2 minute read
JALAN PANJANG PENYELESAIAN PEGAWAI NON-PNS
Oleh: Wignyo Adiyoso
Penyelesaian masalah pegawai non-PNS tak kunjung menemui titik terang. Pegawai non-PNS ini memiliki beraneka sebutan. Ada yang menyebut tenaga kontrak, honor, pegawai lepas harian, pegawai tidak tetap atau dalam UU ASN penyebutannya adalah Pegawai Pemerintah Non- Pegawai Negeri Sipil (PPNPN).
Pemerintahan dan regulasi boleh saja berganti, tetapi isu ini tak pernah berhenti. PPNPN ini tidak hanya masalah bagi daerah. Pemerintah pusat juga mengalaminya, meskipun tak seberat di daerah. Tentu saja, dampak terberat ditanggung oleh para PPNPN. Status tidak jelas, tapi tugas tetap dilaksanakan. Belum lagi tekanan isu ketidakpastian: diterima PNS atau diputus. Memang, pada masa lalu ada yang sebagian sudah diangkat menjadi PNS atau PPPK, tetapi masih banyak yang belum. Untuk menyelesaikan masalah ini memang tidak mudah, tetapi bukan juga tidak mungkin. Perlu ditelisik akar masalah, terobosan kebijakan, dan sedikit keberanian yang bisa memenangkan semua pihak.
Penyebab masalah “ketidakjelasan” PPNPN memang terlalu banyak komplikasi. Awalnya, tenaga tidak tidak tetap ini direkrut dalam rangka mengisi (1) keterbatasan PNS karena keterbatasan formasi dan kapasitas keuangan; (2) kebutuhan tenaga guru dan tenaga kerja kesehatan yang mendesak; (3) melaksanakan proyek-proyek pemerintah berdurasi menengah dan panjang; dan (4) kebutuhan mendadak karena adanya perubahan struktur organisasi seperti penggabungan instansi atau pemekaran daerah. Namun, dalam proses rekrutmen tidak dibarengi dengan tata kelola, kriteria, dan objektivitas yang jelas. Banyak disinyalir, pengadaan tenaga non PNS ini menjadi ajang korupsi, kolusi, dan nepotisme oleh sebagian oknum PNS, baik untuk keuntungan pribadi maupun kepentingan memasukkan kerabat di birokrasi sebanyakbanyaknya. Maklum, PNS masih menjadi idola profesi bagi sebagian besar masyarakat. Kondisi angka tingkat pengangguran yang juga tinggi mendorong jalan pintas menjadi PNS sebagai pekerjaan utama.
Jalur PPNPN ini sebelum ada aturan
PPPK adalah salah satu pintu untuk masuk PNS dengan syarat lebih mudah dibandingkan rekrutmen terbuka. Sebagian kasus keberadaan
PPNPN ini benar diperlukan adanya. Selain memiliki kompetensi, mereka dapat mendukung tugas PNS yang masih terbatas baik jumlah dan kompetensinya. Bahkan, mereka ini menjadi tumpuan organisasi pemerintah terutama para guru dan tenaga kesehatan yang melayani kebutuhan esensial masyarakat. Namun, tak sedikit pula dari mereka yang hanya membebani, karena ternyata tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Kredibilitas pengadaan dan pengelolaan yang rendah menyebabkan kualitas sulit dipertanggungjawabkan. Inilah sebenarnya yang menjadi masalah utama. Tidak pernah ada evaluasi atau pengembangan kompetensinya. Dengan pembiaran yang begitu lama maka mereka merasa berhak untuk diangkat menjadi PNS. Padahal secara psikologis dan penghasilan sudah merasa terjamin selama ini.
Alternatif kebijakan untuk menyelesaikan masalah pegawai non-PNS ini memang tidaklah mudah dan terbatas pilihannya. Perlu kejelian dan komitmen yang kuat dari pengambil kebijakan. Setidaknya, KemenPANRB sudah mengambil langkah awal dengan melakukan profiling PPNPN. Langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian terhadap kinerja mereka dan analisis kebutuhan. Apabila bidang pekerjaan tetap dibutuhkan dan kinerja masih sesuai maka yang bersangkutan bisa dilanjutkan. Tidak perlu dilakukan tes CPNS atau PPPK. Sedikit sulit apabila ternyata ada ketidaksesuaian antara kompetensi dan kebutuhan. Bagi mereka yang kompeten, tetapi tidak lagi sesuai kebutuhan, yang bersangkutan bisa dialihkan pada pekerjaan lain. Hal ini menjadi rumit jika dalam bidang pekerjaan tidak dibutuhkan lagi dan kompetensi tidak sesuai standar minimal. Oleh karena itu, jalan satusatunya adalah pemerintah harus melakukan pemutusan kerja dengan memperhatikan aspek kemanusiaan dan membantu keberlangsungan penghidupannya. Misalnya, diberikan pesangon yang layak, disalurkan pada perusahaan swasta dengan terlebih dahulu diberikan pelatihan, atau diberikan modal usaha untuk mata pencahariannya.
Meski terlihat mudah, tentu saja pelaksanaannya banyak tantangan. Tantangan pertama adalah siapa dan alat apa yang akan digunakan untuk asesmen kompetensi dan kesesuaian pekerjaan. Kemudian, sejauh mana kapasitas fiskal setiap daerah atau K/L untuk menanggung mereka yang memang tidak memiliki kompetensi dan tidak lolos. Protes akan keras bagi mereka-mereka ini. Namun, dengan “kompensasi” yang menarik, kekecewaan mereka tidak akan dalam dibandingkan dengan ketidakjelasan penyelesaian dari pemerintah. Apalagi penyelesaian ini sudah tertunda beberapa kali. Jalan penyelesaian PPNPN memang masih terjal. Tanpa ada langkah-langkah konkret, jelas, dan berani, masalah ini akan terus terakumulasi dan siap-siap saja untuk meledak menjadi masalah sosial di masa yang akan datang. g
Tenaga honorer masih sangat diperlukan di instansi pemerintah. Bila dihapuskan, apa solusi yang ditawarkan oleh pemerintah? Simak wawancara
Simpul dengan Kepala Biro
Sumber Daya manusia (SDM)
Kementerian Perencanaan
Pembangunan/Badan
Perencanaan Pembangunan
Nasional (Kementerian PPN/ Bappenas), Ellis Indrawati, berikut ini.