Apa INI CINTA?
Cerita dalam buku ini adalah fiktif. Nama, tempat, waktu, dan kejadian adalah hasil imajinasi penulis saja. Jika ada kesamaan dalam hal-hal tersebut semata-mata hanya sebuah kebetulan.
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
iv
Apa INI CINTA? Sebuah kata, seribu makna
Anisa Febri, Chacil, Diva Apresya, Hanna Kirani, Katarina Sora, MB Winata, Riesna Kurnia, Veronica Latifiane
Apa Ini Cinta? Anisa Febri, Chacil, Diva Apresya, Hanna Kirani, Katarina Sora, MB Winata, Riesna Kurnia, Veronica Latifiane Cetakan Pertama, Juli 2014 Penyunting: MB Winata, Riesna Kurnia Tim Kreatif: Diva Apresya, Anissa Fajari, Arief Ash Shiddiq Ilustrasi sampul: Prasajadi Pemeriksa aksara: Dias R, Rika Amelina Penata aksara: Septian Hadi Desain: Prasajadi Ilustrasi isi: Zarki Diterbitkan oleh PlotPoint Publishing (Kelompok Penerbit Bentang Pustaka) Anggota Ikapi Jln. Puri Mutiara II No.7, Jakarta 12430 Telp. (021) 75902920 Email: info@plotpointkreatif.com http://www.plotpoint.co ISBN: 978-602-9481-64-8 Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 – Faks. (022) 7802288 Email: mizanmu@bdg.centrin.net.id Jakarta: Telp.: 021-7874455, 021-78891213, Faks.: 021-7864272, Email: mmujkt@ gmail.com – Surabaya: Telp.: 031-8281857, 031-60050079, Faks.: 031-8289318, Email: mizanmu_sby@yahoo.com – Pekanbaru: Telp.: 0761-20716, 0761-29811, Faks.: 0761-20716, Email: mmupku@gmail.com – Medan: Telp./Faks.: 061-7360841,Email: mmumedan@hotmail.com – Makassar: Telp./Faks.: 0411-873655, Email: mznmks@ yahoo.com – Malang: Telp./Faks.: 0341-567853, Email: mizan_mlg@yahoo.com – Palembang: Telp./Faks.: 0711- 413936, mizanmu_palembang@ yahoo.co.id – Jogjakarta: Telp.: 0274-885485, Faks.: 0274-885527, Email: mizanmediautama@yahoo. com – Bali: Telp./Faks.: 0361-482826, Email: mizanbali@yahoo.com – Bogor: Telp.: 0251-8363017, Faks.: 0251-8363017 – Banjarmasin: Telp.: 0511-3252374.
vi
Dari Dwitasari GEMERLAPNYA sebuah pertemuan kadang menghasilkan ledakan yang belum tentu bisa kamu atasi. Pertemuan yang berlanjut pada perkenalan, perkenalan yang diselingi kekaguman, lalu berujung pada perasaan yang seringkali tidak kamu pahami. Mungkin perasaan itu adalah suka, kagum, candu, rindu, abu-abu, atau bahkan hal absurd yang seringkali disebut cinta. Kisah-kisah ini dikemas dengan sangat tulus untuk siapa pun yang kebingungan mempertanyakan perasaannya. Memang terkesan lugu, tapi  semakin murni perasaanmu, semakin tidak pura-pura tingkah lakumu, maka semakin terlihat ketulusan hatimu. Jangan buru-buru percaya perasaan itu adalah cinta, jangan buru-buru menyimpulkan semua hanya ketertarikan sesaat. Kejutan manis tidak dihasilkan oleh pertemuan singkat bukan? Redam keegoisanmu. Nikmatilah perasaanmu. Salam, Dwitasari
vii
Daftar Isi Putaran Tertinggi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 Riesna Kurnia
Cokelat Pertama. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25 Chacil
Lalu ini Apa?. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47 Hanna Kirani
Lepas Minum Kopi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 65 Katarina Sora
Senja untuk Fajar. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83 Veronica Latifiane
It Should Be You. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107 Diva Apresya
Sandi Santri. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 131 MB Winata
Cinta Tak Pernah Libur. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 159 Anisa Febri ix
x
Riesna Kurnia
Putaran Tertinggi - Riesna Kurnia -
“KAMU yakin yang kamu rasain ini cinta?” Aku berhenti mengetik. Kudongakkan kepalaku. “Kalau bukan cinta terus apa?” Dia mencondongkan badannya. Kedua tangannya mengait dan sikunya bertumpu pada ujung pahanya. “Ini bukan cinta, Nda.” “Ya, terus apa? Kamu cuma bisa komentar, tapi nggak bisa jawab.” Aku kembali menatap layar ponselku. Mending aku chatting sama Bayu daripada ngeladenin cowok satu ini. “Coba, bagian mana dari hubungan kalian yang bisa dibilang cinta?” Apa Ini Cinta?
1
Aku menurunkan ponselku. Sekarang kutatap matanya lekat-lekat. Setiap kali aku melihat matanya begini, aku selalu merasa iri dengan bulu matanya. Dia cowok, tapi, bulu matanya panjang dan melengkung ke atas. Lentik banget. Alisnya juga tebal dan rapi. Aku nggak tahu kenapa matanya bisa sebagus itu. Nggak kayak mataku yang bulu matanya pendek. Alisku rapi, sih, tapi—tuh, kenapa juga sekarang aku jadi ngomentarin matanya. Aku, kan, mau ngomel! “Ris, yang ngejalanin hubungan ini, aku sama Bayu. Kamu mana tahu rasanya.” Sekarang dia menggoyangkan jari telunjuknya di depan hidungku. “Tapi, aku tahu ini bukan cinta. Kalian, tuh kenalnya di Twitter, Nda! Kamu nggak tahu kebiasaannya gimana, hidupnya sehari-hari gimana. Kamu bahkan nggak tahu dia itu nyata atau nggak. Jangan-jangan dia BOT, dia akun fiksi, dia—” “Sembarangan!” Kupukul jarinya yang kayaknya nggak bisa berhenti menunjuk-nunjuk ponselku. “Kami chattingan, kok. Kami teleponan, Skype juga. Gimana bisa dia nggak nyata?” “Tapi bisa aja dia bohong, kan? Mana kamu tau apa yang dia lakuin kalau sedang nggak Skype-ing sama kamu? Mana kamu tahu dia sekarang chatting-an sambil ngapain? Emang kamu tahu dia bergaulnya sama siapa? Perginya ke mana aja? Nggak tahu, kan?” 2
Riesna Kurnia
Darris ini benar-benar menyebalkan. “Aku percaya sama dia, kok.� Dia menggeleng. Disandarkannya punggungnya ke sofa. Tangannya dilipat di depan dada. Ah, harusnya ini jadi weekend yang menyenangkan buatku. Aku bahkan sengaja datang pagi-pagi ke sini cuma buat segelas affogato dan panekuk. Coffee shop ini selalu paling asyik pas hari Sabtu pagi, nggak terlalu ramai—mungkin karena orang masih suka malas-malasan dan bangun siang. Jadi, aku bisa berlama-lama di sini sambil baca novel, nyicil tugas kuliah, atau sekadar ngutak-atik ponsel. Waktu Darris bilang dia mau ikut ke sini, aku iya aja. Kami memang sering jalan berdua kayak gini. Nonton bareng, makan siang bareng, nemenin nyari kado buat temen yang mau ulang tahun, muter-muter mal buat cari sepatu lari, banyak, deh. Bahkan kalau lagi nggak punya temen buat diajak kondangan, ya, Darris yang aku seret buat nemenin aku. Sebaliknya juga gitu, Darris bisa tibatiba ajak aku rafting, main paint ball, atau sekadar main di Timezone, apa pun, deh. Pokoknya Darris ini partner in crime-ku. Sayang aja dia lagi nyebelin sekarang. Sejak dua minggu yang lalu, Darris jadi nggak asik karena sering banget ngomentarin hubunganku sama Bayu. Memang kenapa, sih, kalo aku punya pacar? Toh, Darris juga sering gonta-ganti cewek. Dan, aku nggak pernah bawel. Mana pernah aku nanya-nanya kayak Darris barusan? Apa Ini Cinta?
3
“Coba sekarang aku tanya. Apa yang pernah dia lakuin buat kamu, sampai kamu bisa segitu percayanya sama dia?” Tuh, dia mulai lagi. “Nih, ya, Ris. Bayu, tuh, ngabarin aku setiap saat. Dia chat aku terus, kadang juga video call. Tiap kali aku nanya dia di mana, sama siapa, dia selalu jawab jujur, kok.” Tawa Darris jadi terdengar nyebelin sekarang. “Terus? Kamu pikir dia bisa dipercaya gitu aja?” Darris menggeleng lagi. Ponselku bergetar. Aku membuka notifikasi yang masuk. “Nih, lihat. Bayu kirim foto dia lagi makan sama temen-temennya. Masa aku mau nggak percaya?” “Ya ampun, Nda. Aku juga bisa kayak gitu. Sekarang aku foto, nih, waffle sama kopi, terus aku kirim ke pacarku. Aku bilang aku lagi ngopi sama temen kuliah sambil ngerjain tugas. Dan pacarku percaya, padahal aku bohong. Aku di sini, sama kamu. See?” Aku menggeram. Kenapa, sih, susah banget ngeyakinin Darris? “Ya, tapi dia beda. Nggak kayak kamu. Dia kirimin aku foto bareng temen-temennya juga, kok.” “Iya, yang ngefotoin Bayu sama temen-temennya itu ternyata pacarnya Bayu, atau malah istrinya.” Darris menyeringai jail. “Kamu nggak pernah lihat KTP-nya, kan? Siapa tahu dia sebenarnya udah nikah, udah punya dua anak dan ngakunya jomblo ke kamu.” 4
Riesna Kurnia
Semakin lama omongan Darris ini, kok, makin nyebelin. Ya, okelah, aku dan Bayu memang kenalan di Twitter. Itu juga karena dia sering nge-tweet kalimat-kalimat puitis— yang aku suka banget—dan sering posting link film-film pendek yang manis banget. Gimana aku nggak suka? Dari timeline-nya, aku udah yakin dia orang yang romantis. Jelas beda banget sama Darris yang sok tahu ini. Dari pertama dekat sama Darris, aku langsung tahu cowok ini playboy. Pacarnya banyak. Kayaknya Darris punya pacar minimal satu di setiap kecamatan. Kalau sekarang dia nyebut nama Prita, besok udah ganti lagi jadi Hanna, besoknya lagi ganti jadi Feli, Raya, Gaida, Sarah, Alina, Keira, Disha, dan nggak tahu siapa lagi. Jelas aja dia pinter bohong. Tapi, aku yakin Bayu nggak gitu. “Aku tahu Bayu jujur, Ris. Emang kamu yang dikit-dikit bohong ke pacarmu? Bilangnya sama Mama, padahal sama pacar yang lain.” Aku menoleh lagi ke ponselku. Bayu belum membalas chat terakhirku barusan. Ya, mungkin dia sedang makan. Kan, nggak mungkin dia pegang ponsel terus. Darris mengambil cangkir espresso-nya. Diseruputnya kopi itu kemudian bicara, “Bedalah. Seenggaknya aku nyata. Mereka tahu aku beneran ada. Kalaupun mereka mau nyamperin dan ngegampar aku karena aku bohong, ya nggak apa-apa. Tapi setiap kali mereka butuh aku, aku selalu ada. Nggak kayak Bayu-mu itu. Beneran, deh, Nda. Apa Ini Cinta?
5
Kalian tuh bahkan belum pernah ketemu.” Diacungkannya cangkir itu ke arahku, kemudian diletakkannya kembali ke meja. “Tetep nggak masuk akal buatku.” Terus, yang masuk akal buat Darris ini apa? Punya pacar banyak dan nggak ada yang diseriusin? Gitu? Nggak, deh. Aku mana bisa begitu. Aku, kan, setia. Dan aku yakin Bayu juga tipe cowok setia. Seingatku, Bayu nggak pernah absen nge-chat aku tiap bangun tidur. Dia juga sering nge-tweet puisi terus mention aku. Dan dia juga beberapa kali nanyain akun siapa aja yang aku mention di Twitter—aku tahu dia cemburu, tapi dia gengsi aja mau ngomong. Manis banget, kan? “Nda, hubungan, tuh, harusnya nyata. Sesuatu yang juga bisa kamu sentuh, yang bisa bener-bener kamu rasain. Bukan sesuatu yang cukup kamu denger lewat telepon, kamu baca di Twitter, atau kamu lihat lewat kiriman foto. Lebih dari itu tauk!” Darris melipat tangannya lagi. “Lho, kan, nggak harus ada sentuhan. Nggak harus ada pelukan. Cinta, kan, nggak harus ditunjukkin sama hal-hal kayak gitu, Ris. Cinta bisa dirasain meskipun kamu nggak pernah bersentuhan sama pasanganmu. Bayu dan aku nggak kayak kamu, yang dikit-dikit harus ciuman, harus peluk-peluk.” Lama-lama aku capek ngomong sama Darris. Huh! Darris mengacak-acak rambutnya sendiri. “Susah, deh, ngomong sama kamu.” Darris kembali mencondongkan 6
Riesna Kurnia
badannya ke arahku. “Kelamaan jomblo, sih. Sekalinya ada yang nembak, kamu langsung iya. Nggak mau dipikirin dulu.” Ih, apa hubungannya? Lagian, kan, sekarang teknologi udah canggih. Bisa kali, LDR mengandalkan teknologi. Apa, sih, masalahnya? “Tapi, emang gitu, Darris! Nggak harus ada kontak fisik untuk bilang itu cinta atau bukan. Dan nggak semua cowok kayak kamu. Tuh, Bayu, dia bisa ngerasain cinta meskipun kami cuma komunikasi lewat dunia maya.” “Bullshit! Nggak percaya. Nggak ada cowok kayak gitu. Realistis ajalah, Nda. Sekarang coba pikir, kalau emang dia sayang banget, cinta banget sama kamu, kenapa dia nggak dateng aja ke sini, nyamperin kamu? Jakarta-Surabaya cuma sekali naik pesawat, satu setengah jam. Mana usahanya?” Kalau aku nggak sedang ada di café kayak gini, mungkin aku udah lemparin semua barang pecah belah di depanku. Darris ini bener-bener bikin aku emosi. “Dia masih sibuk, Ris. Dia, kan, kerja. Aku nggak mau maksa dia. Lagian aku percaya, kok, dia bakal ke sini nemuin aku, cuma nggak sekarang.” Aku mengaduk affogato-ku. Es krimnya sudah hampir mencair semua. Kusendok bagian es krim yang sudah meleleh dan tercampur tidak sempurna dengan kopi itu, lalu kuminum. Rasanya tidak seenak yang aku pikirkan. Jelas, ini gara-gara Darris yang menyebalkan. Darris terkekeh. Apa lagi sekarang? Apa Ini Cinta?
7
“Itu akal-akalan cowok, Nda. Masa kamu nggak bisa ngelihat, sih? Harusnya dia bisa ke sini weekend. Sabtu pagi nyampe, nemuin kamu. Minggu sorenya pulang. Sesimpel itu. Katanya pengusaha, mana? Beli tiket pesawat yang murah aja masak nggak sanggup.” Nah, itu! Seringainya itu, lho, yang makin bikin aku sebal. Kayak orang yang habis ngejek lawannya yang kalah di pertandingan bola. Tawa menang yang menyebalkan dan bikin sakit hati. Kenapa, sih, dia segitu nggak percayanya sama Bayu? Bayu emang beneran sibuk, kok. Dia kerja sampai malam. Weekend juga suka ada acara. Ya—memang, sih, ke Surabaya harusnya nggak susah. Tapi, kan— “Lupain, deh, itu Bayu-Bayu nggak penting itu. Dia, tuh, nggak pernah ngelakuin sesuatu buat kamu, dan kamu bilang dia cinta sama kamu?” Darris menyeringai lagi. Aku mengetukkan sendok di dalam gelas keras-keras. Suaranya memang nggak senyaring ketukan sendok tukang bubur. Tapi, harusnya Darris ngerti kalau aku sudah makin kesal. Kutatap lagi mata dengan bulu mata yang lentik itu. “Seenggaknya, Bayu ngasih aku perhatiannya, ngasih aku waktunya buat Skype, buat nge-chat aku.” Darris menarik napas, menegakkan punggung, lalu menghela napas. “Manda, Manda. Segitu doang, ya, cinta buat kamu. Gampang banget.” Dia menggeleng 8
Riesna Kurnia
kecil. Diambilnya sendok, kemudian dipotongnya waffle di sebelah cangkir kopinya. Tadi aku sempat ingin ikut mencicipi waffle-nya yang berlumuran madu itu. Tapi, sekarang udah nggak lagi. Udah nggak nafsu. Padahal aku sering banget sharing makanan sama Darris. Darris tuh, salah satu cowok yang nggak bawel kalau makanannya aku minta. “Nih, mau?” Darris menyodorkan waffle ke arahku. Aku sontak menggeleng. Emang dia nggak tahu aku udah males sekarang? Masak nggak keliatan dari mukaku? Ini cowok emang nggak peka, ya! “Tumben.” Ia menyuap waffle-nya lagi. “Ris, kamu kenapa, sih, ngomentarin hubunganku sama Bayu terus?” Aku udah sengaja menurunkan nada bicaraku. Harusnya Darris nggak nyolot lagi, ya. “Nggak masuk akal. Mana ada orang bilang cinta padahal lihat orangnya langsung aja nggak pernah? Logikanya itu, lho. Nggak ada!” Oke. Dia tetep nyolot. Omongannya tetep nggak enak didengar. “Sekarang gini, deh. Apa yang bikin kamu berpikir kamu cinta sama dia, dan dia cinta kamu? Selain dia selalu kasih kabar lewat chat atau Skype nggak penting itu, ya,” katanya sambil mengacungkan sendok waffle-nya ke arahku. Selain chat dan Skype? Apa, ya? Yang paling sering Bayu dan aku lakukan memang itu, sih—dan hanya itu. Kami, kan, belum ketemu. Bentar coba aku inget-inget dulu, deh. Apa Ini Cinta?
9
“Jangan kelamaan mikirnya.” Darris mengunyah waffle-nya. “Kalau emang nggak ada, ya, udah, nggak usah dipaksain.” Kenapa, sih, dia? Nggak sabar banget! “Dia, tuh, suka bikin puisi. Romantis, puitis tapi nggak ngegombal. Manis banget, deh.” Darris memutar matanya. “Nah, kalo dia nggak nulis puisi, berarti kamu nggak akan jatuh cinta sama dia?” “Apaan, sih? Ya, tetaplah. Cintaku, kan, bukan karena dia nulis puisi atau nggak.” Darris mengangguk-angguk. “Kalau dia nggak ngabarin, kamu? Nggak kirim-kirim foto dia ngapain dan sama siapa? Gimana?” Oke, ini agak sulit. Gimana, ya? Soalnya cuma itu cara kami berkomunikasi. “Nggg—ya, aku yang nanya kabarnyalah. Siapa tahu dia nggak ngabarin karena emang nggak sempet, pulsa habis, nggak ada sinyal. Ya, kan?” “Nah, jadi, yang lebih butuh chat itu sebenarnya kamu, bukan dia. Coba, jawab, lebih banyak kamu, atau dia duluan yang chat?” Darris menaikkan sebelah alisnya. “Pasti bukan dia.” Apaan, sih! Ya—aku memang selalu nanyain dia ngapain dan sedang di mana, sih. Tapi, kan, dia yang minta aku buat ngejalanin dulu hubungan ini—dan saling percaya meskipun kami berjauhan. Bayu segitunya, lho, sama aku. Dan, aku nggak se-desprate yang Darris bilang. 10 Riesna Kurnia
Huh, aku jadi nggak nafsu lagi buat habisin affogato-ku. Es krimnya juga udah meleleh semua. Aku ngelirik ponsel. Ternyata Bayu masih nggak kasih kabar lagi. Buru-buru kuketik pesan untuknya. Jangan karena pengaruh omongan Darris aku jadi nggak kasih kabar atau nanyain kabarnya Bayu.
Aku kesal setengah mati! Pagi-pagi banget Darris bangunin aku dan langsung nyuruh aku ganti baju, cuci muka dan gosok gigi. Aku bahkan nggak sempat nyisir rambut! Pernah sekali Darris pernah begini, dan ternyata dia ngasih aku kejutan ulang tahun. Tapi, hari ini jelas bukan ulang tahunku. Dan aku nggak tahu aku sekarang mau dibawa ke mana. Pas aku keluar kamar tadi, Mama malah udah nyiapin bekal makanan. Katanya jangan kebanyakan jajan di jalan. “Kamu ngomong apa ke Mama? Kenapa bisa sampai dibikinin bekal kayak gini?� “Aku bilang, kita ada acara ke Malang. Ke Batu, sih. Acaranya UKM kampus. Pulangnya malemlah.� Apa? Darris ini emang gila! Dan dia emang pinter banget ngomong sampai bikin Mama percaya. Yang bener aja. Ke Batu pagi-pagi gini? Mau apa, sih, dia? Harusnya dia bilang dulu, dong, kalau mau ngajak aku pergi. Kan, biasanya juga begitu. Apa Ini Cinta?
11
“Udah, santai aja.” Darris ngacak-acak rambutku. “Ntar malem juga udah balik lagi. Kamu kalau mau tidur lagi juga nggak apa-apa, sih. Nanti aku bangunin kalau udah sampai tempatnya.” Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi. Ya, udahlah, seenggaknya hari Minggu ini aku nggak bengong aja di rumah. Lumayan main ke Batu sampe sore. Eh, iya, harus ngabarin Bayu dulu kalo aku mau ke Batu. Lho? Ponselku mana? “Hapeku mana, Ris?” “Mana aku tahu.” Tunggu, tadi begitu bangun tidur, cuci muka, ganti baju, Darris langsung nyeret aku keluar kamar. Jadi—ponselku ketinggalan? “Darris! Puter balik! Hapeku ketinggalan di rumah! Gimana aku bisa ngabarin Bayu?” “Ah, udahlah, biarin aja. Sekali-sekali nggak nge hubungin Bayu.” Aku menggeleng kuat-kuat. Gimana kalo Bayu nyariin aku? Gimana kalo dia nge-chat dan aku nggak bales? Dia bisa marah! Ya—dia belum pernah marah, sih, tapi bisa aja, kan, gara-gara aku nggak ngehubungin dia seharian, terus dia jadi kesal dan marah banget? “Darris, please. Kita puter balik, buat ambil hapeku bentar. Ya?” Aku udah pasang tampang memelas. Aku nggak mau Bayu marah karena aku nggak ngabarin dia sampai malem. 12 Riesna Kurnia
“Nggak. Ini udah masuk tol, Nda. Kemarin-kemarin kamu nggak masalah nggak bawa hape.” “Ya, kan, sekarang beda, Ris! Kamu ngerti, dong!” Darris cuma menggeleng. Dia tetap fokus nyupir. Aduh, aku nggak mau bayangin gimana kalau Bayu sampai marah. Waktu itu aku sempat bilang kalau aku bakal ngabarin dia kapan pun. Dan sekarang? Gara-gara Darris, hubunganku sama Bayu terancam bubar. “Kamu nggak usah segitunya, deh, sama Bayu. Kalau kamu udah punya pacar beneran yang bisa kamu kenalin langsung di depanku, baru aku mau kamu suruh puter balik.” “Ris!” Aku yakin suaraku udah terdengar membentak sekarang. “Kenapa, sih, kamu selalu nyolot sama hu bunganku sama Bayu? Kamu, tuh, nggak open minded. Nggak mau terbuka sama kemungkinan kalau hubungan itu tetap bisa berjalan meskipun kami nggak saling ketemu. Harus berapa kali aku bilang?” “Harus berapa kali juga aku bilang, kalau hubungan kalian nggak logis?” Darris menekan klakson kuat-kuat. Ketika aku menoleh ke jalan, mobil kami sedang menyalip truk gandeng. “Kamu sebut ini cinta, padahal kamu tahu ini bukan cinta! Kamu cuma terlalu seneng karena setelah sekian lama, akhirnya ada yang nawarin sebuah hubungan sama kamu. Dan, ya—cewek selalu pake hati, nggak pake logika kalau mikir.” Apa Ini Cinta?
13
Darris kembali menekan klakson, kemudian menyalip sebuah mobil berwarna hitam yang aku nggak tahu itu mobil apa. Kenapa, sih, dia jadi suka main klakson kayak gini? Padahal jalan tol ini lebar dan nggak macet. “Kamu bilang nggak logis karena kamu nggak ngejalanin. Kamu nggak tahu rasanya.” Aku nggak boleh kalah ngomong sama Darris. “Kamu bilang logis karena kamu nggak pernah tahu pacaran yang bener itu kayak apa.” Tuh, Darris masih aja bisa jawab. “Ya, ini makanya aku coba pacaran yang bener.” Darris menoleh ke arahku. “Pacaran yang bener itu, kamu ketemu orangnya. Kenalan langsung, salaman. Bukan dari Twitter dan chat!” Rasanya aku pengin nangis sekarang. Ya, aku tahu memang aku sama Bayu cuma ketemu di dunia maya. Tapi, perasaan pengin terus ngabarin dan denger kabar dari dia ini apa namanya kalau bukan cinta? Kebutuhan untuk pegang ponsel karena pengin tahu kalo Bayu baik-baik aja di sana, apa namanya kalau bukan cinta? Aku nggak mau ngelihat ke arah Darris. Mataku udah mulai panas. Kenapa, sih, Darris jadi ngeselin banget gini? Apa salahnya kalau aku kenalan sama cowok lewat Twitter? Banyak juga, kok, yang sekarang pacaran di Twitter. Air mataku udah mulai jatuh. Rasanya kesal bercampur khawatir. Aku masih takut Bayu akan marah karena aku 14 Riesna Kurnia
sama sekali nggak ngabarin. Aku bener-bener nggak mau ada hal buruk menimpa hubungan kami. Darris nggak ngomong apa-apa lagi sekarang. Dan aku jadi bingung. Seingetku, kami nggak pernah berantem atau adu mulut kayak gini. Biasanya perbedaan pendapat kami masih seputaran warna baju, menu makanan, atau tempat nongkrong mana yang enak. Dan, kenapa sekarang Darris sama sekali nggak menghidupkan music player? Ini bakal jadi perjalanan yang garing banget. Duh—aku kepikiran Bayu lagi. Dia sekarang ngapain, ya? Udah jam tujuh. Dia pasti udah ngucapin selamat pagi buatku. Dan aku nggak bisa bales! Jantungku degdegan. Aku beneran takut ada hal buruk yang terjadi sama hubungan kami. Air mataku jatuh lagi. Kali ini nggak bisa berhenti. Kepalaku rasanya penuh, tapi aku nggak tahu penuh karena apa. Aku menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Aku pusing. Apalagi semalem, aku nungguin Bayu ketemuan sama kliennya sampai malem. Aku kangen pengin ngobrol di Skype, tapi ternyata Bayu baru nge-chat aku pas aku baru aja tidur. Akhirnya kami nggak jadi ngobrol karena mataku udah nggak kuat melek. Setiap kali air mataku ngalir, aku jadi semakin pusing. Duh, kalau aku bisa nge-chat Bayu mungkin aku bisa lebih tenang. Aku pengin pegang ponsel. Aku pengin kirimkirim sticker. Aku pengin cek mention. Aku pengin— Apa Ini Cinta?
15
Keningku hangat, tapi aku nggak tahu kenapa. Apa aku demam? Mungkin saking penginnya hubungin Bayu dan nggak bisa, aku jadi demam. Iya, sih, mungkin gitu. “Nda—” Eh? Suara Darris. Oh, iya, aku sedang sama Darris. Aku— “Bangun, Nda. Udah sampe, nih, kita.” Mataku berat banget rasanya. Leherku juga pegal. Kayaknya aku salah posisi tidur. Ya, mau gimana lagi, namanya juga tidur di mobil. Darris menepuk-nepuk dahiku. Duh—apa lagi, sih, ini cowok? “Yuk, turun. Pake sepatunya.” Aku menegakkan punggung. Ini di mana, sih? Parkiran? Parkiran mana di Batu yang luas kayak gini? Waktu aku menoleh, Darris sedang memakai topinya. Itu, topi yang aku belikan kira-kira tiga bulan lalu. Aku iseng aja waktu itu. Pas aku lihat topi itu—warnanya hijau army—aku langsung keringet Darris. Spontan aja aku beliin. Dia bilang, sih, dia suka. “Ini di mana, sih?” Darris mengambil kamera di jok belakang. Aroma parfumnya langsung terasa menyegarkan hidungku. “Jatim Park.” 16
Riesna Kurnia
Hah? Jatim Park? “Emang, kita mau ngapain ke sini? Kan, udah pernah.” Darris mencubit hidungku sampai aku nggak bisa napas. “Ini Jatim Park 2. Batu Secret Zoo. Kita belum pernah ke sini. Udah buruan ganti sepatu, terus turun.” Emang aku cuma bisa nurut kalo kayak gini. Aku ngelihat wajahku di spion tengah. Duh, aku kelihatan kucel banget. Mataku juga sembab. Darris ada-ada aja, deh, ngajak ke tempat beginian. Gimana cara nutupin mukaku yang sedang berantakan gini? Rambutku aku ikat aja kali, ya. Poni juga dirapiin sedikit. “Ayo, buruan.” Darris ini emang nggak sabaran. Sekarang dia udah keluar mobil aja. Aku buru-buru ganti sepatu. Aku jadi inget Bayu lagi. Sekarang jam berapa, ya? Dia sedang apa, ya? Ah, aku pengin banget ngasih tau dia kalau aku sedang di Batu. Tepat setelah aku ganti sepatu, Darris membuka pintu mobil di sisiku. Begitu aku turun, Darris langsung nutup pintu dan narik tanganku ke tempat beli tiket. Tumbentumbenan dia bayarin aku begini, biasanya juga ribut patungan dulu baru jalan. “Enaknya, kita ke museum dulu, kebun binatang dulu, atau naik giant wheel dulu?” Dia menyikut lenganku. “Terserah.” Aku, sih, nggak terlalu peduli urutannya. Pokoknya kalau emang mau main di sini, ya main aja. Apa Ini Cinta?
17
“Kalau gitu, museum dulu.” Darris narik tanganku lagi. Dia ngajak aku masuk ke bangunan yang pilarnya gede banget. Kayaknya itu museumnya. Aku sebenarnya nggak suka museum, membosankan. Jadi aku jalan males-malesan. Tapi, begitu aku masuk, wow! Museumnya kereeen. Bikin aku inget sama Night At The Museum. Mirip banget. Aku nggak tahu ini cuma replika, hasil rekonstruksi, atau fosil beneran, tapi di depanku sekarang ada fosil Tiranosaurus, Stegosaurus, dan Triseratops! Ada juga fosil mammoth yang gede banget itu! “Berdiri di sana. Aku fotoin.” Darris, mengacungkan kameraya. Aku ngangguk kegirangan. Aku suka banget foto di tempat kayak gini. “Tuh, kan, aku udah yakin kamu pasti bakal suka kalau diajak ke sini.” Aku nggak jawab. Mana bisa aku fokus sama omongan Darris kalo aku lihat ada fosil dinosaurus di depanku. Ini keren! Entah berapa lama kami ngabisin waktu di museum ini. Aku juga nggak ngitung udah berapa banyak foto yang Darris ambil. Aku foto sama beruang kutub, sama jerapah yang tinggi banget, aku foto di depan akuarium gede, banyaklah! Dan, Darris nggak capek ngikutin aku ke mana-mana. Untungnya punya temen kayak Darris, ya, begini. 18
Riesna Kurnia
Begitu keluar museum, kami langsung makan bekal yang tadi Mama buatkan. Nggak nyangka, foto-foto aja bisa bikin laper banget. Lalu kami jalan ke Batu Secret Zoo, kami muter-muter sampai capek. Kali ini binatangnya hidup dan macam-macam. Aku baru lihat mirkat langsung di sini. Ada juga singa putih, burung macau, gajah sumatera, banyak! Dan baru di sini juga aku lihat flamingo. Cantik banget! Kami juga naik perahu yang jalan di sepanjang sungai buatan. Seru, deh! Waktu Darris ngajak aku buat naik wahana-wahana lain, aku nggak mau. Aku sedang nggak pengin main yang ekstrem kayak halilintar meskipun mini dan nggak bikin mabuk. Aku juga sedang males basah-basahan. Siapa suruh Darris nggak kasih tahu kalau mau ke tempat ini. Tau gitu, kan, aku bawa baju ganti. “Giant wheel, yuk!” kata Darris. Nah, kalo naik bianglala, aku baru mau. “Yuk!” Aku langsung narik tangan Darris. Ini bianglala paling gede yang pernah aku lihat—selain di TV, ya. Waktu lihat area bianglala—aku nggak biasa nyebut giant wheels—sepi, awalnya aku nggak yakin bianglalanya bakal jalan. Tapi ternyata bisa, lho! Bianglalanya bisa jalan tanpa harus nunggu penuh. Wow! Ini kayak bianglala pribadi. “Ris, ini keren banget!” Darris cuma senyum. Apa Ini Cinta?
19
“Gimana kalau udah sampe atas banget, ya?” Aku bener-bener nggak sabar mau lihat pemandangan dari atas. Rasanya bianglala ini jalannya lambat banget. Dan, Darris masih aja asyik ngambil foto. Pas bianglalanya sampe di puncak, aku bisa lihat seisi Jatim Park 2 yang tadi aku jelajahi. Patung gajah di depan museum yang gede banget itu, sekarang keliatan kayak miniatur. Kolam renang, wahana-wahana, arena main, semuanya kelihatan kayak mainan. “Ris, fotoin lagi, dong!” “Kamu udah banyak foto dari tadi. Nggak bosen apa?” Aku menggeleng. “Nggak. Mumpung di sini.” Dan tanpa diminta lagi, Darris langsung ngefoto aku yang tersenyum lebar. “Dari dulu, aku selalu pengin naik bianglala. Tapi, nggak pernah ada yang mau nemenin, karena pada takut ketinggian. Sedangkan aku takut kalo naik sendirian. Tapi, akhirnya keturutan sekarang!” Rasanya aku ingin melompat-lompat di dalam sini, tapi nggak mungkin. “Udah nggak pengin pegang hape lagi, nih?” Eh? Ponsel? Iya, ya, aku nyaris lupa. Tadi, kan, aku ribut banget soal ponsel. Sekarang aku malah seneng-seneng. Ah, aku bisa cari alasan buat Bayu nanti, deh. “Nggg—ya, kan, habis ini kita pulang.” Darris ngangguk sambil senyum. “Masih mikir kalau kamu cinta beneran sama dia?” 20 Riesna Kurnia
“Ya—cinta, sih. Cinta, kan, bukan tentang jarak, tapi tentang apa yang kita rasain di dalam hati. Menurutku, sih, gitu.” Aku sedang nggak mau ribut sama Darris. sayang banget, sedang di atas bianglala gini malah berantem. “Emang kalo menurut kamu, cinta itu apa?” “Buatku? Cinta itu, ketika kita sedang nggak bersama pasangan kita, kita merasa seakan-akan udara ditarik menjauh dari paru-paru kita sehingga kita sulit bernapas. Dan, kamu tahu kalo itu cinta, ketika kamu merasa nggak utuh saat sendirian.” Ini—beneran Darris yang ngomong? Kok, rasanya beda banget sama Darris yang biasa aku kenal. Jawabannya lebih dalem dari jawabanku yang dangkal banget. Sampai bianglalanya berhenti, aku nggak ngomong apa-apa lagi. Aku nggak tahu harus ngomong apa.
Di dalam mobil, Darris jadi lebih banyak diam. Waktu berhenti di tempat makan, dia juga ngomong seperlunya. Dia kenapa, sih? Padahal pas berangkat tadi, dia bawel banget. Eh, sekarang malah anteng gini. Aneh rasanya lihat dia diam begini. Aku juga jadi nggak enak sendiri. “Ris, kok, diem aja, sih?” aku memegang ujung kausnya. “Capek.” Singkat banget jawabannya. Aku nggak suka! Kenapa, Apa Ini Cinta?
21
sih, Darris ini? Bikin aku bingung harus gimana. Perjalanan pulang ini jadi terasa jauh lebih lama. Ya—mungkin karena tadi waktu berangkat aku tidur, jadi terasa lebih cepat. Darris baru beneran ngomong sambil ngelihat ke wajahku, pas kami sampai di depan rumahku. Dia membuka tas kamera dan mengeluarkan sesuatu dari kantung dalamnya. “Nih—” Lho? Ini, kan, ponselku. Kok, bisa ada di dia? Sejak kapan? “Aku bawa ini dari tadi. Aku tahu kamu pelupa, kamu juga sedang ketergantungan sama hape, sama Bayu-mu yang nggak nyata itu. Sorry, aku cuma nggak mau kamu punya hubungan yang nggak jelas arahnya. Dan, kalo kamu masih nggak punya definisi cinta yang pasti, mending kamu cepet pastiin perasaanmu sekarang apa namanya.” Aku diam. Kugenggam ponselku dengan kedua tangan. Darris tersenyum, kemudian mengusap kepalaku. “Kayak bianglala tadi, Nda. Hanya karena semua temanmu takut ketinggian, bukan berarti kamu nggak akan pernah naik bianglala. Dan, kamu nggak perlu nyari orang yang bilang kalo dia nggak takut ketinggian. Yang harus kamu cari adalah orang yang mau nemenin kamu sampai putaran paling atas.” Aku bingung harus jawab apa. Ini pertama kalinya Darris ngomong serius. Nemenin, sampai putaran paling atas? Siapa? 22 Riesna Kurnia
Aku ngelihat ponselku. Ada satu ucapan selamat pagi dari Bayu. Ada juga chat Bayu yang ngingetin aku makan siang. Dan—udah, itu aja. Nggak ada lagi. Ternyata tadi pagi kekhawatiranku berlebihan. Bayu bahkan nggak nanyain aku di mana. Dan sekarang, ini jadi nggak penting buatku. “Aku pulang dulu, ya. Mau tidur. Dah—” Darris melambaikan tangan dan balik badan. Lho? Kok, dia main pergi gitu aja, sih. “Ris—” Darris menoleh. “Apa? Ntar chat aku aja, deh, aku ngantuk.” Kali ini Darris berjalan menjauh dan nggak menoleh lagi. Aku nggak bisa berhenti ngelihat Darris sampai dia bener-bener masuk ke dalam mobil. Aku nggak tau ini namanya apa. Tapi, begitu mobil Darris hilang dari pandangan, rasanya, aku jadi sulit bernapas.
Apa Ini Cinta? 23
YUK BACA KELANJUTAN CERITA
Apa INI CINTA?
tersedia di toko buku atau pesan online di @MIZANSTORE
mizanstore.com
www.yes24.co.id
@BUKABUKU 021 - 4252263 support@bukabuku.com
@BUKUKITA
0838 7000 9010 sales@bukukita.com
@PENGENBUKU
pesanpengenbuku@gmail.com