Kinerja Sistem
Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam Juni 2011
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
www.ptnnt.co.id
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Kinerja Sistem
Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Daftar Isi
Daftar Isi Daftar Isi
i
Daftar Gambar
iii
Daftar Tabel
vii
Kata Pengantar
viii
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proyek 1.2 Gambaran Umum Proyek 1.3 Kebijakan dan Komitmen Pengelolaan Lingkungan
1 2 2 3
TAMBANG BATU HIJAU 2.1 Cadangan dan Sumber Daya 2.2 Kegiatan Penambangan
5 6 6
PROSES PENGOLAHAN BIJIH DAN PENGELOLAAN TAILING 3.1 Pendahuluan 3.2 Proses Pengecilan Ukuran 3.2.1 Peremukan (Crushing) 3.2.2 Penggerusan (Grinding) 3.3 Proses Pemisahan Mineral 3.3.1 Pengapungan (Flotasi) Box 1 Uji Toksisitas Tailing Box 2 Studi Pengembangan Flotasi CPS 3.3.2 Penanganan konsentrat 3.4 Pengelolaan Tailing 3.5 Pemantauan Jaringan Pipa Box 3 Konstruksi Pipa Laut
11 12 13 13 14 15 15 17 18 20 20 23 26
PEMANTAUAN LINGKUNGAN 4.1 Pendahuluan 4.2 Pemantauan Tailing Effluent (Lumpur Tailing dan Air Proses) 4.2.1 Metode 4.2.2 Kondisi latar belakang 4.2.3 Data terkini Box 4 Studi Alternatif Upaya Peningkatan Fraksi Padatan (% Solid) 4.2.4 Dampak
29 30 35 35 35 36 39 40
i
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Daftar Isi
4.3 Pemantauan Lingkungan di Area Penempatan Tailing 4.3.1 Kualitas air laut Box 5 Pemantauan Upwelling di Daerah Penempatan Tailing PTNNT Box 6 Pemantauan TSS Menerus (Real Time) 4.3.2 Kualitas sedimen 4.3.3 Konsentrasi logam jaringan ikan lereng laut dalam Box 7 Studi Kandungan Logam Berat pada Jaringan Otot Kerang-kerangan Bivalvia (filter feeder) 4.3.4 Komunitas bentos 4.3.5 Komunitas plankton 4.3.6 Ekosistem terumbu karang 4.3.7 Ekosistem intertidal 4.3.8 Survei Perikanan
40 40 42 49 50 54 58 60 64 67 71 76
STUDI PENDUKUNG DAN VALIDASI 5.1 Studi laut dalam (LIPI) 5.1.1 Latar belakang 5.1.2 Tapak pengendapan tailing 5.2 Pemodelan (tapak dan kolom air) 5.2.1 Pemodelan tapak 5.2.2 Perbandingan contoh dan model tapak 5.2.3 Pemodelan kolom air 5.3 Pergerakan tembaga dalam air laut 5.4 Rekolonisasi tailing 5.5 Studi uji tuntas (CSIRO 2009) 5.5.1 Latar belakang 5.5.2 Hasil dan pembahasan 5.6 Kajian Alternatif Pemanfaatan Tailing dengan Prisip 3R 5.7 Studi Penerimaan Masyarakat dan Dampak Sosial DSTP 5.7.1 Pemantauan Sosial Partisipatif Terhadap Dampak DSTP bagi Masyarakat Pesisir 5.7.2 Studi penilaian kesehatan masyarakat (Community Health Assesment Study/CHAS) Box 8 Sosialisasi Dampak DSTP PTNNT 5.7.3 Studi Pengelolaan Terumbu Berbasis Masyarakat (Community Reef Assesment)
79 80 80 80 82 82 83 84 86 86 88 88 89 90 91
PENUTUP
95
REFERENSI
97
91 91 92 93
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
ii
Daftar Gambar
Daftar Gambar 1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 3.15 3.16 3.17 3.18 3.19 3.20 3.21 3.22 3.23 3.24 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
iii
Peta Lokasi Proyek Tambang Batu Hijau dan Batas Wilayah Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara Peta Topografi Perairan Selatan Pulau Sumbawa dan Sekitarnya Dokumen ANDAL PTNNT Infrastruktur Tambang Batu Hijau Beberapa Kegiatan Penambangan Batu Hiijau Timbunan Batuan Penutup Tongoloka dan Kolam Pengelolaan Air Tambang Skema Sistem Pengelolaan Air Tambang Fasilitas Sistem Pengelolaan Air Tambang Santong Beberapa Tahapan Kegiatan Reklamasi Diagram Alir Proses Pengolahan Bijih Gyratory Chruser Svedala SAG Mills Svedala Ball Mills Skema Prinsip Pengecilan Ukuran Rougher Scavenger Polishing Column dan Regrind Column Skema Fasilitas Pengapungan dalam Proses Pemisahan Mineral IC50 - 96jam Tailing pada Marine Diatom LC50 - 96jam Tailing pada Anakan Ikan Kerapu NaHS Plant Santong Water Treatment Plant Profil Perbandingan Perolehan Tembaga antara Flotasi CPS dan Non-CPS Skala Pabrik Profil Cu terlarut dalam Air Asam Tambang PT NNT(air Santong 3) Alat-alat Penangan Konsentrat Tangki Deaerasi Pemipaan Tailing Sistem Pemipaan Tailing Darat dan Dasar Laut PT NNT Penempatan Tailing di Darat akan Berdampak pada 2.316 Ha Hutan Produktif dan Lahan Pertanian Peta Tiga Dimensi Dasar Laut di Ngarai Senunu, Pesisir Selatan Pulau Sumbawa Peta Tiga Dimensi Dasar Laut di Ngarai Senunu yang Menunjukkan Tapak Tailing Konstruksi Pipa Baja dan Pipa Polimer (HDPE) serta Sambungan antara Keduanya Inspeksi Ketebalan Pipa Menggunakan ILI Inspeksi Bulanan Pipa Tailing Laut Menggunakan ROV Diagram Sejarah Konstruksi Pipa Tailing Laut 1999 sampai dengan 2010 Lokasi Pengambilan Contoh Tailing, Air Proses dan Air Tambang (Santong 3) Lokasi Stasiun Pemantauan Curah Hujan di Area tambang Skema Pembagian Zona A, B, dan C di Daerah Penempatan Tailing di Sepanjang Pesisir Selatan Peta Lokasi Pengambilan Contoh Air Laut, Sedimen, dan Profil Kolom Air di sepanjang Pesisir Selatan Peta Lokasi Pengambilan Contoh Plankton, Sedimen, Transek Ekosistem Intertidal dan Terumbu Karang di Sepanjang Pesisir Selatan Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
2 3 4 6 7 8 8 8 9 12 13 13 13 15 15 15 16 17 17 18 18 19 19 20 21 21 22 23 23 24 25 25 26 32 32 33 33 34
Daftar Gambar
4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16 4.17 4.18 4.19 4.20 4.21 4.22 4.23 4.24 4.25 4.26a 4.26b 4.27 4.28 4.29a 4.29b
4.30
Peta Lokasi Pengambilan Contoh Ikan Laut Dalam dan Kerangan-kerangan Pengambilan Contoh Tailing di Kotak Deaerasi Tailing Total Kuantitas Tailing per Tahun Sifat-sifat Fisika Tailing Kandungan Beberapa Unsur Logam Berat dalam Tailing Profil Rerata Curah Hujan Di Area Tambang, Komposisi Air Proses dan Air Laut serta Kualitas Fisika dan Kimianya Periode Pemantauan 2005 - 2010 Hubungan antara Persen Solid dan Berat Jenis Slurry untuk Variasi Penambahan Air Laut dan Santong 3 Hasil Simulasi Berdasarkan Revisi Rencana Penambangan, Penjadwalan Ulang Shutdown Pabrik dan Pemasangan Pipa Tailing Laut dengan Diamater yang Lebih Kecil Pemantauan Profil Kolom Air Menggunakan CTD Pengambilan Contoh Air Menggunakan Polyethylene Go-Flo Oceanographical Sampler Rerata Bulanan Historikal (Klimatologi) Suhu Permukaan (°C) dan Vektor Angin dalam Interval Dua-bulanan Sumber: Iskandar et.al, 2010 Skema Profil Kolom Air yang Dipengaruhi Upwelling dan Proses Lainnya Profil Suhu, Salinitas, Kandungan Oksigen Terlarut dan Transmissivitas Cahaya di Stasiun Pantau S16, September 1999 – Desember 2009. Pressure atau Tekanan (dbar) = Kedalaman (meter). Sumber: Waworuntu, 2010. Profil Suhu di Sepanjang Poros Pipa Tailing (Stasiun Pemantauan S12, S15, S16, dan S28) Periode Pemantauan 2007 - 2010 Profil Kedalaman Tailing Plume Berdasarkan Transmisivitas 35% di Zona A, B, dan C di Sepanjang Pesisir Selatan Periode Pemantauan 2007 - 2010 Profil Total Suspendid Solid (TSS) di Zona A, B, dan C di Sepanjang Pesisir Selatan Periode Pemantauan 1997 - 2010 Profil Kandungan Logam Terlarut di Zona A, B, dan C di Sepanjang Pesisir Selatan Periode Pemantauan 1997 - 2010 Alat Pantau TSS Menerus (TSS Buoy), Saat Masih Terpasang hingga Usaha Pengambilan Kembali Pengambilan Contoh Sedimen Dasar Laut Menggunakan Box Corer Contoh Sedimen dari Lokasi yang Terkena Pengaruh Tailing (Kiri) dan Tidak Terkena (Kanan) Profil Rerata Ukuran Partikel Sedimen di Sepanjang Pesisir Selatan Profil Rerata Beberapa Kandungan Logam Berat Total dalam Sedimen di Sepanjang Pesisir Selatan Pengambilan Contoh Ikan Laut Dalam Menggunakan Metode Pancing Dasar Spesies Utama Ikan Laut Dalam Hasil Tangkapan yang Digunakan dalam Analisis Kandungan Logam Berat Kandungan Beberapa Logam Berat dalam Jaringan Otot Ikan Laut Dalam dari Perairan Senunu dan Lokasi Kontrol Kandungan Beberapa Logam Berat dalam Jaringan Otot Ikan Laut Dalam dari Perairan Senunu, Lokasi Kontrol dan Selat Alas Dibandingkan dengan Contoh Ikan dari Pasar-pasar di Sumbawa Barat, Lombok Timur dan Mataram. Sumber: CSIRO, 2010 Lokasi Survei di Area Intertidal Pantai Maluk dan Tiram (Saccrostrea sp.) yang Menempel di Batuan Vulkanik
34 35 36 36 37 38 39 39 40 41 42 42 43 44 44 45 46 49 50 51 52 53 54 55 56
57 58
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
iv
Daftar Gambar
4.31 4.32 4.33 4.34 4.35 4.36 4.37 4.38 4.39 4.40 4.41 4.42 4.43 4.44 4.45 4.46 4.47 4.48 4.49 4.50 4.51 4.52 4.53 4.54 4.55 4.56 4.57 4.58
v
Pengambilan Contoh Jaringan untuk Analisis Kandungan Logam Berat Perbandingan Konsentrasi Tembaga dalam Jaringan Kerang Penyaring Makanan dari Beberapa Lokasi Survei atau Pasar yang Dianalisis di Laboratorium CSIRO dan ALS Beberapa Jenis Kerang Penyaring Makanan yang Umum Dijumpai di Lokasi Survei Pengambilan Contoh Makrobentos dan Meiobentos Menggunakan Box Corer Beberapa Jenis Makrobentos yang Umum Teramati dalam Contoh Sedimen di Pesisir Selatan Jumlah Taxa, Kelimpahan, dan Keragaman Makrobentos di Sepanjang Pesisir Selatan Jumlah Taxa, Kelimpahan, dan Keragaman Meiobentos di Sepanjang Pesisir Selatan Pengambilan Contoh Plankton Menggunakan Plankton Net Pengawetan Contoh Plankton Jenis Fitoplankton yang Umum Teramati di Sepanjang Pesisir Selatan Jenis Zooplankton yang Umum Teramati di Sepanjang Pesisir Selatan Jumlah Taxa, Kelimpahan dan Keragaman Fitoplankton di Sepanjang Pesisir Selatan Jumlah Taxa, Kelimpahan dan Keragaman Zooplankton di Sepanjang Pesisir Selatan Pemasangan Pita Transek dan Pengamatan Ekosistem Terumbu Karang dengan Metode Line Intercept Transect Kondisi Umum Terumbu Karang Subtidal di Sepanjang Pesisir Selatan Ciri-ciri Tutupan Karang dengan Profil Rendah namun Luas di Sepanjang Pesisir Selatan Komponen alga yang Umum Teramati di Terumbu Karang di Sepanjang Pesisir Selatan Jenis Ikan Karang yang Umum Teramati saat Perhitungan dengan Sensus Visual Prsentase Komposisi Bentuk Pertumbuhan Karang di Sepanjang Pesisir Selatan Jumlah Taxa, Kelimpahan, dan Keragaman Ikan Karang Berdasarkan Sensus Visual di Sepanjang Pesisir Selatan Survei Intertidal menggunakan Transek 1 m Persegi Komposisi Tutupan Koral, Flora, dan Fauna yang Umum Teramati di Daerah Intertidal di Sepanjang Pesisir Selatan Komposisi Rerata Biota Intertidal di Sepanjang Pesisir Selatan pada Pasang Tinggi, Menengah dan Rendah Pemutihan Karang (Coral Bleaching) Terdeteksi di Tanjung Mangkun pada Bulan Oktober 2002 Tanda-tanda Pemulihan Terdeteksi di Tanjung Mangkun pada Bulan April 2004 Aktifitas Pengumpulan Karang oleh Masyarakat Lokal (Madak) di Tanjung Mangkun Profil Kelompok Nelayan Responden di Beberapa Wilayah Survei, Desa Tanjung Luar (atas) dan Labuan Lalar (bawah) Profil Rerata CPUE Berdasarkan Pembagian Wilayah Survei Periode Pemantauan 2006 - 2010
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
58 59 59 60 61 62 63 64 65 65 65 66 67 68 68 69 69 69 70 71 72 73 74 75 75 75 76 77
Daftar Gambar
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10
5.11 5.12 5.13 5.14 5.15
Sebaran Sedimen Tailing pada Area Survei Laut Dalam Berdasarkan Semua Kriteria pada September 2000 Sebaran Ketebalan Sedimen Tailing pada Area Survei Laut Dalam Berdasarkan Aspek Geologi pada September 2009 Batas Luar Tapak Tailing dan Batas Tapak Tailing Utama Hasil Survei September 2009 Profil 3 Dimensi Hasil Simulasi Sebaran Arus Densitas dan Area Akumulasi Endapan Tailing (Skenario Operasi Tambang hingga May 2011) Perbandingan Tapak Tailing - Rescan (ANDAL) 1996, LIPI 2009 dan Operasi Tambang hingga 2009 (OSI Model) Perbandingan Distribusi TSS rata-rata pada Musim Timur Hasil Simulasi (Skenario 160 KT/hari) dengan Distribusi Transmisivitas P2O LIPI (2009) Skema Ruang Mikrokosmos dan Mesokosmos Rekolonisasi Tailing di Dasar Laut Benete Rerata Total Kelimpahan dan Jumlah Taxa Meiofauna pada Ruang Mesokosmos dan Mikrokosmos Kegiatan Studi Rekolonisasi Tailing di Teluk Benete dan Beberapa Jenis Meiofauna yang Umum Teramati Kandungan Tembaga Terlarut dalam Air Laut: (a) Perbandingan antara Data Sebelum dan Sesudah Operasi Tambang Dimulai dengan Studi Uji Tuntas CSIRO (2004 dan 2009) di Zona A, B, C dan Selat Alas; (b) Distribusinya di Berbagai Lokasi Pengambilan Contoh dan Fraksi Cair Tailing (pada Studi Uji Tuntas CSIRO 2009) Perbandingan Kandungan Tembaga dalam Jaringan Otot Ikan: (i) Data Sebelum dan Sesudah Operasi Tambang Dimulai vs Studi Uji Tuntas CSIRO (2004 dan 2009); (ii) CSIRO 2009 vs Baku Mutu; dan (iii) CSIRO 2009 vs ALS Laboratorium CSIRO yang Digunakan dalam Studi Uji Tuntas Pasta Semen Hasil Pemanfaatan Tailing Pengujian Spesimen Pasta Semen Selama 7 Hari dan Pola Kehancurannya Sosialisasi Dampak Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam PTNNT pada Pemerintah dan Masyarakat Sekitar Tambang
80 81 82 83 84 85 86 87 87
88 89 90 90 91 92
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
vi
Daftar Tabel
Daftar Tabel 1 2 3 4 5a 5b 5c
vii
Jenis Reagen yang Digunakan pada Proses Pengolahan PT NNT Spesifikasi Pipa Tailing Darat dan Laut yang Digunakan PT NNT Sistem Perawatan Pipa Tailing Darat dan Laut Program Pengelolaan dan Pemantauan Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam PTNNT Lokasi Pengambilan Contoh Air Laut, Sedimen, Plankton, Bentos dan Profil Kolom Air di Sepanjang Pesisir Laut Selatan Lokasi Transek Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang di Sepanjang Pesisir Laut Selatan Lokasi Transek Pemantauan EkosistemIntertidal dan Filter Feeder
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
14 24 25 30 31 31 31
Kata Pengantar
Kata Pengantar Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut (DSTP) PTNNT selama lebih dari 10 tahun telah dibuktikan melalui pemantauan sistem dan lingkungan yang komprehensif dan menerus. Hasil kajian lingkungan di sekitar daerah penempatan tailing yang didasarkan atas perbandingan data terkini dengan rona dasar sebelum operasi dan rona lingkungan sekitar di daerah yang tidak terkena dampak (daerah kontrol) menunjukkan bahwa tidak ada dampak yang teridentifikasi yang tidak sesuai dengan prediksi ANDAL PTNNT. Namun demikian perbaikan berkelanjutan di dalam sistem manajemen, teknologi pengoperasian dan teknik pemantauan DSTP terus dilakukan sebagai bagian dari komitmen PTNNT untuk memastikan operasi yang aman, ketaatan terhadap hukum dan perlindungan lingkungan. Buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kinerja sistem DSTP PTNNT dengan menampilkan secara ringkas hasil pemantau sistem dan lingkungan, serta studi-studi pendukung dan validasi yang telah dilakukan oleh PTNNT bekerja sama dengan tenaga ahli nasional maupun internasional sejak awal operasi hingga tahun 2010. Keberadaan buku ini diharapkan pula menambah referensi bagi PTNNT, Pemerintah dan Masyarakat untuk bersamasama meningkatkan usaha-usaha perbaikan kinerja sistem DSTP dan proses penyusunan kebijakannya di Indonesia. Perhargaan yang tinggi disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan. Semoga buku ini bermanfaat.
Batu Hijau, Mei 2011 Penyusun
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
viii
ix
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 1 Pendahuluan
Pendahuluan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
1
Bab 1 Pendahuluan
Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Proyek PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) mengoperasikan proyek tambang Batu Hijau di bagian Barat Daya Pulau Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia (Gambar 1.1). PTNNT merupakan perusahaan patungan yang sahamnya pada tahun 2010 dimiliki oleh Nusa Tenggara Partnership (Newmont & Sumitomo), PT Pukuafu Indah (Indonesia) dan PT Multi Daerah Bersaing. PTNNT menandatangani Kontrak Karya pada tanggal 2 Desember 1986 dengan Pemerintah RI untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di dalam wilayah Kontrak Karya.
Kontrak tersebut mengukuhkan posisi PTNNT sebagai kontraktor bagi Pemerintah Indonesia. Kontrak Karya ini memberi izin kepada PTNNT untuk melakukan eksplorasi dan ekploitasi mineral yang bernilai ekonomis di dalam area kontrak karya sekaligus memberi tanggung jawab khusus kepada penanda tangan, yang mewajibkan kedua belah pihak untuk melaksanakan berbagai komitmen bersama, menjabarkan manfaat serta kontribusi bagi masyarakat dan penduduk Indonesia. Pada tahun 1990, PTNNT menemukan cebakan tembaga porfiri dalam jumlah besar di daerah tersebut, yang kemudian diberi nama Batu Hijau. Setelah melalui pengkajian teknik dan lingkungan yang mendalam selama enam tahun, persetujuan pengembangan proyek diberikan oleh Pemerintah Indonesia. Proyek Batu Hijau memulai masa konstruksi pada tahun 1996. Masa konstruksi dan komisioning memakan
waktu lebih dari 3 tahun dengan biaya US$1,8 miliar. PTNNT mulai beroperasi penuh pada bulan Maret 2000.
1.2 Gambaran Umum Proyek Proyek Batu Hijau terletak tepatnya di Kecamatan Maluk, Jereweh dan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Pulau Sumbawa adalah bagian dari deretan pulau di sebelah selatan kepulauan Indonesia, di sebelah timur Pulau Lombok dan Samudera Hindia di sebelah selatannya. Di lepas pantai selatan Sumbawa, dasar laut menurun curam dan berakhir di Cekungan Lombok (>4.000 m di bawah permukaan laut), sekitar 70 km dari garis pantai (Gambar 1.2). Seperti pulau-pulau lain yang bertetangga, karakteristik Sumbawa
Gambar 1.1 Peta Lokasi Proyek Tambang Batu Hijau dan Batas Wilayah Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara.
2
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 1 Pendahuluan
Gambar 1.2 Peta Topografi Perairan Selatan Pulau Sumbawa dan Sekitarnya.
ditandai oleh medan perbukitan, daerah aktivitas gempa, dan iklim tropis (rata-rata curah hujan tahunan 2.500 mm). Lahan pertanian dan pedesaan berada di lembah-lembah dekat pesisir. Kegiatan tambang berada di pedalaman pulau sekitar 450 m di atas permukaan laut, 15 km dari pelabuhan khusus PTNNT di Teluk Benete, dan sekitar 10 km dari Pesisir Selatan Sumbawa. Seluruh kegiatan penambangan dan pengolahan mineral serta seluruh prasarana tambang Proyek Batu Hijau bertempat di satu daerah seluas 400 km persegi. PTNNT menggali bijih tembaga dan emas dari pit di tambang terbuka tunggal. Penambangan batuan, baik bijih maupun batuan kadar rendah di proyek Batu Hijau mencapai lebih dari 600.000 ton per hari. Bijih yang ditambang rata-rata mengandung 0,53% tembaga dan 0,4 gram per ton (g/t) emas. PTNNT mengolah rata-rata 120.000 ton bijih tembaga-emas per hari hingga menjadi konsentrat. Bijih lalu dikapalkan ke sejumlah tempat peleburan bijih di berbagai penjuru dunia, termasuk pabrik peleburan di
Indonesia, yang memurnikan konsentrat tersebut untuk mendapatkan kembali logam berharganya dalam bentuk yang paling murni. Produk limbah utama hasil operasi penambangan dan pengolahan bijih adalah batuan limbah dan tailing. Batuan limbah merupakan batuan sisa yang tidak ekonomis namun harus dikeluarkan dari lubang tambang sebagai upaya mendapatkan bijih. Tailing adalah produk sampingan operasi pengolahan mineral, yang berbentuk bubuk halus batuan (sebagian besar berupa pasir) sisa penghancuran dan penggilingan setelah kandungan mineral berharganya diambil. Seluruh kegiatan perencanaan, kelayakan, konstruksi dan operasional tambang telah diatur dalam Kontrak Karya PTNNT dan sebagai bagian dari persyaratan tersebut, perencanaan lingkungan dan studi kelayakan dilaksanakan pada awal tahun 1990an. Berbagai pilihan pengelolaan tailing dipertimbangkan dalam studi kelayakan tersebut, termasuk diantara-
nya penempatan tailing di darat dan di dasar laut-dalam. Studi tersebut selesai pada tahun 1996, termasuk Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) (PTNNT, 1996) yang mengedepankan opsi terpilih untuk mengelola tailing serta pertimbangan potensi dampak lingkungan dan sosial, sebelum, selama, dan sesudah pembangunan tambang. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) diserahkan bersama-sama dengan ANDAL. Setelah mengkaji dan mempertimbangkan ketiga dokumen tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan izin untuk melaksanakan pembangunan tambang pada tahun 1996 dengan penggunaan sistem penempatan tailing dasar laut dalam (Deep Sea Tailings Placement, DSTP). Masa pembangunan (konstruksi) rampung tahun 1999. Komisioning sistem DSTP berlangsung pada September 1999 dan pengapalan perdana konsentrat dari pelabuhan khusus Benete dilaksanakan pada Desember 1999.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
3
Bab 1 Pendahuluan
1.3 Kebijakan dan Komitmen Pengelolaan Lingkungan Visi Korporasi Tambang PT NNT adalah menjadi perusahaan tambang yang dihargai dan dihormati melalui pencapaian kinerja terdepan dalam industri tambang. Guna mencapai visi tersebut, salah satu nilai utama PT NNT adalah mewujudkan kepemimpinan di bidang keselamatan kerja, perlindungan lingkungan, dan tanggung jawab sosial. Newmont berkeyakinan bahwa pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab dan kinerja lingkungan terdepan merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk menjadi perusahaan yang efektif dan sukses. Untuk mencapai tujuan kebijakan lingkungan, setiap operasi dan fasilitas tambang PTNNT, berkomitmen antara lain untuk mematuhi ketentuan hukum/ perundangan yang berlaku sebagai standard minimum; menerapkan standar manajemen terpadu (IMS) dan standar spesifik untuk meminimalkan risiko lingkungan; serta memadukan pertimbangan lingkungan dalam semua aspek keputusan bisnis dan kegiatan. Sejak tahun 2009, PTNNT menerapkan dan mendapatkan sertifikat ISO14001:2004 dalam bidang pengelolaan lingkungan.
tailing dimulai dari hulu dengan adanya manajemen bijih dan air tambang, di dalam pabrik pengolahan berupa kontrol terhadap proses pengambilan mineral berharga, rekayasa, pemeriksaan dan perawatan berkala infrastruktur sistem penempatan tailing mulai dari deaeration box, pipa darat, dan pipa dasar laut, serta program pemantauan kualitas tailing dan lingkungan yang komprehensif untuk menentukan dampak penempatan tailing di laut terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Berbagai studi tentang tailing PTNNT juga telah dilakukan sebagai dasar upaya perbaikan berkelanjutan dalam mengelola tailing. Deskripsi kegiatan penambangan di Batu Hijau dan upaya pengelolaan lingkungan di daerah tambang diuraikan secara ringkas di dalam Bab 2. Uraian
Meskipun persetujuan Pemerintah Indonesia terhadap ANDAL PTNNT telah menjadi landasan hukum untuk mengoperasikan sistem DSTP, namun peraturan pemerintah PP19/1999 mengenai ‘Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut’, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia pada 1999, mewajibkan PTNNT untuk memiliki izin tambahan penempatan tailing. PTNNT telah menyerahkan aplikasinya pada Agustus 2000 dan kemudian disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada Mei 2002. Sejak itu, izin penempatan tailing PTNNT telah diperpanjang dua kali yaitu tahun 2005 dan 2007. Pengelolaan tailing di PTNNT didasari oleh ANDAL yaitu Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Pemantauan Lingkungan (RPL), ketentuan izin, standar spesifik pengelolaan tailing dalam sistem manajemen terpadu, serta standar pengelolaan lingkungan lain yang diterapkan di PTNNT. Pengelolaan
4
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
proses pengolahan mineral dan pengelolaan infrastruktur sistem penempatan tailing disajikan di dalam Bab 3. Bab 4 berisi analisis hasil pemantauan lingkungan yang berkaitan dengan penempatan tailing di dasar laut. Hasil pemantauan dikaji dengan membandingkan data kondisi latar belakang, data terkini, dan analisis dampak DSTP. Data pemantauan terkini difokuskan terhadap periode data pemantauan tahun 2007-2010. Kajian hasil pemantauan periode sebelumnya telah dilakukan dalam Laporan Pemantauan Lingkungan Sistem Penempatan Tailing PTNNT (PTNNT, 2007). Ringkasan beberapa hasil studi penting tentang tailing disajikan dalam Bab 5 buku ini. Secara umum, buku ini merangkum upaya-upaya pengelolaan dan menyajikan data pemantauan sebagai bukti ukuran kinerja sistem DSTP PTNNT.
Gambar 1.3 Dokumen ANDAL PTNNT
Bab 2 Tambang Batu Hijau
Tambang Batu Hijau
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
5
Bab 2 Tambang Batu Hijau
Tambang Batu Hijau 2.1 Cadangan dan Sumber Daya Stratigrafi daerah Batu Hijau terdiri atas batuan Andesitic Volcanic Klastik yang diterobos oleh beberapa fase batuan intrusive yaitu Porphyritic Andesite, Diorite Kwarsa dan seri intrusive Tonalite stock dan dike dimana proses terjadinya cebakan mineralisasi tembaga dan emas berasosiasi dengan batuan intrusive Tonalite. Batuan tersebut mengalami tingkatan perubahan sesuai dengan intesitas perubahan-perubahan mineral awal menjadi mineral-mineral ubahan. Struktur umum di Batu Hijau berkembang berarah Timur-Barat yang berorientasi dengan penyebaran intrusive Diorite kwarsa, Barat-Barat daya dan Timur Laut. Selama tahun 2000-2008 telah dilakukan pemboran rapat di lokasi
penambangan, hal ini digunakan untuk pengakuratan dan pemutakhiran data sebelumnya baik itu data geologi maupun data geoteknik dan sangat berguna untuk pembaharuan model geologi maupun model geoteknik yang ada. Data pemboran geologi memperkaya informasi kandungan mineral di daerah lubang pit Batu Hijau. Elemen ikutan lainnya dari mineral yang terukur dengan metode Fire Assay dan Multi Element Package selain Tembaga (Cu), Emas (Au) dan Perak (Ag) adalah Alumunium (Al), Besi (Fe), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Natrium (Na) serta beberapa unsur minor lainnya.
2.2 Kegiatan Penambangan Batu Hijau mengoperasikan sistem penambangan terbuka (open cut) konvensional. Pekerjaan dimulai dengan pembersihan lahan dan penyelamatan tanah pucuk di lokasi yang akan ditambang atau bakal tempat penimbunan batuan tambang yang dipindahkan. Kegiatan operasi
Gambar 2.1 Infrastruktur Tambang Batu Hijau
6
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
penambangan dimulai dengan pengeboran dan pengambilan contoh batuan untuk analisa di laboratorium, dilanjutkan dengan peledakan. Pemberian batas di lapangan dilakukan untuk membedakan bijih dan batuan sisa sebelum dilakukan pengangkutan. Batuan galian diangkut ke beberapa lokasi yang telah disiapkan sesuai klasifikasinya. Bijih yang ditambang akan dikirim ke crusher (alat peremuk batuan) atau ke tempat penimbunan (stockpile) bijih sementara di Sejorong dan Timur. Infrastruktur tambang Batu Hijau dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pembukaan lahan diperlukan baik untuk tapak timbunan batuan sisa maupun lubang tambang. Luas pembukaan lahan untuk lubang tambang adalah 406 Ha, sedangkan luas pembukaan lahan untuk penempatan batuan sisa seluas 947 ha (PTNNT, 2010). Tanah pucuk (topsoil) dan tanah bawah (subsoil) yang dihasilkan dari penggalian pit Batu Hijau, pembukaan lahan untuk timbunan batuan sisa dan timbunan sementara bijih, akan langsung digunakan untuk reklamasi, setelah suatu areal siap untuk direklamasi. Sisa tanah pucuk dan tanah bawah yang
Bab 2 Tambang Batu Hijau
tidak digunakan akan disimpan sementara di tempat timbunan Tongoloka dan Timur, sebelum digunakan untuk reklamasi daerahdaerah yang terganggu oleh kegiatan penambangan. Berbeda dengan batuan penutup, tanah pucuk dan tanah bawah tidak diperlakukan sebagai material buangan karena memiliki fungsi khusus dalam program reklamasi yaitu sebagai media tumbuh vegetasi. Batang-batang kayu yang tidak ekonomis yang dihasilkan pada waktu membuka hutan, dipotongpotong, diperkecil ukurannya dan kemudian disebar di atas timbunan tanah Tongoloka dan Timur untuk meningkatkan kandungan organik tanah. Kegiatan peledakan adalah salah satu bagian penting dari suatu proses penambangan. Sebelum dilakukan peledakan maka dilakukan pengeboran ‘blok-blok’ bijih dan batuan sisa. Peledakan batuan tambang dilaksanakan secara teratur mengikuti desain rekayasa dan jadwal yang ketat guna mengurangi potensi gangguan meskipun lokasi lubang tambang lebih kurang 10 km dari desa terdekat (Tongo-Sejorong). Kebisingan, getaran, dan debu sebagai akibat ledakan bersifat sesaat dan terjadi hanya di area lubang tambang.
Kegiatan operasi penambangan di Batu Hijau menggunakan truk dengan kapasitas 218 ton dan alat muat (shovel) yang berkapasitas muat 35-46 BCM. Konfigurasi peralatan ini dipilih setelah dilakukan evaluasi terhadap efisiensi produksi dan biaya operasi penambangan. Gambar 2.2 menunjukkan beberapa kegiatan penambangan di Proyek Batu Hijau. Pemetaan geologi dan pengambilan data dari inti bor menunjukkan bahwa daerah penambangan terbagi atas beberapa domain geotek yang mempunyai karakter-karakter tersendiri yang dicerminkan ke dalam desain lereng yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat keamanan yang harus dimiliki. Penambangan batuan, baik bijih maupun batuan sisa, di Batu Hijau dapat mencapai jumlah 600.000 ton per hari. Tiga truk batuan hanya akan menghasilkan rata-rata 1 truk bijih. Bijih diangkut ke instalasi pengolahan mineral, dan batuan sisa diangkut ke area pembuangan. Tempat penumpukan batuan sisa, tempat penumpukan bijih sementara dan penumpukan tanah sementara direncanakan dengan mempertimbangkan faktor kestabilan dan keamanannya, pembangunan pengontrol aliran permukaan dan kemiringan yang terbaik serta batasan yang diberikan oleh perizinan yang didapatkan.
Di Batu Hijau diperkirakan terdapat 1,63 milyar ton batuan sisa yang harus dipindahkan untuk mendapatkan penambangan bijih yang maksimal. Batuan sisa tersebut sebagian besar ditempatkan di tempat penimbunan Tongoloka, di selatan Batu Hijau (Gambar 2.1 dan 2.3). Tempat penimbunan batuan sisa dilengkapi dengan sistem aliran air (saluran terbuka, perpipaan, dan struktur bangunan air lainnya sebagai sarana penunjang yang menyatu dalam dalam sistem pengelolaan air tambang. Sistem pengelolaan air di daerah tambang mencakup pengelolaan air asam tambang yaitu air yang terpengaruh oleh kegiatan tambang dan air bersih dari daerah hutan di hulu wilayah tambang yang dijaga agar tidak memasuki daerah penambangan. Daerah penambangan Batu Hijau berada di dua daerah aliran sungai (DAS) yaitu DAS Sejorong dan DAS Tongoloka. Pengelolaan air tambang Batu Hijau bertujuan: ¡ Meminimalkan area yang berpotensi menghasilkan run-off (air permukaan) yang bersifat asam. ¡ Memaksimalkan pemisahan air permukaan dari hutan di hulu daerah lubang tambang dan air dari daerah penimbunan batuan.
Gambar 2.2 Beberapa Kegiatan Penambangan Batu Hiijau
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
7
Bab 2 Tambang Batu Hijau
¡ Mengumpulkan air yang berpotensi terkena dampak kegiatan penambangan. ¡ Memanfaatkan air yang terkumpul untuk keperluan pabrik (re-use), atau dilepas ke badan sungai apabila dalam kondisi tidak normal dengan mengikuti ketentuan perundangan yang berlaku. ¡ Mengumpulkan air rembesan dari daerah timbunan bijih batuan sementara untuk diproses di instalasi pengolahan air. Air permukaan yang berasal dari daerah hulu (hutan) yang menuju ke daerah penambangan sedapat mungkin ditangkap dan dialirkan ke sungai di hilir daerah tambang melalui saluran atau pipa. Air dari daerah hulu diupayakan untuk tidak terpengaruh kegiatan tambang dan sekaligus mengurangi air asam tambang.
Gambar 2.3 Timbunan Batuan Penutup Tongoloka dan Kolam Pengelolaan Air Tambang
Air yang dari kegiatan tambang pada umumnya mengandung padatan tersuspensi dan karena kontak dengan batuan yang teroksidasi menjadikan air bersifat asam yang terkonsentrasi logam berat (Djalilah dan Sumarah, 2008). PT NNT telah membangun suatu sistem untuk mengelola air asam serta erosi dan sedimentasi sebagai dampak kegiatan tambang Batu Hijau (Gambar 2.4 dan 2.5). Bangunan-bangunan air dibangun di daerah tambang pada tahap konstruksi (1997 – 1998) dimulai dari pembuatan kolam-kolam penampung sedimen (sediment control structure) yang saling berhubungan, sistem drainase (saluran terbuka dan perpipaan), pompanisasi, dan sistem pengolahan air. Pada akhirnya air akan dipompa dan dialirkan ke pabrik untuk dapat dimanfaatkan kembali (Re-use) dan dinetralisasikan. Dengan demikian sistem pengelolaan air tambang Batu Hijau merupakan sistem terbatas yang dapat memanfaatkan air tambang untuk keperlukan pabrik. Sistem air tambang berujung pada Santong 3 untuk selanjutnya dipompa ke pabrik sebagai bagian dari air proses. Proses reklamasi di Batu Hijau dilakukan segera setelah lahan bekas tambang siap atau daerah timbunan batuan sisa selesai ditimbun. Kegiatan reklamasi dimulai dari penyiapan dan pelapisan tanah bawah, tanah pucuk, persiapan lahan hingga penanaman pohon, perawatan sampai dengan pemantauannya. Penyiapan lahan dilakukan dengan re-counturing lahan
8
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Gambar 2.4 Skema Sistem Pengelolaan Air Tambang
Gambar 2.5 Fasilitas Sistem Pengelolaan Air Tambang Santong
Bab 2 Tambang Batu Hijau
bekas tambang atau re-sloping dan recontouring permukaan timbunan. Resloping dan re-contouring muka timbunan dikonstruksi dengan sudut muka lereng 2H:1V dan kemiringan timbunan keseluruhan minimum (kemiringan Inter Ramp) 2,5H:1V untuk
mencapai kestabilan geoteknik dari timbunan dalam kondisi statik dan seismik. Ketika pengkonturan suatu daerah sudah usai, diikuti dengan penempatan tanah dan dilanjutkan dengan revegetasi. Proses revegetasi membantu untuk menstabilkan
permukaan timbunan batuan penutup dan mengurangi erosi. Sedangkan tujuan akhirnya adalah untuk menumbuhkan kembali hutan alami melalui proses suksesi yang terencana.
Gambar 2.6 Beberapa Tahapan Kegiatan Reklamasi
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
9
Bab 2 Tambang Batu Hijau
10
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
11
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing 3.1 Pendahuluan PT Newmont Nusa Tenggara mengolah rata-rata 120.000 ton bijih tembagaemas per hari. Bijih yang ditambang rata-rata mengandung 0,53% tembaga dan 0,4 gram per ton (g/t) emas. Bijih diolah di konsentrator menghasilkan konsentrat tembaga emas (biasanya dikatakan sebagai konsentrat tembaga) serta tailing. Produksi konsentrat tembaga rata-rata 1.750 ton per hari. Kadar tembaga di dalam konsentrat rata-rata adalah 34% atau perolehannya (recovery) rata-rata 92% bila dibandingkan terhadap tembaga yang terkandung di dalam bijih asalnya. Bijih diremukkan di dalam 2 buah gyratory crusher primer dan kemudian ditimbun di stockpile antara (surge
pile). Dari surge pile, bijih diumpankan oleh apron feeder ke ban berjalan, overland belt conveyor, sepanjang 5.6 km menuju ke tempat penimbunan di area mill yang disebut coarse ore stockpile. Lalu bijih dari coarse ore stockpile ini akan diumpankan oleh belt feeder ke ban berjalan yang menuju ke dua jalur paralel sirkuit penggilingan di sirkuit konsentrator. Di sirkuit konsentrator ini bijih diolah sebagai slurry (lumpur) dengan menggunakan air laut sebagai air proses. Pabrik konsentrator juga memanfaatkan air tambang yang dipompa dari kolam Santong 3 untuk mencukupi ~25% kebutuhan air proses. Masing-masing sirkuit penggilingan meliputi 1 mesin penggiling semi autogenous atau SAG mill dengan sirkuit penghancuran pebble (bijih keras) yang kemudian diikuti oleh sirkuit penggilingan sekunder yang terdiri dari 2 mesin Ball mill yang dipasang paralel dan dioperasikan sebagai sirkuit tertutup dengan siklon. Produk dari sirkuit penggilingan diolah di dalam sirkuit flotasi rougher dan scavenger menghasilkan konsentrat yang kandungannya sebagian besar adalah mineral-mineral tembagaemas. Sirkuit rougher-scavenger terdiri dari 5 lajur sel-sel flotasi rougherscavenger yang tersusun paralel.
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pengolahan Bijih
12
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Konsentrat yang dihasilkan dari sel flotasi rougher kemudian digiling lebih lanjut di polishing mill yang beroperasi sebagai sirkuit terbuka dengan siklon dan produknya dikirim ke dua buah column flotation cell (polishing column) untuk dipisahkan menjadi konsentrat dan tailing polishing column. Sedangkan konsentrat yang dihasilkan dari sel flotasi scavenger digiling di mesin penggiling regrind mill yang dioperasikan sebagai sirkuit tertutup dengan siklon. Produk dari sirkuit regrind mill digabung dengan ampas (tailing) polishing column kemudian dikirim ke dua buah column flotation cell (regrind column) dan dipisahkan lagi menjadi konsentrat dan tailing regrind column. Ampas dari regrind column dialirkan ke sirkuit cleaner flotation yang terdiri dari tiga tahap flotasi pembersihan (cleaner) dan satu tahap cleaner scavenger. Konsentrat yang dihasilkan oleh polishing column, regrind column, dan cleaner tahap ketiga kemudian digabung menjadi produk akhir pabrik konsentrator berupa konsentrat yang berkadar tinggi. Ampas atau tailing dari sirkuit cleaner-scavenger dikembalikan ke sirkuit rougher-scavenger. Ampas slurry atau tailing dari flotasi rougherscavenger mengalir melalui saluran pemipaan menuju penempatan di dasar laut dalam.
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Konsentrat akhir selanjutnya dicuci dan dikentalkan di dalam sirkuit CCD (counter current decantation) yang terdiri dari tiga buah thickener yang mengalirkan konsentrat secara berlawanan arah (counter current) dengan arah aliran air tawar pencuci. Pencucian konsentrat dilakukan untuk menurunkan kandungan klorida dalam slurry konsentrat sedangkan pengentalan dilakukan untuk memperkecil volume slurry konsentrat. Konsentrat yang telah dicuci dan dikentalkan kemudian dipompakan melalui saluran pemipaan ke filtration plant yang berlokasi di dekat pelabuhan. Di filtration plant, slurry konsentrat dikeringkan dengan menggunakan filter press hingga kandungan air dalam konsentrat menjadi sekitar 9%. Produk akhir filtration plant, berupa konsentrat kering kemudian ditimbun di gudang sampai beratnya cukup untuk dikapalkan ke pabrik peleburan tembaga dalam negeri maupun internasional. Gambar 3.1 menunjukkan diagram alir pengolahan bijih hingga siap dikapalkan.
Gambar 3.2 Gyratory Chruser
3.2 Proses Pengecilan Ukuran 3.2.1 Peremukan (Crushing) Bijih yang dihasilkan dari tambang atau Run-of-Mine (ROM) ore berukuran diameter nominal 1.2 meter dikirim dari tambang ke crusher menggunakan truk pengangkut. Ada 2 buah mesin penghancur, gyratory crusher, yang dioperasikan secara paralel (Gambar 3.2). Crusher memperkecil ukuran bijih hingga kira-kira 80% lolos ukuran 175 mm. Fasilitas penghancuran dirancang untuk mengolah bijih dengan kapasitas produksi rata-rata 120.000 ton bijih kering per hari pada ketersediaan 80%. Truk-truk pengangkut mengirimkan bijih ke dua buah kantung curah (dump pocket) yang masing-masing berkapasitas 500 ton. Kantung-kantung curah ini dirancang sedemikian rupa sehingga truk-truk bisa mencurahkan bijih ke salah satu dari dua sisi terbuka. 2 mesin hidrolik penghancur batuan atau hydraulic rock breaker dipasang di dinding dalam dump pocket. Alat ini digunakan untuk memecahkan batuan yang berukuran terlalu besar untuk memasuki lubang pemasukan ke
Gambar 3.3 Svedala SAG Mills
Gambar 3.4 Svedala Ball Mills
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
13
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
crusher. Sistim pengikat debu dengan cara atomisasi bertekanan tinggi terpasang untuk meminimalkan debu di kantung curah. Jenis crusher yang digunakan adalah gyratory crusher berdimensi 1.520 mm x 2.260 mm. Produk hasil peremukan (bijih masih kasar) turun langsung ke kantung tampung (surge pocket) berkapasitas 250 ton di bawah masingmasing crusher. Bijih kasar dari masing-masing kantong tampung turun ke crusher discharge conveyor yang mengirim bijih ke surge pile berkapasitas 5,500 ton. Alat pengumpan apron feeder dengan kecepatan yang bisa diubah-ubah menarik bijih dari surge pile dan mengumpankannya ke overland conveyor. Overland conveyor mengirim bijih kasar sejauh 5.6 kilometer ke tripper conveyor yang kemudian mencurahkannya ke tempat penimbunan sementara yang dinamakan coarse ore stockpile berkapasitas total 360.000 ton dan kapasitas dinamis (live capacity) kirakira 70.000 ton atau kira-kira 14 jam kapasitas penimbunan antara tambang dan pabrik pengolahan atau konsentrator. Debu-debu terbang yang dihasilkan di kantung tampung crusher dan apron feeder dikendalikan oleh sistim pengikatan debu berjenis fogging atau pengkabutan.
3.2.2 Penggerusan (Grinding) Terdapat dua buah terowongan di bawah coarse ore stockpile. Bijih ditarik dari coarse ore stockpile oleh 6 buah belt feeder yang kecepatannya bisa diubah-ubah, 3 belt feeder untuk masing-masing SAG mill feed conveyor, dan diumpankan ke dua lajur penggilingan paralel. Belt feeder dan
SAG mill feed conveyor terletak di dalam terowongan di bawah coarse ore stockpile. Rasio kecepatan relatif ketiga feeder bisa diatur untuk memastikan bahwa stockpile turun secara merata. Sistim pengikat debu berjenis fogging meminimalkan debu di titik-titik jatuhan belt feeder. Masing-masing lajur sirkuit penggilingan dirancang untuk mengolah rata-rata 60.000 ton bijih per hari, memperkecil ukuran bijih untuk membebaskan mineral-mineral berharga dari pengotornya (gangue) atau waste. Bijih dari belt feeder diumpankan ke SAG mill feed conveyor. Air ditambahkan ke dalam saluran pemasukan umpan ke SAG mill dengan laju alir yang disesuaikan dengan laju pemasukan bijih fresh dan yang disirkulasi (pebble) agar dicapai densitas slurry di dalam mill sesuai dengan yang diinginkan. Diameter SAG mill adalah 10.97 m dan panjangnya 5.26 m (Gambar 3.3). Masing-masing SAG mill digerakkan oleh motor penggerak wrap around yang kecepatannya bisa diubah-ubah dengan daya 13.432 kW. Fungsi dari mill ini adalah memperkecil ukuran bijih dari 175 mm menjadi sekitar 2 hingga 10 mm. SAG mill dioperasikan di dalam sirkuit tertutup bersama-sama dengan trommel screen dan pebble crusher. Bola-bola penggiling ditambahkan sesuai kebutuhan ke dalam SAG mill untuk membantu proses penggilingan trommel screen memisahkan material keras dan kasar yang dinamakan pebble dari produk hasil penggilingan SAG mill dan mengumpankannya ke sistim ban berjalan untuk resirkulasi pebble (recycle conveying system). Recycle conveyor kemudian mengirimkan pebble tersebut ke surge bin. Laju umpan pebble ke cone crusher diatur
oleh kecepatan crusher feed conveyor yang menarik pebble dari bin dan mengumpankannya ke crusher. Pebble yang telah diremukkan oleh cone crusher kemudian dikirim kembali ke SAG mill bersama-sama dengan umpan baru yang berasal dari stockpile atau dikirim ke vibrating screen. Produk pebble crusher yang tidak lolos vibrating screen disirkulasi kembali ke sirkuit pebble crusher sedangkan material yang lolos vibrating screen bergabung dengan aliran slurry underflow dari SAG mill tromel. Aliran slurry underflow dari masingmasing SAG mill trommel akan turun masuk ke dalam sump umpan siklon primer atau primary cyclone feed sump dimana slurry tersebut bergabung dengan produk slurry yang keluar dari kedua Ball mill. Slurry dari sump umpan siklon mengalir ke 2 buah pompa umpan siklon yang selanjutnya dipompakan ke masing-masing 2 kumpulan (cluster) siklon. Siklon memisahkan materi padatan dalam slurry berdasarkan ukurannya menjadi fraksi ukuran kasar dan halus Masingmasing pompa umpan siklon memompakan slurry ke satu kumpulan atau kelompok siklon yang berjumlah 9. Fraksi ukuran kasar atau underflow dari masing-masing kelompok siklon akan dikirim ke masing-masing ball mill untuk penggilingan lanjutan atau sekunder. Fraksi halus atau overflow akan meninggalkan sirkuit penggilingan dan mengalir ke tahapan flotasi. Pada aliran overflow siklon ini terpasang alat monitor ukuran partikel untuk memantau kekasaran atau kehalusan partikel hasil penggilingan. Ada 2 Ball mill di masing-masing lajur penggilingan. Diameter Ball mill adalah 6.1 m dan panjangnya 10.1 m (Gambar 3.4). Ball mill digerakkan oleh motor yang kecepatannya tetap berdaya 7090 kW melalui suatu ‘clutch
Tabel 1. Jenis Reagen yang Digunakan pada Proses Pengolahan PT NNT
Jenis Reagen Kapur Primary Collector (MBT mecaptobenzothianozole + DTP dithiophosphate)
3 – 4 gram
Secondary collector (amylxanthate)
5 – 10 gram
Frother (campuran dari ikatan alcohol dan glycol methyl ether)
14
Volume (dosis) per 1 ton bijih 1,5 – 2,5 kg
15 – 20 gram
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Pemakaian Untuk mengontrol pH sampai 8,5 Sebagai pengumpul mineral tembaga pada proses pengapungan Sebagai pengumpul mineral tembaga pada proses Pengapungan Menstabilkan gelembung udara dalam sel pengapungan
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
and pinion-girth gear arrangement’. Slurry digiling ketika berada di dalam mill dan produknya dialirkan ke dalam sump umpan siklon, dan kembali dipompakan ke siklon untuk pemisahan berdasarkan ukuran partikelnya. Bola-bola penggiling dimasukkan ke dalam Ball mill melalui sistim ban berjalan.
emas menjadi bersifat hydrophobic (menolak air) sehingga mudah melekat pada gelembung udara dan mengapung, sedangkan material pengotornya yang bersifat hydrophilic (mengikat air) tetap tinggal dalam slurry dan terbuang sebagi ampas (tailing). Jenis reagen yang digunakan dalam pengolahan mineral di Batu Hijau dan fungsinya masing-masing dapat dilihat dalam Tabel 1.
3.3 Proses Pemisahan Mineral
Slurry dari masing-masing 2 lajur sirkuit penggilingan mengalir ke tangki distributor umpan flotasi. Umpan flotasi selanjutnya didistribusikan ke 5 lajur (bank) flotasi rougher dan scavenger yang tersusun paralel (Gambar 3.6). Masing-masing lajur rougher-scavenger terdiri dari 10 tangki sel flotasi berkapasitas 127 m3 yang tersusun seri menjadi 5 stage (total
3.3.1 Pengapungan (Flotation) Overflow dari kumpulan siklon telah digiling hingga cukup halus untuk membebaskan partikel-partikel bijih yang mengandung tembaga dari partikel-partikel pengotornya (lihat prinsip pengecilan ukuran pada Gambar 3.5). Di sirkuit pengapungan (atau biasa disebut flotasi), mineralmineral tembaga dan emas dipisahkan dari bijihnya menjadi konsentrat. Mineral-mineral tembaga sulfida di dalam bijih PT NNT didominasi oleh bornite [Cu5FeS4], chalcopyrite [CuFeS2] dan degnite. Bahan kimia atau reagen ditambahkan ke dalam slurry di sirkuit flotasi untuk memisahkan mineral-mineral tembaga sulfida dari mineral lainnya dengan proses pengapungan (flotation). Reagen-reagen khusus ditambahkan ke dalam slurry umpan sirkuit flotasi, agar mineral-mineral tembaga sulfida dan
ada 50 sel flotasi). Dua tangki pertama (stage 1) dari tiap lajur berfungsi sebagi sel rougher dan 8 tangki berikutnya (stage 2-5) merupakan sel sel scavenger. Tiap stage sel flotasi terdiri dari dua tangki tersusun seri yang dihubungkan ke stage berikutnya oleh sebuah junction atau connection box. Di dalam sel flotasi tersedia sistim pengadukan yang memasukkan udara ke dalam pulp dan mencampurnya sehingga mineral-mineral tembaga di dalam slurry akan menempel pada gelembung-gelembung udara, mengapung di permukaan tanki, dan selanjutnya meluber sebagai konsentrat. Slurry yang meninggalkan sel terakhir di bank flotasi rougherscavenger memiliki kandungan mineral berharga yang sudah rendah sekali. Slurry ini dinamakan sebagai tailing atau tails.
Gambar 3.6 Rougher Scavenger
Gambar 3.5 Skema Prinsip Pengecilan Ukuran
Gambar 3.7 Polishing Column dan Regrind Column
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
15
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Gambar 3.8 Skema Fasilitas Pengapungan dalam Proses Pemisahan Mineral
Konsentrat dari masing-masing sel flotasi rougher mengalir menuju sirkuit polishing yang terdiri dari polishing mill dan siklon yang tersusun sebagai sirkuit terbuka. Produk sirkuit polishing yang merupakan gabungan dari produk polishing mill dan overflow siklon kemudian dipompakan ke polishing column yang memisahkan konsentrat rougher menjadi konsentrat dan tailing polishing column. Konsentrat yang dihasilkan sel-sel scavenger digabung menjadi satu dan dialirkan menuju sirkuit regrind yang merupakan sirkuit tertutup yang terdiri dari regrind vertimill dan regrind siklon. Konsentrat scavenger dipompakan menuju distributor umpan siklon yang mendistibusikan slurry ke beberapa siklon. Fraksi partikel berukuran halus dan sebagian besar air mengalir menuju overflow siklon sump dan fraksi partikel kasar mengalir menuju underflow siklon sump. Underflow siklon disistribusikan diantara dua sump umpan ke regrind vertimill sedangkan overflow siklon digabung dengan tailing polishing column dan dipompakan menuju regrind column yang memisahkannya menjadi konsentrat dan tailing regrind column. Polishing column dan regrind column ditunjukkan pada Gambar 3.7. Tailing regrind column dipompakan menuju sirkuit flotasi cleaner yang terdiri dari tiga tahap pembersihan
16
(cleaning) untuk meningkatkan kadar konsentrat secara bertahap. Sirkuit cleaner memiliki bank-bank cleaner pertama, kedua, ketiga dan bank cleaner scavenger. Bank cleaner pertama dan bank cleaner scaveneger masing-masing memiliki 4 buah sel berkapasitas 42.5 m 3 yang disusun secara seri dan terbagi dalam dua stage (2 - 2). Bank cleaner kedua memiliki 10 sel berkapasitas masing-masing 14. 5 m 3 yang disusun secara seri dan terbagi dalam empat stage dengan konfigurasi 2 - 2 - 3 - 3. Bank cleaner ketiga memiliki 5 sel yang masingmasing berkapasitas 14.2 m 3 yang disusun seri dan terbagi dalam dua stage dengan konfigurasi 2 - 3. Konsentrat yang dihasilkan oleh sel-sel cleaner pertama dipompakan ke bank cleaner kedua. Konsentrat yang dihasilkan bank cleaner kedua dipompakan ke bank cleaner ketiga, dan konsentrat bank cleaner ketiga digabung dengan konsentrat polishing column dan konsentrat regrind column menjadi konsentrat akhir dan dipompakan ke sirkuit CCD. Tailing dari cleaner ketiga mengalir ke cleaner kedua. Tailing dari cleaner kedua digabung dengan konsentrat cleaner scavenger dan dialirkan ke cleaner pertama. Tailing dari cleaner pertama mengalir ke cleaner scavenger, sedangkan tailing dari cleaner scavenger dikembalikan ke sirkuit rougher-scavenger Skema fasilitas
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
pengapungan dapat dilihat pada Gambar 3.8. Sebagai implementasi hasil kajian “Sejorong Stockpile Oxidation� (PTNNT, November 2004) mengenai usaha memaksimalkan perolehan tembaga, metode flotasi yang disebut dengan Controlled Potential Sulfidization (CPS) mulai diterapkan di konsentrator Batu Hijau sejak 2005. Mekanisme CPS adalah menambahkan NaHS ke dalam slurry umpan sirkuit flotasi untuk memodifikasi potensial sulphidisasi slurry guna meningkatkan kinerja proses flotasi dalam mengolah bijih sulfida yang teroksidasi. Berdasarkan data produksi, upaya ini berhasil meningkatkan perolehan tembaga dari bijih segar (fresh ore) yang belum teroksidasi sebesar 1% dan untuk bijih yang teroksidasi sebesar 2%. Penerapan metoda CPS ini juga memberikan dampak positif kepada lingkungan karena dapat mengurangi jumlah tembaga yang terbuang bersama tailing. Potensi bahaya penggunaan NaHS terhadap kesehatan karena risiko pembentukan gas H2S hampir tidak ada karena penambahan NaHS dilakukan pada pH di atas 7. Hasil uji toksisitas tailing secara ringkas dipaparkan pada Box 1 dan uraian yang lebih rinci mengenai hasil kajian metoda CPS ini dapat dilihat pada Box 2.
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Box 1. Uji Toksisitas Tailing PT NNT Uji biota terhadap tailing PTNNT juga dilakukan untuk meneliti adanya kemungkinan sifat racun terhadap biota laut. Pengujian dilakukan P2O-LIPI (Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dengan menerapkan metode baku yang telah diakui secara internasional. Uji toksisitas akut dilakukan selama 96 jam (LC50) pada anakan ikan kakap merah dan kerapu macan. Uji toksisitas kronis (IC50) juga dilakukan pada plankton (marine diatom). Semua pengujian dilakukan pada tailing dengan tingkat konsentrasi yang berbeda-beda. Hasil pengujian secara tegas menunjukkan bahwa tailing PTNNT tidak beracun secara akut atau kronis, meskipun pada konsentrasi tailing sebesar 100%. Tailing PTNNT tidak berbahaya dan tidak menunjukkan kadar toksisitas yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil laporan pemantauan kualitas air laut yang dilakukan PTNNT dan pihak ketiga yang secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat kandungan logam terlarut di dalam air laut di dekat mulut pipa tailing, di luar zona percampuran tailing, tetap memenuhi baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia.
Gambar 3.9 IC50 - 96jam Tailing pada Marine Diatom
Gambar 3.10 LC50 - 96jam Tailing pada Anakan Ikan Kerapu
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
17
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Box 2. Studi Pengembangan Flotasi CPS Strategi operasi penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) untuk mengoptimasi umur tambang secara ekonomis menerapkan operasi penambangan pada tingkat produksi yang lebih tinggi daripada tingkat produksi penggilingan. Karenanya bijih berkadar tertinggi diproses lebih dahulu dan pada saat yang sama sebagian dari bijih yang berkadar rendah ditimbun untuk diproses kemudian hari. Umumnya bijih tembaga yang baru ditambang atau fresh ore, memiliki dua spesies tembaga yang diklasifikasikan di PTNNT sebagai acid-soluble Cu (ASCu) dan tembaga total (Cu total). ASCu adalah spesies tembaga yang mudah terlindi karena sebagian kandungan sulfidanya telah teroksidasi menjadi oksida. Sedangkan Cu-total adalah gabungan antara ASCu dan Cusulfida. Pengklasifikasian ini spesifik dilakukan oleh PTNNT untuk membantu memonitor kinerja perolehan tembaga melalui sistem flotasi yang diadopsi oleh PTNNT.
dengan Es), yang sudah umum digunakan untuk mengolah bijih sulfida yang teroksidasi. Serangkaian pengujian skala laboratorium dan lapangan telah dilakukan mulai dari tahun 2004 – 2008 untuk pengembangan flotasi metoda CPS (Controlled Potential Sulphidization) dan pengolahan air asam tambang. Rangkaian pengujian dan penerapannya telah memberikan hasil yang dapat disimpulkan sebagai berikut: · Kajian skala laboratorium menunjukan bahwa penerapan metode CPS berhasil meningkatkan perolehan tembaga dalam proses flotasi untuk kategori bijih fresh ore maupun stockpiled-ore.
Oksidasi pada stockpiled-ore meningkatkan kadar ASCu dalam bijih, sehingga umumnya rasio antara ASCu terhadap Cu-total akan semakin meningkat dengan semakin intensifnya proses oksidasi yang terjadi dipermukaan partikel bijih. Proses oksidasi ini mengakibatkan turunnya perolehan tembaga pada saat bijih tersebut diolah. Proses oksidasi dalam timbunan juga menghasilkan air asam tambang yang dapat melarutkan sebagian kandungan tembaga dari timbunan. PTNNT telah secara terus menerus melakukan upaya untuk memperkecil dampak oksidasi bijih timbunan terhadap perolehan tembaga dalam proses flotasi sulfida serta berusaha untuk memperoleh kembali tembaga yang terlepas ke dalam sistem pengelolaan air asam tambang. Mekanisme CPS adalah menambahkan NaHS, memodifikasi potensi sulphidisasi (diukur
18
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
· Hasil dari studi flotasi dengan metode CPS telah diterapkan secara permanen dalam skala pabrik. Secara statistik metode CPS menunjukkan peningkatan 2% - 3% perolehan tembaga semenjak penerapannya dalam skala pabrik di tahun 2005. · Hasil menyeluruh uji toksisitas menunjukkan bahwa tailings fresh-ore CPS dan stockpiledore CPS, berikut komponenkomponen yang berasosiasi dengan tailing tersebut tidak menunjukkan efek akut dan kronik yang signifikan terhadap organisme yang diuji. · Dari hasil diatas menunjukkan bahwa kualitas fraksi cair tailing memenuhi batasan
Gambar 3.11 NaHS Plant
Gambar 3.12 Santong Water Treatment Plant
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Gambar 3.13 Profil Perbandingan Perolehan Tembaga antara Flotasi CPS dan Non-CPS Skala Pabrik
Gambar 3.14 Profil Cu terlarut dalam Air Asam Tambang PT NNT (air Santong 3)
parameter yang ditetapkan dalam izin yang berlaku. Analisis TCLP menunjukkan bahwa fraksi padatan tailing berada dibawah baku mutu TCLP kecuali tembaga yang tercantum dalam PP 85/1999 (tentang perubahan atas PP18/ 1999 mengenai Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun/ limbah B3). 路 Kajian skala laboratorium untuk pengolahan air asam tambang menunjukkan bahwa penambahan NaHS efektif memperoleh kembali tembaga terlarut dan menghasilkan produk presipitasi CuS.
路 Hasil kajian pengolahan tembaga terlarut telah diterapkan dalam skala pabrik pada tahun 2006 dengan difungsikannya pabrik pengolahan air asam tambang di area Santong (SWTP, Santong Water Treatment Plant). Produk dari proses ini digabung dengan produk konsentrat dari proses flotasi. Semenjak penerapannya di awal 2006, SWTP telah mengalami dua tahap peningkatan kapasitas, yaitu dari kapasitas pemrosesan umpan 225m3/jam menjadi 500 m3/jam (2009) dan akhirnya 700 m3/jam di tahun 2010.
Dengan peningkatan kapasitas pabrik diharapkan 60-70% tembaga terlarut berhasil menjadi produk siap jual. 路 Hasil pemantauan konsentrasi tembaga yang ada di kolam Santong-3, menunjukkan perbaikan yang nyata dari tahun ke tahun dengan diberlakukannya proses pengolahan air asam tambang di SWTP. 路 Hasil kajian skala laboratorium terhadap mekanisme pelepasan (pelarutan) logam (tembaga) dari material tailing ke dalam air laut mengindikasikan bahwa kandungan logam terlarut dalam air asam tambang yang digunakan dalam proses flotasi merupakan kontributor yang signifikan dalam pelepasan logam tembaga dari residu sisa proses. Dengan demikian, penerapan metoda flotasi CPS secara permanen pada pabrik pengolahan bijih tembaga serta upaya PTNNT mengoperasikan SWTP dalam usaha memperoleh kembali tembaga terlarut dari sistem pengelolaan air asam tambang telah berhasil meningkatkan kinerja pabrik pengolahan serta mengurangi dampak proses pengolahan terhadap lingkungan. Pemantauan hasil implementasi CPS dan pengolahan air asam tambang akan terus dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja yang lebih baik lagi. Keberhasilan produksi dalam hal ini, sangat berkaitan erat dengan keberhasilan lingkungan, sebab peningkatan produksi yang diakibatkan oleh naiknya perolehan tembaga dengan proses flotasi, akan menurunkan kadar tembaga dalam tailing, sehingga akan memperbaiki kualitas tailing.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
19
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
3.3.2 Penanganan Konsentrat Proses penggilingan (grinding) dan flotasi bijih di Batu Hijau menggunakan air laut dan/atau air dari kolam Santong 3 sebagai air proses. Klorida yang terkandung dalam air laut masih bercampur dengan slurry konsentrat akhir yang keluar dari
sirkuit cleaner. Karena klorida berpotensi mengganggu proses peleburan (smeltering) konsentrat, maka kandungan klorida dalam slurry konsentrat harus disingkirkan sebelum proses pengeringan/filtrasi. Konsentrat dicuci dengan air bersih dalam sirkuit Counter Current Decantation (CCD) yang terdiri dari tiga buah thickener
yang disusun secara seri. Arah aliran konsentrat di dalam sirkuit CCD berlawanan arah (counter current) dengan aliran air pencuci. Sirkuit CCD juga berfungsi untuk mengentalkan slurry konsentrat akhir agar volume pemompaan slurry menuju fasilitas penyaringan (filtration plant) menjadi lebih rendah. Flocculant ditambahkan ke setiap thickener untuk membantu proses pengendapan dan pengentalan. Konsentrat yang sudah kental dan bersih disimpan dalam tangki dan dipompa menuju fasilitas penyaringan dan pengeringan di Benete, melalui jaringan pipa sepanjang 16 km. Slurry konsentrat yang dialirkan melalui jaringan pipa ini terdiri dari 60% -70% padatan konsentrat dan 30% - 40% air. Setelah melalui proses penyaringan dan pengeringan dalam alat filter press, kandungan air di dalam konsentrat kering menjadi sekitar 9%. Konsentrat kering diangkut dengan konveyor untuk ditimbun dan disimpan di tempat tertutup dan terlindung. Pada saat proses pengapalan, konsentrat dari tempat penyimpanan diangkut dengan frontend loader ke reclaim hooper. Belt feeder kemudian menarik konsentrat dari hopper, mengumpankannya ke reclaim conveyor berpenutup yang akan mengangkut konsentrat sampai ke palka kapal. Air dari sisa pengeringan kemudian di pompa kembali ke pabrik konsentrator untuk digunakan kembali sebagai air proses. Dengan demikian tidak ada limbah air yang dibuang dari fasilitas penyaringan dan pengeringan Gambar 3.15 menunjukkan alat-alat penanganan konsentrat yang ada di konsentrator dan di pelabuhan Benete.
3.4 Pengelolaan Tailing
Gambar 3.15 Alat-alat Penangan Konsentrat
20
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Tailing dari pabrik flotasi terkumpul di saluran tailing dan mengalir secara gravitasi ke tangki deaerasi tailing (deaeration box, Gambar 3.16). Tinggi permukaan lumpur tailing di dalam tanki deaerasi dipertahankan tetap pada kisaran 80% untuk memastikan aliran tailing yang stabil di dalam pipa dan mencegah masuknya gelembung udara ke dalam aliran tailing di dalam
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Gambar 3.16 Tangki Deaerasi Pemipaan Tailing
pipa. Dari tangki deaerasi, tailing mengalir secara gravitasi melalui saluran pipa darat dan pipa di dasar laut (Gambar 3.17) menuju titik pelepasan di hulu Ngarai Senunu pada kedalaman 125 meter di bawah permukaan laut. Tailing akan mengalir mengukuti dasar ngarai dan pada akhirnya mengendap di kedalaman 3000-4000 meter di bawah permukaan laut. Perencanaan proyek Batu Hijau mempertimbangkan dua pilihan utama
untuk pengelolaan tailing: · Penempatan padatan tailing di darat, di mana lumpur tailing akan diangkut dengan jaringan pipa dan ditempatkan dalam fasilitas penyimpanan tailing konvensional seperti lembah. Pilihan ini mengharuskan penggunaan area hutan tropis atau lahan pertanian yang produktif, pemindahan penggunaan lahan pertanian yang sudah ada dan relokasi beberapa pemukiman yang telah ada. Pengelolaan curah hujan tropis yang
ekstrem dan air laut di fasilitas penampungan tailing tersebut, ditambah dengan kondisi daerah yang rawan gempa bumi, akan menambah banyak jenis kesulitan dan risiko bila mengambil opsi ini. · DSTP, di mana lumpur tailing akan diangkut dengan jaringan pipa ke lepas pantai Selatan, melintasi karang tepi pantai sebelum dilepas ke dalam ngarai dasar laut pada kedalaman sekitar 125 m. Lumpur tailing yang lebih berat daripada air akan mengalir turun di dasar ngarai laut yang terjal (kemiringan 8° hinggga 15° atau perubahan kedalaman sebesar 1000 m dalam jarak 3-7 km) hingga kedalaman 2.000 m, dan kemudian menurun di dasar yang lebih landai (kemiringan sekitar 2° sampai 4°) hingga kedalaman 3.000 m atau lebih. Pada akhirnya, tailing akan mengendap di dasar laut di dalam Cekungan Lombok, di sebelah Barat Daya ujung pipa tailing. DSTP merupakan usulan pilihan pengelolaan tailing yang lebih diutamakan berdasarkan sejumlah alasan berikut: · Penempatan tailing di darat akan berdampak pada lebih dari 2.300 ha hutan dan lahan pertanian serta mengharuskan pemindahan empat
Gambar 3.17 Sistem Pemipaan Tailing Darat dan Dasar Laut PT NNT
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
21
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Gambar 3.18 Penempatan Tailing di Darat akan Berdampak pada 2.316 Ha Hutan Produktif dan Lahan Pertanian
pemukiman yang telah ada, yang akan berdampak pada 2.100 jiwa penduduk setempat dan mata pencaharian mereka (Gambar 3.18). · Curah hujan tahunan lebih dari 2.500 mm akan menyebabkan pengelolaan air dalam fasilitas penampungan di darat menjadi sangat sulit. · Penampungan tailing di darat, dalam jangka panjang, berisiko mengalami kegagalan karena curah hujan yang sangat tinggi dan gempa bumi. · DSTP hanya mempengaruhi lingkungan bawah laut yang produktivitasnya rendah dan tidak berdampak pada ekosistem pantai dan sumber daya terkait. · Pemulihan ekosistem bawah laut setelah penutupan tambang diperkirakan memakan waktu 2 tahun, sementara penempatan di darat akan memakan waktu 50 tahun. · Penempatan tailing di darat akan memerlukan biaya pengelolaan dan pengolahan air yang terus menerus untuk mencegah dampak terhadap lingkungan setelah penutupan tambang.
22
DSTP kemudian dimasukkan dalam opsi uraian proyek dalam studi kelayakan dan ANDAL menguraikan dampak lingkungan dan sosialnya. Studi-studi ini mencatat bahwa selain dari manfaat lingkungan dan sosial dari penempatan tailing di dasar laut, penempatan tailing di darat kurang menarik atau kurang layak secara ekonomi untuk proyek ini dan terdapat risiko-risiko lingkungan dan publik yang signifikan yang terkait dengannya. Tujuan-tujuan pengelolaan sistem DSTP merupakan upaya pencegahan dampak terhadap komponen-komponen ekosistem yang sangat produktif seperti terumbu karang, bakau, air permukaan dan perikanan, serta upaya pembatasan dampak agar terbatas pada area yang produktivitasnya biologinya rendah. Pemerintah Indonesia menyetujui penilaian ini dan AMDAL dengan opsi DSTP proyek Batu Hijau disetujui berdasarkan penilaian tersebut pada tahun 1996 (KEP41/MENLH/10/1996). Tambang PTNNT saat ini beroperasi dengan menggunakan sistem pengelolaan tailing DSTP dan saat ini mendapat izin untuk menempatkan lebih dari 58,4 juta metrik-ton-kering
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
per tahun. Mulut pipa DSTP yang mengeluarkan tailing berada pada kedalaman 125 m, di bibir Ngarai Senunu (lihat Gambar 3.19 dan 3.20). Studi-studi yang telah dilakukan membuktikan prediksi ANDAL, karena berat jenisnya sendiri maka sebagian besar lumpur (slurry) tailing yang dilepaskan ke Ngarai Senunu akan mengalir ke dasar ngarai dan kemudian terakumulasi pada kedalaman antara 3.000 - 4.000 m, sekitar 50 - 100 km jauhnya dari garis pantai. Selain itu, pemantauan menunjukkan bahwa tailing yang dilepas tidak akan naik ke permukaan air yang produktif secara biologi. Hal ini disebabkan faktor, berat jenisnya sendiri, curamnya lereng dasar laut, dan kondisi fisik oseanografi yang ada, sehingga penempatan tailing tidak akan mempengaruhi lingkungan perairan pesisir yang dangkal. Komisioning sistem DSTP dilakukan pada September 1999. Dan sejak itu, pemantauan kualitas air laut dan sedimen serta pembuatan profil laut telah dilaksanakan sedikitnya setiap tiga bulan dan pemantauan parameter biologi dilakukan dua kali per tahun. Survei oseanografi independent untuk
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Gambar 3.19 Peta Tiga Dimensi Dasar Laut di Ngarai Senunu, Pesisir Selatan Pulau Sumbawa
Gambar 3.20 Peta Tiga Dimensi Dasar Laut di Ngarai Senunu yang Menunjukkan Tapak Tailing
memvalidasi jejak tailing yang telah diperkirakan dan sebaran tailng plume telah dilakukan oleh LIPI sejak 2003, (LIPI, 2004a) dan kemudian pada 2009 (LIPI, 2010). Studi uji tuntas pengambilan contoh dan presisi analitis dalam menentukan konsentrasi logam dalam air, sedimen dan jaringan biota juga telah selesai dilaksanakan pada 2004 dan 2009 (CSIRO, 2005; 2010). Semua studi yang dilakukan oleh PTNNT, LIPI dan CSIRO konsisten dan menunjukkan bahwa padatan tailing terakumulasi di bawah mulut pembuangan baik di dalam maupun di dekat ngarai bawah laut yang menuju ke tepi Cekungan Lombok (pada kedalaman sekitar 4.000 m), sebagaimana diperkirakan dalam ANDAL. Sejak operasi dimulai pada 1999, tailing yang ditempatkan tersebut belum pernah ditemukan naik melewati kedalaman penempatan
menuju perairan pantai di dekatnya dan karang di Pesisir di Sumbawa Barat Daya. Secara lebih rinci, hasil pemantauan dan kajian DSTP diuraikan di dalam Bab 4 dan Bab 5.
3.5 Pemantauan Jaringan Pipa Tailing Perpipaan untuk sistem penempatan tailing di dasar laut, mulai dari tanki deaerasi hingga ke dasar laut terdiri dari 2 jenis, yaitu pipa tailing darat yang terbuat dari pipa baja yang bagian dalamnya dilapisi karet dan pipa tailing laut yang terbuat dari polimer HDPE (High Density Poly Etilene) seperti dapat dilihat pada Gambar 3.21. Panjang pipa tailing
darat sekitar 6 km dan pipa tailing laut sekitar 3,2 km. Spesifikasi dari kedua jenis pipa tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Di dekat ujung pipa darat terdapat serangkaian choke yang dipasang untuk mengatur volume dan kecepatan aliran lumpur tailing dalam pipa. Pipa laut terpasang pada dua jalur, pipa Barat dan pipa Timur, dan keduanya berujung di hulu Ngarai Senunu. Pipa tersebut dioperasikan secara bergantian, pada saat satu pipa beroperasi pipa kedua akan berfungsi sebagai pipa cadangan (Gambar 3.17). Seluruh jaringan pipa tailing diperiksa dan dirawat secara berkala untuk memastikan sistem berfungsi secara optimal. Program perawatan pipa baja dan pipa polimer meliputi program inspeksi rutin dan pengukuran ketebalan pipa, sistem deteksi dini dan pencegahan kebocoran, program
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
23
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Gambar 3.21 Konstruksi Pipa Baja dan Pipa Polimer (HDPE) serta Sambungan antara Keduanya
perawatan terhadap pipa baja dan pipa polimer, pencegahan proses penggerusan di dalam pipa dan program pencegahan korosi eksternal pipa baja. Tabel 3 menunjukkan secara ringkas sistem perawatan pipa tailing darat dan pipa tailing laut yang dilakukan. Selain perawatan rutin, penggantian pipa dilakukan secara bertahap untuk bagian pipa darat yang telah diidentifikasi mengalami keausan berlebih atau kerusakan/sobek/ penggelembungan pada karet pelapis. Penggantian spool pipa tailing darat dan pemeriksaan keseluruhan bagian dalam pipa darat dan laut hanya dapat dilakukan bersamaan dengan saat pelaksanaan penghentian (shutdown) pabrik untuk perawatan utama pabrik (reline SAG mill) yang dilakukan 2 kali setahun. Sejak beroperasi hingga tahun 2010, telah dilakukan sebanyak 21 kali pemeriksaan dan penggantian beberapa bagian pipa darat. Pipa laut HDPE juga mengalami keausan, terutama di bagian bawah pipa pada
arah jam 5-7. Pengukuran mingguan menggunakan alat ultrasonik di titik transisi (sebelum pipa masuk ke laut) merekam ketebalan dan tingkat keausan pipa laut sehingga penggantian pipa dapat direncanakan dan dilakukan sebelum ketebalan minimum yang disyaratkan dicapai. Pemeriksaan dan pengukuran ketebalan pipa laut juga dilakukan untuk keseluruhan pipa menggunakan alat In-Line Inspection (ILI) pada saat penghentian pabrik. Inspeksi bulanan menggunakan kamera yang terpasang pada wahana kendali jarak jauh (ROV, Remote Operated Vehicle) memastikan tidak terjadinya kebocoran pipa laut selama beroperasi (Gambar 3.22 dan 3.23). Sejak beroperasi hingga tahun 2010, PTNNT telah mengoperasikan enam pipa laut (Gambar 3.24). Proses konstruksi dan penggantian pipa laut telah mengalami berbagai perbaikan sejalan dengan perkembangan teknologi (Box 3). Kajian teknis penempatan pipa outlet tailing lebih dalam telah dilakukan
untuk menilai kelayakan penempatan ujung pipa tailing pada kedalaman 150 dan 200 meter di bawah permukaan laut (LAPI ITB, 2011a). Kajian ini mencakup aspek lingkungan, kestabilan pipa tailing, dan hidraulika. Data lingkungan yang digunakan berdasarkan data 10 tahun pemantauan mencakup kondisi thermoklin, TSS dan densitas. Hasilnya adalah kondisi lingkungan untuk kedalaman yang dimaksud tidak jauh berbeda dengan kondisi lingkungan dengan kedalaman pipa saat ini (125 meter di bawah permukaan laut) dan data pemantauan juga telah menunjukkan tidak adanya tailing yang naik kepermukaan. Kajian hidraulika menunjukkan pendalaman ujung pipa dapat menaikkan persentasi fraksi padatan tailing namun tidaklah signifikan jika dibandingkan dengan kesulitan dalam instalasi maupun penggantian pipa serta perawatan yang diperlukan. Kestabilan pipa tailing dipengaruhi oleh kondisi dasar laut yang di sebagian
Tabel 2. Spesifikasi Pipa Tailing Darat dan Laut yang Digunakan PT NNT
24
Pipa Tailing
Jenis
Panjang (km)
Diameter (mm)
Ketebalan (mm)
Keterangan
Darat
Baja ASTM A139
6
1120
9,4
Laut
HDPE
3,2
1020
110
Dilapisi karet setebal 20 mm HDPE (High Density Polyethylene)
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Tabel 3. Sistem Perawatan Pipa Tailing Darat dan Laut
Metode
Aktivitas
Frekuensi
Titik Pengukuran
Pengukuran tekanan
Real time monitoring
Setiap saat
Sebelum dan sesudah choke
Inspeksi visual pipa darat bagian luar
Pengamatan
Setiap hari (per 2 jam)
Sepanjang pipa tailing darat
Inspeksi fisik pipa darat bagian dalam
Pengamatan
2 kali per tahun
Sepanjang pipa darat
Ketebalan pipa laut
Ultrasonik
Mingguan
Di antara area transisi dan area kontrol
Inspeksi visual ROV
Pengamatan dan perekaman
Setiap 3 bulan
Sepanjang pipa tailing laut
Ketebalan pipa laut: ILI
Ultrasonik
Untuk 2 tahun pertama satu tahun sekali dan selanjutnya setahun dua kali
Sepanjang pipa tailing laut
besar kedalaman setelah 108 meter mempunyai tingkat kecuraman yang lebih tinggi. Akibatnya terjadi pengausan ketebalan pipa lebih cepat serta potensi putusnya pipa karena tarikan pipa pada lereng yang lebih curam. Kondisi alami daerah laut Selatan Sumbawa sebenarnya telah membantu PTNNT dengan adanya Ngarai Senunu yang berfungsi sebagai selokan. Tailing yang keluar pipa kemudian turun melalui ngarai tersebut sampai dengan kedalaman 3000 – 4000 meter di bawah permukaan laut.
Gambar 3.22 Inspeksi Ketebalan Pipa Menggunakan ILI
Gambar 3.23 Inspeksi Bulanan Pipa Tailing Laut Menggunakan ROV
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
25
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Gambar 3.24 Diagram Sejarah Konstruksi Pipa Tailing Laut 1999 sampai dengan 2010
Box 3. Konstruksi Pipa Laut Konstruksi pipa laut untuk tailing ini pertama kali selesai tahun 1999 dengan menggunakan pipa HDPE berdiameter 46.5" dengan ketebalan pipa 85mm. Metode pemasangan pipa yang digunakan adalah S bend lay yang sudah sangat umum digunakan dalam dunia konstruksi pemasangan pipa bawah laut. Pemasangan pipa ini dilakukan sampai kedalaman ujung pipa pada posisi 125m dibawah permukaan laut. Pada tahun 2002, dibangun jalur pipa bawah laut yang baru yang berlokasi disebelah barat dari jalur pipa pertama yang kemudian dikenal dengan jalur pipa timur sebagai pipa cadangan dari pipa awal masih dengan metode yang sama. Pada tahun 2005 dilakukan studi kelayakan untuk metode pemasangan pipa bawah laut yang baru, dimana metode yang dilakukan sebelumnya dirasa belum optimal dan kurang tepat untuk pemasangan terutama pipa jenis HDPE. Dari hasil studi ini
26
pipa bawah laut dijalur pipa timur dengan menggunakan metode konstruksi yang baru. Dengan semakin tipisnya pipa yang dipasang pada tahun 2006 maka pada tahun 2007, pihak Manajemen PTNNT memutuskan untuk membangun kembali jalur pipa bawah laut baru sebagai pipa cadangan yang siap dioperasikan apabila pipa lama harus diganti dengan mempertimbangkan bahwa jalur pipa yang pertama kali dibangun sulit untuk dilakukan penggantiannya. Jalur baru yang dipilih berada disebelah barat dari jalur pipa timur yang kemudian disebut jalur pipa barat. diperkenalkan salah satu metode konstruksi baru yang dirasa cocok dengan kondisi di batu hijau yaitu modified bottom tow out method atau metode modifikasi penarikan pipa dasar laut. Pada tahun 2006 awal berdasarkan hasil pemeriksaan pipa yang sudah tipis, maka dilakukan penggantian
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Pembangunan jalur pipa barat dilakukan dengan menggunakan metode penarikan bawah laut yang terus disempurnakan. Pekerjaannya dimulai dengan pemasangan pipa pembungkus besi terlebih dahulu seperti jalur pipa sebelah timur yang menyeberangi wilayah pantai dari posisi 8m diatas permukaan laut hingga 10m dibawah permukaan
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
diganti dengan menggunakan World Class Remote Operating Vehicle (WROV). Dimana WROV ini mampu untuk mengerjakan semua pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh saturation diver.
laut. Terdapat perbedaan dalam metode konstruksi yang digunakan pada pembangunan pipa jalur barat ini dari sebelumnya, antara lain: 1. Panjang sambungan pipa per string menjadi 240 m, yang menghemat waktu penarikan pipa kedalam laut. 2. Kapal yang digunakan bukan lagi jenis Diver Support Vessel (DSV) melainkan Construction Support Vessel (CSV) dimana jenis kapal ini menggunakan ROV dalam pelaksanaan konstruksi bawah lautnya. 3. Tidak ada lagi penggunaan saturation diver pada masa ini dan operasi bawah laut sepenuhnya
Pada tahun 2008, pipa bawah laut pada jalur sebelah timur yang sudah aus karena tererosi oleh material tailing diganti dengan pipa baru dengan menggunakan metode konstruksi yang disempurnakan dari metode pembangunan pipa jalur barat. Sebagai gantinya pipa penyalur bawah laut kembali menggunakan pipa bawah laut jalur barat.
kebocoran ini akan disaksikan oleh pihak ketiga yang akan menjamin pelaksanaan tes ini dilakukan dengan benar dan dinyatakan siap untuk digunakan. Penyempurnaan serta pengembangan terus dilakukan terhadap metode konstruksi modifikasi penarikan pipa dasar laut yang terbukti sangat sesuai dengan kondisi proyek pemasangan dan atau penggantian pipa tailing bawah laut di Batu Hijau, serta merupakan metode konstruksi terbaik yang sangat jarang ditemui diseluruh dunia.
Pembangunannya dilakukan dengan penyambungan setiap batang pipa HDPE 15m menjadi satu string 240m. Proses penyambungan ini dilakukan menggunakan mesin penyambungan pipa HDPE dengan teknik butt fusion weld. Pada setiap proses penyambungan, beads yang terbentuk dari hasil pemanasan pipa HDPE ini dibuang baik pada bagian luar maupun bagian dalam pipa untuk mengurangi resiko turbulensi yang terjadi pada aliran tailing yang dapat menyebabkan laju keausan pipa semakin cepat dan juga bisa digunakan untuk dilakukan pengecekan manual terhadap kualitas hasil penyambungan. Setelah semua pekerjaan pemasangan selesai, maka akan dilanjutkan dengan pelaksanaan tes kebocoran untuk membuktikan bahwa pipa ini aman untuk digunakan. Selama proses tes
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
27
Bab 3 Proses Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
28
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Pemantauan Lingkungan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
29
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Pemantauan Lingkungan 4.1
Pendahuluan
Program pemantauan tailing dan lingkungan di sekitar area DSTP dilakukan sesuai dengan ketentuan AMDAL/RKL/RPL Proyek Batu Hijau (KEPMENLH No 41/1996). Kini PTNNT mempunyai basis data pemantauan pesisir selatan yang ekstensif dengan data rona awal sebelum tambang beroperasi yaitu selama lima tahun sebelum tailing ditempatkan, dan menjadi bukti kepatuhan PTNNT terhadap tujuan RPL, validitas prediksi ANDAL, dan juga penilaian kondisi lingkungan laut di daerah yang terpengaruh. Pengoperasian sistem DSTP di hulu Ngarai Senunu merupakan sumber utama yang berpotensi menimbulkan
dampak terhadap lingkungan perairan laut-dalam pesisir selatan. Hal ini akan menjadi topik pembahasan utama dalam bab ini. Kecuraman dinding ngarai memudahkan tailing mengalir sebagai arus densitas dasar laut sebagaimana studi AMDAL (PTNNT, 1996) yang memprediksikan tailing selanjutnya akan terakumulasi pada kedalaman di bawah 3.000 m. ANDAL juga memprediksikan setiap plume yang keluar dari aliran tailing utama dan menyebar ke kolom air akan tetap terperangkap di bawah lapisan campuran permukaan (biasanya sekitar 80 m) dan tidak akan naik ke habitat karang yang dangkal dekat pantai, yang merupakan zona fotik paling produktif. Prediksi ANDAL ini telah terbukti dari hasil pemantauan lingkungan laut PTNNT dan survei P2O-LIPI (LIPI, 2004a; 2010) dan survei uji tuntas CSIRO yang diuraikan dalam laporan saat ini dan sebelumnya. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan penempatan tailing di
dasar laut dalam yang dilakukan oleh PTNNT proyek Batu Hijau pada saat ini selain mengacu pada RPL juga mengacu pada amanat dan persyaratan yang terdapat dalam izin Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam (izin DSTP) berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 236 tahun 2007 (KEPMENLH No. 236/2007). PTNNT melakukan pemantauan volume tailing, karakteristik fisika dan kimia tailing baik itu fraksi padat maupun cair, serta air proses yang mungkin mempengaruhi kualitas tailing. Pemantauan lingkungan pesisir di area penempatan tailing dan daerah yang terpengaruh meliputi: pemantauan aspek-aspek fisika dan kimia mutu air laut, profil kolom air laut dan mutu sedimen, serta pemantauan berbagai komponen biologi seperti komunitas plankton dan bentos, ekosistem intertidal, komunitas ikan karang dan karang subtidal, serta potensi pencemar (logam) yang terakumulasi dalam
Tabel 4. Program Pengelolaan dan Pemantauan Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam PTNNT
Program Pengukuran tekanan dalam pipa tailing Inspeksi pipa darat
Inspeksi pipa laut Debit tailing Karakteristik fisik tailing
Karakteristik kimia tailing
Air proses Air Santong Karakteristik fisika laut
Karakteristik kimia air laut
Parameter Perbedaan tekanan (untuk deteksi dini jika ada kebocoran pipa tailing) Inspeksi bagian luar Inspeksi dan pemeliharaan bagian dalam Inspeksi bagian luar dengan ROV Pengukuran ketebalan pipa Inspeksi kondisi dan ketebalan pipa Penggantian pipa Debit rata-rata (m3/hari) pH, berat jenis, dan fraksi padatan Suhu, konduktivitas Logam terlarut (tailing cair): Cu, Mn, dan H2S Hg, As, Cr, Cd, Cr(VI), Cu, Zn, Pb, dan Ni Logam total (tailing padat): Hg, As, Cd, Cr, Cu, Zn, Pb, Ni, dan Mn TCLP (tailing Slurry) Suhu, pH, dan konduktivitas Logam Terlarut: Cu, Mn Suhu, pH, dan konduktivitas Logam Terlarut: Cu, Mn
Frekuensi Terus menerus 2 Jam 2-3 kali / Tahun 1-3 kali / 3 Bulan Mingguan 1-3 kali / Tahun Sekali / 2–3 Tahun Harian Harian Mingguan
Bulanan
30
Bulanan
Pabrik pengolahan
Bulanan
Santong 3
Arah dan kecepatan arus, dan suhu Logam Terlarut: Hg, As, Cd, Cr(VI), Cu, Zn, Pb, Ni, Mn, Cr TSS, kekeruhan
Terus menerus
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Tangki De-aerasi tailing
3 Bulanan
Bulanan
Produksi perikanan nelayan
Sepanjang pipa darat Sepanjang pipa laut Daerah transisi Sepanjang pipa laut Pipa laut Pabrik pengolahan
Bulanan
3 Bulanan Pada bulan Upwelling (Agustus)
Logam Total: Hg, As, Cd, Cr, Cu, Zn, Pb, Ni, Mn Karakteristik sedimen laut 3 Bulanan Ukuran butir Meiobentos, Makrobentos, Fitoplankton, 6 Bulanan Ekologi pesisir Zooplankton, Komunitas Karang, Ikan Karang, dan Komunitas Intertidal Ikan demersal dan Filter Logam Total dalam jaringan: Hg, As, Cd, Cr, Cu, Tahunan Feeder (kerang-kerangan) Zn, Pb, Ni, Mn Perikanan
Ruang kontrol di pabrik pengolahan
Mingguan
Profil salinitas, suhu, dan transmisivitas
TSS, kekeruhan, Logam Terlarut: Cu
Lokasi
Sepanjang Tahun
Ngarai Senunu dan Pesisir Selatan Sumbawa Pesisir Selatan Sumbawa Ngarai Senunu dan Pesisir Selatan Sumbawa Ngarai Senunu Ngarai Senunu dan Pesisir Selatan Sumbawa Pesisir Selatan Sumbawa Pesisir Selatan Sumbawa dan Selat Alas Kabupaten Sumbawa Barat dan sebagian Lombok Timur
Bab 4 Pemantauan Lingkungan Tabel 5a. Lokasi Pengambilan Contoh Air Laut, Sedimen, Plankton, Bentos dan Profil Kolom Air di Sepanjang Pesisir Laut Selatan No
Stasiun
Koordinat
Kedalaman (m)
Northing
Easting
Contoh yang diambil K, W1, S, B, P
1
S01
208
8997837
479627
2
S02
84
8998543
479886
K, W2, S, B, P
3
S03
210
8997290
478006
K, W1, S, B, P
4
S04
54
8999271
479852
S, B, P
5
S05
49
8999635
478020
S, B, P
6
S06
105
8998417
474309
P
7
S07
51
9000629
474396
S, B, P
8
S08
98
8998452
476375
K, W2, S, B, P
9
S09
22
9000378
478819
K, W3, S
10
S12
73
8998940
478655
K, W2, S
11
S13
83
8998560
478240
K, W2, S
12
S14
86
8998100
478160
S
13
S15
318
8997631
479019
K, W1
14
S16
447
8997153
479019
K, W1
15
S23
47
8999623
478634
K, W3, S
16
S28
223
8998103
478799
K, W1, S, B
17
SC1
206
8994937
484356
K, W1, S, B, P
18
SC2
66
9002974
471607
K, W2, S, B, P
19
CI1
335
8997083
476154
K, W4
20
CI2
329
8996490
477300
K, W4
21
CI3
549
8996703
479049
K, W4
22
CI4
269
8996303
479966
K, W4
23
CI5
127
8996759
480929
K, W4
24
CI6
1033
8994597
473659
K, W4
25
CI7
850
8994436
476209
K, W4
26
CI8
857
8994382
477836
K, W4
27
CI9
400
8995039
480196
K, W4
28
CI10
1033
8992987
473659
K, W4
29
CI11
1000
8992935
476643
K, W4
41
CI12
620
8992747
481315
K, W4
42
CO1
273
8998560
473726
K, W1
43
CO2
326
8997655
474472
K, W1
44
CO3
252
8995240
481650
Keterangan: W1 = Kualitas Air ( 3m, 50m, 120m, dekat dasar ) W2 = Kualitas Air ( 3m, 50m, dekat dasar ) W3 = Kualitas Air ( 3m, dekat dasar ) W4 = Kualitas Air ( 50m, 120m)
K, W1
S = Sedimen P = Plankton B = Bentos K = Profil Kolom Air
Tabel 5b. Lokasi Transek Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang di Sepanjang Pesisir Laut Selatan Lokasi
Kode Lokasi
Koordinat (WGS 84)
Mangkun
SC1
116o45.000E
Madasanger
SC2
116o46.500E
Senunu
SC3
116o49.000E
Sejorong - Senutuk
SC4
116o50.000E
Senutuk
SC5
116o51.000E
Keterangan: Posisi Lintang tidak ditetapkan namun berdasarkan kedalaman peyelaman (15 - 18 m). Tabel 5b. Lokasi Transek Pemantauan Ekosistem Intertidal dan Filter Feeder Koordinat
No
Stasiun
Lokasi
Northing
Easting
Pemantauan
1
Sejorong
Sejorong
9000146
481398
Intertidal, Filter Feeder
2
Madasanger
Brang Pedang
9003094
474669
Intertidal, Filter Feeder
3
Tongoloka
Puna
8999060
491292
Intertidal, Filter Feeder
4
Mangkun
Tanjung Mangkun
9005316
471494
Intertidal, Filter Feeder
5
Maluk
Maluk
9014442
471803
Intertidal, Filter Feeder
6
Lab. Lalar
Labuhan Lalar
9026382
479442
Filter Feeder
7
Tanjung Luar
Tanjung Luar
9026800
447567
Filter Feeder
populasi ikan laut dalam. Tidak ketinggalan dilakukan survei sosial untuk mengetahui produksi perikanan nelayan di beberapa area di wilayah sekitar tambang (Tabel 4). Program pemantauan limbah tailing dilaksanakan untuk memastikan bahwa seluruh parameter lumpur tailing yang akan ditempatkan telah memenuhi kriteria perizinan, serta untuk memastikan operasi Penempatan Tailing Dasar Laut Dalam berjalan optimal. Contoh kualitas tailing diambil di titik penaatan di dalam kotak deaerasi, sebelum tailing dialirkan melalui pipa ke dasar laut. Air proses dan air tambang yang digunakan di dalam proses juga dipantau secara berkala di lokasi pantau seperti pada Gambar 4.1. Fokus utama dari pemantauan lingkungan laut di sepanjang Pesisir Selatan adalah untuk membuktikan hipotesis kedua ANDAL bahwa penempatan tailing tidak mempengaruhi ekologi intertidal dan terumbu karang subtidal di wilayah pesisir dan perairan dangkal yang produktif. Konsekuensinya, pemantauan ekologi laut Pesisir Selatan dirancang sedemikian hingga sebagian besar pengamatan dan pengambilan contoh dilakukan di berbagai lokasi di mana tailing tidak diharapkan terdeteksi. Sedikit berbeda dengan periode pemantauan sebelumnya, sejak periode izin 2007 pemantauan dan pengambilan contoh kualitas air dikelompokkan ke dalam di tiga zona: Zona A di dalam Daerah Penempatan Tailing (DPT) dengan kedalaman >120 m; Zona B di atas DPT dengan kedalaman d�120 m; dan Zona C di luar DPT (Gambar 4.3). Sesuai dengan izin DSTP, Daerah Penempatan Tailing (Zona A) ditetapkan sebagai zona percampuran (mixing zone) di mana kekeruhan dapat terjadi. Di dalam DPT baku mutu air laut tidak diterapkan. Di atas dan di luar DPT (Zona B dan C), mutu air laut harus memenuhi baku mutu untuk biota laut menurut KEPMENLH No 51/2004. Penetapan DPT diikuti dengan adanya penambahan jumlah titik pemantauan kualitas air laut menjadi 28 titik pemantauan, yang terdiri dari 13 titik pemantauan RPL dan 15 titik pemantauan baru. Lokasi pengambilan contoh kualitas air laut, kualitas sedimen, dan pemantauan ekologi laut, dapat dilihat pada Gambar 4.3-4.6 dan Tabel 5a – 5c.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
31
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Sea Water Intake Structure
Santong 3
Pipa air laut menuju Tangki Air Proses Pipa air Santong 3 menuju Tangki Air Proses Pipa air proses ke grinding, flotasi, & drop box Pipa penempatan tailing slurry Lokasi pemantauan lingkungan Gambar 4.1 Lokasi Pengambilan Contoh Tailing, Air Proses dan Air Tambang (Santong 3)
Survei pemantauan ekologi laut dilaksanakan oleh dan/atau melibatkan para peneliti profesional dari konsultan pihak ketiga independen. Sejak periode pemantauan rona dasar, survei ekologi laut telah melibatkan peneliti dari berbagai lembaga seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), P2O LIPI, Dames & Moore, URS, Enesar Consulting, Coffey Environmental, DHI, dan CBES.
Gambar 4.2 Lokasi Stasiun Pemantauan Curah Hujan di Area tambang
32
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Hasil pemantauan tailing dan lingkungan laut dikaji secara terus menerus dan dilaporkan secara berkala dalam laporan izin penempatan tailing dan laporan pelaksanaan RKL/RPL PTNNT. Kajian independen mengenai dampak penempatan tailing terhadap ekosistem laut juga telah dilakukan dan terangkum dalam laporan tahunan pemantauan ekologi laut
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Gambar 4.3 Skema Pembagian Zona A, B, dan C di Daerah Penempatan Tailing di Sepanjang Pesisir Selatan
Gambar 4.4 Peta Lokasi Pengambilan Contoh Air Laut, Sedimen, dan Profil Kolom Air di sepanjang Pesisir Selatan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
33
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Gambar 4.5 Peta Lokasi Pengambilan Contoh Plankton, Sedimen, Transek Ekosistem intertidal dan Terumbu Karang di sepanjang Pesisir Selatan
Gambar 4.6 Peta Lokasi Pengambilan Contoh Ikan Laut Dalam dan Kerang-kerangan
34
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
(Dames and Moore, 2001; URS, 2002; URS, 2003; Enesar, 2004; Enesar, 2005a; Enesar, 2005b; Enesar, 2006; PKSPL IPB, 2006; PTNNT, 2007, Coffey, 2009; DHI, 2009; DHI, 2010; CBES, 2011). Beberapa laporan di atas mencakup uji statistik sebelum dan setelah operasi pada lokasi dampak dibandingkan dengan lokasi kontrol. Bagian berikut ini menguraikan secara ringkas metode dan pembahasan hasil dari setiap kegiatan pemantauan lingkungan yang berkaitan dengan penempatan tailing di dasar laut dalam. Data hasil pemantauan yang disajikan merupakan temuan terkini sejak 2007 sebagai kelanjutan dari laporan sebelumnya (PTNNT, 2007). Kajian dan interpretasi data hasil temuan tentunya didasarkan pada hasil dan kecenderung yang diamati sejak pemantauan pertama kali dilakukan sebelum operasi dimulai pada akhir 1999.
4.2 Pemantauan tailing effluent (lumpur tailing dan air proses) 4.2.1
Metode
Pemantauan debit dan karakteristik fisik tailing untuk parameter pH, berat jenis dan kepadatan tailing dilakukan setiap hari. Pemantauan karakteristik kimia tailing dilakukan setiap bulan dengan mengirimkan contoh untuk
dianalisis oleh PT ALS Indonesia. Sejak penerapan CPS awal tahun 2005 maka sesuai persyaratan izin DSTP (KEPMENLH No. 236/2007), setiap minggunya dilakukan pemantauan karakteristik kimia tailing cair untuk kandungan sulfida H2S selain kandungan logam terlarut Cu dan Mn. Contoh lumpur tailing diambil dari kotak deaerasi di Pabrik Pengolahan sebelum tailing masuk ke sistem perpipaan (Gambar 4.7). Contoh tailing diambil menggunakan pompa peristaltik dan dengan metode komposit pada tiga waktu pengambilan berjarak sekitar 4 jam (pagi, tengah hari, dan sore), yang kemudian diendapkan untuk memperoleh fraksi padatan dan cairan. Fraksi padatan disiapkan untuk analisis kandungan logam total (As, Cd, Cr, Cu, Pb, Mn, Hg, Ni, dan Zn). Fraksi cairan sebagian disaring dengan filter 0,45 Îźm lalu diawetkan (ditambahkan asam nitrat Supra-pure hingga mencapai pH < 2) untuk analisis kandungan logam terlarut (As, Cd, Cr, Cu, Pb, Mn, Hg, Ni, Zn); sebagian filtrat diberi pengawet NaOH untuk analisis Cr(VI) dan sebagian lagi tanpa disaring diawetkan dengan penambahan NaOH dan seng asetat (Zn(CH3COO)2) 10% untuk analisis sulfida (H2S). Pengambilan contoh air proses dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh lumpur tailing. Air proses merupakan campuran antara air laut dan air kolam Santong 3 (air tambang). Besaran pH, suhu dan
konduktivitas diukur di lapangan. Air disaring dan diawetkan untuk analisis kandungan logam terlarutnya (Cu dan Mn).
4.2.2
Kondisi latar belakang
Perizinan DSTP berdasarkan KEPMENLH No. 82/2005 mensyaratkan jumlah padatan tailing maksimum yang boleh ditempatkan oleh PTNNT periode perizinan 2005 2006 adalah sebesar 50,4 juta metrik ton kering pertahun (dmt/a). Jumlah padatan tailing yang ditempatkan sejak periode awal operasi tambang tahun 2000 hingga 2006 setiap tahunnya selalu berada dibawah jumlah yang diizinkan tersebut. Jumlah padatan tailing maksimum yang ditempatkan mencapai 49,2 juta dmt/annum pada tahun 2004, dengan rata-rata tiap tahunnya mencapai 44,5 juta dmt/ annum. Hasil pemantauan tailing dan air proses hingga 2006 menunjukkan kepatuhan perusahaan terhadap persyaratan RPL dan izin DSTP (KEPMENLH No. 82/2005). Semua parameter fisika dan kimia tailing dan air proses berada dalam rentang dan dibawah nilai ambang batas yang diizinkankan. Selama periode pemantauan berlangsung, nilai pH tailing berkisar antara 7 â&#x20AC;&#x201C; 9, masih berada dalam rentang yang diizinkan yaitu pH 6 â&#x20AC;&#x201C; 10. Fraksi padatan ratarata sekitar 25-35% dan angka ini berada dalam kisaran yang diizinkan, yaitu 20-45%. Semua konsentrasi
Gambar 4.7 Pengambilan Contoh Tailing di Kotak Deaerasi Tailing
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
35
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Data pemakaian harian air proses yang terdiri dari air laut dan air Santong 3 menunjukkan bahwa air laut merupakan bagian terbesar pada komposisi air proses. Pemakaian air tambang selama musim hujan memungkinkan untuk mempertahankan muka air kolam struktur kontrol sedimen pada level operasional yang aman dan tidak berdampak terhadap kualitas tailing.
4.2.3
Tailing Throughput 70,000,000
KEPMEN LH 24/2002 KEPMENLH 85/2005
50,000,000 40,000,000 30,000,000 20,000,000 10,000,000 0 1999
2000
2001
2003
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 4.8 Total Kuantitas Tailing per Tahun
DAILY TAILING pH KEPMENLH 24/2002
KEPMENLH 82/2005
KEPMENLH 236/2007
pH
9 7 5 3 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2008
2009
2010
DAILY TAILING CONDUCTIVITY 100,000
Âľmhos/cm
KEPMENLH 24/2002
KEPMENLH 82/2005
80,000 60,000 40,000 20,000 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
DAILY TAILING SOLID FRACTION 50
KEPMENLH 24/2002
KEPMENLH 82/2005
40
KEPMENLH 236/2007
%
30 20 10 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
DAILY TAILING DENSITY 1.6 KEPMENLH 236/2007 Density Min
1.4
kg/L
Gambar 4.9 dan 4.10 menunjukkan hasil-hasil pemantauan fisika dan kimia tailing di titik penaatan di kotak de-aerasi. Selama masa pemantauan hingga 2010, nilai pH berkisar antara 6,1 dan 9,9. Hasil pemantauan kimia tailing menunjukkan bahwa kandungan logam terlarut dan sulfida dalam fraksi cairan tailing pada lumpur tailing tetap berada dalam level yang ditargetkan sebagaimana tercantum dalam izin. Kandungan sulfida (H2S) terlarut tidak terdeteksi dalam seluruh contoh. Kandungan tembaga (Cu) terlarut pada umumnya rendah <0,05 mg/L, jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan 1 mg/L. Pada 15 dan 23 Desember 2010 Cu terlarut di dalam tailing di kotak deaerasi tercatat agak tinggi yaitu sebesar 0,1 dan 0,3 mg/L, namun masih memenuhi baku mutu izin. Cu terlarut kembali rendah pada 29 Desember 2010.
2004
Year
11
1.2 1.0 0.8 2000
Izin DSTP menetapkan batasan fraksi padatan sebesar 25% dan berat jenis slurry sebesar 1,202 gr/cm3 untuk
36
2002
Data terkini
Antara 2007 â&#x20AC;&#x201C; 2010, jumlah padatan tailing rata-rata pertahun yang ditempatkan PTNNT mencapai 39,9 juta dmt/a, dengan jumlah maksimum 42,5 juta dmt/a pada tahun 2010. Jumlah ini masih berada di bawah jumlah yang diperkenankan, yaitu 58,4 juta dmt/a (KEPMENLH No. 236/ 2007). Total throughput tailing dilaporkan dalam data rekonsiliasi bulanan setelah perhitungan keseimbangan massa pada setiap akhir bulannya. Gambar 4.8 menunjukkan total throughput tailing tahunan yang ditempatkan sejak 2000.
KEPMENLH 236/2007
60,000,000 dmt /year
logam terlarut dalam fraksi padat maupun cair tailing tetap berada di bawah level yang rendah dan jauh di bawah batas baku mutu yang diizinkan.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
2001
2002
2003
2004
Gambar 4.9
2005
2006
2007
Sifat-sifat Fisika Tailing
2008
2009
2010
Bab 4 Pemantauan Lingkungan DL 0.0005
0.8
0.008
0.6
KEPMENLH 24/2002
KEPMENLH 85/2005
0.4
DL 0.00005
Dissolved Mercury in Tailing 0.010
mg/l
mg/l
Dissolved Arsenic in Tailing 1.0
0.006 0.004
KEPMENLH 236/2007
KEPMENLH 236/2007
0.002
0.2 0.0
0.000
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
0.4
1.2
0.3
0.9
mg/l
1.5
0.2 0.1
KEPMENLH 85/2005 KEPMENLH 236/2007
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2006
2007
2008
2009
2010
DL 0.001
KEPMENLH 24/2002
0.6
KEPMENLH 236/2007
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
DL 0.005
Dissolved Zinc in Tailing Liquid 15.0
1.2 KEPMENLH 24/2002
12.0
KEPMENLH 85/2005
KEPMENLH 24/2002
mg/l
0.9 mg/l
2005
KEPMENLH 24/2002
DL 0.001
Dissolved Chromium in Tailing Liquid
0.6 0.3
9.0 KEPMENLH 85/2005
6.0
KEPMENLH 236/2007
3.0
KEPMENLH 236/2007
0.0
0.0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2000
2001
2002
DL 0.002
Dissolved Chromium VI in Tailing
1.0
0.25
0.8
mg/l
0.15 KEPMENLH 236/2007
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
DL 0.001
Dissolved Nickel in Tailing
0.30
0.20 mg/l
2004
0.0
1.5
2000
2003
0.3
0.0 2000
2002
Dissolved Lead in Tailing Liquid
0.5
KEPMENLH 24/2002
2001
DL 0.0001
Dissolved Cadmium in Tailing Liquid
mg/l
2000
0.6
KEPMENLH 236/2007
0.4
0.10 0.2
0.05
0.0
0.00 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2000
2010
2001
DL 0.02
Dissolved Sulphide in Tailing
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Dissolved Copper in Tailing
0.20
5.0
0.16
4.0
DL 0.001
KEPMENLH 236/2007
mg/l
mg/l
KEPMENLH 24/2002
0.12
3.0 KEPMENLH 85/2005
0.08
2.0
0.04
1.0
KEPMENLH 236/2007
0.0
0.00 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 4.10 Kandungan Beberapa Unsur Logam Berat dalam Tailing
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
37
38 45
40 40
35 35
30
25 30
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam Jun-10 Sep-10 Dec-10
Jun-10
Sep-10
Dec-10
Mar-09
Dec-08
Sep-08
Jun-08
Mar-10
0 Dec-09
5
0
Mar-10
10
5
Dec-09
15
10 Sep-09
20
15
Sep-09
25 Jun-09
Dissolved Manganese in Santong 3
Jun-09
20
Mar-09
45
Dec-08
50
Sep-08
Dissolved Manganese in Process Water
Jun-08
0 Mar-08
5
0 Dec-07
10
5
Mar-08
15
10
Dissolved Copper in Santong 3
Gambar 4.11 Profil Rerata Curah Hujan Di Area Tambang, Komposisi Air Proses dan Air Laut serta Kualitas Fisika dan Kimianya Periode Pemantauan 2005 - 2010 Dec-10
Sep-10
Dec-10
Sep-10
Jun-10
Mar-10 Jun-10
Dec-09 Mar-10
Jun-09
Mar-09
Dec-08
Sep-08
Jun-08
Mar-08
Dec-07
Sep-07
Jun-07
Mar-07
Dec-06
Dec-09
3000
Sep-09
Conductivity in Santong 3
Sep-09
Jun-09
Mar-09
Dec-08
Sep-08
Jun-08
Mar-08
Dec-07
Sep-07
Jun-07
Mar-07
Dec-06
Sep-06
Jun-06
Mar-06
Seawater
Dec-07
20
15
Sep-07
20
Sep-07
30
Jun-07
35
30
Jun-07
40
35
Mar-07
45
40
Dec-06
45 Sep-06
Conductivity in Process water
Mar-07
50
Dec-05
pH-F in Process Water
Dec-06
Dissolved Copper in Process Water
Sep-06
25 Oct-10
Jul-10
Apr-10
Jan-10
Oct-09
Jul-09
Apr-09
Jan-09
Oct-08
Jul-08
Apr-08
Jan-08
Oct-07
Jul-07
Apr-07
Jan-07
Oct-06
Jul-06
Apr-06
Jan-06
Oct-05
Jul-05
Apr-05
Jan-05
DMT
Monthly Average Rainfall In Mine Area
Sep-06
0 Jun-06
1000
0
Jun-06
2000
10000
Jun-06
20000
Mar-06
4000
Dec-05
30000
Mar-06
5000
40000
Dec-05
6000
50000
Mar-06
60000
Dec-05
7000 Sep-05
2
Sep-05
3
2
Sep-05
4
3
Sep-05
4
Jun-05
6
Jun-05
7
6
Jun-05
8
7
Jun-05
8
Apr-05
5
Jan-05
9
Apr-05
200
Jan-05
9
pH unit
Oct-10
Jul-10
Apr-10
Jan-10
Oct-09
Jul-09
Apr-09
Jan-09
Oct-08
Jul-08
Apr-08
Jan-08
Oct-07
Jul-07
Apr-07
Jan-07
Oct-06
Jul-06
Apr-06
Jan-06
Oct-05
Jul-05
Apr-05
Jan-05
Rainfall (mm)
300,000
Apr-05
70000
mS/cm
Dec-10
Sep-10
Jun-10
Mar-10
Dec-09
Sep-09
Jun-09
Mar-09
Dec-08
Sep-08
Jun-08
Mar-08
Dec-07
Sep-07
Jun-07
Mar-07
Dec-06
Sep-06
Jun-06
Mar-06
Dec-05
Sep-05
Jun-05
Apr-05
Jan-05
pH unit
400
Jan-05
50
mg/l
Dec-10
Sep-10
Jun-10
Mar-10
Dec-09
Sep-09
Jun-09
Mar-09
Dec-08
Sep-08
Jun-08
Mar-08
Dec-07
Sep-07
Jun-07
Mar-07
Dec-06
Sep-06
Jun-06
Mar-06
Dec-05
Sep-05
Jun-05
Apr-05
Jan-05
mS/cm
600
Apr-05
50
mg/l
Dec-10
Sep-10
Jun-10
Mar-10
Dec-09
Sep-09
Jun-09
Mar-09
Dec-08
Sep-08
Jun-08
Mar-08
Dec-07
Sep-07
Jun-07
Mar-07
Dec-06
Sep-06
Jun-06
Mar-06
Dec-05
Sep-05
Jun-05
Apr-05
Jan-05
mg/l
800 400,000
Jan-05
Dec-10
Sep-10
Jun-10
Mar-10
Dec-09
Sep-09
Jun-09
Mar-09
Dec-08
Sep-08
Jun-08
Mar-08
Dec-07
Sep-07
Jun-07
Mar-07
Dec-06
Sep-06
Jun-06
Mar-06
Dec-05
Sep-05
Jun-05
Apr-05
Jan-05
mg/l
Bab 4 Pemantauan Lingkungan Penggunaan Air Proses (m3/hari) Air Laut vs Air SPS Santong 3
200,000
0 100,000 0
Santong 3
pH-F in Santong 3
5
DL = 0.001
25
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Box 4. Studi Alternatif Upaya Peningkatan Fraksi Padatan (%Solid)
KepMen LH No.236/2007 telah mensyaratkan dalam izin penempatan tailing bahwa batasan minimum fraksi padatan (solid fraction) dan berat jenis tailing slurry sebesar 25% dan 1,202. Selanjutnya ditentukan bahwa % kepatuhan dalam satu tahun terhadap persyaratan tersebut adalah 95%. Dalam kurun waktu tahun 2008 2009 persyaratan tersebut di atas beberapa kali tidak dapat dipenuhi. Berbagai faktor yang menyebabkan variasi fraksi padatan tailing terjadi antara lain adanya variasi kekerasan bijih batuan yang diolah yang berdampak pada rendahnya throughput (< 110 ribu ton per hari) dan adanya hambatan hambatan operasional lainnya. Karakteristik batuan pembawa bijih, kandungan mineral dan kadar akan mempengaruhi kekerasan material umpan pabrik pengolahan. Urutan yang akan memberikan mill throughput yang tinggi menuju rendah: intermediate tonalite, volcanic dan diorit. Sedangkan berat jenis tailing slurry ditentukan berdasarkan proporsi air laut dan air Santong. Untuk mencapai berat jenis 1,202 gr/cm3 maka persen solid akan berkisar pada 23,9% (jika digunakan 100% air laut) sampai 26% (jika 100% air Santong). Alternatif alternatif yang direkomendasikan dapat dikategorikan menjadi dua solusi alternatif yaitu solusi utama yang terdiri dari penyesuaian sekuen penambangan dan penjadwalan ulang shut down; dan
solusi tambahan yang terdiri dari pemasangan maksimum choke, pengecilan setting close set primary crusher, pemasangan pipa tailing laut berdiameter lebih kecil dan pemasangan peralatan tambahan di sirkuit penggerusan (High Pressure Grinding Roll HPGR). Berdasarkan perhitungan, jika kedua solusi ini diimplementasikan maka persyaratan minimal fraksi padatan dan berat jenis tailing slurry diharapkan bisa tercapai. Di dalam
penerapannya, PTNNT telah menyusun sebuah rencana tindak lanjut (action plan) dalam bentuk rencana kerja jangka pendek yang direncanakan akan selesai pada triwulan pertama 2011 dan rencana kerja jangka panjang akan diselesaikan setelah triwulan pertama 2011. Pelaksanaan alternatif yang direkomendasikan tidak akan memberikan dampak lingkungan yang signifikan namun bisa memberikan konsekuensi operasional yang perlu diantisipasi.
1.40
1.35
Slurry density (gr/cm3)
Berbagai studi alternatif upaya peningkatan fraksi padatan dan berat jenis tailing slurry telah dilakukan oleh beberapa pihak independen dengan maksud agar mendapat sudut pandang kajian yang lengkap. PTNNT melibatkan LAPI-ITB untuk mengevaluasi dan mengkaji berbagai alternatif untuk meningkatkan fraksi padatan dan berat jenis tailing slurry.
1.30
1.25
1.20
1.212 gr/cm
3
1.202 gr/cm
3
1.182 gr/cm
3
Santong Water = 1.0 gr/cm3
1.15 23.9%
Sea Water = 1.02 gr/cm3
26%
1.10 15
20
25
30
35
40
45
% Solid
Gambar 4.12 Hubungan antara Persen Solid dan Berat Jenis Slurry untuk Variasi Penambahan Air Laut dan Santong 3
Gambar 4.13 Hasil Simulasi Berdasarkan Revisi Rencana Penambangan, Penjadwalan Ulang Shutdown Pabrik dan Pemasangan Pipa Tailing Laut dengan Diamater yang Lebih Kecil
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
39
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
diukur setiap hari dengan ketentuan pemenuhan batasan tersebut 95% dalam setahun. Antara tahun 2007 sampai dengan akhir 2009 angka pemenuhan fraksi padatan dan berat jenis slurry masih di bawah 95%. Namun setelah mendapatkan pengarahan dan konsultasi dengan pemerintah dan setelah melakukan beberapa kajian alternatif pengelolaan throughput, metode pengelolaan blending bijih diterapkan dengan lebih ketat sehingga pada tahun 2010, batasan fraksi padatan dapat dipenuhi 95% dan berat jenis slurry sebesar 97% (Lihat Box 4). Kinerja pencapaian ini diperkirakan akan tetap dapat dipertahankan sampai masa izin berakhir. Gambar 4.11 menunjukkan komposisi air proses, data rerata bulanan curah hujan di tambang, dan kualitas air proses dan air Santong 3 hingga 2010. Air laut tetap merupakan bagian terbesar komposisi air proses. Demikian pula dengan penggunaan air Santong 3 selama terjadinya curah hujan tinggi memungkinkan pemeliharaan Struktur Pengendali Sedimen agar tetap berada pada tingkat operasi yang aman dan tidak mempengaruhi kualitas tailing.
4.2.4
Dampak
Hasil pemantauan tailing secara umum menunjukkan kepatuhan perusahaan terhadap persyaratan RPL dan Perizinan. pH, konsentrasi logam terlarut dan sulfida dalam tailing cair berada dalam rentang yang dapat diterima dan di bawah nilai ambang batas maksimum yang ditentukan. Hasil ini menunjukkan efisiensi yang tinggi pada proses netralisasi di mill dan proses flotasi dalam memisahkan logam berat dari larutan, dan sekaligus memastikan bahwa pada umumnya tidak terlihat adanya konsentrasi logam berat yang tinggi dalam air laut di sekitar daerah mulut pipa keluaran tailing di perairan Pesisir Selatan Sumbawa. Upaya pengelolaan bijih dan throughput memastikan batasan fraksi padatan dan berat jenis slurry dapat dipenuhi. Pemantauan laut yang dilakukan selama kondisi throughput dan %padatan rendah pada tahun 2007-2008 memastikan bahwa tailing
40
plume tidak naik ke permukaan. Pemodelan numerik dengan kondisi ekstrim %padatan dan berat jenis slurry rendah memprediksi sebaran tailing yang tidak berbeda signifikan dibandingkan dengan kondisi %padatan tinggi.
4.3 Pemantauan Lingkungan 4.3.1
Kualitas air laut
4.3.1.1 Metode Pemantauan kualitas air laut dilakukan di 28 stasiun pemantauan sesuai ketentuan KEPMENLH No.236/2007 pada beberapa kedalaman di tiga zona pengamatan A, B dan C, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Di titik pemantauan di Zona A di dalam Daerah Penempatan Tailing (DPT) dengan kedalaman >120 m hanya dilakukan pengambilan contoh air laut di dekat dasar. Di titik pemantauan di Zona B di atas DPT dengan kedalaman 120 m dilakukan pengambilan contoh air laut di permukaan, kedalaman 50 m dan 120 m. Di titik pemantauan di Zona C di luar DPT dilakukan pengambilan contoh air laut di permukaan, kedalaman 50 m, 120 m dan dekat dasar. Akhiran (S,M, C dan B masingmasing untuk kolom permukaan, tengah pada 50 m, 120 m dan dekat dasar) ditambahkan pada label data di setiap kode titik pemantauan untuk membedakan di kolom mana contoh air diambil. Pemantauan karakteristik fisika air laut dilakukan setiap bulannya menggunakan alat yang diberi nama CTD (conductivity, temperature, depth) profiler. Sesuai dengan namanya, alat ini digunakan untuk mendapatkan profil in situ konduktivitas, suhu dan kedalamanan, serta profil salinitas, transmisivitas dan oksigen terlarut kolom air. Sensor transmisivitas dan alat pengukur oksigen terlarut (DO meter) merupakan instrumen tambahan pada CTD. Penggunaan CTD profiler berdasarkan prosedur pengoperasian standar mensyaratkan prosedur kalibrasi setiap sebelum digunakan untuk mendapatkan data yang valid.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Pemantauan karakteristik kimia air laut dilakukan setiap tiga bulan pada saat yang bersamaan dengan pemantauan karakteristik fisika air laut. Contoh air diambil menggunakan polyethylene Go-Flo oceanographical sampler, yang diturunkan ke dalam kolom air hingga kedalaman yang diinginkan dengan bantuan meter wheel, dan kemudian ditutup dengan messenger. Contoh untuk analisis logam disaring dan diawetkan untuk dikirim ke PT ALS Indonesia, dan dianalisis untuk mengetahui kandungan logam terlarut (As, Cd, Cr, Cr(VI), Cu, Pb, Mn, Hg, Ni, Zn) dan total padatan tersuspensi (TSS). Kekeruhan diukur di lokasi dengan menggunakan pengukur kekeruhan standar. Gambar 4.14 dan 4.15 menunjukkan pemantauan kualitas air menggunakan CTD profiler dan polyethylene Go-Flo oceanographical sampler.
Gambar 4.14 Pemantauan Profil Kolom Air Menggunakan CTD
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
berlangsung tailing plume yang teramati secara konsisten berada tetap berada di dekat dasar perairan (Lihat Box 5). Pemantauan distribusi tailing plume, yang ditunjukkan oleh nilai transmisivitas rendah (<80%) berkaitan dengan keberadaan partikulat dalam air, hanya ditemukan pada kolom perairan dekat dasar Ngarai Senunu. Selama periode pengamatan 2005 – 2006, transmisivitas yang rendah hanya teramati di titik pemantauan: S01, S03, S15, S16 dan S28 pada kedalaman > 125m. Hal ini dapat terlihat pula pada data jumlah padatan tersuspensi (TSS) dan kekeruhan di titik-titik pemantauan tersebut, sebagaimana telah diprediksi dalam ANDAL.
Gambar 4.15 Pengambilan Contoh Air Menggunakan Polyethylene Go-Flo Oceanographical Sampler
4.3.1.2 Latar Belakang Hasil pemantauan profil fisik air laut yang diperoleh di semua stasiun sejak pra operasi hingga 2006 menunjukkan perubahan-perubahan musiman dan antartahun yang jelas pada massa air yang terkait dengan sirkulasi skala regional dan skala yang lebih besar. Profil suhu dan densitas menunjukkan adanya fluktuasi (variasi kedalaman) lapisan termoklin yang teramati sepanjang tahun di Pesisir Selatan. Termoklin yang relatif dangkal dan suhu permukaan yang relatif rendah selama musim angin Timur (Juni – Oktober) sebagian disebabkan oleh upwelling di sepanjang Pesisir Selatan Sumbawa. Namun selama kejadian ini
Kandungan logam terlarut dalam air laut selama periode pemantauan hingga tahun 2006 secara umum terus berada di bawah nilai ambang batas yang diizinkan (KEPMENLH No. 02/ 1988 dan KEPMENLH No. 51/2004), atau bahkan berada di bawah batas deteksi, pada hampir semua lokasi pemantauan di Pesisir Selatan. PTNNT mengalami beberapa keadaan di mana nilai kandungan tembaga (Cu) terlarut meningkat pada lapisan air Ngarai Senunu di dalam tailing plume. Nilai tersebut sedikit di atas 0.008 mg/l yang merupakan nilai ambang batas baru tembaga terlarut untuk perlindungan biota laut (KEPMENLH No. 51/2004). Kandungan tembaga terlarut tidak mempengaruhi contoh air di lokasi pemantauan zona B dan C dan secara konsisten memiliki konsentrasi terlarut yang rendah, yaitu 0,001 mg/l atau <0,001 mg/l. Hasil ini juga sesuai dengan prediksi ANDAL bahwa tailing akan berdampak negatif pada kualitas air dekat dasar Ngarai Senunu dibawah zona fotik produktif biologis. Dasar Ngarai Senunu akan dipengaruhi secara fisik oleh aliran tailing keruh selama operasi berlangsung. Pemantauan kandungan merkuri (Hg) terlarut dalam air laut yang dimulai sejak Triwulan ke-3 2005 seperti yang disyaratkan dalam perizinan DSTP periode 2005 – 2006 menunjukkan nilai yang sangat rendah di semua lokasi pemantauan. Kandungan merkuri terlarut dalam air laut berada di bawah atau mendekati batas deteksi (0,00005 mg/l), jauh di bawah nilai ambang batas merkuri terlaut untuk
perlindungan biota laut (0,001 mg/l). Hal ini mencerminkan rendahnya kandungan merkuri dalam bijih dan tidak adanya penggunaan merkuri di pabrik pengolahan. Kandungan merkuri terlarut yang terdeteksi di beberapa titik pemantauan dipercaya sebagai akibat dari kontaminasi contoh yang mungkin terjadi pada analisis dengan ketelitian tinggi (ultratrace).
4.3.1.3 Data terkini Hasil pemantauan kualitas fisika dan kimia air laut di Pesisir Selatan pada periode pemantauan 2007 – 2010 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dari hasil pemantauan tahun-tahun sebelumnya. Karakteristik fisika dan kimia air laut secara umum dan konsisten mengikuti trend yang ada dan memenuhi baku mutu yang ditetapkan (KEPMENLH No. 51/2004) serta persyaratan izin DSTP (KEPMENLH No. 236/2007). Namun sedikit berbeda dengan pemantauan sebelumnya, data kualitas air laut di 28 titik pemantauan dikelompokkan ke dalam tiga zona, yakni zona A, B dan C seperti yang telah dijelaskan di atas, termasuk di dalamnya 15 titik pemantauan baru. Penjelasan mengenai hasil pemantauan berikut ini akan merujuk pada pengelompokan titik pantau di tiga zona tersebut. Profil kolom air bulanan hasil pemantauan tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Gambar 4.19. Profil suhu menunjukkan berubah-ubahnya kedalaman zona campuran (mixing zone) dan termoklin. Gambar tersebut menunjukkan profil suhu sebagai suatu fungsi kedalaman pada pemantauan di stasiun S12, S28, S15, dan S16 yang terletak di poros pipa pembuangan tailing hingga Ngarai Senunu. Kedalaman maksimum zona campuran permukaan pada 2007 – 2010 tercatat sedalam 100 m (S28 pada Maret 2007) di atas kedalaman penempatan tailing (125 m). Tailing plume terdeteksi di zona A dekat dasar Ngarai Senunu, konsisten dengan nilai transmisivitas yang relatif rendah (0,0% - 80%), dan TSS yang relatif tinggi (20 – 437 mg/l) dan kekeruhan yang juga tinggi (5 – 463 NTU). Nilai transmisivitas 80% terdangkal tercatat pada kedalaman 103 m di titik S15 dan transmisivitas
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
41
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Box 5. Pemantauan Upwelling di Daerah Penempatan Tailing PTNNT
Penurunan suhu air laut di Selatan Jawa dan Nusa Tenggara pada musim Tenggara tidak semata-mata disebabkan oleh upwelling, tetapi juga berkaitan dengan musim dingin di belahan bumi Selatan dan arus South Equatorial Current yang membawa air yang lebih dingin dari barat Australia pada musim tersebut. Selain pola musiman, intensitas upwelling di Pesisir Selatan juga dipengaruhi perubahan antar-tahunan seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). Data suhu, salinitas, oksigen terlarut menggambarkan kondisi oseanografi perairan Pesisir Sumbawa Barat juga mengalami perubahan musiman termasuk diantaranya peristiwa upwelling. Tampak jelas bahwa di daerah Selatan Sumbawa, upwelling ditandai dengan turunnya suhu permukaan, naiknya posisi (kedalaman) termoklin, dan naiknya salinitas permukaan. Penurunan suhu kolom air mulai tampak jelas pada sekitar bulan Juni dan dalam jangka waktu sekitar 3-4 bulan mencapai suhu terendah pada bulan September/ Oktober. Rentang perbedaan suhu terbesar antara musim upwelling dan musim non-upwelling terjadi di kedalaman 100-200 meter pada lapisan termoklin.
42
Jika suhu dianggap sebagai parameter yang konservatif, maka parameter tersebut dapat digunakan untuk mencirikan suatu massa air dan menentukan pergerakannya. Massa air dengan suhu tertentu contohnya 24 째C, bergerak naik pada musim upwelling ke kedalaman sekitar 50 meter dan turun pada musim downwelling ke kedalaman sekitar 120 meter. Pergerakan naik-turun sedalam 70 meter ini terjadi selama periode 4 hingga 6 bulan. Dengan demikian, untuk massa air tersebut dapat dianggap bahwa kecepatan pergerakan vertikal berkisar sekitar 2 cm/jam atau sangat kecil untuk dapat diukur secara langsung.
Kandungan oksigen terlarut pada musim upwelling cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pada musim non-upwelling. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan konsumsi oksigen oleh plankton, akibat terjadinya plankton bloom yang dipicu oleh naiknya unsur hara dari kedalaman ke lapisan efotik permukaan saat terjadi upwelling. Secara skematik, pengaruh upwelling terhadap profil suhu, salinitas dan kandungan oksigen terlarut di Selatan Selatan Sumbawa Barat dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.17. Tidak dapat dilupakan bahwa selain upwelling, proses lain seperti proses biologi, input dari sungai/
Gambar 4.16 Rerata Bulanan Historikal (Klimatologi) Suhu Permukaan (째C) dan Vektor Angin dalam Interval Dua-bulanan Sumber: Iskandar et.al, 2010.
suhu
salinitas
upwelling
oksigen terlarut (DO)
upwelling nonupwelling / downwelling
kedalaman
Terjadinya upwelling di pesisir Barat Sumatra, Selatan Jawa dan Selatan Nusa Tenggara telah banyak dikaji dan didokumentasikan sejak lama (Asanuma et al. (2003), Iskandar et al. (2009), Iskandar et al. (2010), Murtugudde et al. (1999), Susanto dan Gordon (2001), Susanto dan Marra (2005), Susanto et al. (2006), Wyrtki (1961)). Peristiwa upwelling yang ditandai dengan penurunan suhu permukaan di dekat pantai dan diikuti dengan naiknya produktifitas primer permukaan atau konsentrasi klorofil terjadi pada musim Tenggara.
nonupwelling / downwelling + rain input
upwelling
nonupwelling / downwelling
Gambar 4.17 Skema profil kolom air yang dipengaruhi upwelling dan proses lainnya
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
0
Temperature (deg C)
Pressure (dbar)
30 28
-100
26 24
-200
22 20 18
-300
16 14
-400
12 10
-500
8
2000 0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Salinity 35
Pressure (dbar)
hujan, dan interaksi udara-air seperti penguapan dan pergerakan/ adveksi massa air atau arus juga akan mempengaruhi profil kolom air.
-100 34.5 34
-200
33.5
-300
33 32.5
-400 32
-500
31.5
2000
0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Temperature (deg C)
Pressure (dbar)
30 28
-100
26 24
-200
22 20 18
-300
16 14
-400
12 10
-500
8
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Transmissivity (%)
Pressure (dbar)
0 80
100
60
200 40
300 35
400
15
Hasil pemantauan profil kolom air sejak dimulainya operasi DSTP pada akhir tahun 1999 hingga tahun 2009 di stasiun pantau S16 menggambarkan kondisi oseanografi di Pesisir Selatan Sumbawa selama sepuluh tahun terakhir (Gambar 4.18). Data di S16 digunakan dalam analisis ini karena lokasi S16 telah dipantau sejak sebelum operasi PTNNT, memiliki kedalaman dasar laut cukup besar (450 m), dan dipantau hampir setiap bulan. Titik pantau lainnya memiliki pola yang serupa dengan S16. Ciri-ciri kondisi upwelling secara konsisten berulang setiap tahun, terjadi setiap musim angin Tenggara. Namun demikian, transmissivitas cahaya < 80% yang menggambarkan keberadaan tailing plume tidak menunjukkan perubahan musiman seperti parameter lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tailing plume tidak ikut terangkat ke lapisan perairan permukaan pada saat upwelling terjadi. Tailing plume tetap berada di kedalaman di bawah ujung pipa pembuangan tailing. Hasil pemantauan PTNNT secara konsisten memastikan bahwa sebaran tailing plume hanya terdapat di perairan dekat dasar, di dalam Ngarai Senunu, dan semakin jauh dari ujung pipa semakin dalam mengikuti dasar laut yang terjal.
-5
500
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 4.18 Profil Suhu, Salinitas, Kandungan Oksigen Terlarut dan Transmissivitas Cahaya di Stasiun Pantau S16, September 1999 â&#x20AC;&#x201C; Desember 2009. Pressure atau Tekanan (dbar) = Kedalaman (meter) Sumber: Waworuntu, 2010.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
43
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Gambar 4.19 Profil Suhu di Sepanjang Poros Pipa Tailing (Stasiun Pemantauan S12, S15, S16, dan S28) Periode Pemantauan 2007 - 2010
Average of Tx 35% Depths Jan 2007 - Dec 2010 0
100
Depth (m)
200
300
400
500
600 Tx 35%
S28
S15
S16
S01
S03
197
234
262
205
172
S08
CI1
CI2
CI3
CI4
239
262
296
196
CI5
CI6
CI7
CI8
CI9 CI10 CI11 CI12 CO1 CO2 CO3 SC1 SC2 S02
427
315
537
354
403
Bottom depth (m)
250
300
450
200
200
86
262
350
557
270
127
110
875
832
411
103
105
600
Depth zone boundary
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
Zone A ‐ B
S12
S13
S23
S09
80
85
45
25
320 385
330
260
200
72
80
Zone C
Gambar 4.20 Profil Kedalaman Tailing Plume Berdasarkan Transmisivitas 35% di Zona A, B, dan C di Sepanjang Pesisir Selatan Periode Pemantauan 2007 - 2010
44
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Data pemantauan kualitas air laut yang telah diverifikasi di Pesisir Selatan sejak NNT memulai operasi hingga akhir 2010 dapat dilihat pada Gambar 4.22. Nilai konsentrasi tembaga terlarut selama 2007 - 2010, di dekat dasar Ngarai Senunu di dalam Zona A berkisar antara <0,001 - 0,035 mg/l. Nilai terbesar 0,035 mg/l terdapat di
Maximum Total Suspended Solid (TSS) Zona A&B, permit 2007 period
Maximum Total Suspended Solid (TSS) Zona C, permit 2007 period
0-10
0-10
ZONAÂ B
50-60
50-60
100-110
100-110
ZONAÂ C
ZONAÂ A
150-160
150-160
200-210 250-260 300-310
200-210 250-260 300-310
350-360
350-360
400-410
400-410
450-460
450-460
500-510
500-510
0
100
200
300
400
500
0
100
200
mg/l
300
400
500
mg/l
Total Suspended Solid (TSS) Zona A
Turbidity Zona A 40
100
Start Operation
Start Operation 80
30
60
mg/L
mg/L
stasiun S28B pada triwulan kedua 2008. Konsentrasi logam terlarut dan kekeruhan yang lebih tinggi di lokasi penempatan tailing telah diperkirakan di dalam ANDAL dan dampaknya bersifat sementara dan tidak kumulatif. Di Zona B konsentrasi tembaga terlarut tertinggi tercatat sebesar 0,002 mg/L (baku mutu 0,008 mg/L). Di Zona C konsentrasi tembaga terlarut agak tinggi tercatat dekat dasar laut di CO3B pada kedalaman 259 m (0,006 mg/L) pada triwulan pertama dan keempat 2008 dan di CO2B kedalaman
Depth range (m)
Total Padatan Tersuspensi (TSS) dan kekeruhan pada pemantauan hingga 2010 di Zona B dan Zona C diidentifikasi berada pada rentang konsentrasi yang sama dengan rona awal. Tingginya kekeruhan dan TSS dalam Zona A (kedalaman > 120 m) telah diperkirakan dalam ANDAL. Data TSS di zona A hingga periode pemantauan tahun 2010 terdeteksi
berada dalam kisaran <0,5 mg/l hingga 437 mg/l, dengan nilai maksimum terpantau di kedalaman 220 m di titik S28 pada triwulan pertama 2008 (Gambar 4.21).
Depth range (m)
35% terdangkal tercatat pada kedalaman 151 m di titik S16. Di zona C, tailing plume dengan transmisivitas <80% tercatat di lokasi pantau CO1, CO2, CO3, dan SC1 pada kedalaman terdangkal berturut-turut 186 m, 191 m, 201 m, dan 193 m di bawah permukaan laut. Sensor transmisivitas cahaya yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan tailing plume sangat sensitif dibandingkan dengan sensor kekeruhan ataupun kepekaan analisis TSS. Hubungan antara nilai transmisi cahaya (Tx) dengan kekeruhan dan TSS ditunjukkan dalam Gambar 4.20. Nilai Tx 35% setara dengan TSS 20 mg/L dan kekeruhan 5 NTU yang merupakan nilai baku mutu air laut. Meskipun tailing plume dapat dideteksi di dasar perairan di CO1, CO2, CO3, dan SC1 berupa penurunan transmisivitas, namun contoh air laut di lokasi tersebut masih memenuhi baku mutu air laut.
40
20
10
20 0
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Total Suspended Solid (TSS) Zona B-C
Turbidity Zona B-C 40
100 Start Operation
Start Operation
Kepmen LH 2/1988 Kepmen LH 2/1988
30
60
mg/L
mg/L
80
40 20
Kepmen LH 51/2004
20
10 Kepmen LH 51/2004
0
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 4.21 Profil Total Suspendid Solid (TSS) di Zona A, B, dan C di Sepanjang Pesisir Selatan Periode Pemantauan 1997 - 2010
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
45
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Kandungan Cr(VI) terlarut mulai dipantau sejak perpanjangan izin penempatan tailing pada triwulan kedua tahun 2007, dan sejak triwulan kedua tahun 2008, Cr(VI) dianalisis dengan menggunakan metode kolorimetrik dengan ambang batas deteksi 0,002 mg/l. Semua kandungan Cr(VI) terlarut hingga 2010 berada di bawah ambang batas deteksi (0,002 mg/l). Kandungan total Cr terlarut juga berada di bawah ambang batas deteksi analisis (0,001 mg/l).
Seperti prediksi ANDAL, tailing plume dapat dideteksi sebagai kenaikan TSS dan penurunan nilai transmisivitas pada lokasi di dalam Ngarai Senunu,
di hilir ujung pipa pengeluaran tailing. Karena contoh air ini diambil tepat di atas aliran tailing di dekat dasar ngarai dan dari dalam bagian tailing plume tersuspensi yang paling pekat, maka tidak ada peningkatan ataupun akumulasi dampak lingkungan dari
Maximum Dissolved Copper (Cu-D) Zona A&B, permit 2007 period
Maximum Dissolved Copper (Cu-D) Zona C, permit 2007 period
0-10
0-10
ZONA B
50-60
50-60
100-110
100-110
ZONA C ZONA A
150-160
Depth range (m)
150-160
Depth range (m)
Hasil pemantauan kandungan logam terlarut lainnya (As, Cd, CrVI, Hg, Ni, Pb, dan Zn) hingga triwulan keempat 2010 seluruhnya memenuhi baku mutu air laut. Satu sampel air laut di CO1S kedalaman 3 m triwulan kedua 2007 memiliki konsentrasi kadmium terlarut 0.0015 mg/l (baku mutu 0.001 mg/l). Dalam triwulan kedua dan ketiga 2007 terjadi kontaminasi sampel air laut dan telah diinvestigasi dan ditindaklanjuti. Satu sampel air laut di S15C kedalaman 120 m memiliki konsentrasi timbal (Pb) terlarut 0.016 mg/l pada triwulan kedua 2008, diperkirakan akibat kontaminasi (PTNNT, 2008). Hasil analisis contoh air laut di dalam Zona A dan pengambilan sampel ulang pada triwulan yang sama telah memastikan tidak terjadi kenaikan kandungan Pb terlarut di air laut akibat penempatan tailing.
Penempatan Tailing (DPT) di dasar Ngarai Senunu.
200-210 250-260 300-310
200-210 250-260
350-360
400-410
400-410
450-460
450-460
500-510
0.006 mg/l, di CO3B Jan 08 & Nov 08 0.007 mg/l, di CO2B Jan 08
300-310
350-360
500-510
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0
0.01
mg/l
0.02
0.03
mg/l
COPPER (D-Cu) Zona A 0.08 Start Operation
0.06 mg/L
300 m (0,007 mg/L) pada triwulan pertama 2008. Hasil pemantauan tersebut masih memenuhi baku mutu namun PTNNT melakukan pengamatan untuk mengetahui lebih mendalam tentang adanya kenaikan nilai tersebut.
0.04
0.02
0.00 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
4.3.1.4 Dampak
46
COPPER (D-Cu) Zona B-C 0.08 Start Operation Kepmen LH.2/1988
0.06 mg/L
Hasil pemantauan kualitas air laut, sesuai dengan prediksi, menunjukkan penempatan tailing di dasar laut tidak berdampak pada perairan pantai atau pada zona produktif biologis permukaan di sekitar Pesisir Selatan Sumbawa. Kandungan logam terlarut dalam air laut secara konsisten rendah atau berada di bawah nilai ambang batas. Meskipun terjadi beberapa kasus kenaikan tembaga terlarut sedikit diatas nilai ambang batas air laut untuk perlindungan biota laut (KEPMEN LH 51/2004), namun terbatas pada contoh yang diambil dari dalam tailing plume, di dalam Daerah
0.04
0.02 Kepmen LH 51/2004
0.00 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 4.22 Profil Kandungan Logam Terlarut di Zona A, B, dan C di Sepanjang Pesisir Selatan Periode Pemantauan 1997 - 2010
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
0.04
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
kenaikan sementara tembaga terlarut yang diperkirakan. Pengendapan aktif tailing di dasar laut telah diprediksi dalam ANDAL, dan akan menyebabkan dislokasi sementara atau hilangnya
organisme bentik dan ikan di zona tersebut. Studi lebih lanjut untuk mengetahui dampak tailing terhadap keberadaan organisme bentik dan ikan telah dilakukan PT NNT bekerja sama
ARSENIC (D-As) Zona A 0.08
ARSENIC (D-As) Zona B-C 0.08
Start Operation
Start Operation
0.06 mg/L
mg/L
0.06 0.04
0.04
0.02
0.02
0.00
0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kepmen LH 2/1988
0.015
CADMIUM (D-Cd) Zona B-C 0.015
Start Operation
0.012
0.009
0.009
mg/L
0.012
0.006
Kepmen LH 51/2004
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
CADMIUM (D-Cd) Zona A
mg/L
dengan P2O LIPI, antara lain dengan melakukan uji toksisitas tailing dan uji rekolonisasi tailing yang akan dibahas terpisah kemudian.
Start Operation Kepmen LH 2/1988
0.006
0.003
0.003
0.000
0.000
Kepmen LH 51/2004
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
CHROMIUM (D-Cr) Zona A 0.06
CHROMIUM (D-Cr) Zona B-C 0.06
Start Operation
0.05 mg/L
mg/L
0.05 0.03
0.03
0.02
0.02
0.00
0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
CHROMIUM HEXAVALEN (D-Cr VI+) Zona B-C
CHROMIUM HEXAVALEN (D-Cr VI+) Zona A 0.08
0.08
Start Operation
Start Operation
0.06 mg/L
0.06 mg/L
Start Operation
0.04
0.04
0.02
0.02
0.00
0.00
Kepmen LH 51/2004
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
LEAD (D-Pb) Zona B-C
LEAD (D-Pb) Zona A 0.10
Start Operation
Start Operation
0.08
0.08
0.06
0.06
mg/L
mg/L
0.10
0.04
0.04
0.02
0.02
0.00
0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kepmen LH.2/1988
Kepmen LH 51/2004
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 4.22 Profil Kandungan Logam Terlarut di Zona A, B, dan C di Sepanjang Pesisir Selatan Periode Pemantauan 1997 - 2010 (Lanjutan)
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
47
Bab 4 Pemantauan Lingkungan MANGANESE (D-Mn) Zona B-C
MANGANESE (D-Mn) Zona A 0.08
0.08
0.06 mg/L
0.06 mg/L
Start Operation
Start Operation
0.04
0.04
0.02
0.02
0.00
0.00 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
MERCURY (D-Hg) Zona B-C
MERCURY (D-Hg) Zona A 0.004
0.004 0.003 mg/L
0.003 mg/L
Start Operation
Start Operation
0.002
0.002
0.001
0.001
0.000
0
Kepmen LH 51/2004
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
NICKEL (D-Ni) Zona B-C
NICKEL (D-Ni) Zona A 0.06
0.06
Start Operation
Start Operation
0.05
Kepmen LH 51/2004
0.05 mg/L
mg/L
0.04
0.03
0.03 0.02
0.02 0.01 0.00
0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
ZINC (D-Zn) Zona B-C
ZINC (D-Zn) Zona A 0.120
0.12 Start Operation
Kepmen LH.2/1988
0.09 mg/L
0.090 mg/L
Start Operation
0.060
0.06
0.030
0.03
0.000
0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kepmen LH 51/2004
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 4.22 Profil Kandungan Logam Terlarut di Zona A, B, dan C di Sepanjang Pesisir Selatan Periode Pemantauan 1997 - 2010 (Lanjutan)
48
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
45
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Box 6. Pemantauan TSS Menerus (Real Time) Total Suspended Solid (TSS) merupakan salah satu parameter perairan yang secara signifikan dapat menunjukkan keberadaan tailing plume di kolom air selain parameter penunjang lainnya. Sebagai sarana pemantauan yang lebih rinci dibutuhkan alat pantau otomatis yang dapat menyediakan sarana akses data yang dapat memantau terus menerus (real time) secara permanen. PTNNT telah memasang alat pantau TSS menerus (TSS Bouy) di Senunu pada tanggal 21 Maret 2010. Proses sampai terpasangnya alat TSS membutuhkan waktu yang
cukup lama dikarenakan keterbatasan teknologi untuk pemantauan jenis ini di laut bebas dan keterbatasan pihak ketiga yang mau melakukannya. Penempatan alat TSS membutuhkan kapal besar seperti kapal konstruksi pipa dasar laut. Alat tersebut berfungsi dan beroperasi dari tanggal 23 Maret sampai 2 April 2010 hingga saat diketahui alat tersebut telah tenggelam. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh PTNNT, TSS Buoy tenggelam akibat desain alat yang tidak dapat menahan besarnya arus laut. Laporan investigasi mengenai hal ini telah disampaikan ke KLH pada triwulan kedua 2010.
Gambar 4.23 Alat Pantau TSS Menerus (TSS Buoy), Saat Masih Terpasang hingga Usaha Pengambilan Kembali
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
49
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
4.3.2
Kualitas sedimen
4.3.2.1 Metode Pemantauan karaketristik fisika dan kimia sedimen di Pesisir Selatan dilakukan setiap tiga bulan di 15 titik pemantauan. Tiga dari ke 15 titik pemantauan tersebut merupakan titik pantau yang berada di Ngarai Senunu di mana tailing diprediksi akan terdeteksi, sedangkan sisanya (termasuk dua titik kontrol) merupakan titik pantau di mana keberadaan tailing tidak diharapkan terdeteksi. Pengambilan contoh sedimen dasar laut dilakukan dengan menggunakan box corer (Gambar 4.24). Contoh sedimen kemudian dikirim ke PT ALS Indonesia untuk dianalisis ukuran butirannya dan kandungan logam total (As, Cd, Cr, Cu, Pb, Mn, Hg, Ni, dan Zn).
4.3.2.2 Latar belakang Pemantauan akumulasi padatan tailing dan kualitas sedimen dasar laut di lepas Perairan Selatan Sumbawa dilakukan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam RPL. Tujuan pemantauan adalah untuk menegaskan prediksi ANDAL bahwa sebagian besar tailing bergerak ke bawah mengikuti tebing dasar Ngarai Senunu; hanya sedikit sekali tailing yang mengendap di lereng sekitar Ngarai Senunu; dan tidak ada tailing yang mengendap ke arah pantai di hulu mulut pipa pengeluaran tailing.
Distribusi ukuran partikel sedimen di Pesisir Selatan, biasanya terdiri dari fraksi pasir (> 80%), sisanya berupa lanau (silt) dan lempung (clay). Sejak tailing mulai ditempatkan, contoh sedimen yang diambil dalam Ngarai Senunu (lokasi S01, S03 dan S28) dapat secara visual teridentifikasi sebagai tailing, dengan ciri material yang lepas (unconsolidated) dan berwarna coklatkeabuan. Material ini kontras dengan tampilan contoh material alami yang diambil di lokasi di luar Ngarai Senunu dan di dua lokasi kontrol. Perbedaan ini juga tercermin pada semakin besarnya proporsi fraksi lanau dan lempung di Ngarai Senunu (diperoleh dari lokasi S01, S03 dan S28) dibandingkan dengan lokasi di luar ngarai dan kontrol. Tetapi perlu dicatat bahwa 50-60% padatan tailing terdiri dari fraksi pasir dan hadirnya fraksi yang lebih halus di lokasi tersebut menunjukkan terjadinya penyortiran alami partikel selama proses pengendapan tailing yang mengalir turun. Variasi distribusi ukuran butiran di S28 misalnya, kemungkinan disebabkan oleh terjadinya longsor ketika sedimen mencapai sudut kemiringan tajam. Gambar 4.25 menunjukkan perbedaan secara visual antara sedimen yang terkena pengaruh endapan tailing dengan yang tidak. Hasil analisis konsentrasi logam dalam sedimen menunjukkan bahwa setelah operasi tambang dimulai hanya kandungan tembaga yang mengalami kenaikan di sejumlah lokasi di Ngarai
Senunu, di bawah mulut pipa pengeluaran tailing. Konsentrasi tembaga dalam sedimen alami di Pesisir Selatan kurang dari 40 mg/kg, sehingga ditemukannya kenaikan konsentrasi tembaga dalam sedimen tailing yang bisa mencapai atau lebih dari 1.000 mg/kg merupakan indikasi yang jelas mengenai tailing.Di beberapa lokasi di luar Ngarai Senunu, khususnya di S05, S09 dan S12, dideteksi adanya sedikit kenaikan tembaga selama periode akhir 1999 dan awal 2000. Lonjakan sebesar 723 mg/kg teramati di S09 pada Desember 1999, dan nilai 136 sampai 158 mg/ kg teramati di S12 berturut-turut pada November dan Desember 1999. Hal ini disebabkan oleh kebocoran pipa tailing pada sambungan pipa yang terjadi pada awal operasi di akhir tahun 1999, yang sementara waktu menaikkan konsentrasi tembaga di kedua lokasi ini. Setelah dilakukan pengerukan tailing yang tumpah dan perbaikan kembali pipa tailing, konsentrasi tembaga di sedimen telah kembali pada rentang normal sebagaimana data sebelumnya di seluruh lokasi di luar ngarai, termasuk lokasi kontrol (SC1 dan SC2). Pada pertengahan 2005 terjadi kebocoran kecil pada jaringan pipa tailing lepas pantai, pada jarak 2,7 km dari garis pantai (sekitar 700 m dari mulut pipa pengeluaran tailing), kedalaman 75 m di bawah permukaan laut, dekat lokasi S12. Di lokasi ini,
Gambar 4.24 Pengambilan Contoh Sedimen Dasar Laut Menggunakan Box Corer
50
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
total tembaga dalam sedimen sebesar 1420 dan 1190 mg/kg teramati berturut-turut pada pengukuran Juli dan September (Laporan Tahunan RKL/ RPL 2005). Setelah kejadian kebocoran kecil ini dikonfirmasi, PTNNT segera menghentikan operasi dan memindahkan aliran tailing ke pipa tailing cadangan. Sesuai dengan instruksi KLH, PTNNT melakukan pemantauan bulanan setelah kebocoran selama 3 bulan berturutturut di 6 titik pemantauan sedimen yang ditentukan oleh KLH. Sejak 2006, konsentrasi tembaga di dalam sedimen di S12 telah kembali ke kondisi semula.
4.3.2.3 Data Terkini Hasil analisis ukuran partikel dan kandungan logam total dalam sedimen selama 2007 - 2010 tetap tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan hasil pengamatan sebelumnya, dengan nilai kandungan tembaga total yang tinggi di titik pemantauan: S01, S03, dan S28 di dalam Ngarai Senunu (Gambar 4.26a dan b). Hasil-hasil tersebut juga
mengindikasikan bahwa tidak ada tailing yang mengendap di perairan dangkal pesisir sekitar hulu mulut pipa pengeluaran tailing di lokasi S02, S12, S13, dan S14, terlepas dari beberapa lonjakan kecil kandungan tembaga total yang terdeteksi di S09 dan S12, yang kemungkinan merupakan sisa dari kebocoran tahun 1999 dan 2005. Di titik pemantauan S09 terdeteksi kandungan tembaga total yang mencapai 587 mg/kg pada Januari 2007, sedangkan di S12 terdeteksi 191 mg/kg dan 146 mg/kg berturut-turut pada April 2007 dan November 2008.
4.3.2.4 Dampak Sesuai prediksi, kenaikan kandungan tembaga total dalam sedimen dan perubahan komposisi ukuran partikel telah teramati dan selalu dijumpai di 3 lokasi (S01, S03, dan S28) dalam Ngarai Senunu, tetapi tidak ditemukan di lokasi lain sepanjang Pesisir Selatan. Konsekuensi kebocoran kecil pada jalur pipa tailing bersifat sementara dan hanya terdeteksi sebagai lonjakan jangka pendek kandungan tembaga total dalam sedimen. Tidak ada
dampak yang terdeteksi pada kualitas air atau fauna bentos. Penelitian Laut Dalam tahun 2003 dan 2009 yang dilakukan bersama antara PTNNT dan LIPI memverifikasi bahwa tembaga merupakan satu-satunya logam yang jelas membedakan tailing dengan sedimen alami di pesisir selatan (LIPI, 2004a; 2010). Kandungan logam lain tidak menunjukkan peningkatan di Ngarai Senunu dibandingkan dengan yang berada di lokasi di luar maupun kontrol. Hasil pemantauan uji tuntas oleh CSIRO (Commonwealth Scientific Industrial Research Organization) menunjukkan bahwa kandungan kadmium berada di bawah 1 mg/kg dan konsentrasi sedimen yang lebih tinggi merupakan artefak dari metode analisis yang digunakan (CSIRO, 2005; CSIRO 2010). Walaupun nilai tembaga dalam tailing relatif tinggi, namun sebagian besar di antaranya dalam bentuk tak terurai. Mineral sulfida tembaga, seperti kalkopirit, bercampur dengan berbagai mineral silikat, dan karena itu tidak dapat begitu saja diambil dalam proses
Gambar 4.25 Contoh Sedimen dari Lokasi yang Terkena Pengaruh Tailing (Kiri) dan Tidak Terkena (Kanan)
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
51
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
flotasi. Mineral silikat merupakan penghambat fisika terhadap oksidasi dan pelindian. Studi uji tuntas yang dilakukan oleh CSIRO menemukan bahwa walaupun konsentrasi tembaga dalam sedimen di Ngarai Senunu tinggi namun hanya tembaga dalam jumlah
sangat kecil (<4%) yang berpotensi tersedia secara biologis (bioavailable) yang berarti tembaga dalam sedimen tidak akan berdampak negatif terhadap komunitas bentik (CSIRO, 2005; 2010). Hasil studi toksisitas menunjukkan, tailing tidak beracun bagi anakan ikan
S01 13%
kakap (Lates calcarifer) atau kerapu (Epiphenelus fuscogutatus), meskipun tanpa memberi perlakuan pengenceran pada lumpur tailing (LIPI 2004b,c,d, LIPI 2006).
S03
S28 10%
12%
23%
37%
40% 51%
50%
64%
6%
S02
S13
6%
5%
4%
88%
S12
4%
5%
5%
5%
88%
S23 7%
91%
5%
88%
90%
S09
SC1
4%
7%
4%
7%
91%
S04 5%
S14
SC2 4% 4%
11%
82% 92%
92%
Sand
Impacted
Silt
Clay
Not Impacted
Gambar 4.26a Profil Rerata Ukuran Partikel Sedimen di Sepanjang Pesisir Selatan
52
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Gambar 4.26b Profil Rerata Beberapa Kandungan Logam Berat Total dalam Sedimen di Sepanjang Pesisir Selatan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
53
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
4.3.3 Kandungan logam dalam jaringan ikan laut dalam 4.3.3.1 Metode Pemantauan kandungan logam dalam jaringan ikan laut dalam (demersal) dilakukan dengan dua metode pengumpulan contoh ikan laut dalam. Sejak 1995, contoh ikan laut dalam diambil dengan tali pancing dan mata kail yang pasangi umpan, dilepas dari gulungan Alvey yang terpasang di dek (Gambar 4.27) dan diturunkan ke dasar pada kedalaman antara 70-300 m. Pengumpulan contoh ikan laut dalam dipusatkan di Ngarai Senunu dan ngarai di dekatnya di lepas pantai Senutuk (kontrol). Sejak 2007, pemantauan mencakup pengumpulan contoh dari Selat Alas. Namun apabila tidak diperoleh cukup contoh dari hasil memancing, ikan laut dalam dikumpulkan dengan cara membeli langsung dari nelayan yang beroperasi di perairan Senunu, Senutuk dan Selat Alas (di sekitar wilayah tambang). Contoh jaringan (otot punggung dan hati) dipisahkan dan dikirim ke laboratorium PT ALS Indonesia untuk analisis kandungan logam (As, Cd, Cr, Cu, Hg, Pb, Mn, Se, Ag, Zn, dan Ni).
4.3.3.2 Latar belakang Beragam jenis ikan banyak tertangkap di dalam dan di luar Ngarai Senunu, namun yang paling umum digunakan untuk analisis konsentrasi logam dalam jaringan otot dan hati ikan adalah jenis ikan kakap (Etelis carbunculus, E. coruscans, Pristipomoides multidens), emperor/ lencam (Lethrinus spp), bream (Dentex tumifrons), dan beberapa jenis kerapu dari genus Epinephalus, dan ikan hiu terutama Centrophorus moluccensis. Karena kelimpahan ikan laut-dalam yang relatif rendah dan sulit menargetkan spesies tertentu atau menetapkan rentang ukuran spesifik ikan untuk keperluan analisis konsentrasi logam dalam jaringan, maka setiap ikan yang diperoleh diambil contohnya untuk analisis logam. Sampai tahun 2006, lebih dari 200 ikan diambil contohnya untuk mengetahui konsentrasi logam jaringan di otot dan hati. Ciri utama yang ditemukan adalah adanya variasi pada konsenstrasi, baik sebelum
54
operasi tambang maupun setelah pengoperasian sistem penempatan tailing, dengan kandungan logam seperti arsenik, merkuri dan kadmium yang terkadang tinggi pada beberapa individu. Ikan laut-dalam kakap dewasa dan setengah dewasa cenderung tertangkap di daerah dekat dinding ngarai pada kedalaman mulai dari 80-400 m, yang menunjukkan pilihan habitat dengan kompleksitas derajat morfologi yang tinggi. Mangsa ikan ini biasanya bentos, ikan dan krustasea kecil. Ikan laut-dalam umumnya lambat tumbuh, namun berumur panjang (berkisar antara 20 - 30 tahun), lambat dewasa dan mempunyai tingkat kematian alami rendah. Karakteristik biologis ini menunjukkan bahwa stok ikan lautdalam peka terhadap eksploitasi namun merupakan reseptor yang baik untuk pemantauan akumulasi kandungan logam.
Expected Levels-GEL) dimaksudkan untuk mengisi kesenjangan di mana standar makanan tidak berlaku lagi. Penilaian tingkat risiko secara teliti berkaitan dengan pencemar logam pada ikan memerlukan survei nutrisi dan pemantauan kelompok konsumen secara terperinci. Beberapa kandungan timbal dan merkuri dalam jaringan otot ikan yang melebihi standar makanan teramati pada sejumlah kecil individu ikan, dengan beberapa nilai yang sangat berbeda (outlier) terjadi baik sebelum atau sesudah penempatan tailing di ngarai maupun lokasi kontrol. Nilai
Ikan hiu dan kerapu adalah ikan berumur panjang yang termasuk predator tingkat tinggi dan karena itu berpotensi mengakumulasi kandungan logam dalam konsentrasi lebih tinggi daripada spesies lain (karena itu batas maksimum merkuri pada ikan hiu lebih tinggi, yaitu sebesar 1,0 mg/kg untuk standar makanan (ML) berdasarkan ANZFA (ANZFA, 2001)). Perilaku migrasi ikan hiu juga menyulitkan interpretasi sumber potensi akumulasi logam. Spesies utama ikan yang digunakan dalam analisis, dapat dilihat pada Gambar 4.28. Faktor berat atau kelamin ikan tidak dipertimbangkan di sini. Perlu dicatat bahwa standar makanan hanya berlaku bagi ikan yang dijual komersial saja, sedangkan ikan yang dikonsumsi oleh penduduk atau masyarakat penangkap ikan tidak diatur dalam standar makanan. Meskipun banyak standar secara tradisional dikembangkan sebagai baku mutu untuk mengontrol perdagangan, namun kesepakatan World Trade Organization kini mensyaratkan agar standar makanan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang sesuai dan ditujukan pada perlindungan kesehatan manusia. Standar makanan (ANZFA, 2001) mencerminkan pendekatan ini dengan memberikan â&#x20AC;&#x153;Tingkat yang Diharapkan Secara Umumâ&#x20AC;? (Generally
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Gambar 4.27 Pengambilan Contoh Ikan Laut Dalam Menggunakan Metode Pancing Dasar
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
rata-rata setiap jenis logam berada jauh di bawah nilai kandungan maksimum (ML). Kandungan logam dalam daging ikan sesudah penempatan tailing, secara umum teramati masih berada dalam rentang konsentrasi logam sebelum tailing ditempatkan, dan juga berada pada kisaran nilai konsentrasi logam pada daerah lain seperti dilaporkan dalam literatur (Enesar 2005). Kajian uji tuntas yang dilakukan pada Oktober 2004 juga menemukan bahwa kandungan logam di jaringan tubuh ikan dari Ngarai Senunu ternyata berada dalam rentangan yang sama dengan konsentrasi logam pada daging ikan yang berasal dari daerah kontrol dan juga yang diperjualbelikan di pasarpasar di Sumbawa Barat dan Lombok (CSIRO, 2005; CSIRO, 2010). Hasil studi menyimpulkan bahwa tidak ada data yang menunjukkan adanya kandungan logam yang berlebihan dalam daging ikan yang berasal dari Ngarai Senunu.
4.3.3.3 Data terkini Antara 2007-2010, analisis logam dari otot dan hati 106 individu ikan telah ditambahkan ke dalam basis data dan
mencakup satu lokasi kontrol tambahan di selat Alas yang telah ditentukan. Beberapa individu dengan konsentrasi arsenik agak tinggi teramati, dalam satu kasus lebih tinggi daripada yang teramati sebelumnya (51 mg/Kg) pada jaringan jawfish (ikan tokek) dan kerapu dari lokasi kontrol. Peningkatan dalam jaringan hati terjadi di dalam Senunu, lokasi kontrol dan Selat Alas. Hasil uji tuntas tahun 2009 (CSIRO, 2010) menyimpulkan bahwa hasil analisis As yang sebelumnya beberapa kali dilaporkan sangat rendah tidak mencerminkan nilai sesungguhnya dan mungkin disebabkan oleh kesalahan uji. Oleh karena itu, kecenderungan peningkatan konsentrasi arsenik tidak dapat diukur dengan baik. Uji tuntas oleh CSIRO juga menyimpulkan bahwa >98% dari total arsenik dalam jaringan ikan berbentuk arsen organik yang tidak berbahaya bagi manusia. Kandungan As inorganik tertinggi yang tercatat adalah 0,17 Îźg/g, 100 kali lebih rendah dibandingkan dengan standar makanan ANZFA 2001 untuk As inorganik yaitu sebesar 2 Îźg/g. Beberapa individu dengan konsentrasi tembaga dalam otot di atas nilai GEL
median 0,5 mg/Kg tercatat pada survey bulan Februari 2009 dan Agustus 2010 (Cu sampai 2,79 mg/Kg berat basah). Konsentrasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode operasi sebelumnya, namun mirip dengan rentang konsentrasi yang tercatat sebelum operasi. Individu yang memiliki Cu di atas GEL adalah jenis pogot, pisang-pisang, kakap, dan kerapu dari dalam Senunu dan dari Selat Alas. Sejumlah contoh dengan tembaga agak tinggi juga terlihat (sampai 148 mg/Kg) dalam jaringan hati ikan kakap, kerapu dan ikan tokek (jawfish) di lokasi kontrol dan di dalam Senunu, dalam rentang yang sama dengan sebelumnya. Sejumlah konsentrasi lain seperti kromium, timbal, mangan, seng dan nikel teramati dalam jaringan hati satu individu ikan tokek dari Selat Alas tersebut, lebih tinggi daripada yang tercatat sebelumnya. Konsentrasikonsentrasi tinggi ini termasuk pencilan (outlier) atau anomali. Tidak terdapat konsentrasi merkuri berlebih dalam otot teramati dalam contoh yang diambil selama empat tahun terakhir. Konsentrasi selenium dalam otot melebihi GEL (median) pada sejumlah ikan dari lokasi kontrol dan Selat Alas. Namun demikian, hal ini konsisten dengan data sebelumnya termasuk sebelum dimulainya penambangan. Analisis spesies merkuri pada sejumlah contoh ikan dari Pesisir Sumbawa menunjukkan bahwa 75%100% dari total merkuri dalam jaringan otot ikan merupakan metil merkuri. Akumulasi merkuri sebagai metil merkuri umum terjadi dan nilai yang ditemui di Pesisir Sumbawa setara dengan konsentrasi di daerah yang tidak terkontaminasi seperti di Great Barrier Reef (CSIRO, 2010). Dalam dua kasus (satu ikan ketamba dari lokasi kontrol dan satu ikan pisang-pisang di Selat Alas), konsentrasi selenium dalam hati lebih tinggi daripada yang tercatat sebelumnya.
Gambar 4.28 Spesies Utama Ikan Laut Dalam Hasil Tangkapan yang Digunakan dalam Analisis Kandungan Logam Berat
Konsentrasi seng dalam otot melebihi GEL (median) pada sejumlah ikan dan dalam tiga kasus (pogot dari lokasi kontrol, Selat Alas dan Pasar Tanjung Luar), melebihi 90% percentile GEL. Akan tetapi, hal ini konsisten dengan data sebelumnya, termasuk sebelum tambang dimulai.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
55
Bab 4 Pemantauan Lingkungan Arsenic (As) mg/kg wet weight
40
start operation
30
APHA Method
20 10
2007
2008
2009
2010
2007
2008
2009
2010
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0
Cadmium (Cd) mg/kg wet weight
0.30
start operation
0.20 0.10
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0.00
start operation GEL 90%-ile
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
GEL median
1997
mg/kg wet weight
Copper (Cu) 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
Lead in (Pb) mg/kg wet weight
2.5
start operation
2.0 1.5 1.0 ML
0.5
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0.0
mg/kg wet weight
Mercury (Hg) start operation
1.2
ML (Shark)
0.8 ML 0.4
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0.0
Selenium (Se) mg/kg wet weight
4.0
start operation
3.0 GEL 90%-ile
2.0 GEL median
1.0
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0.0
Legend All
Zinc (Zn) mg/kg wet weight
30
Inside Senunu
start operation
25
Control
20
Alas Strait
GEL 90%-ile
15
GEL 90%-ile
10
GEL median
GEL Median
5
ML Shark 2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0
ML GEL = Generally Expected Level ML = Maximum Level
Gambar 4.29a Kandungan Beberapa Logam Berat dalam Jaringan Otot Ikan Laut Dalam dari Perairan Senunu dan Lokasi Kontrol
56
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Gambar 4.29b Kandungan Beberapa Logam Berat dalam Jaringan Otot Ikan Laut Dalam dari Perairan Senunu, Lokasi Kontrol dan Selat Alas Dibandingkan dengan Contoh Ikan dari Pasar-pasar di Sumbawa Barat, Lombok Timur dan Mataram Sumber: CSIRO, 2010
Konsentrasi nikel mulai dianalisis sejak 2007. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam jaringan ikan dari Selat Alas. Secara umum, konsentrasi logam, yang diukur sejak 2007 dalam jaringan otot ikan dari Ngarai Senunu tidak melebihi kandungan yang tercatat sebelumnya, atau dari lokasi kontrol (Gambar 4.29a). Jika ada, konsentrasi tersebut berada di bawah nilai standar kontaminan makanan dari Standar Makanan Selandia Baru Australia (ANFZA).
logam dalam jaringan otot ikan yang diperoleh dengan pancing dasar dari Senunu, lokasi kontrol dan Selat Alas dengan contoh ikan dari pasar-pasar di Sumbawa Barat, Lombok Timur, dan Mataram (CSIRO, 2010). Secara umum tidak terdapat perbedaan antara konsentrasi logam dalam jaringan ikan yang ditangkap di perairan dasar Senunu dibandingkan dengan semua lokasi lainnya (Gambar 4.29b).
4.3.3.4 Dampak
Survei uji tuntas yang dilakukan tahun 2009 membandingkan konsentrasi
Potensi dampak yang berhubungan dengan penempatan tailing telah
diprediksikan dalam ANDAL yaitu berkurangnya habitat bagi ikan laut dasar. Meskipun hal ini dapat berlangsung sampai pada batas waktu tertentu, namun ikan kakap laut dalam dan spesies lainnya ternyata masih dijumpai di dalam Ngarai Senunu, terbukti pada hasil pemantauan sejak penempatan tailing di Ngarai Senunu. Untuk semua elemen, hasil-hasil konsentrasi dalam jaringan otot tidak menunjukkan adanya perbedaan antara contoh yang diambil sebelum dan sesudah penempatan tailing, atau antara lokasi kontrol dengan di dalam Senunu.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
57
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Box 7. Studi Kandungan Logam Berat pada Jaringan Filter Feeder Latar belakang Program pemantauan (biomonitoring) menggunakan hewan laut penyaring makanan (filter-feeding) seperti kerang dan ikan dikembangkan untuk memantau potensi dampak konsumsi biota yang mungkin tercemar terhadap kesehatan manusia dan juga untuk menilai dampak ekologis terhadap kelimpahan dan keragaman spesies. Sebagai bagian dari kegiatan uji tuntas, PTNNT telah melakukan sejumlah studi independen mengenai perikanan perairan di dekat area proyek sebagai satu pemeriksaan atas pemantauan rutin terhadap tailing dalam ekosistem laut. Studi ini meliputi: komposisi dan keragaman spesies kerang dan ikan penyaring makanan, serta asupan logam oleh kerang dan ikan penyaring makanan.
Konsentrasi logam jaringan bivalva Dua survei telah dilakukan. Pada 2008, contoh diambil selama survei intertidal ekologi laut RPL dan konsentrasi logam (Ag, Al, As, Cd, Cr, Cu, Hg, Mn, Ni, Pb dan Zn) diukur dalam jaringan lunak individu kerang. Hasil dari survei awal ini menunjukkan bahwa selain kadmium, yang melebihi batas maksimal (ML) ANZFA untuk konsentrasi jaringan sebesar 2 Îźg/L di semua stasiun, logam lain umumnya berada dalam tingkat yang diharapkan (GEL), kecuali beberapa kelebihan dalam persentil ke-90 untuk tembaga, selenium dan seng. Survei kedua dimasukkan sebagai bagian dari program uji tuntas CSIRO (CSIRO, 2010). Spesies diseleksi untuk pemantauan sesuai dengan distribusi, kelimpahan populasi dan pentingnya dalam pola makan masyarakat setempat. Contoh tiram, kupang dan kerang dikumpulkan dari lokasi pemantauan intertidal dan kerang tambahan diperoleh dari masyarakat setempat. Total 20 spesies dari 8 famili kerang berhasil dikumpulkan. Informasi awal mengenai kelimpahan dan keragaman spesies ini serta konsentrasi logam dalam sedimen dari area intertidal juga dikumpulkan untuk memastikan ketepatan program pemantauan (Kastoro dkk., 2009). Data 2009 menggunakan sepuluh contoh yang terdiri dari komposit 5 spesies tiram dan kerang, dan menyediakan replikat untuk keperluan perbandingan antar laboratorium oleh CSIRO dan ALS. Logam dalam sedimen dari masing-masing lokasi pengumpulan intertidal juga diukur dan hasilnya menunjukkan bahwa sedimen tersebut bukan merupakan sumber asupan metal yang signifikan dalam biota bentik.
58
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Gambar 4.30 Lokasi Survei di Area Intertidal Pantai Maluk dan Tiram (Saccrostrea sp.) yang Menempel di Batuan Vulkanik
Gambar 4.31 Pengambilan Contoh Jaringan untuk Analisis Kandungan Logam Berat
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Gambar 4.32 Perbandingan Konsentrasi Tembaga dalam Jaringan Kerang Penyaring Makanan dari Beberapa Lokasi Survei atau Pasar yang Dianalisis di Laboratorium CSIRO dan ALS
Dibandingkan dengan hasil 2008, hanya dua tiram yang melebihi batas ANZFA ML 2 Îźg/L untuk kadmium dan konsentrasi tembaga, seng, timbal serta merkuri tidak melebihi GEL persentil ke-90 ANZFA dalam semua contoh dari pasar atau lokasi pengambilan contoh intertidal. Pemeriksaan antar laboratorium menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang sistematis dalam pengukuran yang dilakukan terhadap subcontoh dari contoh penyaring makanan yang sama selain arsenik dan selenium.
Populasi kerang penyaring makanan Studi Studi ini dilakukan oleh LIPI (Kastoro dkk., 2009) dan lokasi pengambilan contoh untuk kerang penyaring makanan meliputi lokasi pengambilan contoh intertidal di Maluk, Sejorong dan Labuhan Lalar serta pasar ikan Tanjung Luar dan Ampenan (Lombok). Total 8 famili terdiri dari 20 spesies kerang penyaring makanan berhasil dikumpulkan termasuk spesies yang dibeli di pasar ikan. Keragaman tertinggi spesies kerang teramati di Sejorong dekat mulut pipa tailing.
Gambar 4.33 Beberapa Jenis Kerang Penyaring Makanan yang Umum Dijumpai di Lokasi Survei
Beberapa kesimpulan awal dibuat dari studi ini, pertama, bahwa area yang terkena dampak tailing, yang dekat dengan kegiatan proyek memiliki keragaman yang lebih tinggi daripada lokasi lain. Kedua, ukuran beberapa spesies yang ditangkap hampir mencapai ukuran maksimal spesies tersebut yang mengindikasikan intensitas perikanan di area tersebut tidak tinggi dan stok ikan tidak dieksploitasi secara berlebih.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
59
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
4.3.4
Komunitas Bentos
4.3.4.1 Metode Pemantauan komunitas bentos dilakukan setiap 6 bulan sekali pada akhir musim hujan (sekitar April) dan akhir musim kemarau (sekitar Oktober) di sepuluh titik yang tersebar di Pesisir Selatan (Gambar 4.5a). Lokasi S06 tidak dipantau lagi sejak Oktober 2001 karena dasar laut berbatu tidak memungkinkan diperolehnya contoh. Pemantauan di S28 dilakukan sejak September 2001 khusus untuk meiobentos. Antara tahun 2008- April 2010 dilakukan pemantauan meiobenthos tambahan di lokasi CO2 dan CO3 (Gambar 4.4) untuk mengetahui dampak pengendapan tailing terhadap bentos, di luar aliran utama lumpur tailing. Contoh sedimen dasar laut diambil menggunakan box corer, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.34. Makrobentos dan meiobentos, yang merupakan organisme yang tertahan pada ayakan berukuran masingmasing 1 mm, dan 50 Îźm yang disaring dan dianalisis dari contoh yang dikumpulkan. Meiobentos mikroskopik termasuk dalam pemantauan karena pada dasarnya berjumlah lebih banyak daripada makrobentos, khususnya pada sedimen laut dalam. Bentos ini juga sangat terkait dengan endapan, karena tidak mengalami tahap sebaran larva planktonik sehingga menjadi indikator pemantauan kondisi endapan yang baik. Organisme yang dikumpulkan diawetkan menggunakan formalin dan analisis jumlah taksa, individu serta indeks keragaman, keseimbangan dan dominasi dilakukan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
4.3.4.2 Latar Belakang Makrobentos Sejak 1996 lebih dari 200 kelompok taksonomi makrobentos berhasil didata dalam contoh sedimen, meskipun jumlah yang teramati pada setiap contoh biasanya kurang dari dua puluh. Cacing polychaeta (+ 90 taksa) dan krustasea (+ 40 taksa) merupakan kelompok utama yang teramati; kelompok lainnya adalah echinoderm, gastropoda, malacostraca, cacing nemertine, dan kerang pelecypoda (moluska bivalva). Kelimpahan makrobentos berkisar mulai dari
60
Gambar 4.34 Pengambilan Contoh Makrobentos dan Meiobentos Menggunakan Box Corer
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
daripada jumlah individu, keragaman pada umumnya tinggi, dan dominasi taksa tidak teramati. Penyebab terjadinya penurunan dan kenaikan jumlah kelimpahan belum jelas, meskipun keadaan yang sama dijumpai pada semua lokasi di luar Senunu dan di lokasi kontrol Pesisir Selatan, yang menunjukkan tidak adanya hubungan penurunan ini dengan kegiatan PTNNT. Mungkin juga jumlah tersebut tidak mewakili sepenuhnya akibat hilangnya sebagian sedimen dari pengambilan contoh sesaat (grab sample) dan selama dinaikkan ke permukaan. Mungkin juga selama lebih dari sepuluh tahun pemantauan, hasilnya mencerminkan beberapa perubahan siklus alami jangka panjang. Meskipun rentang fluktuasi temporalnya besar, hasil pemantauan jelas menunjukkan adanya perubahan jumlah secara konsisten sampai ke tingkat terendah dan penurunan keragaman di lokasi-lokasi di dalam Ngarai Senunu saat dimulainya penempatan tailing, dibandingkan dengan yang terjadi pada lokasi di luar atau di lokasi kontrol.
Meiobentos
Gambar 4.35 Beberapa Jenis Makrobentos yang Umum Teramati dalam Contoh Sedimen di Pesisir Selatan
jumlah individu <10 sampai 1900 individu/m2 di lokasi Pesisir Selatan selama pelaksanaan pemantauan. Data pemantauan yang diperoleh menunjukkan kecenderungan kelimpahan taksa, individu, dan indeks keragaman di lokasi Pesisir Selatan yang disusun berdasarkan pengelompokkan lokasi di dalam Senunu (S01 dan S03), di luar Senunu (S02, S04, S05, S06, S07, dan S08), dan lokasi kontrol di Pesisir Selatan (SC1 dan SC2). Lokasi S01 dan, S03 berada pada kedalaman Âą200 m di Ngarai Senunu, di hilir titik mulut pipa pengeluaran tailing sehingga secara fisik dipengaruhi aliran tailing di dasar ngarai.
Selain jumlah yang bervariasi, terdapat indikasi terjadinya kecenderungan penurunan jumlah taksa dan individu secara menyeluruh, sejak 1998 sampai 2003, yang sesudah itu mulai berbalik terutama di berbagai lokasi di luar Senunu dan di lokasi kontrol. Tidak demikian halnya dengan lokasi di dalam Ngarai Senunu, yang jumlah individunya turun secara signifikan bahkan menjadi nol segera sesudah tailing mulai ditempatkan. Keragaman masih tetap bervariasidengan nilai indeks keragaman umumnya mencapai >1,0 di semua lokasi di luar Senunu dan di lokasi kontrol setelah periode operasi seperti sebelum tailing ditempatkan. Karena jumlah spesies seringkali hanya sedikit lebih rendah
Sekitar 40 kelompok taksa meiobentos telah dicatat selama masa pemantauan berlangsung, dan sekitar 10 di antaranya merupakan kelompok yang sering teramati pada setiap pemantauan. Copepoda dan Nematoda tetap merupakan kelompok paling umum, biasa ditemukan dalam sebagian besar komunitas meiobentos (Higgins & Thiel, 1988), dan cacingcacing Amphipoda dan Isopoda merupakan kelompok paling umum berikutnya. Seperti halnya makrobentos, data hasil pemantauan yang diperoleh menunjukkan kecenderungan kelimpahan taksa, individu dan indeks keragaman di lokasi Pesisir Selatan, yang dibuat sesuai kelompok: lokasi di dalam Senunu (S01, S03, S28), di luar Senunu (S02, S04, S05, S06, S07, S08), dan lokasi kontrol di Pesisir Selatan (SC1, SC2). Kelompok lokasi di dalam Senunu (S01, S03, S28) berada pada kedalaman Âą200 m dalam ngarai sekitar 80 m di bawah kedalaman mulut pipa pengeluaran tailing sehingga secara fisik terpengaruh oleh luncuran aliran tailing ke bawah.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
61
Bab 4 Pemantauan Lingkungan 25 Start Operation
Number of Taxa
20
15
10
5
Oct-10
Oct-09
Apr-10
Oct-08
Apr-09
Oct-07
Apr-08
Oct-06
Apr-07
Oct-05
Apr-06
Oct-04
Apr-05
Oct-03
Apr-04
Oct-02
Apr-03
Oct-01
Apr-02
Oct-00
Apr-01
Oct-99
Apr-00
Oct-98
Apr-99
Oct-97
Start Operation
1000
2
100
10
1
Oct-09
Apr-10
Oct-10
Oct-09
Apr-10
Oct-10
Oct-08
Apr-09
Oct-08
Apr-09
Oct-07
Apr-08
Oct-07
Apr-08
Oct-06
Apr-07
Oct-06
Apr-07
Oct-05
Apr-06
Oct-05
Apr-06
Oct-04
Apr-05
Oct-04
Apr-05
Oct-03
Apr-04
Oct-03
Apr-04
Oct-02
Apr-03
Oct-02
Apr-03
Oct-01
Apr-02
Oct-00
Apr-01
Oct-99
Apr-00
Oct-98
Apr-99
Oct-97
Apr-98
Apr-97
Oct-96
0
4 Start Operation
Makrobentos
62
Apr-98
10000
4.3.4.3 Data terkini
3
Diversity
2
1
Oct-01
Inside Senunu
Apr-02
Oct-00
Apr-01
Oct-99
Apr-00
Oct-98
Apr-99
Oct-97
Apr-98
Oct-96
0 Apr-97
Data dari tahun 2007 sampai 2010 lebih bervariasi dalam hal jumlah taksa di lokasi kontrol dan lokasi di luar Senunu dibandingkan periode sebelumnya. Jumlah taksa dan kelimpahan rendah tercatat pada bulan Oktober 2010 di lokasi kontrol tetapi masih dalam rentang yang tercatat sebelumnya. Di dua lokasi di dalam Senunu yang dipengaruhi oleh tailing (S01 dan S03), jumlah organisme makrobentos tetap sangat rendah bahkan mencapai nol. Indeks keragaman secara jelas juga memisahkan lokasi di dalam Senunu dari lokasi di luar Senunu dan lokasi control (Gambar 4.36).
Apr-97
Oct-96
0
Abundance (Ind/m )
Penurunan jumlah taksa, individu dan keragaman setelah penempatan tailing berlangsung sangat jelas terjadi di lokasi di dalam Ngarai Senunu, dibandingkan dengan lokasi kontrol dan lokasi di luar Senunu. Namun demikian, juga tercatat adanya penurunan jumlah taksa dan kelimpahan di berbagai lokasi kontrol dan lokasi di luar Senunu, terutama sesudah 2002. Meskipun penurunan ini tidak seperti di lokasi yang dipengaruhi tailing, tetapi jumlah meiobentos yang diamati pada dasarnya lebih sedikit daripada yang dilaporkan dalam literatur ilmiah untuk contoh dasar laut yang setara, yang jumlahnya biasanya sekitar beberapa ratus atau lebih per 10 cm2 (Coull & Chandler, 1992; Higgins & Thiel, 1988). Hal ini diperkirakan mencerminkan hilangnya integritas permukaan sedimen pada waktu contoh diambil. Pengambilan contoh dengan Shipek yang kemudian diganti dengan box corer (mulai periode pemantauan 2004) diharapkan menghasilkan jumlah lebih baik dan sesuai dengan jumlah yang ada dalam literatur. Setelah investigasi, audit prosedur identifikasi bentos dan tambahan kendali mutu dilakukan dengan penambahan duplikat contoh yang dianalisis di laboratorium berbada dilakukan (PTNNT, 2007a), disimpulkan penurunan kelimpahan tersebut terjadi lebih karena hasil prosedur laboratorium yang tidak mengumpulkan semua individu yang ada.
Outside Senunu
Control
Gambar 4.36 Jumlah Taxa, Kelimpahan, dan Keragaman Makrobentos di Sepanjang Pesisir Selatan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Meiobentos
20
Number of Taxa
Start Operation
15
10
5
Oct-10
Oct-09
Apr-10
Oct-08
Apr-09
Oct-07
Apr-08
Oct-06
Apr-07
Oct-05
Apr-06
Oct-04
Apr-05
Oct-03
Apr-04
Oct-02
Apr-03
Oct-01
Apr-02
Oct-00
Apr-01
Oct-99
Apr-00
Oct-98
Apr-99
Oct-97
Apr-98
Oct-96
Apr-97
0
10000
Abundance (Ind/sample)
Start Operation
1000
4.3.4.4 Dampak
100
Makrobentos
10
1
Oct-10
Oct-09
Apr-10
Oct-08
Apr-09
Oct-07
Apr-08
Oct-06
Apr-07
Oct-05
Apr-06
Oct-04
Apr-05
Oct-03
Apr-04
Oct-02
Apr-03
Oct-01
Apr-02
Oct-00
Apr-01
Oct-99
Apr-00
Oct-98
Apr-99
Oct-97
Apr-98
Oct-96
Apr-97
0
3.0 Start Operation
2.5 2.0
Diversity
Sejak 2006, jumlah taksa di lokasi kontrol dan di luar Senunu terus bertambah diikuti oleh penurunan jumlah pada Oktober 2009 walaupun jumlahnya tetap lebih tinggi daripada tahun 2004/2005. Jumlah individu menunjukkan kecenderungan yang sama tetapi lebih sedikit terlihat selama periode ini. Namun, pada lokasi yang dipengaruhi tailing (S01, S03 dan S28), jumlah taksa dan individu sedikit meningkat dengan ditemukannya beberapa individu pada semua contoh walaupun jumlah meiobentos tetap rendah daripada di lokasi kontrol atau di luar Senunu. Pada satu sisi, ini mungkin menunjukkan prosedur penyortiran yang lebih baik. Di sisi lain, ini menunjukkan beberapa individu mampu bertahan hidup dan akan memulai proses rekolonisasi setelah tambang berakhir (Gambar 4.37).
1.5 1.0 0.5
Oct-10
Oct-09
Apr-10
Oct-08
Apr-09
Oct-07
Apr-08
Oct-06
Apr-07
Oct-05
Outside Senunu
Apr-06
Oct-04
Apr-05
Oct-03
Apr-04
Oct-02
Apr-03
Oct-01
Inside Senunu
Apr-02
Oct-00
Apr-01
Oct-99
Apr-00
Oct-98
Apr-99
Oct-97
Apr-98
Oct-96
Apr-97
0.0
Control
Gambar 4.37 Jumlah Taxa, Kelimpahan, dan Keragaman Meiobentos di Sepanjang Pesisir Selatan
Secara umum penurunan kelimpahan dan keragaman yang signifikan sudah terjadi di titik pemantauan S01 dan S03, yang terletak pada kedalaman Âą200 m di dalam Ngarai Senunu sekitar 80 m di bawah kedalaman pembuangan saat ini. Contoh sedimen dari kedua titik pemantauan (S01 dan S03) sebagian besar berupa tailing yang menunjukkan penurunan jumlah bentos sampai ke angka nol pada sebagian besar replikat sejak 2002. Penurunan ini signifikan jika lokasi di dalam Senunu dibandingkan dengan berbagai lokasi di luar Ngarai Senunu dan lokasi kontrol (setelah penempatan tailing). Sebaliknya, tidak terjadi perubahan yang signifikan pada komunitas bentos selama ini antara lokasi di luar Ngarai Senunu atau lokasi kontrol. Ini menunjukkan bahwa, lokasi-lokasi tersebut belum terpengaruh oleh penempatan tailing. Hasil-hasil tersebut menegaskan prediksi ANDAL bahwa fauna makrobentos akan tertutupi dan lenyap secara efektif di bawah daerah aliran turbulensi tailing dan daerah endapannya. Selain itu, rekolonisasi signifikan diperkirakan tidak bisa terjadi sampai sesudah penempatan tailing berakhir, dan pada waktu itu, rekolonisasi diperkirakan akan cepat berlangsung. Meskipun konsentrasi
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
63
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
tembaga dalam sedimen yang terpengaruh oleh tailing dari Ngarai Senunu di hilir mulut pipa pengeluaran tailing menunjukkan angka tinggi, namun studi uji tuntas (CSIRO, 2005) menemukan bahwa hanya sebagian kecil tembaga (4%) dalam bentuk tersedia hayati (bioavailable), sehingga kemudian disimpulkan bahwa bentos sangat mungkin dipengaruhi langsung oleh gangguan fisik dan turbulensi, tertutup oleh tailing, seperti prediksi ANDAL. Tetapi, pemulihannya juga bisa berlangsung cepat, segera setelah berakhirnya kegiatan tambang, seperti dilaporkan oleh Tambang Island Copper dengan operasi penempatan tailing di dasar lautnya yang serupa, di mana pemulihan keragaman dapat terjadi dalam waktu dua tahun sesudah tambang ditutup (Poling, dkk, 2002).
Meiobentos
aliran utama tailing. Endapan tailing di lokasi CO2 dan CO3 memiliki konsentrasi tembaga sampai > 550 mg/kg, mendekati konsentrasi tailing, dan sesekali telah terjadi kenaikan tembaga terlarut di air laut dekat dasar di kedua lokasi ini (lihat bagian 4.3.1 dan 4.3.2). Jumlah taksa meiobentos di CO2 dan CO3 serta kelimpahan di CO2 relatif lebih rendah dibandingkan dengan lokasi di luar Senunu dan di lokasi kontrol. Kelimpahan meiobentos di CO3 setara dengan kelimpahan di luar Senunu dan di lokasi kontrol. Meskipun tidak terletak di jalur utama aliran tailing, tetapi karena letaknya yang relatif dekat terhadap ujung pipa dan lebih dalam dari kedalaman ujung pipa, pengendapan tailing di lokasi sekitar CO2 dan CO3 diindikasikan cukup signifikan dan mungkin telah mempengaruhi populasi bentos di tempat tersebut.
Hasil survei menunjukkan pengurangan pada kelimpahan dan keragaman meiobentos di lokasi S01, S03, dan S28, yang dipengaruhi oleh tailing di dalam Ngarai Senunu dibandingkan dengan lokasi di luar Senunu dan lokasi kontrol. Berkurangnya jumlah ini signifikan; pertama, jika dibandingkan dengan sebelum dan sesudah penempatan tailing; kedua, jika dibandingkan dengan lokasi lain di luar Ngarai Senunu dan lokasi kontrol setelah penempatan tailing. Sebaliknya, tidak terjadi perubahan yang signifikan pada komunitas bentos selama ini antara lokasi di luar Ngarai Senunu atau lokasi kontrol. Ini menunjukkan bahwa, lokasi-lokasi tersebut belum terpengaruh oleh penempatan tailing. Analisis statistik hasil pemantauan tahun 2007-2010menunjukkan perbedaan yang signifikan antara lokasi di dalam dan di luar Senunu,dan antara lokasi di dalam Senunu dengan lokasi kontrol.
Sesuai prediksi ANDAL (Dames & Moore, 1996) tailing berdampak terhadap bentos dalam jalur aliran tailing plume tetapi area pantai tetap tidak terpengaruh. Hasil pengamatan di Pesisir Selatan menunjukkan penurunan signifikan pada jumlah taksa, kelimpahan dan keragaman meiobentos, di lokasi di dalam Ngarai Senunu setelah penempatan tailing dimulai. Meskipun jumlah organisme di berbagai lokasi yang terpengaruh oleh tailing di dalam Ngarai Senunu berkurang, terkadang sampai nol, namun beberapa individu organisme berhasil bertahan hidup di lokasi-lokasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa rekolonisasi tailing akan terjadi segera setelah penempatan tailing dan turbulensi jatuhnya aliran tailing berakhir. Hal ini sesuai dengan temuan dari percobaan kolonisasi tailing dan dibahas lebih lanjut dalam Bab 5.
Pemantauan tambahan meiobentos di lokasi CO2 dan CO3 dilakukan sejak 2008 untuk mengidentifikasi dampak di area yang memiliki endapan tailing tetapi diperkirakan tidak terletak pada aliran utama lumpur tailing di dasar Ngarai Senunu. Lokasi CO2 dan CO3 terletak di sisi Barat dan Timur ngarai pada kedalaman berturut-turut 355 m dan 260 m. Endapan di lokasi tersebut diperkirakan dipengaruhi oleh tailing tersuspensi yang mengendap di sekitar
4.3.5
64
jala 50 Îźm. Sedangkan contoh zooplankton diambil dengan jaring berdiameter 50 cm dengan mata jala 200 Îźm. Semua contoh diambil dengan cara ditarik secara vertikal di sepanjang 20 m di bagian permukaan perairan, baik saat jaring turun dengan pemberat maupun saat naik kembali sehingga menghasilkan jarak penarikan sepanjang 40 m, dengan tiga contoh replika yang dikumpulkan di setiap kesempatan. Contoh-contoh tersebut diawetkan dengan larutan formalin 4% dan Lugol seperti yang terlihat pada Gambar 4.38 dan 4.39. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan kalkulasi indeks keragaman, keseimbangan dan dominansi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Komunitas Plankton
4.3.5.1 Metode Pemantauan komunitas plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton, dilakukan dua kali dalam setahun pada akhir musim hujan (April) dan akhir musim kemarau (Oktober). Contoh fitoplankton diambil dengan menggunakan jaring plankton berdiameter 20 cm dan dengan mata
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Gambar 4.38 Pengambilan Contoh Plankton Menggunakan Plankton Net
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
yang kelimpahannya tidak lebih besar dari diatom. Kelompok Cyanophyceae yang paling umum adalah jenis Trichodesmium (Gambar 4.40).
Gambar 4.39 Pengawetan Contoh Plankton
4.3.5.2 Latar belakang Fitoplankton Sejak 1996, lebih dari 70 taksa fitoplankton telah tercatat di Pesisir Selatan dalam contoh kolom air bagian permukaan (kedalaman hingga 20 m) yang rutin diambil, meskipun pada satu waktu atau di tempat tertentu hanya sekitar 10-25 taksa dapat teramati. Kelompok yang kerap diamati adalah Bacillariophyceae (diatom) dan genus yang paling umum ditemui meliputi Chaetoceros, Nitzchia, Bacteriastrum, Rhizosolenia, Leptocylindrus serta Thalassiotrix. Dinoflagellates hanya terwakili oleh dua spesies: Ceratium dan Peridinium,
Kelimpahan yang diamati pada berbagai lokasi di dalam Senunu (zona B bagian permukaan) dan luar Ngarai Senunu (zona C bagian permukaan, termasuk lokasi kontrol) hingga 2006 tidak berbeda nyata dengan pola yang diamati sebelumnya. Pola dominan yang teramati selama periode pemantauan tersebut (terutama pada kelimpahan secara menyeluruh), memiliki kesamaan spasial yang tinggi tetapi dengan variasi temporal yang tinggi pula. Dengan kata lain, pada setiap periode survei, hasil yang mirip terdapat di semua lokasi pengambilan contoh, tetapi di antara periode pengambilan contoh berturut-turut, kelimpahan bisa bervariasi sangat signifikan, lebih bersifat perbedaan komunitas plankton regional daripada lokal. Pada umumnya, indeks keragaman tetap stabil di sekitar 1,5.
Zooplankton Kurang-lebih 60 taksa zooplankton telah tercatat, sejak pengambilan contoh pertama kali tahun 1996, meskipun pada satu lokasi dan waktu tertentu hanya sekitar 15 yang diobservasi. Yang kerap ditemukan adalah berbagai genus Kopepoda, termasuk stadium larva dari Krustasea, Sagittoidea, Polychaeta, Gastropoda,
Gambar 4.40 Jenis Fitoplankton yang Umum Teramati di Sepanjang Pesisir Selatan
Pelecypoda, dan Protozoa, yang juga melimpah (Gambar 4.41). Hasil pemantauan komunitas zooplankton hingga 2006 menunjukkan bahwa pola-pola kelimpahan dan keragaman zooplankton yang diamati sama dengan yang dijelaskan untuk fitoplankton. Di setiap periode pengambilan contoh, variasi temporal jauh lebih besar daripada variasi spasial, namun tidak ada indikasi perubahan atau hasil yang menunjukkan bahwa lokasi di Pesisir Selatan (baik kelompok lokasi pemantauan di dalam maupun di luar Ngarai Senunu termasuk lokasi kontrol) telah berbeda secara siginifikan pada setiap periode survei.
4.3.5.3 Data Terkini Fitoplankton Hasil pengamatan terkini dari kelimpahan fitokplankton pada berbagai lokasi di dalam dan di luar Senunu adalah sama dengan pola-pola yang diamati sebelumnya, yang menunjukkan variasi spasial yang rendah pada setiap periode survei tetapi terkadang menunjukkan variasi temporal yang tinggi di antara beberapa survei. Akan tetapi, antara April 2005 dan Oktober 2007, kelimpahan fitoplankton sedikit lebih rendah (jumlah total individu) di dua lokasi kontrol dibandingkan dengan
Gambar 4.41 Jenis Zooplankton yang Umum Teramati di Sepanjang Pesisir Selatan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
65
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
4.3.5.4 Dampak Fitoplankton Pengambilan contoh fitoplankton melalui pengumpulan triplikat pada berbagai kesempatan dan lokasi, menghasilan basis data yang besar, sehingga dapat digunakan untuk menilai perubahan statistik dari waktu ke waktu dan di antara beberapa lokasi kontrol dan lokasi “dampak” di dalam Ngarai Senunu. Analisis multivariat terhadap perubahan komunitas sampai sekarang, menunjukkan tidak ada perubahan menyolok pada komunitas plankton, ketika dibandingkan dengan berbagai lokasi di dalam Ngarai Senunu selama ini, atau jika dibandingkan berbagai lokasi baik di
66
No. of Taxa (average)
Pre Operation
Operational Phase
30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 Oct‐10
Oct‐09
Apr‐10
Apr‐09
Sep‐08
Oct‐07
Apr‐08
Oct‐06
Apr‐07
Oct‐06
Apr‐07
Oct‐06
Apr‐07
Oct‐05
Apr‐06
Oct‐04
Apr‐05
Oct‐03
Apr‐04
Oct‐02
Apr‐03
Apr‐02
Sep‐01
Oct‐00
Apr‐01
Oct‐99
Apr‐00
Oct‐98
Apr‐99
Oct‐97
Apr‐98
Oct‐96
Mar‐97
0.00
Abundance of Phytoplankton in South Coast 10000000 1000000
Pre Operation
Operational Phase
100000 10000 1000 100 10 Oct‐07
Apr‐08
Sep‐08
Apr‐09
Oct‐09
Apr‐10
Oct‐10
Oct‐07
Apr‐08
Sep‐08
Apr‐09
Oct‐09
Apr‐10
Oct‐10
Oct‐05
Apr‐06
Oct‐04
Apr‐05
Oct‐03
Apr‐04
Apr‐03
Oct‐02
Apr‐02
Sep‐01
Oct‐00
Apr‐01
Oct‐99
Apr‐00
Oct‐98
Apr‐99
Oct‐97
Apr‐98
Oct‐96
Mar‐97
1
Diversity Index of Phytoplankton in South Coast 4.000 Pre Operation
Operational Phase
3.000 2.000 1.000
Inside Senunu
Oct‐05
Apr‐06
Oct‐04
Outside Senunu
Apr‐05
Oct‐03
Apr‐04
Apr‐03
Oct‐02
Apr‐02
Sep‐01
Oct‐00
Apr‐01
Oct‐99
Apr‐00
Oct‐98
Apr‐99
Oct‐97
Apr‐98
0.000 Oct‐96
Hasil pemantauan untuk lokasi-lokasi di Pesisir Selatan hingga 2010 (dikelompokkan menurut lokasi-lokasi di dalam Senunu, di luar Senunu dan lokasi kontrol), menunjukkan bahwa jumlah taksa, kelimpahan, dan indeks keragamannya tidak berbeda nyata dengan tahun-tahun sebelumnya (Gambar 4.43). Seperti hasil observasi fitoplankton, jumlah taksa dan individu di lokasi kontrol bervariasi dengan yang berada di lokasi di dalam dan diluar Ngarai Senunu. Pada survei tahun 2006-2007, kelimpahan di lokasi kontrol agak berbeda dari yang ada di dalam dan luar Senunu (April lebih tinggi, Oktober lebih rendah). Tetapi, hasil dari 2008 dan seterusnya menunjukkan kecenderungan yang normal dan sama di seluruh lokasi, tanpa ada perbedaan dalam hasil antar lokasi, baik di dalam dan di luar Ngarai Senunu serta lokasi kontrol.
35.00
Mar‐97
Zooplankton
Number of Phytoplankton Taxa in South Coast 40.00
Ind/m3
yang terdapat di dalam Senunu. Karena jumlah taksa masih tetap sama, hal ini menyebabkan indeks keragaman di lokasi-lokasi kontrol selama periode tersebut lebih tinggi. Karena lokasilokasi kontrol terletak beberapa kilometer ke arah Timur dan Barat dari lokasi-lokasi lain yang ada di dalam dan luar Senunu, maka hal ini mungkin akibat jarak geografis yang semakin melebar di antara kedua lokasi tersebut, pada saat pengambilan contoh. Sejak 2007 hingga 2010, pola konsistensi yang khas di seluruh lokasi pada setiap waktu survei telah kembali seperti rona awal (Gambar 4.42).
Control
Gambar 4.42 Jumlah Taxa, Kelimpahan dan Keragaman Fitoplankton di sepanjang Pesisir Selatan
dalam, di luar, maupun lokasi kontrol, kecuali untuk periode antara 2005 dan 2007, ketika komunitas yang ada di lokasi-lokasi kontrol menunjukkan perbedaan yang signifikan (kelimpahan yang rendah) dibandingkan dengan yang ada di lokasi-lokasi baik di dalam maupun di luar Senunu. Meski demikian, hal ini dijelaskan dalam kecenderungan jangka panjang pada Gambar 4.42 bahwa data terkini menunjukkan kesesuaian dalam semua indeks, dengan tanpa ada perbedaan antara lokasi kontrol dan lokasi yang ada di dalam dan di luar Senunu. Analisis sebelumnya yang menggunakan analisis ganda sebelum-sesudah, kontrol-dampak (MBACI), dan prosedur statistik multivariat, juga tidak menemukan adanya perubahan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
plankton yang signifikan dalam kaitannya dengan lokasi dan waktu pelaksanaan komisioning jaringan pipa tailing. Meski demikian, beberapa perbedaan komunitas memang terdeteksi pada contoh dari beberapa lokasi di Pesisir Selatan. Hal ini tidak terkait dengan proyek, namun menunjukkan adanya perbedaan massa-air pada waktu-waktu tertentu di Pesisir Selatan dan Selat Alas. Tailing dikeluarkan dari mulut pipa jauh di bawah zona fotik dan tidak berinteraksi dengan plankton di zona ini. Hasil survei laut dalam tahun 2009 (LIPI, 2010) menunjukkan profil vertikal klorofil-a di dalam kolom air dengan nilai maksimum pada kedalaman 25-50 m di bawah permukaan dan zona fotik permukaan
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
4.3.6 Ekosistem terumbu karang
Number of Zooplankton Taxa in South Coast
No. of Taxa (average)
40.00 35.00
Pre Operation
Operational Phase
30.00
4.3.6.1 Metode
25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 Oct‐10
Oct‐09
Apr‐10
Apr‐09
Sep‐08
Oct‐07
Apr‐08
Oct‐06
Apr‐07
Oct‐06
Apr‐07
Oct‐06
Apr‐07
Oct‐05
Apr‐06 Apr‐06
Oct‐04
Apr‐05
Oct‐03
Apr‐04
Oct‐02
Apr‐03
Apr‐02
Sep‐01
Oct‐00
Apr‐01
Oct‐99
Apr‐00
Oct‐98
Apr‐99
Oct‐97
Apr‐98
Oct‐96
Mar‐97
0.00
Abundance of Zooplankton in South Coast 1000000.00 Pre Operation
100000.00
Operational Phase
Ind/m3
10000.00 1000.00 100.00 10.00
Oct‐07
Apr‐08
Sep‐08
Apr‐09
Oct‐09
Apr‐10
Oct‐10
Oct‐07
Apr‐08
Sep‐08
Apr‐09
Oct‐09
Apr‐10
Oct‐10
Oct‐05
Oct‐04
Apr‐05
Oct‐03
Apr‐04
Apr‐03
Oct‐02
Apr‐02
Sep‐01
Oct‐00
Apr‐01
Oct‐99
Apr‐00
Oct‐98
Apr‐99
Oct‐97
Apr‐98
Oct‐96
Mar‐97
1.00
Diversity Index of Zooplankton in South Coast 4.00 Pre Operation
Operational Phase
3.00 2.00 1.00
Inside Senunu
Oct‐05
Apr‐06
Oct‐04
Outside Senunu
Apr‐05
Oct‐03
Apr‐04
Apr‐03
Oct‐02
Apr‐02
Sep‐01
Oct‐00
Apr‐01
Oct‐99
Apr‐00
Oct‐98
Apr‐99
Oct‐97
Apr‐98
Oct‐96
Mar‐97
0.00
Control
Gambar 4.43 Jumlah Taxa, Kelimpahan dan Keragaman Zooplankton di sepanjang Pesisir Selatan
mencapai kedalaman 75-100 m. Selanjutnya uji toksisitas dengan diatom laut Chaetone gracilis menunjukkan bahwa tailing tidak memperlihatkan efek toksisitas akut ataupun kronis (LIPI, 2004b, c, d; LIPI, 2006). Hal ini sesuai dengan prediksi ANDAL, yaitu bahwa komunitas fitoplankton tidak terkena dampak tailing.
Zooplankton Seperti fitoplankton, analisis statistik terhadap komunitas zooplankton menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara berbagai lokasi di dalam dan di luar Ngarai Senunu, dan di lokasi kontrol kecuali untuk periode antara 2005 dan 2007 saat terdapat perbedaan yang signifikan di lokasi kontrol (jumlah taksa dan
kelimpahan lebih rendah) daripada di lokasi survei di luar Senunu. Namun demikian, dari grafik tren jangka panjang pada Gambar 4.43 jelas terlihat bahwa data terkini telah sesuai dengan semua indeks dan tidak terdapat perbedaan antara lokasi kontrol dengan lokasi di dalam dan di luar Senunu. Variasi temporal mencerminkan kondisi oseanografis berskala luas di derah pesisir (umum dijumpai di seluruh lokasi di Pesisir Selatan pada waktu tertentu), tetapi ada beberapa perbedaan komunitas di antara lokasi di Benete dan di Pesisir Selatan. Seperti prediksi ANDAL, tidak terdeteksi adanya perbedaan komunitas zooplankton di berbagai lokasi sekitar Ngarai Senunu, dan komunitas zooplankton tidak terkena dampak tailing.
Pemantauan kondisi komunitas karang dan ikan karang dilakukan di lima lokasi pemantauan di Pesisir Selatan yang membentang sepanjang area studi dari barat Senunu sampai timur Senutuk mengacu pada garis bujur yang telah ditetapkan (seperti terlihat pada Gambar 4.5b di atas). Posisi garis lintang bervariasi tergantung seberapa dekat jaraknya dengan zona bibir karang sehingga aman untuk melakukan penyelaman. Pemantauan dilakukan oleh tim penyelam menggunakan metode transek garis atau line intercept transect (UNEP, 1993) umumnya pada kedalaman antara 15 sampai 18 m. Pelaksanaan pemantauan dilakukan dengan membentangkan garis transek (meteran kedap air) sepanjang 20 m sejajar garis pantai dan mengikuti kontur pertumbuhan karang, seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.44. Pengamatan transek dilakukan terhadap semua bentuk pertumbuhan karang (benthic lifeform) termasuk komponen abiotik yang dikelompokkan menjadi: · Karang keras, terdiri dari Acropora (branching, encrusting, tabulated, submassive), dan non Acropora (seperti massive, mushroom, foliose, Millepora, dan Heliopora). · Biota lain, berupa karang lunak, sponges, Zooanthids, dan lainnya (Anemon, Gorgonia, Kima dll). Ganggang, seperti macro algae, turf algae (alga filamen), dan corraline algae. · Karang mati, termasuk yang masih utuh tapi mulai memutih. · Substrat, berupa pasir, pecahan karang, dan batu. Para penyelam kemudian mengikuti metode point-intercept dan mencatat jarak di sepanjang pita setiap melihat kenampakan penting yang saling memotong yang teramati (misalnya, pada awal dan akhir setiap jenis karang yang berdiri sendiri). Pengambilan gambar juga dilakukan pada setiap transek untuk membandingkan catatan pada setiap periode pemantauan. Penghitungan populasi ikan karang secara visual dilakukan sepanjang
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
67
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Gambar 4.44 Pemasangan Pita Transek dan Pengamatan Ekosistem Terumbu Karang dengan Metode Line Intercept Transect
transek yang sama, dengan konsentrasi pada kelompok penghuni-karang dan pelagis. Para penyelam mencatat jumlah spesies atau taxa (Âą 5 m dari garis transek, tergantung pada jarak pandang saat itu), untuk menentukan indeks keragaman, kesamaan dan dominasi.
4.3.6.2 Latar Belakang Komunitas karang Kelima lokasi pemantauan karang membentang sepanjang Pantai Selatan dari timur Tanjung Mangkun (SC1), barat dan timur Senunu (SC2 dan SC3), serta barat dan timur Senutuk (SC4 dan SC5). Di Pesisir selatan terumbu karang umumnya berada dari daerah pasang surut sampai ke kedalaman 20 m, dan lebih dari itu lantai karang keras digantikan oleh dasar berbatu dan berpasir. Kondisi karang subtidal di Pantai Selatan digambarkan sebagai sebuah dataran berbatu-batu yang kemiringannya berangsur-angsur semakin dalam dan
telah tererosi oleh terjangan gelombang berenergi tinggi, sehingga menimbulkan beberapa rangkaian tonjolan dan ceruk memanjang yang sejajar (Gambar 4.45). Ke arah timur Senutuk, karang tepi semakin kurang ekstensif, sehingga karang yang terjal mendominasi daerah tersebut bersama batuan karang sepanjang garis pantai. Ciri-ciri kondisi karang di Pesisir Selatan dapat dilihat pada Gambar 4.46. Karang keras memiliki profil rendah tetapi luas penutupan karang rendah (umumnya < 20%). Koloni karang lunak cukup melimpah bercampur dengan daerah-daerah ganggang, yang membentuk jenis komunitas yang dominan. Hanya sedikit ganggang laut yang panjangnya lebih dari beberapa sentimeter dari permukaan karang ke kolom air. Halimeda atau coralline algae (Gambar 4.47) merupakan komponen alga yang paling berlimpah, tetapi dapat dijumpai pula keragaman yang tinggi pada jenis ganggang hijau,
merah, dan jenis ganggang lainnya. Beberapa zooanthids dan karang dengan area penutupan kecil juga ditemui. Namun demikian, kuatnya terjangan gelombang mempengaruhi pita transek dan penyelamnya sehingga pengukuran dengan skala sentimeter di koloni ini sangat sulit dilakukan. Dalam rentang kedalaman pengambilan contoh antara 12 - 18 m di belakang zona bibir karang, karakteristik utama adalah homogenitas yang menyeluruh, dan kelima lokasi ini menunjukkan tingkat kesamaan yang besar selama periode studi delapan tahun. Secara statistik, tidak ada pemisahan lokasi berdasarkan jenis fauna & flora yang diamati, termasuk lokasi SC2 dan SC3 yang lokasinya paling dekat ke lokasi mulut pipa pengeluaran tailing. Meskipun tanpa menggunakan transek permanen hasilnya menunjukkan habitat karang yang homogen di seluruh daerah pemantauan subtidal.
Gambar 4.45 Kondisi Umum Terumbu Karang Subtidal di Sepanjang Pesisir Selatan
68
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Ikan karang
Gambar 4.46 Ciri-ciri Tutupan Karang dengan Profil Rendah namun Luas di Sepanjang Pesisir Selatan
Gambar 4.47 Komponen alga yang Umum Teramati di Terumbu Karang di Sepanjang Pesisir Selatan
Ikan-ikan yang hidupnya tergantung pada komunitas karang seperti damselfish (Pomacentridae), surgeonfish (Acanthuridae), wrasse (Labridae), butterfly fish (Chaetodontidae) dan goatfish (Mullidae) merupakan kelompok ikan dengan jumlah tertinggi dan secara konsistensi merupakan kelompok terbesar walaupun sebagian kelompok ikan karang lainnya juga tercatat (Gambar 4.48). Spesies yang mewakili lebih dari 40 famili telah diamati selama pemantauan berlangsung. Pada umumnya, sekitar 50-200 individu dari 10-20 famili berhasil teramati dalam setiap survei di Pesisir Selatan. Meskipun lebih banyak lagi spesies yang tercatat, namun analisis data dilakukan pada tingkatan famili untuk menghindari kesalahan yang mungkin terjadi karena perubahan identifikasi spesies selama waktu survei. Saat ini identifikasi pada tingkat famili dapat langsung dilakukan oleh penyelam. Hasil penghitungan kelimpahan ikan karang oleh penyelam pada setiap transek dapat berbeda pada tiap-tiap survei karena tergantung pada kondisi seperti cahaya, pasang surut dan waktu. Terdapat indikasi siklus puncak kelimpahan pada periode tahun 1997/ 1998 dan 2001/2002, namun secara umum tidak ada kecenderungan positif atau negatif pada suatu waktu di setiap lokasi dan indeks keragaman pun berada pada kisaran 2 dalam pemantauan selama empat belas tahun. Hasil survei umumnya menunjukkan variasi temporal yang lebih luas daripada variasi spasial, dengan beberapa pengecualian, jumlah taksa, individu dan keragaman umumnya konsisten di seluruh lokasi pengambilan contoh pada setiap survei tertentu, namun secara nyata seringkali berbeda antar survei.
4.3.6.3 Data terkini Komunitas karang
Gambar 4.48 Jenis Ikan Karang yang Umum Teramati saat Perhitungan dengan Sensus Visual
Pada Gambar 4.49, persentase tutupan bentuk kehidupan utama; karang keras, biota lain (sebagian besar karang lunak); ganggang, karang mati; abiotik, selama empat tahun terakhir sebagian besar sesuai dengan hasil sebelumnya sejak tahun 1996. Terjadi peningkatan dalam kategori
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
69
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Oct-96 Mar-97 Oct-97 Apr-98 Oct-98 Apr-99 Oct-99 Apr-00 Oct-00 Apr-01 Sep-01 Apr-02 Oct-02 Apr-03 Oct-03 Apr-04 Oct-04 Apr-05 Sep-05 Apr-06 Sep-06 Apr-07 Sep-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10 Oct-96 Mar-97 Oct-97 Apr-98 Oct-98 Apr-99 Oct-99 Apr-00 Oct-00 Apr-01 Sep-01 Apr-02 Oct-02 Apr-03 Oct-03 Apr-04 Oct-04 Apr-05 Sep-05 Apr-06 Sep-06 Apr-07 Sep-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
Gambar 4.50 menunjukkan jumlah taksa, individu dan indeks keragagaman ikan karang di lima lokasi transek penyelaman Pesisir Selatan dari 1995 sampai Desember 2010. Terdapat fluktuasi selama periode tersebut tetapi tidak ada lokasi yang secara konsisten berbeda dengan lokasi lainnya. Selama tahun-tahun terakhir ini sejak 2007, jumlah taksa dan kelimpahan mencapai puncak pada 2010 dan sedikit lebih tinggi daripada rata-rata jangka panjang sejak Oktober 2008. Keragaman juga sedikit lebih tinggi di atas rata-rata. Semua lokasi sangat mirip dalam hal kelimpahan jumlah ikan keseluruhan, dan selain itu, tidak terlihat kecenderungan atau perubahan jangka panjang pada populasi ikan karang di pantai selatan.
Average Cover of South Coast 2 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Average Cover of South Coast 3 100% 80% 60% 40% 20% 0% Oct-96 Mar-97 Oct-97 Apr-98 Oct-98 Apr-99 Oct-99 Apr-00 Oct-00 Apr-01 Sep-01 Apr-02 Oct-02 Apr-03 Oct-03 Apr-04 Oct-04 Apr-05 Sep-05 Apr-06 Sep-06 Apr-07 Sep-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
Ikan karang
Average Cover of South Coast 1 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Average Cover of South Coast 4 100% 80% 60% 40% 20% 0% Oct-96 Mar-97 Oct-97 Apr-98 Oct-98 Apr-99 Oct-99 Apr-00 Oct-00 Apr-01 Sep-01 Apr-02 Oct-02 Apr-03 Oct-03 Apr-04 Oct-04 Apr-05 Sep-05 Apr-06 Sep-06 Apr-07 Sep-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
‘karang mati’ pada tutupan sampai lebih dari 20% di semua lokasi pada periode 2008-2009. Namun, peningkatan ini hanya menggantikan kategori ‘ganggang’ bukan ‘karang keras’ yang tetap sama dengan tahuntahun sebelumnya dan karenanya bukan hal baru tetapi mungkin dasar karang mati dengan tutupan ganggang yang berkurang saat pengambilan contoh. Data tahun 2010 menunjukkan komposisi karang mati yang berkurang di bawah 5% seperti pada periode sebelum tahun 2008.
4.3.6.4 Dampak Stabilitas komunitas yang dikelompokkan dalam karang pesisir selatan tetap berlangsung selama periode pemantauan dan analisis statistik yang membandingkan bentuk biotik karang utama tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada lima lokasi di pesisir selatan selama periode pengambilan contoh. Pemantauan transek dengan jelas menunjukkan operasi PTNNT tidak berdampak terhadap fauna dan flora karang subtidal di sepanjang Pesisir Selatan. Pada lingkungan terkikis dan berenergi tinggi, risiko dampak yang ditimbulkan sedimen dapat diabaikan, sebagaimana ditunjukkan oleh pengamatan sampai saat ini. Hasilnya sesuai dengan ANDAL yang memprediksikan tidak akan timbul dampak terhadap terumbu karang,
70
Oct-96 Mar-97 Oct-97 Apr-98 Oct-98 Apr-99 Oct-99 Apr-00 Oct-00 Apr-01 Sep-01 Apr-02 Oct-02 Apr-03 Oct-03 Apr-04 Oct-04 Apr-05 Sep-05 Apr-06 Sep-06 Apr-07 Sep-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
Komunitas karang
Average Cover of South Coast 5 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Hard coral
Other biota
Algae
Dead coral
Abiotic
Gambar 4.49 Prsentase Komposisi Bentuk Pertumbuhan Karang di Sepanjang Pesisir Selatan
pantai dan habitat pesisir pantai atau organisme yang hidup di tempat tersebut.
Ikan karang Meskipun terdapat variasi temporal dalam indeks kelimpahan selama periode pemantauan, namun tidak
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
ditemukan adanya pemisahan lokasi yang jelas dalam hal komunitas ikan karang, termasuk di lokasi SC2 dan SC3 yang paling dekat ke lokasi mulut pipa pengeluaran tailing. Kemungkinan, jarak pandang dan kondisi yang bergelombang yang biasa terjadi di semua lokasi pada saat
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
karang adalah indikator yang baik yang menunjukkan faktor kesehatan karang dan hal ini menghasilkan bukti selanjutnya bahwa sesuai dengan prediksi ANDAL, operasi PTNNT tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan laut pesisir yang dangkal.
No. of Fish Taxa at South Coast 70 60
Pre-Operation
operational phase
No of Taxa
50 40 30 20
4.3.7
10
Ekosistem intertidal
Feb-95 Sep-95 Oct-96 Apr-97 Oct-97 Apr-98 Oct-98 Apr-99 Oct-99 Apr-00 Oct-00 Apr-01 Sep-01 Apr-02 Oct-02 Apr-03 Oct-03 Apr-04 Oct-04 Apr-05 Sep-05 Apr-06 Sep-06 Apr-07 Sep-07 May-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
0
2
Pemantauan biota dan lingkungan intertidal atau daerah pasang surut sejak awal telah dilakukan oleh para ilmuwan dan peneliti profesional dari IPB atau konsultan independen lainnya. Pemantauan dilakukan di lima lokasi pemantauan dua kali dalam setahun dan biasanya jatuh pada bulan April dan Oktober. Dengan sistem transek tegak lurus dengan garis pantai di setiap lokasi dibuat tiga lajur pemantauan yang ditandai dari batas air surut terendah hingga pasang tertinggi. Di sepanjang lajur transek tersebut diletakkan kuadrat 1 m2 secara acak (dengan tiga replika) pada interval 50 m sampai 150 m (Gambar 4.51) tergantung pada tutupan komponen pembentuk karang utama pada zona pasang surut tinggi, menengah dan rendah. Perkiraan mengenai persentase tutupan spesies ganggang, rumput laut dan penghitungan hewan-hewan (fauna) yang utama dibuat dalam kuadrat dan dilaporkan sebagai rata-rata wilayah pasang surut tinggi, menengah dan rendah.
1
4.3.7.2 Latar belakang
No. of individual Fish at South Coast 700
No of Individual
600
Pre-Operation
operational phase
500 400 300 200 100
Feb-95 Sep-95 Oct-96 Apr-97 Oct-97 Apr-98 Oct-98 Apr-99 Oct-99 Apr-00 Oct-00 Apr-01 Sep-01 Apr-02 Oct-02 Apr-03 Oct-03 Apr-04 Oct-04 Apr-05 Sep-05 Apr-06 Sep-06 Apr-07 Sep-07 May-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
0
Biodiversity Index at South Coast 4 Pre-Operation
operational phase
3 S/W Index
4.3.7.1 Metode
Feb-95 Sep-95 Oct-96 Apr-97 Oct-97 Apr-98 Oct-98 Apr-99 Oct-99 Apr-00 Oct-00 Apr-01 Sep-01 Apr-02 Oct-02 Apr-03 Oct-03 Apr-04 Oct-04 Apr-05 Sep-05 Apr-06 Sep-06 Apr-07 Sep-07 May-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
0
SC1
SC2
SC3
SC4
SC5
Gambar 4.50 Jumlah Taxa, Kelimpahan, dan Keragaman Ikan Karang Berdasarkan Sensus Visual di Sepanjang Pesisir Selatan
melakukan survei, merupakan faktor utama yang turut menyebabkan timbulnya perbedaan perhitungan di antara berbagai periode pengambilan contoh tersebut. Jumlah, kelimpahan dan keragaman ikan masih berada dalam rentang yang sama dengan kondisi sebelum tailing ditempatkan,
dan sedikit lebih tinggi pada tiga tahun terakhir (2008-2010). Dengan memperhatikan homogenitas temporal dan spasial yang diamati di habitat karang sepanjang Pesisir Selatan pada periode pemantauan selama 11 tahun, tampaknya tidak mungkin terjadi perubahan komunitas ikan. Ikan
Pemantauan biota dan lingkungan intertidal di lima lokasi pemantauan sejak sebelum operasi tambang di mulai hingga kini ditunjukkan dalam bentuk persentase tutupan komponen pembentuk karang utama (lamun, ganggang laut, karang dan komponen abiotik). Beberapa lokasi di Pesisir Selatan yaitu Mangkun, Madasanger dan Sejorong/Senutuk adalah yang paling dekat ke mulut pipa pengeluaran tailing. Hampir semua lokasi memiliki karakteristik yang sama, yakni sebagai dataran pasang surut yang luas sepanjang beberapa ratus meter di antara pasang tinggi, biasanya berupa pantai berpasir dan bibir karang tererosi menjadi
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
71
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Gambar 4.51 Survei Intertidal menggunakan Transek 1 m Persegi
gundukan dan lekukan yang terpisahpisah akibat kuatnya energi gelombang laut. Zona pantai (pasang tinggi) dengan jarak antara 50-100 m didominasi oleh dasar berupa pecahan koral dengan sejumlah ceruk-ceruk kecil sampai besar dengan dasar berupa pasir kasar atau pecahan karang. Ceruk-ceruk ini berisi lamun dan ganggang laut dalam proporsi yang berbeda-beda. Lamun yang dominan dan diamati selama periode pemantauan adalah dari genus Halodule, Thalassia, Halophila, dan Cyomodocea. Variasi ganggang laut lebih banyak, tercatat sekitar 10-20 genus. Kelompok ganggang laut dominan terdiri dari jenis ganggang cokelat seperti Sargassum, Turbinaria, dan ganggang hijau (Ulva). Zona pasang surut menengah mempunyai ciri ditutupi oleh pecahan karang, dengan tonjolan dan ceruk datar yang semakin tinggi dan curam ketika bersebelahan dengan puncak karang pasang rendah. Ceruk-ceruk di daerah pasang menengah mempunyai dasar batuan atau pecahan karang, dengan habitat lamun yang agak berpasir, serta ganggang laut yang lebih dominan dan lebih luas daripada lamun. Pada zona pasang rendah (reef crest), tutupan karang, ganggang merah dan ganggang coralline lebih melimpah dan bentuknya lebih dominan. Lokasi pemantauan pasang surut di Puna (dekat muara Tongoloka) memiliki daerah pasang surut lebih sempit (<100 m) dengan profil lebih vertikal dan berbatuan. Meskipun
72
ganggang dan fauna (bunga karang/ corals sponge) melimpah dan dominan, tetapi lamun tidak ada. Semua daerah terpapar gelombang tinggi, sehingga ganggang dan koral tidak tumbuh sampai besar dan tidak meluas.
umumnya sesuai dengan pola fluktuasi jangka panjang yang sudah terdeteksi sepanjang kurun waktu empat belas tahun pengamatan. Gambar 4.52 menunjukkan tutupan koral, flora, dan fauna yang umum teramati.
Hasil utama dari pemantauan di daerah pasang-surut ini merupakan catatan rentang parameter biologi, dan pada beberapa kasus, tercatat perubahan siklus jangka panjang pada beberapa parameter biologi tersebut. Ganggang dan lamun tumbuh di level pasang tinggi dan menengah, dengan pergantian dominasi sepanjang waktu, dan biasanya mencerminkan perubahan yang disebabkan gelombang atau hujan yang terjadi secara alami dan berkala terhadap perubahan level substrat dan paparan. Daerah pasang rendah biasanya tidak mempunyai lamun, kelimpahan ganggang yang rendah dan banyak ditemukan karang keras dan lunak. Jumlah fauna bergerak dalam kuadrat yang teramati juga bervariasi pada setiap survei yang dilakukan. Dengan keadaan lingkungan yang terus berubah-ubah ini, tidak ada sedimentasi atau degradasi yang teramati di setiap lokasi atau kurun waktu, yang dapat dikaitkan dengan kegiatan proyek.
4.3.7.3 Data Terkini
Fauna bervariasi dari lokasi ke lokasi, namun didominasi oleh kerangkerangan dan ekinodermata (bintang laut dan landak laut) serta kepiting yang berhubungan dengan komunitas karang dan ganggang. Tutupan dan kelimpahan fauna dan flora pada
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Gambar 4.53 menunjukkan bahwa selama tahun 2008 hingga April 2009 kondisi karang pasang surut dicirikan oleh perubahan dominasi ke kategori abiotik (karang yang tidak bervegetasi) serta penurunan jumlah ganggang dan lamun yang terjadi sepanjang tahun 2008 dan enam bulan pertama 2009 di Maluk dan Madasanger (di semua ketinggian pasang surut); zona pasang tinggi di Mangkun; dan pasang menengah serta rendah di Sejorong/ Senutuk. Ini tidak tampak di Puna, apapun yang telah menyebabkan berkurangnya ganggang dan lamun di lokasi-lokasi lain ternyata tidak mempengaruhi Puna. Tetapi, data sejak Oktober 2009 hingga akhir 2010 menunjukkan pola-pola persentase tutupan ganggang dan lamun di semua lokasi sekali lagi kembali pada kondisi yang khas teramati selama 14 tahun terakhir. Kelimpahan fauna secara umum rendah di semua lokasi tetapi masih berada dalam kisaran yang tercatat sebelumnya. Terdapat beberapa indikasi terjadinya penurunan jumlah di Mangkun dan Madasanger selama 2008 dan pada April 2009, tetapi pada Oktober 2009 dan 2010 jumlah ini kembali meningkat.
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
Gambar 4.52 Komposisi Tutupan Koral, Flora dan Fauna yang Umum Teramati di Daerah Intertidal di Sepanjang Pesisir Selatan
3.3.7.4 Dampak Secara menyeluruh, tidak ada sedimentasi atau degradasi lingkungan lain yang teramati di semua lokasi atau pada satu waktu, yang dapat dikaitkan dengan kegiatan proyek dan tidak dijumpai pula perubahan yang tidak dapat kembali di semua lokasi. Beberapa indikasi perubahan siklus jangka panjang terhadap persentase tutupan ganggang dan lamun selama
pemantauan mungkin mencerminkan siklus alami dan pola periodik gelombang atau hujan sampai ke level subtrat berpasir pada ceruk-ceruk pasang surut dan paparan. Data paling akhir tetap sama dengan data sebelumnya, dan tidak ada deviasi besar yang terlihat jelas Selama survei berlangsung, tampak adanya dua perubahan yang cukup signifikan. Pada Oktober 2002, karang
di daerah pasang rendah Tanjung Mangkun mengalami fenomena pemutihan (bleached) secara meluas, (Gambar 4.54), yang diikuti dengan adanya peningkatan kelimpahan ganggang Sargassum (Enesar, 2004) dan juga sejumlah koloni karang tumbuh kembali di daerah yang sebelumnya dihuni oleh karang mati karena mengalami pemutihan (Gambar 4.55). Namun perlu dicatat bahwa pemutihan karang merupakan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
73
74
MALUK
MANGKUN
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
MADASANGER
SEJORONG
Apr-10
Oct-09
Apr-09
Oct-08
Apr-08
Sep-07
Apr-07
Sep-06
Seagrass
Apr-06
Sep-05
Apr-05
Oct-04
Coral
Apr-04
Oct-03
Apr-03
Abiotic
Oct-02
Apr-02
Sep-01
Apr-01
Oct-00
Apr-00
Oct-99
Apr-99
Oct-98
Apr-98
Oct-97
Mar-97
Oct-96
rerata individu/m2
Oct-96
Oct-96
80
60
40
20
0
100
Average Percent Cover Intertidal Puna
80
60
40
20
0
Oct-96
Apr-06
Sep-05
Apr-05
Oct-04
Apr-04
Oct-03
Apr-03
Oct-02
Apr-02
Sep-01
Apr-01
Oct-00
Apr-00
Oct-99
Apr-99
Oct-98
Apr-98
Oct-97
Mar-97
Apr-07 Sep-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
Apr-07 Sep-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
Apr-07 Sep-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10
Sep-06
Average Percent Cover Intertidal Sejorong
Sep-06
Apr-06
Sep-05
Apr-05
Oct-04
Apr-04
Oct-03
Apr-03
Oct-02
Apr-02
Sep-01
Apr-01
Oct-00
Apr-00
Oct-99
Apr-99
Oct-98
Apr-98
Oct-97
Mar-97
percent cover 100
Sep-06
Apr-06
Sep-05
Apr-05
Oct-04
Apr-04
Oct-03
Apr-03
Oct-02
Apr-02
Sep-01
Apr-01
Oct-00
Apr-00
Oct-99
Apr-99
Oct-98
Apr-98
Oct-97
Mar-97
percent cover percent cover
Oct-96
Oct-10
Apr-10
Oct-09
Apr-09
Oct-08
Apr-08
Sep-07
Apr-07
Sep-06
Apr-06
Sep-05
Apr-05
Oct-04
Apr-04
Oct-03
Apr-03
Oct-02
Apr-02
Sep-01
Apr-01
Oct-00
Apr-00
Oct-99
Apr-99
Oct-98
Apr-98
Oct-97
Mar-97
percent cover
Oct-96
Oct-10
Apr-10
Oct-09
Apr-09
Oct-08
Apr-08
Sep-07
Apr-07
Sep-06
Apr-06
Sep-05
Apr-05
Oct-04
Apr-04
Oct-03
Apr-03
Oct-02
Apr-02
Sep-01
Apr-01
Oct-00
Apr-00
Oct-99
Apr-99
Oct-98
Apr-98
Oct-97
Mar-97
percent cover
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
100
Average Percent Cover Intertidal Maluk
80
60
40
20 0
100
Average Percent Cover Intertidal Madasanger
80
60
40
20
0
100
Average Percent Cover Intertidal Mangkun
80
60
40
20
0
Algae
Rerata Jumlah f auna di 5 daerah Intertidal
300
200
100
0
PUNA
Gambar 4.53 Komposisi Rerata Biota Intertidal di Sepanjang Pesisir Selatan pada Pasang Tinggi, Menengah dan Rendah
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
fenomena alami yang terjadi akibat kenaikan temperatur secara global dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan PTNNT.
Gambar 4.54 Pemutihan Karang (Coral Bleaching) Terdeteksi di Tanjung Mangkun pada Bulan Oktober 2002
Perubahan signifikan kedua adalah bertambahnya jumlah orang yang menggunakan daerah pasang surut di sepanjang daerah Pesisir Selatan, untuk mengumpulkan ikan dan kerang (Gambar 4.56). Hal ini telah terjadi selama delapan hingga sepuluh tahun terakhir, yang sebagian dikaitkan dengan masyarakat transmigran, dan sebagian lagi dengan pertambahan jumlah penduduk secara umum karena pariwisata, lapangan kerja dan akses jalan, yang beberapa di antaranya mungkin secara tidak langsung terkait dengan proyek. Spesies yang menjadi target adalah kerang-kerangan seperti keong loka (Trochus), dan keong mata tuju (Abalone), kepiting, landak laut, teripang dan ikan. Metode pengambilannya terkadang merusak dengan membuka paksa lubang atau celah agar bisa mengambil organisme tersebut. Pemantauan dengan metode transek tidak peka terhadap dampak ini, karena tidak mudah mendeteksinya melalui tutupan ganggang dan lamun, atau dari jumlah organisme dalam transek, yang umumnya didominasi oleh spesies non-target.
Gambar 4.55 Tanda-tanda Pemulihan Terdeteksi di Tanjung Mangkun pada Bulan april 2004
Gambar 4.56 Aktifitas Pengumpulan Karang oleh Masyarakat Lokal (Madak) di Tanjung Mangkun
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
75
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
4.3.8
Perikanan Pantai
4.3.8.1 Metode RPL mensyaratkan dilakukannya Survei Perikanan sekali setahun dengan menggabungkan dan mengkaji data statistik perikanan dari pemerintah setempat. Karena ketersediaan data statistik perikanan dari Sumbawa Barat dan Lombok Timur terbatas, sejak tahun 2006 data dikumpulkan langsung di lapangan dengan mencatat hasil tangkapan nelayan responden setiap hari di masing-masing area survey (Gambar 4.57). Sebelum 2006, metode survei mencakup wawancara dengan nelayan setempat di akhir tahun. Mulai tahun 2008, data dikumpulkan dengan mewawancarai nelayan dua kali seminggu (8 wawancara sebulan) dan survei dilakukan sepanjang tahun oleh tim dari PPLH Universitas Mataram (UNRAM). Tujuan pemantauan ini adalah: 路 Mengevaluasi lokasi penangkapan ikan dan fluktuasi produksi. 路 Mengevaluasi kecenderungan upaya tangkapan per unit (catch per unit effort, CPUE) dan komposisi tangkapan ikan. 路 Menentukan nilai ekonomis perikanan melalui pendapatan nelayan dan penjual ikan. Area survei meliputi Sumbawa Barat dan wilayah selatan Lombok Timur yang dibagi menjadi tiga kelompok: nelayan dari Wilayah Utama (Senutuk, Pasir Putih, dan Benete); nelayan dari Wilayah I (Labuan Lalar dan Poto Tano); dan nelayan dari Wilayah II (Tanjung Luar dan Tanjung Ujung). Survei ini dilakukan oleh 11 pencatat; 7 di Sumbawa Barat, dan 4 di Lombok Timur. Distribusi responden meliputi; 28 nelayan dan 6 penjual di Wilayah Utama, 40 nelayan dan 9 penjual di Wilayah I, 40 nelayan dan 8 penjual di Wilayah II. Pada umumnya nelayan responden dalam survey perikanan ini berstatus sebagai nelayan pemilik yang masih berada pada usia produktif, berpendidikan rendah, memiliki perahu dengan mesin penggerak yang kecil yang dilengkapi dengan alat utama pancing atau jaring. Hasil tangkapan persatuan usaha (CPUE) menggambarkan efektifitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh
76
Gambar 4.57 Profil Kelompok Nelayan Responden di Beberapa Wilayah Survei, Desa Tanjung Luar (atas) dan Labuan Lalar (bawah)
nelayan. Dalam survey perikanan ini usaha (effort) yang dimaksud adalah trip tangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan responden. Semakin efektif usaha penangkapan yang dilakukan, maka hasil yang didapatkan juga semakin tinggi. Namun usaha penangkapan (trip) yang banyak belum tentu diikuti oleh hasil tangkapan (catch) yang tinggi.
4.3.8.2 Latar belakang Pola perubahan produksi tangkapan ikan nelayan di wilayah studi tahun 2006 memiliki pola yang hampir sama
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
dengan tahun sebelumnya (2005), terjadi peningkatan jumlah produksi pada awal dan akhir tahun. Pemantauan 2006 menunjukkan bahwa rata-rata produksi tangkapan ikan di Wilayah Utama relatif lebih stabil, kecuali di akhir tahun yang cenderung meningkat. Kondisi kurang menguntungkan terjadi di Wilayah I karena produksi tangkapan nelayan cenderung menurun di akhir tahun. Sementara itu di Wilayah II produksi tangkapan nelayan menggambarkan kondisi yang lebih baik, produksi menurun pada pertengahan tahun namun meningkat tajam pada akhir tahun. Pola umum yang teramati
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
umumnya tidak teramati dalam tangkapan yang dipasarkan.
Rerata CPUE Nelayan di Tiga Wilayah Studi 50 Kg/trip
40 30
4.3.8.3 Data terkini
20 10
Wilayah Utama
Wilayah I
Oct-10
Jul-10
Apr-10
Oct-09
Jan-10
Jul-09
Apr-09
Oct-08
Jan-09
Jul-08
Apr-08
Jan-08
Jul-07
Oct-07
Apr-07
Jan-07
Jul-06
Oct-06
Apr-06
Jan-06
0
Wilayah II
CPUE Nelayan di 3 lokasi dalam Wilayah Utama 80 Kg / Trip
60 40 20
Senutuk
Benete
Oct-10
Jul-10
Apr-10
Jan-10
Oct-09
Jul-09
Apr-09
Oct-08
Jan-09
Jul-08
Apr-08
Oct-07
Jan-08
Jul-07
Apr-07
Jan-07
Jul-06
Oct-06
Apr-06
Jan-06
0
Pasir Putih
CPUE di 2 lokasi dalam Wilayah I 80 Kg / Trip
60 40 20
Oct-10
Jul-10
Apr-10
Jan-10
Oct-09
Jul-09
Apr-09
Oct-08
Jan-09
Jul-08
Apr-08
Jan-08
Jul-07
Oct-07
Apr-07
Jan-07
Oct-06
Jul-06
Apr-06
Jan-06
0
Lab. Lalar
Poto tano
CPUE di 2 lokasi dalam Wilayah II 80 60 Kg / Trip
Hasil pengamatan tiga tahun terakhir (2008 – 2010) menunjukkan kisaran rata-rata perolehan tangkapan nelayan berfluktuasi, namun secara keseluruhan cenderung membaik, di masing-masing wilayah penelitian. Upaya penangkapan ikan yang dilakukan pada tiga tahun terakhir cenderung lebih efektif dibanding tahun-tahun sebelumnya (Gambar 4.58). Ini terbukti dari nilai CPUE nelayan di wilayah penelitian yang cenderung meningkat walaupun tidak terlalu mencolok, yaitu: 7,29 – 11,64; 8,91 – 17,07; dan 9,44 – 19,52 Kg/trip untuk tahun 2008, 2009, dan 2010 secara berurutan.
40
Data hingga 2010 menunjukkan bahwa masing-masing wilayah penelitian memiliki ciri tertentu berdasarkan jenis ikan yang ditangkap. Jenis-jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan di Wilayah Utama didominasi oleh ikanikan seperti kakap, mengali, ekor kuning, dan ruma-ruma. Sementara itu nelayan di Wilayah I dan II sebagian besar komposisi ikan yang ditangkap didominasi oleh ikan-ikan pelagis kecil seperti: lemuru, layang, tembang, tongkol, teri, dan cumi-cumi. Dari sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil tangkapan per satuan usaha, terlihat komposisi jenis ikan yang ditangkap memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nilai CPUE.
20
Tj. Luar
Oct-10
Jul-10
Apr-10
Jan-10
Oct-09
Jul-09
Apr-09
Oct-08
Jan-09
Jul-08
Apr-08
Oct-07
Jan-08
Jul-07
Apr-07
Jan-07
Jul-06
Oct-06
Apr-06
Jan-06
0
Ujung
Gambar 4.58 Profil Rerata CPUE Berdasarkan Pembagian Wilayah Survei Periode Pemantauan 2006 - 2010
menunjukkan bahwa jumlah tangkapan per unit usaha (CPUE) yang diperoleh nelayan di wilayah studi memiliki pola yang mirip dengan perubahan produksi tangkapan. Sama halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, spesies utama yang
teramati dalam tangkapan dan di pasar yang menjadi contoh adalah kombinasi spesies pelagis (termasuk pelagis kecil seperti sardin dan cumi-cumi; dan pelagis besar seperti tuna, ikan kuwe dan tenggiri) dan ikan karang (kakap, kerapu, ketamba dll). Spesies kakap dari genus Etelis atau Pristipomoides
4.3.8.4 Dampak Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa daerah/lokasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan responden di semua wilayah penelitian relatif tidak berubah. Secara konsisten daerah tangkapan nelayan di masing-masing wilayah penelitian berlokasi di perairan pantai yang tidak jauh dari kampung dimana mereka tinggal. Kondisi ini terjadi terutama disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasarana tangkap. Perahu yang digunakan berukuran kecil (3 – 6 meter) dengan mesin pendorong yang rata-rata berukuran 5,5 PK tidak memungkinkan mereka untuk mencapai daerah tangkap yang lebih
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
77
Bab 4 Pemantauan Lingkungan
jauh. Kegiatan melakukan penangkapan ikan pada daerah yang sama dalam waktu yang lama di satu sisi dapat mengancam keberadaan sumberdaya ikan di daerah yang bersangkutan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi produksi tangkapan. Seperti halnya yang terjadi di daerahdaerah lain, kondisi perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Sumbawa Barat dan Lombok Timur Bagian Selatan sangat dinamis. Kisaran ratarata CPUE nelayan di semua wilayah penelitian selama survei berlangsung (2006 â&#x20AC;&#x201C; 2010) berfluktuasi namun tidak menunjukkan kecenderungan yang menurun dalam waktu yang cukup lama.
78
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
Studi Pendukung dan Validasi
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
79
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
Studi Pendukung dan Validasi 5.1 Studi laut dalam (LIPI) 5.1.1 Latar belakang Studi laut dalam yang dilakukan LIPI selama September 2009, pada dasarnya mengulang studi pertama yang diselesaikan pada tahun 2003 (LIPI 2004a). Tujuan utama studi ini adalah untuk memvalidasi keadaan dan distribusi tailing, mengidentifikasi luas area plume tailing dan area endapan setelah sepuluh tahun pengoperasian DSTP, dan membandingkan hasil studi ini dengan hasil survei laut dalam 2003. Studi ini
juga mengkaji besarnya dampak penempatan tailing terhadap komunitas bentik laut dalam, dan dengan mengidentifikasi distribusi endapan tailing, memverifikasi model konseptual dan numerik aliran tailing dan endapan tailing untuk memvalidasi prediksi ANDAL. Area yang disurvei meliputi area ngarai laut dalam sampai dengan kedalaman lebih dari 4.000 m, sekitar 50 mil laut lepas pantai, diidentifikasi sebagai area penempatan tailing pada survei 2003 (LIPI 2004a). Studi ini memerlukan perpaduan hasil dari beberapa komponen studi multidisiplin termasuk batimetri, profil arus, profil dan analisis sampel kualitas air laut, pengambilan contoh sedimen dan karakterisasi geokimianya serta ekologi bentik. Area studi di Ngarai Senunu, termasuk 53 stasiun pengambilan contoh yang diatur dalam tujuh garis transek (barat-timur) sejajar dan tambahan garis yang berpusat sepanjang poros Ngarai Senunu melalui titik penempatan tailing. Posisi
stasiun pengambilan contoh tersebut dirancang untuk mencakup area tapak tailing yang diprediksi berdasarkan hasil pemodelan dan hasil survei 2003.
5.1.2 Tapak pengendapan tailing Dalam studi ini, kriteria untuk menentukan keberadaan tailing dan juga batas tapak tailing meliputi: 路 Karakterisasi sedimen. 路 Konsentrasi tembaga dalam sedimen. 路 Kekeruhan/transmisi cahaya. 路 Keberadaan/kelimpahan populasi bentik. Karakterisasi sedimen didasarkan pada tampilan visual (warna pucat, sedimen halus yang tidak menggumpal), analisis mikroskop binokuler untuk ukuran dan angularitas butiran, dan mineralogi (andesit, diorit dan kuarsa). Berdasarkan kriteria ini, 33 lokasi dikelompokkan sebagai tempat terdapatnya tailing.
Gambar 5.1 Sebaran Sedimen Tailing pada Area Survei Laut Dalam Berdasarkan Semua Kriteria pada September 2009
80
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
Gambar 5.2 Sebaran Ketebalan Sedimen Tailing pada Area Survei Laut Dalam Berdasarkan Aspek Geologi pada September 2009
Distribusi tailing diidentifikasi pula dari kandungan tembaga >60 mg/kg pada sedimen di mana kandungan ini lebih tinggi dari konsentrasi rona dasar lingkungan. Total 13 lokasi dikelompokkan terdapat tailing berdasarkan peningkatan kandungan tembaga. Dibandingkan dengan area tropis asing, total individu populasi makrobentos di Ngarai Senunu dianggap wajar. Dengan perkecualian 9 stasiun, di mana survei gagal mengumpulkan sedimen atau data, 44 stasiun pengambilan sampel lainnya digunakan sebagai basis data untuk analisis komunitas makrobentos di Ngarai Senunu. Survei menunjukkan bahwa hanya satu stasiun yang dapat dikategorikan memiliki ‘individu berlebih (abundant)’ (>100 individu per box corer). Sembilan stasiun lainnya dikategorikan memiliki ‘individu jarang (rare)’ (0-1 individu per box corer); 9 stasiun dikategorikan memiliki ‘individu banyak (frequent)’ (2-10 individu per box corer); dan 25 stasiun dikategorikan memiliki ‘individu umum (common)’ (11-100
individu per box corer). Stasiun dengan individu jarang dapat dianggap terpengaruh oleh tailing. Banyak variabel yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis populasi komunitas bentik. Ketiadaan komunitas bentik dapat disebabkan oleh keterbatasan sumber makanan atau perubahan kondisi lingkungan. Tidak seperti komunitas makrobentos, meiofauna diyakini lebih sensitif terhadap perturbasi dibanding makrobentos. Hasil survei menunjukkan variasi kelimpahan meiofauna yang besar. Survei meiofauna menunjukkan bahwa 15 stasiun dapat dianggap sebagai stasiun yang terpengaruh oleh penempatan tailing. Ketiadaan meiofauna pada Ngarai Senunu diperkirakan karena penempatan tailing menuruni tebing menghilangkan semua meiofauna. Lokasi lain yang tidak dihuni biota mungkin juga karena ketiadaan suplai makanan di dasar Cekungan Lombok. Karena peningkatan kekeruhan (>3 NTU) dan berkurangnya daya transmisi cahaya (<85%) pada lapisan perairan
dekat dasar, 6 stasiun diidentifikasi sebagai daerah aliran tailing. Hasil survei 2009 menunjukkan air laut umumnya lebih jernih daripada hasil 2003 saat 8 stasiun mengalami peningkatan kekeruhan di dekat dasar. Profil oseanografi parameter mutu air, yaitu fosfat, nitrat, amonia, oksigen terlarut dan pH pada 13 stasiun memiliki ciri seperti umumnya perairan Samudra India bagian Timur dan tidak terkait dengan tailing. Area ini masih dalam kondisi yang baik untuk habitat biota laut yang hidup dan menunjukkan tidak ada anomali terkait penempatan tailing. Tapak gabungan berdasarkan semua kriteria di atas ditunjukkan dalam Gambar 5.1 dan ketebalan sedimen tailing berdasarkan aspek geologi ditunjukkan dalam Gambar 5.2. Secara umum batas luar tailing yang diidentifikasi berdasarkan pemenuhan paling sedikit satu kriteria dan batas tapak tailing utama yang memenuhi lebih banyak kriteria dalam survei 2009 ditunjukkan pada Gambar 5.3.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
81
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
Gambar 5.3 Batas Luar Tapak Tailing dan Batas Tapak Tailing Utama Hasil Survei September 2009
5.2 Pemodelan (tapak dan kolom air) 5.2.1
Pemodelan tapak
Pemodelan prediksi tapak tailing pertama kali dilakukan untuk studi AMDAL (Rescan, 1996), dan walaupun saat itu berdasarkan batimetri kasar, namun gerakan menurun tailing slurry sampai ke kedalaman 3.000 m diprediksi terjadi karena curamnya ngarai dan berat jenis tailing slurry. Survei validasi terperinci pertama dilakukan oleh LIPI tahun 2003, tiga tahun setelah PTNNT beroperasi. Survei ini menunjukkan, berdasarkan kandungan tembaga dan berkurangnya kumpulan fauna, bahwa padatan tailing mengalir di dasar dan mengendap di bawah titik pembuangan, baik di dalam maupun di dekat ngarai laut yang mengarah ke Cekungan Lombok dengan kedalaman lebih dari 4.000 m. Berikutnya, Enesar membuat pemodelan kembali untuk tapak tailing
82
menggunakan batimetri yang lebih baik (batimetri multi-beam sampai 1000 m dan single beam di bawah kedalaman ini) untuk dibandingkan dengan tapak yang ditentukan LIPI dan memprediksikan area tapak di masa mendatang selama usia tambang (Enesar 2006). Survei validasi kedua dilakukan oleh LIPI di tahun 2009, dan telah menunjukkan tapak tailing setelah 9 tahun operasi, berdasarkan kriteria yang diperluas untuk memasukkan mineralogi sedimen sebagai suatu indikator tailing dasar laut (LIPI 2010), seperti dijelaskan dalam Bagian 5.1. Pada saat ini, resolusi batrimetri telah jauh meningkat dengan data batimetri single beam tambahan untuk mengisi celah pada jalur data sebelumnya dan memperluas jalur tersebut sampai 4.000 m. Coffey (sebelumnya Enesar) telah membuat pemodelan ulang tapak tailing untuk dibandingkan dengan temuan empiris (Coffey, 2010), sehingga dapat memprediksikan skenario masa mendatang dengan lebih tepat. Model yang dikembangkan oleh Coffey mensimulasikan penempatan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
tailing sebagai suatu suatu jet turbulen yang keluar dari ujung pipa dan kemudian mengalir di dasar sebagai arus densitas apung negatif menurun mengikuti lereng. Model ini juga memperhitungkan pemisahan plume di bawah permukaan ke dalam lapisan kolom air (plume shearing) dan pada akhirnya memprediksi tapak tailing dari aliran tailing di dasar maupun partikel tersuspensi yang mengendap. Parameter input model utama adalah: · Kedalaman, orientasi mulut pipa tailing. · Karakteristik fisika tailing. · Batimetri. · Arus sampai 250 m (arus lebih dalam berdasarkan database global untuk area tersebut). · Profil densitas kolom air. · Volume tailing, densitas, diameter pipa, laju aliran, kecepatan keluar. Model tersebut dijalankan untuk mensimulasi kondisi saat survei laut dalam tahun 2009, dalam hal total volume yang telah dibuang dan karakteristik tailing yang representatif, dan hasil tersebut ditunjukkan dalam Gambar 5.4.
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
Gambar 5.4 Profil 3 Dimensi Hasil Simulasi Sebaran Arus Densitas dan Area Akumulasi Endapan Tailing (Skenario Operasi Tambang hingga May 2011)
Model tersebut memprediksikan bahwa sebagian besar padatan tetap menjadi arus densitas yang mengalir di dasar laut dengan sekitar 16% fraksi padatan terpisah dari aliran utama tailing dan membentuk plume bawah permukaan. Pembentukan plume ini terjadi sebagian besar pada kemiringan yang paling curam, yaitu di kedalaman 1000-2000 m. Model tapak arus densitas yang mengalir dan mengendap pada dasar laut biasanya mengikuti kontur batimetri, dan pada awal aliran turun sampai kedalaman 2.000 m. Jalur ini relatif sempit dengan kemiringan yang curam terlindung di dalam dinding ngarai. Kondisi ini diikuti oleh suatu jalur berjalin melalui tiga anak lembah dari kedalaman 2.000 m sampai 3.000 m di mana kemiringan yang lebih datar mengakibatkan tapak tersebut menyebar pada kedalaman 3.200 m sampai 3.800 m. Di bawah kedalaman ini, jalur tailing menurun kembali melalui tiga kanal ke dalam ngarai yang sangat dalam dan curam mengalirkan material tailing dan sedimen alami yang terperangkap
dalam aliran turbulen ke kedalaman lebih dari 4.000 m.
5.2.2 Perbandingan contoh dan model tapak Dibandingkan dengan perkiraan batas tapak tailing pada 2003, batas pada survei 2009 tampaknya lebih besar. Tetapi ini mencerminkan area survei yang lebih luas dan sedikit perbedaan interpretasi data di mana batas-batas tersebut didasarkan pada pemenuhan hanya satu kriteria pada 2003 sehingga batas tersebut tidak dapat dibandingkan langsung. Perluasan lateral dari batas yang diukur sebagian besar didasarkan pada interpretasi visual dan kriteria geologi endapan. Tidak satu pun lokasi yang memenuhi semua kriteria tailing dalam studi LIPI 2009, walaupun beberapa di antaranya jelas terdiri dari tailing berdasarkan kandungan tembaga. Gambar 5.5 menunjukkan bahwa batas hasil survei 2009 juga lebih lebar daripada model tapak.
Perbedaan antara luas tapak berdasarkan pemodelan dan hasil pengambilan contoh paling mungkin dijelaskan oleh pengendapan partikel tailing dari plume bawah permukaan. Sebaran lateral tailing dimodelkan sebagai sekitar 16%padatan yang terlepas/hilang ke kolom air dari aliran utama tailing yang mengalir di dasar ke bawah lereng sesuai dengan jalur batimetri. Hasil survei LIPI (2010) mencatat bahwa sebagian kecil tailing melayang di kolom air sebagai plume bawah permukaan dan mengikuti arus air secara horisontal pada kedalaman tempat terbentuknya plume sehingga tailing dapat mengendap pada ujung tebing atau lereng, tanpa memandang jalur batimetri. Material dari plume tersebut akan mengendap di luar jalur aliran tailing utama, tetapi jika hanya terdiri dari endapan yang relatif tipis, endapan ini mungkin dapat atau tidak dapat diidentifikasi dengan jelas sebagai tailing sesuai dengan semua kriteria. Peningkatan kandungan tembaga dalam sedimen mungkin merupakan indikator tailing yang paling dipercaya
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
83
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
5.2.3 Pemodelan kolom air Pemodelan TSS dan penyebaran tembaga dalam kolom air di Ngarai Senunu dilakukan menggunakan 3D Ocean Hydrodynamics and Water Quality Transport Model (LAPI ITB, 2009). Pemutakhiran model sebaran tailing di kolom air dilakukan kembali dengan data terkini (LAPI ITB, 2011a). Studi ini memodelkan hidrodinamika tiga dimensi sistem ngarai untuk mengembangkan proyeksi jangka panjang TSS dan penyebaran tailing terlarut dalam kolom air sampai akhir usia tambang. Simulasi ini mencakup perbedaan musiman angin dan arus, dan membandingkan simulasi dengan data dari beberapa stasiun di Ngarai Senunu. Hasil simulasi ini dipresentasikan dalam bentuk kontur nilai rata-rata bulanan TSS dan konsentrasi tembaga terlarut pada kedalaman berbeda untuk dua musim, musim Timur dan musim Barat. Area yang terkena dampak didefinisikan sebagai area dengan konsentrasi TSS > 20 mg/L dan tembaga terlarut > 8 μg/L. Gambar 5.6 menampilkan perbandingan hasil simulasi TSS (skenario 120 KT/hari dan skenario 160 KT/hari) di lapisan perairan dekat dasar pada musim Timur dengan P2O LIPI (2010) dan LAPI ITB (2009). Gambar 5.5 Perbandingan Tapak Tailing - Rescan (ANDAL) 1996, LIPI 2009 dan Operasi Tambang hingga 2009 (OSI Model)
untuk mengidentifikasi tailing. Lokasi dengan kandungan tembaga tertinggi teramati dalam survei laut dalam 2009 sebagai berikut: · Pada ngarai bagian atas, sesuai perkiraan, dengan nilai sampai 421 mg/kg. · Di stasiun 32, 40 km dari pantai di bawah kedalaman 3.000 m pada jalur batimetri yang diperkirakan, di mana konsentrasi tembaga mencapai 741 mg/kg, nilai tertinggi yang teramati. · Di stasiun 40, 60 km dari pantai pada bagian atas ngarai dalam di kedalaman hampir 4.000 m, di mana konsentrasi mencapai 325 mg/kg. · Di stasiun 44, pada jalur masuk ke Cekungan Lombok >70 km lepas pantai dan di bawah 4.000 m, di
84
mana konsentrasi mencapai 156 mg/kg. Lokasi sedimen dengan konsentrasi tertinggi tersebut jelas menunjukkan suatu aliran tailing sepanjang jalur batimetri menuju perairan yang sangat dalam di bawah 4.000 m dan mungkin lebih dalam. Pada saat yang sama, beberapa diantaranya membentuk plume dan dapat dideteksi secara geologis sebagai material tailing yang mengendap di luar jalur batimetri. Pengaruh terhadap komunitas bentik laut dalam mungkin ada tetapi tidak mudah untuk mengetahuinya. Umumnya dampak yang terjadi sesuai dengan prediksi ANDAL dan terbatas pada lingkungan laut dalam yang jauh dari perairan pantai yang dangkal.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Hasil pemodelan konsentrasi tembaga pada beberapa kedalaman dari tahun 2003 sampai 2027 menunjukkan bahwa area yang terkena dampak sangat dekat dengan dasar laut di mana konsentrasi tembaga diprediksikan sedikit lebih tinggi daripada baku mutu air laut 8 ppb . Area yang terkena dampak melebar ke arah timur barat pada kedalaman 1000 m sampai 2000 m. Area ini berkurang pada kedalaman 2500 m dan 2950 m. Kedalaman ini juga sangat konsisten dengan konsentrasi tembaga yang teramati di ngarai dekat aliran tailing (CSIRO, 2010, LIPI, 2010, dan pemantauan triwulan PTNNT). Kedalaman area yang terkena dampak juga konsisten dengan prediksi kedalaman pemisahan plume dalam model tapak tailing (Coffey, 2010). Studi untuk membantu mengurangi pelepasan tembaga dan menjaga konsentrasi pada batas wajib dijelaskan dalam Bagian 5.3 Pergerakan tembaga dalam air laut.
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
Gambar 5.6 Perbandingan Distribusi TSS rata-rata pada Musim Timur Hasil Simulasi (Skenario 160 KT/hari) dengan Distribusi Transmisivitas P2O LIPI (2009)
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
85
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
5.3 Pergerakan tembaga dalam air laut Tailing yang ditempatkan PTNNT sebagian besar mengandung mineral, dan tembaga non-bioavailable yang relatif lembam (total 80-98%) dan logam berat terlarut umumnya teramati pada konsentrasi rendah di perairan dasar Ngarai Senunu di bagian hilir lokasi pembuangan (CSIRO 2005, 2010). Tetapi, tembaga terlarut jelas terlihat pada perairan dasar yang keruh tepat di atas aliran tailing yang menempel di dasar laut dalam pada konsentrasi yang secara umum sesuai dengan standar Indonesia untuk perlindungan biota laut (Cu <8 Îźg/L, KEPMENLH 51/2004). Pada Januari 2005, PTNNT mengamati satu rangkaian konsentrasi tembaga terlarut yang sedikit lebih tinggi di perairan dasar Ngarai Senunu, diyakini akibat pemrosesan material stockpile teroksidasi sebagian saat itu dengan bentuk tembaga oksida terdapat dalam tailing yang memiliki kelarutan dan labilitas yang lebih tinggi daripada mineral sulfida langsung dari tambang.
tembaga terlarut dalam air di sekitar penempatan tailing dasar laut (DSTP). Tailing yang berasal dari bijih teroksidasi sebagian juga digunakan dalam eksperimen rekolonisasi tailing yang dilakukan di Teluk Benete bersama oleh PTNNT, P20LIPI, PPLH Unram dan Enesar (Gwyther dkk., 2009), yang dijelaskan pada Bagian 5.4. Walaupun laju kolonisasi awal tailing teroksidasi lebih lambat daripada tailing murni, komunitas meiobentik yang membentuk koloni dan kelimpahan tidak berbeda secara signifikan dari koloni yang terdapat dalam sedimen alami setelah 97 dan 203 hari. Hal ini memberikan keyakinan lebih jauh terhadap prediksi ANDAL bahwa tailing akan direkolonisasi relatif lebih cepat setelah berakhirnya operasi, bahkan dalam hal tailing dari bijih teroksidasi sebagian yang akan diproses selama tahun terakhir usia tambang.
5.4 Rekolonisasi Tailing Antara Agustus 2005 dan 2008, PTNNT melakukan suatu studi rekolonisasi di Teluk Benete untuk mengamati kolonisasi meiofauna dalam tailing di ruang percobaan di dasar laut, dan untuk membandingkan kelimpahan, keragaman serta komposisi komunitas meiofauna yang membentuk koloni di dua contoh tailing dan dua contoh kontrol. Kedua contoh tailing adalah; Tailing A (TA), dari sisa pemrosesan bijih kadar tinggi yang diperoleh langsung dari tambang, dan Tailing B (TB), dari pemrosesan bijih kadar rendah teroksidasi sebagian dari timbunan bijih yang dijadwalkan untuk pemrosesan di akhir usia tambang. Dua contoh kontrol terdiri dari Kontrol Positif (CP), yang berupa sedimen alami dari sekitar lokasi eksperimen yang
Karena semakin banyak material timbunan bijih yang akan diproses sampai akhir usia tambang, PTNNT meminta CSIRO untuk melakukan studi berbasis laboratorium mengenai pengaruh Sulfidisasi Potensi Terkontrol (CPS) (dengan penambahan sodium sulfida, NaSH) pada rangkaian proses pada pergerakan tembaga (Cu) dari tailing dalam air laut (Simpson dkk, 2010). Sejumlah percobaan dilakukan untuk meneliti faktor-faktor yang menentukan pelepasan tembaga dari tailing. Prosedur uji pelepasan tembaga yang telah dioptimalkan digunakan untuk semua material tailing dan untuk menentukan pelepasan saat dicampur dengan air laut. Secara ringkas, studi tersebut menunjukkan bahwa manfaat CPS dibandingkan non CPS untuk pemrosesan bijih adalah signifikan terkait dengan upaya meningkatkan perolehan tembaga. Total pelepasan tembaga terlarut untuk tailing non-CPS dan CPS umumnya adalah sama. Berdasarkan pengamatan, penggunaan proses ini terus-menerus tidak akan menghasilkan peningkatan konsentrasi
86
Gambar 5.7 Skema Ruang Mikrokosmos dan Mesokosmos Rekolonisasi Tailing di Dasar Laut Benete
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
Gambar 5.8 Rerata Total Kelimpahan dan Jumlah Taxa Meiofauna pada Ruang Mesokosmos dan Mikrokosmos
Gambar 5.9 Kegiatan Studi Rekolonisasi Tailing di Teluk Benete dan Beberapa Jenis Meiofauna yang Umum Teramati
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
87
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
tidak terganggu termasuk komunitas meiobentiknya, dan Kontrol Negatif (CN), yang berupa sedimen alami dengan komunitas meiobentik yang didefaunasi dengan membekukan contoh tersebut. Material uji secara kimia dan fisika sama dalam semua hal kecuali kandungan tembaga yang tinggi pada contoh tailing. Tujuan studi ini adalah untuk menentukan apakah: · Tailing dikolonisasi oleh organisme meiofauna. · Kolonisasi tergantung pada material alami yang menumpuk dan menutupi tailing selama percobaan. · Terdapat perbedaan antara kelimpahan dan jumlah taksa meiofauna, dan komunitas meiofauna yang membentuk koloni di tailing dan sedimen alami. Susunan percobaan ruang mikrokosmos kecil dan mesokosmos yang lebih besar di dasar laut Benete ditunjukkan dalam Gambar 5.7. Penyelam mengambil contoh empat kali selama masa percobaan dan menghitung semua meiobentos yang membentuk koloni. Hasilnya menunjukkan bahwa tailing dari bijih murni dan dari bijih teroksidasi sebagian dari timbunan bijih mulai ditinggali oleh meiofauna masingmasing setelah 40 sampai 60 hari. Setelah 97 dan 203 hari komunitas meiobentik yang membentuk koloni tidak berbeda secara signifikan dengan koloni pada sedimen alami kontrol (Gambar 5.8). Pengaruh pengendapan alami dipertimbangkan berdasarkan ukuran ruangan: karena kecil dan sempit, tabung mikrokosmos menampung beberapa sentimeter sedimen selama masa percobaan sementara hal ini tidak terjadi pada drum mesokosmos yang lebih lebar. Kolonisasi mesokosmos seluruhnya terjadi pada material tailing sedangkan pada mikrokosmos terjadi pada tumpukan material alami dan tailing yang ada dibawahnya. Studi ini dilakukan bersama oleh ilmuwan dari PTNNT, P20LIPI, PPLH Unram dan Coffey, dan telah diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah, Marine Pollution Bulletin (Gwyther dkk., 2009). Walaupun studi ini tidak dapat dilakukan pada kedalaman pengendapan akhir karena alasan keselamantan penyelam, hasilnya menunjukkan material tailing dapat ditinggali oleh meiobentos. Hasil uji
88
coba ini didukung oleh pengamatan pemantauan, dan menegaskan prediksi ANDAL bahwa tailing akan ditinggali relatif cepat setelah operasi berakhir, sesuai dokumentasi dari DSTP sejenis di Island Copper Mine (Poling dkk., 2002).
5.5 Studi uji tuntas (CSIRO 2009) 5.5.1 Latar belakang Pada 2009, PTNNT melakukan studi uji tuntas independen mengenai dampak lingkungan dari pengoperasian DSTP, yang dilaksanakan oleh Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation’s (CSIRO) Centre for Environmental Contaminants Research (CECR). Studi
ini mengukur konsentrasi logam runut (trace metal) dalam tailing, air, sedimen dan biota, yang dikumpulkan dari sekitaroperasi proyek. Semua pengambilan contoh dan analisis menggunakan metode paling mutakhir dan prosedur jaminan kualitas yang ketat. Hasilnya dibandingkan dan dibahas dalam kaitannya dengan data pemantauan PTNNT yang ada dan baku mutu internasional untuk perlindungan lingkungan dan kesehatan manusia. Laporan ini juga dikaji (peer reviewed) oleh tim independen yang terdiri dari ilmuwan Indonesia dan pemerintah yang menyimpulkan bahwa data yang diperoleh dalam survei tersebut secara ilmiah dapat diterima dan mencapai tujuan studi serta tidak berbeda secara signifikan dengan hasil pemantauan PTNNT. Studi ini adalah studi uji tuntas kedua yang dilakukan CSIRO, yang pertama dilakukan pada 2004 (CSIRO, 2005).
Gambar 5.10 Kandungan Tembaga Terlarut dalam Air Laut: (a) Perbandingan antara Data Sebelum dan Sesudah Operasi Tambang Dimulai dengan Studi Uji Tuntas CSIRO (2004 dan 2009) di Zona A, B, C dan Selat Alas; (b) Distribusinya di Berbagai Lokasi Pengambilan Contoh dan Fraksi Cair Tailing (pada Studi Uji Tuntas CSIRO 2009)
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
5.5.2 Hasil dan pembahasan Temuan keseluruhan laporan uji tuntas CSIRO (2010) konsisten dengan studi 2004 dan menunjukkan tidak terdapat tailing padat atau logam terlarut pada tailing di lingkungan pantai dekat Ngarai Senunu, di lokasi kontrol sebelah timur dan barat pembuangan, di Selat Alas atau perairam permukaan yang lebih dangkal dari 100 m.
laut Indonesia sebesar 8 μg/L dan di bawah tingkat yang dapat membawa dampak bagi spesies yang paling sensitif. Logam tembaga dan perak, serta sedikit mangan dan seng relatif meningkat dalam sedimen bentik di Ngarai Senunu, di sisi hilir pembuangan, sesuai dengan komposisi
padatan tailing dan pengendapan di dalam ngarai. Nilai tembaga yang meningkat tidak ditemukan di luar ngarai di lokasi pembuangan yang dekat dengan pantai atau di lokasi kontrol di sebelah timur atau barat pembuangan atau di Selat Alas. Hasil ini menunjukkan bahwa tailing bukanlah sumber logam As, Cd, Cr, Fe, Hg, Mn, Pb, dan Zn yang signifikan
Berikut adalah ringkasan temuan tersebut: Keberadaan dan kedalaman tailing plume dalam kolom air ditentukan dengan mengukur transmisivitas cahaya yang melalui kolom air di mana berkurangnya transmisivitas cahaya mengindikasikan keberadaan partikel tersuspensi. Tailing plume terdeteksi di lokasi dalam Ngarai Senunu, dengan bagian paling atas plume berada pada kedalaman sekitar 190 m, yang berarti sekitar 40 sampai 50 m lebih dalam daripada yang teramati pada studi yang sama tahun 2004. Hasil pengukuran transmisi yang rendah hanya teramati pada kedalaman 220 m, dekat dengan dasar ngarai dan aliran tailing. Semua profil transmisi lainnya sepanjang pantai selatan dan Selat Alas tidak menunjukkan adanya partikel tailing tersuspensi, sesuai dengan arus yang diamati sebelumnya (LIPI, 2004a). Konsentrasi logam terlarut dalam cairan tailing yang diambil di kotak deaerasi berada dalam kisaran rendah sampai sub μg/L dan semuanya berada dalam batas ketentuan Izin Pembuangan Tailing PTNNT. Konsentrasi logam runut terlarut Ag, As, Cd, Cr, Hg, Pb dan Zn dalam air laut di Selat Alas dan pantai selatan Sumbawa berada dalam kisaran μg/L (bagian per miliar) atau ng/L (bagian per triliun) dan di bawah baku mutu yang berlaku di Indonesia dan AS. Tailing tidak memiliki dampak pada konsentrasi rona dasar logam tersebut. Konsentrasi tembaga berada dalam sub bagian per miliar (μg/L) dan dalam tingkat yang diwajibkan di Indonesia dan AS pada semua lokasi di Selat Alas dan pesisir selatan Sumbawa kecuali dari contoh perairan dalam dekat dasar di dalam tailing plume Ngarai Senunu (Gambar 5.10). Nilai maksimal yang tercatat adalah 4 μg/L dan masih memenuhi baku mutu air
Gambar 5.11 Perbandingan Kandungan Tembaga dalam Jaringan Otot Ikan: (i) Data Sebelum dan Sesudah Operasi Tambang Dimulai vs Studi Uji Tuntas CSIRO (2004 dan 2009); (ii) CSIRO 2009 vs Baku Mutu; dan (iii) CSIRO 2009 vs ALS
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
89
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
bagi rona lingkungan sedimen laut setempat. Seperti yang ditentukan dalam studi 2004 (CSIRO, 2005), pemeriksaan konsentrasi tembaga dalam sedimen dari dalam Ngarai Senunu menunjukkan bahwa fraksi tembaga bioavailable (terlarut pada asam lemah) adalah sekitar 4% dari total tembaga dalam sedimen dan berada jauh di bawah nilai pemicu (trigger) sebesar 65 mg/Kg sesuai dengan pedoman mutu sedimen ANZECC. Ini mengindikasikan ketersediaan untuk biota (bioavailability) tembaga yang rendah dalam sedimen tailing dengan proporsi tembaga dalam bentuk nonbioavailable yang tinggi. Konsentrasi logam dalam jaringan ikan dari Ngarai Senunu berada dalam kisaran yang sama dengan ikan dari lokasi kontrol dan dari beberapa pasar ikan. Ini menunjukkan tidak terdapat konsentrasi anomali atau konsentrasi yang membahayakan manusia di Ngarai Senunu (Gambar 5.11).
5.6 Kajian alternatif pemanfaatan tailing dengan prinsip 3R Pada tahun 2005, PT NNT bekerja sama dengan LAPI-ITB, telah melakukan penelitian untuk mengevaluasi kelayakan pemanfaatan tailing dengan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Recovery). Dalam hal ini tailing dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi beton, yaitu sebagai pengganti pasir. Berdasarkan studi tersebut telah disimpulkan bahwa bahan tailing layak untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi beton. Dalam studi tersebut, potensi aplikasi yang ditinjau adalah pemanfaatan beton yang menggunakan agregat tailing pada pembangunan rumah dan jalan.
Gambar 5.12 Laboratorium CSIRO yang Digunakan dalam Studi Uji Tuntas
memenuhi persyarataan sebagai bahan dasar beton dan potensi pemanfaatan pasir tailing sebagai bahan baku untuk pembuatan bahan-bahan bangunan yang lebih luas dan merakyat penggunaannya, seperti bahan blok beton atau paving block. Metodologi dalam bidang teknis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi atas tujuh tahapan, yaitu; 1. Pengujian material tailing sebelum perlakuan yang meliputi;
Pada tahun 2010, PT NNT kembali meminta LAPI-ITB untuk mengkaji lebih lanjut mengenai implementasi hasil kajian sebelumnya dan peluang pemanfaatan bahan tailing ini secara lebih luas di dunia konstruksi. Oleh karena itu, studi lanjutan ini difokuskan pada bentuk-bentuk perlakuan agar bahan tailing tersebut
90
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
pengujian fisik, mekanik, kimiawi dan petrografi. 2. Pengembangan metoda perlakuan di laboratorium untuk material tailing, termasuk proses pencucian untuk mengurangi kadar klorida dan sulfat pada material tailing. 3. Pengujian material tailing setelah perlakuan yang meliputi pengujian fisik, mekanik, kimiawi. 4. Percobaan skala penuh di lapangan untuk pengujian efektivitas proses pencucian bahan tailing.
Gambar 5.13 Pasta Semen Hasil Pemanfaatan Tailing
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
Gambar 5.14 Pengujian Spesimen Pasta Semen Selama 7 Hari dan Pola Kehancurannya
5. Pengembangan Trial Mix di laboratorium dan di lapangan untuk bahan tailing tanpa perlakuan, perlakuan dengan pencucian, serta perlakuan dengan bahan lain 6. Pengujian mekanik dan fisik bahan-bahan konstruksi yang dihasilkan. 7. Pengujian TCLP dan konsentrasi total toksik/logam berat pada produk bahan konstruksi yang dihasilkan. Dalam mengevaluasi hasil-hasil pengujian, digunakan spesifikasi yang relevan dari SNI (Standar Nasional Indonesia), SI (Standar Industri Indonesia), AS (Australian Standard) dan ASTM (American Society for Testing and Materials). Tahapan pengolahan tailing slurry menjadi tailing sebagai pengganti pasir tersebut adalah tampung, endapkan, tiris dan keringkan, baru kemudian dapat diambil. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tailing PT NNT dapat digunakan sebagai bahan pengganti pasir 100% pada produksi bahan konstruksi berbahan dasar semen (OPC/Ordinary Portland Cement) dan material Geopolymer berbahan dasar fly ash. Namun walaupun secara teknis material tailing PT NNT ini dapat digunakan sebagai pengganti pasir 100%, namun dari aspek ekonomi dan sosial, peluang pemanfaatan tailing PT NNT tidak terlalu memadai. Oleh karena itu,
usaha pemanfaatan tailing di PT. NNT dianggap layak untuk direalisasikan apabila diikuti beberapa tahapan berikutnya, yaitu: (a) sosialisasi/ koordinasi kepada pihak teknis terkait seperti misalkan Departemen Pekerjaan Umum setempat, (b) sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat bahwa tailing aman dipakai jika telah tersolidifikasi pada produk berbahan dasar semen, dan (c) melakukan semacam Pilot Project.
5.7 Studi penerimaan masyarakat dan dampak sosial DSTP 5.7.1 Pemantauan sosial partisipatif terhadap dampak DSTP bagi masyarakat pesisir Pemantauan dampak sosial akibat pengoperasian DSTP dilakukan mengetahui sedini mungkin ekspektasi dan tanggapan masyarakat terhadap pengoperasian DSTP. Pemahaman masyarakat akan potensi dampak negatif DSTP perlu mendapat perhatian dan diberikan informasi yang benar dan berimbang. PTNNT bekerja sama dengan Universitas Negeri Malang (UNM) dan Center for Biodiversity and Environmental Study (CBES), sebuah
yayasan yang mempunyai perhatian di bidang pengkajian biodiversitas dan lingkungan, melakukan kajian tersebut dalam bulan April â&#x20AC;&#x201C; Mei 2010. Dalam kajian yang dilakukan oleh para pakar sosiologi yang dipimpin oleh Dr. Sanapiah Faisal (UNM), berhasil ditentukan/dikembangkan metoda pemantauan sosial terhadap pengoperasian DSTP yang disebut Pemantauan Sosial Partisipatif (PSP). Metoda ini langsung diujicobakan pada kelompok â&#x20AC;&#x201C; kelompok masyarakat yang diduga bisa terkena dampak pengoperasian DSTP dan menunjukkan bahwa metoda ini memang bisa diterapkan dengan hasil yang valid dan memuaskan secara ilmiah. Hasil PSP mengidentifikasi bahwa masih ada kesenjangan pemahaman antara PT NNT dan masyarakat pesisir setempat mengenai dampak DSTP terhadap kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang. Karena itu, komunikasi langsung yang intens dan efektif yang didasarkan keterbukaan, kejujuran, dan niat baik perlu dijalin antara PTNNT dan masyarakat sekitar (CBES, 2010).
5.7.2 Studi penilaian kesehatan masyarakat (Community Health Assesment Study/CHAS) Studi penilaian kesehatan masyarakat (CHAS) di Kabupaten Sumbawa Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat, mengacu kepada masalah-masalah
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
91
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
Box 8. Sosialisasi Dampak DSTP PTNNT
Gambar 5.15 Sosialisasi Dampak Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam PTNNT pada Pemerintah dan Masyarakat Sekitar Tambang
92
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 5 Studi Pendukung dan Validasi
kesehatan lingkungan dan masyarakat di desa yang lokasinya berdekatan dengan proyek tambang tembaga dan emas Batu Hijau (Desa Tongo). Agar bersifat komparatif maka studi tersebut telah pula mengkaji satu desa yang cukup bersifat pedesaan di kecamatan Seteluk (Desa Tua Nanga), yang terletak cukup jauh dari pengaruh potensial proyek terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungannya. Dalam kerjasamanya dengan masyarakat lokal, CHAS telah mengembangkan database yang lengkap dan menyeluruh mengenai kesehatan masyarakat desa lingkar tambang dan membandingkan hasilhasilnya dengan data yang berasal dari wilayah lain di Propinsi NTB, propinsi lainnya di Indonesia dan data yang berasal dari literatur kajian pembanding internasional. Studi tersebut dilakukan oleh tim multidisiplin di bawah pengawasan Pusat Kesehatan Lingkungan dan Industri Universitas Indonesia (UI PMT) dan Pusat Penelitian Kependudukan dan Pembangunan Universitas Mataram (P2KP UNRAM) (UNRAM, 2010). Para peneliti yang dibantu oleh Tim Konsultasi Masyarakat Dinas Kesehatan Propinsi NTB telah melakukan program konsultasi masyarakat yang berjangkauan luas sejak sebelum dimulainya dan sepanjang kegiatan studi berlangsung. Kegiatan yang dilaksanakan sejak September 2006 hingga Februari 2008 ini telah mendapatkan penerimaan luas dari masyarakat dan keikutsertaan mereka.
5.7.3 Studi Pengelolaan Terumbu Berbasis Masyarakat (Community Reef Assesment) Studi pengelolaan terumbu berbasis masyarakat merupakan perpaduan studi sosial ekonomi masyarakat dan ekologi pesisir yang dititikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya alam dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lestari ekosistem terumbu karang di pesisir wilayah Benete sampai dengan Senutuk. PT NNT bekerja sama dengan Yayasan Bahtera Nusantara (sebuah yayasan yang mempunyai perhatian dalam bidang pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat) melaksanakan studi tersebut dalam
dua tahap yaitu: studi sosial ekonomi masyarakat pesisir pada tahun 2007 dan studi ekologi pada tahun 2009 (Yayasan Bahtera Nusantara, 2007 dan 2009). Berdasarkan pada hasil survei sosial ekonomi masyarakat yang telah dilakukan, diketahui bagaimana masyarakat nelayan ataupun penduduk sekitar memanfaatkan wilayah pesisir dan laut yang ada di seputar wilayah Benete sampai dengan Senutuk. Akar permasalahan yang dijumpai dari hasil survey tersebut adalah belum adanya data atau belum disadarinya potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh Kecamatan Benete sampai dengan Senutuk sehingga pemanfaatan sumberdaya alam yang ada belum optimal serta belum adanya pola pengelolaan atau manajemen pengelolaan secara bersama-sama. Hal ini menyebabkan sumberdaya alam yang ada kurang mendukung kehidupan masyarakat dari segi ekonomi dan juga adanya kegiatan yang bersifat destruktif dalam pemanfaatannya. Dari hasil kajian ekologi diperoleh data yang menunjukkan karakteristik lokasi penelitian yang berhadapan dengan Samudra Hindia membentuk karakter alam yang keras dan sumber daya yang relatif terbatas, sehingga dibutuhkan kapasitas yang cukup untuk memanfaatkan sumber daya yang ada. Mata pencaharian masyarakat setempat sebagai nelayan bisa dikatakan tidak diakui secara administratif (de yure) di desa walaupun saat musim kering di daratan, menjadi nelayan merupakan mata pencaharian yang cukup menghasilkan. Strategi yang dikembangkan dalam upaya mengatasi akar permasalahan tersebut diatas adalah membuat sebuah strategi pengembangan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan yang diaplikasikan dalam program â&#x20AC;&#x153;Reef Community Development/RCDâ&#x20AC;?. Persoalan limbah tambang selalu terbuka untuk berkembang menjadi sentimen negatif bila masyarakat tidak mempunyai pengetahuan dan rasa memiliki (ownership) terhadap sumber daya pesisir dan kelautan, sehingga pengembangan program â&#x20AC;&#x153;Reef Community Developmentâ&#x20AC;? menjadi sangat relevan.
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
93
94
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Bab 6 Penutup
Penutup
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
95
Bab 6 Penutup
Penutup Kinerja operasi Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut (DSTP) di Batu Hijau selama lebih dari 10 tahun telah dibuktikan melalui pemantauan sistem dan lingkungan yang komprehensif dan menerus. Sejak tahun 1999 sampai akhir tahun 2010, total tailing yang telah ditempatkan berjumlah 476,5 juta ton kering. Program pengurangan kandungan logam dalam tailing dilakukan sejalan dengan usaha PTNNT untuk selalu memaksimalkan recovery (perolehan) tembaga dari bijih yang diproses, melalui manajemen bijih, penanganan bijih teroksidasi antara lain dengan penambahan NaHS pada flotasi atau penerapan CPS (Controlled Potential Sulphidisation), optimasi reagen, dan optimasi sirkuit pabrik pengolahan. Program inspeksi, pemeliharaan, dan penggantian jaringan pipa penempatan tailing telah meminimalkan risiko kerusakan dan mencegah kebocoran pipa. Hasil pemantauan rutin, kajian-kajian dan studi validasi terhadap prediksi dampak lingkungan telah memastikan bahwa dampak penempatan tailing proyek Batu Hijau terbatas pada laut dalam di bawah ujung pipa (kedalaman > 125 m) di dasar Ngarai Senunu, dan bahwa tailing tidak naik ke lapisan perairan permukaan yang produktif serta tidak menyebar ke arah pantai. Sesuai dengan prediksi ANDAL, dampak penempatan tailing terbatas pada penurunan kualitas air laut di dalam zona pencampuran yang diizinkan di perairan dasar Ngarai Senunu, dan terkuburnya bentos di dasar Ngarai. Tidak ada dampak penempatan tailing yang teridentifikasi terhadap komunitas plankton, terumbu karang dan ikan terumbu, komunitas pasang surut, ikan demersal, kerangkerangan, ataupun aktivitas perikanan masyarakat pesisir di Sumbawa Barat bagian Selatan. Kajian lingkungan di sekitar daerah penempatan tailing didasarkan atas perbandingan data terkini dengan rona dasar sebelum operasi dan rona lingkungan sekitar di daerah yang tidak terkena dampak (daerah kontrol). Survey laut dalam yang telah dua kali dilakukan memastikan bahwa sebagian besar tailing mengalir di dasar Ngarai menuju tempat pengendapan utama
96
pada kedalaman > 3000 meter di bawah permukaan laut di dasar Cekungan Lombok, sesuai dengan prediksi di dalam ANDAL PTNNT. Hasil pemetaan tapak endapan tailing dibandingkan dengan hasil pemodelan numerik, dan lebih lanjut data baru yang diperoleh dari survei terkini digunakan untuk memutakhirkan model prediksi sebaran sampai dengan akhir operasi. Perbaikan berkelanjutan di dalam sistem manajemen, teknologi pengoperasian dan teknik pemantauan DSTP terus dilakukan sebagai bagian dari komitmen PTNNT untuk memastikan operasi yang aman, ketaatan terhadap hukum dan perlindungan lingkungan. Pengawasan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan melalui pemantauan independen dan inspeksi rutin. Keterlibatan tenaga ahli nasional dan internasional dalam berbagai kajian memberikan masukan penting dalam operasi dan juga untuk proses penyusunan kebijakan tentang DSTP di Indonesia. Izin penempatan tailing yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia didasarkan oleh kajian dan bukti pemenuhan persyaratan dan baku mutu yang ditetapkan. Tidak kalah pentingnya adalah penerimaan masyarakat sekitar sebagai lisensi sosial untuk beroperasi. Pengakuan pemerintah Indonesia terhadap upaya PTNNT dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan juga dinyatakan dalam penghargaan PROPER peringkat hijau yang telah diterima PTNNT sebanyak lima kali sejak tahun 2002. Meskipun PTNNT dapat berbangga dengan kinerja pengelolaan tailing yang telah dicapai, tantangan di masa yang akan datang tidak dapat diremehkan. Menurut rencana tambang 2010, penempatan tailing di Ngarai Senunu akan terus berlanjut hingga tahun 2032 dan hampir setengah di antaranya adalah sisa pengolahan bijih yang berasal dari stockpile. Isu kestabilan logam tembaga di dalam endapan tailing perlu dikaji lebih lanjut sehubungan dengan pengolahan bijih yang teroksidasi sebagian. Pengelolaan dan pengaturan campuran bijih yang diolah perlu diterapkan untuk meminimalkan risiko pelepasan logam ke air laut. Realisasi rencana pengembangan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
pabrik pada tahun 2015 akan mempercepat laju pengolahan bijih dan penempatan tailing. Kajian risiko dan dampak lingkungan perlu terus disesuaikan untuk mengantisipasi rencana perubahan di dalam operasi dengan menerapkan pengetahuan dan pengalaman terbaik yang telah diperoleh selama operasi lebih dari satu dekade. Justru di dalam menghadapi tantangan inilah, komitmen PTNNT dalam tanggung jawab sosial dan perlindungan lingkungan perlu terus dinyatakan dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan baik di dalam perencanaan, pelaksanaan operasi, penutupan tambang hingga masa pasca operasi.
Bab 7 Referensi
Referensi
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
97
Bab 7 Referensi
Referensi Andrew, W.A. 1974. A Guide to the Study of Environmental Pollution. Prentice Hall Inc. New Jersey. Angel, M.V. and Baker, A.de C. 1982. Vertical Distribution of Standing Crop of Plankton and Micronekton in The Northeast Atlantic. Biological Oceanography, 2:1-29. ANZECC/ARMCANZ. 2000. Australia and New Zealand Guidelines for Fresh and Marine Water Quality. Australian and New Zealand Environment and Conservation Council/ Agricultural and Resource Management Council of Australian and New Zealand. ANZFA. 2001. Food Standards Code. Standard 1.4.1. Australia New Zealand Food Authority. http:// www.anzfa.gov.au. APHA,2005. Standard Method for the Examination of Water and Waste Water. 20ed APHA. Washington DC. Apte.S.C., Simpson.S.L., Jung R.F., Batley G.E., Hales L.T. and Warden B.2005. Environmental Monitoring Due Dilligence Study October 2004; Centre for Advanced Analytical Chemistry Energy TechnologyCSIRO, Australia. Asanuma I, Matsumoto K, Okano H, Kawano T, Hendiarti N,Sachoemar S.I. 2003. Spatial distribution of phytoplankton along the Sunda Islands: the monsoon anomaly in 1998. J Geophys Res 108:3202. Calmarine. 2001. Senunu HDPE Tailing Pipeline Maintenance Program Side Scan Sonar, Sub-bottom Profilling. Center for Biodiversity and Environmental Study (CBES). 2010. Laporan Hasil Kajian dan Pengembangan Metode Pemantauan Sosial Partisipatif: Dampak DSTP PTNNT bagi Masyarakat Pesisir. Center for Biodiversity and Environmental Study (CBES). 2011. Marine
98
Ecology Monitoring Program, 2010 Annual Report. Prepared for PT Newmont Nusa Tenggara, Batu Hijau Project. Sumbawa. Clarke, K. R. 1993. Non-parametric multivariate analyses of changes on community structure. Aust. J. of Ecology 18:117-143. Clarke, K.R. and Warwick, R.M. 1994. Change in marine communities: An approach to statistical analysis and interpretation. Plymouth Marine Laboratory. UK. Coffey. 2009. Marine Ecology Monitoring Statistics Report. Coffey. 2010. Batu Hijau Deep Sea Tailing Placement Modeling Report, October 2010. Coull, B.C. and Chandler, G.T. 1992. Pollution and meiofauna: field, laboratory and mesocosm studies. Oceanography and Marine Biology Annual Review 30: 191-271. CSIRO 2005. Environmental Monitoring Due Diligence Study, October 2004. Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, Sydney, Australia. CSIRO 2010. Environmental Monitoring Due Diligence Study, October 2009. Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, Sydney, Australia. Dames & Moore. 1996. ANDAL study for the Batu Hijau Copper/Gold Project, Sumbawa, Indonesia. Report prepared for PT Newmont Nusa Tenggara. Dames & Moore. 2002. Marine Ecology Monitoring Report April 2002 Survey. Dames and Moore, 2001. Marine Monitoring Report Statistical Analyses of Biological Communities Pre- and Post-Operation of Deep Sea Tailing Pipeline on the South Coast Sumbawa, Indonesia. DHI, 2008. Marine & Fresh Water Ecology Monitoring Program Sumbawa, West Nusa Tenggara, Indonesia Semi-Annual Survey Wet Season -
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
April/May 2008 Final Report. DHI, 2008. Marine & Fresh Water Ecology Monitoring Program Sumbawa, West Nusa Tenggara, Indonesia Biannual Survey - September/October 2008 Final Report. DHI, 2009. Marine & Fresh Water Ecology Monitoring Program Sumbawa, West Nusa Tenggara, Indonesia Semi-Annual Survey Wet Season April/May 2009 Final Report. DHI, 2009. Marine & Fresh Water Ecology Monitoring Program Sumbawa, West Nusa Tenggara, Indonesia Biannual Survey - September/October 2009 Final Report. DHI, 2010. Marine & Fresh Water Ecology Monitoring Program Sumbawa, West Nusa Tenggara, Indonesia Semi-Annual Survey Wet Season April/May 2010 Final Report. Djalilah, S.R. dan Sumarah, C.B. 2008. Sistem Pengelolaan Air Tambang pada Lingkungan Tambang Batu Hijau, Seminar Air Asam Tambang & Reklamasi Lahan Bekas Tambang di Indonesia, Institure Teknologi Bandung. Bandung 1-2 Juli 2008. Ecostar, 2009. Tailings Pipeline Audit Report, September 2008. Enesar, 2005. Marine Ecology Monitoring 1997-2004. Summary Report. Prepared for PT Newmont Nusa Tenggara, February 2005. Enesar. 2004. Marine ecology monitoring report. Annual report for 2003. Report prepared for PT Newmont Nusa Tenggara, April 2004. Enesar. 2006. Marine ecology monitoring report. Annual report for 2005. Report prepared for PT Newmont Nusa Tenggara, February 2006. Enesar. 2006. Study of the Recolonisation of Tailing by Meiofauna in Microcosm and Mesocosm Experiments. Enesar. 2006. Tailing Footprint Modelling. Enesar. 2007. Marine Ecology Monitoring, Annual Report 2006.
Bab 7 Referensi
Enesar. 2007. Tailing Footprint Modelling. ERM. 2005. Proposed Changes to Operations and Environmental Management and Monitoring, 2005. Faith, D.P., C.L. Humphrey, and P.L. Dostine, 1991. Statistical Power and BACI Designs in Biological Monitoring: Comparative Evaluation of Measures of Community Dissimilarity Based on Benthic Macroinvertebrate Communities in Rockhole Mine Creek, Northern Territory, Australia. Aust. J. Mar Freshwater Res., 42. FSANZ. 2004. Food Standards, Australia New Zealand, (see ww.foodstandards.gov.au). Gloerfelt Tarp, T. and P.J. Kailola, (undated). Trawled Fishes of Southern Indonesian and Northwestern Australia. Published by The Australian Development Assistance Bureau; The Directorate General of Fisheries, Indonesia; and The German Agency for Technical Cooperation ISBN O 642 70001 X. Gwyther, D., Batterham, G.J., Waworuntu, J., Gultom, T.H., Prayogo, W., Susetiono, Karnan, 2009. Recolonisation of mine tailing by meiofauna in mesocosm and microcosm experiments, Marine Pollution Bulletin 58 (2009) 841850. Higgins, R. & Thiel, H. 1988. Introduction to the study of meiofauna. Smithsonian Institute Press. Washington D.C. Independent Team, 2005. Laporan Penelitian Studi Logam Berat di Kawasan Teluk Labuhan Lalar, Kabupaten Sumbawa. Iskandar I, Rao SA, Tozuka T (2009) Chloropyhll-a bloom along the southern coasts of Java and Sumatra during 2006. Int Journal of Rem Sen 30:663-671. Iskandar I, Sasaki H, Sasai Y, Masumoto M, Mizuno K. 2010. A numerical investigation of eddy-induced chlorophyll bloom in the
4
southeastern tropical Indian Ocean during Indian Ocean Dipole-2006. Ocean Dynamics, DOI 10.1007/ s10236-010-0290-6.
KLH. 2009. Hasil Evaluasi Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2009.
IUCN, 1990. 1990 IUCN Red List of Threatened Animals. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Gland, Switzerland. 154pp.
LAPI ITB. 2007. Modeling of Tailing Dispersion in Senunu Canyon and The Adjacent Area of The Submarine Tailing Placement.
James Cook University, 1984. Metals in Marine Organisms From the Great Barrier Reef Province. Kastoro, W.W., Fahmi and Karnan. 2009. Report on Filter feeder bivalves, Fishes and Fisheries from the Contract of Work of PT Newmont Nusa Tenggara 2009. P2O-LIPI. KEPMEN/LH/02/1988. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomer 02 Tahun 1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. KEPMEN/LH/51/2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomer 51 Tahun 2004 mengenai Baku Mutu Kualitas Air Laut. KEPMEN/LH/82/2005. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomer 82 Tahun 2005 mengenai Perpanjangan Ijin Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam Proyek Batu Hijau PT Newmont Nusa Tenggara. KEPMEN/LH/236/2007. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomer 263 Tahun 2007 mengenai Perpanjangan Ijin Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam Proyek Batu Hijau PT Newmont Nusa Tenggara. Kingsford, M.J. and Murdoch, R. 1998. 'Planktonic Assemblages'. In Studying Temperate Marine Environments - A Handbook for Ecologists. Edited by M. Kingsford and C. Battershill. Canterbury University Press. KLH. 2008. Hasil Evaluasi Penilaian Peringkat Kinerja Pengelolaan Lingkungan (PROPER) Periode penilaian: 1 Oktober 2006 - 30 September 2007.
LAPI ITB. 2007. Modeling of Tailing Dispersion in Senunu Canyon and The Adjacent Area of The Submarine Tailing Placement. LAPI ITB. 2009. TSS and Copper Modeling in Senunu Canyon and Adjacent Sea PT. Newmont Nusa Tenggara. LAPI ITB. 2010. Laporan Hasil Studi Alternati Upaya Peningkatan Fraksi Padatan dan Berat Jenis Slurry Tailing PT. Newmont Nusa Tenggara. LAPI ITB. 2011a. Laporan Akhir Pemodelan 3 Dimensi Kualitas Air Laut di Perairan Senunu dan Sekitarnya. Maret 2001. LAPI ITB. 2011b. Laporan Hasil Kajian Alternatif Pemanfaatan Tailing dengan Prinsip 3R (Reuse, Recycling, Recovery). LIPI. 2004a. Deep sea research at Senunu Canyon, Lombok Basin, South West Sumbawa, Indian Ocean, May, June and October 2003. Join Research PT Newmont Nusa Tenggara and Research Centre for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences (RCO-LIPI). LIPI. 2004b. Acute toxicity of tailings to juvenile seabass (Lates calcarifer) and tropical marine diatom (Chaetoceros gracilis). Test 1. Research Centre for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences (RCO-LIPI). LIPI. 2004c. Acute toxicity of tailings to juvenile seabass (Lates calcarifer) and tropical marine diatom (Chaetoceros gracilis). Test 2. Research Centre for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences (RCO-LIPI).
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
99
Bab 7 Referensi
LIPI. 2004d. Acute toxicity of tailings to juvenile grouper (Epinephelus fuscogutatus) and tropical marine diatom (Chaetoceros gracilis). Test 3. Research Centre for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences (RCO-LIPI). LIPI. 2006. Tailings toxicity test on juvenile of grouper (Cromileptes altivelis) and marine diatom (Chaetoceros gracilis). Research Centre for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences (RCOLIPI). LIPI. 2010. Batu Hijau Deep Sea Tailings Placement Deep Sea Study, September 2009. Join Research PT Newmont Nusa Tenggara and Research Centre for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences (RCO-LIPI).
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Saunders Co., Philadelpia. PKSPL IPB, 2006. Marine Ecology Monitoring 2005. Poling, G.W., Ellis, D.V., Murray, J.W., Parsons, T.R. and Pelletier, C.A., 2002. Underwater Tailings Placement at Island Copper Mine. A Success Story. Society of Mining, Metallurgy, and Exploration, Inc., Colorado, U.S.A. Poole, R.W. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. Mc Graw Hill Book Co. Inc. New York. PPLH UNRAM, 2004. Survei Perikanan di Desa-desa Nelayan Kab. Sumbawa Barat & Lombok Timur bag. Selatan.
Mangkusubroto, Kuntoro. 1995. Investment's Key Role in Indonesia's Mining Sector. Asian Journal of Mining. March/April, 1995.
PPLH UNRAM, 2008. Perubahan Ekonomi, Sosial Budaya dan Kesehatan Masyarakat di Daerah Lingkar Tambang PTNNT.
Meldrum, S.J., R.S. Aquino, R.I. Gonzales, R.J. Burke, A. Suyadi, B. Irianto, and D.S. Clarke, 1994. The Batu Hijau porphyry copper gold deposit, Sumbawa Island, Indonesia. J. Geochem. Exploration Vol 50. pp 203 220.
PPLHD NTB, 2007. Laporan Hasil Pemantauan dan Pengawasan Pengelolaan Lingkungan pada Usaha Pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara Tahun 2007.
Morrisey, D.J., Turner, S.J. and MacDiarmid, A.B. 1998. 'Subtidal assemblages of soft substrata' in Studying temperate marine environments - a handbook for ecologists. Edited by M. Kingsford and C Battershill. Canterbury University Press. Murtugudde R, Signorini SR, Christian JR, Busalacchi AJ, McClain CR, Picaut J (1999) Ocean color variability of the tropical Indo-Pacific basin observed by SeaWiFS during 1997-1998. J Geophys, Res 104:18351-18366. NODC, 1993. Global Ocean Temperature and Salinity Profiles. Data archives of the U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration, National Oceanographic Data Center, Rockville, MD, USA.
100
PTNNT, 1996 Environmental Monitoring Plan (RPL) Batu Hijau Copper and Gold Project, October 1996. PTNNT, 1996. Environmental Management Plan (RKL) Batu Hijau Copper and Gold Project, October 1996. PTNNT, 1996. Multi Sector/Integrated Environmental Impact Analysis (ANDAL) Batu Hijau Copper and Gold Project, October 1996. PTNNT, 2003. Tailing Pipelines Inspection Report 12-13 August 2003. PTNNT, 2004 Sejorong Stockpile Oxidation Study, November 2004. PTNNT, 2004. Laporan Hasil Inspeksi Saluran Pipa Tailing Tambang Batu Hijau. 2-4 Agustus 2004. PTNNT, 2004. Laporan Triwulan Pelaksanaan RKL-RPL 2003, Laporan Tahunan 2003 dan
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Rencana Tahunan 2004. PTNNT, 2004. Monitoring of Environmental Impacts and Concentrate Production Evaluation PTNNT. PTNNT, 2005. Laporan Hasil Inspeksi Saluran Pipa Tailing Tambang Batu Hijau, 6-7 Juni 2005. PTNNT, 2005. Laporan Kegiatan Sosialisasi Rencana Perubahan Operasi Tambangan Batu Hijau PTNNT, 12-28 Desember 2005. PTNNT, 2005. Laporan Triwulan Pelaksanaan RKL-RPL 2004, Laporan Tahunan 2004 dan Rencana Tahunan 2005. PTNNT, 2005. Submarine Tailing Placement Report Q4-2005. PTNNT, 2005. Submarine Tailing Placement Report, Q3-2005. PTNNT, 2006a. Laporan Triwulan Pelaksanaan RKL-RPL 2005, Laporan Tahunan 2005 dan Rencana Tahunan 2006. PTNNT, 2006b. Sosialisasi Rencana Perubahan Tambang PT.Newmont Nusa Tenggara. PTNNT, 2007a. Meiobenthos Investigation PKSPL IPB, Internal PTNNT communication. Memo January 2007. PTNNT, 2007b. Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam Laporan Pemantauan Lingkungan, Februari 2007. PTNNT, 2007c. Laporan Triwulan Pelaksanaan RKL-RPL 2006, Laporan Tahunan 2006 dan Rencana Tahunan 2007. PTNNT, 2008. Laporan Triwulan Pelaksanaan RKL-RPL 2007, Laporan Tahunan 2007 dan Rencana Tahunan 2008. PTNNT, 2009a. Laporan Triwulan Pelaksanaan RKL-RPL 2008, Laporan Tahunan 2008 dan Rencana Tahunan 2009. PTNNT, 2009b. Rencana Penutupan
Bab 7 Referensi
Tambang PT.Newmont Tenggara 2027.
Nusa
PTNNT, P20-LIPI, PPLH UNRAM and Enesar. 2006. Study of the Recolonisation of Tailings by Meiofauna in Microcosm and Mesocosm Experiments, September 2006. PTNNT. 2010a. Laporan Triwulan Pelaksanaan RKL/RPL Triwulan-4 Oktober-Desember 2009 & Laporan Tahunan 2009 dan Rencana Tahunan 2010.
Yogyakarta. Susanto R.D. and Gordon A.L. 2001. Upwelling along the coasts of Java and Sumatra and its relation to ENSO, J Geophys Res Lett, 28, 8, 1599-1602. Susanto R.D., Marra J. 2005. Efect of the 1997/98 El Ni単o on Chlorophylla Variability along The Southern Coast of Java and Sumatra. Oceanography 18:124-127.
PTNNT. 2010b. Laporan Triwulan Pelaksanaan RKL/RPL Triwulan-1 Januari-Maret 2010.
Susanto RD, Moore TS II, Marra J (2006) Ocean Color Variability in The Indonesia Seas during The SeaWiFS Era. Geochem, Geophys, Geosys, 7.
PTNNT. 2010c. Laporan Hasil Studi Pengembangan Flotasi CPS (Controlled Potential Sulphidization) untuk Aspek Perolehan Tembaga dan Karakterisasi Tailing, serta Implementasinya, Juli 2010.
Thompson, D.R. 1990. Metal levels in Marine Vertebrates. In Heavy Metals in the Marine Environment. Edited by R.W. Furness and P.S. Rainbow. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida.
Pusarpedal (Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan) Deputi VII Kementrian Lingkungan Hidup.2005. Pemantauan Kualitas Lingkungan di Sekitar PTNNT.
Tim Independen Pemantau Dampak Lingkungan dan Evaluasi Produksi Konsentrat PT. Newmont Nusa Tenggara Tahun 2003. Laporan Akhir Pemantauan Dampak Lingkungan dan Evaluasi Produksi Konsentrat PT Newmont Nusa Tenggara, Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Pusarpedal Deputi Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas KLH, 2007. Laporan Pemantauan Kualitas Lingkungan PTNNT. Rainbow, P.S. 1992. The significance of accumulated heavy metal concentrations in marine organisms. In: Proceedings of a Bioaccumulation Workshop. Edited by A.G. Miskiewicz, Water Board and Australian Marine Sciences Associations Inc. Simpson, S., Apte, S., Hales, L. and Batterham, G.J. 2006. CPS Tailings Cu Mobilization Pilot Study. CSIRO Land and Water Science Report 31/ 06. Simpson, S. and Batterham, G.J. 2007. CPS Tailings Cu Mobilization Pilot Study - Part 2. CSIRO Land and Water Science Report 34/07. Sumarwoto, O. 1989. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada Univ. Press.
Tim Independen Pemantau Dampak Lingkungan dan Evaluasi Produksi Konsentrat PT. Newmont Nusa Tenggara Tahun 2004. Laporan Akhir. Tim Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah [PPLHD] Pemerintah Provinsi NTB.2006. Laporan Pemantauan dan Pengawasan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan PT. NNT Tahun 2006. Tim Terpadu Pemantau Dampak Lingkungan PTNNT. 2005. Pemantauan Dampak Lingkungan PTNNT Tahun 2005. Aspek Perikanan dan Kelautan. Tim Terpadu Pemantau Dampak Lingkungan PTNNT. 2005. Pemantauan Dampak Lingkungan PTNNT Tahun 2005. Evaluasi Pelaksanaan RKL dan RPL.
Tim Terpadu Pemantau Dampak Lingkungan PTNNT. 2005. Pemantauan Dampak Lingkungan PTNNT Tahun 2005. Aspek Kesehatan. Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and Moosa, M.K. 1997. The Ecology of Indonesia Series; Volume VII: The Ecology of The Indonesian Seas, Part One. Periplus Editions (HK) Ltd. UNEP. 1993. Monitoring coral reefs for global change. Reference Methods for Marine Pollution Studies No. 61. Australian Institute for Marine Science. UNRAM, 2010. Survey Perikanan di Desa-desa Nelayan Kab. Sumbawa Barat & Lombok Timur bag. Selatan. UNRAM. 2007. Survei Perikanan di Desa-desa Nelayan Kab. Sumbawa Barat & Lombok Timur bag. Selatan. UNRAM. 2010. Community Health Assessment Study (CHAS) - NTB, 2010. URS. 2001. Statistical analyses of biological communities pre- and postoperation of deep sea tailings placement pipeline on the South Coast of Sumbawa. September 2001. URS. 2002. Marine monitoring report: April 2002 survey. Report prepared for PT Newmont Nusa Tenggara, September 2002. URS. 2003. Marine monitoring report: October 2002 survey. Report prepared for PT Newmont Nusa Tenggara, March 2003. US EPA. 1996. Method 1660. Sampling ambient water for trace metals at EPS water quality criteria levels. July 1996. Waworuntu, J. 2010. Ten Years Oceanographic and Water Quality Monitoring in the Eastern Indian Ocean, Poster presented at Ocean Science Conference, Portland - Oregon. Wolanski, E., 1986. Island Wakes and
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
101
Internal Tides in Stratified Shelf Waters. Ann. Geophys., 4(4):425 440. Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Volume 2, NAGA Report, Scientific Results of Marine Investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand, 1959 1961. Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, CA USA. Yayasan Bahtera Nusantara. 2007. Laporan Survei Sosial Ekonomi: Reef Community Development di Kabupaten Sumbawa Barat (Teluk Benete sampai dengan Teluk Senutuk). Yayasan Bahtera Nusantara. 2009. Laporan Survei Ekologi: Reef Community Development di Kabupaten Sumbawa Barat (Teluk Benete sampai dengan Teluk Senutuk).
102
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
103
Batu Hijau Site, Sumbawa Barat, NTB, Indonesia Tel (62) (372) 635318 Fax (62) (372) 635319 Jl. Sriwijaya No. 258, Mataram, NTB, Indonesia Tel (62) (372) 636318 Fax (62) (372) 633349 Jl. Cendrawasih No. 140, Sumbawa Besar, NTB, Indonesia Tel (62) (371) 626318 Fax (62) (371) 24163
Kinerja Sistem Penempatan Tailing di Dasar Laut Dalam
www.ptnnt.co.id