Kelembagaan Agama Islam, 2003), h. 29 19 Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren Masa Depan, dalam Marzuki Wahid, Suwendi dan Syaifudin Zuhri, Pesan ren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung: Pustaka Hidaya, 1999), h. 14 20 Ibid., h. 97

146


Khojir

nya diwacanakan oleh kalangan reformis muslim yang sejak abad 20 melancarkan aksi-aksi pembaharuan pendidikan Islam. Respon yang diberikan menurut Karel Steenbrink dalam konteks surau “ menolak dan mencontoh”21. Sedangkan respon pesantren (Jawa) “menolak sambil mengikuti”.22 Dalam konteks respon pesantren terhadap pendidikan modern Belanda berdasarkan catatan Azyumardi Azra bahwa beberapa pesantren telah merespon dengan responnya masing-masing; seperti pesantren Mambaul Ulum di Surakarta yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono pada tahun 1906 merupakan perintis penerimaan pelajaran umum seperti al-jabar, pelajaran membaca dan menulis latin, berhitung. Respon tersebut kemudian pada tahun 1916 diikuti oleh pesantren Tebuireng Jombang dengan mendirikan “Madrasah Salafiyah” dengan memasukkan kurikulum beberapa pelajaran umum seperti berhitung, bahasa melayu, ilmu bumi. Di daerah yang sama yaitu pesantren Rejoso Jombang juga mendirikan madrasah pada tahun 1972 dengan memasukkan mata pelajaran non keagamaan dalam kurikulumnya. Di sisi lain respon terhadap pendidikan modern juga muncul dengan corak yang berbeda seperti PP. Modern Gontor Ponorogo berdiri pada tahun 1926 dengan corak pendalaman bahasa Inggris dan bahasa Arab serta memasukkan sejumlah kegiatan seperti olahraga, seni dan lain sebagainya. Bahkan pesantren selangkah lebih maju dalam menjaga kemandirian yaitu membekali santrinya dengan berbagai ketrampilan seperti pertanian, perkebunan. Gambaran terhadap respon pesantren tersebut, bukan berarti pesantren latah atau tergesa-gesa dalam merespon tuntutan pendidikan modern, akan tetapi pesantren mempunyai konsep hati-hati (al-Ikhthiyath) dalam menstransformasikan nilai-nilai pendidikan modern. Pesantren mau menerima pembaharuan kalau hal itu menjamin pesantren tetap survive.23 Pasca kemerdekaan pesantren agak mengalami kesulitan dalam perkembangannya karena ekspansi system pendidikan umum umum dan madrasah modern. Sehingga semakin banyak alternative bagi masyarakat dalam memilih pendidikan untuk anak-anaknya. Akan tetapi beberapa pesantren besar seperti Lirboyo Kediri, Tebuireng Jombang, Tambak Beras, Pesantren Modern Gontor telah mengalami perkembangan jumlah santri yang cukup signifikan. 24 Arus pendidikan umum yang disebarkan pemerintah semakin 21 Dalam pandangan kaum tradisi Minagkabau ekspansi system dan kelembagaan Islam modern merupakan a caman langsung terhadap eksistensi dan kelangsungan surau. Untuk itu untuk kelangsungan surau tiada lain mengadopsi beberapa unsure pendidikan modern seperti penjenjangan dan system klasikal. Ibid., h. 99 22 Respon yang hamper mirip adalah pesantren menolak paham dan susmsi-asumsi keagamaan reformis dalam batas tertentu. Pesantren melakukan adopsi dan penyesuaian yang dianggap mampu menjaga kontiunitas pesantren. Seperti penjenjangan, kurikulum yang jelas dan system klasikal. Ibid., h. 100 23 Ibid., h. 101 24 Berdasarkan data dari departemen Agama bahwa jumlah pesantren pada tahun 1955 tercatat 30.368 dengan jumlah santri 1.392. 159 0orang. Pada tahun 1972 diperkirakan ada 32.000 pesantren dengan 2 juta santri.Ibd., h. 102.

Vol IV No 1 Mei 2011

147


Pendidikan Di Pesantren

deras, sacara otomatis pesantren tidak bisa tinggal diam untuk mempertahankan eksistensinya. Paling tidak ada dua cara yang dilakukan pesantren yaitu mengadakan pembaharuan kurikulum dengan memasukkan semakin banyak pengetahuan umum dan ketrampilan dan kedua membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikan untuk kepentingan pendidikannya.25 Tidak hanya sampai disitu bahkan beberapa pesantren mendirikan sekolah umum dengan mengikuti kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Bahkan perkembangannya semakin baik ketika pesantren dibawah pengawasan Departemen Agama mendirikan perguruan Tinggi seperti PP. Darul Ulum Jombang pada tahun 1965 mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar di Departemen Pendidikan Nasional. Dengan tuntutan modernisasi, tuntutan modernisasi tersebut sampai merambah pada menajemen dan kepemimpinan. Karena yang dikelola oleh pesantren tidak hanya pesantrennya, akan tetapi ada madrasah, sekolah umum, koperasi dan perguruan tinggi. Sehingga kepemimpinan seorang kiai tidak lagi mampu menanganinya. Akhirnya banyak pesantren yang mengembangkan kelembagaannya dengan model yayasan atau kepemimpinan kolektif.26 Dengan dibentuknya yayasan maka kiai bukan lagi raja-raja kecil akan tetapi beban kiai sedikit berkurang karena ada job dicription atau adanya menejemen sistimm multi leardes. Dalam era kontemporer ini merupan sebuah tuntutan bagi pesantren untuk membahas dan mengkaji materi-materi yang bersifat transformatif. Seperti gender, hermeneutika, fiqh al-Mar’ah (fiqh perempuan, pluralisme, HAM dan sebagainya. Definisi santri sekarang ini murni santri, akan tetapi santri juga berpredikat mahasiswa, sehingga kajian-kajian Islam yang bersifat transformative juga merambah ke pesantren. Secara otomatis pesantren tidak hanya memperkuat dalam bidang fiqh, tasawuf dan nahwu, akan tetapi mengembangakan materi kajian Islam transformatif.27 Dilihat dari sisi modernisasi pesantren menurut Habib Chirzin yang mengutip pendapat Said Ismail Ali, bahwa kunci pengembangan pesantren terletak pada metodologi, bahasa, manjemen, perpustakaan berbasis teknologi dengan yang bertumpu pada ruh al-Intqad (sense of critisme), ruh al-Taftisy (sense of inquiri), ruh al-ibtikar (sense of discovery), ruh al-ihtira (sense of creation)28 25 Beberapa pesantren membuka madrasah dan sekolah umum termasuk koperasi Ibid., h. 102 26 Kasus ini seperti pada PP. Maskumambang Gresik yang dipimpin oleh keturunan pendirinya KH. Abdul Jabbar pada tahun 1859. Kemudian pada tahun 1958 diserahkan kepada Yayasan kebangkitan umat sehingga pesantren ini tetap eksis. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh beberapa pesantren seperti pesantren As-Syafi’iyah Sukorejo pembentukan Yayasan tahun 1970, Pesantren Tebuireng Jobang menjadi Yayasan Hasyim Asy’ary tahun 1984, Ibid., h. 104. Lihat juga Muzamil Qomar, Transformasi … ., h. 46-48 27 Dalam hal banyak tulisan yang mengupas kajian Islam transformatif, seperti Abu Rokhman Muzakki, Jender d lam Perspektif Pesantren, Muhalli Hisyam, Hermeunitika dalam Perspektif Pesantren, dan Paradigma Fiqh Perempuan dalam Pesantren, dalam M. Affan Hisyam, Menggagas … ., h. xviii 28 Habib Chirzin, Pesantren Selalu Tumbuh dan Berkembang dalam M. Dian Nafi’ dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: ITD Yayasan Pesantren, 2007), h. x

148


Khojir

Kalau dianalisis cukup mendalam sebetulnya terdapat pergeseran nilainilai tradisi lama di dunia pesantren. Pergeseran nilai tersebut antara lain: PERGESERAN NILAI-NILAI PESANTREN No

Konsep

Nilai/norma lama

Bergeser ke

1

Kepemimpinan

Kepemimpinan individual

Kepemimpinan kolektif

2

Pesantren

Pesantren klasik

Sistem madras

2

Pemikiran

Deduktif- dogmatif

Rasional- empiris

3

Politik keagamaan

Religo politk

Religio ekonomik pragmatif fungsional

4

Relasi

Patronase

Magang

5

Pembelajaran

Non klasikal

Klasikal

6

Metodologi

Qauly

Manhaji

8

Metode Pemb

SBW

Diskusi, dialog, Seminar

9

Materi

Keagamaan

Vocational

10

Referensi

Al-kutub al-Mu’tabarah

Al-Kutub ghairu Mu’tabarah

11

Kajian Keagamaan

Nahwu, fiqh, tasawuf

Kajian Islam transfromatif

12

Ilmu

Dikotomik

Integratif

Melihat fenomena di atas sebetulnya pesantren bukanlah pendidikan yang statis, akan tetapi lembaga pendidikan Islam yang dinamis, karena berani mengadakan penyesuaian-penyesuain dengan tuntutan modernisasi.

Penutup

Sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional pesantren tetap eksis dalam mengembangkan pendidikan sejak abad XVI hingga sekarang. Eksistensi tersebut tidak lepas dari penyesuaian-penyesuaian yang dilakulan oleh dalam merespon arus modernisasi dan globalisasi dengan tetap menjaga secara baik tradisi-tradisinya. Penyesuaian atau pergeseran nilai tersebut meliputi kepemimpinan dan kelembagaan, metodologi, kurikulum, dan perluasan fungsi pesantren, relasi kiai dan santri, orientasi politik, materi kajian keagamaan dan lain sebagainya. Dalam diri pesantren saat ini, setidaknya dapat ditemukan dua perubahan (modernisasi) yang sangat fundamental, yakni transformasi metodologi dan transformasi institusi pesantren. Transformasi metodologi merupakan Vol IV No 1 Mei 2011

149


Pendidikan Di Pesantren

upaya pesantren membangun kembali kerangka metodologi pemikiran dan pengajaran. Metodologi klasik pengajaran pesantren pada masanya memang relevan mampu menjawab persoalan yang ada. Terbukti, alumni pesantren mampu menjadi tonggak berdirinya bangsa, semisal Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Sansuri, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Idham Khalid, Kiai Abdurrahman Wahid, dan sederet kiai kreatif lainnya. Meskipun metodologi klasik masih tetap dapat ditemukan di tiap pesantren, namun hal ini tidak menutup pada berkembangnya bangunan metodologi pendidikan modern. Pola pendidikan modern yang lebih mengedepankan nalar kritis, analitis, dan berpola sistemis masa depan, telah menjadi hal yang biasa di pesantrean. Sistem musyawarah bahsul masail, menjadi manhaj al-fikr yang lekat dan rasional dalam pesantren. Tradisi Islam klasik yang ada dipesantren harus dijadikan sebagai modal besar guna menyusun kerangka manhaj al-fikr kaum pesantren, sehingga tercipta generasi pesantren yang kuat tradisi pemikiran klasik keagamaan serta cakap dan elegan ketika membedah persoalan sosial kontemporer. Kajian fiqh pesantren tidak hanya mengkaji apa yang ada dalam fathul qorib, fathul mu’in, dan fathul wahhab saja, namun juga mampu bagaimana merumuskan pola pemikiran fiqh siyasah (fiqh politik), fiqh iqtishody (fiqh ekonomi), fiqh tsaqofi (fiqh budaya), dan beragam ijtihadf pemikiran lainnya secara lebih kritis, sistematis, dan metodologis. Pesantren mempunyai varian perubahan yang sesuai dengan jiwa lokalnya. Ada yang tetap memegang teguh tradisi klasik, namun juga berwacana ria terhadap berbagai persoalan kontemporer, misalnya di Lirboyo, Sarang, dan Sidogiri. Ada juga yang berubah menjadi semi modern: separo klasik separo modern, ini terjadi di Tebu Ireng, Tambak Beras, Denanyar, Kajen dan Guyangan di Pati, dan Krapyak. Yang secara total modern juga ada, seperti Gontor dan Al-Amin Sumenep. Semuanya tipe ada plus-minusnya. Yang terpenting semua tipe tersebut mampu menyuarakan pemikiran pesantren guna menjawab tantangan global. Yang kedua, banyak pesantren yang telah mengalami modernisasi institusi. Dulu, pengasuh pesantren merupakan “penguasa” mutlak. Semua urusan kepesantrenan disentralisasikan kepada pengasuh. Namun sekarang berbeda. Pengasuh lebih memposisiskan sebagai “manager” yang mempunyai stafstaf khusus bidang tertentu. Para staf juga diberi wewenang pengasuh untuk membuat program kerja sendiri. Pengasuh hanya memonitoring dan mengarahkan. Dengan demikian, institusi pesantren sekarang lebih mengedepankan managerial yang profesional, walaupun kharisma pengasuh tetap menjadi rujukan utama. Gaya demikian biasanya karena pengasuh pesantren menjadi tokoh publik, sehingga banyak waktu yang dicurahkan kepada organisasi dan waktu dipesantren terkurangi. Gaya modernisasi ini pertama dilakukan oleh Kiai Yusuf Hasyim, Pengasuh PP Tebu Ireng Jombang. Pak Ud, panggilan

150


Khojir

akrab beliau, karena sibuk diberbagai organisasi nasional, akhirnya menerapkan kepemimpinan pesantren secara managerial, sehingga pesantren tetap berjalan secara normal dan efektif.

Vol IV No 1 Mei 2011

151


Pendidikan Di Pesantren

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Filsafah Kalam di Era Postmodernisme , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Affan, M., et.al. Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakarta: Qistas, 2003. Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2008. Azra, Azyumardi, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Brunessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Thariqah, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Cet. III, Bandung: Mizan, 1999. Darori, M.Amin, , (ed) “Islam dan Kebudayaan Jawa Yogyakarta: Gama Media, 2000. Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan Perkmbangannya, Jakarta: Direktorat Kelembagaan Agama Islam, 2003.. Dofier, Zamahsyari, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai, Cet III, Jakarta: LP3ES, 1982. Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terj. Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989. H. J. De Graaf Th. Pegeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan sejarah Politik Abad XV dan XIV, Terj. Tim Penerbit Grafiti, Cet. IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Hasan, Tolhah, Metodologi Pengajaran di Pesantren, dalam Majalah Pesantren, Vol. IV Tahun 1987

152


Khojir

Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Rekonstruksi Sejarah untuk Aksi, Malang: UMM Press, 2006. Lukens Bull, Ronald Alan, dalam penelitiannya yang bertitel “ A Peaceful Jihad: Javanese Islamic education and Religious Identity Construction. Disertasi pada Los Angeles: Arizona State University, 1997= Mas’ud, Adurrahman, the Pesantren Architects and their Religious Teaching, disertasi doctor, Los Angeles: California University, 1997. Mas’ud, Abdurrahman, Dikotomi Ilmu Agama dan Non Agama (Kajian Sosio Historis Pendidikan Islam) , Hasil Penelitian yang dibiayai IAIN Walisongo Semarang Tahun Anggaran 1999. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994. ______________, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos, 1999. Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997. Ma’arif, Syamsul, Pesantren VS Kapitalisme Sekolah, Semarang: Need Press, 2008. Raharjo, Mudjia (ed) Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam , Sosial dan Pengetahuan, Malang: Cendekia Pramulya. Raharjo, Dawam, Pesantren dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES, 1995. Stanbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, Abad ke 19, Bandung: Bulan Bintang, 1984. Sidik, Muhammad Anshoruddin, Pengembangan Wawasan Iptek Pondok Pesantren, T, Kota Penerbit: Amzah, 2000. Sofwan, Ridin, Islamisasi di Jawa, Walisongo Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Suaedy, Ahmad, Pergulatan Dunia Pesantren dan Demokratisasi, Yogyakarta: LKis, Vol IV No 1 Mei 2011

153


Pendidikan Di Pesantren

2000. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 1994 Wan Daud, Wan Mohd, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003. Qomar, Muzamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. (Jakarta: PT. Erlangga, Tt. Yasmadi, Modernisasi Pesantren. Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pesantren, Jakarta: Ciputat Press, 2002 . Ziemek, Manfred, Pesantren dan Perubahan Sosial, terj. Burche B Sundjojo, Jakarta: P3M, 1986.

154


TENTANG PENULIS JURNAL ILMIAH “MANAHIJ” VOL IV N0. 1 MEI 2011 - SITI MURI’AH, lahir di Blitar 21 November 1952. Pendidikan Sarjana ditempuh di IAIN Sunan Ampel Surabaya lulus tahun 1978. Dengan program percepatan mengambil program doctoral (S3) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta lulus tahun 2003. Pada tanggal 1 Maret 2005 diangkat menjadi Guru Besar dalam bidang Ilmu Pendidikan Islam Siti Muri’ah menjadi satu-satunya guru besar perempuan di STAIN Samarinda, dan sekaligus pernah menjabat sebagi tenaga Ahli agama dan pemberdayaan Perempuan di kabupaten Kutai Timur era kepemimpinan Awang Farouq. Jabatan yang sampai sekarang dijabat adalah Ketua STAIS Kutai Timur. - ZURQONI, lahir di Lamongan 15 Maret 1971. Pendidikan MI-MA di Lamongan (1990), S1 Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda (19911995), dan S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999-2001). Pendidikan S3 (2005-2009) pada PPs. UNY, Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP). Disamping sebagai dosen tetap STAIN Samarinda penulis sekarang menjabat sebagai Pembantu Ketua II STAIN Samarinda (2009-sekarang). Karya tulis yang dimuat dalam berbagai Jurnal Ilmiah, yakni: Paradigma Pendidikan di Indonesia Abad 21 (2000); Islam dan Modernisasi: Menengok Akar Sejarah Pembaharuan Islam (2001); Revolusi Abbasiyah: Latar Historis dan Implikasi bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan serta Pembentukan Watak Kosmopolitanism Masyarakat Muslim (2003); Aktualitas Filsafat Ilmu bagi Upaya Peningkatan Kualitas pendidikan Tinggi (2004); Speech Disorder sebagai penyebab Kesulitan Belajar (2004); Urgensi Civic Education bagi Perkembangan Demokratisasi di Indonesia (2004); Keberagamaan Masyarakat Modern: Memotret Fenomena Gerakan Tasawuf dan “Sempalan” di Indonesia (2005); Analisis Kinerja Guru Madrasah (2007); Revitalisasi Penerapan Active Learning pada PTAI (2008), Insan Saleh dalam Perspektif Psikologi Islam dan Modern (2009), Kontekstualisasi Pembelajaran PAI di Madrasah (2009), dan Peningkatan Kualitas Sistem Pendidikan Tinggi Agama Islam (2009). - KHOJIR, dilahirkan 9 September 1971 di Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Pada Tahun 1991, penulis melanjutkan ke perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang dipilih adalah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol IV No 1 Mei 2011

155


mengambil Fakultas Dakwah Jurusan Penerangan dan Penyiaran Agama Islam (PPAI) selesai tahun 1997. Pada tahun 1999 melanjutkan studi S2 pada MSI UII mengambil konsentrasi Pendidikan Islam lulus tahun 2003, dan mulia tahun 2010 melanjutkan studi S.3 pada UIN Alauddin Makassar mengambil konsentrasi Pendidikan dan Keguruan. Disela-sela kesibukannya mengajar penulis juga cukup aktif menulis pada berbagai jurnal seperti Jurnal Dinamika Ilmu, Tahdzib, (STAIN Samarinda) Manahij (STAS Kutim) dengan judul Reformasi al-Azhar (Kajian atas Pemikiran Muhammad Abduh, Peningkatan Mutu Madrasah dengan Pendekatan TQM. Tradisionalis VS Modernis (Studi Komparatif Pemikiran Hasyim Asy’ary dan Ahmad Dahlan), Prestasi Alumni Madrasah pada PTU di Kalimantan Timur. Di samping menulis juga mengadakan penelitian, Di antara penelitian yang pernah dilakukan adalah Prestasi Alumni PTAI pada PTU di Kalimantan Timur (Kelompok), Respon Dosen PTAI terhadap Wacana Pemikiran Kiri Islam di Kalimantan Timur. Dimulai tahun 2005 penulis menjadi dosen tetap STAIN Samarinda. Di Perguruan Tinggi tempat mengabdi sempat menjadi Sekretaris Program Kualifikasi S.1 (2007-2009), dan sekarang menjabat sekretaris UPMA STAIN Samarinda. - EKO NURSALIM lahir di Demak, pada tanggal 26 Juni 1984. Program Sarjana di tempuh di Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) mengambil jurusan tarbiyah pada tahun 2004 - 2008. Program Magister di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang dan memperoleh gelar Magister Studi Islam pada tahun 2008 - 2010. Karya tulis yang pernah disusun penulis diantaranya; Manajemen Pengelolaan Kelas Bagi Siswa Autisme School, Implementasi Pemanfaatan Perpustakaan, Efektivitas Religiusitas Mahasiswa Unissula, Optimalisasi Kompetensi Pedagogik Guru. Penulis juga menjadi nara sumber dalam seminar regional diantaranya; Pengembangan Kreativitas Peserta Didik Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Masalah Keguruan: Pendidikan Guru dan Pengadaan Guru. - SRI ABIDAH SURYANINGSIH, lahir di Gresik 11 Mei 1978. Gelar Sarjana Agama diperoleh dari Institut Agama Islam Negeri Surabaya (IAIN) Jurusan Kependidikan Islam (2000), Gelar Magister Pendidikan diperoleh dari Universitas Negeri Surabaya (2005).. Abidah aktif melakukan penelitian, diantaranya: Studi Tentang Pelaksanaan RSBI di SMKN 1Surabaya DIPA (2008), Meningkatkan Hasil Belajar PAI Mahasiswa FE Melalui PBI DIPA (2009), Pendidikan Anti Teroris untuk Meningkatkan Wawasan Keislaman dan Kebangsaan bagi

156


Santri Ponpes di Jawa Timur DP2M (2010). Aktif melakukan Pengabdian kepada Masyarakat : Workshop KTSP di SD Al Fatah Surabaya (2008), Workshop PTK di SMK PGRI 1 Jombang (2009). Semenjak tahun 2006 sampai sekarang bekerja sebagai Dosen pada Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Unesa, mengampu matakuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam, dan matakuliah Keahlian Berkarya. Karya ilmiah yang pernah dipublikasikan berupa artikel di jurnal; Pemasaran dalam Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Gresik, Pelangi Ilmu Jurnal Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian & Pengembangan Unesa (2007), Pengembangan Profesi Dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pelangi Ilmu Jurnal Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian & Pengembangan Unesa (2009), Peningkatan Hasil Belajar dengan Penerapan Model PBI Pada Mata Pelajaran Ekonomi, Jurnal Pendidikan Ekonomi (2010). - KHUSNUL WARDAN, Lahir di Lombok Nusa Tenggara Barat 10 Mei 1976. Pendidikan S1 ditempuh di STAIN Samarinda Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (2004) dan S2 Jurusan Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Mulawarman Samarinda (2008). Judul Artikel yang pernah diterbitkan adalah ”Konsep Demokrasi Dalam Islam” dalam jurnal Manahij, ”Multi Media Dalam Pembelajaran” dalam jurnal Manahij dan ”Pendidikan Anak Usia Dini” dalam Majalah Gazebo STAIS Kutai Timur, Motivasi Kerja Guru penerbit Interpena Yogyakarta. Penulis mulai tahun 2008 sampai sekarang aktif mengajar di STAIS Kutai Timur. - MOHAMAD MUKLIS, lahir di Samarinda pada tanggal 15 Mei 1978. Menempuh pendidikan mulai dari tingkat SD di SDN 034 Samarinda Ulu dan lulus pada tahun 1990 untuk kemudian melanjutkan studinya ke MTsN Nglawak Kertosono dan lulus pada tahun 1993 dengan predikat juara/ ranking 3 di sekolahnya. Tahun itu juga dia melanjutkan pendidikannya di MANPK Denanyar Jombang selama 1 tahun untuk kemudian pindah ke MAN 2 Samarinda dan lulus pada tahun 1996. S1 diselesaikannya selama 5 tahun di FKIP UNMUL pada Prodi Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2001. Selanjutnya dia bekerja sebagai Dosen di STAIN Samarinda mulai tahun 2004. Tahun 2005, dia melanjutkan studinya di Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta yang dia tempuh selama 4 tahun dan lulus dengan predikat memuaskan. Saat ini aktif sebagai dosen di STAIN Samarinda.

Vol IV No 1 Mei 2011

157


- DIDI SUDRAJAT, lahir di Sumedang Jawa Barat, pada tanggal 8 Nopember 1964. Gelar Sarjana Pendidikan diperolehnya pada tahun 1990 dari Program Studi Pendidikan Bahasa inggris Universitas Mulawarman Samarinda. Gelar Magister Pendidikan diperolehnya pada tahun 2008 dari Pascasarjana Universitas Mulawarman. Pada tanggal 1 April 2011, menjabat sebagai Dosen dengan jabatan fungsional Lektor Kepala pada Kopertis Wilayah XI Kalimantan yang dipekerjakan (dpk) di Universitas Kutai Kartanegara. Selain aktif memberikan kuliah pada program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Kutai Kartanegara ia aktif juga menulis artikel baik yang berupa hasil penelitian maupun artikel-artikel hasil kajian teori. Artikel-artikel yang telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah antara lain: Pengembangan Materi Pelajaran Bahasa Inggris Berdasarkan Pendekatan Kontektual (Certel, 2006), Model Pengembangan Pengajaran Bahasa Inggris Berdasarkan Pendekatan Linguistik Kontrastif (Syntagma, 2006), Portofolio: Sebuah Model Penilaian dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (Cendekia, 2007), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Jurnal IPS, 2008), Discourse and Grammar Teaching (Lingua, 2008), Implementasi MPMBS di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Tenggarong (Didaktika, 2008), Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Bahasa (Didaktika, 2009). - IMAM HANAFIE, Lahir di Nganjuk pada tanggal 12 Agustus 1974. Penulis adalah anak pertama dari sepuluh bersaudara pasangan Muhammad Asymuni dan Siti Rubinah. Pendidikan formal penulis diawali dari SDN Ngrawan II lulus tahun 1987 dan MI Darul Falah Bendungrejo, SMP Negeri 1 Berbek lulus tahun 1990, SMU Negeri 1 Nganjuk lulus tahun 1993, Fakultas Tarbiyah IAIN/STAIN Samarinda lulus tahun 2001, dan Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UIIS)/STAIN Malang Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) lulus tahun 2003. Pengalaman kerja penulis dimulai sebagai pengajar di MA & MTs Al-Muhajirin Tenggarong Seberang tahun 1999-2000, SMP Al-Jawahir Samarinda tahun 2003-2004, STAIN Samarinda tahun 2004-2005, Tim Pendiri SDI Bungan Bangsa Samarinda tahun 2004-2005, dosen di STAIS Kutai Timur tahun 2007-2010, Ketua Jurusan Tarbiyah STAIS Kutim tahun 2007-2010, saat ini menjabat sebagai Waka. Kurikulum dan guru bidang studi PAI (PNS) di SMA Negeri 1 Long Mesangat tahun 2009sekarang. Menikah dengan Lilik Andaryuni, SHI, M.S.I yang kini sebagai dosen tetap di STAIN Samarinda dan dikaruniai seorang putri, Aniendya Fairuzafira Paramesti, lahir di Samarinda pada 18 September 2007. Selama menempuh pendidikan S1, penulis banyak terlibat aktif di

158


beberapa organisasi baik intra maupun ekstra kampus, yaitu pernah menjabat sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa STAIN Samarinda periode 1998/1999, Ketua Sanggar Seni Puisi Musik “Lentera Nurani” STAIN Samarinda tahun 1997, Ketua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Samarinda tahun 1998, Pendiri dan Pemimpin Redaksi Bulletin Cakrawala STAIN Samarinda tahun 1998, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kosgoro Korwil A. Hasan tahun 1996, Sekretaris Umum IKMJT Samarinda tahun 1997, Pengurus Cabang PMII Samarinda tahun 1997, dan Instruktur Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Tk. II Samarinda tahun 1998. Sedangkan kegiatan/pelatihan yang pernah diikuti antara lain : Pendidikan Politik Pemuda se-Kalimantan Timur tahun 1996, Pelatihan Pentaloka LSM/ORNOP di Balikpapan tahun 1997, Pelatihan Dasar Jurnalistik se-Samarinda PC HMI Samarinda tahun 1995, Pelatihan Jurnalistik Menengah se-Kalimantan/IAIN di Banjarmasin tahun 1998, Darul Arqam Dasar (DAD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Samarinda tahun 1995, Lokakarya Reproduksi Sehat dan HIV/ AIDS Samarinda tahun 1997. Di samping mengikuti kegiatan/pelatihan, penulis juga pernah menjadi narasumber dalam beberapa kegiatan pelatihan yakni Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa (1998), Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar (1999 dan 2001), dan Pelatihan Manajemen Organisasi (2003) di lingkungan STAIN Samarinda. Selama menjadi “aktivis” pada masa S1, penulis juga beberapa kali menulis di surat kabar daerah seperti Kaltim Post dan Suara Kaltim. Artikelartikel yang pernah dimuat di surat kabar daerah antara lain : (1) Catatan Kecil Untuk Mahasiswa Baru, (2) Perlukah KKN Dihapus dari Agenda PT Kita, (3) Peran Agama dalam Mengantisipasi Penyebaran HIV/AIDS, (4) Fenomena Kelahiran Multipartai : Mahasiswa Mau Kemana, (5) Membangun Kemandirian Politik Mahasiswa, (6) Pemilu 1999 : Sebuah Tanda Tanya, (6) Mencari Caleg Reformis, dan (7) Bila Gus Dur Menjadi Presiden. Sedangkan karya ilmiah berupa skripsi berjudul : “Peranan Pers Islam Sebagai Media Dakwah : Studi Tentang Peranan Penerbitan Majalah Fitrah di Pusat Studi Islam Mahasiswa (PUSDIMA) Universitas Mulawarman Samarinda”. “Urgensi Profesionalisme Guru Dalam Menciptakan Sekolah Unggul (Jurnal El-kas Aceh).

Vol IV No 1 Mei 2011

159


160


PEDOMAN PENULISAN KARYA ILMIAH DI JURNAL MANAHIJ SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SANGATTA (STAIS) KUTAI TIMUR 1. Jurnal Ilmiah MANAHIJ adalah jurnal ilmiah yang dikelola Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta (STAIS) Kutai Timur dengan concern pada Pendidikan dan Isu-isu Kependidikan Islam. 2. Jurnal MANAHIJ terbit berkala 2 kali dalam satu tahun, yakni periode Mei dan November. Tulisan dalam setiap edisinya diterima redaksi paling lambat 1 bulan sebelum bulan penerbitan. 3. Jumlah Tulisan ilmiah dalam setiap edisi berkisar antara 7-9 judul. 4. Pemuatan tulisan sepenuhnya didasarkan pada sidang redaksi antara pemimpin redaksi, sekretaris dan satu perwakilan dewan redaksi. 5. Tulisan ilmiah berkisar antara 13-25 halaman 6. Tulisan yang masuk ke meja redaksi harus memuat; judul makalah, nama dan biografi singkat penulis, abstract dalam dua bahasa (Indonesia dan asing; bisa bahasa Arab atau Inggris), isi tulisan dan daftar pustaka. 7. Sistematika tulisan berisi; Abstact (1 halaman), Pendahuluan (maksimal 3 halaman), inti tulisan (max.15 halaman), Analisa (max 4 halaman), dan penutup (max 2 halaman). 8. Tulisan diketik dalam kertas ukuran A-4, 1,5 spasi dengan jenis huruf (font) Garamond tebal 12. Sedangkan marjin tulisan mengikuti pola 4-43-3. 9. Tulisan dikirim dan diserahkan ke redaksi MANAHIJ dengan bentuk soft copy 10. System penulisan catatan kaki menggunakan model foot note. 11. Tulisan diedit redaktur dan disesuaikan dengan tanpa mengaburkan dan atau mengurangi subtansi bahasan. 12. Tulisan yang dimuat mendapatkan imbalan sepantasnya sesuai dengan kebijakan dewan redaksi MANAHIJ Tulisan dikirim via email ke tatok.m@gmail.com atau diserahkan langsung ke kantor P3M STAIS Kutai Timur dalam bentuk soft copy.

Vol IV No 1 Mei 2011

161


162




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.