6 minute read

ASN KLINIK PERENCANA

Next Article
KUESIONER

KUESIONER

Setiap Jumat Terakhir Tiap Bulan

Pukul 14.00—16.00 WIB

Via Info lengkap & Pendaftaran: bit.ly/klinik-asn-perencana

PENGHAPUSAN TENAGA KONTRAK:

Entry Point Digitalisasi Birokrasi Di Daerah

Oleh: Budi Mulyono

LATAR BELAKANG

Diterbitkannya Surat

Edaran KemenPANRB terkait penghapusan jenis kepegawaian selain PNS dan PPPK telah memantik respons negatif khususnya di kalangan Pemerintah Daerah. Rencana penghapusan tenaga kontrak menimbulkan keresahan bagi instansi di daerah, “kiamat kecil”, dalam istilah mereka.

Dengan terbatasnya tenaga PNS yang dimiliki, tenaga kontrak menjadi tulang punggung berjalannya pelayanan publik. Sebagian besar berada pada level operasional dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Suara penolakan berulang kali disampaikan oleh para Bupati/ Walikota. Kepala Daerah kompak meminta penundaan penghapusan honorer setidaknya setelah terlaksananya pemilu serentak pada tahun 2024 mendatang. Namun, Pemerintah Pusat nampaknya tetap akan menjalankan kebijakan ini. Tahapan sudah dilaksanakan dan ditargetkan pada bulan November 2023 penghapusan tenaga honorer diharapkan dapat selesai dilakukan.

PERMASALAHAN DAN TUJUAN

Tenggat penghapusan honorer telah di depan mata. Diperlukan upaya dalam mengantisipasi dampak dari kebijakan ini, sebuah langkah win-win solution

Tindakan ekstrem penghapusan tenaga kontrak dapat berakibat kelumpuhan masif pada pelayanan publik. Namun, penundaan penataan honorer berarti juga membiarkan praktik maladministrasi. Salah satu solusi yang perlu dielaborasi adalah mempercepat digitalisasi birokrasi, upaya yang coba digagas dan menjadi harapan Presiden.

Presiden Joko Widodo berulang kali menginginkan perubahan signifikan dalam birokrasi di Indonesia, termasuk mengganti jasa PNS dengan robot atau kecerdasan buatan. Namun, implementasinya masih belum menggembirakan. Salah satunya hasil survei yang dirilis oleh PBB melalui e-Government Survey 2020 yang menunjukkan peringkat Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di Indonesia yang masih berada di peringkat ke-88 dari 193 negara.

Dikaitkan dengan penghapusan honorer, kebijakan ini harusnya bisa dijadikan momentum untuk mengakselerasi implementasi digitalisasi birokrasi. Langkahnya seperti apa? tulisan ini akan mencoba memberikan penjelasan.

Keberadaaan tenaga honorer, diakui atau tidak, mengacaukan manajemen kepegawaian di daerah. Perekrutan mereka menjadi jalan pintas pengisian kekosongan peta jabatan tanpa dibarengi perencanaan yang matang. Belum lagi praktik politik dalam rekrutmen tenaga honorer. Menjadi tenaga kontrak kerap dijadikan balas jasa dari kepala daerah atau anggota legislatif usai kontestasi politik. Hal ini tersampaikan dalam diskusi Collaboration Forum - City Leaders Community bersama Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI).

Jumlah tenaga kontrak yang terus membengkak menyedot anggaran APBD. Manajemen pegawai di daerah menjadi kehilangan sistem merit, tidak ada kompetisi dan mismatch kompetensi serta penerapan punishment tidak pernah berjalan maksimal.

Akibatnya, muncul praktik orientasi pelayanan padat karya, satu pekerjaan dikerjakan banyak orang. Soal profesionalitas juga dipertanyakan, dengan gaji rata-rata di bawah UMR, sulit mengharapkan output kinerja tenaga kontrak sesuai dengan standar mutu yang ditargetkan.

Karena sering kali bersifat politis, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh para pembina kepegawaian di daerah. Kebijakan penghapusan tenaga honorer menjadi semacam blessing in disguise. Walaupun terlihat pahit, tapi merupakan jawaban atas soal masih kacaunya pengelolaan birokrasi di daerah yang terjadi selama ini.

Setelah kebijakan penghapusan honorer dilakukan, sistem kerja birokrasi akan mengalami pergeseran. Akan banyak bidang-bidang pekerjaan yang tidak bisa lagi dikerjakan dengan sistem gotong royong. Apalagi jumlah PNS secara bertahap dikurangi dan saat ini mengalami penurunan. Menurut keterangan resmi BKN, pada tahun 2021 jumlah PNS turun hingga

4%. Hal ini terjadi karena jumlah pegawai pensiun lebih besar dari rekrutan baru.

Kekhawatiran terkait lumpuhnya pelayanan akibat kekurangan SDM harusnya dapat dikesampingkan. Selama pandemi COVID-19, kita sudah banyak belajar bagaimana pelayanan publik dapat berjalan dengan baik. Pekerjaan dilakukan online, bekerja dari rumah, rapat jarak jauh, atau pelayanan tanpa sentuh adalah metode kerja baru yang lahir dari kondisi keterbatasan.

Implementasi digitalisasi birokrasi menawarkan opsi terbaik. Elektronivikasi dapat menggantikan peran manusia sebagai aktor utama pekerjaan. Mutu keluaran dapat dikontrol dan diatur sesuai dengan kondisi dan permintaan. Kesalahan prosedur atau human error dapat diminimalkan. Tidak perlu bekerja dengan banyak orang, hanya perlu menyiapkan sedikit tenaga yang sesuai dengan kebutuhannya.

Melalui fungsi otomatisasi beberapa manfaat dapat dirasakan melalui penerapan e-government. Menurut laporan yang dipublikasikan oleh OECD tahun 2005, manfaat tersebut antara lain, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas serta peningkatan layanan. Intinya, birokrasi dapat bekerja secara lebih profesional dengan penggunaan sumber daya yang lebih efisien.

Sebagai contoh, instansi pemerintah tak perlu khawatir ketika kekurangan tenaga untuk melaksanakan tugas administrasi karena tugasnya digantikan sistem aplikasi. Pun demikian pada pengawasan ketertiban umum yang tak perlu bergantung pada jumlah petugas atau banyaknya kegiatan patroli karena penggunaan CCTV dan teknologi pengawasan dapat digunakan untuk kerja yang lebih efektif.

Penerapan e-government ke depannya bukan sebuah pilihan, tetapi harusnya menjadi sebuah kewajiban. Tuntunan eksternal akan digitalisasi semakin tinggi. Aktivitas masyarakat dan dunia usaha semakin bergantung dengan teknologi. Sektor pemerintah sebagai pemberi layanan perlu segera menyesuaikan diri agar memiliki spektrum yang sama dengan pihak yang dilayaninya.

Kebijakan penghapusan honorer dapat diposisikan sebagai sebuah tindakan “pemaksaan” untuk mempercepat implementasi digital dari sisi internal. Jika di swasta mereka mengenal Program Pengakhiran Kerja Sukarela (PPKS) atau Program Pensiun Dini (PPD) sebagai bagian dari digitalisasi, pemerintah seharusnya tidak ragu untuk melakukan program yang sama.

Lalu, seperti apa langkah pengurangan tenaga honorer bila dikaitkan dengan implementasi digitalisasi? Langkah awalnya adalah pemetaan jenis pelayanan atau pekerjaan yang bisa digitalisasi. Tahapan ini penting karena menjadi dasar dalam melakukan perhitungan kebutuhan sumber daya manusia, alokasi anggaran, dan penyiapan infrastruktur. Tidak semua pekerjaan dapat diotomatisasi karena ada beberapa sifat pekerjaan yang tidak mampu tergantikan oleh komputer atau mesin.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah mengidentifikasi sifat pekerjaan yang dapat digantikan oleh kecerdasan buatan, antara lain administratif, repetitif, rutinitas, dan memiliki SOP yang jelas menurut peraturan perundang-undangan.

Profesi guru dan tenaga kesehatan misalnya, tidak serta merta dapat tergantikan. Pemanfaatan teknologi diposisikan untuk mengurangi beban kerja atau meningkatkan kualitas pekerjaan. Namun, pekerjaan lain seperti front office atau pengantar surat dapat digantikan tugasnya melalui pemanfaatan teknologi informasi.

Selanjutnya harus ada modifikasi dalam proses seleksi. Penilaian kompetensi digital perlu ditambahkan dalam penyeleksian tenaga kontrak. Hasilnya akan digunakan untuk menggambarkan kemampuan adaptasi dan keterampilan dalam menggunakan teknologi. Ini penting karena aparatur selanjutnya akan diintegrasikan dan bekerja berdampingan dengan sistem digital. Selain itu, adanya kompetensi yang baik dalam hal teknologi akan memberikan iklim kompetisi digital di kalangan birokrat. Aparatur yang tidak mampu bersaing dan beradaptasi dengan teknologi fungsinya akan tergantikan oleh orang lain.

Seleksi dan kompetensi perlu dilakukan secara bijak. Bila seleksi ini dilakukan, akan banyak tenaga kontrak yang harus tersisih karena, khususnya di daerah, kompetensi digital masih sangat kurang. Namun, pemerintah punya tanggung jawab sosial dan moral. Banyak dari mereka yang telah mengabdi dan bekerja sepenuh hati selama puluhan tahun. Kondisi ini tentunya tidak bisa dikesampingkan. Pemerintah perlu bersepakat untuk memberikan perlakuan khusus dengan tidak menurunkan kualitas seleksi.

Pakar Kebijakan Publik Universitas

Airlangga (Unair), Dr. Falih Suaedi, memberikan gagasannya tentang perlunya mempertimbangkan aspek pengabdian dalam melaksanakan seleksi tenaga honorer. Beliau menyarankan adanya bobot masa dan prestasi kerja dalam syarat mendaftar menjadi PNS atau PPPK.

Untuk menutup kelemahan di dalam kemampuan digital, tenaga kontrak yang lulus seleksi wajib mengikuti program upgrading atau reskilling kemampuan digital sesuai bidang tugasnya. Cara itu merupakan bentuk perhatian dan penghargaan pemerintah atas dedikasi yang selama ini telah mereka berikan. oleh Kumorotomo (2008). Kurangnya dukungan selama ini disebabkan timpangnya struktur anggaran yang kurang berpihak pada aspek infrastruktur.

Langkah penting lainnya adalah soal perencanaan dan penganggaran. Harus ada perubahan fokus belanja daerah. Implementasi digitalisasi harus berbanding lurus dengan penghematan anggaran. Sistem elektronik atau otomatisasi wajib memiliki trade off dengan penurunan anggaran operasional pegawai. Pengalihannya harus digunakan untuk kepentingan penyiapan fasilitas dan infrastruktur teknologi.

Ada banyak keluhan soal infrastruktur, dari hal dasar seperti jumlah perangkat komputer yang pada hampir sebagian besar instansi daerah rasionya sangat terbatas. Buruknya kualitas jaringan dan masih banyaknya blank spot internet juga menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan alokasi anggaran yang lebih memadai.

Bagaimana dengan para pegawai kontrak yang tidak lulus seleksi dan tidak dapat melanjutkan pekerjaannya? Ekses negatif pengurangan tenaga honorer salah satunya adalah risiko peningkatan pengangguran. Isu ini selalu mengemuka dalam setiap penolakan penghapusan tenaga kontrak. Di banyak daerah, menjadi pegawai di kantor pemerintahan menjadi mata pencaharian utama bagi mayoritas penduduk.

Mengatasinya tentu tidak mudah, tetapi bisa dilakukan. Aspek belanja pemerintah kembali mengambil peran. Saatnya mereformasi dan menempatkan belanja pemerintah sebagai pemacu ekonomi dan mendorong terciptanya lapangan kerja. Gunakan belanja untuk kegiatan yang lebih produktif. Tidak usah ragu untuk mengalokasikan belanja dengan menggunakan jasa pihak ketiga/ swasta.

Saran Dan Rekomendasi

Kebijakan pengurangan tenaga kontrak akan berujung pada terbatasnya ketersediaan SDM di instansi pemerintah. Lumpuhnya roda pemerintahan adalah ancaman nyata, belum lagi dampak pada aspek ekonomi dan sosial.

Digitalisasi birokrasi adalah pilihan terbaik, tetapi progres implementasinya berjalan kurang maksimal. Pengurangan tenaga kontrak dapat dijadikan momentum percepatannya. Harus ada sistem yang mampu menggantikan tenaga manusia dan bekerja secara efisien, e-government memberikan manfaat tersebut.

Agar mampu mendukung penerapan digitalisasi, kebijakan penghapusan honorer harus memperhatikan hal-hal berikut ini.

1. Perlu adanya pemetaan layanan dan fungsi birokrasi yang fokus pada orientasi digital. Petakan layanan dan fungsi yang bisa diotomatisasi dan digantikan oleh teknologi informasi.

2. Seleksi berbasis kompetensi dilakukan dengan memasukkan unsur kemampuan penguasaan teknologi guna menciptakan iklim kompetisi di antara para anggota birokrasi.

3. Refocusing anggaran untuk perbaikan infrastruktur digital.

Soal fasilitas dan infrastruktur teknologi adalah salah satu hambatan besar penerapan e-government di Indonesia sebagaimana diidentifikasi

Pola pengadaan barang pemerintah perlu diperhatikan agar lebih berkeadilan, transparan, dan mengutamakan UMKM. Jika mereka berproduksi, tentunya akan berdampak pada peningkatan belanja di masyarakat. Para eks-tenaga kontrak dapat berkontribusi dan terlibat di sana.

4. Perlunya penganggaran yang pro terhadap pencetakan lapangan kerja dan sektor produktif serta UMKM sebagai wadah eks honorer untuk dapat bekerja dan mendapatkan manfaat ekonomi.

Profil Penulis

Budi Mulyono, S.Si.T., M.UR.P. merupakan perencana pada Dinas Perhubungan Kota Mataram g

This article is from: