8 minute read
Membangun Daya Saing Kakao dengan Hilirisasi
Advertisement
Oleh Hendy Firmanto Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
Kakao (Theobroma cacao) merupakan tanaman asli kawasan hutan tropika. Kakao tumbuh dengan baik pada kondisi curah hujan tinggi, temperatur relatif konstan sepanjang tahun, kelembapan tinggi dan selalu ternaungi.
Kakao pertama kali ditemukan di bagian barat, utara dan selatan Meksiko namun keberagaman kakao yang tertinggi terdapat pada daerah mata air sungai Amazon. Wilayah pertumbuhan kakao berada pada 18o Lintang Utara hingga 15o Lintang Selatan dengan daerah produsen utama saat ini meliputi Amerika Latin, Afrika Barat dan Asia Tenggara. Kakao merupakan jenis tanaman tahunan (perennial) dari kelompok famili tanaman berbunga (Sterculiaceae) yang memiliki 22 spesies, namun hanya tiga spesies yang banyak dibudidayakan yakni Kakao (Theobroma cacao), Mocambo (Theobroma bicolor) dan Cupuassu (Theobroma grandiflorum). Kakao merupakan satu satunya spesies yang saat ini paling banyak diperdagangkan dan terbagi menjadi tiga kelompok besar yakni Criollo, Forastero dan Trinitario. Criollo memiliki ciri yang mudah dikenali dari warna keping biji yang berwarna putih sedangkan Forastero berwarna violet. Trinitario merupakan hibrida atau hasil persilangan antara Criollo dengan Forastero dan saat ini menjadi yang paling banyak ditanam di Indonesia.
Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar di wilayah Asia Tenggara sejak awal abad ke-19 dengan varietas utama yang ditanam adalah Criollo atau dikenal sebagai Java Criollo. Indonesia telah mampu menyumbang angka 15% dari keseluruhan kakao di dunia setelah Pantai Gading sebesar 37% dan Ghana sebesar 22% pada tahun 2016. Data statistik perkebunan menyatakan angka produksi biji kakao kering Indonesia pada tahun 2016 mencapai 658.399 ton dengan 7 daerah sentra terbesar berada di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 175.251 ton, Sulawesi Tenggara sebesar 120.421 ton, Sulawesi Selatan sebesar 115.326 ton, Sulawesi Barat sebesar 75.713 ton, Sumatera Barat sebesar 62.623 ton, Lampung sebesar 38.902 ton dan Jawa Timur sebesar 26.833 ton.
Namun terjadi penurunan produktivitas mulai tahun 2017 di mana angka produktivitasnya hanya sekitar 400 kg/hektar/per tahun dan telah menempatkan posisi Indonesia sebagai negara produsen ke-6 setelah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Kamerun dan Nigeria pada tahun 2019. Penurunan produktivitas dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya perlakuan budidaya yang kurang intensif, kelangkaan tenaga kerja produktif dan harga jual biji kakao yang dinilai kurang menarik oleh sebagian petani.
Kepemilikan lahan kakao menurut data statistik perkebunan didominasi oleh perkebunan rakyat sebesar 98.33%, sedangkan sisanya dimiliki oleh perkebunan swasta sebesar 0.89% dan perkebunan negara sebesar 0.76%. Aktivitas petani masih terbatas pada produksi bahan mentah berupa biji kakao kering dengan harga yang masih bergantung pada mekanisme pasar yang sangat dipengaruhi oleh rantai pasok (supply chain) yang panjang, dan mengakibatkan petani mendapatkan bagian profit sharing yang paling rendah, sehingga sering dinilai kurang menarik oleh petani jika dibandingkan dengan komoditas perkebunan yang lain.
Harga kakao di pasar internasional dipengaruhi oleh mutu biji yang ditentukan oleh proses fermentasi.
Biji kakao yang tidak melalui proses fermentasi yang sempurna tidak akan memiliki cita rasa dan aroma yang baik, sehingga akan dikategorikan sebagai biji kakao dengan kualitas non premium atau bulk cocoa. Biji kakao kualitas premium saat ini hanya dimiliki oleh perkebunan negara yakni PTPN XII yang memang memiliki jenis kakao Criollo yang dikenal memiliki potensi aroma paling baik dibandingkan Forastero dan Trinitiario, serta telah menerapkan proses fermentasi yang terstandar. Kakao milik PTPN XII ini telah digunakan oleh produsen cokelat ternama di Eropa seperti Francois Pralus dan Pierre Marcolini, sebagai single origin dari Indonesia.
Hilirisasi Industri Kakao
Pengolahan kakao menjadi produk yang siap dikonsumsi masih didominasi oleh pengolahan skala pabrikan besar. Namun demikian saat ini telah banyak diupayakan penyediaan teknologi
hilirisasi untuk mendorong pengolahan di tingkat kelompok tani. Kelompok tani atau koperasi sebagai lembaga terkecil petani yang dapat didaftarkan secara resmi kepada pemerintah daerah, perlu memperluas unit usahanya untuk mendapatkan nilai tambah (added-value) pada komoditas kakao melalui pembentukan unit pengolahan hasil (UPH) dan pemasaran hasil. Unit pengolahan hasil dikembangkan pada kelompok tani (keltan/poktan) dengan menginduksi teknologi hilirisasi kakao yang tepat guna seperti mesinmesin pengolahan kakao yang dapat diopersikan serta dilakukan servis mandiri oleh tenaga kerja terlatih (skilled labour).
Teknologi hilirisasi berupa mesinmesin pengolahan dengan skala yang lebih kecil ini juga telah banyak dipraktikkan di luar negeri pada industri cokelat artisan dan dikenal sebagai istilah craft chocolate. Craft chocolate merupakan cokelat kualitas premium yang diproduksi oleh industri kecil menengah (small smedium enterprises/ SME) dengan sasaran pasar ceruk (niche market). Produk yang dapat dijadikan contoh misalnya adalah SpagNVola di Maryland, USA, yang mengolah biji kakao single origin yang berasal dari Republik Dominika.
Kelompok tani yang telah mampu memfungsikan unit pengolahan hasil dan merintis unit usaha pengolahan cokelat juga diharapkan mampu memasarkan produk salah satunya dengan menawarkan eduwisata di dalam strategi pemasarannya. Konsep wisata cokelat saat ini berkembang dan diterima dengan baik oleh konsumen lokal seperti dapat kita lihat contohnya pada Kampung Cokelat di Kabupaten Blitar, Socolatte di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh dan eduwisata CocoPark milik Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Wisata cokelat selain berfungsi untuk memberikan edukasi tentang proses pengolahan dan mutu cokelat, juga akan menjadi embrio pendorong pengembangan pengolahan hilir serupa di daerah sentra-sentra kakao lainnya, sekaligus menjadi cara terbaik menarik pasar ceruk dengan daya beli yang baik untuk produk cokelat yang telah dihasilkan. Konsep wisata cokelat bukan merupakan konsep baru dalam strategi pemasaran produk cokelat yang masih dianggap sebagai produk ekslusif oleh konsumen lokal, negara-negara dengan tingkat konsumsi cokelat yang tinggi seperti Belgia juga menawarkan
konsep yang sama di dalam memasarkan produk cokelat yakni melalui eksplorasi pengalaman mengenal cokelat premium sebagai suatu wisata.
Pemasaran produk cokelat lokal dengan pemilihan segmen pasar ceruk (niche market) melalui konsep eduwisata juga akan menghindarkan produk yang telah dihasilkan oleh kelompok tani bersaing dengan produk retail yang dihasilkan oleh industri besar yang saat ini masih mendominasi pasar Indonesia. Penerimaan segmen pasar ceruk terhadap harga yang lebih tinggi diikuti dengan pemahaman konsumen mengenai mutu cokelat yang semakin membaik, secara perlahan akan meningkatkan nilai konsumsi kakao nasional yang saat ini angkanya masih sangat rendah yakni 0.4 kg/orang per tahun, jauh jika dibandingkan negaranegara eropa yang mencapai 8-11 kg/ orang per tahun.
Mutu produk cokelat yang baik akan secara bersamaan diikuti oleh mutu bahan baku biji kakao kering yang akan semakin membaik pula, yang artinya petani akan secara sukarela meningkatkan kualitas proses fermentasi biji kakaonya. Dengan demikian, dukungan proses pengolahan hilir untuk menghasilkan produk cokelat juga akan meningkatkan mutu dan harga jual biji kakao kering milik kelompok tani. Selain melalui pengolahan hilir untuk menghasilkan produk jadi berupa cokelat, pemasaran bahan baku biji kakao kering juga perlu dilakukan dengan mengenalkan profil mutu biji kakao lokal melalui keikutsertaan pada kompetisi internasional untuk mendapatkan pengakuan mutu yang dapat manfaatkan untuk kegiatan ekspor biji. Lembaga kakao internasional (ICCO) bersama dengan perusahaan-perusahaan pengolah cokelat seperti Barry Callebaut, Guittard Chocolate, Belcolare, Puratos, dan Valrhona sejak tahun 2009 rutin menyelenggarakan kompetisi dwi tahunan Cocoa of Excellence (CoEx) yang dikelola oleh Bioversity International.
Bioversity International merupakan lembaga penelitian untuk pembangunan global yang berfokus pada keamanan dan ketahanan pangan serta perubahan iklim. Petani kakao Indonesia telah berpartisipasi sejak tahun 2015 dan berhasil menjadi kandidat 50 kakao terbaik dunia yang diwakili oleh Flores dan Sumatera Barat pada tahun 2015, petani dari Jembrana Bali pada tahun 2017, petani dari Soppeng Sulawesi Selatan pada 2019 dan terakhir dari kakao milik PTPN XII pada tahun 2021. Hasil ini menjadi bukti bahwa Indonesia masih memiliki perkebunan rakyat yang memiliki potensi menghasilkan biji kakao berkualitas premium atau dikenal dengan istilah Fine Flavour Cocoa (FFC).
Mengenal fine flavor cocoa
Istilah Fine Flavor Cocoa (FCC) diartikan sebagai biji kakao yang memiliki profil aroma (flavour) yang lebih kompleks seperti aroma bunga (floral), aroma buah (fresh or browned fruit) dan beraroma rempah (herbal). Jumlah FFC saat ini hanya menempati 5% dari total produksi kakao dunia, mayoritas masih berupa bulk cocoa. Peningkatan kuantitas FFC di Indonesia selain akan meningkatkan daya jual kakao Indonesia, juga akan meningkatkan citra dan penerimaan konsumen lokal yang saat ini sangat terbuka terhadap mutu suatu produk pangan.
Konsumen dari segmen pasar ceruk menginginkan produk cokelat yang terbebas dari bahan tambahan pangan (food additives) seperti aroma dan perisa sintetik (flavourant) ataupun pengawet makanan (preservatives) sehingga lebih natural dan aman bagi kesehatan. Produk cokelat dengan kualitas aroma yang baik saat ini mulai banyak diproduksi di Indonesia dengan merekmerek yang telah familiar bagi penikmat cokelat seperti Pipiltin, Krakakoa dan Mason cokelat.
Fine flavor cokelat yang dihasilkan melalui penanganan pascapanen yang terstandar juga akan meningkatkan daya jual biji kakao kering. Peningkatan daya jual biji kakao kering ini dapat dilihat
di Kabupaten Jembrana di Bali yang telah mendapatkan nominasi CoEx pada tahun 2017. Harga biji kakao di Jembrana yang telah diekspor saat ini dapat mencapai harga Rp50.000/kg yang mana pada daerahdaerah sentra kakao lain masih berkisar pada harga Rp28.000- Rp35.000 /kg. Pemerintah Kabupaten
Jembrana juga sangat mendorong seluruh kegiatan kelembagaan kelompok tani atau kelompok wanita tani serta koperasi untuk dapat berkomunikasi aktif dengan pembeli dari luar negeri sehingga kegiatan ekspor biji kakao berjalan dengan baik dan produk jadi juga telah mulai dihasilkan untuk dipasarkan di Bali. Dukungan kepada kelompok tani juga difasilitasi oleh Bank Indonesia Provinsi Bali yang secara komprehensif memberikan berbagai pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kualitas SDM kelompok tani dalam melakukan pengolahan yang sesuai standar dengan bekerja sama dengan lembaga penelitian dan pengembangan yang terkait.
Hilirisasi kakao dan promosi FFC juga terus diupayakan oleh pemerintah melalui sosialisasi penggunaan sertifikasi Indikasi Geografis (IG) dengan membentuk organisasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG). Indikasi Geografis saat ini sudah sangat populer pada komoditas kopi contohnya adalah Gayo, Java Preanger, dan Bali Kintamani. Indikasi Geografis didaftarkan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh MPIG, yang juga harus didukung oleh kepala daerah setempat. Kakao yang telah memiliki sertifikat IG saat ini hanya dimiliki oleh kakao asal Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dengan nama Kakao Berau. Dukungan pemerintah daerah maupun pusat, fasilitasi pendanaan dari perbankan dan pendampingan teknologi dari lembaga litbang dan universitas merupakan tiga pilar penting yang dapat mendorong peningkatan SDM dan peningkatan nilai tambah dalam mendukung kemandirian petani kakao di Indonesia.