8 minute read
WACANA INSTANSI PEMERINTAH TANPA TENAGA HONORER
LATAR BELAKANG
Sejak dulu, tenaga kontrak atau dikenal dengan istilah honorer merupakan salah satu komponen kepegawaian yang sudah ada di instansi pemerintah. Keberadaan tenaga honorer awalnya ditujukan untuk menunjang dan membantu tugas harian PNS. Namun, beberapa tahun terakhir keberadaannya menimbulkan masalah baik di instansi pusat maupun daerah.
Permasalahan bermula saat diundangkannya PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Tujuan awal diundangkannya PP tersebut untuk memfasilitasi tenaga honorer yang sudah mengabdi dengan rentang usia antara 35—46 tahun dan masa kerja hingga 20 tahun dikarenakan mereka sudah tidak dapat mendaftar sebagai CPNS melalui jalur umum. Namun, pada implementasinya, PP tersebut belum menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah tenaga honorer. Hal ini disebabkan ketentuan batas usia, masa kerja, proses seleksi serta beberapa ketentuan lain ternyata sulit untuk diimplementasikan sehingga masih banyak tenaga honorer dengan kualifikasi tertentu yang tidak dapat diakomodasi oleh PP tersebut.
Pada 2007, pemerintah kembali mengundangkan PP 43 Tahun 2007 sebagai hasil evaluasi dan perubahan atas PP 48 Tahun 2005. Peraturan tersebut diharapkan dapat memberikan kelancaran dan penyelesaian masalah pengangkatan tenaga honorer. Dalam Perubahan PP ini terdapat 3 poin inti yang diubah, yaitu (1) penentuan usia yang dikaitkan dengan masa kerja; (2) kewenangan penentuan daerah terpencil atau tertinggal dan kriterianya; serta (3) pembebanan biaya pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Namun, seperti PP sebelumnya, pelaksanaan PP 43 Tahun 2007 belum juga memberikan titik terang untuk menyelesaikan masalah pengangkatan tenaga honorer. PP tersebut justru melahirkan istilah baru, yaitu honorer K1 dan K2. Istilah ini muncul untuk mendefinisikan tenaga honorer yang penghasilannya dibebankan pada APBN/APBD (honorer K1) dan tenaga honorer yang penghasilannya tidak dibebankan pada APBN/ APBD (honorer K2). Situasi ini terus berlanjut hingga 2009. Padahal, jika menilik amanat PP 48 Tahun 2005, keberadaan tenaga honorer harus diselesaikan pada 2009.
Menindaklanjuti masalah tersebut, pemerintah kemudian melakukan perubahan kedua atas PP 48 Tahun 2005 melalui PP 56 Tahun 2012. Secara umum, perubahan tersebut hanya berisi langkah-langkah yang perlu dilakukan Kementerian PANRB, BKN, dan BPKP dalam penanganan tenaga honorer. Tasdik Kinanto, Sekretaris Kementerian PANRB pada masa itu, sebenarnya optimis bahwa perubahan kedua peraturan tersebut dapat mengakhiri rezim honorer sehingga dapat menata PNS sesuai prinsip-prinsip sistem merit (sumber: menpan.go.id “Terbitnya PP No 56 2012 Tuntaskan Masalah Honorer”, 2012). Bahkan, guna mendukung PP tersebut, pemerintah juga mengambil langkah moratorium penerimaan CPNS pada 2011—2012.
Kenyataannya, jumlah tenaga honorer masih terus bertambah. Banyak instansi baik di pusat maupun daerah masih melakukan rekrutmen dan mengabaikan peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan. Kondisi ini diperburuk dengan proses rekrutmen yang tidak transparan dan tidak mengacu pada pemetaan jabatan, baik analisis jabatan maupun analisis beban kerja. Sering kali ditemukan juga pegawai honorer direkrut berdasarkan “titipan pejabat”. Akibatnya, terdapat tenaga honorer yang tidak memiliki keahlian dan malah menimbulkan masalah baru bagi kinerja maupun beban anggaran.
Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Tjahjo Kumolo (2020), pernah menjelaskan terkait upaya pemerintah dalam menyelesaikan masalah honorer. Sejak tahun
2005—2014, setidaknya pemerintah telah melakukan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS sebanyak 1.070.092 orang (sumber: finance. detik.com “Tjahjo Sebut Tenaga
Honorer Jadi Beban Pemerintah
Pusat”, 2020). Namun, upaya tersebut belum juga efektif menghentikan perekrutan tenaga honorer. Berlanjut pada rapat kerja bersama Komisi II
DPR tahun 2021, Tjahjo memprediksi beban anggaran belanja akan membengkak Rp3 triliun lebih per bulan jika tenaga honorer dilakukan kembali pengangkatan secara langsung. Ia menambahkan, perlu alternatif solusi penerimaan ASN yang komprehensif dan berkeadilan, baik bagi tenaga honorer yang ada maupun calon pelamar di luar tenaga honorer untuk diberikan kesempatan berkompetisi sesuai dengan sistem merit (sumber: antaranews.com "Anggaran Membengkak Rp3 T Per Bulan Jika Honorer Diangkat Langsung", 2021).
Sejalan dengan pernyataan Tjahjo tersebut, pada 2014, sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan UU
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara, yang menyatakan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya terdiri atas Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
UU ini kemudian diperkuat dengan aturan turunannya yaitu PP Nomor 17
Tahun 2020 tentang Perubahan Atas
PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Manajemen PNS dan PP Nomor 49
Tahun 2018 tentang Manajemen
PPPK. Dengan dikeluarkannya aturan tersebut, secara otomatis pemerintah mewacanakan instansi pemerintah tanpa tenaga honorer.
Penghapusan Tenaga Honorer
Berdasarkan UU ASN dan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen
PPPK, Kementerian PANRB pada 31
Mei 2022 mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor B/185/M.SM. 02.03/2020 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. SE tersebut sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer yang tak kunjung usai melalui penataan SDM Aparatur. Kebijakan tersebut dirasa sejalan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi, di mana pada UU Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa ASN hanya terdiri atas PNS dan PPPK.
Berkenaan dengan kebijakan tersebut, Kementerian PANRB mengimbau para Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melakukan pemetaan tenaga non-ASN di lingkungan instansi masing-masing dan bagi yang memenuhi syarat dapat diikutsertakan dan diberikan kesempatan mengikuti seleksi PNS maupun PPPK. Adapun bagi yang tidak memenuhi persyaratan dapat dialihdayakan melalui mekanisme (outsourcing) dengan posisi sebagai tenaga kebersihan, pengemudi, dan satuan pengamanan. Kebijakan ini mulai berlaku pada 28 November
2023 atau lima tahun sejak diundangkannya PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.
Penghapusan tenaga honorer pada dasarnya sejalan dengan visi-misi Presiden terkait penyederhanaan birokrasi dengan agenda transformasi di bidang organisasi, sistem kerja yang menerapkan digitalisasi, serta peningkatan kualitas Sumber Daya Aparatur (SDA). Selain itu, kebijakan penghapusan tersebut dilatarbelakangi beberapa hal yaitu (1) tidak jelasnya sistem rekrutmen tenaga honorer yang sarat akan nepotisme dan kepentingan politik; (2) tidak sesuainya pengangkatan honorer dengan kebutuhan organisasi; serta (3) banyaknya tenaga honorer yang diberi upah di bawah UMR sehingga perlu ditingkatkan kesejahteraannya.
PRO-KONTRA KEBIJAKAN
Wacana penghapusan tenaga honorer di instansi pemerintah masih menyisakan polemik, baik di instansi pusat maupun daerah. Pada Surat Edaran Kementerian PANRB secara eksplisit memberikan formula baru terkait skema instansi pemerintah tanpa tenaga honorer. Dalam SE tersebut pemerintah memberikan ruang kepada tenaga honorer yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti seleksi CPNS/PPPK dan memberikan opsi bagi yang tidak memenuhi persyaratan untuk dialihkan menjadi Tenaga Alih Daya (outsourcing) melalui pihak ketiga.
Dilihat dari kacamata institusi, skema tersebut “terkesan” mengamputasi tenaga honorer dengan mengabaikan kontribusi dan pengabdian yang telah mereka berikan. Mengapa demikian? Opsi jabatan tenaga alih daya (outsourcing) yang ditawarkan pemerintah sangat terbatas meliputi tenaga kebersihan, pengemudi, dan satuan pengamanan. Pasalnya, banyak peran tenaga honorer yang belum diakomodasi pada jabatan CPNS/PPPK dan tenaga alih daya
(outsourcing) tersebut. Kondisi ini menjadi polemik bagi institusi untuk menjalankan amanat peraturan tersebut. Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan banyak tenaga honorer yang berkinerja baik bahkan jauh lebih produktif dibandingkan PNS dan tak jarang menjadi tulang punggung di instansi masing-masing. Jika skema tersebut langsung diterapkan, dikhawatirkan akan berdampak pada kestabilan kinerja organisasi.
Selain masalah kinerja, wacana instansi pemerintah tanpa tenaga honorer juga menimbulkan polemik anggaran, khususnya di pemerintah daerah. Selama ini, Pemda merekrut tenaga honorer tanpa menerapkan sistem rekrutmen yang benar dan standar gaji yang layak. Tanpa disadari, hal tersebut menjadi bom waktu. Jumlah honorer semakin membengkak dan melebihi kapasitas keuangan daerah. Jika pada akhirnya pegawai honorer harus dihapuskan dan gajinya distandarkan sesuai UMR, anggaran Pemda dipastikan tidak mampu untuk membayarnya. Kondisi ini diperkuat dengan pernyataan Saleh Partaonan Daulay, Komisi IX DPR RI (2021) saat menyoroti masalah koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengangkatan tenaga honorer di daerah disebabkan masalah penganggaran. Ia mencontohkan usulan Kemendikbud untuk mengangkat satu juta guru menjadi ASN. Usulan tersebut nyatanya tidak dapat dipenuhi oleh Pemda karena pengangkatan satu juta guru yang dilakukan secara bersamaanakan menjadi beban daerah. Penggajian guru yang berstatus ASN nantinya akan diambil dari DAU (Dana Alokasi Umum) masing-masing pemda. Padahal, Pemerintah Daerah merasa DAU mereka sudah kecil dan kemampuan keuangan daerah sangat terbatas (sumber: Metronews “Kontroversi Hapus Honorer. Solusi Atau Lepas Tangan?”, 2022).
Asa Tenaga Honorer
Selain alasan reformasi birokrasi, tujuan pemerintah menghapuskan tenaga honorer, yaitu sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Saat ini, banyak ditemui tenaga honorer bergaji rendah bahkan jauh di bawah UMR disebabkan tidak adanya standar yang jelas. Hal ini berbeda dengan PPPK dan Tenaga Alih Daya (outsourcing) yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Nantinya, tidak ada lagi pegawai pemerintah yang mendapatkan gaji tidak layak. Standarisasi gaji tentunya akan memberikan secercah harapan bagi para tenaga honorer untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Bagai pisau bermata dua, tujuan baik pemerintah tersebut nyatanya tidak diterima begitu saja oleh semua tenaga honorer. Mereka keberatan jika pada akhirnya harus mengikuti seleksi
CPNS dan PPPK. Ada ketakutan dalam diri mereka untuk bersaing dengan peserta lain terutama peserta muda dan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik. Mereka menuntut pemerintah untuk mengangkat semua tenaga honorer tanpa proses seleksi apa pun. Tuntutan tersebut sejalan dengan pendapat Sepri Latifan ketua FKHN (Forum komunikasi Honorer Nakes) yang menyatakan mendukung kebijakan pemerintah melalui Menteri PANRB dalam upaya menyejahterakan tenaga honorer dengan catatan honorer diangkat menjadi ASN tanpa melalui seleksi (sumber: Metronews “Kontroversi Hapus Honorer. Solusi Atau Lepas Tangan?”, 2022).
Selain itu, upaya pemerintah mendorong tenaga honorer untuk mengikuti seleksi CPNS dan PPPK nyatanya dihadapkan pada banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut diperlukan mengingat jumlah tenaga honorer yang jauh lebih besar dibandingkan formasi yang dibutuhkan. Kondisi tersebut tentunya berpotensi menimbulkan kegaduhan di antara kandidat yang akan diangkat menjadi ASN. Perlu kehati-hatian dan transparansi dalam proses seleksi. Hal ini sesuai dengan keluhan Hamdi, ketua umum FPTHSI (Forum Pendidik Tenaga Honorer dan Swasta Indonesia) yang menyatakan seleksi tenaga honorer tidak transparan dan tidak dibuka nilainya (sumber: “Kontroversi Hapus Honorer. Solusi atau Lepas Tangan?”, 2022).
SARAN DAN REKOMENDASI
Pemerintah melalui BKN harus berkoordinasi dengan seluruh instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk melakukan perbaikan database mengenai jumlah tenaga honorer di seluruh instansi. Database ini diperlukan untuk melakukan pemetaan masalah dan perumusan kebijakan yang akan diambil guna mendukung wacana instansi pemerintah tanpa tenaga honorer.
Setiap instansi diwajibkan melakukan pemetaan tenaga honorer melalui analisis jabatan dan analisis beban kerja. Tenaga honorer (K1 dan K2) yang memenuhi syarat seleksi ASN harus diberikan kebijakan afirmasi. Kebijakan afirmasi berupa keringanan tahapan seleksi dengan standar nilai khusus. Kebijakan afirmasi ini diutamakan untuk tenaga honorer (K1 dan K2) yang sudah mengabdi dengan rentang usia antara 35—46 tahun dan masa kerja hingga 20 tahun. Pemerintah juga perlu memberikan tambahan lingkup jabatan pada skema outsourcing untuk menampung tenaga honorer yang tidak memenuhi persyaratan mengikuti seleksi ASN; mengingat tenaga honorer banyak jenisnya selain dari pengemudi, tenaga keamanan, dan tenaga kebersihan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah harus melakukan koordinasi terkait ketersediaan dan kebutuhan anggaran untuk belanja ASN dan tenaga outsource. Jika pada pelaksanaan ditemukan terdapat instansi yang tidak memiliki anggaran dan tidak dapat melaksanakan kebijakan rekrutmen ASN, Pemerintah Pusat dapat mempertimbangkan untuk memberikan penambahan DAU (Dana Alokasi Umum) bagi Pemda dengan syarat tertentu. Namun, jika hal tersebut tidak dapat dilakukan juga, Pemda hanya dapat membuka formasi PPPK sesuai dengan jumlah ASN yang pensiun pada setiap tahunnya.
Pemerintah melalui BKN diharapkan dapat mendorong setiap instansi untuk melakukan transparansi dalam proses seleksi tenaga honorer yang akan diajukan menjadi ASN seperti halnya proses seleksi ASN pada jalur umum. Keberadaan sistem CAT saat ini sudah menjadi poin penting terkait transparansi nilai dalam seleksi CPNS/PPPK, tetapi masih ditemukan kecurangan yang harus menjadi perhatian BKN saat proses seleksi. Peningkatan sterilisasi ruang, perangkat komputer ujian, dan proses pemeriksaan peserta yang ketat sebelum memasuki tempat ujian menjadi kunci untuk meminimalkan terjadinya kecurangan tersebut.
Referensi
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2007
Tentang Perubahan Atas 48 Tahun
2005 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer Menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 2012 Tentang Perubahan
Kedua Atas 48 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil
Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2017 tentang Manajemen PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2020 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor
11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 49
Tahun 2018 tentang Manajemen
Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja
Surat Edaran Kementerian PANRB Nomor B/185/M.SM.02.03/2020
Perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah https://finance.detik.com/beritaekonomi-bisnis/d-4873047/tjahjosebut-tenaga-honorer-jadi-bebanpemerintah-pusat (diakses tanggal 05 Oktober 2022) https://www.antaranews.com/ berita/2089242/anggaran- membengkak-rp3t-per-bulanjika-honorer-diangkat-langsung (diakses tanggal 06 Oktober 2022) https://kumparan.com/andhikurniawan1520461754304/ penghapusan-tenaga-honorerrealistis-atau-utopis-1yOlyuC5l0c/3 (diakses tanggal 06 Oktober 2022) https://finance.detik.com/beritaekonomi-bisnis/d-4875010/ masalah-tenaga-honorer-sudahterjadi-sejak-2005-begini-ceritanya (diakses tanggal 06 Oktober 2022) https://www.menpan.go.id/site/beritaterkini/terbitnya-pp-no-562012tuntaskan-masalah-honorer (diakses tanggal 06 Oktober 2022) https://www.menpan.go.id/site/beritaterkini/hanya-47-622-honorer-k1memenuhi-kriteria (diakses pada tanggal 06 Oktober 2022)
KONTROVERSI - Hapus Honorer: Solusi atau Lepas Tangan?YouTube (diakses tanggal 06 Oktober 2022)
Profil Penulis
Irman Nurhali, Analis Kebijakan Kementerian Dalam Negeri RI; Alan Nuari, Analis Organisasi dan Tata Laksana Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI; M. Rasyid Ridha, Analis Pelayanan Kementerian Agama RI. g