13 minute read
15 Tanah Gumantar Setia Memikul Tradisi
15
Tanah Gumantar Setia Memikul Tradisi
Advertisement
oleh Maidianto, Aktivis Samanta
JALAN BERLUMPUR NAN licin menjadi pemandangan yang lumrah di sepanjang jalan desa. Sekelompok ibu-ibu berjalan membawa keraro (wadah) berisi bekal makanan yang diletakkan di atas kepalanya. Mereka berjalan serentak menuju sebuah tempat yang penuh dengan pepohonan besar menjulang tinggi dengan daun yang rindang.
Tampak di sisi lain jalan, bapak-bapak membawa bibit kopi yang digantungkan di pundak dengan tali. Berkendara pelan menggunakan sepeda motor di jalan yang rusak, mereka tampak menikmati masa tanam kopi tahun ini.
Aku menyapa dengan tersenyum, “Tabek amak kami Menjulu” kataku kepada bapak dan ibu yang berjalan kaki beriringan. Mereka senyum dan mengangguk, menandakan hormat.
Aku bersama enam orang teman yang berasal dari desa tersebut hendak menuju wilayah Tiu Ngumbak, sebuah tempat wisata air terjun yang letaknya sekitar 3,5 kilometer dari perkampungan.
Sepanjang perjalanan, mata kami disuguhi dedaunan hijau dari pohon-pohon besar yang tegak berdiri kokoh di tanah tersebut, terlihat pula tanaman kopi, durian, kakao, dan pisang yang
tersebar merata pada hamparan tanah yang kami lewati sepanjang jalan.
Kami menyusuri jalan setapak yang menjadi akses masyarakat dari kampung ke lahan di sekitarnya. Terlihat sekelompok orang sedang membersihkan lahan kebun mereka, kami pun berhenti sejenak dan bertanya.
Aku heran, mengapa kayu-kayu kopi ini dibiarkan tumbuh tak teratur, bukankah ini akan mengganggu produktivitas tanaman ini? Seorang ibu menjawab, “Kami tidak berani menebang kayunya. Kalau kayu itu ditebang kami akan dikejar oleh orang kehutanan,” ujarnya.
“Memangnya kayu ini ditanam siapa?” kejarku.
Ia menjawab, “Aku dan suami yang menanamnya” katanya. Aku semakin heran dengan kejadian yang aku temui ini. Sayangnya, si ibu tak dapat menjelaskan lebih rinci kepadaku. ***
Gumantar adalah satu dari sembilan desa yang ada di Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara. Bulan Mei tahun 2017 lalu adalah awal aku berada di tempat tersebut karena ada program peduli yang kebetulan menjadikan Desa Gumantar sebagai lokasi proyek pendampingan oleh lembaga lokal yang menjadi pelaku program tersebut.
Samanta adalah LSM yang mendampingi program Peduli di Gumantar. Tiga bulan sebelumnya seorang kawan bernama Herman memintaku turut mendampingi kegiatannya di Gumantar. Sebagai orang luar yang diminta secara resmi, aku tak keberatan.
Sebenarnya aku sama sekali tidak pernah menjadi fasilitator seperti program ini. Pengalaman kerja yang terbatas memang membuatku ragu. Namun, akhirnya aku menyetujui tawaran ini, mumpung sedang bebas.
Aku pun mulai sering datang ke desa tersebut dan bertemu orang-orang yang sebelumnya memang sudah diarahkan Herman
untuk aku temui. Salah satunya adalah Sahir, Kepala Dusun Dasan Belek. Dusun ini adalah satu dari enam belas dusun yang ada di Desa Gumantar.
Kepada kepala dusun ini segera aku tanyakan hal yang mengganggu pikiranku, yaitu keberadaan warga yang mengelola tanah sekitar Tiu Ngumbak. Dari penjelasan Sahir, tanah itu memang dulunya permukiman warga Gumantar, terbukti memang dengan banyaknya batu-batu sisa kuburan di sekitaran tempat tersebut. Itu membuktikan bahwa memang pada zaman nenek moyang mereka, tanah itu didiami warga Gumantar.
Namun, sejak tahun 1990 tanah itu diklaim oleh Perhutani dan diadakan penanaman sengon pada tahun 1996. Sampai sekarang sengonnya tidak bisa ditebang oleh masyarakat karena termasuk tanah hutan. “Padahal dulu perjanjiannya saat ditanam kayu itu bisa ditebang dengan sistem bagi hasil, tapi nyatanya sekarang warga mengambil kayu ditangkap oleh polisi hutan,” tambah Jumayar.
Setelah sekilas bercerita, aku mulai menyampaikan maksud kedatanganku. Aku ceritakan maksud program peduli yang akan memfasilitasi warga/masyarakat adat Gumantar untuk memperoleh hak kelola kawasan hutan sehingga nantinya diharapkan warga memiliki izin sah dan aman mengelola hutan.
Program lainnya adalah memfasilitasi warga Gumantar memperoleh jaminan sosial dan administrasi kependudukan serta program-program lain yang kiranya masyarakat adat butuhkan nantinya.
Sahir menyambut baik wacana itu dan memang sebelumnya Herman pernah bercerita kepada mereka tentang rencana kegiatan di Gumantar. Kepala desa yang sempat ditemui sebelumnya dan beberapa tokoh adat merasa senang dan siap menerima keberadaan Samanta untuk melaksanakan kegiatan di sana. Tidak terasa kopi sudah tinggal ampasnya saja, hari pun mulai sore sehingga aku berpamitan kepada Sahir dan Jumayar.
Dari hasil berbincang dengan Sahir banyak catatan penting yang aku peroleh. Di tengah ramainya orang memperbincangkan Gumantar yang unik karena adatnya, ternyata ada beberapa persoalan yang menjadi beban warga desa tersebut. Tidak hanya persoalan hutan, ternyata ada masalah lain yang dianggap penting untuk diselesaikan, yaitu minimnya kesadaran anak muda untuk melestarikan adat nenek moyang mereka. Saat ini ahli-ahli tenun di desa itu hampir punah karena tidak ada regenerasi.
Desa Gumantar banyak menyimpan ajaran hidup yang mendalam. Misalnya Wetu Telu, sebuah prinsip hidup yang mengajarkan bahwa hidup itu terdiri atas tiga hal; yaitu melahirkan, bertelur, dan bertunas.
Maknanya, manusia diatur dengan tiga hukum yaitu agama, adat, dan pemerintah. Wetu artinya ‘wilayah’ atau ‘bagian’, telu artinya ‘tiga’.
Aku juga menemui Kepala Desa Gumantar, Pak Japarti dan beberapa tokoh lainnya seperti Putradi, Yurdin, Majidap, Sudiarti, dan masih banyak lagi orang-orang penting yang ada dalam pemangku adat Gumantar.
Setelah bertemu dengan orang-orang penting ini, aku bisa menyimpulkan, orang Gumantar menjunjung tinggi tradisi yang tidak
ditemui di masyarakat adat lain di Lombok Utara. Masyarakat Gumantar sangat anti dengan minuman keras dan itu sejak zaman nenek moyang mereka memang sudah dilarang. Di tempat lain, yang namanya barem atau arak dari ketan adalah lumrah dan dianggap biasa.
Aji Lawat
Ada beberapa hal yang menonjol dalam adat Gumantar. Di antaranya Aji Lawat, sebuah ritual yang terdiri dari tiga rangkaian kegiatan dan biasanya dirayakan warga Gumantar saat tiba musim tanam di desa. Warga Gumantar sebagian besar adalah petani, pekebun, dan buruh. Namun, sebagian kecil ada yang menjadi nelayan dan pegawai swasta.
Karena sebagian besar warga adalah petani, setiap akan tiba masa tanam warga selalu mengadakan hajatan Aji Lawat. Hajatan ini telah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka dengan tujuan menyampaikan bentuk syukur kepada Sang Khalik. Tahapan awal Aji Lawat dimulai dengan pembersihan lahan secara berkelompok, menggambarkan kebersamaan mereka, dan saling membantu satu sama lain.
Setelah ladang mereka siap untuk ditanami, warga memulai acara syukuran dengan mengumpulkan sanak saudara dan tokoh adat untuk makan bersama, doa bersama, dan memberikan pengorbanan kepada Tuhan sebelum menanam supaya tanaman mereka sehat, terjaga, dan memperoleh hasil yang banyak dan membawa manfaat.
Makanan yang disajikan harus menggunakan tanaman alam seperti daun pisang, wadah ancak dari bambu, dan alat lainnya dari bahan alam, tidak boleh menggunakan alat makan pabrik seperti piring atau gelas. Jika acara tadi sudah dilakukan, acara
tanam baru boleh dimulai dengan menanami satu lahan yang disepakati sebelumnya.
Lahan perdana yang ditanami ditentukan oleh warga sendiri ketika gundem membahas waktu dan tempat penanaman awal acara Aji Lawat. Penanaman dilakukan secara bersama-sama yang selanjutnya dilanjutkan dengan menanam di lahan masing-masing.
Setelah tiga hari barulah warga yang lain mulai menanam di lahannya masing-masing selama musim tanam berlanjut. Sebelum panen warga pun merayakan roah bunselan, biasanya untuk tanaman pare belek (padi lokal). Roah bunselan adalah syukuran untuk mengikat padi yang pertama kali ditanam di masing-masing lahan warga saat musim tanam.
Selanjutnya adalah roah menawahin, ritual yang dilakukan setelah hari kedelapan sejak roah bunselan. Sebelum roah menawahin dilakukan, gabah atau beras tidak boleh digunakan sebagai bekal bekerja atau kebutuhan lainnya. Setelah roah tersebut selesai barulah gabah bisa dimanfaatkan seperti dijual ataupun dijadikan bekal bekerja lagi di ladang atau kebun masing-masing.
Yang terakhir dilaksanakan adalah roah sambi, yaitu sebutan untuk lumbung penyimpanan padi. Roah ini dilakukan saat hasil
panen dibawa pulang dan akan disimpan di sambi atau lumbung yang ada di masing-masing rumah warga desa. Acara roah biasanya dilakukan dengan memasak sedikit beras, menyembelih ayam atau sejenisnya, dan mengundang beberapa warga dan tetua adat untuk makan bersama di salah satu rumah warga.
Masyarakat adat Gumantar biasa menanam padi, jagung, kedelai, dan jenis tanaman pangan lainnya di ladang ataupun di kebun mereka. Topografi wilayah desa yang dominan dataran tinggi sangat menguntungkan bagi warga untuk bertani dan berkebun. Hasil panen perkebunan rata-rata mencapai 1.970 ton per tahun dan pertanian mencapai 746 ton per tahun.
Di bagian hilir ada beberapa wilayah kering yang hanya dimanfaatkan sekali dalam setahun, yaitu pada musim hujan saja untuk menanam jagung atau kacang. Selain itu warga beternak sapi atau kambing dan menjadi nelayan atau buruh.
Gawe Belek
Gawe artinya ‘pesta’, belek artinya ‘besar’. Maka gawe belek adalah pesta besar atau syukuran massal yang diadakan oleh warga Gumantar secara bersamaan di tempat yang sama atas hajat salah seorang warga. Gawe belek biasanya dilakukan warga yang hendak mengadakan pesta pernikahan atau sunatan. Acara ini ditujukan untuk meringankan beban saudara-saudara mereka dalam menunaikan hajatan pesta nikah ataupun sunatan tersebut.
“Bayangkan saja, kalau pesta sendiri warga butuh puluhan juta untuk perayaannya, kalau gawe belek warga paling menyiapkan uang dua sampai tiga juta saja sudah cukup,” ujar Putradi menjelaskan kepadaku.
Gawe belek biasanya mengumpulkan 15 sampai 25 orang yang berhajat pesta, baik itu pesta sunatan atau pernikahan, lalu mereka
berkumpul di satu tempat dan menyiapkan segala perlengkapan pesta dan makanan.
Rangkaian acara biasanya dilakukan selama tiga hari tiga malam, diawali dengan acara menjemput pengantin oleh pihak keluarga laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Bagi yang sunatan, ritualnya hampir sama, menjemput pengantin sunat dari rumahnya.
Di hari kedua pada malam harinya dilanjutkan dengan serah memangan atau serah rombong. Serah rombong adalah penyerahan berbagai kebutuhan yang diminta pihak perempuan kepada pihak laki-laki yang terdiri dari rombong kawin, rombong kirangan (biasanya dalam bentuk ternak), dan rombong dedosan yang menjadi simbol penebusan dosa sang laki-laki karena mencuri si perempuan dari orang tuanya.
Rombong adalah bakul kecil terbuat dari bambu yang berisi beras, uang, dan daun sirih yang diikat dengan kain putih dan diselipkan dalam ikatan bakul. Pada hari ketiga diadakan pesta biasa, hanya makan-makan.
Maulid Adat
Maulid adat adalah acara perayaan maulid Nabi Muhammad saw. Pelaksanaannya sangat unik, diawali dengan peresean (adu fisik) oleh dua orang perempuan dan dilanjutkan oleh laki-laki. Jika belum dilakukan peresean oleh kaum perempuan, laki-laki tidak boleh melakukan peresean tersebut.
Peresean biasanya diadakan pada malam hari. Acara sakral lainnya adalah saat mencuci beras untuk dimasak, harus dilakukan di sungai yang ditunjuk khusus oleh tetua adat. Prosesinya sambil diiringi gamelan dan yang mencucinya pun para wanita yang berjalan beriringan dengan memakai pakaian adat setempat.
Perempuan yang melakukan ritual ini pun harus perempuan suci dalam artian tidak sedang haid (menstruasi). Maulid adat sangat meriah karena sekian dusun berkumpul di tempat acara dan makan serta doa bersama. Acara dimaksudkan untuk mempererat hubungan keluarga dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Makanan yang akan disajikan dibawa ke masjid oleh sekelompok orang dengan anak-anak di barisan depan, perempuan di barisan kedua, baru selanjutnya diikuti oleh kaum laki-laki dan sebelas orang yang membawa ancak (pengancang). Persiapan acara dilakukan oleh empat orang saja, tidak boleh lebih.
Mbuang Au
Mbuang au adalah sebutan untuk akikah bagi anak yang baru lahir. Anak yang akan diakikahkan harus dibuatkan kain khusus, disebut umbak kombong. Kain ini dibuat dengan benang matak hasil tenunan lokal. Pembuatan kain menggunakan benang matak harus berbahan dasar kapas lokal yang memang sudah ditanam oleh nenek moyang mereka sejak zaman dahulu.
Uniknya, ada kepeng bolong (koin) yang diikatkan dalam kain tadi. Jumlah koin tergantung pada jumlah saudara laki-laki atau perempuan si anak yang baru lahir.
Program peduli memiliki fokus pada peningkatan pelayanan terhadap kelompok eksklusi di Gumantar. Maka aku bersama tim kerja menyepakati dibentuknya sanggar belajar sebagai wadah pembelajaran bersama.
Warga adat Gumantar menurutku tidak termasuk kelompok eksklusi atau marginal karena begitu aku masuk desa, pemerintah sudah sangat maksimal memberikan pelayanan kepada masyarakat. Contoh kecil adalah warga yang belum memiliki administrasi
kependudukan hanya dari anak di bawah 17 tahun dan orang tua lanjut usia.
Sekalipun demikian masih tetap ada persoalan karena kemampuan pemerintah setempat terbatas dalam hal pendapatan dana ataupun pengelolaan SDA yang ada. “Menurut saya, masalah yang paling penting diselesaikan adalah hak masyarakat atas pengelolaan kawasan hutan,” tutur Pak Japarti Kades Gumantar. Dari hasil kajian yang diperoleh selama kunjungan di desa aku bisa menyimpulkan bahwa persoalan inti di desa Gumantar adalah persoalan hutan dan generasi penerus adat Gumantar.
Pada bulan Juni 2018, Samanta sudah melakukan pembinaan dengan mengadakan pelatihan Penganggaran dan Perencanaan Pembangunan Desa bagi para aparatur desa Gumantar. Dalam acara pelatihan tersebut didatangkan lima belas orang peserta yang terdiri dari Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Dusun, dan staf desa.
Kepala Desa Gumantar menganggap langkah Samanta memberikan pencerahan tentang tata kelola desa itu adalah sesuatu yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pemerintah desa. Selama ini kalau ada pelatihan, yang diundang pemerintah kabupaten paling hanya kepala desa atau sekdes, sekalipun ada yang lain itu pun dari hanya satu orang dari BPD. Pada bulan berikutnya diadakan Pelatihan PPAM (Partisipatory Poferty Assesment and Monitoring) yang mengutamakan keterlibatan masyarakat desa secara partisipatif dalam menentukan tingkat kesejahteraan keluarga.
Untuk menjawab persoalan masyarakat atas ketidakpastian pengelolaan kawasan hutan seluas 372.75 hektare di Desa Gumantar, Samanta mencoba melakukan pertemuan dengan semua pihak yang berkepentingan pada kawasan tersebut baik pemdes, masyarakat, dan KPH di Lombok pada bulan Agustus 2017.
Pertemuan tersebut dilaksanakan di gedung serbaguna yang berlokasi di Dusun Paok Gading, Desa Gumantar, tidak jauh letaknya dari rumah Kepala Desa Gumantar. Bangunan besar dan kokoh
di tengah persawahan milik warga tersebut seketika penuh dan ramai dengan kedatangan warga desa yang menghadiri pertemuan.
Pada acara itu hadir utusan dari pihak KPH, pemerintah desa, penyuluh kehutanan, dan warga penggarap. Dalam pidato yang disampaikan penyuluh kehutanan saat itu, warga desa yang menggarap hutan akan diberikan ruang sepenuhnya untuk mengelola dan masyarakat akan diberikan izin secara legal secara tertulis.
Pihak kehutanan menjanjikan akan membantu dan memberikan izin pengelolaan hutan asalkan warga tidak merusak hutan yang ada demi kepentingan pribadi. Dalam pertemuan tersebut masyarakat menyepakati diterapkannya skema pengelolaan hutan dengan pola kemitraan.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, pertemuan selanjutnya diadakan untuk membentuk Gabungan Kelompok Tani Hutan yang diberi nama Gapoktan Sangapati. Gapoktan yang diketuai Putradi yang sekaligus Kepala Dusun Tenggorong ini membawa lima kelompok tani yang ada di lima dusun. Rata-rata anggotanya adalah penggarap kawasan yang ada di bagian selatan Desa Gumantar.
Sampai saat ini Gapoktan telah membahas isi perjanjian kerja sama dengan KPH, yang nantinya akan ditandatangani bersama oleh para pihak. Perjanjian kerja sama pun sudah disosialisasikan kepada warga di lima dusun yang merupakan tempat para warga penggarap kawasan bermukim.
Saat itulah warga sudah mulai nyaman bekerja sekalipun belum ada izin tertulis. Menurut Putradi, hubungan warga penggarap hutan sudah mulai membaik dengan Kesatuan Pengelola Hutan Rinjani Barat, di mana selama ini KPH seakan seperti musuh bersama. Menurutnya, pertemuan aparat KPH atau kehutanan bertemu dengan warga saat pertemuan atau penyuluhan dari rumah ke rumah berdampak baik pada hubungan emosional kedua pihak.
Dengan pertemuan-pertemuan sederhana ternyata persoalan yang sudah dua puluh tahun lebih menjadi konflik antara
masyarakat dan pemerintah sudah mulai terlihat perubahannya. Masyarakat adat yang memang sudah lama mengelola hutan diberikan harapan untuk bisa membuat hutan negara aman dari pengerusakan.
Namun warga masih sedikit khawatir. Saat penanaman pohon sengon pertama di hutan Gumantar pada tahun 1996, pihak kehutanan berjanji kayu itu diberikan dengan pola bagi hasil, tetapi nyatanya tidak demikian. Makanya, pihak Gapoktan berupaya keras membuat kesepakatan kedua pihak dirinci dan tertulis.
Dari bulan Juli sampai dengan Desember tahun 2017, warga cukup sibuk dengan pertemuan-pertemuan. Masalah hutan dan adat selalu menjadi buah bibir saat kami bertemu warga. Pada bulan September 2017 sampai Februari 2018, isunya berganti dengan Sanggar Belajar.
Sanggar belajar Adat yang dibentuk di Gumantar bertempat di Dusun Tenggorong. Lembaga yang diketuai Mardiawan, Pemuda Gumantar yang juga Ketua Komunitas Pemuda Sosial ini berfungsi sebagai penggerak pengembangan keilmuan dan keahlian. Agenda pertama adalah sekolah tenun. Hal ini mengingat perajin tenun di Gumantar telah berkurang jauh.
Saat ini hampir tidak ada dari generasi muda yang menguasai tenun tradisional. Semua pelaku bisnis ini adalah para ibu-ibu tua yang sudah renta dan lemah. Jika persoalan tersebut tidak segera diselesaikan, tenun Gumantar akan punah. Maka sanggarlah media untuk menularkan keahlian tenun itu kepada anak cucu masyarakat adat.
Sirawan, cucu Papuk Mesih, salah seorang penenun tradisional mengungkapkan, dahulu ibu dan saudaranya suka melihat neneknya memintal benang di rumah. Namun, setelah diberikan pelatihan menenun oleh Samanta, ibu-ibu tergerak hatinya untuk bisa memintal benang. (MD)