Kutho Dadi Alas, Alas Dadi Kutho

Page 1




PAMERAN ARSIP DAN INGATAN WARGA PESANGGARAN 30 Januari – 1 Februari 2020 Pukul 15.00 – 20.00 WIB di Taman Lenterawangi, Desa Pesanggaran, Banyuwangi PEMBUKAAN KAMIS, 30 JANUARI 2020 PUKUL 20.00 WIB DISKUSI (OJO) DIPIKIR KARO MLAKU KAMIS, 30 JANUARI 2020 PUKUL 19.30 WIB PEMBICARA: ALIF FARDA (SEJARAWAN) RIFANDI S. NUGROHO (PENELITI ARSITEKTUR) AGUS ROMADLON (KADUS. RINGINAGUNG) MODERATOR: TAUFIQ QURROHMAN (LPBHNU BANYUWANGI)


Zine ini diterbitkan sebagai bagian dari pameran KUTHO DADI ALAS, ALAS DADI KUTHO disebarkan dengan lisensi Creative Commons AttributionNonCommercial-ShareAlike 3.0 License. Dicetak di Pesanggaran, Banyuwangi Diselenggarakan oleh Kelompok Kurator Kampung Ruang Desaku Didukung oleh GP Ansor Pemuda Lenterawangi Rumah Belajar Al-Fatih Kolaborator Arif Wibowo Taufiq Qurrohman Alif Farda Hamdan Tamimi Kurator Rifandi S. Nugroho Ayos Purwoaji Tata Letak Zine Tatyana Kusumo Ilustrasi Aldila Septiano Ucapan terimakasih Agus Romadlon Mbah Pur Mbah Hambali Pak Edy Pak Suraji Muhammad Baharuddin Aput Andayani RZ Hakim Zuhana Anibuddin Zuhro Ibu Naruyah Mas Sigit Eko Bedjo Prasetyo Sikas Hadi Muhim Fauzia



7

Mempertemukan Catatan dan Ingatan

zaman neolitikum dan megalitikum di daerah ini. Pada masa kerajaan Blambangan, Pesanggaran menjadi tempat menetap bagi masyarakat Jawa dari kesultanan Mataram Islam yang saat itu menguasai wilayah ini. Keberadaan orang-orang Jawa di Pesanggaran kemudian lebih dikenal dengan sebutan orang mentaraman.

Rifandi S. Nugroho & Ayos Purwoaji

“Kutho Dadi Alas, Alas Dadi Kutho”, atau dalam bahasa Indonesia berarti “kota menjadi hutan, hutan menjadi kota”, adalah ungkapan warga dalam menafsir dinamika sejarah Pesanggaran. Ungkapan tersebut muncul sebab perencanaan kota di wilayah ini tidak pernah berhasil sepanjang sejarah.

P

erubahan besar-besaran atas lanskap Pesanggaran, sebuah desa kecil di ujung timur Jawa, baru terjadi pada 1926 ketika pemerintah Kolonial mulai membuka Banyuwangi bagian selatan sebagai wilayah perkebunan. Belantara alang-alang dicacah jadi persil-persil perkebunan, infrastruktur irigasi dibangun menyeberangi lembah membelah bukit, jalan raya direntangkan dari utara ke selatan dan timur ke barat untuk memindahkan hasil bumi lebih cepat. Mimpi Kolonial untuk membangun kota perkebunan akhirnya tak pernah terwujud karena pasukan Jepang mulai merangsek masuk ke Hindia Belanda. Pesanggaran pun diubah menjadi salah satu kamp interniran bagi penduduk Eropa. Tak berumur lama, kamp tersebut bubar akibat kurangnya pasokan air bersih, gagalnya sistem perkebunan, tekornya pasokan nutrisi, dan merebaknya wabah malaria. Di sisi lain Jepang juga kalah perang. Pesanggaran adalah sebuah wilayah tua yang menjadi jalur pelintasan dan hunian manusia pada berbagai rentang peradaban. Sejarawan memperkirakan wilayah Pesanggaran telah dihuni manusia sejak masa prasejarah, terbukti dengan ditemukannya berbagai peninggalan dari

Pameran ini bertolak dari kumpulan arsip dan ingatan warga mengenai Pesanggaran yang digali melalui kacamata lintas disiplin. Selama dua minggu, beberapa peneliti melakukan kerja lapangan bermodal arsiparsip visual Pesanggaran dari tahun 19421945. Sebagian besar arsip yang digunakan adalah sketsa Ir. Joh. A.G. Warmer (19101986), seorang arsitek-guru yang pernah menjadi bagian dari kamp internir Kesilir. Melalui sketsa-sketsanya, ia mencatat kondisi kehidupan di sekitar kamp beserta bentuk-bentuk bangunan yang ada saat itu. Sumber arsip lain yang digunakan adalah catatan terperinci mengenai Kesilir yang dibuat oleh J.G. Wackwitz. Bahan tersebut kemudian dilengkapi dengan pendokumentasian ulang serta rekaman ingatan warga. Melalui pertemuan keduanya, antara arsip kolonial dan memori penduduk desa, narasi sejarah sosial dan spasial di Pesanggaran disusun dan dilengkapi kembali. Seluruh materi yang ditampilkan dalam pameran ini bukanlah hasil akhir, melainkan sebuah pemantik percakapan lebih jauh tentang penggalan kenangan dan cuilan angan-angan warga terhadap lingkungannya sendiri.


8

Sumur Belanda di Dusun Ringinagung


9

Sumur tempat para interniran menimba air selama pengasingan yang masih tersisa di Ringinagung. Dokumentasi pameran (kiri) Sketsa Warmer Johan (kanan)


10

Dari Ingatan Menuju Cerita Hamdan Tamimi

M

erantau atau biasa dikatakan transmigrasi tidak hanya menjadi kebudayaan masyarakat Minangkabau saja, tetapi juga menjadi suatu kultur tersendiri dari Indonesia. Dari dulu sampai sekarang merantau adalah budaya yang sangat wajar dilakukan oleh seorang manusia, baik yang muda maupun yang tua. Banyak hal yang menyebabkan mereka merantau untuk mencari rezeki maupun menuntut ilmu. Bahkan tak banyak pula merantau hanya untuk mempunyai sebuah rumah sendiri. Kesilir atau sekarang yang secara administratif dikenal sebagai Pesanggaran dulunya banyak terjadi suatu hal yang sampai menyebabkan orang ke sini. Beberapa warga bercerita bahwa dulu orang tua mereka merantau dari kampung halaman dengan tujuan hanya untuk mempunyai harta sendiri dikarenakan mereka dulu di kampung halaman hanyalah seorang yang miskin dan tidak punya apaapa, oleh karena itu mereka merantau sampai Kesilir. Mengapa Kesilir menjadi pilihan perantauan orang-orang zaman dahulu? Bukan tanpa

sebab mereka merantau sampai desa ini, seperti halnya dalam merantau sendiri pada zaman dahulu itu tidak ada kendaraan yang menyebabkan orang dulu merantau dengan berjalan kaki, dan kenapa pula orang dulu yang sekarang menetap di daerah ini tidak menuju ke Genteng maupun ke tempat lainya yang bisa dilihat sekarang menjadi pusat keramaian, mungkin dikarenakan Kesilir masih merupakan hutan lebat dan tidak banyak orang yang menempati. Pada tahun 1920an, sudah banyak orang yang menjadi pendatang di Kesilir. Mereka merantau dari berbagai daerah seperti Solo, Blitar, Ponorogo, Boyolali, dan daerah kulonan lainya. Keberadaan mereka memperkaya kultur di Kesilir. Beberapa agama pun tumbuh berdampingan di sini, seperti Gereja Jawa, Hindu dan Islam. Walaupun populasi muslim dominan, hal tersebut tidak menjadi halangan dalam menerapkan toleransi di tengah masyarakat. Beberapa bentuk akulturasi dalam menjalankan aturan agama pun tampak. Pak Agus bercerita, ketika masyarakat penganut Hindu mengadakan upacara kematian, mereka akan merapal doa dengan


11

menyebut beberapa nabi yang juga dikenal dalam Islam, seperti Nabi Muhammad atau Nabi Khidir. Umat Hindu di Kesilir paham bahwa nama-nama yang disebut adalah nabi yang juga dikenal dalam agama Islam. Mereka tidak mengubah doa tersebut karena merupakan ajaran turun-temurun dari generasi di atas mereka. Praktik agama dalam balutan kultur lokal juga hadir dalam wujud Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) atau masyarakat muslim yang juga masih melestarikan budaya setempat. Persinggungan berbagai agama dan praktik kultural semacam ini membentuk keseharian warga Kesilir yang sangat toleran. Baik agama satu maupun agama yana lain saling melengkapi dalam berbagai hal, seperti dalam upacara agama maupun dalam hal apa pun. Tidak hanya dari budaya yang dekat dengan keragaman, sejarah perkembangan Kesilir pun juga terkait dengan pembentukan masyakarat yang multikultur terutama ketika Belanda masuk pada tahun 1926 melalui Uni Indo-Eropa (I.E.V). Mereka membeli sebidang tanah di selatan Banyuwangi yang dipergunakan untuk kepentingan mereka sendiri seluas ±2500 hektar. Tanah tersebut tidak diolah sendiri, melainkan disewakan kepada orang-orang yang terlilit kemiskinan. Oleh karena itu banyak orang merasa sangat berterimakasih kepada I.E.V karena sudah mau menyewakan tanah mereka untuk digarap. Demi membangun kota perkebunan, wilayah Kesilir pun dibagi dalam petak dan persil. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan istilah persil hingga saat ini. Saat berkeliling, kami sempat menemui seorang narasumber sepuh di persil 13. Narasumber tua ini berumur 90 tahun, ia bercerita bahwa rumahnya berada di persil 13. Ia menetap di desa

ini sebab saat muda diajak orang tuanya untuk merantau ke daerah Sukorejo, lalu ketika ia sudah mampu memberi tanah di persil 13, rumahnya dipindah dengan cara mengangkat secara bersama-sama. Beliau juga bercerita telah hidup di persil 13 sebelum Jepang datang hingga Jepang pergi, beliau juga sudah mengalami hidup di jaman Belanda, sementara ia sendiri berasal dari daerah Boyolali. Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, seorang jenderal Jepang melontarkan sebuah gagasan tentang kamp interniran untuk masyarakat Eropa yang menganggur saat kependudukan mereka, dikarenakan banyak pria mengganggur dan wanita yang tidak berpenghasilan. Lalu secara bertahap pria yang berumur 17-60 tahun, yang tidak memilki pekerjaan ini dibawa menuju Kesilir untuk menjadi tawanan mereka dan jumlah keseluruhan sebanyak 70.000 orang Eropa. Tujuan dari terbentuknnya kamp ini adalah dapat terbentuknya swasembada sendiri dalam artian orang Eropa yang dikirim Kesilir ini dapat membat desa sendiri, tapi dikarenakan adanya penyakit malaria dan kuarang air untuk bertahan hidup, dan juga suhu yang panas membuat banyak orang yang mati. Namun setelah kemerdekaan banyak orang Eropa yang sudah dapat kembali ke negaranya masing-masing dengan melakukan pengecekan terlebih dahulu, bagi orang Eropa yang tidak mempunyai uang, mereka memilih untuk tetap hidup di Kesilir. Data mengenai penduduk Eropa yang memilih menetap sangatlah minim informasi mungkin karena mereka mau menyembunyikan identitas mereka sendiri atau pun memang dari pihak keluarga tidak mau menunjukan atau mereka malu-malu dalam menunjukan mereka sendiri adalah keturunan orang Eropa.


12

Talang air dan saluran irigasi di Dusun Tembakur


13


14

Melihat Masa Lalu Banyuwangi Selatan, untuk Menatap Masa Depan Desanya Arif Wibowo

S

eperti sudah menjadi tradisi saban penutup hari raya Lebaran, warga di desa saya mengadakan rombongan-rombongan kecil untuk rekreasi ke beberapa objek wisata di Banyuwangi dengan menyewa mobil. Sebelum ramai tren pariwisata seperti saat ini, pantaipantai di pesisir selatan Banyuwangi sudah menjadi destinasi favorit warga desa. Pantai Lampon, Pulau Merah dan Pancer menjadi andalan kala itu selain Pantai Grajagan yang juga terkenal dengan gending-nya. Kebiasaan berwisata rombongan bersama keluarga dan tetangga di penutup hari raya itu sempat saya alami di masa kecil dulu. Lazimnya anak-anak, perjalanan begitu dinanti hingga tak bisa tidur lelap di malam hari saking senangnya diajak berwisata esok harinya. Hal yang paling melekat dalam memori saya kala itu adalah jaringan kanal-kanal di sisi jalan. Keberadaanya menjadi tak lazim karena sangat jarang saya temukan di sekitar tempat tinggal. Begitu kira-kira kesan saya di masa kecil ketika menghabiskan perjalanan di ujung selatan Banyuwangi. Sebagai warga Banyuwangi yang tinggal di wilayah pedesaan lereng Ijen dan di sisi barat Banyuwangi kota dengan kondisi spasial desa yang tumbuh orgnik, saya merasa surprise melihat suasana lansekap pedesaan di Banyuwangi Selatan. Wilayah selatan Banyuwangi memang memiliki signifakansi

lansekap yang khas diantara wilayah ujung timur jawa lainya. Kecamatan Bangorejo, Siliragung, Pesanggaran, Purwoharjo dan Tegaldelimo merupakan kawasan yang memiliki sistem jaringan kanal yang tertata dengan baik. Memori di masa kecil saya itu terbawa hingga kini dan menimbulkan ragam rasa penasaran. Selain itu, sistem penataan jalan raya juga terlihat jelas membentuk pola grid yang tertata dengan sangat baik. Kemudahan teknologi melalui akses peta google map saat ini semakin memudahkan kita untuk mengamati penataan jaringan jalan tersebut. Jaringan kanal irigasi dan pola penataan grid inilah yang menjadi image atau citra kawasan di pedesaan di Banyuwangi selatan. Wilayah selatan Banyuwangi ini memiliki dinamika keruangan (spasial) dan sosial yang cukup menarik dalam rentang waktu lebih dari seabad ini. Dibukanya kawasan Banyuwangi selatan pada 1926 oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai wilayah perkebunan membawa perubahan yang cukup besar kawasan ini. Pemerintah Kolonial saat itu cukup serius menyiapkan kawasan ini menjadi kawasan produktif dengan membangun sistem irigasi berupa jaringan kanal yang cukup kompleks tersebar merata di seluruh penjuru kawasan. Untuk mendukung sirkulasi dan distribusi, dibangunlah jalanjalan penghubung (wegenpanden) dan jalan


15

setapak (votepad). Wegendpaden dan votepad ini dirancang sesuai dengan batas persil serta membangi kawasan persil yang berbentuk persegi dan jajar genjang di sisi selatan. Model penataan grid seperti ini tentu sebagai usaha kolonial untuk memudahkan distribusi hasil bumi di kawasan itu. Seiring dengan kebijakan perkebunan oleh Belanda, dibukanya kawasan ini mengundang migrasi masyarakat suku Jawa dari Kediri, Blitar, Ponorogo, Pacitan, Tulungagung dan beberapa wilayah Yogyakarta sekitar 1920-1930. Kedatangan orang-orang Jawa menjadikan kawasan ini berpenghuni yang menumbuhkan peradaban masyarakat mentaraman di Bumi Blambangan. Dalam perjalanannya, Jepang menduduki Hindia Belanda yang mengakibatkan gagalnya rencana kawasan ini menjadi kota perkebunan. Pendudukan Jepang menjadikan wilayah Kesilir yang saat ini menjadi desa Pesanggaran dan Sumbermulyo menjadi kamp interniran bagi tahanan Belanda. Bahkan Jepang berencana mendatangkan 70.000 interniran orang Belanda untuk tinggal di wilayah itu. Namun rencana itu juga gagal karena kurangnya pasokan air, gagalnya sistem perkebunan hingga wabah malaria yang menjatuhkan banyak korban. Lagi-lagi kawasan ini gagal dikembangkan seiring dinamikan politik saat saat itu dari masa pemerintahan kolonial yang diproyeksikan menjadi perkebunan, hingga masa pendudukan Jepang direncanakan menjadi kamp interniran yang gagal karena faktor alam dan kemerdekaan Indonesia.

Kota yang selalu gagal, akankah berulang? Hingga pasca kolonial, kawasan ini tumbuh berkembang menjadi desa dengan basis kekuatan ekonomi yang bertumpu pada sektor agraris. Hingga hari ini pun, eksisting kawasan tidak banyak yang berubah. Pola penataan jalan berpola grid ini membentuk permukiman yang

tumbuh menyebar mengikuti pola eksisting ruang kawasan yang kini tumbuh membentuk dusun, desa hingga ibukota kecamatan sebagai pusat ekonomi dan pelayanan di beberapa simpul kawasan. Jalan-jalan penghubung antar wilayah dan kanal-kanal irigasi masih berfungsi dengan baik. Sebagai wilayah pedesaan dengan eksisting kawasan yang terencana menumbuhkan karakter spasial desa yang menarik. Permukiman berkembang mengikuti pola eksisting jalan yang sudah terbentuk sejak era kolonial dengan penataan yang cukup rapi. Pola sebaran tumbuhnya permukiman di wilayah pedesaan pun membentuk kluster-kluster dusun yang tertata. Setiap rumah memiliki halaman depan dan belakang yang cukup luas. Begitu juga lahan-lahan produktif yang terhampar menghidupi masyarakat di Banyuwangi selatan. Pertanian di kawasan ini berkembang cukup dinamis hingga menghantarkan kesejahteraan bagi warganya. Jika dulu sawah-sawah di daerah ini ditanami padi, seiring berjalannya waktu masyarakat beralih ke pertanian buah seperti buah naga dan jeruk. Beralihnya komoditas tanam ini dikarenakan beberapa faktor seperti debit air yang menurun, dan nilai ekonomi buah yang lebih menjanjikan daripada komoditas padi. Namun disisi lain, desa-desa di selatan Banyuwangi ini juga menghadapi tantangan yang cukup nyata. Dinamika perubahan komoditas pertanian menunjukkan upaya adaptasi masyarakat menghadapi tantangan lingkungan yang berpengaruh pada proses produksi hasil bumi. Eksploitasi pertanian secara masif sebenarnya juga berdampak buruk bagi keseimbangan lingkungan. Walaupun secara ekonomi cukup menjanjikan, namun kecenderungannya tidak bertahan untuk jangka panjang. Misalnya, penggunaan obatobatan pertanian secara berlebihan akan akan berdampak buruk pada kualitas lingkungan


16

Peta wilayah Perkebunan Pesanggaran Tahun 1920-an Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia


17

dan juga kualitas komoditas itu sendiri. Tantangan lain yang juga dihadapi adalah kontestasi ruang hidup pedesaan dengan masuknya korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam di pedesaan. Industrialisasi di kawasan pedesaan akan merubah lansekap alam dan sosial masyarakatnya. Kawasankawasan yang seharusnya menjadi ruang konservasi dieksploitasi untuk segelintir kepentingan pemilik korporat. Sedangkan dampak yang diakibatkan sangat signifikan merugikan kehidupan masyarakat pedesaan baik dari sisi sosial maupun lingkungan dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Menggagas masa depan desa dengan perencanaan yang partisipatif Hari ini isu desa cukup seksi seiring dengan undang-undang desa yang memberikan keistimewaan pemerintah dan masyarakatnya untuk memiliki kewenangan mengelola desanya. Pembangunan di desa memang begitu bergeliat dengan bantuan finansial yang cukup maksimal. Maka desa pun kini mulai berbenah diri dengan memoles dirinnya mulai dari perbaikan pelayanan publiknya hingga pembangunan fisik infrastrukturnya. Namun sejauh yang saya perhatikan selama tinggal di Banyuwangi, sejak kebijakan UU desa berlaku tak banyak atau bahkan tidak ada desa yang melakukan perencanaan desa yang komperhesif sesuai dengan dengan potensi dan tantangannya. Fasilitasi ketika diadakan musrenbang di tingkat dusun pun kadang tak cukup efektif menyentuh akar persoalan kehidupan desa.Realitas di akar rumput tidak banyak yang menyadari tantangan masa depan desa secara utuh. Maka dari itu untuk mendorong partisipasi warga dalam merencanakan desanya adalah dengan membuka ruang-ruang dialog untuk menggali bersama pengetahuan desa, bahkan memproduksi pengetahuan itu secara kolektif.

Upaya ini perlu dilakukan untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya perencanaan desa yang diharapkan dapat menciptkan masa depan desa yang ekologis dan berkelanjutan. Modal sosial yang dimiliki oleh warga desa menjadi kesempatan yang baik membuka wacana itu. Apalagi didukung oleh peran stakeholder desa seperti pemerintah desa, organisasi masyarakat, tokoh agama, organisasi nirlaba, perguruan tinggi dan pegiat desa. Jika ruang-ruang dialogis itu terbangun, upaya selanjutnya adalah melakukan perencanaan bersama sesuai dengan peluang dan tantangan masing-masing dusun dan desanya. Perencanaan itu misalnya, pengendalian pemanfaat ruang pedesaan yaitu dengan memetakan kawasan-kawasan konservasi, pertanian dan permukiman secara berimbang. Tidak hanya itu, perencanaan itu juga terkait dengan perencanaan sosial dan ekonomi masa depan desa. Upaya ini merupakan usaha dalam mewujudkan desa secara berkelanjutan. Memang perencanaan desa secara partisipatif membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tidak cukup semalam jadi seperti yang biasa dilakukan pada musrenbang tingkat dusun. Untuk mewujudkannya butuh usahausaha advokatif kepada seluruh stakeholder desa. Demi mewujudkan desa yang mampu bertahan di masa depan memang dibutuhkan komitmen bersama. Apalagi pedesaan di kawasan selatan Banyuwangi selain memiliki potensi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun di sisi lain kawasan ini menjadi benteng alami bencana alam dari laut selatan berupa gempa bumi dan tsunami. Jika desa kita dibiarkan terbengkalai tanpa kesadaran dan kepedulian bersama, akankan desa-desa di kawasan selatan Banyuwangi ini mengulang kegagalannya?


18

Mengingat yang Terkenang Zuhana A.Z.

B

anyuwangi secara umum adalah hamparan wilayah yang memikat. Setiap wilayahnya mempunyai karakteristik dan keistimewaan tersendiri. Dengan ragam budaya dan tentu saja persoalan yang melingkupi pertumbuhannya. Pesanggaran merupakan salah satu wilayah di Banyuwangi bagian selatan yang selalu lekat dalam ingatan. Ia dibangun oleh sejarah panjang, luka budaya, dan perjuangan yang sampai saat ini pun masih belum tunai. Permasalahan yang sampai saat ini ada di atasnya, tentu berawal dari sebuah utas kronologi masa lampau yang tak biasa. Ia menarik untuk ditengok dari berbagai perspektif. Pesanggaran menjadi lekat dalam ingatan. Tak mudah dilupakan, meski jauh. Wilayah pertanian subur dengan ragam sumber air dan semilir angin pantainya. Berlekatan dengan berlimpahnya hasil dari laut. Seharusnya, kekayaan ini tak bisa ditukar dengan apapun. Namun, waktu berjalan tak selalu beriringan dengan silangan pengharapan yang sama. Laju perkembangan zaman sebanding dengan keinginan atas pengharapan yang lain. Berlomba dengan tanah-tanah yang kian mengering. Hasil panen yang kian

menyusut. Semilir angin yang bercampur asap panas. Serta jala nelayan yang kian hari semakin lengang. Sebagian besar orang-orangnya bertahan atas nama kenangan. Sebagian besar lainnya, memilih menghapus dan menggantinya dengan ingatan baru yang dianggap lebih logis menjadi sebuah alasan untuk bertahan di atasnya. Keduanya saling menghimpit dan terhimpit. Mereka yang bertahan atas nama kenangan, mempunyai penanda besar dalam hidupnya atas ruang ingatan wilayahnya. Mereka yang selamat dari tsunami, mereka yang bertahan pada zaman perang, mereka yang melewati kisah kisah 1965, hingga mereka yang masih merawat mitos dan kepercayaan soal wilayah ini. Hal tersebut dilekatkan dalam ruang ingatan yang secara tidak langsung dibangun dalam monumen kenangan yang telah disepakati bersama. Ada beberapa petilasan, makam tua, goa jepang, rumahrumah lama yang terkenang dalam ingatan sebagian besar orang. Mereka tentu saja menyimpan sejarah dan dilingkupi mitos. Hal tersebut membuktikan bahwa wilayah ini, Pesanggaran, merupakan tempat yang tidak bisa dipandang sebelah mata.


19

Situs Topeng Reges di Pesanggaran

Ragam folklore yang tersebar di sekitar wilayahnya juga membuktikan bahwa, pernah ada peradaban besar di sini. Menjadi bukti bahwa Pesanggaran adalah tempat yang selalu diinginkan. Diperebutkan. Dengan ragam dan bentang alamnya yang menarik. Daratan dan lautan yang berlekatan dengan indah. Namun seiring perkembangan zaman, atas nama keterhimpitan, sebagian besar mengikis kisah-kisah itu. Mereka yang berjuang untuk bertahan, sebanding dengan mereka yang ingin pergi. Mereka yang terhimpit, sebanding dengan yang menghimpit. Semakin kesini, daya juang atas tanahnya semakin sedikit karena rasa memiliki yang kian memudar. Tahun lalu, datang dua orang pemuda ‘gila’ ke rumah saya di Kalisat. Mereka dengan menggebu-gebu bercerita tentang penemuan data sebuah wilayah kamp interniran bernama Kesilir yang sekarang ada di dalam Kecamatan Pesanggaran. Ialah Ayos dan Rifandi. Dua pemuda edan ini yang bercerita pada saya tentang temuan data soal camp interniran di Kesilir. Data-

data berupa sketsa dari seorang tawanan interniran itulah yang menarik mereka untuk datang dan meneliti di wilayah Pesanggaran. Di sana, mereka bertemu dengan lingkaran pemuda pemuda yang tak kalah gila. Okelah, beberapa orang gila berkumpul jadi satu, bisa dipastikan ada hal gila yang bakal dilakukan. Atas temuan dan penelitian yang telah dilakukan selama ini, mereka menginisiasi sebuah pameran arsip dan ingatan warga dengan tajuk ‘Kuto Dadi Alas, Alas Dadi Kuto’. Sebuah upaya untuk mengingat dan membangun ingatan publik tentang wilayahnya. Bisa dibilang, ini bukanlah acara main-main, mengingat semakin beragamnya pengisi ruang di wilayah Pesanggaran. Tentu ini akan menjadi ruang nostalgia bagi mereka yang mengingatnya. Sekaligus menjadi ruang tanya besar bagi mereka yang baru melihatnya. Kecamuk inilah yang diharapkan nanti menjadi sebentuk kegelisahan untuk terus mencari dan melengkapi kepingan yang masih belum terjamah.


20

Menata Desa, Mendorong Warga Berdaya Taufiq Qurrohman

D

esa merupakan titik awal dimana terbentuknya tatanan masyarakat politik, sejarah perkembangannya telah mengalami berbagai dinamika hingga mengantarkan desa pada kondisi saat ini. Sebelum meluasnya pengaruh industrialisasi, desa desa di indonesia hidup dengan penuh kedamaian dan ketentraman bahkan dalam hal pengelolaan sumber daya alam, masyarakat desa disiplin menggunakan kearifan lokal.

di Pesanggaran dapat ditemukan tempattempat ibadah yang saling berdampingan. Seperti contohnya di desa Sumberagung terdapat masjid yang jaraknya hanya 30 meter dengan gereja. Salah satu toleransi tersebut juga dibuktikan pada perayaan malam Natal tangggal 24 Desember 2019 lalu, yakni tim keamanan dari Banser yang beragama Islam yang ikut mengamankan perayaan malam Natal di Gereja Kristen Jawi Wetan, Desa Sumberagung.

Jika sekarang pemerintah sedang menggemakan jargon desa surga (semua untuk warga) dengan imajenasi bahwa desa akan memberikan kenyamanan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakat desanya, maka sebenarnya mudah bagi saya untuk memaknai kecamatan Pesanggaran tempat dimana saya tinggal saat ini sebagai manisfestasi dari jargon tersebut. Kenapa?

Kedua, Pesanggaran memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup warganya melalui beberapa sektor yaitu pertanian, perikanan dan pariwisata. Di sektor pertanian, Pesanggaran menjadi salah satu wilayah penghasil buah naga terbesar di Kabupaten Banyuwangi, bahkan produksinya mampu menembus pasar ekspor. Berdasarkan Laporan Statistik Produksi Hortikultura di Kabupaten Banyuwangi, jumlah pertanaman buah naga sampai triwulan II pada 2019 adalah sebanyak 1.884.904 pohon dengan luas panen 188,4 hektare dan produksi 4.385,5 ton. Produksi tersebut tersebar di beberapa kecamatan di Banyuwangi, salah satunya yaitu Pesanggaran. Begitu juga dengan

Pertama, Pesanggaran terdiri dari lima desa yang penduduknya hidup saling berdampingan dan menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya kasus deskriminasi antar kelompok agama dengan saling adu domba terhadap ujaran kebencian terhadap suatu agama. Selain itu,

1

https://republika.co.id/berita/pt36xr453/buah-naga-banyuwangi-masuk-pasar-cina


21

sektor pariwisata, keberadaan pantai Pulau Merah, pantai Mustika, pantai Sukamade dan sederet pantai lainnya yang telah memikat wisatawan lokal maupun mancanegara untuk berbondong-bondong datang ke Pesanggaran. Hal tersebut tentu saja sangat memberikan dampak positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Sedangkan pada sektor perikanan, Kecamatan Pesanggaran adalah salah satu pemasok ikan bagi perusahaan-perusahaan pengolahan ikan di Muncar. Sistem kehidupan internal masyarakat desa di Pesanggaran sangat berhubungan erat dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Kekayaan sumber daya alam yang ada dimanfaatkan secara komunal demi kesejahteraan bersama. Kekacauan muncul pada awal tahun 2012 ketika perusahaan tambang emas yang ada di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, mulai memasuki tahap produksi. Masyarakat desa yang menjadikan pertanian, pariwisata dan perikanan sebagai denyut nadi kehidupan mulai cemas dengan aktivitas perusahaan tambang tersebut. Ancaman krisis ekologi mulai membayangi mereka. Lebih luas dari itu, masyarakat desa yang semula hidup rukun mulai dihadapkan pada konflik sosial prokontra tambang. Masuknya investasi ke desa terutama di sektor industri ekstraktif sebenarnya turut membuka peluang distribusi ketidakadilan terhadap sumber daya alam. Ketidakadilan tersebut berdampak langsung kepada masyarakat desa yang selama ini menjadikan pertanian, perikanan dan pariwisata sebagai denyut nadi kehidupan mereka. Persoalan krisis ekologis tersebut nantinya akan menambah deretan panjang persoalan lingkungan di desa. Sedangkan cara pandang pemerintahan desa yang dirasa masih ragu-ragu dalam menolak kebijakan

pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat justru semakin memberikan peluang akan masuknya arus investasi tersebut. Pemerintah desa seharusnya percaya diri dengan berbagai wewenang otonom yang dimiliki desa yang tertuang di dalam UU Desa. Sehingga melalui wewenang tersebut desa benar-benar mampu dalam memelihara ekologi dan menjaga lingkungan secara berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendorong perubahan mendasar pada tata kelola desa. Desa memiliki kewenangan besar untuk mengurus dirinya sendiri. Salah satunya yaitu kewenangan dalam mengelola dan menjaga aset-aset yang dimiliki, baik sumber daya alam, manusia, maupun sumber daya lainnya. Hal tersebut sematamata demi terwujudnya kesejahteraan, kemandirian, dan kedaulatan desa. Akan tetapi selama lima tahun implementasi UU Desa, masih belum banyak desa mampu menangkap peluang itu dengan baik, seperti halnya desa-desa di Pesanggaran yang saat ini hampir sebagian lebih wilayah pegunungannya dikuasai oleh industri pertambangan. Seharusnya upaya penyelamatan sumber daya alam desa bisa dimulai dari musyawarah desa (Musdes) yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan warga. Musdes sebagai forum tertinggi dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis di tingkat desa harus mampu menampung seluruh aspirasi masyarakat, meminimalisir kepentingan segelintir elit desa dan para pemodal yang merugikan desa. Dengan konsep tersebut eksistensi desa dalam upaya menjaga sumber daya alamnya akan mengantar desa kepada kedaulatan yang dicita-citakan UU Desa.


22

Kembali ke Prawingan Hafidh Aliffarda

Dimulai dari tahun 2017, awal hobi terhadap penelusuran situs–situs sejarah yang berada di Banyuwangi. Banyak tempat yang membuat terkesan bagi seorang penggemar sejarah pada masa kolonial. Rasa ingin tahu seakan menarik semua waktu untuk belajar dan mengunjungi situs sejarah. Tapi ketertarikan ini sedikit terbentur dengan kegiatan pendidikan yang sedang ditempuh. Tetapi pemberontakan dalam hati nurani ini masih terus membara dalam dunia sejarah. Selain membaca buku yang berkaitan dengan sejarah, timbul lagi gejolak untuk menelusuri peninggalan sejarah yang tercatat di buku. Keinginan – keinginan terus mengahantui dalam pikiran dengan berangan-angan segera berkunjung ke situs. Di akhir tahun 2018 tepatnya bulan 10, tiba-tiba diberi kesempatan untuk belajar dan berkunjung ke situs sejarah. Anganangan yang selama ini menghantui, menjadi kenyataan dan terwujud. Kesempatan yang membuat semangat dalam menelisik sebuah perjalanan sejarah nenek moyang di Kota Kediri. Kegiatan yang menjadikan semangat ini dapat meneruskan rencana – rencana mengunjungi lebih banyak situs lagi. Sementara itu keinginan menyusuri jejak kerajaan-kerajan yang berada di Jawa Timur. Di penghujung tahun penelesuran jejak nenek moyang ini berlanjut menuju daerah yang mungkin tidak asing bagi

orang-orang Jawa Timur yaitu kerajaan Singosari. Dalam waktu singkat peninggalan berupa candi – candi kerajaan Singosari di Malang dapat di datangi. Di pertengahan bulan dan penghujung tahun 2019, kunjungan ke situs-situs ini berlanjut mulai dari kerajaan yang banyak peninggalannya yaitu Majapahit. Kebanyakan penelusuran yang dilakukan berawal dari daerah Banyuwangi yang dulunya pernah ada kerajaan Blambangan dan merembah menuju kerajaan lain yang ruang lingkupnya berada di kawasan Jawa Timur. Karena kegiatan pendidikan yang padat, dan di sela-sela waktu itu digunakan menyusuri sejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Blambangan Khususunya di Banyuwangi dan Jember. Dan tahun ini penelusuran ini hanya berlanjut di daerah Banyuwangi. Rumah yang berada di Siliragung yang lokasinya berdekatan dengan daerah Pesanggaran letaknya di ujung selatan Banyuwangi. Rasa iri ini timbul karena daerah Siliragung tidak mempunyai banyak situs-situs sejarah yang menarik untuk diteliti. Memutuskan untuk melakukan penelusuran dan sekaligus penelitan sejarah di daerah Pesanggaran. Sangat terkagum-kagum ketika melihat banyak situs yang berada di Pesanggaran, dengan rencana melakukan penelusuran di daerah


23

Gumuk Kikik di sisi selatan Desa Psanggaran, berbatasan dengan Pantai Lampon. Dokumentasi Pameran (atas) Sketsa Warmer Johan (bawah)

Pesanggaran. Sebenarnya sudah sejak lama mengetahui situs-situs yang berada di Pesanggaran, tetapi hanya berkunjung. Setelah berdiskusi bersama teman-teman pemerhati sejarah kerajaam Blambangan, ternyata situs yang berada di Pesanggaran sangat banyak. Penelusuran ini dimulai dengan mengetahui catatan dari Balai Arkeologi Yogyakarta yang pernah melakukan penelitian di daerah Banyuwangi Selatan.

Penelitan ini bisa menyakinkan bahwa daerah Pesanggaran ini sudah ada sejak zaman manusia Purba. Penelusuran berikutnya menuju tempat tanah kapling yang akan dijadikan perumahan. Dengan adanya pemberitahuan terkait dengan temuan yang berada di tempat itu membuat kaget. Tidak menyangka daerah yang sering dilewati dan disepelekan begitu saja, ternyata jadi ODCB. Penemuan berupa arca budha kecil


24

terbuat dari tembaga, batu bata sumur yang berukuran besar, terakota, batu bata seperti atap bagian candi, batu bata bermotif bunga mawar, dan terakota. Penemuan ini menyakinkan adanya situs cagar budaya yang berada di situ, dan ada lagi yang memberikan pengetahuan bahwa situs ini adalah tempat pertapaan. Selain itu ada juga situs yang dipercayai sebagai tanda-tanda yang beradanya sebuah desa Pesanggrahan menjadi Pesanggaran yaitu Makam Mbah Pesanggran. Kemudian ada tempat juga menjadi tempat pertapaan dan singgah seorang yang berasal dari Mataram yang bernama Sri Tapa Wulung, akan tetapi sekarang tempat itu lebih dikenal dengan situs Topeng Reges. Literatur yang pernah membahas daerah pesanggaran jaman kerajaan Blambangan juga menyakinkan bahwa tempat ini menjadi suatu tujuan untuk bersinggah. Salah satu tokoh yang dikenal sebagai pahlawan kerajaan Blambangan yaitu Agung Wilis yang dulunya pernah bersinggah di Pesanggaran. Agung wilis dari Bali menuju ke daerah Blambangan dan tiba di Grajagan pada tanggal 26 September 1767. Setelah itu Agung Wilis menuju ke arah barat menuju padepokan Gumuk Srawet, ia bertemu dengan Ki Arya Gajah Binarong. Dan setelah bertemu disarankan untuk menelusuri jejak nenek moyangnya di Banyuwangi selatan, ia bertapa mencari jejak leluhurnya di sana. Ia mencari di jejak leluhurnya di Pesisir Manis (Lampon), Rowo Biru, Tumpang Pitu dan berakhir di Goa Macan. Ia mendirikan daerah Prawingan sebagai pesanggrahan. Dan di sana ia bertapa menghadap ke arah timurselatan yang lebih tepatnya menghadap Tumpang Pitu.


25

Tipikal rumah tradisional Srotong Jawa yang tersebar di Pesanggaran. Sketsa Aldila Septiano


26

Memindai Ulang: Menatap Arsip dengan Berbagai Kemungkinan Ayos Purwoaji

Bagi para sejarawan, bekerja menekuni arsip adalah hal biasa. Mereka memiliki kemampuan untuk mengakses sumbersumber arsip. Mereka juga dibekali seperangkat pengetahuan untuk membaca, mengkritisi dan menarik interpretasi atas arsip. Singkatnya, melalui arsiparsip itulah para sejarawan mulai menulis sejarah. Mereka menyusun ulang peristiwa masa lalu sebagai sebuah teks, yang pada akhirnya akan kembali menjadi arsip atau sumber data bagi sejarawan lain di masa depan. Selama prosesnya, mungkin saja sebuah teks sejarah dikritik, didebat, dan dikoreksi apabila sejarawan lain memiliki temuan yang lebih mutakhir. Maka tak heran jika kemudian Kenneth Burke menyebut diskursus sejarah sebagai sebentuk perdebatan tanpa akhir. Pandangan tersebut muncul atas anggapan bahwa sejarah, dalam pandangan Bernard Lewis, selalu bersifat ditemuciptakan kembali. Tidak pernah absolut. Ada bagianbagian dalam sejarah yang bersifat relatif dan interpretatif. Bagi kalangan yang menggeluti bidang sejarah di Eropa, saat ini muncul kembali diskusi mengenai dekolonisasi. Sebetulnya ini bukan isu yang benar-benar baru. Di Belanda misalnya, para akademisi sudah merumuskan perdebatan ini sejak pertengahan 1970an. Kali ini, saat diskusi mengenai dekolonisasi kembali ramai

dibicarakan, mereka cukup serius untuk mencari tahu bagaimana mengubah cara pandang terhadap arsip yang lekat dengan bias kolonialisme di masa lalu? Kesadaran tersebut muncul sejak para sejarawan menyadari satu hal penting: bahwa arsip sebagai sumber sejarah pada dasarnya tidak pernah bebas nilai. Pada mulanya, dokumen apapun dibuat dan disimpan atas sebuah kepentingan tertentu. Misalnya, peta konsesi yang dirancang oleh perusahaan tambang dengan tujuan untuk melakukan ekploitasi di sebuah wilayah, hal tersebut tak begitu jauh berbeda dengan berkas-berkas kolonial dalam melihat tanah jajahan. Ketidakbebasan nilai dalam sebuah arsip membuat sejarawan perlu memasang jarak, mengambil jeda, sebelum mulai menafsir narasi yang ada dalam arsip tersebut. Sangat penting untuk menempatkan arsip pada konteks ruang dan waktu yang tak pernah steril. Untuk apa arsip tersebut dibuat? Mengapa arsip tersebut disimpan dan diawetkan? Ingatan dan narasi macam apa yang ingin dijaga dan diwariskan melalui arsip tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya perlu disiapkan oleh para sejarawan ketika menghadapi setumpuk arsip. Selain pandangan yang berjarak dan kritis, saat ini sejarawan juga tak segan untuk menggunakan pendekatan multidisiplin, yaitu sebuah usaha untuk membaca


27

Mbah Hambali (Alm.), mantan Kamituo di era pendudukan Jepang, melihat arsip-arsip era kamp interniran, 2018

arsip melalui berbagai macam kacamata keilmuan. Metode tersebut diyakini bisa memberikan perspektif lebih kaya dalam membaca arsip dan pada akhirnya menciptakan kesadaran baru, bahwa tidak semua hal muncul di atas permukaan selembar dokumen. Banyak narasi tersirat yang tampil subtil dan implisit di lapisan kedua, namun tidak jarang juga terdapat narasi peristiwa sejarah yang luput dari catatan. Hal tersebut lazim terjadi karena setiap arsip selalu bersifat parsial karena keterbatasan medium dan isinya. Begitu juga dengan arsip-arsip Ir. Joh. A.G. Warmer, seorang arsitek-guru, yang banyak membuat sketsa mengenai kehidupan di sekitar Kamp Kesilir antara tahun 19421945. Selama tinggal di kamp tersebut, Warmer menghabiskan sebagian waktunya dengan menggambar. Selain perhatiannya yang besar terhadap bentuk-bentuk bangunan dan tata ruang di Kesilir, Warmer

juga menggambar keseharian para tahanan. Hasil observasinya tentu berangkat dari sudut pandangnya sebagai seorang tahanan juga. Itu mengapa sketsa-sketsa Warmer mengenai kehidupan sesama tahanan terasa begitu dekat. Dalam sebuah sketsa, ia menggambar barisan ranjang ala kadarnya tempat tidur para tahanan, kondisi barak penuh baju kotor dan perkakas yang tampak terserak di sembarang tempat. Pada sketsa lain ia juga menggambar beberapa tahanan yang bekerja bersama menimba sumur atau mengolah sawah. Badan mereka digambarkan kerempeng dengan tubuh yang hanya dibalut celana pendek. Kondisi kehidupan di kamp memang buruk. Tercatat banyak korban meninggal Karen kondisi tubuh yang lungkrah, kekurangan nutrisi, dan serangan wabah malaria. Warmer juga menggambarkan kegiatan lain dari para tahanan di Kamp Kesilir seperti perempuan-perempuan yang sedang mengisi waktu dengan menjahit


28

atau membuat kerajinan. Dapat dikatakan reportase visual Warmer memberi gambaran yang cukup terang tentang kondisi para tahanan Eropa di Kamp Kesilir pada masa pendudukan Jepang. Namun jika ditelisik lebih jauh, narasi mengenai penduduk pribumi absen dalam sketsa-sketsa Warmer. Di sana, hanya ada orang Eropa saja. Karena itulah, arsip Warmer menjadi sangat parsial dalam menjelaskan sejarah sosial di Kesilir. Ia tidak mewakili semua narasi atas peristiwa yang terjadi. Kesadaran untuk melengkapi narasi tersebut membawa arsip Warmer kembali ke Kesilir –atau yang saat ini dikenal sebagai Pesanggarandan mempertemukannya dengan ingatan penduduk lokal. Perjumpaan antara kedua entitas tersebut menjadi sebuah peristiwa yang menarik. Pandangan awal atas beberapa sketsa Warmer dikalibrasi dan dicocokkan kembali. Beberapa warga yang pernah mengalami masa kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang memberikan kesaksian untuk melengkapi narasi arsip Warmer. Bagi para ilmuwan sosial yang menggunakan pendekatan kualitatif, metode memancing ingatan saat mewawancara seseorang melalui bantuan obyek visual bukanlah hal baru dan sering juga disebut sebagai teknik elisitasi (image elicitation). Metode ini biasanya menggunakan foto sebagai instrumennya. Selain foto, sebetulnya representasi visual apa pun dapat digunakan sebagai bahan elisitasi, mulai dari sketsa, lukisan, hingga video. Representasi visual spesifik mampu mendorong munculnya memori laten dan jenis informasi yang berbeda dari seseorang dibandingkan dengan wawancara yang hanya dilakukan secara verbal. Bahkan, dalam beberapa kasus, ingatan yang muncul dapat masuk ke wilayah yang sangat emosional. Semakin

tajam dan terisolasi tema obyek visual yang diajukan, ingatan yang muncul juga akan semakin terarah. Tetapi lebih dari sekedar menarik informasi dan ingatan dari warga Pesanggaran, sebetulnya perjumpaan atas arsip kolonial dan ingatan warga ini membuka kemungkinan lebih jauh untuk mendorong terjadinya pembebasan bagi arsip dari ranah terbatas para sejarawan dan museolog untuk memasuki wilayah ambyar ingatan kolektif warga yang selama ini dipenuhi dengan sejarah tutur dan bayangan samar mitologi. Ketika arsip yang selama ini bersifat steril dapat memasuki ranah baru ini, maka narasi yang sifatnya formal tadi mulai dilengkapi dengan tafsir yang lebih imajinatif. Arsip yang terbebaskan (emancipated archive) inilah yang kemudian melebur, berdampingan dengan ingatan warga membentuk narasi utuh mengenai sejarah sosial yang dipercayai dan mengakar di masyarakat. SUMBER Harper, Douglas. “Talking about pictures: a case for photo elicitation”, Visual Studies, Vol. 17, No. 1, 2002. Routledge: New York.


29


30

Garis-Garis Pesanggaran di Masa Akhir Kolonial Rifandi Septiawan Nugroho Garis-Garis yang “Menjinakan” Alam: Kota Perkebunan di Awal Abad-20 Desa Pesanggaran, yang dulu bernama Kesilir, dikurung oleh batas-batas alam yang membuatnya terisolasi dan kaya akan keanekaragaman hayati. Kondisi itu membuat Desa Pesanggaran pernah menjadi sumber ekonomi penting di era kolonial Belanda sekaligus tempat pengasingan rasial di era pendudukan Jepang. Di sisi selatan, hutan jati dan rawa-rawa memberi jeda antara desa dan Samudera Hindia. Di barat daya, perbukitan tumpang pitu mengurung desa dari laut lepas. Di sisi utara, pematang sawah membaurkan wilayah desa dengan desa lainnya. Sedangkan sisi barattimurnya dipotong aliran sungai Kali Lamong dan aliran Kali Baru. Tergiur potensi alamnya, pada tahun 1926, komunitas I.E.V. (Indo Europeesch Verbond atau Indo-Belanda), membeli belantara Pesanggaran untuk pengembangan komoditas perkebunan. Strategi cacah wilayah dengan grid topografis diterapkan untuk “menjinakan” wilayah yang masih liar. Strategi ini biasa digunakan pada pengembangan wilayah kolonial modern untuk memobilisasi potensi ekonomi yang tersedia. Dengan sitem grid, wilayah baru dianggap “kosong”, menjadi ruang representasi yang diproyeksi ke masa depan. Hal-hal yang absen dari pengamatan didaftarkan,

alamat didata, dan pengembangan wilayah terus dilakukan tanpa batas waktu. Pola grid di Kesilir sangat kontras di atas peta Banyuwangi, berbeda dengan bentuk kota Banyuwangi yang berpola linear. Ada tiga elemen kunci yang mencolok dalam grid-grid Desa Pesanggaran di peta I.E.V., yakni irigasi, jalan, dan persil. Dalam moda produksi perkebunan, ketiganya berperan sebagai batas, tujuan, atau orientasi. Namun, sebagai bagian dari ruang sosial, ketiga elemen itu turut mengalami pergeseran makna dari waktu ke waktu, melalui interaksi subjek yang hidup di dalamnya. Infrastruktur jalan menjadi aksis utama yang menjadi acuan pembagian persilpersil perkebunan. Aksis jalan terentang dari utara ke selatan, membentuk garis diagonal di bagian tengah desa, dan berlanjut tegak lurus ke arah pantai lampon di selatan. Dua aksis jalan timurbarat juga terentang untuk membelah desa menjadi dua di sisi utara-selatan. Struktur wilayah yang hadir di atas peta tidak hanya menggambarkan intensi perencanaan, tetapi juga konsekuensi dari faktor alam yang menghasilkan pola yang tidak sempurna. Bentuk jalan berliku di sisi utara menyesuaikan topografi tapak berbukit, mengitari lapis-lapis kontur beranotasikan “De Berg (gunung)”. Selain itu, di sisi selatan, sebuah jalan tegak


31

A1

A1

A2

A2

Peta jaringan jalan Kabupaten Banyuwangi, sisi bagian selatan berbentuk pola grid yang lebih teratur. Kotak [A1]adalah wilayah Banyuwangi Kota, kotak [A2] adalah wilayah Desa Kesilir. Sumber: avanka. github.io

lurus melalui kawasan yang tidak dipersil. Kemungkinan, wilayah selatan ang penuh hutan jati dan rawa-rawa menjadi area yang sulit “ditaklukan”. sehingga wilayah itu bebas dari persil perkebunan. Irigasi menjadi perhatian khusus di era kolonial, begitu pula dengan Pesanggaran.. Pengembangan irigasi di Kesilir sejalan dengan wilayah lain di selatan Banyuwangi dalam kurun waktu

tahun 1920-1930an, digarap oleh Irrigatie Afdeling, Departemen BOW. Pengembangannya dimulai dari TanggulBondoyudo (24.000 hektar), Bedadung (16.3000 hektar), dan Mayang di Jember, Pekalen Sampean di Panarukan, Kali Setail, Kali Baru, dan Kali Blambangan di Selatan Banyuwangi (kapasitas total 35.000 hektar). Beberapa peneliti menyebut bahwa pekerjaan irigasi di


32

A

B

C

D

E

F

(A) Peta awal Kesilir 1920an, sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia.(C) Zona hutan lindung, rawarawa, dan pegunungan (wilayah tidak terpersil). (D) Jalur irigasi utama. (E) Jaringan transportasi utama untuk distribusi hasil perkebunan. (F) Jukstaksposisi empat elemen morfologi.


33

selatan Banyuwangi melibatkan tenaga para tahanan dari beberapa tempat, seperti penjara Kasihan dan penjara Jember, penjara di Karuk, Kauran, Glundengan, Pondoklawuh, Talangm dan Wulungan (Nawiyanto, 2005; Voet, 1925; Kartodirdjo et al, 1978; Angiedi, 1984). Irigasi di Desa Kesilir dibangun dalam bentuk infrastruktur jembatan, pintu air, kanal-kanal primer sekunder, dan reservoir. Infrastruktur saluran utamanya sebagian besar sejajar dengan jalan raya. Salah satu peninggalan yang cukup besar adalah jembatan beton, yang menurut kesaksian warga lokal dibangun pada sekitar tahun 1928. Jembatan ini tidak hanya untuk penyeberangan manusia dan kendaraan, tetapi juga untuk mengalirkan air dari atas lembah ke dalam desa. Jembatan ini menjadi akses masuk desa satu-satunya di masa lalu, yang bagi warga lokal dikenal dengan nama talang lawas. Jaringan kanal juga dibangun dengan memecah aliran besar melalui pintu air di beberapa titik, sehingga setiap petak mendapatkan asupan air yang cukup. Pintu air ini berukuran kecil, memungkinkan pengaturan debit air keluar masuk melalui pengukuran manual di setiap perpotongan saluran irigasi di persil-persil perkebunan. Setiap petak lahan di Kesilir tidak dibiarkan sia-sia. Semua masuk ke dalam perhitungan persil yang sama rata, kecuali hutan jati, rawa-rawa, dan perbukitan di sisi selatan dan utara. Terdapat dua karakter persil di atas peta, yang berpola kota-kotak dan jajar genjang. Perbedaan ini menyesuaikan aksis acuan yang digunakannya, yakni aksis jalan utama. Di sisi utara, persil-persil berukuran lebih kecil dibandingkan sisi selatan, dalam bentuk kotak-kotak simetris. Sedangkan di sisi selatan, luasnya lebih besar dan berbentuk jajaran genjang. Persil-persil selatan diberi nomor dari 1 hingga 52, sedangkan di sisi utara tidak.

Persil-persil di sisi utara sebagian besar berupa pematang sawah, sedangkan selatan berupa kebun buah dan sayuran. Rumah-rumah berpenghuni di dalam peta sebagian besar berada di persil sisi selatan. Kemungkinan, sisi tanah-tanah di selatan banyak digunakan oleh partikelir sebagai tempat peristirahatan sekaligus tanah garapan mereka, sementara di sisi utara lebih dibiarkan bebas sebagai pertanian bagi warga lokal. Garis-Garis Pesanggaran di Mata Guru Gambar Warmer Johan, arsitek dan guru gambar Belanda yang diasingkan di Kesilir saat pendudukan Jepang, menggambar ulang peta desa pada tahun 1942-1943, mengacu ke peta asli buatan I.E.V. versi tahun 1920an. Jika peta I.E.V menyiratkan strategi perencanaan wilayah perkebunan, peta yang dibuat Johan berperan seperti cermin yang memperlihatkan kehadiran dirinya sebagai seorang interniran. Meskipun ia dapat mengilustrasikan seisi desa dari atas, dirinya tidak benar-benar bersentuhan langsung dengan seluruh ruang-ruang yang ada. Keseharian Johan menjadi proses operatif yang mengapropriasi pemahaman topografis dalam perencanaan ruang yang telah ada. Praktik sehari-hari seperti ini menyatu secara integral di dalam kehidupan sosial, sehingga cukup rumit untuk didefinisikan ulang (Boyer, 2012). Setidaknya ada tiga hal yang tersirat di dalam peta Johan. Pertama, garis-garis tebal yang dibuat Johan menggambarkan riwayat infrastruktur utama penunjang produksi dan distribusi perkebunan di tahun 1920an hingga 1930an. Garis-garis tebal itu adalah elemen dasar pembentuk morfologi wilayah Kesilir yang beberapa di antaranya telah dijelaskan di bagian sebelumnya; berupa jalan besar, saluran irigasi, dan dua sungai pembatas wilayah.


34

Dari jalan yang merentang dari timur ke barat, di bagian paling tengah desa, terpisah dua wilayah utara dan selatan secara tegas, ditandai Johan sebagai Desa Sanggar dan Desa Silir. Sementara itu, di sisi selatan, jalan tegak ke utara berperan sebagai penghubung Pantai Lampon ke wilayah perkebunan, menjadi urat nadi distribusi perkebunan ke dermaga di selatan. Jalan itu menerus secara diagonal ke barat laut, kembali lurus ke arah utara. Jalan-jalan yang mencacah desa ini kemudian menjadi orientasi dasar pembagian persil-persil perkebunan. Saluran irigasi berperan sebagai urat nadi perkebunan. Jaringan irigasi dapat dilihat sebagai pemisah yang memotong antar wilayah, sebagai orientasi ketinggian, dan sebagai tujuan. Di atas peta, Johan menganotasikan irigasi dengan garis tebal berwarna biru. Garis-garis biru itu dipecah menjadi tiga aliran besar yang masuk ke lahan-lahan perkebunan. Jaringan kanal itu memenggal wilayah desa menjadi lima bagian. Kedua, zonasi-zonasi yang dituliskan Johan di atas peta itu tidak hanya berisi informasi wilayah, namun turut menyatakan riwayat dinamika sosial yang terjadi di dalamnya. Pada sisi utara desa, grid-grid persil digambarkan lebih tipis, ditumpuk tulisan besar “Verbodden Gebbied” (area terlarang). Di bawahnya, tertulis kecil keterangan “On Bergaanbag” (tidak nyaman) dengan tulisan di dalam kurung “Malaria?”. Kita dapat memahami bahwa wilayah sisi utara ini sempat ditutup sementara karena adanya wabah malaria, seperti apa yang diungkapkan Wackwitz di dalam laporannya (1942). Grid-grid persil di atas peta Johan mengalami pergeseran fungsi dan makna berkali-kali. Di era pendudukan Jepang, fungsi grid-grid persil bergeser menjadi alat kontrol pengawasan yang mengagitasi para interniran. Di dalam gambar Johan, kita bisa melihat densitas bangunan yang

semakin rapat di dalam grid-grid persil di sisi timur, tempat yang menjadi wilayah jelajah dominan bagi Johan. Setelah Jepang pergi, kode-kode yang dibuat Johan dikodifikasi oleh warga melalui kehidupan sehari-harinya. Grid-grid persil bukan lagi sebagai alat mekanisme kontrol, namun menjadi orientasi posisi yang menandai di mana mereka dan orang lain tinggal serta beraktivitas. Gridgrid persil juga dapat digunakan sebagai penanda waktu tanam dan panen. Ketiga, titik-titik bangunan penting ditandai dengan sistem kode oleh Johan, mewakili beberapa fokus objek yang lahir dari aktivitas sosial yang dilaluinya. Ada lima kode yang digunakan oleh Johan di dalam petanya. Kode titik tiga bertuliskan inh hutten yang berarti gubuk. Kodekode ini tersebar di sisi timur bagian utara, di petak-petak persil Desa Sanggar. Sedangkan di sisi selatan, lebih banyak terdapat titik hitam tunggal, yang di dalam legenda kode ini disebut dengan perc. woning atau rumah persil. Sekilas, dua kode ini menunjukan tipe fungsional dan sosialogis yang berbeda. Di selatan, rumah-rumah persil menempati petak lahan yang luas, sementara di sisi utara, gubuk-gubuk menempati petak yang sempit. Sisi utara memang lebih banyak digunakan untuk pertanian, sementara yang selatan adalah perkebunan dengan rumah-rumah peristirahatan. Kode lainnya adalah woon loodsen 7x20m (rumah gudang atau barak 7x20 meter) yang menggunakan kode dua garis sejajar. Hampir di tiap petak dari persil satu sampai delapan terdapat tipologi bangunan ini. Kode itu menunjukan bahwa sebagian besar gudang dan barak untuk interniran memang terpusat di wilayah timur, sebagaimana banyak ditemui pula pada ilustrasi Johan yang lainnya. Melalui kesaksian Pak Badar, warga Dusun Ringinagung yang jadi saksi sejarah di era itu, menguatkan pula fakta bahwa wilayah itu digunakan untuk


35

interniran, sebab warga lokal dilarang melintas ke sana. Rumah sakit ditandai dengan kode palang merah. Ada dua titik rumah sakit di dalam desa itu. Di sisi utara, rumah sakait berada di perpotongan jalan kalverstraat dan jalan utara-selatan, sedangkan di sisi selatan, terletak di persil 12. Rumah sakit diposisikan dekat dengan jalan utama agar memudahkan aksesibilitas manusia. Kehadiran rumah sakit di dua wilayah memenuhi kebutuhan fasilitas kesehatan di dua desa. Kode terakhir adalah irigasi, yang ditandai dengan garis berliku-liku. Kanal irigasi ini adalah yang besar dan utama, sementara pada kenyataannya, dibagibagi lagi ke dalam kanal-kanal yang lebih kecil untuk masuk ke wilayah perkebunan menggunakan pintu air. Aliran utama kanal ini ada pada sisi utara, sejajar dengan jalan utama yang membelah

pegunungan. Aliran itu dimasukan dari luar desa melalui jembatan masuk utama. Selanjutnya, kanal-kanal itu diteruskan ke selatan, bermuara di persil 52, alangalang di selatan, dan hutan kayu. Kutho Dadi Alas, Alas Dadi Kutho: Pesanggaran di Ingatan Warga Lokal Narwiyah, menantu perempuan pasangan Nyah Bandung dan Henky Jaarman, menghuni sebuah rumah warisan mertuanya di persil 47. Narwiyah bercerita bahwa Jaarman menerima status warga negara Indonesia dan memilih menjadi prajurit Pembela Tanah Air setelah kemerdekaan. Sebelumnya, orang tua Jaarman yang tinggal di Kesilir diusir oleh balatentara Jepang. Ketika Jepang pergi, ia bersama Nyah Bandung kembali ke sana membebaskan tanah-tanah yang sempat terbengkalai untuk keluarganya. Bagi para tetangga, keluarga Jaarman dan Nyah Bandung hidup dengan status

Foto Nyah Bandung dan Henky Jaarman yang disimpan oleh Bu Narwiyah


36

Peta Kesilir yang digambar ulang Warmer Johan, 1942, mengacu pada peta asli kawasan 1920-an dan pengalaman praktik spasial sehari-hari.


37

sosial yang cukup terpandang, sebab di sana mereka punya satu persil utuh lahan seluas 18 hektar. Ingatan Narwiyah melengkapi narasi warga lokal yang tidak muncul di dalam arsip dan catatan harian orang-orang Belanda. Dari ceritanya tergambarkan bagaimana relasi kepemilikan, garis keturunan, dan kekuasaan di Desa Kesilir saling membaur. Orang-orang Indo-Belanda, penguasa lahan di era kolonial dalam catatan Warmer Johan, terusir dari tanahnya sendiri di bawah pendudukan Jepang. Persil-persil yang sudah diberi nomor beralih kepemilikan tiba-tiba. Setelah itu, Jepang pun tidak bertahan lama di sana. Setelah kalah perang, persil-persil perkebunan kembali terbengkalai. Alhasil, warga lokal, para pendatang yang dahulu bermigrasi untuk bekerja di perkebunan, mendapatkan hak menduduki lahan yang tak berpenghuni. Tanah-tanah Kesilir dibangun, ditinggalkan, dibangun, dan ditinggalkan kembali setiap kali rezim penguasa singgah dan pergi. Dengan begitu, Desa Kesilir menjadi tempat lahirnya kebudayaan masyarakat pasca kolonial yang kompleks dan hibrid, hasil dari interaksi sosial di masa lampau. Era pendudukan Jepang menjadi titik transisi kekuasaan Indo-Belanda ke warga lokal. Bermula pada kisaran tahun 19421943, ketika Desa Kesilir dioperasikan selama satu tahun sebagai kamp interniran untuk penduduk Eropa dan ras campuran. Pada September 1943, sekitar 3000 interniran dipindahkan ke penjara Tangerang, lalu dijadikan satu dengan tahanan lain di kamp pusat Cimahi pada Februari 1944 (Liesker, et all, 1993). Pada masa-masa itu, Kesilir perlahan-lahan bersih dari populasi penduduk Eropa. Jepang mengontrol sebagian wilayah, sementara warga lokal “menduduki” sebagian lainnya. Selepas kemerdekaan Indonesia, ketika Jepang kalah perang, kekosongan kekuasaan terjadi di sana.

Pak Badar, warga Kesilir yang besar di era pendudukan Jepang, bercerita bahwa saat itu penduduk lokal diberikan kebebasan untuk memilih persil-persil perkebunan oleh pemerintah, dengan luas masingmasing satu hektar. Ia dan keluarganya berkali-kali pindah dari persil 52 ke persil 33. Awalnya, mereka menempati sebuah loji Belanda berukuran besar bersama 10 orang lainnya di persil 33. Di bawah pendudukan Jepang serta agresi militer Belanda pertama dan kedua (1947-1948), sebagian penduduk lokal bergerilya melawan penjajah yang berusaha menduduki kembali wilayah itu. Untuk membangun siasat, mereka bersembunyi di persil 52, di tepi sungai lembu, mengelabui tentara Belanda dengan membangun langgar untuk ibadah. Ayah dari Pak Badar adalah seorang gerilyawan sekaligus mudin (ahli agama yang dipercaya untuk urusan pernikahan) yang dilindungi oleh pihak militer Belanda dan Jepang karena peran pentingnya untuk urusan warga lokal. Proses berpindahpindah yang dilakukannya adalah bagian dari usaha untuk memata-matai penjajah, sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat untuk urusan pernikahan. Posisi persil 52 dan 33 berada di sisi barat dan tengah desa. Kemungkinan besar sebagian gerilyawan dan warga lokal saat itu sengaja mengambil posisi menjauhi sisi timur yang dijaga ketat balatentara Jepang untuk kamp interniran dan akses pintu masuk utama di dekat jembatan talang lawas. Dengan begitu, pergerakan mereka bisa lebih leluasa dalam mengatur strategi, lepas dari pengawasan pihak penjajah yang sebagian besar berada di sisi timur. Kondisi itu mirip dengan situasi yang digambarkan Mbah Pur, warga persil 8, di sisi timur desa. Persil 1sampai 8 merupakan wilayah kamp interniran yang banyak muncul di dalam sketsa Warmer Johan. Mbah Pur bercerita, pada kisaran


38

Barak interniran di persil 7 Sumber: Warmer Johan, 1942

Aktivitas sosial para interniran di sekitar persil 7 Sumber: Warmer Johan, 1942

Interniran tidur di atas dipan bambu dengan gantungan jemuran di atasnya. Sumber: Warmer Johan, 1942


39


40

tahun 1947-1948, saat orang tuanya baru pindah ke sana, masih banyak terdapat orang Belanda beserta huniannya di sekitar tempat tinggalnya (persil 1-8). Kondisi jalan-jalan dan lahan perkebunan dari persil 1 sampai 8 juga sangat tertata rapih dan teratur. Lebar jalan dan luas lahan sama rata di seluruh bagiannya. Sumber air bersih bisa langsung diminum tersedia di sumur-sumur Belanda, yang beberapa masih dapat ditemukan hari ini. Wilayah ini tidak terbuka bebas untuk orang luar. Kemungkinan, wilayah persil satu hingga delapan memang menjadi wilayah inti yang infrastrukturnya paling memadai sejak awal, sehingga kondisinya paling siap untuk dijadikan kamp interniran di era Jepang.

Arsitektur rumah tinggal sebagian besar mengadopsi rumah Srotong Jawa, tipologi rumah yang biasa ditemui di kampungkampung, dengan sistem struktur balok ganda kolong kilih. Ada beberapa varian bentuk atap penduduk, perpaduan rumah Jawa Tengah, Osing, dan campuran Bali. Menariknya, bentuk-bentuk rumah itu sudah muncul di dalam sketsa-sketsa Warmer Johan, sebagai bangunan bangunan-bangunan penting di era pendudukan Jepang (kemungkinan pula sudah ada sejak era Hindia Belanda), seperti perpustakaan, gereja, dan kantor. Bangunan-bangunan tersebut biasanya menggunakan material semi permanen seperti dinding gedek bambu dan kayu,

Di dalam gambar Johan, di persil satu, terdapat sebuah bangunan kantor utama yang cukup besar bernama “Villa Besuki”, tertulis sebagai tempat transit petinggi militer Jepang di era pendudukan. Menurut kesaksian Pak Hambali, seorang mantan kamituo (kepala desa) di Dusun Ringinagung yang juga saksi sejarah era pendudukan Jepang, di tempat itu balatentara Jepang justru kerap membawa perempuan lokal untuk dijadikan Jugun Ianfu (budak wanita). Sekarang, bangunan itu sudah berganti menjadi rumah warga, namun posisinya masih menimbulkan pertentangan di antara dua ingatan yang berbeda. Selain tata letak yang ada di ingatan warga lokal, bentuk arsitektur bangunan juga menjadi perantara yang menyiratkan makna historis tertentu. Menurut Pak Edy, seorang guru yang lahir di Kesilir, tidak ada penduduk asli di desa itu. Pertemuan pendatang dari berbagai wilayah melahirkan akulturasi budaya dan toleransi yang sangat tinggi. Keberagaman masyarakat tercermin dari bentuk arsitektur hunian dan tipologi rumah-rumah ibadah yang ada, baik gereja, pura, vihara, maupun masjid.

Villa Besuki di Persil 1, bangunan menggunakan bentuk dan material lokal Sumber: Warmer Johan, 1942


41

kuda-kuda kayu, dan atap genteng. Gambar-gambar Johan mengindikasikan usaha penduduk kolonial dalam mengapropiasi pengetahuan lokal, yang menurut Alsayyad sebagai bentuk strategi pasif bertahan hidup (1992). Dalam proses membangun rumah, warga lokal menggunakan sumber daya material yang tersedia di desa. Pak Agus, anak laki-laki Pak Badar yang kini menjadi Kepala Dusun Ringinagung, bercerita tentang bagaimana ayahnya membangun rumah mereka. Untuk membangun satu rumah, biasanya dilakukan secara kolektif dengan bantuan tetangga. Prosesnya dimulai dengan memilih pohon kayu di

Rumah Srotong Jawa di dekat Balai Desa Pesanggaran Sumber: dokumentasi pribadi, 2019

hutan jati di selatan desa. Di sana, pohon berukuran besar, yang lebih besar dari pelukan tiga orang dewasa dipilih, lalu dipotong secara perlahan-lahan tanpa mesin. Untuk menyelesaikan potonganpotongan modul struktur rumah, mereka menghabiskan waktu sektar 3-4 bulan di tengah hutan, sampai akhirnya berlanjut ke proses perakitan di persil rumah mereka. Pada akhirya, rumah bukan sekedar sebagai tempat bernaung dan berlindung, tetapi juga tentang hubungan budaya material dengan sumberdaya yang mengakar di sana. Warga lokal menjadi subjek yang memiliki posisi penting di dalam

Struktur kolong kilih dengan balok ganda di dalam rumah Srotong Jawa Sumber: dokumentasi pribadi, 2019


42

pembentukan ruang Desa Kesilir. Di samping intervensi spasial yang dilakukan baik oleh I.E.V. dan kamp interniran Jepang, warga lokal adalah subjek yang bersentuhan langsung dengan proses pembangunan. Mereka menjadi bagian yang integral dengan proses transformasi Kesilir, dari kacamata praktik spasial sehari-hari. Di dalam pameo warga lokal, Kutho Dadi Alas, Alas Dadi Kutho muncul sebagai ungkapan yang menggambarkan proses transformasi Kesilir di masa lalu. Wilayah Kesilir bermula dari hutan yang dikembangkan menjadi kota perkebunan, menjadi hutan saat ditelantarkan, dan menjadi kota kembali saat dihuni. Di sana, warga lokal menyumbangkan tenaganya untuk membangun peradaban mereka.

wilayah dibuat dengan lebih terstruktur, menggunakan kaidah perancangan wilayah dengan mempertimbangkan aspek-aspek produktivitas. Imigrasi, edukasi, dan irigasi menjadi tiga faktor penting yang mendasari pengembangan wilayah perkebunan pasca politik etis.

Kesimpulan

Era pendudukan Jepang tergambarkan di dalam sketsa-sketsa Warmer Johan dan catatan laporan kamp interniran Wackwitz. Gambar-gambar dan catatan itu menyiratkan praktik spasial dan dinamika sosial sehari-hari yang dialami di era pendudukan Jepang. Dari arsiparsip itu terlihat bagaimana penduduk kamp interniran bertahan hidup di wilayah yang terisolasi, menghadapi malaria, krisis air, dan kekurangan nutrisi. Di sisi lain, sketsa-sketsa Warmer Johan juga menyiratkan perlakuan khusus bagi para interniran dengan adanya fasilitas bangunan-bangunan seperti tempat ibadah, perpustakaan, toko, kantor pos, dan sebagainya. Sebagian besar sketsa Warmer Johan digambar di sisi timur desa, yang sesuai dengan kondisi di dalam ingatan warga lokal.

I. E.V. membangun Kesilir dengan sumbu-sumbu, kanal-kanal, dan petakpetak untuk kebutuhan perkebunan, Jepang memanfaatkannya sebagai perangkat mekanisme kontrol, sedangkan warga lokal menjadikannya tempat bertahan hidup. Sebagai sebuah desa yang disinggahi dua rezim kolonial dan pekerja perkebunan lokal di era kolonial, Kesilir menjadi simpul bagi ingatan kolektif kolonialisme di masa lalu. Ingatan itu tidak diam, menyatu dengan keseharian sebagai praktik dari representasi yang menghubungkan pengalaman, pembentukan subjek, dan ruang. Kedatangan I.E.V. di Kesilir bermula dari pembacaan atas potensi ekologis yang sudah tersedia di wilayah Besuki, khususnya di Banyuwangi selatan. Di dalam beberapa literatur disebutkan bahwa potensi ekologis itu telah menjadikan wilayah Banyuwangi Selatan sebagai teritori yang diperebutkan secara politis sejak abad ke-14, sehingga berulangkali mengalami depopulasi dan migrasi penduduk. Di bawah kolonialisme Hindia Belanda, eksploitasi

Dengan analisis morfologi, karakteristik tapak Kesilir dapat dipahami lebih rinci, seperti wilayah-wilayah aliran air dan faktor eksisting alam yang tidak dapat dihindari, dan logika penyusunan ruang. I. E. V. membangun Di balik perencanaannya yang matang sebagai desa yang dapat hidup secara mandiri, Kesilir tetap terisolasi, yang akhirnya dimanfaatkan oleh Balatentara Jepang sebagai kamp interniran.

Jika bagi dua rezim penguasa sebelumnya Kesilir adalah tempat untuk menanamkan mimpi kemakmuran mereka, bagi warga lokal yang bertahan hingga hari ini di sana, Kesilir adalah tentang tanah tempat mereka menyambung hidup, melalui proses pembangunan, penelantaran, dan pembangunan ulang perkebunan. Penduduk lokal adalah subjek yang


43

paling bersentuhan langsung dengan ruang-ruang Kesilir dalam rentang waktu panjang dan dinamika sosial yang kompleks. Meskipun sebagai pendatang, kehadiran mereka akhirnya mengakar pada tanah perkebunan. Mereka menjadi masyarakat baru yang lahir dari proses hibridisasi budaya kolonial dan lokal. Melalui proses migrasi besar dalam rentang tahun 1920-1930an, karakteristik budaya masyarakat yang beragam terbentuk di Kesilir. Selain tercermin dari interaksi sehari-hari, keberagaman itu juga melekat dan dapat dibaca dari arsitektur bangunan dan budaya material yang ada di sana.


44

DAFTAR PUSTAKA:

Universitet Van Amsterdam.

Anderson, B. (2001). “Mengingat dan Melupakan Ruang Baru dan Lama” dalam Imagined Communities KomunitasKomunitas Terbayang. Yogya: Insist Press.

Van den Veur, Paul W. (1960). “Eurasian Dilemma” dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 20, No. 1 (Nov., 1960), pp. 4560.

Buettner, E. (2016). Europe after empire. Decolonization, society, culture. Cambridge.

Wackwitz, J.G. (1942). Rapport van de Leider der Kolonisatie. Amsterdam: Orde van de Nederlande Leeuw.

De Certeau, M. (2011). Practice of Everyday Life. University of California Press.

Willems. (1994). Wim Sporen van een Indisch verleden (1600-1942), Part II by van Hoogevest, W.M. Leiden: COMT.

Gouda, F. (1995). Dutch Culture Overseas. Jakarta: Equinox. Jacobson, R. L. (2018). The Eurasian Question: The colonial position and postcolonial options of colonial mixed ancestry groups from British India, Dutch East Indies and French Indochina compared. Leiden University. Johan, A. G. W. (1984). Java 1942-1945: Kampschetsen Uit: Kesilir, Banjoe Biroe, Tjikoepadateuh. Amsterdam: Elmar. Kurosawa, A. (2015). Kuasa Jepang di Jawa (1st ed.). Depok: Komunitas Bambu. Maki, Fumihiko. (2018). “Observing The City” dalam City with a Hidden Past. Tokyo: Kajima Institut Publishing. Mrazek, Rudolf. (2002). Engineers of Happy Land. Princeton University Press. Nawiyanto, S. (2005). The Rising Sun In A Javanese Rice Granary. Yogyakarta: Galangpress. Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Jakarta: Serambi. Raben, Remco. (2016). Wie Spreekt Voor Het Koloniale Verleden. Amsterdam:

WAWANCARA: Agus Romadhon. (2020). Kepala Dusun Ringinagung dalam Kutho Dadi Alas, Alas Dadhi Kutho Exhibition [Focus Group Discussion]. Pesanggaran. Badar. (2020). Mantan Kepala Dusun Ringinagung dalam Kutho Dadi Alas, Alas Dadhi Kutho Exhibition Research [Wawancara Langsung]. Pesanggaran. Hambali. (2019). Mantan Kamituo [Wawancara Langsung]. Pesanggaran. Narwiyah. (2019). Anak Menantu Letnan Henky Jaarman, Warga Pesanggaran [Wawancara Langsung]. Pesanggaran. Purnomo. (2020). Warga Persil 8 dalam Kutho Dadi Alas, Alas Dadhi Kutho [Wawancara Langsung]. Pesanggaran. Taufiqurrohman. (2020). Young Activist and Residents of Pesanggaran Village on Kutho Dadi Alas, Alas Dadi Kutho Exhibition [Focus Group Discussion]. Pesanggaran.


45



47


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.