11 minute read

Bab 3. Cerita Perubahan Signifikan

3 Cerita Perubahan Signifikan

Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), Aceh Utara

Advertisement

Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) tentang Isbath Nikah menjadi salah satu capaian penting untuk mewujudkan akses layanan publik yang lebih baik dan mendorong inklusi sosial bagi masyarakat korban konflik Aceh, terutama bagi kelompok perempuan. Perjanjian ini ditandatangani pada 8 Mei 2017 yang lalu di Kantor Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, dan ditandatangani bersama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama, Kepala Dinas Syariat Islam, Ketua Mahkamah Syariah, dan Kepala Dinas Registrasi Kependudukan Aceh.

Dalam kesempatan tersebut, Zaini Abdullah menyampaikan bahwa kerjasama ini dilakukan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang belum memiliki akta atau buku nikah karena situasi

16

konflik dan bencana tsunami. Empat lembaga yang ikut menandatangani MoU tersebut selanjutnya akan menyediakan layanan dalam bentuk proses sidang Isbath Nikah oleh Mahkamah Syariah, penerbitan buku nikah yang dilakukan oleh Kementerian Agama, dan penerbitan akta kelahiran oleh Dinas Registrasi Kependudukan.

Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) sebagai salah satu CSO pilar HAM dan Restorasi Sosial bekerja bersama dengan jaringan di tingkat provinsi untuk mendorong kebijakan ini. Kebijakan mengenai Isbath Nikah ini, meskiditandatangani di tingkat provinsi, secara otomatis juga akan berlaku di tingkatan Kabupaten/Kotamadya termasuk di Aceh Utara, daerah kerja RPuK untuk program Peduli. Pencapaian ini sejalan dengan fokus kerja RPuK dalam memperkuat kelompok perempuan korban

17

pelanggaran HAM masa lalu, yang salah satunya termasuk membantu perempuan memperoleh akses terhadap administrasi kependudukan (surat nikah).

Adapun manfaat langsung dari sidang Isbath Nikah yang disediakan oleh pemerintah Aceh ini baru akan dirasakan paling cepat di tahun depan. Virlian Nurkristi dari Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) berpendapat bahwa meski pengalokasian anggaran di dalam APBD untuk kebijakan ini bisa memakan waktu, adanya kebijakan ini sendiri sudah menjadi suatu capaian penting yang akan menjadi pijakan bagi penyusunan anggaran tersebut.

18

Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Jakarta –Tangerang

Komunitas Cina Benteng merupakan komunitas adat Etnis Tionghoa berada di Kampung Sewan Lebakwangi, Kota Tangerang. Mereka tinggal di wilayah tersebut sejak tahun 1740 setelah tragedi perang di Batavia. Atas kebijakan jajahan mereka diisolasi di daerah yang menyulitkan mereka untuk berasimilasi. Komunitas ini sudah beratusratus tahun menempati lahan disepanjang sungai Cisadane. Sejak tahun 2015, Program Peduli bekerja untuk memingkat akses terhadap layanan publik, terutama untuk perempuan China Benteng, dan meningkatkan penerimaan sosial masyarakat Etnis Tionghoa tradisional.

Sebelum Program Peduli masuk ke Kelurahan Mekarsari, ibu-ibu Cina Benteng tidak memiliki aktivitas apapun selain mengurus rumah tangga. Peristiwa bentrokan antara warga dengan Pemerintah Kota Tangerang terkait relokasi paksa warga cina benteng disepanjang sungai

19

cisadane untuk kepentingan pembangunan jalur hijau sungai cisadane pada tahun 2009, membuat mereka khawatir dengan ‘orang baru’ yang masuk ke dalam lingkungannya, situasi ini membuat komunitas sedikit tertutup terhadap orang luar.

Sampai Juni 2017, Program Peduli telah berhasil membuka akses dan kemudahan bagi perempuan Cina Benteng dalam memperoleh Adminduk sebanyak 290 berkas (130 Kartu Keluarga, 30 Kartu Identitas, 144 Akta Kelahiran, 2 surat nikah), memperoleh akses kesehatan reproduksi tes iva, akses bantuan sosial dari Pemerintah (Kartu BPJS PBI, bedah rumah, Program Keluarga Harapan), dan akses berbagai pelatihan untuk peningkatan kapasitas dari pemerintah.

Perempuan Cina Benteng berhasil membangun kekuatan kolektif untuk mampu menyuarakan kepentingan dan gagasannya. Program Peduli telah berhasil memfasilitasi ibu-ibu Cina Benteng membentuk Koperasi Wanita Pengembang Sumberdaya (KWPS) Lentera Benteng Jaya beranggotakan 260 orang dengan asset Rp 165.849.337,-.

20

Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)- Banjarmasin

Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Banjarmasin adalah salah satu organisasi penyandang disabilitas (OPD) yang didampingi oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dalam kerja-kerja yang mereka lakukan untuk mewujudkan Kota Inklusi melalui Program Peduli. Menurut Umi dari SAPDA, sebelumnya OPD belum pernah berpartisipasi sama sekali dalam perencanaan kota. Namun, setelah ada pendampingan dan peningkatan kapasitas, OPD dapat terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat kecamatan dan kota, bahkan diundang untuk menghadiri Musrenbang di tingkat provinsi.

21

Dalam Musrenbang tingkat Kota, Pak Slamet, Ketua Cabang PPDI Banjarmasin, menyampaikan aspirasi perihal lokasi Puskesmas yang berada di gang-gang kecil yang susah diakses oleh difabel. Berkat partisipasi PPDI dalam Musrenbang ini, Pemerintah Kota Banjarmasin berjanji untuk memindahkan lokasi-lokasi Puskesmas yang sulit diakses difabel pada tahun 2018. Selain terlibat dalam Musrenbang Kota, PPDI juga mulai dilibatkan dalam perencanaan bantuan dari Dinas Sosial untuk program pemberdayaan ekonomi bagi disabilitas tuli yang direncanakan oleh Walikota Banjarmasin. Terkait dengan rencana ini, Dinas Sosial mengadakan pertemuan dengan PPDI untuk meminta data difabel tuli di Kota Banjarmasin dan mendiskusikan konsep program bantuan yang akan dijalankan.

Meski bantuan SAPDA dalam pengembangan kapasitas, terutama tentang bagaimana menjalankan organisasi dan melakukan advokasi, dinilai sangat membantu kerja-kerja PPDI, Pak Slamet berharap mereka dapat semakin proaktif dalam melakukan advokasi secara mandiri, dan tidak semata-mata mengandalkan dampingan dari SAPDA. Pak Slamet juga berharap ke depannya tidak hanya ketua dan pengurus PPDI saja yang bisa ikut dalam Musrenbang, tetapi juga anggota-anggota PPDI dan organisasi penyandang disabilitas lainnya di Banjarmasin.

22

Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) –Mataram

Program Peduli 2015-2016 di NTB telah berhasil mendorong terbitnya Surat edaran Gubernur NTB Nomor 400/10/BP3AKB tanggal 18 Januari 2017 tentang perlindungan Anak Buruh Migran. SE ini ditujukan bagi Bupati/Walikota se NTB dan Kepala SKPD/Unit Pelaksana Kerja Pemerintah Provinsi NTB. SE diterbitkan dalam rangkamenjamin pemenuhan hak-hak dasar anak buruh migran dalam mengakses layanan (pendidikan, kesehatan, dan hak sipil serta bantuan social lainnya) dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan non diskriminasi. Tiga hal yang tertera dalam SE tersebut adalah (1) koordinasi untuk membangun sinergi para pihak baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota bersama menuntaskan persoalan anak buruh mingran, memberikan layanan social dasar berupa bantuan siswa miskin (BSM), Kartu Indonesia Pintar (KIP), BPJS Kesehatan/Kartu Indonesia

23

Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), akte kelahiran gratis; (2) Bupati/Walikota membuat dan mengimplementasikan kebijakan, perencanaan penganggaran yang responsive terhadap perlindungan anak buruh migran termasuk terakomodir dalam penggunaan Dana Desa; (3) Meningkatkan dana memperkuat partisipasi masyarakat dan lembaga multipihak lainnya yang peduli anak melalui forum-forum warga dan forum multipihak yang sudah ada secara berjenjang dari tingkat dusun, desa, hingga provinsi.

Pengawalan terhadap implementasi Surat Edaran tersebut mulai dilakukan pada Program Phase 2017-2018. Upaya –upaya yang dilakukan oleh mitra pelaksana program peduli (CSO) SANTAI Mataram dalam mengawal proses implementasi Surat Edaran Gubernur NTB adalah:

Memastikan bahwa surat edaran tersebut tersosialisasi dan terimplementasikan sampai ke tingkat pemerintah desa. Membangun koordinasi mulai dari tingkat Propinsi hingga tingkat desa Melakukan penguatan pada kader –kader desa untuk terus melakukan advokasi di tingkat desa dalam mendorong alokasi dana desa Melakukan pendampingan dan assistensi kepada anak, orangtua, pengasuh dan masyarakat dalam gerakan inklusi social bagi seluruh anak buruh migrant.

Upaya –upaya ini bukan saja dilakukan untuk wilayah dampingan lama program peduli di Lombok Timur akan tetapi juga dalam rangka memperluas wilayah dampingan yang baru di Kabupaten Lombok Tengah. Pemerintah

24

Kabupaten Lombok Tengah merespon baik dan positif terkait implementasi SE ini dan memberikan dukungan atas rencana pelaksanaan program peduli di wilayah ini tepatnya di Desa Jago dan Desa Sukaraja yang mendapat sambutan baik dari pihak kepala desa wilayah tersebut. Selain itu, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan Tokoh agama sangat mendukung kegiatan yang dilakukan dan sudah terpetakan tokohpemuda dan kader yang akan mendukung gerakan inklusi anak buruh migrandi tingkat desa hingga kecamatan.

25

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) –Palembang

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan yang lebih dikenal sebagai LPKA Pakjo adalah LPKA yang sebelumnya lebih menekankan pada pengawasan dan pengamanan. Berbekal UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Nomor.11 tahun 2012, LPKA sempat kebingungan dalam melakukan implementasi UU SPPA tersebut. Akirnya pada tahun 2014 bersama dengan PKBI melalui dukungan Program Peduli melakukan perubahan perspektif pada kepala dan seluruh staff LPKA yang mulanya menekankan pada perinsip pengawasan dan pengamanan, berganti menjadi pembinaan dan pendampingan. Hal ini menjadi awal perubahan mendasar yang mendorong pada perubahan-perubahan lainnya di lingkungan LPKA Pakjo yang lebih ramah terhadap anak. “Capaian yang diperoleh LPKA Pakjo saat ini adalah kontribusi berbagai pihak salah satunya adalah PKBI melalui program Peduli” –Endang Lintang Hardiman (Kepala LPKA Pakjo).

26

PKBI melalui Program Peduli mendorong dan memfasilitasi pihak LPKA Pakjo untuk mengajak pihak lain baik itu institusi pemerintah maupun non pemerintah berpartisipasi melalui forum peduli anak yang menjalani pembinaan khusus di LPKA. Melalui forum tersebut telah berhasil dikembangkan pemberian akses layanan, yaitu: Layanan Pendidikan Sekolah Filial (SD, SMP, SMA/SMK) , Pendidikan Alternatif (Las, menjahit, mekanik, dan komputer), Pembinaan minat dan bakat anak, maupun pembinaan keagamaan. “Forum peduli anak memudahkan LPKA untuk berdialog terkait identifikasi kemungkinan program yang dapat dilakukan di LPKA dalam rangka pemenuhan kebutuhan anak” - Fahriyuddin Jusep (Staf LPKA Pakjo).

Berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan LPKA Pakjo dalam rangka pemenuhan 4 hak dasar anak (hidup layak, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi) yang dilakukan melalui perubahan fasilitas fisik gedung, keterlibatan keluarga, keterlibatan pihak lain (pemerintah dan non pemerintah), petugas yang mulai memiliki perspektif terhadap anak, serta adanya dukungan komunitas dan teman sebaya anak di luar LPKA menjadi pesona dan titik terang di tengah-tengah mandeknya implementasi UU SPPA no.11 tahun 2012. Perjuangan LPKA Pakjo dalam pemenuhan hak dasar anak yang sedang menjalani pembinaan khusus mendapatkan perhatian dari Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan pengentasan Anak –Joko Setiono,Bc IP, SH, MM (Ditjen KUMHAM) dan jajarannya. Kunjungan pun dilakukan oleh Pak Joko dan jajarannya ke LPKA Pakjo, dimana beliau sangat terkesan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan LPKA. Kesan yang didapatkan ini menjadi

27

dasar beliau untuk merekomendasikan LPKA Pakjo kepada KKPdan PA untuk mendapatkan penghargaan.

Pada tanggal 22 Juli 2017, LPKA Pakjo mendapatkan apresiasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupa penghargaan “LPKA terbaik layak anak berbasis budi pekerti dan responsif hak anak”. Penghargaan tersebut diberikan kepada Kepala LPKA Palembang oleh Menteri KPP & PA di Pekan Baru Riau. Penghargaan yang diperoleh oleh LPKA Palembang tersebut, telah menambah semangat perubahan untuk terus melakukan peningkatan dan perbaikan layanan dalam rangka pemenuhan hak dasar anak yang menjalani pembinaan khusus di LPKA. Penghargaan dari KPP dan PA memberikan harapan kepada LPKA yang lain untuk dapat memberikan perhatian dan pelayanan yang terbaik bagi anak melalui kerja sama multi pihak.

28

Lakpesdam Nahdatul Ulama –Mataram

Lakpesdam NU adalah sebuah lembaga khusus dari Nahdatul Ulama (NU), lembaga keagamaan terbesar di Indonesia yang terkenal karena upayanya dalam menggiatkan nilai-nilai demokrasi, pluralism dan multiculturalism. Lakpesdam NU melakukan penelitian dan program mengenai transformasi sosial, keadilan dan kemanusiaan, dan telah menjadi mitra Peduli sejak tahun 2010.

Upaya Lakpesdam dalam mendorong inklusi sosial yang lebih luas bagi komunitas Ahmadiyah di Lombok dirancang dengan keinginan untuk membangun perdamaian dan memfasilitasi rekonsiliasi merupakan prasyarat bagi perubahan sosial.

Di tingkat daerah pemerintah telah mengambil langkahlangkah antisipatif guna mencegah konflik antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Sebagai contoh, untuk mengurangi perlawanan politik dan resiko dituding bersimpati pada kelompok Ahmadiyah, pemerintah kota Mataram menunda pemberian bantuan kepada keluarga penganut Ahmadiyah pada saat mereka pertama tiba di Transito. Lakpesdam bekerja untuk menuntut komitmen lebih dari pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dan merealisasikan hak-hak penganut Ahmadiyah. Dengan melakukan dialog melalui pelatihan mengenai hak-hak warganegara dengan penyedia layanan terdepan, Lurah dan Walikota. Di level pemerintah provinsi dengan memberikan informasi

29

mengenai program yang dijalankan dan berusaha untuk membangun dukungan, mengingat adanya pandangan negative dari pemerintah provinsi terhadap jemaat Ahmadiyah. Upaya advokasi ini juga berlanjut ke tingkat nasional. Lakpesdam bekerjasama dengan Kementerian Agama telah melakukan pembahasan mengenai toleransi beragama.

Lakpesdam juga bekerja erat dengan komunitas untuk menciptakan ruang interaksi, dialog dan pertukaran sosial. Dengan cara memfasilitasi kegiatan-kegiatan sosial yang membuka ruang bagi keluarga pengikut Ahmdiyah dan warga setempat berkumpul mengerjakan kepentingan bersama dan membangun relasi orang ke orang.

Pada tahun 2014 terjadi sebuah terobosan pada saat pemerintah Kota Mataram menyetujui keluarga pengikut Ahmadiyah boleh mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu kependudukan, buku nikah dan akta kelahiran. Seluruh Biaya penerbitan dokumen kependudukan bagi semua pasangan suami istri dan anak-anak di Transito ditanggung oleh pemerintah daerah. “Ini adalah kewajiban kami untuk warga kami,” kata Ibu Baiq Baktiyanti, Lurah Pejanggik. “Ini soal kependudukaan, bukan soal agama,” ditambahkan Ibu Baktiyanti, beliau percaya bahwa masyarakat tidak boleh diabaikan hanya karena agama yang mereka anut. Dengan kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) ini, komunitas Ahmadiyah kini memiliki hak yang sama terhadap akses layanan dan program perlindungan sosial seperti halnya warga lain.

30

Mengingat kompleksitas dari diskriminasi sosial dan struktural yang dialami oleh komunitas Ahmadiyah di Lombok, besarnya perubahan yang telah dicapai dalam dua tahun terakhir adalah hal yang sangat berkesan. Beberapa faktor kunci yang mendukung perubahan ini antara lain:

Kepemimpinan lokal –Tokoh Pemerintah Daerah : Lompatan besar ini dapat terjadi karena adanya komitmen pejabat Kota Mataram yang memperlakukan isu ini sebagai isu kewarganegaraan dan yang berkomitmen dalam menjalankan tanggungjawab mereka untuk memberikan layanan dan melindungi hak-hak semua warga negara. Kepemimpinan Ibu Baiq Baktiyanti yang menunjukkan dedikasinya sebagai seorang pegawai negeri dan komitmennya dalam mendorong nilai-nilai inklusi di antara pegawainya telah menjadi hal yang sangat penting dalam keberhasilan inklusi. Beliau memisahkan isu ini dari isu keagamaan dan berfokus pada kewajiban pemerintah terhadap warganya.

Relasi antar kelompok: Lakpesdam mampu mengindetifikasi tokoh-tokoh moderat, tokoh-tokoh ini mampu menggunakan peran mereka dalam masyarakat untuk mendorong inklusi.

Fokus pada Kesamaan dan Hak: Dengan menggunakan pendekatan sosial budaya yang berusaha untuk berfokus pada persamaan antar kelompok dan bukan perbedaan antar agama. Lakpesdam dapat menghindari argument filosofis dengan pihak pemerintah daerah dan terus berfokus terhadap kewarganegaraan sebagai isu utama.

31

Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimas Islam mengambil pengalaman Lakpesdam dan Program Peduli untuk dijadikan model penanganan konflik. Model pendekatan humanis yang digunakan di Transito akan di gunakan oleh Kementerian Agama di daerah lain di Indonesia. Resolusi konflik antar umat beragama adalah bidang baru di Ditjen Bimas Islam, dan saat ini sedang mencari model penanganan konflik yang tepat. Setelah selama ini mendapat banyak masukan dari MUI, dan melihat sendiri praktik penanganan konflik di Sampang dan Mataram.

32

This article is from: