BERCERMIN
DARI
JEPANG, PENDIDIKAN KARAKTER:
KERJA SAMA Vs KOMPETISI Risnandar Dept. of Computer Science and Electrical Engineering, Kumamoto University, Japan
Masih hangat dalam ingatan penulis, di saat penulis berada di level pendidikan Sekolah Dasar (SD) kelas 3 pada tahun 1992 saat hampir seluruh anggota DPR/MPR secara aklamasi menyetujui dan melantik Presiden Soeharto menjadi Presiden RI yang ke-4 kalinya. Pemerintah RI menjalankan seluruh aspek kehidupan Di-Pol-Ek-Sos-Bud-Han-Kam (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan, dan Keamanan) diarahkan dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Hingga saya lulus SMP tahun 1995/1996 penataran P4 pun masih diterapkan. Dengan adanya penataran P4 ini diharapkan akan terbentuk manusia Indonesia seutuhnya yang cinta tanah air, memiliki kesantunan, dan kepedulian sosial terhadap sesama manusia dan juga lingkungan di sekitarnya. Di era reformasi bergulir sejak 21 Mei 1998 hingga saat ini P4 dihapuskan dan digantikan dengan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) hingga berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Masih ingat bukan? Apa yang terjadi? Sebagian besar penataran P4/PMP/PPKn/Pkn tersebut hanya sebatas mendapatkan “nilai” di selembar sertifikat atau buku laporan pendidikan di sekolah, tidak ditargetkan untuk memberikan efek pada “nilai-nilai” kehidupan sebenarnya. Sehingga setiap siswa harus berjuang keras untuk mendapatkan “nilai” dan cenderung “berkompetisi” dengan temannya untuk mendapatkan ranking di kelasnya dengan cara apapun. Persoalan karakter bangsa ini bukan hanya persoalan Indonesia, termasuk negara maju seperti Jepang, tempat penulis menimba ilmu sekarang.
Menurut Thomas Lickona [1] ada 6 pilar karakter penting dalam kehidupan manusia, di antaranya: Trustworthiness (berintegritas/jujur/loyal), Fairness (pemikiran terbuka dan tidak memanfaatkan orang lain), Caring (sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain/kondisi sosial lingkungan sekitar), Respect (menghargai/menghormati orang lain), Citizenship (sadar hukum/peraturan/peduli terhadap lingkungan alam), Responsibility (bertanggung jawab/disiplin/melakukan yang terbaik). Dengan demikian, pembentukan karakter seseorang melalui jalur pendidikan mutlak diperlukan, mulai dari lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat dengan meneladani orang lain atau tokoh yang memang patut untuk dijadikan teladan. Walaupun penulis sendiri berkecimpung di dunia ilmu keteknikan, khususnya di bidang teknologi informasi, penulis sangat senang untuk berkecimpung di dunia pembentukan karakter di setiap jenjang pendidikan yang dapat mengadopsi dari sistem pendidikan di Jepang terkait pembentukan karakter ini. Berbagai aktivitas terkait pembentukan karakter, yang salah satu aktivitas yang penulis ikuti selama di Jepang ini di antaranya program The 4th Global Work Camp (GWC) yang diselenggarakan oleh Kumamoto City International Center (KCIC) dan juga disponsori oleh perwakilan The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di Jepang. GWC ke-4 ini dilaksanakan di sebuah camp National Isahaya Youth Nature Hall, Nagasaki
pada tanggal 16-19 September 2016 yang menghadirkan kolaborasi 50 mahasiswa Jepang dan 50 mahasiswa international bertujuan untuk membangun karakter, kerja sama dan konektivitas generasi muda untuk menjembatani masa depan yang lebih cerah. Acara tersebut terdiri dari 5 tim, tim tersebut di antaranya (1) Multicultural Society, (2) Society, Myself, and Volunteer, (3) Live Activity, (4) Earth and Nature, dan (5) Childhood Education. Setiap tim terdiri dari berbagai mahasiswa Jepang dan internasional.
BIODATA PENULIS
RISNANDAR Institusi: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Program: Ph.D di Dept. of Computer Science and Electrical Engineering, Kumamoto University, Jepang Email: risnandar01@gmail.com Line/WA: +81-80-5245-6226 Facebook: NFN Risnandar
Dalam program GWC ke-4 tersebut penulis bersyukur sudah terseleksi sebagai peserta dari sekian banyak mahasiswa internasional di Jepang yang mengirimkan aplikasi. Kebetulan penulis memilih tim Childhood Education. Praktisnya, kami adalah sebuah tim yang solid bagaimana kami membentuk karakter pada komunitas anak-anak, tempat bermain/lahan terbuka, sistem pendidikan, dan lingkungan
yang mendukung masa depan generasi muda yang saat ini m a s i h anak-anak, sebagaimana jargon dalam GWC ke-4 tersebut, “Bond and
Bridge for Bright Future”. Penulis sendiri sangat merasakan pengalaman berharga tentang pembentukan karakter ini. Penulis sadar bahwa mendidik atau membentuk karakter anak ketika sudah besar ibarat meluruskan sebuah pohon yang bengkok, hasilnya akan patah atau sulit diubah dan karakter baik/buruk itu sifatnya akan menye-
bar. Dalam acara GWC ke-4 tersebut, pembelajaran ilmu pengetahuan dengan pendekatan keterampilan pada proses, story telling/inquiri, dan problem solving akan menanamkan sikap positif yang mengarah pada pembentukan karakter seorang anak yang kuat. Sikap yang memiliki unsur 6 pilar pembentukan karakter seperti kedisiplinan, kecermatan, ketekunan, ketelitian, dan kejujuran dalam beraktivitas sehari-hari, secara bertahap akan membentuk karakter positif pada siswa usia dini.
Faktanya, penulis sendiri memiliki anak perempuan berusia 2 tahun dan disekolahkan di Hoikuen (day care) sudah terlihat pembentukan karakter positifnya, seperti menjadi percaya diri, mandiri saat memakai baju, memakai sepatu dan membukanya, membawa tas ke sekolah, dan selalu membudayakan “kerja sama” serta sangat dihindarkan untuk bersikap “kompetisi” dengan teman-teman lainnya dalam hal apapun
Metode pembelajaran roll playing [2], [3] yang berupa sejenis permainan gerakan yang memiliki tujuan, aturan dan melibatkan unsur kesenangan. Di sini anak dapat bermain peran (acting) yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu “pertunjukan” di dalam sebuah aktivitas di kelas indoor/outdoor. Selanjutnya siswa yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap kelebihan dan kekurangan suatu peran dan memberikan saran/pendapat terhadap peran tersebut. Tidak dipungkiri lagi bahwa pembentukan karakter siswa di Jepang sudah dibentuk sejak anak usia dini mulai dari lingkungan rumah hingga di sekolah seperti Hoikuen (day care), Youchien (TK), Shōgakkō (小学 校)/SD, Chūgakkō (中学 )/SMP, Kōtōgakkō (高等学 校) disingkat kōkō (高校)/SMA. Di sekolah, peranan guru sains tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga memperkuat aspek-aspek sikap, karakter, dan keterampilan pada siswanya. Faktanya, penulis sendiri memiliki anak perempuan berusia 2 tahun dan disekolahkan di Hoikuen (day care) sudah terlihat pembentukan karakter positifnya, seperti menjadi percaya diri, mandiri saat memakai baju, memakai sepatu dan membukanya, membawa tas ke sekolah, dan selalu membudayakan “kerja sama” serta sangat dihindarkan untuk bersikap “kompetisi” dengan teman-teman lainnya dalam hal apapun. Semoga artikel singkat ini memberikan manfaat kepada pembacanya. Kritik dan saran sangat kami tunggu untuk perbaikan artikel ini ke email: risnandar01@gmail.com. Sukses selalu untuk studi kita selama di Jepang ini. Ganbarimashou! Referensi [1] Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, Bantam Trade, 1992. [2] Hadfield, Jill, Beginners’ Communication Games, Longman, 1987. [3] Hadfield, Jill, Advanced Communication Games, Pearson Education, Longman, 1996.
Memulai Proses Pendidikan dari Perpustakaan oleh: Hairi Cipta, Kyoto University
Perpustakaan Nakajima di Akita International University (sumber: http://www.tohokuandtokyo.org/)
Sebagai mahasiswa yang menempuh pendidikan di negeri sakura, perpustakaan adalah salah satu fasilitas yang dapat membuat kita berdecak kagum. Koleksi buku fisik yang lengkap, kenyamanan perpustakaan, integrasinya dengan perpustakaan lain, langganan jurnal yang lengkap, dan layanan-layanan lainnya cukup membuat kita terkagum-kagum dengan bagaimana Pemerintah Jepang mencurahkan perhatiannya pada pendidikan. Hal-hal tersebut dapat juga kita dapatkan di perpustakaan sekolah-sekolah dasar dan menengah, serta di fasilitas umum lainnya. Di Jepang, tidak sulit menemukan perpustakaan umum kota, perpustakaan di museum, bahkan perpustakaan di sport center. Rasanya tidak bisa punya buku bukan alasan untuk tidak membaca. Fakta ini membuktikan seakan-akan tidak ada habisnya jika membahas komitmen Jepang terhadap pendidikan untuk warganya, salah satunya melalui fasilitasi budaya membaca.
Lalu ingatan saya kembali ke tanah air, melayang ke satu tahun yang lalu. Ketika penulis dan beberapa teman melaksanakan tugas pengabdian1 di dusun Teganing 1, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo berada di provinsi yang sering dikenal dengan kota pendidikannya, Yogyakarta. Betapa herannya kami ketika mengetahui bahwa satu-satunya sekolah dasar di dusun tersebut, SD Negeri Proman, tidak memiliki fasilitas perpustakaan yang benar-benar difungsikan layaknya perpustakaan alih-alih lebih menyerupai gudang. Kami berdiskusi lebih lanjut dengan kepala sekolah dan para perangkat desa. Ada satu kesamaan pandangan di antara semuanya. Mereka menginginkan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak di dusun Teganing 1. Hal ini membuat kita terenyuh, bagaimana mungkin bisa mengupayakan melek membaca jika di tingkat sekolah dasar saja, belum semuanya memiliki perpustakaan yang layak.
Kasus yang kita temui di perpustakaan SDN Proman ini hanyalah satu dari kasus yang menunjukkan bahwa masih belum layaknya kondisi perpustakaan di Indonesia atau bahkan belum memiliki fasilitas perpustakaan. Anggaran dari APBN untuk pengelolaan perpustakaan masih terbilang kecil, yaitu sebesar 705 milyar rupiah. Sementara idealnya anggaran untuk pengelolaan perpustakaan adalah 5 triliun rupiah2. Ketika fasilitas perpustakaan masih kurang memadai, sangat sulit untuk mengajak masyarakat untuk rajin mengunjungi perpustakaan. Masalah ini dapat kita kaitkan dengan masih rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia. Berdasarkan studi tentang The World’s Most Literate Nations (WMLN) yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca3,4. Padahal, ada hubungan erat antara budaya membaca dan kemajuan suatu negara. Anies Baswedan, mantan Mendikbud RI, mengatakan bahwa minat membaca akan berbanding lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan di Tanah Air5.
BIODATA PENULIS
HAIRI CIPTA PROGRAM MASTER, DIVISI FOREST AND BIOMATERIALS SCIENCE, KYOTO UNIVERSITY, JAPAN E-MAIL: cipta.hairi@gmail.com
Sebuah studi menunjukkan bahwa anak-anak yang sejak usia dini sudah memiliki kemampuan membaca yang baik, maka pada usia remaja akan memiliki penalaran verbal dan non-verbal yang lebih baik6. Oleh karena itu, menumbuhkan kecintaan terhadap membaca sejak usia dini sangat bermanfaat. Sehingga sangat penting untuk mengupayakan keberadaan perpustakaan. Inilah yang menjadi tugas kami saat itu. Meskipun dengan segala keterbatasan, kami mencoba mewujudkan impian adik-adik siswa dan guru-guru SDN Proman. Kami tergerak untuk melakukan sebuah gerakan kecil dengan menyulap ruangan perpustakaan yang menyerupai gudang tadi menjadi perpustakaan sesungguhnya. Sejumlah renovasi kami lakukan untuk memastikan perpustakaan ini bisa dinikmati bersama. Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya lahirlah perpustakaan yang kami namakan “Bale Sinau�. Kata Bale Sinau berasal dari bahasa Jawa, di mana Bale berarti rumah dan Sinau berarti belajar. Nama ini sendiri menjadi sebuah harapan besar bagi kami, agar siswa-siswa bisa menjadikan perpustakaan ini seperti rumah sendiri dan digunakan untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
Relawan Bale Sinau bersama dengan siswa-siswi SDN Proman (Foto: Rachmat Lianda)
Selain Bale Sinau, banyak juga anak-anak muda negeri ini yang peduli dengan mengupayakan pembangunan perpustakaan di seluruh penjuru tanah air. Gerakan kolektif ini adalah sebuah sinyal positif yang harus selalu kita dukung untuk generasi yang lebih baik ke depannya. Dukungan demi dukungan untuk mendukung gerakan ini juga sangat baik. Selanjutnya, bagaimana mendapatkan buku untuk mengisi perpustakaan rintisan tersebut. Perpustakaan tanpa buku bagaikan sayur tanpa garam. Ketika ruang fisik perpustakaan sudah ada, pengadaan buku adalah hal yang diupayakan selanjutnya. Ada berbagai cara untuk mendapatkan buku. Mengumpulkan donasi buku dengan berbagai pihak adalah langkah yang cukup efektif. Walaupun berupa buku bekas, terdapat banyak buku yang masih layak digunakan dari donasi berbagai individu. Langkah lainnya adalah bekerjasama dengan perusahaan yang memiliki program CSR (Corporate Social Responsibility). Biasanya perusahaan memiliki program CSR di bidang pendidikan, di mana pengadaan buku termasuk di dalamnya. Cara lainnya adalah melakukan kerjasama dengan penerbit buku. Ini adalah beberapa cara yang
cukup efektif untuk mengisi rak-rak perpustakaan agar segera menemukan para penghuninya. Tentunya niat baik seperti ini tidak cukup dikerjakan sendirian. Jika kita mau mengajak orang lain, penulis kira banyak yang akan tergerak untuk ikut berkontribusi. Dengan adanya perpustakaan Bale Sinau, siswa-siswi SDN Proman kini memiliki peluang lebih besar melihat dunia melalui buku yang mereka baca. Ada beberapa kategori buku yang disediakan yaitu buku pelajaran sekolah, buku latihan soal, buku cerita, dan ilmu pengetahuan umum. Sungguh ada rasa bahagia dan haru ketika melihat mereka antri untuk meminjam buku di perpustakaan. Biasanya saat kami mengunjungi mereka pada hari Sabtu, giliran anak kelas 1 yang antri pencatatan untuk peminjaman buku. Penulis berharap ini adalah langkah awal yang baik untuk mereka dalam membiasakan membaca sehingga nantinya mereka bisa menjadi generasi-generasi cerdas yang akan ikut berkontribusi membawa Indonesia ke derajat yang lebih baik. Ini hanyalah salah satu contoh kondisi perpustakaan di salah satu daerah di pulau Jawa. Bagaimana dengan kondisi adik-adik kita di tempat yang jauh lebih terpencil?
Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo, meninjau perpustakaan Bale Sinau sesaat setelah peresmian perpustakaan - foto original juga dilampirkan dalam email yang sama dengan artikel ini (Foto: Rachmat Lianda)
Tidak cukup hanya dengan adanya fasilitas perpustakaan, penulis rasa perlu adanya usaha untuk membudayakan membaca sejak dini dari lingkup keluarga. Keluarga adalah tempat yang tak tergantikan untuk memulai proses pendidikan. Kenalkan buku-buku kepada anak-anak sejak usia dini agar secara perlahan kecintaan mereka kepada buku dapat bertumbuh. Di Hari Pendidikan Nasional di tahun 2017 ini, semoga komitmen bersama untuk meningkatkan budaya literasi semakin meningkat. Tidak hanya pemerintah, siapa saja bisa menginisiasinya. Semua orang yang ingin bangsa ini cerdas. Makin banyak yang terlibat dalam gerakan ini tentu akan semakin baik. Siapa yang akan mengira bahwa si A yang tinggal di salah satu pulau di kepulauan Nusa Tenggara bisa menjadi Presiden RI. Atau si B yang berasal dari pedalaman Kalimantan bisa menjadi Sekjen PBB. Atau si C yang pertama kali menamatkan buku cerita pertamanya di perpustakaan Bale Sinau SDN
Proman bisa menjadi CEO perusahaan multinasional terkemuka. Biarkan buku-buku berkelana ke pelosok negeri agar bisa menemukan tangan-tangan para calon agen perubahan penting di masa depan. Keterangan: Gerakan sosial Menyapa Indonesia yang diinisiasi oleh para penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) 2 http://www.solopos.com/2015/11/08/kondisi-perpustakaa n-butuh-rp5-triliun-untuk-maksimalkan-semua-perpustak aan-di-indonesia-659179 3 http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/ minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia 4 http://webcapp.ccsu.edu/?news=1767&data 5 http://news.okezone.com/amp/2015/03/25/65/1124236/a nak-indonesia-paling-malas-baca-buku 6 http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-2703106/ Reading-young-age-makes-smarter.html 1
Pojok Riset
Rubrik Pojok Riset kali ini akan membahas singkat riset dari Naufal Rospriandana (Hokkaido University) yang bertemakan potensi hidropower skala kecil di Indonesia. Hidropower atau pembangkit listrik tenaga air dengan skala kecil biasanya berpotensi terdapat di daerah pegunungan. Daerah pegunungan yang terisolasi dan rumitnya karakteristik hidrologi merupakan tantangan untuk dapat mengembangkan potensi hidropower. Dengan krisis energi yang ada di Indonesia disertai dengan kebutuhan energi yang meningkat terutama di daerah pedesaan, penyediaan energi alternatif menjadi sangat penting. Hidropower, terutama dalam skala besar, telah banyak digunakan di negara lain untuk penyediaan energi alternatif. Namun, hidropower skala besar membutuhkan penyediaan infrastruktur yang memadai dan tidak jarang menimbulkan masalah sosial-ekonomi. Sebagai alternatif, hidropower skala kecil dapat dipilih untuk meminimalkan dampak lingkungan sekaligus menyediakan solusi energi yang bersih dan dapat diandalkan.
Dengan krisis energi yang ada di Indonesia disertai dengan kebutuhan energi yang meningkat terutama di daerah pedesaan, penyediaan energi alternatif menjadi sangat penting.
Riset oleh Naufal dari Hokkaido Univeristy ini mengukur potensi pengembangan hidropower skala kecil dengan menggunakan pendekatan GIS (geographic information system) serta pemodelan hidrologi. Variable yang digunakan dalam riset ini adalah model elevasi, penggunaan lahan, jenis tanah, curah hujan, kelembapan, suhu, penyinaran matahari, dan volume aliran air sungai. Parameter tersebut diolah menggunakan metode SWAT (Soil and Water Assessment Tools) pada ArcGIS. Lokasi potensial untuk pengembangan hidropower skala kecil dipilih pada daerah dengan karakteristik tiga karakteriski. Pertama, daerah pada orde sungai lebih besar dari 2. Kedua, beda tinggi lebih dari 10 m. Ketiga, jarak antar lokasi potensial adalah kurang lebih 1 km. Daerah Ciwidey sendiri dipilih Naufal sebagai area studi
PENULIS PAPER : Naufal Rospriandana UNIVERSITAS: Hokkaido University E-MAIL : naufalrospriandana@gmail.com LINK KE PAPER TERKAIT :
https://www.jstage.jst.go.jp/article/hrl/11/1/11_6/_pdf
PENYUNTING : Sanjiwana Arjasakusuma
karena volume aliran yang cukup besar ditunjang dengan curah hujan yang cukup tinggi. Hasil dari riset ini menunjukkan terdapat sembilan area potensial untuk pengembangan PLTAâ€ƒďźˆpembangkit listrik tenaga air) skala kecil di Ciwidey. Pemodelan hidrologi juga menunjukkan bahwa Ciwidey dapat menyediakan potensi listrik sebesar 762 - 1722 kW yang bergantung dengan musim. Metode yang digunakan pada penelitian ini mampu untuk memetakan daerah dengan potensi hidropower beserta kapasitas yang dapat dihasilkan. Penggunaan metode ini dapat meningkatkan peluang untuk mengatasi krisis energi di area pedesaan dengan mengembangkan hidropower skala kecil.
LOREM IPSUM
DINNI ARYANI
Berprestasi tanpa BEASISWA
Kuliah di Luar Negeri, tak terkecuali Jepang, umumnya identik dengan beasiswa yang biasanya banyak menyertai mahasiswa yang menimba ilmu di sini. Perihal beasiswa ini tentu sangat berguna untuk mendukung keuangan pelajar. Mulai dari kehidupan sehari-hari, hingga menyokong kebutuhan riset yang dilakukan sehingga riset bisa lebih optimal. Namun, dapatkah belajar optimal tanpa beasiswa? Profil inspirasi kali ini akan mengangkat tentang salah seorang pelajar Indonesia yang berprestasi di Jepang meskipun pada awalnya tidak mendapatkan beasiswa. Dinni Aryani adalah mahasiswi tahun kedua program Magister di Faculty of Agriculture, Departement of Biological and Environmental Science, Shizuoka University. Tidak seperti mahasiswa Indonesia di Jepang lainnya, yang dari awal studinya mendapatkan Dinny mempresentasikan penelitiannya tentang tanaman tomat beasiswa, Dinni harus menghadapi kenyataan dengan seringnya penolakan aplikasi beasiswanya. Demi mengejar impiannya, Dinni pun berangkat ke Jepang mengikuti sekolah bahasa dengan biaya sendiri. Sesampainya di Jepang, dia bertekad untuk tidak merepotkan orang tuanya dengan uang sehari-hari dan bekerja paruh waktu sambil bersekolah bahasa. Uang hasil kerja nya lalu digunakan untuk kehidupan sehari-hari, membayar sekolah bahasa dan juga mewujudkan mimpinya melanjutkan kuliah di Jepang.
Impian untuk melanjutkan kuliahnya ke jenjang lebih tinggi di Jepang terwujud ketika proposal risetnya diterima oleh salah seorang professor di Shizuoka University dengan menjadi research student terlebih dahulu. Kerja kerasnya juga terbayar ketika Dinni mendapatkan beasiswa ABP (Asia Bridge Program) untuk studi pasca sarjananya selepas menjadi research student. Dengan ditempa oleh pengalaman dan kerja kerasnya, hasil riset Dinni tentang tanaman “Solanaceae” (misalnya tanaman tomat, cabai, tembakau, terong dan kentang) mendapatkan penghargaan sebagai The Best Poster di “The 13th Japan Solanaceae Consortium (JSOL) 2016” yang diselenggarakan di ICU (International Christian University) Mitaka, Tokyo pada 25 November 2016 lalu. konsorsium penyelenggara konferensi ini terdiri dari berbagai pihak perusahaan, peneliti dan pelajar di Jepang maupun dari negara lain, yang
berhubungan dengan tanaman “Solanaceae”. Alumni Fakultas Pertanian dan Peternakan, Program Studi Agroteknologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau ini akan menyelesaikan kuliah S2-nya pada September nanti. Dari Dinni, kita semua belajar banyak hal terutama untuk pantang menyerah dalam mengejar impian. “Allah tidak menciptakan gen “pantang menyerah” dalam menciptakan kita. Karena itu teruslah optimis dalam menjalankan dan menyelesaikan apa yang telah menjadi pilihanmu. Berterimakasihlah kepada mereka yang selalu berkomentar rendah-tentang mimpi tinggimu. Karena dari sana kamu akan lebih termotivasi untuk menggapai mimpimu yang tinggi itu. Mereka bukan penentu, tapi dengan doa, tekad dan usaha kerasmu yang akan menentukan bisa atau tidak kamu meraihnya”. (Dinni Aryani, Scholar of December 2016, PPI Jepang)
Dinni Aryani Shizuoka University “Allah tidak menciptakan gen “pantang menyerah” dalam menciptakan kita. Karena itu teruslah optimis dalam menjalankan dan menyelesaikan apa yang telah menjadi pilihanmu.