PPI Jepang
Spring 2021
Majalah Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang
SPRING EDITION
Jepang Negeri Seribu Vending Machine oleh Eveline Stella Budiman
Spot Hanami Terbaik di Jepang oleh Laila Azzahra
Menuju Jepang Netral Karbon 2050 oleh Addo Bari Alifathin
Photo by Shane Aldendorff on Pexels
Tim Pengurus
Pemimpin Redaksi
Desainer Utama
Ghafi Reyhan
Ridho Ahmad Pratama
Redaktur I Moudisha Zeeva
Redaktur II Addo Bari
Editor Pendamping Eveline Stella Budiman
Penulis & Kontributor Addo Bari Ghafi Reyhan Laila Azzahra Moudisha Zeeva Eveline Stella Budiman Viqqi Kurnianda
Desainer Bhaswara Maralaut Putri Shadeeqa Purnajaya Safira Marini Wikantyaningsih Vincent Haryawan
iii
Daftar Isi
II Pembuka III
Tim Penyusun
IV
Daftar Isi
1
Nilai Sebuah Nobel Ghafi Reyhan
3 IPTEK untuk Kehidupan Manusia 5
Mengenal J-Alert: Teknologi Peringatan Bencana di Jepang Addo Bari Alifathin
7
Peran Bioteknologi dan NanoBioteknologi bagi Kehidupan Viqqi Kurnianda
13 Menuju Jepang Netral Karbon 2050 Addo Bari Alifathin
iv
17 Relung Sakura 19 Budaya Pulang Kerja para Salaryman di Jepang Eveline Stella Budiman
21 Pacaran di Jepang: Perbedaan dan Persamaan Ghafi Reyhan
23 Jepang Negeri Seribu Vending Machine Eveline Stella Budiman
25 Spot Hanami Terbaik di Jepang Laila Azzahra
29 Mengenal Festival Api Ougiyama Laila Azzahra
31
45
PPIJ Bergerak
Alunan Aksara
33 PPIJ dalam Gambar
47 Satu Babak di Toko Serba Ada
Kolase Foto Kegiatan 3 Bulan PPIJ
Moudisha Zeeva
35 Selangkah Lebih Dekat: Japan Muslim Welfare
49 Lesung Purnama Ghafi Reyhan
Moudisha Zeeva
1
v
Nilai Sebuah Nobel oleh Ghafi Reyhan
“Nobel Prize Medal in Chemistry” by Adam Baker on flickr.com is licensed under CC 2.0 Converted into grayscale and sliced into 4 pieces
1
Bila Nobel memang memiliki bias terhadap Barat, mengapa lebih dari satu ilmuwan non-Barat seperti Amartya Sen dan beberapa kimiawan Jepang berhasil mendapatkan Nobel? Atau, kalau memang keterbatasan fasilitas penelitian yang menjadi alasan utama, mengapa tidak melakukan penelitian di negeri-negeri yang lebih maju? Toh, banyak peraih Nobel non-Barat berafiliasi dengan universitas yang bukan dari negara asal mereka.
Sebagai seseorang yang telah menjomblo hampir tiga tahun, sebagian besar malam minggu dihabiskan bermain game bersama teman-teman sambil mengobrol dengan topik ngalor-ngidul; berkisar dari topik santai, semi-serius, dan kadang kala super serius. Suatu ketika, seorang teman melempar sebuah pertanyaan yang cukup menohok: “Memangnya sektor IPTEK dan sains Indonesia sebegitu terbelakang, sampai kita belum memiliki peraih Nobel?” Beberapa argumen yang terlampau konspiratif dapat diberikan untuk membalas pertanyaan ini, antara lain “Nobel adalah penghargaan Barat, pasti penerimanya juga orang Barat” ataupun “Sudah wajar, fasilitas riset Indonesia memang relatif di belakang negara-negara Barat.” Beberapa dari kalian mungkin menyadari bahwa kedua pernyataan di atas tidak terlihat sebagai jawaban yang baik, dan memang benar adanya bahwa kedua kalimat tersebut hanya bersifat sebagai dalil untuk menghindari pembahasan pertanyaan di atas. Tapi kita tidak akan melakukan hal tersebut di sini, melainkan mari kita sanggah argumen-argumen konspiratif yang tertera di atas terlebih dahulu.
Di sini, kita tidak akan terlalu membahas mengenai prasyarat peraih Nobel, namun lebih ke sifat sains, IPTEK, dan ilmu pengetahuan tersendiri. Dengan kata lain, apakah tepat perkembangan IPTEK dan pengetahuan suatu bangsa dinilai berdasarkan jumlah penghargaan yang diraih? Untuk menjawab ini, mari kita tilik kembali tujuan utama pengembangan sains dan ilmu pengetahuan. Mungkin ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, namun sepertinya semua bisa diringkas dengan satu kata: membantu, yaitu kapabilitas dan kemajuan ilmuwan suatu negara dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam menggunakan iptek untuk membantu masyarakat. Kemajuan teknologi suatu negara dapat dilihat dari kemampuan negara tersebut untuk menggunakan teknologi dalam mensejahterakan dan meningkatkan taraf hidup warga negara. Menggunakan pengertian ini, bila menilik sekelompok ilmuwan dan teknokrat yang kerap dijuluki “Berkeley Mafia”, maka tidak tepat untuk mengatakan bahwa IPTEK dan sains Indonesia terbelakang. Singkat kata, sophistication penelitian yang tinggi tidak memastikan kemajuan sektor IPTEK suatu bangsa, namun kemampuan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan demi kepentingan masyarakat banyaklah yang menjadi determinan akurat untuk menentukan kemajuan sektor iptek suatu bangsa. Dengan begitu, kami akan membuka Majalah Interaksi Edisi Spring 2021 dengan memaparkan berbagai teknologi yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat, sambil tetap memberikan pembaca sebuah kesempatan untuk mengintip kehidupan di Jepang melalui rangkaian kata-kata. Selamat membaca, dan selamat menikmati.
2
6
7
8
9
10
11
12
14
15
Photo by Alex Rainer on Unsplash
Budaya Pulang Kerja Para Salaryman di Jepang Oleh Eveline Stella Budiman Negara Jepang terkenal dengan etos kerjanya yang sangat tinggi dan penuh kedisiplinan. Inilah sebabnya mengapa kebanyakan orang Jepang menggunakan waktu bekerjanya seefektif mungkin dan jarang memiliki waktu untuk saling mengenal teman kerjanya. Saking disiplinnya mereka dalam bekerja, para salaryman di Jepang juga rela lembur tanpa dibayar demi menyelesaikan pekerjaannya, lho! Kebiasaan lembur ini memang ternyata sudah ada sejak tahun 1930, di mana kebanyakan dari masyarakat Jepang lebih memprioritaskan pekerjaan mereka dibandingkan keluarga dan kehidupan pribadi. Kebiasaan ini masih terbawa sampai sekarang, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah bagi warga Jepang untuk pulang kantor larut malam. Namun, ada satu hal yang unik dari kebiasaan para salaryman ini sepulangnya kerja. Berbeda dari masyarakat Indonesia yang biasanya akan langsung pulang ke rumah untuk beristirahat, kebanyakan para pekerja di Jepang lebih memilih untuk melepaskan penatnya di luar. Kira-kira apa ya yang para salaryman ini lakukan selepas bekerja?
19
Photo by Pema Lama on Unsplash
Minum Bersama Setelah melalui hari yang panjang di kantor, tentunya wajar-wajar saja bagi para salaryman untuk pergi bersenang-senang dan mengadakan nomikai. Nomikai ( 飲み会) adalah pesta minum yang sering diadakan orang Jepang, terutama di antara pegawai dari satu perusahaan yang sama. Acara yang memang identik dengan minum-minumannya yang beralkohol ini sangatlah sering diadakan di sebuah izakaya, tetapi tidak jarang juga para salaryman ini minum-minum di sebuah restoran. Tujuan utama dari kegiatan minum bersama ini adalah supaya para salaryman dapat lebih leluasa mengobrol dengan satu sama lain tanpa melulu harus membahas tentang pekerjaan. Mereka juga menggunakan kesempatan ini untuk mencicipi makanan-makanan di berbagai macam izakaya maupun restoran. Selain dapat menjadi cara bagi para salaryman untuk menghilangkan stress akibat pekerjaan, kegiatan ini juga menjadi salah satu sarana bagi mereka untuk mengakrabkan diri dengan pegawai lainnya. Banyak yang berpendapat bahwa orang Jepang membangun hubungan di tempat minum. Seperti yang kebanyakan dari kita sudah ketahui, masyarakat Jepang terkenal sebagai sosok yang pemalu. Orang-orang Jepang selalu memperhatikan tutur kata mereka dan cara mereka bertindak di sekitar orang lain, sehingga sulit bagi mereka untuk berbicara secara blak-blakan dan mengobrol secara personal dengan rekan-rekannya. Nah, kalau sudah minum sake atau minuman beralkohol lainnya, barulah mereka rileks dan lebih bisa banyak berbicara. Inilah kenapa kegiatan nomikai sering disebut-sebut sebagai alat komunikasi antar pegawai kantoran.
Photo by Alva Pratt on Unsplash
Photo by Pema Lama on Unsplash
Berkunjung ke Tempat Karaoke Semua orang tentunya tahu apa itu karaoke. Tapi, tahukah kamu kalau karaoke sendiri dipopulerkan dari Jepang? Karaoke adalah kegiatan pengisi waktu yang seru dan sangat populer bagi semua kalangan di Jepang, salah satunya adalah para pekerja kantoran. Karaoke adalah salah satu kegiatan yang paling cocok untuk menghabiskan waktu dan menghilangkan tekanan sehabis bekerja. Bahkan, tempat ini bisa dibilang menjadi salah satu destinasi yang wajib dikunjungi setelah pulang kantor. Dengan mengunjungi tempat karaoke, orang-orang Jepang dapat bernyanyi sepuas hati bersama teman-temannya dan melupakan beban pekerjaan mereka sejenak. Jelas terlihat bahwa tradisi after work di Jepang sangatlah berbeda dibandingkan dengan kebiasaan para pegawai kantoran di Indonesia. Penting untuk kita ketahui bahwa tingkat keamanan negara Jepang yang tinggi lah yang memungkinkan para salaryman untuk mempunyai budaya pulang kerja seperti ini tanpa rasa khawatir. Namun, walaupun Jepang memiliki kebiasaan pulang kantor yang sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia, tujuannya tetaplah satu, yaitu melepas tekanan dari pekerjaan dan untuk bersenang-senang walau hanya sesaat.
20
Photo by annintofu on Flickr
Pacaran di Jepang: Perbedaan dan Persamaan Oleh Ghafi Reyhan Gimana sih rasanya pacaran di Jepang? Atau bagaimana mencari pacar di Jepang? Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut sering menemani malam Minggu teman-teman mahasiswa Indonesia di Jepang, artikel ini tepat banget untuk menjawab rasa penasaran teman-teman mengenai dating culture di Jepang.
Goukon? Sama seperti di Indonesia, menemui seseorang yang tepat bisa terjadi di kantor, universitas, dan organisasi yang kita ikuti. Namun ada satu kegiatan unik yang biasanya jarang ditemukan di Jepang, goukon. Pada dasarnya, goukon adalah kegiatan hangout yang dilakukan oleh sekelompok pria dengan sekelompok perempuan. Biasanya, inti kegiatan goukon adalah makan dan minum bersama. Tidak jarang pula, kegiatan ini akan diikuti dengan acara lain seperti berkaraoke. Meskipun begitu, tujuan utama goukon tidak terbatas pada mencari pacar, tapi juga kerap digunakan untuk memperluas relasi dan mencari teman. Tentunya, bukan tidak mungkin asmara dan rasa sayang tumbuh dari pertemanan bukan?
21
Kencan Pertama? Kini, setelah menemukan orang yang tepat mari kita membahas tentang kencan pertama. Kencan pertama di Jepang terkesan lebih formal dan lazimnya dilakukan dengan makan di restoran. Yang perlu diingat, karena di Jepang kencan pertama dipandang cukup formal, maka jangan lupa untuk berpakaian rapi ya! Satu hal tambahan yang perlu diingat dan jarang dilakukan di Indonesia, pada kencan pertama teman-teman juga diharapkan untuk membawa sebuah hadiah kecil.
Kokuhaku? Jika berjalan lancar, kencan pertama akan menjadi awal bagi beberapa pertemuan mendatang yang bila setelah beberapa kali kencan kedua orang menemukan kecocokan, masyarakat Jepang akan melakukan kokuhaku yang bisa digambarkan sebagai kegiatan menyatakan perasaan. Salah satu hal paling penting yang harus diingat dalam kokuhaku adalah penggunaan bahasa. Ketika kokuhaku, kata Jepang yang lebih lazim digunakan adalah suki yang bermakna “suka” ketimbang aishiteru yang bermakna “cinta” dan lebih diasosiasikan pada pasangan-pasangan yang telah menjalin hubungan asmara jangka panjang. Photo by bantersnaps on Unsplash
Photo by Andre Benz on Unsplash
Dating Culture? Bahkan setelah kokuhaku, tetap ada beberapa norma dan aturan tak tertulis yang harus diikuti. Salah satu hal terpenting yang harus diingat dalam berinteraksi ketika berpacaran di Jepang adalah untuk menghindari menunjukkan kemesraan di tempat umum. Berbeda dengan budaya Barat, masyarakat Jepang menganggap menunjukkan kemesraan di tempat umum sebagai sebuah tabu karena tidak menghormati privasi dan norma sosial. Sebab itu, teman-teman akan jarang menemukan sejoli yang bergandengan tangan atau memberi kecupan di tempat umum di Jepang. Kini setelah teman-teman mengetahui seluk-beluk berpacaran di Jepang, semoga malam minggu teman-teman yang masih melajang tidak lagi diisi rasa penasaran mengenai seluk beluk berpacaran di Jepang yaa. Atau bahkan, mungkin bisa menjadi panduan bagi teman-teman untuk menjalin hubungan di Jepang! Referensi https://www.insider.com/differences-japanese-and-ameri can-dating-2018-2#online-dating-exists-but-is-not-huge ly-popular-7 https://theculturetrip.com/asia/japan/articles/dating-in-ja pan-the-culture-clashes-you-need-to-know/ https://questionjapan.com/blog/location-guides/japanes e-dating-culture/
22
Jepang Negeri Seribu Vending Machine Oleh Eveline Stella Budiman Photo by Catrina Farrell on Unsplash
Seperti yang kebanyakan orang ketahui, kenyamanan dan kepraktisan adalah dua hal yang sangat penting bagi masyarakat Jepang. Gaya hidup masyarakat Jepang yang serba modern dan praktis inilah yang menjadikan mesin penjual otomatis atau vending machine salah satu primadona konsumen di Jepang. Vending machine adalah sebuah mesin yang menjual benda-benda yang beragam, seperti makanan, minuman, rokok, mainan, payung, bahkan alat tes PCR. Kemudahan dan kepraktisan pengoperasian vending machine membuatnya menjadi bagian tak terpisahkan kehidupan masyarakat Jepang.
Sejarah Vending Machine Vending machine pertama kali dibuat di Alexandria oleh seorang insinyur bernama Hero pada abad pertama. Di masa itu, mesin ini digunakan untuk menjual air suci. Penemuan ini sempat tenggelam dimakan waktu sampai pada akhirnya, di tahun 1883, vending machine modern hadir untuk pertama kalinya di Kota London untuk mendistribusikan perangko dan kartu pos. Di Jepang sendiri, mesin penjual otomatis pertama muncul ketika Tawaraya Koshichi, seorang pengrajin mebel, merancang dan membuat sebuah vending machine yang digunakan untuk menjual tembakau. Kini, mesin-mesin penjual otomatis bisa ditemukan di hampir setiap sudut kota Jepang. Berdasarkan data dari Japan Vending Machine Manufacturers Association, terdapat sekitar 1 mesin untuk setiap 23 orang di Jepang atau ada kurang lebih 5 juta mesin penjual otomatis yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Maka, tidak mengherankan kalau Jepang dicap sebagai negara dengan vending machine terbanyak di dunia. Photo by HOJIN KWON on Unsplash
23
Photo by jaemin don on Unsplash
Alasan Di Balik Banyaknya Vending Machine di Jepang
Saking banyaknya vending machine yang tersebar di seluk-beluk negara Sakura ini, sampai banyak yang bilang kalau vending machine lebih mudah ditemukan di Jepang daripada sepeda motor, lho! Sebenarnya ada beberapa faktor yang menjadi alasan di balik banyaknya mesin penjual otomatis di Jepang, salah satunya karena terbatasnya tenaga kerja di negara Sakura ini. Seperti yang kebanyakan dari kita ketahui, penduduk di Jepang rata-rata berusia lanjut yakni sekitar 46 tahun. Selain itu, Jepang juga memiliki tingkat kelahiran dan jumlah migrasi yang rendah, sehingga menyebabkan kekurangan tenaga kerja dan membuat biaya untuk menyewa tenaga kerja terlampau mahal. Keadaan ini membuat vending machine menjadi sebuah solusi yang efektif untuk mengurangi kebutuhan penjaga toko dan kasir.
Tidak hanya faktor ekonomi, popularitas vending machine di Jepang juga dilandasi faktor budaya tepat waktu masyarakat Jepang lho! Masyarakat Jepang sangat menghargai waktu, apalagi mereka-mereka yang bekerja sebagai salaryman atau karyawan. Vending machine berhasil menjadi alternatif bagi mereka yang memiliki sedikit waktu dan tidak suka berputar-putar mengelilingi toko dan supermarket untuk membeli barang yang dibutuhkan. Cukup masukkan koin ke dalam mesin, pilih barang yang mereka inginkan, dan selesai! Menilik keberagaman produk yang dijual dan kepraktisan penggunaan, rasanya tidak heran apabila mesin jual otomatis akan selalu melekat di kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Sepertinya selama penduduknya masih membutuhkan kehadiran mesin-mesin ini, selama itu pula negara Jepang dikenal sebagai negeri seribu vending machine!
Photo by Darren Halstead on Unsplash
Fitur lain demografi Jepang modern adalah tingginya kepadatan penduduk. Berdasarkan data dari World Bank, sebanyak 93% dari total 127 penduduk Jepang tinggal di wilayah perkotaan. Alhasil, harga properti melambung tinggi sehingga perusahaan-perusahaan Jepang lebih memilih untuk menjual barang-barang mereka melalui vending machine daripada membuka toko ritel.
Referensi https://travel.wego.com/berita/mengapa-banyak-vending-machine-di-jepang https://travel.kompas.com/read/2019/10/16/100700427/ini-fakta-dan-sejarahvending-machine-di-jepang?page=all
24
Spot Hanami Terbaik di Jepang Oleh Laila Azzahra
Jepang adalah sebuah negara yang identik akan Bunga Sakuranya. Tidak hanya para turis, penduduk setempat juga masih terpesona dengan keindahan bunga sakura yang mungkin telah mereka lihat berkali-kali. Sayangnya bunga sakura memiliki periode mekar yang singkat dan pada periode waktu ini, orang Jepang biasanya menyelenggarakan kegiatan Hanami (花 見) yang berarti "melihat bunga" terutama bunga Sakura. Berikut adalah rekomendasi spot terbaik untuk Hanami di Jepang yang bisa anda kunjungi untuk menyaksikan kemekaran bunga Sakura. Shinjuku Gyoen/Photo by Masaaki Komori on Unsplash
x
Photo by WANG Tianfang on Unsplash Taman Hirosaki
Taman Hirosaki (Prefektur Aomori) Taman Hirosaki (弘前公園) diakui sebagai salah satu dari tiga lokasi terbaik untuk melihat bunga sakura di Jepang. Sekitar 2.600 bunga sakura dari 52 jenis bunga mulai bermekaran pada musim semi, termasuk Shidarezakura (Weeping Cherry), yang dikelilingi pohon sakura Yoshino. Di Taman Hirosaki terdapat terowongan bunga sakura setinggi 300 m yang sangat memukau dan menjadi salah satu daya tarik utama taman ini. Pada setiap tahunnya antara tanggal 23 April dan 5 Mei, lebih dari 2.000.000 pengunjung mengunjungi taman ini selama Festival Bunga Sakura Hirosaki. Distrik Tsugaru di Prefektur Aomori, di mana Taman Hirosaki berada, terkenal sebagai salah satu daerah dengan intensitas hujan salju yang cukup tinggi di Jepang. Oleh karena itu, bagi penduduk setempat, kehadiran bunga sakura mengindikasikan berakhirnya musim dingin yang keras dan kedatangan musim semi yang indah.
Yoshinoyama (Prefektur Nara) Yoshinoyama (吉野山) , atau Gunung Yoshino, sudah lama dikenal sebagai salah satu situs bunga sakura terbaik di Jepang. Gunung Yoshino sendiri merupakan sebuah lereng gunung yang menghadap ke utara. Tempat ini mencakup seluruh jalur pegunungan sekitar 8 km, dari ujung utara ke selatan pegunungan Omine Renzan. Dikatakan bahwa 30.000 pohon sakura, terutama pohon sakura liar, tumbuh berkelompok di berbagai tempat di Yoshinoyama. Pengunjung dapat menikmati pohon sakura saat mereka mendaki gunung, melewati kota turis Yoshino dengan berbagai kuil dan tempat pemujaannya, serta menikmati hanami di taman dan di sepanjang jalan.
Shinjuku Gyoen (Tokyo) Shinjuku Gyoen (新宿 御苑) adalah salah satu taman terbesar di Tokyo yang terletak dekat dengan Stasiun Shinjuku. Taman yang awalnya dibangun untuk Keluarga Kekaisaran ini adalah rumah bagi banyak pohon sakura dengan lebih dari selusin varietas yang berbeda. Lebih dari 400 pohon Somei Yoshino bermekaran di taman ini ditambah dengan berbagai macam gerai makanan yang tersedia menjadikan Shinjuku Gyoen sebagai salah satu tempat hanami paling populer dan menyenangkan di Tokyo. Selain itu, taman ini memiliki banyak pohon sakura yang mekar pada waktu yang berbeda sehingga memberikan kesempatan bagi mereka yang melewatkan musim utama Hanami (pertengahan Maret hingga akhir April) untuk tetap melihat bunga sakura bermekaran.
26
Takato Castle Ruins Park (Prefektur Nagano) Taman Reruntuhan Kastil Takato (高遠 城 址 公園, Takatōjōshi Kōen) merupakan salah satu dari tiga lokasi terbaik untuk melihat bunga sakura di Jepang. Taman ini terletak sekitar 60 kilometer di selatan Matsumoto di atas bukit di Kota Ina di Prefektur Nagano. Pada setiap musim semi, sekitar 1500 pohon sakura dari jenis Kohigan yang berwarna merah muda bermekaran di seberang taman. Jika anda berkunjung ke tempat ini, maka jangan lewatkan kesempatan untuk menyaksikan "Yozakura", atau bunga sakura malam hari. Ketika hari mulai gelap, kunjungilah Jembatan Ounkyo (jembatan awan bunga sakura), yang merupakan salah satu tempat terbaik di dalam taman.
Satte Gongendo Sakura Tsutsumi (Prefektur Saitama) Satte Gongendo Sakura Tsutsumi (幸手権現堂桜堤) memiliki terowongan sakura dengan panjang lebih dari 1 km. Sekitar 3.000 pohon sakura ditanam sekitar 100 tahun yang lalu menjadikan tempat ini sebagai tempat melihat bunga sakura terbaik di Prefektur Saitama. Jika anda ingin menikmati Hanami di tempat yang lain dari biasanya, maka ini adalah tempat yang cocok untuk anda. Satte Gongendo Sakura Tsutsumi khas akan bersatu padu dengan pohon Sakura yang berjejer di sepanjang jalan dan bunga Brassica napus yang terhampar luas di sebelahnya, memberikan perpaduan warna merah muda dan kuning yang unik dan harmonis. Para pecinta kuliner juga dapat menikmati 100 toko pada Satte Sakura Festival yang diadakan dari Maret sampai April setiap tahunnya. Tidak hanya itu, pada festival tersebut, Anda dapat menikmati iluminasi Gongendo Tsutsumi dan Jembatan Sotono.
Photo Credits (Top to Bottom) Taman Hirosaki/Photo by Pixta Takato Castle Ruins /Photo by Bryan Baier on JapanTravel.com Yoshinoyama/Photo by Trip.com Shinjuku Gyoen/Photo by bantersnaps on Unsplash
27
Satte Gongendo/Photo by annintofu on Flickr
The Philosopher’s Path (Kyoto) The Philosopher's Path (哲学 の 道, Tetsugaku no michi) adalah sebuah jalan setapak dengan panjang sekitar 2 km yang dikelilingi jalur air antara Kuil Ginkakuji dan Kuil Oji. Nama jalur ini berasal dari Nishida Kitaro, salah satu filsuf paling terkenal di Jepang, yang dikatakan berlatih meditasi saat berjalan di rute ini dalam perjalanan hariannya ke Universitas Kyoto. Saat musim semi, refleksi warna bunga sakura yang cantik serta kelopak bunga sakura yang telah gugur menjadikan permukaan air di sepanjang jalur ini berwarna merah muda. Ditambah lagi, terowongan bunga sakura saat mekar dan pemandangan bunga sakura menari tertiup angin memberikan sensasi bagaikan berada dalam sebuah film. Pemandangan yang romantis ini menjadikan The Philosopher’s Path sebagai tempat populer ketika musim semi.
Philosopher’s Path/Photo by Wenjie, Zhang on Flickr
28
30
Leader Kia
Lokakarya: Gagasan Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemik di Indonesia
Jepang dalam MP4: Vlog Kehidupan di Jepang
Kegiat 3 Bul PPIJ
Feb-M
Oshaberi: Mengenal Seluk Beluk Beasiswa di Jepang
33
Penguatan Sektor UMKM dalam Mengakselerasi Upaya Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi
Aksele Tinggi Pemim
Webinar Nasion
rship Training with Mario Teguh: at Mengembangkan Potensi Diri
tan lan J
Mar
Interaction Skills and Public Speaking: Mengasah Soft Skills melalui Webinar
Belajar Materi Dasar Nihongo Efektif: Nihongo 101 bersama Aki no Sora
Be a Writer in One Day: Belajar Menulis bersama Ahlinya
erasi Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Mempersiapkan mpin di Era Indonesia Emas 2045
nal
Konnichiwa: Bersafari ke Universitas Top di Jepang
34
Photo by Fsev obtained from canva.com
Selangkah Lebih Dekat: Japan Muslim Welfare Oleh Moudisha Zeeva
Jepang merupakan destinasi yang cukup populer bagi mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan pendidikan tingginya. Tidak hanya belajar, banyak mahasiswa Indonesia di Jepang turut berkarya dan membuat berbagai proyek yang cukup mengesankan. Salah satunya adalah Savina Wahyudiana, mahasiswa APU Ritsumeikan yang menjadi project leader Japan Muslim Warfare. Kali ini, Divisi Redaktur PPIJ berkesempatan untuk mewawancarainya mengenai pengalamannya di Japan Muslim Welfare atau yang kerap disingkat JMW.
Hai Vina, untuk memulai interviewnya, bolehkah aku dapat pengenalan singkat tentang kamu? Hai, nama aku Savina. Aku murid tahun ketiga di APU, majoring in Environment and Development. Aku dari Surabaya dan di sini selaku narasumber untuk menjelaskan mengenai Japan Muslim Welfare.
35
Oke, kita mulai dari kepribadian kamu, seorang Vina tuh orangnya seperti apa sih? Kalau dari segi ketangguhan dan kegigihan, seberapa tangguh dan gigihnya kamu? Dan berdasarkan itu, menurut kamu, apakah kamu lebih goal-oriented atau process-oriented? Aku itu lumayan tidak biasa. Menurutku aku tangguh, gigih, juga cermat, terutama saat melakukan hal yang memang aku passionate about. Aku punya prinsip kalau kendati seberapa sulit situasi yang aku hadapi sekarang, kalau benar-benar itu kemauanku, pasti ayok, pasti bisa terkabul. Nah, kalau mengenai work ethic aku, menurut aku the outcome is always a bonus for me. Tentunya sebuah goal yang sudah kamu tetapkan harus tercapai, tapi seberapa suksesnya atau wow-factornya itu menjadi sebuah bonus. Akan lebih baik jika langkah-langkah yang kita tetapkan sudah dipikirkan secara matang agar dapat bisa menyangga proyeknya dalam jangka panjang walaupun kita sudah lepas tangan.
36
Oh begitu, nah di saat pertama kali tinggal di Jepang, adakah perbedaan yang kamu rasakan dari segi ekspektasi vs. realita?
Photo by ba11istic obtained from canva.com
Wah, sangat bijak ya tanggapannya Vina… Nah, berhubung proyek kamu di Jepang nih, bolehkah aku tahu sudah berapa lama Vina tinggal di Jepang? Tahun ini akan menjadi tahun ketigaku tinggal di Jepang. Sebenarnya sebelum berkuliah di APU aku sudah berkesempatan tinggal di Hokkaido selama satu (1) tahun dalam rangka program pertukaran pelajar. Saat itu aku diberi kesempatan menerima Marching J. Scholarship oleh Johnny and associates yang perusahaannya mensponsori sebuah grup band Jepang. Kebetulan program beasiswa itu memberikan bantuan finansial untuk murid-murid dari negara yang rawan bencana, salah satunya Indonesia.
Wah, apakah dari awal kamu memang ingin sekali melanjutkan studi di Jepang? Pada awalnya Jepang bukanlah tujuan utamaku. Aku tidak memiliki ketertarikan apapun dengan budaya, bahasa ataupun hal-hal seputar Jepang, berbeda dengan teman-teman sebayaku. Saat itu aku ingin sekali belajar di Belanda karena aku gemar mempelajari hukum, dokumenter dan proses membuat kebijakan-kebijakan hukum, selebihnya hukum humaniter di Mahkamah Pidana Internasional, Den Haag. Namun, karena satu dan lain hal, aku pada akhirnya ditakdirkan untuk pergi dalam program pertukaran pelajar ke Hokkaido, Jepang.
37
Iya, pastinya. Di saat pertama kali berkunjung ke Jepang, aku berekspektasi akan hidup di tempat yang ramai dan fast-paced. Namun ternyata, di Asahikawa, Hokkaido, rumah host family-ku itu jauh dari kota-kota besar bahkan tidak ada wi-fi. Jadi, aku bahkan tidak merasakan memiliki Wi-fi walaupun sudah berada di Jepang yang pada umumnya terkenal dengan teknologinya yang sangat unggul.
Kalau dari segi perbedaan budaya dan gaya hidup, apakah ada yang membuatmu tertegun? Adakah hal-hal yang menurutmu hanya dapat kamu pelajari dari program itu? Aku bisa menjadi Savina yang outgoing dan percaya diri seperti ini juga karena sempat hidup dengan host family-ku ini. Dulu aku pemalu sekali, karena tidak bisa berbahasa Jepang dan tidak fasih berbahasa Inggris pun, aku tidak begitu banyak bicara. Namun menurutku ini juga karena aku beruntung sudah dipertemukan dengan host family yang ramah dan asyik seperti mereka. Mereka tabah mengajariku bahasa Jepang dan merawatku selama aku ada di sana. Dari mereka, aku mempelajari arti kehidupan. Aku sadar bahwa memang manusia itu harus berkomunikasi, harus mencoba membuka diri dan saling mengerti jika ingin bermufakat dan tinggal dengan harmonis. Aku belajar tulusnya hati manusia, karena keterbatasan dalam berkomunikasi pada saat itu, gesture-gesture yang kita lakukan secara tulus dapat terasa walau kita tidak saling berbicara bahasa yang sama. Sampai sekarang pun mereka masih menganggapku sebagai keluarga dan sering berkunjung ke Beppu jika ada waktu.
Photo by ba11istic obtained from canva.com
Photo by ba11istic obtained from canva.com
Photo by anuj bansal obtained from canva.com
Menurut kamu, keluarga kamu ini tipikal family dynamics Jepang kah? Menurut aku enggak sih. Mereka berbeda dengan keluarga ataupun orang-orang Jepang pada umumnya. Mereka sangat tolerant dalam segi menerima dengan senang hati perbedaan budaya dan keterbukaan pada budaya-budaya yang berbeda. Cara berpikir mereka menurutku sangat liberal, mengikuti jaman yang sekarang ini sangat kontemporer, namun jiwa Jepang mereka masih ada. Mereka sangat amat percaya kepada obat-obatan natural, lebih tradisional dalam segi itu. Mereka mementingkan kesehatan dan hidup berdampingan dengan alam. Menurutku mereka sangat berbeda dari orang-orang Jepang pada umumnya. Tipikal orang Jepang akan lebih tertutup dalam hal perbedaan budaya seperti ini.
Adakah kamu pernah mengalami kesulitan dalam menjelaskan budaya Indonesia? Iya, seringkali ini terjadi padaku. Mungkin dari diriku pribadi juga sudah menyesuaikan dengan suasana dan sekitarku jadi aku tidak bisa bilang dengan pasti. Tapi yang aku pelajari adalah mungkin memang ada miskomunikasi atau memang susah menjelaskan budaya Indonesia kepada orang Jepang, namun mungkin juga karena memang aku pribadi yang sulit mengatakannya. Dan juga, apa yang tidak apa-apa bagiku belum tentu sama pada orang lain.
38
Pada umumnya, perbedaan di antara Jepang dan Indonesia dalam segi hidup menurut kamu apa? Menurut aku pengaruh budaya dalam kehidupan orang Jepang itu sangat signifikan, sedangkan kalau di Indonesia lebih ke pengaruh religi. Di Jepang, sistem masyarakatnya homogen, sedangkan di Indonesia berbeda-beda namun sangat bergantung pada mayoritas. Karena sistem masyarakat homogen, hal yang berbeda akan dilihat sangat janggal oleh masyarakat Jepang sehingga hal-hal seperti puasa, hijab, sholat dan zakat masih hal yang baru bagi mereka. Berdasarkan pengalaman, orang Jepang yang kutemui masih susah menerima hal-hal ini. Menurut aku, kunci dari masyarakat yang terbuka dan dapat menerima banyak perbedaan adalah jika memang ingin membuka dirinya terlebih dahulu, jika masih bebel tidak akan ada gunanya. Jika masyarakat sudah menolak suatu ideologi atau paham, maka akan sulit untuk membuka pikirannya.
Perihal perbedaan budaya, apakah ini juga salah satu alasan JMW dibuat? Sebelumnya, bolehkah Vina menjelaskan JMW itu apa? JMW, kependekan dari Japan Muslim Welfare, adalah NGO/NPO yang didirikan oleh 2 mahasiswa APU dengan tujuan membuat Jepang sebagai negara yang lebih mudah untuk ditempati oleh siapapun, berawal dari minoritas Muslim. Kita mengusulkan proyek ini agar orang-orang luar bisa merasa nyaman tinggal di Jepang, melebihi hanya sebuah target wisata.
Photo by Len4foto obtained from canva.com
39
Photo by Shanu D obtained from burst.shopify.com
Ohh, mission dan vision dari JMW ini apa ya Vin? Nah, iya ultimate goal kita ya untuk membawa kenyamanan. Ini berawal dari tahun pertamaku dimana seluruh mahasiswa APU dianjurkan untuk melaksanakan health check-up, sedangkan di saat health checkup itu seluruh mahasiswa diharuskan untuk mengganti pakaian menjadi pakaian rumah sakit dan harap tunggu dalam ruang tunggu secara bersamaan. Dari situ, banyak mahasiswi yang merasa tidak nyaman dan risih. Tidak hanya itu, banyak cara-cara penanganan medis yang masih dapat dihindari terutama oleh minoritas Muslim karena menyinggung penggunaan alkohol dalam pelaksanaan prosedur medis. Di kedepan harinya, kita dari tim JMW ingin bisa membuat sebuah aplikasi mobile yang dapat memindai barcode makanan dan minuman yang ada di Jepang untuk mengetahui jika barang itu halal atau tidak. Selebihnya, sistem aplikasi ini juga dapat dipakai untuk obat-obatan. Keinginan terbesar kita yaitu untuk meminimalisir keraguan dan ketakutan orang karena produk-produk yang tidak biasa atau prosedur yang tidak bisa mereka tangani.
Sejauh ini project JMW sudah terlaksanakan sampai mana ya? Alhamdulillah kita sudah melakukan presentasi perdana ke beberapa orang penting. Di project pertama yang terealisasi ini kita membuat sebuah kartu yang bisa dipakai saat melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Kartu ini berlaku untuk mengindikasikan status pemegangnya, seperti pada contohnya sebagai seorang muslim yang harus ditangani dengan prosedur yang berbeda.
40
Langkah apa yang diambil tim JMW sebagai langkah pertama menuju perdana project ini? Kita berkesempatan mengikuti lomba yang skala-nya lumayan besar dan ternama. Partner aku, Ryota Asai, sebagai Founder JMW, membuat janji pertemuan dengan orang-orang yang berwenang di kampus. Dari situ kita dipertemukan dengan President Deguchi-san, dan juga sekretarisnya yang mengajukan lomba start-up ini dan merekomendasikan tim JMW untuk ikut. Lombanya bernama Sony StartUp Acceleration yang pada waktu itu diselenggarakan di Kyoto. Dari sini, kita melalui berbagai macam proses kompetisi dan juga training untuk menjadi startup yang kompeten hingga akhirnya menang. Kita diberi kesempatan untuk menjadi pembicara pada acara Sony selanjutnya, namun karena situasi pandemi sedang diundur.
Di tahap-tahap pembuatan JMW, bagaimana caranya kamu mengimbangi personal project ini dengan tanggung jawab akademikmu dan juga ekstrakurikulermu? Stress! Jujur, jam tidurku hancur, kamarku juga berantakan, namun aku somehow bisa melakukan semuanya dan memberikan fokus maksimal. Di saat itu aku harus mengimbangi pekerjaan assistent dosen, baito, akademik, dan juga project ini.
Aku ingin bantu orang! Drive aku adalah untuk membantu orang sekaligus beribadah di jalan Tuhan; melakukan sesuatu untuk Tuhan dan semoga akan berbalik kebaikannya. Aku merasakan apa yang dirasakan orang-orang yang tidak bisa berbahasa Jepang, merasa tidak nyaman saat melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Aku harap effort kecil aku bisa mengubah hal-hal yang aku sebutkan tadi in the long run - budaya Jepang dan keterbukaan, dan lainnya.
41
Photo by Giuseppe Mondi obtained from burst.shopify.com
Nah, dibawah circumstance itu, apasih drive kamu untuk meneruskan project ini sampai titik sekarang?
Sepertinya dari tadi topik budaya selalu terulang yah? Mm… kita tahu memang budaya Jepang itu homogen, pasti ada beberapa rintangan yang kamu maupun tim JMW hadapi… nah apa saja rintangan itu dan bagaimana caranya kamu bisa melewatinya? Rintangannya mungkin dalam segi nge-launch project ini sih… di Jepang itu closed society, mereka tertutup sama budaya luar dan pada umumnya mereka jarang mengekspresikan opini mereka secara terus terang. Akan tetapi, aku (dan tim) masih percaya kita bersama-sama bisa membuka pemikiran mereka, toh dari lingkungan perkuliahanku dan sekitarnya pun sudah banyak yang terbuka akan budaya multiculturalism ini.
Adakah saat-saat dimana kamu harus mundur dan reka ulang (take a step back) untuk evaluasi? Ada, ada banyak sekali saat-saat seperti itu dimana aku dan tim akan meluruskan dan merapikan langkah-langkah selanjutnya, juga menyamakan filosofi dan pengertian kita tentang filosofi project kita ini. Aku juga masih banyak belajar tentang advokasi kita ini secara luas dan detailnya. Di saat-saat seperti itu aku mengkonsultasikan keraguan ini kepada orang-orang yang berkepentingan - seperti dosen dan Imam di Masjid.
Dalam segi koneksi dan relasi (reaching out to people) adakah kesulitan yang kamu hadapi? Terutama dalam reaching out, menurut aku pribadi ini sangat, sangat menyenangkan. Sosok-sosok yang kita temui sangat membantu dan membangun motivasi juga. Ryota, founder JMW, banyak sekali membantu dalam hal ini, terutama public relations karena dari pembagian tugas aku juga lebih fokus kepada SNS dan campaign.
42
Kalau dalam project ini organisational structure kalian lebih ke hierarchal atau horizontal leadership ya? Walaupun mereka semua orang Jepang, as much as possible aku tidak ingin project ini menjadi terlalu hierarchical atau juga casual. Selagi anggota kita masih minim, yang penting segala keputusan harus lewat project leader, namun untuk urusan hal-hal kecil tidak perlu. Kita menekankan komunikasi sih, yang penting semua anggota kita dapat mengemukakan opini dengan terus terang agar kita bisa bekerja dengan efektif dan efisien.
Bagaimana caranya kalian bisa mempertahankan kelangsungan project ini dengan sumber daya yang terbatas? Kita simply selalu coba cari jalan lain sih. Jalan keluar yang terkadang mungkin lebih panjang dan sulit, namun karena kita memang ingin project ini untuk terealisasikan, mindset kita harus selalu positif.
Menurut kamu hal-hal dasar/kualifikasi apa saja yang harus dimiliki mahasiswa seperti kita yang ingin melakukan project seperti ini? Persistensi, dan critical thinking. Kemampuan berbicara bahasa Jepang juga sangat, sangat krusial untuk segalanya. Walaupun ada cara-cara lain jika memang susah mengerti bahasa Jepang, tetapi mengetahui bahasanya sangat mempermudah kelangsungan project. Dan juga percaya diri! Mental kita harus kuat dan tidak boleh pesimis, karena memang sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk membuat sebuah project agar bisa berjalan seperti ini, jadi kita harus sabar dan konsisten. Kita harus bisa baca atmosfer juga, mengimbangi anggota-anggota tim dan orang-orang yang kita temui, harus bisa berkompromi.
43
Photo by Pegless.barios obtained from burst.shopify.com
Nah, pertanyaan terakhir nih Vina… Kalau pada kedepannya, rencana dan niat untuk JMW ada apa saja? Kita ingin kolaborasi dengan SONY. Menurut kita, SONY dapat membantu banget dengan membuat website, database dan project kita dalam long-term. Terutama karena kita tidak bisa kerja sendiri, bantuan finansial dalam membuat aplikasi mobile dan hal-hal teknis lainnya.
Di beberapa bulan ke depan, apa yang bisa kita harapkan dari JMW? Kalau di Kobe, pasti ada kelas mentorship program mengenai kelas memasak dalam rangka peluncuran project Borderless Bento.
Nah, berhubung kamu sudah di tahun ketiga masa perkuliahan, apakah kamu sudah memikirkan apa yang akan kamu lakukan dengan project ini setelah kamu lulus? Itu kita belum ngomongin sih jujur aja, kita juga mau take a break dulu sekarang sementara dunia sedang dalam pandemi juga, mungkin kita semua memang butuh istirahat sedikit.
Photo by Lomas Vilamil Licensed under CC obtained from burst.shopify.com
44
Satu Babak di Toko Serba Ada Oleh Moudisha Zeeva
Photo by Josh Withers on Unsplash
“Semuanya jadi tujuh-ratus lima-puluh tiga yen ya, Pak!” katanya yakin. Bapak itu pun menggapai dompetnya yang terlihat akan meledak karena kertas-kertas kecil yang seharusnya tidak disimpan. Kertas-kertas kecil sebagai pengingat jejak kaki yang telah ditinggalkan, pijakan kaki yang hilang tidak bisa ditelusuri kembali, serta pengingat keraguan hati akan sepeser uang yang dengan mudah diumbar-umbar. Gemerlap recehan yang terkena lampu remang toko serbaguna ini memberi harapan bahwa koin-koin ini masih memiliki nilai, suatu harga yang masih berguna untuk hal sekecil permen.
47
“Haik, tujuh ratus lima-puluh lima yen, ya, Pak!” “Kembali 2 yen… Terima kasih dan silahkan datang kembali!” katanya dengan nada terpaksa. Kata-kata itu sudah terlalu sering diucapkan sehingga tidak terdengar olehnya seberapa tidak bernyawa sambutannya itu. Namun, dari seisi toko serba ada itu, tidak ada satupun yang peduli untuk menegur maupun membenarkannya, mungkin karena seisinya pun merasa yang sama.
Hidup monoton dengan penghasilan yang nyaris cukup untuk menghidupi diri sendiri - yang tersisa setelah mimpi dan angan harus dikorbankan. Sosok itu tidak berbeda dengan yang lainnya, hanya seonggok daging yang terlatih untuk mengucapkan beberapa frase dibelakang mesin kas. Untuk setiap kerincing bunyi pintu otomatis itu, dia akan menjawabnya dengan “irashaimase!” seperti kedua bunyi itu sepaket. Itulah percakapan satu arah antara sosok lemah lunglai itu dengan benda mati yang mungkin adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap sadar melawan kantuk. Kesadarannya ia beri kepada benda mati yang juga bergantung kepada pelanggan yang datang. Sesekali ia akan memastikan hal-hal di kelilingnya sudah tertata rapi; biji kopi sudah terisi penuh, kecap dan saus asam manis pun sudah terisi penuh, keranjang-keranjang sudah kembali pada tempatnya, rokok-rokok yang perlu disusun simetris… hanya dia yang masih merasa janggal. “Kring” “Irashaimase!” katanya terkejut. Sosok wanita tinggi berambut pirang itu berjalan mengarah padanya, namun tiba-tiba berputar balik mendekati tumpukkan keranjang oranye di dekat pintu. Arah pandangnya pun langsung mengarah keluar. Tak disangka langitnya pun sudah berubah gelap, namun itu bukanlah hal yang penting baginya — sudah tidak ada apapun yang harus ia lakukan esok hari. Ia pun melamun lama hanya menatap ke arah langit gelap itu. Apa jadinya jika ia tidak bekerja di tempat ini? Mungkinkah relung tatanan bumi Pertiwi akan mengijinkannya pergi bersama teman-temannya? Ah, bahkan pergantian hari pun tidak terasa, pikirnya. Lamunannya pun terganggu seketika anak perempuan yang biasa ia layani nampak di depannya. Rambutnya belum sepenuhnya kering, berpakaian sedikit lebih berantakan dari biasanya, serta kantung mata yang membengkak. Ah, mungkin ia sedang bertengkar dengan kekasihnya. Mungkin ia sedang berusaha menenangkan dirinya karena sesuatu hal yang lebih besar dari dirinya. Ah, mungkin ia sedang dihantui penyesalan atau sedang tidak ingin menjadi dirinya sendiri. Ah, mungkin ia memang sedang ingin berlari ke antah-berantah karena sangat risau di kamarnya sendiri. Aku juga tahu perasaan itu. Tak terpikir olehnya bahwa pekerjaan yang ia lakukan sekarang membuatnya bertanya-tanya akan keinginan orang-orang. Perilaku mereka di pagi, siang, dan malam hari, serta perasaan dan pengalaman orang-orang yang menyempatkan untuk rehat di toko serbaguna itu. Dan walaupun ia terpaksa berdiri di belakang mesin kas itu, terpaksa sebab hidup membawanya ke tempat itu, ia dapat merasakan lika-liku hidup melalui orang-orang yang bertutur salam namun bisu tidak mengenal.
Photo by Laura Thorne on Unsplash
48
Lesung Purnama Oleh Ghafi Reyhan
49
Lesung Purnama Kamu menyandang arti Dengan senyuman Sarat kelembutan Bagai rembulan Bersama kejora Menghias senja
Dengan sebuah pandangan Bagai cahaya purnama Menapis kemuraman Mengusir kekelaman Menyiratkan pelita Meletupkan rasa
50
@ppijepang
PPI Jepang
ppijepang.org
SPRING EDITION
2021
Original Photo by Shane Aldendorff on Pexels