Majalah Sinar Muhammadiyah. Edisi 53, September 2013

Page 1

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

1


Fatwa; Wajah Islam Menghadapi Tantangan Zaman

Edisi Ke-53 , September 2013

____________________________________________________________________

EDITORIAL

02

_________________________________________________________

DAPUR REDAKSI

03

_________________________________________________________

SURAT PEMBACA

04

_________________________________________________________

LAPORAN UTAMA

05

_________________________________________________________

KOLOM

08

_________________________________________________________

KAJIAN UTAMA 1

09

_________________________________________________________

KAJIAN UTAMA 2

11

_________________________________________________________

HIWAR

13

_________________________________________________________

TELISIK TOKOH

16

_________________________________________________________

DUNIA PCIM

17

_________________________________________________________

KAJIAN FAKULTATIF

18

_________________________________________________________

WARTA MUHAMMADIYAH

23

_________________________________________________________

TRANSFORMASI

24

_________________________________________________________

ETALASE

25

_________________________________________________________

SASTRA

26

_________________________________________________________

PERSPEKTIF

28

_________________________________________________________

RENUNGAN

29

Ajaran Islam telah paripurna sepeninggal Rasulullah Saw. Beliau telah mengejawantahkan nilai-nilai Ketuhanan dalam ranah kehidupan. Risalah yang diembannya mampu menjawab tantangan zaman pada masa itu. Oleh karena itu, ajaran Islam yang disampaikan oleh duta besar terakhir utusan Allah tersebut sangat sinkron untuk membenahi kondisi dan permasalahan pada zaman jahiliyah. Rasulullah Saw. tidak hanya berusaha menyelesaikan permasalahan pada zamannya saja, namun beliau juga meletakkan pondasi dasar untuk umat Islam sepeninggalnya. Pondasi ini lah yang menjadi benteng para ulama untuk menjawab tantangan zaman. Nas-nas keagamaan yang terbatas tentunya tidak dapat dijadikan patokan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang tidak terbatas. Pemaksaan terhadap nas-nas yang kemudian diaplikasikan terhadap permasalahan yang dihadapi belum tentu menjadi solusi. Bahkan ironinya tidak memberikan maslahat bagi manusia karena sikap eksklusifnya tersebut. Teks keagamaan tidak dapat diaplikasikan dengan berkutat pada ranah lafadz yang tersurat di dalam al-Quran dan as-Sunah saja. Namun, terkandung makna yang tersirat, yang mana justru lebih banyak memberikan maslahat bagi manusia. Di era globalisasi ini banyak sekali permasalahan-permasalahan baru yang tidak ditemukan dalam Quran dan Sunah yang menuntut sebuah hukum. Tentunya perbedaan teritorial, letak geografis, budaya dan kondisi antara satu daerah dengan daerah yang lain menuntut hukum yang berbeda-beda. Lebih khususnya lagi , antar personal juga memiliki kondisi berbeda yang memerlukan hukum baik untuk menjustifikasi perbuatannya atau pun menegasikannya. Fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama diharapkan mampu menjawab dan memberikan solusi demi kemaslahatan umat yang multi dimensi dan kultural. Imam Ibnul Qayim dalam kitabnya I‟lâmul Muwaqi‟în menjelaskan bahwa fatwa berubah tergantung pada perubahan zaman, tempat,adat, dan juga kondisi. Hal tersebut juga senada dengan ungkapan Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Mûjibât Taghyîr Al-Fatwâ tentang perubahan fatwa untuk kemaslahatan umat melihat dari sisi zaman, tempat, adat dan keadaan. Fatwa merupakan produk agama yang menjaga identitas Islam sebagai agama yang shâlih likulli makân wa zamân. Namun, bagaimana jika wajah Islam dicoreng oleh monopolisasi fatwa yang digunakan untuk kepentingan kelompok maupun golongan tertentu? Oleh karena itu para ulama telak menetapkan kualifikasi mufti agar fatwa yang dihasilkan terlepas dari belenggu-belenggu kepentingan. Semoga rubrikasi pada edisi kali ini dapat menjadi pijakan untuk memahami fatwa secara lebih mendalam, termasuk urgensitas dan posisi fatwa.

_________________________________________________________

Pimred Sinar

Perbedaan Fatwa dan Upaya Pemersatuan Umat

Fatwa dan Upaya Dialektika Agama dengan Peradaban

Di era modern, semakin banyak muncul persoalan yang sebelumnya tidak pernah dijumpai pada zaman Rasulullah Saw., sahabat, tabi’in, maupun generasi setelahnya. Tidak mungkin persoalan-persoalan baru tersebut tidak dihukumi hanya karena tidak terdapat teks syariat yang langsung menghukumi persoalan tersebut.

Sesungguhnya Allah mengutus setiap (kurun) seratus tahun kepada umat ini, seseorang (mujadid) yang memperbaharui agamanya.

LAPORAN UTAMA

Mengenal Seluk-Beluk Fatwa Syariah tidak menetapkan hukum secara rinci hingga bagian yang terkecil. Namun, syariah datang membawa perkara dan pernyataan yang sifatnya umum yang mencakup berbagai persoalan yang tidak terbatas.

HIWAR 2

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

KAJIAN UTAMA


Dapur Kita Kembali Mengepul, Sobat! Long time no see... Sinar!!! Itu mungkin ungkapan rekan-rekan Masisir yang tahu seluk-beluk majalah ini mulai dari embrio terbentuknya, proses kelahiran serta perkembangannya, dan siapa bapak, serta ibunya.(Lho...mas, Sinar Majalah kan? bukan yang lainnya). Sinar adalah salah satu majalah di ranah Masisir yang berusaha membaca wacana dan pergerakan peradaban Islam melalui sudut pandang perpaduan metodologi ilmiah dan pemanfaatan literatur-literatur di bumi kinanah ini. Setelah lama tak menampakkan wajahnya, kini kami berusaha unjuk tangan ( karena gigi sudah terlalu mainstream) kepada khayalak sekalian sebagai wujud penolakan atas dakwaan kalo dunia tulis-menulis Masisir sedang lesu. Thinking & Writing are never die, itulah buah pikiran dan semangat kru-kru Sinar periode 2013-2014. Dapur yang sudah lama tak mengepul disulut kembali oleh korek api cap ―kepercayaan‖ dari Ketua PCIM . Bahan bakarnya pun dipilih dengan memilih suluh-suluh atau kayu muda, agar kobaran api lebih tahan lama untuk memasak isi majalah agar renyah dan nikmat ketika dihidangkan serta dinikmati oleh para pembaca. Kesiapan dan kecakapan terbatas yang dimiliki kru-kru Sinar tidak menghalangi kobaran api untuk senantiasa belajar, berkreasi, serta berdialog lewat alunan kata pada majalah tercinta kita. Awalnya ada sedikit keraguan di dapur kami, mengingat suluh yang tersedia belum mencukupi untuk digunakan memasak bahan makanan yang telah disediakan oleh Litbang. Namun, seiring berjalannya waktu, keterbatasan yang dimiliki oleh para punggawa Sinar tidak menyulutkan semangat untuk bekerja keras dan cerdas. Bekerja keras dengan keterbatasan kru, bekerja cerdas untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki para kru. Pembaca membutuhkan makanan yang nikmat untuk disantap. Namun kami selaku kru baru masih senantiasa berbenah diri untuk menciptakan menu-menu yang sesuai dengan selera keilmuan pembaca. Kelebihan dan kekurangan pastinya tampak dari masakan yang kami sajikan pada edisi perdana periode kami. Saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan guna membuat dapur kami selalu mengepul pada edisi-edisi selanjutnya. Kru-kru Sinar yang baru sejenak mewarnai nafas perjalanan di bumi para nabi ini. Dengan menorehkan goresan pena hasil aktualisasi jiwa dan raga, kami merekam jejak potret sejarah. Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian dan akan dikenang oleh sejarah. Redaksi

PELINDUNG: Ketua Pimpinan Cabang istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kairo-Mesir, Nuhdi Febriansyah, Lc. LITBANG: Muhammad Rifqi Arriza, Dedi Djamaludin, Zuhdi Amin PIMPINAN UMUM: Alda Kartika Yudha PIMPINAN REDAKSI Muhammad Fardan Satrio Wibowo PIMPINAN PERUSAHAAN: Fathur Rabbani SEKRETARIS: Muhammad Bakhrul Ilmi BENDAHARA: Illa Halisa SIRKULASI DAN DISTRIBUSI: Syafiq, Umair Fahmidin REDAKTUR PELAKSANA: Khaerul Anam, Silma Syahida, Rina Sa’adah, Lukman Nur, Azwar, Hana Juhairiyah, Wida Rabiatul, Khairul Faizin REPORTER: Nafi, Muktashim Billah ,Fahrudin EDITOR: Ismail Sujono, Musa Al-Azhar LAYOUTER: Syaifuddin Nur, Zaky Al-Rasyid PEMBANTU UMUM: Keluarga besar Sinar Muhammadiyah ALAMAT: Buils 113/15 Tenth District Nasr City Cairo-Egypt Telp: 01117260504 Email: Sinar.pcim@yahoo.com Facebook: Sinar Muhammadiyah Mesir

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

3


Assalamu ‟ailikum Gimana kabarnya Sinar? sudah lama nihh gak kelihatan,padahal dulu saya termasuk langganan Sinar lohh,, tapi kenapa koq sudah lama gak keluar, padahal kita sudah lama lohh nungguin Sinar keluar., ya sudah dehh kalau gitu, pokoknya aku tetap menunggu sinar keluar. miss you all para punggawa Sinar thur_up Wa‟alaikumussalam Alhamdulillah kabar Sinar baik. Ada kabar baik nih buat pembaca Sinar. Memang lama ya Mr.Thur_Up, Sinar tidak terdengar gaungnya di bumi Masisir. Tapi bulan ini insya allah Sinar kembali menyapa teman-teman Mahasiswa Indonesia di Mesir. So, Don‘t miss it. ^_^

Assalamu „alaikum Ada yang bilang katanya Sinar mau keluar lagi yaa?? bener gak sihh??, kangen nihh sama tulisannya anak-anak Muhammadiyah. Ada hal baru gak yaa yang disajikan sinar kali ini?? atau masih seperti edisi -edisi yang lama?? tetap semangat lahh pokoknya buat para kru Sinar., majuu teruss. Perindu_Surga Wa‟alaikumussalam Iya, anda benar sobat Sinar. Bulan ini edisi perdana Sinar periode 2013-2014. Banyak hal yang baru, mulai dari kru maupun tampilan Sinar itu sendiri. Ya memang masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi baik dari segi tampilan maupun substansi tulisan. Tapi itu semua semoga bisa bertahap menuju model yang lebih baik. Terima kasih buat dukungan Perindu_Surga, kru-kru Sinar yang baru sedang bersemangat.:)

Assalamu „alaikum Sudah lama kayaknya Sinar gak mengepul kayak fuul. Tapi dengardengar katanya dalam waktu dekat ini Sinar bakal terbit?., Kami sihh inginnya Sinar ada sedikit tampilan yang berbeda dibanding majalah yang lain, mungkin dari segi isi atau konten yang disajikan., owh iyaa,, kalau boleh tahu, siapa sihh Pimred Sinar sekarang?? mohon tanggapannya.. syukran.. Ibnu ummihi Wa‟laikumussalam Iya mas Ibnu ummihi. Sudah sekian lama Sinar belum menampakkan batang hidungnya. Beberapa surat pembaca juga menanyakan hal yang serupa ―kapan Sinar terbit?‖.Tapi Slow but sure kini Sinar kembali menyapa para pembaca yang budiman. Konten yang berbeda dengan media yang lain sama seperti edisi-edisi sebelumnya dengan ciri khas Sinar berupa majalah semi ilmiah. Kami sedang mencari format yang tepat untuk edisi-edisi Sinar selanjutnya. Oleh karena itu, besar harapan kami mendapatkan masukan dari mas Ibnu Ummihi dan pembaca-pembaca yang lain. Untuk Pimred majalah Sinar periode ini dinahkodai oleh Mas Fardan Satrio.

Selamat Datang Tahun Ajaran Baru 2013-2014 Teruslah Berkarya hingga Jeda Tiba!

4

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


Fatwa dan Upaya Dialektika Agama dengan Peradaban

D

“Sesungguhnya Allah mengutus setiap (kurun) seratus tahun kepada umat ini, seseorang (mujadid) yang memperbaharui agamanya.” (HR. Abu Hurairah)

emikianlah sabda pemegang panji suci yang buah pikirannya mengilhami berbagai dimensi sepeninggal beliau. Seiring perkembangan zaman, dengan berkaca pada kacamata sejarah, sabda nabi Muhammad Saw. ini semakin terbukti kebenarannya. Hal ini dapat terlihat di panggung peradaban Islam sepeninggal beliau. Muncul para mujadid/ pembaharu yang berupaya mengejawantahkan nilainilai islam sebagai jawaban atas kompleksitas permasalahan di setiap kurun masa. Terbukti sosok-sosok seperti, Umar bin Abdul Aziz, Imam Syafii, Imam Abu Hasan Al-Asyari, Imam Ghazali, Imam Suyuthi menjadi pionir garda depan dalam membentengi agama Islam. Dari hadis tersebut di atas, substansi yang terkandung di dalam hadis itu memuat tiga aspek. Pertama, janji Allah untuk mengutus seorang utusan. Dengan demikian, sudah lah pasti setiap kurun pergantian masa muncul sosok yang dijanjikan oleh Allah. Sebagaimana ungkapan Imam Suyuti dalam kitab Taqrîr al-Istinâd fî Tafsîr al-Ijtihâd bahwasanya setiap masa tidak akan lepas dari kehadiran seorang mujtahid. Kedua, Subyek pembaharu yaitu seorang mujadid. Pembaharu disini tentunya telah layak dan masuk kualifikasi sebagai seorang mujtahid. Ketiga, Obyek yang diperbaharui yaitu agama. Pembaharuan agama itu sendiri bukan berarti ajaran yang lama dan diusung para pendahulu telah usang dan tidak relevan dengan laju perkembangan zaman. Akan tetapi, slogan akhdzu „ala jadid al-aslah wa muhâfadzah „ala qadîm as-shâlih( mengambil sesuatu yang baru yang leih baik, dan menjaga sesuatu yang lama yang( senantiasa) baik) tetap senantiasa berlaku . Sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Suyuthi dalam Husn Muhâdarah yang mana beliau dalam menghukumi sesuatu yang baru tidak lepas dari peranan kitabkitab turats dan sumbangsih ulama-ulama terdahulu. Pembaharuan tentunya memiliki standar sebagai batasan proses tajdid atau modernisasi dalam ranah agama. Modernisasi disini bersifat kompleks, mencakup modernisasi pemahaman terhadap teks dan konteks, metodologi, produk hukum, dan lain sebagainya yang mana memiliki hulu dan sumbu yang sama yaitu Quran dan Sunah serta sumber hukum yang lain. Adapun batasan pembaharuan terbatas pada aspek-

aspek yang bersifat mutaghayirat ( tidak konstan). Sedangkan aspek yang bersifat tsawabit (tetap) tidak ada pembaharuan di dalam ranah ini, melainkan hanya yang bersifat metodologis, seperti upaya penjagaan akidah yang dilakukan oleh Imam Ghazali dengan menggunakan ilmu mantik untuk memahamkan umatnya pada masa abad kelima berkaitan dengan aspek transendental. Pembaharuan terdapat dalam berbagai bidang, seperti ; politik, sebagaimana yang digaungkan oleh Abu A‘la alMaududi, bidang social, yang diusung oleh Sayyid Ahmad Khan melalui gerakan Aligarh di India, dll. Majalah Sinar pada edisi kali ini hanya mengangkat pembaharuan dalam ranah hukum, yaitu pembahasan salah satu produk ijtihad para ulama berupa fatwa dalam upaya penjagaan agama Islam agar senantiasa shalih likulli makân wa zamân. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan para tokoh, baik mahasiswa di Mesir yaitu Ust.Bitoh Purnomo Lc. dan Ust.Dedi Jamaludin Lc., maupun tokoh di Indonesia yaitu Bapak Supriyanto Lc. seorang dosen di fakultas pendidikan di salah satu STAIN. Urgensitas Fatwa di Era Kontemporer Fatwa merupakan suatu produk hukum yang berasaskan dasar keridhaan antar pihak-pihak. Baik pihak mufti (subyek yang berfatwa) dan mustafti (obyek yang meminta fatwa),maupun antar mustafti. Ust.Dedi Jamaludin Lc. menitik beratkan fatwa sebagai parameter kedewasaan umat muslim, disamping urgensitas fatwa itu sendiri sebagai solusi terhadap perselisihan dan permasalahan umat. Berbeda dengan qadha yang titik beratnya pada ‗paksaan‘ dari pihak qâdhi (hakim) yang otomatis sikap kerelaan masing-masing pihak tidak begitu diindahkan. Ust.Bitoh Purnomo Lc. juga menambahkan peranan fatwa dapat terlihat sebagaimana fungsi Darul Ifta (Lembaga Fatwa) di negeri kinanah, belum lagi setiap personal ulama mengeluarkan fatwa atau penjelasan atas suatu hukum yang mengentaskan permasalahan yang dihadapi oleh mustafti. Berbicara mengenai fatwa tidak lepas dari pembahasan tentang ijtihad dan urgensi dari ijtihad itu sendiri. Karena fatwa merupakan salah satu bagian dari ijtihad para ulama. Klasifikasi seorang mujtahid yang berfatwa pun sudah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab turats maupun kontemporer. Syekh Muhammad ibn

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

5


Husain al-Makki dalam kitab Dhawâbit alFatwa memaparkan bahwa seorang mufti adalah seorang faqih dan telah mencapai derajat mujtahid mutlak. Menurut Bapak Supriyanto Lc., fatwa menjadi penting keberadaannya untuk masa sekarang, karena hal tersebut sangat mambantu masyarakat muslim dalam menegaskan kedudukan hukum dalam masalah- masalah baru yang tidak pernah muncul pada kurun masa sebelumnya. Disisi lain, fatwa merupakan wajah Islam dalam menghadapi roda permasalahan yang berputar di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu, tak ayal kalau seandainya fatwa dari personal maupun lembaga diantara berbagai negara acap kali berbeda, hal ini disebakan adanya perbedaan waktu, tempat, adat dan keadaan sebagaimana yang dipaparkan Syekh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya Mûjibât Taghyîr al-Fatwâ. Elastisitas Fatwa sebagai Produk Hukum “Ra‟yi shawab yahtamilu al-khata`, wa ra‟yu ghairi khata` yahtamilu al-shawab” Perkataan Imam Syafii tersebut mengindikasikan bahwa sebuah pemikiran atau ijtihad seseorang memiliki kemungkinan untuk menjadi benar, maupun menjadi salah. Namun,banyak pihak yang menyalah artikan perkataan Imam Syafii ini. Mereka menyangka bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama untuk berpendapat, sebagaimana pola pemikiran barat yang menjunjung tinggi demokrasi dan menyatakan kesetaraan manusia dalam berbagai hal. Fenomena tersebut mendapat kritikan dari Syekh Ali Jum‘ah dalam bukunya al-Iftâ` baina al-Fiqhi wa al-Wâqi‟ menyatakan bahwa dalam perkara agama semua orang tidak dapat ikut andil atau ikut serta di dalamnya. Ranah agama berbeda dengan ranah yang lainnya seperti ekonomi,sosial, maupun politik. Wilayah perbedaan yang terjadi tidak dapat digeneralisir pada semua aspek, setiap perbedaan diterima sebagai suatu keniscayaan. Hal ini dikarenakan penerimaan tersebut berimplikasi pada peniadaan aspek-aspek yang bersifat tsawâbit (tetap) dalam Islam. Disisi lain, relativitas kebenaran ini mencoba menyamaratakan seorang yang telah memiliki kualifikasi berijtihad dengan yang belum memenuhi kualifikasi. Perbedaan pendapat dalam fatwa merupakan suatu rahmat. Akan tetapi, satu hal yang perlu digaris bawahi adalah perbedaan terjadi pada para individu yang telah memiliki kualifikasi sebagai seorang mufti. Perbedaan ini merupakan bentuk elastisitas fatwa sebagai produk hukum yang mampu menjangkau setiap zaman, tempat, adat dan keadaan yang berbeda dari masa ke masa. Tentunya sangat rancu ketika fatwa yang berfungsi sebagai maslahat justru menjadi 6

mafsadat dikarenakan tidak mempertimbangkan keadaan,letak geografis, serta kondisi kultural masyarakat. Karena perbedaan fatwa ini lah, maka Islam tetap diyakini menjadi agama yang solutif terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer yang berubah dari masa ke masa. Kendati demikian, perbedaan ini juga terkadang mengandung polemik terutama dikalangan grassroots atau kaum muslim yang belum begitu mengenal tentang fatwa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Supriyanto Lc. bahwa muncul polemik baru ketika fatwa fatwa yang dikeluarkan ternyata terjadi pada ranah khilafiah, baik itu masalah akidah atau pun fikih. Hal ini dilatar belakangi oleh kondisi Islam diberbagai wilayah di dunia termasuk di Indonesia yang tidak satu warna. Dan fatwa- fatwa yang dihasilkan juga tidak pada satu kesepakatan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana yang disebutkan diatas. Keelastisitasan fatwa dapat dipahami sebagai sebuah produk maslahat bagi para mustafti jika mereka memahami hakikat fatwa itu sendiri. Perlunya penyuluhan dan pelatihan serta pengenalan tentang fatwa serta urgensitasnya terhadap masyarakat sebagaimana solusi yang dipaparkan oleh Ust. Bitoh Purnomo Lc. dan Ust. Dedi Jamaludin Lc. Pembentukan Lembaga Fatwa sebagai Upaya Persatuan

“...muncul polemik baru ketika fatwa fatwa yang dikeluarkan ternyata terjadi pada ranah khilafiah, baik itu masalah akidah atau pun fikih. Hal ini dilatar belakangi oleh kondisi Islam diberbagai wilayah di dunia termasuk di Indonesia yang tidak satu warna.” Pada akhir tahun 2012 diadakan Konferensi Internasional tentang fatwa di Jakarta. Konferensi Internasional ini setidaknya diikuti oleh peserta dari 20

negara, di antaranya Indonesia, Saudi Arabia, Jepang, China, Taiwan, Kamboja, Brunei Darussalam, Singapura, Serbia, Inggris, Timor Leste, Korea Selatan, Papua Nugini, Mesir, dan Yordania. Konferensi fatwa membahas berbagai isu tentang fatwa, mulai dari mekanisme fatwa, berbagi kisah tentang fatwa di negara masingmasing, serta berdiskusi tentang fatwafatwa yang telah dikeluarkan. Salah satu butir rekomendasi dari konferensi ini adalah mendirikan Forum atau Lembaga Fatwa untuk ASEAN dan negara-negara yang dianggap memerlukannya. Adapun lembaga ini akan berpusat di Jakarta. Adapun tujuan lembaga ini untuk memikirkan persoalan-persoalan umum dan problematika aktual umat agar dapat memberikan solusi yang tepat. Sebelum beranjak lebih jauh membahas lembaga fatwa yang bersifat internasional. Mari kita tengok sejenak ke dalam kancah regional tentang kesiapan dan kemungkinan membentuk wadah fatwa tersebut. Banyak aspek yang perlu diperhatikan, salah satunya kesadaran masyarakat Indonesia akan peranan dan kedudukan fatwa itu sendiri. Memang telah berdiri lembaga fatwa di Indonesia yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun sikap dari umat muslim itu sendiri yang kurang acuh terhadap fatwa-fatwa yang dihasilkan MUI. Tentunya ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebelum upaya pembentukan lembaga fatwa Internasional. Adapun aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya pembentukan lembaga fatwa internasional adalah berkaca pada kualitas dan sumbangsih MUI serta respon masyarakat muslim Indonesia. Menurut Ust. Dedi Jamaludin Lc. Ada faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar MUI dapat menjadi lembaga fatwa yang kokoh seperti halnya Darul Ifta di Mesir dan mendapat kepercayaan dari masyarakat muslim. Pertama, Independensi, ketidak berpihakan pada salah satu kelompok dan dapat mengayomi semua pihak. Kedua, Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga fatwa itu sendiri. Masyarakat cenderung lebih percaya pada tokoh masyarakat atau pun ormas-ormas yang dinilai sepaham dengan alur berpikirnya. Pembentukan lembaga fatwa atas dasar kesepakatan masing-masing ormas dapat menjadi salah satu solusi menjaga persatuan umat. Ust.Bitoh Purnomo Lc. juga mengamini hal ini. Pembentukan lembaga fatwa tentunya harus lepas dari kepentingankepentingan golongan dan ajang gengsi masing-masing ormas maupun golongan yang berdiri di balik MUI. Perbedaan fatwa yang bersifat parsial dapat dimaklumi karena kondisi antar personal yang berbeda -beda. Sebaliknya, upaya pemersatuan fatwa diharapkan dapat terwujud dalam

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


masalah yang bersifat universal seperti penetapan awal bulan ramadhan sebagai upaya pemersatuan umat. Sedangkan menurut bapak Supriyanto Lc. Indonesia sendiri kini dihadapkan dengan sebuah fenomena yang menarik dengan maraknya fatwa. Budaya masyarakat Islam di Indonesia yang memiliki banyak wadah, menjadikan fatwa pada posisi yang tidak

untuk berkiblat kepada benderanya masing - masing menjadikan kecenderungan untuk mengikuti hukum hukum produk dari apa yang mereka ikuti. Monopoli Fatwa Fatwa merupakan salah satu representasi hukum Allah Swt. kepada umat muslim di seluruh dunia. Ia dapat menjadi gambaran wajah Islam baik bagi muslim itu sendiri maupun non muslim. Tentunya fatwa mutlak merupakan produk maslahat terlepas terjadi perbedaan antar ulama dikarenakan perbedaan sudut pandang dan keadaan mustafti. Sebagaimana yang diutarakan oleh Bapak Supriyanto Lc. bahwa kemajemukan fatwa ini menimbulkan beberapa pandangan pada masyarakat, satu sisi menganggap bahwa keberagaman ini harusnya mampu diakomodir kemudian diaruskan pada satu muara, sehingga mampu tercipta kesepahaman dalam masyarakat sebuah negara. Namun, di lain pihak menyatakan bahwa keberagaman ini justru menjadi kondisi yang lebih baik sebagaimana fatwa bagi masyarakat indonesia yang umumnya lebih condong kepada ormas-ormas atau personal tertentu. Fatwa haruslah lepas dari bias-bias kepentingan personal maupun golongan. kokoh, tanpa terkecuali MUI sebagai Fatwa terkadang sesuai dengan kehendak lembaga fatwa. Karena banyak fatwa yang mustafti dan disisi lain ia tidak sesuai denbermunculan dari beberapa pihak, baik itu gan harapan mustafti. Hal ini tercermin dari pihak yang terlembagakan atau pihak pihak sikap Syekh Mustafa al-Maraghi yang secara personal. Hal ini kemudian membentuk suatu badan guna mengoreksi menjadikan fatwa tidak dipandang undang-undang dan tugas kehakiman di sebagaimana ia adalah sebuah produk dari Mesir, disebabkan oleh dominasi mazhab ijtihad yang ketat, namun lebih dipandang hanafi sangat kental dalam perundangatas ―siapa yang mengeluarkannya‖. undangan pada masa itu. Beliau berujar Kemudian masyarakat yang sudah terbiasa bahwa menetapkan hukum sesuai kadar dan

“Fatwa merupakan salah satu representasi hukum Allah Swt. kepada umat muslim di seluruh dunia. Ia dapat menjadi gambaran wajah Islam baik bagi muslim itu sendiri maupun non muslim.”

tempat serta memperhatikan fikih-fikih mazhab yang lain. Etika dalam berfatwa juga nampak dari proses fatwa itu sendiri yang memang hakikatnya bukan perkara ajang dominasi salah satu pihak. Imam Zarkasyi dalam kitab al-Bahrul al-Muhît fî Ushûl al-Fiqh berpendapat bahwa jika seorang mustafti yang bermazhab tertentu meminta fatwa kepada seorang mufti, lantas mufti itu mengambil mazhab lain diluar mazhab mustafti. Maka mufti tersebut harus menyebutkan mazhab yang ia gunakan untuk menetapkan hukum, serta menjelaskan mazhab yang dianut oleh mustafti, serta pertimbangan mengambil mazhab selain mazhab yang dianut olehnya. Baru-baru ini santer diberitakan fatwa perempuan Tunisia yang menjihadkan tubuhnya untuk para mujahidin yang kontra dengan Bashar Asad. Tentunya hal tersebut mengundang kontroversi dari pelbagai pihak. Lantas terdapat pihak-pihak yang tanpa dasar mengambil ungkapan Syekh Yusuf Qaradhawi terkait permasalahan darurat dan kebolehan hal-hal yang dilarang pada masa itu. Tentunya pendapat ini murni dipolitisir untuk kepentingan kelompok dan memuaskan hasrat nafsu duniawi. Akhirnya, fatwa yang tidak berdasarkan pada landasan hukum yang pasti ini menjadi santapan empuk bagi orangorang yang kontra dengan agama Islam. Sebagaimana yang diutarakan oleh aktivis hak-hak asasi manusia Mesir, Magda Khalil: ‖Sungguh, segalanya (jihad, operasi bunuh diri,dll) berputar di sekitar seks di taman surga.‖ ia juga menambahkan bahwa ― jika anda melihat seluruh sejarah Islam, anda akan sampai pada dua kata: seks dan kekerasan‖. Pernyataan Magda Khalil ini tentunya hanya sebagai tamu yang belum memahami seluk-beluk sebuah agama. Ia mencoba menyamakan antara Islam dan muslim. Padahal kenyataannya tidaklah sama. Sebagaimana ungkapan Syekh Muhammad Abduh “al-Islâmu mahjûbun bil muslimîn” Islam tereduksi justru oleh perilaku umat muslim itu sendiri, karena sejatinya Islam sudah lah besar. Oleh karena itu, fatwa begitu urgen sebagai produk hukum Islam untuk berdialektika dengan peradaban. Menampakkan wajah Islam damai, solutif dan progresif.

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

Tim Laput: Fardan Es W, Silma Syahida

7


Urgensitas Kalender Bagi Kehidupan  Oleh : Nurul Arofah

“Jika kita masih menggunakan kalender Gregorian sebagai acuan, maka setiap 30 tahun seorang muslim akan terlewat membayar zakat selama 1 tahun...”

K

alender atau penanggalan adalah sebuah sistem yang dibuat untuk memudahkan manusia mengenali pergantian periode waktu, mulai dari satuan terkecil yang disebut hari, lalu kumpulan hari menjadi bulan, lalu menjadi tahun dan seterusnya. Kegunaannya sudah tentu tergantung dari komunitas yang menyepakatinya, mulai dari pengukuran daur musim untuk bercocok tanam, pengaturan sistem pemerintahan, hingga penentuan kegiatan religius, semuanya menggunakan kalender. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika tidak ada kalender, manusia tidak dapat merencanakan apa yang akan dilakukan beberapa hari ke depan, semua administrasi pemerintahan bisa kacau, hubungan antar negara pun bisa rusak. Contoh sederhana saja dalam hal surat menyurat, tanpa kalender kita tidak akan tahu kapan surat itu dibuat, hari apa, Bulan ke berapa, Tahun yang mana. Bukan hanya itu, semua harihari penting akan terlewatkan begitu saja dan akhirnya dilupakan. Jika demikian tidak akan ada yang namanya sejarah, padahal bangsa yang luhur adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Oleh karena itu, sejak ribuan tahun silam manusia berusaha membuat suatu sistem perhitungan sebagai pedoman yang dapat menjadi semacam catatan waktu, baik waktu yang telah lalu, sekarang, maupun yang akan datang, juga digunakan untuk menandai kejadian-kejadian yang dianggap penting. Sebagai suatu bentuk komunikasi manusia dengan alam semesta dan perwujudan dari ketidakberdayaan manusia melawan putaran waktu. Karena kalender merupakan civilizational imperative, maka tidak heran jika hampir seluruh peradaban manusia memiliki sistem kalender yang terpercaya, 8

yang mampu merefleksikan nilai-nilai, pandangan hidup dan filosofi peradaban tersebut. Sejarah manusia telah mencatat ada sekitar 40 sistem kalender yang masih dipakai hingga saat ini, sebagian bersifat astronomis (baca: berdasarkan perputaran benda langit), seperti kalender Hijriyah dan kalender Gregorian (kalender Masehi), dan sebagian yang lain non astronomis, seperti kalender Pawukon*. Kehadiran kalender merefleksikan daya lenting dan kekuatan suatu peradaban. Pengorganisasian waktu yang merupakan fungsi utama kalender amat penting dalam kehidupan manusia, dan agama Islam menambah arti penting tersebut dengan mengaitkannya kepada pelaksanaan ibadah, baik ibadah yang bersifat wajib maupun sunnah sudah terjadwalkan didalamnya. Apalagi tujuan penciptaan manusia dalam Islam adalah Ibadah, hal ini menambah arti pentingnya sebuah kalender dalam agama Islam. Namun kenyataannya penggunaan kalender Gregorian lebih populer di kalangan umat Islam dari pada kalender Hijriyah, dan ironisnya mayoritas umat Islam tidak mampu menghafal nama-nama bulan Hijriyah, bahkan tidak peduli apakah saat ini sudah masuk bulan Muharram atau Safar. Paling-paling jika mendekati Ramadhan kita baru sadar bahwa kita sudah berada di bulan Sya‘ban. Padahal selain Ramadhan masih banyak hari-hari penting lainnya yang harus kita ketahui, baik karena kaitannya dengan ibadah seperti 9 Zulhijjah untuk puasa Arafah dan tanggal 13, 14, dan 15 dari tiap bulan untuk puasa baidh, ataupun karena merupakan hari bersejarahseperti Isra‘ Mi‘raj pada tanggal 27 Rajab dan Maulid Nabi Saw. pada tanggal 12 Rabiul Awwal. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa penjajahan bangsa Eropa terhadap bangsabangsa Asia dan Afrika mempunyai andil besar dalam hal ini, kini kalender Gregorian telah ditetapkan sebagai kalender internasional. Mau tidak mau, umat Islam ikut menggunakan kalender Gregorian sebagai acuan untuk kepentingan duniawi, mulai dari lembaga perbankan, perniagaan, pemerintahan hingga pendidikan, sedangkan kalender Hijriyah hanya digunakan untuk penjadwalan waktu ibadah dan hari-hari besar Islam saja. Padahal jika kita telisik lebih dalam,

kalender Hijriyah memiliki banyak keunggulan dari pada kalender Gregorian, pertama dasar penanggalannya adalah Bulan yang merupakan benda langit yang mudah untuk diobservasi. Kedua,perhitungannya pun lebih akurat karena dalam kurun waktu 3000 tahun hanya terjadi kesalahan satu hari saja, sedangkan dalam kalender Gregorian terjadi kesalahan 7-8 hari di setiap 1000 tahunnya. Kalender Hijriyah menjadi lebih unggul ketika dilihat dari hubungannya dengan ibadah, karena bukan hanya puasa yang menggunakan sistem penanggalan, contohnya haji yang merupakan ibadah yang hanya di laksanakan pada bulan Zulhijjah, kewajiban membayar zakat pun menggunakan haul tahunan sebagai batas nisabnya. Jika kita masih menggunakan kalender Gregorian sebagai acuan, maka setiap 30 tahun seorang muslim akan terlewat membayar zakat selama 1 tahun karena kalender Hijriyah bergerak maju lebih cepat 11,53 hari dari pada kalender Gregorian. Artinya jika Islam telah ada di bumi ini sekitar 14 abad, maka umat Islam secara menyeluruh berhutang kepada Allah sekitar 40 tahun membayar zakat. Dari uraian diatas cukup jelas bahwa mengabaikan betapa pentingnya kalender Islam ternyata bukan hal yang sepele. Maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam untuk menghidupkan kembali nilai-nilai sejarah Islam dan nilai ibadah dimulai dari penggunaan kalender Hijriyah dan mensosialisasikkannya kepada masyarakat awam. *Pawukon: Kalender aritmatik murni dan tidak memperhitungkan fase bulan maupun matahari. Kalender ini tidak mencatat angka tahun mulainya dan berputar tanpa berhenti. Satu tahun pawukon = 210 hari, terbagi dalam satuan 7 harian bernama wuku yang berjumlah 30. Kalender ini menjadi pedoman hari raya di pulau Bali dan masih digunakan oleh sebagian suku Jawa.

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


Urgensi Lembaga Fatwa  Oleh : Khoirul Faizin

P

eradaban manusia dapat kita analogikan sebagai suatu ―organisme hidup‖ yang senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan hidupnya. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu membutuhkan orang lain dan alam sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, interaksi sosial timbul dari hal ini. Pada perkembangannya, interaksi sosial juga menuntut adanya aturan untuk mengatur dan menjaga harmoni kehidupan manusia. Sebagai upaya pengendalian sosial dalam masyarakat atau -dalam lingkup yang lebih luas– negara, paling tidak ada sembilan cara yang dapat ditempuh menurut kaca mata sosiologi. Dua diantaranya ialah melalui sebuah lembaga, yaitu lembaga hukum dan lembaga agama.

“Masyarakat yang

dinamis tentu akan menelurkan berbagai masalah baru yang beragam. Hal ini menuntut adanya solusi…” Fungsi lembaga hukum untuk menyelesaikan perkara hukum berdasarkan UndangUndang Dasar yang berlaku di negara tersebut. Sedangkan lembaga agama menjawab tantangan perubahan realitas sosial dengan berpedoman pada hukum agama. Disini penulis akan lebih fokus membahas ―lembaga agama‖ saja, yaitu lembaga yang memberikan solusi hukum guna menjawab permasalahan kontemporer yang baru muncul belakangan dan tidak ada dimasa lalu. Menurut sosiolog muslim, Ibnu Khaldun, dalam bukunya al-Muqaddimah, keberadaan lembaga yang terorganisir merupakan principle commodity bagi masyarakat muslim pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Peran Lembaga Agama Masyarakat yang dinamis tentu akan menelurkan berbagai masalah baru yang beragam. Hal ini menuntut adanya solusi

tepat terkait legalitas hukum untuk menyikapi berbagai masalah. Namun yang menjadi kendala kemudian ialah, bagaimana jika suatu masalah itu tidak dijumpai penyelesaiannya dalam Quran dan Sunah? Padahal wahyu verbal telah berhenti turun sejak nabi Muhammad Saw. wafat. Maka yang berperan dan sekaligus berkompeten memberikan jawaban ialah seorang mufti melalui proses ijtihad berdasarkan pada teksteks agama dalam wadah ―lembaga fatwa‖ yang menaunginya. Lembaga agama ini dianggap mempunyai kewenangan menghasilkan suatu produk hukum melalui mekanisme studi yang mendalam. Pada bab ahammiyatu al-fatwa wa makanatuha dalam karyanya “al-Taysir fi alFatwâ Ashabuhu wa dlawâbithuhu”, Abdullah Shalih bin Ghalib al-Kindi menyebutkan bahwa seorang mufti ialah pengganti Nabi Saw. dalam menyampaikan hukumhukum Islam. Ia mempunyai peran penting sebagai subjek dalam proses pengambilan hukum. Hal ini dilegitimasi oleh hadis riwayat Abu Dawud ―al-„Ulama‟ Waratsatu al -Anbiyâ”. Di Indonesia misalnya ada Majelis Ulama Indonesia, di Saudi Arabia ada Lajnah Da‟imah li al-Buhuts wa al-Ifta‟, atau di Mesir juga terdapat Dar al-Ifta‟ alMishriyyah dan lainnya. Kesemuanya secara umum- merupakan lembaga produsen fatwa yang memberikan solusi dan legalitas hukum berkenaan dengan masalah -masalah kontemporer yang muncul belakangan. Barangkali itulah manifestasi konkret dari istilah “waratsatu al-anbiya”. Bila ditelisik lebih jauh, Dr.Imad Ahmad Hilal dalam karyanya “al-Ifta‟ alMishriy min al-Shahabi „Uqbah ibn „Amir ila al-Duktur „Ali Jum‟ah”, fakta historis menunjukkan bahwa fatwa mulai terlembagakan pertama kalinya ialah di Mesir. Sebelumnya fatwa lebih bersifat personal. Seiring berkembangnya peradaban masyarakat baik dari segi ekonomi, politik, budaya dan sosial, kebutuhan akan lembaga fatwa semakin tidak terbendung. Sebagai contoh, ketika Presiden Mesir Anwar Sadat tibatiba meminta fatwa kepada mufti Mesir, saat pasukannya yang akan menyerang Israel telah berhasil melewati Terusan Suez dan sedang dalam keadaan berpuasa. Lantas dia meminta fatwa apakah boleh jika berbuka (tidak berpuasa)dalam keadaan seperti itu.Disinilah peran lembaga agama terlihat urgensinya, ia tidak lagi bersifat sekunder, tapi telah menjadi primer.

Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah Sebagaimana telah disinggung diatas, Dar al-Ifta‟ al-Mishriyyahmerupakan institusi fatwa pertama yang muncul dan terlembagakan dalam dunia Islam. Institusi ini didirikan pada akhir tahun 1895 bersamaan dengan surat keputusan dari Qadhi Mesir, Abbas Hilmi, yang dialamatkan pada nizharah haqqaniyahnomor: 10 pada tanggal 21 November 1895. Surat tersebut diterima pada 7 Jumad al-Akhir 1313 Hijriyah nomor 55. Sejak saat itulah lembaga fatwa pertama kali terbentuk secara resmi di Mesir. Secara garis besar tugas institusi ini terbagi menjadi dua, tugas keagamaan dan tugas yang berkaitan dengan pengadilan. Sebagai institusi agama, ada beberapa fungsi penting yang menjadi tugas dari lembaga ini. Pertama, menerima pertanyaan dan menjawabnya dengan memberikan fatwa dengan berbagai bahasa, sebagai solusi hukum. Kedua, mengadakan pelatihan fatwa kepada mahasiswa asing. Ketiga, menentukan permulaan bulan hijriah. Keempat, memberikan tanggapan resmi terkait isu-isu keagamaan. Kelima, menyusun riset-riset ilmiah. Dan keenam, menjawab kesalahpahaman terhadap ajaran Islam. Tugas lainnya berkaitan dengan pengadilan, perkara pidana maupun perdata, seperti pertimbangan dankeputusan menurut syarakatas vonis mati terhadap terdakwa dalam suatu perkara pengadilan. Mufti Agung Mesir berwenang mengecek semua berkas-berkas yang ada, juga memeriksa validitas bukti dari permulaan hingga pra-pengambilan keputusan. Kemudian mencari dalil Alquran, sunnah dan pendapat para ulama atas kasus yang ada sebagai legitimasi putusan akhir yang dikeluarkan lembaga ini. Namun demikian, pada dasarnya pertimbangan yang diberikan oleh lembaga fatwa kepada pihak kehakiman tidaklah bersifat final. Dengan kata lain, keputusan akhir atas terdakwa tetap berada pada pihak kehakiman. Disamping al-Azhar, Dar al-ifta alMishriyyahmerupakan salah satu institusi Islam penting di Mesir. Ia merupakan salah satu lembaga yang ada dibawah payung Departemen Kehakiman Mesir. Selain melayani masyarakat Mesir, tak jarang Umat Islam hampir diseluruh dunia merujuk kepada lembaga ini. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang masuk, ternyata banyak dari Umat Islam diluar

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

9


Mesir. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya lembaga fatwa ini bagi masyarakat Mesir dan dunia Islam secara umum.Hingga saat ini,sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Dr..Ali Jum‘ah dalam suatu kesempatan,Dar al-ifta al-Mishriyyah terus mengembangkan pelayanan publiknya.Lembaga ini mempunyai lima bagian penting,yaitu dewan fatwa, pusat riset Islam, pusat pelatihan fatwa, pusat terjemah, pusat komuniskasi dan fatwa elektronik. Selain bidang-bidang yang tersebut diatas, sebetulnya Dar al-ifta al-Mishriyyah juga memiliki tim khusus maqasid al-syari‟ah dan sosialisasi data ilmiah. Sejak pertama kali berdiri tahun 1895, lembaga fatwa ini telah berkali-kali melakukan pergantian mufti. Terhitung telah ada 19 profil pernah menjabat sebagai mufti. Nama terakhir yang mengemban jabatan mufti Mesir adalah Prof.Dr. Ali Jum‘ah, yang kemudian digantikan oleh Prof.Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‗Allam sampai saat ini. Majelis Ulama Indonesia Pada hakikatnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukanlah lembaga yang secara khusus bergerak dalam bidang fatwa. Meskipun selama ini fatwa di Indonesia identik dengan MUI atau organisasi massa Islam lainnya. Dalam khitah lembaga yang berdiri pada 26 Juli 1975 ini disebutkan,terdapat lima fungsi dari Majelis Ulama Indonesia; sebagai pewaris tugastugas para Nabi,sebagai pemberi fatwa,sebagai pembimbing dan pelayan masyarakat, sebagai gerakan ishlah wa altajdid,dan sebagai penegak amar makruf nahi mungkar. MUI berdiri secara independen, sedangkan di Indonesia belum terdapat lembaga fatwa resmi milik pemerintah.

“Fatwa dalam Islam bersifat kondisional, fleksibel, menyesuaikan situasi dan kondisi masyarakat yang menjadi objek penerapan fatwa…” 10

Dalam suatu wawancara dengan salah satu majalah di Indonesia, ketua bidang fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH. Anwar Ibrahim,menyampaikan pentingnya eksistensi

lembaga yang secara khusus menangani fatwa, melihat kondisi sosio-kultur Indonesia yang heterogen yang juga terbalut budaya pribumi yang beragam. ―Hemat saya, untuk Negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia ini keberadaan lembaga fatwa merupakan kebutuhan primer yang harus segera dipenuhi. Sebab tidak banyak orang yang memenuhi kriteria sebagai mufti. Hal ini akan menjadikan kesulitan bagi orang awam untuk mengambil tindakan hukum. Terlebih di Indonesia permasalahanpermasalahan kontemporer terus menguap dipermukaan, kompleks dan membutuhkan segera solusi dan kepastian hukum‖, ungkap beliau.Dengan ini, tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa lembaga khusus fatwa dan pengkajian Islam benar-benar dibutuhkan. Implementasi dan Respon Masyarakat Fatwa dalam Islam bersifat kondisional, fleksibel, menyesuaikan situasi dan kondisi masyarakat yang menjadi objek penerapan fatwa. Ia tidak bersifat mengikat, bisa berubah sesuai tempat dan waktu. Dalam Ushul al-Fiqh al-Islami, Prof. Dr. Wahbah Zuhaily menyebutkan: ―berubahnya hukum (fatwa) disebabkan berubahnya tempat dan waktu‖. Imam al-Syaukani (w.1173 H) dalam kitabnyaIrsyad Al-Fuhuljuga menyampaikan kaidah senada. Fatwa dalam suatu permasalahan di suatu daerah tidak harus sama dengan fatwa di tempat yang lain, mengingat situasi dan kondisi yang ada dalam masyarakat memang berbeda. Kesimpulan hukum yang dihasilkan dalam

fatwa tentu berbeda, namun bertujuan sama; memberikan kepastian hukum yang disimpulkan berdasarkan dua teks agama yang utama, Alquran dan sunah. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, salah satu lembaga keagamaan Islam yang dibentuk secara independen di Indonesia ialah Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai badan resmi yang dibentuk untuk mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan agama Islam. Jika kita teliti lebih dalam, permasalahan yang dihadapi MUI adalah apakah fatwa yang diberikan (dikeluarkannya) dapat menyentuh persoalan mendasar yang dihadapi umat? Dan mungkinkah fatwa yang dikeluarkan terlepas dari nuansa politik? Mencermati sejarah pembentukannya, tampak betapa lembaga ini begitu dekat dengan pemerintah, meskipun pada dasarnya ia bersifat independen. Kedekatan ini pada akhirnya menyebabkan betapa sulitnya lembaga ini memberi fatwa yang lepas dari kepentingan penguasa. Jika punMUI berani untuk ‗berbeda‘ dengan kecenderungan pemerintah, makapemerintah tidak akan sungkan untuk ―mengasingkan‖ mereka yang tidak sejalan. Fenomena tersebut tampak menguat ketika berkuasanya rezim orde baru. Sejarah mencatat betapa Prof.Dr. Hamka harus melepas jabatan ketua MUI tatkala berkeinginan mengeluarkan fatwa haram bagi pelaksanaan ―Undian Harapan‖. Maraknya aksi protes masyarakat terhadap keberadaan undian harapan tersebut, hanya dapat memaksa untuk merubah nama menjadi ―Porkas‖, namun tetap mempunyai esensi yang sama. MUI tetap tidak mampu memberi kepastian hukum atas praktik perjudian tersebut. Kooptasi pemegang kekuasaan pada MUI begitu kuat, yang memunculkan banyak asumsi bahwa ia hanyalah ―sekadar‖ lembaga pencari legitimasi kebijakan pemerintah. Fakta seperti ini menimbulkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap MUI. Sehingga fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga ini kurang mendapat respon dari masyarakat. Sekedar contoh kecil, ketika MUI mengeluarkan fatwa haramnya infotainmen, tidak sedikit masyarakat yang bersikap acuh terhadap fatwa tesebut. Khususnya pihak pengelola

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

Bersambung ke halaman 22


A

llah Swt. menjadikan syariat Islam sebagai syariat terakhir yang dapat berlaku bagi semua orang, tempat, dan pada segala zaman. Al-Quran dan asSunah merupakan kitab yang bersifat universal dan global sehingga masih banyak hal yang tidak dispesifikasikan dalam al-Quran. Imam Asy-Syathibi berkata, “Syariah tidak menetapkan hukum secara rinci hingga bagian yang terkecil. Namun, syariah datang membawa perkara dan pernyataan yang sifatnya umum yang mencakup berbagai persoalan yang tidak terbatas”. Hal ini menunjukan bahwa eksistensi ijtihad masih sangat diperlukan untuk menjawab tantangan persoalanpersoalan hukum yang selalu berkembang yang tidak didapati di dalam al-Quran maupun as-Sunah. Berijtihad tidak mungkin dilakukan oleh seluruh kaum muslimin, karena kemampuan mereka beragam dan bertingkat. Hanya orang tertentu yang memiliki syarat-syarat tertentu yang dapat berijtihad. Syarat-syarat mujtahid yang terdapat dalam kitab-kitab ushul fikih diperlukan bagi mujtahid mutlak yang bermaksud mengadakan ijtihad dalam segala masalah fikih di masa lampau. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu belumlah cukup. Untuk melakukan ijtihad, diperlukan pula pemahaman terhadap ilmu pengetahuan secara umum dengan segala cabangnya. Akan tetapi, itu bukanlah suatu hal yang mudah. Namun, memerlukan kerja keras dan usaha serius. Berbicara mengenai ijtihad tidak terlepas dari fatwa. Fatwa pada hakikatnya merupakan produk ijtihad dari individu ulama atau mufti atau institusi keulamaan yang berwenang memberikan fatwa atas suatu permasalahan hukum dan keagamaan. Hanya saja seorang mufti tidak sama dengan seorang mujtahid. Seorang mufti lebih khusus daripada seorang

Mengenal Seluk-Beluk Fatwa  Oleh : Nafi’atush Sholihah

―Memberi fatwa adalah tugas yang sangat berat, tidak semua orang dapat berfatwa secara mudah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa seseorang tidak boleh berbicara tentang agama Allah tanpa ilmu.‖

mujtahid. ―Setiap mujtahid dapat dikatakan sebagai seorang mufti, namun setiap mufti belum dapat dikatakan sebagai seorang mujtahid‖. Definisi Fatwa Secara etimologi kata fatwa merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaitu fatwan yang bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan, yaitu pemuda yang kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagaimana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Disebutkan juga kata fatwa di dalam alQuran sebanyak sembilan ayat yang mana menerangkan pengertian fatwa itu sendiri. Dua diantaranya terdapat pada surat anNisa, yang bermakna ‫االستفتاء فى امور الدين‬ (Meminta suatu fatwa terhadap permasalah -permasalahan yang berkaitan dalam agama). “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka...” (QS 4 : 127) “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)...” (QS 4 : 176) Tiga diantaranya terdapat dalam surat Yusuf, yang bermakna ‫تفسير الرؤي‬ (interpretasi wahyu). “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)." (QS 12 : 41) “Hai orang-orang yang terkemuka: “Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi.”” (QS 12 : 43) “(setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf Dia berseru): “Yusuf, Hai orang yang Amat dipercaya, Terangkanlah kepada Kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemukgemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus.”” (QS 12 : 46) Kata fatwa juga terdapat pada surat alKahfi, yang bermakna ‫( السؤل‬pertanyaan). “Dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka.” (QS 18 : 46) Dalam surat an-Naml kata fatwa bermakna ‫( طلب النصح‬meminta nasehat) dan ‫( المشاورة‬musyawarah). “Berkata Dia (Balqis): "Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam

urusanku (ini)” (QS 27 : 32) Dalam surat ash-Shaffat, kata fatwa bermakna pertanyaan. ―Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?" (QS 37 : 11) ”Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah): "Apakah untuk Tuhanmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak laki-laki.” (QS 37 : 149) Secara terminologi fatwa adalah penjelasan hukum Allah Swt. dan apa-apa yang disyariatkan Allah kepada umatnya dengan ketetapan dalil syar‘i dari segi umum maupun khusus. Menurut Syekh Yusuf Qaradhawi fatwa adalah menerangkan hukum syariah pada persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan atau kolektif. Dari beberapa definisi fatwa diatas dapat kita simpulkan bahwa fatwa adalah jawaban sebuah hukum yang diperoleh dari seorang mufti kepada orang yang meminta fatwa (mustafti) dan bersifat tidak mengikat. Orang yang memberikan fatwa disebut sebagai mufti, sedangkan orang yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa (mustafti) bisa dilakukan secara perorangan, lembaga maupun siapa saja yang membutuhkannya. Syarat-syarat Mufti Memberikan fatwa adalah tugas yang sangat berat, tidak semua orang dapat berfatwa secara mudah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa seseorang tidak boleh berbicara tentang agama Allah tanpa ilmu. Allah Swt berfirman: “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS 7 : 33) Maka dalam rangka menjaga kualitas hukum agar tetap terjamin keabsahannya diperlukan standarisasi seorang mufti, Seorang mufti harus memiliki kriteriakriteria sebagai berikut: 1. Mengetahui sumber hukum, yaitu al -Quran dan as-Sunah.

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

11


2. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fikih. 3. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dan tata bahasa Arab. 4. Mengetahui nasakh, mansukh, dan hukum-hukumnya. 5. Mengetahui ijmak dan khilafiyah ulama terdahulu. 6. Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya. 7. Mengetahui ijtihad. 8. Mengetahui cara mengambil ‗illat dan urutan dalil-dalil. 9. Mengetahui cara mentarjih. 10. Harus orang yang dipercaya dan jujur. 11. Orang yang tidak menganggap enteng dalam persoalan agama. Syekh Ali Jum‘ah dalam kitabnya alIftâ` al-Misri juga menambahkan syaratsyarat yang harus dimiliki oleh seorang mufti, diantaranya:  Beragama Islam  Baligh  Berakal  Berilmu  Adil Berfatwa dalam beberapa hal sebenarnya merupakan proses lanjut dari berijtihad. Karena definisi ijtihad itu sendiri menurut ulama ushul fikih adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara‘ dari kitabullah dan hadis Rasul. Walaupun syarat-syarat mufti hampir sama dengan syaratsyarat mujtahid, tetapi tidak semua yang difatwakan itu merupakan hasil ijtihad. Dengan kata lain seorang mufti bisa memfatwakan semua masalah hukum, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mujtahid. Seorang mufti yang hanya mengungkap kembali suatu rumusan hukum yang sudah ada, seperti di dalam al-Quran, as-Sunah, Ijmak, fatwa sahabat atau hasil-hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya, maka ia tidak harus memenuhi semua syarat mujtahid. Cukup memadai jika ia dapat mempertanggung jawabkan sumber pengambilan hukum-hukum yang difatwakan itu. Perkembangan Fatwa Secara esensial perkembangan fatwa sudah lama dikenal pada masa nabi. Dalam prakteknya nabi sendiri yang menjadi shâhibul fatwa terhadap permasalahan yang tidak didapati di dalam al-Quran. ―Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku Termasuk orangorang yang mengada-adakan.”(QS 38 : 86) 12

Sepeninggalnya Rasulullah Saw. beliau telah mewariskan dua sumber hukum Islam yang dapat dijadikan rujukan dalam pemecahan segala permasalahan yang ada, yaitu Quran dan Sunah nabi. Namun realitanya, permasalahan-permasalan baru semakin bermunculan dan berkembang dimana permasalahan tersebut belum pernah didapati pada masa Rasulullah sedangkan nas sudah dicukupkan ataupun sudah terhenti sejak wafatnya Rasulullah. Perkembangan fatwa setelah nabi Muhammad Saw. wafat, beralih kepada sahabat. Pada masa sahabat, penerapan fatwa dilakukan dengan cara memberikan jawaban yang sesuai dengan keahlian dan kemampuan masing-masing sahabat. Misalnya, Zaid ibn Sabit dan Utsman ahli dalam bidang manasik, Mu‘adz ahli dalam bidang Fikih, Umar ahli dalam bidang keuangan, dan Ubai ibn Ka‘ab ahli dalam

pertemuan dengan fuqaha sahabat untuk meminta sebuah pendapat yang akan menghasilkan sebuah kesepakatan. Dan kesepaktan inilah yang nantinya akan menjadi sebuah keputusan. Istilah seperti ini yang dinamakan ijmak. Kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, memungkinkan timbulnya permasalahan –permasalahan baru yang harus dipecahkan, untuk itu para ulama baik dikalangan sahabat dan tokoh Islam lainnya, berkewajiban menegakkan hukum syariat yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunah. Perkembangan yang terlihat pada akhir abad, dalam masa pembentukan, ekonomi, dan apa-apa yang diperbaharuhi, dari masuknya politik, perubahan masyarakat, kesemuanya itu merupakan pengaruh untuk terlaksananya sebuah fatwa. Dimana fatwa tersebut berfungsi menyingkap segala sesuatu yang baru agar berjalan sesuai dengan syari‘at Islam. Dengan adanya masalah-masalah kontemporer dimana masalah tersebut belum pernah terjadi sebelumnya maka dari sinilah peran ijtihad kolektif sangat diperlukan. Ijtihad kolektif berlandaskan asas musyawarah, dimana para mujtahid berkumpul dalam satu waktu untuk membahas suatu permasalahan yang sedang terjadi dimana belum ada hukum dari syari‘at Islam. Dalam ijtihad ini menghadirkan ulama yang ahli dalam bidangnya. Hingga akhirnya ulama-ulama tersebur bersepakat dalam menghukumi suatu masalah. Keberadaan Ijtihad kolektif tidak menutupi adanya ijtihad individu selama ulama tersebut memiliki kemampuan yang sangat mumpuni dan memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mujtahid. Hanya bidang al-Quran. Diriwayatkan dari Hakim saja di masa sekarang keberadaan ijtihad bahwasanya Umar ibnu Khattab individu sudah sangat jarang kita temui. menyampaikan kepada sekelompok Bahkan dalam prakteknya Ijtihad kolektif kemudian berkata : ―Barang siapa yang ingin lebih diunggulkan daripada ijtihad individu. bertanya mengenai al-Quran maka datanglah Karena ijtihad kolektif lebih mendekati kepada sebuah kebenaran. nabi Muhammad kepada Ubai ibn Ka‟ab. Barang siapa yang Saw bersabda: ingin bertanya mengenai halal dan haram, “Sesungguhnya sholat bersama seseorang maka datanglah kepada Mu‟adz ibn Jabal. itu lebih baik dari pada sholat sendirian. SeBarang siapa yang ingin bertanya tentang dangkan sholat bersama dua orang, lebih baik ilmu waris, maka datanglah kepada Zaid ibn dari pada sholat bersama seseorang. Dan jumSabit. Dan barang siapa yang ingin bertanya lah yang lebih banyak (jamaah) maka hal itu mengenai keuangan, maka datanglah lebih disukai oleh Allah.” HR.Abu Dawud kepadaku,” Beberapa contoh lembaga fatwa misalSecara umum, para Sahabat di dalam nya, lembaga fatwa Mesir atau yang sering memberikan sebuah jawaban mereka berkita sebut dengan Darul Ifta` merupakan pegang kepada al-Quran dan as-Sunnah. lembaga fatwa pertama yang didirikan di Dalam menghadapi sebuah permasalahan mereka lebih dahulu mencari nasnya dari al dunia Islam pada tahun 1895. Di Indonesia pun juga terdapat lembaga fatwa, yakni -Quran maupun as-Sunah dan apabila mereka tidak mendapatinya dari kedua nas Bersambung ke halaman 22 tersebut maka mereka mengadakan

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


Perbedaan Fatwa dan Upaya Pemersatuan Umat Bersama: Syekh ‘Amru al-Wardhany Direktur Lembaga Pelatihan Fatwa, Dar el-Ifta Mesir Di era modern, semakin banyak muncul persoalan yang sebelumnya tidak pernah dijumpai pada zaman Rasulullah Saw., sahabat, tabi’in, maupun generasi setelahnya. Tidak mungkin persoalan-persoalan baru tersebut tidak dihukumi hanya karena tidak terdapat teks syariat yang langsung menghukumi persoalan tersebut. Oleh karenanya dibutuhkan sekelompok manusia yang kompeten untuk menghukumi persoalan tersebut dengan metodologi tertentu. Pertanyaan selanjutnya, seperti apa kriteria kelompok manusia tersebut? Bagaimana proses lahirnya sebuah hukum terhadap persoalan-persoalan baru tersebut? Berikut ini petikan wawancara kru Sinar Muhammadiyah dengan Direktur Pelatihan Fatwa Lembaga Fatwa Mesir, Dr. Amr al-Wardani di kantor beliau. mengajarkan fikih kepada para pelajar maupun masyarakat. Menjelaskan semua persoalan fikih, istilah-istilah dalam fikih, sampai kepada usul fikih. Sedangkan pengertian fatwa itu sendiri Dr. Amr : Perlu diketahui bahwa adalah penjelasan hukum syariat terhadap seorang fakih memiliki tiga peranan: realita yang terjadi, penjelasan ini bersifat mengajar, menetapkan suatu hukum, dan mengeluarkan fatwa yang ini meniscayakan tidak mengikat. Ada unsur penting dalam definisi ini: Pertama “Penjelasan hukum penjelasan dari masing-masing peran. syariat‖ yang mencakup pengajaran, fatwa, Namun, seorang fakih tidak harus dan qadhâ‟. Kedua, ―realita‖ yang membuat menjalankan ketiga peran tersebut pengajaran tidak masuk dalam definisi ini. sekaligus. Misalnya, ada seorang fakih Ketiga, “tidak mengikat”, berarti qadhâ‟ yang bisa mengajar namun ia tidak tidak bisa masuk dalam definisi ini. Melalui menjalankan peran fatwa. Peran pertama penjabaran definisi ini sebenarnya sudah mufti adalah menyampaikan hukum fikih jelas perbedaan antara ketiga peran fakih yang tersebut di atas. Mengenai relasi kepada manusia yang mengikuti mereka, fatwa dengan qadha‟, keduanya sama-sama karena tidak semua penjelasan tentang hukum syariat, namun orang berpredikat dibedakan dengan sifat qadha‟ yang mujtahid. Peran ini mengikat. terjalin misalnya dengan Sinar: Seperti apa urgensi fatwa dalam kehidupan individu maupun sosial? Sinar: Apa esensi fatwa itu? Apa bedanya fatwa, qadha, dengan pengajaran hukum?

Dr. Amr: Ketika berbicara sejarah misalnya. Sangat sulit ditemukan literatur sejarah yang membicarakan sejarah rakyat. Kebanyakan berbicara tentang penguasa dan kerajaannya. Sehingga ketika ada seorang peneliti yang ingin mengetahui sejarah rakyat akan kesulitan. Oleh karenanya saya menyarankan untuk merujuk kepada sumber fatwa kelompok masyarakat ketika ingin mengetahui pola hidup suatu kelompok masyarakat tersebut. Dari fatwa-fatwa itulah kita bisa mengetahui persoalan apa saja yang terjadi di masyarakat. Betul, karena peran seorang mufti seperti dokter dalam ranah sosial. Bedanya, dokter

mengobati penyakit dalam tubuh manusia sedangkan seorang mufti mengobati penyakit dalam tata cara beragama manusia. Proses ini membutuhkan pengetahuan terhadap persoalan masyarakat. Nah, persoalan inilah yang saya maksud dengan sejarah rakyat tadi, itulah yang menggambarkan kondisi rakyat ketika itu. Saya punya satu ungkapan (beliau menamakan dengan `Ibârah Wardâniyyah sesuai nama beliau-pen), ―Fatwa adalah kantor masyarakat‖ di dalamnya tersimpan arsip-arsip persoalan masyarakat. Sebegitu pentingnya fatwa, ulama dulu sampai menetapkan bahwa setiap jarak tertentu (misalnya jarak bepergian yang memperbolehkan qasar salat-pen) harus ada satu orang mufti. Sehingga ketika pergi kemanapun manusia dapat bertanya kepada mufti tersebut ketika menjumpai persoalan. Kebutuhan msyarakat akan fatwa lebih besar daripada kebutuhan mereka akan qadha‟, karena penjelasan tentang hukum syariat selalu dibutuhkan sesuai persoalan yang muncul, sedangkan qadha‟ biasanya hanya dibutuhkan ketika ada sengketa misalnya. Sinar: Apa saja syarat yang harus dipenuhi seorang mufti? Dr. Amr: Syarat yang harus dipenuhi seorang mufti sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Kenapa? Karena seorang mufti memang melakukan ijtihad ketika melakukan tugasnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa semakin lama semakin sedikit orang yang memenuhi kualifikasi mujtahid. Nah, oleh karenanya ada istilah mufti darurat, yaitu orag yang sebenarnya belum mencapai derajat mujtahid namun dia mampu melakukan inferensi hukum.

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

13


Selain itu, seorang mufti haruslah orang yang cerdas, bukan orang bodoh. Sehingga mampu memvisualisasikan persoalan yang dihadapkan kepadanya baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Dia juga harus mengerahui ilmu-ilmu penunjang lainnya untuk memahami realita. Singkatnya, seorang mufti harus memahami teks syariat dan realita. Di sebuah negara yang menjunjung adat dan budaya keislaman, benturan antara keduanya niscaya akan terjadi, tentunya hal ini menuntut seorang mufti darurat untuk bisa memahami pula persoalan adat kemudian bagaimana ia memandangnya dalam kacamata teks syariat.

Keberadaan Mufti Agung sebagai pimpinan dari lembaga fatwa tersebut. Di dalam lembaga ini, ada sebuah tim yang terdiri dari mufti dan pembesar ulama Lembaga Fatwa Mesir yang disebut sebagai Amanatu‟l Fatwa. Ketika ada suatu permasalahan, mereka inilah yang mengeluarkan fatwa dan setiap fatwa yang dikeluarkan akan ditandatangani oleh minimal dua orang dari anggota Amanatu‟l Fatwa tersebut.

yang memiliki legalitas tunggal dalam keputusan fatwa di Mesir ini adalah Lembaga Fatwa Mesir. Sedangkan hubungannya dengan Masyîkhah, semua mufti yang ada di Lembaga Fatwa haruslah orang-orang al-Azhar. Sinar: Bolehkah menggunakan fatwa negara lain?

Dr. Amr: Ingat, fatwa itu adalah suatu perkara yang sifatnya khusus. Ketika ada Sinar: Jika demikian, berarti yang yang ingin mempraktekkan fatwa negara menentukan suatu hukum atas persoalan lain, maka ia haruslah orang yang memenuhi syarat. Banyak hal yang harus yang ada bukanlah seorang saja? dilakukan, misalnya dengan mengamati rumusan masalah sampai fatwa yang Dr. Amr: Benar, yang menentukan Sinar: Langkah apa saja yang harus menjelaskan hukumnya. Karena setiap suatu hukum atas persoalan bukan satu dilalui oleh seorang mufti dalam negara belum tentu memiliki masalah yang orang saja melainkan sebagaimana yang menentukan suatu hukum? sama dengan negara lain, inilah yang saya sebut tadi adalah suatu tim yang membuat fatwa tidak bisa sembarang disebut Amânatu‟l Fatwa. Dr. Amr: Ada empat langkah yang diterapkan. Karena sifat fatwa itu sendiri harus dilalui untuk merumuskan suatu Sinar: Bagaimana cara Lembaga yang bisa berubah karena perbedaan fatwa: penggambaran masalah, kajian keadaan, waktu, tempat, dan individu. Fatwa Mesir dalam mensosialisasikan masalah, menghukumi masalah, terakhir fatwa kepada khalayak? mengeluarkan fatwa. Sinar: Menurut anda, bagaimana cara Dalam penggambaran masalah, peran menyatukan fatwa yang ada di Dr. Amr: Tentunya dengan berbagai pemohon fatwa sangat besar, dia harus Indonesia? cara. Misalnya dengan tulisan maupun menjelaskan masalahnya kepada mufti media elektronik seperti email, jejaring dengan gamblang sehingga dapat memberi sosial, dan lainnya. Dr. Amr: Persatuan fatwa di Indonesia gambaran di kepala mufti. Kemudian dalam tak akan pernah terwujud tanpa adanya kajian masalah, mufti akan menyesuaikan Sinar: Apa hubungan antara Lembaga Lembaga Fatwa Indonesia. Sayangnya masalah dengan teks-teks yang ada juga beberapa kelompok baik secara langsung Fatwa Mesir, Majma`u’l Buhûts aldengan disiplin ilmu terkait. Barulah mufti Islâmiyyah, dan Masyîkhah al-Azhar? maupun tidak memang tidak menginginkan akan menghukumi masalah tersebut hal itu terwujud, seolah-olah perbedaan ini kemudian lahirlah fatwa. Semua proses ini muncul karena faktor politik. Permasalahan Dr. Amr: Sebenarnya secara instansi harus dijalankan sebagaimana mestinya. ini sebenarnya bisa teratasi manakala tidak ada keterkaitan. Namun ada sebuah lembaga-lembaga tersebut bersedia ntuk undang-undang yang menyatakan bahwa Sinar: Apakah ada batasan tertentu berkumpul dalam satu majelis yang sama Majma`u‟l Buhûts harus memiliki konklusi dalam pertanyaan mufti terhadap yang sama dengan Lembaga Fatwa karena kemudian bermusyawarah sehingga pemohon fatwa? Dr. Amr: Segala persoalan yang terkait dengan persoalan pemohon fatwa harus ditanyakan oleh mufti sehingga mufti benar -benar dapat memahami persoalan pemohon fatwa sehingga tepat pula dalam mengeluarkan fatwanya. Sangat berbahaya apabila mufti salah memahami persoalan pemohon fatwa, ini akan berdampak kepada kesalahan fatwa yang dilahirkan. Sinar: Bagaimana pendapat anda mengenai suatu keadaan dimana mufti bukanlah seorang individu saja, melainkan berupa suatu lembaga? Di Indonesia misalnya ada Majelis Ulama. Berbeda dengan Mesir yang menunjuk seorang mufti. Dr. Amr: Sebenarnya tidak demikian yang berlaku di Mesir. Memang ada seorang mufti agung yang ditunjuk, namun Mesir juga memiliki Dâru‟l Iftâ‟ alMishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir). 14

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


menghasilkan satu keputusan bersama. Ini tidak lain demi kemaslahatan umat Islam di Indonesia. Sinar: Jika demikian, berarti solusinya adalah menyerahkan otoritas fatwa kepada pemerintah? Dr. Amr: Saya tidak mengatakan bahwa ketika otoritas fatwa diserahkan kepada pemerintah lantas hal itu langsung dapat menghilangkan perbedaan yang ada. Hal yang terpenting adalah kata sepakat dari para ulama serta memisahkan persoalan yang berada dalam koridor agama dengan yang berada di luar koridor agama. Ini yang mungkin bisa menjadi solusi mengatasi perbedaan yang ada. Sinar: Pertanyaan pamungkas dari redaksi, apa nasehat anda bagi para pelajar Indonesia khususnya yang berada di Mesir. Juga mungkin kepada ulama di tanah air? Dr. Amr: Hendaklah para pelajar bersungguh-sungguh dalam memikul amanat menuntut ilmu. Manfaatkan segala kesempatan yang ada, tidak semua orang bisa menikmati kesempatan belajar. Gunakan sebaik-baiknya untuk memperdalam khazanah keilmuan Islam, ini yang akan menjadi bekal ketika keadaan menuntut untuk mengaplikasikannya. Sehingga ketika kalian kembali ke tanah air, kalian dapat memandang segala macam persoalan dengan tinjauan yang mendalam kemudian berkontribusi dengan memberikan solusi yang tepat bagi masyarakat ketika berhadapan dengan berbagai macam problematika yang ada. Kepada para ulama di Indonesia, saya mengarapkan agar selalu mengedepankan persatuan dan kemaslahatan umat. Tentunya dengan cara keluar dari perselisihan yang terjadi. Memang, perbedaan merupakan hal yang wajar namun menjadi bencana ketika perbedaan tersebut malah menyebabkan perpecahan umat. Dalam dunia Islam, Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki banyak ulama besar. Akhirnya saya selalu berharap agar para ulama bisa bergandengan tangan menyelesaikan persoalan yang dihadapi umat. Ini akan bermanfaat bagi umat Islam di Indonesia. Tim Hiwar: Khaerul Anam Fakhruddin Zakky al-Rashyid Fardan Es W

RIWAYAT HIDUP: Nama: Amru Musthafa Wardaniy Tempat Tanggal Lahir: Kairo, 15 Mei 1971 Status sosial: Menikah, Mempunyai tiga orang anak Pendidikan: Universitas Darul Ulum Kairo Karangan: Al Insyithah al-Âmmah fî Majâli al Auraqah al Mâliyah min Manzhûri al-Fiqh Al Islam Muqâranah bi al-Qanun al-Mishri Jabatan resmi: Direktur pelatihan fatwa, Dar el-Ifta el-Mishriyyah

Segenap kru Sinar Muhammadiyah mengucapkan: selamat dan sukses atas terpilihnya

Sdr. Amrizal Batubara sebagai

ketua PPMI Mesir Periode 2013-2014 Semoga dapat menjalankan amanah dengan indah SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

15


Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam  Oleh : Muktashim Billah

S

ejak didirikannya Dar al-Ifta (Lembaga Fatwa) Mesir pada tahun 1895, Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam terhitung menjadi orang pertama yang dipilh dan diamanahi menjadi Mufti Mesir dengan menggunakan sistem pemilihan dan pertimbangan dari suara otoritas para ulama senior al-Azhar. Bahkan, beliau satusatunya orang yang terpilih, setelah para otoritas ulama di bawah wewenang Syekh al-Azhar (Muhammad Thayyib) menyaring sekitar 60 calon mufti berkompeten. Bukan perkara mudah Dr Syauqi bisa menjabat menjadi mufti baru, karena mufti sebelumnya yaitu Syekh Ali Jum‘ah terhitung orang yang mengemban tugas mufti selama sepuluh tahun. Siapakah Dr.Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam ? Hingga otoritas para ulama lebih cenderung memilih beliau ? Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam lahir pada tahun 12 Agustus 1961,beliau lahir dan tumbuh besar di Delta Nil, Shubra yang terletak di utara negeri Mesir. Dari berita yang kami himpun, beliau memperoleh gelar Bachelor dalam bidang Syariah dan Hukum pada tahun 1984, di Thanta, Mesir dengan predikat ―Summa Cumclaude‖. Lalu, pada tahun 1990, beliau melanjutkan program magisternya dengan judul tesis ―Studi dan Penelitian Manuskrip Kitab ad-Dzakhirah Imam Al Qarrafi pada bagian ketiga dan keempat dalam permasalahan jual-beli‖, dan akhirnya pada tahun 1996 beliau mengajukan desertasi dengan judul ―Studi Komparatif: Penghentian Proses Pidana dan Penyelesaiannya tanpa Hukum dalam Fikih Islam‖ dan mendapatkan nilai cumlaude. Sedangkan dalam segi amanah dan jabatan, Dr Syauqi Ibrahim Allam pernah menjadi kepala Yurisprudensi Islam dan Hukum Syariah di Universitas al-Azhar, cabang Thanta dan menjadi kepala Departemen fikih di Fakultas ilmu Islam atas rekomendasi Kesultanan Oman. Selain itu, beliau juga tidak memiliki afiliasi dengan partai politik, sehingga terkenal bahwa beliau netral dalam permasalahan politik. Beliau juga dikenal sebagai ahli fikih dan permasalahan-permasalahan kontemporer, salah satu karyanya yang banyak dibicarakan dan paling fenomenal adalah persoalan penetapan jenis kelamin janin dan legalitas sesuai dengan hukum Islam. Penelitian dan Karya Selain perannya dalam berbagai lembaga, Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam juga memiliki setidaknya 13 16

penelitian khusus dalam bidang agama terkhusus fikih, beberapa diantaranya adalah : Daur al-Daulah fi al-Zakat, Ahkamu Khiyar al-Majlis Dirasah Muqoronah, alTafriq al-Qodloi li al-Maqoshid al-Syar‟iah, al-Qowaid al-Fiqhiyah wa Dauriha fi alTafsir al-Qodloi li al-„Aqdi „inda al-Tanazu‟ fi Al fadziha dan al-Mar‟ah al-Muslimah fi „Ashri al-Hadis. Sedangkan dalam dunia kepenulisan, beliau telah berhasil membukukan sekitar 25 buku diantaranya : Mabad iIlm Mawarits, Muhadharat fi Fiqhil „Ibadat, Durus fi Fiqhil Ahwal Al Syakhshiyyah, Al Mujiz fi Qawa‟id Al Fiqh Al Kulliyyah, Muhadharat fi Al Fiqh Al Maliki. Mazhab dan Keahlian Meskipun beliau terkenal sebagai penganut mazhab Maliki, namun beliau juga terkenal menguasai semua fikih perbandingan dan permasalahanpermasalahan kontemporer. Disamping itu, ia juga menguasai ekonomi Islam dan peraturan hukum peradilan dalam Islam. Dan inilah juga mungkin salah satu penyebab otoritas Ulama Mesir memilih beliau, semoga amanah dan mengayomi masyarakat Mesir ! Kedudukan Mufti Mesir Setelah memaparkan profil beliau, kita harus memahami bersama-sama ladang kerja seorang mufti. Lembaga Fatwa Mesir terhitung sebagai salah satu pilar utama Institusi Islam di Mesir, dan menjadi lembaga fatwa pertama yang berdiri di dunia. Sebagai lembaga fatwa, lembaga ini juga memiliki kedudukan untuk memberi fatwa kepada masyarakat umum dan menjadi pusat konsultasi untuk lembagalembaga peradilan di Mesir, bahkan wilayah lembaga fatwa Mesir tidak terbatas di dalam negeri saja. Berdasarkan catatan fatwa, hampir seluruh dunia pernah meminta fatwa kepada lembaga fatwa ini. Bahkan lembaga ini turut memiliki andil dalam memvonis mati terdakwa kasus kriminal. Semua peranan penting ini tentunya berangkat dari posisinya dalam mengambil hukum, serta metodenya yang terkenal moderat dan memutuskan masalah dengan metode yang khusus. Tugas Lembaga Fatwa Mesir Tidak cukup lembaran kertas ini bila harus menyebutkan semua tugas lembaga fatwa mesir yang siap diemban oleh mufti yang baru. Namun,

secara garis besar, lembaga fatwa Mesir memiliki tugas keagamaan dan tugas yang berkaitan dengan peradilan. Adapun tugas keagamaan ini mencakup menerima dan menjawab pertanyaan dengan berbagai bahasa, baik dalam bentuk tulisan, lisan, maupun via telepon mengenai permasalahan seperti; menentukan awal bulan hijriyyah dan menyatukan antara ilmu hisab dan rukyat agar tak terjadi perselisihan, mengeluarkan pernyataan resmi seputar masalah keagamaan, menyusun riset-riset ilmiah keislaman terutama dalam masalah kontemporer, menjawab kesalahpahaman umat tentang agama, mengadakan pelatihan fatwa kepada mahasiswa asing, dengan kurikulum yang sudah ditentukan. Bahkan, terdapat pula pembelajaran jarak jauh, agar para generasi muda siap untuk menjadi pusat pertanyaan ummat Islam di negaranya jika terjadi persoalan-persoalan. Sedangkan dalam tugas yang berkaitan dengan peradilan, lembaga fatwa Mesir memiliki andil dalam memutuskan vonis mati kepada terdakwa kriminal, bahkan pengadilan pidana wajib melimpahkan keputusan vonis mati kepada mufti setelah keputusan tersebut disepakati dalam pengadilan dan tertutupnya kesempatan banding sebelum membacakan vonis terakhir. Setelah dilimpahkan, tugas mufti adalah meneliti kasus ini mulai dari awal mula kejadian, jika mufti menemukan bukti yang diakui syariat yang kuat, agar pelaku ini di hukum mati, maka sang mufti akan mengeluarkan keputusan tersebut sesuai apa yang ada di dalam syariat Islam, namun apabila tuntutan pengadilan tidak sesuai dengan syariat Islam, maka mufti berhak untuk memberikan putusan untuk tidak menghukum mati terdakwa tersebut. Begitulah kurang lebih kedudukan dan tugas Lembaga Fatwa Mesir, semoga dengan ditunjuknya Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam sebagai mufti baru, dapat mengemban semua amanah yang tidak ringan ini, karena mengambil amanah berarti siap mempertanggung jawabkan amanah, selamat bekerja mufti baru! 

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


Kembalinya Pesona Sinar Muhammadiyah ď € Oleh : Muhammad Bakhrul Ilmi "Minggu ini majalah harus sudah selesai, setelah itu kita langsung tahap percetakan", ujar ketua Pimred majalah Sinar Muhammadiyah. Sementara beberapa kru majalah Sinar Muhammadiyah sedang dalam kesibukanya masing-masing, editing, layouting, cetak cover, serta merampungkan beberapa tulisan yang belum selesai. aktifitas PCIM semakin ramai ketika kru Sinar Muhammadiyah berencana untuk kembali menerbitkan majalahnya, sehingga sedikit banyak menambah ramai Markaz Da'wah Muhammadiyah di Mesir. Rapat konsolidasi sudah beberapa kali dilakukan oleh para kru majalah Sinar Muhammadiyah untuk membincangkan beberapa hal, mulai dari kendala, solusi, dan alternatif. pada edisi sinar kali ini memang agak lebih berat dikarenakan majalah Sinar yang sudah vakum lama, serta waktu penggarapan majalah yang bertepatan dengan musim panas sehingga sedikit membuat kewalahan para punggawa majalah Sinar. Meskipun majalah kali ini menjadi First Edition bagi para kru baru Sinar Muhammadiyah, namun majalah ini adalah edisi yang kesekian bagi PCI Muhammadiyah Mesir. majalah ini memiliki arti dan peran penting bagi pergerakan PCI Muhammadiyah Mesir. Sebagai salah satu organisasi massa dikalangan Masisir, PCI Muhammadiyah melalui lembaga afiliasinya berusaha untuk memberikan sedikit banyak sumbangsihnya kepada Masisir secara umum dan para kader Muhammadiyah di Mesir secara khusus. Majalah Sinar Muhammadiyah sebenarnya sudah agak lama berada dikalangan Masisir, hanya saja sekitar dua tahun terahir meredup hingga seolah hilang begitu saja. "Tentang Sinar Muhammadiyah seingat saya pertama kali terbit s2kitar tahun 1998. Waktu itu yang jadi ketua IKM (sekarang PCIM) Ust. Abdillah Nur Ridlo." ujar Dr.Muhtadi Abdul Mun'im, Lc. MA. mantan Pimred majalah Sinar Muhammadiyah yang berhasil dihubungi melalui pesan singkat. Setiap kekeluargaan, kelompok studi, dan organisasi yang ada di Kairo berlomba-lomba untuk menerbitkan karya mereka, sambung beliau yang berhasil menyelesaikan S3 nya di Amerika. banyak sebenarnya manfaat yang bisa diambil dari majalah Sinar Muhammadiyah ini, disamping sebagai media cetak, juga sebagai ajang berlatih menulis bagi awak kapal Sinar Muhammadiyah yang nantinya akan berlabuh di perairan Indonesia. Setelah beberapa kali tertunda untuk diterbitkan, akhirnya majalah Sinar Muhammadiyah kembali dicetak. Tentu dengan berbagai pertimbangan sehingga para kru Sinar Muhammadiyah mau memperjuangkan majalah yang sudah lama tertidur ini. Sejak awal rencana diterbitkannya majalah Sinar Muhammadiyah muncul suara-suara dari para kader Sinar Muhammadiyah yang ada di Indonesia untuk juga mengirimkan tulisan para kru Sinar Muhammadiyah guna mengisi beberapa rubrik di majalah Suara Muhammadiyah di Indonesia. Bukannya menambah berat beban para punggawa Sinar Muhammadiyah, justru hal ini menambah semangat juang Kru Sinar Muhammadiyah. Bayangkan, belum juga majalah Sinar Muhammadiyah terbit, pesonanya sudah merebak kemana-mana. Rangkaian rencana majalah Sinar Muhammadiyah selanjutnya adalah mengadakan Upgrading bagi rekan-rekan kru Sinar Muhammadiyah yang akan melanjutkan perjuangan setahun kedepan ini. Majalah Sinar Muhammadiyah juga terbuka bagi seluruh kalangan Masisir baik itu pengiriman karya tulis ilmiah,

atau hanya sekedar bertanya-tanya terkait jurnalistik atau majalah Sinar Muhammadiyah itu sendiri. Kedepannya Sinar Muhammadiyah akan melakukan regenerasi bagi para kru dan pelaku dibalik layar majalah ini, sehingga roda kepengurusan majalah bisa dilanjutkan oleh generasi setelahnya. Mungkin bentuk rekrutmen akan dipublikasikan lebih lanjut kedepannya. dan diharapkan nantinya akan muncul penerus handal yang mampu untuk mengemban roda pergerakan majalah Sinar Muhammadiyah. Majalah Sinar Muhammadiyah juga berencana untuk melebarkan sayapnya ke beberapa negara lain, terutama negara-negara yang terdapat komunitas kader Muhammadiyah atau sekedar simpatisan. Sebagai langkah awal, majalah Sinar Muhammadiyah sebagian akan dipasarkan di Perancis dan Rusia melalui PCI Muhammadiyah yang ada disana. Untuk langkah selanjutnya akan dibuka pemesanan majalah Sinar di beberapa cabang istimewa Muhammadiyah yang terdapat di berbagai negara. Nantinya para pembaca majalah Sinar Muhammadiyah dimana pun juga dipersilahkan untuk mengirimkan karya-karyanya dan diberi hak untuk dimuat di Sinar Muhammadiyah jika memang layak. Kritik dan saran yang membangun juga bisa disampaikan kepada kru Sinar Muhammadiyah, bisa menghubungi langsung atau melalui email resmi milik Sinar Muhammadiyah Mesir dialamat berikut sinar.pcim@yahoo.com besar harapan kami agar pembaca sekalian ikut berpartisipasi dalam mengembangkan majalah Sinar Muhammadiyah dengan memberikan kritik, saran, dan lain sebagainya. Selamat berjuang bagi kru Sinar Muhammadiyah Mesir, semoga berhasil mencapai target yang dicanangkan. Dan dengan semangat revolusi Mesir 25 Januari kita segarkan kembali majalah Sinar Muhammadiyah. Semoga mampu menjadi partner dalam mewadahi ulama Muhammadiyah dan umat islam secara umum.

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

17


Urgensi dan Ilzâm Fatwa  Oleh : Zaky Al Rasyid

Mukadimah Dalam kitab Tâj al-„Urûs, Fatwa secara bahasa didefinisikan sebagai ‗jawaban atas hal meragukan yang sesuai dengan keterangan orang yang bertanya‘. Sedangakan secara istilah, fatwa berarti ‗menjelaskan hukum syar‘i dari dalil-dalil / nas agama kepada orang yang bertanya suatu hukum. Imam Al-Faraqi menambahkan, fatwa adalah berita dari Allah Swt. dan mufti adalah seorang penterjemah (menerjemahkan hukum Allah). Fatwa atau yang lebih dikenal masyarakat umum sebagai keputusan atau penjelasan seseorang/ sekumpulan ulama dalam menghukumi sebuah perkara baik yang telah terjadi dan terdapat dalam nas, maupun yang baru, serta belum ada hukum dalam nash agama mengenai hal tersebut. Di masa perkembangan zaman yang begitu pesat ini, banyak bermunculan perkaraperkara baru yang belum ada hukumnya secara jelas di dalam nas-nas agama. Sehingga kadang membuat masyarakat menjadi bingung akan hukum suatu hal. Terlebih lagi jika menyentuh perkaraperkara yang sensitif bagi masyarakat. Yang kadang fatwa yang dihasilkan bisa mempengaruhi stabilitas kondisi masyarakat, sehingga dalam beberapa keadaan masyarakat tidak mengindahkan fatwa dari ulama. Inilah yang kadang timbul kontroversi ditengah-tengah masyarakat yang membuat masyarakat bertanya. Apakah fatwa itu perlu? Dan juga apakah fatwa dari seorang/sekelompok mufti wajib diikuti? Urgensi Fatwa Seperti yang sudah dijelaskan di atas, banyaknya perkara-perkara baru yang terjadi saat ini membuat masyarakat awam menjadi ragu-ragu atau bingung dalam mengerjakan perkara-perkara yang baru tersebut. Ditambah, terbatasnya nash-nash agama yang diturunkan oleh Allah Swt. baik Al Quran maupun As-Sunnah membuat perlunya kaum muslimin membuat mempunyai rumusan penyimpulan hukum suatu perkara baru yang belum pernah terjadi di masa Rasulullah Saw., para sahabat. Karena jika 18

perkara tersebut terjadi pada masa Rasulullah Saw. Hidup, maka hukum perkara tersebut akan langsung ditentukan oleh Allah lewat Al Quran dan As-Sunnah, sehingga kaum muslimin pada waktu itu menjadikan Rasulullah sebagai satusatunya tempat bertanya hukum suatu perkara. Kemudian di zaman para sahabat jika ada perkara baru, maka para sahabat akan berkumpul membuat ijma‘ mengenai perkara tersebut. Ijma‘ para sahabat pada waktu itu mudah dilakukan, karena pada saat itu sahabat mayoritas masih berada di Madinah terutama pada masa Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khattab. Kemudian timbul pertanyaan, apakah hukum pekara yang tidak ada nas yang membahasnya di dalam Al Quran dan As Sunnah tidak ada hukumnya? Allah berfirman dalam QS. AlMaidah:3 :”Pada hari ini telah Aku cukupkan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.”Dan juga pada QS. Saba`:28 :”Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa, hukum-hukum agama yang Allah turunkan pada masa Rasulullah sudah sempurna dan cocok untuk siapa saja, kapanpun dan dimanapun. Hanya saja hukum tersebut perlu untuk diterjemahkan terutama bagi permasalahan kontemporer yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah. Hukum perkara-perkara yang belum ada hukumnya di dalam nas-nas agama bukan menunjukkan Islam tidak mengatur masalah itu, tetapi hukum-hukum perkara tersebut belum diterjemahkan. Jika pada masa Rasulullah, penerjemah hukum itu Rasulullah dan pada masa sahabat itu para sahabat yang faqih dalam ilmu agama, maka pada masa sekarang adalah seorang mufti yang menjadi penerjemah hukumhukum Allah untuk agama Islam. Dalam hal ini adalah dasar-dasar agama yang kemudian bisa dikembangkan penerapannya oleh para mufti di kemudian hari. Oleh karena itu, Fatwa merupakan

suatu kebutuhan di masa saat ini dalam menghadapi perkara-perkara baru yang hukumnya belum diterjemahkan dari nasnas agama. Di sinilah peran penting seorang mufti, dia menerjemahkan serta mengejawantahkan nas-nas agama menjadi produk hukum yang bisa langsung digunakan oleh masyarakat. Timbullah pertanyaan, apakah boleh perkataan seorang mufti dijadikan dalil untuk menjangkau permasalahan kontemporer? Ibnu Shalah dalam bukunya Adab alFatwâ wa Syurûth al-Muftî wa shifat alMustaftî wa Ahkâmuhu,beliau menukil pendapat Ibnu Taimiyah :” Taat kepada Allah dan Rasul-Nya, menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Keduanya, mengharamkan apa yang diharamkan oleh Keduanya dan mewajibkan apa yang diwajibkan oleh Keduanya - kewajiban untuk manusia dan jin, kewajiban di setiap kondisi (samar maupun jelas) – akan tetapi jika ada perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia, maka hukumnya merujuk kepada orang yang lebih mengetahui hukum-hukum Allah. Dikarenakan dia lebih tahu dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah dan apa maksudkan sabda beliau. Maka dari itu, para Imam kaum muslimin yang diikuti oleh manusia dalam hal wasilah, jalan dan dalildalil sabda Rasul yang mereka sampaikan dan beritahukan maksudnya antara manusia dan Rasulullah dengan ijtihad dan kapabilitas mereka. “ Dari pendapat Ibnu Taimiyyah di atas dapat disimpulkan bahwa jika dalam suatu perkara baru yang tidak ada nash/dalil dari Allah dan Rasulnya mengenai hukum perkara tersebut, maka perkataan mujtahid (mufti) bisa dijadikan dasar hukum perkara tersebut, karena mujtahid(mufti) merupakan orang yang mempunyai pengetahuan tentang nash-nash agama dan kemampuan mengambil hukum(berijtihad) dari nash yang ada. Selain menjadi penerjemah hukum-hukum Allah untuk perkara-perkara baru yang belum ada hukumnya di dalam nash-nash agama, para mujtahid merupakan para ulama yang menjadi pewaris para nabi untuk membimbing umat manusia. Hal ini juga diperkuat oleh hadits Abu Darda` dari Rasul Saw. Bersabda : “ Sesungguhnya para ulama itu pewaris para nabi.” Dari hadits tersebut jelas bahwa penetapan keutamaan ulama di antara umat manusia dengan tujuan memberikan penjelasan hukumhukum Allah kepada umat manusia salah satunya lewat jalan pemfatwaan. Dan juga ada yang berpendapat bahwa hadits tersebut merupakan penanda dari Allah Swt. tentang dibolehkannya perkataan seorang mufti menjadi dalil untuk permasalahan-permasalahan kontemporer. [lihat Abu Amr Utsman Ibnu Shalah Asy-

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


Syahrazuri, -Adab al-Fatwâ wa Syurûth alMuftî wa shifat al-Mustaftî wa Ahkâmuh, Maktabah al-Khanji, Kairo, cet. II, 2009, hal. 4] Ilzâm Fatwa Setelah sebuah fatwa dihasilkan oleh seorang mufti dan ada dalil yang jelas yang menyatakan bahwa perkataan seorang mufti dapat dijadikan dalil dalam menghadapi permasalahan kontemporer, apakah kita wajib melaksanakan fatwa itu atau tidak? Walaupun perkataan seorang mufti dapat dijadikan dalil untuk permasalahan kontemporer, fatwa merupakan produk hukum hasil istinbâth/ penyimpulan manusia (dari hukum-hukum Allah) yang di dalamnya bisa terdapat kesalahan. Berbeda dengan hukum taklifi yang murni turun dari Allah Swt. Dalam hal ini Ibnu Muzhaffar alSam‘ani berpendapat:‖Jika seorang mustafti (peminta fatwa) mendengar jawaban dari seorang mufti (mengenai hal yang ia tanyakan) maka fatwa tersebut tidak wajib kecuali dengan komitmenya, bisa juga dikatakan bahwa : dia (mustafti) wajib jika melaksanakan fatwa tersebut. Ada juga yang berpendapa: fatwa tersebut wajib jika fatwa tersebut cocok dengan apa yang terjadi dalam dirinya, dan pendapat ini adalah yang lebih utama dibandingkan pendapat lain.” Menanggapi pendapat Ibnu Muzhaffar al-Sam‘ani, Ibnu Shalah menambahkan:” Saya tidak menemukan pendapat mengenai ini (hal di atas) selain beliau. Beliau menceritakan setelah itu dari sebagian ushuliyyun bahwa jika seorang mufti berfatwa mengenai suatu hal kepada seorang mustafti di dalam masalah yang ada perbedaan dengan mufti lain, maka dia(mustafti) boleh menerima fatwanya atau menerima fatwa dari mufti yang lain. Kemudian Ibnu Muzhaffar memilih bahwa mustafti tersebut wajib berijtihad dari fatwa kedua mufti tersebut dan wajib mengambil fatwa dari mufti yang dia pilih dan dia tidak wajib memilih mufti yang pertama.” [lihat Abu Amr Utsman Ibnu Shalah AsySyarazuri, -Op.cit, hal. 148]. Dari pendapat kedua ulama di atas dapat disimpulkan bahwa menunaikan sebuah fatwa dalam permasalahan kontemporer itu wajib jika seoarang mustafti mempunyai komitmen untuk melaksakan fatwa tersebut dan yang lebih utama lagi jika fatwa tersebut cocok dengan permasalahan yang terjadi dalam dirinya. Dan jika ada 2 fatwa yang berbeda dari 2 mufti/lebih, maka dia wajib memilih salah satu dari 2 fatwa tersebut yang menurut kita paling cocok bagi dia dan ia wajib melaksanakan fatwa yang telah dia pilih. Fatwa merupakan bentuk reduksi dari makna dalil primer, yaitu Al-Quran dan As -Sunnah. Fatwa juga tidak bisa dianggap

sebagai standar baku sepanjang masa, karena yang harus diikuti adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Selain itu fatwa bersifat temporal dan untuk peristiwa tertentu saja sehingga tidak baku. Sehingga jika fatwa yang sudah ada tidak lagi cocok dengan permasalahan kontemporer sekarang ini, maka fatwa tersebut diganti dengan fatwa baru untuk menghadapi permasalahan yang baru, dengan ber-istinbth(mengambil kesimpulan) lagi dari nash-nash agama(AlQuran dan As-Sunnah) dan fatwa yang lama ditinggalkan. Pada dasarnya fatwa itu tidak wajib diikuti, jika seseorang merasa yakin dapat memahami Al-Quran dan As-Sunnah dalam suatu permasalahan dan keputusan dia dapat dipertangguang jawabkan, karena yang harus diikuti adalah Al-Quran dan As -Sunnah. Tapi jika ia tidak mampu memahami Al-Quran dan As-Sunnah dalam suatu permasalahn tersebut, maka taklid pada suatu fatwa adalah pilihan. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa seorang mustafti wajib mengambil sebuah fatwa jika ia berkomitmen melaksakan fatwa tersebut dan fatwa tersebut cocok dengan yang terjadi dalam dirinya. Dan jika ada 2 /lebih fatwa yang berbeda, maka ia harus memilih salah satu dari kedua fatwa tersebut yang menurut dia paling cocok dan dia wajib melaksakan pilihannya itu. Tetapi fatwa tidak wajib diikuti jika seseorang merasa mampu memahami dalil-dalil primer(AlQuran dan As-Sunnah) dalam suatu permasalahan dan keputusannya dapat dipertanggungjawabkan. Jika ia tidak mampu, maka taklid pada fatwa adalah sebuah pilihan dalam menghadapi permasalahn kontemporer. Sekilas Sejarah Fatwa Sejarah fatwa dimulai pada masa Rasulullah. Pada saat itu Rasulullah adalah mufti pertama dalam Islam, beliau bertindak sebagai satu-satunya penerjemah hukum-hukum Allah kepada para sahabat pada masa itu. sehingga jika para sahabat ingin menanyakan sesuatu kepada Rasulullah mengenai suatu hal yang mereka tidak tahu hukum perkara tersebut, maka mereka langsung datag kepada Rasulullah dan mendapatkan jawaban dari beliau. Pada zaman Rasulullah, fatwa beliau bisa di hapus( di-naskh) dengan fatwa lain. Tetapi hal tersebut tidak berlaku lagi ketika beliau wafat, karena fatwa beliau ditetapkan sebagai syariat Islam yang menjadi pedoman bagi kaum muslimin dalam menjalankan syariat. Setelah Rasulullah meninggal, permasalahan baru yang muncul di masa para sahabat di tentukan hukumnya melalui ijma‘ para sahabat. Cara ini dilakukan pada saat mayoritas para sahabat masih berada di Madinah, terutama pada zaman Khalifah

Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Kemudian setelah zaman kedua khalifah tersebut, para sahabat berpencar ke seluruh penjuru negara Islam untuk membina masyarakat. Selanjutnya, karena tidak dimungkinkan lagi para sahabat untuk melakukan Ijma‘, maka untuk menentukan suatu permasalahan yang baru dan sifatnya individu, para sahabat melakukan ijtihad/ fatwa. Ada 7 sahabat yang dikenal banyak mengeluarkan fatwa pada masa sahabat, yaitu: Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‘ud, Zaid bin Tsabit, Umu mukminin Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah bin Umar bin Khattab dan Abdullah bin ‗Abbas. Banyaknya para sahabat yang memberikan fatwa pada masa itu membuat generasi setelahnya menjadi lebih mudah dalam menentukan sebuah fatwa, terutama metode dalam berfatwa yang caranya berkembang dari dulu hingga sekarang ini. Metode pembuatan suatu fatwa/ijtihad untuk menghadapi permasalahan kontemporer inilah yang mengembangkan khazanah fikih islam yang berkembang menjadi 2 madrasah terkenal, yaitu madrasat al-hadits di Hijaz dan madrasat al-ra‟yi di Iraq. Yang kemudian berkembang menjadi madzhab-madzhab fikih yang ada sampai sekarang. Penutup Fatwa merupakan sebuah ‗alat penerjemah‘ yang penting dalam kita menunaikan syariat Islam terutama dalam permaslahan kontemporer, karena Islam merupakan agama yang yang cocok untuk kapanpun dan dimanapun. Fatwa dari seorang mufti dapat dijadikan dalil untuk menghadapi suatu permasalahn kontemporer, karena ia adalah penerjemah hukum-hukum Allah untuk permasalahan yang ada saat ini. Mengikuti fatwa adalah sebuah pilihan, jika seseorang tak mampu memahami nash-nash agama dalam suatu permasalahan, maka ia bisa menanyakannya kepada mufti dan fatwa yang dihasilkan, wajib ia ikuti jika ia berkomitmen dan cocok dengan apa yang terjadi dalam dirinya. Selain itu fatwa telah ada sejak jaman Rasulullah dulu kemudian berkembang sampai saat ini, sebagai penerjemah bagi kaum muslimin menjalankan syariat Islam. Wallahu a‟lam.

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

19


Tafsir Muktazilah dan Konseptualisasi Pemahaman Dakwah etimologi ini lah makna secara terminologi terbentuk. Sedangkan makna Muktazilah secara terminologi terlepas dari berbagai versi mengenai maknanya adalah sebutan untuk kelompok Wasil bin Atha al-Ghazal yang keluar dari majlis Hasan al-Bashri karena pertikaian pendapat mengenai posisi pendosa besar. Dari pertikaian tersebut keluarlah ungkapan Wasil bin Atha yang  Oleh : M. Fardan Es W populer dan menjadi doktrin melekat pada muktazilah yaitu manzilah baina manzilataini (posisi diantara dua posisi), tidak mukmin dan juga tidak kafir. Embrio Perkembangan Muktazilah Perkembangan Muktazilah di panggung sejarah diawali pada permulaan abad kedua tepatnya sekitar tahun 105-110 H. Perselisihan pendapat antara Hasan alBashri dengan muridnya Wasil bin Atha membuahkan aliran teologi yang berkembang pesat yaitu Muktazilah. Dari Wasil bin Atha ini lah mozaik-mozaik pemikiran seperti penafian sifat Allah, Quran adalah makhluk dan independensi manusia dalam berkehendak muncul. Pada periode kekhilafahan Bani Umayah pemerintahan tidak mendukung penuh Pendahuluan pergerakan Muktazilah, bahkan cenderung Muktazilah merupakan salah satu paham yang muncul dan berkembang pada menindas mereka, kecuali Yazid bin Walid. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, abad ke-2 Hijriah. Dominasi penggunaan akal terlihat jelas dari pemikiran-pemikiran Muktazilah mulai melebarkan sayap pemikirannya terutama pada masa khalifah yang didengungkan oleh tokoh-tokohnya Makmun, hingga pada masa Mutawakil ketimbang memahami nas keagamaan secara tekstualis. Pola penafsirannya tentu tahun 232 H Muktazilah dijadikan madzhab resmi negara. Adapun tidak lepas dari poros pemikirannya yang perkembangan Muktazilah secara dinamakan Ushûl Al-Khamsah Li kelompok sukar ditemui saat ini. Kendati Mu‟tazilah . Penafsiran Muktazilah sering demikian, corak pemikirannya telah bersinggungan dengan Ahlusunah, hal ini melebur dengan sekte lain seperti Syiah dikarenakan corak penafsiran Ahlusunah dan Khawarij. yang lebih menjaga maksud nas agar tidak Intervensi Sekte lain dalam keluar dari esensi nas itu sendiri. Pemikirannya Sebaliknya, Muktazilah mencoba Pola dan corak ajaran Muktazilah tidak merasionalkan ayat-ayat yang mutasyâbihat lepas dari intervensi atau campur tangan (kata yang indikasi maknanya lemah dan sekte lain baik yang muncul sebelum era belum pasti) agar dapat dipahami secara nya, maupun yang muncul semasa dengan rasional, bahkan terhadap Dzat Allah yang Muktazilah. Salah satu kelompok yang lebih prinsipil, mereka mencoba menggali menopang pondasi pemikiran Muktazilah lebih dalam untuk mentakwilkan makna adalah Jahmiyah. Hal ini dikarenakan yang terkandung di dalam ayat-ayat yang kesamaan pola pikir ajarannya, seperti berkenaan dengan sifat Allah. permasalahan rukyatullah, asma‘ wa sifât, Definisi Muktazilah dan Quran sebagai makhluk. Imam Ahmad Menurut Ibnu Mandzur dalam Lisânul bin Hanbal dalam kitabnya al-Raddu „Ala „Arab, secara etimologi muktazilah Jahmiyah dan Imam Bukhari dalam merupakan isim fail dari ‫ ٌعتزل‬-‫اعتزل‬yang karyanya Khalqu Af‟âlul „Ibad wa Radd „Ala bermakna ‫( فارق‬memisahkan diri) atau ‫ تنحّى‬Jahmiyah berpendapat bahwa Muktazilah (menyingkir, meninggalkan). Dari makna adalah Jahmiyah. Hal ini dikarenakan

“...mereka mencoba

menggali lebih dalam untuk mentakwilkan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat Allah.”

20

Jahmiyah merupakan induk dari penyimpangan pemikiran sekte-sekte lain. Dalam bidang tafsir, Jahmiyah mempelopori metode takwil. Maka karena buah pemikirannya ini tak ayal para ulama salaf menggeneralisir sekte-sekte yang memiliki pemikiran yang sama dengan Jahmiyah dengan sebutan Jahmiyah. Hubungan Muktazilah dengan Jahmiyah merupakan hubungan korelatif umum dan khusus. Jahmiyah belum tentu Muktazilah, dan Muktazilah sudah tentu Jahmiyah. Hal ini dikarenakan Jahmiyah merupakan induk kelompok-kelompok yang menyimpang pada masa itu. Ajaran Pokok Muktazilah Pada mulanya, konsep ajaran yang diusung oleh Wasil bin Atha hanya berjumlah empat yaitu: 1. Tauhid ( Tanzih/Penyucian sifatsifat Allah dari penyerupaan dan penggambaran sifat Allah) 2. „Adl (Intensitas kehendak manusia dalam menciptakan perbuatannya) 3. Manzilah Baina Manzilataini (Posisi diantara dua posisi) 4. Menyalahkan salah satu kelompok yang muncul pada pemerintahan Utsman bin Affan Ra. Dan Ali bin Abi Thalib Ra. Tanpa menyebut kelompok mana yang salah. Konsep ini bertahan hingga pada masa Muktazilah yang dipilih oleh Abu Hudail al -Allaf pada tahun 235 H/849 M ditambah menjadi lima konsep yaitu dengan memasukkan al-Amru bi- al-Ma‟rûf wa Nahyu „An al-Munkar dan wa‟du wa alWa‟id ( Janji dan ancaman). Kelima konsep inilah yang menjadi pijakan secara umum bagi pemikiran Muktazilah, meskipun terkadang dalam masalah yang tidak bersifat prinsipil sering kali berbeda. Metodologi Tafsir Muktazilah Mengenai metodologi tafsir Muktazilah, Muhammad Husein Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tafsîr wal Mufassirûn memaparkan titik tolak penafsiran Muktazilah, diantaranya: 1. Muktazilah dalam penafsirannya berpegang pada lima ajaran pokoknya. Seperti permasalahan akidah, mereka menafsirkan dengan penafsiran yang sesuai dengan ajaran kelompoknya. Dominasi akal lebih banyak ketimbang teks Quran dan Sunah.

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


2. Muktazilah mengingkari hadis shahih yang bersebrangan dengan pahamnya. Dominasi akal yang merupakan intisari dari ajarannya membuat segala hal yang bertentangan dengan kehendak sektenya ditolak. Bukan berarti penolakan mereka terhadap hadis shahih maupun tafsir bil ma‟tsur mengindikasikan bahwa mereka lepas dari kedua sumber utama ini. Karena hakikatnya mereka masih percaya dengan riwayat-riwayat yang ada. 3. Dakwaan mereka bahwa setiap penafsiran mereka merupakan kehendak Allah.Mereja berpendapat bahwa hasil ijtihad setiap mujtahid merupakan kehendak Allah. Mereka juga menolak ayat yang hanya memiliki satu sisi penafsiran saja. 4. Muktazilah membangun penafsirannya dengan asas Kaidah bahasa. Metode pertama mereka adalah dengan menghapus makna yang mutasyabih dalam Quran kemudian ditafsirkan dengan perangkat bahasa dan syair arab kuno. 5. Mengubah Qiraah yang mutawatir. 6. Menggunakan majas jika makna yang dzahir belum jelas atau diluar makna yang tersurat dalam ayat. Inilah metodologi yang digunakan Muktazilah dalam menafsirkan ayat-ayat Quran. Konseptualisasi Pemahaman Dakwah Konsep Muktazilah dalam menyeru pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran berperan penuh dalam upaya dakwah yang inheren dengan realita. Dalam dakwahnya, Muktazilah berusaha melukis dakwah bi al-Hikmah wa al-Mau‟idhati Hasanah. Menurut Muktazilah, dalam perintah, yang diupayakan hanya mengajak saja, selepas itu perubahan untuk mengikuti seruan atau menolaknya dipasrahkan sepenuhnya pada obyek dakwah. Begitu juga dalam upaya pencegahan terhadap kemungkaran memiliki dua sifat, pertama, upaya pencegahan itu sendiri. Kedua, mencegah orang tersebut untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Dr. Muhammad Imarah dalam bukunya Tayârat al-Fikr al-Islami menyebutkan, setidaknya terdapat lima syarat yang harus dipenuhi dalam upaya mencegah kemungkaran menurut Muktazilah, yaitu: 1. Harus mengetahui apa yang diperintahkan apa yang dicegah (maudhu dakwah).Tidak dapat menggunakan asa praduga, namun harus menggunakan landasan pengetahuan. 2. Kemungkaran telah tampak nyata. 3. Mengetahui efektifitas dan resiko dari upaya pencegahannya agar tidak berdampak pada kemungkaran yang lebih besar. 4. Harus mengetahui bahwa upaya pencegahannya kemungkinan akan berdampak positif, sehingga upayanya tidak sia-sia. 5. Mengetahui bahwa kuatnya praduga dalam praktik pencegahan dalam kemungkaran tidak menyebabkan pada kerusakan harta dan jiwa. Kelima syarat ini lah yang senantiasa dipegang oleh para pengikut Muktazilah dalam upaya penyelesaian masalah-masalah dan perselisihan antar kelompok, Penutup Terlepas dari pro-kontra mengenai paham dan konsep sekte ini. Konsep dakwah yang terstruktur dari Muktazilah perlu dianalisis lebih mendalam, sehingga kita dapat menjadikan pola-pola dakwah amar ma‟ruf nahi munkar nya sebagai upaya dakwah yang damai, memiliki orientasi yang jelas, serta mampu mendapatkan hasil yang maksimal. Tentunya hal ini tidak lepas setelah melalui upaya filterisasi konsep-konsep yang dipahaminya. Wallahu A‟lam bishawab.

HITAM-PUTIH PCIM - PCIA MESIR

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

21


ini permasalahan-permasalahan yang terjadi dikaitkan atau dijelaskan hukumnya dengan hukum fikih. Tentunya dalam metode program infotaiment di banyak stasiun televisi. Hal ini menunjuk- ini, terdapat perbedaan ulama antara ulama satu dengan ulama lainnya, yang nantinya mempengaruhi keadaan fatwa dan kan respon masyarakat Indonesia terhadap fatwa MUI belum ideal, sehingga implementasi fatwa-fatwanya tidak berjalan maksi- menghasilkan fatwa yang berbeda pula. Apabila terdapat sebuah fatwa ulama yang berbeda maka jalan yang dilakukan adalah tarmal. jih yakni memilih salah satu pendapat yang paling kuat, dan Kesimpulan dikembalikan kepada tujuan syari‘at yaitu mencari kemashlahatan. Keberadaan lembaga fatwa merupakan kebutuhan primer  Tahap Penjelasan Hukum dalam masyarakat yang tidak bisa ditunda. Sebab tidak banyak Hukum syar‘i adalah khitab Allah Swt. yang berhubungan orang yang memiliki kemampuan berijtihad. Urgensinya tampak dengan perbuatan mukalaf yang mengandung ketetapan atau pilijelas pada persoalan-persoalan kontemporer yang membutuhkan han yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nas-nas al-Quran dan as-Sunah serta yang bercabang adanya solusi dan kepastian hukum. Namun demikian, lembaga darinya yang berupa ijmak dan ijtihad. Wajib bagi seorang mufti fatwa yang terdiri dari para ulama dan ahli di dalamnya bukan mengetahui al-Quran dan as-Sunah, tempat-tempat permasalahan makhluk yang infallible sehingga fatwanya bisa benar dan bisa ijmak, bagaimana pengambilan sebuah hukum melalui Qiyas, cara salah. Sebab itulah, fatwa bersifat tidak mengikat bagi mustafti menetapkan hukum, dan mengetahui kejadian dengan (peminta fatwa). Rasulullah Saw. bersabda;“Apabila seorang hakim sesungguhnya. Semuanya ini membutuhkan perantara ilmu-ilmu memutuskan suatu masalah dengan jalan ijtihad kemudian benar, maka seperti ushul fikih, kaidah-kaidah, hadis, dan ilmu lainnya yang berkaitan. Dan dalam praktiknya seorang mufti harus memiliki baginya dua pahala. Dan apabila dia memutuskan perkara dengan jalan ijtihad kemudian salah, maka baginya satu pahala”.(HR.Bukhari- kemampuan dalam dirinya dan juga seorang mufti harus seseorang yang bertaqwa, wara‟, dan segala perbuatannya Muslim) bermanfaat bagi orang lain.  Tahapan Pendeklarasian Ifta` Deklarasi hasil ifta` merupakan metode pemutusan sebuah Sambungan dari halaman 12 hukum oleh seorang mufti terhadap peristiwa yang telah diketabernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dari lembaga-lembaga huinya. Dalam tingkatan ini hasil fatwa yang diberikan kepada ini nantinya, diharapkan dapat memberikan solusi dari peminta mustafti tidak boleh bertentangan dengan tujuan-tujuan Syara‘ fatwa (mustafti) terhadap permasalahan yang belum ada dan juga tidak boleh bertentangan dengan nas yang telah qat‟i (alhukumnya secara pasti dalam al-Qu‘an maupun as-Sunnah. Quran dan as-Sunah), ijmak yang telah disepakati, dan kaidah Metodologi Fatwa fikih yang telah ditetapkan. Apabila dalam pemutusan sebuah huDalam menghasilkan produk sebuah fatwa, metodologi meru- kum menyalahi syarat diatas maka seorang mufti dalam berfatwa pakan tahapan yang paling esensial guna menghasilkan produk hendaknya mengembalikan permasalahan tersebut agar sesuai hukum. Metodologi menjelaskan hukum permasalahan memiliki dengan syarat-syarat tersebut. tahapan-tahapan yang harus runtut dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Adapun tahapan-tahapan itu adalah :  Tahap Tashwir (Pendeskripsian) Penggambaran masalah yang akan dihukumi haruslah sesuai dengan keadaan yang dialami oleg peminta fatwa/ mustafti . Hal ini merupakan syarat pokok munculnya sebuah fatwa yang akurat. Cover Depan Bag. Dalam: Berat ringannya penggambaran sebuah masalah terjadi 1/4 Halaman berdasarkan faktor yang melatarbelakangi keadaan masingmasing peminta fatwa. Sudah selayaknya seorang mufti 1/2 Halaman menganalisis faktor-faktor tersebut dari segi 4 hal, yaitu waktu, 1 Halaman tempat, situasi dan kondisi seseorang. Karena keempat hal ini nantinya yang akan berpengaruh dan membedakan terhadap Cover Belakang Bag. Dalam: permasalahan satu dan lainnya. Seorang mufti juga selayaknya 1/4 Halaman memperkuat ataupun memperdalam permasalahan yang termasuk permasalahan individu ataupun sosial. Karena kedua 1/2 Halaman permasalahan ini tentu berbeda dalam menghukumi. Kemampuan 1 Halaman seorang mufti dalam menggambarkan permasalahan terhadap fatwa harus lebih mendekati daripada maksud-maksud tujuan Cover Belakang Bag. Luar: syari‘at, mencari kemashlahatan, dan mencegah kemudharatan. 1/4 Halaman  Tahap Takyif (Pengkonversian) Setelah seorang mufti memiliki deskripsi yang jelas terhadap 1/2 Halaman permasalahan yang dihadapi. Langkah selanjutnya adalah memasukkan masalah tersebut kedalam permasalahan pada bab fikih Pemasangan Iklan dalam Majalah: yang sesuai. Misalnya, menempatkan contoh-contoh permasala1/3 Halaman han sesuai dengan kelompoknya. Dimana ladang permasalahan yang perlu ditentukan hukumnya adalah permasalahan yang timbul akhir-akhir ini. Misalnya mengelompokkan permasalahan Contact Person: muamalah dengan muamalah, permasalahan ibadah dikelompokkan ke dalam permasalahan ibadah dan dari permasalahan yang Fathur Rabbani 01117260504 sudah ada dengan permasalahan yang belum ada. Dalam metode

Sambungan dari halaman 10

22

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


Warta Muhammadiyah

Mahasiswa UMY Buktikan Membaca Quran Mampu Kurangi Nyeri Saat Melahirkan Selain dapat membuat hati tenang membaca Al-Quran juga dapat memberi berbagai manfaat termasuk dalam dunia medis. Harto Andi Irawan, mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FKIK UMY) melalui penelitiannya membuktikan bahwa membaca Al-Quran secara tartil dapat menjadi salah satu cara untuk menurunkan skala nyeri pada ibu pasca melahirkan secara cesar. Penelitian tersebut berhasil mencuri perhatian para peserta International Confrence on Cross Cultural Collaboration in Nursing for Sustainable Development pada 9-10 September lalu di Bangkok, Thailand. Andi mengungkapkan penelitiannya itu mendapatkan reaksi positif dari para peserta konfrensi yang mayoritas non muslim. Mahasiswa Ilmu Keperawatan itu mengaku senang dapat mengenalkan Islam pada peserta dari Negara lain. ―Alhamdulillah mereka tertarik, antusiasime mereka sangat tinggi karena mereka baru pertama mengetahui penelitian seperti ini. Disana sempat ngaji didepan para peserta. Mereka bertanya-tanya apa artinya," jelasnya. Andi melalui penelitiannya menemukan, setelah membaca Al-Quran selama 10 menit, 16 dari 31 pasien yang di jadikan sampel di rumah sakit Nur Hidayah, Yogyakarta mengalami penurunan dari berbagai skala nyeri setelah menjalani operasi cesar. Nyeri, jelas Andi, dapat dihambat oleh adanya rangsangan syaraf lain yang lebih kuat. ―Ketika membaca Al-Quran tubuh melibatkan tiga jenis syaraf yaitu nervus optikus untuk membaca ayat, untuk menyuarakan, dan nervus vestibulocochlearisuntuk mendengarkan sehingga rasa nyeri yang diterima otak berkurang,‖ paparnya di UMY, Sabtu (14/9). Mahasiswa Prodi Keperawatan angkatan 2009 itu mengaku sangat bangga karena dapat mempresentasikan karya tulisnya di luar negeri. Terlebih, dalam konfrensi itu, lanjut Andi, sebagian besar diikuti oleh peserta yang pendidikannya lebih tinggi dari ia dan rekannya. ―Yang presentasi disana sudah S2 dan S3, ada yang professor juga. Kita hanya 4 orang yang masih S1,‖ ungkapnya. Andi yang awalnya iseng mendaftarkan karya tulisnya tersebut mengaku kaget ketika panitia memanggilnya untuk presentasi di Bangkok. Ia berharap penelitiannya itu bisa bermanfaat bagi dunia keperawatan dan dapat lebih dikenal di dunia internasional. ―Hanya iseng ngirim, nggak nyangka dipanggil presentasi. Kalau diperkenalkan di dunia internasional semoga mereka tertarik hatinya untuk mengenal Islam,‖ pungkasnya. Pada konfrensi yang diselenggarakan oleh Christian University of Thailand didukung oleh Azusa Pacific University of Californiadan Kimyung University tersebut, tiga orang mahasiswa FKIK UMY angkatan 2009 lainnya, Umi Fidela, Tri Hisnawati B, dan Agung Prasetyo Wibowo juga turut mempresentasikan penelitiannya. Empat orang mahasiswa itu menjadi satu-satunya peserta asal Indonesia pada konfrensi tersebut.(laluUMY) (mac)

Mantan Diplomat Inggris Kunjungi Muhammadiyah Jakarta--Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin, Jumat (13/9)dikunjungi para mantan diplomat dan intelektual dari Negara Inggris. Para mantan diplomatyang tertarik terhadap isu-isu Asia Tenggara dantergabung dalam kelompok bernama Anglo Indonesian Society menemui Din di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya 62, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut, Din berkesempatan mengenalkan lebih dekat tentang organisasi Muhammadiyah, khususnya dalam lingkup demokrasi. ―Responnya sangat positif, mereka menganggap organisasi Muhammadiyah sebagai masyarakat madani dan berkebudayaan yang telah mendorong demokratisasi di indonesia,‖ kata Din. Charles Humphrey selaku pimpinan rombongan Anglo Indonesia Society dan juga mantan Duta Besar Inggris untuk Indonesia juga sangat terhormat bisa berkunjung ke Gedung PP Muhammadiyah. Pertemuan Charles Humphrey dengan Din tercatat bukan yang pertama. Keduanya juga pernah bertemu saat bertanding sepak bolabeberapa tahun lalu. Saat itu Muhammadiyah kalah dengan skor 2-1. Kunjungan Anglo Indonesian Society ternyata membuat Din sedikit terharu, ketika mendengar pengakuan para mantan diplomat tersebut. Khususnya ketikarombongan hendak meninggalkan Gedung Muhammadiyah, nyaris semua peserta rombongan mengakuibahwa Muhammadiyah memang organisasi yang membanggakan. ―Orang luar tidak mengenal basa-basi, saat hendak meninggalkan gedung mereka mengatakan Amazing,‖ ujar Din. Rombongan berjumlah 20 orang ini menurut rencanajuga akan mengujungi beberapa tempat, di antaranya Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan juga kantor-kantor pemerintahan. (CR-1/mst).

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

23


Hukum Bermazhab  Oleh : Lukman Nur

Apa itu taklid ? Apakah itu merupakan perkara tercela , sehingga membuat orang lain benci terhadap kita? apakah hakikat dari taklid? Bolehkah umat islam taklid dalam berbagai ranah kehidupan? Atau justru terdapat ranah tertentu ia tidak diperkenankan untuk taklid? Sebelum berbicara lebih mendalam mengenai taklid, maka alangkah baiknya kita mengahui taklid secara etimologi serta terminologi. Secara etimologi, taklid di ambil dari kata qilâdah yang bermakna kalung. Sedangkan secara terminologi, kata taklid mempunyai dua makna, pertama : menggunakan pendapat orang lain tanpa mengetahui sama sekali dalilnya, kedua : menggunakan pendapat mujtahid tanpa mengetahui dalilnya secara sempurna. Adapun makna yang pertama, para ulama sepakat tidak membolehkannya, sedangkan makna yang kedua, para ulama membolehkannya. Berdasarkan firman Allah Swt. yang artinya : ―Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui ―QS.An- Nahl: 43. Dari ayat ini kita di wajibkan oleh Allah untuk bertanya kepada ahlul ilmi ketika tidakmengetahui suatu perkara . Muqallid (orang yang taklid) di sini adalah orang yang tidak mengetahui, maka mereka di wajibkan untuk bertanya. Allah Swt. tidak mewajibkan kepada semua orang untuk berijtihad, karena ijtihad itu hanya ditunjukkan pada personal yang telah memiliki kualifikasi sebagai seorang mujtahid. Sebagaimana kejadian di zaman nabi Saw. tatkala seorang sahabat tidak mengetahui suatu perkara, dia bertanya kepada ahlul ilmi pada saat itu. Kemudian orang yang lebih mengetahui (ahlul ilmi ) tidak serta merta memerintahkan si fulan untuk berijtihad, hal tersebut mengindikasikan bahwa berijtihad bukan suatu kewajiban . Ijtihad memiliki batasan tertentu, begitu pula taklid. Adapun batasan taklid itu Sebagaimana batasan ijtihad. Jika dimensi tertentu tidak memperkenankan seorang mujtahid berijtihad di dalamnya seperti permasalahan ketuhanan, maka seorang muqalid tidak diperkenankan taklid dalam ranah tersebut, begitu pula sebaliknya. Adapun mengenai hukum taklid itu sendiri terbagi menjadi dua jenis. Pertama, taklid yang dibolehkan. Sedangkan yang kedua, taklid yang dilarang. Taklid yang diperbolehkan menurut Syekh Muhammad al-Jizani dalam kitabnya al-Ma‟âlim fi Ushûl al-Fiqh inda Ahlusunnah waljamâ‟ah jika ia telah memenuhi beberapa syarat, diantaranya; ketidak cakapan muqalid untuk berijtihad dan mengetahui kebenaran, diharuskan mengikuti ulama yang kompeten di bidangnya, tidak menyeselisihi nas,dsb. Sedangkan standarisasi pelarangan taklid, diantaranya jika memiliki persyaratan seperti; menyelisihi nas, tidak mengetahui kompetensi ulama yang diikuti,taklid setelah mengetahui kebenaran,dsb. Dari sini timbulah suatu pertanyaan. Apakah taklid itu diharuskan pada satu mazhab, atau lebih dari satu ? Terdapat beberapa pendapat mengenai hal tersebut, diantaranya: Imam Jalaluddin al – Mahalli berpendapat bahwa taklid diharuskan pada satu mazhab, bagi orang awam dan orang yang belum mampu berijtihad. Sedangkan Imam Nawawi mengatakan bahwa tidak harus satu, bahkan kita harus memilih pendapat mujtahid yang paling rajih. Seorang muqallid harus mengikuti pendapat yang paling kuat dari mujtahid, karena pada hakikatnya orang yang berijtihad itu adalah yang mampu menghukumi sesuatu. Hukum kebolehan bertaklid dan bermazhab menuai beberapa kritikan: Kritikan pertama :

24

Dalil syar‘i yang wajib kita ikuti hanya lah al - Quran dan alHadis. Sedangkan ucapan para imam dan ulama tidak termasuk dalil yang wajib kita ikuti. Jawaban: Perlu di ketahui bahwa dalil syar‘i di sini tidak terbatas pada Quran dan Hadis saja, akan tetapi dalil disini mencakup : ijma, qiyas ,istihsân, dan perkataan para sahabat. Pemahaman bahwa dalil syar‘i itu cukup dengan menggunakan Quran dan Sunah merupakan penyempitan akal. Karena arti dari dalil itu lebih umum dari sekedar yang ada dalam keduanya. Al-Quran dan as-Sunah hanya sekedar nas-nas yang dijadikan para mujtahid sebagai dasar mengeluarkan hukum, begitu juga dalil-dalil lain. Perkataan ataupun pendapat ulama itu bukan bagian yang terpisah dari al-Quran dan as-Sunah. Akan tetapi hal itu merupakan buah dari pemahaman mereka terhadap Quran dan Hadis. Mengikuti pendapat imam bukan berarti meninggalkan Quran dan Hadis, akan tetapi itu merupakan bukti berpegang teguhnya seseorang terhadap keduanya. toh pada hakikatnya para imam tersebut lebih memahami agama daripada kita, baik itu dari segi pemahaman terhadap hadist shahih, hasan, dhaif, nasikh mansukh, marfu‟, mursal, dll. Kritikan kedua : Kita lihat banyak orang yang bermadzhab itu tidak meninggalkan pendapat dalam mazhabnya, meskipun terdapat hadis yang bertentangan dengan pendapat tersebut. Apakah ini bukan bentuk pengingkaran terhadap al -Quran dan as -Sunnah. Jawaban : Dalam kitab Fawâid Fi Ulûmil al-Fiqh, Imam Kairanawi menjawab bahwa hal tersebut merupakan prasangka umat islam yang keliru, yang mengatakan bahwa kami lebih mendahulukan perkataan imam dari pada ketetapan Allah dan rasulNya, kenyataannya tidak demikian. Pada hakikatnya ketika terdapat dalil al-Quran dan al-Sunah yang betentangan dengan perkataan imam, maka itu mengacu pada 2 perkara: .1Diketahui bahwa hal tersebut itu merupakan ketetapan Allah dan rasulNya. .2Bahwa itu bertentangan dengan pendapat imam. Kapasitas keilmuan seorang muqallid belum mampu membedakan 2 hal tersebut, karena ini berhubungan dengan dalil-dalil syar‘i. Andaikata seorang muqallid tidak mengetahui dalil, bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perkataan mujtahid itu bertentangan dengan Quran dan Hadis, lalu bagaimana mungkin dia meninggalkan mazhabnya? Maka hasilnya adalah, berpegang teguhnya seorang muqallid terhadap mazhabnya bukan berarti bahwa pendapat imam itu lebih kuat dari Quran dan Hadis, melainkan belum ada kepastian bahwa imam itu bertentangan dengan ketetapan Allah dan rasulNya. Kritikan ketiga : Imam suatu mazhab tidak menyuruh pengikutnya untuk mengikuti mazhabnya, bahkan melarangnya , khususnya ketika pendapat mereka bertentangan dengan hadis shahih, seperti perkataan salah satu ke 4 imam mazhab, ―kalau hadis tersebut shahih, maka itulah mazhab ku ―. Jawaban : Pernyataan bahwa para imam mujtahid itu telah melarang untuk taklid kepada mereka secara mutlak, itu pernyataan yang salah. Karena tidak seorangpun yang berkata demikian, kalaupun ada pernyataan akan hal itu, berarti meninggalkan taklid itu sama halnya dengan dia taklid, berdasarkan larangan mereka terhadap kita untuk taklid, ini suatu hal yang tidak masuk akal. Kalau memang ada larangan dari para imam untuk taklid, maka larangan tersebut di peruntukkan bagi mereka yang mampu untuk berijtihad, begitu juga para imam (mujtahid) selalu menganjurkan kepada muridnya untuk mencari dalil dari al -Quran dan as -Sunah. Demikian penjelasan taklid, dan jawaban atas kritikan-kritikan yang menyempitkan akal pikiran tentang taklid. Semoga kita selalu di beri petunjuk serta keselamatan oleh Allah. Wallahu A‟lam

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


‫أدب الفتوى‪:‬‬ ‫وشروط المفتى و صفة المستفتى و أحكامه و كيفية الفتوى و االستفتاء‬ ‫المؤلف ‪ :‬ابن الصالح‬ ‫الصفحة ‪176 :‬‬

‫الناشر ‪ :‬مكتبة الخانجى‬ ‫خلصه ‪ :‬الدى كرتٌكا ٌودا‬

‫ال ٌخلو عصر العولمة عن تغٌ​ٌر الزمان و‬ ‫األحوال سواء كان فى سٌاسٌة و ثقافٌة و اجتماعٌة‪.‬‬ ‫ظهور المسائل متجددة متعلقة بهذا العصر‪.‬و هذه‬ ‫قضاٌا متجددة و نادرة اى ال توجد فى النص ( القران‬ ‫و السنة) او زمان الماضى تحتاج إلى نظارة كاملة‬ ‫لبحث الحكم من دٌن اإلسالم‪ .‬و مما ال شك فٌه انه‬ ‫دٌن كامل شامل مطمئن بعد ختم هللا تعالى بإرسال‬ ‫احسن الخلقى و اكرم الفعلى و افصح السانى هو‬ ‫رسول هللا صلى هللا علٌه و سلم الذي دعى الناس‬ ‫بمنهج العلمى و اإلجتماعى‪ .‬بعد رفع هللا خاتم األنبٌاء‬ ‫و المرسلٌن إلى رفٌق األعلى كان ورث دعوته على‬ ‫العلماء الذٌن ٌحكمون و ٌفتون الحكم إلنهاء كل‬ ‫المسائل الموجهة فى كل عصر‪ .‬الفتوى هو احد منتج‬ ‫اإلسالم لبٌان انه دٌن صالح لكل مكان و زمان ‪ .‬و‬ ‫سؤال عندنا‪ ,‬ما هو المفتى الذي حفظ دٌننا ٌكاد صالح‬ ‫لكل زمان و مكان؟ و ما صفة الحكم فى فتٌاهم ألنها‬ ‫احد منتج بادر فى اإلسالم؟ و كٌف طرق اإلستفتاء‬ ‫عند هم؟‬ ‫قد شرح ابن الصالح (‪ 643-577‬هجرٌة) فى هذا‬ ‫الكتاب ممٌز شامل عن الحقٌقة الفتوى‪ .‬كتاب "أدب‬ ‫الفتوى" ضمن ثالثة أدواة مهمة فى الفتوى‪.‬‬ ‫اولى‪,‬فاعل الإلفتاء وهو المفتى‪ .‬الثانٌة‪ ,‬صفة الفتوى و‬ ‫طرق اإلفتاء‪ .‬الثالثة‪ ,‬مفعول الإلستفتاء وهو‬ ‫المستفتى‪.‬القى المؤلف فى مقدمة كتابه عن اهمٌة‬ ‫الفتوى فى اإلسالم و بٌّن انه لٌس امر سهل لبٌان‬ ‫الحكم شًء ولو كان امر بسٌط‪.‬ألن الفتوى امانة‬ ‫الدٌن‪ ,‬ولم ٌفتى مسلم على شًء اال من الذي وصل‬ ‫إلى درجة المفتى سواء كان مفتى مستقل او غٌر‬ ‫مستقل‬ ‫قسم ابن الصالح هذا الكتاب على اربعة مباحث‪.‬‬ ‫مبحث األول تكلم عن شروط الالتى البد أن ٌتوفر بها‬ ‫المفتى ثم بٌان عن صفته و تقسٌمه ‪ .‬و التفوق من هذا‬ ‫الكتاب هو ذكر المسائل الموجودة المتعلقة بكل‬ ‫مبحث‪.‬مثل فى مبحث األول هناك مسئلة عن المفتى‪.‬‬ ‫‪25‬‬

‫هل ٌشترط حفظ المفتى المستقل لمسائل الفقه؟ و فى‬ ‫مبحث الثانى تكلم المؤلف عن األحكام المفتً بذكر‬ ‫الخمسة عشرة مسئلة‪ ,‬احد منهنّ مثل ‪ :‬هل للمفتى‬ ‫المنتسب إلى مذهب معٌن مثال أن ٌفتى تارة بمذهب‬ ‫اخر؟‬ ‫و مبحث الثالث تكلم فٌه ابن الصالح عن كٌفٌة الفتوى‬ ‫بذكر العشرٌن مسئلة‪ ,‬احد منهن مثل‪ :‬اال ّ ٌأخد المفتى‬ ‫ظاهر لفظ المستفتى إذا لم ٌفهم السؤال‪.‬و مبحث الرابع‬ ‫تكلم صاحب الكتاب عن احكام المستفتى التى ركزت‬ ‫على عشرة المسئلة‪ ,‬احد منهنّ مثل‪ :‬التزام المستفتى‬ ‫على الفتوى‪ ,‬هل هً ملزم علٌه او غٌر ملزم؟‬ ‫مسائل الفتوى فى عصرنا االن‪ٌ,‬مكن ان نعرفها‬ ‫وفهمها بقراءة هذا الكتاب لنٌل حقٌقة الفتوى‪ .‬ألن هذا‬ ‫الكتاب نقطة اإلنطالق لفهم الفتوى على المبتدئ‪ .‬كتاب‬ ‫الذي حققه دكتور رفعت فوزى (استاذ و رئٌس قسم‬ ‫الشرٌعة بكلٌة دار العلوم‪-‬جامعة القاهرة) ملك لغة‬ ‫سهلة بأسلوب ممٌز لمقمة فهم الفتوى‪ .‬طبع هذا الكتاب‬ ‫بمكتبة الخانجى بسعر اثنى عشرة جنٌه‪ .‬‬

‫‪SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013‬‬


Seekor Burung Dengan Kesetiaannya ď € Oleh : Nurul Azizah Mungkin jarang sekali orang-orang di zaman modern ini berbicara tentang kesetiaan, karena dimana-mana pengkhiatan menyebar luas yang mengakibatkan perpecahan dimana-mana. Di zaman dahulu saja pengkhianatan sering muncul di tengah-tengah kesetiaan. Padahal orang zaman dahulu terkenal dengan kesetiaannya yang kuat, itu menurut bangsaku. Beda dengan bangsa manusia, sudah terkenal dengan persenan kesetiaan yang paling kecil. Sebenarnya mau zaman modern atau tidak tidak ada pengaruhnya dengan bangsaku. Toh, di zaman modern seperti sekarang ini kami masih bergerombol terbang kea rah timur ketika pagi hari dan pulang ke barat ketika matahari terbenam. Ya, seperti matahari, kami memang mengikuti jejaknya lebih tepat kesetiaanya. Matahari selalu setia menyinari bumi ini walaupun manusia sering mengeluh kepanasan. Sebenarnya itu ulah mereka yang sering membangun gedung-gedung berkaca atau apa saja yang bisa mengurangi lapisan yang melindungi bumi dari sengatan langsung matahari. Kami pun melihat angin yang selalu setia meniupkan angin segarnya ketika musim semi atau musim gugur. Akan tetapi akhir-akhir ini manusia sering mengeluh angina tidak bersahabat, itu karena ulah mereka yang membuat polusi di udara semakin menjadi-jadi. Tadinya aku selalu sinis kepada manusia, mereka tidak pernah menghargai sebuah kesetiaan. Tidak ada satu pun yang mengamalkan kesetiaan, sudah ku jelajahi bumi ini, tidak ada satu pun yang tidak melakukan pengkhianatan. Aku miris, beruntung aku hanya seekor burung, seandainya boleh memilih aku tidak ingin diciptakan menjadi seorang manusia. Manusia itu perusak, pengkhianat, itu pendapatku sementara ini. Setelah beberapa lama aku menjelajahi bumi, pada suatu hari aku singgah di pedesaan yang sangat hijau. Sepertinya polusi tidak pernah menjamahi tempat ini, bau anginnya sejuk sekali. Terdapat sungai-sungai mengalir, di dalam ikan berloncat-loncatan menyambutku, mereka berkata bahwa aku beruntung bisa singgah di desa ini. Nyanyian bangsaku semakin terdengar, baru kali ini aku mendengarnya secara jelas. Aku dan teman-temanku juga kerap kali bernyanyi, tetapi suara kami tertutup oleh klakson mobil, atau mesin-mesin buatan manusia. Aku jadi penasaran dengan desa ini, sepertinya disini tidak ada manusia yang bermukim di desa ini. Mungkin saja rumah-rumah mungil itu kosong tidak berpenghuni. Jelas saja, jika manusia ada pastinya desa ini sudah kotor, tidak ada ikan berenang, nyanyian burung, angina sejuk dan sebagainya. Akan tetapi aku salah, ternyata rumah-rumah tersebut berpenghuni. Kulihat penduduknya berseri-seri, kerap kali kutemukan menyapa ikan-ikan di sungai atau ikut bernyanyi bersama bangsaku. Masih tidak percaya, mungkin ini mimpi. Akan tetapi ini sama sekali bukan mimpi, semuanya terlihat jelas. Lalu diam-diam aku mendekati seorang gadis, kutaksir dia sekitar belasan tahun. 26

Kubertanya mengapa desa ini tentram baik manusia ataupun makhluk lainnya. Dia menjawab bahwa mereka semua mengamalkan sebuah kesetiaan. Setia kepada sesama manusia, kepada makhluk lainnya, setia kepada kebaikan, kepada tuhan hingga diberkahi kehidupan yang sejahtera. Menurut gadis tersebut kesetiaan adalah bekal hidup. Dalam hidup ini kita dituntut untuk setia, setia kepada yang disebutkan yang tadi. Oh iya, juga setia menebarkan cinta kepada sesama makhluk hidup. Memang aku merasakan cinta tersebar di denyut nadi setiap penghuni desa ini, aku yang bukan penghuni asli pun turut merasa bahagia. Ternyata, dulu desa ini adalah sebuah padang rumput yang gersang, semuanya kering, air di sungai pun kering. Lalu, datanglah seorang kakek bersama cucu-cucunya yang berjumlah lima orang ke tempat ini. Mereka membangun rumah, bercocok tanam, menggali tanah sungai sehingga air memancar kembali. Disitulah sebuat kesetiaan dibangun, mereka setia merawat padang rumput yang hampir mati, mengolahnya menjadi desa yang asri. Setia menunggu kapan datangnya hujan untuk menyirami tanaman mereka juga rumput-rumput ketika kekeringan. Mereka tidak pernah meninggalkan tempat ini, sampai akhirnya berhasil menjadi sebuah desa yang indah. Semua orang datang kesini langsung jatuh cinta, akhirnya banyaklah yang bermukim di desa ini. Semua penduduk disini belajar dari kesetiaan kakek dan cucu-cucunya. Semenjak itu semua penduduk disini mengamalkan kesetiaan dan menjadikan bekal hidup. Hidup tanpa kesetiaan akan hampa, selalu merasa kehilangan, ketidakpuasan, tetapi dengan setia kita akan merasa hidup kita bermakna dan bermanfaat bagi orang lain. Lihat saja kepada orang-orang yang sering berkhianat, mereka selalu pulang dan pergi lalu bertemu untuk berperang karena merasa saling dikhianati. Setelah mendengar kisah desa ini, aku mengajukan permintaan, bolehkah aku menetap disini? Dia menyambutnya dengan suka cita, apalagi mendengar alasanku bahwa aku ingin memperdalami makna sebuah kesetiaan. Lalu dia berlari-lari kecil berteriak kepada penghuni desa ini bahwa mereka kedatangan penghuni baru, mereka menyambutku dengan hangat. Ternyata persepsiku selama ini salah, ada juga kesetiaan di muka bumi ini. Tidak semua manusia itu perusak atau pengkhianat. Bahkan menurutku penghuni desa ini lebih setia ketimbang matahari dan angin seperti yang kuceritakan, karena menurutku keduanya setia kepada pekerjaan yang diberikan tuhan oleh mereka berdua. Akhirnya aku bisa menemukan tempat dimana kesetiaan itu merupakan bekal hidup, seperti yang dikatakan gadis tersebut bahwa hidup tanpa kesetiaan hampa seperti musim semi tanpa angin sejuk. Terima kasih bagi pencinta kesetiaan!

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


Gelombang Cinta Semesta Untuk engkau yang ber-nama iya dan tidak Untuk engkau yang ber-diri ada dan tiada Mengakal makna, merasa tanda Membasuh jiwa, menyatu cinta

 Oleh : Banyu Langit Berguru pada samudra yang menampung segala Berguru pada mentari yang setia memberi Berguru pada gelombang yang selalu bergerak Berguru pada gunung yang kokoh merenung

Merintis Damai

Berguru pada semesta yang ada karena cinta Suara jiwa mata hati terjaga mencintai

Pada tanda yang bernama renungan waktu Letihkan sendumu pada cahaya jiwa yang terangi ruang rindu

Ratap tangis sanubari

Kirimkan angin yang tak lagi peduli pada butir debu yang pilu

Api diri jengah menari Satu tanam nurani

Biarkn langit menaungi puing-puing harapan di tanah yang kering ini Lalu sang sadar goreskan nestapa dalam senandung aksara hati

Hujani sadar suci Menyatu debu, melebur keabadian

Saat bisikan merdu itu tak lagi menyntuh nurani dan sunyi Kala mata telinga tak lagi resapi indah gemercik air yang damai

Dua belas milyar galaksi membentang antara kau, aku, kita Mengitari berjuta tahun cahaya tiada, ada, dan abadi

Seribu angin topan yang telah menghantam Sejuta badai gurun yang telah menghujam

Berputar pada tata kosmos keseimbangan sejati Gelombang cinta semesta, lalu, kini, dan esok

Menunggu jiwa yang berkobarkan cinta Merindu jasad yang berhiaskan doa

Manusia, semesta Bukan remeh-murahan

Lalu setitik debu membunuh diri yang mati Membawa lahir nurani suci yang murni Pada tetes embun yang tak berkata

Menjadi salah satu ayat-Nya Kemudian Dia menegaskan Walâ tasytarû bi âyâtî samanan qalîlâ

Kudengar panggilmu yang penuh cinta Cintamu mampu menampung ada dan tiada Kuatkan diri pada kesejatian kalbu

Melebur iya dan tidak

Kubawa jiwa raga ini kepangkuanmu Meniti waktu merintis damai Perjalanan pasti kan sampai

Sebait doa diterik pagi Memeluk sukma sirami hati Tetes cahaya selalu didamba

Mengubur diri,meluas cakrawala

Menebar cinta sujud menghamba

Menatap tanah,mendengar udara Merasa cahaya,membasuh jiwa Tadabur bertasbih Tafakkur bertakbir Tasyahud bertahmid SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

27


M

esir, dalam perspektif sejarawan disebut Mashr, karena penisbahannya pada orang yang pertama kali menghuni daerah ini bernama Mashr atau Mashr-yem bin Markabil bin Duwabil bin ‗Uryab bin Adam As. Dalam bahasa tanah Ratu Elizabeth biasa disebut Egypt. Dalam sebutan kita, terkenal dengan bumi kinanah, seribu menara, serta bumi para nabi. Dan banyak lagi sebutan lain terkait tanah ini. Tanah yang makmur dengan sungainya terpanjang di dunia. Orang-orang menyebutnya ‗Nil‘. Memang benar jika kemasyhurannya melintasi zaman, kebudayaannya menjadi pembicaraan lintas sejarah, serta peradaban yang dimilikinya menjadi pembicaraan berbagai kalangan, bahwa ia ada sebelum peradaban-peradaban lain ada. Hingga piramida menjadi saksi atas kemajuan teknologi yang pernah ada di tanah ini. Kehidupan bangsanya yang sulit terungkapkan oleh lisan manusia telah disinggahi dan ditinggali para utusan Allah dari berbagai generasi. Negeri ini menjadi bahan pembicaraan al-Quran, hal ini karena kompleksitas persoalan di dalamnya. Ada keindahan, kedurhakaan penguasanya, kekejaman yang dirasakan penghuninya hingga kaum yang paling dimanja Allah dengan berbagai kenikmatan. Kita tak mungkin lupa, bahwa manna wa salwa yang turun dari langit menjadi saksi atas mereka. Memandang Mesir sungguh tak merasa bosan. Terlebih jika memandang dengan ‗tak sekedar memandang‘. Artinya; memaknai segala hal yang berhubungan dengan Mesir. Dan pembicaraan ini akhirnya menuju ke universitas tertua di dunia, beberapa mengatakan universitas tertua kedua di dunia. Terlepas dari semua itu, mahasiswa yang berada di Mesir adalah mayoritas mahasiswa Al Azhar, beberapa sisanya merupakan mahasiswa universitas yang lain, seperti; Universitas Cairo, Universitas American Open, Universitas Canal Suez, dan lain sebagainya.

28

Jika kita memandang Mesir, tak lupa pula memandang Al-Azhar, maka jika kita memandang Al Azhar, mahasiswa Indonesialah yang nampak berbeda di antara para mahasiswa lain. Dari sudut manapun, mahasiswa kita mempunyai keunikan tersendiri. Beberapa di antaranya mari kita telaah ringan, sekedar melihat pada diri kita, keunikan kita. Mulai dari gara-gara tidak ada absen, maka terkadang, beberapa di antara kita tidak menghadiri muhadharah yang disampaikan para dosen. Kecuali saat detik-detik mendekati ujian termin. Lebih uniknya lagi, ada yang sama sekali tidak menghadiri muhadharah, sehingga ia datang ke al-Azhar hanya saat menjelang ujian saja. Lalu diktat kuliahnya? Menitip kawan yang berangkat kuliah. Keunikan kedua, yang bisa menjadi bahan renungan kita, beberapa di antara kita berorientasi belajar ilmu islam yang hanya sekedar diktat perkuliahan. Sehingga dengan belajar muqorror/diktat, kita merasa sudah cukup. Padahal sejatinya, ilmu islam sangatlah luas sedangkan waktu yang kita miliki terbatas. Maka, prioritas yang seharusnya dipilih adalah belajar islam, dengan syarat jika kedatangan kita ke Mesir adalah untuk belajar islam. Bukankah masingmasing orang punya prioritas yang berbeda? Lalu, ketiga, bahasa arab fusha lisan kita yang lemah. Hingga tak jarang, ketika kita berhadapan dengan kitab-kitab berbahasa arab, mudah benar kita membacanya, memahami, menuliskan serta meringkasnya. Sedangkan saat kita berbicara, kaidahkaidah bahasa arab yang selama ini kita pelajari salah penerapannya. Sebenarnya inipun kembali kepada masing-masing pribadi, ada yang di Mesir bahasa arab fusha lisannya semakin baik, ada juga yang fasih berbahasa amiyah, ada pula yang semakin lama di Mesir bahasa daerahnya semakin lancar, Semuanya memang mempunyai nilai plus dan minus, memiliki titik keistimewaan dan keburukan. Hanya pilihan masing-masinglah yang membedakan. Maka kesadaran bahwa bumi yang kita injak sekarang adalah bumi yang penuh dengan sejarah peradaban manusia dari berbagai masa, dari berbagai umat dan dari berbagai kemajuan ilmu pengetahuan sebaiknya harus kita ingat kembali. Kita bukan tidak tahu, hanya tidak sadar saja. Di Mesir, tak terhitung seberapa banyak ulama yang duduk di majelis ilmu. Buah pemikiran mereka yang termaktub dalam kitab-kitab, harganya

Perspektif Dari Kampung Terpencil di Sanubari

 Oleh : Syafiqul Latief yang terhitung murah jika dibanding harga di tempat selain Mesir, dan segala hal lain yang berinti pada kemudahan mempelajari ilmu di sekitar kita. Maka, sungguh sebuah kerugian manakala kita tak sanggup memanfaatkan keadaan yang demikian indahnya. Lantas, bagaimana indikasi yang membedakan kita yang telah belajar islam dan yang belum, sederhananya hal apa yang terlihat dari pribadi kita terhadap sebelum dan setelah kita belajar islam? Apakah sama saja? Ataukah ada perbedaan? Inilah keunikan keempat kita. Beberapa di antara kita mengerti hukum-hukum islam, syariatnya, syarat-syarat ibadah di dalamnya, peradaban dan sebagainya, bahkan ada yang hafal muqorror ditambah hafal bab ini di halaman sekian, pembahasan itu di halaman sekian, dengan benar-benar hafal di luar kepala. Di sisi pengaplikasian, seringkali kita jumpai hal yang paling sederhana yakni menunda pelaksanaan salat, memperpanjang perbincangan hingga lalai menunaikan salat. Padahal semua sudah tahu, kita sudah paham, bahwa salat adalah amal yang pertama kali ditanya kelak, jika ini baik maka yang lain-lain akan mengikuti. Ya, sepertinya beberapa di antara kita memang lupa, bahwa segala nikmat yang ada adalah karunia-Nya. Kita terlampau sering memandang ke atas, hingga lupa menunduk dan bertafakur, menghisab diri sendiri sebagaimana yang telah nabi Muhammad dan para sahabatnya ajarkan pada kita. Akhir kalam, sekalipun ini adalah perkataan klasik, namun bagaimanapun juga ini teramat penting untuk kita pikirkan. Seyogyanya kita menelaah lebih lanjut, siapa kita, dari mana kita, untuk apa kita hidup? Memang benar perkataan ini singkat, tetapi banyak sedikit manfaat di dalamnya, semuanya kembali kepada pribadi kita masing-masing. Min fadhlik.

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013


Bersimpuh di Hadapan-MU  Oleh : Illa Haliza

Ketika ke-Maha tak terhingga-an Tuhan adalah sebuah ilusi yang jauh untuk dihadirkan dalam bayang-bayang keterbatasan yang kita miliki, lalu dengan apa kita mendekat kepada-Nya? Kemudian, Ia mengenalkan diri-Nya melalui bermilyar-milyar kebaikan yang kita sebut nikmat, untuk menggambarkan betapa Pemurahnya Dia? Dan ketidakmampuan kita untuk menangkap slide-slide dzat-Nya tetaplah menjadi satu pertanyaan yang perlu dijawab dengan berjuta-juta pembuktian. Tidak ada yang memuaskan; tulisan, argumentasi, hujahhujah presentasi, dan bahasa-bahasa lisan untuk mendedah hakikat-Nya. Belumlah hadir seorang jenius—dengan retorikanya yang memendar-mendarkan cahaya ke segala penjuru, dan mengungkap dengan bahasa—sebenarnya—Siapakah Tuhan itu sebenarnya? Lantas, kita dihadapkan pada sebuah gerbang besar, menuju kebesaran Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah bisa dibuktikan dengan kefasihan kata, sekental apapun nuansanya. Karena Tuhan juga tidak bisa didedah dengan visual. Lalu, dimana kita dapat menemukan-Nya? Bermilyar manusia, dalam kemutlakan agama dan keyakinan, dapat menemukan oase tentang ber-Tuhan dalam maknanya yang luas. Ada dari mereka yang menemukan Tuhan kala bersimpuh di atas sajadah. Ada yang menemukan-Nya dalam cengkerama spiritual tanpa batas. Berasyik-masyuk dalam irama-Nya, penuh lagam indah dan mempesona kalbu mahluk yang paling ninir sekalipun. Begitulah, semua menemukan Tuhan! Dalam segala persepsi dan terjemahannya. Aku-pun menemukan-Nya, kala lidahku menyebut asma-Nya, atau kala getar rindu menggelegak dalam ritme keliaran yang tak mampu kusentuh kendalinya. Andai untuk mendapatkan nikmat dunia yang sedikit ,kita memerlukan waktu yang panjang dan segala-galanya yang banyak, apakah kita boleh pula mencipta pelbagai alasan untuk beramal ibadah sedangkan ia hanya memerlukan waktu yang sekejap saja, tempat yang kecil saja dan seumpamanya yang mana sedikit saja? tetapi nikmat yang diperolehi, masya allah, tabarakallah, lebih besar dari nikmat dunia, astaghfirullah... Jangan penuhkan masa dengan pekerjaan dunia hanya untuk mendapat nikmat seketika, tetapi usahakan pekerjaan akhirat yang lebih utama. Karena nikmat-Nya lebih besar dari segalanya. Ya Allah, andai ini merupakan suatu titik hidayah, walaupun imanku belum sehujung kuku, aku hanya ingin saat ini hingga akhir nanti mengharap tahajud dan sholatku meninggalkan bekas saat aku melipat sajadahku… Jika kita berfikir, tujuan utama manusia hidup di dunia ialah mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal yaitu akhirat. Lalu, sudahkah perbuatan yang telah dilakukan kita merupakan manifestasi kecintaan kita kepada Allah Swt?. Setiap perbuatan manusia yang telah dilakukan pada masa lalu, mencerminkan perbuatan dia untuk persiapan di akhirat kelak. Karena hidup di dunia bagaikan satu hari dan keesokan harinya merupakan hari akhirat, merugilah manusia yang tidak mengetahui tujuan utamanya. Cermin yang paling baik adalah masa lalu, setiap individu memiliki masa lalu yang baik ataupun buruk, dan sebaik-baik individu adalah yang selalu mengevaluasi dengan bermuhasabah diri dalam setiap perbuatan yang telah dilakukan. Sebagaimana pesan sahabat nabi, Amirul Mukminin Umar bin Khattab, "Evaluasilah dirimu sebelum kalian dihisab dihadapan Allah kelak".

Pentingnya setiap individu menghisab dirinya sendiri untuk selalu mengintrospeksi tingkat nilai kemanfaatan dia sebagai seorang hamba Allah Swt. yang segala sesuatunya akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Dan sebaik-baik manusia adalah yang dapat mengambil hikmah dari apa yang telah ia lakukan, lalu menatap hari esok yang lebih baik. Sebagaimana Dalam sebuah ungkapan yang sangat terkenal Rasulullah Saw bersabda, ―Barang siapa yang hari ini, tahun ini lebih baik dari hari dan tahun yang lalu, dialah orang yang sukses, tapi siapa yang hari dan tahun ini sama hari dan tahun kemarin maka dia orang yang tertipu, dan siapa yang hari dan tahun ini lebih buruk dari pada hari dan tahun kemarin maka dialah orang yang terlaknat.‖ Untuk itu, takwa harus senantiasa menjadi bekal dan perhiasan kita setiap tahun, ada baiknya kita melihat kembali jalan untuk menuju takwa. Para ulama menyatakan setidaknya ada lima jalan yang patut kita renungkan mengawali tahun ini dalam menggapai ketakwaan. Jalan-jalan itu adalah: Muhasabah: Yaitu evaluasi diri dan meningkatkan kualitas diri dengan selalu mengambil hikmah dari setiap sesuatu yang terjadi dalam diri kita. Mu‟ahadah: Yaitu mengingat-ingat kembali janji yang pernah kita katakan. Setiap saat, setiap shalat kita seringkali bersumpah kepada Allah, “Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan‖. Kemudian kita berjanji, “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku sematamata karena Allah Swt., Tuhan semesta alam‖. Dengan demikian, ada baiknya kita kembali mengingat-ingat janji dan sumpah kita. Semakin sering kita mengingat janji, insya Allah kita akan senantiasa menapaki kehidupan ini dengan nilai-nilai ketakwaan. Inilah yang disebut dengan mu‟ahadah. Mujahadah: Adalah bersungguh-sungguh kepada Allah Swt. Allah menegaskan dalam firmanNya, ―Orang-orang yang sungguh (mujahadah) di jalan Kami, Kami akan berikan hidayah ke jalan Kami". Terkadang kita ibadah tidak dibarengi dengan kesungguhan, hanya menggugurkan kewajiban saja, takut jatuh kedalam dosa dan menapaki kehidupan beragama asal-asalan. Padahal bagi seorang muslim yang ingin menjadi orang-orang yang bertakwa, maka mujahadah atau penuh kesungguhan adalah bagian tak terpisahkan dalam menggapai ketakwaan disamping muhasabah dan mu‟ahadah. Muraqabah: Adalah senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt. Inilah diantara pilar ketakwaan yang harus dimiliki setiap kali kita mengawali awal tahun dan menutup tahun yang lalu. Perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam bahasa hadisnya adalah Ihsan. Ihsan adalah engkau senantiasa beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, kalau pun engkau belum bisa melihat-Nya, ketahuilah sesungguhnya Allah melihat kepadamu. Muraqabah atau ihsan adalah diantara jalan ketakwaan yang harus kita persiapkan dalam menyongsong dan mengisi lembaran tahun baru Mu‟aqabah: Artinya, mencoba memberi sanksi kepada diri manakala diri melakukan sebuah kekhilafan, memberikan teguran dan sanksi kepada diri kalau diri melakukan kesalahan. Ini penting dilakukan agar kita senantiasa meningkatkan amal ibadah kita. Manakala kita terlewat shalat subuh berjamaah maka hukumlah diri dengan infak disiang hari, misalnya. Inilah yang disebut mu‟aqabah. Jika sikap ini selalu kita budayakan, insya allah kita akan selalu mampu meningkatkan kualitas ibadah dan diri kita. Mari kita jadikan takwa sebagai bekal diri, dengan menempuh lima cara yaitu : muhasabah, mu‟ahadah, mujahadah, muraqabah dan mu‟aqabah. Jika lima hal ini kita jadikan bekal Insya Allah dalam menapaki hari hari, kita akan selalu menapakinya dengan indah dan selalu meningkat kualitas diri kita, insya allah.

SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-53, September 2013

29


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.