Vol. 24, No. 4, November 2019
p-ISSN 1410-153X e-ISSN 2541-2191
103
Agensi Perempuan Pedesaan
No. Akreditasi: 748/Akred/P2MI-LIPI/04/2016
Gerakan 1000 Sahabat Jurnal Perempuan Pemerhati Jurnal Perempuan yang baik, Jurnal Perempuan (JP) pertama kali terbit dengan nomor 01 Agustus/September 1996 dengan harga jual Rp 9.200,-. Jurnal Perempuan hadir di publik Indonesia dan terusmenerus memberikan yang terbaik dalam penyajian artikel-artikel dan penelitian yang menarik tentang permasalahan perempuan di Indonesia. Tahun 1996, Jurnal Perempuan hanya beroplah kurang dari seratus eksemplar yang didistribusikan sebagian besar secara gratis untuk dunia akademisi di Jakarta. Kini, oplah Jurnal Perempuan berkisar 3000 eksemplar dan didistribusikan ke seluruh Indonesia ke berbagai kalangan mulai dari perguruan tinggi, asosiasi profesi, guru-guru sekolah, anggota DPR, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kalangan umum seperti karyawan dan ibu rumah tangga. Kami selalu hadir memberikan pencerahan tentang nasib kaum perempuan dan kelompok minoritas lainnya melalui kajian gender dan feminisme. Selama perjalanan hingga tahun ini, kami menyadari betapa sangat berat yang dihadapi kaum perempuan dan betapa kami membutuhkan bantuan semua kalangan termasuk laki-laki untuk peduli pada perjuangan perempuan karena perjuangan ini. Jurnal Perempuan menghimbau semua orang yang peduli pada Jurnal Perempuan untuk membantu kelangsungan penerbitan, penelitian dan advokasi Jurnal Perempuan. Tekad kami adalah untuk hadir seterusnya dalam menyajikan penelitian dan bacaan-bacaan yang bermanfaat untuk masyarakat Indonesia dan bahkan suatu saat dapat merambah pembaca internasional. Kami berharap anda mau membantu mewujudkan cita-cita kami. Bila anda percaya pada investasi bacaan bermutu tentang kesetaraan dan keadilan dan peduli pada keberadaan Jurnal Perempuan, maka, kami memohon kepada publik untuk mendukung kami secara finansial, sebab pada akhirnya Jurnal Perempuan memang milik publik. Kami bertekad menggalang 1000 penyumbang Jurnal Perempuan atau 1000 Sahabat Jurnal Perempuan. Bergabunglah bersama kami menjadi penyumbang sesuai kemampuan anda: SJP Mahasiswa S1 : Rp 150.000,-/tahun SJP Silver : Rp 300.000,-/tahun SJP Gold : Rp 500.000,-/tahun SJP Platinum : Rp 1.000.000,-/tahun SJP Company : Rp 10.000.000,-/tahun Formulir dapat diunduh di http://www.jurnalperempuan.org/sahabat-jp.html Anda akan mendapatkan terbitan-terbitan Jurnal Perempuan secara teratur, menerima informasi-informasi kegiatan Jurnal Perempuan dan berita tentang perempuan serta kesempatan menghadiri setiap event Jurnal Perempuan. Dana dapat ditransfer langsung ke bank berikut data pengirim, dengan informasi sebagai beriktut: - Bank Mandiri Cabang Jatipadang atas nama Yayasan Jurnal Perempuan Indonesia No. Rekening 127-00-2507969-8 (Mohon bukti transfer diemail ke ima@jurnalperempuan.com) Semua hasil penerimaan dana akan dicantumkan di website kami di: www.jurnalperempuan.org Informasi mengenai donasi dapat menghubungi Himah Sholihah (Hp 081807124295, email: ima@jurnalperempuan.com). Sebagai rasa tanggung jawab kami kepada publik, sumbangan anda akan kami umumkan pada tanggal 1 setiap bulannya di website kami www.jurnalperempuan.org dan dicantumkan dalam Laporan Tahunan Yayasan Jurnal Perempuan. Salam pencerahan dan kesetaraan, Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan)
103 PENDIRI Dr. Gadis Arivia Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno Ratna Syafrida Dhanny Asikin Arif (Alm.) DEWAN PEMBINA Dr. Gadis Arivia Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno Mari Elka Pangestu, Ph.D. Svida Alisjahbana DEWAN REDAKSI Prof. Dr. Sulistyowati Irianto Prof. Sylvia Tiwon Prof. Saskia Wieringa Prof. Dr. Musdah Mulia Dr. Nur Iman Subono Mariana Amiruddin, M.Hum Yacinta Kurniasih, M.A. Soe Tjen Marching, Ph.D Dr. Andi Achdian DIREKTUR & PEMIMPIN REDAKSI Dr. Atnike Nova Sigiro SEKRETARIS REDAKSI Abby Gina Boangmanalu REDAKSI Andi Misbahul Pratiwi Dewi Komalasari Shera Ferrawati
SAHABAT JURNAL PEREMPUAN & MARKETING Himah Sholihah Gery Andri Wibowo FOTO SAMPUL “Menggendong Jeriken” (Wean Guspa Upadhi) DESAIN & TATA LETAK Dina Yulianti HOTLINE PELANGGAN: Andri Wibowo/Gery: 0813 1869 2350 (SMS/WA) ALAMAT REDAKSI: Jl. Karang Pola Dalam II No. 9A, Jati Padang Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 Telp./Fax (021) 2270 1689 E-mail: yjp@jurnalperempuan.com redaksi@jurnalperempuan.com Twitter: @jurnalperempuan Facebook: Yayasan Jurnal Perempuan WEBSITE www.jurnalperempuan.org www.indonesianfeministjournal.org ISSN 1410-153X e-ISSN 2541-2191 Cetakan Pertama, November 2019
103
Agensi Perempuan Pedesaan
Daftar Isi Catatan Jurnal Perempuan
Agensi Perempuan Pedesaan .................................................................................... 4-5
Topik Empu
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria ..................................................................................... 6-23 Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat ....................... 24-46 Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh .................................................................. 47-66 Abdullah Abdul Muthaleb Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan .................................................................. 67-91 Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan .......................................................................................................... 92-120 Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo ............................................. 121-142 Dewi Komalasari
Riset
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi ...... 143-169 Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
2
Wawancara
Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis ........................................................................................................ 171-184 Abby Gina Kata Makna ........................................................................................................... 185-187
Profil
Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial ........................................................................................................... 189-199 Dewi Komalasari
Resensi Buku
Kompleksitas Kerentanan Perempuan Buruh Migran Indonesia ........ 200-205 Shera Ferrawati
Rubrik Budaya
Cerpen: JIRAT.................................................................................................... 206-214 Oka Rusmini Puisi: Ode Untuk Perempuan Desa........................................................... 215-216 Bagus Takwin
Indeks .............................................................................................. 218-222
Keterangan: Foto sampul : “Menggendong Jeriken” Kredit foto : Wean Guspa Upadhi
3
Catatan Jurnal Perempuan
Agensi Perempuan Pedesaan Perempuan desa dan pedesaan merupakan satu ekosistem yang tak terpisahkan dengan alam. Kehidupan masyarakat pedesaan, termasuk kaum perempuan, memiliki relasi yang erat dengan lingkungan alam di sekitarnya. Pertama, alam merupakan tulang punggung ekonomi pedesaan, khususnya di sektor pertanian. Kedua, alam merupakan sumber pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari seperti air dan pangan. Selain itu, alam juga menjadi bagian dari kehidupan budaya lokal baik dalam produk kerajinan tangan, maupun dalam ritual dan kepercayaan lokal. Maka, kerusakan atau perubahan alam jelas membawa akibat terhadap kehidupan masyarakat di pedesaan. Bagi perempuan, perubahan alam sangat terasa dampaknya dalam kaitannya dengan tugas-tugas reproduksi di rumah tangga. Misalnya mengeringnya lahan gambut menyebabkan berkurangnya sumber air dan pangan yang harus dikelola oleh perempuan di pedesaan gambut. Rusaknya alam di desa gambut juga mendorong laki-laki untuk bermigrasi keluar desa untuk mencari pekerjaan, sehingga perempuan harus menjadi kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga. Salah satu akar ketimpangan yang dialami masyarakat pedesaan bersumber dari lemahnya akses dan penguasaan terhadap tata kelola lahan dan hutan. Bagi perempuan, ketimpangan ini bersilang sengkarut dengan diskriminasi berbasis gender seperti domestikasi perempuan. Domestikasi perempuan memperbesar hambatan akses perempuan terhadap tanah, sumber daya alam, informasi, hukum, dan politik. Data UN Women (2018) menemukan bahwa kepemilikan perempuan terhadap lahan pertanian kurang dari 13%. Sementara itu kebijakan reforma agraria di Indonesia, yang cenderung menguat dalam beberapa tahun terakhir, masih belum memasukkan perspektif keadilan gender. Akibatnya, kaum perempuan masih cenderung diabaikan dalam kebijakan yang sedianya dapat memberi akses masyarakat terhadap lahan dan sumber daya alam. Secara umum perempuan pedesaan masih menjadi penanggungjawab kerjakerja pengasuhan, perawatan rumah tangga, pengelolaan ekonomi keluarga, dan cenderung dikecualikan dari ruang publik. Pola yang serupa dialami oleh pedesaan. Pedesaan merupakan pemasok utama sumber daya alam, penyedia lahan pertanian dan perkebunan, pemasok tenaga kerja, dan berfungsi sebagai paru-paru bumi dengan kawasan hutannya. Namun, mirip dengan kritik Simone de Beauvoir tentang posisi perempuan sebagai “the second sex”, pedesaan juga sering diidentikkan sebagai masyarakat kelas dua, yang lekat dengan makna keterbelakangan, rentan terhadap kemiskinan, dan kerap dipandang sebelah mata dalam kebijakan-kebijakan investasi dan pembangunan.
4
Atnike Nova Sigiro
Agensi Perempuan Pedesaan
Diana Tietjens Meyers dalam bukunya Gender in the Mirror: Cultural Imagery & Women Agency (2002) menganalisa bagaimana subordinasi terhadap perempuan mempengaruhi pembentukan identitas gender perempuan, dan membatasi perempuan untuk membuat keputusan emansipatif. Perempuan desa pun cenderung dipandang sebagai makhluk tanpa subjektivitas, tanpa agensi. Namun, Meyers, berargumen bahwa dalam posisi subordinat sekalipun, kaum perempuan tetap memiliki agensi. Perempuan desa sebagai subjek dengan agensinya inilah yang hadir dalam JP 103. Penelitian Jurnal Perempuan terhadap pengalaman perempuan desa di lima provinsi, di Papua Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Bengkulu, dan Aceh, memperlihatkan keragaman agensi kaum perempuan dalam tata kelola lahan dan hutan di lingkungan pedesaan. Agensi perempuan hadir dalam kekuatan untuk mengajak keluarga dan masyarakat, kekuatan untuk terlibat di ruang publik, kekuatan untuk mengubah cara pandang otoritas resmi, serta kekuatan untuk melakukan aksi kolektif/ solidaritas antar kelompok dalam pengelolaan sumber daya alam. Perempuan desa juga memiliki pengetahuan yang kontekstual dengan corak kehidupan desanya, misalnya kemampuan perempuan-perempuan Papua dalam memilih model pertanian ladang berpindah sebagai model pertanian ekonomi yang berkelanjutan. Pengabaian ilmu pengetahuan terhadap pengalaman perempuan merupakan salah satu alasan munculnya studi-studi feminisme. Feminisme pun menemukan konsep pengetahuan yang lahir dari kritik terhadap pendekatan ilmu pengetahuan dalam memandang kompleksitas keterhubungan antara perempuan, masyarakat, dan alam, misalnya dalam konsep ekologi politik feminis (feminist political ecology). Namun, Carolyn E. Sachs (1996) dalam Gendered Fields: Rural Women, Agriculture, and Environment menemukan bahwa studi-studi atas gerakan feminisme pun masih cenderung terpusat pada gerakan feminis perkotaan atau urban. Artikulasi tentang gerakan feminis di pedesaan masih sangat terbatas, karena ilmu pengetahuan pun cenderung melihat pedesaan sebagai objek, objek kebijakan, objek kemiskinan, atau objek pembangunan. Untuk menciptakan ruang pengetahuan tentang dan bagi perempuan pedesaan, JP 103 menyajikan pengalaman-pengalaman perempuan pedesaan dan agensi mereka dalam menghadapi subordinasi patriarki dan kapitalisme. JP 103 mengajak kita untuk memahami agensi perempuan pedesaan sebagai sebuah proses melatih dan menggunakan kemampuan untuk mengonstruksi diri dan membuat keputusan-keputusan terkait kehidupan perempuan serta kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia. Selamat membaca! (Atnike Nova Sigiro)
5
Topik Empu
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria The Lack of Gender Mainstreaming on the Presidential Regulation No. 86/2018 on Agrarian Reform Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok iwan.selamat@gmail.com; japasha@ui.ac.id Kode Naskah: DDC 305 Kronologi Naskah: diterima 14 Oktober 2019, direvisi tanggal 3 Desember 2019, diputuskan diterima 15 Desember 2019 Abstract The situation of agrarian injustice in the rural area carries multiple layers of burden on women. Such situation could be addressesd with the agrarian reform’s agenda. This is the reason why the society welcome the announcement of agrarian reform agenda as Joko Widodo administration’s priority program. After being in power for four years, finally the government had issued the Presidential Regulation No. 86 year of 2018 on Agrarian Reform. The enactment of this Agrarian Reform’s policy cannot be separated from the role of social movement organizations in urging for agrarian reform agenda, including in urging for an agrarian reform policy with gender justice perspective. This paper seeks to see how women’s movement and the agrarian reform movement have been trying to advocate gender perspective in the formulation and the implementation of the Presidential Regulation (Perpres). Keywords: agrarian reform, rural development, women, land redistribution Abstrak Situasi ketidakadilan agraria di pedesaan membawa beban berlapis pada kaum perempuan. Salah satu cara yang diyakini dapat memperbaiki ketimpangan sosial tersebut adalah agenda reforma agraria. Inilah alasan mengapa masyarakat menyambut baik ketika reforma agraria dinyatakan sebagai program prioritas pemerintahan Joko Widodo. Akhirnya, setelah berkuasa selama empat tahun pemerintah mengeluarkan Perpres No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Lahirnya kebijakan Reforma Agraria ini tidak dapat dilepaskan dari peran organisasi gerakan sosial yang mendesak agenda reforma agraria, termasuk untuk mendorong kebijakan reforma agraria yang berkeadilan gender penting. Tulisan ini hendak melihat bagaimana gerakan perempuan dan gerakan pembaruan agraria mencoba melakukan advokasi dalam perumusan dan pelaksanaan dari Perpres tersebut. Kata kunci: reforma agraria, pembangunan pedesaan, perempuan, redistribusi tanah
6
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria
Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Pendahuluan Salah satu berkah reformasi 1998 bagi masyarakat pedesaan adalah lahirnya kebijakan reforma agraria melalui pengesahan Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA). Sebelumnya pada masa Orde Baru, membicarakan reforma agraria adalah perkara yang tabu, karena pengusung agenda ini rentan dituduh sebagai simpatisan komunisme (Rahman 2012; Wiradi 2009). Pada masa reformasi agenda reforma agraria muncul kembali karena desakan kuat organisasi masyarakat seperti organisasi petani, nelayan, lingkungan hidup, perempuan, masyarakat adat, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Menurut Gunawan Wiradi (2009) berbagai organisasi inilah adalah aktor utama yang mengerek agenda reforma agraria menjadi sebuah kebijakan nasional. Kelahiran Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA) tidak serta merta melancarkan agenda reforma agraria. Masa pemerintahan Presiden Megawati tidak melakukan upaya lebih lanjut terkait kebijakan reforma agraria tersebut. Pemerintahan SBY memiliki perhatian pada reforma agraria pada periode pertama kekuasaannya, dengan mengeluarkan kebijakan revitalisasi pertanian dan perkebunan melalui Program Pembaruan Agraria Nasional dan kebijakan PPAN. Namun agenda ini tidak berlanjut pada periode kedua (Bachriadi 2008; Shohibuddin & Salim 2013). Lambatnya perkembangan reforma agraria membuat ketimpangan struktur agraria, maraknya konflik agraria dan kemiskinan petani dan mayoritas warga di pedesaan terus berlanjut. Salah satu fakta ketimpangan agraria dapat dilihat pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang pada Maret 2017 melansir data ketimpangan alokasi lahan seperti tabel di bawah ini: Tabel 1. Alokasi Penggunaan Kehutanan 2017 Kontribusi Kawasan Hutan IPPA/Jasling/KK Pemanfaatan Kawasan Hutan Penggunaan Kawasan Hutan
Swasta (Perusahaan) (Ha)
Masyarakat (Ha)
Kepentingan Umum (Ha)
Total (Ha)
51.363
-
-
51.363
33.316.788
822.370
-
34.139.158
404.956
488
40.995
446.439
7
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Kontribusi Kawasan Hutan
Swasta (Perusahaan)
Masyarakat
Kepentingan Umum
Total
(Ha)
(Ha)
(Ha)
(Ha)
Pelepasan Kawasan Hutan JUMLAH
6.689.996
926.072
205
7.616.273
40.463.103
1.748.931
41.200
42.253.234
95,76
4,14
0,10
Persentase (%)
Sumber: Presentasi KLHK Maret 2017
Ketimpangan alokasi tanah juga terjadi pada wilayah non kehutanan, menurut Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI), hingga Agustus 2013, terdapat 26.366.788 bidang tanah yang bersertifikat di Indonesia dengan luas 72.954.190 Ha. Ironisnya, dari jumlah luas tanah tersebut, terdapat 10.368 sertifikat Hak Guna Usaha (Perusahaan Perkebunan dan Pertanian) dengan luas mencapai 46 persen (33.5 juta ha) dari total tanah bersertifikat tersebut (Litbang BPN 2013). Selain ketimpangan pengalokasian tanah, juga terjadi ketimpangan distribusi penguasaan tanah di antara sesama petani. Menurut Sensus Pertanian 2013, setidaknya 74,82% Rumah Tangga Petani (RTP) Indonesia yang berjumlah 26,14 juta menguasai tanah kurang dari 1 hektar. Bahkan, seperempat diantaranya tidak bertanah. Situasi ketimpangan distribusi tanah tersebut telah terjadi sejak beberapa dekade lalu sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Penguasaan Tanah oleh RTP berdasarkan Sensus Pertanian 1973-2003 Tahun Sensus
1973
1983
1993
2003
Total Jumlah RTP (juta)
21,6
23,8
30,2
37,7
Tanpa lahan (Absolute Landless) (juta RTP)
7,1 (33%)
5,0 (21%)
9,1 (30%)
13,4 (36%)
RTP Pengguna Lahan (juta RTP)
14,5 (67%)
18,8 (79%)
21,1 (70%)
24,3 (64%)
Total Penguasaan Lahan oleh Petani (juta ha) 14,2
16,8
0,81
0,89
Rata-rata Penguasan Lahan (ha)
0,99
0,89
0,81
0,89
Ratio Gini Penguasaan Tanah
0,70
0,64
0,67
0,72
Sumber: Bachriadi dan Wiradi 2011: 16.
8
Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ketimpangan struktur agraria adalah pemicu maraknya letusan konflik agraria di Indonesia. Sepanjang tahun 2018, menurut KPA telah terjadi sedikitnya 410 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektar dan mengakibatkan korban 87.568 KK. Laporan ini juga menggambarkan bahwa secara akumulatif sepanjang empat tahun (2015–2018) pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, telah terjadi sedikitnya 1.769 letusan konflik agraria (KPA 2018). Konflik agraria sebagian besar terjadi di wilayah pedesaan. Shohibuddin (2016) menggambarkan bahwa kawasan pedesaan tengah menghadapi dua krisis. Pertama adalah “krisis agraria” yang ditandai oleh keterbatasan dan ketimpangan akses atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Kedua adalah “krisis ekologi” yang ditandai dengan kemerosotan daya dukung dan bahkan kehancuran sumber daya alam sebagai akibat tekanan populasi yang meningkat, perubahan penggunaan tanah yang tidak terkendali dan terutama eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Lebih jauh, Shohibudin menjelaskan bahwa kedua krisis ini, pada wilayah pedesaan telah menyebabkan “krisis pedesaan”, yaitu meluruhnya kapasitas sosialekonomi dan ekologi untuk menyediakan kebutuhan pangan, air, sumber nafkah dan perlindungan sosial bagi warganya. Persoalan krisis sosial ekologis di kawasan pedesaan telah membawa dampak dan beban berlapis bagi kaum perempuan. Tim Peneliti dari Sajogyo Institute (2019) melaporkan situasi berat yang dialami perempuan ke dalam sebuah buku “Perempuan di Tanah Kemelut Situasi Perempuan dalam Situs-situs Krisis Sosial Ekologis”. Buku ini memaparkan situasi perempuan akibat krisis sosial ekologis yang terjadi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku akibat konsesi pertambangan, perkebunan sawit, konservasi hingga pembangunan transmigrasi. Laporan buku ini mengkonfirmasi kembali situasi yang telah lama terjadi, bahwa korban paling berat dari krisis sosial ekologis di pedesaan yang terjadi adalah kaum perempuan. Pada 24 September 2018, Presiden Jokowi telah menandatangani Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria. Sebelumnya, dalam naskah Quick Win Tim Transisi, Perpres reforma agraria ini dijanjikan sebagai program 100 hari presiden. Namun, peraturan ini baru dapat disahkan setelah empat tahun kekuasaan (Tim Transisi Pangan dan Agraria 2014). Penting untuk melihat tarik menarik gagasan dari antara berbagai kepentingan politik baik di
9
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
dalam maupun di luar tubuh pemerintah, dan berbagai organisasi atau kelompok kepentingan lain baik yang memperjuangkan maupun yang menentang kebijakan reforma agraria ini. Menurut Pulzl (2006) kontestasi dalam penyusunan dan pelaksanaan sebuah kebijakan publik adalah hal yang lazim (Puzl & Treib 2006). Kontestasi semacam ini juga terjadi pada agenda kebijakan terkait reforma agraria. Pada setiap proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, kontestasi gagasan antara aktor kepentingan dapat terjadi karena struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang tersedia dalam institusi negara khususnya di lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam sistem demokrasi kontestasi antara aktor dan gagasan yang mendorong atau menentang sebuah kebijakan adalah hal yang lumrah terjadi. Selain negara dan pasar, gerakan sosial atau gerakan masyarakat sipil adalah aktor yang juga berkepentingan atas penyusunan dan pelaksanaan kebijakan. Organisasi gerakan sosial adalah aktor yang kerap melakukan desakan pengesahan kebijakan yang ditafsirkan oleh mereka sebagai kepentingan umum, dan digambarkan sebagai kekuatan extra-institutional yang berada di luar pagar kekuasaan (Pettinichio 2012). Kemampuan organisasi gerakan sosial dalam mendorong atau menentang kebijakan disebabkan oleh kemampuan khusus gerakan sosial dalam memobilisasi dukungan (resource mobilization). Mobilisasi dukungan dilakukan melalui berbagai cara seperti lobby, menanamkan pengaruh, aksiaksi tekanan, dan memperkuat diskursus publik melalui sarana media massa. Salah satu penunjang organisasi gerakan sosial dapat berhasil dalam melakukan advokasi kebijakan adalah jaringan yang dimiliki pada arena institusi kekuasaan yang dapat dipengaruhi, dan kemampuannya membangun jejaring di dalam arena institusi kekuasaan tersebut. Banaszak menyebut proses semacam ini sebagai dynamic interplay between insider dan outsider (Afif & Rahman 2019). Dengan menggunakan pendekatan tersebut, artikel ini hendak mengulas bagaimana peran organisasi gerakan sosial, khususnya organisasi reforma agraria dan organisasi perempuan dalam memperjuangkan pengarusutamaan keadilan gender pada proses perumusan hingga pengesahan Perpres No.86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Sumber data primer artikel ini diperoleh melalui wawancara langsung dengan narasumber terpilih pada organisasi gerakan sosial Konsorsium Pembaruan
10
Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria
Agraria (KPA), dan Solidaritas Perempuan (SP). Artikel ini juga dilengkapi dengan data-data yang diperoleh melalui studi literatur.
Mendorong Keadilan Gender dalam Pembaruan Agraria Kemunculan gerakan sosial masyarakat pedesaan khususnya gerakan petani, nelayan dan masyarakat adat di Indonesia dalam menuntut pelaksanaan reforma tidak dapat dilepaskan dari maraknya kasus-kasus perampasan tanah di masa Orde Baru yang dialami oleh petani pedesaan pada akhir tahun 1980-an. Kelahiran organisasi masyarakat pedesaan tersebut didukung oleh kalangan aktivis terdidik perkotaan (sebagian besar adalah mahasiswa dan aktivis organisasi bantuan hukum) yang turun melakukan advokasi pembelaan terhadap kasus-kasus tersebut (Nurdin & Wardi 2019). Advokasi terhadap kasus-kasus yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan tersebut kemudian tumbuh menjadi tema perjuangan yang lebih luas, yakni Reforma Agraria (Nurdin & Wardi 2019). Dalam berbagai konflik agraria dan sumber daya alam yang terjadi, perempuan terlibat langsung dalam mempertahankan tanah dan sumber daya alam komunitas mereka. Di Sumatera Utara misalnya, perempuan adat Sipituhuta selalu berada di depan dalam aksi-aksi menolak kehadiran PT. TPL, sebuah perusahaan HTI yang mendapat konsesi hutan di atas hutan kemenyan milik komunitas adat Sipituhuta. Konsesi tersebut mengancam pendapatan keseluruhan masyarakat adat dan membahayakan perempuan (Siagian & Harahap 2016). Peranan perempuan dalam mempertahankan tanah juga dilakukan dengan cara-cara yang khas. Aleta Baun (Mama Aleta) misalnya, mengajak perempuan Mollo menenun di atas batu mangaan selama setahun untuk mencegah wilayah adat Mollo, di Timur Tengah Selatan – Nusa Tenggara Timur, untuk dijadikan kawasan pertambangan (Maemunah 2015). Perlawanan khas lainnya juga dilakukan Perempuan Kendeng pada kasus penolakan pabrik semen Kendeng, Rembang Jawa Tengah. Perempuan Kendeng melakukan aksi berkemah, jalan kaki (long march), dan aksi mengecor kaki di depan istana. Meski berperan besar dalam perjuangan mempertahankan tanah, tetapi peran perempuan di dalam organisasi gerakan sosial reforma agraria masih terabaikan. Pengabaian ini misalnya terjadi dalam rapat-rapat pengambilan keputusan organisasi (Siagian & Harahap: 2016). Kajian Ekowati et al. (2009) 11
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
memperlihatkan bagaimana perempuan diabaikan ketika tanah-tanah yang berkonflik telah dimenangkan. Kajian ini menemukan proses pembagian tanah di sebuah organisasi tani di desa Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat yang memberikan penghargaan perjuangan tanah hanya kepada pengurus organisasi tani yang aktif dan semuanya adalah laki-laki. Proses tersebut telah melupakan dukungan perjuangan perempuan melalui kerjakerja reproduksi perempuan sebagai bagian dari keseluruhan perjuangan mempertahankan tanah. Kajian Ben White (1984) juga telah memperlihatkan beban ganda perempuan pedesaan di Jawa khususnya petani perempuan yaitu pada beban kerja reproduksi dan kerja produktif dalam pertanian. White menyimpulkan bahwa perempuan petani lebih lama beraktivitas dibanding laki-laki. Situasi tersebut sebenarnya tidak banyak berubah beberapa dekade sesudahnya, kajian Asma Luthfi (2010) yang melakukan penelitian pada rumah tangga petani penggarap tanah perkebunan di Jawa Tengah menemukan perempuan petani memiliki jam aktivitas lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun berperan besar, namun perempuan petani tidak memiliki kesempatan dan kewenangan terhadap sumber-sumber pertanian serta fasilitas publik di wilayah perkebunan. Kajian-kajian yang telah disebutkan di muka, memperlihatkan bahwa beban ganda perempuan pedesaan baik di ranah domestik maupun dalam memperjuangkan hak atas tanah, membutuhkan agenda reforma agraria yang mengarusutamakan keadilan gender, khususnya bagi perempuan. Situasi beban ganda perempuan pedesaan adalah pendorong utama gerakan perempuan dan gerakan sosial lainnya mendorong kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria yang adil gender. Solidaritas Perempuan (2018) menyatakan bahwa pemerintah harus merumuskan kebijakan pertanahan yang berazaskan keadilan gender, yang melindungi hak perempuan atas tanah, yang menjamin hak perempuan untuk terlibat dalam berbagai program pertanahan, serta menjamin hak perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam pengelolaan tanah yang selama ini mereka kelola. Solidaritas Perempuan (SP) adalah organisasi perempuan yang berdiri pada 10 Desember 1990. Sejak awal berdiri organisasi ini, para aktivis SP telah banyak terlibat dalam pembelaan dan kampanye solidaritas dalam berbagai konflik agraria di Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Utara. Sehingga SP sejak awal telah menempatkan persoalan agraria dan sumber daya alam sebagai bagian dari visi organisasinya. Visi SP adalah mewujudkan tatanan sosial 12
Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria
yang demokratis, berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, kesadaran ekologis, menghargai pluralisme, dan anti kekerasan yang didasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, dimana keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi dan politik secara adil. SP secara aktif terlibat dalam memperjuangkan agenda reforma agraria sebagai perjuangan utama kaum perempuan. Dalam wawancara salah seorang aktivis SP menyatakan bahwa keterlibatan organisasi ini dalam mendorong kebijakan reforma agraria dilakukan karena kesadaran tentang adanya ketimpangan dan ketidakadilan berlapis yang dihadapi oleh perempuan pedesaan. Ketidakadilan berlapis tersebut diakibatkan oleh kombinasi antara ketimpangan struktur agraria, sistem ekonomi politik dan hukum negara, dan sistem sosial yang tidak adil kepada perempuan. Karena itu, bagi SP sangat penting kebijakan reforma agraria yang berperspektif mengarusutamakan perempuan. Pandangan tersebut diuraikan oleh salah satu aktivis SP sebagai berikut: Dari sisi kebijakan reforma agraria, sangat penting untuk memastikan kebijakan yang dikeluarkan mengintegrasikan prinsip keadilan gender, menempatkan perempuan sebagai subjek pemangku kepentingan, termasuk perempuan kepala keluarga. Kemudian dari sisi kelembagaan, keterwakilan kepentingan perempuan dalam kelembagaan atau tim-tim yang dibentuk (Aliza-Aktivis SP 2019, Wawancara 9 Oktober).
Gagasan tersebut diusung oleh SP dalam merumuskan dan mendorong pengesahan kebijakan Reforma Agraria. Pada masa awal pemerintahan Jokowi, terdapat kesempatan politik untuk mendorong dan mendesakkan kebijakan reforma agraria. Kesempatan ini muncul karena pemerintahan Joko Widodo menjanjikan pelaksanaan reforma agraria sebagai salah satu dari sembilan janji politik “Nawa Cita”, yang disampaikan kepada publik dan secara resmi didaftarkan sebagai buku visi-misi calon presiden dan calon wakil presiden kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setelah dinyatakan sebagai Presiden Terpilih, sejumlah organisasi gerakan sosial seperti Komite Pembaruan Agraria (KPA) dan SP merumuskan advokasi kebijakan reforma agraria melalui Konferensi Nasional Reforma Agraria (KNRA) pada 22-24 September 2014. Penyelenggaraan KNRA bertujuan memberikan tafsir dari kalangan gerakan sosial tentang rumusan ideal atas pelaksanaan reforma agraria yang dijanjikan pemerintah. Hasil konferensi ini adalah “Buku Putih Pelaksanaan Reforma Agraria” yang berisi agenda legislasi, kelembagaan dan pendanaan pelaksanaan reforma agraria. 13
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Buku Putih ini kemudian secara resmi diserahkan kepada Tim Transisi, sebuah tim yang dibentuk oleh Presiden Terpilih dalam merumuskan langkah pelaksanaan janji-janji politik selama kampanye. Namun, desakan kalangan gerakan sosial melalui KNRA nampaknya tidak banyak membawa hasil. Kondisi ini dapat dilihat pada masa awal pemerintahan Jokowi yang tidak menempatkan reforma agraria sebagai program prioritas pemerintahannya. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang disusun oleh Bappenas, pemerintah membagi pekerjaan utama reforma agraria ke dalam sertifikasi pertanahan dan redistribusi tanah. Naskah RPJMN ini menempatkan Kementerian ATR/BPN sebagai kementerian yang tugas pokoknya adalah melakukan sertifikasi tanah, sementara redistribusi tanah hanyalah porsi kecil pekerjaan kementerian ini. Gerakan sosial reforma agraria kemudian terus melakukan desakan kepada pemerintah melalui Kantor Staf Presiden (KSP). Menanggapi desakan tersebut, pada Mei 2016 KSP merumuskan Rancangan Perpres tentang Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria. Proses perumusan naskah Rancangan Perpres ini mendapat kritik dari SP yang menekankan bahwa reforma agraria saja tidak cukup, reforma agraria tanpa keterlibatan perempuan dalam proses dan pelaksanaan reforma agraria tidak akan menghasilkan struktur agraria yang berkeadilan gender (Solidaritas Perempuan 2016). Interaksi di antara gerakan sosial dengan KSP kemudian berhasil menempatkan reforma agraria menjadi program prioritas pemerintah pada 2017. Kalangan organisasi gerakan sosial kemudian menuntut pemerintah untuk segera mengesahkan Perpres tentang Reforma Agraria sebagai payung hukum bagi program prioritas pemerintah. SP aktif dalam mendorong dan mengkritisi substansi kebijakan Perpres reforma agraria. Hal ini dapat dirujuk kepada naskah usulan Solidaritas Perempuan terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria. Dalam naskah usulan tersebut, pandangan SP terhadap naskah Perpres tentang Reforma Agraria ialah; pertama rancangan Perpres belum menjamin kesetaraan hak dalam pemilikan dan penguasaan maupun pemanfaatan tanah antara laki-laki dan perempuan. Padahal jaminan tersebut sesungguhnya telah diatur dalam UU Pokok Agraria serta TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
14
Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria
Kedua, selain ketimpangan struktur agraria antara masyarakat marginal dan korporasi, juga terdapat ketimpangan pemilikan tanah antara lakilaki dan perempuan. SP menyatakan bahwa berdasarkan data BPN 2016 hanya 15,88% dari 44 juta bidang tanah yang teridentifikasi dimiliki oleh perempuan. Sebagai contoh, data lapangan SP menemukan bahwa di Desa Sei Ahas-Kalimantan Tengah tidak ada surat tanah yang dikeluarkan oleh Desa atas nama perempuan. Sementara di Desa Barati, Kecamatan Pamona Tenggara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, perbandingan penguasaan tanah di Barati sendiri masih didominasi oleh laki-laki dengan perbandingan 90:10. Ketiga, ketimpangan struktur agraria terhadap perempuan berdampak pada keterbatasan akses dan kontrol perempuan atas pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupannya. Keterbatasan akses ini juga meningkatkan kerentanan perempuan terhadap diskriminasi, kekerasan, beban berlapis dan penindasan, baik di tingkat keluarga maupun publik. Keempat, tingginya konflik agraria dan perampasan tanah juga menempatkan perempuan berhadapan dengan persoalan perampasan tanah dan konflik agraria, yang kerap melibatkan aparat keamanan. Padahal, hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan masyarakat juga berdampak pada meningkatnya beban perempuan dalam penyediaan kebutuhan hidup keluarga dan komunitasnya, termasuk ketersediaan pangan. Perempuan terpaksa bekerja serabutan menjadi buruh cuci, buruh tani, buruh harian lepas, berdagang, demi memenuhi ekonomi keluarga, dengan tetap mengerjakan pekerjaan domestik. Merujuk kepada pernyataan sikap yang dirilis oleh Puspa Dewi, Ketua Badan Esekutif SP periode 2015-2019, pelaksanaan reforma agraria seharusnya menghasilkan keadilan agraria dengan cara menyelesaikan konflik agraria, menghapus ketimpangan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, keadilan agraria bagi perempuan tidak akan terjadi tanpa upaya strategis negara secara lintas sektor dan menyeluruh, termasuk strategi dan tindakan afirmatif untuk menghilangkan hambatan-hambatan sosial, budaya yang dialami oleh perempuan akibat ketimpangan relasi kuasa dan peran gender perempuan dalam struktur sosial. Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender serta mengatasi kesenjangan dan ketimpangan gender dalam kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah, perlu ada upaya strategis
15
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
negara melalui kebijakan dan rencana aksi yang mengintegrasikan prinsip, pendekatan, dan mekanisme yang adil gender (Solidaritas Perempuan 2017). Model advokasi kebijakan yang sama dalam mendorong pengesahan Perpres Reforma Agraria juga dilakukan oleh KPA. Organisasi yang berdiri sejak 1994 dan beranggotakan serikat petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat dan NGO dan menjadikan pelaksanaan reforma agraria sebagai cita-cita utama organisasi. Menurut Sekjen KPA, Dewi Kartika, selain mendorong pengesahan Perpres reforma agraria, organisasi gerakan pembaruan agraria seperti KPA juga mempunyai pekerjaan rumah di internal organisasi yakni memperkuat pemahaman aktivis dan anggota organisasi kepada isu keadilan gender. Ia mengakui bahwa KPA juga kerap mendapat kritik sebagai gerakan yang kurang peka terhadap isu-isu keadilan gender. Hal tersebut membuat KPA melakukan pembenahan di dalam kurikulum pendidikan aktivis KPA. Berikut pemaparan dari Sekretaris Jenderal KPA: Dalam sepuluh tahun terakhir, KPA mulai menelusuri kembali kesejarahan organisasi ini sejak masa awal berdiri dalam kerja-kerja penguatan peran dan kapasitas perempuan pada gerakan reforma agraria. Termasuk dalam membangun diskursus keadilan gender di dalam keadilan agraria. Ada masa dimana literasi agraria tentang hak perempuan dalam gerakan reforma agraria pernah dibangun, namun kemudian meredup di periode-periode berikutnya. (Dewi Kartika - Sekjen KPA 2019, wawancara 17 Oktober). Pada Musyawarah Nasional (Munas) KPA ke-6 (2013) dan ke-7 (2016), Resolusi Munas KPA telah memandatkan pengamalan nilai-nilai keadilan gender sebagai bagian penting dalam perjuangan reforma agraria. Pada 2015-2016, KPA untuk pertama kalinya melaksanakan pendidikan reforma agraria khusus bagi caloncalon kader perempuan KPA dari berbagai wilayah. Berlanjut hingga 2017 sampai sekarang dengan nama Pendidikan Kader Reforma Agraria (PKRA) bagi pengurus KPA di nasional dan wilayah serta kader muda serikat tani. Dalam kurikulum PKRA, materi keadilan gender dan hak perempuan atas tanah menjadi bagian wajib dari materi pendidikan yang diajarkan kepada semua peserta PKRA. (Wawancara Dewi Kartika - Sekjen KPA, 17 Oktober 2019).
Publikasi KPA juga melaporkan bahwa pertemuan organisasi petani tingkat desa lebih didominasi oleh laki-laki. Partisipasi perempuan petani pedesaan yang lemah disebabkan oleh minimnya kepercayaan diri untuk maju dari kalangan perempuan pada basis-basis organisasi petani. Situasi ini adalah hambatan internal yang dialami organisasi seperti KPA dalam memajukan kader perempuan mereka. Sementara itu, praktik dan contoh ketidakadilan gender masih terjadi di basis organisasi tingkat desa seperti; pembagian warisan yang lebih kecil kepada perempuan, perempuan bisa ikut 16
Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria
turun ke sawah tetapi lelaki tidak mau ke dapur, takut kepada suami untuk hadir dalam pertemuan, perempuan juga melakukan kerja sawah, kebun tanpa meninggalkan kerja domestik, serta aturan adat yang di hegemoni oleh laki-laki (Suara Pembaruan Agraria 2015). Persoalan ini telah membuat KPA selain melakukan advokasi kebijakan reforma agraria, KPA melakukan pembenahan internal terkait dengan pemahaman keadilan gender. Pada proses advokasi kebijakan mendorong Perpres Reforma Agraria, sebagaimana SP, KPA adalah penyelenggara utama KNRA yang telah menghasilkan Buku Putih Reforma Agraria, perumusan strategi nasional pelaksanaan reforma agraria, dan terlibat dalam perumusan Rancangan Perpres Reforma Agraria. Meski demikian, KPA sendiri tidak secara khusus membahasakan tuntutan reforma agraria dalam bahasa reforma agraria adil gender sebagaimana SP. Momentum menagih Perpres didapatkan oleh KPA pada saat penyelenggaraan Global Land Forum (GLF), sebuah forum pertanahan global tiga tahunan yang diselenggarakan oleh International Land Coalition (ILC). ILC dihadiri oleh delegasi 80 negara untuk membahas persoalan pertanahan global, regional dan lokal dari dan oleh kalangan gerakan sosial, akademisi universitas, lembaga riset, dan lembaga pembangunan pertanian dan pedesaan multilateral. ILC adalah sebuah koalisi pertanahan internasional yang beranggotakan gerakan sosial, akademisi dan lembaga pembangunan multilateral seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan The World Bank. Pada tahun 2018 GLF diselenggarakan di Bandung, Indonesia. Dalam soft opening GLF yang dilaksanakan di Istana Negara pada 22 September 2018, ketua pelaksana GLF, yang juga merupakan Sekjen KPA, Dewi Kartika, menagih janji peraturan presiden tentang reforma agraria yang hingga empat tahun masa pemerintahan belum juga disahkan. Presiden kemudian menjawab desakan tersebut dan pada 27 September 2018 Perpres tentang Reforma Agraria disahkan.
Absennya Keadilan Gender dalam Perpres Reformasi Agraria 2018 Perpres Reformasi Agraria tahun 2018 tersebut mendapatkan reaksi yang beragam dari kalangan gerakan sosial. Menurut SP, Perpres tersebut tidak mencakup prinsip keadilan gender dan proses pembahasannya tidak konsultatif. Selain itu, pelaksanaan Perpres tersebut telah melibatkan lembaga
17
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
keuangan internasional Bank Dunia, melalui pinjaman hutang sebesar USD 200 juta atau Rp 2,9 triliun, untuk menata Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Padahal, menurut SP, Bank Dunia merupakan aktor di balik penggusuran tanah dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Bank Dunia juga merupakan aktor sistem ekonomi global yang mengeruk sumber daya alam dan menyebabkan pemiskinan masyarakat terlebih kaum perempuan. Di tengah harapan perempuan akan terwujudnya reforma agraria yang adil gender, pemerintah justru memupuskannya dengan melibatkan Bank Dunia dalam pembahasan reforma agraria. SP juga menyesalkan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tidak termasuk bagian dalam Gugus Tugas Reforma Agraria (Siaran Pers Solidaritas Perempuan 2018). Setelah pengesahan Perpres Reforma Agraria, KPA juga melihat bahwa peraturan tersebut belum memadai karena perpres tersebut tidak menempatkan secara tepat peran perempuan, masyarakat adat dan masyarakat sipil dalam proses pelaksanaan reforma agraria, agar dapat mengembalikan kedaulatan mereka. KPA kemudian mendorong adanya upaya alternatif dari sisi implementasi, sebagaimana pemaparan Dewi Kartika berikut: Kami menyadari sejumlah kelemahan Perpres RA, namun mengapresiasi terbitnya Perpres setelah kekosongan 68 tahun landasan hukum untuk menjalan RA secara lebih operasional paska terbitnya UUPA 1960. Ada pasal menguatkan posisi rakyat yang selama ini memperjuangkan reforma agraria. (Dewi Kartika Sekjen KPA 2019, Wawancara 17 Oktober). Memang terdapat kekurangan dalam konteks memperjuangkan keadilan gender pada Perpres ini. Namun, (terkait hal ini) KPA tetap mengacu pada Pasal 9 Ayat 2 UUPA sebagai payung hukum dari Perpres RA. Di luar konteks terbatasnya kebijakan keadilan gender secara tersurat dan tersirat dalam Perpres ini. (Kami) mulai mengembangkan model-model reforma agraria berdasarkan inisiatif rakyat. KPA dalam prakteknya berusaha menerapkan kebijakan dan pendekatan keadilan gender dalam kerja-kerja pengorganisasian redistribusi tanah tersebut melalui pengembangan desa maju reforma agraria disingkat Damara. (Dewi Kartika-Sekjen KPA 2019, Wawancara 17 Oktober).
Salah satu harapan dari kehadiran Perpres ini adalah percepatan redistribusi tanah khususnya pada tanah-tanah yang telah dikelola oleh masyarakat dan penyelesaian konflik agraria. Namun, penetapan subjek penerima tanah di dalam proses redistribusi berdasarkan perpres ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 adalah: orang perseorangan; kelompok 18
Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria
masyarakat dengan hak kepemilikan bersama; atau badan hukum. Sementara, yang disebut dengan orang perseorangan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: WNI; berusia paling rendah 18 tahun atau sudah menikah; dan bertempat tinggal di wilayah objek redistribusi tanah atau bersedia tinggal di wilayah redistribusi tanah. Penetapan subjek penerima tanah menjadi semakin luas dengan kategori orang perseorangan mencakup mereka yang memiliki pekerjaan: petani gurem yang memiliki luas tanah 0,25 ha atau lebih kecil dan/atau petani yang menyewa tanah yang luasannya tidak lebih 2 ha; petani penggarap yang mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah yang bukan miliknya; buruh tanah yang mengerjakan atau mengusahakan tanah orang lain dengan mendapat upah; guru honorer yang belum berstatus sebagai PNS; pekerja harian lepas; pegawai swasta dengan pendapatan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak; Pegawai Negeri Sipil paling tinggi golongan III/a yang tidak memiliki tanah; dan anggota TNI/Polri berpangkat paling tinggi Letnan Dua/ Inspektur Dua atau yang setingkat. Melebarnya subjek penerima manfaat redistribusi tanah ini menimbulkan kekhawatiran bahwa skema redistribusi tanah yang akan dijalankan berpotensi besar menarik pihak-pihak non petani turut mendapatkan tanah, sementara akses bagi kelompok petani tetap terbatas. Selain itu, absennya kata perempuan dalam ketentuan subjek penerima tanah telah menambah kekhawatiran bahwa perempuan akan terus diabaikan sebagai penerima manfaat dari akses terhadap tanah. Dalam proses redistribusi tanah, tidak adanya pengaturan subjek prioritas dengan cara pembobotan subjek, akan berpotensi meninggalkan masyarakat yang benar-benar membutuhkan tanah, misalnya perempuan. Kritik dari berbagai organisasi gerakan sosial terhadap Perpres Reforma Agraria tersebut secara garis besar dapat dipetakan sebagai berikut. Pertama, pekerjaan reforma agraria dalam perpres ini adalah sertifikasi tanah dan atau redistribusi. Kedua, kelembagaan reforma agraria dipimpin oleh Menko Perekonomian. Padahal, kalangan gerakan sosial memandang pentingnya lembaga pelaksana reforma agraria dipimpin langsung oleh presiden. Ketiga, objek tanah yang dapat dijadikan untuk reforma agraria tidak mencantumkan Hak Guna Usaha (HGU) yang masih aktif sebagai potensi objek reforma agraria. Keempat, melebarnya potensi subjek penerima tanah reforma agraria, namun meniadakan perempuan petani pedesaan sebagai
19
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
prioritas penerima tanah. Kelima, minimnya pelibatan dan partisipasi organisasi gerakan sosial dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi.
Penutup Gerakan sosial di Indonesia, baik gerakan agraria maupun gerakan perempuan, telah memperjuangkan reforma agraria, khususnya melalui advokasi kebijakan untuk mengesahkan Perpres No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Gerakan perempuan yang dalam tulisan ini digambarkan dalam pengalaman organisasi Solidaritas Perempuan, sejak awal proses perumusan telah menekankan perlunya dimensi keadilan gender di dalam kebijakan pembaruan agraria. Namun, rumusan yang dihasilkan oleh Perpres Reforma Agraria tahun 2018 tersebut belum memasukkan dimensi gender dalam formulasinya. Sertifikasi tanah tidak secara otomatis sejalan dengan cita-cita reforma agraria. Praktik sertifikasi justru berpeluang menjadi proses transfer tanah kepada kelompok ekonomi yang lebih kuat melalui proses jual beli. Sertifikasi tanah yang kerap mengabaikan perempuan akan terus menempatkan perempuan subordinat dalam penguasaan tanah. Pengaturan tentang subjek reforma agraria diterapkan meluas namun luput untuk memasukkan skala prioritas, misalnya bagi perempuan. Hal ini telah menghilangkan visi reforma agraria sebagai alat transformasi masyarakat pedesaan, dan kesetaraan laki-laki perempuan di pedesaan. Mitigasi jangka pendek untuk memastikan keadilan gender dalam pelaksanaan Perpres ini penting untuk dilakukan. Mitigasi tersebut dapat dilakukan melalui advokasi pelaksanaan Perpres reforma agraria dalam pelaksanaan penataan penguasaan tanah dan penataan produksi di tingkat desa yang berkeadilan gender. Usaha gerakan sosial untuk memitigasi kelemahan Perpres Reforma Agraria perlu dilakukan pada dua level, yaitu usaha advokasi untuk memperbaiki peraturan ini, dan mempercepat realisasi redistribusi tanah khususnya pada lokasi-lokasi yang diorganisir organisasi gerakan sosial. Selain itu, organisasi gerakan sosial reforma agraria dan gerakan perempuan juga perlu untuk meningkatkan pemahaman aktivis dan basis organisasi tentang prinsip keadilan gender serta memasukan prinsip keadilan gender ini ke dalam tata kuasa, tata guna dan tata produksi agraria dan juga tata 20
Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria
produksi dan distribusinya. Hal ini perlu dilakukan agar organisasi gerakan sosial dapat mengembangkan sendiri tahapan perencanaan, implementasi redistribusi tanah, dan pemberdayaan yang menggunakan prinsip keadilan gender. Proses semacam ini sangat penting dilakukan di desa-desa yang memperjuangkan pelaksanaan redistribusi tanah agar menjadi model dan sarana belajar bagi rencana redistribusi tanah di lokasi-lokasi lain.
Daftar Pustaka Afif, SA & Rahman, NF 2019, Institutional Activism: Seeking Costumary Forest Rights Recognition from Within the Indonesian State. The Asia Pacific Journal of Anthropology, DOI: 10.1080/14442213.2019.1670245 Asmarani, A 2016, Perempuan Dalam Konflik Agraria (Studi Deskriptif peran perempuan tani dalam organisasi massa tani dalam konflik agraria di kawasan hutan Palintang, Bandung, Jawa Barat), Majalah Ilmiah Unikom Vol. 13 No. 1. Bachriadi, Dianto (ed) 2012, Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia. ARC, Bandung. Bachriadi, D 2007, Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY, Makalah disajikan pada Diskusi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UniB), Bengkulu, 2 Juni 2007. Badan Pertanahan Nasional 2013, Riset Desain dan Instrumen Penelitian Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah Pola-pola Kemitraan Inti Plasma. Direktorat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta. Ekowati, Dian, Anton Supriyadi et al 2009, Kelembagaan Produksi-Distribusi Pasca Okupasi dalam Perspektif Gender: Studi Kasus Dua Desa di Kabupaten Ciamis dalam Laksmi et al (ed) 2009, Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria da Krisis Sosial Ekologi, STPN, Bogor. Luthfi, A 2010, Akses dan Kontrol Perempuan Petani Penggarap Pada Lahan Pertanian PTPN IX Kebun Merbuh. Jurnal Komunitas, Universitas Negeri Semarang, Edisi 2-2010. Kantor Staf Presiden 2016, Pelaksanaan Reforma Agraria Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017, Kantor Staf Presiden Strategi Nasional Pembaruan Agrari, Jakarta. Konsorsium Pembaruan Agraria 2018, Catatan Akhir Tahun 2018, KPA, Jakarta. Maemunah, S 2015, Mollo Pembangunan dan Perubahan Iklim Usaha Rakyat Memulihkan Alam yang Rusak, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Nurdin, I & Wiradi, G 2019, Politik dan Reforma Agraria dalam Shohibuddin, M & Bahri, A.B (ed), Perjuangan Keadilan Agraria, Insist Press, Yogyakarta.
21
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Pettinichio, D 2012, Institutional Activism: Reconsidering the Insider/Outsider Dichotomy. Sociology Compas, Blackwell Publishing. Pulzl, H & Treib, O 2006, Implementing Public Policy. dalam Fischer, et al, Hand Book of Public Policy Analysis Theory, Politics and Methods. CRC Press, New York. Rahman, NF 2012, Land Reform dari Masa ke Masa. Tanah Air Beta, Yogyakarta. Siagian, S & Harahap, T 2016, Pandumaan dan Sipituhuta vs TPL di Sumatera Utara: tangis kemenyan, amarah perempuan, dalam Eko Cahyono, et al (ed), Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Komnas HAM-RI, Jakarta. Shohibuddin, M & Salim, MN 2012, Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan. STPN Press, Yogyakarta. Shohibuddin, M (ed) 2009, Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Sajogjo Institute, Bogor. Tim Penulis Sajogyo Institute 2019. Perempuan di Tanah Kemelut Situasi Perempuan dalam Situs-situs Krisis Sosial Ekologis, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Wiradi, G 2009, Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa (Dari Ngandagan, Jawa Tengah sampai ke Porto Alegre Brazil), IPB Press, Bogor. White, B 1984, Measuring Time Allocation, Decision Making and Agrarian Changes Affecting Rural Women: Examples from Recent Research in Indonesia. IDS Bulletin, Vol 5 No. 1. Peraturan Presiden No. 86 tahun 2018 Tentang Reforma Agraria Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Suara Pembaruan Agraria Edisi 2015. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2015, diakses di http://www.solidaritasperempuan.org/tentang-sp/sejarah-sp/http://www. solidaritasperempuan.org/tentang-sp/visi-misi/ KPA 2018, Catahu 2018: Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik, diakses di http://kpa.or.id/publikasi/baca/laporan/30/Catahu_2018:_Masa_Depan_Reforma_ Agraria_Melampaui_Tahun_Politik/ Siaran Pers Solidaritas Perempuan 2018, Perempuan Menuntut Reforma Agraria Adil Gender Tanpa Bank Dunia. Siaran Pers Solidaritas Perempuan dalam rangka Memperingati Hari Tani Nasional 2018. Siaran Pers Solidaritas Perempuan 2018, Peringatan Hari Tani Nasional Perempuan Terus Tuntut Reforma Agraria Adil Gender. Siaran Pers Solidaritas Perempuan dalam rangka Memperingati Hari Tani Nasional 2017. Solidaritas Perempuan 2016, Pandangan dan Rekomendasi Solidaritas Perempuan untuk Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019. Naskah ini diusulkan kepada KSP pada tanggal 11 Mei, 2016.
22
Iwan Nurdin & Julian Aldrin Pasha
Absennya Pengarusutamaan Gender dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria
Wawancara Aliza, Aktivis Solidaritas Perempuan, 9 Oktotober 2019 Kartika Dewi, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, 17 Okotober 2019
23
Topik Empu
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat Economic Practices of ‘Mama-Mama Papua’ using Shifting Cultivation System: Study Case in Sorong and Maybrat Regencies - Western Papua Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145 hatibabdulkadir@ub.ac.id Kode Naskah: DDC 305 Kronologi Naskah: diterima 14 Oktober 2019, direvisi 5 November 2019, diputuskan diterima 21 November 2019 Abstract This research examines women’s role and their decision-making related to swidden farming. This research was conducted in two different regions, Sorong (lowland) and Maybrat (highland) in West Papua. Key informants in this research were indigenous Papuan women, their husbands, and relatives. The aim of the research is to demonstrate that in the realm of traditional agriculture, women play important roles, starting from production, plant nursery, to the crop distribution to market. Nonetheless, the role of women tends to disappear, when the system of agriculture changes to sedentary farming by using chemical substances and other modern and farming technologies Keywords: shifting agriculture, taking decision, traditional market, agriculture commodities. Abstrak Riset ini meneliti tentang peranan perempuan dalam pilihan dan pengambilan keputusan di bidang pertanian berpindah (swidden farming). Riset ini dilakukan di dua tempat yakni Kabupaten Sorong dan Maybrat. Informan utama yang peneliti wawancarai adalah perempuan lokal asli Papua dan pasangan serta keluarga lakilaki petani. Tujuan dari riset ini hendak menunjukkan bahwa di ranah tradisional, perempuan memiliki peran penting mulai dari produksi, sistem perawatan tanaman hingga distribusi pasar. Namun, peran tersebut justru hilang ketika pola pertanian berubah dengan menggunakan pupuk kimia dan alat pertanian modern canggih lainnya. Kata kunci: pertanian berpindah, pengambilan keputusan, pasar tradisional, komoditas pertanian.
24
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
Pendahuluan Artikel ini mengangkat pengalaman mama-mama atau peladang perempuan Papua di Kabupaten Maybrat dalam mengelola metode pertanian tradisional. Artikel ini mencatat pengalaman para peladang perempuan dalam memadukan sistem berkebun berpindah dengan tanaman komersial hortikultura yang mengharuskan petani menetap dalam merawatnya. Tujuan dari penelitian ini adalah hendak melihat ekonomi campuran antara menanam tanaman subsisten untuk keperluan sehari-hari dengan tanaman komersial untuk mendapatkan uang kontan. Penelitian ini menemukan pengalaman mama-mama dalam menjaga kondisi ekologis perladangan meski harus melakukan adaptasi terhadap kebutuhan keuangan. Meminjam istilah King dan Wilder (2012) mama-mama peladang ini mempraktikkan sistem ekonomi campuran (mixed economy) yakni memadukan antara tanaman untuk kebutuhan rumah tangga dengan tanaman untuk kebutuhan pasar nasional maupun global. Praktik ini dikembangkan dari konsep klasik Boeke (1953), tentang masyarakat mendua (dual society) yakni masyarakat yang masih menerapkan sistem ekonomi subsisten, namun pada saat yang sama juga memeluk motif mencari keuntungan dan mengintegrasikan diri mereka ke pasar dengan cara meningkatkan produksi pertanian. Budaya pertanian komersial berbeda dengan budaya perladangan berpindah yang dilakukan oleh orang Papua. Perladangan berpindah membutuhkan jumlah jam kerja lebih sedikit jika dibandingkan dengan pertanian sawah dan hortikultura. Keterlibatan petani dalam pertanian komersial berarti mengharuskan mereka untuk disiplin dalam menjalani rezim produksi (Tsing 2008). Sedangkan sistem perladangan di Papua Barat adalah campuran antara hutan, kebun dan tanaman hortikultura. Sistem ini merupakan campuran antara aspirasi petani terhadap tanaman komersial sekaligus upaya petani untuk mempertahankan tanaman subsisten. Di mata pembangunan pertanian, petani yang sukses adalah mereka yang telah mengadopsi sistem pertanian hortikultura dan yang menjalankan sistem pertanian menetap. Alasannya, tentu saja bukan hanya sistem yang mampu meningkatkan produksi, namun tanaman ini juga dapat diukur tingkat produksinya. Petani lokal Papua yang telah mengikuti sistem transmigrasi dilihat sebagai petani yang sukses. Sebaliknya, mereka yang masih pola berpindah adalah petani terisolasi. Pemerintah, sejak jaman
25
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
adminsitratif kolonial mempunyai kepentingan untuk membuat para petani menetap agar mereka dapat memproduksi tanaman produktif, mudah dikontrol dan dikenai pajak (Kadir 2016; Scott 2011). Selain untuk menambah keragaman gizi bagi masyarakatnya (Boekorsjom 2012) inilah definisi petani yang efektif dalam pandangan pemerintah. Dengan kata lain, dalam kacamata pemerintah, yang seharusnya berotasi adalah tanamannya bukan tanahnya. Pandangan ini mempunyai bias kultural sistem pertanian Jawa di mana rotasi tanaman merupakan ekses dari padatnya tekanan penduduk. Padahal, perladangan berpindah telah dipraktikkan lebih dari lima ratus tahun dan kualitas tanah tersebut tidak rusak atau erosi. Pemerintah tidak memahami pola pertanian masyarakat karena masyarakat lokal Papua menggunakan pola pertanian campuran yakni memadukan antara tanaman subsisten dengan hortikultura pada saat bersamaan dalam satu kebun. Bagi para peladang, dengan menerapkan sistem ladang berpindah maka mereka lebih dapat menyesuaikan dengan kondisi sosial dan ekologis (lingkungan) di sekitar dan melepaskan diri dari praktik pertanian yang bersifat destruktif dan tidak berkelanjutan (Namgyel et al. 2008). Setelah masa panen, para peladang berpindah dan mencari lahan baru. Lahan yang ditinggalkan akan berada dalam masa bera (fallow period), masa di mana lahan tidak dapat ditanami apapun hingga menunggu pohon-pohon tumbuh kembali (belasan hingga puluhan tahun). Lalu, peladang akan kembali lagi ke lahan tersebut ketika telah tumbuh pohon-pohon dan mulai untuk menebang kembali, kemudian membakar kayu-kayu dan ranting (slash-and-burn farming), dan kemudian dapat ditanami kembali (Potter 2009). Artikel ini menemukan bahwa pola pertanian campuran ini merupakan pilihan (choices) dan pengambilan keputusan (decision-making) perempuan lokal Papua, yang mencampurkan antara tanaman tradisional dengan tanaman komersial dalam satu kebun. Pilihan perempuan lokal Papua ini berbeda dengan beberapa studi pertanian yang menunjukkan bahwa petani memutuskan meninggalkan tanaman subsisten dan berkeputusan untuk mengganti lahan mereka ditanami tanaman komersial, sehingga berimplikasi pada rentannya otonomi pangan lokal dan bergantung pada naik turunnya harga tanaman komersial di pasaran global (Finnis 2006; Li 2014). Fluktuasi harga tanaman di pasaran global ini benar-benar di luar
26
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
kendali petani, dan membuat mereka menjadi rentan. Meski mempunyai aspirasi ekonomi, petani lokal Papua tidak mengorbankan semua lahan mereka menjadi tanaman komersial. Demikian juga, dalam pilihan dan pengambilan keputusan terhadap pestisida dan herbisida. Mereka tidak menggunakan pestisida terhadap semua tanaman, kecuali ketika hama menyerang dengan masif di daun tanaman selama masa perawatan. Penemuan penelitian ini menunjukkan mama-mama petani mempunyai suara siginifikan dalam menentukan pilihan-pilihan dan pengambilan keputusan dalam ladang berpindah dan proses selama pemasaran. Pilihan dan pengambilan keputusan semakin meredup ketika perladangan berpindah bergeser ke pertanian menetap yang modern. Kebebasan dalam memilih juga terlihat pada keterlekatan relasi antara pertanian, kekerabatan, politik marga, praktik ekonomi dan agama. Dalam riset ini peneliti tidak melihat pertanian sebagai sistem yang sifatnya teknis dan terlepas dari kondisi sosial lainnya melainkan terdapat keterhubungan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Di samping itu, corak ekonomi tradisional melekatkan unsur-unsur relasi sosial dengan transaksi ekonomi menjadi satu kaitan utuh, seperti yang disebut sebagai embeddedness atau keterlekatan (Granovetter 1985). Namun, keterlekatan (embededdness) tidak selamanya dapat diterapkan dalam pertanian modern (sedentary farming). Dunia ekonomi modern memisahkan peranan produksi dan pemasaran, sementara ekonomi tradisional tidak memisahkan produksi, perawatan dan distribusi pemasaran. Praktik perladangan tradisional tidak memisahkan antara rumah tangga dan ekonomi. Suami dan istri terlibat bekerja sama, khususnya dalam masa perawatan. Terkadang anak laki-laki diminta untuk membeli benih dalam skala banyak diluar kota. Demikian juga, ketika masa persiapan pemanenan, peladang tradisional melibatkan institusi agama di dalamnya sebagaimana yang akan peneliti jelaskan di pembahasan di bawah.
Metode Penelitian ini mengajukan pertanyaan tentang bagaimana perempuan melanjutkan tradisi berladang mereka namun pada saat yang sama merespon kebutuhan pasar dengan menanam tanaman komersial (cash crop). Penelitian ini juga menelusuri bagaimana kinerja ekonomi perempuan 27
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
di ladang, dalam hal apa saja perempuan dilibatkan untuk pengambilan keputusan di sektor produksi, perawatan tanaman, dan distribusi pemasaran. Serta, faktor apa saja yang mempengaruhi perempuan terlibat atau tidak terlibat dalam perladangan? Penelitian ini dilakukan di dua kabupaten, yakni Kabupaten Maybrat (dataran tinggi) dan Kabupaten Sorong (dataran rendah), Provinsi Papua Barat. Riset ini dimulai pada pertengahan awal Juni dengan menelusuri sumber-sumber sekunder berkaitan dengan profil pertanian dan perempuan di dua kabupaten ini. Selama bulan Juli 2019, pengumpulan data lapangan dilakukan di dua kabupaten tersebut. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara terstruktur dan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion / FGD). FGD dan wawancara terstruktur dilakukan sebagai pertimbangan karena durasi penelitian apabila menggunakan partisipasi-observasi, dan di satu sisi juga dengan menggunakan metode diskusi kelompok terfokus peneliti dapat melakukan interaksi dengan partisipan (informan) terkait dengan topik yang sulit untuk diobservasi sekaligus dapat menyesuaikan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perhatian dalam metode pengumpulan data (Suter 2000). Di samping melakukan wawancara terstruktur dengan pertanyaan yang telah disusun dengan baik, pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara tidak terstruktur yang diakhiri dengan mengikuti para petani perempuan (observasi-partisipasi) ke masing-masing ladang yang tengah mereka kerjakan di Kabupaten Maybrat. Penentuan informan dimulai dengan menghubungi beberapa instruktur Dinas Pertanian dan Dinas Ketahanan Pangan di kedua kabupaten, Sorong dan Maybrat. Lalu, melalui Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) dari dua dinas ini, peneliti dihantarkan kepada kelompok tani yang berada di dua kabupaten, Sorong dan Maybrat untuk melakukan FGD. Teknik snowball informants menjadi pilihan yang cukup efektif karena sulitnya akses untuk meraih subjek (informan) yang akan diteliti (Naderifar, 2017). Nama petani (lokal), baik laki-laki dan perempuan, dan PPL disamarkan sesuai dengan prinsip-prinsip etika penelitian. Hal ini dilakukan tidak hanya dengan sekedar mengubah nama (anonimitas), melainkan juga menjaga dan melindungi privasi informan sesuai dengan kesepakatan dengan informan dalam upaya-upaya peneliti mengumpulkan data (wawancara, dokumentasi, dan sebagainya) (Spradley 2007).
28
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
Penelitian ini mewawancarai 19 petani perempuan dan mewawancarai 26 petani laki-laki. Sebagian dari para petani laki-laki tersebut adalah suami dengan perempuan diwawancarai atau masih berhubungan saudara, seperti anak menantu atau saudara perempuan. Untuk membandingkan hasil wawancara penelitian ini juga mewawancarai 11 petugas di Dinas Pertanian dan Dinas Ketahanan Pangan di dua kabupaten. Semua petani yang diwawancarai adalah petani lokal Papua, yakni mereka yang menganggap dirinya sebagai Orang Asli Papua (OAP) dan mempunyai ras Melanesia. Di Kabupaten Sorong, petani yang diwawancara adalah Suku Moi yang tinggal di Kampung Aimas, Klademak dan Klasaman. Sedangkan di Kabupaten Maybrat petani diwawancara adalah dari Suku Ayamaru dan Ayfat yang tinggal di Kampung Ayamaru, Kampung Aisyo, Kampung Kisor dan Kampung Aitinyo. Untuk mendapatkan pola jawaban dari pertanyaan riset, peneliti melakukan pengelompokkan jawaban yang serupa dari berbagai hasil perbincangan yang berbeda. Harapan dari pendekatan ini agar kemiripan antara petani lokal di Kabupaten Sorong dan Maybrat dapat ditemukan, dan harapannya praktik ekonomi perempuan pada perempuan di ladang berpindah dapat dicari keserupaan maupun perbandingannya dengan daerah lain. Di Kabupaten Maybrat, penelitian ini melihat peran perempuan di sektor produksi andalan yakni kacang tanah, sedangkan di Kabupaten Sorong, komoditas andalan mereka adalah tomat. Kabupaten Maybrat terletak di dataran tinggi dan cocok untuk ditanami umbi-umbian, jagung, dan kacang tanah adalah tanaman andalan dalam mendatangkan uang kontan skala besar. Petani juga menanam tanaman hortikultura seperti lombok, tomat, dan terong. Sedangkan Kabupaten Sorong terletak di dataran rendah berawa. Para petani transmigran Jawa di beberapa distrik lebih menguasai lahan pertanian dibanding petani lokal Papua. Penduduk di Kabupaten Maybrat mencapai 38,067 dengan luas tanah 5,461 km persegi (BPS 2015). Kabupaten Maybrat mempunyai populasi penduduk yang lebih homogen dibanding Kabupaten Sorong. Mayoritas suku di kabupaten ini adalah orang Ayfat dan Aymaru yang mencapai hingga 74% dan diikuti oleh suku Arfak mencapai 21,16% dan sisanya adalah pendatang. Bahkan orang Jawa di kabupaten ini hanya mencapai 0,36% (Ananta et al. 2010). Maybrat adalah kabupaten yang baru didirikan pada tahun 2009 setelah dimekarkan dari Kabupaten Sorong. Sedangkan Kabupaten Sorong lebih heterogen di mana 50% lebih penduduknya
29
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
adalah pendatang dari Jawa dan sisanya adalah etnis pendatang lainnya, seperti Bugis, Buton, Makasar dan Toraja. Suku asli di Kabupaten Sorong adalah orang Moi yang persebarannya hingga ke Kabupaten Raja Ampat di sebelah utara. Pada tahun 2010, populasi di Sorong mencapai 192,000 dan pada tahun 2020 populasi di kabupaten ini diproyeksikan mencapai 261,000 (BPS 2015). Populasi di Kabupaten Sorong mencapai lebih dari 10 kali lipat dengan penduduk di Kabupaten Maybrat. Sedangkan luas tanah di Kabupaten Sorong 7,415km persegi. Kondisi tekanan penduduk inilah yang tidak memungkinkan perladangan berpindah di pusat-pusat Kabupaten Sorong kecuali di kawasan pinggiran.
Petani Berpindah sebagai Kecerdasan Masyarakat Lokal Pada daerah yang mempunyai tingkat populasi rendah, seperti Kabupaten Maybrat dan di pinggiran Kabupaten Sorong, perladangan berpindah masih mayoritas dilakukan. Namun demikian, dalam pandangan pemerintah yang teknokratik dan berorientasi ke pasar, sistem pertanian ini adalah tertinggal karena masih dilakukan dengan komunal, berorientasi subsisten, tidak tanggap teknologi, tidak menggunakan pupuk dan tidak diproduksi secara besar. Sebaliknya penelitian ini melihat sistem perladangan berpindah justru rasional dan adaptif dalam pandangan masyarakat lokal. Sistem ini mampu meminimalkan risiko terkena serangan hama, rumput liar, dan biaya ongkos produksi pada buruh (labor intensive). Perladangan berpindah tidak destruktif terhadap tanah. Masyarakat juga memodifikasi sistem perladangan dengan merespons perubahan lingkungan dan kondisi harga komoditas di pasaran. Cara yang dilakukan adalah dengan meragamkan tanaman antara subsisten dan komersial. Dalam satu lahan, petani menanam keladi, pisang, dan pada saat yang sama juga menanam sawi, tomat, lombok, terong dan kacang tanah. Tanaman komersial ini disebut juga sebagai “tanaman intervensi” karena pertama kali diperkenalkan oleh petugas pertanian dan para petani transmigran Jawa. Namun demikian, tanaman berpindah mempunyai kelemahan yakni ia akan tergeser karena tekanan penduduk yang menyebabkan petani harus menetap. Khususnya untuk Kabupaten Sorong yang merupakan daerah transmigrasi terbesar kedua di Papua dan Papua Barat setelah Merauke (Ananta 2010; Upton 2009). Tekanan penduduk menyebabkan petani melakukan intensifikasi seperti yang terjadi di Pulau Jawa. Ditambah dengan
30
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
“banjirnya” para migran sukarela setelah desentralisasi tahun 2001 ke Sorong, membuat kawasan ini hampir sepenuhnya dikuasai oleh pendatang (pedagang dan petani hortikultura). Sedangkan bagi petani di Kabupaten Maybrat, mereka menganggap bahwa petani yang menetap adalah “orang miskin” karena mereka tidak mempunyai tanah yang luas dan terus menggarap tanah yang sama. Petani di Kabupaten Maybrat menganggap bahwa tidak masuk akal jika pertanian harus menetap di kawasan ini karena luasnya tanah yang tersedia dan sedikitnya jumlah penduduk. Ketika terjadi migrasi besar-besaran dalam program transmigrasi dan deforestasi karena investasi sawit di pinggiran Kabupaten Sorong, para petani berpindah ini terdesak. Mereka berpindah ke arah yang lebih dalam di kaki-kaki bukit. Namun demikian, hutan yang dibuka bukanlah hutan primer melainkan hutan sekunder, yakni hutan yang telah pernah dibuka untuk ladang dan ditinggalkan dua hingga tiga tahun. Petani berladang ini tidak melakukan sistem berpindah ekstensif dengan mekanisasi produksi karena terbatasnya teknologi yang digunakan seperti gergaji mesin, motor tempel atau traktor tangan. Hal ini terlihat dari jarangnya padang rumput yang terbuka akibat pembukaan lahan. Kondisi curah hujan juga cukup mendukung sistem perladangan berpindah. Berbeda dengan di Jawa, di mana curah hujan telah diprediksi dengan baik terjadi setiap enam bulan sekali, kondisi hujan yang datang silih berganti pada beberapa kali musim kering membuat penanaman ladang berpindah tidak dapat mengandalkan sistem irigasi. Hal ini berbeda dengan kondisi pertanian menetap yang telah dipraktikkkan di kawasan transmigrasi seperti distrik Aimas dan Salawati di Kabupaten Sorong. Para petani khususnya laki-laki harus mengangkut air dengan bantuan mesin pemompa dari sungai terdekat. Sedangkan pada masyarakat petani, ladang yang masih dekat dapat disirami dengan air yang disambungkan dengan selang dari dapur. Untuk meragamkan praktik perladangan, dalam beberapa hal para petani ladang melakukan pertanian berpindah dengan memasukkan tanaman hortikultura. Mereka juga meragamkan kegiatan dengan cara berburu babi dan menangkap ikan air tawar di Danau Ayamaru atau di sungai. Tindakan ini adalah praktik ekonomi campuran (mixed economy) di mana benih tanaman subsisten lebih banyak ditebarkan seperti buah-buahan, pisang, sedangkan tanaman hortikultura lebih ditata rapi meski dengan tanpa bedeng.
31
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Dengan konsep ekonomi campuran yang dibahas dalam artikel ini, artikel ini berpendapat bahwa pandangan tentang petani yang tidak responsif terhadap pasar dan terbelakang, adalah sebuah mitos. Para petani adalah pegiat yang sangat responsif terhadap pasar dan mempunyai struktur sosial ekonomi yang berbeda. Namun mereka bukan masyarakat yang terisolir. Hal ini terlihat dari cara mereka meragamkan tanaman dari subsisten hingga hortikultura yang paling terbaru. Keragaman itu tampak pada kemampuan perempuan petani dalam memonetisasi produksi yang juga bagian dari subsisten, buah-buahan liar seperti durian, rambutan, manggis, juga babi hutan, rusa, ikan, madu, jagung, dan sayuran pakis. Para petani di Kabupaten Maybrat misalnya telah mempunyai hubungan dagang yang berjalan lama dengan para penadah di kota dan para petani menetap. Sebagai gantinya mereka mendapatkan pertukaran seperti uang kontan, garam, beras, tembakau, bahan-bahan perumahan, serta kain timur untuk membayar biaya pernikahan bagi lakilaki. Petani Maybrat menyebut tanaman hortikultura sebagai tanaman intervensi. Disebut demikian karena tanaman ini diperkenalkan dari luar baik oleh petugas pertanian lapangan ataupun petani transmigran Jawa. Di mata pemerintah dan juga agen pembangunan lainnya, petani berpindah dianggap tidak produktif dan subsisten. Penggunaan pertanian intensif justru merusak tanah karena tebalnya kandungan kimiawi dari pupuk dan herbisida. Sebaliknya, perladangan berpindah adalah pertanian berkelanjutan jangka panjang yang cukup kompleks, variatif, dinamis dan responsif terhadap perubahan pasar, sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar, jumlah demografi bertekanan rendah. Sistem pertanian perladangan berpindah persis seperti yang digambarkan oleh Edmund Leach (1970) tentang petani di Burma dataran tinggi. Petani menyiapkan vegetasi, kemudian menunggu kering untuk dibakar. Sisa pembakaran menghasikan abu berupa fosfat dan potassium yang menyuburkan tanah. Tanaman kemudian disemai dengan beragam tanaman, seperti ubi talas, ubi jalar, jagung, dan tanaman hortikultura terong, lombok, tomat, dan kacang tanah. Setelah enam bulan hingga satu tahun penanaman, daerah tersebut ditinggalkan. Tanah dibiarkan hingga kembali pulih dan ditanami tanaman jangka panjang, sehingga dengan sendirinya tumbuh menjadi hutan sekunder.
32
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
Seperti yang ditemukan dalam studi di Papua ini, siklus perladangan berpindah tidak mengakibatkan deforestasi dan penurunan kualitas tanah, serta tidak meninggalkan bentangan padang dengan semak liar dan pakis diatasnya. Tumbuhnya hutan sekunder tentu saja mencegah luasnya erosi tanah dan ancaman banjir. Dari beberapa wawancara yang dilakukan, para petani kembali ke daerah awal perladangan, beragam antara lima hingga enam tahun. Periode penanaman pengosongan tanah selama tahun-tahun ini menyusul penanaman selanjutnya memungkinkan regenerasi hutan dan humus. Semakin petani membuka hutan primer, maka semakin lama ia akan kembali ke awal ia bertanam, dan semakin muncul luas hutan sekunder (King 2012). Namun pilihan yang paling logis bagi mereka adalah tetap berputar pada hutan sekunder, alasannya jika hutan primer telah dibuka dengan luas, maka jarak dengan rumah mereka akan semakin jauh dan sukar untuk mengontrol babi hutan yang kadang datang menyerang.
Gambar 1. Petani lokal menanam pohon pisang (tumbuhan jangka-panjang/ musiman) di area pertanian komersial dan subsisten.
33
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Petani berpindah juga mendefinisikan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dengan baik. Laki-laki bertanggung jawab untuk menebang pohon, membuat lubang di tanah yang akan dibuat benih, membuat pondok di sekitar ladang. Sedangkan perempuan bertanggungjawab untuk menaburkan benih, menyiangi dan memilih benih. Beberapa tugas dikerjakan bersama antara laki-laki dan perempuan, seperti membersihkan semak, pembakaran melindungi lahan pertanian dari hama dan hewanhewan, panen, dan distribusi hasil panen. Kondisi pembagian pertanian ini persis pula dalam gambaran studi Freeman (1955) pada masyarakat Iban di Kalimantan bagian utara. Sedangkan perbedaan studi Freeman dengan penelitian ini adalah pada sistem kepemilikan tanah di Kalimantan Utara yang secara tegas telah dibagikan antar individu. Sementara artikel ini akan membahas bagaimana kepemilikan tanah adat di Papua Barat membawa pengaruh terhadap perempuan. Keterlibatan Perempuan di Ranah Produksi Secara tradisional, pertanian di Papua tidak menggunakan hewan atau bajak untuk mengangkut muatan atau membantu pengolahan lahan. Hal ini menunjukkan sistem tenaga intensif yang dibagi antara laki-laki dan perempuan. Pilihan pembatasan penggunaan teknologi ini mempunyai kaitan erat dengan sistem kekerabatan. Sistem perkawinan eksogami, di mana perempuan berpindah keluar dari marga mereka merupakan “transfer tenaga kerja” (labor transfer) yang memungkinkan perempuan mengurusi perladangan berpindah suaminya dan mengambil keputusan dalam kinerja ekonomi (Goody 1999; Graeber 2018). Sistem transfer tenaga kerja perempuan ini memungkinkan untuk melanjutkan tradisi pertukaran antar marga. Transfer tenaga kerja memungkinkan terjadi karena dua hal. Pertama, rendahnya teknologi dalam sistem perladangan sehingga perempuan masih mempunyai peran penting dalam kinerja perladangan. Hal ini yang akan ditunjukkan nanti bahwa semakin tinggi keterlibatan teknologi pertanian, semakin berkurang peran perempuan di dalamnya. Kedua, rendahnya tekanan penduduk juga mempunyai andil signifikannya tenaga kerja perempuan dan pengambilan keputusan ekonomi. Sistem mas kawin (bridewealth) mengharuskan perempuan menikah dengan marga berbeda, misalkan marga Nau harus menikah dengan marga lain (seperti marga Wai). Pernikahan beda marga tersebut bertujuan untuk transfer kinerja perempuan di ladang setelah pihak perempuan menerima 34
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
pembayaran Kain Timur. Kain Timur telah menjadi tradisi pertukaran perkawinan di sepanjang kawasan dataran tinggi kepala burung Papua Barat (Timmer 2011). Kain Timur yang diberikan beragam harganya antara 70 sampai dengan 100 juta tergantung kemampuan pihak keluarga lakilaki. Setelah pihak keluarga perempuan diberikan Kain Timur, maka sang perempuan wajib tinggal di pihak keluarga laki-laki dan bekerja sama dengan suaminya di ladang. Penelitian ini menemukan justru dengan mas kawin Kain Timur dalam pernikahan, perempuan bukan hanya patut memberikan jasa pekerjaan di ladang, namun juga memiliki andil dalam mengambil keputusan untuk menentukan benih, merawat tanaman dan menjual hasil kebun di pasar. Laki-laki (suami) menentukan untuk lahan selanjutnya untuk dilakukannya penanaman. Mama Nau yang ditemui di Aitinyo menuturkan pegalamannya sebagai berikut: Pai tua (suami) yang menentukan pindah lahan baru. Ada yang jauh, ada yang dekat. Tapi nanti kita yang tentukan sama-sama mau tanam apa, hambur benih apa. Setelah itu perawatan sa yang ambil posisi.
Laki-laki mempunyai tiga peran utama, yakni menentukan lahan selanjutnya untuk ditanami, menebang pohon, membersihkan kebun dan membuat pos di kebun dari serangan binatang liar. Selebihnya, dalam perawatan tanaman dikerjakan bersama antara suami dan istri. Di bagian total perawatan perempuan mempunyai andil dalam memilih dan memutuskan produksi perladangan dari sejak membeli benih, kemudian perawatan menggunakan abu dan penjualan di pasar. Perempuan memiliki andil dalam memilih benih yang disesuaikan dengan pasar. Sebagaimana mama Yau Kambuaya di distrik Ayamaru mengatakan: Mama yang beli (benih), di toko-toko mereka sisipkan beli sayur-sayuran rica, tomat, bayam, buncis, gambas, cuma sayur dong jual.
Selain membeli benih, perempuan juga berupaya menyimpan benih lokal yang seringkali dibagi-bagi di antara kerabat marga masing-masing, seperti benih tomat lokal, cabai lokal (rica), dan umbi-umbian. Papua, terutama di Kabupaten Maybrat memiliki tomat lokal yang berbeda seperti yang dijual di pasar. Tomat lokal ini juga tidak perlu adanya perawatan intensif dibandingkan yang dijual di pasar. Mama Yau mengungkapkan: Bisa produksi sendiri (tomat lokal dan cabai lokal), ini kita hambur begini tumbuh, besok kalo sudah, kasih bersih lahan lagi, baru angkat, cabut. Cabut, baru pergi tanam lagi ke lahan baru begitu.
35
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Tomat yang dijual di pasar biasa lokal Papua menyebutnya dengan tomat “Jawa” atau tomat “apel” karena bentuknya yang besar. Tomat “apel” ini memerlukan perawatan layaknya pertanian yang dilakukan oleh transmigran Jawa yang lebih intensif daripada tomat lokal. Begitu pula dengan komoditas lain (seperti cabai dan umbi-umbian) yang dijual di pasar jauh lebih memerlukan perawatan intensif dibandingkan dengan komoditas lokal. Perawatan tanaman kemudian menjadi suatu hal yang baru bagi mayoritas orang lokal Papua dikarenakan perlu adanya ketelitian. Mama Tomi di kampung Aitinyo mengungkapkan: Saya kalo bikin tomat “Jawa” berarti bikin pertanian tadi. kita harus bikin pertanian sudah. Kalo tanam sembarang dia tidak bagus, tanam, terawat, teratur, baru dia ada hasil. Tanam sembarang kalo lokal ini, sembarang.
Gambar 2. Perempuan lokal memegang tomat lokal dari benih yang disimpan (retained seeds)
Perempuan mempunyai peran signifikan dalam menentukan pembelian benih. Khususnya di Kabupaten Maybrat, karena tidak ada toko pertanian, para pedagang keliling asal Jawa yang tinggal di Moswaren datang dengan menggunakan kendaraan bermotor ke Maybrat. Mereka menjual berbagai peralatan rumah tangga, plastik, hingga benih lombok, sawi, tomat, terong, dalam bentuk kemasan kecil (sachet). Benih ini digunakan untuk satu kali tanam dihamburkan ke lahan bersama tanaman subsisten lainnya, semacam keladi dan ubi jalar. Anggaran pembelian benih seperti tomat, tidak lebih dari 50 ribu rupiah. Di Kabupaten Sorong, pembelian benih skala besar hingga 200 ribu rupiah diperkirakan dapat menghasilkan tomat mencapai diatas 300 kilogram. Ketika pembelian benih dalam skala yang lebih besar membuat perempuan tidak berangkat ke kota-kota sekitarnya, seperti Moswaren atau Teminabuan, melainkan mereka menyerahkan pada saudara laki-laki yang 36
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
lebih muda seperti anak laki-laki atau adik kandung. Disinilah keterkaitan (intersectionality) terjadi di mana perempuan mempunyai penentuan dalam mengutus laki-laki yang lebih muda untuk membeli kebutuhan pertanian di luar daerahnya. Selain mengelola benih, perempuan juga berperan dalam membantu pemupukan tradisional untuk hortikultura yakni dengan menggunakan abu dari dapur atau sisa pembakaran kayu di saat membuka lahan pertama kali. Mereka membuktikan bahwa hanya dengan menggunakan abu, hama di daun dan batang tumbuhan efektif terbunuh.
Gambar 3. Daun-daun tanaman ditaburi abu dapur hasil pembakaran kayu guna mengusir hama
Meski tidak menggunakan pupuk, pestisida, dan herbisida, pola ladang berpindah cukup efektif menghindari serangan hama. Hal ini berbeda dengan pola menetap seperti di pertanian transmigrasi. Jika terkena hama, petani tidak bisa berpindah akibatnya mengharuskan mereka menggunakan pupuk, herbisida dan pestisida kimia. Mama-mama yang ditemui di dua kabupaten mengaku beberapa kali didatangi oleh PPL yang memperkenalkan pemupukan kimia dan herbisida, namun mereka secara sadar melakukan pilihan dan pengambilan keputusan untuk tidak menggunakannya karena berbagai efek buruk. Mereka menyadari efek tersebut tidak saja merugikan tanah, namun juga terhadap tubuh mereka. Mama Yori yang ditemui di Klasaman Sorong mengakui: Kita kalau makan sayur-sayuran pakai pupuk itu kaki sakit. Karena pakai obat to. Kalau kita pergi di pasar sana itu sayur bagus-bagus eh, lombok (rica), terong, sawi lah, semua terlihat bagus karena pakai pupuk. Kalau mama sengaja memang tidak mau pakai pupuk, tapi kalau ada lainnya macam biogas itu mama mau belajar.
37
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Selain persoalan dampak terhadap tubuh, alasan rumah tangga petani tidak menggunakan pupuk untuk meningkatkan produksi adalah implikasinya terhadap ongkos kerja dan transportasi. Penggunaan pupuk akan meningkatkan produksi yang nanti di masa panennya berimplikasi pada perekrutan tenaga kerja lebih besar. Berbeda dengan petani transmigran Jawa yang langsung melakukan perekrutan tenaga kerja secara langsung, petani lokal Papua menggunakan gereja sebagai institusi perekrutan. Sebelum pemanenan, petani mengumumkan ke gereja soal rencana panen sehingga jemaat akan membantu. Pihak gereja mendapatkan sekitar 10 persen dari total uang yang diserahkan oleh petani. Petani memberikan derma dengan kisaran antara satu hingga dua juta. Jemaat akan membantu karena mereka juga berprofesi sebagai petani sehingga proses yang terjadi adalah resiprositas secara seimbang. Petani dapat merekrut pekerja untuk membantu membuka lahan baru dan membersihkannya. Upah yang diberikan antara 200-300 ribu perhari. Namun untuk pemanenan kacang tanah misalnya, di atas lahan seperempat hektar, dibutuhkan lebih dari lima orang sehingga gereja mempunyai peran penting dalam mengkonsolidasi tenaga kerja. Efek peningkatan produksi lainnya adalah pada ongkos transportasi. Jika panen tanaman lebih dari lima karung, petani harus menjualnya di pasarpasar sentral, semacam Teminabuan dan Pasar Remu, Sorong. Mereka harus berhitung dengan modal awal penyewaan transportasi, dan menurunkan harga bersaing dengan produk yang sama di pasar sentral tersebut. Dengan demikian, peningkatan produksi sama dengan peningkatan risiko ongkos pekerja dan risiko jual yang belum tentu menguntungkan. Dari wawancara ditemukan bahwa pada umumnya petani mengeluhkan bahwa mereka pernah meningkatkan produksi, seperti padi ladang dan kacang tanah, namun permasalahannya tidak ada institusi semacam koperasi besar atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang mampu menampung kelimpahan produksi.
Peran Perempuan di Pertanian Modern Perempuan mempunyai peran signifikan dalam perladangan berpindah sebagaimana yang diungkapkan di atas. Namun, berkembangnya teknologi (alat) pertanian membuat laki-laki lebih memiliki peran utama dalam menggarap lahan pertanian, sehingga menggeser peran perempuan.
38
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
Pertanian modern menempatkan peran perempuan seolah-olah kurang efisien dan berpendapatan rendah (Majumder dan Shah 2017). Hal ini tentunya membuat perempuan yang memiliki peran dalam mengurus rumah tangga (housekeepers) akan bergeser sekedar menjadi ibu rumah tangga (homemakers) dalam lingkup keluarga inti (Adams 1991; 2004). Berbeda dengan pertanian tradisional, pertanian modern mengkonsentrasikan ongkosnya pada tiga hal; biaya perawatan seperti pupuk dan herbisida, upah pekerja, dan ongkos transportasi. Biaya sosial dapat ditekan sehingga petani dapat mengkonsentrasikan pada tiga biaya utama diatas. Sebagai perbandingan, penelitian ini melakukan wawancara kepada petugas PPL di Distrik Salawati Kabupaten Sorong, Pak Rode, ia mengungkapkan bagaimana petani transmigran Jawa di distrik ini telah menerapkan mekanisasi produksi pertanian. Tanam satu hektar padi itu kan seharusnya perlu 8 orang dua hari, kalau menggunakan mesin tanam cuma traktor sehari selesai, tanpa harus pake 8 orang. Dua orang saja sudah cukup
Distrik Salawati dan Aimas menjadi contoh perbandingan pertanian menetap yang telah umum dilakukan oleh masyarakat Jawa transmigran di Sorong. Mekanisasi dan intensifikasi pertanian sawah menetap di distrik ini mengurangi peran perempuan di ranah pertanian (Ember 1983). Pertanian modern menerapkan sistem menetap (sedentary system) sehingga ketika hama menyerang, petani harus menggunakan pestisida. Contoh yang digunakan dalam sistem pertanian modern ini lebih banyak berbasis di Kabupaten Sorong, khususnya Distrik Aimas. Petani lokal dari suku Moi banyak terinspirasi dari sistem pertanian menetap para transmigran Jawa. Petani lokal ini membuat bedengan (raised beds), menggunakan herbisida untuk mengontrol hama, pupuk sintetik “Mutiara”, “1616 NPK”, dan hasil penjualan mulai melibatkan penadah yang datang langsung ke area kebun. Meski mampu memotong biaya transportasi, para penadah ini yang menentukan harga di bawah standar pasar. Karena itu, untuk menutupinya petani harus memproduksi lebih tinggi. Dalam prosesnya, dari produksi, perawatan hingga penjualan perempuan mempunyai peran yang lebih sedikit dibanding dalam pertanian tradisional. Penelitian ini menemukan ketika petani berhasil meningkatkan produksi pertanian mereka dengan cara mekanisasi, perempuan tidak kehilangan perannya sebagai ibu rumah tangga. Karena hibridisasi tanaman, bukan
39
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
intensifikasi, mereka tetap mempunyai peran pentingnya di pasar, yakni menjual hasil kebun jangka panjang atau musiman, seperti pisang. Teknologi yang kian berkembang menggeser peran perempuan dalam pertanian. Penggunaan alat pemotong rumput secara langsung dapat membabat rumput liar dengan cepat. Perempuan yang biasa memiliki peran dalam mencabut rumput pun tergeser oleh laki-laki. Penggunaan mesin pencabut rumput juga menguntungkan laki-laki karena mendapatkan bayaran sewa alat dan tenaga membantu memotong rumput di lahan lainnya. Seorang mama Kambuaya di distrik Ayamaru mengungkapkan, Ini ada laki-laki bawa mesin babat bawa ke sini, kalo orang yang suruh bawa babat sini itu bayar Rp 300.000 (ribu rupiah) baru dong (Dia) babat.
Gambar 4. Petani lokal Papua laki-laki menggunakan mesin pancabut rumput pada pertanian campuran tradisional ke modern.
Ketika peladang berpindah mulai menetap, seperti beberapa contoh kasus yang ditemukan di Kabupaten Sorong, perempuan mulai kehilangan kontribusinya di bidang perawatan tanaman. Hal ini terjadi ketika suami mereka mulai menggunakan pupuk, pestisida dan herbisida kimiawi. Semenjak petani menggunakan herbisida kimiawi, peranan perempuan dalam mencabut rumput juga berkurang. Alasannya, mereka enggan untuk mencabut rumput yang telah disemprot bahan kimia sebelumnya. Demikian juga dengan teknologi mesin pemotong rumput, traktor tangan yang semuanya digunakan oleh laki-laki. Sedangkan di ranah distribusi pasar, dengan skala panen yang besar hingga tiga ton untuk tomat, maka petani memerlukan penadah (middlemen) untuk membeli harga. Masuknya jasa penadah ini merupakan penanda atau pembatas antara sektor produksi pertanian dengan sektor pemasaran. 40
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
Tidak seperti di pertanian tradisional di mana keduanya dikelola secara bersambung oleh perempuan, pertanian modern tidak lagi terlibat dalam sektor distribusi pasar karena jumlah produknya yang besar dan ketetapan harga yang juga diluar kendali mereka. Peran penadah memotong peran perempuan yang biasanya langsung menjual hasil panen skala kecil mereka ke pasar atau depan rumah. Namun demikian, menariknya, mama-mama di Kabupaten Sorong masih mempunyai peran ketika suami mereka menerapakan sistem pertanian menetap. Perempuan tetap ke pasar menjual hasil kebun semacam pisang, keladi, ubi jalar, daun dan bunga papaya. Selama masa penanaman, tanaman subsisten disisipkan di tengah-tengah tanaman komersial lainnya yang ditanam dengan skala besar dan dijual ke penadah.
Perempuan di Ranah Distribusi Pasar Petani tradisional di lahan berpindah dengan sengaja membuat lahan mereka tercampur antara produksi untuk kebutuhan ekonomi dan kebutuhan subsisten. Campuran lahan ini dikerjakan dengan kurang dari 0.25 hektar, sehingga tidak melibatkan tenaga kerja yang besar. Hasil produksi tanaman adalah lebih beragam dibanding besar dan seragam. Karena itu petani tidak membutuhkan penadah (tengkulak) yang akan mengambil hasil kebun mereka. Perempuan yang menjualkan hasil kebun mereka ke pinggir jalan yang tidak jauh dari rumah mereka. Bagi mereka, ini adalah pasar yang efektif dibanding harus ke pasar sentral karena mereka dapat mondar-mandir mengurusi rumah sembari berjualan. Mama Yaru di distrik Ayamaru mengatakan Kalo mama dorang (mereka) punya pasar begini saja. Tidak bisa bawa ke pasar, macam di Sorong itu tidak ada [...] Kalo mama lebih senang yang begini (menjual di depan rumah), cepat habis.
Di distrik Ayamaru, pemerintah membangunkan pasar sentral untuk mama-mama, namun pasar ini tidak digunakan karena faktor produksi tanaman yang bukan dalam skala besar, melainkan kecil dan lebih praktis di jual di depan rumah. Produk hortikultura seperti sayur-sayuran hanya dijual di pinggir jalan karena batas waktu penyimpanan yang pendek dibandingkan tanaman-tanaman yang batas penyimpanan lebih lama seperti umbi dan kacang-kacangan.
41
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Ketika komoditas yang dihasilkan lebih banyak, khususnya kacang tanah, perempuan di Distrik Ayamaru akan menjualnya ke pasar di Teminabuan dan Moswaren, Kabupaten Sorong Selatan. Karena di Maybrat tidak ada tengkulak atau penadah yang membawa barang mereka, para mama menyewa transportasi. Alat transportasi tersebut berbentuk mobil empat gardan yang dapat memuat barang lebih banyak dan dapat menelusuri jalan yang masih terjal dan beberapa belum teraspal dengan baik. Mama Yaru mengungkapkan: Mama deng mobil. Rp 250.000 per orang kalo barangnya beda, pisah. Kalo kacang tanah karung begini bayarnya satu mungkin berapa Rp 50.000 ka, Rp 55.000 ka begitu. Kalo bawa manusia itu Rp 250.000. Kalo pake Rp 1.500.000, bisa Rp 2.000.000 juta, kasih liat saja kalo banyak Rp 1.500.000. Mobil macam Hilux sudah.
Terdapat beberapa alasan mengapa petani tidak menjual produk mereka ke pasar sentral yang lebih jauh. Selain ongkos transportasi yang lebih tinggi, mereka melihat bahwa jika produk tersebut dijual di Moswaren, Teminabuan atau Pasar Sentral Sorong, maka harga akan kembali turun karena menyesuaikan dengan harga produk yang sama yang juga didatangkan oleh pedagang besar dari berbagai tempat. Di kampung-kampung yang didatangi oleh peneliti, seperti di Kabupaten Maybrat, seperti distrik Ayfat dan Aitinyo, petani hanya akan menjual produk pertanian mereka keluar kota yang lebih besar, jika rata-rata produk di atas tiga sampai lima karung. Jika jumlah produk pertanian yang akan dijual masih di bawah itu, maka mereka akan menjualnya di pasar-pasar kecil depan rumah. Seperti dalam beberapa riset mengenai peran perempuan di pasar (Alexander 1987; Brenner 1998), perempuan di dua kabupaten dalam penelitian ini juga memegang peranan penting dalam pemasaran hasil pertanian dan alokasi uang pasca penjualan. Petani perempuan di Kabupaten Maybrat mempunyai peran penting untuk mengolah hasil keuangan pasca panen. Selain diputar untuk membeli benih, hasil produksi dari pertanian lebih banyak dialokasikan untuk modal menjalin relasi sosial seperti membayar denda, biaya sekolah, membagi uang kepada keluarga besar dalam pembiayaan ritual khususnya pernikahan, dan biaya keagamaan di gereja khususnya persiapan pesta natal. Petani tidak hanya berurusan dengan maksimalisasi keuntungan, namun mereka juga harus bernegosiasi dengan tetangga dan marga. Dengan kata lain, keputusan ekonomi antara memutarkan modal dengan relasi sosial datang bersamaan. Lingkaran praktik ekonomi campuran ini yang bagi pemerintah tidak 42
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
dianggap produktif dan rasional karena rendahnya alokasi keuntungan pasca panen yang diputar kembali untuk pembelian bibit dan pupuk, tidak adanya alokasi untuk pembelian alat atau teknologi pertanian yang lebih modern atau alokasi untuk penambahan tenaga kerja. Pada saat para petani lokal Papua telah menerapkan pertanian modern (sedentary farming), maka kontribusi perempuan dalam pertanian akan menjadi menurun, terutama dalam mendistribusikan dan menjualkannya ke pasar. Hal ini dikarenakan beberapa di antara petani lokal Papua yang telah menetap telah menggantungkan diri mereka kepada penadah (middlemen/ tengkulak) yang akan membawa komoditas tani mereka ke pasar, sehingga perempuan pun tak perlu menjualkannya ke pasar. Meskipun di beberapa kasus terdapat petani lokal yang tidak menyukai penadah dikarenakan cara mereka menentukan dan memotong harga komoditas kepada petani hingga 50%. Pasarnya Rp 20.000, biasanya setor, mereka yang beli, penadah itu beli tidak jujur juga, harga di pasar lain. Di sana di pasaran harganya mungkin Rp 20.000, tapi mereka kasih tahu ke kita harga tomat Rp 10.000.
Penelitian ini menemukan beberapa praktik dan pandangan yang penting yang ditemukan dalam komunitas petani dan mama-mama di kedua kabupaten yang diteliti ini. Pertama, kemanfaatan dari jalan TransPapua bagi petani, sangat ditentukan oleh besarnya produk pertanian yang mereka hasilkan. Bagi petani, jalan Trans Papua terasa gunanya ketika mereka memanen skala besar karena ongkos transportasi menuju pasar dapat ditekan. Kedua, makna pasar bagi mama-mama Papua sebenarnya bukanlah di pasar sentral. Ide berjualan di pasar sentral sebenarnya cukup diperuntukkan bagi pedagang pendatang dari Jawa, Makassar, maupun Bugis. Pasar bagi mama-mama adalah tempat di mana dapat terjadi pertukaran dan tidak harus terpusat. Ia dapat dilakukan di samping jalan, depan kebun, atau dekat rumah. Karena itu, sepanjang Kabupaten Sorong hingga Maybrat banyak gubug ataupun bangunan kecil permanen setiap beberapa puluh meter yang merupakan tempat mama-mama berjualan.
Kesimpulan Para peladang berpindah dengan sengaja membatasi skala produksi mereka sebagai pilihan ekonomi. Tanah yang ditanami kurang dan lebih dari satu per empat hektar, dan petani membeli benih tidak lebih dari 200 ribu 43
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
rupiah, tidak dipupuk pestisida dan menjual komoditas tidak lebih dari 300 kg (3 kuintal) merupakan pilihan yang bernilai dibanding harus mengorbankan keterlekatan (embeddedness) antara relasi sosial dengan transaksi ekonomi. Dalam pertanian tradisional, perempuan mempunyai peran yang sifatnya terkait baik di ranah sosial dan ekonomi. Pertama mereka menjalankan sistem pertanian subsisten yang bertujuan untuk sekuritas pangan, sekaligus mengapresiasi pasar komersial dengan menanam tanaman yang dapat diserap pasar dengan baik. Dalam pertanian ladang, petani perempuan mempunyai andil penting dalam memadukan model ekonomi campuran ini. Logika dari ekonomi campuran ini adalah petani perempuan mempertimbangkan relasi sosial dan agama serta perhatian pada kondisi ekologi. Para petani tidak hanya memikirkan cara untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi semata melainkan juga menjaga kebaikan relasi sosial. Perempuan mempunyai andil untuk tidak meningkatkan produksi pertanian karena hal tersebut akan berimplikasi pada rantai produksi dan pemutusan relasi sosial yang digantikan dengan relasi transaksional. Misalnya bagaimana upah tenaga kerja menghilangkan peran gereja, mekanisasi mesin, hingga hilangnya peran perempuan sendiri. Dengan demikian, peranan signifikan perempuan adalah menyeimbangkan antara pertanian sebagai praktik transaksi ekonomi dengan relasi sosial. Di mata rejim pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi, pertanian berpindah dianggap tidak produktif karena tidak meningkatkan pemasukan uang kontan secara signifikan. Meski demikian, pertanian berpindahlah yang cukup ramah lingkungan. Di titik inilah kebijakan ekologis berbenturan dengan ambisi pertumbuhan ekonomi, dan petani lokal Papua dalam penelitian ini mampu mencampurkan keduanya dengan tanpa melukai tanah dengan penyemprotan bahan-bahan kimiawi. Sebagai penutup, penelitian ini menemukan bahwa dunia tradisional yang selama ini dipandang khalayak luas lebih rendah dari dunia modern tidaklah terbukti. Perempuan di dunia pertanian tradisional mempunyai tempat signifikan dalam pengambilan keputusan dan kebebasan memilih. Sedangkan ketika beranjak ke pertanian modern, petani perempuan hanya berkecimpung di tanaman subsisten dan kehilangan perannya dalam mengurusi tanaman komersial. Ketika pertanian modern merambah, posisi perempuan justru tampak menyusut. Penelitian ini menemukan bahwa
44
Hatib Abdul Kadir & Gilang Mahadika
Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat
dalam sektor pertanian di kedua kabupaten di Papua ini, modernisasi justru meminggirkan perempuan dalam perannya di sektor pertanian tradisional.
Daftar Pustaka Adams, Jane 1991, “Women’s Place is in the Home: The Ideological Devaluation of Farm Women’s Work”, Anthropology of Work Review, Volume XII, Number 4, volume XIII, Number 1. h. 1-11. Adams, Jane 2004, “The Farm Journal’s Discourse of Farm Women’s Femininity”, Anthropology and Humanism, vol. 29, Issue 1, h. 45-62. Alexander, Jennifer 1987, Trade, Traders, and Trading in Rural Java, Oxford University Press, Singapore. Ananta, A, Utami, Wilujeng, DR & Handayani, NB 2010, “Statistics on Ethnic Diversity in the Land of Papua, Indonesia”, Asia & the Pacific Policy Studies, vol. 3, no. 3, h. 458–474 BPS 2015, Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Menurut Distrik di Kabupaten Maybrat, 2015. https://maybratkab.bps.go.id/statictable/2017/04/18/4/jumlahpenduduk-dan-rasio-jenis-kelamin-menurut-distrik-di-kabupaten-maybrat-2015.html. Diakses pada tanggal 7 Desember 2019. Boeke, JH 1953, Economics and Economic Policy of dual Societies, Institute of Pacific Relations, New York. Boekorsjom, T 2012, “Accused of Being a Separatist” dalam Visser, L, Governing New Guinea, An Oral History of Papuan Administrators, 1950-1990, KITLV Press. Brenner, S 1998, The Domestication of Desire: Women, Wealth, and Modernity in Java, Princeton Princeton University Press Ann Arbor, Michigan. Ember, CR 1983, The Relative Decline in Women’s Contribution to Agriculture with Intensification, American Anthropologist, American Anthropological Association (AAA), h. 285-303. Finnis, E 2006, Why Grow Cash Crops? Subsistence Farming and Crop Commercialization in the Kolli Hills, South Indi, American Anthropologist, 108(2), h. 363-369. Freeman, JD 1955, Iban Agriculture, A Report on the Shiting Cultivation of Hill Rice by the Iban Sarawak, HMSO, London. Goody, J 1999, Production and reproduction: A comparative study of the domestic domain, Cambridge University Press Cambridge. Graeber, D 8 june 2018. “Debt, Service, and the Origins of Capitalism. Pidato disampaikan di Birmingham Research Institute of History and Cultures https://www.youtube.com/ watch?v=K0t50D4lQrs
45
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Granovetter, M 1985 “Economic action and social structure: the problem of embeddedness”. The American Journal of Sociology. 91 (3): 487. Janssen, B 2018, “Small Farms, Big Plans. Mechanization and Specialization as Measures of the Middle”. Culture, Agriculture, Food, and Environment (CAFE), The Journal of Culture and Agriculture, vol. 40, Issue 2, h. 96-104. Kadir, HA 2016 “Reconsidering the Cultural Geographies of State and non-State Spaces” Kawalu: Journal of Local Culture, vol 3, No. 2 (July - December). King, VT dan Wilder, W 2012, Antropologi Modern Asia Tenggara, Kreasi Wacana. Leach, ER 1970, Political Systems of Highland Burma, A Study of Kachin Structure, Ahtlone Press London. Li, TM 2014, Land’s End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier, Duke University Press, Durham, 2014. Majumder, J dan Shah P 2017, “Mapping the Role of Women in Indian Agriculture”, Annals of Anthropological Practice, vol. 4, No. 2, h. 46-54. Naderifar M, Goli H, Ghaljaie F 2017 Snowball Sampling: A Purposeful Method of Sampling in Qualitative Research, Strides Dev Med Educ, 14(3) h.1-6. Namgyel, U et al. 2008, “Shifting Cultivation and Biodiversity Conservation in Bhutan”, Conservation Biology, vol. 22, Number 25, (Oct, 2008), h. 1349-1351. Potter, L, “Production of People and Nature, Rice, and Coffee: The Semendo People in South Sumatra and Lampung”. dalam Nevins, J dan Nancy Lee Pelusp [ed]. (2009). Taking Southeast Asia to Market. Selangor: Strategic Information and Research Development (SIRD). Scott, JC 2011, The Art of not being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia, Yale University Press, New Haven. Spradley, JP 2006, Metode Ethnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta. Suter, EA 2000 “Focus Groups in Ethnography of Communication: Expanding Topics of Inquiry Beyond Participant Obsearvation”, The Qualitative Report, 5(1), h. 1-14. Timmer, J 2011, “Cloths of Civilisation: KainTimur in the Bird’s Head of West Papua”, The Asia Pacific Journal of Anthropology, 12:4, h. 383-401. Tsing, Anna. “Contingent Commodities: Mobilizing Labor in and beyond Southeast Asian Forests” dalam Nevins, Joseph, and Nancy Lee Peluso. 2018. Taking Southeast Asia to Market: Commodities, Nature, and People in the Neoliberal Age, h 27-42. Cornell University Press. Upton, SI 2009, “The impact of migration on the people of Papua, Indonesia, Thesis Dissertation, Ph.D. University of New South Wales 2009.
46
Topik Empu
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh Rural Women and Information on Natural Resources: Rural Women in Aceh’s Struggle for Agency Abdullah Abdul Muthaleb
Flower Aceh Jl. Pendidikan, Lr. Lampoh Kandang No. 3 Gampong Punge Blangcut, Kota Banda Aceh na_tinta@yahoo.co Kode Naskah: DDC 305 Kronologi Naskah: diterima 14 Oktober 2019, direvisi 26 November 2019, diputuskan untuk diterima 30 November 2019 Abstract Rural women have the potential to mobilize herself and her community towards a sovereign and just rural community. However, rural women frequently face form of discrimination that impede them to achieve their maximum potential. In the midst of forest and land degradation, those gender-based discrimination also prevent women from participating in land and forest governance that is vital for the rural community’s livelihood. An example of form of gender-based discrimination experienced by women in several regions in Aceh is discrimination in accessing public information. This article describes and analyses several Aceh women’s experiences in using the rights-based approach on access to information. The women in this article have used the Law on Public Information as the basis for their advocacy towards the land and forest governance in their residential area. These experiences of the rural women have shown shows that women have not only interests upon the information on natural resources, but they also possess capability, perseverance, and will to obtain such information. Keywords: rural women, natural resources, access to information, public information. Abstrak Perempuan desa memiliki potensi untuk menggerakkan dirinya dan masyarakat menuju desa berdaulat dan berkeadilan. Akan tetapi perempuan desa kerap mengalami berbagai diskriminasi yang membatasi perempuan untuk mencapai potensi optimum dirinya. Di tengah daya dukung hutan dan lahan yang semakin buruk, diskriminasi berbasis gender tersebut menghalangi perempuan untuk turut berpartisipasi dalam tata kelola lahan dan hutan, yang menjadi urat nadi dari kehidupan masyarakat desa. Salah satu diskriminasi berbasis gender yang dialami oleh perempuan di beberapa wilayah di Aceh adalah diskriminasi dalam mengakses informasi publik. Tulisan ini memaparkan dan menganalisa pengalaman sejumlah perempuan di beberapa kabupaten di Aceh dalam menggunakan pendekatan hak atas informasi. Para perempuan dalam artikel ini menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik sebagai dasar untuk melakukan
47
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019 advokasi atas tata kelola lahan dan hutan di lingkungan tempat tinggal mereka. Pengalaman kaum perempuan desa tersebut memperlihatkan bahwa perempuan bukan hanya memiliki kepentingan atas informasi SDA tetapi memiliki kapabilitas, daya tahan dan semangat berjuang merebut informasi. Kata kunci: perempuan desa, sumber daya alam, akses informasi, informasi publik.
Pendahuluan Data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI (2019) menyebutkan bahwa jumlah desa di Indonesia yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan mencapai 25.863 desa. Dari jumlah desa tersebut diperkirakan ada sebanyak 9,2 juta rumah tangga yang bermukim dan hidup didalamnya. Angka tersebut memperlihatkan jumlah kehidupan rumah tangga yang nasibnya bergantung kepada kondisi lingkungan hutan dan lahan di sekitar kawasan hutan tersebut. Salah satu prinsip pengelolaan SDA yang lestari adalah kesetaraan. De Vries (2006) mempertegas bahwa kesetaraan dalam pengelolaan SDA bukan hanya kesetaraan peran para kelompok kepentingan yang berbeda-beda tetapi juga kesetaraan gender. Dinamika sistem penguasaan tanah dan kekayaan alam, termasuk di dalamnya sistem tata kuasa, tata guna serta tata produksi tanah dan kekayaan alam yang diwarnai oleh berbagai relasi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang di dalam komunitas, termasuk di dalamnya relasi kuasa berbasis gender dan kelas (Siscawati 2014). Menurut Siscawati perempuan dari beragam latar belakang sosial memiliki bermacam bentuk relasi dengan tanah dan sumber daya alam (SDA), dan memiliki peran penting dalam mengelola tanah dan SDA. Sayangnya perempuan sering tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang penting bagi masyarakat, termasuk bagi kaum perempuan sendiri. Eksklusi terhadap perempuan cenderung merupakan eksklusi berlapis. Perempuan di desa mengalami penyingkiran ganda (Julia 2014 dalam Mariana et al. 2016). Julia menyebut situasi yang dihadapi perempuan ini sebagai “eksklusi dua skala”. Skala pertama terjadi karena perbedaan hak tenurial dan akses kepemilikan tanah antara perempuan dan laki-laki. Fenomena ini bisa disebut sebagai intimate exclusion, dimana pengambilan keputusan atas pengorganisasian SDA tidak dipegang oleh perempuan. Sedangkan eksklusi skala kedua didorong kuat oleh kebijakan pengelolaan SDA yang buta gender. Julia menyebutkan misalnya berbagai rangkaian skema perizinan seperti sertifikasi atas kemitraan perkebunan sawit jarang
48
Abdullah Abdul Muthaleb
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh
mengakui kepemilikan kepala keluarga perempuan. Kebijakan semacam ini mengeksklusi perempuan dari pengambilan keputusan politik terkait tata kelola SDA. Indonesia telah memberikan jaminan bagi warga negara termasuk perempuan desa untuk berpartisipasi dan sekaligus mendapatkan akses informasi. Masyarakat desa memiliki hak atas akses informasi mengenai pengelolaan desa, perusahaan yang beroperasi, maupun para pihak lain termasuk pemerintah yang memiliki hubungan dalam pengelolaan SDA. Tabel 1. Beberapa Peraturan Perundang-undangan terkait Akses Informasi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Peraturan Perundang-undangan
Isi Peraturan terkait Akses Informasi
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Pasal 9 ayat 2)
Tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (BAB IX)
Akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh informasi kehutanan dan juga publikasi mengenai hasil penelitian dan pengembangan kehutanan. Akses terhadap informasi kehutanan bagi masyarakat tersebut menjadi bagian dari pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan.
UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Aturan mengenai transparansi dan partisipasi masyarakat, termasuk hak atas informasi dengan memberikan jaminan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi dalam proses penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Sumber: Diolah dari berbagai peraturan perundang-undangan
Sementara itu, Undang-undang Desa Nomor 6 tahun 2014 mengatur setidaknya hak partisipasi dan hak atas akses informasi sebagai berikut: 1) Pasal 26 pada ayat (4) menyebutkan bahwa kewajiban dari Kepala Desa diantaranya adalah: (e) melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender, dan (p) memberikan informasi kepada masyarakat; 2) Pasal 68 pada ayat (1) mengakui bahwa setiap warga berhak untuk meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa terkait 49
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa; 3) Pasal 82 pada ayat (1) dari UU Desa juga menyebutkan bahwa masyarakat desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. Komisi Informasi juga menerbitkan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2018 tentang Standar Layanan Informasi Publik Desa. Dengan dikeluarkannya peraturan ini maka desa sebagai Badan Publik berkewajiban menjalankan tugas secara transparan kepada publik, khususnya terhadap warganya sendiri. Akses warga negara terhadap informasi publik saat ini bukan hanya diakui sebagai bentuk partisipasi tetapi merupakan hak yang dilindungi oleh undang-undang. Agar dapat berpartisipasi dalam tata kelola lahan dan hutan, maka masyarakat membutuhkan berbagai informasi terkait SDA. Penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Center for Environmental Law / ICEL (2015) menemukan bahwa informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar hutan diantaranya adalah: (a) dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha di sekitar terhadap kualitas air minum dan air sungai; (b) upaya pencegahan pencemaran atau kerusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan terhadap dampak yang timbul akibat kegiatan usaha; (c) dampak negatif yang langsung terhadap kesehatan; (d) izin beroperasinya perusahaan baik dari pemerintah tingkat pusat maupun daerah; dan (e) upaya pemulihan lingkungan oleh perusahaan. Namun masyarakat desa pada umumnya masih sulit untuk mengakses informasi-informasi tersebut. Organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang bekerja untuk advokasi keterbukaan informasi khususnya di sektor hutan dan lahan mulai melakukan permohonan informasi publik dengan menggunakan dasar UU KIP. Rosalina dan Soelthon (2015) mencatat bahwa sengketa terkait informasi publik yang paling banyak ditemukan di dalam kelompok masyarakat seperti di Aceh, Riau, Bengkulu, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat sepanjang tahun 2011-2015 adalah sektor SDA. Hal yang sama juga berlaku di Aceh ketika dihubungkan dengan pengalaman permohonan informasi oleh perempuan desa yang berakhir di meja persidangan Komisi Informasi Aceh. Pertanyaannya kemudian apakah perempuan di desa-desa tersebut turut mengambil bagian dalam mendorong adanya akses terhadap informasi
50
Abdullah Abdul Muthaleb
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh
tersebut? Bagaimana perempuan desa menggunakan UU KIP dan UU Desa sebagai jalan baru untuk memenuhi haknya atas informasi publik? Apa saja data yang dimintakan, dan perubahan apa yang kemudian terjadi? Ulasan di bawah ini akan menyajikan pengalaman sejumlah perempuan desa di sejumlah daerah di Aceh yang berusaha untuk menggunakan hak mereka dalam memperoleh informasi publik untuk kepentingan desanya. Melalui pengalaman penulis bersama lembaga Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yang melakukan pengorganisasian kelompok perempuan di sepuluh desa, artikel ini akan memaparkan partisipasi perempuan dalam tata kelola lahan dan hutan di pedesaaan yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Tulisan ini akan memaparkan dan menganalisa dinamika perjuangan perempuan desa dalam mendorong akses perempuan terhadap informasi publik terkait pengelolaan SDA. Tulisan ini diangkat dari pengalaman gerakan perempuan yang menjadi wilayah dampingan MaTA di lima kabupaten di Aceh yaitu di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Nagan Raya dan Aceh Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur serta wawancara.
Memaknai (Ulang) Akses Pembaharuan tata pengurusan agraria dan SDA pada umumnya selalu akan diwarnai oleh dua ketegangan dua hal: tantangan akses di satu sisi dan ancaman eksklusi di sisi lainnya. Ribot & Peluso (2003) dalam Shohibuddin (2018) memaknai ulang akses sebagai suatu kemampuan untuk menarik manfaat dari suatu hal (dalam tulisan ini dimaksudkan dengan akses perempuan terhadap SDA) yang banyak bergantung secara rasional pada konstelasi kekuatan yang lebih luas. Menurut Ribot & Peluso (2003) dan Shohibuddin (2008), terdapat ragam himpunan dan jejaring kekuatan (bundles and webs of powers) yang membuat seseorang mampu menarik suatu manfaat meskipun yang bersangkutan tidak memiliki landasan hak apa pun baik secara legal maupun ilegal terhadapnya. Teori akses berusaha melihat lebih dalam siapa yang secara nyata dapat mengambil manfaat dari suatu dan melalui proses-proses seperti apakah mereka dapat melakukan hal tersebut”. Ribot & Peluso (2003) membedakan dua kategori akses yaitu akses berbasis hak (rights-based access) dan mekanisme struktur dan relasi akses (structural and relation access mechanisms). Kategori pertama mencakup mekanisme akses yang
51
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
ditegakkan oleh sanksi-sanksi hukum, adat istiadat, dan konvensi bentuk akses yang legal (legal access) dan bentuk lainnya yang tidak legal (illegal access) seperti mekanisme yang diperoleh melalui cara-cara yang melanggar hak-hak tersebut seperti pencurian. Sedangkan kategori kedua adalah kekuatan struktural dan relasional yang menentukan bagaimana suatu akses dapat diraih, dikontrol dan dipertahankan. Hal ini mencakup sejumlah faktor seperti teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, serta relasi-relasi sosial lainnya. Sebagai warga negara maka perempuan juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi. Namun dalam praktiknya perempuan sering berhadapan dengan kekuatan yang menghalanginya untuk memperoleh informasi. Shohibuddin (2018) menjelaskan bahwa istilah akses dapat juga dipahami sebagai “tantangan akses”, dimana aktualisasinya masih membutuhkan upaya atau agensi. Hall (2010) sebagaimana dikutip Shohibuddin (2018) menyebutkan konstelasi kekuatan yang menghalangi seseorang untuk memperoleh akses dengan istilah“powers of exclusion” atau “kekuatan-kekuatan eksklusi”. Kekuatan eksklusi tersebut terdiri dari empat bentuk yaitu, regulasi, paksaan, pasar, dan legitimasi. Pertama, regulasi yang pada umumnya (tetapi tidak selalu) berkaitan dengan berbagai instrumen negara dan hukum yang mengatur akses terhadap sumber daya dan syarat-syarat penggunaannya. Kedua, paksaan yang dapat menghalangi akses seseorang melalui kekerasan atau pun ancaman kekerasan yang bisa dilakukan oleh aktor-aktor negara maupun non-negara. Ketiga, pasar yang juga dapat menjadi kekuatan eksklusi karena dapat membatasi harga termasuk dengan sejumlah insentif yang sengaja diciptakan untuk mendorong klaim-klaim yang lebih individualis atas sumber daya. Kempat, legitimasi yang membentuk pijakan moral bagi klaim-klaim yang bersifat eksklusif bagi tiga kekuatan sebelumnya sebagai landasan eksklusi yang dapat diterima secara politik maupun sosial. Tantangan akses dan eksklusi bukanlah gejala yang terpisah. Menurut Shohibuddin (2018) keduanya bisa saja berlangsung pada saat yang bersamaan. Ia mencontohkan bagaimana pengakuan terhadap hak tradisional masyarakat adat memberikan hak kepada suatu kelompok tetapi dalam waktu yang bersamaan menyingkirkan akses bagi kelompok yang lain. Hal ini terjadi karena SDA bersifat langka atau terbatas jumlahnya. Oleh sebab itu Shohibuddin (2018) memandang akses maupun eksklusi
52
Abdullah Abdul Muthaleb
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh
sebagai tantangan yang saling berkaitan. Menurutnya, perjuangan sosial yang digerakkan oleh aksi kolektif selain berupaya untuk mewujudkan akses namun pada saat sama harus mencegah terjadinya eksklusi.
Pembangunan Kesadaran Mengenai Pentingnya Informasi Publik Di Aceh, sepanjang tahun 2017-2018 MaTA (Masyarakat Transparansi Aceh) telah melakukan pendampingan bagi puluhan perempuan desa yang mengajukan permohonan informasi terkait pengelolaan SDA yang terkait dengan wilayah desa di mana mereka tinggal. MaTA adalah sebuah organisasi masyarakat sipil di Aceh yang merupakan salah satu mitra Program SETAPAK – The Asia Foundation yang berfokus pada penguatan kapasitas perempuan desa untuk mengakses informasi publik khususnya sektor SDA. Jenis informasi yang dimintakan oleh kaum perempuan tersebut diantaranya adalah: dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL), Izin Lingkungan, Peta Konsesi, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup-Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), hingga pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah desa mereka. Beberapa dokumen atau informasi yang diminta oleh kelompok perempuan ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Informasi yang Diakses oleh Kaum Perempuan KABUPATEN
INFORMASI YANG DIAKSES
Dokumen AMDAL PT. Karya Tanah Subur Kab. Aceh Barat Luas pembangunan kebun masyarakat oleh PT. Karya Tanah Subur. Mekanisme pembagian kebun masyarakat oleh PT. Karya Tanah Subur Peta HGU dari PT. Karya Tanah Subur Kabupaten Aceh Barat Dokumen AMDAL PT. Karya Tanah Subur Kab Aceh Barat Informasi terkait perkembangan dan proses yang dilakukan Pemda untuk memastikan realisasi janji PT Karya Tanah Subur
ACEH BARAT
Dokumen
AMDAL PT. Socfindo Peta Konsesi HGU PT. Socfindo Dokumen AMDAL PT. Socfindo Salinan notulensi rapat warga panton bayu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Nagan Raya pada tanggal 26 September 2016 Luas pembangunan kebun masyarakat oleh PT. Socfindo dan siapa saja yang telah menerima/ mengelola kebun masyarakat tersebut Mekanisme pembagian kebun masyarakat oleh PT. Socfindo Salinan
NAGAN RAYA
53
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
KABUPATEN
INFORMASI YANG DIAKSES Salinan
Daftar Informasi Publik (DIP) Aceh Utara daftar penerima ganti rugi lahan untuk pembangunan Waduk Krueng Keureuto, baik yang sudah dilakukan pembayaran maupun yang belum dilakukan pembayaran oleh Pemerintah Harga per meter ganti rugi lahan untuk pembangunan Waduk Krueng Keureuto Ganti rugi lahan untuk pembangunan Waduk Krueng Krueng Keureuto Salinan laporan penyaluran dana CSR PT Exxon Mobil 2013, 2014 dan 2015 Mekanisme Penyaluran dana CSR PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang beroperasi di Aceh Utara Dokumen AMDAL dan Surat Keputusan Izin Usaha PT. Mandum Payah Tamita Jumlah perusahaan perkebunan sawit swasta yang sedang beroperasi di Aceh Utara Salinan
ACEH UTARA
Salinan laporan penyaluran dana CSR PT. Medco E&P di Aceh Timur
untuk Kecamatan Indra Makmur tahun 2015 dan 2016 penyaluran dana CSR PT. Medco E&P di Aceh Timur Dokumen AMDAL PT. Medco E&P di Aceh Timur Surat permintaan dan/atau surat perjanjian penggunaan jalan lintas Kecamatan Indra Makmur untuk operasional PT. Medco Bentuk kompensasi yang diberikan oleh PT. Medco atas penggunaan jalan lintas Kecamatan Indra Makmur, baik kepada masyarakat maupun perbaikan jalan Mekanisme
ACEH TIMUR
Salinan Peta Konsesi PT. Semadam dan PT. Anugerah Sekumur Izin Usaha Perkebunan, Izin lokasi, Izin Lingkungan dan Dokumen AMDAL PT. Semadam dan PT. Anugerah Sekumur Salinan Peta Konsesi PT Bukit Safa Izin usaha perkebunan, Izin Lokasi, Izin Lingkungan dan Dokumen AMDAL PT. Bukit Safa Lokasi lahan plasma PT. Bukit Safa dan mekanisme pengelolaan lahan plasma PT. Bukit Safa Lokasi lahan plasma PT. Semadam dan PT. Anugerah Sekumur yang sedang beroperasi di Kabupaten Aceh Tamiang Salinan MoU antara PT. Semadam dengan masyarakat dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan terkait penggunaan jalan masyarakat oleh perusahaan Mekanisme pengelolaan lahan plasma untuk PT. Semadam dan PT. Anugerah Sekumu Lokasi lahan plasma PTPN I di Desa Batu Bedulang dan ketentuanketentuan untuk replanting lahan plasma oleh PTPN Ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh PTPN I untuk perpanjangan Hak Guna Usaha.
ACEH TAMIANG
Sumber: Mustafa (2019)
54
Abdullah Abdul Muthaleb
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh
Pengetahuan mengenai pentingnya akses terhadap informasi khususnya informasi terkait tata kelola lahan dan hutan merupakan hal yang baru bagi para perempuan di dalam proses pendampingan yang dilakukan oleh MaTA. Sejumlah perempuan dalam pendampingan yang dilakukan oleh MaTA mengakui bahwa pengetahuan tentang adanya jaminan negara untuk keterbukaan informasi publik tersebut sebagai pengetahuan baru bagi mereka. Dewi Sartika (36 tahun) dari Desa Batu Bedulang, Kabupaten Aceh Tamiang mengungkapkan bahwa ia pertama kali memperoleh pengetahuan tentang akses informasi publik melalui pertemuan komunitas belajar oleh MaTA. Melalui komunitas belajar, perempuan dalam kegiatan pendampingan MaTA mendapatkan pengetahuan mengenai hak yang sama, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mengakses informasi ke institusi publik, baik di tingkat kecamatan, di tingkat kabupaten, bahkan tingkat nasional. Pada mulanya, warga desa yang didampingi oleh MaTA meragukan arti penting dari akses terhadap informasi. Keraguan masyarakat atas manfaaat dari mengakses informasi tata kelola lahan dan hutan muncul karena keraguan akan keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyat atau publik. Dalam pertemuan komunitas yang rutin dilaksanakan oleh MaTA, seorang warga menyatakan pesimis dalam menghadapi perusahaan karena kecenderungan pemerintah akan lebih berpihak kepada kepentingan perusahaan. Menurut warga tersebut, pengalaman warga di hampir seluruh wilayah Kabupaten Aceh Tamiang yang pernah berurusan dengan perusahaan perkebunan sawit kerap berujung pada konflik. Pendampingan MaTA dilakukan dengan cara pembentukan pengetahuan dan kesadaran kaum perempuan tentang akses terhadap informasi publik. Menurut Mustafa (2019), pendampingan tersebut telah menumbuhkan rasa percaya diri perempuan desa karena di dalam proses pembelajaran tersebut kaum perempuan memperoleh pengetahuan mengenai tahapan dan proses yang akan dilalui untuk mengakses informasi, dan juga prosedur penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi Aceh. Selain pengetahuan mengenai prosedur, pendampingan yang dilakukan MaTA juga berupaya untuk membangun kesadaran akan pentingnya akses terhadap informasi publik sesuai kebutuhan dengan permasalahan dan kebutuhan masyarakat di desa mereka.
55
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Kemiskinan, Kerusakan Lingkungan hingga Konflik Berkepanjangan Sejumlah desa yang didampingi MaTA menghadapi kondisi dan situasi yang hampir sama yaitu: persoalan kemiskinan, kerusakan lingkungan, hilangnya akses atas tanah, hingga konflik lahan berkepanjangan. Sebut saja misalnya Desa Batu Bedulang, sebuah desa dengan warganya yang bisa disebut sebagai pendatang ilegal bagi perusahaan. Dapat dikatakan demikian karena Batu Bedulang hingga saat ini belum memiliki bukti yang sah atas lahan pertanian maupun pemukiman mereka. Dewi Sartika (36) menuturkan sebagai berikut: Kesadaran warga dengan kesehatan masih rendah. Penyakit TBC jadi masalah di sini, tahun 2019 dapat lagi empat kasus TBC. Di sini kami belum merdeka, jalan belum beraspal, kalau hujan sukar dilewati. Banyak hasil pertanian tidak bisa dipasarkan. Di kampung kami, lebih sebagian besar penduduknya memang masuk kategori miskin. Tapi kami terus berjuang, meminta 8 Ha lahan yang janji Pemerintah Daerah akan dibebaskan untuk perumahan. Tapi SK resminya belum kami terima yang harusnya dalam tahun 2019 sudah ada. Pemerintah Kabupaten juga berjanji setelah itu akan ada pelepasan lahan lagi seluas 8 Ha lagi untuk penambahan area pemukiman warga, makam umum dan lapangan. Itulah bagian dari perjuangan akses informasi kami sebelumnya. (Dewi Sartika 2019, Wawancara 25 November)
Masalah serupa juga ditemukan di desa Panton Bayu, Kabupaten Nagan Raya. Panton Bayu adalah satu desa yang di sebelah timur dan utaranya berbatasan langsung dengan lahan PT Socfindo Seumayam. Ada 366 Kepala Keluarga mendiami desa seluas 300-an hektar, yang keberadaan lokasinya adalah hasil tukar guling lahan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat (sebelum pemekaran) antara perusahaan pada tahun 1970-an. Keseharian warganya mencari nafkah dengan berkebun, menjadi buruh perusahaan, atau memanfaatkan hasil alam sekitarnya, salah satunya di Krueng Geutah. Namun, pencemaran lingkungan menjadi masalah paling utama yang dihadapi warga. Limbah pabrik pengolahan kelapa sawit mencemari Krueng Geutah, tempat biasa warga menjaring ikan, udang, dan lain sebagainya. Pencemaran ini terjadi selama puluhan tahun tanpa adanya mekanisme penanganan yang jelas. Pemupukan dan penyemprotan sawit mencemari udara, polusi terjadi, mengakibatkan banyak warga mengalami sesak nafas dan lemas. Penduduk setempat mewarisi petaka ini dari generasi ke generasi hingga kini.
56
Abdullah Abdul Muthaleb
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh
Suratman (50), salah seorang tokoh masyarakat setempat mengisahkan nasib desanya: Dulunya, Desa Panton Bayu memiliki sawah yang luas. Tapi karena area perkebunan sawit milik perusahaan, sawah kekurangan air. Hingga kemudian mau tidak mau lahannya dialih fungsi untuk ditanami kelapa sawit. Pada akhirnya entah bagaimana lahan bekas persawahan masuk dalam kapling lahan HGU, pihak perusahaan menguasai lahan desa itu. Sampai sekarang kami belum juga mendapatkan peta lahan HGU. Mereka butuh mata pencaharian baru untuk menghidupi keluarganya. Setelah lahan persawahan tak ada lagi, setelah sungai tercemar, dan lahan-lahan di sekitar sudah tak bisa digarap oleh sebab kapling HGU. (Mustafa 2019).
Persoalan tata kelola SDA yang menimbulkan konflik juga ditemukan di Desa Cot Lada, Kabupaten Aceh Barat. Cot Lada adalah sebuah desa kecil dalam wilayah Mukim Suak Pangkat, Kecamatan Bubon, Kabupaten Aceh Barat. Luasnya hanya 6 kilometer persegi, dihuni sekitar 30 kepala keluarga saja. Warga desa ini berkonflik atas nama nama Hak Guna Usaha (HGU) dengan PT. KTS yang membuka perkebunan kelapa sawit berikut pabrik pengolahannya. PT. KTS mengkapling tanah seluas 6000 hektar, 72 hektar diantaranya adalah milik warga yang surat-surat kepemilikannya diambil oleh para tentara. Mustafa (2019) mencatat bagaimana setelah PT. KTS beroperasi, sungai yang ada di Cot Lada kemudian mulai berubah warna, mengeluarkan bau dan airnya sudah tak layak lagi dipakai untuk keperluan sehari-hari. Hal ini membuat warga resah karena sungai adalah satu tempat mereka bergantung hidup. Pencemaran tersebut merupakan alasan utama yang membuat mereka sekali lagi mendatangi pemerintah, melaporkan kondisi lingkungan yang tercemari oleh perusahaan pada dinas terkait.
Mengapa Harus Perempuan dan Ada Apa Dengan Laki-Laki? Model penguatan pengetahuan bagi perempuan yang dijalankan oleh MaTA juga mendapatkan pertanyaan dari warga desa. Salah satunya adalah pertanyaan mengapa perempuan dipilih menjadi kelompok sasaran dari pendampingan mengenai akses terhadap informasi publik tersebut. Kenapa harus perempuan? Pertanyaan itu selalu muncul pada saat MaTA mulai melakukan proses pendampingan. Baik dari aparatur desa dampingan bahkan dari perempuan yang terlibat dalam komunitas dampingan itu sendiri. Tidak begitu mengherankan pertanyaan itu muncul, terutama di Aceh. Pelibatan perempuan dalam proses pengambilan kebijakan masih cukup terbatas. 57
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Alfian, Koordinator MaTA, mengemukakan sejumlah alasan kenapa fokus pemberdayaan yang dipilih tertuju pada komunitas perempuan. Selama ini peran laki-laki lebih dominan dalam upaya menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh perusahaan. Namun menurut Alfian, perempuan adalah pihak paling utama yang menanggung dampak buruk atas terjadinya sesuatu ketimpangan, maupun jika terjadi pelanggaran dalam tata kelola hutan atau lahan yang dilakukan pemerintah atau perusahaan. Selain itu, peran perempuan juga kerap dipandang sebelah mata karena dianggap memiliki kemampuan terbatas. Sebagaimana dipaparkan oleh Alfian berikut: Tatanan sosial masyarakat di Aceh itu masih kental patriakisnya, sehingga tidak heran kaum laki-laki bagaikan penentu utama dalam banyak penentuan berbagai persoalan sosial termasuk dalam pengelolaan SDA. Padahal nyata sekali salah urus SDA itu memberikan dampak buruk bagi kehidupan mereka, apalagi perempuan. Sebenarnya perempuanlah yang paling harus didengar dalam penentuan keputusan bersama. Jadi jangan heran kalau kemudian terbentuk jurang marginalisasi, beban ganda, sub-ordinasi, dan pelabelan, hingga tindak kekerasan yang mengorbankan perempuan. (Alfian 2019, wawancara 18 November)
Baihaqi salah seorang pendamping MaTA bagi komunitas perempuan di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang menyatakan bahwa sebenarnya pendekatan UU Keterbukaan Informasi Publik tersebut sesungguhnya juga masih baru bagi laki-laki di desa dampingan mereka. Namun menurut Baihaqi, peran aktif perempuan dalam mengakses informasi memberikan sentimen yang membuat pemerintah dan perusahaan merasa harus merespon. Berikut penuturan Baihaqi: Perempuan di desa justru lebih terbangun kepekaan dan kesadarannya untuk mengakses informasi terkait SDA apalagi jika dikaitkan dengan hubungan langsung dan tidak langsung antara SDA dengan perempuan. Satu hal yang juga menarik baginya adalah soal harga diri, ketika perempuan menggugat pemerintah dan perusahaan, kesannya akan beda sekali jika itu dilakukan oleh laki-laki. Meskipun bisa saja laki-laki kemudian mengakses informasi tetapi ketika perempuan yang melakukannya maka nilai atau persepsi perusahaan dan pemerintah berbeda. Bedanya adalah terkesan ketika perempuan yang menggugat, hadir bersengketa ke Komisi Informasi Aceh, itu lebih membuat gerah sekaligus memalukan bagi perusahaan, apalagi pemerintah. (Baihaqi 2019, Wawancara 17 November).
58
Abdullah Abdul Muthaleb
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh
Mengakses informasi yang dibutuhkan oleh warga desa Melalui proses pendampingan dan pendidikan, perempuan desa yang sebelumnya cenderung dianggap tidak memiliki kemampuan dan tidak mendapat tempat dalam pembahasan topik-topik yang berhubungan dengan kepentingan umum mulai termotivasi untuk turut berpartisipasi mengajukan akses informasi publik. Perempuan-perempuan desa yang didampingi oleh MaTA kemudian mulai mengajukan akses terhadap informasi. Informasi yang diminta oleh kaum perempuan ini diajukan berdasarkan persoalan-persoalan pengelolaan SDA di desa mereka. Suhani (45 tahun) dan Asna (33 tahun), dua perempuan desa dari Kabupaten Aceh Barat mengajukan akses terhadap informasi kepada Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Barat. Ia mengajukan akses informasi mengenai upaya pemerintah kabupaten dalam merealisasikan janji-janji PT. KTS tentang tanggung jawab perusahaan tersebut kepada masyarakat dan lingkungan. Perusahaan perkebunan kelapa sawit itu beroperasi salah satunya di Desa Cot Lada, tempat tinggal Asna. Tanggung jawab PT. KTS sebelumnya telah ditetapkan dalam satu surat perjanjian perusahaan dengan pemerintah kabupaten, yang dibuat pada beberapa tahun sebelumnya dengan sepengetahuan masyarakat. Upaya mengakses informasi juga dilakukan oleh Nurhayati (45 tahun), seorang perempuan desa dari Kabupaten Nagan Raya. Nurhayati mengajukan akses atas informasi kepada Kantor BPN Nagan Raya. Ia meminta haknya untuk mendapatkan informasi berupa salinan peta konsesi hak guna usaha PT. Socfindo. Permohonan informasi diajukan karena belum adanya kejelasan dan kepastian mengenai batas-batas lahan antara lahan milik perusahaan perkebunan PT. Socfindo dengan lahan masyarakat di desanya, Panton Bayu. Pengalaman untuk mengakses informasi dilakukan oleh Kacimah (46 tahun) kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kabupaten Nagan Raya. Kacimah meminta informasi AMDAL berkaitan dengan perusahaan PT. Socfindo. Informasi diminta oleh Kacimah karena kekhawatiran warga Desa Panton Bayu atas kondisi lingkungan desa mereka yang tercemar akibat pengoperasian pabrik kelapa sawit milik perusahaan PT. Socfindo. Ketika hujan deras atau banjir datang limbah perusahaan tersebut meluap. Akibatnya sungai menjadi tercemar, ikan mati, dan padi di sawah pun menjadi rusak. Menurut Supiniati (24 tahun), dokumen AMDAL itu
59
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
harus diperoleh untuk melihat bagaimana seharusnya perusahaan bekerja, termasuk mekanisme pengelolaan limbah perusahaan. Mereka menjadi tertantang untuk melihat kembali apakah pencemaran yang dulu pernah terjadi bentuk dari sebuah pelanggaran atau bukan. Berikut penuturan Supiniati: Saat ini dengan informasi yang sudah kami peroleh, kelompok perempuan dan masyarakat di desa kami masih fokus menyelesaikan persoalan yang juga sudah berliku-liku penyelesaiannya yaitu soal 87 unit kios (pasar desa) yang diklaim berada dalam kawasan HGU milik perusahanan PT. Socfindo. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Nagan Raya juga sudah turun tangan. Kami sedang fokus pada masalah itu sekarang, kalau ini sudah selesai baru kami akan fokus pada pencemaran dengan sejumlah informasi yang sudah kami punya. (Supiniati 2019, wawancara 18 November).
Sementara itu di Kabupaten Aceh Tamiang, Sitinah (43 tahun) berusaha mendapatkan informasi tentang keberadaan sebuah perusahaan perkebunan kelapa yang telah bertahun-tahun beroperasi di daerahnya. Informasi yang diakses dalam permohonannya berupa salinan Peta Konsesi PT. Bukit Safa, izin usaha perkebunan, izin lokasi, izin lingkungan, dokumen AMDAL, dan lokasi lahan plasma, serta mekanisme pengelolaan lahan plasma perusahaan tersebut. Permintaan informasi itu diajukan bukan karena adanya suatu kasus konflik terkait PT Bukit Safa namun hanya sebagai tindakan pengamanan bagi desa untuk memastikan apakah perusahaan tersebut telah beroperasi dengan benar dan sudah memiliki izin benar dari Pemerintah. Kisah perempuan desa lainnya adalah Yessi (33 tahun) dari Kabupaten Aceh Timur. Yessi menjadi aktor kunci dibalik diperolehnya dokumen AMDAL PT. Mecco E&P. Dokumen AMDAL yang dipegang Yessi di kemudian hari menjadi dasar yang kuat bagi warga untuk menggugat pencemaran sungai yang disebabkan oleh operasi perusahaan tersebut. Dokumen AMDAL yang diperoleh Yessi kemudian digunakan sebagai bukti-bukti gugatan dalam proses Pengadilan.
Stereotipe terhadap perempuan sebagai tantangan dalam mengakses informasi Mustafa (2019) menyebutkan setidaknya tiga tantangan utama saat perempuan desa mengakses informasi publik. Pertama, budaya masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai “orang rumahan” yang sama 60
Abdullah Abdul Muthaleb
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh
sekali tidak pantas terlibat dalam agenda publik. Perempuan desa dianggap lebih pantas mengurus anak dan suami, bukan mendatangi kantor pemerintah untuk meminta informasi publik. Pandangan budaya patriarki yang menempatkan perempuan hanya dalam ranah domestik semacam ini masih tumbuh subur. Laki-laki dianggap sebagai penentu utama, dan perempuan sama sekali tidak punya nilai tawar dalam kehidupan sosial. Kedua, mentalitas birokrasi tertutup dan memperkuat labelisasi diskriminasi terhadap perempuan. Ketiga, adanya “relasi-bisnis” yang tidak adil antara perusahaan dengan birokrasi di daerah. Sehingga, birokrasi yang seharusnya melindungi hak-hak warga atas informasi publik justru lebih berpihak kepada kepentingan perusahaan-perusahaan yang hadir di desa. Buruknya sikap birokrasi dalam menghargai hak perempuan atas informasi ditemukan oleh MaTA selama proses pengorganisasian perempuan desa ini. Mustafa (2019) menceritakan kisah yang dialami Asna (33 tahun) saat mendatangi sebuah kantor pemerintah di Aceh Barat. Birokrasi pemerintah justru bersikap intimidatif kepada kaum perempuan sebagai berikut: Apa ini, ibu-ibu ini mau melawan perusahaan? Ibu-ibu ini mau masuk penjara ya? Itu ada warga yang melawan perusahaan, tujuh orang sudah dalam penjara. Apa ibu-ibu mau seperti itu? Kalau mau, biar kami urus sekarang juga surat ibu-ibu ini. (Mustafa 2019)
Dari pengalaman negatif berhadapan dengan birokrasi pemerintah, Asna kemudian menjadi tahu bahwa perjuangan yang ia lakukan tidak semudah seperti yang dibicarakan pada pertemuan-pertemuan yang diikutinya dengan tekun dalam dua bulanan terakhir. Ia tidak menyangka akan berhadapan dengan sikap negatif pemerintah seperti yang dialaminya dengan perusahaan. Dalam berurusan dengan birokrasi perempuan menghadapi tekanan ganda (Saleh 2014). Pertama, menghadapi tekanan dari pihak luar yang sebagian besar telah mengambil alih SDA yang merupakan sistem penghidupan mereka. Kedua, dalam budaya kehidupan komunitas yang patriarki, perempuan juga dihadapkan dengan ketidakadilan internal yang sudah tercipta sebelum para pihak luar (swasta dan pemerintah) datang menguasai SDA mereka. Relasi bisnis tidak sehat antara pemerintah daerah dengan perusahaan terlihat jelas ketika kaum perempuan ingin mendapatkan haknya atas informasi. Mustafa (2019) menguraikan penuturan Suhaini di Aceh Barat
61
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
yang menilai bahwa ada yang salah dengan cara berpikir para pegawai itu padahal mereka dibayar dengan uang negara. Mereka yang semestinya bekerja dan digaji dengan uang negara untuk melayani masyarakat, nyata-nyatanya melulu menampilkan diri sebagai abdi bagi perusahaan. Menjadikan diri sebagai tameng pertama yang musti dihadapi masyarakat kecil ketika mereka bertindak, meskipun hanya sebatas mencari informasi belaka, adalah bukti kesimpulannya itu menjadi benar adanya. (Mustafa 2019)
Tantangan untuk aktif dalam mengakses informasi publik juga datang dari dalam masyarakatnya sendiri. Perempuan disudutkan akan tanggung jawab domestiknya, seperti yang dialami oleh Yessi (33 tahun) di Desa Alue Ie Mirah, Kabupaten Aceh Timur berikut: Kenapa mau capek-capek ngurusin urusan orang?” Kenapa tidak mengurus diri sendiri dan rumah tangganya saja? Ngapain perempuan mau tahu kerja pemerintah segala? Itu ngurusin urusan pemerintah, nanti urusan rumah siapa yang beresin ya? (Mustafa 2019)
Maskulinitas memposisikan peran perempuan terbatas hanya untuk mengurus rumah tangga. Oleh sebab itu, ketika mereka yang mewakili kaum ini bergerak keluar yang menghadirkan diri sebagai perempuan yang merdeka maka yang dimunculkan adalah kecurigaan. Perempuan terus dicurigai bahkan dicemoohkan. Hal demikian bahkan dilontarkan secara terbuka tanpa terlebih dahulu mencari tahu apa yang membuat mereka punya kehendak untuk bergerak. Cerita senada juga terjadi di daerah lainnya. Kondisi ini memuncak ketika perempuan desa pun dianggap tidak pantas hadir di ruang persidangan Komisi Informasi. Padahal ketika kaum perempuan bergerak atas nama perempuan desa sesungguhnya mereka tidak hanya memperjuangkan kepentingan perempuan tetapi juga kepentingan warga desa dalam arti yang lebih luas. Informasi yang berhasil diperoleh kaum perempuan itu pada akhirnya justru digunakan bersama untuk mengontrol pengelolaan SDA di lingkungan tempat tinggal penduduk desa. Gerakan perempuan desa untuk mengakses informasi SDA itu menurut Mustafa (2019) memiliki efek bola salju. Tidak hanya menumbuhkan kesadaran dan rasa percaya diri perempuan semata, gerakan ini kemudian juga mendapat dukungan dari keluarga. Para suami yang awalnya memperlihatkan sikap yang acuh tak acuh bahkan menolak untuk terlibat, 62
Abdullah Abdul Muthaleb
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh
akhirnya mulai berpartisipasi, mendukung perempuan desa untuk mendapatkan informasi. Pemerintah desa dan masyarakat juga mulai memperlihatkan dukungan kepada gerakan kaum perempuan tersebut. Bila sebelumnya beredar banyak stigma negatif, kini masyarakat desa mulai menyadari bahwa perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan informasi tersebut merupakan kepentingan bersama. Saat ini, kaum perempuan desa pun mulai dilibatkan dalam berbagai kegiatan desa termasuk dalam proses penentuan keputusan di dalam musyawarah desa. Mulyani (33 tahun) dari Aceh Timur menceritakan perubahan di tingkat aparatur desa: Kalau boleh cerita sedikit contoh di desa kami sekarang, dengan adanya proses yang kami kaum perempuan kerjakan, mulai ada respons positif dari aparatur desa. Katakanlah ada kegiatan masyarakat, kita mulai dilibatkan. (Mustafa 2019).
Ketika diri pribadi dan keluarga sudah berubah, dengan bekal kesadaran dan pengetahuan yang ada, komunitas perempuan ini mulai menyasar masyakarat di desa. Kecurigaan dan pandangan negatif yang muncul pada masa awal mulai berubah dengan munculnya respons positif (Mustafa 2019). Masyarakat semakin memahami dan terlibat dalam upaya mengakses informasi publik. Banyak perempuan dan warga lain kemudian ingin mempelajari arti keterbukaan informasi publik dan bagaimana melakukannya. Ketertarikan untuk terlibat dalam pertemuan komunitas salah satunya muncul dari kaum laki-laki dari desa lain. Pada mulanya ia termasuk orang yang ragu terhadap apa yang dikerjakan oleh Suhani dan kawan-kawannya. Akhirnya ia datang ke Desa Cot Lada, dan mengikuti hampir setiap pertemuan komunitas perempuan yang didampingi oleh MaTA. Ia kemudian berharap agar pertemuan serupa serupa bisa dilakukan juga di desanya, Planteu, yang berdekatan dengan Cot Lada. Perjuangan agensi perempuan di sejumlah desa di Aceh ini menjadi pemantik semangat baru dan rasa ingin tahu perempuan desa lainnya. Winarti (32 tahun) di Aceh Timur menyebutkan banyak perempuan yang kini sudah datang ke rumahnya untuk bertanya, belajar soal pengalaman permohonan informasi itu. Sekarang ini malah banyak yang datang ke rumah dan bertanya, apakah caracara yang ditempuh oleh kami, komunitas perempuan di sini, bisa berlaku juga untuk mengakses informasi yang tidak berhubungan dengan perusahaan. Ada yang tanya, kalau saya mau mengakses apakah suatu aset di daerah kita itu milik
63
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
pribadi atau milik umum, itu bisa tidak dilakukan dengan cara yang kami lakukan dulu? (Mustafa 2019)
Akses informasi oleh perempuan desa juga mendorong perubahan positif pada para pengambil kebijakan di tingkat lebih tinggi dan pemerintah daerah. Dalam pertemuan akhir tahun 2017, kelima Pejabat Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi (PPID) Utama Kabupaten yang menjadi wilayah dampingan MaTA berkomitmen memperbaiki layanan informasi publik di wilayahnya. PPID tersebut menyusun peta jalan perbaikan berdasarkan rekomendasi pertemuan. PPID Utama kabupaten menguat dengan dukungan penuh dari PPID Utama Aceh. Ketua Pelaksana Harian PPID Utama Aceh meminta komitmen daerah dan siap membantu sehingga akses publik mendapatkan informasi termasuk kelompok perempuan semakin terbuka (Mustafa 2019). Saat tulisan ini dipersiapkan, komitmen kabupaten tersebut sudah diwujudkan, sebagaimana diceritakan oleh Alfian berikut: Dari kelima kabupaten tersebut, empat kabupaten sudah punya DIP seperti Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Barat dan Nagan Raya. Tinggal Aceh Utara yang belum selesai karena memang pada saat itu kabupaten ini tidak lagi didampingi khusus oleh MaTA karena sebelumnya sudah pernah didampingi MaTA juga. (Alfian 2019, wawancara 25 November)
Pembelajaran perjuangan agensi perempuan desa kini tidak lagi dipandang sebelah mata, tak lagi dianggap tak punya kuasa dalam menentukan bagaimana seharusnya SDA dikelola. Akses informasi yang dilakukan perempuan desa pada Badan Publik yang sama sudah lebih terbuka. Pengalaman di Tamiang, perempuan desa yang sebelumnya bersengketa karena informasinya ditutup tetapi kemudian permohonan informasinya sudah langsung diberikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada perubahan pengetahuan dan kesadaran termasuk bagian dari menghargai perempuan desa yang setara untuk mendapatkan haknya atas informasi publik.
Penutup Keberadaan UU Desa dan UU KIP tidak akan memberikan perubahan bagi tata kelola lahan dan hutan maupun bagi perempuan jika dalam kehidupan publik perempuan desa belum turut berpartisipasi. Kerangka hukum yang menjamin hak atas informasi dan hak atas partisipasi perempuan masih 64
Abdullah Abdul Muthaleb
Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh
merupakan “tantangan akses”. Agensi dari kaum perempuan dibutuhkan agar hak mereka atas informasi akan mengubah “tantangan akses” tersebut menjadi akses informasi yang dibutuhkan oleh perempuan dan masyarakat. Kaum perempuan perlu menggunakan haknya atas informasi untuk memastikan bahwa hak mereka terpenuhi. Pengalaman sejumlah perempuan desa di Aceh menunjukkan masih bekerjanya“powers of exclusion” atau “kekuatan-kekuatan eksklusi” yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan informasi terkait pengelolaan SDA. Pengalaman yang dilakukan oleh perempuan-perempuan di Aceh untuk mengklaim hak mereka atas informasi merupakan pendekatan “rights-based access”. Pengalaman perempuan di Aceh dalam artikel ini juga memperlihatkan bahwa perempuan memiliki kapabilitas untuk menjadi bagian dari pemangku kepentingan dalam tata kelola lahan dan hutan. Perubahan kesadaran dari publik, baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat luas, tentang kapabilitas perempuan terjadi akibat agensi perempuan untuk mengakses hak mereka atas informasi.
Daftar Pustaka De Vries, Dede William 2006, Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi. Centre for International Forestry Reserach (CIFOR), Bogor. ICEL 2015, “Mendorong Kebijakan Pemberian Informasi Lingkungan Secara Pro Aktif oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”, Kertas Kebijakan, ICEL, Jakarta. Kementerian PPN/BAPPENAS 2019, Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengan (RPJMN) Tahun 2020-2024. Dokumen Revisi 18 Juni 2019. Kementerian PPN/BAPPENAS, Jakarta. Mariana, Anna et al 2014, Panduan Pemeriksaan Kebutuhan Perempuan Pejuang. Sajogyo Institute, Bogor. Mustafa, R 2019, Ketika Perempuan Merebut Informasi. Masyarakat Transparansi Aceh, Banda Aceh. Rosalina, L & Nanggara, S.G 2015, “Keterbukaan Informasi Publik atas Dokumen Perizinan Investasi Berbasis Hutan dan Lahan”, Briefing Paper Aksesibilitas Informasi. Forest Watch Indonesia, Bogor. Saleh, M 2014. “Partisipasi Perempuan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal MUSAWA, Vol. 6 No. 2 Desember 2014, h: 236-259. Satriyo, A. Hana 2015, “Refleksi Kritis Pengelolaan Sumber daya Negara Untuk Keadilan Gender”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Jaringan dan Kolaborasi untuk
65
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Mewujudkan Keadilan Gender: Memastikan Peran Maksimal Lembaga Akademik, Masyarakat Sipil, dan Institusi Negara”, diselenggarakan oleh Program Studi Kajian Gender, Program Pascasarjana (Multidisplin) Univ. Indonesia. Shohibuddin, M 2018, Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan, dan Kajian Empiris. STPN Press, Sajogyo Institute, Pusat Studi Agraria IPB, dan Konsorsium Pembaharuan Agraria, Bogor. Siscawati, M 2014, “Pertarungan Penguasaan Hutan dan Perjuangan Perempuan Adat”, Jurnal WACANA, No. 33 Tahun XVI. INSIST Press, Yogyakarta.
66
Topik Empu
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan Involvement of Women Village Leaders in Developing Dialogues on Forest Conflict Resolution Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Universitas Bengkulu & Akar Foundation Jl. WR Supratman, Kandang Limun, Kota Bengkulu, Indonesia, 38000; Jl. Bhakti Husada 8 nomor 17D, Kelurahan Lingkar Barat, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu, 38225 titiek_kartika@unib.ac.id & pramastyayukoesdinar@gmail.com Kode Naskah: DDC 305 Kronologi Naskah: diterima 28 Oktober 2019; direvisi 30 November 2019; diputuskan diterima 3 Desember 2019 Abstract This article is a study of feminist ecological politics in rural women’s leadership and their involvement in resolving conflicts over protected forests. On the one hand, structurally, there is a complex linkage between social, cultural, adat, and religious practices that prevent women from becoming leaders. On the other hand, after they won the leadership contestation in the village, their task was able to go beyond reconciliation and introduce an alternative discourse on sustainable forest conservation. This study examines three main areas namely: (1) ecological sustainability knowledge, understanding and practices; (2) the practice of equal access to natural resources, and responses to vulnerability to environmental change; and (3) equality practices in village development activism. The narrative of feminist ecological political studies from two villages in Kepahiang and Rejang Lebong Districts shows that women village heads are able to penetrate structural barriers, social exclusion, and dismantle economic class barriers. Keywords: rural women’s leadership, feminist political ecology, forest conflict Abstrak Artikel ini adalah sebuah kajian politik ekologi feminis pada kepemimpinan perempuan perdesaan dan keterlibatan mereka dalam pusaran penyelesaian konflik atas hutan lindung. Di satu sisi, secara struktural, ada kelindan yang kompleks antara dimensi sosial, budaya, adat, dan praktik agama yang menghambat perempuan menjadi pemimpin. Di sisi lain, setelah mereka memenangkan kontestasi kepemimpinan di desa, tugas mereka mampu melampaui rekonsiliasi konflik kehutanan dan memperkenalkan diskursus alternatif tentang konservasi hutan berkelanjutan. Studi FPE ini mengkaji tiga area utama, yaitu: (1) pengetahuan, pemahaman, dan praktik kelestarian ekologis; (2) praktik kesetaraan atas akses sumber daya alam, dan respons atas kerentanan terhadap perubahan lingkungan; dan (3) praktik kesetaraan dalam aktivisme
67
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019 pembangunan desa. Narasi studi politik ekologi feminis dari dua desa di Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong ini menunjukkan bahwa perempuan kepala desa mampu menembus hambatan struktur, eksklusi sosial, dan membongkar sekat kelas ekonomi. Kata kunci: kepemimpinan perempuan desa, ekologi politik feminis, konflik hutan
Pendahuluan Berbagai studi menunjukkan bahwa tata kelola hutan sarat dengan nuansa maskulinitas, dan menegasikan kepemimpinan perempuan. Studi tentang isu kepemimpinan perempuan lokal dalam mengelola konflik dan tata kelola hutan masih terbatas (Bose et al. 2017; Sam 2016). Isu partisipasi perempuan lokal pada pengambilan keputusan dan tata kelola sumber daya alam, terutama hutan, mulai menjadi prioritas penelitian (Evans et al. 2017; Bose et al. 2017). Sayangnya belum banyak studi keterlibatan perempuan lokal pada tata kelola hutan; dari keterbatasan itu menyebabkan ada tabir yang menutupi relasi-relasi sosial, budaya, dan politik dalam komunitas yang saling terkait dalam tata kelola hutan masih sangat rumit untuk dipahami. Keterlibatan perempuan lokal pada tata kelola hutan masih bermasalah (Evans et al. 2017); mengutip studi Kusumanto di Asia Tenggara, Mai et al. di Asia Selatan, dan Mutimokuru-Maravanyika dan Matose di Afrika, Evans et al. (2017) menemukan bahwa kunci kesempatan perempuan lokal ikut serta pada pengambilan keputusan ada pada penjelasan tentang relasi gender yang eksis pada teritori masyarakat lokal itu. Kebijakan yang mengatur kepemilikan tanah, teritori adat, dan akses lahan pertanian untuk perempuan adat tepian hutan pun tidak jelas (Bose et al. 2017). Penyebabnya, tidak banyak informasi tentang posisi perempuan di dalam keluarga dan komunitas dalam konteks tata kelola hutan. Studi Bose et al. di Amerika Latin menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan gender pada kepemilikan tanah, hak atas tanah, dan akses perempuan terhadap hutan. Meskipun ada gerakan masif yang berkelanjutan untuk memperjuangkan hak atas tanah bagi perempuan; namun ancaman deforestasi, perkebunan monokultur, perampasan lahan, industri ekstraktif, membayangi sumber dan ruang hidup perempuan lokal. Umumnya kebijakan tata kelola hutan di berbagai negara sangatlah bernuansa maskulin. Di berbagai negara, perempuan cenderung sebagai korban dari kebijakan yang tidak adil, dan korban konflik hutan (Bose et al. 2017). Kalau diurai melalui analisis gender dalam pengambilan keputusan, 68
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
akan ditemukan bahwa ada kelindan yang nyata atas keterpurukan perempuan di setiap tingkatan struktur (mikro-meso-makro) yang mempengaruhi proporsi keterlibatannya. Dengan mengadaptasi kerangka tipologi partisipasi perempuan pada tata kelola hutan dari Agarwal, analisis gender “Colfer’s Gender Box”, dan kerangka keadilan gender dari Fraser, studi Evans et al. (2017) menunjukkan hak penguasaan perempuan atas hutan. Tingkat keterlibatan perempuan berdasar analisis gender menunjukkan adanya bentuk ketidaksetaraan gender yang dihadapi perempuan lokal, terutama pada kendala dari tingkat mikro, meso, dan makro. Analisis gender dan pengambilan keputusan lebih kentara lagi. Perempuan sangat sulit terlibat pada pengambilan keputusan yang berada di area makro. Kerangka analisis Agarwal (dalam Evans et al. 2017), menunjukkan bahwa ruang publik perempuan hanya pada penggunaan dan penjualan produk hutan. Paling tinggi dari keterlibatan perempuan adalah pada pengorganisasian komunitas. Sangat dimengerti bahwa pengambilan keputusan tata kelola hutan bukanlah area publik bagi perempuan, sebagaimana digambarkan pada Gambar 1 dan 2 berikut ini:
Makro Politik Kultural Nasional Global
• • •
Meso Komunitas Teritori Ekonomi lokal
kurangnya dukungan untuk kebijakan gender (pelatihan, prioritas, pendanaan) kurangnya dukungan dari organisasi perempuan konflik politik • • • •
Mikro Rumah tangga Hutan
peran gender tradisional pemerintah lokal yang lemah kurangnya kapasitas kepemimpinan permepuan organisasi perempuan yang lemah • • • •
sanksi/ larangan oleh pasangan kekerasan domestik pemeliharaan anak ibu tunggal usia muda
Gambar 1. Tingkat Analisis Gender dan Jenis Hambatan Sumber: Evans et al. (2017, h. 40) - Gender level of analysis and type of constraints imposed; cited from Colfer (2013).
69
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Makro Politik Kultural Nasional Global
Hukum yang membutuhkan keterwakilan
Meso Komunitas Teritori Ekonomi lokal
Organisasi komunitas
Mikro Rumah tangga Hutan
Nominal
Pasif
Konsultatif
Menjual produkproduk hutan
Menggunakan produk-produk hutan
Aktivitas spesifik
Aktif Interaktif
Gambar 2. Gender dan Pengambilan Keputusan Sumber: Evans et al. (2017, h. 41) - Gender and decision-making, diadaptasi dari Agarwal (2001).
Kepemimpinan perempuan merupakan kunci akselerasi yang strategis pada tata kelola hutan yang berkeadilan. Studi Bose et al. (2017) di Amerika Latin adalah salah satu referensi penting tentang kepemimpinan perempuan untuk tata kelola hutan. Di Columbia, misalnya, karena angka buta huruf dan kemiskinan perempuan desa tinggi, maka insiden ketidakadilan pada kepemilikan tanah oleh perempuan masih sangat signifikan; dan produk legislasi tentang akses perempuan terhadap tanah kurang memadai. Di Nikaragua, gender gap index versi World Economic Forum berada pada peringkat yang tinggi, dan promosi keterwakilan perempuan adalah 50 persen. Sayangnya regulasi berperspektif keadilan gender belum menggembirakan, termasuk perlindungan atas tanah dan teritori bagi orang lokal belum tercapai. Legitimasi kepemimpinan perempuan masih bermasalah; setidaknya ideologi gender telah dipakai sebagai tabir penutup yang menyembunyikan buruknya akuntabilitas para pemimpin masyarakat (dalam hal ini pemimpin laki-laki). Studi Bose et al. (2017) di Mexico, Guatemala, Costa Rica, dan studi Sam (2016) di Carribean tentang kepemimpinan perempuan dan tata kelola hutan
70
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
memperlihatkan fenomena yang sama dengan kasus-kasus kepemimpinan perempuan untuk tata kelola hutan di Columbia. Studi di Mexico, Guatemala, Costa rica dan Carribean tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa melalui pengetahuan perempuan terhadap lingkungan dan pengalaman perempuan mengelola sumber daya alam, berhasil memperbaiki agenda pembangunan. Studi Bose et.al (2017) itu juga menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan menciptakan keseimbangan antara prioritas pembangunan, enabling environment, start up dan ekspansi bisnis dapat terjaga dan terformulasi dalam kebijakan yang berkelanjutan. Temuan studi di berbagai negara itu berhasil menjelaskan koneksitas antara pengalaman perempuan dalam mengelola hidup sehari-hari dengan otoritas formal yang didapatnya sebagai perempuan pemimpin di satuan administratif negara terendah. Studi di Amerika Latin itu memperlihatkan bahwa perempuan pemimpin lokal yang berhasil menembus batas kendala kultural, adat, praktik agama, politik berkontribusi untuk menurunkan kesenjangan gender, serta menghasilkan kebijakan yang berkelanjutan. Untuk konteks Indonesia, studi tentang perempuan dan tata kelola hutan, konflik dan konservasi di hutan taman nasional, maupun taman wisata alam masih jarang ditulis. Studi TNKS seperti studi Novra, Syaukat, Sanim & Sinaga (2007), misalnya, menjelaskan dampak implementasi kebijakan pengeluaran pemerintah daerah terhadap deforestasi kawasan dan degradasi TNKS. Novra dan Farhan (2009) menemukan bahwa ekonomi penduduk yang mengandalkan kegiatan non-kayu dari desa-desa penyangga TNKS, Provinsi Jambi, berpotensi untuk melindungi TNKS dari degradasi. Saat temuan studi Mamat Rahmat et al. (2006) menunjukkan bahwa program Integrated Conservation and Development Project TNKS (ICDP) mampu mengubah ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan; sebaliknya, studi Hidayat et al. (2011) justru menilai proyek yang didanai oleh World Bank itu gagal; sebab terdapat perbedaan kepentingan antara masyarakat yang hidup di zona penyangga dan ICDP. Studi-studi itu sama sekali tidak menyentuh isu perempuan dalam tata kelola hutan konservasi, dan konflik perhutanan. Beberapa studi di atas menggambarkan bahwa diskursus tata kelola taman nasional maupun taman wisata alam masih bernuanssa maskulin. Temuan studi di atas menjadi bukti tentang realita ketidakhadiran perempuan dan isu perempuan pada tata kelola hutan. Relasi sosial ekonomi serta politik kebijakan secara timbal balik antara masyarakat dan konservasi
71
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
hutan dikemas dalam kerangka yang menisbikan keterlibatan perempuan. Konflik tata kelola yang tercatat di teritori taman nasional maupun taman wisata alam terangkai secara sistematis dalam bentuk orkestra diskursus maskulin. Sesuai dengan konteks artikel ini, di bawah ini adalah pembahasan konflik Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Kabupaten Rejang Lebong dan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba di Kabupaten Kepahiang. Area hutan proteksi itu merupakan taman nasional Indonesia terluas di Bagian Sumatra, dan lokasinya mencakup empat provinsi (Sumatra Selatan, Jambi, Bengkulu, Sumatra Barat). Kedua desa itu adalah dua contoh menarik untuk menggambarkan praktik bagus tentang kepemimpinan perempuan; mereka adalah perempuan pemimpin yang terlibat dalam tata kelola dari desa yang berbatasan dengan hutan taman nasional.
Metode Penelitian Politik Ekologi Feminis Metode penelitian yang diadopsi dalam riset ini adalah politik ekologi feminis (feminist political ecology/ FPE). Semula, politik ekologi dikembangkan oleh Watt (dalam Elmhirst 2011, h. 129) untuk kebutuhan studi kemiskinan, keadilan sosial, politik atas degradasi lingkungan dan konservasi, termasuk akumulasi penurunan kualitas lingkungan akibat sistem neoliberalisme, bahkan isu penyempitan dan perampasan lahan. Kerangka politik ekologi memfokuskan pada relasi alam dan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan akses dan kontrol, kesehatan lingkungan, mata pencaharian, dan konflik lingkungan. Pendekatan politik ekologi, semakin menguat ketika peneliti feminis, atau pegiat studi feminis mendorong masuknya dimensi keadilan gender ke arah inti utama metode politik ekologi. Terjadilah saling kelindan/intersectionality antara tujuan, strategi, dan praktik feminis dengan kerangka ekologi politik baik menyangkut dimensi pengetahuan, kekuasaan dan praktik. Kerangka metode penelitian yang komprehensif untuk studi lingkungan, Feminist Political Ecology (FPE), terus berkembang sejak karya Rocheleau, ThomasSlayter & Wangari (1996) dipublikasikan. FPE menjadi suatu metode yang kuat dan mulai banyak digunakan pada studi gender dan lingkungan. Dengan menempatkan aspek keterlibatan perempuan sebagai subjek politik, agen perubahan lingkungan, penjaga ataupun pencetus pengetahuan tentang lingkungan, maka kerangka FPE 72
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
menjadi model studi revolusioner dalam ekologi politik (Rocheleau, ThomasSlayter & Wangari 1996; Sundberg 2015). Menurut FPE, keragaman gender dan hubungan gender ditentukan oleh hubungan ekologi politik yang dieksplorasi melalui 3 bidang utama: (1) pengetahuan dan praktik lingkungan gender; (2) hak-hak alami gender dan kerentanan yang tidak setara terhadap perubahan lingkungan; dan (3) aktivisme dan organisasi lingkungan gender (Sundberg 2015). Berdasarkan penelusuran beberapa studi tentang perempuan dan ekologi, metode FPE makin banyak digunakan dan makin berkembang. Pengembangan metodologi FPE dapat dilacak melalui studi Elmhirst (2011) dan Sundberg (2015) yang menjelalskan diskursus FPE. Studi Sreerekha (2018) termasuk studi yang bagus yang menjelaskan FPE sebagai diskursus alternatif untuk merancang pembangunan. Sedangkan aplikasi studi FPE dapat dilihat pada studi Sultana (2007) yang menggunakan FPE untuk mengurai isu air untuk kebutuhan rumah tangga dan sanitasi; Evans et.al (2017) menggunakan FPE untuk menganalisis keterlibatan perempuan pada perhutanan sosial di Nicaraqua; Kimura dan Katano (2014) menggunakan FPE untuk menganalisis isu pertanian organik. Dalam pengembangan diskursusnya nya, studi Nightingale (2011) membantu memahami FPE dalam konteks interseksionalitasnya dengan produksi material, kelas, kasta, dan lingkungan di Nepal. Studi Nightingale dekat dengan studi Gradskova dan Morell (2019) yang memperlihatkan perjumpaan metode FPE dengan feminis poskolonialisme. Studi Elmhirst (2011b) mengembangkan FPE untuk menjelaskan kasus-kasus migrasi di Lampung dalam rangka akses sumber daya. Selain studi-studi di atas, dari studi Mollet dan Faria (2013) kita bisa memahami problematika ketika isu gender di libatkan pada FPE. Nightingale dan Rankin (2014) memberi penguatan atas FPE sebagai konteks transformasi politik dalam studi lingkungan dan pembangunan. Velicu (2018), dan Kubisa dan Wojnicka (2018) sama-sama membuktikan bahwa FPE merupakan suatu gerakan intelektual feminis dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan lingkungan di Eropa Timur dan Tengah. Studi ini menggunakan metode etnografi feminis. Penulis menggunakan metode etnografi feminis untuk mengungkap pengalaman hidup perempuan, konflik, dan tata kelola sumber daya alam. Pengalaman itu menunjukkan bahwa etnografi feminis adalah cara terbaik untuk mendeskripsikan perilaku
73
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
manusia terlengkap, serta kreasi dari fenomena sosial.1 Sementara kerangka FPE menemukan ketidakpedulian terhadap pengalaman perempuan sebagai salah satu kunci dari pengabaian pengetahuan. Di sinilah perjumpaan ilmiah atau scientific encounter dari kedua metode itu. Etnografi identik dengan produksi pengetahuan (Cerwonka & Malkki dalam Pole 2005; Neuman 2006; Atkinson 2010; Denzin & Lincoln 2010). Selama proses studi lapangan itu, etnografi digunakan untuk mengumpulkan pengetahuan, yang bukan saja didasarkan pada pengalaman rasional, tetapi juga pengalaman bermuatan emosi. Artinya, dialog dalam keterkaitan emosional adalah fase memproduksi pengetahuan dan itu diakui sebagai hal yang ilmiah dalam studi feminis humaniora. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi non-partisipan, live-in pendek, diskusi kelompok terfokus bersama dengan metode diorama dan permainan peran. Kedua metode terakhir itu membantu untuk memperoleh informasi tentang perumusan dan redefinisi konsep konservasi, dan keterlibatan perempuan pada penyelesaian konflik. Makna agensi perempuan, termasuk kepemimpinan perempuan, lebih mudah ditangkap dan dipahami. Taktik metode feminis itu menurut Jones (2010, h. 35) memungkinkan peneliti untuk menjalankan studinya secara fleksibel; lebih berwujud toolbox dan bukan suatu pendekatan tunggal dari alat pengumpulan data. Intinya yang dibutuhkan adalah instrumen untuk mengungkap perjuangan hidup perempuan sehari-hari merebut ruang (everyday realities for women). Metode FPE menjadikan narasi lapangan adalah bukti dari pengalaman perempuan, yang menunjukkan pengetahuan perempuan tentang tidak berjalannya keadilan gender (gender justice) dalam sistem lingkungan hidup. Kerangka analisis FPE dari tiga unsur yang disebutkan di atas, juga menunjukkan fenomena intersectionality atas jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, dan kekuasaan atas tanah dan sumber daya hutan (Rocheleau, Thomas-Slayter & Wangari 1996; Elmhirst 2011a; Sundberg 2015).
Deskripsi tentang Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba: Sejarah, Karakteristik, dan relasinya dengan Manusia Alokasi luasan hutan konservasi di Indonesia meliputi 18 juta hektar; sedangkan hutan lindung seluas 30 juta hektar (Hidayat et al. 2011, h. 37). 74
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
TNKS adalah salah satu dari 51 hutan konservasi yang ada di Indonesia. TNKS ditetapkan sebagai kawasan konservasi melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 192/Kpts-II/1996, terbesar di Pulau Sumatra, luasnya mencapai 13.750 kilometer persegi, dan secara geografis menempati empat wilayah administratif provinsi, yaitu Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan dan Bengkulu (Wikipedia Indonesia).2 Mengingat besarnya ancaman konservasi, pada tahun 2004, UNESCO memasukkan TNKS bersama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagai Situs Warisan Dunia yang berstatus terancam (in dangered rainforest) (Hendry 2017). Sejak ditetapkan sebagai taman nasional, TNKS menjadi lokasi dari berbagai konflik. Riset dari Novra, Syaukat, Sanim dan Sinaga (2007) menyebutkan adanya konflik tata kelola hutan lindung, antara otoritas daerah dan pusat. Temuan studi target Pemda untuk mendorong pembangunan berkelanjutan yang mencakup: (a) pertumbuhan ekonomi, menyetarakan distribusi ekonomi antar sektor, menurunkan pengangguran; (b) partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya; (c) mengurangi tekanan perusakan sumber daya lahan, hutan, dan degradasi taman nasional, tampaknya tidak tercapai. Studi TNKS di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi oleh Novra dan Farhan (2009) menemukan bahwa ekonomi penduduk di delapan dari 146 desa penyangga TNKS bertumpu pada ekonomi nonkayu. Sebenarnya, aktivitas nonkayu itu merupakan proteksi TNKS dari kerusakan. Masalahnya, riset itu tidak membahas akses dan partisipasi perempuan warga desa. Ada suatu studi evaluasi tentang program Integrated Conservation and Development Project TNKS (ICDP) yang menarik dari Rahmat et al. (2006); dan Hidayat et al. (2011). Studi-studi itu menunjukkan bahwa ICDP belum mampu menurunkan ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam di TNKS. Mega proyek ICDP yang didanai oleh World Bank dinilai gagal. Ada konflik kepentingan antara masyarakat dan agenda taman nasional dari negara. Komunitas lokal tidak terlibat dalam pengembangan skema TNKS, sehingga ada kesenjangan yang tak terjembatani antara proyek TNKS dan kepentingan masyarakat yang hidup di area zona penyangga. Desain yang canggih dari pemerintah pusat tidak selaras dengan kepentingan pemerintah daerah; agenda taman nasional sebagai kawasan konservasi tidak mampu dilaksanakan oleh Pemda karena keterbatasan keuangan dan sumber daya manusia (Hidayat et al. 2011). 75
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Pada konteks konflik kepentingan, dari argumentasi luas lahan, kawasan hutan di Provinsi Bengkulu sekitar 924.631 hektar3, sekitar 44,59 persennya atau 412.324,6 hektar adalah wilayah taman nasional, TNBBS dan TNKS. Konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Pemda ditandai oleh makin sempitnya luas kawasan produktif yang bisa dipakai untuk usaha masyarakat (Hidayat 2011). Selanjutnya, studi Hendrastiti dan Santoso (2009) memperlihatkan adanya konflik kepentingan di kawasan TNKS. Ada kebijakan taman nasional tidak ramah terhadap pelestarian hutan. Di samping itu, otonomi daerah, kelestarian hutan, dan keselamatan penduduk tidak saling bertemu dalam tata kelola TNKS. Konflik antara masyarakat adat dan kebijakan tata kelola sumber daya alam benar-benar pecah di lapangan. Oleh otoritas negara, rakyat “dituduh” merambah dan mencuri kayu. Di internal masyarakat sendiri, pergeseran sosial dari kebutuhan nonkayu ke kayu. Hal ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan ada permintaan “pasar dari luar”. Studi Hendrastiti dan Santoso (2009, hh. 247-288) menyebutkan bahwa kerusakan taman nasional adalah bagian dari proses pemiskinan masyarakat, dan menegasikan posisi kelompok perempuan. Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan kelestarian hutan, dan rekonsiliasi konflik adalah fakta yang tak terdokumentasikan. Akses perempuan terhadap hutan lindung dan hutan konservasi termasuk rendah. Secara tradisional, perempuan turut mengelola dan memelihara hutan. Relasi hutan dan perempuan adalah relasi yang hangat dan resiprokal, di sana ada keterikatan pangan yang bermuatan kelestarian. Pada lokasi studi yang kedua, TWA Bukit Kaba, Kabawetan, memiliki sejarah panjang konflik tata kelola sejak masa kolonial Belanda (Kusdinar 2017). Dari penelusuran panjang yang dilakukan Akar Foundation, tercatat beberapa episode konflik di TWA Bukit Kaba. Pada 1854 tercatat adanya ekspansi Pemerintah Kolonial Belanda ke berbagai pelosok pedalaman Indonesia, termasuk daerah subur di Kabawetan. Dengan mengerahkan buruh dari Jawa Barat (etnis Sunda), dan orang Jawa, Pemerintah memberi izin pembukaan maskapai perkebunan kopi dan teh dengan nama N.V land Bovus Maatschaapy pada tahun 1908. Sebenarnya operasi tata kelola perkebunan di kaki Bukit Kaba ini tidak begitu cemerlang. Antara tahun 1908 – 1919 pengusahaan perkebunan
76
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
sangat “tertutup” dari warga asli (indigenous). Sampai pada tahun 1942, karena adanya instabilitas politik, kebun tak terurus. Transisi politik ketika itu sangat memengaruhi bisnis teh di Kabawetan, yang membawa konsekuensi alih mata pencarian bagi sebagian buruh perkebunan. Keluarga buruh mulai membuka lahan untuk berkebun alternatif, khususnya kopi. Nasionalisasi perkebunan pada tahun 1950 belum menjadi isu penting. Baru pada tahun 1954/1955 proyek transmigrasi mulai masuk kawasan Kabawetan. Saat itulah konflik lahan pertama mulai muncul, di mana ada konflik tripartit antara keluarga buruh/eks kuli perkebunan Belanda, warga transmigran, dan warga asli dengan warisan tanah margo. Di pihak pemerintah, mereka menerima konsesi tanah perkebunan dari tanah perkebunan orderneming ke tanah negara pasca kemerdekaan.4 Periode kedua konflik tata kelola lahan terjadi pada saat perusahaan mulai memperluas lahan perkebunannya, merangsek masuk lahan milik masyarakat asli/ margo. Episode konflik ini makin tajam sejak terjadi tumpang tindih kelola antara tanah margo diklaim juga oleh negara sebagai kawasan Hutan Lindung Bukit Kaba, melalui regulasi RB No. 4 yang ditetapkan pada 8 September 1962. Menurut catatan Akar Foundation, pengukuhan lahan itu sebagai milik negara ada pada SK Menteri kehutanan No.166/Kpts11/86 yang ditetapkan pada 29 Mei 1986 tentang Perubahan Status Hutan Lindung Bukit Kaba menjadi TWA cq Taman Wisata. Peraturan kelola TWA diperkuat dengan SK Menteri Kehutanan No.784/Men-Hut-11/2012 tentang penunjukan terhadap kawasan TWA Bukit Kaba pada tanggal 27 Desember 2014. Sekali lagi negara memperkuat posisinya pada 23 Mei 2014 melalui SK No.3981/Men-Hut-VII.KUH/2014, yaitu aturan kelola tentang penetapan kawasan hutan TWA Bukit Kaba (Kusdinar 2017) Periode konflik ketiga adalah tahun 2007. Isu konflik sejak tahun 2007 itu melibatkan masyarakat transmigrasi di Sengkuang, Kecamatan Kabawetan melawan TWA Bukit Kaba (Kusdinar 2017). Ada delapan desa yang terlibat dalam konflik tata kelola TWA itu. Tumpang tindih regulasi tata kelola TWA menyebabkan posisi masyarakat ditempatkan pada pihak yang merambah. Mereka berhadapan dengan negara yang diwakili oleh BKSDA. Pada konflik ini, masyarakat harus meninggalkan usaha kebun di wilayah yang diklaim oleh TWA; meski sebenarnya masyarakat bertanam di atas tanah margo. Puncak konflik terjadi pada tahun 2011, yaitu pengusiran warga dari lahan TWA.
77
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Konflik tidak berhenti, sampai pada tahun 2016 terbit surat edaran SE No.158/KBWT/IX/2016 yang berisi himbauan kepada warga untuk tidak menerima/ membeli hasil pertanian dan perkebunan dari hutan TWA. Efek SE tersebut diperparah dengan insiden pada Februari tahun 2017, dimana seorang warga Desa Bandung Jaya yang berkebun di tanah margo ditangkap polisi dan ditahan di Polsek setempat selama tiga hari. Adalah Ibu Kades Bandung Jaya yang berhasil mengeluarkan warga desa dari tahanan Polsek (wawancara September 2019; Kusdinar 2017). Di sinilah, perjumpaan isu konflik dan kepemimpinan perempuan. Inti konflik sebenarnya sangat rumit. Kalau disederhanakan, ada multipihak dalam konflik yang akut, yaitu (1) warga transmigran, (2) warga asli/ margo, (3) negara dengan TWA dan KLHK-nya; dan (4) penegasan konsesi peninggalan onderneming kolonial dan metamorfosis modal besar asing, serta (5) Pemerintah Daerah Kabupaten Kepahiang.
Analisis Politik Ekologi Feminis Studi agensi perempuan di kawasan TNKS ini dilakukan sejak tahun 2018. Seperti gambaran di atas, kebanyakan penelitian tentang TNKS didominasi oleh studi hutan konservasi dan hutan lindung secara fisik. Kalaupun ada penelitian sosial ekonomi, maka penggunaan isu interseksionalitas perempuan (FPE) sangat jarang dilakukan. Studi keagenan yang menempatkan perempuan sebagai subjek dan agensi hampir tidak ditemukan dalam khasanah daftar penelitian TNKS. Hasil studi FPE tentang agensi perempuan dalam penyelesaian konflik dan konservasi ini mengisi kesenjangan dalam empat ruang. Pertama menutup kesenjangan teori tentang perempuan dalam konflik hutan; dan kedua, mengisi kesenjangan perempuan sebagai agensi dan subjek pengelolaan hutan, serta menempatkan perempuan pemimpin sebagai subjek TNKS. Ketiga, mengisi kesenjangan metodologi; mengembangkan FPE pada konteks taman nasional. Sumbangan FPE untuk pendekatan “post” dalam memandang pengelolaan taman nasional, akan berguna untuk pengelolaan ekosistem taman nasional, sambil menerima pelibatan kelompok terpuruk. Keempat, praktik kesetaraan dalam aktivisme pembangunan desa.
78
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
Pengalaman Perempuan Mengatasi Konflik Tata Kelola Hutan Narasi kecil tentang agensi perempuan TNKS, “diwakili” oleh kehadiran perempuan sebagai kepala desa di Desa Pal 8, Kecamatan Bermani Ulu Raya, Kabupaten Rejang Lebong. Kemenangan Ibu Kepala Desa (selanjutnya disebut Ibu Kades) dalam kontestasi pemilihan kepala desa bukan kejadian yang mudah. Untuk menelusuri proses kemenangannya dalam kontestasi politik desa itu, maka seperti pada perempuan pemimpin lainnya, kita perlu meninjau balik modal sosial yang telah dibangun sejak lama. Dibutuhkan satu masa generasi dalam melacak kerja-kerja sosial antar generasi yang menjadi investasi sosial Ibu Kades dan menjadi modal sosial ketika maju pada kontestasi pemilihan Kepala Desa Pal 8. Adalah ibu Nur – ibu dari Ibu Kades, yang sejak migrasi ke Desa Pal 8 berkomitmen melakukan aktivisme di sektar desa dan kecamatan. Pemosisian yang dicapai antara lain sebagai relawan Pos KB dan Posyandu desa maupun kecamatan. Ia juga tercatat sebagai aktivis PKK desa dan kecamatan, selain mendapat posisi formal di kantor desa sebagai Kepala Urusan juga pernah dijabatnya. Sehari-hari, di luar jabatan resminya, ibu Nur sejak lama menolong orang lain, membantu yang kekurangan tanpa pamrih. Secara umum, aktivisme ibu Nur menyentuh kesehatan reproduksi, isu yang sangat penting dan kritis di desa. Ini membuat figurnya dikenal warga. Ibu Nur selalu memberi pemahaman kepada putrinya, bahwa rajin menolong orang itu tidak ada ruginya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa investasi sosialnya akan berguna untuk kemenangan pada kontestasi pemilihan kepala desa bagi putrinya (wawancara Juni 2018).5 Ibu Kades memenangkan kontestasi pemilihan kepala desa dengan mengalahkan lawan politiknya yang kuat, yaitu petahana – bermukim di Dusun 1, calon Kades kedua dari Dusun 1, dan dia merupakan satu-satunya perempuan penantang dalam pemilihan kepala desa dari Dusun 3. Meski dia adalah satu-satunya calon kades yang tidak berkampanye secara terbuka, dan tidak membuat alat peraga kampanye; dia punya cara sendiri. Dia memilih untuk melakukan “pendekatan personal”, begitu istilahnya. Dia rajin mendatangi warga satu persatu, mendatangi orang-orang baik yang pernah ditolongnya; dimulai dari komunitas sesama etnis, kemudian meluas ke seluruh warga asli dan komunitas migran yang berasal dari berbagai etnis. Dia menggunakan cara persuasif, menghindari cara agresif, apalagi menawarkan uang, itu sama sekali tidak dilakukan.
79
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Sejak memenangkan kontestasi politik dalam pemilihan kepala desa, dan menjabat sebagai Ibu Kades, dia memegang prinsip untuk tidak berubah. Ibu Kades tetap membantu masyarakat seperti biasanya, misalnya pada saat warga punya hajat, dia datang memasak bersama ibu-ibu yang lain, bukan datang duduk di kursi dan berlaku ala pejabat. Ibu Kades masuk tenda dapur, mengupas bawang dan memotong sayuran yang lain, dan bersendau gurau seperti layaknya perempuan desa yang datang “rewang” (observasi 2018 & 2019). Narasi kepemimpinan perempuan dari desa Bandung Jaya sama menarik nya dengan desa Pal 8 di atas. Pejuang “Tanah Ibu”, begitu Kusdinar (2017) dari Akar Foundation memulai narasi tentang kepemimpinan perempuan dalam mengurai konflik tenurial dan konflik tata kelola hutan. Sebagai perempuan migran generasi ketiga dari Jawa ke daerah Sengkuang, Kabupaten Kapahiang yang dibawa masuk keluarganya melalui program transmigrasi di masa Orde Lama, dia adalah diaspora Jawa. Semua falsafah hidupnya tetap menganut transendensi Jawa, pengetahuan itu terutama diserap dari ibunya dan relasi keluarganya sendiri. Pengalaman hidupnya langsung berhadapan dengan isu perkawinan anak, kekerasan terhadap perempuan berbasis ketidakadilan gender, poligami, dan keterbatasan akses. Dari berbagai peristiwa yang pernah dialami dan dilihatnya, ia memahami bahwa ruang publik bagi perempuan sangat sempit. Ruang publik yang sempit merupakan lahan yang subur untuk berkembangnya diskriminasi kepada perempuan. Ibu Kades sejak lama merasakan adanya ketidakadilan atas hak hidup, akses, dan kontrol bagi perempuan, terutama di ranah kebijakan publik (wawancara September 2019). Segera setelah terpilih, dia langsung menghadapi pekerjaan berat yaitu menyelesaikan konflik hutan. Tantangan resolusi konflik yang diletakkan di mejanya ketika itu adalah (1) bagaimana masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal, ruang hidup, dan keamanan tetap terakomodasi. Hidup rakyatnya adalah tugas utama pemimpin desa. (2) Bagaimana kawasan hutan bisa menjadi area TWA yang juga memberi kehidupan yang layak bagi warga delapan desa. (3) Bagaimana otoritas sekitar hutan tidak kehilangan muka dan tetap bisa melanjutkan tugasnya menjaga tanah negara. (4) Mengatur bagaimana pihak-pihak eksternal yang ingin berinvestasi bisa berjalan sambil menjaga keberlanjutan lingkungan dan memberi hidup kepada warga (wawancara September 2019). 80
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
Pengalaman perempuan pemimpin di desa dalam menyelesaikan konflik tidak bisa lepas dari pengalaman kontestasi pada politik lokal. Pengalaman mengumpulkan modal sosial, dan menjadikannya sebagai investasi politik adalah kunci dari pengetahuannya mengurai konflik. Untuk terlibat dalam arus utama penyelesaian konflik, posisi perempuan pada otoritas formal di desa sangat penting. Otoritas yang ada di genggaman itulah yang menjadi “senjata” perempuan pemimpin untuk memainkan peran dan strategi mengatasi segala desakan, politik perebutan lahan, dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Pengetahuan mereka dalam memelihara alam pastilah menjadi dasar argumentasi para perempuan pemimpin menjalankan negosiasi dan lobi pada ruang kontestasi konflik. Pengalaman itu sama beratnya dengan yang dialami oleh komunitas perempuan di America Latin, yang digambarkan oleh Bose et.al (2017).
Pengetahuan, Pemahaman, dan Praktik Kelestarian Ekologis Narasi tentang pengetahuan, pemahaman dan praktik kelestarian ekologis di desa Pal 8 menunjukkan bahwa Ibu Kades Pal 8 menggunakan ketiga aspek itu untuk membangun desa. Dengan otoritas yang ada di tangannya dan adanya skema baru di desa berupa Alokasi Dana Desa (ADD), maka dia membangun kantor desa, jalan usaha tani, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), embung desa, dan lapangan bola kaki. Saat fieldwork tahun 2018, program bedah rumah dan renovasi rumah bagi keluarga kurang mampu sedang berjalan. Awalnya ada dua rumah yang dibantu presiden, namun beberapa warga merasa iri dan ingin mendapat program bedah dan renovasi rumah. Ibu Kades mengusahakan agar alokasi ADD dapat dipakai untuk Program Bedah dan Renovasi Rumah; hasilnya ada 39 keluarga yang mendapat bantuan program tersebut. Atas keberhasilannya itu, Ibu Kades termasuk salah satu kades dari Kabupaten Rejang Lebong yang diundang dalam pertemuan sosialisasi dana desa oleh presiden. Ketika ditanya, infrastruktur apalagi yang ingin diadakan di desa, Ibu Kades menyebut ingin punya bangunan serba guna yang dapat dipergunakan untuk aktivitas masyarakat Desa Pal 8. Letak Desa Pal 8 berada di tepi TNKS, dan berbatasan langsung dengan Hutan Wisata Madapi (Mahoni, Damar, Pinus). Sebagai teritori yang termasuk dalam hiruk pikuk konflik tata kelola hutan sejak lama, maka pemosisian komunitas perempuan pasti menjadi bagiannya, dan Ibu Kades adalah salah
81
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
satu kunci dari otoritas lokal. Ada perubahan regulasi nasional UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang memungkinkan warga memanfaatkan hutan secara berkeadilan dan berkelanjutan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial menguatkan regulasi tentang akses warga sekitar hutan untuk pengelolaan kawasan hutan. Merespons peluang terbukanya desa menjadi desa wanatani (agroforestry) bagi desa-desa kawasan penyangga hutan warisan dunia, komunitas perempuan di Pal 8 membentuk Komunitas Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) pada tahun 2017. Ibu Kades menjadi otoritas lokal yang mengakselerasi pembentukan gerakan perempuan lokal untuk memanfaatkan dan mengelola kawasan TNKS. Di KPPL posisi Ibu Kades adalah anggota. Dengan diskresinya sebagai anggota dalam KPPL, maka Ibu Kades membuka ruang bagi perempuan lain untuk menjadi pemimpin. KPPL didukung oleh Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD) Rejang Lebong, NTFP EP Indonesia, LiVe, dan BB TNKS. Di desa Bandung Jaya, semua tantangan konflik TWA Bukit Kaba itu dijawab oleh Ibu Kades Bandung Jaya. Salah satu kunci kekuatannya adalah menjalankan “ide partisipasi”. Partisipasi adalah instrumen yang ampuh dalam menyelesaikan konflik multipihak. Dalam praktik partisipasi, ia selalu mendatangkan warga, perangkat, filantropis lokal, dan pihak eksternal yang berkepentingan untuk terlibat. Perempuan menjadi porsi perhatian terbesarnya, dalam setiap pertemuan mereka selalu diajak dan memberi usulan. Setidaknya, Ibu Kades telah memberi pelajaran kepada kita tentang penyelesaian konflik yang partisipatif dan pembangunan desa partisipatif, dan mendukung rencana otoritas nasional.6 Instrumen kedua yang dijalankan Ibu Kades dalam menjalankan kepemimpinannya adalah menggunakan identitas perempuan. Kesadaran feminisme yang ditampilkan adalah pemajuan pembangunan desa melalui, pertama, pengorganisasian kelompok perempuan. Melalui PKK, arisan, pengajian, kelompok tani, Ibu Kades menjawab kerentanan perempuan di ruang publik. Ia menjamin meluaskan ruang publik bagi perempuan di berbagai ruang yang mereka bisa terlibat. Kelompok tani memberi ruang perempuan desa untuk menjalankan wanatani (agroforestry), memiliki demplot (demonstration plot) buah sebagai alternatif tanaman utama kopi dan tanaman kayu lain. Kelompok PKK bisa mengisi kegiatan tanaman
82
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
obat sebagai pemberdayaan ibu, sebab tak perlu pergi jauh dari rumah (wawancara September 2019). Pengorganisasian perempuan ini adalah langkah melampaui diskursus kepemimpinan yang biasa, sebab di masa konflik perempuan membutuhkan kekuatan dan keberdayaan. Di masa aparat keamanan mengancam keamanan hidup warga dari delapan desa sekitar TWA, kelompok perempuan juga bukan kelompok yang aman dari pengejaran. Narasi besar konflik memang tidak mencatat keterkaitan perempuan dalam bahaya tetapi dari narasi ibu Kades kita bisa mengetahui bahwa ancaman aparat keamanan menimpa semua warga, termasuk perempuan dan anakanak. Anggota arisan, kelompok tani, dan pengajian pun kena ancaman. Di sinilah isu kesadaran feminisme menjadi inti dan urup atau lentera dari kepemimpinan perempuan. Narasi pengalaman itu juga memperlihatkan praktik perjuangan perempuan pemimpin untuk kesetaraan atas akses sumber daya alam, dan respons atas kerentanan masyarakat lokal, terutama perempuan terhadap perubahan lingkungan. Refleksi dari aktivisme mereka bisa kita ukur dari Gambar 1 di atas, di mana tingkatan gender contraints dan gender and decision making berada pada tingkat meso. Pencapaian ini tentu ada kaitannya dengan posisi formal mereka sebagai kepala desa. Komparasi dari studi Evans et al. (2017) dan Bose et al. (2017) di berbagai negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika bagi studi FPE di desa Pal 8 dan desa Bandung Jaya menunjukkan bahwa posisi kepemimpinan perempuan di otoritas formal sungguh strategis. Di tangan para pemimpin lokal inilah tata kelola dan sustainabilitas lingkungan, serta konservasi bisa dititipkan. Agenda pembangunan bisa dimaksimalkan dan inklusi untuk keselamatan dan perlindungan warga. Sementara penyelesaian konflik tenurial dapat dipecahkan dengan partisipatif dan transparan.
Praktik Kesetaraan dalam Aktivisme Pembangunan Desa Sejarah pembentukan Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) di desa Pal 8 adalah fondasi penting dari kerangka kerja FPE. Awalnya, penggagas organisasi dan perempuan lain diundang oleh LSM LiVe untuk mengambil bagian dalam pelatihan konservasi. Peserta pelatihan konservasi itu kemudian mulai bergerak untuk melestarikan hutan dari kerusakan. Mereka menemukan bentuk ruang pemberdayaan/ruang publik baru yang
83
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
menjadi peluang bagi perempuan untuk memperkuat diri. Pelatihan itu merupakan perjumpaan antara visi mereka dan pengetahuan tentang hak untuk merawat hutan, melalui pemanfaatan dan penanaman tanaman nonkayu, lebah madu, dan kecombrang. Tahap pengorganisasian perempuan relatif tidak mengalami hambatan. Keberadaan modal sosial yang besar bagi KPPL menjadi kekuatan pengorganisasian mereka. Kunci modal sosial adalah dukungan penuh dari otoritas lokal yaitu kepala desa. Untuk konteks Indonesia, dukungan dari kepala desa adalah pengembangan utama untuk pengorganisasian komunitas perempuan. Analisis konfigurasi politik lokal di Desa Pal 8 mudah ditebak, karena kepala desa adalah perempuan. Pertama, kepemimpinan perempuan di tingkat lokal adalah kunci, dan modal sosial untuk gerakan konservasi. Kepemimpinan perempuan juga merupakan perekat solidaritas sosial di antara warga negara, terutama sesama perempuan. Kedua, kepala desa menjadi anggota KPPL, jadi tidak ada keraguan tentang komitmen, ideologi, perspektif dan kepentingan yang sama. Kepala desa memiliki kontribusi untuk memperkuat, memobilisasi dan memperluas dukungan dari jalur kelembagaan. Kekuatan ketiga, adalah bahwa manajemen KPPL terpisah dari otoritas desa jadi organisasi kecil ini berkembang pesat. Di desa Bandung Jaya aktivisme komunitas perempuan lebih kuat lagi. Negosiasi adalah strategi yang selalu membawa keberuntungan; ia adalah senjata yang ampuh untuk perempuan pemimpin. Berdasarkan catatan lapangan negosiasi adalah jurus pemimpin feminis untuk memenangkan pertempuran. Selain berhasil menggertak lawan dengan berjanji mendatangkan seribu orang warga untuk memprotes keganasan perangkat keamanan, ternyata kepala desa menang dan berhasil menghentikan strategi pengejaran dan penangkapan warga. Sebagai gantinya, dalam ruang negosiasi lainnya, Ibu Kades menyepakati pengaturan para warga yang berkebun di sekitar tapal batas TWA, tanah margo, dan kebun rakyat. Setidaknya dia mengerti bahwa kesepakatan itu sama sekali bukan merupakan kekalahan dalam perundingan, melainkan untuk menjaga status dan fungsi ekologis hutan. Masyarakat masih bisa berkebun, sebab tanaman keras dan kayu harus dirawat dan dipelihara (Catatan Kusdinar 2017 & wawancara September 2019).
84
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
Desain pembangunan desa pun dirancang di luar kebiasaan/arus utama, misalnya sebuah desain tentang desa bersih. Tak kalah akal dalam mengedukasi orang dewasa tentang kebersihan, yang biasanya tidak dipedulikan, Ibu Kades mengajak anak-anak seumuran sekolah dasar untuk berkegiatan memungut sampah plastik di sepanjang jalan utama desa setiap hari minggu pagi. Sebagai gantinya anak-anak diajak pergi berenang atau pergi ke kota untuk menonton acara tertentu atau pergi piknik. Program yang mulai berjalan sejak tahun 2017 ini berhasil mengubah wajah desa, jalan utama lebih bersih, kelompok ibu-ibu juga mengikuti kegiatan anakanak mereka. Bahkan kelompok ibu-ibu sering melakukan gotong royong memungut sampah plastik di hari Kamis/hari pasar. Budaya bersih sudah menjadi bagian hidup publik warga desa. Inisiasi lain yang menarik misalnya memikirkan bersama tentang pengelolaan sampah pembalut dan pampers. Kemudian ada program kebersihan, kesehatan, dan menjaga ketersediaan air bersih dan sanitasi. Program Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) senilai 50 juta rupiah, bisa diatasi lewat swadaya warga dengan iuran senilai 500 ribu rupiah per rumah. Hasilnya, mereka memiliki bak penampung air di setiap rumah. Untuk menjaga keberlanjutannya, bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ibu Kades menyusun Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan air secara partisipatif di tahun 2017. Selain itu, Perdes tentang toilet sehat (leher angsa) juga ada, dan telah disusun pada tahun 2016 sehingga tidak ada lagi warga yang tidak memiliki toilet sendiri. Untuk prestasi ini desa meraih juara se-Provinsi Bengkulu dan mendapat uang pembinaan sebesar 10 juta rupiah. Keterlibatan daya (Power engagement) dari perempuan pemimpin terbukti dapat mengangkat isu-isu penting dan kritis desa (seperti kesejahteraan, kesehatan, air, sampah), serta mengembangkan pengelolaan dana desa partisipatif dan transparan, mengembangkan desa wisata dan BUMDes. Perubahan hidup warga, khususnya perempuan menjadi pegangan dalam memandu jalan kepemimpinan perempuan. Perempuan pemimpin lokal membuktikan “selalu ada jalan”. Temuan Nightingale dan Rankin (2014) bisa dijadikan rujukan dalam melihat aktivisme dua perempuan pemimpin desa itu. Keduanya memakai strategi mengubah “permainan” politik (transformasi politik) dalam menyelamatkan lingkungan. Tumpuan inovasi dan inisiatif asli dari pikiran,
85
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
pengalaman dan pengetahuan mereka muncul begitu banyak agenda pembangunan yang mengagumkan. Bila dilihat lebih teliti, aktivisme yang mereka pilih menunjukkan suatu sketsa interseksionalitas, bukan hanya gender, melainkan kelas sosial-ekonomi, usia, kultur, praktik agama, dan politik. Kerangka studi FPE dari Rocheleau, Thomas-Slayter & Wangari (1996) dan Sundberg (2015) telah memberi ruang “baca” dalam melihat keterlibatan perempuan pemimpin desa untuk menjaga lingkungan, dan memajukan desa. Perempuan pemimpin itu telah menembus batas; dan telah memperlihatkan tata kelola yang mutakhir, yaitu transparansi, inklusi, partisipatif, interseksional, dan setara.
Penutup Perempuan pemimpin lokal memilih melawan ketidakadilan yang merugikan perempuan dengan strategi tidak konfrontatif. Mereka mengerti adanya bahasa dominasi maskulinitas yang perlu diatasi, berhadapan langsung dan melawan adalah cara yang tidak menguntungkan. Intuisi tak selamanya tidak rasional dan merugikan. Sebagai gantinya mereka melakukan berbagai macam ajakan partisipasi kepada elite dan warga lakilaki, maupun pemikiran maskulin yang termanifestasi dalam perilaku seharihari. Keputusan partisipatif terbukti memiliki daya kuasa yang kuat, semua orang jadi terlibat dan terikat. Kesetaraan yang terjadi di luar regulasi formal adalah berkat perjuangan aktivisme perempuan pemimpin. Jadi kesetaraan harian itulah yang dibangun oleh perempuan pemimpin di tingkat lokal. Mereka memegang metode kunci tentang bagaimana menjalankan “power within” dalam memimpin. Pengetahuan perempuan mengatasi konflik hutan dibangun atas dasar pengalaman sehari-hari untuk kelestarian ekologis. Pengetahuan akan kelestarian ekologis itulah yang mewarnai praktik berbagi kekuasaan, mengakhiri konflik hutan dan merawat alam bersama-sama, serta mencari solusi memenangkan berbagai kepentingan. Desa-desa yang diakui memiliki praktik baik secara lokal dan nasional adalah desa yang berhasil membangun akuntabilitas publik. Predikat itu adalah pertaruhan dari kepemimpinan perempuan lokal, baik secara individu maupun perempuan lain. Dalam bahasa narasi besar, fenomena ini disebut sebagai diskursus feminisme. 86
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
Perempuan Kades tidak belajar tentang feminisme dari buku dan jurnal. Pun mereka tidak belajar tentang peran pemimpin dalam resolusi konflik hutan dan konservasi. Konteks feminisme yang mewujud dalam kepemimpinan di desa adalah jalan naluri dan pengalaman untuk bertahan di antara lingkungan yang maskulin. Ada kesadaran feminis untuk mempertahankan kapasitasnya sebagai pemimpin. Kesadaran feminis yang mereka perlihatkan adalah perjuangan merebut ruang-ruang hidup yang terampas dan membatasi hidup komunitas marginal ke tempat yang makin sulit dan tak layak. Isu-isu kritis perempuan masuk dalam jangkauan pemikirannya, sebab pengalaman hidup yang terpinggir memberi pengetahuan yang mendalam. Dalam konteks feminisme, kepemimpinan perempuan memerlukan pembuktian atas kapasitasnya dalam mengatur kuasa (power), pembuktian atas partisipasi warga, dan memenangkan janji untuk mengabdi. Perempuan pemimpin butuh kerja lebih keras, untuk membuktikan kapasitasnya. Ia bekerja lebih keras untuk menggerakkan sumber daya manusia, dan memaksimalkan manfaat sumber daya alam sambil merawat kohesi sosial warganya. Keseimbangan dalam menjalankan kekuasaan (power within) dipercaya oleh perempuan pemimpin sebagai diskursus yang mampu menyelamatkan pemosisian perempuan. Interseksionalitas adalah instrumen pegangan yang mereka pelajari sejak kecil dan sejak muda. Praktik power within memungkinkan perempuan pemimpin membangun modal sosial dari berbagai potensi warga, terutama komunitas perempuan. Hak-hak keadilan gender dan kerentanan yang tidak setara terhadap perubahan lingkungan adalah salah satu isu yang memperkuat solidaritas perempuan dalam bentuk pengorganisasian di komunitas.
Daftar Pustaka Atkinson, P 2010, “Editorial Introduction”, dalam P Atkinson, A Coffey, S Delamont, J Lofland & L Lofland L (eds.), Handbook of Ethnography, Sage, Los Angeles. Bose, P, Larson, AM, Lastarria-Cornhiel, S, Radel, C, Schmink, M, Schmook, B & VázquezGarcía, V 2017, “Women’s rights to land and communal forest tenure: A way forward for research and policy agenda in Latin America”, Women’s Studies International Forum, vol. 65, hh. 53-59, https://doi.org/10.1016/j.wsif.2017.10.005 .
87
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Cerwonka, A & Malkki, L 2005, “Improvising Theory: Process and Temporality in Ethnographic Fieldwork”, dalam C Pole (ed.), Fieldwork, Thousand Oaks, London, New Delhi. Denzin, NK & Lincoln, YS (eds.) 2010, Handbook OF Qualitative Research (3rd Edition), Sage Publication, California. Elmhirst, R 2011a, “Introducing new feminist political ecologies”, Geoforum, vol. 42, hh. 129–132, http://doi.org/10.1016/j.geoforum.2011.01.006 Elmhirst, R 2011b, “Migrant pathways to resource access in Lampung’s political forest: Gender, citizenship and creative conjugality”, Geoforum, vol. 42, no. 2, hh. 173-183, http:// doi.org/10.1016/j.geoforum.2010.12.004 Evans, K, Flores, S, Larson, AM, Marchena, R, Müller, P & Pikitle, A 2017, “Challenges for women’s participation in communal forests: Experience from Nicaragua’s indigenous territories”, Women’s Studies International Forum, vol. 65, hh. 37–46, http://dx.doi. org/10.1016/j.wsif.2016.08.004 Gradskova, Y & Morell, IA (eds.) 2019, “Book Review: Gendering Postsocialism: Old Legacies and New Hierarchies”, Gender Work Organ, vol. 1, no. 3, wileyonlinelibrary.com/journal/ gwao, DOI: 10.1111/gwao.12363 Hendrastiti, TK & Kusujiarti, S 2018, “Offering the Ethnographic Feminist Method to the Public Administration Inquiry”, AAPA 2018 Conference Proceeding, Atlantis Press, in https:// www.atlantis-press.com/proceedings, DOI https://doi.org/10.2991/aapa-18.2018.46 Hendrastiti, TK & Santoso, D 2009, “Masyarakat dan Hutan Lindung: Kebijakan, Konflik, Resolusi (Studi Kasus di Dua Desa TNKS)”, dalam S Irianto (ed.), Hukum yang bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Hendry, D 2017, “TNKS yang Tak Lekang oleh Ancaman Pembelahan Kawasan (Bagian 1)”, Mongabay, www.mongabay.co.id/.../tnks-yang-tak-lekang-oleh-ancaman-pembelahankawasan Hidayat, H, Haba, J & Siburian, R 2011, Politik Ekologi: Pengelolaan Taman Nasional Era Otda, LIPI Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Jones, JS & Watt, S (eds.) 2010, Ethnography in Social Science Practice, Routledge, London and New York. Kimura, AH & Katano, Y 2014, “Farming after the Fukushima accident: A feminist political ecology analysis of organic agriculture”, Journal of Rural Studies, vol. 34, hh. 108-116, DOI: 10.1016/j.jrurstud.2013.12.006 Kubisa, K & Wojnicka, K 2018, “Feminist Movements In Central And Eastern Europe”, Praktyka Teoretyczna, vol. 4, no. 30, https://Pressto.Amu.Edu.Pl/Index.Php/Prt/ Kusdinar, PA 2017, “Supriyanti, Perempuan Tangguh dari Sengkuang; Pejuang ‘Tanah Ibu’, http:www.akar.or.id/?p1584
88
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
Kusdinar, PA 2017, “Kronologis konflik tanah; Masyarakat Transmigrasi Sengkuang, kabawetan dengan taman Wisata Alam Bukit Kaba Kepahiang”, http:www.akar. or.id/?p1580 . Mollett, S & Faria, C 2013, “Messing with gender in feminist political ecology”, Geoforum, vol. 45, hh. 116-125. Dx.doi.org/10.1016/j.geoforum.2012.10.009 Mongabay 2017, www.mongabay.co.id/.../berbasis-hak-perempuan-pada-lingkungankomunitas-ini-be Neuman, WL 2006, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (Sixth Edition), Pearson International Edition, Boston, New York, San Francisco. Nightingale, AJ 2011, “Bounding difference: Intersectionality and the material production of gender, caste, class and environment in Nepal”, Geoforum, vol. 42, no. 2, hh. 153-162. Nightingale, AJ & Rankin, K 2014, “Political Transformations: collaborative feminist scholarship in Nepal”, Himalaya, the Journal of the Association for Nepal and Himalayan Studies: Spring, vol. 34, no. 1, Article 15, http://digitalcommons.macalester.edu/himalaya/ vol34/iss1/15 . Novra, A & Farhan, M 2009, “Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Desa Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS)”, Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, vol. 11, no. 1, Januari - Juni 2009, hh. 11-20, https://media.neliti.com/.../43426-IDkarakteristik-sosial-ekonomi-rumah-tangga-desa . Novra, A, Syaukat, Y, Sanim, B & Sinaga, BM 2007, “Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Deforestasi Kawasan dan Degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat”, www.repository.ipb.ac.id/handle/123456789/40574 . Rahmat, M, Helmi, H & Syahni, R 2006, “Ketergantungan Masyarakat terhadap Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Pasca Pelaksanaan Kegiatan Konservasi Terpadu”, https:// www.neliti.com/id/journals/jurnal-penelitian-sosial-dan-ekonomi-kehutanan, https:// www.neliti.com/.../ketergantungan-masyarakat-terhadap-kawasan-taman-nasion . Rocheleau, D, Thomas-Slayter, B & Wangari, E 1996, Feminist Political Ecology: Global Issues and Local Experiences, Routledge, New York. Sam, KL 2016, “Women’s leadership in local government in the Caribbean”, Commonwealth Journal of Local Governance, vol. 18, hh. 68-81, https://doi.org/10.5130/cjlg.v0i18.4843 Sreerekha, MS 2018, “Re-Reading Nature, Reproduction and Motherhood: Towards An Alternative To Development”, Salesian Journal of Humanities and Social Sciences, vol. IX, no. 1, hh. 34-42 Sultana , F 2007, “Water, Water Everywhere, But Not a Drop to Drink: Pani Politics (Water Politics) in Rural Bangladesh”, International Feminist Journal of Politics, vol. 9, no. 4, hh. 494502, diakses dari https://doi.org/10.1080/14616740701607994 .
89
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Sundberg, Y 2015, “Feminist Political Ecology”, in The International Encyclopedia of Geography, Wiley-Blackwell & Association of American Geographers, Editor-in-Chief Douglas Richardson. Velicu, I 2019, “De-growing environmental justice: Reflections from anti-mining movements in Eastern Europe”, Ecological Economics, vol. 159, hh. 271 – 278, https://doi. org/10.1016/j.ecolecon.2019.01.021
Catatan Akhir 1 Oleh Malinowski, etnografi dikuatkan sebagai kerja lapangan (fieldwork) yang profesional, hingga menjadi suatu pendekatan metodologi pada antropologi sosial. Sampai pada paruh kedua abad ke-20 terjadi penguatan, etnografi digunakan secara meluas ke kajian psikologi dan sosiologi. Chicago School adalah lembaga yang mendukung perkembangan metode etnografi melintas antropologi (Jones & Watt 2010, hh. 1-12). Selanjutnya, Jones menyebutkan bahwa nilai dasar etnografi adalah tentang: partisipasi, observasi partisipatif, mendalami kultur setting, refleksi dan representasi, deskripsi mendalam (thick description), etik partisipatif, menguatkan/ memberdayakan, dan memahami. Untuk menjalankan itu semua, maka etnografer perlu tinggal di lokasi penelitian dan mendalami kulturnya (live in the field, immersing yourself in this social world), serta menjadi bagian dari masyarakat subjek penelitian (Jones 2010, hh. 17-18).
Kesesuaian penelitian ini dengan etnografi ada pada penjelasan Jones (2010, hh. 22-24) yang mendeskripsikan kolaborasi antara perkembangan etnografi dengan gerakan dan konflik sosial. Studi tentang protes dan perjuangan hak sipil, kesetaraan, hak seksual, anti diskriminasi yang mempersoalkan representasi dan visibilitas, secara metodologis hanya mampu ditampung oleh etnografi. Melalui etnografilah ilmu sosial mampu memperjelas kepentingan, penindasan, representasi, dan kekuasaan secara politis.
2 https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Kerinci_Seblat 3 Berdasarkan SK Menhut No 748/Menhut-II/2012 (Mongabay 2017). 4 Pengelolaan tanah perkebunan teh warisan kolonial berturut-turut: PT Trisula Ujung Mega Surya pada tahun 1965. Antara tahun 1975 - 1979 tanah perkebunan di okupasi oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu, dan dikelola oleh PT Kabawetan. Pada tahunn1980 perkebunan teh itu disewakan kepada PTPN XXIII. Selanjutnya, antara tahun 1988 – 1989 tanah beserta kebuh teh itu diambil alih oleh perusahaan swasta bernama PT Kepahiang Indah yang mengelola kebun teh dan kopi. Saat itu lahan kelola makin diperluas dan perusahaan mulai merangsek lahan kelola rakyat/margo (Kusdinar 2017). 5 Ibu Nur sudah meninggal pada Mei 2019.
90
Titiek Kartika Hendrastiti & Pramasti Ayu Kusdinar
Keterlibatan Perempuan Pemimpin Desa Mengembangkan Dialog pada Resolusi Konflik Kehutanan
6 Setiap kesepakatan selalu didokumentasikan melalui foto. Adanya teknologi android, memungkinkan Ibu Kades untuk menyimpan bukti atas kesepakatan warga, perangkat, dan peserta rapat lainnya. Penulis pun menyaksikan semua foto tentang partisipasi warga tersimpan dengan baik (Catatan interview September 2019).
91
Topik Empu
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan When Wetlands Dry: Feminist Political Ecology Study on Peat Ecosystem Degradation in South and Central Kalimantan 1
Catharina Indirastuti & 2Andi Misbahul Pratiwi
Kemitraan-Partnership for Governance Reform & 2Jurnal Perempuan Jl. Taman Margasatwa Raya No.26C, Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan 12550 2 Jl. Karang Pola Dalam II, No.9A, Jatipadang-Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 indirastuti@gmail.com, pratiwiandi@jurnalperempuan.com 1
1
Kode Naskah: DDC 305 Kronologi Naskah: Diterima 22 Oktober 2019; direvisi 11 November 2019; diputuskan diterima 30 November 2019 Abstract Indonesia tropical peatlands area is 47 percent of out of the total global peatlands. But unfortunately, sustainable peatland governance has not been widely applied in the management of peatlands, instead of being home to biodiversity, peatlands in Indonesia have ended up dry, burning and turned into monoculture plantations. The problem of peat ecosystem degradation is the result of unsustainable historical environmental governance politics. This study shows the political complexity of peatland governance and its impact on women with a feminist political ecology lens. This research was conducted in several villages in Central and South Kalimantan, the largest tropical peat areas in Indonesia. This study found that 1) Rural women were realized that there are problems with peatland governance, both practically and politically; 2) women and girls have multiple impacts from peat ecosystem degradation ie, women are deprived of living space, women find it difficult to get water and food sources, women take over the role of the head of the family because men migrate but are not always recognized as the head of the family, and women are impoverished because they lose their independence and must work as oil palm workers. This study uses a feminist political ecology study as an analytical tool to see the multi-layered oppression experienced by rural women due to peat ecosystem degradation. Keywords: rural women, peatland village, peat ecosystem, feminist political ecology, resource governance Abstrak Indonesia memiliki 47 persen lahan gambut tropis dari total lahan gambut dunia. Namun sayangnya tata kelola lahan gambut yang berkelanjutan belum banyak diterapkan dalam pemanfaatan lahan gambut, alih-alih menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati, lahan gambut di Indonesia justru berakhir kering, terbakar, dan beralih menjadi perkebunan monokultur. Persoalan degradasi ekosistem gambut adalah akibat dari politik tata kelola lingkungan yang tidak
92
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
berkelanjutan--yang menyejarah. Penelitian ini memperlihatkan kompleksitas politik tata kelola kawasan gambut dan dampaknya terhadap perempuan dengan lensa ekologi politik feminis. Penelitian ini dilakukan di beberapa desa di Kalimantan Tengah dan Selatan, kawasan gambut tropis terbesar di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa (1) Ada persoalan salah tata kelola lahan gambut yang disadari perempuan desa baik secara praktis maupun politis; (2) perempuan dan anak perempuan mendapatkan dampak berlapis dari degradasi ekosistem gambut yakni, perempuan tercerabut dari ruang hidup, perempuan sulit mendapatkan sumber air dan pangan, perempuan mengambil alih peran kepala keluarga karena laki-laki bermigrasi namun tidak selalu diakui perannya sebagai kepala keluarga, dan perempuan dimiskinkan karena kehilangan kemandiriannya dan harus bekerja sebagai buruh sawit. Penelitian ini menggunakan kajian ekologi politik feminis sebagai alat analisis untuk melihat ketertindasan berlapis yang dialami perempuan pedesaan akibat degradasi ekosistem gambut. Kata Kunci: perempuan desa, desa gambut, ekosistem gambut, ekologi politik feminis, tata kelola sumber daya
Pendahuluan Tahun 2019, bencana kebakaran masih menjadi momok bagi Indonesia. Sekitar 320 ribu hektare–atau setara dengan hampir lima kali luas daratan DKI Jakarta–hutan dan lahan di Pulau Sumatra dan Kalimantan terbakar. Hampir seperempatnya merupakan lahan gambut (Fiantis et al. 2019). Jauh sebelum itu, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terbesar yang terjadi di kawasan gambut tropis Indonesia telah terjadi terjadi pada tahun 1997 (Mongabay 2016). Kebakaran ini berlangsung berbulan-bulan sejak bulan Juli 1997 hingga Februari 1998, hingga menyebabkan kabut asap yang merupakan bencana akibat karhutla yang bersifat transnasional pertama. Indonesia memiliki 47% dari area global lahan gambut tropis sebagian besar adalah kawasan gambut berkayu. Rawa gambut di Indonesia menutupi sebagian besar berada di dataran rendah dan di antara sungai-sungai besar (Page et.al 2011). Luas lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 14,91 juta ha yang tersebar di Indonesia, di Sumatra 6,44 juta ha (43%), di Kalimantan 4,78 juta ha (32%), dan di Pulau Papua 3,69 juta ha (25%). Meskipun demikian, kawasan gambut tropis di Indonesia, telah dikonversi menjadi pertanian, awalnya di bawah program transmigrasi Pemerintah Indonesia, tetapi sekarang telah beralih fungsi untuk perkebunan kelapa sawit, khususnya di Sumatra dan Kalimantan (Osaki & Tsuji 2016, h.91). Menurut catatan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Fraser 2019), di Kalimantan saja antara tahun 2000 hingga 2017 didapati sekitar 6,04 juta Ha hutan tua menghilang yang sekitar setengahnya dialihfungsikan
93
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
menjadi perkebunan dalam jangka waktu 1 tahun setelah ditebangi. Pada rentang waktu yang sama, perkebunan industri meningkat hingga 170%, yang sebagian besar digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Kebakaran, pembakaran, dan alih fungsi lahan gambut yang masif merupakan penyebab degradasi ekosistem gambut yang bermuara pada isu: politik tata kelola kawasan gambut. Persoalan tata kelola lahan gambut di Indonesia memiliki kesejarahan yang panjang, yang saling berkelindan dengan perihal politik dan ekonomi. Lahan gambut di wilayah Indonesia tercatat mulai dibuka sejak tahun 1920, pada masa kolonial Belanda, di kecamatan Gambut, Kalimantan Selatan. Sejak itu, bersamaan dengan dimulainya gelombang transmigrasi yang berlangsung sejak tahun 1960an pada masa Orde Lama, hingga puncaknya di masa pemerintahan Soeharto yang massif dilakukan pada awal dekade 1980an, lahan gambut mulai secara luas dialihfungsikan menjadi tanah pertanian yang dilakukan dengan mengeringkan lahan gambut. Puncak pengeringan lahan gambut dengan dibangunnya kanal-kanal besar terjadi pada tahun 1996 dengan dilaksanakannya mega rice project yang menyasar alih fungsi 1 juta hektar lahan gambut dan membangun ribuan kilometer kanal-kanal besar untuk mengeringkan gambut agar lahan dapat dialihfungsikan menjadi lahan pertanian. Namun pada akhirnya mega rice project tidak lagi dilanjutkan (Mongabay 2016). Alih fungsi lahan dengan tata kelola lahan gambut yang tidak berkelanjutan melalui pengeringan lahan secara ekstrem (kering tidak kembali basah) menyebabkan serasah gambut menjadi kering yang--selain melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar--menjadi bahan bakar yang sulit dipadamkan pada musim kemarau, yang menimbulkan kebakaran hutan dan lahan baik karena faktor alam yang kering maupun karena perilaku manusia. Membakar lahan merupakan pola pengelolaan lahan yang biasa dilakukan di lahan gambut untuk membersihkan dan menyiapkan lahan sebelum musim tanam dimulai yang dapat membersihkan lahan dengan murah dan cepat. Bagi petani, abu hasil pembakaran diyakini dapat menurunkan tingkat keasaman lahan gambut dan membuatnya menjadi lebih subur. Pertama, alih fungsi lahan yang masif telah menyebabkan meluasnya deforestasi dan kekeringan di lahan basah/lahan gambut (Osaki & Tsuji 2016, h. 15). Dalam mengalihfungsikan gambut, pertama-tama, jutaan hektar
94
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
hutan kayu endemik gambut ditebang, gelondongan kayu dibawa melalui kanal-kanal raksasa dan dijual hingga mancanegara. Kedua, tata kelola lahan gambut yang tidak berkelanjutan melalui pembakaran lahan juga berkontribusi terhadap penurunan daya dukung ekosistem gambut. Hutan gambut merupakan rumah bagi keragaman makhluk hidup dan berbagai unsur alam khas gambut di dalamnya. Hilangnya pepohonan kayu--yang menjadi rumah bagi beragam spesies, juga manusia--merupakan awal dari eksploitasi lahan gambut yang terus berlanjut hingga hari ini. Secara khusus, penurunan daya dukung atau degradasi ekosistem gambut ini juga berdampak serius terhadap perempuan. Dalam kajian ekologi politik feminis, degradasi dan kerusakan lingkungan dipandang memiliki keterkaitan dengan persoalan politik dan ekonomi. Ekologi politik feminis melihat “politik” dan “kekuasaan” secara berbeda, yang keduanya memiliki keterkaitan erat dengan bentuk-bentuk ketidaksetaraan gender dalam konteks ekonomi-politik sumber daya alam, politik degradasi lingkungan, konservasi, liberalisasi alam, dan hal ihwal akumulasi kapital (Elmhirst 2015). Tulisan ini kemudian hendak menguraikan bagaimana persoalan tata kelola lahan gambut tak berkelanjutan yang memiliki kesejarahan ekonomi-politik berdampak pada degradasi lingkungan dan pemiskinan perempuan desa gambut (baik karena hilangnya ruang hidup maupun sumber-sumber pehidupan). Data-data dalam tulisan ini dikumpulkan bersamaan dengan implementasi program integrasi gender dan inklusi sosial dalam program Desa Peduli Gambut (DPG) oleh lembaga Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Kemitraan) dan Badan Restorasi Gambut (BRG). Desa Peduli Gambut merupakan kerangka program untuk melakukan intervensi pembangunan pada desa-desa atau kelurahan di dalam dan sekitar Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), yang menjadi target restorasi gambut oleh BRG. Tulisan ini memberikan ruang bagi pengalaman dan sudut pandang perempuan yang hidup di dalam desa dengan ekosistem gambut--yang secara langsung merasakan dampak dari rusaknya ruang hidup mereka di beberapa desa di wilayah dampingan Kemitraan, khususnya di provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Naskah ini berfokus pada pengalaman perempuan di desa Pangkoh Sari dan Kantan Atas, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah dan desa Sungai Namang di Provinsi Kalimantan Selatan.
95
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Kisah Dari Tiga Desa Desa Pangkoh Sari dan desa Kantan Atas merupakan dua desa bekas Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di wilayah Pangkoh, Kalimantan Tengah. Sebagai desa transmigrasi, mayoritas penduduk di kedua desa merupakan masyarakat transmigran yang mulai berpindah pada tahun 1980an dari berbagai wilayah di pulau Jawa. Kabupaten Pulang Pisau merupakan wilayah Kalimantan Tengah yang berada di dalam kawasan hidrologis gambut. Kehidupan transmigran di lahan gambut merupakan kehidupan yang tidak mudah karena karakter alam yang sangat berbeda dengan karakter alam di pulau Jawa. Rata-rata komunitas transmigran yang pada saat ini masih bertahan di desa-desa transmigrasi merupakan masyarakat yang telah mengalami segala bentuk kerja keras untuk dapat “menundukkan” alam di lahan gambut yang basah yang tidak mudah untuk dikelola. “Penundukan” alam dilakukan dengan membuka hutan, mengolahnya agar dapat ditanami – termasuk dengan model pengeringan, dan mengalihfungsikannya menjadi lahan-lahan pertanian. Pada awal penempatan, masing-masing keluarga petani memperoleh lahan seluas 2 hektare untuk diolah dan seperempat hektare untuk tempat tinggal dan pekarangan. Para transmigran umumnya datang dalam kelompok-kelompok keluarga besar, seringkali kakak beradik yang telah berkeluarga dan orang tua mereka pindah bersama-sama dengan keluarga intinya. Dari kelompok perempuan yang ditemui dalam diskusi kelompok yang dilakukan di desa-desa ini, rata-rata keluarga datang dengan anak-anak usia sekolah sehingga akses pendidikan merupakan salah satu persoalan yang harus diselesaikan terutama di wilayah basah yang pada saat itu hanya dapat dicapai dengan jukung (sampan kecil). Datang bersama-sama sebagai keluarga besar memungkinkan para transmigran untuk mengelola lahan bersama-sama secara bergotong royong. Pengambilan keputusan dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan dilakukan di tingkat komunitas keluarga besar. Sejak awal berpindah, perempuan memegang peran produktif, reproduktif dan sosial. Dalam peran-peran produktif, perempuan terlibat sebagai tenaga kerja keluarga baik dalam pengelolaan lahan maupun dalam pengolahan hasil pasca panen. Dalam peran reproduktif, perempuan bertanggung jawab pada sebagian besar peran yang ada dalam merawat keluarga dan mengurus rumah dan pekarangan. Sementara dalam dalam peran sosialnya, berbagai kegiatan dan ritual budaya dan agama terus dihidupi di tanah yang baru dengan perempuan mengambil peran aktif dalam mempersiapkan 96
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
penyelenggaraan ritual dan kegiatan-kegiatan tersebut. Namun demikian, meskipun perempuan terlibat secara aktif dalam pengelolaan lahan sebagai tenaga kerja keluarga, pengambilan keputusan dalam cara mengelola dan memanfaatkan lahan gambut pada saat itu masih lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dalam keluarga besar karena kelompok tani pada saat itu (dan hingga saat ini) didominasi oleh petani laki-laki. Berbeda dengan desa Pangkoh Sari dan Kantan Atas, desa Sungai Namang di kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, provinsi Kalimantan Selatan merupakan desa di atas rawa gambut di mana masyarakat desanya sebagian besar adalah penduduk lokal yang telah bergenerasi hidup di lahan gambut. Datang dari etnis Banjar, sebagian besar masyarakat desa Sungai Namang merupakan masyarakat pesisir sungai yang hidup dengan sungai, rawa dan hutan gambut sebagai sumber-sumber penghidupan mereka. Meskipun penduduk desa juga mengelola lahan gambut menjadi lahan pertanian padi, tanaman dan binatang endemik gambut merupakan bagian dari sumber pangan masyarakat desa. Ikan rawa dan sungai merupakan sumber protein masyarakat desa dan peralatan penangkapan ikan tradisional merupakan bagian dari pengetahuan masyarakat yang terus dipelihara hingga saat ini. Perempuan desa Sungai Namang menanggung beban kerja yang utama dalam merawat keluarga dan rumah tangga, dan tetap berperan besar dalam kerja-kerja produktif dan menjalankan peran sosial. Menganyam tanaman purun merupakan ketrampilan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan menjual hasil anyaman purun telah mejadi sumber pendapatan perempuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain menganyam, pengolahan ikan hasil tangkapan di sungai dan rawa juga dilakukan perempuan dan menjadi sumber pendapatan lain bagi keluarga. Pentingnya ekosistem gambut sebagai sumber-sumber penghidupan membuat perempuan desa Sungai Namang memiliki kepentingan yang besar dalam upaya-upaya menjaga keberlanjutan ekosistem gambut. Berbeda dengan kelompok perempuan transmigran di desa-desa di Kalimantan Tengah, sebagai penduduk lokal, lahan gambut yang dikelola oleh perempuan desa sebagian besar merupakan lahan warisan keluarga, yang umumnya diwariskan pada anak laki-laki dalam keluarga mengikuti hukum Islam dengan luasan yang berbeda-beda. Namun untuk mendapatkan bahan baku anyaman purun, para perempuan desa Sungai Namang memiliki akses atas lahan purun yang dimanfaatkan bersama-sama. Pada lahan bersama ini juga terdapat
97
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
berbagai jenis ikan yang menjadi sumber pangan masyarakat desa, yang saat ini terancam dengan menyebarnya tanaman gulma yang memenuhi rawa gambut desa. Penggalian data dan cerita dilakukan dengan melalui diskusi kelompok, wawancara mendalam dan juga observasi kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Kelompok perempuan yang menjadi narasumber dalam penelitian ini merupakan anggota dari kelompok usaha perempuan dan kelompok wanita tani yang ada di desa-desa tersebut di atas. Pendekatan pada kelompokkelompok ini dilakukan melalui fasilitator desa dalam program DPG yang berinteraksi langsung dengan kelompok-kelompok perempuan tersebut dalam kegiatan program sehari-hari. Beberapa data dalam naskah ini diambil dari dokumen Profil Desa yang merupakan bagian dari kegiatan pemetaan sosial dan spasial desa yang dilakukan dalam program Desa Peduli Gambut.
Kajian Ekologi Politik Feminis Sebagai Pintu Masuk Beberapa literatur tentang pembangunan dan tata kelola sumber daya alam berbasis gender cenderung berfokus pada pada kepemilikan dan penggunaan lahan, pohon, air, hutan, dan sumber daya desa lainnya. Namun, pada kenyataanya sumber daya tersebut kerap kali berkontestasi dengan beraneka ragam variabel di level yang berbeda: laki-laki dan perempuan, rumah tangga dari kelas yang berbeda, kelompok etnis yang berbeda, pengguna lokal, nasional dan internasional. Tata kelola lahan gambut yang tidak berkelanjutan serta dampaknya terhadap perempuan perlu dilihat melalui kajian ekologi politik feminis (feminist political ecology), yang menempatkan kerusakan lingkungan sebagai sesuatu yang saling berkelindan dengan persoalan kekuasaan, ekonomi, serta penindasan berbasis gender. Ekologi politik feminis muncul sebagai sub bidang Ekologi Politik pada 1990-an, berkembang melalui studi gender dan pembangunan, yang mana hendak memahami dinamika gender dalam kaitannya dengan lingkungan, alam dan ekonomi berbasis sumber daya alam (Sundberg 2017; Elmhirst 2011). Kajian ekologi politik feminis menawarkan kebaruan bagi studi ekologi politik, yang turut memasukkan/melibatkan dimensi gender sebagai variabel kritis/kunci yang mempengaruhi akses dan kontrol seseorang terhadap sumber daya (Rocheleau et al. 1996). Lebih dari itu, kajian ekologi politik feminis melihat kompleksitas hubungan antara kelas, ras, etnisitas, 98
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
umur, status perkawinan dan variabel lainnya–yang juga memengaruhi akses, kontrol, partisipasi, dan pengetahuan seseorang terhadap sumber daya alam (Sundberg 2017; Rocheleau et al. 1996). Hubungan antar variabel kunci tersebut membentuk atau menentukan 1) proses perubahan ekologis, 2) perjuangan laki-laki dan perempuan untuk penghidupan yang layak secara ekologis, dan 3) kemungkinan suatu komunitas untuk terlibat dalam pembangunan berkelanjutan (Rocheleau et al. 1996, h. 4). Argumen bahwa “akses” dan “kontrol” terhadap sumber daya telah tergenderkan berangkat dari kenyataan bahwa ada konstruksi yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan dalam hal mengelola sumber daya, misalnya perempuan mengelola sumber daya alam untuk kebutuhan rumah tangga dan komunitas. Lebih jauh, pembagian peran berbasis gender dalam mengelola sumber daya, di dalamnya juga terdapat pembagian kekuasaan berbasis gender untuk melindungi, menjaga, mengubah, membentuk, merehabilitasi, dan memulihkan lingkungan, dan untuk melakukan pengaturan terhadap satu dengan lainnya (Rocheleau et al. 1996, h. 5). Penguasaan sumber daya alam yang tergenderkan, meliputi hak dan tanggung jawab dapat dibagi menjadi 4 domain sebagai berikut, 1) Kontrol terhadap sumber daya yang didefinisikan saat ini. 2) Akses terhadap sumber daya (de facto dan de jure, eksklusivitas akses, pembagian akses, yang utama atau sekunder), 3) Pemanfaatan atau penggunaan sumber daya berbasis gender (sebagai input, produk, aset, untuk subsisten dan untuk komersial), 4) Tanggung jawab untuk memperoleh dan atau mengelola sumber daya untuk keluarga dan komunitas (Rocheleau et al. 1996). Bersamaan dengan pembagian hak atas sumber daya berdasarkan gender, yang penting juga untuk diteliti adalah pembagian tanggung jawab atas sumber daya itu sendiri. Perihal ini dapat dilihat mulai dari unit rumah tangga, komunitas, hingga pada skala yang lebih besar seperti organisasi sosial. Yang paling umum dilihat adalah; 1) Tanggung jawab untuk memperoleh secara sebagian atau memproduksi hasil dari sumber daya untuk kebutuhan rumah, seperti kayu, air, susu, obat-obatan herbal di area pedesaan, 2) Tanggung jawab untuk mengelola sebagian sumber daya—misalnya melindungi mata air, merawat hutan desa, konservasi tanah di wilayah desa, menjaga taman, dll (Rocheleau et al. 1996). Kajian ekologi politik feminis ini kemudian digunakan dalam melihat berbagai persoalan yang menyebabkan degradasi ekosistem gambut dan
99
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
dampak dari kerusakan tersebut. Dengan menggunakan lensa ekologi politik feminis maka penelitian ini tidak hanya memaparkan secara deskriptif bahwa perempuan adalah korban paling rentan akibat kerusakan lahan gambut, tetapi juga memperlihatkan bagaimana politik tata kelola desa di level global, nasional, dan lokal berkait erat dengan politik kekuasaan dan ekonomi politik yang dampaknya berlapis untuk perempuan.
Politik Tata Kelola dan Degradasi Ekosistem Gambut dalam Tutur Perempuan Desa Waktu itu, padi kami menanam sendiri, sayur tidak pernah beli, bahkan gula merah pun kami bikin sendiri. Pohon kelapa dulu banyak di sini, ditanami oleh orang tua ketika baru datang. Ikan bisa dipancing, sambil panen padi di sawah, kaki kami ditabrakin ikan, banyak ikan di sawah. (Perempuan Petani, Desa Kantan Atas 2019, Wawancara 23 Agustus)
Desa Pangkoh Sari merupakan salah satu desa di kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, provinsi Kalimantan Tengah, yang sebagian besar wilayahnya memiliki tanah bergambut. Desa yang terletak di pesisir muara Sungai Kahayan yang mengalir ke laut Jawa ini memiliki luas lahan lahan gambut mencapai 858,2 Ha. Desa Pangkoh Sari merupakan merupakan desa bekas Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang terbelah oleh saluran primer sepanjang lebih dari 5 kilometer. Saluran primer ini membagi desa, termasuk wilayah pemukimannya, menjadi dua wilayah di sisi kiri dan kanan saluran primer. Warga desa usia produktif yang saat ini hidup di desa Pangkoh Sari merupakan generasi kedua keluarga transmigran yang berpindah dari berbagai wilayah di Jawa menuju Kalimantan Tengah pada kisaran tahun 1980an bersama orang tua mereka. Kehidupan di desa-desa transmigrasi di wilayah Pandih Batu, termasuk desa Pangkoh Sari tidaklah mudah karena sarana dan prasarana yang masih sangat terbatas dan konektivitas di dalam desa, antar-desa dan menuju ke pusat kecamatan maupun pusat daerah masih buruk. Dalam ingatan tentang masa kanak-kanak mereka, anakanak harus menuju ibukota kecamatan di wilayah Pangkoh untuk dapat bersekolah dengan mengendarai jukung atau sampan kecil. Meskipun sekolah belum tersedia, dan banyak tantangan yang harus dihadapi, ekosistem gambut masih menjadi ruang hidup yang berkelimpahan bagi masyarakat desa transmigrasi Pangkoh Sari. Pada saat itu, warga desa
100
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
mulai dengan menanam sayuran di lahan yang mereka dapatkan. Meskipun merupakan lahan gambut, lahan yang mereka dapatkan sebagai bagian dari program transmigrasi merupakan lahan yang subur. Ketika lahan diberikan pada keluarga transmigran, hutan telah dibuka untuk dipersiapkan untuk ditanam. Dalam perkembangannya, desa Pangkoh Sari menjadi lumbung padi untuk wilayah Kalimantan Tengah pada sekitar tahun 1987. Pada saat itu tanah subur dan hasil pertanian melimpah. Lahan-lahan masyarakat belum dikeruk dengan peralatan berat sehingga lahan gambut masih basah dan subur. Hanya wilayah pemukiman yang memiliki parit-parit yang dikeruk dengan peralatan berat agar jalan-jalan menjadi kering dan pemukiman dapat dibangun. Sementara parit-parit yang ada di wilayah pertanian hanya digali secara manual menjadi parit-parit kecil. Model pertanian tumpang sari dilakukan, dengan sawah yang ditanami padi dan pematang sawah yang ditanami sayuran. Namun terdapat kendala dalam pengelolaan lahan sawah karena parit yang digali secara manual berukuran sempit sehingga pada musim hujan lebat parit tidak dapat menampung air hujan dan air menggenangi sawah mereka. Ketika banjir terjadi, atau ketika tinggi muka air meningkat, masyarakat desa mulai mempertimbangkan cara-cara yang lebih ekstrem untuk mengatasi air yang menggenangi sawah mereka. Pada tahun 1995, melalui musyawarah desa, akhirnya diputuskan untuk menggunakan peralatan berat untuk memperbesar saluran air menjadi kanal yang cukup lebar. Keputusan ini diambil tanpa mempertimbangkan karakter lahan gambut dan dampak dari kanalisasi ekstrem terhadap keseluruhan ekosistem gambut. Upayaupaya untuk mengelola lahan dengan mempertahankan kelestarian gambut belum menjadi pertimbangan. Pada saat itu pemahaman mengenai fungsi ekologis lahan gambut yang basah bagi ekosistem pada skala kawasan juga kelebihannya sebagai penyimpan cadangan karbon belum dimiliki oleh warga desa. Setelah kanalisasi dilakukan kondisi lahan pertanian di atas lahan gambut berubah, namun tidak seperti yang diharapkan. Wilayah lahan gambut yang dikanalisasi justru menjadi lebih lebih sulit ditanami padi. Hal ini terjadi karena lahan gambut menjadi kering dan kandungan asam yang ada di lapisan gambut bagian bawah naik dan menyebabkan air tanah menjadi lebih asam. Dalam beberapa musim tanam, penanaman padi yang dilakukan gagal karena padi tidak dapat tumbuh. 101
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Gagal panen menyebabkan masyarakat desa harus mencari sumber penghidupan baru. Sebagian besar sawah ditinggalkan karena penduduk desa, khususnya laki-laki, meninggalkan desa untuk mencari penghidupan di tempat lain. Sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai buruh di luar desa. Kondisi lahan yang tidak dapat ditanami ini sesungguhnya tidak berlangsung lama di desa Pangkoh Sari. Sekitar 2-3 tahun setelah penggalian kanal, lahan gambut menjadi kembali subur dan dapat ditanami. Sedangkan, menurut para perempuan petani, penggalian kanal membuat lahan pematang sawah menjadi lebih kering hingga dapat ditanami sayuran. Namun setelah 2 tahun berlalu, desa Pangkoh Sari sudah ditinggalkan sebagian besar petaninya, terutama petani laki-laki. Beberapa orang petani yang masih bertahan di desa kembali mulai menanam padi, namun karena hanya sebagian kecil lahan pertanian yang dapat dikelola, ditanaminya lahan gambut dengan tanaman padi justru mengundang munculnya hama yang sulit ditangani: tikus dan belalang. Serangan hama terjadi karena budaya bertani yang pada awalnya dilakukan bersama-sama secara bergotong royong mulai menghilang ketika sawah ditinggalkan penggarapnya. Ditinggalkannya desa oleh sebagian besar laki-laki mengakibatkan banyak lahan pertanian yang kosong dan ditumbuhi semak belukar. Sebagian petani yang masih ada di desa, yang kebanyakan merupakan petani perempuan, mencoba bertahan dengan tetap menggarap lahan sawah mereka. Namun dengan terbatasnya tenaga, sawah yang mampu digarap hanya sebagian kecil saja dari lahan pertanian yang ada. Akibatnya, hama tikus dan belalang terkonsentrasi pada lahan-lahan yang sempit dan menghabiskan sebagian besar bulir-bulir padi yang ada. Namun para petani perempuan tetap bertahan, karena bertani merupakan cara hidup mereka. Mengelola lahan pertanian tetap lakukan agar “ladang tetap padang (terang)”, tidak ditumbuhi semak belukar. Kendala dalam mengelola lahan pertanian memuncak ketika aturan mengenai larangan membakar lahan diterbitkan. Terjadinya kebakaran hutan dan lahan besar pada tahun 2015 kemudian mendorong diterbitkannya aturan larangan membakar untuk mempersiapkan lahan, termasuk lahan pertanian. Sebagai akibat dari munculnya larangan bakar, sebagian besar lahan pertanian tidak dapat diolah karena petani meyakini
102
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
bahwa membakar lahan adalah cara terbaik untuk mengelola pertanian padi di atas lahan gambut. Seperti juga desa Pangkoh Sari, Desa Kantan Atas yang juga berada di kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, merupakan salah satu desa bekas Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di wilayah Pangkoh. Desa Kantan Atas berada pada saluran kanal primer yang terhubung langsung dengan Sungai Kahayan pada bagian muaranya. Desa Kantan Atas terletak pada dataran rendah (9-15 mdpl) dan dipengaruhi oleh pasang surut sungai Kahayan dan sungai Sebangau. Sebagian besar area merupakan lahan gambut dengan kedalaman asli sedalam 1 hingga 4 meter. Namun degradasi ekosistem gambut di wilayah ini menyebabkan kedalaman gambut menyusut hingga 0,6 hingga 1 meter, karena pengeringan lahan dan karhutla (kebakaran hutan dan lahan). Degradasi dan deforestasi terbesar lahan gambut di desa Kantan Atas terjadi akibat bencana karhutla yang diperparah oleh El Nino pada tahun 1997 dan kebakaran besar berikutnya pada tahun 2003. Sejak terjadinya kebakaran, hutan dan rawa gambut desa Kantan Atas mulai beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, baik yang dimiliki perusahaan maupun kebunkebun sawit milik warga. Karhutla besar pada tahun 2015 yang melahirkan Inpres nomor 11 tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang dimaksudkan untuk mengatasi persoalan karhutla berulang yang terjadi hampir di setiap musim kemarau setiap tahunnya di lahan gambut. Inpres mengenai pengendalian karhutla ini diikuti dengan aturan larangan bakar di tingkat daerah yang menyebabkan pengelolaan lahan pertanian yang selama ini diolah dengan cara dibakar tidak lagi dapat dilakukan. Sebagian besar wilayah pertanian menjadi kering tak tertangani dan dipenuhi semak belukar. Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 24 Agustus 2019, para perempuan petani desa Kantan Atas bercerita bahwa sudah hampir 3 tahun bekas lahan persawahan masyarakat dibiarkan menganggur menjadi lahan tidur karena tanahnya menjadi terlalu kering dan keras untuk ditanami. Dengan sawah yang sudah lama tidak dapat ditanami, untuk mencukupi kehidupan keluarganya, laki-laki/suami dalam rumah tangga bekerja sebagai buruh - kebanyakan buruh bangunan-baik di sekitar desa ke luar daerah. Anak-anak muda yang berpendidikan merantau hingga Palangka Raya untuk bekerja. Perempuan yang masih tinggal di desa sebagian bekerja menjadi buruh di perkebunan sawit yang ada di sekitar desa. 103
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Beberapa perempuan menceritakan tentang perubahan lingkungan hidup dan ekosistem gambut desa Kantan Atas yang terjadi dalam waktu yang relatif cepat yang dialami hanya dalam satu generasi: mereka yang datang pada usia kanak-kanak menjadi saksi langsung perubahan ekosistem gambut yang semakin melemah daya dukungnya. Sebuah ingatan tentang bumi yang subur. Saya datang bersama orang tua sekitar tahun 1982. Waktu itu saya masih kecil, masih sekolah. Desa ini dulu makmur, banyak ditanami padi dan menjadi sentra kedelai. Dulu tanahnya masih bagus, masih merah, masih tebal gambutnya. Airnya warnanya seperti teh, merah, tapi bisa diminum, belum tinggi zat asamnya. Tapi sejak dulu memang sudah dibakar, namun aman saja karena tanahnya masih basah. Ini sebelum di-eksa (excavator), ditanami padi masih bagus. Kami menanam kacang, bagus. Dulu di sini sentra kedelai sampai-sampai pak Menteri datang ke sini untuk panen raya. Tahun 1998-2000 itu puncaknya panen raya kacang kedelai dan kacang tanah, dan kami masih bisa menanam hingga tahun 2000. Sampai tahun 2000 belum ada yang keluar dari desa karena semua sibuk bertani. (Perempuan Desa Kantan Atas 2019, Wawancara 24 Agustus)
Namun, merefleksikan pengalaman mereka, para petani perempuan menyadari bahwa ada yang salah dengan sistem tata kelola gambut yang tidak mempertimbangkan kelestarian gambut di masa lalu. Tapi setiap tahun memang lahannya dibakar untuk bisa dibersihkan, tapi lahan gambutnya masih basah. Waktu itu kami belum tahu kalau gambutnya bisa semakin tipis dan habis jika dibakar, kami nggak memperhatikan. Tau-tau sudah kering … [penyebab pertama] sekitar tahun 2007-2008 lahan pertanian menjadi berubah adalah karena adanya usaha untuk mengeringkan lahan gambut. Dulu kan kalau ke sawah jalannya becek, jalannya rusak. Kalau mau bawa hasil panenan kan susah. Terus kelompok-kelompok itu mengusulkan [dibuat parit] biar kering [jalannya]– ‘dieksa’ (baca: excavator). Sesudah itu, hidupnya malah kering beneran. (Petani Perempuan Desa Kantan Atas 2019, Wawancara 24 Agustus).
Mereka juga mengakui bahwa pada awal mengolah lahan gambut untuk menanam padi, tidak seperti penanaman kedelai, lahan sawah untuk pertanian padi tidak perlu dibakar, hanya perlu dibersihkan dan siap untuk ditanami padi. Penggunaan sistem pengolahan lahan pertaninan dengan membakar baru mulai dilakukan ketika kanal-kanal dibuat dengan menggunakan mesin berat, yang menyebabkan lahan mengering dan kandungan asam pada lahan gambut meningkat sehingga tanaman padi sulit hidup. Pembakaran diyakini dapat menurunkan kandungan asam dengan menggunakan abu dari pembakaran.
104
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
Kekeringan juga bahkan terjadi di wilayah transmigrasi yang pada awalnya sulit untuk ditinggali karena dalamnya rawa gambut. Ketika awal datang ke wilayah Pangkoh, sebagian keluarga transmigran sempat memperoleh lokasi di wilayah yang dikategorikan sebagai rawa gambut dalam. Rumah-rumah mereka berdiri di atas rawa gambut yang basah dan lahan mereka yang selalu digenangi air hampir tidak dapat ditanami. Kelompok transmigran ini hanya bertahan satu tahun di wilayah ini dan akhirnya pindah ke wilayah desa Kantan Atas yang saat ini mereka huni. Namun saat ini, bahkan wilayah tersebut sudah menjadi kering dan berubah menjadi perkebunan sawit yang dikelola perusahaan. Kisah di atas menggambarkan bagaimana perempuan desa Kantan Atas menyaksikan perubahan yang terjadi pada lingkungan alam sekitar mereka yang berakibat pada menurunnya daya dukung ekosistem gambut untuk menopang kehidupan di atasnya. Ingatan warga desa mengenai konteks desa yang subur yang memberi penghidupan berkecukupan bagi warga desa masih kuat terekam dalam benak perempuan. Dalam diskusi pun, para perempuan masih memandang diri mereka sebagai petani, petani yang tidak lagi bertani, petani yang harus meninggalkan lahan mereka dan bekerja sebagai buruh sawit. Ekosistem gambut yang menjadi ruang hidup mereka: perempuan, laki-laki, anak-anak dan orang dewasa, pada awalnya merupakan ekosistem yang bersahabat dan dapat memakmurkan hidup mereka. Desa mereka pada awalnya adalah sentra pertanian padi dan kedelai dan bahkan begitu terkenal hingga pejabat setingkat menteri pun datang untuk menyaksikan kemakmuran hidup sebagai transmigran di tanah yang baru. Perubahan ekosistem gambut disadari oleh kelompok perempuan Desa Kantan Atas merupakan dampak dari pengambilan keputusan yang buruk yang tidak disertai dengan pemahaman tentang karakteristik ekosistem gambut. Dalam kisah di atas, perempuan petani desa Kantan Atas menunjukkan pemahaman mendasar tentang prinsip tata kelola gambut yang seharusnya diterapkan: pentingnya memperhatikan kandungan air di lahan gambut untuk menjaga keberlanjutan ekosistem gambut. Air gambut menjadi kunci dari kesuburan lahan gambut dan tata kelola gambut yang paling buruk terjadi ketika kandungan air di lahan gambut berkurang dalam waktu cepat dan tidak kembali lagi.
105
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Menurut para perempuan petani, dua kesalahan pengelolaan lahan yang telah dilakukan di desa Kantan Atas adalah dikeringkannya lahan gambut dengan pembuatan kanal-kanal menggunakan alat berat dan pembakaran berulang-ulang yang dilakukan untuk ‘mengubah’ lahan basah gambut menjadi lahan ‘kering’ yang dapat ditanami. Perempuan desa Kantan Atas pada umumnya telah menyadari bahwa pembakaran yang dilakukan berulang menyebabkan habisnya lapisan gambut yang pada akhirnya hanya menyisakan tanah liat yang keras dan tidak lagi dapat ditanami.
Kerentanan Hidup Perempuan Akibat Degradasi Ekosistem Gambut Degradasi ekosistem gambut akibat alih fungsi lahan yang dilakukan secara masif dan tak berkelanjutan secara langsung berakibat pada kelestarian lingkungan yang menunjang penghidupan dan kehidupan makhluk di dalamnya. Menghilangnya keragaman flora dan fauna berakibat langsung pada menurunnya sumber penghidupan masyarakat dan sumber pangan yang dapat diperoleh perempuan untuk menjaga keberlanjutan hidup keluarga. Perempuan harus pergi lebih jauh untuk memperoleh pangan dan bekerja lebih keras untuk memperoleh upah agar dapat membeli bahan-bahan yang sebelumnya tersedia secara cuma-cuma dari alam untuk keluarga mereka. Buku Profil Desa Kantan Atas yang diterbitkan pada tahun 2019 mencatat bahwa sungai dan rawa gambut desa Kantan Atas merupakan sumber protein nabati fauna khas gambut, seperti ikan gabus, betok, sepat, dan tapa. Dengan mengeringnya rawa gambut, berbagai jenis ikan tersebut tidak lagi mudah didapatkan, sehingga kebutuhan protein keluarga menjadi tidak mudah untuk dipenuhi. Perempuan harus pergi lebih jauh untuk dapat memperoleh ikan, bahkan harus membeli sehingga kebutuhan akan uang tunai meningkat. Selain fauna khas gambut yang dikonsumsi, berbagai jenis fauna liar yang merupakan bagian penting dalam mata rantai kehidupan ekosistem gambut pun mulai menghilang. Dalam Profil Desa yang sama disebutkan bahwa jenis-jenis binatang liar seperti rusa, beruang saat ini hampir tidak pernah ditemui, sementara babi hutan dan monyet masih ada, meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit, dan menjadi ancaman bagi kebun-kebun warga karena menyusutnya hutan tempat mereka hidup. Hilangnya berbagai jenis fauna terjadi akibat alih fungsi lahan dan kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun. 106
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
Berbagai flora khas gambut pun menghilang bersamaan dengan menghilangnya gambut. Pohon kayu galam, tanaman endemik gambut, yang dalam ingatan masyarakat desa Kantan Atas pada awal tahun 2000an masih ada di hampir seluruh wilayah desa, dalam tahun-tahun terakhir hanya tersisa di sekitar 15 persen wilayah desa saja. Beberapa jenis pepohonan lain bahkan menghilang, seperti tumih, pantung dan jelutung raya. Tanaman khas gambut yang masih bertahan adalah jenis pakis/ kelakai yang menjadi bahan pangan masyarakat desa, namun itupun tidak tersedia di banyak wilayah desa seperti ketika ekosistem gambut masih baik. Hilangnya hutan digantikan oleh perkebunan monokultur: karet, sawit dan sengon. Pemilihan tanaman karet, sawit dan sengon dianggap lebih menarik karena adanya permintaan pasar dan (ketika perkebunan baru dibuka) harga komoditas karet dan sawit cukup tinggi. Namun, kondisi ini tidak bertahan karena harga karet dan sawit semakin rendah dari waktu ke waktu sehingga pada akhirnya pendapatan dari karet ataupun sawit tidak mencukupi kebutuhan keluarga, terutama ketika tanaman pangan tidak lagi dapat ditanam di kebun-kebun milik masyarakat. Tanaman pangan merupakan komoditas yang penting bagi perempuan, yang bertanggung jawab pada keberlangsungan hidup keluarga, namun tanaman pangan umumnya merupakan jenis tanaman yang rentan terhadap perubahan kualitas lingkungan hidup. Sebagai contoh, di desa Kantan Atas, wilayah transmigrasi yang dikelola masyarakat desa pada awalnya hampir seluruhnya dapat ditanami sayuran pada pada awal tahun 2000-an, namun berkurang hingga hanya sekitar separuhnya antara tahun 2004 hingga 2010, dan hanya tersisa sangat sedikit pada tahun 2011 ke atas. Hal yang sama terjadi pada jagung, kedelai dan kacang tanah. Kedelai pada saat ini hampir tidak ada lagi di desa Kantan Atas yang pada masa kejayaannya merupakan sentra kedelai. Di Kalimantan Selatan, khususnya di desa Sungai Namang, kecamatan Danau Panggang, kabupaten Hulu Sungai Utara, perubahan ekosistem gambut berpengaruh secara langsung terhadap sumber-sumber penghidupan perempuan desa dengan cara yang berbeda. Desa yang terletak di dataran rendah rawa lebak di tepian sungai Nagara ini merupakan desa yang sebagian wilayah pemukimannya terletak di atas rawa gambut, yang ditumbuhi teratai dan purun. Teratai adalah sumber pangan, sementara purun merupakan bahan baku anyaman tikar dan bakul yang menjadi sumber pendapatan perempuan desa Sungai Namang. Berkembangnya perkebunan sawit di sekitar desa yang membawa masuknya gulma baru,
107
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
yaitu tanaman susupan gunung membuat wilayah rawa gambut di desa Sungai Namang menjadi tidak lagi produktif. Gulma ‘susupan gunung’ dengan cepat berkembang dan mendesak ruang hidup tanaman endemik rawa gambut Sungai Namang. Tidak hanya di wilayah hidup purun dan teratai, susupan gunung juga menutupi lahan-lahan pertanian masyarakat desa hingga sebagian besar lahan tidak lagi dapat ditanami padi. Susupan gunung (Mimosa pigra L.) merupakan tanaman perdu sejenis tanaman putri malu namun memiliki batang tanaman yang keras sehingga sulit dibersihkan. Akar susupan gunung yang memenuhi rawa juga mengambil ruang hidup ikan-ikan khas rawa gambut yang menjadi sumber pangan masyarakat desa, sehingga hasil tangkapan masyarakat desa pun berkurang. Membersihkan lahan gambut dari susupan gunung membutuhkan biaya besar karena harus menggunakan alat berat, sementara sebagian besar pemilik alat berat adalah pemilik perkebunan sawit. Dengan demikian, tanah-tanah milik masyarakat desa yang tidak terkelola sangat rentan diambil alih oleh pengusaha bermodal besar untuk dikonversi menjadi perkebunan. Menganyam purun merupakan sumber penghidupan utama di banyak desa di lahan gambut Kalimantan Selatan yang ketrampilannya masih dilestarikan hingga saat ini. Hampir seluruh rantai usaha rumahan anyaman purun didominasi oleh perempuan: mulai dari mencari bahan baku, menjemur, mewarnai, menganyam, menjahit, hingga menjual di pasarpasar kerajinan. Meskipun seringkali tidak dipandang sebagai sumber penghidupan yang bernilai tinggi - karena jumlah uang yang diterima langsung habis untuk mencukupi kebutuhan mingguan keluarga - tanpa anyaman purun, kehidupan sehari-hari keluarga di wilayah perdesaan Sungai Namang, juga desa-desa anyaman purun sekitarnya, akan menjadi sangat sulit. Terlebih ketika lahan pertanian tidak lagi dapat ditanami karena didesak gulma susupan gunung dan rawa gambut tidak lagi memberikan hasil ikan yang melimpah. Semakin sempitnya lahan purun yang ada di desa menyebabkan masyarakat desa harus mulai membeli bahan baku purun dari pedagang purun dari luar desa dan menyebabkan biaya produksi anyaman meningkat, sementara harga anyaman purun tetap rendah.
108
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
Perempuan dan Pemenuhan Kebutuhan Air: Hidup Kekeringan di Lahan Basah Menurunnya kualitas lahan gambut berpengaruh langsung pada kemampuan serasah gambut untuk menyerap air pada musim hujan dan melepaskan cadangan air pada musim kemarau. Akibatnya cadangan air yang dapat dikonsumsi masyarakat desa menjadi sangat berkurang. Di desa Kantan Atas, sebelum kanal-kanal digali dengan menggunakan excavator, warga desa hanya perlu menggunakan cangkul untuk menggali kolam yang tidak terlalu dalam pada lahan gambut untuk mendapatkan air yang layak dikonsumsi. Sumur bor tidak dibutuhkan karena air dapat diperoleh dengan mudah. Meskipun air gambut berwarna merah dan tidak bening layaknya air di tanah mineral, namun sebelum terjadinya degradasi ekosistem gambut, air gambut diyakini para petani perempuan dapat dikonsumsi. Di desa-desa yang dikeliling perkebunan sawit, seperti desa Sungai Namang dan desa Kantan Atas, ketersediaan air menjadi semakin sedikit dengan meluasnya lahan perkebunan sawit. Saat ini, untuk kebutuhan selain konsumsi memasak dan minum, perempuan desa memperoleh air dari sumur bor yang harus digali dalam, namun air yang didapatkan cenderung asin, kekuningan dan meninggalkan noda kuning pada pakaian. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan air minum dan memasak, pada musim hujan masyarakat desa dapat menampung air hujan pada drum-drum milik pribadi mereka, namun pada musim kering mereka harus membeli air galon yang merupakan air sungai yang dijernihkan oleh industri galon rumahan yang ada di sekitar wilayah desa mereka. Kenangan akan sumber air yang berkelimpahan dan kesedihan yang memuncak bersamaan dengan menyusutnya air dari lahan gambut masih terbayang kuat dalam benak perempuan petani Dulu di samping-samping rumah kami ada parit-parit kecil, banyak sekali airnya. Memang warnanya merah, tapi bisa diminum. Ikan juga banyak. Sekarang di parit besar saja nggak ada airnya. Sementara kalau musim hujan, paritnya ada airnya tetapi [mengandung] zat asam. Kemarau panjang paritnya kering, begitu hujan nanti airnya naik tapi zat asam di dalam tanahnya pun ikut naik. Airnya nggak bisa dipakai. Katak saja mati kalau masuk. Rumput-rumput pun mati. Jadi kami harus membeli air galon untuk minum atau menampung air hujan. Membeli air galon, bisa seharga 10.000 segalon, 1 galon habis dalam 3 hari, sehingga sebulan kami butuh paling nggak 10 galon. Air itu dipakai untuk minum dan masak. (Perempuan Petani Desa Kantan Atas 2019, Wawancara 24 Agustus)
109
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Langkanya air merupakan persoalan yang sangat penting yang membuat perempuan sulit menjalankan perannya di ranah domestik. Untuk perempuan, kehidupan mereka saat ini menjadi sulit karena apapun membutuhkan uang, sementara tanah mereka tidak lagi memberikan hasil yang dapat dijual. Akibatnya tidak ada pilihan kecuali bekerja menjadi buruh dan membiarkan suami dan anak-anak yang sudah cukup umur untuk merantau ke luar desa untuk memperoleh penghasilan. Meskipun saat ini sebagian dari mereka memiliki kebun karet harga karet yang rendah tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Di musim hujan kondisi kehidupan mereka sedikit lebih baik karena air dapat diperoleh dari penampungan air hujan, dan sebagian perempuan masih memiliki lahan yang dapat digunakan untuk menanam sayur meskipun dalam jumlah kecil untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja. Namun, perubahan iklim yang membuat musim kemarau menjadi lebih panjang dan musim hujan menjadi lebih pendek, seperti yang dialami pada tahun 2019 ini, membuat para perempuan petani desa Kantan Atas hanya memiliki waktu musim hujan yang pendek untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Sulitnya memperoleh air bersih tidak hanya berpengaruh pada kerja perempuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, namun juga berpengaruh pada kesehatan reproduksi perempuan. Tidak seperti laki-laki, perempuan membutuhkan lebih banyak air – bersih – untuk merawat organ reproduksinya. Buruknya kualitas air, yang disertai dengan buruknya sanitasi rumah tangga, dapat membawa dampak buruk bagi organ reproduksi perempuan dalam jangka pendek dan panjang.
Dari Petani Menjadi Buruh: Pemiskinan Perempuan dan Hilangnya Kemandirian Ketika lahan pertanian sulit ditanami, bersamaan dengan semakin meluasnya perkebunan yang dikelola perusahaan, terutama perkebunan sawit, bekerja menjadi buruh merupakan pilihan yang dapat segera diambil untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Di desa Kantan Atas, Kalimantan Tengah, misalnya, sulitnya kehidupan sebagai petani dan beralih fungsinya lahan gambut menjadi perkebunan sawit mendorong para perempuan petani desa Kantan Atas beralih menjadi buruh harian lepas (BHL) ataupun buruh borongan pada perkebunan sawit perusahaan (‘kerja sawitan’). Perempuan merupakan tenaga kerja yang penting pada perkebunan sawit yang memiliki tugas-tugas yang spesifik yang digenderkan. 110
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
Buruh perempuan di perkebunan sawit, baik dengan sistem BHL maupun borongan, biasanya terlibat dalam proses pembibitan tanaman dan pemeliharaan sawit yang baru ditanam. Pekerjaan yang dianggap memiliki karakteristik utama ‘merawat’ ini dianggap sebagai peran yang sesuai untuk buruh perempuan. Buruh perempuan biasanya diminta untuk merawat bibit, memupuk dan membersihkan rumput di antara tanaman sawit yang masih kecil agar sawit dapat tumbuh dengan baik. Pekerjaan ini biasanya berlangsung hingga 5 tahun pertama masa penanaman sawit. Ketika sawit mulai berbuah, laki-laki mengambil lebih banyak peran terutama untuk ‘mendodos’ (mengambil dengan galah berarit panjang) buah sawit dan mengangkut sawit, sementara perempuan tetap mengerjakan pembersihan, pemupukan dan pemberian pestisida di kebun serta memunguti brondolan sawit yang gugur ketika dipanen. Kerja mengumpulkan brondolan sawit seringkali dianggap sebagai pekerjaan yang ringan jika dibandingkan dengan mendodos, padahal para buruh perempuan harus menunduk sepanjang hari, mengumpulkan hingga 1 kandi brondolan (setara dengan 3-4 ember ukuran sedang) yang digendong pada punggung mereka. Pekerjaan memunguti brondolan sawit di perkebunan sawit Kantan Atas pada awalnya dibayar harian sebesar Rp.50.000, - namun kemudian berubah menjadi kerja borongan dengan upah sebesar 300 rupiah setiap kilogram-nya. Besarnya upah yang mereka dapatkan akan sangat tergantung pada berapa lama mereka bekerja dan berapa banyak yang mereka kumpulkan, dan hasilnya tidak selalu sama dari musim ke musim. Sistem borongan memaksa buruh bekerja dengan modal peralatan sendiri dan tanpa perlindungan dari perusahaan. Segala bentuk risiko ditanggung sendiri oleh pekerja harian lepas ataupun buruh borongan, baik terkait risiko kecelakaan kerja dalam jangka pendek maupun risiko kesehatan dalam jangka panjang karena penggunaan bahan kimia dalam pestisida, pupuk, maupun karena terendam dalam air gambut selama berjam-jam untuk dapat melakukan pemupukan dan pemberian pestisida. Sementara itu, uang 50 ribu rupiah per hari yang dihasilkan dari kerja keras perempuan sebagai buruh tidak membuat kehidupan perempuan menjadi lebih baik. Uang 50 ribu rupiah habis untuk jajan anak-anak (sekitar 10-20ribu perharinya) dan sisanya untuk membeli beras dan lauk pauk karena tanah mereka sudah tidak lagi subur. Seringkali penghasilan ini tidak
111
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
mencukupi. ‘Pak-pok’ adalah istilah yang digunakan oleh para perempuan petani untuk menggambarkan kehidupan rumah tangga mereka yang penuh dengan ‘tambal sulam’ untuk membayar hutang untuk mencukupi kebutuhan. Meskipun sawit merupakan sumber penghidupan alternatif setelah lahan mereka tidak lagi subur, perempuan desa Kantan Atas menyadari bahwa sawit juga mendorong degradasi ekosistem gambut menjadi lebih parah, dan semakin menjauhkan perempuan dari alam yang selama ini memberikan penghidupan. Sawit sendiri ada pengaruhnya [ke lingkungan]. Tanahnya menjadi terlalu kering. Apalagi begitu kebun plasma di Pangkoh 2 itu dibuka, semakin kering lagi tanahnya. Terlalu banyak parit-parit, kan berapa pohon dikasih parit, jadi tanahnya kering semua. Saya sering menanam sayur, kalau di sebelah Pangkoh 2 itu gak akan jadi. (Ibu Siti, Petani Perempuan Desa Kantan Atas 2019, Wawancara 24 Agustus)
Pengetahuan perempuan tentang bagaimana kehadiran sawit justru berdampak pada lingkungan dan kualitas hidup masyarakat lahir dari kesejarahan yang panjang dan peran-peran gender yang kerap kali dilekatkan kepada perempuan. Petani perempuan menyadari betul bahwa selama ini mereka bergantung hidup dengan kualitas lingkungan lahan gambut, mulai dari air, tanah, hingga udara (jika terjadi kebakaran). Seperti yang diungkapkan Rocheleau et al. (1996) bahwa peran dan tanggung jawab terhadap lingkungan kemudian tidak hanya menentukan akses dan kontrol seseorang terhadap sumber daya tetapi juga pengetahuan yang berbeda tentang sumber daya.
Migrasi Sementara Laki-laki dan Bergesernya Tatanan Gender di Ruang Privat Ketika sumber-sumber penghidupan di desa tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan keluarga karena degradasi ekosistem gambut, karhutla yang terjadi hampir setiap tahun dan adanya larangan membakar untuk menyiapkan lahan pertanian membuat penduduk desa mulai bergerak meninggalkan desa untuk menjadi buruh bangunan atau bekerja di tambang. Anak-anak muda, laki-laki dan perempuan, yang telah menamatkan pendidikan dasar atau pendidikan menengah pertama dan dianggap telah siap bekerja pun didorong untuk meninggalkan bangku sekolah untuk
112
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
menjadi buruh berupah. Desa-desa, seperti desa Pangkoh Sari atau Kantan Atas, lebih banyak dihuni perempuan dan anak-anak karena laki-laki dalam keluarga melakukan migrasi sementara. Migrasi sementara ini dapat memberikan hasil yang mencukupi kebutuhan keluarga masyarakat desa. Namun perginya laki-laki dari desa membawa implikasi lain ketika keluarga menjadi terpecah dan perempuan harus mengambil peran utama untuk mengelola rumah tangga dan memenuhi kebutuhan anak-anak. Dalam beberapa kasus bahkan migrasi menjadi persoalan besar karena pada akhirnya terjadi perpisahan permanen antara suami dan istri, misalnya ketika perempuan menolak untuk diajak bermigrasi atau perempuan ditinggalkan begitu saja tanpa kabar berita. Perempuan desa Pangkoh Sari, misalnya, mengambil alih peran sebagai kepala keluarga selama laki-laki dan anggota keluarga dewasa meninggalkan desa untuk mendapatkan penghidupan. Tatanan gender dalam masyarakat desa Pangkoh Sari pun bergeser, dengan perempuan mengambil alih hampir semua peran orang dewasa di dalam rumah tangga. Apa yang langsung dirasakan perempuan adalah bertambahnya beban kerja karena segala hal harus ditanganinya sendiri. Sementara itu di desa Kantan Atas, dengan berkembangnya perkebunan sawit di sekitar wilayah desa, sebagian perempuan akhirnya memilih untuk bekerja sebagai buruh sawit. Namun tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia untuk laki-laki di perkebunan sawit. Akibatnya sebagian besar laki-laki dan orang muda di desa harus pergi ke luar desa untuk mencari penghidupan. Sebagian laki-laki bekerja ‘emasan’ (menjadi buruh atau pekerja di tambang emas, yang umumnya merupakan pertambangan tradisional skala kecil). Dengan banyaknya kaum laki-laki yang bekerja ke luar dari desa, perempuan desa Kantan Atas harus hidup sendiri untuk mengurus rumah dan anak-anak, mengurus kebun yang masih ada dan mencari pakan ternak. Perempuan desa harus hidup sendiri, atau bersama anak-anak yang masih kecil, dan menjadi perempuan kepala keluarga. Apakah dengan ditinggalkannya desa oleh penduduk laki-laki maka kepemimpinan perempuan di ranah privat kemudian dapat diperluas dan masuk ke ranah publik? Apakah perempuan kemudian dapat memperoleh posisi dan peran signifikan dalam pengambilan keputusan praktis dan strategis di tingkat komunitas maupun desa? Ini masih menjadi pertanyaan besar. Perempuan memiliki peran penting di desa, terlepas dari apakah laki-
113
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
laki pergi meninggalkan desa ataupun tidak. Namun perginya kaum laki-laki dari desa untuk mencari penghidupan di luar desa meningkatkan urgensi dilibatkannya perempuan di dalam ruang publik, terkait perencanaan pembangunan dan pengambilan berbagai keputusan strategis yang dilakukan di tingkat komunitas maupun desa. Pendidikan bagi perempuan untuk membangun kesadaran kritis tentang konteks hidup masyarakat desa dari perspektif perempuan, juga dibukanya ruang-ruang aman bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan dan kebutuhannya, penting untuk dilakukan agar perempuan juga dapat terlibat aktif perencanaan pembangunan desa. Hambatan bagi keterlibatan perempuan dalam forum-forum desa disebabkan oleh beberapa faktor. Paradigma yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki membuat masyarakat, tidak hanya laki-laki namun juga perempuan, berpandangan bahwa laki-laki dapat mewakili sudut pandang dan kepentingan perempuan, sehingga kehadiran perempuan dapat diwakilkan oleh laki-laki. Rendahnya kepercayaan diri perempuan - karena tertutupnya akses untuk pengembangan diri, baik melalui pendidikan formal maupun informal - membuat perempuan enggan hadir jika diundang. Perempuan cenderung merasa pandangannya ‘tidak pantas’ untuk diungkapkan, karena merasa kemampuan dan pengetahuannya terbatas. Pertemuan-pertemuan di desa umumnya menggunakan kosakata yang sulit dipahami, terutama bagi kelompok perempuan yang tidak terbiasa dengan tata krama yang digunakan dalam pertemuan resmi, membuat perempuan merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Namun, perempuan secara reguler telah hadir di ruang publik, seperti kegiatan pengajian, kegiatan kerja bersama atau gotong royong di desa. Dengan komunikasi dan kerjasama yang baik, forum-forum seperti ini dapat digunakan untuk mulai mendidik perempuan untuk mengungkapkan pandangan mereka. Selain itu, menciptakan ruang-ruang aman bagi perempuan sangat penting untuk dilakukan. Ruang aman dapat diciptakan dengan mengadakan pertemuan dengan kelompok-kelompok yang sama/ sejenis (di antara perempuan) pada tempat dan waktu yang disesuaikan dengan waktu yang mereka miliki. Kunjungan dari ke rumah juga dapat menjadi jalan untuk membangun keterbukaan.
114
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
Menilik Posisi Perempuan Desa Gambut dalam Model Pembangunan yang Mengeksploitasi Alam Kisah-kisah di atas menggambarkan pengalaman perempuan desa yang terjebak dalam arus pembangunan yang mengambil sebanyak-banyaknya dari alam. Tanpa memahami karakteristik gambut dan mengedepankan peran gambut dalam siklus alam, model pembangunan yang dilakukan dengan mengubah sifat-sifat alami gambut selama berpuluh tahun telah mendesak ruang hidup, tidak hanya flora dan fauna khas gambut, namun juga manusia yang mencoba bertahan hidup di atasnya. Alam yang berkelimpahan secara bertahap, dan dalam waktu yang relatif singkat, “dikeringkan” agar dapat memberikan manfaat dengan cara-cara yang ditentukan manusia. Gerakan pembangunan yang pada awalnya seolah-olah dilakukan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat perdesaan, perempuan dan laki-laki, pada akhirnya justru menimbulkan persoalan besar dan memiskinkan masyarakatnya. Peningkatan pendapatan, sebagai satu-satunya tujuan yang dianggap layak dalam memperbaiki kehidupan manusia, terus digenjot tanpa memperhatikan kepentingan manusia dan unsur-unsur alam lainnya. Tujuan dan kemudahan yang ingin diraih dalam jangka pendek mengalahkan keberlanjutan ekosistem gambut dalam jangka panjang. Pengeringan lahan gambut dengan sistem kanalisasi, seperti digambarkan di atas, tanpa pemahaman mengenai karakter gambut, telah meninggalkan persoalan besar yang hingga saat ini belum dapat ditangani dengan baik, termasuk kekeringan dan persoalan karhutla menyertainya, ditinggalkannya lahan-lahan yang awalnya subur dan dilepaskannya emisi gas rumah kaca yang mendorong percepatan perubahan iklim. Kajian ekologi politik feminis merasa perlu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci; siapa yang memiliki kontrol atas lahan? Siapa yang mengakses lahan? Siapa yang paling dirugikan dari rusaknya lahan? Dengan kajian ekologi politik feminis kemudian kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan lensa ekologi politik dan gender, serta menunjukkan bahwa politik tata kelola desa di level global, nasional, lokal membawa dampak berlapis bagi perempuan mulai dari persoalan hakhak hidup dasar (air dan pangan), persoalan alih profesi, hingga persoalan politik identitas sebagai kepala keluarga saat laki-laki memilih keluar dari desa.
115
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Tabel 1. Analisis Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut Politik Tata Kelola Yang Menyebabkan Degradasi Ekosistem Gambut Gelombang Pertama 1980an Transmigrasi penduduk menuju kawasan gambut dengan membangun identitas sebagai sebuah desa bercorak pertanian. Proyek Sejuta Hektar Lahan Gambut (Mega Rice Project pembukaan lahan gambut untuk pertanian desa transmigran) yang tidak disertai dengan pengetahuan lingkungan lahan gambut baik di level pengambil kebijakan maupun masyarakat. Praktik membuka lahan dengan cara membakar sebagai sebuah budaya pertanian di kawasan gambut yang berdampak pada menurunnya lapisan ketebalan gambut, kekeringan, hingga kebakaran.
116
Peran Perempuan dan Laki-Laki Sebelum Degradasi Ekosistem Gambut
Dampak Degradasi Ekosistem Gambut Kepada Laki-Laki dan Perempuan
Perempuan:
Perempuan:
1.
Mengelola pertanian bersama-sama dengan petani laki-laki
1.
2.
Menganyam Purun untuk meningkatkan ekonomi keluarga
3.
Penyedia pangan keluarga (air dan makanan).
Pertanian pangan tidak lagi dapat dilakukan karena lahan gambut menjadi kering atau memiliki kandungan asam yang tinggi dan adanya larangan membakar – terjadi kerentanan pangan yang menyulitkan perempuan untuk memperoleh pangan untuk keluarga.
2.
Perempuan sulit mengakses air bersih untuk kebutuhan keluarga dan kesehatan reproduksi perempuan.
3.
Perempuan sulit memenuhi kebutuhan pangan keluarga karena ikan sulit didapatkan di rawa gambut dan tanaman pangan tidak dapat tumbuh.
4.
Tanaman purun yang digunakan perempuan untuk bahan dasar anyaman semakin sulit didapatkan.
5.
Perempuan beralih profesi menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit.
Laki-laki: 1.
2.
Mengelola pertanian bersama-sama dengan petani perempuan. Pengambil keputusan dalam keluarga.
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Politik Tata Kelola Yang Menyebabkan Degradasi Ekosistem Gambut Gelombang Kedua puncaknya pada tahun 2000an Masuknya Industri Kelapa Sawit ke Desa Gambut sebagai wujud dan/atau bukti bahwa globalisasi ekonomi tidak hanya bekerja di kawasan perkotaan tetapi juga pedesaan.
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
Peran Perempuan dan Laki-Laki Sebelum Degradasi Ekosistem Gambut
Dampak Degradasi Ekosistem Gambut Kepada Laki-Laki dan Perempuan
6.
Ketika laki-laki banyak keluar dari desa, maka perempuan harus mengambil alih peran laki-laki dalam keluarga, termasuk berbagai keputusan penting dalam keluarga.
Laki-laki: 1.
Pertanian pangan tidak lagi dapat dilakukan karena lahan gambut kering atau memiliki kandungan asam yang tinggi dan adanya larangan membakar sehingga laki-laki melakukan migrasi untuk mendapatkan sumber penghidupan lainnya.
2.
Laki-laki beralih profesi menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit.
Sumber: diolah dari data penelitian oleh penulis.
Tabel 1 di atas menjelaskan bagaimana politik tata kelola kawasan gambut berdampak secara berbeda bagi perempuan dan laki-laki, serta menggambarkan bagaimana persoalan yang dihadapi masyarakat di desa gambut terbentuk melalui sejarah ekonomi politik yang panjang. Hal ini juga menjelaskan bahwa desa sebagai sebuah entitas tidaklah ajeg/ tunggal, ia dipengaruhi oleh berbagai konteks ekonomi politik, struktur lingkungan/ tanah, serta masyarakatnya. Yang semuanya saling berkelindan dengan persoalan kelas, ras, gender, etnisitas. Misalnya bagaimana keputusan tentang pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat desa telah diketahui
117
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
perempuan desa sebagai praktik yang salah, namun mereka tidak memiliki kontrol (karena ada relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan) atas keputusan-keputusan politik terkait lingkungan. Padahal perempuanlah yang sehari-hari berinteraksi dengan alam. Relasi kuasa dalam soal sumber daya, penting untuk melihat relasi seseorang dengan sumber daya apakah sebagai pengguna, pemilik, atau pengelola atau relasi konflik dll. Relasi kuasa ini kemudian mempengaruhi bagaimana kepemilikan sumber daya oleh suatu komunitas dan bagaimana tipe lingkungan tersebut (Rocheleau et al. 1996, h.8). Kedekatan perempuan dengan alam memperhitungkan berbagai unsur alam, tidak hanya yang secara langsung memberikan manfaat bagi, namun memiliki peran dalam menjaga alam. Pengamatan perempuan akan apa yang terjadi dalam perubahan ekosistem gambut, seperti digambarkan di atas, menunjukkan ketajaman karena perempuan sehari-hari mengikuti perubahan alam: mengeruhnya air, menguningnya daun padi, tidak tumbuhnya sayur mayur yang ditanam, menghilangnya purun dan pandan, juga tanaman obat yang banyak digunakan perempuan. Penjelajahan perempuan untuk mencari penghidupan bagi keluarganya di berbagai wilayah di kawasan hidrologis gambut merupakan sumber pengetahuan penting yang seharusnya dipertimbangkan dalam upaya pengembangan desa. Perempuan desa, dalam struktur masyarakat pedesaan yang patriarkal, mengalami pukulan yang terberat ketika ruang-ruang hidup perempuan diambil alih dan dikonversi secara membabi buta. Investasi yang dilakukan untuk mengubah permukaan gambut agar dapat dikendalikan dengan cara-cara yang tidak ramah gambut, telah membuat perempuan kehilangan sumber-sumber pangan yang penting untuk keluarganya, dan membuat perempuan menjadi lebih miskin karena keragaman sumber penghidupan tergantikan oleh model perkebunan cash-crop monokultur yang melemahkan kemandirian perempuan.
Penutup Perempuan dan laki-laki di wilayah pedesaan gambut berinteraksi dengan lahan gambut dengan cara yang berbeda karena memiliki akses dan kontrol yang berbeda terhadap sistem ekologi yang diterapkan, sebagai dampak dari peran-peran sosial dan budaya yang tergenderkan. Mendorong 118
Catharina Indirastuti & Andi Misbahul Pratiwi
Ketika Lahan Basah Mengering: Kajian Ekologi Politik Feminis Degradasi Ekosistem Gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan
tercapainya kesetaraan gender dalam peran dan posisi yang dapat diambil perempuan dalam mengelola sistem ekologi di wilayah pedesaan gambut akan dapat mendorong transformasi dalam tata kelola gambut yang lebih lestari. Dalam hal ini setidaknya terdapat dua hal yang dapat dilakukan untuk mendorong tercapainya kesetaraan gender untuk transformasi tata kelola gambut yang lebih lestari. Yang pertama adalah dengan mempertimbangkan pengetahuan perempuan dalam menentukan tata kelola lahan gambut. Kemampuan perempuan untuk bertahan di alam berbeda dengan laki-laki karena perempuan tidak memusatkan eksploitasi alam untuk menghasilkan uang namun memandang alam sebagai sumber penghidupannya dalam arti yang lebih luas: air dan berbagai bahan pangan dan bahan baku kerajinan yang dikelola mengikuti ritme alam dan iklim. Kedua, akses atas sumber daya yang ada di dalam ekosistem gambut dapat dibedakan berdasarkan gender. Perbedaan akses ini juga terjadi dalam kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan yang dilakukan untuk menentukan sistem tata kelola dan tata kuasa ekosistem gambut yang ada di wilayah perdesaan maupun kawasan hidrologis gambut. Dalam budaya yang dominan, hak kepemilikan dan penguasaan lahan pribadi, maupun lahan bersama, dipegang oleh lakilaki yang dianggap sebagai kepala keluarga. Namun ketika ekosistem gambut rusak daya dukung gambut sebagai ruang hidup masyarakat desa melemah, banyak laki-laki harus meninggalkan desa untuk mencari sumber penghidupan baru. Perempuan kemudian menjadi ‘kepala keluarga’ yang bertahan di desa. Maka pengambilan keputusan dikuasai oleh kelompok elit desa tanpa pelibatan perempuan dapat meninggalkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat di desa yang diwakili oleh kaum perempuan tersebut. Pembukaan akses bagi perempuan atas sumber daya yang ada di desa, juga memberikan tanggung jawab pada perempuan untuk turut menentukan tata kelola ekosistem gambut. Melalui akses ini maka kepentingan perempuan dan kelompok marginal lainnya dapat diperhitungkan. Dalam pengalaman perempun penganyam purun, jika akses atas lahan bersama desa diberikan bagi kelompok-kelompok perempuan penganyam purun, maka keberlanjutan sumber penghidupan perempuan dan masyarakat desa, sekaligus kualitas ekosistem gambut pun akan terjaga. Memberikan kelompok perempuan penganyam akses atas lahan-lahan yang dikelola
119
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
desa merupakan awal dari transformasi desa untuk pengelolaan lahan yang lebih ramah gambut, karena purun hanya dapat hidup dalam ekosistem gambut yang terjaga.
Daftar Pustaka BRG 2019, Profil Desa Kantan Atas, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah, diakses pada 1 Agustus 2019, https://brg.go.id/wp-content/ uploads/2019/03/FIX-Kalteng-Pulang-Pisau-Pandih-Batu-Desa-Kantan-Atas.pdf Elmhirst, R 2011, Introducing New Feminist Political Ecologies. Geoforum 42(2):129-132. Fiantis et al. 2019, Tidak Cukup Restorasi Gambut Untuk Mencegah Kebakaran Hutan Berulang di Sumatra dan Kalimantan, diakses pada http://theconversation.com/tidakcukup-restorasi-gambut-untuk-mencegah-kebakaran-hutan-berulang-di-sumatra-dankalimantan-124110 Fraser, B 2019, Apakah laju deforestasi di pulau Kalimantan melambat? Diakses pada 30 Agustus 2019, https://forestsnews.cifor.org/59433/apakah-laju-deforestasi-di-pulaukalimantan-melambat?fnl=id Mongabay 2016, Bentang Lahan Gambut: Kebakaran dan Sejarah Tata Kelolanya di Indonesia, diakses pada 30 Agustus 2019, https://www.mongabay.co.id/2016/08/26/bentang-lahangambut-kebakaran-dan-sejarah-tata-kelolanya-di-indonesia/ Osaki, M & Tsuji, N (eds.) 2016, Tropical Peatland Ecosystems, Springer: Japan. Page, SE, Rieley, JO, Banks, CJ 2011, Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Glob Chang Biol 17:798–818. Rocheleau et al. 1996, Feminsit Political Ecology: Global Issues and Local Experiences, Routledge, New York. Sundberg, J 2017, Feminist Political Ecology. In International Encyclopedia of Geography: People, the Earth, Environment and Technology (eds D. Richardson, N. Castree, M. F. Goodchild, A. Kobayashi, W. Liu and R. A. Marston).
120
Topik Empu
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo Women as Agent of Social Inclusion: Experience of the Women of a Local Belief Community in Salamrejo Village Dewi Komalasari
Jurnal Perempuan Jl. Karang Pola Dalam II No. 9A, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia, 12540 dewikoma@jurnalperempuan.com Kode Naskah: DDC 305 Kronologi Naskah: Diterima 21 November 2019, direvisi 1 Desember 2019, diputuskan diterima 1 Desember 2019 Abstract: Minority religious groups are vulnerable towards discrimination and social exclusion. Social exclusion is a multidimensional phenomenon that is closely related to the denial of the enjoyment of civil and political rights as well as economic and socio-cultural rights. Social exclusion also excludes the excluded people from development process in the village. This article discusses the social exclusion experienced by community of local belief’s groups, the Association of Eklasing Budi Murko (PEBM) in Salamrejo village, in Kulon Progo, Special Autonomy of Yogyakarta. The economic empowerment approach has been used to promote inclusion among communities in the village. The establishment of Cooperative Business Group (KUBE) and also other economic works have encouraged women’s role as agent for social inclusion. Business activities established by PEBM have opened room for interaction between women from local belief’s community with other women in the village. Keywords: social exclusion, social inclusion, local belief followers, women’s empowerment, women’s agency Abstrak Kelompok-kelompok penganut agama minoritas memiliki kerentanan terhadap diskriminasi dan eksklusi sosial. Eksklusi sosial merupakan fenomena multidimensi yang erat kaitannya dengan pengingkaran terhadap penikmatan hak-hak sipil politik serta ekonomi dan sosial budaya. Ekslusi sosial juga mengecualikan orangorang yang dieksklusi dari proses pembangunan di desa. Artikel ini membahas eksklusi sosial yang dialami kelompok komunitas penghayat, Perkumpulan Eklasing Budi Murko di desa Salamrejo, di daerah Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk membangun desa inklusif komunitas penghyat di desa Salamrejo menggunakan pendekatan pemberdayaan ekonomi. Pembentukan
121
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019 Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan unit usaha ekonomi lainnya telah mendorong peran perempuan sebagai agen inklusi sosial. Kegiatan bisnis dalam unit-unit usaha yang dibentuk oleh Perkumpulan Eklasing Budi Murko (PEBM) tersebut telah membuka ruang interaksi antara perempuan penghayat dengan perempuan lain di desa. Kata kunci: eksklusi sosial, inklusi sosial, penghayat kepercayaan, pemberdayaan perempuan, agensi perempuan
Pendahuluan Dalam sensus nasional tahun 2010 (BPS 2019), jumlah penganut agama lain termasuk penghayat kepercayaan di Indonesia relatif kecil. Jumlah penganut agama dan kepercayaan lain hanya sekitar 0,13 persen dari total penduduk atau sekitar 266.617 orang. Dari sensus tersebut, sebanyak 0,06 persen atau 139.582 orang memilih tidak menjawab dan sejumlah 0,32 persen atau 757.118 orang tidak ditanyakan. Sementara itu, data Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi tahun 2018 mendata sejumlah 190 pusat organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha, dan 985 organisasi cabang (Kemdikbud 2019). Data yang sama mendata bahwa organisasi-organsasi tersebut diikuti setidaknya dua belas juta penghayat yang tersebar dari Pulau Sumatera, Pulau Jawa hingga Pulau Sulawesi. Di beberapa wilayah Indonesia, kelompok agama minoritas dan penghayat kepercayaan kerap mengalami eksklusi sosial. Bentuk-bentuk eksklusi sosial yang dialami misalnya: stigma; ketiadaan identitas hukum; hambatan dalam mengakses layanan-layanan sosial seperti layanan kesehatan dan pendidikan; hilangnya aset ekonomi, sumber mata pencaharian dan hak untuk beribadah; serta eksklusi dari kegiatan komunitas baik pengucilan bahkan ancaman dan perlakuan kekerasan (Program Peduli 2016). Dalam kertas kerja yang disusun oleh Program Peduli, diperkirakan sejumlah 500.000 sampai dengan 1 juta orang mengalami diskriminasi terhadap agama minoritas / penghayat kepercayaan (Program PEDULI 2015a). Eksklusi sosial adalah proses di mana individu atau suatu kelompok, baik sebagian maupun secara keseluruhan, tidak dilibatkan atau dikecualikan dari partisipasi penuh dalam masyarakat di mana mereka tinggal (Rawal 2008). Riset oleh Program Peduli (2015b) menemukan sekitar 1.045 kasus eksklusi yang dialami kelompok-kelompok rentan, termasuk pada kelompok agama leluhur maupun penghayat kepercayaan. Hampir separuh dari jumlah tersebut terjadi dalam bentuk eksklusi vertikal yang dilakukan oleh
122
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
negara yaitu sebanyak 500 kasus, sementara itu eksklusi horisontal yang dilakukan oleh komunitas dan terjadi bersamaan dengan eksklusi vertikal yang dilakukan oleh negara sebanyak 227 kasus (Program Peduli 2015b). Studi yang dilakukan Program Peduli (2016) juga menemukan dua bentuk eksklusi sosial yang paling banyak ditemukan. Pertama adalah berupa hambatan untuk mengakses pembuatan dokumen identitas resmi oleh negara. Tanpa kepemilikan dokumen tersebut akibatnya tidak dapat mengakses berbagai layanan publik dan peluang memperoleh mata pencaharian. Kedua, berupa stigmatisasi yang dilakukan oleh masyarakat. Studi Program Peduli (2015b) menemukan adanya korelasi antara kegagalan negara untuk mengakui hak-hak kewarganegaraan mereka dengan stigma pada level komunitas. Misalnya, orang-orang yang ditolak identitas legalnya oleh negara juga lebih berpeluang mengalami eksklusi dalam bentuk stigma pada komunitas mereka. Tabel 1. Bentuk Eksklusi Yang Dialami Kelompok Marginal Bentuk Eksklusi
# jumlah kasus
Aktor Dominan
Stigma dan pelabelan negatif
75
Negara dan komunitas
Kegagalan negara dalam mengakui kewarganegaraan
73
Negara
Isolasi sosial
42
Negara dan komunitas
Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi
38
Komunitas
Hambatan dalam mengakses pendidikan
38
Negara
Penolakan pengakuan terhadap hak beragama
34
Negara
Hambatan dalam layanan sosial dan kesehatan
33
Negara
Intimidasi dari aparat keamanan
31
Negara
Tidak dimasukkan dalam layanan publik lainnya
25
Negara
Tidak ada akses untuk memperoleh identitas legal
25
Negara
Sumber: Laporan Bi-Annual Program Peduli TAF Juli – November 2015
123
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Stigma tersebut tidak jarang berakhir dengan konflik maupun serangan kekerasan yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik tahun 2011 yang menewaskan tiga orang, juga penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang hingga mereka harus mengungsi dan terusir dari tempat tinggalnya merupakan contoh eksklusi yang berujung kekerasan (Human Rights Watch 2013). Eksklusi yang dialami oleh penganut agama minoritas dan penghayat kepercayaan menyebabkan mereka kehilangan hak-haknya untuk berpartisipasi dan mengeluarkan pendapat dalam forum-forum kemasyarakatan (Program Peduli 2016). Karena tidak dilibatkan dalam proses pembangunan, maka mereka kemudian tidak bisa memberi usulan mengenai program pembangunan yang mereka butuhkan. Pada gilirannya situasi ini kemudian menghalangi komunitas agama dan kepercayaan minoritas untuk menikmati program dan hasil pembangunan. Sehingga sebagai warga negara, mereka kehilangan hak-hak dasarnya untuk memperoleh perlindungan, penghormatan dan kesejahteraan dari negara. Temuan lain studi tersebut termasuk eksklusi ekonomi yang dialami kelompok-kelompok rentan (Program Peduli 2016). Eksklusi ekonomi yang dialami misalnya ketidakmampuan untuk mengakses layanan kredit karena kurangnya identitas hukum, hingga pengecualian dari peluang kerja dan pasar berdasarkan prasangka yang dilekatkan pada mereka. Berbagai kelompok rentan tersingkir dari kehidupan masyarakat karena dianggap berbeda dan juga karena stigma terhadap diri mereka. Eksklusi dan stigma ini membuat mereka rentan terhadap kemiskinan. Artikel ini akan memaparkan dan menganalisa pengalaman perempuan komunitas penghayat kepercayaan yang tergabung dalam Perkumpulan Eklasing Budi Murko (PEBM) sebagai agen inklusi sosial di desa Salamrejo. Anggota PEBM adalah pelaku penghayat spiritual kejawen yang mengajarkan tata cara kehidupan bermasyarakat, segi kehidupan, kepercayaan terhadap Tuhan dan alam semesta, serta menggali kebudayaan warisan nenek moyang (Agatha Dian et al. 2016). Mayoritas penduduk Desa Salamrejo merupakan orang Jawa yang masih memegang teguh adat dan budaya asli Jawa. Dalam budaya Jawa terdapat istilah perempuan adalah konco wingking (di belakang). Konsep ini bisa dimaknai bahwa perempuan ‘berposisi di belakang’ dengan tugas reproduktif dan domestik, juga di belakang karena kurang penting dan
124
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
harus disembunyikan (Program Peduli 2017b). Dalam posisinya sebagai perempuan dan sekaligus penganut kepercayaan minoritas maka perempuan penghayat kepercayaan memiliki posisi minoritas berlapis dan rentan terhadap diskriminasi berlapis. Melalui pemaparan dan analisa terhadap pengalaman agensi perempuan penghayat di desa Salamrejo dalam mendorong inklusi sosial, artikel ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut. Pertama upaya apa yang dilakukan oleh PEBM untuk memperluas penerimaan sosial masyarakat setempat? Kedua, bagaimana peran dan agensi perempuan dalam upaya inklusi sosial yang dilakukan di desa Salamrejo? Artikel ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan terhadap dokumen dan literatur. Adapun dokumen yang menjadi bahan utama kajian berupa laporan perkembangan program program PEDULI yang disusun oleh The Asia Foundation (TAF), beserta kajian yang dilakukan mitra TAF, yaitu Satunama dan LKiS, serta catatan kunjungan lapangan oleh mitra pendamping. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam kajian ini memiliki rentang waktu sejak tahun 2014 sampai dengan 2019. Analisis juga dilakukan terhadap dokumen seperti buku sejarah desa, kertas kebijakan dan cerita keberhasilan yang dikumpulkan mitra pelaksana program sebagai lampiran pada laporan. Konsep eksklusi dan inklusi sosial serta agensi dan pemberdayaan perempuan sebagai konsep teoritis yang digunakan dalam artikel ini.
Eksklusi dan Inklusi dalam Kajian Teoritis Pengurangan kemiskinan yang bermakna dan berkelanjutan bagi mereka yang dieksklusi secara sosial mensyaratkan adanya perubahan dalam struktur sosial yang mengatur akses ke sumber daya dan peluang ekonomi (Program Peduli 2015a). Eksklusi sosial dapat dilihat sebagai konsep yang multidimensional, dinamis, dan erat kaitannya hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi dan sosial (Gore dan Figueiredo 1997). Hal ini dipertegas oleh De Haan (1998) yang menyebut bahwa eksklusi sosial ditandai dengan ketidakmampuan kelompok-kelompok atau seseorang untuk berpartisipasi dalam fungsi-fungsi dasar politik, ekonomi dan sosial masyarakat. Aasland dan Flotten (Rawal 2008) menjabarkan, eksklusi sosial sebagai fenomena multidimensi dapat dilihat dari beberapa variabel dalam kondisi kehidupan yang penting sebagai proksi eksklusi sosial yaitu: 1) Eksklusi dari 125
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
hak-hak kewarganegaraan formal; 2) Ekslusi dari pasar tenaga kerja; 3) Ekslusi dari partisipasi dalam masyarakat sipil; dan 4) Eksklusi dari arena sosial. Masih menurut Aaslan dan Flotten, selintas akan tersirat bahwa seseorang tidak dieksklusi secara sosial. Karenanya perlu diperhatikan lebih seksama indikator, derajat dan tingkat partisipasi dalam arena-arena yang berbeda dan perlu dilihat dalam kaitannya satu dengan yang lain. Eksklusi sosial beroperasi di berbagai tingkatan sosial, mencakup dimensi politik, budaya dan ekonomi, mempengaruhi orang dengan cara yang berbeda pada waktu yang berbeda, dan sering kali merupakan hasil dari hubungan kekuasaan yang tidak setara (Program Peduli 2016). Akibat dari eksklusi sosial, menurut Young (2000), tidak selalu membuat individu atau komunitas yang tereksklusi menjadi miskin. Namun eksklusi tersebut menghambat mereka untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat tempat mereka tinggal. Bentuk eksklusi sosial yang paling umum dan mudah dikenali adalah stigma dan tindakan stigmatisasi (Allman 2013). Menurut Kurzban & Leary (Allman 2013) stigma adalah suatu proses yang mengarahkan individuindividu tertentu untuk “secara sistematis dikecualikan dari jenis interaksi sosial tertentu karena mereka memiliki karakteristik tertentu atau anggota kelompok tertentu”. Inklusi sosial adalah proses untuk membangun hubungan sosial dan menghormati individu dan komunitas agar mereka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan; kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya; dan memiliki akses yang adil terhadap dan kontrol atas sumber daya (untuk memenuhi kebutuhan dasar) guna menikmati standar kesejahteraan dianggap layak dalam masyarakat mereka (Program Peduli 2015a). Pendekatan inilah yang digunakan untuk menghadapi eksklusi sosial yang dialami kelompok rentan, termasuk kelompok agama minoritas / komunitas penghayat kepercayaan. Allman menjelaskan inklusi sosial sebagai upaya untuk menghadapi prasangka dan diskriminasi yang menjadi komponen stigmatisasi (Allman 2013). Inklusi sosial dapat terkait dengan berbagai pengelompokan sosial, termasuk diferensiasi demografis sehubungan dengan status sosial ekonomi; budaya dan bahasa utama, termasuk kelompok masyarakat asli / adat; agama; geografi, termasuk yang di daerah, pedesaan dan / atau daerah terpencil; gender dan orientasi seksual; usia, termasuk kelompok pemuda
126
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
dan orang lanjut usia; kesehatan, termasuk disabilitas fisik dan mental; penggangguran; tunawisma dan penahanan / pemenjaraaan (Gidley et al. 2010). Potensi Manusia Teori-teori Pemberdayaan Pedagogi Harapan Teori Pascakolonial Istilah-istilah kunci “keberagaman budaya” “pembelajaran sepanjang hayat” “potensi transformasi sosial” “suara didengar”
Keadilan Sosial Teori-teori Pedagogi kritis Teori Kemitraan Teori Feminis Istilah-istilah kunci “pelibatan masyarakat” “kapabilitas” “tanggungjawab sosial” “Perusahaan sosial”
Neoliberalisme Teori-teori Ekonomi pasar bebas Teori Modal Manusia Teori Modal Sosial Istilah-istilah kunci “kerja yang utama” “pertumbuhan ekonomi” “kurangnya ketrampilan” “modal sosial”
Gambar 1. Spektrum Ideologi yang Melandasi Teori dan Kebijakan Inklusi Sosial Sumber: Gidley et al. 2010
Gidley et.al. (2010) membedakan derajat inklusi sosial dalam beberapa kategori dengan interpretasi yang paling sempit berkaitan dengan gagasan neoliberalisme mengenai inklusi sosial sebagai akses. Interpretasi yang lebih luas mengenai gagasan keadilan sosial memandang inklusi sosial sebagai partisipasi. Sementara interpretasi terluas mengenai inklusi sosial melibatkan lensa potensi manusia yang melihat inklusi sosial sebagai pemberdayaan. Dari perspektif ideologi neoliberalisme, meningkatkan inklusi sosial erat kaitannya dengan investasi pada sumber daya manusia dan memperbaiki 127
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
kurangnya tenaga terampil semata-mata untuk tujuan pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari agenda nasional dalam membangun ekonomi negara agar dapat tampil lebih baik di pasar global yang kompetitif. Istiahistilah kunci yang dipakai dalam teori dan kebijakan yang dilandasi perspektif tersebut seperti: kerja, kerja dan kerja; pertumbuhan ekonomi, kurangnya ketrampilan, modal sosial. Dari perspektif ideologi keadilan sosial, meningkatkan inklusi sosial erat kaitannya dengan hak asasi manusia, kesempatan yang sama, martabat manusia, dan keadilan bagi semua. Inklusi sosial dapat berkaitan maupun tidak, dengan kepentingan ekonomi; namun tujuan utamanya adalah memampukan semua manusia untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam masyarakat dengan penghormatan pada martabat mereka sebagai manusia. Inilah yang melatarbekalangi tindakan pelibatan dan partisipasi masyarakat. Dari perspektif ideologi potensi manusia, peningkatan inklusi sosial melampaui lebih dari sekadar keadilan dan hak asasi manusia serta berupaya memaksimalkan potensi setiap manusia. Pendekatan potensi manusia berpusat pada interpretasi inklusi sosial sebagai pemberdayaan, yang didalamnya melibatkan pentingnya moral ketika bekerja dengan kompleksitas kemanusiaan. Perspektif tersebutlah yang melatarbelakangi gagasan bahwa semua manusia baik populasi umum maupun kelompok marginal merupakan makhluk multi-dimensional. Mereka juga memiliki kebutuhan dan kepentingan, yang melampaui peran mereka dalam ekonomi politik suatu negara. Di sini, inklusi sosial menghargai perbedaan dan keberagaman dan mengarah pada kolektif individualisme.
Mengenal Lebih Dekat Desa Salamrejo Desa Salamrejo yang masuk dalam Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), telah berdiri sejak tahun 1933 melalui penggabungan dua kelurahan yaitu: Kelurahan Jlegong dan Kelurahan Salam. Setelah penggabungan namanya berubah menjadi Salamrejo yang bermakna Selamat dan Makmur (Agatha Dian L, et.al. 2016). Desa Salamrejo terletak di tepi Sungai Progo dengan topografi tanah berbukit merupakan kawasan pertanian dengan komoditas utama padi, ketela dan jagung. Peternakan yang terdapat di desa Salamrejo merupakan peternakan rakyat seperti sapi, kambing dan ayam. Sedangkan hasil perikanan adalah perikanan darat yang dilakukan dengan membangun 128
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
kolam-kolam buatan. Sungai Progo yang mengaliri desa juga menjadi salah satu tempat untuk sebagian masyarakat mengais rejeki dengan menambang pasir. Tepian hamparan sungai juga dijadikan salah satu tujuan wisata memancing, arung jeram, serta kegiatan ruang lainnya. Sebagian wilayah desa di sebelah selatan dilalui jalan negara yang merupakan jalur lintas pulau Jawa. Selain itu, desa Salamrejo juga dibelah oleh jalan provinsi antara Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Persebaran penduduk di Desa Salamrejo mengikuti jalur jalan provinsi tersebut, dan sebagian lagi menyebar dan terpusat di wilayah padukuhan. Penduduk pada umumnya bermukim di sekitar jalan-jalan yang menghubungkan dengan pusat perdagangan. Faktor geografis desa Salamrejo turut memengaruhi kehidupan di desa. Salah satu contohnya adalah mata pencaharian sebagian besar penduduk sebagai petani, juga keterkaitan anggota masyarakat dengan desa atau tanah kelahirannya. Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet yang ditandai dengan masih lestarinya tradisi seperti Rewang, Sambatan, Baritan atau sedekah laut juga sedekah bumi yang rutin dilaksanakan setiap bulan Suro. Selama menunggu panen, sebagian besar dari penduduk mengisi kegiatan sampingan sebagai pengrajin. Namun tidak sedikit pula yang benar-benar menggantungkan hidupnya dari usaha kerajinan tangan. Usaha kerajinan tangan berupa pembuatan perkakas rumah tangga dari bahan serat alam Agel (Corypha Gebanga) telah berlangsung selama puluhan tahun. Kerajinan serat alam Salamrejo begitu digemari di Kulon Progo bahkan Yogyakarta pada kurun waktu 1980 sampai sekitar tahun 2005 dan dapat ditemukan dengan mudah di pasar-pasar besar. Produk kerajinan serat alam tersebut juga dijual sebagai cinderamata bagi wisatawan di lokasilokasi tujuan wisata. Bagi beberapa warga, usaha tersebut masih menjadi penyambung hidup meski pamornya mulai meredup pada pertengahan 1980-an akibat kelangkaan bahan baku. Sebagai masyarakat Jawa, Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa seharihari untuk berkomunikasi, dan untuk bahasa pengantar dalam perhelatan seperti pernikahan. Masyarakat desa Salamrejo juga masih melestarikan upacara adat Jawa. Beberapa kegiatan dalam tradisi masyarakat Jawa juga masih dipertahankan hingga saat ini seperti Nyadran, Selikuran, Tirakatan dan ritual adat lainnya. Selain itu, warga Desa Salamrejo juga masih
129
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
menggunakan perhitungan dan penanggalan Jawa dalam setiap upacara adat maupun kegiatan rutin. Seperti desa lainnya, di Desa Salamrejo terdapat lembaga-lembaga desa seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Perusahaan Umum Desa (Perumdes), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan yang lainnya. Selain itu juga terdapat beragam komunitas mulai dari klub olahraga, kelompok arisan, grup kesenian, kelompok usaha atau koperasi sampai kelompok berbasis keagamaan seperti kelompok pengajian Jamaah Masjid As-Salam, paguyuban doa lingkungan Santo Petrus Kanisius dan Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM).
PEBM sebagai yang Liyan PEBM (Paguyuban atau Perkumpulan Eklasing Budi Murko) merupakan salah satu komunitas penghayat kepercayaan yang ada di desa Salamrejo. PEBM termasuk komunitas penghayat kepercayaan yang cukup besar. Dalam perkiraan LKiS (Lembaga Kajian Ilmu Sosial), jumlah anggota PEBM di Kulon Progo saat ini mencapai kurang lebih 160 jiwa, sementara itu di desa Salamrejo terdapat sekitar 100 jiwa (Satunama 2018). Komunitas PEBM memiliki struktur yang cukup kompleks. Dalam PEBM ada pimpinan yang disebut Kepolo Wargo, kemudian ada Panitera Kasepuhan. Dalam tatanan Jawa disebut dengan Wargo Pangarso, kemudian ada Wargo Panuntun, lalu ada warga biasa atau anggota (Agatha Dian et al. 2016). Anggota PEBM di desa Salamrejo memiliki pertemuan rutin setiap seminggu sekali. Selain itu juga terdapat pertemuan arisan bagi anggota. Secara organisasi PEBM Kulon Progo terdaftar di Kemenkumham dengan nama Majelis Eklasing Budi Murko (MEBM). Anggota PEBM tidak hanya mereka yang menjadi penghayat tetapi juga sebagian anggota keluarga mereka, baik yang belum atau bukan penghayat. Komunitas PEBM tersebar di berbagai desa di Kulon Progo, namun yang terbesar berada di desa Salamrejo kecamatan Sentholo (Satunama 2018). Desa Salamrejo memiliki posisi strategis bagi PEBM, karena Mbah Mangun, selaku sesepuh dan pemimpin spritiual PEBM, bermukim di Salamrejo. Berbagai ritual maupun pertemuan kunci kerap diselenggarakan di kediaman Mbah Mangun. Dengan demikian dapat dikatakan desa
130
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
Salamrejo merupakan pusat bagi komunitas PEBM Kulon Progo (Satunama 2018). Karena sifatnya yang tertutup, tidak banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai informasi secara inti ajaran PEBM sebagai ajaran agama. Salah satu aturan PEBM melarang mencatat ajaran mereka secara tertulis. Ajaran dijelaskan dan disampaikan secara lisan kepada yang lain. Meski dibolehkan untuk menjelaskan perihal ajaran mereka, para anggota PEBM tidak memiliki buku maupun kitab untuk memaparkan perihal ajaran ini, sehingga cukup sulit bagi masyarakat umum untuk memahaminya. Dalam satu wawancara yang dilakukan oleh Satunama, mbah Mangun menjelaskan perihal inti ajaran Eklasing Budi Murko yang dapat diartikan “Mengikhlaskan nafsu yang berlebihan”. Hal tersebut sangat berkaitan dengan inti ajaran PEBM. Dijelaskan oleh mbah Mangun bahwa tidak ada yang salah dengan memiliki hasrat maupun ambisi, namun tetap harus dapat dikendalikan. Selain itu, beliau menekankan pentingnya keseimbangan emosi dan berpikir panjang sebelum bertindak. Menurut ajaran PEBM, perasaaan dalam hati jauh lebih penting daripada pikiran karena pikiran dapat berdusta. Menurut ajaran PEBM, pikiranlah yang dapat mengalihkan seseorang dari perasaan sejatinya (Satunama 2019, wawancara 28 Oktober). Dari segi ketuhanan, prinsip utama manusia adalah mengolah rasa dan mendekatkan diri kepada pencipta, yang dijalankan secara rutin dengan semedi. Hening menyatukan unsur yang ada di dalam diri untuk menyongsong Tuhan, yang diharapkan mendatangkan petunjuk dari Tuhan (Agatha Dian L, et.al., 2016). Namun karena laku yang berbeda, seperti ritual, meditasi, menyalakan dupa, meletakkan sajen dan hal metafisik lainnya, PEBM pun menerima stigma-stigma dari masyarakat di sekitarnya. Karena keyakinan dan tata cara peribadatan yang berbeda dan tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dan dianggap normal di masyarakat, maka komunitas PEBM sering mendapatkan stigma. Stigma sebagai kafir dilekatkan kepada komunitas PEBM karena tidak menjalankan ritual ibadah yang disyaratkan oleh agama resmi yang tertera dalam KTP mereka. Stigma yang dilekatkan kepada penghayat di Kulon Progo telah memiliki sejarah yang panjang. Salah satu stigma yang diterima oleh komunitas PEBM adalah stigma PKI dan komunis. Komunitas PEBM sering dikaitkan dengan gerakan September 1965 (Satunama 2018).
131
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Stigma-stigma tersebut menjadi penyebab peminggiran komunitas PEBM dari lingkungan masyarakat Salamrejo. Mereka tidak dilibatkan dalam proses-proses pembangunan maupun forum-forum desa. Peminggiran ini membuat komunitas PEBM menjadi kelompok yang tidak percaya diri, acuh dan tertutup dari kelompok luar. Pada masa awal LKiS melakukan pendampingan, komunitas penghayat PEBM masih sulit untuk berbicara dengan kelompok di luar mereka, terlebih yang dianggap orang asing (Satunama 2018). Mereka cenderung mengisolasi diri sebagai bentuk dan strategi perlindungan. Sehingga keberadaan komunitas PEBM di desa Salamrejo hampir tidak terdengar.
Beban Minoritas Berlapis yang Dialami Perempuan Penghayat Dalam semua kelompok yang mengalami eksklusi sosial, perempuan merupakan kelompok yang paling rentan secara kultural dan struktural, juga terhadap kekerasan, eksploitasi, marginalisasi, stigma dan subordinasi (Program Peduli 2017). Tidak terkecuali pada perempuan dari kelompok penghayat kepercayaan. Perempuan dan anak pada kelompok komunitas agama minoritas rentan terpapar kekerasan karena ekspresi keagamaan mereka (Program Peduli 2017a). Kekerasan yang dialami mulai dari penghinaan verbal dan psikis terhadap keadaan fisik perempuan, pemaksaan putus sekolah, hambatan untuk mendapatkan akses kepada perkawinan yang sesuai dengan keyakinannya, pemaksaan perceraian akibat mempertahankan keyakinannya, kesulitan mendapatkan surat cerai, hambatan untuk mengakses properti seperti tanah atau modal usaha, hambatan mengakses layanan kesehatan dan layanan psikososial bagi korban yang mengalami trauma, hambatan untuk mengakses dan berpartisipasi dalam keputusan politik di pertemuan-pertemuan warga. Pernikahan catatan sipil hanya menerima permohonan pencatatan atas pernikahan yang dilakukan dengan menggunakan hukum-hukum agama dan kepercayaan yang resmi diakui di Indonesia. Pernikahan yang dilakukan secara adat maupun kepercayaan yang belum resmi diakui tidak dapat dicatatkan secara hukum ke catatan sipil. Tanpa bukti catatan pernikahan (akta nikah) sebagai syarat pembuatan akta kelahiran, maka penulisan akta kelahiran anak dengan orang tua penghayat kepercayaan dilakukan hanya dengan mencantumkan nama ibunya, tanpa menyertakan nama ayahnya. Akibatnya hukum hanya mengakui hubungan anak dan ibunya, dan anak tersebut dianggap sebagai anak yang lahir di luar perkawinan (Rahmi 2019). 132
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
Perempuan yang mengalami eksklusi biasanya tidak diterima oleh komunitas karena ada persepsi yang negatif mengenai mereka (Program Peduli 2015a). Mereka tidak diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan komunitas. Oleh karena itu mereka tidak ikut berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pembuatan keputusan di komunitas. Karena ketidakhadirannya dalam kegiatan-kegiatan di komunitas maka mereka memiliki akses informasi yang terbatas terkait kebijakan atau programprogram pemerintah. Karena cenderung tertutup dan terisolasi, mereka juga tidak mengetahui cara mengakses informasi tersebut. Akibatnya mereka tidak tersentuh oleh program-program kesejahteraan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah. Perempuan bukanlah kepala keluarga yang diharapkan terlibat dalam pengambilan keputusan. Dalam tatanan nilai Jawa tradisional dikenal istilah perempuan sebagai “konco wingking. Konsep ini dapat dipahami bahwa perempuan tidak memiliki peran penting, bertanggung jawab domestik, dan merupakan kelas pendukung (Program Peduli 2017b). Perempuan yang berposisi di rumah, tidak mengambil keputusan akan menjadi kelompok yang paling menderita, terlebih lagi pada anak-anak. Bila sang suami terhenti pekerjaannya karena mengalami kekerasan, perempuan tetap bertanggungjawab pada pengelolaan rumah tangga, mengupayakan adanya pangan bagi anggota keluarga, ditambah harus mengurusi anakanak. Kerentanan perempuan bertambah karena harus menghadapi tekanan baik di rumah maupun di lingkungan sosialnya. LKiS yang mendampingi komunitas-komunitas penghayat di wilayah Jawa seperti Paguyuban Eklasing Budi Murka (PEBM), Samara, Pangestu, Sabdotama, Pawang Putih dan Aliran Perjalanan menemukan bahwa partisipasi perempuan komunitas penghayat di ruang publik masih terbatas. Sebelumnya, perempuan tidak bisa keluar pada pagi hari karena harus bekerja mengurus ladang. Perempuan desa baru bisa ditemui sekitar jam 9 sampai jam 11 siang. Perlahan-lahan stigma tersebut bergeser sebelum akhirnya perempuan dapat mengikuti rapat yang mempengaruhi kehidupannya sendiri (Program Peduli 2017b). Meski memegang tanggungjawab domestik, namun perempuan tetap menanggung beban ganda. Meskipun ia bertanggungjawab terhadap urusan domestik namun kondisi kemiskinan menjadikan perempuan juga mencari nafkah untuk keluarga (Wardani 2019). Kondisi tersebut ditemukan
133
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
pada hampir semua kelompok marginal yang mengalami eksklusi sosial seperti komunitas penghayat, kelompok korban pelanggaran HAM masa lalu, kelompok transpuan dan kelompok anak yang dilacurkan (Program Peduli 2017b). Di sisi lain, karena eksklusi sosial yang mereka alami, mereka tidak memiliki akses terhadap bantuan kredit dan akses yang terbatas pada peluang-peluang ekonomi. Masyarakat di sekitar tidak mempercayai mereka, usaha mereka diboikot, mereka juga tidak memiliki jaminan. Jaringan mereka untuk memperoleh peluang kerja juga terbatas. Perempuan akan menjadi kelompok paling dimiskinkan karena stigma yang disematkan oleh masyarakat atas beragam faktor yang membedakannya seperti kafir, ateis, PKI, aliran sesat (Wardani 2019). Perempuan secara umum dicirikan dengan interaksi sosialnya dengan sesama perempuan lain. Namun karena stigma yang melekat pada kelompok perempuan penghayat, maka hal tersebut menghalangi mereka melakukan interaksi sosial dengan perempuan lain dalam masyarakat di desa. Akibatnya mereka hidup dalam ruang yang terbatas dan tertekan. Eksklusi yang terjadi berdampak pada terbatasnya akses terhadap sumber penghidupan. Apalagi jika stigma tersebut diproduksi secara sistematis dan bertahun tahun oleh sistem Negara.
Memperluas penerimaan sosial melalui pendekatan Inklusi Sosial Program Peduli menggunakan pendekatan inklusi sosial untuk memberi manfaat kepada kelompok tereksklusi (Program Peduli 2015a). Inklusi sosial sebagai satu pendekatan, bersifat dinamis dan responsif terhadap konteks di tingkat lokal. Bertolak dari karakter eksklusi sosial yang multidimensional maka strategi inklusi sosial yang dipilih pun menyasar pada aspek-aspek eksklusi sosial yang dialami komunitas penghayat PEBM. Strategi tersebut diturunkan melalui serangkaian pendekatan pada tingkat individu, keluarga, masyarakat dan kebijakan. Kelompok PEBM dianggap sebagai yang liyan dalam masyarakat setempat dan tidak pernah dilibatkan dalam proses-proses pembangunan maupun forum-forum desa. Penghayat anggota PEBM tersebar dalam desa dan beraktifitas penghayatan dalam kelompok-kelompok kecil dan cenderung tertutup terhadap pihak di luar kelompok. Oleh karena itu meningkatkan penerimaan sosial menjadi penting, dan merupakan titik awal
134
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
untuk meningkatan pengakuan terhadap keberadaan mereka. Penerimaan sosial atau inklusi sosial merupakan bagian dari upaya peningkatan pemenuhan hak asasi manusia dari masyarakat yang terpinggirkan, yang meliputi peningkatan keberdayaan, partisipasi masyarakat, perlindungan terhadap kekerasan dan eksploitasi, dan peningkatan serta penerimaan sosial (Program Peduli 2016). Beragam strategi dibangun agar masyarakat saling menghormati. Berbagai upaya juga ditempuh guna mendekatkan PEBM, masyarakat dan pemerintah setempat. Salah satunya melalui upaya penulisan sejarah Desa Salamrejo yang partisipatif dengan melibatkan pemuda desa lintas agama. Strategi tersebut dipakai untuk mengurai sejarah masyarakat Salamrejo dari perspektif lokal. Penelusuran sejarah desa oleh tim penulis merupakan pintu masuk persinggungan masyarakat Salamrejo dengan komunitas penghayat PEBM. Persinggungan dalam penyusunan sejarah desa tersebut menjadi pintu untuk mengubah pandangan negatif masyarakat Salamrejo terhadap PEBM. Narasi keberadaan situs-situs bersejarah seperti sumur, mata air, petilasan, sendang, candi dan makam kuno di sekitar desa tidak lagi dipahami sebagai ritus klenik PEBM, tetapi dipandang sebagai kearifan lokal yang melekat dalam sejarah desa dan masyarakat Salamrejo sendiri. Menurut tokoh pemimpin komunitas PEBM, Mbah Mangun, proses penelusuran sejarah desa tersebut juga membantu menepis stigma komunis terhadap komunitas PEBM. Strategi budaya yang dilakukan melalui penulisan buku sejarah mampu mengurai stigma terhadap PEBM. Buku tersebut tidak hanya merekatkan kembali hubungan di masyarakat tetapi menjadi sumber sejarah yang diakui oleh pemerintah desa. Sebagian besar dari anggota PEBM masuk dalam kategori miskin (Satunama 2018). Mayoritas anggota PEBM di Salamrejo mengandalkan sektor pertanian dengan bekerja sebagai petani penggarap. Maka strategi yang dipakai LKiS dalam pendampingan komunitas adalah dengan model ekonomi inklusif yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi komunitas PEBM. Diawali dengan kegiatan literasi ekonomi bagi anggota PEBM kemudian dibentuklah Koperasi KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang dikelola bersama oleh perempuan dan laki-laki. Keanggotaan KUBE tidak eksklusif hanya bagi penghayat ataupun anggota PEBM, namun juga dapat diikuti oleh anggota keluarga yang bukan penghayat 135
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Koperasi KUBE mengumpulkan dana swadaya yang dikelola bersama. Usaha pertama yang dilakukan KUBE adalah bisnis pengisian air minum galon/kemasan. Usaha ini kemudian berkembang juga dengan pengolahan hasil budidaya lidah buaya (Satunama 2018). Kini hasil panganan olahan tersebut menjadi aikon desa Salamrejo. Produk-produk ini hadir dalam acara-acara formal maupun nonformal di desa. Strategi ekonomi inklusif ini membantu memperluas penerimaan sosial bagi komunitas PEBM, tidak hanya di level masyarakat namun juga di kalangan dinas-dinas pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pemerintah kabupaten. KUBE yang dibentuk oleh komunitas PEBM juga telah didaftarkan ke Dinas Koperasi dan Perdagangan, dan anggotanya diikutkan dalam pelatihan-pelatihan UMKM di tingkat kabupaten. Anggota KUBE kini pun semakin luas, tidak hanya dari unsur penghayat PEBM tetapi juga warga lain di luar PEBM. Keberadaan KUBE membantu mengatasi persoalan akses terhadap modal yang selama ini dialami komunitas penghayat. Pada level individu, keberadaan KUBE membantu sebagai wadah simpan pinjam bagi anggota. KUBE meminjamkan dana dengan tingkat bunga hanya 0,5% per bulan sehingga anggota dapat memiliki akses untuk modal untuk usaha (Satunama 2018). Kedua strategi tersebut, penelusuran untuk penulisan sejarah desa dan pemberdayaan ekonomi menjadi titik awal inklusi sosial komunitas PEBM ke dalam masyarakat desa Salamrejo. Anggota komunitas PEBM mulai terlibat dalam pembangunan di desa Salamrejo. Di tahun 2018, Pemerintah Desa Salamrejo mulai mengembangkan desa wisata dan melihat potensi serta kontribusi PEBM dalam sektor pariwisata dan budaya. Maka pada tahun itu dibentuklah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pamungkas Salamrejo yang melibatkan banyak komunitas PEBM di dalamnya (Satunama 2018). Inklusi sosial komunitas PEBM dengan masyarakat desa Salamrejo dapat dilihat dari beberapa perkembangan. Pertama, peran komunitas PEBM dalam pelestarian situs budaya seperti mata air dan makam kuno mulai diakui. Selain itu, produk olahan lidah buaya menjadi produk unggulan pangan desa yang penting dalam pengembangan desa wisata. KUBE tidak hanya berdampak langsung bagi peningkatan ekonomi komunitas PEBM tetapi juga membawa dampak positif bagi upaya peningkatan potensi desa.
136
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
Agensi Perempuan dalam Inklusi Sosial Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo Salah satu hal penting yang hadir dalam narasi perubahan di Desa Salamrejo adalah pelibatan perempuan dalam keseluruhan proses yang terjadi (Satunama 2018). Kaum perempuan penghayat dari komunitas PEBM memegang peran penting dalam inklusi sosial yang dilakukan. Salah satu dampak eksklusi sosial yang terjadi pada perempuan dari komunitas penghayat adalah mereka termarginalkan dalam hubungan sosial di komunitas mereka berada. Mereka tidak memiliki aktivitas yang berarti dan hanya berdiam diri di rumah. Kalaupun memiliki usaha berjualan namun tidak seberapa berhasil. Mereka tidak memilik modal untuk mengembangkan usahanya, ataupun akses kepada pinjaman atau kredit modal usaha. Mereka juga tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat yang ada di desa. Maka dari itu diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan di masyarakat. Pengorganisasian perempuan dilakukan untuk memulai kegiatan ekonomi produktif. Kegiatan pelatihan-pelatihan diadakan oleh LKiS bagi perempuan berupa pelatihan pembentukan koperasi dan KUBE, pelatihan ketrampilan, sampai dengan pelatihan manajemen usaha, pemasaran, serta pembukuan. Melalui kegiatan pengembangan kapasitas tersebut, kelompok perempuan penghayat semakin percaya diri dan terlibat dalam kegiatan publik (Program Peduli 2017b). Sebagian besar penggerak KUBE merupakan perempuan dari komunitas PEBM. Sebelum terbentuknya KUBE, banyak dari perempuan komunitas PEBM tidak memiliki aktivitas, dan hanya bekerja di rumah. Setelah bergabung dan mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan mempelajari ketrampilan baru, kaum perempuan komunitas PEBM dapat memperoleh pemasukan dari hasil penjualan produk dari produk lidah buaya yang mereka jual (Satunama 2018). Melalui kegiatan di KUBE kaum perempuan komunitas PEBM juga mendapat teman baru dan memperluas jaringan (Satunama 2018). Memperoleh teman baru dan dari kegiatan di KUBE memiliki makna khusus bagi perempuan penghayat maupun perempuan anggota keluarga penghayat. Eksklusi yang mereka alami sebelumnya tidak memungkinkan mereka untuk membangun pertemanan dengan masyarakat di luar
137
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
komunitas penghayat. Kegiatan di KUBE menjadi ruang interaksi sosial antara perempuan penghayat dengan perempuan lain di luar komunitas PEBM. Interaksi dalam kegiatan KUBE turut membuka ruang penerimaan masyarakat terhadap komunitas penghayat. Pemberdayaan dapat dilihat sebagai inklusi sosial dan pembangunan yang partisipatif (Mishra dan Tripathi 2011). Amartya Sen dalam Development as Freedom pernah menyebutkan bahwa setiap upaya-upaya yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan akan memunculkan agensi perempuan itu sendiri dalam menghasilkan perubahan yang diinginkan. Dalam pandangan Sen, aspek kesejahteraan dan aspek agensi dari gerakan maupun pemberdayaan perempuan akan saling beririsan secara substansial. Selain itu, agensi perempuan dilakukan sedemikian rupa hingga mengarah pada pemberdayaan hanya dalam konteks atau keadaan tertentu otonomi perempuan . Pemberdayaan perempuan ditentukan antara lain oleh adanya opsi-opsi, pilihan, kontrol, kekuasaan, kemampuan untuk membuat keputusan yang mengendalikan hidup seseorang atau atas sumbersumber daya, kemampuan untuk membuat pilihan hidup yang strategis dan mempengaruhi kesejahteran seseorang. Naila Kabeer (2001) menggambarkan pemberdayaan sebagai perluasan kemampuan seseorang untuk membuat pilihan hidup strategis yang sebelumnya tidak tersedia bagi mereka (Mishra dan Tripathi 2011). Hal inilah yang didorong bagi perempuan penghayat di Desa Salamrejo. Mishra dan Tripathi (2011) menilai agensi perempuan merupakan unsur yang penting dalam pemberdayaan perempuan. Menurut Mishra dan Tripathi, agensi baru dapat disebut terlaksana ketika menghasilkan perubahan fundamental dalam hal persepsi atau “transformasi mendalam” sehingga perempuan mampu menentukan minat dan pilihan pribadi, serta menganggap diri mereka tidak hanya mampu namun juga berhak untuk membuat pilihan-pilihan. Kabeer (2001) menggambarkan proses tersebut sebagai berpikir di luar sistem dan menantang status quo. Selain KUBE, PEBM juga menginisiasi terbentuknya KEMALA yaitu unit usaha katering yang anggotanya adalah perempuan di desa Salamrejo, tidak terbatas pada perempuan penghayat ataupun anggota PEBM saja tetapi juga dari lintas agama. Keanggotaan KEMALA yang semuanya adalah perempuan mengesankan adanya pembagian kerja berdasarkan gender.
138
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
Meski alasan awalnya adalah karena memasak adalah kegiatan perempuan, namun ditegaskan bahwa itu bukan berasal dari ajaran PEBM. Sebagaimana yang disampaikan mbah Mangun dalam wawancara yang dilakukan oleh Satunama menatakan bahwa “Tuhan tidak membedakan perempuan dan laki-laki, dalam arti laki-laki tidak lebih superior dari perempuan‘’ (Satunama 2018). Akivitas domestik yang dilekatkan kepada perempuan seperti memasak dan membuat kue menjadi strategi advokasi yang mampu mendorong proses penerimaan sosial. Bertemunya perempuan antar agama dalam kegiatan di KEMALA turut berkontribusi dalam memecahkan kebekuan interaksi antar sesama perempuan dalam komunitas desa Salamrejo. Keberadaan KEMALA juga terbukti telah mendorong pemberdayaan perempuan dari kelompok penghayat maupun dari agama lainnya, dengan adanya peningkatan ekonomi bagi anggotanya. Meskipun idenya sangat sederhana namun inisiatif ekonomi seperti KUBE dan KEMALA telah membantu meningkatkan ekonomi anggotanya. Perempuan yang memiliki kegiatan ekonomi produktif mulai mampu memiliki modal usaha sendiri dan menggunakan hasil yang diperoleh untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun keluarga. Kemampuan ekonomi semacam ini sebelumnya tidak mereka miliki karena eksklusi yang dialami. Inisiatif pembentukan kelompok-kelompok unit usaha PEBM seperti KUBE dan KEMALA juga mampu memicu interaksi sosial antara berbagai kelompok yang berbeda di desa Salamrejo dalam menciptakan penerimaan sosial. Lebih dari itu, inisiatif tersebut membuka kesempatan bagi perempuan untuk secara perlahan menghapuskan hambatan gender yang ada selama ini. Kegiatan dalam KUBE maupun KEMALA memungkinkan perempuan untuk bekerja bersama-sama dengan perempuan lain dan memperoleh penghasilan mereka sendiri. Inisiatif ekonomi meski dalam skala kecil merupakan pendekatan yang berhasil dalam pemberdayaan perempuan di desa Salamrejo. Kegiatan sosial ekonomi yang dilakukan PEBM telah berhasil membuka interaksi untuk mengurangi stigma dan membangun masyarakat inklusif yang menghargai pluralitas. Keterlibatan perempuan dalam KUBE dan KEMALA maupun forum lainnya memperlihatkan peran perempuan sebagai agen dalam mendorong inklusi.
139
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Penutup Kelompok komunitas penghayat di Desa Salamrejo merupakan salah satu dari sekian kelompok rentan di Indonesia yang mengalami eksklusi sosial di masyarakat. Mereka mengalami eksklusi karena keyakinan yang mereka miliki dan tata cara peribadatan yang mereka lakukan berbeda dari mayoritas masyarakat pada umumnya. Eksklusi yang mereka alami dalam bentuk yang beragam mulai dari stigmatisasi, hambatan dalam memperoleh layanan dasar bagi warga negara, dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan maupun proses pembangunan di desa. Kehidupan mereka yang miskin menjadi semakin berat karena terbatasnya akses terhadap bantuan modal usaha maupun program-program bantuan kesejahteraan dari pemerintah. Mereka juga cenderung tertutup terhadap pihak luar. Strategi inklusi sosial pada pengalaman komunitas penghayat PEBM untuk mengurai persoalan-persoalan tersebut salah satunya melalui kegiatan ekonomi inklusif. Inklusif karena koperasi maupun kelompok usaha yang dibentuk juga beranggotakan orang-orang dari luar kelompok komunitas penghayat, bahkan dari agama yang berbeda. Pemberdayaan ekonomi yang dilakukan kemudian memberikan manfaat ekonomi bagi komunitas penghayat dan masyarakat luas. Perempuan pada komunitas penghayat PEBM diorganisir melalui kegiatan sosial ekonomi. Beragam kegiatan ekonomi berupa pelatihan dan pembentukan kelompok usaha ekonomi dilakukan sebagai upaya membangun pemberdayaan perempuan. Upaya tersebut ditujukan untuk memperbaiki kondisi sekaligus posisi perempuan. Selain pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kepentingan strategis gender, kegiatan ekonomi yang dilakukan juga menjadi upaya membangun inklusifitas dalam masyarakat. Pengalaman perempuan penghayat di desa Salamrejo memperlihatkan bahwa agensi kaum perempuan dapat dibangun melalui pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan tersebut memberikan kekuatan agensi bagi kelompok perempuan penghayat untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi di dalam masyarakat. Jika sebelumnya komunitas PEBM cenderung mengisolasi diri dan diisolasi dari ruang publik di desa, maka agensi perempuan di bidang ekonomi pada akhirnya dapat menjadi pintu untuk mendorong inklusi sosial antara komunitas penghayat kejawen dengan masyarakat desa di Salamrejo.
140
Dewi Komalasari
Perempuan sebagai Agen Inklusi Sosial: Pengalaman Perempuan Komunitas Penghayat di Desa Salamrejo
Daftar Pustaka Allman, Dan 2013, “The Sociology of Social Inclusion” dalam SAGE OPEN, January-March 2013: 1–16, Sage Pub. Badan Pusat Statistik 2019, Sensus Penduduk 2010, diakses pada 5 Desember 2019, https:// sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=0. De Haan, A 1998, “Social exclusion: An alternative concept for the study of deprivation?”, IDS Bulletin, 29, h.10–19. Agatha Dian, L et al. 2016, Salam Kemakmuran dari Bantaran Kali Progo, Melacak Sejarah Desa Salamrejo, Yayasan LKiS, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Kebudayaan 2019, Kemendikbud Gelar Sarasehan Nasional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, diakses pada 5 Desember 2019, https://kebudayaan. kemdikbud.go.id/ditkt/kliping-budaya-kemendikbud-gelar-sarasehan-nasionalpenghayat-kepercayaan-terhadap-tuhan-yme-2/ Gidley J, Hampson G, Wheeler L and Bereded-Samuel, E 2010, “Social inclusion: Context, theory and practice”, The Australasian Journal of University-Community Engagement, vol. 5, no. 1, h. 6-36. Gore, C & Figueiredo, JB 1997, “Social exclusion and anti-poverty policy: a debate”, International Institute for Labour Studies Research and United Nations Development Programme, research series 110, Geneva, International Labour Organisation. Human Rights Watch 2013, Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia, Human Rights Watch. Kabeer, N 2001, “Reflection on the Measurement of Women’s Empowerment: Theory and Practice”, Sida Studies No. 3. Mishra, NK & Tripathi, T 2011, “Conceptualizing Women’s Agency, Autonomy and Empowerment”, Economic & Political Weekly Vol. 46, No. 11 (March 12-18, 2011), h. 58-65). Program PEDULI 2015a, 1st Annual Report, The Asia Foundation. Program PEDULI 2015b, Bi-Annual Report, The Asia Foundation. Program PEDULI 2016, Understanding Social Exclusion In Indonesia, A meta-analysis of Program Peduli’s Theory of Change documents, The Asia Foundation. Program PEDULI 2017a, 2nd Bi-Annual Report, The Asia Foundation. Program Peduli 2017b, Midterm Review Pengarusutamaan Kesetaraan Gender, TAF Program PEDULI 2018, Bi-Annual Report, The Asia Foundation. Program PEDULI 2019, Policy Brief: Pasca Kebahagiaan Konstitusional Warga Penghayat di Mahkamah Konstitusi RI, Mengapa Warga Penghayat Masih Minim Mengakses Layanan Publik? (Studi Kasus Provinsi DIY), The Asia Foundation, Satunama & LKiS.
141
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Rahmi, Nadya 2019, “Keadilan bagi Penghayat Kepercayaan” dalam https:// programpeduli.org/blog/keadilan-bagi-penghayat-kepercayaan/ diakses 14 November 2019. Rawal, Nabin 2008, “Social Inclusion and Exclusion: A Review” dalam Dhaulagiri Journal of Sociology and Anthropology Vol.2 pp. 161-180. Satunama 2017, Most Significant Change Q3 October – December 2017, Satunama. Satunama 2018, PEBM di Salamrejo: Narasi Perubahan dari Bantaran Kali Progo, Yayasan Satunama. Sen, A 1999, Development as Freedom, Oxford University Press. Wardani, Nila 2019, Laporan Kaji Ulang Pengarusutamaan Gender – Transpuan, Program PEDULI, TAF. Young, IM 2000. “Five faces of oppression” dalam Adams, M. (ed.) Readings for Diversity and Social Justice, New York, Routledge.
142
Topik Empu Riset
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi Rural Women’s Agency on Forest and Land Governance in The Midst of Change: Case Study in Five Provinces Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Jurnal Perempuan Jl. Karang Pola Dalam II, No. 9A, Jatipadang-Pasar Minggu, Jakarta Selatan pratiwiandi@jurnalperempuan.com, abbygina@jurnalperempuan.com Kode Naskah: DDC 305 Kronologi Naskah: diterima 21 November 2019, direvisi 26 November 2019, diputuskan diterima 1 Desember 2019 Abstract Women in rural areas face serious problems as a result of ecological social changes in the village--which are almost mutually interconnected with the expansion of extractive industries and rural development paradigm. Forests and land become as the identity that cannot be left behind in seeing changes in rural areas. Sustainable forest and land governance are one of the ways to reduce the risk of environmental damage & degradation, land use change, deforestation, and loss of food resources and livelihoods of rural communities. One of the principles of sustainable forest and land governance is transparency and participation. In this study we found, explain, and analyse 1) how the social ecological changes in the villages through the expreinces of women who is a trailblazer or local champion in 5 provinces (West Papua, East Kalimantan, Aceh, Central Sulawesi, Bengkulu); 2) the struggle of rural women in seizing the right to information and participation in the process of forest and land governance; 3) women’s agency in creating positive socio-ecological changes in the village area. This research found that women’s agencies are not single and are produced from various forms of power, namely the power/ability to influence and reduce barriers, to change at the household and community level, the power to organize and change existing hierarchies, the power to increase individual awareness and the desire to change, the strength of collective action and solidarity. Keywords: rural women, forest and land governance, women’s agency, environmental degradation, sustainable environment. Abstrak Perempuan di wilayah desa menghadapi permasalahan serius akibat perubahan sosial ekologis desa—yang saling kelit kelindan dengan ekspansi industri ekstraktif dan paradigma pembangunan di perdesaan. Hutan dan lahan menjadi salah satu identitas yang tidak bisa ditinggalkan dalam melihat perubahan yang terjadi di perdesaan. Tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan adalah salah satu cara untuk mengurangi risiko kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan, deforestasi, dan
143
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019 hilangnya sumber pangan dan mata pencaharian masyarakat desa. Salah satu prinsip dari tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan ialah transparansi dan partisipasi. Dalam penelitian ini digambarkan 1) bagaimana perubahan sosial ekologis di desa lokasi penelitian melalui tutur perempuan pejuang di 5 provinsi (provinsi Papua Barat, Kalimantan Timur, Aceh, Sulawesi Tengah, Bengkulu); 2) perjuangan perempuan desa dalam merebut hak atas informasi dan partisipasi dalam proses tata kelola hutan dan lahan; 3) agensi perempuan dalam menciptakan perubahan sosial-ekologis yang positif di wilayah desa. Penelitian ini menemukan bahwa agensi perempuan tidaklah tunggal dan dihasilkan dari berbagai bentuk kekuatan (power) yakni kekuatan/kemampuan untuk memengaruhi dan mengurangi hambatan untuk perubahan pada tingkat rumah tangga dan masyarakat, kekuatan untuk mengorganisasi dan mengubah hierarki yang ada, kekuatan untuk meningkatkan kesadaran individu dan keinginan untuk berubah, kekuatan dari aksi kolektif dan solidaritas. Kata Kunci: perempuan desa, tata kelola hutan dan lahan, agensi perempuan, kerusakan lingkungan, lingkungan berkelanjutan.
Pendahuluan Hutan dan lahan pada umumnya menjadi bagian dari identitas wilayah pedesaan. Namun perubahan pada corak ekonomi dan alam akibat modernisasi mengakibatkan karakter pedesaan tidak melulu dapat tergambarkan dengan aktivitas agrarisnya (komunitas pertanian). Kini perputaran ekonomi global tidak hanya singgah di kawasan perkotaan tetapi juga di pedesaan, seperti sektor industri perkebunan dan ekstraktif. Perdesaan dan perkotaan tak lagi dapat didefinisikan secara dikotomis; tradisional/modern, organik/mekanik, terbelakang/maju. Hutan dan lahan pada umumnya adalah bagian dari identitas wilayah pedesaan. Namun perubahan pada corak ekonomi dan alam akibat modernisasi mengakibatkan karakter pedesaan kini tidak melulu dapat digambarkan dengan aktivitas agrarisnya (komunitas pertanian). Perputaran ekonomi global tidak hanya singgah di kawasan perkotaan tetapi juga di pedesaan, contohnya dengan kehadiran sektor industri perkebunan dan ekstraktif. Perdesaan dan perkotaan tak lagi dapat didefinisikan secara dikotomis; tradisional/modern, organik/mekanik, terbelakang/maju. Mengapa demikian? Sederhana jawabannya yakni, perbedaan dikotomis tersebut cenderung memandang daerah perdesaan sebagai entitas yang homogen dan tidak berubah (Sachs 1996). Apa yang terjadi saat ini, di berbagai tempat atau kawasan, bahwa sebagian kecil dari kawasan desa memiliki ekonomi industri dan sebagian lainnya bertahan pada pengelolaan pertanian dan kawasan hutan, membuat para sosiolog, antropolog atau pakar pedesaan, merasa perlu merumuskan
144
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
kembali definisi apa yang dimaksud dengan desa, dan apa yang menjadi ciriciri utamanya. Sarah Whatmore (1993) misalnya, memilih untuk melihat desa dengan berpusat pada kekuatan dari ide dan pengalaman perdesaan dalam perjuangan sosial, politik, identitas dan lingkungan daripada pada definisi teritorial dari perdesaan sebagai kategori ruang sosial (Whatmore 1993, h. 607). Bagaimana dengan orang-orang yang ada hidup di desa, khususnya perempuan? Perempuan pedesaan dan lingkungan adalah identitas yang berlapis dan memiliki pengalaman yang tidak tunggal pula. Seperti yang diuraikan sebelumnya, bahwa desa menjadi lokus ekonomi global yang berkaitan erat dengan dampak kerusakan alam akibat tata kelola yang buruk dan tidak berkelanjutan, dan faktanya kalangan perempuan sebagai bagian dari entitas desa menjadi korban paling rentan akibat kerusakan lingkungan tersebut. Karenanya, sebagai responnya, tidak bisa tidak, kalangan perempuan tersebut sebagai subjek penting untuk dilihat status, aspirasi dan agensinya dalam gerakan lingkungan. Perubahan corak ekonomi dan alam di wilayah pedesaan cenderung membawa akibat yang negatif, baik kepada lingkungan maupun masyarakat di pedesaan. Indonesia berada di peringkat delapan dari sepuluh negara teratas dalam hal luas hutan (FAO 2016). Namun sayangnya, tata kelola hutan dan penggunaan lahan yang buruk telah menyebabkan deforestasi yang masif di Indonesia. Alih fungsi hutan dan lahan yang komersial dan eksploitatif (baik terhadap manusia dan alam) berimplikasi terhadap terjadinya bencana ekologis; kebakaran hutan, pemanasan global, hilangnya mata pencaharian dan ruang hidup penduduk yang tinggal di kawasan dan/atau sekitar hutan. Sementara terhadap masyarakat pedesaan, kerusakan lingkungan di wilayah perdesaan akibat tata kelola yang buruk membawa dampak yang berbeda bagi tiap kelompok masyarakat, di samping perempuan, tapi juga laki-laki, anak-anak, disabilitas, dan lansia. Meski demikian, dampak perluasan industri berbasis lahan dan ekstraktif di wilayah perdesaan membuat perempuan menjadi kelompok paling rentan. Perempuan kerap kali menanggung beban perkembangan industri tanpa menikmati manfaatnya. Masalah-masalah yang umumnya hadir akibat dari operasi industri berbasis lahan dan ekstraktif ialah relokasi, kehilangan tanah dan mata pencaharian, dampak lingkungan, ketersediaan pekerjaan formal untuk masyarakat. Masalah tersebut tergenderkan, karena mewujud secara
145
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
berbeda bagi perempuan dan laki-laki (Wahyuningsih et.al 2018). Pada perempuan, eksploitasi lingkungan juga berdampak pada kemiskinan yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah anak perempuan, perkawinan anak, angka kematian ibu dan bayi, serta rendahnya pemenuhan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi perempuan dan anak perempuan di wilayah perdesaan. Tata kelola hutan dan lahan sendiri mengacu pada proses, mekanisme, aturan dan lembaga untuk memutuskan bagaimana lahan dan hutan yang dikelola. Mekanisme tata kelola terbagi menjadi dua bentuk yang pertama, bersifat top-down seperti hukum formal, kebijakan, atau program pemerintah untuk mengatur pemanfaatan lahan dan hutan dan yang kedua bersifat bottom-up, yakni mekanisme tata kelola yang dilakukan oleh masyarakat atau skema pemantauan informal—yang menentukan bagaimana hutan, tanah dan sumber daya alam dimanfaatkan. Lebih jauh dalam konteks Indonesia, tata kelola lahan dan hutan saat ini, karena sistem desentralisasi, tanggung jawabnya berada di pemerintah kabupaten, provinsi, dan nasional. Tata kelola hutan dan lahan itu sendiri meliput aspek perencanaan tata ruang, perizinan untuk konsesi lahan (seperti untuk kegiatan logging dan pertambangan, dan minyak perkebunan kelapa sawit dan kayu), konservasi hutan dan lingkungan, dan anggaran untuk pengelolaan lingkungan (Mongabay 2019; The Asia Foundation 2012; Tacconi 2007). Berbagai persoalan yang muncul terkait tata kelola hutan dan lahan ialah soal kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur yang ada, penegakan hukum lemah, peraturan yang tumpang tindih, peta penguasaan lahan yang tidak jelas, kurangnya transparansi dan partisipasi publik (The Asia Foundation 2012; Tacconi 2007). Meski kerap berada dalam posisi subordinat di dalam tata kelola hutan dan lahan, namun sesungguhnya perempuan memiliki peran dan agensi untuk pengelolaan dan pemeliharaan hutan dan lahan. Berbagai hasil studi juga menemukan bahwa partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan dan lahan dapat memberikan efek positif terhadap tata kelola hutan dan kelesetarian sumber daya. Namun pengetahuan dan analisa seputar partisipasi perempuan dalam ragam tata kelola hutan dan lahan belum tersedia luas agar dapat menjadi pengetahuan bagi perempuan di wilayah lain, pendamping masyarakat (community organizer), maupun pelaksanan dan pembuatan kebijakan.
146
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
Untuk mendokumentasi pengalaman perempuan dalam tata kelola hutan dan lahan di pedesaan, Jurnal Perempuan melakukan sebuah penelitian tentang pengalaman perempuan pedesaan dalam advokasi lingkungan di wilayah tempat tinggal mereka. Penelitian ini menggali pengalaman advokasi perempuan pedesaan dari program SETAPAK yang dikelola oleh The Asia Foundation. Penelitian ini menggali bagaimana agensi perempuan desa dalam mendorong tata kelola lahan dan hutan yang berkelanjutan melalui akses terhadap informasi di 5 wilayah dampingan program SETAPAK yaitu provinsi Papua Barat, Kalimantan Timur, Aceh, Sulawesi Tengah, Bengkulu. Di masing-masing wilayah, diwakili oleh 1 desa dimana perempuan pejuang dan pendamping lapang melakukan kerja-kerja perubahan untuk tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan diskusi terarah (focus group discussion) dengan pendamping program SETAPAK dan perempuan pejuang di 5 wilayah tersebut.
Perubahan Sosial dan Ekologis Desa dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Perempuan Di lima provinsi yang diteliti, perubahan sosial dan ekologis bermula dari kawasan desa. Penyebab paling besar dari perubahan sosial dan ekologis tersebut ialah kehadiran industri ekstraktif dan perkebunan monokultur yang bergantung pada sumber daya alam, lahan, dan hutan di kawasan perdesaan. Kehadiran industri ekstraktif dan perkebunan monokultur ini bisa dimaknai bahwa perputaran ekonomi global tidak hanya terjadi di kawasan perkotaan tetapi juga perdesaan. Perubahan sosial dan ekologis yang terjadi pun tidak terlepas dari persoalan kontestasi politik kekuasaan yang alih-alih mementingkan rakyat, tetapi justru memenangkan elite politik atas penguasaan sumber-sumber penghidupan di kawasan perdesaan. Perubahan yang terjadi di kawasan desa dalam konteks sosial dan ekologis, dapat ditandai pada periode waktu maupun perstiwa tertentu.
Kalimantan Timur Persoalan genting sosial dan ekologis hari ini yang dihadapi masyarakat di provinsi ini adalah industri pertambangan yang eksploitatif terhadap alam. Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) terdapat sebanyak 36 orang anak yang meninggal di lubang bekas galian tambang yang tidak
147
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
direklamasi oleh perusahaan (JATAM 2019). Carut marutnya tata kelola lahan dan hutan di Kalimantan Timur sangat terkait erat dengan politik kekuasaan yang korup segelintir elite baik di tingkat nasional maupun lokal. Bicara Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur, itu menarik karena kerusakan lingkungan di sana dimulai dari kerusakan bentang politiknya. Kalau misalnya di kabupaten yang paling banyak mengeluarkan izin tambang itu, izin tambang batu bara yang paling banyak sebenarnya di Kutai Kertanegara. Sempat di 10 tahun terakhir itu sampai 700 izin. Jadi di Kalimantan Timur itu banyak dinasti politik. (N 2019, FGD 31 Oktober)
Kehadiran perusahan tambang di Kalimantan Timur menjadi mimpi buruk bagi masyarakat. Secara historis Kalimantan Timur merupakan Kawasan transmigran, dimana penduduk pada waktu itu dijanjikan kehidupan yang sejahtera melalui pengembangan sistem pertanian dan perkebunan multikultur. Namun dampak dari globalisasi, yang tidak hanya membawa investasi masuk tetapi juga memindahkan lokus kerusakan ke Kawasan perdesaan di Kalimantan Timur. Salah satu ingatan yang tersisa adalah ironi. Desa Rimbawan sendiri masuk dalam wilayah konsesi PT. CEM menguasai desa. Berdasarkan pengakuan perempuan desa, jarak tambang sangat dekat dengan rumah mereka yakni sekitar 50 meter. Simak dampak yang merusak dari masuknya tambang dalam tuturan Ibu A berikut ini: Di desa kami bercocok tanam, kalau mau makan jeruk atau jambu tinggal ambil [petik]. Ketika orang tua tidak ada, saya yang meneruskan di situ. Tetapi sejak 2008 tambang itu masuk, di situ mulai ada kehancuran karena mereka membuka tambang tidak berunding dulu dengan masyarakat, langsung buka saja. Begitu hujan lebat, langsung banjir [pasir dan lumpur] sehingga tanaman kami langsung mati. (Ibu A, Desa Rimbawan 2019, FGD 31 Oktober)
Di Desa Rimbawan, pada periode 2002-2009, perempuan petani memiliki penghasilan sendiri dan berdaya melalui koperasi tani. Namun setelah tambang masuk ke desa, tanaman pangan (sayur, singkong, semangka, dll) yang mereka tanam terpapar material limbah pabrik seperti debu. Saat musim hujan, Kawasan desa yang sebelumnya tidak pernah banjir, kini harus menghadapi banjir bandang disertai lumpur dan pasir yang berasal dari material bukaan lahan tambang yang terletak pada dataran lebih tinggi dibandingkan pemukiman warga desa Rimbawan. Dalam seketika, banjir membawa habis sumber pangan dan ekonomi keluarga desa. Kehadiran perusahaan tambang yang merangsek masuk ke desa mereka, tanpa pemberitahuan dan merusak ruang hidup masyarakat pun
148
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
harus dihadapi, khususnya oleh perempuan. Ada peralihan profesi, yang sebelumnya di sektor pertanian kini harus beralih ke sektor perdagangan bahkan menjadi buruh di perusahaan tambang. Pada perempuan, perubahan ini jelas sekali terlihat. Setelah tambang masuk desa, perempuan harus berjuang keras membuat produk-produk jadi untuk dijual. Simak saja apa yang dikatakan oleh Ibu D berikut ini: Sudah 4-5 tahun saya mencoba beralih dari pertanian ke perdagangan. Tetapi apa yang mau diolah kalau tidak ada bahan pokoknya. Perempuan dulu bisa menanam singkong, lalu diolah jadi tepung mokaf, dan bisa dijual. Setelah tambang masuk tidak bisa. Produk-produk yang mau kami pasarkan dikembalikan oleh minimarket karena dianggap produk kami ini kotor dan berdebu karena tambang. (Ibu D 2019, FGD 31 Oktober)
Berdasarkan hasil wawancara dengan perempuan pejuang di Desa Rimbawan, bahwa setelah tambang masuk, air untuk kebutuhan masyarakat tercemar dan zat asam tanah juga berubah. Sehingga air tidak layak digunakan, baik untuk dikonsumsi ataupun dipakai untuk mencuci. Masyarakat desa harus membeli air kemasan untuk kebutuhan hidupnya. Pada musim kemarau sebagian masyarakat yang tidak mampu membeli air kemasan akhirnya menggunakan air yang mengandung zat berbahaya di lubang tambang (yang belum direklamasi) untuk mencuci pakaian. Ibu. D kembali menuturkan bagaimana perubahan kualitas air yang tidak layak bagi kehidupan sejak masuknya tambang di desa mereka. Berikut Ibu D kembali menuturkan: Kalau air pasti ada tetapi air itu sudah tidak layak lagi dipakai seperti dulu karena pencemaran dari batu bara itu sendiri. Bahkan dulu pernah kita coba rendam baju dan setelah seminggu baju itu lapuk. Untuk cuci mungkin bisa tetapi kalau untuk dikonsumsi tidak bisa. Kalau lama di kulit saja sampai gatal-gatal. Ibu D 2019, FGD 31 Oktober)
Provinsi Aceh Di provinsi ini, penanda perubahan kawasan desa secara sosial dan ekologis sangat berkelindan dengan peristiwa Tsunami. Pasca peristiwa tsunami Aceh 2004, lahan atau tanah menjadi komoditi paling penting baik bagi kepentingan pembangunan ulang maupun penguasaan sumber daya alam oleh kalangan elite, baik lokal maupun nasional. Pasca tsunami pembukaan lahan dan hutan besar-besaran terjadi. Kebutuhan akan kayu untuk membangun rumah meningkat, mendorong penebangan liar marak 149
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
terjadi. Ketika proses pembukaan lahan yang begitu besar, pemerintah provinsi Aceh mengeluarkan moratorium logging pada 2007. Pasca tsunami, izin-zin tambang dan perkebunan sawit juga banyak dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Meski demikian, perkebunan kelapa sawit PTPN 1 sudah ada di Aceh sejak lama, salah satunya di wilayah Kabupaten Pidie Aceh. Coba simak apa yang dikatakan oleh Ibu Y berikut ini: Berpuluh-puluh tahun yang lalu PT PN1 itu sudah ada di sana. Saya belum lahir sudah ada. Dampak dari perusahan perkebunan kelapa sawit PT PN1 yang paling terasa setiap tahun adalah kita mendapatkan tamu tahunan yaitu banjir. Dampaknya banjir tahunan yang diakibatkan hutan hilang, perubahan karet ke sawit. Banjir ini salah satu penyebabnya adalah karena hutan. Dimulai dengan adanya penebangan, kemudian adanya proses replanting dari mulai karet pindah ke sawit. ( Y 2019, FGD 31 Oktober)
Wilayah lainnya di provinsi Aceh yang dipenuhi oleh perkebunan kelapa sawit ialah Kabupaten Aceh Tamiang. Berdasarkan hasil tuturan dan kesaksian perempuan Aceh, sulit sekali membangun fasilitas layanan kesehatan dan air bersih di wilayah tersebut, karena sebagian lahan sudah ditutupi perkebunan kelapa sawit. Ketika air bersih sulit diperoleh maka beban ekonomi keluarga semakin tinggi, dan lagi-lagi terutama ini yang dialami perempuan. Kalau di Tamiang yang wilayah dekat Medan Sumatera Utara itu persis kabupaten sawit, jadi hampir tidak ada yang gak ada sawit. Jadi rumah sekolah ditanami sawit. Tapi bupatinya komplain, ini bangun puskesmas di mana? Tidak ada di tempat. Kemudian ekologisnya terjadi ada perubahan nyata yang luar biasa air bersihnya. (Abdul 2019, FGD 31 Oktober)
Wilayah lain yang menjadi lokasi pertambangan ialah Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Di sana terdapat sebuah perusahaan semen. Masyarakatnya mayoritas pertanian, perikanan air tawar, persawahan, dan nelayan. Setelah ada perusahaan tambang tersebut, wilayah mata pencaharian masyarakat mulai terganggu. Banyaknya pembukaan hutan dan alih fungsi lahan di Provinsi Aceh menyebabkan kekeringan yang ekstrem pada musim kemarau. Pada musim kemarau petani gagal panen, sedangkan pada musim penghujan harus menghadapi banjir terus menerus. Bagi penduduk yang mata pencahariannya sebagai nelayan, mereka semakin sulit mencari ikan, bahkan harus berlayar lebih jauh untuk dapat ikan, akibat limbah perusahaan tambang yang merusak ekosistem pesisir. Sedangkan pengusaha tambak kehilangan wilayah kerja. Sementara Itu, petambak ikan dan tambak udang kehilangan pekerjanya, sebab masyarakat beralih 150
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
menjadi buruh perkebunan kelapa sawit. Konflik vertikal pun terjadi, orangorang yang melawan tambang kerap dikriminalisasi. Dalam kondisi miskin dan dimiskinkan karena kerusakan ekologis dan hilangnya mata pencaharian utama, perempuan dan anak perempuan juga menjadi kelompok rentan praktik perkawinan anak tinggi, perdagangan anak, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual dan lainnya yang sejenis. Coba simak apa yang dikatakan Abdul berikut ini: Ketika keluarga kehilangan lahan yang selama ini miliknya, tempat menanam dan bertahan hidup maka yang terjadi adalah krisis baru dalam rumah tangga itu. Ada kecenderungan kawin anak yang terjadi. Kemudian terjadi kekerasan seksual, KDRT yang makin meningkat. itu bisa dibuktikan melalui berbagai riset terkait di kawasan tambang kah, sawit kah itu, yang kemudian membuka mata masyarakat bukan hanya ekologis dan sosial yang rusak tetapi ada persoalan yang lebih sering selama ini yang tidak muncul ke permukaan. (Abdul 2019, FGD 31 Oktober)
Provinsi Sulawesi Tengah Masifnya alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di provinsi ini merupakan faktor terbesar dari perubahan sosial-ekologis kawasan perdesaan. Masifnya alih fungsi lahan pertanian—yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat, khususnya perempuan petani—menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh perusahaan membuat perubahan sosial yang besar yakni, masyarakat pertanian berubah menjadi buruh. Pada situasi ini, perempuan kerap kali dipekerjakan sebagai buruh harian lepas di perkebunan kelapa sawit sebagai pembrodol atau divisi perawatan, dan sudah jelas bahwa kerja sebagai buruh lepas adalah pekerjaan yang rentan terhadap tindakan eksploitasi, kekerasan atau ketidakadilan. Persoalan yang dihadapi masyarakat desa (yang menggantungkan hidup di sektor pertanian) juga muncul akibat kebijakan penggunaan bibit yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di Sulawesi Tengah pernah dicetuskan program Pajale (Padi, Jagung, dan Kedelai). Program ini prinsipnya memberikan benih gratis pada petani pada awalnya, kemudian benih tersebut diperjual belikan. Untuk menanam benih tersebut dibutuhkan pupuk pestisida dan hal-hal lain yang justru menciptakan ketergantungan yang lebih besar bagi petani kepada industri (FGD Dinda). Program ini kemudian membuat petani—yang terbiasa membuat benih dan pupuk sendiri—menjadi tergantung kepada benih serta pupuk yang disediakan pemerintah dan/atau industri.
151
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Persoalan lain juga dihadapi masyarakat desa di Sulawesi Tengah, khususnya mereka yang hidup dan dekat dengan Kawasan Hutan Lore Lindu yakni perempuan di Desa Watutau, Siliwanga. Sejak perubahan status hutan menjadi Taman Nasional Lore Lindu, pembatasan akses penduduk kepada kawasan hutan mulai diterapkan. Masyarakat, khususnya perempuan desa yang dulunya mengambil rotan di hutan, untuk kerajinan tangan (tikar dan tas), tidak bisa lagi mengambil rotan. Banyak dari mereka kehilangan mata pencaharian utama dan terpaksa menjadi buruh migran ke Arab Saudi ataupun ke Timur Tengah sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Provinsi Bengkulu Perubahan sosial ekologis perdesaan justru berangkat dari kesadaran masyarakat desa tentang perlunya perkebunan dan lingkungan yang berkelanjutan. Dalam hal ini ditunjukkan oleh Masyarakat Desa Pal VIII yang sehari-hari hidupnya bergantung dengan kelestarian alam. Di sini, mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan kopi. Penjelasan Rita berikut menjelaskan kesadaran lingkungan dari desa di Provinsi Bengkulu ini: Kami sehari-hari itu masyarakatnya bertani dan punya kebun sendiri-sendiri. Hasil taninya itu kopi. Di samping kopi itu, kamI juga membuat kebun agroforestry kopi. Kopi itu penghasilannya setahun sekali jadi kami membuat itu dengan tanaman campur dengan alpukat, jengkol, dan hasilnya bisa menambah pendapatan ekonomi. Di samping itu juga kami membuat pupuk organik juga untuk mengurangi pupuk kimia. Hasil dari pupuk organik itu selama ini bagus dan untuk sayuran juga bagus. (Rita 2019, FGD 31 Oktober)
Masyarakat Desa Pal VIII, hidupnya sangat dekat dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Taman Nasional ini telah ada sejak zaman kolonial, yang mana waktu itu pengelolaannya dikuasai oleh Pemerintahan Belanda. Sampai akhirnya di tahun 2003, diusulkan lagi oleh Pemerintah Indonesia menjadi warisan ASEAN (ASEAN Heritage Park). Tahun 2003 juga diusulkan oleh Pemerintah Indonesia dan ditetapkan di tahun 2004 menjadi warisan dunia oleh UNESCO1.TNKS adalah taman nasional terbesar di Sumatra, dengan total luas wilayah sebesar 13,791 km2 dan melintasi empat provinsi yaitu Sumatra barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatra Selatan. Meski jarak TNKS dengan Desa Pal VIII sangat dekat, masyarakat desa tidak pernah dan bahkan sangat takut untuk mengambil tanaman
152
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
dan ranting pohon (untuk kayu bakar) di dalam kawasan TNKS. Akses penghidupan masyarakat kepada hutan bisa dibilang tertutup. Sementara itu, gagasan menyoal pembangunan infrastruktur berupa jalan untuk akses publik ke TNKS semakin tersiar kencang dalam waktu dekat. Persoalan akses sumber daya alam ini menjadi pisau bermata dua, antara “menjaga” hutan dengan “menjauhkan” masyarakat dari alam. Maka dari itu, kemudian perlu ada pengetahuan yang sama bahwa menjaga hutan dan seluruh keanekaragaman hayati di dalamnya dapat dilakukan bersamaan dengan membuka akses pengelolaan yang berkelanjutan bagi masyarakat kepada hutan. Perubahan tata kelola hutan ini kemudian yang diperjuangkan oleh masyarakat Desa Pal VIII. Yaitu membuka akses pengelolaan sebagian Kawasan hutan. Perubahan itu dilakukan oleh Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) yang berdiri sejak tahun 2017. Seperti yang dikatakan oleh Dedek berikut ini: Ibu-ibu bersepakat untuk terlibat melestarikan hutan, dan untuk penguatan kapasitas mereka dilakukan berbasis hak perempuan atas lingkungan hidup dan hutan. Dari penguatan kapasitas itu, ibu-ibu terus berkegiatan tetapi tidak gampang. Sampai satu tahun setengah, ibu-ibu baru mendapatkan izin sementara untuk pengelolaan dan pemanfaatan. Lalu ada revisi zonasi, dulu zona pemanfaatan, sekarang zona tradisional. (Dedek 2019, FGD 31 Oktober)
Selain mendorong akses masyarakat, khususnya perempuan desa terhadap Kawasan hutan melalui gagasan tentang kelestarian alam, KPPL Maju Bersama juga aktif membagikan bibit kepada masyarakat saat perayaan atau kegiatan budaya Sedekah Bumi dan kelompok pengajian di desanya. Bagi KPPL Maju Bersama, membagikan pohon dan bibit pada acara Sedekah Bumi—yang selama ini selalu diwarnai dengan kegiatan pesta makanan— adalah bentuk pengingat bahwa selain mengonsumsi hasil “ibu bumi” kita perlu juga merawat dan menjaga kelestarian dan keberlanjutannya. Sehingga membagikan pohon dan bibit bukan hanya tindakan seremonial tetapi juga tindakan politis. Pada 5 Maret 2019 ini, KPPL Maju Bersama menjadi mitra Balai Besar TNKS untuk mengelola hutan dengan luas wilayah 10 hektar. KPPL Maju Bersama dapat mengelola tanaman liar di dalam hutan, tanaman yang disepakati untuk dikelola ialah kecombrang dan pakis. Pemilihan jenis tanaman liar yang akan dikelola tersebut dengan mempertimbangkan aspek lingkungan yang berkelanjutan. Kecombrang dan Pakis adalah tanaman yang banyak 153
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
ditemui di dalam Kawasan hutan, jumlanya pun sangat banyak. Kemudian, saat tanaman tersebut dibudidayakan dan dipanen tidak memengaruhi kelestarian alam di Kawasan TNKS.
Provinsi Papua Barat Di Kabupaten Fak Fak, Distrik Kokas, desa Pangwadar, masyarakatnya hidup bergantung dengan alam. Masyarakat desa yang tinggal di dataran tinggi bergantung hidup dengan hutan, sedangkan masyakarat desa yang tinggal di pesisir bergantung hidup kepada laut dan bekerja sebagai nelayan, pembudidaya rumput laut, dan pengolah hasil tangkapan. Meski demikian, isu ekonomi dan kesehatan masih menjadi persoalan utama di wilayah ini. Ketersediaan infrastruktur jalan, sekolah, dan fasilitas layanan kesehatan di Distrik Kokas masih sangat minim. Dampak lingkungan itu masyarakat pernah menanam agar-agar (rumput laut) itu mereka menanam ternyata pada saat perusahaan di atas itu kan kelapa sawit, jadi entah itu dari mana, dari perusahan minyak kah, tidak tahu, tidak diberi tahu. Kita masyarakat bertanya-tanya. (Mama T 2019, Wawancara 30 Oktober)
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa yang bergantung dengan hutan dan pesisir, perusahan minyak dan gas masuk di wilayah pesisir Fak-Fak dan perkebunan kelapa sawit, mengakibatkan masyarakat desa pun terdampak langsung, khususnya para pembudidaya rumput laut. Berdasarkan wawancara Jurnal Perempuan dengan Mama T dari Distrik Kokas, bahwa gagal panen rumput laut diduga diakibatkan oleh limbah buangan perusahaan tersebut ke teluk Fak-Fak. Meski demikian hal ini belum dapat dikonfirmasi karena selama ini belum ada sosialisasi tentang kehadiran perusahaan minyak dan gas tersebut dan dampak lingkungan kepada masyarakat setempat oleh pemerintah daerah.
Perempuan, Perubahan Tata Kelola Lahan dan Hutan, dan Akses Terhadap Informasi Salah satu penyebab dari persoalan tata kelola lahan dan hutan di kawasan perdesaan yang tidak berkelanjutan, dan pengabaian atas dampak sosial dan ekologis adalah minimnya partisipasi publik (masyarakat desa, masyarakat adat, akademisi, praktisi lingkungan, perempuan, anak, lansia, disabilitas) dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan/ kebijakan
154
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
lingkungan. Pelibatan publik dalam tata kelola lahan dan hutan dapat dimulai dari membuka dan memberikan akses sebesar-besarnya terhadap informasi. Akses terhadap informasi ini memungkinkan masyarakat berperan sebagai perumus dan pengawas implementasi kebijakan tata kelola lahan yang berkeadilan sosial dan ekologis. Sebab lahan dan hutan adalah bagian dari ruang hidup masyarakat desa—yang identik atau dekat dengan sistem ekonomi berbasis sumber daya alam. Lebih jauh, perempuan sebagai bagian dari masyarakat—yang diposisikan mengambil peran sebagai penyedia air dan pangan keluarga—merasakan dampak langsung kerusakan lingkungan akibat tata kelola lahan dan hutan yang merusak. Dalam banyak kasus, tata kelola lahan dan hutan yang tidak berperspektif masyarakat dan lingkungan, ditemukan tidak tersedianya informasi dan ruang yang memadai bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif. Dalam praktiknya sangat sedikit sekali bahkan nyaris tidak ada akses terhadap informasi publik bagi masyarakat di perdesaan, khususnya menyoal alih fungsi lahan dan pembukaan tambang. Hal ini kemudian yang mendorong masyarakat desa, khususnya perempuan untuk mengadakan dialog maupun aksi protes terkait kebijakan tata kelola lahan yang ada.
Strategi Perempuan di Kalimantan Timur Kehadiran perusahaan tambang di wilayah ini mendorong para ibu mengorganisir massa, bahkan ada yang melakukan aksi seorang diri, demi mempertahankan ruang hidupnya yang terenggut akibat kehadiran perusahaan tambang. Di Desa Rimbawan seperti yang telah di jelaskan pada bagian sebelumnya, kerusakan lingkungan akibat perusahaan tambang sangat masif terjadi dan dirasakan oleh perempuan. Saya sebagai perempuan coba naik ke atas [dataran lebih tinggi di desa] dan menemukan perusahaan tambang. Saya naik ke galian tambang dan saya tanya atas izin siapa bapak buka di sini? Mereka bilang: Loh, bu kami sudah berunding. Jadi saya bilang: Bapak berunding di sana [merujuk kantor pemerintahan daerah], limbahnya larikan ke sana, jangan larikan ke tempat saya. Mereka bilang begini, kok Ibu berani betul? (Ibu A, Desa Rimbawan 2019, FGD 31 Oktober)
Berbagai strategi untuk mendorong adanya perubahan di desa pun dilakukan oleh kelompok perempuan bersama dengan masyarakat desa lainnya. Meskipun demikian, bersamaan dengan itu juga muncul berbagai tantangan yang harus dihadapi perempuan—yang berasal dari ranah privat
155
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
maupun publik, dari lingkungan keluarga maupun komunitas, perusahaan, hingga negara. Strategi dan tantangan yang dihadapi perempuan di Kalimantan Timur—secara spesifik dituturkan oleh perempuan pejuang dari Desa Rimbawan—dalam upaya mereka memperoleh hak atas informasi tata kelola lahan dan mempertahankan ruang hidup. Strategi pertama, perempuan desa mengumpulkan massa dan mensosialisasikan persoalan lingkungan yang dihadapi akibat kehadiran perusahaan tambang. Kedua, menghimpun dukungan dari stakeholders desa dari unit yang paling kecil, yaitu RT. Ketiga, mengorganisir anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) bentukan pemerintah untuk turut memiliki pengetahuan kerusakan lingkungan dan bersama-sama berjuang menuntut perubahan. Keempat, mendorong para perempuan desa untuk bersamasama mengontrol limbah dan air buangan tambang di perumahan warga dan melaporkan langsung ke dinas pertambangan. Simak saja apa yang dikatakan Ibu A berikut ini : Lingkungan yang sudah rusak tidak bisa dikembalikan lagi jadi saya berpikir bagaimana lingkungan yang sudah rusak ini bisa hidup kembali? Jadi saya dan ibu-ibu di kelompok sholawat itu ada sekitar 5 desa, saya suka ikut-ikut itu, saya selalu berikan pengarahan: Bu tolong kalau ada tambang dicegat dulu jangan sampai tambang masuk ke tempat kita. Kalau mereka sudah masuk, susah untuk keluar. (Ibu A 2019, FGD 31 Oktober) Kelima, meminta pendampingan pengetahuan, gerakan, maupun dampingan hukum dari organisasi masyarakat sipil setempat yaitu, WALHI dan JATAM. Keenam, melaporkan pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang. Misalnya melaporkan tentang kualitas air di rumah dan zat asam tanah ke BLH. Ketujuh, aksi demonstrasi ibu-ibu pada tahun 2012 menghadang excavator tambang masuk dengan cara tidur di depan lahan yang akan dijadikan area pertambangan selama 3 malam. Kedelapan, mengikuti aksi besar “Samarinda Menggugat” pada 2014. Gerakan Samarinda Menggugat menggunakan Citizen Lawsuit (CLS) atau gugatan warga negara, sebuah instrumen sah warganegara untuk menggugat kebijakan penyelenggara negara, yang dalam hal ini menyangkut permasalahan pertambangan batubara di kota Samarinda, Kalimantan Timur. Strategistrategi yang disebutkan di atas tidak berjalan linear dan berurutan, artinya dilakukan dan terjadi secara acak dan berulang. Misalnya cerita Ibu A, yang justru mendapatkan pendampingan dari JATAM kemudian menjadi lebih
156
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
tahu tentang hak atas informasi baru setelahnya berani melakukan berbagai aksi. Tantangan yang mereka hadapi pun sangat serius, antara lain mendapatkan stigma negatif dari masyarakat karena dianggap terlalu berani dan banyak bersuara mengenai persoalan tambang, dan bahkan, mendapatkan intimidasi dari pihak perusahaan berupa ancaman. Salah satu rumah perempuan pejuang kerap kali diawasi oleh preman pada malam hari. Kami mengalami kerugian banyak tetapi pemerintah daerah mana tahu itu. Mereka tahunya ada tambang dan mereka dapat uang. Bahkan sampai saya itu dihadang di jalan oleh preman. Sempat kami ribut dan akhirnya itu tadi, kami mengajak berduel. Saya bilang: Kalau kalian laki-laki, buang parangmu, buka bajumu, duel sama kami. Merasa harga diri dilecehkan, preman-preman itu tidak berhenti di situ saja bahkan rumah saya kalau malam, saya punya tiga putri di rumah, preman itu mengelilingi rumah saya. (Ibu A 2019, FGD 31 Oktober)
Strategi Perempuan di Provinsi Aceh Strategi utama di provinsi yang dilakukan untuk mendorong tata kelola lahan dan lingkungan yang melibatkan perempuan adalah dengan mendorong akses informasi. Bicara soal tata kelola hutan dan lahan, perempuan di Aceh awalnya tereksklusi, padahal dampak tata kelola yang buruk menjadikan perempuan sebagai kelompok paling terdampak baik, itu dari segi kesehatan maupun keberdayaan ekonomi. Dalam kasus-kasus penyelesaian konfik di Aceh, perjuangan awalnya didominasi laki-laki. Keberhasilan kelompok perempuan mendapatkan informasi publik menjadi momen penting atas pengakuan pentingnya keterlibatan perempuan dalam tata kelola hutan dan lingkungan di Aceh. Ketika ibu-ibu ini memperoleh dokumen dari proses sengketa informasi, dokumen tersebut dibawa pulang ke desa. Semua warga, baik laki-laki dan perempuan melihat keberhasilan itu. Padahal sebelumnya, bapak-bapak pernah cukup lama mencari dokumen tersebut, namun tidak didapatkan. Misalnya, dokumen Amdal dan peta bidang areal perusahaan. Tapi ketika ibu-ibu ini berhasil membawa pulang dokumen tersebut, itulah yang membuat bapak-bapak ini percaya bahwa perempuan juga bisa berperan. Nah, akhirnya mereka (perempuan) mulai dilibatkan di forum-forum diskusi yang lain. (Hafid 2019, FGD 31 Oktober)
Akses Informasi menjadi penting dalam upaya melestarikan dan mengelola lingkungan sebab informasi membantu perempuan untuk
157
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
sadar dan responsif terhadap kebijakan dan praktik perusakan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Gerakan perempuan yang berlandaskan informasi merupakan aksi yang berfondasikan pengetahuan. Informasi yang valid menjadi dasar bagi para perempuan untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan dan lingkungan. Informasi menjadi basis advokasi. Saya kebetulan mendapatkan Amdal gitu kan dari keterbukaan informasi ini saya membuka mengakses amdal dari PT. Medco ke DLH, tapi DLH itu juga di Aceh Timur alhamdulillah satu-satunya dinas yang tidak lama mereka langsung merespons... meresponsnya ketika sudah mediasi... tetapi artinya dalam masa itu mereka kooperatif gitu kan. (Y 2019, FGD 31 Oktober).
Akses informasi seringkali tidak mudah. Perjuangan akses informasi yang dilakukan oleh kalangan laki-laki mengalami kegagalan, entah ditolak, saling lempar tanggung jawab di tingkat pemerintah dan lain sebagainya. Gerakan perempuan di Aceh mendapatkan informasi pun bukan hal yang mudah, mereka harus masuk pada sengketa informasi. Dalam upaya akses informasi perempuan mengalami sejumlah ancaman, teror, adu-domba antar warga dan adapula yang anggota keluarganya malah direkrut oleh pihak perusahaan dan berbagai tindakan lain yang dilakukan pihak perusahaan untuk mematahkan perjuangan perempuan di Aceh. Bahkan misalnya seperti di Aceh Barat, perempuan yang melakukan akses informasi itu dibenturkan dengan kader posyandu. Karena ada posyandu yang diberikan anggaran lebih kurang sebesar Rp 120.000/ bulan oleh perusahaan kalapa sawit untuk beli kacang ijo, susu bagi balita. Ketika ada tau ibu-ibu yang melakukan permohonan informasi kepada badan publik pemerintah terkait dokumen perusahaan tersebut, uang Rp 120.000 itu gak diberikan lagi. Orang perusahaan menyampaikan kepada kader posyandu bahwa dana tersebut di hentikan karena ada ibu-ibu dari desa ini yang minta dokumen perusahaan mereka. Akhirnya orang-orang posyandu berkonfliklah dengan ibu-ibu yang disana. (Hafid 2019, FGD 31 Oktober)
Meskipun tantangan perempuan untuk mendapatkan akses informasi terkait tata kelola hutan dan lingkungan tidak mudah tetapi ini adalah strategi yang penting bagi keberlangsungan peran perempuan dalam mengelola lingkungan. Informasi menjadi penting khususnya bagi para perempuan yang tinggal di daerah rentan terjadi perambahan lahan dan hutan. Informasi menjadi penting sebagai basis kontrol, pengawasan, advokasi perbaikan dan lain sebagainya.
158
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
Strategi Perempuan di Provinsi Sulawesi Tengah Di provinsi ini, para perempuan melakukan sejumlah strategi untuk terlibat dalam tata kelola lahan, khususnya dalam merespons kehadiran perkebunan sawit dan tata kelola hutan. Bersama dengan organisasi Solidaritas Perempuan, para perempuan di Sulawesi Tengah mengembangkan sejumlah keterampilan advokasi. Strategi utama yang dilakukan oleh para perempuan di Desa Masewe dan Kancu’u Sulawesi Tengah adalah dengan menggunakan hak atas akses informasi publik. Simak saja apa yang dikatakan Dinda dalam soal akses informasi berikut ini: Yang kemarin coba dilakukan adalah mengakses beberapa data seperti kasus HGU PT SJA di Poso, ternyata tidak ada HGUnya dan itu kita baru tahu sekarang karena ada UU Keterbukaan Informasi Publik yang dapat diakses teman-teman di sana dan ada respon dari pemerintahnya. Jadi sekarang, meskipun belum ada penyelesaian konfliknya, tetapi teman-teman di Masewe dari aksi-aksi dan dialog yang dilakukan dengan pemerintah daerah, dari tanah yang sebenarnya mereka tuntut sekitar 36 hektar, itu sudah berhasil mereklaim 15 hektar. Lahan 15 hektar dibagi ke 15 KK, jadi masing-masing mndapatkan 1 Hektar. (Dinda 2019, FGD 31 Oktober)
Dengan pengetahuan tentang informasi publik terkait tata kelola lahan dan lingkungan, para perempuan kemudian dapat terlibat dalam negosiasi, uji publik, pengecekan izin, penyusunan laporan dan investigasi kasus. Setelah melakukan proses permintaan informasi, para perempuan mendapatkan respons dari beberapa institusi pemerintah mengenai informasi yang mereka ajukan. Beberapa institusi yang merespon pengajuan mereka adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Poso, dan Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng. Pertama, BPN (Badan Pertanahan Nasional) Poso merespons permintaan informasi Solidaritas Perempuan Poso terkait Hak Guna Usaha (HGU) PT Sawit Jaya Abadi 2 melalui surat tertulis, yang menyatakan bahwa PT Sawit Jaya Abadi 2, tidak pernah mengajukan permohonan untuk mendapatkan HGU. Kedua, perempuan di Desa Watutau, Siliwanga, juga melakukan proses permintaan informasi terkait pembatasan hutan bagi masyarakat desa, yang berimplikasi pada hilangnya sumber mata pencaharian yang berkelanjutan. Dalam hal ini, Dinas Kehutanan menyatakan dukungan mereka terhadap permintaan informasi publik tersebut, dengan merujuk Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu untuk membuka informasi tersebut.
159
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Keterlibatan perempuan di ruang publik tingkat desa bukan hal yang mudah, sebab perempuan diidentikkan dengan kerja-kerja domestik. Sehingga pada mulanya keterlibatan perempuan dalam aksi kolektif dianggap bukan hal yang wajar oleh masyarakat setempat. Agar dapat terlibat dan didengar suaranya perempuan di Sulawesi Selatan, misalnya harus membuktikan eksistensinya melalui kedaulatan benih. Salah satu strategi yang mereka lakukan adalah dengan cara menanam dan mengelola bibit secara kolektif agar berdaulat dan diakui kebermanfaatannya. Fokus dari penanaman sendiri bukan pada bagaimana menjual bibit tersebut melainkan bagaimana kegiatan itu dapat memberi makan bagi para anggota dan untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan kelompok seperti berdemonstrasi dan lainnya. Terkait dengan penanaman kesadaran akan pentingnya sikap kritis terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah mereka tinggal, para perempuan menggunakan ruang-ruang sosial sebagai sarana berbagi pengetahuan terkait tata kelola lingkungan yang lebih baik dan adil. Kayak misalnya acara kenduri atau acara yang lainnya itu untuk menyebarkan cerita. Karena memang budayanya kan banyak budaya tutur, jadi sebenarnya bicara bahwa kita harus melawan perusahaan itu tidak hanya di diskusi-diskusi khusus. Tapi cerita bahwa ini gimana nih, dampaknya seperti apa dan lain-lain sebagainya itu juga disebarkan lewat upacara-upacara adat maupun juga kenduri-kenduri atau acara-acara, ya ruang-ruang sosial seperti itu. (Dinda 2019, FGD 31 Oktober)
Aksi kolektif yang dilakukan para perempuan di Sulawesi Tengah untuk mendorong tata kelola lingkungan yang adil dan berkelanjutan tidak berhenti pada pengkonsolidasian kelompok-kelompok perempuan, tetapi lebih jauh mereka juga melibatkan kelompok laki-laki. Perempuan dan lakilaki bersama melakukan demo, berhadapan dengan petugas perusahaan, militer dan bertemu dengan pemerintah.
Strategi Perempuan di Provinsi Bengkulu Bisa dikatakan bahwa perempuan di sini terpinggirkan dari hutan sejak ditetapkannya kawasan TNKS sebagai kawasan taman nasional. Perempuan tercerabut dari hutan, tidak dilibatkan dalam pelestarian hutan, dan tidak pula diberi akses untuk memanfaatkan hasil hutan. KPPL (Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan) Maju Bersama memperjuangkan haknya untuk terlibat
160
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
dalam tata kelola lingkungan dan hutan dengan menggunakan hak atas informasi dan komunikasi. Menggunakan pendekatan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, para perempuan mengetahui bahwa mereka memiliki hak atas pelestarian dan pemanfaatan hasil hutan. Para perempuan yang awalnya menganggap TNKS sebagai momok yang mengerikan, saat ini sudah terlibat aktif dalam upaya pelestarian hutan. Kini, KPPL Maju Bersama telah terhubung dengan para petugas TNKS sehingga para perempuan di KPPL diikutsertakan dalam berbagai kegiatan dan perencanaan pengelolaan TNKS. Para perempuan di KPPL Maju Bersama telah menunjukkan perubahan pada tata kelola hutan. Pada 31 Oktober 2018, Kepala Bidang Wilayah III Balai Besar TNKS menerbitkan surat izin sementara pemanfaatan HHBK. Kalau bahasa hukumnya dia melakukan diskresi. Dengan diskresi artinya, ibu-ibu sudah boleh mengakses (hutan). Tapi setelah dibaca lagi, ternyata diskresi ini tidak kuat. Kemudian Kepala Seksi Wilayah VI Balai Besar TNKS, mengusulkan agar merevisi zonasi, yaitu dari zona pemanfaatan menjadi zona tradisional pada bulan November 2018. Kemudian 5 Maret 2019 itu penandatanganan perjanjian kerjasama antara ketua KPPL Maju Bersama dan Kepala Balai Besar TNKS. (Dedek 2019, FGD 31 Oktober)
Dengan pengetahuan tentang bagaimana keterkaitan hutan dengan perempuan dan dengan pemahaman mengenai konservasi hutan, perempuan dapat terlibat secara lebih aktif dalam kegiatan pemanfaatan dan pelestarian hutan. Salah satu bentuk pemanfaatan hutan yang dilakukan KPPL Maju Bersama adalah dengan memungut dan budidaya tanaman hutan seperti pakis dan kecombrang. Taman Nasional itu selama ini tidak boleh didatangi dan dimanfaatkan hasilnya. Setelah kami dapat izin di 5 Maret 2019 ini, kami dapat izin kerja sama dengan TNKS. Untuk pengelolaan hasil, kami dapat mengelola dari tanaman liar seperti kecombrang dan pakis. Tanaman liar itu kami manfaatkan dan sekarang selama ini kan tanaman itu hanya berguna untuk sayuran kemudian kami berinovasi sehingga tanaman itu kami buat menjadi snack seperti dodol, wajik, dan juga sirup. (Rita 2019, FGD 31 Oktober)
Sedangkan dalam kaitannya dengan pelestarian hutan, para perempuan dalam kelompok TNKS mendorong pelestarian lingkungan dengan membagikan bibit secara gratis untuk ditanam oleh para warga sekitar. Dengan uang hasil urunan mereka membuat pupuk secara swadaya. Dari kumpul uang sedikit-sedikit dari arisan, ya kaya gitu kan, jadi kita buat polybag karena pupuknya buat sendiri. Setelah itu bibit kemarin sudah ada 300an pohonlah. Sudah kami bagikan waktu acara sedekah bumi. Kan ada kearifan lokal
161
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
di desa tuh, sedekah bumi, jadi ya sedekah bumi ini kita bagikan bibit itu tanda kita bersyukurlah kita kepada bumi, kaya gitu. Jadi kita menanam kembali supaya bumi kita segar, lestari lagi kaya begitu. (Rita 2019, FGD 31 Oktober)
Tentu saja keterlibatan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan hutan bukan hal yang mudah dilakukan oleh para perempuan KPPL Maju Bersama. Anggapan bahwa perempuan adalah makhluk domestik masih umum dikalangan masyarakat desa, sehingga ada anggapan bahwa tidak perlu terlibat pada aksi kolektif terkait pelestarian dan pengelolaan hutan. Banyak sekali tuh laki-laki yang bilang begitu. Gak usahlah urusin hutan, diam aja di rumah, nanti kamu ada-ada apa balik-baliknya ke suami kata-katanya begitu. Malah-malah di kelompok saya itu ada yang bilang gitu suaminya...kamu berkelompok disitu atau saya pergi? (Rita 2019, FGD 31 Oktober)
Strategi Perempuan Provinsi Papua Barat Di kabubapten Fak-fak, mama T menghadapi berbagai tantangan untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam tata kelola lahan dan hutan. Kearifan lokal di Papua Barat menganalogikan hutan sebagai mama, namun menurut mama T perempuan cenderung disingkirkan dari pengambilan keputusan terkait pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Kita ada rapat-rapat. Nanti orang dari perusahaan turun, kasih undangan ke kepala kampung. Kadang-kadang kita perempuan itu tidak dikasih izin, atau tidak dikasih undangan. Makanya kan kadang-kadang kita perempuan kita marah. Kenapa kok kita tidak dikasih undangan? Supaya kita perempuan kan punya hak untuk berbicara. Itu kadang-kadang kita marah. Kita bilang lho, kita juga punyak hak perempuan, jangan kita perempuan dianggap remeh terus. Kita juga punya hak berbicara tentang itu. (Mama T 2019, Wawancara 30 Oktober)
Namun demikian Mama T meyakini bahwa keterlibatan perempuan dalam tata kelola desa harus terus dilakukan. Untuk memastikan target tersebut berjalan, Mama T yang menjabat sebagai aparat kampung secara sukarela mengajarkan baca tulis pada para mama yang buta aksara, mendorong adanya PAUD dan Posyandu di desanya. Beberapa mama terlibat aktif dalam aksi kolektif, dengan terus memastikan suara perempuan terakomodasi dalam musyawarah desa dan forum-forum desa lainnya, ia berhasil mengajukan dana desa untuk kepentingan perempuan.
162
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
Agensi Perempuan Dalam Mengubah Kondisi Sosial Ekologis Desa Perubahan atau capaian yang dihasilkan dari aksi-aksi perempuan di lima wilayah tersebut setidaknya terdiri dari 4 jenis perubahan yakni, perubahan pengetahuan, perubahan akses dan kontrol terhadap lingkungan, perubahan kebijakan, dan perubahan kondisi/kerusakan lingkungan. Pertama, perubahan pengetahuan tentang pentingnya menjaga alam, pangan lokal, menolak industri sawit dan tambang yang eksploitatif terjadi di level individu perempuan dan komunitas. Perubahan pengetahuan ini dapat dialami oleh perempuan itu sendiri, laki-laki, maupun masyarakat dan aparatur desa. Kedua, perubahan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam dihasilkan sejalan dengan adanya perubahan kesadaran & pengetahuan perempuan sehingga perempuan mulai berani bersuara dan berjuang untuk ruang hidupnya, sehingga ada perubahan akses—yang sebelumnya tidak mendapatkan informasi publik tentang tata kelola lahan dan hutan. Ketiga, adanya perubahan kebijakan di berbagai ranah, desa hingga nasional. Perubahan kebijakan di ranah desa pun tidak terlepas dari partisipasi perempuan yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Keempat, perubahan kondisi lingkungan yang lebih lestari dan berkelanjutan. Tabel 1. Perubahan dan Capaian Sosial dan Ekologis Wilayah Kalimantan Timur
Aceh
Perubahan dan Capaian 1. Adanya perubahan cara pandang perempuandi majelis sholawatan tentang kehadiran tambang dan dampaknya bagi lingkungan dan penghidupan masyarakat. 2. Excavator tambang mundur karena dihadang massa aksi perempuan yang tidur di depannya selama 3 malam. 3. Dapat mengakses data perizinan tambang dari Dinas ESDM. 1. Laki-laki sudah mulai memberi waktu bagi perempuan untuk mengutarakan aspirasi. 2. Perempuan sudah berani untuk berbicara. Perempuan menjadi tanggap dan mau berpartisipasi dalam isu-isu lingkungan. 3. Perempuan mulai dilibatkan dalam forum-forum desa. 4. Perempuan menjadi aparatur desa. 5. Perempuan dapat mengambil alih atau memutuskan alokasi dana desa untuk isu spesifik perempuan dan akan seperti isu stunting. 6. Perempuan mendapatkan dokumen Amdal PT KTS dan PT Migas Medco pada tahun 2018.
163
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Wilayah Sulawesi Tengah
Bengkulu
Papua Barat
Perubahan dan Capaian 1. Kasus Sawit Jaya Abadi di Poso, tidak ada izin HGU nya. Setelah perjuangan meminta informasi ke daerah, masyarakat sudah bisa mengklaim kembali sekitar 15 hektar lahan dari 36 hektar yang dituntut perempuan. 2. Perempuan di Desa Watutau, Siliwanga (Kasus Taman Nasional), Masewe dan Kancu’u (Kasus PT SJA) paham bagaimana melakukan advokasi untuk memperjuangkan hak mereka atas lahan dan hutan. Peningkatan kapasitas ini, diantaranya; paham mengenai cara melakukan negosiasi dengan stakeholders, memahami alur untuk meminta informasi publik. 3. Perempuan pemimpin di Sulawesi Tengah juga telah memiliki inisiatif untuk menggerakkan perempuan lainnya, mengkonsolidasikan warga, serta menyuarakan dampak kasus kepada media, maupun di dalam forum publik lainnya, seperti; konfrensi pers, Temu Nasional diskusi kampung, dan lain sebagainya. 4. Perempuan mendapatkan respons dari pemerintah terhadap permohonan informasi yang dilakukan, di antaranya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Poso, dan Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng 1. Perempuan memiliki pengetahuan tentang hak-hak atas lingkungan hidup dan hutan. 2. Perempuan mempunyai keberanian untuk berkomunikasi kepada pengambil kebijakan dan publik.. 3. Perempuan dapat bekerjasama dengan Balai Besar TNKS (Taman Nasional Kerinci Selat), mengelola kawasan hutan TNKS dan mengelola tanaman liar di hutan (kecombrang dan pakis). KPPL Maju Bersama menjadi role model untuk desa-desa lain terkait pengelolaan hutan. 4. Perempuan dilibatkan dalam perumusan rencana jangka panjang pengelolaan TNKS periode 2020-2029. 1. Perempuan Kampung dapat mengakses dana desa untuk pemberdayaan masyarakat dan kelompok perempuan, sekolah buta aksara, PAUD, dll. 2. Perempuan dapat terlibat dalam forum-forum desa, seperti musrenbang dan juga adat. Sumber: hasil data FGD yang diolah oleh peneliti.
Tabel di atas memperlihatkan peta perubahan dan capaian dari aktivisme perempuan dan kelompok perempuan di wilayahnya masingmasing. Terlihat bahwa perubahan yang terjadi tidak hanya berada pada ranah publik tetapi juga di dalam diri perempuan dan di dalam rumah. Misalnya dapat dilihat bahwa ada perubahan pengetahuan tentang isu-isu
164
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
lingkungan dan hak sebagai warga desa di provinsi Bengkulu. Perubahan positif juga terjadi ketika perempuan mulai berani berbicara di depan umum dan mengadvokasi hak-haknya sebagai warga negara, hingga akhirnya perempuan terlibat dalam forum-forum pengambil keputusan di tingkat desa dan membuat perubahan di desanya. Perubahan-perubahan yang terjadi di atas tidak terlepas dari keberdayaan diri atau agensi diri perempuan. Agensi sendiri merupakan istilah yang terkait dengan pemberdayaan: otonomi, pengarahan diri, penentuan nasib sendiri, pembebasan, partisipasi, mobilisasi, dan kepercayaan diri. Pemberdayaan berkaitan erat dengan agensi, dimana agensi sendiri mencakup kemampuan untuk merumuskan pilihan strategis, dan mengendalikan sumber daya serta keputusan yang memengaruhi hasil kehidupan yang penting. Oleh karenanya, agensi harus dianggap sebagai esensi dari pemberdayaan dan sumber daya serta kondisi dan hasil yang terus-menerus dicapai secara teratur oleh individu. Dengan demikian agensi dapat dimaknai sebagai kemampuan perempuan baik secara individu maupun kolektif untuk bertindak dan melakukan sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkan (Yulianti 2017, h.51-52). Lebih jauh, sebelum mencapai agensi, perempuan secara sistematis telah diposisikan di level paling bawah dalam struktur sosial atau dengan kata lain mengalami subordinasi sehingga kemampuan perempuan untuk memilih dan bertindak secara bebas harus dikompromikan dengan lingkungan sosialnya (Meyers 2002).Misalnya, dalam proses perjuangan menuntut hak-hak masyarakat atas lingkungannya, perempuan pejuang di Samarinda dan Aceh harus mendapatkan stigma negatif dari lingkungannya karena dianggap terlalu berani dan ikut campur. Perempuan pejuang di Samarinda pun harus menghadapi berbagai ancaman fisik dan psikologis terkait aktivismenya. Maka, meski dalam perjuangan menolak tambang dan mengakses informasi publik terkait tata kelola lahan, laki-laki dan perempuan turut terlibat, namun agensi/keberdayaan diri perempuan menjadi khas dan berbeda karena tantangan yang mereka hadapi terkait erat dengan identitas gendernya yang telah terkonstruksi secara sosial dan menyejarah. Dalam memahami agensi perempuan penting untuk juga memahami identitas gender yang merupakan dimensi penting terhadap akses seseorang terhadap sumber daya sosial, ekonomi, politik dan seterusnya. Selain itu internalisasi opresi juga adalah bagian penting untuk menjelaskan
165
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
bagaimana identitas individu terbentuk dan proses individualisasi berlangsung. Internalisasi opresi adalah realitas yang harus dipahami para pemikir feminis dalam membicarakan identitas dan agensi perempuan (Meyers 2002). Lebih jauh, Rowlands mengonseptualisasikan berbagai bentuk komponen kekuatan (power) dalam kerangka pemberdayaan. Kekuatan atas (power over): kemampuan untuk memengaruhi dan mengurangi hambatan untuk perubahan pada tingkat rumah tangga dan masyarakat, kekuatan untuk (power to): mengorganisasi dan mengubah hierarki yang ada, kekuatan dari dalam (power from within): peningkatan kesadaran individu dan keinginan untuk berubah, kekuatan dengan (power with): peningkatan kekuatan dari aksi kolektif dan solidaritas. Kekuatan power with ini melibatkan kekuatan sekumpulan orang yang memiliki tujuan dan pemahaman yang sama untuk mencapai tujuan bersama (Rowlands 1997; MIGUNANI 2017). Dalam kerangka pemberdayaan yang ditawarkan Rowlands, perubahan yang diperoleh dari agensi perempuan merupakan dampak dari peta kekuataan yang dimiliki dan didapatkan dalam proses partisipasi dalam tata kelola lahan dan hutan yang berkelanjutan. Tabel 2. Peta Kekuatan dalam Perjuangan Perempuan Desa Power over
Perempuan pejuang mampu memengaruhi suami dan anggota keluarga untuk turut mendukung perjuangan mereka. Perempuan pejuang di Samarinda mampu menghimpun dukungan dari masyarakat dan setingkat RT agar bersama-sama menuntut tata kelola lahan yang berkelanjutan di desanya.
Power to
Adanya perubahan partisipasi perempuan di tingkat RT dan desa—yang sebelumnya mereka tidak pernah dilibatkan dalam musrenbang dan berbagai forum pengambil keputusan desa menjadi dilibatkan.
Power from within
Adanya perubahan cara pandang tentang tata kelola lahan dan hutan yang berkelanjutan di desa yang diteliti. Adanya perubanan pemahaman tentang hak atas informasi, konservasi hutan dan alih fungsi lahan.
Power with
Adanya solidaritas yang terbangun di daerah masing-masing, baik solidaritas antar kelompok perempuan, maupun solidaritas dan aksi kolektif yang lebih luas yakni antar organisasi. Sumber: hasil data yang diolah oleh peneliti.
166
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
Tabel 2 di atas memiliki keterkaitan dengan Tabel 1. Pada Tabel 2 ini, kekuatan perempuan diklasifikasi berdasarkan kerangka pemberdayaan Rowlands. Dapat dilihat bahwa perempuan pejuang memiliki kekuataan (power) yang memungkinkan adanya perubahan di tingkat individu hingga kelompok. Bila di tingkat individu perempuan mampu mengubah cara pandang, baik laki-laki (suami) maupun cara pandang pemangku kebijakan, maka akan terjadi perubahan hierarki atau struktur sosial. Kekuatan ini juga mencakup munculnya kelompok perempuan yang memiliki solidaritas dalam mencapai tujuan bersama terkait tata kelola hutan dan lahan yang berkeadilan di perdesaan.
Penutup Tata kelola lahan dan hutan yang berkelanjutan tidak dapat terwujud tanpa partisipasi masyarakat. Pada praktiknya keran partisipasi dan akses informasi ini kerap kali ditutup dan tertutup bagi publik, khususnya dalam studi ini terhadap masyarakat desa. Tata kelola yang lahan dan hutan yang berkelanjutan merupakan sebuah proses panjang. Upaya menjalankan tata kelola lahan dan hutan yang lestari tidak hanya berhenti pada adanya peraturan perundang-undangan atau kebijakan di tingkat nasional. Perjuangan atas tata kelola lahan dan hutan juga melibatkan perjuangan masyarakat desa. Dalam penelitian ini terlihat bahwa upaya untuk menjaga tata kelola lahan dan hutan yang berkelanjutan adalah buah dari perjuangan masyarakat desa, khususnya perempuan desa. Perempuan desa berjuang bukan hanya karena peran sosialnya dekat dengan lingkungan tetapi karena agensi/keberdayaan diri mereka. Agensi perempuan dalam mewujudkan tata kelola lahan dan hutan yang berkelanjutan adalah sesuatu yang tidak tunggal, agensi perempuan dipengaruhi juga oleh berbagai faktor eksternal diantaranya kondisi hidup yang terancam, ketahanan pangan, dan ekonomi keluarga. Agensi perempuan juga merupakan proses yang tidak pernah selesai yang dipengaruhi dan dihasilkan dari berbagai bentuk kekuatan. Agensi perempuan dipengaruhi oleh berbagai kekuatan/ kemampuan untuk memengaruhi dan mengurangi hambatan untuk perubahan pada tingkat rumah tangga dan masyarakat, kekuatan untuk mengorganisasi dan mengubah hierarki yang ada, kekuatan untuk meningkatkan kesadaran
167
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
individu dan keinginan untuk berubah, serta kekuatan dari aksi kolektif dan solidaritas. Daftar Pustaka FAO 2016, Global Forest Resources Assessment 2015: How are the world’s forests changing? Second Edition, Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome. Jatam 2018, Hungry Coal: Pertambangan Batu Bara dan Dampaknya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia, diakses pada 10 Oktober 2019, https://www.jatam.org/2017/05/05/ hungry-coal-pertambangan-batu-bara-dan-dampaknya-terhadap-ketahanan-panganindonesia/ Jatam 2019, Oligarki Tambang di Balik Pemilu 2019, diakses pada 10 Oktober 2019, https:// www.jatam.org/2019/02/11/oligarki-tambang-di-balik-pemilu-2019/ Meyers, Diana 2002, Gender in the Mirror: Cultural Imagery and Women’s Agency, Oxford University Press, UK. Migunani 2017, Aksi Kolektif Perempuan untuk Pemberdayaan di Indonesia: Sebuah studi tentang aksi kolektif yang diinisiasi oleh para mitra Program MAMPU Yogyakarta, Migunani, MAMPU. Rowlands, J 1997, Questioning Empowerment: Working with Women in Honduras, Oxfam, Oxford. Sachs, Carolyn 1996, Gendered Fields: Rural Women, Agriculture, and Environment, Rural Studies Series, Routledge. Tacconi, L 2007, “Decentralization, Forests and Livelihoods: Theory and Narrative”. Global Environmental Change: Part A – Human and Policy Dimensions, 17(3-4), hh. 338-348. The Asia Foundation 2012, Land Use, Land Use Change and Forestry governance in Indonesia. Wahyuningsih, M, Hapsari, F, Pardede, D 2018, Improving Indonesia’s Forest and Land Governance to Protect Forest and Communities in Indonesia, Briefing Paper, The Asia Foundation. Whatmore, Sarah 1993, On Doing Rural Research (or Breaking the Boundaries), Environment and Planning. Yulianti, L 2017, “Menakar Otonomi Perempuan Kepala Keluarga dalam Kegiatan Simpan Pinjam di Sebuah Lembaga Keuangan Mikro”, Jurnal Perempuan Vol.23 No. 4, YJP Press, Jakarta.
Catatan Akhir 1 Tiga taman nasional ini ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh Komite Warisan Dunia pada 2004 karena kandungan bentang alamnya yang luar biasa. Tropical
168
Andi Misbahul Pratiwi & Abby Gina Boangmanalu
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi
Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS) atau Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera, adalah penghargaan yang diberikan untuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
169
Dok. Jurnal Perempuan
170
Topik Wawancara Empu
Mia Siscawati Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan di Indonesia dengan Lensa Ekologi Politik Feminis Abby Gina
Jurnal Perempuan abbygina@jurnalperempuan.com
D
r. Mia Siscawati, saat ini adalah staf pengajar tetap di Program Studi (Magister) Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia dan juga staf pengajar di Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia. Pada tahun 2014-2016 ia menjabat sebagai Ketua Program Studi (Magister) Kajian Gender UI. Sejak akhir tahun 2018 ia kembali mengemban amanat yang sama. Mia, begitu ia biasa dipanggil, merupakan lulusan sarjana Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1994. Ia kemudian melanjutkan studi pada program Studi Gender dan Pembangunan dan mendapatkan gelar magister di Bradeis University, USA pada tahun 2004. Kemudian Mia mendapatkan gelar magister dalam bidang Antropologi di University of Washington, USA pada tahun 2007. Mia mendapatkan gelar Ph.D. dalam bidang Antropologi University of Washington, USA pada tahun 2012. Selain aktif dalam dunia pendidikan, Mia juga aktif dalam advokasi hak-hak perempuan terkait pembangunan, gender, lingkungan, dan kehutanan. Mia bergiat melalui berbagai riset yang menggunakan pendekatan multidisiplin dan juga melalui aksi, hal yang menjadikan dirinya sebagai seorang cendekia-aktivis. Saat Mia sedang menekuni fokus kajian tentang akses perempuan atas tanah dan sumber daya alam, dimensi gender dalam tenurial hutan, tata kelola hutan, politik tata guna tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, serta aspek gender dalam kebijakan pembangunan. Perempuan desa telah berkontribusi besar pada hal ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, namun hingga hari-hari
171
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
ini visibilitas dan pengakuan atas kontribusi mereka masih minim diberikan oleh negara. Bagaimana pandangan anda tentang gejala ini? Pertama-tama kita perlu mengetahui bahwa perempuan bukan hanya terlibat dalam ketahanan pangan tetapi lebih jauh mereka memiliki peran penting dalam kedaulatan pangan. Sejarah keterlibatan perempuan sangat panjang, namun perempuan mulai menghadapi masalah terkait kedaulatan pangan terutama sejak revolusi hijau yang mulai dijalankan sejak rezim orde baru. Dari sana kebijakan revolusi hijau mulai diterapkan di desa, tujuannya adalah agar para petani meningkatkan produktivitas pertanian, antara lain dengan memasukkan bahan-bahan kimia. Revolusi hijau ini berawal di tahun 70an. Hal ini menimbulkan perubahan, dimana perempuan mengalami pergeseran peran dan ilmu dalam pengelolaan pangan dan lahan pangan. Kebijakan pembangunan pada masa itu menempatkan perempuan dan juga anggota masyarakat lainnya di wilayah pedesaan bukan sebagai subjek utama yang harus di perhatikan. Hal lain yang perlu menjadi perhatian dari kebijakan pada masa itu adalah upaya negara mengejar pertumbuhan ekonomi di tingkat makro melalui eksploitasi sumber daya alam. Hal yang terkesampingkan dari proses ini adalah peran perempuan di tingkat mikro, dimana perempuan memiliki peran dalam wujud pertahanan pangan, punya kontribusi ekonomi di tingkat berlapis mulai dari rumah tangga, komunitas, dan juga di tingkat negara. Persoalan utama dari model pembangunan ini adalah tidak dianggapnya perempuan sebagai subjek. Politik gender pada masa itu menempatkan perempuan sebagai istri dan ibu, dan tidak memperkuat posisi perempuan dalam peran sosial ekonomi di berbagai tingkatan. Model pembangunan pada masa itu malah mengkerangkeng mereka dalam kegiatan-kegiatan yang melanggengkan peran domestik perempuan seperti di dalam PKK. Artinya perempuan belum dilihat sebagai subjek utama dalam pembangunan dan kebijakan pembangunan. Domestikasi negara terhadap perempuan saat itu menyasar tidak hanya pada perempuan kota tetapi juga perempuan desa. Dalam konteks desa, walaupun perempuan melakukan kerja-kerja produktif, mereka hanya dianggap sebagai istri dan ibu. Mereka hanya dianggap sebagai istri petani dan istri nelayan. Perjuangan para perempuan untuk mendapatkan pengakuan atas profesi seringkali menempuh jalan yang panjang. Seperti misalnya pengakuan (negara dan masyarakat) terhadap nelayan perempuan dan bukan sekadar sebagai istri nelayan. Begitu pula 172
Abby Gina
Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
halnya dengan perempuan petani. Para perempuan pedesaan ini memiliki pengetahuan, kemampuan dan melakukan kerja-kerja pertanian tetapi mereka hanya dianggap sebagai istri dan ibu. Menurut pembacaan saya, ideologi ini masih kental di masyarakat kita hingga saat ini, walaupun tidak sekuat dulu. Persoalan yang kita hadapi saat ini adalah para perempuan desa memilki kontribusi yang besar bagi kedaulatan pangan tetapi mereka belum diposisikan sebagai subjek. Hari-hari ini desa-desa di Indonesia rentan terhadap eksploitasi lingkungan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Akibatnya kerusakan lingkungan makin meluas dan berdampak langsung pada otonomi dan keberlangsungan hidup perempuan desa. Bisa dijelaskan pandangan anda mengenai hal ini? Berdasarkan kesejarahannya, eksploitasi lingkungan di Indonesia sebetulnya sudah mulai terjadi sejak tahun 1970an. Situasi yang kita hadapi saat ini tidak lepas dari konteks sejarah masa lalu, sebab kerusakan lingkungan dan hancurnya sumber daya alam adalah produk dari proses yang telah berjalan sebelumnya. Hal ini berkait erat dengan tata kuasa dan tata kelola di Indonesia setidaknya sejak zaman kemerdekaan, secara khusus di era Orde Baru. Berbagai undang-undang yang menjadi pijakan atas eksploitasi sumber daya alam ditetapkan tahun 1967. Saat itu ada undangundang kehutanan, pertambangan, investasi asing, investasi dalam negeri yang kemudian menjadi pijakan untuk eksploitasi lingkungan. Kebijakan pembangunan Indonesia pada saat itu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang menempatkan sumber daya alam sebagai sumber devisa utama. Hutan, minyak, dan pertanian adalah hal yang dilihat sebagai modal pertumbuhan ekonomi oleh karenanya sektor-sektor tersebut saat itu diubah secara masif. Akibatnya masyarakat setempat yang semula mengelola lahan dan hutan tersingkir oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki perizinan. Artinya, apa yang kita hadapi saat ini adalah produk dari sejarah panjang. Bila dirunut lebih jauh, kebijakan pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang ditetapkan dalam rezim orde baru pada tahun 1967, khususnya tentang kehutanan, sesungguhnya merupakan perpanjangan dari undang-undang kehutanan kolonial. Substansi undang-undang tersebut mengatakan bahwa wilayah-wilayah yang oleh negara dianggap memiliki fungsi ekologis sebagai hutan tetapi tidak ada klaim kepemilikannya kemudian dinyatakan sebagai hutan negara. Oleh karena itu kemudian negara memiliki hak untuk menetapkannya menjadi hutan produksi, menjadi hutan konservasi dan lain 173
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
sebagainya. Hal serupa juga terjadi pada tata kelola lahan gambut. Kerusakan ekologis pada lahan-lahan gambut saat ini adalah situasi yang dihasilkan dari eksploitasi terdahulu. Lahan-lahan tersebut sebelumnya dikelola oleh perusahaan-perusahaan berskala industri, namun kemudian mereka pergi meninggalkan lahan begitu saja ketika hutan (gambut) telah habis. Ketika lahan telah ditinggalkan oleh perusahaan di situlah mulai berdatangan berbagai kelompok masyarakat pendatang. Sebagian dari mereka adalah orang-orang dan/atau kelompok yang tergusur dari wilayahnya. Kebakaran hutan pertama terjadi pada tahun 1982, kemudian setelahnya secara rutin terjadi kebakaran hutan hingga tahun 1997. Sejak tahun 1980an, Kalimantan dan Sumatra mengalami langganan kebakaran hutan. Sebelum tahun 1997, pemerintah dan berbagai pihak mempersalahkan masyarakat yang berladang sebagai aktor utama kebakaran hutan. Argumen yang dibangun pihak-pihak tersebut pada waktu itu adalah bahwa kebakaran terjadi karena para peladang melakukan sistem perladangan berpindah yang melibatkan kegiatan pembakaran hutan sebagai bagian dari pembukaan lahan. Namun di tahun 1997 ketika teknologi satelit mulai berkembang, para aktivis dan peneliti yang sebelumnya telah mengetahui bahwa kebakaran hutan lebih banyak terjadi di wilayah perusahaan mulai terbantu oleh keberadaan data yang dihasilkan melalui citra satelit. Data tersebut menunjukkan bahwa hotspot kebarakan hutan lebih banyak terdapat di wilayah perusahaan. Perusahaan yang dimaksud adalah hutan tanaman industri, perusahaan sawit dan perusahaan pertambangan. Sebelum memulai aktivitasnya, perusahaan-perusahaan melakukan pembakaran untuk land clearing (pembukaan lahan). Proses ini dinilai lebih murah daripada dengan proses menebangi pepohonan yang tersisa dan membersihkan lahan hasil penebangan. Kalau sekarang, kebakaran hutan dan lahan masih tetap didominasi oleh wilayah perusahaan. Namun demikian harus diakui sudah mulai ada kebakaran lahan di luar perusahaan. Para pendatang sekadar mengikuti saja cara membuka lahan dengan cara membakar. Mereka tak tahu bahwa masyarakat setempat memiliki pengetahuan, ritual, upacara ada cara-cara tertentu untuk membakar. Dalam beberapa konteks tertentu, terutama di wilayah-wilayah di mana generasi mudanya meninggalkan kampung halaman mereka, pengetahuan tentang sistem pertanian lokal yang menggunakan api bisa jadi sudah hampir menghilang. Kebakaran hutan dan lahan menepatkan perempuan bukan hanya sebagai kelompok yang
174
Abby Gina
Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
harus menanggung akibat. Kebakaran hutan dan lahan juga berpotensi menghilangkan pengetahuan mereka atas cara-cara pengelolaan SDA sebab sumber daya alam itu sendiri sudah hancur. Sebagai contoh, ketika hutan hilang maka pengetahuan perempuan tentang berbagai tanaman obat dan tanaman pangan pun menjadi hilang. Seperti yang telah saya sebutkan di awal, kerusakan lingkungan yang kita alami sekarang adalah dampak pengelolaan lahan dan hutan yang eksploitatif sejak tahun 1970an, dampaknya saat ini hutan yang tersisa sebagian besar berada di wilayah konservasi, termasuk di taman-taman nasional. Bisakah dijelaskan keterkaitan antara kerusakan lingkungan dengan hilangnya pengetahuan dan pemiskinan perempuan? Pengetahuan pasti lekat dengan kebiasaan sebab pengetahuan yang baik tidak hanya tersimpan dan diingat-ingat, tapi dipraktikkan. Misal tentang tanaman-tanaman obat. Di wilayah hutan, kalau tanamannya masih ada tentunya tanaman tersebut akan sering dipakai menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Pada masyarakat yang hutannya masih baik, terdapat berbagai tanaman liar yang bisa dijadikan sumber pangan. Sekarang, seiring dengan rusaknya hutan, berbagai jenis tanaman tersebut berkurang bahkan menghilang. Hutan punya banyak fungsi sosial, selain sebagai sumber pangan, obat bagi masyarakat setempat, hutan juga menjadi tempat mereka menabung. Seperti misalnya pada komunitas Dayak Benuak di Kalimantan Timur. Hingga tahun 1970-1980an komunitas ini menjadikan tanaman rotan hutan sebagai tabungan. Saat anak akan masuk sekolah mereka ambil dan jual rotan. Rotan yang mereka ambil bukan rotan liar tetapi rotan yang mereka tanam/ dibudidayakan di dalam hutan. Rotan membutuhkan hutan untuk hidup sebab untuk tumbuh rotan membutuhkan pohon-pohon besar. Sehingga bila hutan hilang rotan tidak bisa tumbuh dengan baik. Menghilangnya hutan akan membuat sumber penghidupan komunitas ini pun menjadi hilang. Bagi perempuan, hutan juga menjadi penting sebab kebanyakan dari mereka bergantung pada sumber daya hutan sebagai bahan dari berbagai produk anyaman. Pengetahuan tentang berbagai jenis tanaman untuk bahan anyaman serta pengetahuan tentang pola-pola anyaman lebih banyak dimiliki oleh perempuan. Anyaman yang dibuat oleh para perempuan bukan hanya memiliki fungsi ekonomi tetapi juga fungsi sosial tertentu misalnya; ritual adat, sebagai alat-alat dapur, alat untuk menjemur padi dan lainnya. Pengetahuan dan peran perempuan cukup besar terkait dengan pengelolaan berbagai produk hutan dan produk
175
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
sumber daya alam lainnya dalam keluarganya dan komunitasnya. Ini adalah sedikit contoh dari banyak kasus lainnya yang menunjukkan betapa hutan memiliki fungsi ekonomi dan sosial yang begitu kompleks. Dengan demikian meskipun tidak dapat dilihat secara langsung kita dapat mengetahui bahwa kerusakan hutan pasti akan menghilangkan pengetahuan masyarakat termasuk perempuan, serta memiskinkan masyarakat termasuk perempuan. Dalam kerusakan lingkungan apakah dapat dikatakan bahwa perempuan adalah kelompok yang paling rentan? Saya mengingatkan bahwa perempuan bukan kelompok homogen, jadi tidak tepat kalau dikatakan begitu saja bahwa perempuan adalah kelompok yang paling rentan. Perempuan dari kelompok sosial tertentu bisa jadi adalah kelompok yang paling rentan. Memang secara umum perempuan menjadi lebih rentan karena fungsi reproduksinya. Misalkan ada problem dengan air bersih maka semua perempuan akan punya masalah sebab semua perempuan butuh air bersih. Tapi perempuan yang punya kelas sosial yang tinggi akan punya uang untuk membeli air bersih. Dia punya resources (sumber daya) untuk memperoleh akses atas air bersih. Mungkin perempuan dari kelas ekonomi atau kelas sosial yang kaya punya akses untuk menyuruh orang lain untuk membeli, membawa air dan sebagainya. Kelangkaan air bersih tentu direspons berbeda oleh perempuan kelas ekonomi yang lebih rendah. Mereka adalah kelompok yang sama sekali tidak mampu membeli air. Artinya dalam merespons dan memetakan dampak kerusakan lingkungan bagi masyarakat dan bagi perempuan harus dilihat secara khusus, tidak bisa digeneralisasi. Kita perlu mengingat bahwa perempuan tidak homogen oleh karena itu kerusakan lingkungan akan menyebabkan persoalan yang berbeda untuk perempuan dari kelompok sosial yang berbeda. Terkait dengan pengelolaan perhutanan sosial yang hari-hari ini mulai diberlakukan, menurut anda apa pentingnya pelibatan masyarakat lokal terhadap tata kelola lahan dan hutan di Indonesia? Perhutanan sosial itu adalah satu pendekatan yang sudah dikembangkan menjadi sebuah kebijakan program pemerintah, dimana ada pengakuan keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan. Perjuangan untuk memperoleh pengakuan atas peran masyarakat dalam mengelola hutan adalah perjalanan yang panjang sekali. Pada zaman Orde Baru, perhutanan sosial hanya dilakukan di dalam perusahaan hutan negara. Di wilayah hutan negara di Jawa yang dikelola oleh Perhutani, pada awalnya petani (hanya)
176
Abby Gina
Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
diminta membantu kegiatan penanaman kayu jati dan tanaman keras lainnya. Para petani yang terlibat dalam kegiatan ini sebagian besar tidak memiliki tanah. Setelah menanam kayu jati dan tanaman keras lainnya, mereka boleh menanam padi disekitarnya. Namun persoalannya, pada umur tertentu, yaitu sekitar lima atau tujuh tahun ketika tajuk atau kanopi dari tanaman itu mulai besar, sinar matahari terhalang masuk. Para petani kemudian merasa bahwa padi mereka tidak bisa berkembang dengan baik kalau ditutupi oleh kanopi atau tajuk dari kayu. Mereka harus mencari lahan lain untuk menanam tanaman pangan dan tanaman jangka pendek. Pada masa itu perhutanan sosial dipahami hanya sekadar melibatkan masyarakat dan bukan pengakuan atas pengelolaan hutan oleh masyarakat. Dalam perkembangannya, para pemikir dan aktivis melakukan advokasi untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya perhutanan sosial yang tepat adalah bila negara mengakui pengelolaan hutan oleh masyarakat dan menyadari bahwa setiap tempat membutuhkan pendekatan yang berbeda, sebab ekosistem berbeda, sosial budaya berbeda, ekonomi berbeda dan lain sebagainya. Tentu saja penting melibatkan masyarakat. Konsep yang benar dalam memahami perhutanan sosial adalah bila masyarakat dijadikan subjek utama. Sehingga seharusnya bila kita bicara soal perhutanan sosial, penting pula menjadikan perempuan sebagai subjek utama. Artinya bukan hanya mengakui masyarakatnya, tetapi juga mengakui perempuan sebagai subjek. Bila kita mengakui sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat, kita akan melihat bahwa perempuan punya peran di dalamnya. Tanpa digerakan, secara alamiah sistem lokal yang sudah ada menunjukkan bahwa perempuan mengisi tempat-tempat tertentu. Namun demikian dalam beberapa kasus, kita mengetahui juga banyak perempuan yang dilibatkan saat terjadi perubahan pada lahan dan hutan. Ketidakterlibatan perempuan dalam tata kelola hutan dan lahan tidak selalu soal domestikasi, tetapi perubahan yang terjadi seiring dengan perubahan waktu berdampak pula pada peran perempuan. Sebagai contoh tanaman hutan atau dalam bahasa teknisnya tanaman keras yang ditanam oleh perempuan bisa berubah dalam kaitannya dengan kondisi sosial. Misalnya di daerah jawa tahun 1990an, masyarakat ragu-ragu menanam tanaman jati di kebunnya sendiri walaupun nilai ekonomisnya tinggi. Alasannya saat mereka panen dan akan menjual hasil kebunnya, mereka akan ditanya kayu itu berasal dari mana dan milik siapa, jangan-jangan jati ini hasil curian dari lahan Perhutani. Hal-hal
177
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
seperti itu memengaruhi jenis tanaman, memengaruhi peran perempuan, pengetahuan perempuan dan lain sebagainya. Konsep perhutanan sosial yang ada saat ini sudah mengakui masyarakat setempat sebagai subjek, tetapi dengan status hutan adalah milik negara. Sementara bagi komunitas adat situasinya berbeda. Masyarakat adat menutut agar negara mengakui keberadaan mereka dan memberikan otonomi terhadap pengelolaan wilayah adatnya sendiri. Hal ini berbeda dengan komunitas lain yang tidak terikat dengan aturan, hukum adat dan kelembagaan. Bagi para masyarakat adat yang dibutuhkan bukan hanya sekadar pengakuan keberadaan masyarakat dan wilayah adat, tetapi bagaimana mereka diakui dan dilindungi selaku pengelola wilayah hutan. Melalui kebijakan perhutanan sosial negara mengakui beberapa skema pengelolaan hutan oleh masyarakat, antara lain hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, skema kemitraan. Perhutanan sosial harus menempatkan masyarakat sebagai subjek utama. Namun demikian, pendekatan perhutanan sosial bukan tanpa persoalan. Teman-teman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan pemerhati hak-hak masyarakat adat melihat bahwa keberadaan kebijakan perhutanan sosial justru menunjukkan tidak diakuinya keberadaan komunitas adat dalam kaitannya dengan hutan adat dan wilayah adat. Pendapat tersebut didasari oleh argumen bahwa wilayah yang masuk dalam skema Perhutanan Sosial tetap memiliki status sebagai hutan negara. Sementara masyarakat adat mengajukan gugatan agar negara memberi pengakuan dan perlindungan atas otonomi mereka dalam pengelolaan wilayah adat, termasuk hutan adat yang berada di dalamnya. Perhutanan sosial yang saat ini sedang gencar dikembangkan masih dikritisi karena belum memberikan pengakuan bagi masyarakat adat untuk mengelola wilayah adatnya secara otonom. Bagaimana pandangan mbak paradigma pembangunan nasional kita yang cenderung menyingkirkan masyarakat lokal dan/atau desa khususnya perempuan? Apa dampaknya pada perempuan lokal dan/ atau desa? Sekarang sudah ada pergeseran ya bila dibandingkan dengan jaman Orde Baru. Bagi saya yang terlibat dan mengikuti bagaimana proses perjuangan pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat desa dan adat saya melihat bahwa saat ini sudah ada ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan. Saat ini Musrenbangdes sudah berjalan dan beberapa perempuan telah dapat terlibat secara aktif. Di beberapa tempat telah ada 178
Abby Gina
Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
penggerak-penggerak baik dari organik intelektual dari kampung dan/atau dari LSM yang mengorganisasikan diri dan menunjukkan gagasan mereka di Musrenbangdes. Di zaman Orba pendekatan pembangunan adalah TopDown (dari atas ke bawah). Walaupun telah terjadi pergeseran, tetapi cara pikir atau kebiasaan tersebut masih sulit untuk dihilangkan sama sekali. Bila hari-hari ini kepentingan-kepentingan perempuan belum terakomodasi hal ini disebabkan oleh belum terakomodasinya aspirasi perempuan dalam Musrenbangdes. Bahkan dalam banyak kasus, masih banyak wilayah pedesaan yang dana desanya dikelola secara eksklusif artinya tidak melibatkan perempuan dalam perencanaan dan pengelolaannya. Walaupun pelibatan perempuan telah diatur dalam kebijakan atau dengan kata lain ruang telah dibuka tetapi karena cara pandang yang ideologis masih berakar kuat, akibatnya masih kita temui para aparatur negara dari berbagai tingkatan, seperti misalnya Kades, dan warga desa setempat yang masih menyingkirkan perempuan. Menurut anda apakah perluasan wilayah perhutanan sosial dapat dikatakan sebagai sebuah capaian baik dalam rangka pelibatan dan/ atau upaya pemenuhan hak masyarakat desa? Jika kita lihat dan amati, sebenarnya perluasan wilayah perhutanan sosial itu progresnya amat lambat. Perjuangan yang dilakukan oleh para masyarakat, pendamping dan orang-orang di dalam pemerintahan sangatlah panjang. Salah satu penyebabnya adalah di dalam pemerintahan sendiri banyak kelompok yang kurang setuju, sehingga pertarungan ini bukan di level mentri saja tapi di tingkat yang paling rendah. Sebab bukan tidak mungkin beberapa oknum mendapatkan keuntungan dari situasi di mana negara mengontrol secara penuh pengelolaan atas hutan. Mengubah paradigma di masyarakat tidak mudah. Pandangan yang meragukan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan masih umum terjadi di masyarakat kita. Bisakah dijelaskan bagaimana relevansi dari ekologi politik feminis (feminist political ecology) dalam pengelolaan dan pelestarian lahan dan hutan yang berkelanjutan? Ekologi politik feminis adalah satu teori yang dapat dipakai untuk membaca situasi terkait tata kuasa dan tata kelola lahan dan hutan serta sumber daya alam lainnya. Pendekatan ini dapat dipakai pula untuk merefleksikan apa yang telah terjadi. Teori ini mencoba melihat bahwa
179
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
kerusakan ekologi yang terjadi saat ini bukanlah suatu situasi yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Perlu disadari bahwa ada endapan sejarah yang panjang. Pihak yang menanggung beban adalah masyarakat adat dan perempuan masyarakat adat/desa, walaupun mereka seringkali bukanlah kelompok yang berkontribusi besar pada perusakan lingkungan. Sejarah menunjukkan bahwa dengan hadirnya kebijakan negara yang mendukung eksploitasi sumber daya alam, perusahaan diberi akses dan ruang untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Ekologi politik feminis mencoba melihat bahwa proses penghancuran SDA yang dilakukan berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda dan menimbulkan berbagai dampak yang berbeda bagi perempuan dari berbagai kelompok sosial. Teori ini tidak berhenti melihat penghancuran dari pihak eksternal saja seperti halnya perusahaan tetapi penting juga untuk menkritisi kontribusi dari pihak-pihak internal di dalam komunitas, termasuk keluarga-keluarga tertentu atau anggota-anggota keluarga tertentu yang memegang kekuasaan, terhadap proses penghancuran SDA. Ekologi politik feminis memberikan perhatian pada relasi kuasa yang timpang, baik ketimpangan relasi kuasa berbasis gender, kelas, ekonomi dan lain sebagainya. Ekologi politik feminis juga melihat bahwa dalam konteks persoalan lingkungan, persinggungan antara gender, kelas, etnisitas dan berbagai faktor sosial lainnya dapat membuat perempuan dari kelompok sosial tertentu memiliki persoalan-persoalan yang berbeda. Ekologi politik feminis tidak pernah melihat bahwa kerusakan SDA berdampak sama pada setiap perempuan. Teori ini memberikan perhatian pada interseksionalitas seseorang. Pendekatan teori ini tidak menggunakan pendekatan esensialis, artinya tidak serta merta menjadikan seluruh perempuan sebagai korban dari kerusakan lingkungan, sebab dampaknya dapat berbeda antara satu perempuan dengan yang lain, tergantung posisinya dalam relasi kuasa berbasis gender, kelas, etnisitas, seksualitas, agama, dan lain-lain. Pendekatan ini penting untuk merefleksikan apa yang telah dan akan kita lakukan, dalam konteks kita masing-masing, terhadap lingkungan. Teori ini juga mengajak kita mengkritisi tentang apa yang dapat kita lakukan. Lebih jauh, dalam upaya menanggulangi masalah lingkungan dan dalam upaya memberdayakan perempuan, kita tidak bisa menyamaratakan kebutuhan tiap perempuan. Kita perlu kritis dan memastikan bahwa target penanggulangan kerusakan SDA tidak hanya menyasar perempuan
180
Abby Gina
Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
kelas atas misalnya, sebab mereka bisa jadi memiliki keberdayaan untuk merespons dampak kerusakan lingkungan. Seperti telah saya jelaskan sebelumnya misalnya pada kasus kelangkaan air bersih yang dapat diatasi dengan lebih mudah bagi perempuan kelas atas/elite tapi tidak demikian pada perempuan miskin. Sehingga dibutuhkan pendekatan yang berbeda dalam upaya memastikan penerima manfaat sesuai dengan situasi-kondisi. Program yang ditawarkan para LSM, penggerak dan pemerintah tidak bisa hanya melibatkan para perempuan yang elite. Kita perlu meyadari bahwa ada perbedaan antara perempuan-perempuan dari kelas sosial dan ekonomi, serta perbedaan akibat berbagai faktor sosial lainnya. Walaupun bisa jadi para perempuan menghadapi situasi diskriminatif yang sama-sama menyingkirkan dan atau tidak menguntungkan mereka, tetapi perempuan dari ekonomi kelas atas misalnya memiliki privilese yang tidak dimiliki perempuan kelas bawah seperti mempunyai waktu untuk berorganisasi, punya kapasitas untuk bernegosiasi dan lain sebagainya. Sebagai contoh kita bisa melihat pada masyarakat di Muara Angke. Kita memandang mereka sebagai kelompok marginal; tapi perlu diingat bahwa di dalam kelompok yang marginal itu masih ada lapisan-lapisan lain. Bagitu juga ketika kita bicara perempuan dari kelompok marginal seperti halnya nelayan di Muara Angke. Di kalangan perempuan di Muara Anke ada lapisanlapisan berbeda. Dengan kata lain, masih ada kelompok marginal di dalam komunitas marginal (atau sub-marginal). Artinya ketika kita melihatnya dari lensa gender, dari contoh tersebut kita menyadari bahwa laki-laki nelayan dari kelas sosial atau ekonomi yang rendah dapat memiliki masalah lebih besar terkait akses dan kontrol atas pengelolaan sumber daya laut dan pesisir dibandingkan dengan laki-laki dari kelas sosial atau ekonomi yang lebih tinggi. Istri dari laki-laki nelayan kelas bawah tersebut biasanya akan memiliki persoalan yang lebih besar dibandingkan dengan suaminya. Artinya dalam menelisik permasalahan yang dihadapi kelompok sosial tertentu kita perlu melihat interseksionalitasnya. Ekologi politik feminis melihat persinggungan dari gender dan berbagai faktor sosial lainnya seperti kelas, etnisitas, agama, status perkawinan dan berbagai faktor lainnya. Teori ini memastikan agar kekhususan pengalaman perempuan harus menjadi bahan refleksi kritis kita dalam memastikan keterlibatan dan pemberdayaan bagi berbagai kelompok perempuan. Kita harus menyadari ada hambatan kultural yang berbeda dari perempuan yang berasal dari kelompok sosial berbeda. Perempuan di pedesaan dan di dalam masyarakat
181
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
adat memiliki kompleksitas yang berbeda. Seperti telah saya sebutkan berulang kali, perempuan bukanlah kelompok yang homogen. Dalam banyak hal kekhususan ini yang seringkali luput dari lensa para peneliti, aktivis dan/ atau negara, sehingga kadang kebijakan dan proses penguatan kapasitas bisa jadi tidak tepat sasaran. Dalam kelompok perempuan sendiri saja masih banyak kelompok perempuan yang belum berdaya dan belum mampu menyuarakan aspirasinya, sehingga membicarakan bagaimana mereka menyuarakan aspirasinya dalam pertemuan besar seperti Musrenbangdes bersama laki-laki adalah tantangan yang lebih berat lagi. Oleh sebab itu perempuan dari berbagai kelompok sosial tersebut perlu diorganisir, diberdayakan sehingga mereka mampu menyuarakan aspirasinya sendiri. Apa yang harus dilakukan agar keterlibatan perempuan dalam tata kelola lahan dan lingkungan dapat dipastikan? Yang harus kita lakukan pertama-tama adalah membaca situasi mereka. Perlu dilakukan asesmen secara mendalam. Dalam hal ini, teori ekologi politik feminis ini akan membantu. Penting agar kita membaca situasi dengan lensa yang kritis. Dengan pendekatan ini kita menjadi tahu kelompok mana yang perlu diorganisir terlebih dahulu. Memang tantangan kita tidak mudah, paradigma kita belum berorientasi pada memberikan layanan untuk masyarakat. Jika cara pandang yang menempatkan masyarakat bukan subjek sudah terlanjur mengkristal, memang kita harus berupaya keras untuk mengubah paradigma secamam ini. Pembacaan situasi harus dilakukan dengan baik di tingkat lapangan dan tidak berangkat dari asumsi. Sebagai contoh tentang pemberdayaan perempuan nelayan. Pemberdayaan pada perempuan biasanya difokuskan seputar pengolahan makanan tanpa misalnya menyadari bahwa dalam konteks tertentu ada perempuanperempuan yang memang bekerja menjadi nelayan (yang terjun langsung ke laut). Tentu kondisi-kondisi semacam ini perlu dijadikan pertimbangan dalam membuat rencana program pemberdayaan agar kegiatan menjadi tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan para perempuan. Jika akan dilakukan kegiatan yang akan meningkatkan nilai produk tangkapan, perlu diperhatikan berbagai tindak lanjutnya. Di Manokwari misalnya, para perempuan nelayan diajarkan tentang membuat abon ikan, tetapi tidak disertai dengan pelatihan tentang bagaimana agar produk mereka memiliki sertifikat POM dll. Bagaimana pandangan anda mengenai agensi-agensi perempuan yang 182
Abby Gina
Mia Siscawati: Membaca Kritis Situasi Tata Kuasa dan Tata Kelola Lahan dan Hutan di Wilayah Pedesaan dengan Lensa Ekologi Politik Feminis
memperjuangkan hak atas pengelolaan dan pelesetarian lahan dan hutan dengan melakukan sejumlah perlawanan terhadap dominasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh negara dan/atau perusahaan? Dalam banyak konteks, perempuan dari berbagai lapisan sosial yang berbeda, menurut saya mereka punya kesadaran untuk melakukan perlawanan atas ketidakadilan yang dihadapi, tetapi tidak semuanya memilih untuk melawan. Tidak sedikit dari mereka yang tanahnya direbut oleh perusahaan dan/atau negara, namun mereka juga tahu bahwa keluarga mereka, seperti suami dan anggota keluarga besar mereka, memberi akses untuk hal itu terjadi. Agensi yang dimiliki para perempuan ini membantu mereka menyadari persoalan ketidakadilan di sekitar mereka tetapi di sisi lain mereka menyadari pula bahwa mereka berada pada situasi yang kompleks dan sulit akibat ketimpangan relasi kuasa di tingkat internal keluarga dan komunitasnya. Menghadapi situasi yang rumit tersebut, bagi saya mereka cerdik sebab mereka berstrategi untuk memilih perjuangan yang mana yang harus diutamakan, misalnya membangun kesadaran untuk bersama-sama suami melawan perusahaan. Kita perlu menyadari bahwa para perempuan tidak hanya melawan ketidakadilan dari pihak eksternal tetapi dari internal juga. Perlawanan perempuan menjadi kompleks sebab ranah pertarungannya berbeda dengan laki-laki. Perempuan tidak hanya bertarung di satu ranah, tapi juga di berbagai ranah termasuk di ranah internal keluarga dan komunitasnya sendiri. Sebagai contoh perlawanan yang dilakukan perempuan Kendeng, mama Aleta dll. Mereka sering dituduh sebagai boneka dan/atau alat dari laki-laki kelompok tertentu. Mereka sebetulnya marah dengan tuduhan itu. Mengapa? Karena mereka sesungguhnya memiliki kesadaran dan pilihan dalam berjuang. Mereka tahu ada ketidakadilan atau ketimpangan kultural tetapi mereka berstrategi dalam mengedepankan upaya memperjuangkan lingkungan untuk kepentingan bersama. Bagi saya mereka adalah kelompok yang cerdik dan berstrategi sebab para perempuan yang memimpin perlawanan ini sebetulnya mampu membaca secara kritis situasi di sekitarnya. Ada seorang perempun di Sanggau, Kalimantan Barat, bernama Ibu Rini. Dia adalah guru SD di suatu kampung yang sudah terkepung sawit. Ia bercerita bahwa sebelum sawit datang, kampung itu dikepung oleh perusahaan yang mengambil kayu dari hutan-hutan di sekitar kampung. Sepuluh tahun lalu ia berjuang melawan perusahaan sawit. Ia mengatakan bahwa perusahaan 183
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
yang datang di tahun 1990an itu berjanji akan membangun sekolah, rumah sakit dll, tetapi nyatatanya janji itu tidak ada. Perusahaan juga menjanjikan akan memberikan kebun plasma untuk masyarakat, tetapi ternyata selama 15 tahun masyarakat tidak mendapatkan manfaat, malahan wilayah hidup mereka makin sempit. Perjuangan Ibu Rini adalah melawan perusahaan, tetapi ia juga menyadari bahwa sebagian laki-laki dari komunitasnya sendiri yang memberikan izin pada perusahaan. Walau perusahaan memperoleh izin dari Negara, namun wilayah kelapa sawit yang akan digarap perusahaan adalah wilayah kampung mereka, sehingga perusahaan bernegosiasi dengan kepala adat di mana kepala adat akan mengundang para laki-laki. Perusahaan memberikan penawaran kepada masyarakat untuk menyerahkan 7 Ha lahan pada perusahaan, dan masyarakat desa akan mendapat 2 Ha kebun plasma. Para laki-laki desa beramai-ramai menyerahkan lahan keluarganya padahal sebagian lahan itu adalah lahan perempuan sebab di kampung tersebut perempuan memiliki hak waris. Menyikapi situasi ini, Ibu Rini berstrategi. Ia merasa bahwa ia belum cukup kuat untuk menggugat para laki-laki dalam komunitasnya. Ia merasa, yang terutama perlu dilakukan adalah bagaimana ia bersama warga lainnya berjuang melawan perusahaan terlebih dulu. Penting agar kita memberikan dukungan dan menjadi rekan diskusi. Agensi yang dimiliki perempuan mendorong perempuan untuk berstrategi: mereka harus melawan ketimpangan relasi kekuasaan di tingkat internal keluarga dan komunitas mereka, tetapi di sisi lain harus bekerja sama dengan laki-laki untuk memperjuangkan ruang hidupnya dari perusahaan (kelapa sawit, tambang dll.) Agensi adalah daya untuk memahami situasi dan kemampuan mengambil keputusan, sedangkan perlawanan itu sendiri adalah hasil. Agensi yang dimiliki para perempuan ini memungkinkan mereka untuk membaca secara cerdik. Sebagian dari mereka sadar bahwa memperjuangkan perubahan dari dalam kelompok dulu akan lama dan sulit. Sehingga mereka melakukan pilihan yang strategis dengan memprioritaskan perjuangan atas ruang hidup.
184
KataTopik dan Makna Empu
Kata dan Makna Nur Iman Subono
Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Indonesia boni.subono@gmail.com
Feminisme, Perempuan dan Pedesaan Persepsi dan gambaran perempuan yang tinggal di daerah pedesaan pada kenyataannya tidak pernah homogen. Jika ditarik garis lurus maka persepsi dan gambaran tersebut bisa bergerak dari kanan dengan citra perempuan bekerja yang teromantisasi secara harmonis dengan alam, sebagaimana yang digambarkan oleh Sue Hubbell dalam A Country Year, menuju ke arah kiri yang direpresentasikan dengan perempuan perkasa yang kerja keras sebagai bagian sehari-hari dari keberadaanya seperti yang ditampilkan Alice Walker dalam Everyday Use atau Tsitsi Dangarembga dalam Nervous Condition. Kalangan feminis mengkritik keras bahwa ilmu pengetahuan Barat dan strategi pembangunan kapitalis telah menurunkan nilai pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam berdekatan dengan alam. Banyak dari perempuan desa bekerja dalam produksi pertanian sebagai aktivitas kehidupan yang utama, dan relasi mendalamnya mereka dengan lingkungan alam dalam upayanya untuk kebutuhan subsisten akan air, bahan bakar dan perumahan. Sementara petani desa sangat bergantung pada lingkungan alam untuk bisa tetap bertahan, kalangan urban Barat seringkali terpisah dari sumber-sumber kebutuhan mereka. Padahal di negara-negara berkembang, perempuan desa seringkali menghabiskan kehidupan sehariharinya mereka mengumpulkan kayu bakar dari hutan, mengumpulkan air dari aliran sungai, dan memelihara tanaman dan binatang untuk kebutuhan makana keluarga mereka. Terjadinya perubahan struktural dalam ekonomi lokal dan global pada gilirannya memberikan dampak pada hubungan masyarakat desa dengan alam sekitarnya, mendorong orang-orang berimigrasi dari desa ke kotakota, mengubah strategi kehidupan dan kerja di daerah pedesaan, termasuk 185
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
perubahan strategi perempuan desa untuk bertahan hidup. Pada titik ini kalangan feminis mempertanyakan legitimasi ilmu pengetahuan Barat sebagai satu-satunya solusi atau alat analisa dalam melihat perempuan di pedesaan. Sebaliknya justru kalangan perempuan desa sendiri yang mampu membangun sudut visi alternatif. Mereka tidak hanya mampu memahami benih-benih atau bibit-bibit yang sangat beragam, tapi juga memahami bagaimana melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi lingkungan yang berubah dan khusus.
Hubungan Patriarkal di Pedesaan Di negara berkembang, perempuan yang tinggal di daerah perdesaan mewakili sekitar 43% dari tenaga kerja di sektor pertanian (UN Women). Dengan demikian perempuan perdesaan memiliki kontribusi penting dalam memastikan keamanan pangan keluarga dan komunitas serta memperkuat perekonomian negara. Meskipun memiliki peran besar, namun perempuan perdesaan masih menghadapi diskriminasi terkait budaya dan norma sosial yang membuat mereka berada dalam situasi rentan dan buruk. Jadi meski perempuan merupakan mayoritas yang bekerja di pedesaan, tapi laki-laki yang sebagian besar yang memiliki tanah, mengendalikan kerja buruh perempuan, dan membuat keputusan-keputusan pertanian dalam sistem sosial yang patriarkal tersebut. Di banyak wilayah dunia, keluarga tetap menjadi unit utama produksi dalam pertanian. Kebijakan negara di Amerika Serikat, Amerika Latin dan Afrika seringkali secara eksplisit mendukung pertanian keluarga yang berwatak patriarkal melalui perluasan programprogram, hibah atau pinjaman pemerintah, dan kebijakan pemasaran.
Upaya-upaya Perlawanan Perempuan Desa Catatan sejarah dan juga berita kekinian mencatat bahwa kebanyakan gerakan feminis sangat berpusat di wilayah-wilayah urban. Sementara itu, gerakan perempuan desa sangat terabaikan dalam membangun organisasi feminis yang peduli secara khusus untuk menantang hak-hak istimewa (privilege) dan otoritas (authority) kalangan laki-laki. Meskipun demikian bukan berarti gerakan perempuan desa yang progresif dalam tuntutan atau aksinya absen sama sekali. Sebut saja misalnya perempuan desa di Zimbabwe yang berpartisipasi dalam perjuangan perlawanan menuntut hak-haknya terhadap pemerintahan yang baru. Tapi sayangnya, perempuan
186
Kata dan Makna
yang berasal kalangan elite urban yang memimpin gerakan untuk hak-hak perempuan, dan mereka juga yang cenderung menerima manfaat dari perubahan kebijakan yang ada. Namun demikian apakah kemudian memang begitu nasibnya perempuan desa dalam segala dinamika dan perubahan sosial-politik dan ekonomi-budaya yang sedang berlangsung? Tentu saja tidak. Meskipun variasinya banyak dan sangat heterogen tapi kita melihat bahwa petani desa di banyak tempat di dunia memajukan langkah mereka secara signifikan dalam membentuk dan membangun hidup dan kehidupan mereka. Kita bisa melihatnya perjuangan perempuan desa misalnya dalam kerjakerja organisasi akar rumput perempuan dalam bidang koperasi, skema kredit secara bergiliran, perlawanan perusakan lingkungan, dan gerakan perempuan dalam dunia pertanahan.
Daftar Pustaka: Carolyn E. Sachs (1996), Gendered Fields: Rural Women, Agriculture, and Environment.
187
Dok. Pribadi
188
Topik Empu Profil
Lia Mulyanawati Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial Dewi Komalasari
Jurnal Perempuan dewikoma@jurnalperempuan.com
L
ia Mulyanawati adalah seorang perempuan yang aktif dalam kegiatan komunitas desa. Selain menjadi ibu rumah tangga dengan dua putra, Lia juga menjabat sebagai Ketua Rukun Warga (RW) di Kampung Sukasirna, Desa Limbangan Timur, Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut. Lia adalah Sekretaris Pengurus Anak Cabang (PAC) Muslimat di Kecamatan Balubur Limbangan. Selain itu, Lia juga menjadi Ketua Forum Komite Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD) di 3 (tiga) desa yaitu Desa Limbangan Timur, Desa Galihpakuan yang berada di Kecamatan Balubur Limbangan, dan Desa Cigawir yang berada di Kecamatan Selaawi. KPMD merupakan bagian dari Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (GPATBM) yang pembentukannya diinisiasi oleh Yayasan Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK). Dari berbagai jabatan yang diembannya, dapat dibayangkan kesibukan sosok perempuan berusia 53 tahun ini. Bersama KPMD, Lia bekerja untuk mendampingi anak-anak yang dilacurkan (AYLA) di Desa Limbangan Timur, melalui pembentukan sanggar. Sesuai namanya, Sanggar Inklusi yang dibentuk oleh KPMD bertujuan untuk menjadi wadah yang dapat membuka sekat dan keterkucilan AYLA. Anakanak yang dilacurkan merupakan kelompok yang tereksklusi dari akses layanan publik, dan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Sanggar Inklusi dibentuk dan diselenggarakan oleh KPMD. Sebagai Ketua Forum KPMD yang membawahi pengelolaan sanggar, Lia berperan sebagai koordinator mengelola operasional sanggar. Selain mengajak anak-anak berkegiatan di sanggar, KPMD juga melakukan upaya advokasi perlindungan serta pemberdayaan AYLA di desa, termasuk advokasi anggaran desa untuk pembiayaan operasional dan kegiatan Sanggar.
189
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Kecamatan Balubur Limbangan terletak tidak jauh dari jalur selatan Pulau Jawa. Jalur selatan melintas membelah Kecamatan Balubur Limbangan dari sebelah barat sampai ke arah tenggara. Desa Limbangan Timur berada tidak jauh dari rute tersebut dan dilintasi pula oleh jalan provinsi yang menghubungkan Kecamatan Selaawi dengan Kecamatan Balubur Limbangan. Di sepanjang jalur Selatan tersebut banyak terdapat warungwarung yang sering disinggahi kendaraan. Dalam setiap jarak 50-meter dapat ditemukan warung yang menyajikan minuman dan tempat persinggahan. Di warung-warung tersebut akan dijumpai perempuan-perempuan yang bekerja untuk menemani dan menjamu pembeli. Keberadaan perempuan di warung tersebut merupakan daya tarik bagi calon pembeli. Warung-warung di jalur Selatan biasa mulai beroperasi pada sore hingga malam hari. Dari sanalah istilah warung remang-remang (warem) berasal. Meskipun secara kasat mata para perempuan yang bekerja di warung-warung tersebut bekerja untuk menemani pembeli, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa di dalamnya juga dapat terjadi transaksi seks. Tidak sedikit dari perempuan yang bekerja di warem tersebut masih berusia anak-anak. Anak-anak perempuan tersebut biasanya berlatar belakang keluarga miskin dengan orang tua yang bekerja sebagai buruh kasar dan berpenghasilan tidak tetap. Menurut temuan SEMAK, anak perempuan yang bekerja di warem biasanya memiliki keluarga yang telah lebih dulu memiliki pekerjaan serupa, bahkan banyak dari mereka adalah ibunya sendiri. Banyak pula ditemui ayah yang mengantar jemput anak perempuannya untuk bekerja di warung-warung tersebut. Anak perempuan yang bekerja di warung remang umumnya berusia antara 14 -18 tahun. Pada umumnya anak perempuan tersebut telah putus sekolah. Eksploitasi berlatar ekonomi terhadap anak yang dilacurkan (AYLA) yang berisiko tinggi ini tidak terjadi pada anak laki-laki. Meskipun secara umum pekerjaan anak perempuan ini mendapatkan permakluman dari masyarakat luas, namun mereka tetap mendapatkan stigma sebagai anak nakal dan tidak menjalankan agama dengan baik. Di Garut sendiri ada banyak anak yang terjerat dalam kegiatan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA)/ eksploitasi seksual anak (ESA). Hal ini membuat Lia memandang persoalan perlindungan bagi AYLA merupakan persoalan yang penting dan mendesak untuk ditangani. Situasi inilah yang mendorong SEMAK untuk menginisiasi terbentuknya GPATBM. GPATBM
190
Dewi Komalasari
Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
bekerja di dua aras yaitu di tingkat komunitas dan di tingkat kebijakan. Di tingkat komunitas, mereka mendorong terbentuknya KPMD yang merekrut kader-kader di setiap kampung (rukun warga) untuk dibekali dengan pengetahuan mengenai hak-hak anak dan upaya perlindungan anak. Di tingkat kebijakan GPATBM mendorong Garut menjadi Kabupaten Layak Anak (KLA). KLA ditetapkan melalui Peraturan Daerah sehingga dengan demikian perhatian Pemerintah Kabupaten terhadap persoalan anak dan upaya perlindungan anak akan meningkat secara positif. Salah satu indikator KLA adalah adanya perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan dan eksploitasi.
Awal Mula Keterlibatan Dalam KPMD Lia Mulyanawati merupakan bungsu dari 7 (tujuh) perempuan bersaudara. Masa kecilnya dihabiskan dengan melewati pendidikan SD dan SMP di Limbangan, sebelum melanjutkan SMA dan berkuliah di Bandung. Sejak menikah pada tahun 2009, ia kembali untuk menetap di Limbangan. Ia terlahir dari keluarga yang menurutnya biasa saja. Meskipun hanya pensiunan Kepala Sekolah, bapaknya cukup dikenal di daerahnya. Salah satu ajaran sang bapak yang selalu dikenang oleh Lia adalah untuk selalu bermusyawarah dan untuk tidak memandang rendah orang lain. Lia mengakui sudah menyukai kegiatan di komunitas sejak lama karena menurutnya dengan berkumpul bersama maka selalu ada hasil yang bisa diperolehnya. Selain untuk menambah ilmu, saudara dan pertemanan, ia juga mendapat pengalaman baru dan kesempatan belajar menjadi seorang pemimpin melalui berbagai kegiatan komunitas yang diikutinya. Terbentuknya KPMD di Desa Limbangan Timur, dimulai saat Yayasan SEMAK dari Bandung datang ke desanya pada tahun 2015. Bersama 11 (sebelas) rekannya dari Desa Limbangan Timur, Lia hadir untuk menerima kehadiran Yayasan SEMAK. Setelah pertemuan tersebut, Lia mulai mengikuti pertemuan-pertemuan antara kader KPMD dengan Yayasan SEMAK di ketiga desa. Pada mulanya sebagai Ketua RW, Lia diminta untuk menyertakan salah seorang dari warganya untuk direkrut sebagai anggota/ kader KPMD. Saat itu ia masih dalam fase adaptasi karena baru terpilih sebagai Ketua RW. Lia mengirim salah seorang anggota warganya untuk menjadi kader KPMD. Namun setelah beberapa bulan, kader tersebut kemudian mengajar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sehingga Lia sendiri kemudian menggantikannya untuk menghadiri pertemuan di KPMD. Oleh pendamping/ fasilitator 191
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
dari Yayasan SEMAK Lia dianjurkan untuk menjadi kader KPMD, dan tidak sekedar mewakili anggota dari RW-nya. Sejak saat itu Lia pun turut aktif menggerakkan KPMD. Keterlibatan Lia di KPMD kemudian membuka mata Lia mengenai realita persoalan anak yang dilacurkan yang banyak ditemukan di Limbangan. Setelah aktif di KPMD, Lia mulai mengenal beberapa orang anak yang aktif di Sanggar Inklusi. Ia merasa trenyuh dan bersimpati karena menurutnya anakanak tersebut merupakan korban eksplotasi. Dari hasil pengamatannya ratarata anak yang bekerja di warem berusia di bawah 18 (delapan belas ) tahun, atau kira-kira usia SMP – SMA. Lia bahkan pernah menemukan seorang anak SD yang dilacurkan oleh orang tuanya. Salah satu anak termuda yang pernah ia temukan saat itu masih berusia 11 (sebelas) tahun, masih duduk di bangku SD. Anak tersebut sempat bersekolah di SMP dan seharusnya sudah berada di kelas 1 SMA namun tidak diteruskan. Tak terbayangkan oleh Lia bagaimana anak-anak yang masih belia tersebut harus berada dalam situasi tersebut. Lia juga menjumpai anak-anak usia SMP yang DO (drop out) dari sekolah dan terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak bertanggungjawab. Beberapa anak bahkan ada yang sudah memakai narkoba, meskipun baru tahap coba-coba. Melihat berbagai kondisi anak-anak perempuan yang terjebak dalam industri seks tersebut maka nurani Lia tergerak, “Anak-anak ini perlu diperhatikan oleh kami-kami (orang tua)” ujar Lia. Sebelumnya isu perlindungan anak tidak pernah mendapat perhatian di Desa Limbangan Timur. Oleh karena itu ketika Yayasan Semak mulai masuk melalui Program Peduli dengan mengusung isu tersebut, maka Lia merasa terpanggil untuk berada diantara anak anak tersebut dan menggerakkan komunitas untuk ikut peduli.
Dorongan Faktor Ekonomi yang Menjerat AYLA Dari interaksinya dengan anak-anak di sanggar, Lia belajar untuk memahami latar belakang yang membuat anak-anak perempuan tersebut bekerja di warem. Pada umumnya mereka masuk ke dalam pekerjaan di warung karena didorong oleh latar belakang yang sama, yaitu faktor ekonomi. Menurut Lia orang tua dari anak yang bekerja di warem sebagian besar merupakan buruh tani, pekerja buruh di luar kota, dan buruh kasar yang penghasilannya tidak menetap. Untuk menghadapi kemiskinan, para orang tua merelakan anaknya bekerja di warem.
192
Dewi Komalasari
Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
Selain yang dilacurkan oleh orang tuanya, dalam beberapa kasus Lia juga menemukan anak perempuan yang terjerat dalam perdagangan seks karena ingin mengikuti gaya hidup yang sesuai perkembangan jaman. Agar dapat mengikuti gaya hidup teman-teman sebayanya yang memiliki gawai terbaru dengan pulsa yang terus terisi, beberapa dari mereka memilih terjun dalam profesi di warung remang-remang sebagai cara instan untuk memperoleh uang. Namun dari peninjauan ke warung-warung tersebut KPMD juga menemukan anak perempuan yang bukan berasal dari Limbangan. Beberapa orang anak perempuan yang ditemukan bekerja di warem ada juga yang berasal dari luar desa lain seperti Selaawi. Desa tersebut letaknya lebih jauh ke pedalaman dari jalan raya utama jika dibandingkan dengan Limbangan. Tidak seperti Limbangan Timur yang berada di pinggir jalan, arah ke Selaawi juga agak lebih masuk jalannya. Anak-anak yang berasal dari desa lain cenderung lebih bebas pergaulannya. Kebanyakan anak yang berada di warem di daerah Limbangan berasal dari desa lain. Sementara orang asal Limbangan biasanya lebih banyak bekerja di luar kota, atau luar Jawa. Diakui oleh Lia pada awalnya ia tidak pernah menaruh peduli dengan anak-anak yang dilacurkan tersebut. Namun sikapnya berubah setelah ia terlibat dalam Program Peduli - sebuah program yang dikelola oleh The Asia Foundation, dan ketika ia menjadi kader KPMD. Kini dirinya berupaya untuk mendekati anak-anak tersebut, dan mencari tahu bagaimana mereka bisa sampai pada situasi tersebut. “Saya justru merasa menjadi lebih dekat dengan anak-anak tersebut setelah di Sanggar” ujarnya. Dari situlah ia memperoleh berbagai kisah latar belakang anak-anak yang menjadi AYLA. Ada yang disebabkan oleh faktor ekonomi; tetapi tidak sedikit pula yang salah pergaulan, dan karena terpengaruh lingkungan. Tidak jarang para kader KPMD atau tutor harus menggali lebih dalam karena tidak semua anak bisa terbuka mengenai kisah hidup mereka.
Sanggar yang Memberdayakan KPMD memiliki kader di setiap RW untuk mendampingi anak perempuan yang rentan atau berisiko tinggi untuk masuk ke dalam industri seks. KPMD mengajak anak-anak perempuan untuk mengikuti kegiatan di sanggar untuk mengisi waktu mereka dengan kegiatan-kegiatan positif. Kegiatan sanggar diisi dengan berbagai kegiatan pelatihan vokasional seperti menjahit, tata
193
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
rias, komputer, latihan menari, dan mengaji. Sementara bagi anak-anak usia SD yang belum bisa membaca, tersedia juga pelajaran membaca. Para kader KPMD berperan sebagai pengajar maupun tutor dalam kegiatan-kegiatan yang ada di sanggar. Semula terdapat tiga sanggar di masing-masing desa: Limbangan Timur, Galihpakuan dan Cigawir. Karena terdapat keterbatasan anggaran, khususnya untuk membiayai sewa gedung atau rumah untuk sanggar, seluruh sanggar tersebut kemudian digabung menjadi satu di Desa Limbangan Timur. KPMD kemudian mengajukan permohonan kepada bupati Garut untuk membantu pembiayaan sewa gedung sanggar tersebut. Bupati Garut kemudian mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan KPMD dalam upaya perlindungan anak, dengan memberikan dana bantuan pendirian sanggar. Lia merupakan salah satu yang berjuang untuk mengajukan dan melobi ke bupati. Maka pada tahun 2017 dibangunlah sanggar yang berlokasi di atas tanah desa di Limbangan Timur. Sanggar tersebut kemudian diberi nama Sanggar Inklusi. Diberi nama demikian karena meskipun sanggar diprioritaskan bagi anak dan remaja perempuan yang rentan tereksploitasi, namun kegiatan di sanggar tersebut juga terbuka untuk semua anak di sekitar desa, termasuk santri ataupun anak dengan disabilitas. Inklusifitas tersebut diharapkan membantu proses saling belajar dan saling memberikan pengaruh positif bagi semua anak-anak yang terlibat di sanggar. Pada tahap awal berdirinya sanggar terdapat sekitar 40 (empat puluh) anak dari tiga desa yang berkegiatan di sanggar. Pada tahun berikutnya jumlah ini berkurang karena ada sebagian anak keluar untuk bekerja dan/ atau menikah. Tahun berikutnya jumlah anak di sanggar kembali berkurang menjadi sekitar 20 (dua puluh) orang anak, namun kemudian bertambah 7 (tujuh) orang anak baru yang tidak mengikuti kegiatan secara rutin. Anak-anak peserta sanggar sering keluar masuk karena mereka umumnya memiliki tanggungjawab seperti mengasuh adik atau membantu orang tua di rumah. Saat ini jumlah anak yang aktif sekitar 15 (lima belas) orang. Saat ini Sanggar Inklusi maupun KPMD di Desa Limbangan Timur sudah tidak lagi didampingi oleh Yayasan Semak karena KPMD dianggap sudah mampu mengelola sanggar secara mandiri. Untuk itu Yayasan Semak memberi kesempatan kepada KPMD untuk mengelola Sanggar Inklusi.
194
Dewi Komalasari
Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
Upaya KPMD untuk menjangkau anak-anak yang dilacurkan juga sempat mengalami penolakan. Penolakan terhadap KPMD terutama terjadi karena motif ekonomi. Dengan bekerja di warem anak-anak perempuan tersebut dapat memperoleh penghasilan, sementara Sanggar Inklusi tidak bisa melarang atau meminta mereka untuk berhenti karena sanggar tersebut tidak bisa menggantikan pemasukan yang biasa mereka peroleh. Meski demikian para kader KPMD berusaha memberikan pengetahuan bagi anakanak tentang cara menjaga diri dan kesehatan reproduksinya. Salah satu kegiatan pelatihan di sanggar yang penting bagi anak-anak yang bekerja di warem adalah pelatihan mengenai kesehatan reproduksi. Melalui pelatihan tersebut anak perempuan mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan belajar melindungi dirinya dari perilaku berisiko. Setelah dua tahun sejak Sanggar Inklusi berdiri, beberapa perubahan pada anak-anak mulai terlihat. Salah satu perubahannya adalah peningkatan ketrampilan pada anak-anak yang berada di sanggar. Anak-anak yang lebih dulu mengikuti Sanggar semakin memiliki kepercayaan diri dan mulai menjadi pengajar (tutor) bagi anak-anak yang baru. Ketrampilan yang mereka peroleh juga mulai menghasilkan pemasukan bagi sang anak. Mereka yang belajar menjahit, ada yang sudah mempunyai langganan sendiri. Mereka yang dilatih tata rias juga sudah mulai ikut membantu penata rias di desa. Perubahan lain yang berhasil dicapai anak-anak di sanggar adalah partisipasi mereka dalam kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes). Lia mengisahkan, sebelumnya anak-anak tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan perencanaan pembangunan. Namun sekarang sudah ada perwakilan anak-anak, dua sampai tiga orang yang dilibatkan mulai dari kegiatan musyawarah dusun (Musdus), musyawarah desa (Musdes), hingga Musrenbangdes dan Musrenbang kecamatan. Mereka tidak sekedar hadir dalam kegiatan tersebut tetapi juga turut mengajukan usulan untuk kepentingan anak. Salah satu anak dari Limbangan Timur, yang hadir dalam Musrenbangdes mengajukan usulan pembentukkan taman bacaan di Desa Limbangan Timur. Usulan tersebut diterima dan sekarang sudah ada taman bacaan desa, hanya saja menurut Lia jumlah bukunya masih kurang. Perubahan mendasar yang paling terlihat dari keberadaan Sanggar Inklusi adalah berkurangnya atau bahkan tidak adanya lagi anak yang terlihat bekerja di warem, khususnya anak yang pernah aktif di sanggar. Sebagaimana
195
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
dituturkan Lia, “Yang saya lihat kemarin malah ibu-ibu yang ada di warem, ibu rumah tangga. Si anak-anak sudah tidak ada lagi di warem”. Sewaktu dirinya berbincang bincang dengan salah seorang pemilik warung, sang ibu pemilik warung tersebut menyampaikan “ah ayeuna mah moal mawa-mawa barudak sieun jeng karunya (bahasa Sunda, yang artinya: “mulai dari sekarang saya tidak akan membawa anak-anak dibawah umur, takut dan kasihan”). Lia melihat adanya perubahan kesadaran dimana semakin banyak orang yang mengetahui dan menyadari perlunya perlindungan terhadap anak. Namun secara pribadi, capaian yang paling berkesan bagi Lia ialah ketika keterlibatan perempuan kader KPMD dan anak-anak Sanggar Inklusi dalam proses pengambilan kebijakan diakui di tingkat desa dan kecamatan. Mereka diundang dan dilibatkan dalam berbagai pertemuan dari tingkat MusDus, Musdes, MusrenbangDes bahkan sampai ke Musrenbang Kecamatan. Hal tersebut sangat berkesan baginya. ”Sebelumnya jangankan mengundang Anak, kami juga dari KPMD jarang dilibatkan” ucap Lia. Dalam pandangan Lia, pelibatan KPMD dan anak-anak Sanggar Inklusi terjadi karena mulai tumbuhnya kesadaran pemerintah desa akan perlindungan anak, apalagi dengan tersedianya alokasi untuk pemberdayaan dalam Alokasi Dana Desa (ADD). Pengakuan terhadap keberadaan dan peran KPMD tidak terbatas pada kegiatan pertemuan perencanaan pembangunan, tetapi juga dalam berbagai kegiatan di lingkungan desa, kecamatan hingga kabupaten. Bentuk pengakuan lain juga nampak dalam kegiatan-kegiatan KPMD yang kerap dihadiri pejabat Pemerintah Desa, Kecamatan hingga Kabupaten. Lia bersama KPMD juga berusaha membangun koordinasi dengan lembaga pendidikan dan berkolaborasi dengan pendidik serta organisasi siswa. Dialog tersebut bertujuan sosialisasi, penyadaran, serta deteksi dini potensi AYLA serta cara mengantisipasinya.
Tantangan yang Dihadapi Dalam Mewujudkan Perlindungan Anak Menurut Lia, isu AYLA merupakan isu yang cukup sensitif. Pada mulanya tidak ada orang atau pemerintah desa yang senang ketika disebutkan di wilayah desanya banyak ditemukan kasus AYLA atau kasus ESKA. Upaya meyakinkan berbagai pihak di desa akan adanya persoalan AYLA di desa merupakan tantangan terbesar yang harus dihadapi Lia. 196
Dewi Komalasari
Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
Terlibat sejak awal berdirinya sanggar, Lia merasakan beratnya meyakinkan masyarakat untuk mendukung upaya perlindungan anak melalui kegiatan di sanggar. Lia menduga keengganan masyarakat tersebut disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat. Berbagai pemangku kepentingan, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama, banyak yang belum mengerti tentang persoalan anak-anak maupun soal AYLA. Lia berharap agar berbagai pihak yang ada di desa Limbangan dapat memberi perhatian dan bekerjasama dengan KPMD dalam upaya perlindungan anak. Untuk menghadapi tantangan tersebut, Lia berupaya untuk mendekati berbagai pihak, terutama tokoh agama. Lia secara khusus mendekati tokoh agama karena adanya pertanyaan dari tokoh agama yang mempertanyakan mengapa sanggar justru mengumpulkan AYLA. Lia berusaha menjelaskan kepada semua pihak, khususnya tokoh agama bahwa sanggar bertujuan untuk mendorong pemenuhan dan perlindungan hak anak termasuk terhadap anak yang dilacurkan. Keterlibatan Lia dalam KPMD maupun sanggar juga sempat dikritik oleh warga desa. Pada awal kehadiran Yayasan Semak di Limbangan Timur, sempat muncul resistensi terhadap yayasan ini. Yayasan Semak dianggap orang asing. Berbagai pertanyaan muncul mengenai latar belakang dan tujuan Yayasan Semak hadir di desa Limbangan. Salah satunya kata “Semak” diasosiasikan dengan salah satu sekolah Kristen di kota Bandung. Saat itu Lia belum lama menjabat sebagai Ketua RW dan beberapa orang warga meminta agar Lia tidak terlalu banyak berkegiatan di sanggar. Menurut Lia, masyarakat Limbangan sebenarnya tidak menghendaki keberadaan warem. Pembakaran terhadap beberapa warem pun sempat terjadi. Saat ini lokasi warem sudah pindah agak jauh dari Desa Limbangan Timur. Sementara itu warem terletak di dekat desa juga tidak terlalu memperlihatkan pekerja perempuan secara vulgar. Hal ini bisa dipahami mengingat keberadaan beberapa pesantren di sekitar Desa Limbangan Timur. Hal itu pula yang membedakan karakteristik isu AYLA/ ESKA di Desa Limbangan Timur dibandingkan dengan persoalan serupa di kota lain. Menurut Lia salah satu yang membedakan Desa Limbangan dengan daerah lain adalah wilayah desa sebagai daerah pesantren, sehingga praktik warem dilakukan dengan lebih tertutup.
197
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Advokasi Anggaran Untuk Keberlanjutan Sanggar Seiring dengan bertambahnya usia anak-anak yang aktif di Sanggar Inklusi, sebagian anak yang telah lama aktif di mulai bekerja dan beberapa bahkan sudah menikah. Jumlah anak yang berkegiatan di sanggar semakin sedikit. Saat ini jumlah AYLA yang aktif di sanggar tidak sebanyak dulu. Keberadaan sanggar diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja, sehingga anak-anak yang mulai beranjak dewasa mulai enggan untuk aktif di sanggar. Namun hal tersebut tidak mengendurkan semangat Lia untuk tetap mengajak anak-anak untuk berkegiatan di sanggar. “Kami berusaha terus mengadakan kegiatan. Kalau masih ada anak-anak yang rentan, jika kegiatan sanggarnya kosong nanti dikhawatirkan mereka kembali lagi ke rutinitas sebelumnya” demikian diungkapkan Lia. Seperti disebutkan sebelumnya keberadaan Sanggar Inklusi tidak terlepas dari peran berbagai pihak. Sanggar ini dibentuk atas inisiatif KPMD dengan dukungan dari Yayasan Semak, dan dibangun dengan bantuan APBD dari Pemerintah Kabupaten Garut di atas tanah milik desa. Namun KPMD juga memikirkan strategi lebih lanjut untuk melanjutkan keberadaan Sanggar Inklusi. Beberapa langkah yang sudah dilakukan diantaranya adalah dengan melakukan advokasi anggaran dana desa untuk membiayai operasional dan kegiatan sanggar serta KPMD di tiga desa. Dalam pertemuan Musrenbangdes, KPMD berusaha mengajukan anggaran dari APBDes untuk operasional bagi KMPD dan kegiatan-kegiatan di sanggar. Meski tidak besar, untuk tahun 2019, KPMD dan Sanggar Inklusi telah memperoleh alokasi anggaran desa. Salah satu kegiatan yang didukung pemerintah desa adalah kegiatan terapi bagi anak dengan disabilitas. KPMD Desa Limbangan Timur mengundang terapis untuk memberikan pelatihan bagi orang tua yang mempunyai anak dengan disabilitas. Sementara di Desa Cigawir, KPMD bekerjasama dengan pemerintah desa untuk menyelenggarakan kegiatan penyediaan Surat Keterangan (Suket) di desa untuk membuat akte lahir bagi anak-anak sanggar yang sebelumnya tidak memiliki akta lahir. KPMD membantu pemerintah desa untuk mengidentifikasi anak-anak yang belum memiliki akte kelahiran. Untuk tahun 2020, anggaran operasional dan kegiatan pelatihan KMPD sudah masuk dalam Rencana Anggaran Belanja Desa (RAB Desa). Untuk tahun 2020 KPMD kembali mengajukan kegiatan pelatihan kesehatan reproduksi karena anak-anak di sanggar adalah generasi baru yang belum
198
Dewi Komalasari
Lia Mulyanawati: Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Inklusi Sosial
pernah memperoleh pendidikan mengenai hak kesehatan reproduksi. Selain itu juga ada usulan untuk kegiatan pelatihan pola asuh anak bagi orang tua, serta peningkatan kesadaran mengenai bahaya penyalahgunaan narkoba.
Harapan Ke Depan: Perlindungan Para Pihak Dalam Menghadapi Kerentanan Anak Melalui KPMD dan Sanggar Inklusi, Lia telah berupaya untuk membangun kepedulian terhadap isu anak dan pemenuhan hak anak berbasis komunitas. Kepedulian terhadap persoalan AYLA dilakukan dengan melibatkan orang dewasa di desa (termasuk orang tua yang keluarga/anaknya bekerja di warung remang), dan perangkat desa, melalui forum-forum dialog. Forum dialog tersebut bertujuan untuk membangun kesadaran dan menghapuskan diskriminasi dan stigma terhadap para AYLA. Lia berharap ke depan dan sampai kapanpun perlindungan terhadap anak tetap mendapat perhatian dari berbagai pemangku kepentingan di masyarakat. Ia berharap KPMD dapat menjalin kerjasama dengan berbagai instansi terkait di Kecamatan hingga Kabupaten. “Saya berharap lebih bisa melibatkan pemdes, kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat secara umum, untuk bersama-sama melindungi dan merangkul anak. Tidak hanya korban AYLA tetapi semua anak” ujar Lia penuh harap. Namun dukungan utama yang paling diharapkan Lia adalah dukungan dari tingkat desa, karena desa merupakan lingkungan yang paling dekat dengan persoalan anak yang dihadapi komunitas. Dukungan tersebut akan menambah semangat perempuan-perempuan kader KPMD dalam mendampingi anak-anak di Sanggar Inklusi.
199
Resensi Topik Empu
Kompleksitas Kerentanan Perempuan Buruh Migran Indonesia Shera Ferrawati
Jurnal Perempuan ferrawatishera@gmail.com
Judul Buku
: Migrasi Perempuan, Remitansi dan Perubahan Sosial Ekonomi Desa
Penulis
: Keppi Sukesi, Henny Rosalinda, Agustina Shinta Hartati
Jumlah Halaman : xviii+280 halaman Penerbit
: UB Press
Tahun
: Terbit 2017
Sebagai negara pengirim buruh migran perempuan dalam jumlah yang besar, permasalahan perempuan buruh migran Indonesia masih terus bermunculan. Meski peraturan perundang-undangan terkait buruh migran terus diperbaiki, namun permasalahan masih terus terjadi, baik pada proses rekrutmen, persiapan, penempatan kerja, bahkan hingga masa purna tugas. Namun, berbagai masalah yang dialami oleh buruh migran perempuan tidak menyurutkan keinginan kaum perempuan Indonesia untuk menjadi buruh di luar negeri. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari faktor penarik, yaitu upah yang akan diperoleh di luar negeri, dan juga faktor pendorong yaitu kebutuhan memperoleh lapangan pekerjaan dengan upah layak yang sulit diperoleh di dalam negeri. Oleh sebab itu, buku dan literatur tentang buruh migran, khususnya buruh migran perempuan masih sangat dibutuhkan, tidak hanya bagi kalangan akademisi, tetapi juga bagi para pembuatan kebijakan, pemerintah pusat dan daerah, maupun kalangan swasta. Buku Migrasi Perempuan, Remitansi dan Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan karya Keppi Sukesi, Henny Rosalinda, dan Agustina Shinta Hartati secara khusus memotret permasalahan buruh migran perempuan. Buku ini
200
Shera Ferrawati
Kompleksitas Kerentanan Perempuan Buruh Migran Indonesia
ditulis berdasarkan proses penelitian selama 3 tahun (2014–2016) terhadap perempuan buruh migran Indonesia dengan tujuan negara penerima Hong Kong dan Singapura. Buku ini juga dilengkapi dengan studi literatur tentang migrasi perempuan beserta faktor pendorong, faktor penarik, dan dampak migrasi perempuan baik terhadap lingkup individu maupun lingkup yang lebih besar seperti masyarakat dan daerah asal. Fakta-fakta empiris mengenai perempuan dan migrasi, kebijakan, lembaga pengirim, remitan, perbandingan Indonesia dengan Filipina dalam hal penyiapan tenaga kerja migran, serta perubahan sosial dan ekonomi pedesaan sebagai dampak dari migrasi perempuan juga disajikan dalam buku ini.
Gender dan Migrasi Mengapa relevan membahas persoalan gender dalam migrasi? Dalam buku ini Keppi dkk membahas berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan yang melakukan migrasi salah satu akarnya disebabkan oleh persoalan ketimpangan gender. Akar ketimpangan gender ini muncul dari sisi budaya, sosial, ekonomi, yang kemudian tercermin dalam kebijakankebijakan terkait pekerja migran yang timpang terhadap perempuan. Buku ini menjelaskan bagaimana domestikasi perempuan merugikan perempuan karena beberapa alasan. Pertama, domestikasi membuat perempuan tergantung secara ekonomi. Kedua, kerja domestik merupakan pekerjaan yang tidak mendapatkan upah. Ketiga, domestikasi menghalangi perempuan untuk menjadi pribadi yang mandiri baik sebagai individu maupun di dalam masyarakat. Keppi dkk menganalisis hubungan antara gender dan migrasi dengan menggunakan teori migrasi Harris Todaro. Menurut model Todari, migrasi terjadi karena adanya respons seseorang terhadap ketimpangan ekonomi antara kota dan desa. Alasan ekonomi menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya migrasi. Buku ini mengangkat pengalaman buruh migran perempuan asal Jawa Timur. Dalam analisanya, buku ini menilai bahwa perempuan yang memilih untuk menjadi buruh migran pada umumnya bekerja di sektor pertanian. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan perdesaan ini menjadi faktor yang mendorong perempuan untuk bermigrasi menjadi buruh migran. Peran domestik yang melekat pada perempuan membuat perempuan tak berdaya penuh secara ekonomi. Perempuan secara ekonomi menjadi
201
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
sangat bergantung pada laki-laki. Menjadi buruh migran adalah upaya perempuan untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi mereka. Karena terbatasnya lapangan kerja di desa maka kaum perempuan memilih mengadu nasib ke negeri lain yang lebih menawarkan kesempatan kerja. Namun, domestikasi perempuan yang dilakukan sejak kecil, membuat perempuan hanya memiliki kemampuan di bidang kerja domestik. Kerjakerja domestik atau kerja rumah tangga semacam ini masih dianggap bukan sebagai keterampilan kerja (unskilled). Tak mengherankan jika di negara penerima, sebagian besar perempuan buruh migran ini ditempatkan di sektor domestik yang rentan terhadap perempuan.
Migrasi dan Kebijakan Pembangunan Keppi dkk berargumen, pembangunan yang baik adalah pembangunan yang mampu mempersempit ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki, termasuk dalam hal migrasi. Konsep Gender dan Pembangunan (Gender and Development/ GAD) adalah konsep yang menempatkan hubungan gender sebagai fokus analisis. Konsep ini telah digunakan dalam berbagai kebijakan untuk menganalisis keadilan dan kesinambungan suatu kebijakan bagi perempuan dan laki-laki. Konsep GAD digunakan oleh Keppi dkk untuk menganalisis perempuan buruh migran, kemiskinan, kesehatan, dan lainnya sebagai akibat dari pembangunan yang timpang gender. Penelitian tentang perempuan di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 70-an. Sebagian besar menggunakan perspektif Women in Development (WID) dan Women and Development (WAD). Perspektif ini lebih melihat perempuan sebagai objek dan kurang bisa mengungkapkan bagaimana status perempuan sebagai pelaku pembangunan. Karena itu, konsep GAD menjadi alternatif untuk suatu kebijakan dan hasilnya menunjukkan ada ketertinggalan dan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki, serta ketidakberdayaan perempuan dalam berbagai bidang. Berbagai permasalahan yang dialami perempuan buruh migran juga disebabkan karena kebijakan yang tidak menggunakan perspektif GAD secara memadai, terlebih pada era pemerintahan Megawati. (1) Era pemerintahan Megawati. Kebijakan terkait buruh migran dalam studi di buku ini misalnya menilai bahwa UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri utamanya hanya mengatur mengenai penempatan pekerja migran, sementara perlindungan
202
Shera Ferrawati
Kompleksitas Kerentanan Perempuan Buruh Migran Indonesia
buruh migran tidak mendapatkan porsi yang memadai. Buruh migran dalam peraturan perundang-undangan ini masih diposisikan sebagai “komoditas ekspor” yang menghasilkan devisa negara, sementara cenderung diabaikan hak-hak perburuhannya. (2) Era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Buku ini mencatat era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi angin segar bagi para perempuan pekerja. Sebagai respons terhadap banyaknya pelanggaran dan permasalahan perempuan buruh migran di negara lain, SBY sebagai pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium, penghentian pengiriman buruh migran ke beberapa negara. (3) Era pemerintahan Joko Widodo. Kebijakan dipertegas pada era pemerintahan Joko Widodo dengan terbitnya Peraturan Kementerian Tenaga Kerja No. 1 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut, diatur tujuh klasifikasi jabatan pekerjaan di dalam rumah beserta tupoksinya masing-masing. Hal ini karena mengingat memang banyak permasalahan yang terjadi dalam bidang domestik atau nonformal. Apakah peraturan-peraturan tersebut mampu menjawab permasalahan yang ada? Ternyata tidak. Maka Keppi dkk melacak persoalan yang dihadapi oleh perempuan buruh migran ke hulu atau pangkal permasalahan, yaitu sejak tahap perekrutan, persiapan pemberangkatan, hingga penempatan di luar negeri. Melalui studi kasus di Tulungagung dan Malang, ditemukan bahwa lembaga pengirim perempuan buruh migran Indonesia, baik lembaga pemerintah maupun lembaga swasta, sangat berperan penting dalam tahapan-tahapan tersebut. Persoalan yang dihadapi perempuan buruh migran banyak terjadi dalam proses awal sebelum buruh migran berangkat keluar negeri. Beberapa kasus yang ditemukan misalnya indikasi manipulasi persyaratan-persyaratan tenaga kerja Indonesia, sehingga sisi positif dan sisi negatif menjadi buruh migran tidak disampaikan dengan jelas kepada perempuan calon buruh migran. Calon buruh migran tidak memperoleh informasi yang memadai tentang konsekuensi menjadi buruh migran. Banyak dari perempuan buruh migran tidak tahu bahwa mereka akan ditempatkan atau dipekerjakan di bidang domestik, seperti pekerja rumah tangga, pengasuh anak, atau perawat jompo. Sistem kontrak kerja yang akan diterapkan juga kurang dipahami sehingga kerap berujung pada jumlah upah yang tidak sesuai dengan harapan mereka.
203
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Migrasi dan Kaitannya dengan Ekonomi, Sosial, Budaya Ekonomi adalah salah satu faktor penyebab terjadinya migrasi. Menjadi perempuan buruh migran memberikan harapan untuk bisa kontribusi ekonomi bagi keluarga. Melalui remitan, uang yang diperoleh dari bekerja di luar negeri digunakan untuk menopang kehidupan ekonomi keluarga perempuan buruh migran. Melalui remitansi ini perempuan buruh migran dapat meningkatkan perekonomian keluarga dan mengubah pola konsumsi keluarga, tidak hanya untuk membeli kebutuhan pokok keluarga seperti membeli rumah, membangun rumah, tetapi juga membeli aneka perabotan rumah tangga, kendaraan bermotor dan lainnya. Buruh migran perempuan sering dianggap sebagai “pohon uang”. Dengan melakukan migrasi untuk bekerja, perempuan menjadi memiliki kemampuan finansial dan mampu menghidupi ekonomi keluarga. Perubahan kemampuan ekonomi perempuan yang bermigrasi ini dapat mendekonstruksi ulang pemaknaan terhadap perempuan. Peningkatan ekonomi ini tergambar dalam peningkatan pengeluaran, dengan membeli rumah, membangun rumah, membeli perabotan rumah tangga, hingga membeli kendaraan. Selain perubahan ekonomi keluarga, migrasi perempuan menjadi buruh migran juga membawa perubahan budaya di masyarakat desa. Dalam buku ini Keppi dkk menguraikan bagaimana fenomena migrasi internasional perempuan dalam beberapa hal telah mengangkat derajat perempuan di dalam masyarakat. Dalam konteks budaya Jawa Timur tradisional, perempuan dianggap sebagai Tyang Winking, yaitu warga kelas dua setelah laki-laki yang hidupnya tergantung kepada laki-laki. Dengan melakukan migrasi dan produktif secara ekonomi, maka perempuan menjadi memiliki kemampuan finansial dan mampu menghidupi ekonomi keluarga. Hal inilah kemudian mendekonstruksi ulang pemaknaan yang melekat pada posisi perempuan di desanya. “Sesuatu yang dulu mustahil bagi perempuan yang dianggap sebagai tyang wingking (orang belakang) kini fakta telah menjungkirbalikkan nilai-nilai budaya bias gender tersebut.” (h. 208) Namun sepulang bekerja dari luar negeri, perempuan buruh migran juga kerap mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Salah satu tuduhan yang muncul adalah tuduhan atas gaya hidup dan tingkah laku yang dinilai negatif. Fenomena migrasi perempuan ini juga dinilai berdampak pada ketidakharmonisan dalam keluarga. Perubahan individu perempuan buruh
204
Shera Ferrawati
Kompleksitas Kerentanan Perempuan Buruh Migran Indonesia
migran berupa perubahan gaya hidup dan tingkah laku dinilai mengarah ke negatif. Perempuan migran dianggap membawa nilai-nilai budaya negatif dari kota ke desa. Buku Migrasi Perempuan, Remitansi dan Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan juga menyajikan perbandingan pengalaman dan situasi antara perempuan buruh migran Indonesia dengan perempuan buruh migran Filipina. Keppi dkk menilai bahwa negara Filipina memiliki praktik yang patut dicontoh dalam mengelola perlindungan perempuan buruh migran. Di Filipina sistem perekrutan, pembekalan, penempatan, dan pemulangan buruh migran telah diatur dengan hukum yang mengedepankan perlindungan bagi kepentingan para perempuan buruh migran. Pengalaman empirik yang diangkat merupakan kekuatan dari buku ini. Selain memperkaya khazanah pengetahuan tentang persoalan perempuan buruh migran, studi kasus yang disajikan dalam buku ini dapat menjadi evaluasi dan masukan bagi para pembuat dan pelaksana kebijakan perlindungan buruh migran di Indonesia. Buku ini juga mengajak pembaca melihat fenomena perempuan buruh migran sebagai bagian dari ketimpangan pembangunan antara kota dan desa di Indonesia.
205
Cerpen Topik Empu
JIRAT Oka Rusmini
Aku mencoba berkaca pada urat daun bicara pada kesuntukan warna pohon rasa yang berair kubiarkan meninggalkan benih dua puluh jari-jariku menyentuh tanah pintalan itu menyumbat setiap suara yang kumuntahkan dari pikiran “pegang nafasku!” katamu: “perempuan hanya bisa memuntahkan dagingnya”… (Sajak “Percakapan”, Patiwangi, 2003)
PEREMPUAN itu menggulung rambutnya tinggi-tinggi, tengkuknya menghitam, keringat terus mengucur deras dari seluruh pori-pori tubuhnya. Matahari tak henti-henti memancarkan duri-durinya ke tubuh perempuan itu. Tanah terus dia cangkuli, seluruh persawahan itu terlihat seperti asing baginya. Perempuan itu memejamkan matanya sambil menarik nafasnya dalam-dalam, membayangkan pancuran masa kanak-kanak yang mengalir dari sulur-sulur otaknya.Kenangan pada harum air,wangi bunga padi, dan kegirangan mengusir burung-burung. Kemana saat ini sesaji harus dipersembahkan, ketika tanah tak lagi membukakan pintunya untuk ditanami benih.
*** NI LUH PUTU CANDI, begitu ibuku memberiku nama, aku perempuan! Sejak lahir, ibuku selalu menatapku penuh dengan tatapan aneh. Aku tidak pernah paham, apa arti tatapannya. Ibuku juga jarang menyentuhku, kadangkadang dia hanya duduk di pinggir pintu dapur memandangi aku bermain.
206
Oka Rusmini
JIRAT
Kadang aku mencuri pandang kepadanya, berharap perempuan itu mau berbicara, atau melakukan hal-hal yang kuinginkan. Misalnya, menarikku dan mendudukkan tubuh kecilku di pangkuannya sambil mengusap kepalaku. Rambutku lengket, karena ibuku tidak pernah memandikan tubuhku. Ibuku juga juga jarang menyentuh kulitku yang kusam dan penuh luka, karena aku sering menggaruknya dengan keras. Aku sangat malas mandi, aku sangat tidak menikmati ketika tubuhku diguyur air. Aku merasa tidak nyaman, apalagi ketika aroma sabun menguntitku. Aku merasa seperti ada yang sedang memata-matai hidupku. Aku merasa diawasi oleh aroma harum sabun wangi. Jika mandi, aku lebih memilih menggosok tubuhku dengan batu, karena batu tidak memiliki aroma yang genit seperti aroma sabun. Batu juga tidak memancarkan aroma yang bersaing dengan aroma tubuhku. Kau tahu, mimpiku sebagai seorang anak sesungguhnya sangat sederhana, menginginkan perhatian darinya. Tahukah ibuku, aku sudah bisa menari pendet? Aku sering ikut bersama anak-anak perempuan kecil lainnya di balai banjar untuk latihan menari pendet. Aku senang dengan gaya tarian itu, karena menunjukkan wujud keperempuan yang kumiliki. Aku bangga dan takjub menjadi perempuan, karena bagiku seluruh keindahan telah dihibahkan Hyang Jagat untuk anak perempuan. Aku bangga dengan perubahan yang terus terjadi pada tubuhku. Begitu ajaib dan sering sangat mengejutkanku, bagiku seluruh perubahan yang terjadi dalam tubuhku seperti sebuah film yang sering kutonton, membuatku penasaran dan selalu ingin tahu kelanjutannya. Begitulah aku tumbuh dari seorang anak yang kesepian, menjelma menjadi seorang perempuan yang mulai paham arti tubuhnya. Aku juga sering berdialog dengan tubuhku. Sekarang, aku jadi memiliki teman. Kata orang-orang aku cantik dan menggairahkan, kelak jika aku dewasa pasti aku akan menjelma jadi perempuan cantik. Aku bangga dengan harapan-harapan orang kepadaku. Minimal ada orang-orang yang berdoa dengan niat baik untuk hidupku. Sejak kecil aku sering sekali mencari perhatian pada orang-orang yang kutemui di mana pun, tujuannya agar ada saja orang yang memperhatikanku dengan serius. Karena sejak kecil aku terbiasa melakukan seluruh hal-hal dalam hidupku sendiri. Jika aku menangis, ibu juga tidak akan pernah beringsut dari tempatnya. Menoleh pun tidak. Ibuku asik dengan dunianya sendiri. Ibuku asik dengan pikirannya
207
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
sendiri. Aku tidak bisa menjangkaunya, aku tidak bisa menyentuhnya, juga tidak paham kata-kata yang sering diteriakkan. Ibuku suka meracau, kadangkadang aku memandangnya dan duduk di depannya berharap ibuku berpaling dan menatapku. Tapi bola mata ibuku kosong tidak memiliki jiwa. Ibuku, Ni Luh Cangkir—entah berapa umurnya, aku tidak pernah tahu. Menurutku perempuan itu cukup cantik, kata orang-orang konon ibuku sangat cantik, dia adalah penari terkenal di desa kami. Orang memanggilnya, Cangkir. Setiap ada hajatan di desa, ibuku selalu tampil menjadi penari utama. Seluruh perhatian hanya ditujukan padanya. Masih kata orang-orang desa, Cangkir itu perempuan sombong dan merasa dirinya paling cantik. Karena kecantikannya itulah yang membuat Cangkir merasa semua orang wajib menghamba kepadanya. Suatu hari ibuku tiba-tiba saja hamil, entah siapa lelaki yang telah menanamkan benih di dalam tubuhnya. Orang-orang desa pun geger, sebagai masyarakat desa yang terhormat apa yang terjadi pada Cangkir adalah aib besar. Warga desa takut, desa mereka akan dikutuk, akan sial, akan mendatangkan beragam bencana-bencana yang membuat hidup tidak lagi harmoni. Cangkir pasti akan menenteng beragam persoalan-persoalan kemanusiaan yang meribetkan warga desa. Bisa jadi kehamilan Cangkir akan membuat sawah mengering, mata air tidak lagi menunjukkan aromanya. Dan yang lebih parah? Bagaimana kelanjutan hidup desa ini? Panen pasti akan gagal. Hidup yang sulit pasti akan semakin sulit. Begitulah Ibuku dianggap menggagalkan panen padi, padahal panen padi tidak bisa berjalan dengan baik karena musim kemarau yang tidak ada habisnya. Iklim yang makin hari makin sulit dideteksi. Cuaca panas yang menghajar seluruh lahan di desa. Sungai-sungai mengering karena tumpukan sampah plastik menutup seluruh pori-pori mata air. Desa kekekeringan parah, karena masyarakat desa juga kurang menjaga lingkungan. Pohonpohon besar ditebang dengan rakusnya. Belum lagi banyak tanah-tanah desa dijual, sehingga banyak warga desa yang biasa bekerja sebagai petani, dan tidak memiliki keterampilan lain kaget dengan banyaknya uang dan imingiming yang diterima dari para tengkulak tanah. Tanah desa banyak dijual, dan orang-orang desa banyak yang kehilangan mata pencahariannya. Uang yang berlimpah tidak membuat kehidupan masyarakat desa makin makmur. Masyarakat desa dijanjikan kehidupan yang lebih makmur jika berkenan
208
Oka Rusmini
JIRAT
menjual tanah. Hampir seluruh tanah desa menjelma menjadi vila-vila yang eksotis. Lahan sawah makin hari makin menciut. Orang-orang desa mulai terbuai dengan janji-janji untuk ikut menikmati kehidupan yang dijanjikan orang-orang kota. Orang-orang yang tidak kenal mereka dan tidak juga paham gaya hidup orang desa. Orang-orang desa takjub melihat sawahsawah mereka menjelma bangunan-bangunan asing yang begitu gemerlap dengan lampu terang benderang setiap malam. Bahkan mendatangkan orang-orang asing dari beragam negara. Orang-orang desa makin takjub melihat orang-orang asing berpakaian semaunya. “Wah tidak ada satu pun tamu-tamu itu yang kelihatan buruk rupa. Semua wangi dan cantik-cantik,”sahut para perempuan yang mengintip melihat banyaknya tamu-tamu asing mengunjungi desa mereka yang tadinya begitu hening. “Dari mana saja mereka berasal?” “Dari jauh.” “Iya, jauh itu di mana?” “Dari luar negeri.” “Di mana itu?” “Pokoknya jauh, harus naik pesawat terbang dulu.” “Mereka pasti orang kaya semua.” “Iyalah.” “Kerja mereka apa ya kok bisa kaya seperti itu.” “Turis.” “Turis?” “Ya, kata pemilik vila yang membeli tanahku, nama orang-orang yang berdatangan menginap itu; t-u-r-i-s. Paham?” “Belum.” “Nanti kalau tamunya sudah semakin banyak. Kata pemilik vila, kami sekeluarga akan diangkat sebagai tenaga kerja di vila itu.” Sahut seorang perempuan bangga, karena sejak menjual tanahnya kepada orang-orang kota itu, perempuan itu tidak pernah lagi ke sawah. Tidak ada lagi pekerjaan menanam padi. 209
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Begitulah desa itu berubah menjadi asing. Makin lama warga desa makin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Uang hasil penjualan tanah makin menipis. Sementara tawaran pekerjaan belum juga datang dari pemilik vila yang membeli tanah mereka. Ketika situasi makin sulit seperti itu, Cangkirlah yang disalahkan. “Ini semua gara-gara Cangkir. Desa kita makin merana. Banyak orangorang desa tidak lagi bisa hidup dan cari makan di tanah mereka sendiri.” Suatu hari seorang lelaki berkata geram, sambil memukul tangannya ke arah pintu. Begitulah kehidupan itu berubah drastis. Tak ada lagi suara burung dan harum padi. Semua kekacauan itu kata orang-orang desa disebabkan oleh Cangkir, ibuku.
*** Dulu ketika Ni Luh Putu Candi masih kecil, dia biasa berjalan-jalan di tepi sawah, mengumpulkan kakul — sejenis keong yang bisa diolah jadi hidangan lezat. Sekarang ini, Candi takut mengonsumsi sejenis keong, karena tidak ada yang berani menjamin apakah keong itu layak konsumsi? Desa sudah tidak lagi menjadi penghasil pangan yang aktif, dulu Candi juga dengan mudahnya bisa menyebar biji cabai, atau biji bayam, tidak sampai sebulan pohon-pohon sumber makanan itu sudah tumbuh dengan mudah di pinggir halaman, atau di dekat tempat ibadah. Sekarang? Orangorang desa harus membeli hampir seluruh kebutuhan pokok. Juga jika menanam sering menggunakan pestisida agar tanaman pangan tidak terganggu hama. Penggunaan pestisida untuk disemprotkan ke sayur agar tidak berlubang membuat para perempuan yang mengelola sawah sebagai hasil penghidupan mereka makin sering tercemar zat kimia. Bahkan ada seorang warga desa yang bayinya mati di dalam kandungan, karena di dalam rumah perempuan itu sering menghirup pestisida. Entah apa yang terjadi pada warga desa, kebencian para perempuan dan warga desa dihibahkan pada Cangkir. Perempuan kembang desa, yang memiliki kecantikan tiada tara, makin hari makin layu. Cangkir tidak lagi bisa bekerja menari. Tidak juga bisa keluar rumah menggarap ladang. Kehamilannya makin hari makin besar, sampai akhirnya perempuan itu melahirkan di bawah pohon pisang. Setelah selesai melahirkan Cangkir konon berlari-lari dan terus mengigau
210
Oka Rusmini
JIRAT
menyanyikan lagu-lagu yang tidak jelas. Bidan desalah yang merawat bayi kecil berbobot 4,2 kg. Bayi perempuan yang sehat, hampir tidak pernah sakit Itulah sejarah kelahiran Candi. Bidan desa juga yang memberi nama. “Kelak kau harus tumbuh kokoh, kuat dan mampu berdiri di atas kakimu sendiri. Seperti Candi,” begitu kata bidan desa yang merawat Candi sampai tumbuh sehat dan mandiri. Itulah sejarah hidupku. Aku tidak minta dilahirkan. Aku juga tidak bisa memilih ke rahim perempuan mana aku bisa dititipkan. Ibuku, Cangkir makin hari makin aneh-aneh. Dia sering masuk ke dapur-dapur penduduk desa dan makan semaunya seperti binatang. Kadang-kadang Cangkir juga mengamuk sambil mengacungkan pisau besar. Kadang-kadang dia memeluk erat-erat lelaki yang ditemui di jalan dengan kerasnya, sehingga membuat lelaki itu hampir mati kehabisan nafas. Karena ulah Cangkir itulah orang-orang desa memasung Cangkir aku tidak pernah paham keinginan ibuku. Aku juga tidak bisa membaca sejarah hidupnya dari sorot matanya dan igauannya. Aku tumbuh sendiri diasuh oleh seorang bidan desa yang mengajariku banyak hal tentang cara-cara untuk bertahan hidup. Aku juga mulai pandai menyebar benih tanaman bayam di pinggir Sanggah, tempat ibadah yang ada di rumahku. Sesekali aku juga belajar memasak, menjerang air. Untungnya aku bisa sekolah gratis. Aku tetap merawat ibuku dengan baik. Sesekali aku menangkap kemarahan di matanya, kadang aku juga menangkap kesejukan yang hanya sepintas melintang di matanya yang kosong, lalu raib tanpa bisa kujamah. Orang-orang desa tetap menganggap keluargaku adalah sumber mala petaka. Aku tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa menuduh ibuku pembawa sial? Hujan yang jarang turun juga sering diidentikkan dengan kelahiranku yang tidak jelas. Siapa sesungguhnya ayahku? Di mana dia sekarang? Apakah dia masih hidup? Atau sudah mati? Aku tidak pernah tahu siapa lelaki yang telah menanamkan bibit di tubuh ibuku. Aku merasa seperti lahir dari atas langit, atau keluar tiba-tiba dari tanah? Atau, mungkin aku anak Tuhan. Kadang aku berpikir Ibuku, pasti tahu persis siapa yang menabur benih di tubuhnya. Sehingga benih itu subur dan menjelma aku. Perempuan yang di dalam hidup selalu dikelilingi pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh siapapun. 211
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Dulu desaku penghasil pangan yang baik, padi, dan seluruh kebutuhan pangan lahir dari desaku. Bahkan desaku memiliki beras paling enak di seluruh Bali, waktu itu padi tumbuh subur, aku tidak pernah melihat orangorang menganggur dan menggerutu. Jika musim tanam, aku ikut menanam padi. Jika menjelang musim panen, aku sibuk memainkan kaleng-kaleng di pinggir sawah untuk mengusir burung-burung. Para tetangga juga sering memasang orang-orang sawah, orang-orang menyebutnya, lelakut. Aku takut dengan orang-orangan di sawah, karena aku merasa benda yang mirip boneka itu kadang-kadang hidup. Aku pernah memandangnya dengan serius, lelakut itu menoleh padaku. Matanya memancarkan hawa kebencian, aku pun berteriak-teriak ketakutan. “Dasar anak, Cangkir. Ya, begitu itu. Darah kegilaan ibunya kelihatannya menurun padanya,” sahut seorang perempuan yang memiliki anak seusiaku. Aku terdiam, aku tahu perempuan itu sangat membenci ibuku, Cangkir. Karena aslinya dia memiliki keinginan untuk menjadi penari joget bumbung yang disegani, sayangnya ibukulah yang terpilih oleh kosmis untuk menjadi bintangnya. Kebencian perempuan itu padaku makin hari makin menjadi. *** Aku tumbuh sesukanya, kadang aku merasa aku tumbuh seperti semaksemak liar. Tetapi kali ini aku tumbuh jadi perempuan yang begitu perasa. Segala sesuatu selalu kupikirkan. Entah dari mana datangnya pikiran-pikiran aneh itu yang pasti aku selalu lebih hati-hati dalam mengambil keputusan. Biasanya juga keputusan yang kuambil juga kadang-kadang menjadi beban. “Itu biasa, pengaruh hormon. Kau telah tumbuh jadi perempuan dewasa. Hasil panenmu juga baik. Sawah yang kau kerjakan juga membawa kesejahteraan untuk hidupmu.” Kata sahabatku. “Juga hidup ibuku, Cangkir.” Jawabku cepat, aku tidak ingin orangorang melupakan perempuan itu, perempuan yang membuangku dari tubuhnya dan meletakkannya di kebun pisang. Menyelimuti tubuhku yang penuh darah dengan daun pisang. Mendengar cerita itu, hati kecilku selalu merasa bahwa Cangkir mencintaiku dengan cara-cara berbeda. Dan, aku menyukai beragam cerita-cerita yang terus tumbuh dan berbiak tentang kelahiranku. Aku tahu, Cangkir bukan perempuan sempurna. Tetapi berkat dia aku memiliki warisan sawah yang bisa kugarap, kutanami apa pun yang kuinginkan. Aku juga sudah bisa mengelola hasil panen dengan baik,
212
Oka Rusmini
JIRAT
aku mempekerjakan banyak lelaki dari desa seberang untuk menggarap sawahku. Lelaki-lelaki muda yang selalu mencoba memikatku dengan beragam gaya. Entah kenapa aku tidak tertarik. Aku berpikir ingin hidup sendiri. “Kau belum pernah jatuh cinta.” “Aku tidak memerlukan itu, bebanku sudah berat. Waktuku habis memikirkan hidup.” “Itu bertanda kau belum memiliki rasa cinta. Jika kelak kau jatuh cinta kau akan mabuk.” “Tidak mungkin. Hidupku sudah pahit. Aku tidak mau membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya buat aku dan keluargaku.” “Itu karena kau belum pernah jatuh cinta, Candi.” Sahut sahabat perempuanku setengah berbisik. *** AKHIRNYA kutemukan rasa gelisah yang tidak pada tempatnya. Aku selalu uring-uringan jika Wayan Badra tidak masuk kerja. Aku merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa? Aku juga merasa begitu getir dan tidak nyaman. Aku kehilangan seluruh libido hidupku jika lelaki setengah baya itu tidak ada. Wayan Badra memang bukan lelaki muda, bagiku dia lelaki yang mungkin lebih cocok disebut ayahku. Tetapi setiap memandang wajahnya aku selalu merasa angin dingin membasuh tubuhku, aku juga merasa limbung dan tidak seimbang. Aku juga gemetar dan sesak nafas. Inikah yang dinamakan cinta itu? Ternyata sejenis penyakit yang menggerogoti kewarasanku. Sudah hampir sebulan aku belum menemukan obat yang mampu menyembuhkannya. Aku juga enggan bertanya pada orang-orang atau sahabat-sahabatku yang lain. Karena terbiasa sendiri, aku berharap penyakit itu juga akan lari terbirit-birit meninggalkan aku sendirinya. Faktanya? Makin hari aku semakin sakit. Lelaki itu telah menguras seluruh energiku. Aku juga merasa Wayan Badra seolah bisa membaca pikiranku, kulihat makin hari ada-ada saja yang dilakukannya yang membuatku wajib berhadapan dengannya.
213
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
“Kenapa kau tidak bekerja selama dua hari.” Aku berkata sedikit ketus berusaha menjaga wibawaku. Lelaki itu tidak peduli, dan santai saja menanggapi pertanyaanku. Aku menutup mataku, berharap aku tidak jatuh cinta pada siapa pun, karena desaku sekarang bukan desaku yang dulu. Desaku telah kehilangan tanah, tempat para perempuan dan lelaki menggali hidup. Orang-orang kota saat ini sangat kasar dan rakus, hampir semua tanah dibeli untuk pariwisata. Aku merasa desaku telah menjadi sosok yang asing dan tidak kukenal dengan baik. Kini tanah tak lagi jadi milikku. Dan para perempuan tetap menyalahkan ibuku, Cangkir!
Denpasar, November 2019
Oka Rusmini, lahir di Jakarta, 11 Juli 1967. Tinggal di Denpasar, Bali. Menulis puisi, novel cerita anak, esai dan cerita pendek. Ia banyak memperoleh penghargaan, antara lain: Penghargaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2003 dan 2012), Anugerah Sastra Tantular, Balai Bahasa Denpasar Provinsi Bali (2012), South East Asian (SEA) Write Award, dari Pemerintah Thailand (2012) dan Kusala Sastra Khatulistiwa (2013/2014). Tahun 2017, terpilih sebagai Ikon Berprestasi Indonesia Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila kategori Seni dan Budaya. Tahun 2019 menerima CSR Indonesia Awards kategori Karsa Budaya Prima. Bukunya yang telah terbit yaitu, Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), Tempurung (2010), Akar Pule (2012), Saiban (2014), Men Coblong (2019) dan Koplak (2019). Oka dapat dihubungi melalui email tarianbumi@ yahoo.com dan Instagram @okarusmini.
214
Topik Empu Puisi
Ode untuk Perempuan Desa Bagus Takwin
Saat menanti panen tiba kau sulam ruang dengan sari pohon dan bunga-bunga melahirkan kisah untuk anak-anakmu kau ronce waktu dengan rupa-rupa rasa penganan hati yang menggirangkan hari menghias tanah dengan lentur jemari tarian menyibak kabut membuka bumi menyemai tentram sekeliling Saat direndam gulana kau balut dirimu dengan pepatah membuat makna dari letih dan luka saat diabaikan oleh musim dan kasih kau terus menghembus seperti angin mengembara di celah-celah tanah gersang bertahan menjaga api hidup dalam gulita seperti kunang-kunang menghindar pemangsa Saat sukacita menjauhi desamu kau kejar pendarnya ke tanah asing berharap hidup sentosa bisa kembali bergulung-gulung dalam kusut wasangka menjatuhkan diri di bawah kacak para tuan demi maruah leluhur, demi hidup yang renyah meski tak ada janji benderang dari terang tak juga datang semarak hati pada hidup Saat rindu anak-anakmu di desa, kau gambar rumah di tengah sawah, padang jingga atau kebun penuh buah dan bunga,
215
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
wangi senja yang gemulai dikelilingi alun sungai merebak jernih warna ikan-ikan yang dicemburui langit, semarak langkah riang dan senandung puji memikat angin matahari bergemeiricik pada sentuhan tangan anak-anak lenggak-lenggok kerbau mengiring nyanyi burung meniti awan Di tengah malam yang gerah dan berdengung kau bayangkan bintang-bintang bergelantungan mencorat-coret langit dengan mimpi anak-anakmu yang kau rindukan di setiap mimpimu Masih kau harapkan dunia menghubungkanmu mesra dengan orang-orang terkasih Masih kau kejar bahagia yang pas untuk mendekap keluarga dan desamu
Oktober 2018
Bagus Takwin sehari-hari bekerja sebagai dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tulisannya dimuat di beberapa media massa cetak seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan Koran Tempo. Beberapa bukunya telah terbit, di antaranya Kesadaran Plural, Sinstesis Rasionalitas dan Kehendak Bebas, Psikologi Naratif, Membaca Manusia Sebagai Kisah, Filsafat Timur, Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur, Akarakar Ideologi, dan buku kumpulan puisi Hijau Matahari. 216
Daftar Toko Buku & Perwakilan SJP Daerah TOKO BUKU Bali 1. Ganesha Bookshops Bali *) Jl. Raya Ubud (depan kantor pos) Gianyar 80571 Telp. 0361 970320 CP Made Rohani
4. Suara Kita Jl. Kalibata Timur I No. 51 RT 9 RW 1 Jakarta Selatan HP 08211 4394468 CP Iim Ibrahim PERWAKILAN SJP DAERAH
DI Yogyakarta 1. TB Resist Book Jl. Kenanga No. 138A RT 05 RW 57 Sambilegi Kidul 4 Maguwoharjo Sleman 55282 HP 0812 25125885 CP Titis
1. Aceh Aceh Women for Peace Foundation (AWPF) Jl. Belibis Lr. Kamboja No. 14 A Kp. Ateuk Pahlawan Banda Aceh HP 0812 6944201 CP Irma Sari
2. TB Social Agency Baru Ambarukmo Jl. Laksda Adi Sucipto No. 22 Yogyakarta Telp. 0274 487539
2. Bali LBH Apik Bali Jl. Suli No. 119A Denpasar HP 0821 47147566 CP Ni Luh Putu Nilawati
3. TB Social Agency Baru Godean Jl. Godean km. 3 No. 1-2 Yogyakarta Telp. 0274 626011 4. TB Social Agency Baru Jakal Jl. Kaliurang km. 8,5 No. 25 Ngaglik - Sleman Telp. 0274 889655 5. TB Social Agency Baru Sagan Jl. Prof. Dr. Ir. Herman Yohanes No. 1170 Yogyakarta 55213 Telp. 0274 549591 Jakarta-Depok 1. Kedai Buku Cak Tarno Gedung VIII FIB UI Kampus UI Depok 16424 HP 0812 82747709 CP Cak Tarno 2.
KOPMA FH UI Kantin FH UI Lantai 2 Kampus UI Depok 16424 HP 0856 95096693 CP Okta
3. Program Studi Kajian Gender (PSKG) UI Gedung Rektorat UI Lantai 4 Jl. Salemba Raya No. 4 Jakarta Pusat Telp. 021 3920788 CP Fita
3. Bandung Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP (Gedung D) Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang km. 21 Sumedang HP 0813 21302303 CP Antik Bintari 4. Cirebon Yayasan Fahmina Jl. Swasembada No. 15 Kel. Karyamulya Cirebon 45132 HP 0813 24294216 CP Alifatul Arifiati 5. Makassar-Enrekang Paper (Pemerhati Anak dan Perempuan) Enrekang Perumahan Batili Jl. Gunung Bambapuang, Galonta Enrekang 91712 HP 0812 4100286 CP Rahmawati Karim 6. Malang Ruang Mitra Perempuan (Rumpun) Jl. Merpati Selatan No. 8 Malang Jl. Papa Biru No. 11 Malang HP 0812 8068901 CP Nila Wardani
7. Medan Jl. Cinta Karya Gg. Muhajirin No. 8 Polonia Medan HP 0896 77615100 CP Nurbani 8. Nias Jl. Ayahanda/Abd. Hamid (Kompleks Ruko) No. 1A (Samping Notaris Joan Kenari) Kec. Medan Petisah Kel. Sei Putih Barat Medan HP 0812 6478106 CP Fotarisman Zaluchu 9. Papua Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih Jayapura HP 0852 44167550 CP Aleda Mawene 10. Pontianak Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (PKSPK) Jl. Gusti Situt Mahmud Gg. Selat Sumba 3 Pontianak Utara Pontianak HP 0811 5700825 CP Ansilla Twiseda Mecer 11. Surabaya Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Airlangga Jl. Darmawangsa Surabaya HP 0822 45645129 CP Emy Susanti 12. Yogyakarta FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 6 Yogyakarta HP 0812 30474346 CP Lukas S. Ispandriarno *) hanya tersedia buku YJP Press berbahasa Inggris
217
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Jurnal Perempuan Edisi 103, Vol 24. No. 4, November 2019 “Agensi Perempuan Pedesaan”
Indeks A
C
Adams, J 39 Afif, SA 10 Agarwal 69, 70 agensi perempuan 4, 5, 63, 64, 65, 74, 78, 79, 122, 125, 137, 138, 140, 143, 144, 147, 163, 165, 166, 167, 182 Aghata Dian, L 124, 128, 130, 131 akses informasi 47, 48, 49, 50, 53, 55, 56, 58, 59, 60, 62, 63, 64, 65, 133, 157, 158, 159, 165, 167 Alexander, J 42 Allman, D 126 Alokasi Dana Desa (ADD) 81, 163, 196 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 49, 53, 54, 59, 60, 158, 163 Ananta, A 29, 30 ASEAN 152 Atkinson, P 74
Cerwonka, A 74 Colfer’s Gender Box 69 Corporate Social Responsibility (CSR) 53, 54, 214
B Bachriadi, D 7, 8 Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 58 Badan Pertanahan Nasional (BPN) 8, 14, 15, 59, 159, 164 Badan Pusat Statistik (BPS) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) 38, 85 Baihaqi 58 Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) 77 beban ganda 12, 58, 133 Boeke, JH 25 Boekorsjom, T 26 Bose, P 68, 70, 83 Brenner, S 26 budaya patriarki 61 218
D Daftar Informasi Publik (DIP) 54 De Haan, A 125 De Vries, DW 48 degradasi ekosistem gambut 92, 93, 94, 95, 99, 100, 103, 106, 109, 111, 112, 116, 117 Denzin, NK 74 Desa Peduli Gambut (DPG) 95, 98 Development as Freedom 138 Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) 60 Dewi Sartika 55, 56 Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) 59 diskriminasi berbasis gender 4, 47
E ekologi politik feminis 68, 92, 93, 97, 98, 99, 115, 171, 179, 180, 181 ekonomi campuran 25, 31, 44 Ekowati, D 11 Eksklusi 48, 52, 53, 65, 122, 123, 124, 125, 126, 134, 137, 140 eksklusi sosial 68, 121, 122, 123, 125, 126, 134, 137 Elmhirst, R 72, 73, 74, 95, 98 Ember, CR 39 Evans, K 68, 69, 70, 73, 83
Indeks
F Farhan, M 71, 75 Faria, C 73 Fiantis 93 Figueiredo, JB 125 Finnis, E 26 Food and Agriculture Organization (FAO) 17, 145 Fraser, B 69, 93 Freeman, JD 34
G Gidley, J 127 Goody, J 34 Gore, C 125 Gradskova, Y 83 Graeber, D 34 Granovetter, M 27
H hak atas informasi 47, 49, 64, 144, 156, 157, 161, 166 Hak Guna Usaha (HGU) 19, 53, 57, 60, 159, 199 hak partisipasi 49 Hall 52 Harahap, T 11 Hendrastiti, TK 76 Hendry, D 75 Hidayat, H 71, 74, 75, 76 Human Rights Watch 124
I Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) 50 informasi publik 47, 50, 51, 53, 54, 55, 57, 58, 60, 61, 63, 155, 157, 159, 163, 164 inklusi 83, 86 inklusi sosial 95, 121, 122, 124, 125, 126, 127, 128, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140 Integrated Conservation and Development Project TNKS (ICDP) 71, 75
Interseksionalitas 78, 86, 87, 180, 181
J Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) 147, 157 Jones, JS 74, 90
K Kabeer, N 138 Kacimah 59 Kadir, HA 26 Kain Timur 32, 35 Kalimantan 5, 9, 15, 34, 50, 92, 93, 95, 96, 97, 99, 100, 103, 107, 110, 144, 147, 148, 155, 156, 163, 174, 175, 183 Katano, Y 73 kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 93, 103, 112, 115 kejawen 124, 140 kekuatan (power) 144, 166 Kekuatan atas (power over) 166 kekuatan dari dalam (power from within) 166 kekuatan dengan (power with) 166 kekuatan untuk (power to) 166 Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) 82,83, 84, 153, 161, 162, 164 Kelompok Wanita Tani (KWT) 156 Kemdikbud 122 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 8, 48, 78 kepemimpinan perempuan desa 86 kerusakan lingkungan 50, 56, 95, 98, 143, 144, 145, 148, 155, 156, 163, 173, 175, 176, 180 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) 95 kesenjangan gender 68, 71 kesetaraan gender 14, 15, 20, 48, 67, 78, 83, 86, 90, 119 Kimura, AH 73 King, VT 25, 33 Komisi Informasi 62 Komisi Informasi Aceh 50, 55, 58 komoditas pertanian 24
219
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Komunitas Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) 82, 83, 84, 153, 161, 164 Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD) 82 konflik hutan 86, 78, 80, 86, 87 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 9, 11, 16, 17, 18 Kelompok Usaha Bersama (KUBE) 122, 135 Kubisa, K 73 Kusdinar, PA 76, 77, 80, 84, 90 Kusumanto 68
N
L
P
ladang berpindah 5, 24, 26, 27, 29, 31, 37, 40, 43 Leach, ER 32 Li, TM 26 Lincoln, YS 75 Liyan 130, 134 Luthfi, A 12
partisipasi perempuan 16, 51, 64, 68, 69, 75, 133, 137, 146, 163, 166 pasar tradisional 24 Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) 64 pelabelan 58, 123 peladang berpindah 26, 40, 43 peladang perempuan 25 Peluso 51 pembangunan pedesaan 6 pemberdayaan perempuan 18, 122, 125, 138, 139, 140, 182 pengambilan keputusan 11, 15, 24, 26, 27, 28, 34, 37, 44, 48, 49, 68, 69, 70, 96, 97, 105, 113, 119, 126, 133, 140, 155, 162 penghayat kepercayaan 122, 124, 125, 126, 130, 132 Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) 28 Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2018 tentang Standar Layanan Informasi Publik Desa 50 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PERMEN LHK) No.P.83/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial 82 perempuan adat 11, 68 perempuan desa 4, 5, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 55, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 68, 70, 80, 82, 93, 95,
M Mai 68 Majelis Eklasing Budi Murko (MEBM) 131 Majumder, J 39 Malkki, L 74 Marginalisasi 59 Mariana, A 48 Maskulinitas 62, 68, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) 51 Matose 68 Maemunah 11 Meyers, D 5, 165 MIGUNANI 166 Mishra, NK 138 Mollet, S 73 Mongabay 90, 93, 94, 164 Morell, IA 73 Mulyani 63 Mustafa, R 54, 55, 57, 60, 61, 62, 63, 64 Mutimokuru-Maravanyika 68
220
Naderifar, M 28 Namgyel, U 26 Neuman, WL 74 Nightingale, AJ 73, 85 Novra, A 71, 75 Nurdin, I 11 Nurhayati 59
O Orang Asli Papua (OAP) 29 Osaki, M 93, 94
Indeks
97, 100, 104, 105, 106, 107, 109, 112, 113, 115, 118, 133, 144, 147, 148, 152, 153, 156, 166, 167, 171, 172, 173, 185, 186, 187, 215 perempuan desa gambut 95, 115 Perempuan di Tanah Kemelut Situasi Perempuan dalam Situs-situs Krisis Sosial Ekologis 9 perempuan penghayat 122, 125, 132, 134, 137, 138, 140 Perkumpulan Eklasing Budi Murko (PEBM) 122, 124 perladangan berpindah 25, 26, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 38, 174 Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria 6, 9 pertanian berpindah 24, 31, 44 pertanian komersial 25, 33 pertanian menetap 25, 27, 31, 39, 41 pertanian modern 24, 27, 38, 39, 41, 43, 44 pertanian tradisional 25, 39, 41, 44, 45 Pettinichio, D 10 Pole 74 politik marga 27 politik tata kelola 92, 93, 94, 100, 115, 116, 117 Potter, L 26 Program Peduli 122, 123, 124, 125, 126, 132, 133, 134, 135, 137, 192, 193 program SETAPAK 53, 147 Puspa Dewi 15 Puzl 10
Q R Rahman, NF 7, 10 Rahmat, M 71, 75 Rahmi, N 132 Rankin, K 73, 85 Rawal, N 122, 125 redistribusi tanah 6, 14, 18, 19, 20, 21
reforma agraria 4, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20 relasi gender 68 relasi kekuasaan 48, 184 relasi kuasa 15, 48, 118 Ribot 51 Rocheleau, D 72, 73, 74, 86 Rosalina, L 50 Rowlands, J 166, 167
S Sachs, C 5, 144, 187 Sajogyo Institute 9 Saleh, M 61 Salim, MN 7 Sam, KL 68 Sanim, B 71, 75 Santoso, D 76 Satunama 125, 130, 131, 132, 135, 136, 137, 139 Scott, JC 26 Sen, A 138 Shah, P 39 Shohibuddin, M 7, 9, 51,52 Siagian, S 11 Sinaga, BM 71, 75 Siscawati, M 4, 8, 171 sistem ekonomi campuran 25 sistem ekonomi subsisten 25 Sitinah 60 Solidaritas Perempuan (SP) 11, 12 Spradley, JP 28 Sreerekha, MS 73 stigma 63, 122, 123, 124, 126, 131, 132, 133, 134, 135, 139, 157, 165, 189, 190, 199 Suara Pembaruan Agraria 17 subordinasi 5, 132, 165 subsisten 25, 30, 32, 33, 41, 44, 49 Suhaini 61 Suhani 59, 63 Sultana, F 73 sumber daya alam (SDA) 4, 5, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 18, 48, 49, 67, 68, 71, 73, 75, 76, 83, 87, 95, 98, 99, 146, 147, 149, 153, 155, 163, 172, 173, 175, 179, 180
221
Jurnal Perempuan, Vol. 24, No. 4, November 2019
Sundberg, J 98, 99 Sundberg, Y 73, 74, 86 Supiniati 59, 60 Suter, EA 28 Syaukat, Y 71, 75
T Tacconi 146 Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) 72, 74, 152 Taman Wisata Alam (TWA) 71 72, 74 tanaman hortikultura 25, 29, 31, 32 tanaman intervensi 30, 32 tanaman subsisten 25, 26, 31, 36, 41, 44 Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA) 7, 14 tata kelola hutan dan lahan 143, 144, 146, 147, 157, 167, 177 tata kelola lahan dan hutan 4, 5, 47, 48, 50, 51, 55, 64, 65, 146, 147, 148, 154, 155, 162, 163, 166, 167, 171, 176, 179 tata kelola sumber daya alam / SDA 68, 73, 76, 98 tenurial 48, 80, 83, 171 The Asia Foundation 53, 125, 146, 147, 193 Thomas-Slayter, B 72, 73, 74, 86 Tim Transisi Pangan dan Agraria 9 Timmer, J 35 Tripathi, T 138 Tsuji, N 93, 94
U Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) 50, 51, 64 UNESCO 75, 152 Upton, SI 30 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) 50, 51, 64
222
UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 49 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan 49, 161 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 49
V Velicu,I 73
W Wahyuningsih, M 146 WALHI 156 Wangari, E 72, 73, 74, 86 Wardani, N 133, 134 Watt 72, 90 Whatmore, S 145 White, B 12 Wilder, W 25 Winarti 63 Wiradi, G 7, 8
Y Yessi 60, 62 Young, IM 126 Yulianti, L 165
Z
Daftar Mitra Bestari 1. Prof. Mayling Oey-Gardiner (Universitas Indonesia) 2. David Hulse, PhD (Former Regional Representative Ford Foundation Jakarta) 3. Dr. Pinky Saptandari (Universitas Airlangga) 4. Dr. Kristi Poerwandari (Universitas Indonesia) 5. Dr. Ida Ruwaida Noor (Universitas Indonesia) 6. Katharine McGregor, PhD. (University of Melbourne) 7. Dr. (iur) Asmin Fransiska, SH, LLM (Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta) 8. Dr. Irene Hadiprayitno (Leiden University) 9. Prof. Jeffrey Winters (Northwestern University) 10. Ro’fah, PhD. (UIN Sunan Kalijaga) 11. Tracy Wright Webster, PhD. (University of Western Australia) 12. Prof. Kim Eun Shil (Korean Ewha Womens University) 13. Prof. Merlyna Lim (Carleton University) 14. Prof. Claudia Derichs (Universitaet Marburg) 15. Sari Andajani, PhD. (Auckland University of Technology) 16. Dr. Wening Udasmoro (Universitas Gajah Mada) 17. Prof. Ayami Nakatani (Okayama University) 18. Dr. Antarini Pratiwi Arna (Indonesian Scholarship and Research Support Foundation) 19. Dr. Widjajanti M Santoso (Indonesian Institute of Sciences) 20. Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo (Universitas Indonesia) 21. Fransicia Saveria Sika Ery Seda, Ph.D. (Universitas Indonesia) 22. Ruth Indiah Rahayu, M. Fil. (Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara) 23. Prof. Maria Lichtmann (Appalachian State University, USA) 24. Assoc. Prof. Muhamad Ali (University California, Riverside) 25. Assoc. Prof. Mun’im Sirry (University of Notre Dame) 26. Assoc. Prof. Paul Bijl (Universiteit van Amsterdam) 27. Assoc. Prof. Patrick Ziegenhain (Goethe University Frankfurt) 28. Assoc. Prof. Alexander Horstmann (University of Copenhagen)
223
ETIKA & PEDOMAN PUBLIKASI BERKALA ILMIAH JURNAL PEREMPUAN http://www.jurnalperempuan.org/jurnal-perempuan.html
Jurnal Perempuan (JP) merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap tiga bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari) untuk seleksi artikel utama, kemudian disebut sebagai Topik Empu. Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoritis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian lain seperti filsafat, ilmu budaya, seni, sastra, bahasa, psikologi, antropologi, politik dan ekonomi. Isu-isu marjinal seperti perdagangan manusia, LGBT, kekerasan seksual, pernikahan dini, kerusakan ekologi, dan lain-lain merupakan ciri khas keberpihakan JP. Anda dapat berpartisipasi menulis di JP dengan pedoman penulisan sebagai berikut: 1. Artikel merupakan hasil kajian dan riset yang orisinal, autentik, asli dan bukan merupakan plagiasi atas karya orang atau institusi lain. Karya belum pernah diterbitkan sebelumnya. 2. Artikel merupakan hasil penelitian, kajian, gagasan konseptual, aplikasi teori, ide tentang perempuan, LGBT, dan gender sebagai subjek kajian. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, sejumlah 10-15 halaman (5000-7000 kata), diketik dengan tipe huruf Calibri ukuran 12, Justify, spasi 1, pada kertas ukuran kwarto dan atau layar Word Document dan dikumpulkan melalui alamat email pada (redaksi@jurnalperempuan.com). 4. Sistematika penulisan artikel disusun dengan urutan sebagai berikut: Judul komprehensif dan jelas dengan mengandung kata-kata kunci. Judul dan subbagian dicetak tebal dan tidak boleh lebih dari 15 kata. Nama ditulis tanpa gelar, institusi, dan alamat email dicantumkan di bawah judul. Abstrak ditulis dalam dua bahasa: Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia secara berurutan dan tidak boleh lebih dari 100-150 kata, disertai 3-5 kata kunci. Pendahuluan bersifat uraian tanpa subbab yang memuat: latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, dan metode penelitian. Metode Penelitian berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat jika diperlukan. Pembahasan disajikan dalam subbab-subbab dengan penjudulan sesuai dalam kajian teori feminisme dan/atau kajian gender seperti menjadi ciri utama JP. Penutup bersifat reflektif atas permasalahan yang dijadikan fokus penelitian/kajian/ temuan dan mengandung nilai perubahan. Daftar Pustaka yang diacu harus tertera di akhir artikel. 5. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap sebagai catatan tubuh (body note), sedangkan keterangan yang dirasa penting dan informatif yang tidak dapat disederhanakan ditulis sebagai Catatan Akhir (endnote). 6. Penulisan Daftar Pustaka adalah secara alfabetis dan mengacu pada sistem Harvard Style, misalnya (Arivia 2003) untuk satu pengarang, (Arivia & Candraningrum 2003) untuk dua pengarang, (Candraningrum, Dhewy & Pratiwi 2016) untuk tiga pengarang, dan (Arivia et al. 2003) untuk empat atau lebih pengarang. Contoh: Arivia, G 2003, Filsafat Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Amnesty International (AI) 2010, Left Without a Choice: Barriers to Reproductive Health in Indonesia, diakses pada 5 Maret 2016, http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/docs/ngos/ AmnestyInternational_for_PSWG_en_Indonesia.pdf Candraningrum, D (ed.) 2014, Body Memories: Goddesses of Nusantara, Rings of Fire and Narrative of Myth, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Dhewy, A 2014, “Faces of Female Parliament Candidates in 2014 General Election”, Indonesian Feminist Journal, vol. 2 no. 2, h. 130-147. “Sukinah Melawan Dunia” 2014, KOMPAS, 18 Desember, diakses 20 Desember 2014, http:// nasional.kompas.com/read/2014/12/18/14020061/Sukinah.Melawan.Dunia 7. Kepastian pemuatan diberitahukan oleh Pemimpin Redaksi dan atau Sekretaris Redaksi kepada penulis. Artikel yang tidak dimuat akan dibalas via email dan tidak akan dikembalikan. Penulis yang dimuat kemudian akan mendapatkan dua eksemplar JP cetak. 8. Penulis wajib melakukan revisi artikel sesuai anjuran dan review dari Dewan Redaksi dan Mitra Bestari. Hak Cipta (Copyright): seluruh materi baik narasi visual dan verbal (tertulis) yang diterbitkan JP merupakan milik JP. Pandangan dalam artikel merupakan perspektif masing-masing penulis. Apabila anda hendak menggunakan materi dalam JP, hubungi redaksi@jurnalperempuan.com untuk mendapatkan petunjuk.
Lia Mulyanawati Membangun kepedulian terhadap isu dan pemenuhan hak anak (termasuk anak yang dilacurkan) berbasis komunitas dilakukan dengan melibatkan semua orang dewasa di desa dan perangkat desa dalam forum-forum dialog. Upaya ini dilakukan agar dapat menghapus diskriminasi dan stigma terhadap mereka.
Agensi Perempuan dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di tengah-tengah Perubahan Desa: Studi Kasus di Lima Provinsi Dalam penelitian ini digambarkan 1) bagaimana perubahan sosial ekologis di desa lokasi penelitian melalui tutur perempuan pejuang di 5 provinsi (provinsi Papua Barat, Kalimantan Timur, Aceh, Sulawesi Tengah, Bengkulu); 2) perjuangan perempuan desa dalam merebut hak atas informasi dan partisipasi dalam proses tata kelola hutan dan lahan; 3) agensi perempuan dalam menciptakan perubahan sosial-ekologis yang positif di wilayah desa. Praktik Ekonomi ‘Mama-Mama Papua’ dengan Ladang Berpindah: Studi di Kabupaten Sorong dan Maybrat - Papua Barat Riset ini meneliti tentang peranan perempuan dalam pilihan dan pengambilan keputusan di bidang pertanian berpindah (swidden farming). Riset ini dilakukan di dua tempat yakni Kabupaten Sorong dan Maybrat. Riset ini hendak menunjukkan bahwa di ranah tradisional, perempuan memiliki peran penting mulai dari produksi, sistem perawatan tanaman hingga distribusi pasar. Perempuan Desa dan Informasi Sumber Daya Alam: Perjuangan Agensi Perempuan Desa di Aceh Tulisan ini memaparkan dan menganalisa pengalaman sejumlah perempuan di beberapa kabupaten di Aceh dalam menggunakan pendekatan hak atas informasi. Para perempuan dalam artikel ini menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik sebagai dasar untuk melakukan advokasi atas tata kelola lahan dan hutan di lingkungan tempat tinggal mereka.
Dok. Wean Guspa Upadhi
www.jurnalperempuan.org