Mobil, Bokap, Gue

Page 1



MOBIL, BOKAP, GUE


Cerita dalam buku ini adalah fiktif. Nama, tempat, waktu, dan kejadian adalah hasil imajinasi penulis saja. Jika ada kesamaan dalam hal-hal tersebut semata-mata hanya sebuah kebetulan.

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.


MOBIL, BOKAP, GUE cinta ayah, cinta anak, dan cinta pertama

Halluna Lina


Mobil, Bokap, Gue Halluna Lina Cetakan Pertama, Juli 2014 Penyunting: Riesna Kurnia Tim Kreatif Cerita: Diva Apresya, Gina S Noer, Arief Ash Shiddiq, Anissa Fajari Ilustrasi sampul: Prasajadi Pemeriksa aksara: Dias S Penata aksara: Septian Hadi Desain: Prasajadi Ilustrasi isi: Matahari Indonesia Diterbitkan oleh PlotPoint Publishing (Kelompok Penerbit Bentang Pustaka) Anggota Ikapi Jln. Puri Mutiara II No.7, Jakarta 12430 Telp. (021) 75902920 Email: info@plotpointkreatif.com http://www.plotpoint.co ISBN: 978-602-9481-69-3 Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 – Faks. (022) 7802288 Email: mizanmu@bdg.centrin.net.id Jakarta: Telp.: 021-7874455, 021-78891213, Faks.: 021-7864272, Email: mmujkt@ gmail.com – Surabaya: Telp.: 031-8281857, 031-60050079, Faks.: 031-8289318, Email: mizanmu_sby@yahoo.com – Pekanbaru: Telp.: 0761-20716, 0761-29811, Faks.: 0761-20716, Email: mmupku@gmail.com – Medan: Telp./Faks.: 061-7360841,Email: mmumedan@hotmail.com – Makassar: Telp./Faks.: 0411-873655, Email: mznmks@ yahoo.com – Malang: Telp./Faks.: 0341-567853, Email: mizan_mlg@yahoo.com – Palembang: Telp./Faks.: 0711- 413936, mizanmu_palembang@ yahoo.co.id – Jogjakarta: Telp.: 0274-885485, Faks.: 0274-885527, Email: mizanmediautama@yahoo. com – Bali: Telp./Faks.: 0361-482826, Email: mizanbali@yahoo.com – Bogor: Telp.: 0251-8363017, Faks.: 0251-8363017 – Banjarmasin: Telp.: 0511-3252374.

vi


Untuk Ayah-Ayah Kami



Dari Dwitasari KALAU buku ini sudah ada di jemarimu, jangan ragu untuk mengikuti setiap alurnya. Di buku ini, akan kautemukan kisah-kisah ajaib yang menyentak perasaanmu dan memainkan logikamu. Imajinasikan setiap kata dalam buku ini di kepalamu, bayangkan jika sang tokoh adalah dirimu. Apakah sampai saat ini kamu masih jadi sosok lain demi memuaskan orang-orang sekitarmu? Lalu, kaulupakan dirimu sendiri, demi mengejar yang tidak pasti? Mari ikuti kisah-kisah yang ada dalam buku ini dan temukan arti yang sesungguhnya mengapa kamu harus jadi diri sendiri. Biarkan buku ini membantumu mengemudikan kendaraan menuju tujuan hidupmu.

Salam, Dwitasari

ix


x

Halluna Lina


1

TADINYA Dinar membayangkan hari Minggu yang me­ nyenangkan. Tiduran di kamar, nonton DVD atau baca novel sambil ngemil brownies buatan Ibu. Tapi, nyatanya, Dinar justru merasa seperti ada di neraka. Macetnya Jakarta aja sudah neraka, tapi ini sih— Sebentar lagi nyampe rumah. Sabar, sabar. Dinar melirik Ayah yang sedang menyetir di sebelahnya. Kacamata tebal yang nangkring di depan mata Ayah membuat Dinar langsung bergidik. Kerutan di bawah matanya kadang membuat Ayah jadi kelihatan lebih kaku. Ayah sama sekali nggak menoleh kearahnya dan tetap fokus ke depan. “Lain kali mending kamu belanja sama Ibu aja.â€? Dinar sontak mengalihkan lirikannya ke arah lain. Ya, ampun, masa Ayah masih mau ngomel lagi? Mobil mereka berhenti di lampu merah. Dinar mengetukketukkan jarinya ke paha. Baru kali ini perjalanan dari mal ke rumah terasa makan waktu lama. Dinar jadi menyesal

Mobil, Bokap, Gue

1


menuruti permintaan Ibu untuk belanja bareng Ayah. Muka Ibu yang lebay tadi jadi terbayang lagi oleh Dinar. “Ibu minta tolong sekali iniii aja. Kamu, anak Ibu satusatunya. Kalau bukan sama kamu, Ibu mau minta tolong sama siapa lagi?” Ibu bicara sambil mengaduk adonan kue.“Kamu nggak kasihan apa, lihat Ibu udah seharian ngurus rumah? Sekarang harus bikin kue pesanan tetangga juga. Ini hasil jualan kue juga nantinya buat siapa? Buat kamu juga.” Tangan Ibu berhenti bergerak. Ibu memasang wajah memelas. “Ya? Mau, ya? Itung-itung jalan-jalan sama Ayah. Mumpung Ayah udah pensiun, nggak ada kerjaan di rumah. jarang-jarang, kan, jalan sama Ayah. Lagian, Ayah nggak sekaku itu, kok. Ayah juga sebetulnya bisa nge-jokes, lho. Buktiin aja sendiri nanti.” Ternyata, promosi yang sudah Ibu lakukan agar Dinar mau belanja bersama Ayah itu, memang murni akting. Dinar jadi tahu, selain jago bikin kue, Ibu juga jago ngebujuk! Pantesan baru beberapa bulan pindah lagi ke rumah lama mereka di Jakarta, kue-kue ibu sudah jadi kue paling nge-hits sekompleks. Ayah sama sekali nggak nge-jokes. Semobil dengan Ayah serasa semobil dengan manekin yang cuma bisa menggerakan bola matanya. Yang bikin Dinar jadi makin dongkol pas dia sudah selesai belanja. Dinar udah lama banget nunggu Ayah di Pintu Barat

2

Halluna Lina


Mal, tapi Ayah nggak nongol juga. Belum lagi ponsel Dinar mati. Dinar jadi nggak bisa telepon Ayah. Dinar sudah waswas Ayah ninggalin dia. Tapi, bukan Dinar namanya kalau nggak punya ide cemerlang. Dinar memutuskan untuk pergi ke Pintu Timur, siapa tahu Ayah nunggu di sana, kan? Siapa tahu Ayah tadi salah dengar. Ya, kan? Jadi, sambil nahan kaki yang pegal dan tangan yang rasanya mau rontok karena bawa belanjaan Ibu yang superbanyak dan berat banget itu, Dinar pergi ke Pintu Timur. Hasilnya? Dinar masih harus nunggu lagi karena mobil Ayah nggak juga nongol. Tapi, kali ini Dinar udah ogah balik lagi ke Pintu Barat. Capek. Asal tahu aja, malmal di Jakarta itu bisa segede stadion. Dinar bertekad, kalau dalam lima belas menit ke depan Ayah nggak juga muncul, Dinar mau lapor ke security dan minta diantar ke bagian informasi anak hilang aja. Ternyata, nggak sampai sepuluh menit, Dinar bisa melihat bumper berwarna silver milik mobil Innova Ayah. Dinar yang sudah kepanasan langsung semringah. Dengan wajah cerah senyuman selebar iklan pasta gigi, Dinar menghampiri mobil yang bodinya dicat putih itu. Dibukanya pintu mobil dengan jendela transparan tersebut. Biasanya, Dinar sebal dengan kaca transparan di mobilnya, menganggu privasi, katanya. Tapi kali ini Dinar nggak peduli.

Mobil, Bokap, Gue

3


Sayangnya, begitu masuk ke dalam mobil, Ayah langsung ngomel. “Instruksi Ayah tadi kurang jelas apa? Kamu, kan, udah Ayah suruh nunggu di pintu timur, kenapa malah ada di Pintu Barat? Bikin Ayah pusing aja nyariin kamu.” Bentakan Ayah sontak membuat sejuknya AC seperti semburan api Zuko, pangeran dari negara api di cerita Avatar: The Legend of Aang. Dinar nggak menyangka kalau inisiatifnya untuk mencari Ayah malah disalahartikan begini. Bibir Dinar kontan manyun. “Aku udah nunggu Ayah di pintu barat, kok. Cuma Ayah nggak nongol-nongol. Makanya aku pikir aku coba cari Ayah ke pintu timur aja.” Dinar membela diri. “Makanya sabar. Ayah harus muter dua kali gara-gara kamu kelamaan. Lagian memang belanjaannya nggak dicatat sampai ada yang ketinggalan buat dibeli?” Setelahnya, Ayah ngomel soal ponsel yang mati, soal kesabaran manusia, soal parkiran yang luas dan harus berputar. Semuanya bikin Dinar makin dongkol. Salahin tuh yang bikn mal. Belum lagi sekarang harus ketemu macet yang bikin dia harus lebih lama berdua dengan Ayah. “Coba tadi kamu cepat. Kita nggak mungkin kena macet.” Kumis ayah yang nyaris setebal kumis Pak Raden itu terlihat bergerak-gerak. Dinar manyun. Dia tak habis pikir mengapa Ayah masih saja nggak berhenti ngomel. 4

Halluna Lina


Mobil berbelok ke sebuah jalan kecil di sebelah kiri. “Lho? Mau ke mana, Yah?” Dinar tak mengenal jalan kecil yang padat oleh rumah ini. “Ke Korea Utara, bantuin perang.” “Hah?” Ayah berdecak. “Ini jalan tikus. Kalau lewat jalan tadi, kita bisa nyampe rumah tengah malam nanti. Gitu aja, kok, nggak ngerti.” Jadi ini yang Ibu maksud Ayah suka nge-jokes? Jokes apaan? Garing begini, pikir Dinar. Dinar jadi makin yakin kalau selain jago masak, Ibu juga jago promosi, dan jago ngibul. Yang Dinar tahu, Ayah lebih suka menghabiskan waktu di garasi untuk mengutak-atik mobil Opel Kapitan, mobil tua dari tahun 1958 yang jarang dipakai itu—Dinar juga nggak tahu kenapa Ayah suka sekali mobil kuno itu. Selebihnya, Ayah hanya akan baca koran atau nonton berita. Lampu hijau menyala, mobil berbelok ke kanan dan memasuki kompleks rumah Dinar. Dinar menegakkan punggung. Rasanya pengin cepat-cepat turun dan masuk ke kamar. Baru kali ini dia merasa capek sekali karena berbelanja. Padahal, kalau sama Ibu, Dinar happy-happy aja. Begitu sampai di rumah, Dinar buru-buru mengambil belanjaan dari jok belakang, dan meninggalkan mobil. Ibu langsung menyambutnya begitu Dinar sampai di

Mobil, Bokap, Gue

5


dapur. “Sayang, gimana acara belanjanya? Seru, kan?” tanya Ibu dengan wajah cerah. Dinar memberikan kantong belanjaannya pada Ibu. “Horor,” jawab Dinar pendek lalu bergegas masuk ke kamar. Dinar kemudian berjanji dalam hati. Dia nggak lagi akan percaya begitu saja bila Ibu menyuruhnya pergi berdua saja dengan Ayah. Meskipun nanti Ibu bakal bilang kalauAyah dulunya pernah gabung di Srimulat.

Hari Senin pagi, Dinar sudah siap berangkat ke sekolah. Segala perlengkapannya sudah dia periksa dan masukkan ke dalam tas biru tuanya. Dia hanya tinggal makan sebelum berangkat. Tapi, ketika dia keluar kamar menuju meja makan untuk sarapan, keinginannya itu buyar seketika. Ada Ayah disana. Mendadak nafsu makannya lenyap. Dinar pun memutuskan untuk sarapan di sekolah saja. Dia pun bergegas mengambil sepatu barunya di lemari sepatu dan membawanya ke teras. “Kenapa nggak sarapan dulu?” tanya Ibu ketika melihat putri semata wayangnya itu sudah siap-siap ke sekolah. “Males, di meja makannya ada Ayah. Dikit-dikit, marah. Apa-apa, marah. Kemarin Dinar makan sedikit dimarahin, kekenyangan juga dimarahin. Ogah, ah, kalau sarapan tapi denger Ayah ngomel.” Dinar menghentikan mengikat sepatu. “Ibu masak apa?” 6

Halluna Lina


“Nasi goreng.” Dinar menggoyang-goyangkan telunjuknya. “Nah, nanti Dinar nggak akan ngerasa makan nasi, Bu. Tapi batu.” Ibu mengibaskan tangannya. Sama lebay-nya dengan Dinar. “Hush, nggak boleh begitu. Dinar harus maklum. Ayah, kan, baru aja pensiun. Biasa kerja dari jam delapan pagi sampai delapan malam, sekarang begitu berhenti total. Ayah nggak punya kegiatan lain selain ngurus mobilnya.” Ibu mengusap kepala Dinar lembut. “Dinar, kan, tahu sendiri, Ayah juga bukan nggak mau bergaul. Tapi kalau mau ketemu sama teman-teman Ayah dulu, suka banyak tantangannya. Jakarta macet terus, belum lagi jadwal yang suka nggak sama. Jadinya susah buat ketemu.” Ponsel Dinar berdering. “Eh, bentar, Bu.” Dinar melihat ke layar ponselnya. Dari Bianca, pentolan Geng paling keren satu sekolah yang bernama Geng Cantik. Waktu pertama kali pindah dari Malang ke Jakarta saat tahun ajaran baru kelas XI, Dinar sering sekali mendengar murid-murid di sekolahnya menyebut Geng Cantik, Geng Cantik. Awalnya Dinar nggak ngerti, tapi, setelah melihat tiga cewek yang dimaksud, Dinar jadi tahu mengapa mereka dijuluki Geng Cantik. Bianca dan kawan-kawannya memang cantik. Bianca memang keturunan Jerman, Helen kulitnya seputih dan seimut cewek anggota girlband Korea,

Mobil, Bokap, Gue

7


dan Nadia punya hidung bangir karena kakeknya orang Pakistan. Tapi, waktu Dinar ngobrol dengan mereka, Bianca malah bilang kalau gengnya nggak punya nama. Tapi, mereka juga nggak menolak dipanggil ‘Geng Cantik’ dan menengok juga jika dipanggil dengan sebutan itu. Dinar beruntung, karena meskipun baru dua bulan pindah dari Malang ke Jakarta, tapi keberadaannya sudah diperhitungkan oleh Geng Cantik. Menurut temantemannya, geng itu terkenal sulit menerima teman baru, tapi Bianca dan gengnya tertarik pada Dinar yang dinilai punya fisik yang oke. Cewek berkulit sawo matang dengan kecantikan alami cewek Jawa mungkin dianggap Bianca, Helen dan Nadia memperlengkap keragaman “geng cantik” mereka. Awalnya Dinar kaget tiba-tiba dikerubuti oleh tiga cewek kemanapun dia pergi, tapi akhirnya dia sadar kalau sekolahnya yang sekarang, yang terpenting adalah pergaulan dan penampilan. Nggak seperti di Malang. Kemampuan dan kecerdasan Dinar di bidang akademik yang dulu begitu diakui dan dibanggakan, disini malah jadi bonus saja. “Din, gue di depan rumah lo, nih. Buruan keluar” “Ha?” Telepon langsung putus. Dinar bahkan belum meng­ ucapkan ‘halo’. Tapi, sedetik kemudian Dinar tersenyum.

8

Halluna Lina


Dinar sama sekali nggak menyangka Tuhan akan mengganti kedongkolannya kemarin dengan memberi hari Senin paling indah. Dinar tersenyum lebar sekali. “Kamu kenapa, Din?” tanya Ibu heran. Dinar langsung menyambar tasnya. “Dinar berangkat dulu, Bu. Daaah—” Dia pun bergegas menuju pintu gerbang. Tangan Dinar membuka gerbang rumah yang sudah cukup tua ini dengan semangat. Ketika udah menutup kembali gerbang besinya, Dinar teringat kalau dia belum mencium tangan Ibu. Aduh, parah nih. Perasaan senang yang berlebihan kadang membuat kita melupakan hal yang penting. Dalam hati, Dinar berjanji akan menebusnya sepulang sekolah nanti. Akan dia cium tangan Ibu dua kali bolak-balik kalau perlu. Di depan rumah Dinar memang sudah terparkir mobil hitam. Bianca membuka kaca jendela mobil bagian belakang. Wajah cantik sang pentolan ratu sekolah terlihat sempurna. Alis matanya rapi dan lebat. Bibirnya tipis, membuat wajah Bianca jadi semakin manis bila tersenyum. “Masuk, Din,” katanya dengan suara tenang. Mungkin karena keturunan Jerman, pikir Dinar, Bianca memang sudah punya darah bangsawan Eropa yang bikin dia bisa anggun tanp harus dibuat-buat. Dinar mengangguk kemudian membuka pintu depan.

Mobil, Bokap, Gue

9


Di dalam mobil sudah ada Nadia dan Helen juga. Mobil dikemudikan oleh sopir Bianca. “Hai, Bi, Len, Nad,” sapanya begitu masuk mobil. “Haiii!” balas Bianca, Helen dan Nadia serempak. Dinar tersenyum manis ketika dilihatnya Helen begitu sibuk dengan make up kit yang selalu dibawanya kemana pun. Obsesinya yang sangat ingin menjadi model memang nggak main-main. Make-up nggak pernah lepas dari wajahnya. Walau tipis yang penting pakai. Baginya, makeup itu bukan cuma sekadar polesan, “Make-up empowers woman!” itu prinsipnya. Jadi cewek itu nggak boleh sedih dengan kekurangannya, yang penting gimana gunain make-up dengan tepat. Makanya cita-cita Helen suatu hari nanti adalah operasi plastik di Korea. Dinar manggutmanggut saja tiap Helen bicara soal filosofi make up, jujur saja, awalnya dia sempat berpikir kalau Helen bisa masuk ke geng cantik cuma karena penampilannya yang keren saja. Berbeda dengan Helen, Nadia nggak terlalu peduli dengan make up tebal. Gadis berambut ikal itu lebih sering menggunakan aksesoris di rambut. Dia juga suka memakai anting, gelang, atau kalung, yang bisa berganti setiap hari. “Etnic chic, itu gue banget,” kata Nadia, bulu mata Nadia cantik dan lentik. Hingga Dinar pernah tertawa saat mendengar cerita kalau Bianca pernah memaksa Nadia

10

Halluna Lina


untuk melepas bulu mata yang dianggap palsu tersebut. Dinar melihat Nadia sedang mengikir kuku yang dipoles warna biru. Sama seperti kuku Bianca, Helen, dan Dinar sekarang. “Rumah lo gede juga, ya, Din,” kata Bianca ketika mobil mulai berjalan. Dinar tersenyum dan mengucap syukur dalam hati. Meskipun rumah tua, untungnya rumahnya nggak malumaluin amat. Sejauh ini posisinya di geng cantik masih trial member. Kalau ada kriteria yang ditetapkan geng cantik yang nggak ada pada Dinar, maka sudah pasti Dinar bisa didepak kapan saja. Calon anggota tetap Geng Cantik harus kaya dan harus cantik. Kalau dekil, jangan harap bisa dilirik Bianca cs untuk bisa masuk geng mereka. “Eh, guys, hari ini bukannya ulangan fisika, ya?” Nadia dan Helen saling pandang dalam diam. “Oh, my God!” Mereka semua serempak berteriak histeris. Dinar menutup matanya karena kaget. Suara tiga orang ini jika digabungkan benar-benar bisa membangunkan seseorang yang sudah lama terbaring dari koma. “Gue belum belajar. Aduh!” keluh Bianca. “Gue ogah kalau disuruh remedial.” “Gue juga. Kapan, sih, kita minat sama pelajaran Fisika, Bi?” Nadia ngebetulin posisi bandonya.

Mobil, Bokap, Gue

11


Helen kemudian menyambar. “Eh, tapi tahu nggak, guys? Bu Mugi itu kalau naruh soal ujian suka sembarangan, lho. Dia suka naruh di ujung meja. Dan, itu, kan, gampang banget buat diambil.” Bianca mengerutkan dahi. “Okay. Terus?” Helen memutar bola matanya memberi isyarat. Bianca dan Nadia langsung tersenyum penuh makna, sedangkan Dinar dari depan hanya menatap ketiga temannya itu tak mengerti. Bianca menoleh dan tersenyum ke arah Dinar. “Dinar—” Diucapkannya nama Dinar dengan nada yang mendayu-dayu. Dinar kontan merinding. “Kenapa, ya?” “Lo ambil soal itu, ya. Soalnya gue pikir, lo, kan, harus bisa membuktikan keseriusan lo buat masuk ke geng ini. Jadi, ya—” Bianca mengangkat bahunya. Dinar melihat ketiga cewek itu bergantian. Tatapan ketiga orang ini juga ternyata bisa membunuh dalam waktu singkat. Rasanya dia begitu terpojok. Dan, sepertinya dia memang nggak bisa menolak. Dinar pun mengangguk. “Yey! Dinar, you are sooo cool.” Helen sontak memeluk Dinar dengan erat. Dinar baru tahu kalau mengambil kertas ujian itu bisa dikategorikan cool. Dinar merasa ini cool dalam artian yang nggak baik. Tapi, Bianca sudah memberikannya tiket. Dan, Dinar juga nggak ingin kesempatan untuk bisa masuk

12

Halluna Lina


sebagai bagian dari Bianca cs terlepas begitu saja. Dinar lalu berdoa banyak-banyak, agar Tuhan mengampuninya karena baru saja setuju untuk menjadi seorang kriminal.

Ulangan Fisika di kelas Bianca ada di jam kelima, selepas istirahat pertama selesai. Dua jam berikutnya, barulah di kelas Dinar. Dan, di kelas Bram, ulangannya berada pada jam terakhir. Jam jadwal ulangan yang maraton seperti ini tentu saja nggak membuat Dinar bisa tenang. Bianca cs plus Dinar sudah ada di depan ruang guru. Guru-guru juga kelihatannya sedang menikmati makan siang, sebab dari luar terlihat bahwa hanya hanya tersisa tiga guru di dalam ruangan. Menurut pengamatan Helen, guru-guru tersebut termasuk tipe aman. Mereka nggak akan bertanya secara detail kenapa murid masuk ke ruang guru pada jam istirahat. Sebab seperti yang sudah-sudah, yang mereka tahu murid tersebut disuruh sang guru untuk menaruh buku atau LKS. Dengan tangan gemetar dan jantung berdegup kencang, Dinar menurunkan kenop pintu dan melangkah masuk ke ruang guru. Jantungnya berasa benar-benar mau copot padahal sampai ke meja Bu Mugi saja belum. Guru-guru

Mobil, Bokap, Gue

13


yang sedang makan itu juga nggak menoleh pada Dinar dan bertanya. Tiba-tiba dari pintu samping bu Mugi yang hari itu pakai kerudung merah maroon masuk ke ruang guru sambil membawa mangkuk bakso. Jantung Dinar hampir melompat keluar saking kagetnya. Dinar mengaduh pelan, kenapa juga meja bu Mugi harus ada di pojok? Mendadak perut Dinar kaku. Dia lalu memutuskan untuk urung mencuri soal. Dinar berbalik. Tapi, waktu menoleh ke belakang, dia malah melihat tiga cewek cantik itu masih berdiri di jendela ngasih semangat dan ngacungin jempolnya tinggi-tinggi. Dinar nggak bisa mundur lagi. Dinar mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Setelah sedikit lebih tenang, Dinar kembali berjalan dengan natural sampai di depan meja Bu Mugi. Dia melihat kearah kerumunan guru-guru yang lagi sibuk bergosip dan menyantap makanan mereka, begitu juga Bu Mugi. Itu dia! Benar kata Helen. Soal itu berada di tepi meja guru. Sekali lihat juga Dinar sudah bisa tahu kalau itu soal yang akan digunakan untuk ulangan nanti. Bisa-bisanya Bu Mugi menaruh kertas soal buat ulangan sembarangan begini. Dengan cepat Dinar mengambil satu lembar kertas ujian. Dinar melipatnya dengan asal窶馬yaris meremasnya dan memasukkannya ke dalam saku.

14

Halluna Lina


Dengan setengah berlari, Dinar keluar dari ruang guru. Bianca cs sudah menunggu di sana dengan wajah semringah. “Superb, Dinar, superb. Lo memang keren!” puji Helen. Gadis itu hanya mengangguk lalu menyerahkan kertas soal itu pada Bianca. “Kita ketemu cowok-cowok, yuk! Si Bram tadi ngeWhatsApp gue. Dia lagi di kantin.” Bianca melambaikan kertas ulangan yang dipegangnya, kemudian melangkah diikuti teman-temannya, termasuk Dinar. Bram! Tahu akan bertemu Bram, wajah Dinar mendadak bersemu merah. Dinar mengatur lagi detak jantungnya supaya nggak grogi waktu ketemu Bram nanti. Bram adalah teman satu angkatan Dinar. Mungkin ini seperti sebuah hukum alam, kali, ya. Di mana cewek-cewek cantik dan populer berkumpul, di sana juga ada cowok-cowok kece untuk digebet. Sama seperti Bianca yang memiliki Helen dan Nadia di dalam gengnya, Bram juga memiliki tiga orang sohib yang seiya sekata dengannya. Begitu ketemu Bram cs, Bianca langsung bercerita. “Bram, soal ulangannya Bu Mugi nanti, nih. Jangan bilang siapa-siapa, ya.” Bianca menggoyang-goyangkan kertas soal itu di depan wajah Bram.

Mobil, Bokap, Gue

15


Bram mengambil kertas tersebut dan mengeceknya. Wajah Bram terlihat kaget. “Serius, nih? Dapet dari mana?” “Nih, Dinar yang ambil dari meja guru tadi. Keren, kan?” Bram menoleh ke arah Dinar dengan tatapan nggak percaya. “Wah, hebatnya! Berani banget. Keren!” Hebat? Keren? Orang-orang ini kenapa, sih? Jadi kriminal keren dari mananya? Dinar tersenyum. Memang dapat pujian dari orang yang ditaksir itu rasanya kayak dapat voucher gratis buat beli apa pun yang kita mau. Senangnya seperti balon gas yang sudah terbang tinggi dan susah ditarik turun kembali. Tiga orang teman Bram yang lain, Pras, Doni dan Firman, juga ikut memuji Dinar. “Eh, terus yang bakal ngerjain jawabannya siapa?” tibatiba Bianca tersadar. “Habis ini jamnya di kelas gue.” Bram menjentikkan jari. Pandangan Bram berkeliling seperti mencari seseorang. Bram melihat ke ujung kantin, kemudian tersenyum. Dia melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Semua menoleh dan mendapati Riko berdiri dan berjalan mendekat. Riko itu teman sekelas Dinar. Tapi selama sebulan lebih Dinar bersekolah di sini, belum pernah dia ngobrol dengan Riko.

16

Halluna Lina


“Hai, Bro.” Bram mengangkat tangannya. Riko menepuk tangan Bram. “Lagi pada ngapain?” Riko memperhatikan wajah Bianca, Dinar dan yang lainnya bergantian. “Lagi belajar bareng.” Bram tersenyum. Riko agak bingung. “Belajar? Di sini?” “Kita, kan, mau ulangan. Bisalah, lo bantuin gue buat ngajarin rumusnya soal-soal disini. Iya, kan?” tanya Bram. Dinar bisa melihat tangan Bram menyelipkan sesuatu ke saku celana Riko. Beberapa lembar seratus ribuan rupiah. Riko mengangkat bahu. “Oke, bisa, kok.” Bram menyerahkan soal yang dia dapat dari Bianca tadi. Ketika Riko berdiri di samping Bram, Dinar melihat bahwa mereka memiliki sedikit persamaan. Kulit mereka samasama putih, alis mereka hampir sama lebatnya dan mata mereka memancarkan kehangatan. Yang membedakan adalah, Riko sedikit lebih tinggi dari Bram. Tapi, tetap saja, bagi Dinar, Bram terlihat jauh berlipat lebih keren. Riko pun mengerjakan soal yang di dapat Dinar tadi. Ini anak ngejual kepintarannya buat uang? Hm—orang memang bisa dengan mudah melakukan sesuatu kalau ada upahnya, ya. Tapi Dinar tersenyum miris sendiri, memang apa beda dirinya dengan Riko dalam urusan ini? Riko sudah selesai mengerjakan soal sampai istirahat pertama selesai. Dinar merasa kagum juga dengan

Mobil, Bokap, Gue

17


kecepatan Riko mengerjakan soal tersebut. Rasanya sekarang dia tahu siapa nanti yang akan dapat nilai tertinggi di kelas. Riko juga kelihatan begitu fasih menuliskan rumus serta menjawab soal-soal itu. Bram dan Bianca cs mencatat jawaban dari soal tersebut sebelum kembali ke kelas masing-masing. Dinar hanya senyum-senyum sendiri karena merasa senang kini kehadirannya semakin bisa diperhitungkan oleh Bianca cs. Siang hari, ulangan Fisika di kelas Dinar pun berlangsung. Dinar terlihat santai mengerjakan soalsoalnya. Dia hanya kurang menjawab dua soal lagi. Baru saja Dinar akan menuliskan jawaban soal keempat, Pak Ming masuk ke kelas. Dinar menoleh. Pak Ming terlihat bicara berbisik dengan Bu Mugi. Perasaan Dinar mulai nggak enak. “Anak-anak. Pak Ming menemukan soal ini di lorong dekat gudang.� Bu Mugi mengacungkan kertas soal yang sudah lecek. “Ada yang mengambil soal ini dari meja saya.� Dinar menahan napas. Siapa, sih, yang ceroboh begitu, gerutunya dalam hati. Bisa-bisanya ninggalin barang bukti? Mereka nggak pernah nonton film-film detektif apa, ya? Barang bukti itu harusnya segera dihancurkan biar nggak ketahuan. Ini malah dibuang sembarangan. Memangnya buang bungkus chiki? Dinar merutuk.

18

Halluna Lina


Dinar makin sadar kalau ada seseorang di seberang mejanya yang sedang menatap ke arahnya. Riko. Matanya menyipit tajam dan Dinar nggak menyukai tatapan itu. Nggak mungkin Riko nggak tahu apa-apa. Riko pasti sudah sadar bahwa soal yang dikerjakannya sama persis dengan soal ulangan ini. Ditambah lagi, Riko jelas kenal kertas lecek yang diangkat Bu Mugi tadi. Bu Mugi meletakkan kertas itu di meja. “Kerjakan lagi ulangannya. Pelakunya nanti juga pasti ketemu.” Sampai ulangan berakhir dan kelas bubar, Dinar masih merasa nggak tenang. Dia sudah sengaja membuat jawaban nomor empat dan lima salah, agar nggak terlalu mencurigakan. Dia berharap semoga perbuatannya nggak ketahuan. “Pasti lo atau salah satu diantara geng lo itu yang nyolong.” Untuk pertama kalinya selama Dinar sekolah disini, Riko bicara padanya. Namun Dinar nggak suka dengan cara Riko menyapanya. Tatapannya dingin, wajahnya yang putih sedikit kemerahan. “Lo ngomong apa, sih?” Dinar mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Riko tersenyum tipis. “Udah jelas banget lo pelakunya.” Dinar membuka mulut, dia nggak suka Riko ikut campur pada sesuatu yang bukan urusannya.

Mobil, Bokap, Gue

19


Wajah Utari nongol dari balik punggung Riko. “Din, lo dipanggil ke BP sama Pak Ming.” Dinar kehabisan kata-kata, kalau tadi rasa senangnya seperti membawanya terbang ke langit, sekarang balon gas itu pecah dan membawanya jatuh lagi. Sayangnya, bumi nggak bisa menelannya sekarang juga.

Bianca menepuk pundak Dinar. “Lo dari mana, sih? Dicariin juga dari tadi. Kita, kan, mau ngerayain hari ini.” Dinar melihat Bianca dengan tatapan nggak ngerti. “Kita harus merayakan kalau kita nggak ketahuan, dong,” lanjut Helen. Gigi lo nggak ketahuan! Gue hampir mati karena takut tadi di ruang BP, Dinar mengumpat dalam hati. “Gue baru keluar dari BP. Pak Ming, Bu Eti sama Bu Mugi tahu gue yang ngambil.” “Hah??” Ketiga cewek itu berteriak bareng. Bianca melotot ke arah Dinar. “Terus lo ngaku siapa yang nyuruh? Iya?” Tangannya mengguncang bahu Dinar, keanggunannya menghilang seketika. Dinar tersenyum dan menggeleng. “Meskipun terdesak tapi gue nggak sebodoh itu, kok.” Bianca menghembuskan napas lega. “Syukur, deh.” Bianca lalu merangkul bahu Dinar. “Udah. Relax sekarang. Kita have fun aja biar lupa. Yuk!” 20

Halluna Lina


Dinar mengangguk. Ponsel Dinar berdering. Dari Ayah. “Bentar, ya.” Dinar melepaskan rangkulan Bianca. Dijawabnya panggilan tersebut. “Pulang sekarang!” Belum apa-apa, Ayah sudah membuat nyali Dinar turun hingga ke perut bumi. “Aku mau pergi sama teman-teman dulu, Yah.” “Pulang sekarang atau nggak usah pulang sekalian.” Telepon diputus. Dinar yakin, kalau sudah begini, berarti memang ada sesuatu yang gawat. Helen menepuk pundak Dinar. “Kok bengong? Kita, kan, mau have fun. Senyum dong.” Gadis itu tersenyum dan memamerkan gigi dengan behelnya yang berwarna ungu muda. “Eh, sorry. Kayaknya gue nggak bisa ikut kalian, guys.” “Excuse me? Why? Lo jangan pernah ngelewatin celebration bareng kita, Din. Jangan pernah.” Bianca berkacak pinggang. Dahinya berkerut. “Seriously, gue harus pulang sekarang. Ayah telepon dan gue benar-benar harus ada di rumah sekarang. Have fun buat kalian, ya. Gue duluan.” Dinar bergegas pergi meninggalkan Bianca, Nadi dan Helen yang masih berpandangan bingung. Dihampirinya tukang ojek yang biasa mangkal di depan sekolah. Dinar Mobil, Bokap, Gue

21


berdoa semoga nggak ada sesuatu yang lebih buruk lagi hari ini. Sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu sudah menunggu di ruang tamu. Meskipun nggak tahu ada apa, tapi Dinar bisa menebaknya. Mungkin Bu Mugi sudah menelepon Ayah atau Ibu dan memberitahukan mereka apa yang udah dia perbuat tadi di sekolah. “Kenapa kamu nyuri soal ujian?” Kalimat selamat datang dari Ayah ini benar-benar nggak menyenangkan. Ayah bahkan nggak menyuruh Dinar duduk lebih dulu. Dinar diam saja. Dia masih mematung di depan pintu. “Duduk.” Ibu buka suara. Ada dua gelas bekas kopi hitam di hadapan ibu, semakin banyak ibu minum kopi hitam tanpa gula berarti sedang semakin senewen dirinya. Dinar melangkah pelan dan duduk di hadapan Ayah Ibu. Ibu yang biasanya kalem, sekarang terlihat seperti banteng yang kebanyakan kafein mengamuk. “Wali kelas kamu bilang kalau kamu ini anak yang pintar dan rajin di sekolah. Sejak awal kamu datang ke sekolah kamu baikbaik saja. Kenapa sekarang begini?” Dinar tetap diam. “Tatap mata Ibu! Jawab pertanyaan Ibu!” Dinar mendongakan kepalanya lalu menggigit bibirnya. Dia menunduk lagi.

22

Halluna Lina


“Wali kelas kamu juga bilang kayaknya kamu disuruh sama teman kamu untuk mencuri soal ujian itu. Benarbegitu?” Dinar menatap itu dengan tatapan memelas. “Ibu—” “Ibu apa? Ibu dan Ayah lagi tanya sama kamu sekarang. Jawab dulu, atau kami betulan marah.” Dinar menelan ludahnya. Kalau ini saja belum beneran marahnya, nanti mau marah gimana lagi? “Ngaku nggak ngaku tetap dapet hukuman, kok.” Ayah berdiri. “Potong uang jajannya sebulan, Bu. Suruh bawa bekal saja dari rumah.” “Hah?” Dinar nggak menyangka dia akan dihukum begini. “Tapi, Yah—” Ayah nggak peduli terhadap protes Dinar. Beliau sudah berjalan menuju garasi sebelum menutup pintu ruang tamu dengan keras. Ibu memandang Dinar dengan mata menyipit, kemudian meninggalkan Dinar sambil membawa gelas bekas kopinya. Dinar bergegas masuk kamar. Namun saat dia baru saja melepas sepatunya, Ibu membuka pintu kamar Dinar dengan satu entakan keras hingga membuat Dinar terlonjak. “Ibu bikin Dinar kaget, deh.” Dinar mengusap dada. “Kamu juga bikin kaget Ibu. Kamu ini kenapa, sih? Sejak pindah ke Jakarta, kok, jadi aneh? Sekarang, coba jawab, kenapa kamu nyuri soal ulangan itu?” Mobil, Bokap, Gue

23


Dinar menunduk dalam. Dalam beberapa hal, Ibu sebetulnya jauh lebih mengerikan ketimbang Ayah. Dinar mengusap tengkuknya. “Ng—soalnya ada soal yang nggak Dinar ngerti, bu.” Alis Ibu terangkat. “Memangnya kamu nggak belajar dulu pas mau ulangan? Atau mau les aja sekalian?” Dinar menggeleng kuat-kuat. “Nggak mau.” “Jadi kamu maunya apa?” Ibu kelihatan semakin gemas. “Kamu sadar nggak, apa yang kamu lakuin itu udah bikin malu Ayah sama Ibu. Kalau kamu masih mau uang jajan kamu, cepat turun ke bawah dan minta maaf sama Ayah.” “Itu juga nggak mau!” Dinar menggeleng lebih tegas. Ibu memandang Dinar semakin nggak mengerti. Sepertinya Ibu udah kehabisan kata-katanya. “Ibu capek ngomong sama kamu. Ibu kasih tempo waktu sampai jam lima sore ini buat kamu minta maaf dan jelasin yang sebenarnya sama Ayah. Kalau nggak, jangan harap kamu dapat uang jajan kamu lagi. Seumur hidup!” Ibu keluar kamar sambil menutup kamar Dinar dengan sekuat tenaganya, membuat Dinar langsung menunduk lebih dalam. Kalau dia nggak punya uang, dia nggak akan bisa jalan bersama Bianca dan kawan-kawan. Sepertinya Dinar memang nggak punya pilihan lain selain minta maaf kepada Ayah.

24

Halluna Lina


Saat Dinar sudah yakin bahwa dia siap menemui Ayah, ponselnya bernyanyi. Dari Bianca. “Din? Gimana? Baik-baik aja, kan?!” “Tenang aja, Bi. Everything’s fine.” “Tapi, tadi lo pamit pulang gara-gara di telepon bokap, kan?! Bokap tahu soal lo dipanggil BP tadi?” “He-eh. Tapi, bokap udah maafin gue, kok. Secara gue anak kesayangannya gitu.” “Ya, udah. Syukur, deh, kalau gitu. Eh, jalan, yuk! Kita, kan, belum jadi ngerayain hari ini.” “Lho? bukannya udah?” “Nggak jadi. Nggak ada lo nggak seru.” Dinar tersenyum. Baru kali ini dia merasa penting dan diharapkan. Begini rasanya punya sahabat, kalau dia nggak ada, maka yang lain tak akan merasa bahagia saat merayakan sesuatu. “Gimana, Din? Bisa, nggak? Ntar ada si cowok-cowok juga, lho.” Seketika bola mata Dinar berbinar. “Hmm, gue siapsiap dulu, deh. Kita mau ke mana emang?” Bianca lalu menyebutkan tempat di mana mereka akan bertemu. Dinar langsung mengiyakan dan janji akan datang, segera setelah telepon ditutup. Dinar mandi kilat, ganti baju dan sedikit berdandan. Yah, konsepnya memang tetap hanya pakai bedak tipis dan

Mobil, Bokap, Gue

25


cologne bayi, sih. Tapi Dinar tetap bisa merasa keren dengan style-nya seperti itu. Dinar sudah bertekad, pokoknya dia akan turun minta ditemani Ibu buat minta maaf ke Ayah, minta uang jajan, dan langsung cabut. Namun, ketika dia sudah turun, rumah terlihat sepi sekali. “Mbok, Ibu mana?” tanyanya pada si Mbok yang sedang menyapu halaman. “Lagi ke rumah Bu Rina nganter uang arisan katanya, Mbak.” Dinar mendengus kesal. Ibu itu kalau udah ngobrol bisa lamaaa banget. Dan, Dinar tahu, dia nggak akan berhasil meminta maaf pada Ayah tanpa Ibu. Sama saja menyodorkan diri ke mulut macan untuk dijadikan makan malam. Tapi, jika harus menunggu Ibu pulang, Dinar bisa terlambat datang menemui Bianca dan yang lainnya. Dinar memutuskan dia akan berangkat dulu menyusul Bianca. Soal minta maaf, itu akan dilaksanakannya sepulang dari acara bersama Bianca dan kawan-kawan nanti. Sebuah pesan di WhatsApp masuk. Dari Bianca yang isinya cuma kata ‘Cepetan!’. Cepat-cepat Dinar mengirim SMS pada mang Dirman, tukang ojek langganannya itu untuk menunggunya di tanah kosong yang letaknya agak jauh dari rumah. Ketika sampai di ruang tamu, Dinar lagi-lagi bertemu

26

Halluna Lina


si Mbok. “Mbok, pokoknya jangan bilang-bilang sama Ibu atau Ayah kalau saya pergi, ya. Janji, lho.” Si Mbok cuma mengangguk-angguk patuh pada perintah nona majikannya tersebut. Ketika melewati garasi yang tertutup, Dinar berhenti sejenak, dan berjalan mengendapendap, memastikan bahwa Ayah nggak melihatnya. Dinar membuka pagar perlahan, meskipun derit pertanda umur pagar yang sudah uzur tetap terdengar, tapi Dinar bisa melewatinya. Dinar kemudian menutupnya dengan hatihati. Begitu pagar sudah ditutup, Dinar bergegas lari menuju tempat Mang Diman menunggu dan memikirkan alasan apa yang harus dia sampaikan jika nanti dia ketahuan.

Ketika sampai di cafe yang sudah diberitahukan Bianca sebelumnya, Dinar langsung terkagum melihat deretan mobil yang terparkir di depannya. “Yey, Dinar superb datang.” Bianca menyambut kedatangan Dinar dengan wajah secerah lampu neon. Dinar hanya malu-malu. Dinar melihat sebuah mobil baru diparkir. Bram keluar dari dalam mobil tersebut. Dia berjalan mendekati Geng Cantik dan Dinar. Dinar langsung terkesan dengan Bram. Cowok itu mengangkat dagunya. “Hai, guys?”

Mobil, Bokap, Gue

27


“Cie-cie, mobil baru—” ledek Bianca sambil senyumsenyum. Bram menggaruk belakang kepalanya. “Eh, udah pada lihat?” Dinar sedikit bingung dengan kalimat Bram ini. Mobil segede alaihim gambreng gitu masak iya nggak bisa kita lihat? “Iya, dong. Gimana, kalian mau lihat kecanggihannya?” Bianca cs dan Dinar sontak bertepuk tangan semangat. Bram langsung menyalakan alarm mobilnya lalu masuk menyalakan mobilnya.Serentak, terdengar ‘wuaaa’ panjang. “Platnya inden, ya, Bram? Mahal banget kan nih.” Bianca menunjuk plat mobil Bram. B 12 AM. Helen dan Nadia berteriak heboh. “Modifnya juga gila, nih.” Bianca berdecak kagum. “Iya, dong. Mobil ini khusus buat racing. Tarikannya mantap, deh.” Bram tersenyum bangga. “Eh, bentar, gue nyamperin anak-anak dulu, ya. Ntar balik lagi.” Cowok itu kemudian berjalan menuju gerombolan cowok-cowok lain. Dinar dan Bianca cs masih terkagum-kagum melihat mobil Bram yang tampak paling kinclong di antara mobil lainnya. Saat sedang penuh kekaguman itu, supir Bianca menghampiri. “Non, Ibu tadi telepon katanya suruh pulang sekarang,” “Hah? Masih jam segini, Pak. Mami nggak lihat jam

28

Halluna Lina


apa?” Bianca menunjuk-nunjuk jam tangannya yang ber­ warna pink. “Soalnya, habis ini saya disuruh nganterin Ibu ke bandara.” Gadis berwajah tirus itu berdecak sebal. “Pesawat Mami masih tiga jam lagi. Tunggu satu jam lagi deh, pak.” Pak Mur masih belum mau beranjak. “Setengah jam.” Pak Mur bergeming. Bianca menghembuskan napasnya. “Lima belas menit, deh. Saya mau ngobrol sebentar lagi.” Sopir Bianca mengangguk, kemudian berjalan kembali ke mobil. “Nggak enak bawa supir. Suka nggak bebas.” Helen dan Nadia mengangguk. Bianca mendengus. “Enak, ya, yang dibolehin bawa mobil sendiri. Coba di antara kita ada yang bisa nyetir. Pasti lebih seru.” Nadia kemudian ngomong dengan angkuh. “Hmm, gue, sih dulu sempat bisa nyetir. Cuma gara-gara gue sempet nabrakin Volvo kakak gue ke tiang listrik, nyokap ngelarang gue nyetir lagi.” Pandangan Bianca beralih pada Dinar. “Eh, Din, lo bukannya ada dua mobil, ya?” Dinar mengangguk.

Mobil, Bokap, Gue

29


“Lo nggak pernah belajar nyetir gitu?” Dinar tertawa dipaksakan. “Ya, bisalah. Masa punya dua mobil tapi nggak bisa nyetir.” Aduh, Dinar! Lo ngomong apa barusan? Wajah Bianca, Nadia dan Helen langsung semringah. “Ya, tapi bokap suka pelit ngasih pinjam mobil. Jadi males gue.” Dinar mendengus, dan berdoa kalau alasan ini bisa berhasil. Bianca menggoyang-goyangkan pundak Dinar. “Kenapa lo nggak bilang dari dulu? Kan, bisa pakai mobil gue.” Tuh, kan, benar. Ngundang bencana ini namanya, Dinar mengaduh dalam hati. Dinar melambaikan tangan di depan wajahnya. “Gampanglah itu. Next time bisa diatur.” Bianca menjentikkan jari. “Kalau kayak gini ceritanya, udah pasti kita bisa berangkat liburan bareng tanpa sopir!” Helen dan Nadia menoleh bersemangat. Senyum lebar langsung tercetak di wajah keduanya. “Kemana kita, Bi?” tanya Helen semangat. “Yang jauh sekalian, Bi!” lanjut Nadia. “Itu gampang kita pikirin lagi ntar. Yang penting sekarang kita punya Dinar yang bisa nyetir. Ah, seneng banget gue.” Bianca bertepuk tangan. Dinar menelan ludah.

30

Halluna Lina


“Hai, kalian ngebahas apa, sih, girls? Bagi-bagi, dong.” Bram muncul dari balik punggung Bianca. “Ini lho, Bram. Si Dinar ternyata jago banget nyetirnya,” sahut Helen semangat. Dinar melotot melihat Helen, sejak kapan bisa sama artinya dengan jago? Tanpa dia sadar ternyata Bram sedang menatap Dinar dengan tatapan kagum. Senyumnya mengembang. “Serius? Kok, nggak pernah bilang?” Mata Dinar mengerjap-kerjap. Bagaimana caranya bilang, “Bo’ong deng, gue nggak bisa nyetir sama sekali” sambil tertawa dan tanpa dihujat oleh Bianca cs dan Bram? Bianca melipat tangannya. “Seandainya gue yang bisa nyetir, pasti bisa bantuin Bram buat jadi navigator di balapan nanti.” Dinar mengerutkan kening. “Navigator apaan?” Bram tertawa kecil. “Kita-kita suka nyasar pas balapan. Nah, fungsi navigator itu adalah buat mastiin kita ngambil jalan atau arah yang benar. Begitu.” “Kalau cuma buat nunjukin jalan doang, mah, nggak perlu punya kemampuan nyetir segala, dong. Gue juga bisa,” celetuk Nadia diiringi senyum malu-malu. Bram menggeleng. “Nggak bisa gitu, dong. Navigator itu harus bisa masukin trik nyetir dan semacamnya supaya

Mobil, Bokap, Gue

31


bisa mencapai garis finish duluan. Jadi lebih asyik kalau navigatornya bisa nyetir juga.” Dinar jadi membayangkan bagaimana rasanya menjadi navigator Bram. Berada di dalam mobil berduaan dan sedang balapan. Pasti keren! Jangankan nunjukin jalan biar sampai ke garis finish, nujukkin jalan ke hati gue juga gue mau, pikir Dinar. Bahu Dinar ditepuk Bianca.“Din, pokoknya lo musti janji, ya. Saat kita berangkat liburan nanti, lo yang bakalan nyetir. Oke?” Bayangan Dinar buyar. Tapi buru-buru Dinar meng­ acungkan jempolnya. “Sip!” Kalau kebohongannya bisa membuat dia bisa menemani Bram balapan, maka Dinar nggak ingin mengaku. Kesempatan ini nggak boleh dia sia-siakan. Sekarang, Dinar tinggal memikirkan, bagaimana caranya agar dia bisa menyetir dalam waktu singkat.

32

Halluna Lina


YUK BACA KELANJUTAN CERITA

MOBIL, BOKAP, GUE

tersedia di toko buku atau pesan online di @MIZANSTORE

mizanstore.com

www.yes24.co.id

@BUKABUKU 021 - 4252263 support@bukabuku.com

@BUKUKITA

0838 7000 9010 sales@bukukita.com

@PENGENBUKU

pesanpengenbuku@gmail.com



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.