17 minute read
Profil
from Perempuan Sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
Topik Empu Profil
Advertisement
Dewi Komalasari
Jurnal Perempuan dewikoma@jurnalperempuan.com
Lia Mulyanawati adalah seorang perempuan yang aktif dalam kegiatan komunitas desa. Selain menjadi ibu rumah tangga dengan dua putra, Lia juga menjabat sebagai Ketua Rukun Warga (RW) di Kampung Sukasirna, Desa Limbangan Timur, Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut. Lia adalah Sekretaris Pengurus Anak Cabang (PAC) Muslimat di Kecamatan Balubur Limbangan. Selain itu, Lia juga menjadi Ketua Forum Komite Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD) di 3 (tiga) desa yaitu Desa Limbangan Timur, Desa Galihpakuan yang berada di Kecamatan Balubur Limbangan, dan Desa Cigawir yang berada di Kecamatan Selaawi. KPMD merupakan bagian dari Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (GPATBM) yang pembentukannya diinisiasi oleh Yayasan Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK). Dari berbagai jabatan yang diembannya, dapat dibayangkan kesibukan sosok perempuan berusia 53 tahun ini.
Bersama KPMD, Lia bekerja untuk mendampingi anak-anak yang dilacurkan (AYLA) di Desa Limbangan Timur, melalui pembentukan sanggar. Sesuai namanya, Sanggar Inklusi yang dibentuk oleh KPMD bertujuan untuk menjadi wadah yang dapat membuka sekat dan keterkucilan AYLA. Anakanak yang dilacurkan merupakan kelompok yang tereksklusi dari akses layanan publik, dan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Sanggar Inklusi dibentuk dan diselenggarakan oleh KPMD. Sebagai Ketua Forum KPMD yang membawahi pengelolaan sanggar, Lia berperan sebagai koordinator mengelola operasional sanggar. Selain mengajak anak-anak berkegiatan di sanggar, KPMD juga melakukan upaya advokasi perlindungan serta pemberdayaan AYLA di desa, termasuk advokasi anggaran desa untuk pembiayaan operasional dan kegiatan Sanggar.
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Kecamatan Balubur Limbangan terletak tidak jauh dari jalur selatan Pulau Jawa. Jalur selatan melintas membelah Kecamatan Balubur Limbangan dari sebelah barat sampai ke arah tenggara. Desa Limbangan Timur berada tidak jauh dari rute tersebut dan dilintasi pula oleh jalan provinsi yang menghubungkan Kecamatan Selaawi dengan Kecamatan Balubur Limbangan. Di sepanjang jalur Selatan tersebut banyak terdapat warungwarung yang sering disinggahi kendaraan. Dalam setiap jarak 50-meter dapat ditemukan warung yang menyajikan minuman dan tempat persinggahan. Di warung-warung tersebut akan dijumpai perempuan-perempuan yang bekerja untuk menemani dan menjamu pembeli. Keberadaan perempuan di warung tersebut merupakan daya tarik bagi calon pembeli. Warung-warung di jalur Selatan biasa mulai beroperasi pada sore hingga malam hari. Dari sanalah istilah warung remang-remang (warem) berasal. Meskipun secara kasat mata para perempuan yang bekerja di warung-warung tersebut bekerja untuk menemani pembeli, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa di dalamnya juga dapat terjadi transaksi seks.
Tidak sedikit dari perempuan yang bekerja di warem tersebut masih berusia anak-anak. Anak-anak perempuan tersebut biasanya berlatar belakang keluarga miskin dengan orang tua yang bekerja sebagai buruh kasar dan berpenghasilan tidak tetap. Menurut temuan SEMAK, anak perempuan yang bekerja di warem biasanya memiliki keluarga yang telah lebih dulu memiliki pekerjaan serupa, bahkan banyak dari mereka adalah ibunya sendiri. Banyak pula ditemui ayah yang mengantar jemput anak perempuannya untuk bekerja di warung-warung tersebut.
Anak perempuan yang bekerja di warung remang umumnya berusia antara 14 -18 tahun. Pada umumnya anak perempuan tersebut telah putus sekolah. Eksploitasi berlatar ekonomi terhadap anak yang dilacurkan (AYLA) yang berisiko tinggi ini tidak terjadi pada anak laki-laki. Meskipun secara umum pekerjaan anak perempuan ini mendapatkan permakluman dari masyarakat luas, namun mereka tetap mendapatkan stigma sebagai anak nakal dan tidak menjalankan agama dengan baik.
Di Garut sendiri ada banyak anak yang terjerat dalam kegiatan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA)/ eksploitasi seksual anak (ESA). Hal ini membuat Lia memandang persoalan perlindungan bagi AYLA merupakan persoalan yang penting dan mendesak untuk ditangani. Situasi inilah yang mendorong SEMAK untuk menginisiasi terbentuknya GPATBM. GPATBM
Dewi Komalasari Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
bekerja di dua aras yaitu di tingkat komunitas dan di tingkat kebijakan. Di tingkat komunitas, mereka mendorong terbentuknya KPMD yang merekrut kader-kader di setiap kampung (rukun warga) untuk dibekali dengan pengetahuan mengenai hak-hak anak dan upaya perlindungan anak. Di tingkat kebijakan GPATBM mendorong Garut menjadi Kabupaten Layak Anak (KLA). KLA ditetapkan melalui Peraturan Daerah sehingga dengan demikian perhatian Pemerintah Kabupaten terhadap persoalan anak dan upaya perlindungan anak akan meningkat secara positif. Salah satu indikator KLA adalah adanya perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan dan eksploitasi.
Awal Mula Keterlibatan Dalam KPMD
Lia Mulyanawati merupakan bungsu dari 7 (tujuh) perempuan bersaudara. Masa kecilnya dihabiskan dengan melewati pendidikan SD dan SMP di Limbangan, sebelum melanjutkan SMA dan berkuliah di Bandung. Sejak menikah pada tahun 2009, ia kembali untuk menetap di Limbangan. Ia terlahir dari keluarga yang menurutnya biasa saja. Meskipun hanya pensiunan Kepala Sekolah, bapaknya cukup dikenal di daerahnya. Salah satu ajaran sang bapak yang selalu dikenang oleh Lia adalah untuk selalu bermusyawarah dan untuk tidak memandang rendah orang lain. Lia mengakui sudah menyukai kegiatan di komunitas sejak lama karena menurutnya dengan berkumpul bersama maka selalu ada hasil yang bisa diperolehnya. Selain untuk menambah ilmu, saudara dan pertemanan, ia juga mendapat pengalaman baru dan kesempatan belajar menjadi seorang pemimpin melalui berbagai kegiatan komunitas yang diikutinya.
Terbentuknya KPMD di Desa Limbangan Timur, dimulai saat Yayasan SEMAK dari Bandung datang ke desanya pada tahun 2015. Bersama 11 (sebelas) rekannya dari Desa Limbangan Timur, Lia hadir untuk menerima kehadiran Yayasan SEMAK. Setelah pertemuan tersebut, Lia mulai mengikuti pertemuan-pertemuan antara kader KPMD dengan Yayasan SEMAK di ketiga desa. Pada mulanya sebagai Ketua RW, Lia diminta untuk menyertakan salah seorang dari warganya untuk direkrut sebagai anggota/ kader KPMD. Saat itu ia masih dalam fase adaptasi karena baru terpilih sebagai Ketua RW. Lia mengirim salah seorang anggota warganya untuk menjadi kader KPMD. Namun setelah beberapa bulan, kader tersebut kemudian mengajar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sehingga Lia sendiri kemudian menggantikannya untuk menghadiri pertemuan di KPMD. Oleh pendamping/ fasilitator
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
dari Yayasan SEMAK Lia dianjurkan untuk menjadi kader KPMD, dan tidak sekedar mewakili anggota dari RW-nya. Sejak saat itu Lia pun turut aktif menggerakkan KPMD.
Keterlibatan Lia di KPMD kemudian membuka mata Lia mengenai realita persoalan anak yang dilacurkan yang banyak ditemukan di Limbangan. Setelah aktif di KPMD, Lia mulai mengenal beberapa orang anak yang aktif di Sanggar Inklusi. Ia merasa trenyuh dan bersimpati karena menurutnya anakanak tersebut merupakan korban eksplotasi. Dari hasil pengamatannya ratarata anak yang bekerja di warem berusia di bawah 18 (delapan belas ) tahun, atau kira-kira usia SMP – SMA. Lia bahkan pernah menemukan seorang anak SD yang dilacurkan oleh orang tuanya. Salah satu anak termuda yang pernah ia temukan saat itu masih berusia 11 (sebelas) tahun, masih duduk di bangku SD. Anak tersebut sempat bersekolah di SMP dan seharusnya sudah berada di kelas 1 SMA namun tidak diteruskan. Tak terbayangkan oleh Lia bagaimana anak-anak yang masih belia tersebut harus berada dalam situasi tersebut.
Lia juga menjumpai anak-anak usia SMP yang DO (drop out) dari sekolah dan terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak bertanggungjawab. Beberapa anak bahkan ada yang sudah memakai narkoba, meskipun baru tahap coba-coba. Melihat berbagai kondisi anak-anak perempuan yang terjebak dalam industri seks tersebut maka nurani Lia tergerak, “Anak-anak ini perlu diperhatikan oleh kami-kami (orang tua)” ujar Lia. Sebelumnya isu perlindungan anak tidak pernah mendapat perhatian di Desa Limbangan Timur. Oleh karena itu ketika Yayasan Semak mulai masuk melalui Program Peduli dengan mengusung isu tersebut, maka Lia merasa terpanggil untuk berada diantara anak anak tersebut dan menggerakkan komunitas untuk ikut peduli.
Dorongan Faktor Ekonomi yang Menjerat AYLA
Dari interaksinya dengan anak-anak di sanggar, Lia belajar untuk memahami latar belakang yang membuat anak-anak perempuan tersebut bekerja di warem. Pada umumnya mereka masuk ke dalam pekerjaan di warung karena didorong oleh latar belakang yang sama, yaitu faktor ekonomi. Menurut Lia orang tua dari anak yang bekerja di warem sebagian besar merupakan buruh tani, pekerja buruh di luar kota, dan buruh kasar yang penghasilannya tidak menetap. Untuk menghadapi kemiskinan, para orang tua merelakan anaknya bekerja di warem.
Dewi Komalasari Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
Selain yang dilacurkan oleh orang tuanya, dalam beberapa kasus Lia juga menemukan anak perempuan yang terjerat dalam perdagangan seks karena ingin mengikuti gaya hidup yang sesuai perkembangan jaman. Agar dapat mengikuti gaya hidup teman-teman sebayanya yang memiliki gawai terbaru dengan pulsa yang terus terisi, beberapa dari mereka memilih terjun dalam profesi di warung remang-remang sebagai cara instan untuk memperoleh uang.
Namun dari peninjauan ke warung-warung tersebut KPMD juga menemukan anak perempuan yang bukan berasal dari Limbangan. Beberapa orang anak perempuan yang ditemukan bekerja di warem ada juga yang berasal dari luar desa lain seperti Selaawi. Desa tersebut letaknya lebih jauh ke pedalaman dari jalan raya utama jika dibandingkan dengan Limbangan. Tidak seperti Limbangan Timur yang berada di pinggir jalan, arah ke Selaawi juga agak lebih masuk jalannya. Anak-anak yang berasal dari desa lain cenderung lebih bebas pergaulannya. Kebanyakan anak yang berada di warem di daerah Limbangan berasal dari desa lain. Sementara orang asal Limbangan biasanya lebih banyak bekerja di luar kota, atau luar Jawa.
Diakui oleh Lia pada awalnya ia tidak pernah menaruh peduli dengan anak-anak yang dilacurkan tersebut. Namun sikapnya berubah setelah ia terlibat dalam Program Peduli - sebuah program yang dikelola oleh The Asia Foundation, dan ketika ia menjadi kader KPMD. Kini dirinya berupaya untuk mendekati anak-anak tersebut, dan mencari tahu bagaimana mereka bisa sampai pada situasi tersebut. “Saya justru merasa menjadi lebih dekat dengan anak-anak tersebut setelah di Sanggar” ujarnya. Dari situlah ia memperoleh berbagai kisah latar belakang anak-anak yang menjadi AYLA. Ada yang disebabkan oleh faktor ekonomi; tetapi tidak sedikit pula yang salah pergaulan, dan karena terpengaruh lingkungan. Tidak jarang para kader KPMD atau tutor harus menggali lebih dalam karena tidak semua anak bisa terbuka mengenai kisah hidup mereka.
Sanggar yang Memberdayakan
KPMD memiliki kader di setiap RW untuk mendampingi anak perempuan yang rentan atau berisiko tinggi untuk masuk ke dalam industri seks. KPMD mengajak anak-anak perempuan untuk mengikuti kegiatan di sanggar untuk mengisi waktu mereka dengan kegiatan-kegiatan positif. Kegiatan sanggar diisi dengan berbagai kegiatan pelatihan vokasional seperti menjahit, tata
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
rias, komputer, latihan menari, dan mengaji. Sementara bagi anak-anak usia SD yang belum bisa membaca, tersedia juga pelajaran membaca. Para kader KPMD berperan sebagai pengajar maupun tutor dalam kegiatan-kegiatan yang ada di sanggar.
Semula terdapat tiga sanggar di masing-masing desa: Limbangan Timur, Galihpakuan dan Cigawir. Karena terdapat keterbatasan anggaran, khususnya untuk membiayai sewa gedung atau rumah untuk sanggar, seluruh sanggar tersebut kemudian digabung menjadi satu di Desa Limbangan Timur. KPMD kemudian mengajukan permohonan kepada bupati Garut untuk membantu pembiayaan sewa gedung sanggar tersebut. Bupati Garut kemudian mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan KPMD dalam upaya perlindungan anak, dengan memberikan dana bantuan pendirian sanggar. Lia merupakan salah satu yang berjuang untuk mengajukan dan melobi ke bupati.
Maka pada tahun 2017 dibangunlah sanggar yang berlokasi di atas tanah desa di Limbangan Timur. Sanggar tersebut kemudian diberi nama Sanggar Inklusi. Diberi nama demikian karena meskipun sanggar diprioritaskan bagi anak dan remaja perempuan yang rentan tereksploitasi, namun kegiatan di sanggar tersebut juga terbuka untuk semua anak di sekitar desa, termasuk santri ataupun anak dengan disabilitas. Inklusifitas tersebut diharapkan membantu proses saling belajar dan saling memberikan pengaruh positif bagi semua anak-anak yang terlibat di sanggar.
Pada tahap awal berdirinya sanggar terdapat sekitar 40 (empat puluh) anak dari tiga desa yang berkegiatan di sanggar. Pada tahun berikutnya jumlah ini berkurang karena ada sebagian anak keluar untuk bekerja dan/ atau menikah. Tahun berikutnya jumlah anak di sanggar kembali berkurang menjadi sekitar 20 (dua puluh) orang anak, namun kemudian bertambah 7 (tujuh) orang anak baru yang tidak mengikuti kegiatan secara rutin. Anak-anak peserta sanggar sering keluar masuk karena mereka umumnya memiliki tanggungjawab seperti mengasuh adik atau membantu orang tua di rumah. Saat ini jumlah anak yang aktif sekitar 15 (lima belas) orang. Saat ini Sanggar Inklusi maupun KPMD di Desa Limbangan Timur sudah tidak lagi didampingi oleh Yayasan Semak karena KPMD dianggap sudah mampu mengelola sanggar secara mandiri. Untuk itu Yayasan Semak memberi kesempatan kepada KPMD untuk mengelola Sanggar Inklusi.
Dewi Komalasari Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
Upaya KPMD untuk menjangkau anak-anak yang dilacurkan juga sempat mengalami penolakan. Penolakan terhadap KPMD terutama terjadi karena motif ekonomi. Dengan bekerja di warem anak-anak perempuan tersebut dapat memperoleh penghasilan, sementara Sanggar Inklusi tidak bisa melarang atau meminta mereka untuk berhenti karena sanggar tersebut tidak bisa menggantikan pemasukan yang biasa mereka peroleh. Meski demikian para kader KPMD berusaha memberikan pengetahuan bagi anakanak tentang cara menjaga diri dan kesehatan reproduksinya. Salah satu kegiatan pelatihan di sanggar yang penting bagi anak-anak yang bekerja di warem adalah pelatihan mengenai kesehatan reproduksi. Melalui pelatihan tersebut anak perempuan mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan belajar melindungi dirinya dari perilaku berisiko.
Setelah dua tahun sejak Sanggar Inklusi berdiri, beberapa perubahan pada anak-anak mulai terlihat. Salah satu perubahannya adalah peningkatan ketrampilan pada anak-anak yang berada di sanggar. Anak-anak yang lebih dulu mengikuti Sanggar semakin memiliki kepercayaan diri dan mulai menjadi pengajar (tutor) bagi anak-anak yang baru. Ketrampilan yang mereka peroleh juga mulai menghasilkan pemasukan bagi sang anak. Mereka yang belajar menjahit, ada yang sudah mempunyai langganan sendiri. Mereka yang dilatih tata rias juga sudah mulai ikut membantu penata rias di desa.
Perubahan lain yang berhasil dicapai anak-anak di sanggar adalah partisipasi mereka dalam kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes). Lia mengisahkan, sebelumnya anak-anak tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan perencanaan pembangunan. Namun sekarang sudah ada perwakilan anak-anak, dua sampai tiga orang yang dilibatkan mulai dari kegiatan musyawarah dusun (Musdus), musyawarah desa (Musdes), hingga Musrenbangdes dan Musrenbang kecamatan. Mereka tidak sekedar hadir dalam kegiatan tersebut tetapi juga turut mengajukan usulan untuk kepentingan anak. Salah satu anak dari Limbangan Timur, yang hadir dalam Musrenbangdes mengajukan usulan pembentukkan taman bacaan di Desa Limbangan Timur. Usulan tersebut diterima dan sekarang sudah ada taman bacaan desa, hanya saja menurut Lia jumlah bukunya masih kurang.
Perubahan mendasar yang paling terlihat dari keberadaan Sanggar Inklusi adalah berkurangnya atau bahkan tidak adanya lagi anak yang terlihat bekerja di warem, khususnya anak yang pernah aktif di sanggar. Sebagaimana
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
dituturkan Lia, “Yang saya lihat kemarin malah ibu-ibu yang ada di warem, ibu rumah tangga. Si anak-anak sudah tidak ada lagi di warem”. Sewaktu dirinya berbincang bincang dengan salah seorang pemilik warung, sang ibu pemilik warung tersebut menyampaikan “ah ayeuna mah moal mawa-mawa barudak sieun jeng karunya (bahasa Sunda, yang artinya: “mulai dari sekarang saya tidak akan membawa anak-anak dibawah umur, takut dan kasihan”). Lia melihat adanya perubahan kesadaran dimana semakin banyak orang yang mengetahui dan menyadari perlunya perlindungan terhadap anak.
Namun secara pribadi, capaian yang paling berkesan bagi Lia ialah ketika keterlibatan perempuan kader KPMD dan anak-anak Sanggar Inklusi dalam proses pengambilan kebijakan diakui di tingkat desa dan kecamatan. Mereka diundang dan dilibatkan dalam berbagai pertemuan dari tingkat MusDus, Musdes, MusrenbangDes bahkan sampai ke Musrenbang Kecamatan. Hal tersebut sangat berkesan baginya. ”Sebelumnya jangankan mengundang Anak, kami juga dari KPMD jarang dilibatkan” ucap Lia. Dalam pandangan Lia, pelibatan KPMD dan anak-anak Sanggar Inklusi terjadi karena mulai tumbuhnya kesadaran pemerintah desa akan perlindungan anak, apalagi dengan tersedianya alokasi untuk pemberdayaan dalam Alokasi Dana Desa (ADD).
Pengakuan terhadap keberadaan dan peran KPMD tidak terbatas pada kegiatan pertemuan perencanaan pembangunan, tetapi juga dalam berbagai kegiatan di lingkungan desa, kecamatan hingga kabupaten. Bentuk pengakuan lain juga nampak dalam kegiatan-kegiatan KPMD yang kerap dihadiri pejabat Pemerintah Desa, Kecamatan hingga Kabupaten.
Lia bersama KPMD juga berusaha membangun koordinasi dengan lembaga pendidikan dan berkolaborasi dengan pendidik serta organisasi siswa. Dialog tersebut bertujuan sosialisasi, penyadaran, serta deteksi dini potensi AYLA serta cara mengantisipasinya.
Tantangan yang Dihadapi Dalam Mewujudkan Perlindungan Anak
Menurut Lia, isu AYLA merupakan isu yang cukup sensitif. Pada mulanya tidak ada orang atau pemerintah desa yang senang ketika disebutkan di wilayah desanya banyak ditemukan kasus AYLA atau kasus ESKA. Upaya meyakinkan berbagai pihak di desa akan adanya persoalan AYLA di desa merupakan tantangan terbesar yang harus dihadapi Lia.
Dewi Komalasari Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
Terlibat sejak awal berdirinya sanggar, Lia merasakan beratnya meyakinkan masyarakat untuk mendukung upaya perlindungan anak melalui kegiatan di sanggar. Lia menduga keengganan masyarakat tersebut disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat. Berbagai pemangku kepentingan, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama, banyak yang belum mengerti tentang persoalan anak-anak maupun soal AYLA. Lia berharap agar berbagai pihak yang ada di desa Limbangan dapat memberi perhatian dan bekerjasama dengan KPMD dalam upaya perlindungan anak.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Lia berupaya untuk mendekati berbagai pihak, terutama tokoh agama. Lia secara khusus mendekati tokoh agama karena adanya pertanyaan dari tokoh agama yang mempertanyakan mengapa sanggar justru mengumpulkan AYLA. Lia berusaha menjelaskan kepada semua pihak, khususnya tokoh agama bahwa sanggar bertujuan untuk mendorong pemenuhan dan perlindungan hak anak termasuk terhadap anak yang dilacurkan.
Keterlibatan Lia dalam KPMD maupun sanggar juga sempat dikritik oleh warga desa. Pada awal kehadiran Yayasan Semak di Limbangan Timur, sempat muncul resistensi terhadap yayasan ini. Yayasan Semak dianggap orang asing. Berbagai pertanyaan muncul mengenai latar belakang dan tujuan Yayasan Semak hadir di desa Limbangan. Salah satunya kata “Semak” diasosiasikan dengan salah satu sekolah Kristen di kota Bandung. Saat itu Lia belum lama menjabat sebagai Ketua RW dan beberapa orang warga meminta agar Lia tidak terlalu banyak berkegiatan di sanggar.
Menurut Lia, masyarakat Limbangan sebenarnya tidak menghendaki keberadaan warem. Pembakaran terhadap beberapa warem pun sempat terjadi. Saat ini lokasi warem sudah pindah agak jauh dari Desa Limbangan Timur. Sementara itu warem terletak di dekat desa juga tidak terlalu memperlihatkan pekerja perempuan secara vulgar. Hal ini bisa dipahami mengingat keberadaan beberapa pesantren di sekitar Desa Limbangan Timur. Hal itu pula yang membedakan karakteristik isu AYLA/ ESKA di Desa Limbangan Timur dibandingkan dengan persoalan serupa di kota lain. Menurut Lia salah satu yang membedakan Desa Limbangan dengan daerah lain adalah wilayah desa sebagai daerah pesantren, sehingga praktik warem dilakukan dengan lebih tertutup.
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Advokasi Anggaran Untuk Keberlanjutan Sanggar
Seiring dengan bertambahnya usia anak-anak yang aktif di Sanggar Inklusi, sebagian anak yang telah lama aktif di mulai bekerja dan beberapa bahkan sudah menikah. Jumlah anak yang berkegiatan di sanggar semakin sedikit. Saat ini jumlah AYLA yang aktif di sanggar tidak sebanyak dulu. Keberadaan sanggar diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja, sehingga anak-anak yang mulai beranjak dewasa mulai enggan untuk aktif di sanggar. Namun hal tersebut tidak mengendurkan semangat Lia untuk tetap mengajak anak-anak untuk berkegiatan di sanggar. “Kami berusaha terus mengadakan kegiatan. Kalau masih ada anak-anak yang rentan, jika kegiatan sanggarnya kosong nanti dikhawatirkan mereka kembali lagi ke rutinitas sebelumnya” demikian diungkapkan Lia.
Seperti disebutkan sebelumnya keberadaan Sanggar Inklusi tidak terlepas dari peran berbagai pihak. Sanggar ini dibentuk atas inisiatif KPMD dengan dukungan dari Yayasan Semak, dan dibangun dengan bantuan APBD dari Pemerintah Kabupaten Garut di atas tanah milik desa. Namun KPMD juga memikirkan strategi lebih lanjut untuk melanjutkan keberadaan Sanggar Inklusi. Beberapa langkah yang sudah dilakukan diantaranya adalah dengan melakukan advokasi anggaran dana desa untuk membiayai operasional dan kegiatan sanggar serta KPMD di tiga desa.
Dalam pertemuan Musrenbangdes, KPMD berusaha mengajukan anggaran dari APBDes untuk operasional bagi KMPD dan kegiatan-kegiatan di sanggar. Meski tidak besar, untuk tahun 2019, KPMD dan Sanggar Inklusi telah memperoleh alokasi anggaran desa. Salah satu kegiatan yang didukung pemerintah desa adalah kegiatan terapi bagi anak dengan disabilitas. KPMD Desa Limbangan Timur mengundang terapis untuk memberikan pelatihan bagi orang tua yang mempunyai anak dengan disabilitas. Sementara di Desa Cigawir, KPMD bekerjasama dengan pemerintah desa untuk menyelenggarakan kegiatan penyediaan Surat Keterangan (Suket) di desa untuk membuat akte lahir bagi anak-anak sanggar yang sebelumnya tidak memiliki akta lahir. KPMD membantu pemerintah desa untuk mengidentifikasi anak-anak yang belum memiliki akte kelahiran.
Untuk tahun 2020, anggaran operasional dan kegiatan pelatihan KMPD sudah masuk dalam Rencana Anggaran Belanja Desa (RAB Desa). Untuk tahun 2020 KPMD kembali mengajukan kegiatan pelatihan kesehatan reproduksi karena anak-anak di sanggar adalah generasi baru yang belum
Dewi Komalasari Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
pernah memperoleh pendidikan mengenai hak kesehatan reproduksi. Selain itu juga ada usulan untuk kegiatan pelatihan pola asuh anak bagi orang tua, serta peningkatan kesadaran mengenai bahaya penyalahgunaan narkoba.
Harapan Ke Depan: Perlindungan Para Pihak Dalam Menghadapi Kerentanan Anak
Melalui KPMD dan Sanggar Inklusi, Lia telah berupaya untuk membangun kepedulian terhadap isu anak dan pemenuhan hak anak berbasis komunitas. Kepedulian terhadap persoalan AYLA dilakukan dengan melibatkan orang dewasa di desa (termasuk orang tua yang keluarga/anaknya bekerja di warung remang), dan perangkat desa, melalui forum-forum dialog. Forum dialog tersebut bertujuan untuk membangun kesadaran dan menghapuskan diskriminasi dan stigma terhadap para AYLA.
Lia berharap ke depan dan sampai kapanpun perlindungan terhadap anak tetap mendapat perhatian dari berbagai pemangku kepentingan di masyarakat. Ia berharap KPMD dapat menjalin kerjasama dengan berbagai instansi terkait di Kecamatan hingga Kabupaten. “Saya berharap lebih bisa melibatkan pemdes, kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat secara umum, untuk bersama-sama melindungi dan merangkul anak. Tidak hanya korban AYLA tetapi semua anak” ujar Lia penuh harap. Namun dukungan utama yang paling diharapkan Lia adalah dukungan dari tingkat desa, karena desa merupakan lingkungan yang paling dekat dengan persoalan anak yang dihadapi komunitas. Dukungan tersebut akan menambah semangat perempuan-perempuan kader KPMD dalam mendampingi anak-anak di Sanggar Inklusi.