7 minute read

Resensi Buku

Next Article
Kata Makna

Kata Makna

Topik Empu Resensi

Kompleksitas Kerentanan Perempuan Buruh Migran Indonesia

Advertisement

Shera Ferrawati

Jurnal Perempuan ferrawatishera@gmail.com

Judul Buku : Migrasi Perempuan, Remitansi dan

Perubahan Sosial Ekonomi Desa

Penulis : Keppi Sukesi, Henny Rosalinda, Agustina Shinta Hartati

Jumlah Halaman : xviii+280 halaman

Penerbit : UB Press

Tahun : Terbit 2017

Sebagai negara pengirim buruh migran perempuan dalam jumlah yang besar, permasalahan perempuan buruh migran Indonesia masih terus bermunculan. Meski peraturan perundang-undangan terkait buruh migran terus diperbaiki, namun permasalahan masih terus terjadi, baik pada proses rekrutmen, persiapan, penempatan kerja, bahkan hingga masa purna tugas. Namun, berbagai masalah yang dialami oleh buruh migran perempuan tidak menyurutkan keinginan kaum perempuan Indonesia untuk menjadi buruh di luar negeri. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari faktor penarik, yaitu upah yang akan diperoleh di luar negeri, dan juga faktor pendorong yaitu kebutuhan memperoleh lapangan pekerjaan dengan upah layak yang sulit diperoleh di dalam negeri. Oleh sebab itu, buku dan literatur tentang buruh migran, khususnya buruh migran perempuan masih sangat dibutuhkan, tidak hanya bagi kalangan akademisi, tetapi juga bagi para pembuatan kebijakan, pemerintah pusat dan daerah, maupun kalangan swasta.

Buku Migrasi Perempuan, Remitansi dan Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan karya Keppi Sukesi, Henny Rosalinda, dan Agustina Shinta Hartati secara khusus memotret permasalahan buruh migran perempuan. Buku ini

Shera Ferrawati Kompleksitas Kerentanan Perempuan Buruh Migran Indonesia

ditulis berdasarkan proses penelitian selama 3 tahun (2014–2016) terhadap perempuan buruh migran Indonesia dengan tujuan negara penerima Hong Kong dan Singapura. Buku ini juga dilengkapi dengan studi literatur tentang migrasi perempuan beserta faktor pendorong, faktor penarik, dan dampak migrasi perempuan baik terhadap lingkup individu maupun lingkup yang lebih besar seperti masyarakat dan daerah asal. Fakta-fakta empiris mengenai perempuan dan migrasi, kebijakan, lembaga pengirim, remitan, perbandingan Indonesia dengan Filipina dalam hal penyiapan tenaga kerja migran, serta perubahan sosial dan ekonomi pedesaan sebagai dampak dari migrasi perempuan juga disajikan dalam buku ini.

Gender dan Migrasi

Mengapa relevan membahas persoalan gender dalam migrasi? Dalam buku ini Keppi dkk membahas berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan yang melakukan migrasi salah satu akarnya disebabkan oleh persoalan ketimpangan gender. Akar ketimpangan gender ini muncul dari sisi budaya, sosial, ekonomi, yang kemudian tercermin dalam kebijakankebijakan terkait pekerja migran yang timpang terhadap perempuan.

Buku ini menjelaskan bagaimana domestikasi perempuan merugikan perempuan karena beberapa alasan. Pertama, domestikasi membuat perempuan tergantung secara ekonomi. Kedua, kerja domestik merupakan pekerjaan yang tidak mendapatkan upah. Ketiga, domestikasi menghalangi perempuan untuk menjadi pribadi yang mandiri baik sebagai individu maupun di dalam masyarakat. Keppi dkk menganalisis hubungan antara gender dan migrasi dengan menggunakan teori migrasi Harris Todaro. Menurut model Todari, migrasi terjadi karena adanya respons seseorang terhadap ketimpangan ekonomi antara kota dan desa. Alasan ekonomi menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya migrasi. Buku ini mengangkat pengalaman buruh migran perempuan asal Jawa Timur. Dalam analisanya, buku ini menilai bahwa perempuan yang memilih untuk menjadi buruh migran pada umumnya bekerja di sektor pertanian. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan perdesaan ini menjadi faktor yang mendorong perempuan untuk bermigrasi menjadi buruh migran.

Peran domestik yang melekat pada perempuan membuat perempuan tak berdaya penuh secara ekonomi. Perempuan secara ekonomi menjadi

Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019

sangat bergantung pada laki-laki. Menjadi buruh migran adalah upaya perempuan untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi mereka. Karena terbatasnya lapangan kerja di desa maka kaum perempuan memilih mengadu nasib ke negeri lain yang lebih menawarkan kesempatan kerja. Namun, domestikasi perempuan yang dilakukan sejak kecil, membuat perempuan hanya memiliki kemampuan di bidang kerja domestik. Kerjakerja domestik atau kerja rumah tangga semacam ini masih dianggap bukan sebagai keterampilan kerja (unskilled). Tak mengherankan jika di negara penerima, sebagian besar perempuan buruh migran ini ditempatkan di sektor domestik yang rentan terhadap perempuan.

Migrasi dan Kebijakan Pembangunan

Keppi dkk berargumen, pembangunan yang baik adalah pembangunan yang mampu mempersempit ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki, termasuk dalam hal migrasi. Konsep Gender dan Pembangunan (Gender and Development/ GAD) adalah konsep yang menempatkan hubungan gender sebagai fokus analisis. Konsep ini telah digunakan dalam berbagai kebijakan untuk menganalisis keadilan dan kesinambungan suatu kebijakan bagi perempuan dan laki-laki. Konsep GAD digunakan oleh Keppi dkk untuk menganalisis perempuan buruh migran, kemiskinan, kesehatan, dan lainnya sebagai akibat dari pembangunan yang timpang gender.

Penelitian tentang perempuan di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 70-an. Sebagian besar menggunakan perspektif Women in Development (WID) dan Women and Development (WAD). Perspektif ini lebih melihat perempuan sebagai objek dan kurang bisa mengungkapkan bagaimana status perempuan sebagai pelaku pembangunan. Karena itu, konsep GAD menjadi alternatif untuk suatu kebijakan dan hasilnya menunjukkan ada ketertinggalan dan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki, serta ketidakberdayaan perempuan dalam berbagai bidang.

Berbagai permasalahan yang dialami perempuan buruh migran juga disebabkan karena kebijakan yang tidak menggunakan perspektif GAD secara memadai, terlebih pada era pemerintahan Megawati. (1) Era pemerintahan Megawati. Kebijakan terkait buruh migran dalam studi di buku ini misalnya menilai bahwa UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri utamanya hanya mengatur mengenai penempatan pekerja migran, sementara perlindungan

Shera Ferrawati Kompleksitas Kerentanan Perempuan Buruh Migran Indonesia

buruh migran tidak mendapatkan porsi yang memadai. Buruh migran dalam peraturan perundang-undangan ini masih diposisikan sebagai “komoditas ekspor” yang menghasilkan devisa negara, sementara cenderung diabaikan hak-hak perburuhannya.

(2) Era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Buku ini mencatat era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi angin segar bagi para perempuan pekerja. Sebagai respons terhadap banyaknya pelanggaran dan permasalahan perempuan buruh migran di negara lain, SBY sebagai pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium, penghentian pengiriman buruh migran ke beberapa negara. (3) Era pemerintahan Joko Widodo. Kebijakan dipertegas pada era pemerintahan Joko Widodo dengan terbitnya Peraturan Kementerian Tenaga Kerja No. 1 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut, diatur tujuh klasifikasi jabatan pekerjaan di dalam rumah beserta tupoksinya masing-masing. Hal ini karena mengingat memang banyak permasalahan yang terjadi dalam bidang domestik atau nonformal.

Apakah peraturan-peraturan tersebut mampu menjawab permasalahan yang ada? Ternyata tidak. Maka Keppi dkk melacak persoalan yang dihadapi oleh perempuan buruh migran ke hulu atau pangkal permasalahan, yaitu sejak tahap perekrutan, persiapan pemberangkatan, hingga penempatan di luar negeri. Melalui studi kasus di Tulungagung dan Malang, ditemukan bahwa lembaga pengirim perempuan buruh migran Indonesia, baik lembaga pemerintah maupun lembaga swasta, sangat berperan penting dalam tahapan-tahapan tersebut.

Persoalan yang dihadapi perempuan buruh migran banyak terjadi dalam proses awal sebelum buruh migran berangkat keluar negeri. Beberapa kasus yang ditemukan misalnya indikasi manipulasi persyaratan-persyaratan tenaga kerja Indonesia, sehingga sisi positif dan sisi negatif menjadi buruh migran tidak disampaikan dengan jelas kepada perempuan calon buruh migran. Calon buruh migran tidak memperoleh informasi yang memadai tentang konsekuensi menjadi buruh migran. Banyak dari perempuan buruh migran tidak tahu bahwa mereka akan ditempatkan atau dipekerjakan di bidang domestik, seperti pekerja rumah tangga, pengasuh anak, atau perawat jompo. Sistem kontrak kerja yang akan diterapkan juga kurang dipahami sehingga kerap berujung pada jumlah upah yang tidak sesuai dengan harapan mereka.

Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019

Migrasi dan Kaitannya dengan Ekonomi, Sosial, Budaya

Ekonomi adalah salah satu faktor penyebab terjadinya migrasi. Menjadi perempuan buruh migran memberikan harapan untuk bisa kontribusi ekonomi bagi keluarga. Melalui remitan, uang yang diperoleh dari bekerja di luar negeri digunakan untuk menopang kehidupan ekonomi keluarga perempuan buruh migran. Melalui remitansi ini perempuan buruh migran dapat meningkatkan perekonomian keluarga dan mengubah pola konsumsi keluarga, tidak hanya untuk membeli kebutuhan pokok keluarga seperti membeli rumah, membangun rumah, tetapi juga membeli aneka perabotan rumah tangga, kendaraan bermotor dan lainnya. Buruh migran perempuan sering dianggap sebagai “pohon uang”.

Dengan melakukan migrasi untuk bekerja, perempuan menjadi memiliki kemampuan finansial dan mampu menghidupi ekonomi keluarga. Perubahan kemampuan ekonomi perempuan yang bermigrasi ini dapat mendekonstruksi ulang pemaknaan terhadap perempuan. Peningkatan ekonomi ini tergambar dalam peningkatan pengeluaran, dengan membeli rumah, membangun rumah, membeli perabotan rumah tangga, hingga membeli kendaraan.

Selain perubahan ekonomi keluarga, migrasi perempuan menjadi buruh migran juga membawa perubahan budaya di masyarakat desa. Dalam buku ini Keppi dkk menguraikan bagaimana fenomena migrasi internasional perempuan dalam beberapa hal telah mengangkat derajat perempuan di dalam masyarakat. Dalam konteks budaya Jawa Timur tradisional, perempuan dianggap sebagai Tyang Winking, yaitu warga kelas dua setelah laki-laki yang hidupnya tergantung kepada laki-laki. Dengan melakukan migrasi dan produktif secara ekonomi, maka perempuan menjadi memiliki kemampuan finansial dan mampu menghidupi ekonomi keluarga. Hal inilah kemudian mendekonstruksi ulang pemaknaan yang melekat pada posisi perempuan di desanya. “Sesuatu yang dulu mustahil bagi perempuan yang dianggap sebagai tyang wingking (orang belakang) kini fakta telah menjungkirbalikkan nilai-nilai budaya bias gender tersebut.” (h. 208)

Namun sepulang bekerja dari luar negeri, perempuan buruh migran juga kerap mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Salah satu tuduhan yang muncul adalah tuduhan atas gaya hidup dan tingkah laku yang dinilai negatif. Fenomena migrasi perempuan ini juga dinilai berdampak pada ketidakharmonisan dalam keluarga. Perubahan individu perempuan buruh

Shera Ferrawati Kompleksitas Kerentanan Perempuan Buruh Migran Indonesia

migran berupa perubahan gaya hidup dan tingkah laku dinilai mengarah ke negatif. Perempuan migran dianggap membawa nilai-nilai budaya negatif dari kota ke desa.

Buku Migrasi Perempuan, Remitansi dan Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan juga menyajikan perbandingan pengalaman dan situasi antara perempuan buruh migran Indonesia dengan perempuan buruh migran Filipina. Keppi dkk menilai bahwa negara Filipina memiliki praktik yang patut dicontoh dalam mengelola perlindungan perempuan buruh migran. Di Filipina sistem perekrutan, pembekalan, penempatan, dan pemulangan buruh migran telah diatur dengan hukum yang mengedepankan perlindungan bagi kepentingan para perempuan buruh migran.

Pengalaman empirik yang diangkat merupakan kekuatan dari buku ini. Selain memperkaya khazanah pengetahuan tentang persoalan perempuan buruh migran, studi kasus yang disajikan dalam buku ini dapat menjadi evaluasi dan masukan bagi para pembuat dan pelaksana kebijakan perlindungan buruh migran di Indonesia. Buku ini juga mengajak pembaca melihat fenomena perempuan buruh migran sebagai bagian dari ketimpangan pembangunan antara kota dan desa di Indonesia.

This article is from: