Menyisir Tepian

Page 1


MENYISIR TEPIAN:

Catatan Lapangan Praktik Kuratorial Dari Kampung-Kampung di Jakarta

Penerbit

II


Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta Penulis | Writers Ahmad Khairudin, Angga Wijaya, Ayos Purwoaji, Gesyada Siregar, Ignatius Susiadi Wibowo, Ismal Muntaha, M. Sigit Budi S. Penyunting | Editor Leonhard Bartolomeus, Rifandi Nugroho Penerjemah | Translator Cemara Weda Chrisalit Tata Letak | Book Layout Manubaba Ilustrasi Sampul | Cover Illustration Syaiful Ardianto Dokumentasi | Documentation Nissal Berlindung, Tubagus Rahmat, Sunday Screen Penerbit | Publisher Dewan Kesenian Jakarta, 2021 ISBN: 978-979-1219-21-1

Ciptaan ini dilisensikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional. Untuk melihat salinan lisensi ini, kunjungi http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ atau kirim surat ke Creative Commons, PO Box 1866, Mountain View, CA 94042, USA.


Daftar Isi / Contents Catatan Tentang “Kurator Kampung”..................................................................... i A Note about “Kurator Kampung”....................................................................... ix Kurasi dan Kuasa 4.0: Kekuratoran dalam Medan Kampung Kota di Jakarta..........................................1 Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages................................................................ 9 Dua Wajah Kampung Muka..................................................................................19 The Two Faces of Kampung Muka...................................................................... 26 Catatan Gesya di Kampung Muka........................................................................ 32 Gesya’s Note in Kampung Muka.........................................................................40 Sinaran Gambar Anak-anak Kali Ciliwung Ancol............................................... 49 The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol......................................................57 Kesenian: Praktik Kolektif Warga (Kampung Kota)Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain..................................................................................... 67 Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines.............................................................................................75 Merdeka di Tanah Negara.................................................................................... 85 Freedom on the State Land..................................................................................90 Pemandangan dari Bawah Jalan Raya................................................................. 95 A View from Under the Highway...................................................................... 109 Kurator, Kampung, dan Keseharian...................................................................124 Curators, Kampung, and Daily Lives................................................................136 Profil Penulis/Profile.......................................................................................... 148 Ucapan Terima Kasih/Acknowledgment...........................................................158


Catatan Tentang “Kurator Kampung”

i A Note about “Kurator Kampung”

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

ix

V


Catatan Tentang “Kurator Kampung” Rifandi Nugroho & Leonhard Bartolomeus

S

ederhananya, praktik kurasi terkait pada proses memilih dan memilah apa yang ingin kita tunjukan, sajikan, dan bagikan untuk dinikmati orang lain maupun diri sendiri. Di dalam keseharian, praktik ini bisa dilakukan dari tingkat yang paling personal hingga yang kolosal. Mulai dari menyusun playlist video di YouTube, membuat highlight Instatory di halaman biografi Instagram, atau dalam bentuk paling konvensionalnya, menyusun karya di dalam galeri. Karena pilihan setiap orang selalu subjektif, untuk dapat dinikmati orang banyak, kurator perlu membangun argumentasi dan penjelasan atas apa yang telah ia paparkan. Jadi, sejauh kita bisa melakukan itu semua, peran kurator dapat diisi oleh siapa saja, menggunakan medium apa saja, untuk dibagikan ke mana saja. Dari premis ini pemahaman awal tentang “kurator kampung” dimulai. Dalam ruang yang lebih sempit, dalam hal ini seni rupa, praktik kerja kurator masih sangat ambigu. Ia dianggap salah satu elemen pemberi legitimasi pada praktik artistik seniman (pameran harus ada kuratornya, supaya serius!), tapi di sisi yang lain, tidak ada dukungan legal atas profesi ini di Indonesia. Dalam dekade awal selepas reformasi, jumlah sekolah tinggi seni rupa di Indonesia yang membuka program pendidikan kurator mungkin hanya satu atau dua. Pun juga, tidak banyak museum seni rupa yang membutuhkan profesi kurator di Indonesia. Galeri Nasional Indonesia misalnya, lebih

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

i


Catatan Tentang “Kurator Kampung”

memilih menggunakan sejumlah kurator sebagai dewan seleksi yang menduduki posisi tersebut pada periode tertentu. Akan tetapi, kegamangan ini justru menjadi semacam berkat terselubung, karena kemudian ada cukup banyak orang yang rela bekerja sebagai kurator (setelah memahami untung dan ruginya) dengan latar disiplin yang berbeda-beda: seniman, arsitek, desainer grafis, sosiolog, antropolog, sutradara teater, produser, peneliti sejarah, bahkan kolektor! Maka tidak heran, pada saat ruangrupa menginisiasi program lokakarya kurator pada 2008, pemateri dan pesertanya juga sangat variatif. Tidak ada batasan bahwa untuk menjadi kurator harus magister sejarah seni rupa Barat, paham filsafat seni, dan sebagainya. Yang diperlukan adalah semangat untuk melihat, memahami, dan mengartikulasikan berbagai macam bentuk budaya visual yang ada di sekitar kita. Tentu saja sebagian besar pesertanya tidak memiliki gambaran di mana, ke mana, dan bagaimana mengaplikasikan ilmu yang didapat secara tepat. Tapi seperti juga hidup, semua berjalan dengan sebagaimana mestinya. Kegiatan “Riset dan Festival Kampung Kota 2018” merupakan alih bentuk lokakarya kurator di ruangrupa yang pada 2013 mulai bekerjasama dengan Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Proses kerjasama ini terutama muncul setelah melihat banyaknya jumlah alumni kelas kurator yang berkiprah sebagai kurator di berbagai kota, dengan latar belakang disiplin yang berbeda-beda. Dengan harapan mendorong sebaran peserta yang lebih luas, program ini kemudian mengundang peserta dari luar Jawa: Makassar, Padang, Aceh, hingga Lombok. Setelah lima tahun bekerja dengan format kelas, ada keinginan untuk melakukan eksperimentasi lebih jauh tentang praktik kerja kurator. Ketimbang membuka kelas baru dengan format lama, pada 2018, program ini dirombak menjadi semacam “laboratorium” untuk kurator-kurator yang pernah bersinggungan dengan program Kelas Kurator Muda sebelumnya. Di sana mereka bertukar pandangan, pengetahuan, dan pengalaman berdasarkan praktik kurasi yang pernah mereka lakukan.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

ii


Catatan Tentang “Kurator Kampung”

Tawaran ini tentu saja menimbulkan banyak tanya, terutama soal intensitas program itu sendiri. Bagaimana menempatkan profesi kurator di luar zona nyamannya? Seperti apa fungsi yang harus diambil ketika berhadapan dengan ruang yang sangat cair dan penuh dengan potensi konflik? Setelah DKJ berhasil diyakinkan, yang perlu dilakukan adalah mencari rekan kerja yang bukan hanya punya sumber daya untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, melainkan juga tempat untuk menerapkan eksplorasi kerja kebudayaan ini secara langsung. Tempat yang menjadi arena belajar adalah Kampung Kota di Jakarta. Gagasan mengambil tempat di Kampung Kota bermula dari obrolan dengan temanteman Urban Poor Consortium (UPC) dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK). Gugun Muhammad, koordinator UPC sekaligus warga Kampung Tongkol menyampaikan keinginan rekan-rekannya untuk membuat kelas kesenian di Kampung Kota. Saat itu, situasi Kampung Kota di Jakarta sedang memanas setelah munculnya ancaman penggusuran dari pemerintah kota. Ditambah kampanye calon Gubernur Jakarta yang berusaha merebut hati sebagian warga Kampung membuat suasana rentan terhadap konflik horizontal. Di antara sengkarut dinamika warga, ternyata seni dianggap sebagai pelumas dari ketegangan akibat situasi politik yang tak jelas arahnya. Seni menjadi “jeda” dari rutinitas yang menguras tenaga dan pikiran mereka. Langkah selanjutnya dan tidak kalah sulit adalah mengundang kurator-kurator yang bisa dan mau untuk bekerja di Kampung Kota. Proses ini bisa jadi yang paling lama mendapat keputusan karena terdapat berbagai aspek yang harus dipenuhi ketika membayangkan siapa yang cocok untuk dilibatkan: proses komunikasi, intensitas kerja, sampai karakter yang cukup selow. Dari daftar timbang tersebut, nama-nama yang kemudian muncul (dan langsung mau terlibat) adalah Ahmad Khairuddin (Kolektif Hysteria, Semarang), Angga Wijaya dan M. Sigit Budi Santoso (Serrum, Jakarta), Gesyada Siregar (JKT32, Jakarta), Ayos Purwoaji (c2o Library & Collabtive, Surabaya), Ign. Adi Wibowo (LabTanya, Tangerang Selatan) dan Ismal Muntaha (Jatiwangi

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

iii


Catatan Tentang “Kurator Kampung”

Art Factory, Majalengka) dengan bantuan tambahan dari sisi produksi oleh Nissal Berlindung (Gardu House, Jakarta). Semuanya selalu atau pernah melakukan proyek kuratorial yang bekerja bersama warga kampung di daerahnya masing-masing, yang dalam bayangan penyelenggara, bisa lebih mempermudah proses kerja di perkampungan kota di Jakarta. Gayung bersambut. Rencana kerja diajukan ke DKJ dan Institut ruangrupa. Di waktu yang sama, Mas Gugun melakukan pemetaan melalui jejaringnya untuk lokasi kerja. Keinginan membuat kelas kesenian diubah menjadi aktivasi kesenian bersama warga, dengan meletakan praktik kurasi sebagai inti kegiatan. Lima kampung yang tergabung di dalam jaringan dipilih, antara lain Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Kampung Kali Apuran, Kampung Tongkol, Kampung Tol, Penjaringan, dan Kampung Muka. Masing-masing memiliki karakteristik geografis serta konteks sosial yang khas, mulai dari permukiman nelayan, hunian di tepian sungai, bantaran rel kereta api, hingga permukiman temporer di kolong tol. Perwakilan individu maupun kolektif dari setiap kampung berpasangan dengan kurator undangan untuk bekerja sama dan membuat kegiatan seni di ruang publik. Mereka bebas menyesuaikan pendekatan yang dimiliki kepada konteks masing-masing kampung. Alih-alih merumuskan produk akhir kegiatan, program ini lebih menekankan pada artikulasi proses di lapangan. Para kurator undangan dan kolaborator meramu cara untuk melihat sebanyak mungkin kemungkinan dan melibatkan sebanyak mungkin orang ke dalam kegiatan. Di titik ini tantangan baru dimulai; menerjemahkan subjektivitas setiap individu menjadi subjektivitas yang bisa diterima secara kolektif, menggeser gagasan konvensional yang berpusat dari seorang kurator dengan gagasan (yang sebisa mungkin) dibangun bersama. Setiap individu diajak keluar dari ruang privat ke ruang publik, meninggalkan zona nyamannya masing-masing. Metode yang muncul mungkin secara artistik terlihat biasa-biasa saja, seperti nongkrong, ngobrol

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

iv


Catatan Tentang “Kurator Kampung”

dengan sesepuh, “itikaf”, poco-poco, dan yang paling penting: pasrah. Yang jelas, di antara proses yang organik dan dinamis, penting bagi setiap individu untuk lebih peka terhadap setiap fenomena di lapangan. Di sini kelihaian kurator dan kolaborator diandalkan, bukan terburu-buru untuk melakukan intervensi, tetapi juga mengkoreografikan hal-hal yang terlihat apa adanya menjadi bernilai. Kampung-kampung kota di Jakarta punya sumber daya yang melimpah untuk praktik kurasi, baik dalam bentuk modal sosial, kultural, pengetahuan, maupun artistik. Berbagai aktivitas di sana punya cara kerja yang dapat diadaptasi ke dalam model praktik kurasi. Perayaan hari-hari besar seperti kemerdekaan, maulid nabi, festival nelayan, dan acara-acara karang taruna biasanya telah melalui serangkaian proses seleksi ala warga, melalui pembagian peran, pengaturan logistik, manajemen massa, dan muatan intelektual lokal yang menuntun tubuh-tubuh individu ke dalam ruang lingkup kolektif secara sukarela. Interaksi ini dapat ditelisik sebagai pola kecenderungan kultural yang menubuh di dalam praktik spasial sehari-hari, dan dapat diterjemahkan menjadi model-model pengetahuan praktik kurasi di luar arus konvensional. Di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Ismal Muntaha dan Yofie Hashirama berhadapan dengan berbagai macam organisasi masyarakat lokal, mulai dari padepokan pencak silat, paguyuban nelayan, dan juga komunitas-komunitas anak muda yang sering bersilang pendapat. Melalui ikhtiar dari pintu ke pintu, dengan sedikit kepasrahan, ego antar golongan dapat disatukan melalui kehadiran satu objek: perahu nelayan. Pembacaan itu menuntun terselenggaranya sebuah ritual performatif “Tradisi Arak Perahu”, berkeliling kampung sebagai simbol menyatukan warga. Ritual itu juga melibatkan tokoh-tokoh penting masyarakat dan perwakilan setiap golongan di dalam prosesnya. Pada akhirnya, ritual ditutup dengan pesta rakyat “Karaoke Kerang Ijo”, mengundang kolektif Cut and Rescue sebagai kolaborator.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

v


Catatan Tentang “Kurator Kampung”

Di Kampung Kali Apuran, Ignatius Adi Wibowo, Harun, Andi, dan kelompok pemuda kampung berhadapan dengan suasana tegang dan membosankan pascapenggusuran wilayah bantaran sungai. Dengan menyelenggarakan beberapa acara lain sebagai “pemantik”, seperti lokakarya mengolah bahan pangan lokal, forum diskusi, dan perlombaan anak-anak, mereka menjamah kelompok-kelompok warga yang lebih luas, dari anak-anak, remaja, bapak-bapak, dan kelompok ibu-ibu. Pada akhirnya, imajinasi lain lahir di puncak kegiatan, yakni “Piknik di Kampung Sendiri”, menghidupkan kembali ruang bantaran sungai yang sudah lama ditinggalkan warga. Acara itu sekaligus menjadi ajang silaturahmi bagi warga lama, baik yang terdampak gusuran maupun yang masih bertahan. Angga Wijaya berkolaborasi dengan kelompok warga di Kampung Tongkol, tempat yang seringkali dirujuk sebagai studi kasus inisiatif warga dalam menghadapi penggusuran, melalui program “memotong rumah” sejauh lima meter dari bibir sungai pada tahun 2015. Dengan cara itu, warga Kampung Tongkol mendedikasikan sebagian rumahnya untuk lingkungan hidup komunal. Melihat sungai yang kemudian menjadi penghubung antara dua kampung yang berseberangan, Angga dan kelompok warga Kampung Tongkol berinisiatif membuat objek yang dapat menghubungkan kedua kampung. Objek itu berupa lampion yang dibuat melalui lokakarya anak-anak bersama kolektif RURU Kids. Lampion itu menyinari kampung dengan arus listrik yang diambil dari dua kampung yang berseberangan. Ahmad Khairuddin dan Gesyada Siregar berkolaborasi dengan remaja Karang Taruna Kampung Muka, salah satu kampung super padat dengan lebih dari sepuluh ribu warga di dalamnya. Karena kepadatannya, kampung muka punya banyak wajah untuk dikenal, seringkali kontradiktif, mulai dari praktik prostitusi hingga keagamaan. Membaca gejala itu, mereka berinisiatif membuat sebuah rangkaian aktivasi yang diberi tajuk “Dua Wajah Kampung Muka”. Berbeda dari beberapa pola kegiatan di kampung lain, di mana

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

vi


Catatan Tentang “Kurator Kampung”

ada produk akhir yang menutup rangkaian kegiatan. Di Kampung Muka, mereka melakukannya sebagai serpihan aktivasi yang tidak merujuk pada satu produk akhir. Dengan begitu prosesnya lebih berfokus pada pemadatan pola manajemen kerja Karang Taruna Kampung Muka. Terakhir, di Kampung Tol, Penjaringan, Ayos Purwoaji dan M. Sigit Budi S. menghadapi persoalan warga yang sangat subversif. Warga Kampung Kolong Tol hidup dalam persembunyian, sehingga agak mustahil untuk membuat sebuah kegiatan yang dapat dilihat oleh publik. Dengan kata lain, melakukan praktik kurasi di sana berarti mengkurasi hal-hal yang hanya untuk dinikmati warga sendiri. Beragam cara ditempuh untuk mendekati satu per satu tokoh-tokoh kampung, dengan beritikaf di musholla, mengikuti aktivitas pengayuh becak, dan menginap di rumah-rumah warga lain. Pada akhirnya, arsip dipilih sebagai medium yang menjadi jembatan komunikasi warga lintas waktu. Arsip foto milik Tubagus Rachmat, fotografer Urban Poor Consortium (UPC) yang sempat tinggal dan mendokumentasikan kampung itu sekitar sepuluh tahun sebelumnya, dipajang dalam bentuk banner. Di bawah gantungan foto-foto itu, mereka mengemas acara makan-makan sambil bertukar cerita dengan tajuk “Kumpul Kolong Kuy”. Meskipun hanya berlangsung selama satu bulan, aktivitas-aktivitas yang dilakukan cukup meyakinkan dan memberi harapan bahwa ternyata praktik kurasi masih dapat diperluas manfaatnya lebih dari sekedar mengurus pilihan etis-estetis pada ruang-ruang pamer yang eksklusif. Dari lima kasus Kampung Kota Jakarta di atas, kita bisa melihat bahwa praktik kurasi punya banyak lapis manfaat, antara lain sebagai pemicu ikatan sosial, pemantik imajinasi, pendorong kolaborasi, sarana edukasi, dan medium refleksi atas ruang hidup sehari-hari bagi warga. Meski begitu, hal yang paling menarik untuk diamati, di kampung praktik kurasi bukan lagi lahir dari peran tunggal seorang kurator. Ia berkembang dengan sentuhan banyak tangan dan pemikiran. Dengan begitu, pertanyaan klasik yang muncul kemudian, bagaimana cara mempertanggungjawabkannya?

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

vii


Catatan Tentang “Kurator Kampung”

Untuk itu buku ini hadir. Sebagai rekaman dan refleksi atas praktik kurasi yang telah dilakukan oleh orang-orang yang pernah memposisikan dirinya sebagai warga pada konteks tempat, waktu, dan lingkungan masyarakat yang sangat terbatas. Melalui penulisan reflektif, buku ini tidak berusaha menawarkan rumus-rumus untuk menjadi “kurator sukses di tengah masyarakat”, hal yang terlalu polos untuk dilakukan. Tetapi, tulisan-tulisan di buku ini memperlihatkan dengan jelas sudut pandang, tantangan, dan kemungkinan yang dihadapi oleh setiap kurator di lapangan, yang dapat kita pelajari dan adaptasi pada konteks lainnya. Terus terang, buku ini terbit terlambat. Dalam selang waktu dua tahun sejak penyelenggaraan kegiatan saja, situasi Kampung Kota Jakarta sudah jauh berubah. Di tengah situasi pandemi saat ini, komunitas warga Kampung Kota aktif mengerahkan kekuatan kolektifnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga melalui ajang penggalangan dana, penjualan bahan pangan lokal, dan inisiatif-inisiatif lain untuk menggerakan modal dan jejaring orang dalam jumlah besar. Kampung Kota tidak pernah kendur seperti galeri seni yang cenderung lesu dihajar pandemi. Kemudian, Kampung Kota seolah melambai-lambai memanggil kembali, “Kapan mau belajar kuratorial di kampung lagi?”

Jakarta, September 2020

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

viii


A Note about “Kurator Kampung” Rifandi Nugroho & Leonhard Bartolomeus

C

uratorial practice, to put it simply, is related to the process of selecting what we would like to show, put on display, and share with ourselves or others. We can do it from the most personal level to a colossal one. From creating video playlists on Youtube, making instastory highlight on Instagram, to the most conventional form, organizing artworks in galleries. Everybody has a subjective choice, so a curator needs to build an argument and explanation to support his choice of the display so that the audience can enjoy it. So long as we do all of these things, everybody can be a curator, using any medium, to share it with anybody. This argument is where the understanding of Kurator Kampung (Village Curator) begins. In a much narrower space, curatorial practice is still vague in the realm of fine arts. On the one hand, a curator is considered an element who legitimizes an artist (an exhibition must include a curator so people will take it more seriously!). On the other hand, there is no legal support for this profession in Indonesia. During the first-decade post Reformation Era, maybe around one or two art schools in Indonesia offered curatorial studies. Also, not many museums in Indonesia need curators. National Gallery of Indonesia, for example, much prefers to employ several curators to form a selection board for a period of time. However, this uncertainty might be a blessing in disguise, for later there are so many people work as curators voluntarily

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

ix


A Note about “Kurator Kampung”

(after considering its pros and cons, of course), who come from different disciplinary backgrounds: artist, architect, graphic designer, sociologist, anthropologist, theater director, producer, historian, even art collector! Therefore, it is no wonder when ruangrupa initiated the Curatorial Workshop program in 2008, both the participants and speakers are quite diverse. There are no rules that say a curator must have a master’s degree in western art history, art philosophy, or others. It only takes passion for perceiving, understanding, and articulating various kinds of visual culture. Indeed, most participants did not have a vision of where, where to, and how to apply their knowledge accordingly. However, much like life itself, everything will fall into place. Riset dan Festival Kampung Kota (The Urban Village Research and Festival, 2018) was a transformation from the curatorial workshop by ruangrupa, which in 2013 started collaborating with The Fine Arts Committee of Jakarta Arts Council (DKJ). This collaboration emerged mainly after seeing the number of alumni of this class from different disciplinary backgrounds who later participate as curators in many cities. In the hope of expanding the numbers of participants, this program invited participants from outside of Java: Makassar, Padang, Aceh, and Lombok. After using a workshop class as its format for five years, we would like to experiment with curatorial practice. Instead of opening a new class with the same old format, in 2018, we recast this program into some “laboratory” for curators who have participated in the previous Young Curator Class. There they share their perspectives, knowledge, and experiences based upon their curatorial practices. This offer certainly raised questions, especially about the intensity of the program itself. How do we put the curators outside their comfort zone? Which function should be taken when dealing with flexible space and full of potentials for conflict? After successfully convincing DKJ, what needed to be done next was seeking partners who had the resources to answer the

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

x


A Note about “Kurator Kampung”

questions mentioned above and spaces to apply this exploration of cultural work directly. We chose urban villages in Jakarta for our learning room. The idea of an urban village started from a conversation with our mates from Urban Poor Consortium (UPC) and Jaringan Rakyat Miskin Kota (Urban Poor People Network) or JRMK. Gugun Muhammad, as the coordinator of UPC and resident of Kampung Tongkol, conveyed the wish of his colleagues to make an art program in urban villages. At that time, Jakarta’s urban villages’ situation was heating up out of the threat of eviction from the city government. Furthermore, campaigns by the candidates for governor of Jakarta that attempted to attract the locals might be prone to horizontal conflicts. Amidst the locals’ chaotic dynamics, art was deemed a refreshing media capable of relaxing the tense caused by unclear political situations. Art became the “pause” needed from activities that were draining and mindful. Our next step was no less complicated. We had to find curators who would not mind working in urban villages. This task might be the most extended process since there were various aspects to consider as we selected our participants: communication process, work intensity, and laid back character. From there, we had names that wanted to join right away: Ahmad Khairuddin (Kolektif Hysteria, Semarang), Angga Wijaya, and M. Sigit Budi Santoso (Serrum, Jakarta), Gesyada Siregar (JKT32, Jakarta), Ayos Purwoaji (c2o Library & Collabtive, Surabaya), Ign. Adi Wibowo (LabTanya, Tangerang Selatan), and Ismal Muntaha (Jatiwangi Art Factory, Majalengka), with production support by Nissal Berlindung (Gardu House, Jakarta). These people have always been doing curatorial projects in collaboration with residents in villages in their regions, so we imagined it would facilitate their urban villages’ work process. Then it got even more enjoyable. Our previous plan of creating an art class was turned into an art activation with the locals, with curatorial practice

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

xi


A Note about “Kurator Kampung”

as the primary concern. Five villages were selected from the networks: Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Kampung Kali Apuran, Kampung Tongkol, Kampung Tol, Penjaringan, and Kampung Muka. These villages had unique geographical character and social context; fishing village, riverside dwelling, railroad banks, and temporary settlement under the highway. Both individual and collective representatives from each village were paired with invited curators to collaborate. The invited curators were those who had conducted artistic activities in public spaces. They were given the freedom to adjust their approaches towards the context within each village. Instead of formulating the final product, this program emphasized more on articulating the process in the field. The curators, alongside collaborators, schemed as many potentials to include many people in the activity. Thus, the challenge began at this point: rendering each individual’s subjectivity into a collective mindset, shifting curator-centric conventional idea into an idea that (hopefully) was built together. Everyone was asked to step out of their comfort zones. The methods might seem ordinary from the perspective of art, such as hanging out together, having a conversation with the elders, i’tikaf, dancing poco-poco, and the most important: resigned to the situation. Indeed, everyone needed to become more aware of every phenomenon in the organic and dynamic process. That is the condition where both guest curators and their collaborators’ ability came in handy, not to interfere, but to compose valuable things out of the ordinary. Urban villages have abundant resources for curatorial practice, either social, cultural, knowledge, or artistic. We can adapt various activities done by locals into a model of curatorial practice such as celebration of independence day, prophet’s birthday, fishermen’s festival, and events from the youth organizations have often been through the selection process from the locals, through the division of roles, logistics arrangements, mass management, and local intellectual content that guide individuals to the realm of collective voluntarily. This kind of interaction can be explored as patterns of cultural

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

xii


A Note about “Kurator Kampung”

tendencies attached to the everyday spatial practice and can be rendered into models of curatorial practical knowledge outside the conventional stream. In Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Ismal Muntaha, and Yofie Hashirama dealt with local organizations, from the silat and fishermen community to youth organizations that often-had disagreements others. Through initiatives and a little bit of resignation, each group managed to lower their ego and unite through one object: a fisherman’s boat. It brought them to a performative ritual: Tradisi Arak Perahu (Boat Parade), where they carried a boat wreck around the village as a symbol of unity. This ritual also involved local prominent figures and representatives of each group during the process. This ritual ended with a party called Karaoke Kerang Ijo, collaborating with Cut and Rescue. In Kampung Kali Apuran, Ignatius Adi Wibowo, Harun, Andi, and the local youth organization faced an intense and dull atmosphere post-eviction around the riverbanks. By conducting several events as triggers, such as a local workshop for processing local produce, a discussion forum, and competitions for children, they managed to reach a much broader group of residents, children, teenagers, fathers, and mothers. At the end of the day, another imagination came in Piknik di Kampung Sendiri (Picnic at Own Village), which revived the riverbanks long abandoned by the locals. It also became a gathering event for old residents, both those who were evicted and those who survived. Angga Wijaya collaborated with a group of locals in Kampung Tongkol; a place frequently referred to for case studies of citizen initiatives in dealing with eviction through an act of “cutting houses” five meters away from the riverbanks in 2015. That way, the residents of Kampung Tongkol dedicated parts of their houses for communal living. Seeing the river that later connected two villages opposites each other, Angga and the locals from Kampung Tongkol made an object connected to both villages. It was a lantern made

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

xiii


A Note about “Kurator Kampung”

from a children’s workshop in collaboration with ruru kids. The lantern illuminated the villages using electricity from both villages. Ahmad Khairuddin and Gesyada Namora worked together with the Youth Organization of Kampung Muka, one of the densest villages, where more than ten thousand householders resided. Consequently, this village had different, the most contradictory, kinds of people, from prostitution to religious practices. Having observed the phenomenon, they took the initiative to conduct a series of activation called Dua Wajah Kampung Muka (The Two Faces of Kampung Muka). Unlike the patterns of activities in other villages, this program served as activation flakes that did not refer to one final product so that the process could focus more on compacting work management patterns in the Youth Organization of Kampung Muka. Finally, in Kampung Tol, Penjaringan, Ayos Purwoaji and M. Sigit Budi Santoso dealt with a very provocative issue. The residents of Kampung Tol Penjaringan lived in hiding, so it was impossible to make an activity visible to the public. In other words, practicing curatorial in this village would mean curating things that would be seen only by the residents. They made efforts to approach prominent figures from this village, like doing i’tikaf in the praying room, following a pedicab driver’s activities, and spending the night at the locals’ houses. The archive was chosen as the medium that became some communication bridge for the locals across time. Photo archives courtesy of Tubagus Rachmat, an Urban Poor Consortium (UPC) photographer who once lived there and documented the village almost a decade ago, were displayed in the form of banners. They also conducted simple dining events called Kumpul Kolong Kuy (Let’s Hang Out Down Here!). Even though they only lasted for one month, these activities were convincing and encouraging enough to prove that the benefits of curatorial practice could be expanded more than merely taking care of the ethics and aesthetics of exclusive spaces. From the case studies in the five villages above, we can

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

xiv


A Note about “Kurator Kampung”

perceive that curatorial practice serves many benefits: triggering social ties and imaginations, encouraging collaboration, as educational means, and as a medium of reflection on everyday living space. Nonetheless, the most interesting observation is that curatorial practice in urban villages no longer derives from a single curator. It develops from different touches and thoughts. Therefore, the only question is how to account for it. This book comes for this reason, as a recording and reflection as curatorial practice conducted by people who have placed themselves as citizens in the context of minimal place, time, and society. Through reflective writings, this book does not attempt to offer tutorials on how to become “a successful curator among the society,” which would be a too naïve thing to do. However, this book’s notes show the perspectives, challenges, and possibilities facing each curator on the field, which we can learn from and adapt to other contexts. To put it straightforwardly, this book comes late. Within the span of only two years after this program, urban villages in Jakarta have gone through so many changes. Amidst the current pandemic, the community of urban villages is actively exerting their collective strength to fulfill their everyday needs through fundraising, produce sales, and other initiatives that motivate capital and people networks in large amounts. Unlike art galleries, urban villages never shut off during a pandemic. After that, it is as if urban villages are waving to us and asking,”Hey curators! When are you going back here to learn?”

Jakarta, September 2020

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

xv


A Note about “Kurator Kampung”

xvi


A Note about “Kurator Kampung”

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

xvii


Kurasi dan Kuasa 4.0: Kekuratoran dalam Medan Kampung Kota di Jakarta Ismal Muntaha

K

etika membicarakan kampung Kota, kemungkinan kita akan selalu dihadapkan pada Stereotip yang bersumber dari alam pikir bahwa mereka yang tinggal di kampung-kampung kota merupakan surplus penduduk akibat urbanisasi, dengan kata lain; bukan warga Jakarta. Saya teringat sebuah video tahun 1971 ketika Gubernur Jakarta Ali Sadikin blusukan di jalanjalan sambil bertanya kepada setiap orang yang ia temui, “Mana KTPmu?” . Mereka yang dianggap bukan warga asli Jakarta, ibarat parasit bagi Ibukota. Warga di kampung kota termasuk di dalamnya. Mereka dianggap beban sebab tidak punya tempat tinggal atau salah memilih tempat tinggal. Tak pelak, ‘parasit’ ini selalu berada dalam rationale ‘pembersihan’ yang kerap dikatakan sebagai relokasi. Namun, logika parasit ini bubar jalan ketika memasuki musim pemilihan suara. Wilayah terpinggirkan ini dengan segera menjadi lumbung perolehan suara. Di dalam rekapitulasi suara KPU pada

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

1


Kurasi dan Kuasa 4.0: Kekuratoran dalam Medan Kampung Kota di Jakarta

Pilgub 2017, wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat merupakan wilayah persebaran kampung kota yang mendulang 2.181.147 suara sah. Untungnya, momen politik praktis ini juga dimanfaatkan oleh warga untuk bernegosiasi. Warga yang tergabung di dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) membuat kontrak politik dengan pasangan calon gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Isi kontrak setidaknya memuat lima poin, yakni: penataan perkampungan, legalisasi lahan perkampungan, hunian terjangkau untuk rakyat miskin, izin usaha untuk PKL, dan alih profesi pengayuh becak. Suara warga kampung kota Jakarta akhirnya memuluskan jalan paslon ini melenggang sebagai pemenang Pilgub dengan perolehan 52% suara. Saya mendarat di salah satu kampung kota dalam situasi ini, bukan karena politik tetapi akibat ulah kesenian. JRMK adalah salah satu aktor dalam membuat ulah ini bersekongkol dengan Institut ruangrupa dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ketiganya bekerja sama mengundang beberapa kurator untuk terlibat dalam program ‘Kelas Kurator Kampung’. Program ini dapat dibayangkan sebagai kritik terhadap apa yang diistilahkan Gugun Muhammad selaku pentolan UPC/JRMK sebagai seni ‘tabrak lari’. Disebut seni ‘tabrak lari’ karena seringkali, seniman, kurator, atau pekerja budaya datang ke kampung kota (terutama ke Kampung Tongkol, tempat Mas Gugun tinggal) membawa ide proyek seni ini-itu, lantas pergi begitu saja setelah proyeknya selesai. Warga dan kampung kota hanya menjadi latar eksotis yang memperkaya konsep karya sang seniman, sementara sang seniman mendapat banyak apresiasi atas apa yang telah dibuatnya secara “partisipatif” bersama “rakyat miskin kota”. Hal tersebut yang melatari gagasan tentang perlunya orang yang berperan semacam kurator di setiap kampung yang dapat bersikap kritis terhadap mereka yang datang menawarkan seni ini-itu, agar proyek-proyek yang datang juga sesuai kebutuhan dan memberikan keuntungan bagi kampungnya.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

2


Kurasi dan Kuasa 4.0: Kekuratoran dalam Medan Kampung Kota di Jakarta

Peserta dalam program pelatihan kurator kampung ini merupakan bagian dari JRMK yang merupakan kelompok kerja dari NGO Urban Poor Consortium. Kemudian, Institut ruangrupa dan Dewan Kesenian Jakarta mengajak beberapa kurator mudah dari Jakarta, Jatiwangi, Surabaya, dan Semarang untuk terlibat dan berperan sebagai mitra belajar para peserta. Secara garis besar kelas ini terbagi dalam dua tahap; Pertama, tahap observasi di mana keluarannya adalah menjodohkan kurator undangan dengan kurator kampung. Tahap kedua, dilaksanakan setahun kemudian—adalah tahapan produksi alias membuat kegiatan bersama. Setelah melewati tahapan observasi—yang lebih terasa seperti tamasya—di kampung-kampung kota Jakarta Utara, saya ternyata berjodoh dengan Kampung Kerang Ijo di Muara Angke. Di sana saya bermitra dengan Pak Ratono aktivis JRMK wilayah Muara Angke yang dikenal sebagai sekretaris RT dan penyair khusus demonstrasi. Pak Ratono baru saja mengenal istilah kurator pada saat kelas ini dimulai, dari cara ia memperkenalkan saya kepada rekan-rekannya yang hobi membuat kerajinan tangan. Tampak bahwa kurator baginya adalah orang yang akan membawa karya buah tanganmu menemukan haribaannya; menjadi terkenal dan laku di pasaran. Menarik sekali, ternyata pemahamannya tentang definisi kurator tak jauh berbeda dengan makelar—peran yang sebetulnya juga mafhum dilakukan kurator dalam dunia seni rupa kontemporer. Sekalipun asumsi ini didasari karena saya dianggap sebagai orang DKJ, institusi seni yang dalam bayangan Pak Ratono tercitrakan mapan dan siap mengorbitkan bakat-bakat seni dari pinggiran Jakarta. Dalam perjalanannya, cakupan wilayah kerja kami diperlebar menjadi wilayah RW 22 yang meliputi empat kampung; Kampung Kerang Ijo, Kampung Tembok Bolong, Blok Eceng dan Blok Empang. Alasannya karena Pak Ratono ingin mengakomodasi bakatbakat seni yang ada di empat kampung tersebut, yang ternyata memiliki latar belakang historis yang sama.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

3


Kurasi dan Kuasa 4.0: Kekuratoran dalam Medan Kampung Kota di Jakarta

Negosiasi Politik Kurator Kampung Saya tertarik mencermati proses kerja ‘kelas kurator kampung’ ini setidaknya melalui dua hal. Pertama tentang entitas kurator dalam konteks kampung kota. Kedua, mengenai bentuk kerja-kerja kuratorial yang menyertainya. Dalam skena kampung kota Jakarta, saya merasa kurator bukanlah satu entitas baru yang harus diperkenalkan apalagi diberi makna baru dari definisi yang telah ada. Kita hanya perlu memasang radar untuk mendeteksi peran-peran warga yang mendekati apa yang dibayangkan sebagai praktik kuratorial dalam konteks ruang sosial ini. Praktik-praktik kuratorial sebetulnya sudah menubuh di aktor-aktor warga yang hampir dapat dipastikan ada di tiap kampung. Kurator kampung adalah mereka yang sejatinya memiliki kecintaan mendalam akan ruang hidupnya, semacam bentuk nasionalisme dalam cakupan paling kecil. Potensi ini terdapat di dalam berbagai sosok, dari mulai sesepuh, aktivis kampung, aparatus desa atau kelurahan, ketua karang taruna, ketua paguyuban, sanggar atau kelompok nelayan, Ibu PKK dan lain sebagainya. Sosok-sosok seperti Mas Gugun di Kampung Tongkol, Pak Rasdullah di Kampung Kolong Tol, Pak Bahrun di Kampung Muka adalah aktor-aktor yang telah melakoni praktek-praktek kuratorial ala kampung kota. Mereka—dengan cara dan sejarah masing-masing—tengah memenuhi prasyarat ideal sebagai kurator kampung ; memiliki jaringan lokal yang kuat dan luas, mampu mengorganisir dan mengelola berbagai kepentingan warga, cakap dalam bernegosiasi dan paham konteks sosio-politik wilayahnya masing-masing. Kurator-kurator ini menjadi semacam pengendali dinamika sosial dan politik lokal. Mereka memiliki daya tawar secara politis baik terhadap warga, pemerintah atau pihak di luar ekosistem kampung. Sebagai seseorang yang begitu terikat dengan ruang sosialnya, sulit sekali membayangkan para kurator ini membuat sesuatu yang tidak terhubung dan tidak memiliki fungsi praktis bagi kesehariannya. Praktiknya akan

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

4


Kurasi dan Kuasa 4.0: Kekuratoran dalam Medan Kampung Kota di Jakarta

cenderung terkait dengan persoalan hajat hidup orang banyak. Negosiasinya yang konkret dan menyentuh lapisan struktural seperti kontrak politik yang saya sebutkan di awal merupakan salah satu bentuk translasi dari kerja-kerja kuratorial ala kampung kota. Tak heran, JRMK begitu berpengaruh dan aktivisnya tersebar di seluruh kampung kota Jakarta, plus begitu militan. Ketika saya berproses di Blok Empang (istilah lokal untuk wilayah RW 22), warga bersama JRMK sedang sibuk membuat pemetaan kampung secara mandiri didampingi oleh Rujak Center for Urban Studies sebagai bentuk inisiatif merealisasikan program Community Action Plan, sebuah program yang menjadi jawaban atas janji Anies untuk merealisasikan apa yang tertuang di dalam kontrak politik.

Negosiasi Estetis nan Temporer Ketika persoalan-persoalan terkait kepastian ruang hidup, visibilitas, hak-hak sebagai warga, dan apa saja yang konkret terkait kepentingan kolektif telah dapat diorganisir oleh para kurator kampung ini, lantas proposisi apa yang coba ditawarkan kami selaku kurator tamu. Pertanyaan yang—sejujurnya— baru saya insyafi saat menulis catatan ini, membawa saya untuk menelusuri praktik saya sebagai seniman dan kurator selama ini serta merefleksikan apa yang telah saya lakukan di Blok Empang. Mengapa saya selalu tertarik untuk menawarkan imajinasi terhadap bentuk tindakan kolektif yang lain, yang seringnya memang belum menjadi bagian dari keseharian warga. Beberapa praktik saya di Jatiwangi - Majalengka, tempat saya tinggal dan berkarya, memilih bentuk ritual, performans, yang dengan sengaja menciptakan sebuah pengalaman bersama banyak tubuh terhadap hal-hal yang tidak dibayangkan di dalam rutinitas keseharian. Apa yang saya lakukan di Blok Empang; peristiwa “Arak Perahu” yang diselenggarakan sekaligus memeriahkan HUT RI Ke- 73, ternyata memiliki

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

5


Kurasi dan Kuasa 4.0: Kekuratoran dalam Medan Kampung Kota di Jakarta

pola yang sama. Dalam kegiatan ini kami mengarak sebuah perahu yang kami tasbihkan sebagai artefak budaya sekaligus menjadi monumen sejarah kampung-kampung di wilayah Blok Empang. Perahu ini diambil dari dasar rawa di Kampung Kerang Ijo. Bangkai perahu ini kemudian dilukis oleh para nelayan penangkap kerang yang terbiasa menghias perahu masing-masing dengan memuat linimasa sejarah terbentuknya kampung-kampung di wilayah Blok Empang. Dimulai dengan gambar sosok Pak Arpani, seorang pendiri kampung, yang pada sekitar tahun 70-an menjadi orang pertama yang datang ke wilayah Muara Angke yang kala itu masih berupa rawa penuh buaya. Kala itu, Ia membuat patok-patok, menguruk wilayah pinggiran laut, hingga kemudian menjadi perkampungan seperti saat ini. Di lukisan perahu, Pak Arpani digambarkan sedang menguruk laut menggunakan tongkatnya. Sekilas terkesan seperti Nabi Musa yang membelah laut merah hingga kemudian terbentuk peradaban Yahudi. Pak Arpani yang paska kontrak politik dengan Gubernur menjabat sebagai Ketua RW 22, menjadi simpul pemersatu. Sosoknya yang kharismatik membuatnya diposisikan layaknya tetua adat. Prosesi pengarakan perahu diawali oleh upacara bendera bersama dan proses penginstalan perahu dengan berbagai peralatan menyelam oleh para nelayan. Berbagai elemen warga seperti; Karang Taruna, Kelompok Nelayan Gentak, Padepokan Silat Pak Arpani, Para Ketua RT dan warga lainnya terlihat ikut menggotong perahu secara bergantian melewati gang-gang sempit kampung, beberapa bertugas memastikan perahu tidak tersangkut kabel listrik yang malang-melintang bak sarang laba-laba. Perahu ini kemudian disimpan di depan Kantor RW 22, tempat Pak Arpani bertugas dan menggelar latihan pencak silat. Kegiatan Arak Perahu ini ditutup dengan lomba karaoke yang diinisiasi oleh kolektif Cut n Rescue. Mereka membuat karaoke set dan layar tancap di atas perahu yang terparkir di empang tempat kami menemukan artefak perahu. Klab dangdut dadakan yang diberi tajuk Kampung Kerang Karaoke Club ini sesaat melayangkan pijakan kami dari realitas kampung

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

6


Kurasi dan Kuasa 4.0: Kekuratoran dalam Medan Kampung Kota di Jakarta

kota yang kompleks. Menghanyutkan ketegangan melalui nada dan irama nan semenjana. Perahu tersebut menjadi simbol dari sejarah kampung, yang penting untuk dimonumenkan sebagai pertanda bagi sebuah situs kultural. Peristiwa mengarak perahu, dibayangkan sebagai bagian kecil dari usaha menegosiasikan wilayah ini sebagai sebuah wilayah budaya. Menjadi medium untuk mengimajinasikan kembali sejarah lokal sebagai ikatan bersama warga empat kampung di Blok Empang yang begitu majemuk dan rentan terpecah-belah, di antaranya karena banyaknya kelompok-kelompok masyarakat berlatar belakang etnis, politik dan profesi yang saling berkontestasi.

Imajinasi dan Subjektivitas Kerja kuratorial yang saya lakukan, sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para kurator kampung. Kerja para kurator kampung merupakan hal yang urgensinya pasti dan harus segera disepakati oleh warga, sementara apa yang saya lakukan sangat bergantung pada momentum kesepakatan yang tercipta oleh tegangan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif. Warga bisa sepakat dan bisa tidak sepakat. Karenanya, sekalipun para tokoh di Blok Empang seperti Pak Bani dan Pak Munarto membayangkan bahwa “Tradisi Arak Perahu” ini dapat benar-benar menjadi tradisi baru dari Muara Angke yang akan memperkuat posisi tawar wilayah ini sebagai situs budaya, saya sadar betul bahwa peristiwa seperti ini hanya bisa terjadi berdasarkan sebuah kesepakatan yang sifatnya sementara. Momentum kesepakatan ini diciptakan melalui narasi bersama yang melekat pada ruang serta negosiasi dengan banyak pihak. Jujur saja, waktu luang untuk riset, menemui banyak pihak, mengatur kebutuhan teknis dan material, jika dilakukan di dalam waktu yang terus menerus merupakan sebuah privilese. Maksudnya, jika kita membayangkan

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

7


Kurasi dan Kuasa 4.0: Kekuratoran dalam Medan Kampung Kota di Jakarta

hal tersebut adalah tugas utama seorang kurator kampung, ia harus mengesampingkan kebutuhan lain seperti bekerja mencari uang dan kompleksitas hidup yang lain. Tidak heran, proyek-proyek ‘mengorganisir’ atau saya menyebutnya ‘momentum kesepakatan’ yang telah diawali oleh kami para kurator pendamping, memang tidak bisa lanjut menjadi kegiatan rutin. Menjadi istiqomah perlu dimaknai sebagai visi bukan kenyataan material. Namun, bagi saya pribadi, memang bukan kemampuan mengorganisir peristiwa secara rutin yang menjadi tujuan bagi kelas-kelas seperti ini. Kita tidak sedang menyiapkan seorang kurator yang dibayangkan sebagai organisator tetap di kampung-kampung. Bagi saya, kepekaan terhadap apa-apa saja yang bisa dilakukan oleh tubuh-tubuh yang banyak di dalam situasi kebersamaan, di dalam situasi kesepakatan, adalah hal yang menjadi tujuan dari kelas seperti ini. Apa yang kurator pendamping lakukan, mengajak para kurator kampung mengalami secara langsung momen kesepakatan yang melibatkan tidak hanya perasaan ‘kedaruratan’ namun juga berbagai bentuk perasaan lain seperti kegembiraan, kebanggaan, dan ragam lainnya, semacam memperluas pandangan dan rujukan terhadap potensi artikulasi jenis-jenis tindakan kolektif yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kampung.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

8


Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages

Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages Ismal Muntaha

W

e may be able to make a long list of stereotypes of urban villages in Jakarta. These stereotypes derive from the thought that those who live in the settlements were the population surplus caused by urbanization, in other words: not native Jakartans. I remember a video in 1971 where Ali Sadikin, the governor of Jakarta at the time, was doing blusukan (handson operation) on the streets while asking “Where’s your ID?” to people he encountered. Those who are not considered native Jakartans are deemed parasites for the capital city, urban villagers included. They are considered a burden because they either have no decent home or always choose the wrong places to live. Inevitably, these “parasites” become one of the reasons for “purging,” also known as relocation. However, the logic of parasites is thrown out the window when election days come. Marginalized areas become main

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

9


Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages

sources for votes. At the time of counting votes in the election for governor of Jakarta in 2017, there were 2.181.147 legal ballots from North and West Jakarta, which are the main urban village distribution area. Fortunately, this practical political moments were also made use by the locals to negotiate. The local residents who join Jaringan Rakyat Miskin Kota (Urban Poor People Network) or JRMK made political contract with candidates Anies Baswedan-Sandiaga Uno. This contract contained at least five points: village arrangement, land legalization, affordable living spaces for the poor, business permit for street vendors, and job transfer for pedicab drivers. The votes from urban villagers in Jakarta paved the way for these candidates to win the election, with 52 percent of votes. I was “stranded” in this place in this situation, because of art. JRMK played one important role in this situation, conspiring with ruangrupa Institute and Jakarta Arts Council (DKJ), to invite several curators to get involved with a project called Kelas Kurator Kampung (Urban Village Curator Class), a project that was often pictured as criticism towards “hit-and-run” art, a term coined by Mr. Gugun, one of prominent figures from UPC/JRMK. More often than not, people visit an urban village (mostly to Kampung Tongkol, where Mr. Gugun lives) with plans of project so-and-so, and then just leave when the said projects are done. Local residents are merely treated as exotic background to enrich the artwork concept of the artist, while the artist himself is showered with appreciation for the work he made “in participatory manner” with “the poor urbans.” This particular case underlies the importance of people who serve as curator in every settlement, so that they can be critical towards anybody who comes and offers this-and-that art project, and so that the upcoming projects may also be according to their needs and beneficial to the settlement. Of course, these urban village curators were parts of JRMK, the frontmen of mass organizations which are the workgroups from Urban Poor Consortium. The invited curators were asked to become study partners to the future urban village curators.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

10


Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages

In general, this class was divided into two stages: First is observation stage where the output was pairing invited curators with urban village curators. Second stage—being held a year afterwards—was production stage, namely, conducting events together. After finishing observation stage—which felt more like a sightseeing—in urban villages in North Jakarta, I was appointed to Kampung Kerang Ijo in Muara Angke, paired with Mr. Ratono. He is a JRMK activist in Muara Angke area, and known as the secretary for Neighborhood Association (RT) and poet specialized in demonstrations. From the way he introduced curator to his colleagues who dabble in arts and crafts, I realized he had just known the term for the first time as this class started. It seemed to him that a curator was someone who would take your craftworks to where they belong: being famous and selling well. This is interesting, as his understanding on the definition of curator was not much different from a broker—a role that is also commonly done by curators in the sphere of contemporary arts. This assumption also arose because I was regarded staff from DKJ, an art institution which he thought was an established community and prepared to launch art talents from the streets of Jakarta. As the class progressed, we expanded the scope of our work area to Citizens Association (RW) No. 22 which covered four villages: Kampung Kerang Ijo, Kampung Tembok Bolong, Blok Eceng, and Blok Empang. We did the expansion because Mr. Ratono wanted to accommodate art talents in these four villages, which apparently shared the same historical background.

The Political Negotiation of Urban Village Curators I was highly interested in observing the process of Urban Village Curator Class through at least two things: First, regarding the curator as an entity in the context of urban village. Second, regarding the accompanying curatorial works. At the scene of urban villages in Jakarta, I sense that a curator is not a new entity that needs to be introduced, let alone given new meanings from

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

11


Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages

the pre-existing definition. All we have to do is put up the radar to detect roles of the locals which are approximately close to curatorial practices in the context of this social space. Curatorial practices themselves have been attached to the prominent locals in every settlement. Indeed, urban village curators are those who truly value their living spaces, like some kind of nationalism in the smallest scale. This potential may come from various figures, such as elderly figure, local activist, apparatus in the village or sub district, head of youth organization, head of paguyuban, studio, or fishermen group, women of Family Welfare Program (PKK), et cetera. Prominent figures like Mr. Gugun from Kampung Tongkol, Mr. Rasdullah from Kampung Kolong Tol, and Mr. Bahrun from Kampung Muka are actors who have been doing curatorial practices a la urban villages. With their own methods and history, they have been meeting ideal prerequisites as urban village curators; they have strong and vast local networks, they are capable of organizing and maintaining the residents’ needs, they are good at negotiating, and they also understand the socio-political context of their own areas. It is safe to say that these curators control the dynamics of local socio-politics. They possess bargaining power politically either towards the residents, government, or the party outside the ecosystem of the settlements. As people who are so tied to their social spaces, it would be quite difficult to imagine these curators making something completely unrelated and not possessing practical function to their daily lives. The practices would tend to be connected to larger quantity of people. Concrete negotiations that touch structural layers such as the political contract mentioned earlier are one of the renderings of curatorial works a la urban villages. It is no wonder that JRMK becomes highly influential, with its activists spread throughout the whole urban villages in Jakarta, and highly militant. As I was working in Blok Empang (a local term for RW 22), the locals with JRMK were busy mapping the area independently, assisted by Rujak Center for Urban Studies as an initiative to implement Community Action Plan, a program that became the answer for Anies Baswedan’s promise to manifest what was written on the political contract. Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

12


Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages

Aesthetic and Temporary Negotiation As these urban village curators have managed to organize issues related to certainty of living spaces, visibility, rights as citizens, and other concrete issues related to collective interest, then what were the propositions that we, as guest curators, had to offer? This question had just arisen as I was writing this note, and it brought me to trace back my own practices as an artist and curator and reflect my contribution in Blok Empang. I asked myself why I was always interested in offering imaginations to other forms of collective act, which oftentimes have not yet become parts of the daily lives of locals. Some of my practices in Jatiwangi – Majalengka, where I lived and worked, involved rituals and performances, which were deliberately creating experiences on things unimaginable in daily routine. What I did in Blok Empang, the event of Arak Perahu (Boat Parade), which was also conducted to celebrate the 73rd Independence day of Indonesia, apparently had the same patterns. In this event, we carried a boat ordained as cultural artifact as well as historical monument for the villages in Blok Empang area. This boat was taken from the bottom of a swamp at Kampung Kerang Ijo. This boat wreck was later painted by mussel fishermen who made a habit of decorating their boats to form a historical timeline of the villages in Blok Empang. Starting with the painting of Mr. Arpani, the founder of the village, who became the first person in the 1970s to came to Muara Angke, that was still a swamp full of crocodile that time. He put up pegs and filled the shore, which resulted in villages as we see today. In the painting on the boat, Mr. Arpani was painted filling the shore with his cane. It kind of resembled Moses who split the Red Sea and later formed Jewish civilization. Mr. Arpani, who were assigned leader of RW 22 post-political contract with the governor, became the unifying knot. His charismatic persona made him seen like a traditional elder.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

13


Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages

The boat parade started with a flag ceremony, followed by the fishermen installing the boat with diving equipment. Various elements of the local residents, such as Karang Taruna (the youth organization), Gentak fishermen group, Mr. Arpani’s silat community, leaders of Neighborhood Association, along with other locals took turn carrying the boat through the narrow alleyways. Some of them were making sure that the boat did not get caught in the messy cable lines. Later, the boat was kept in front of RW 22 office, where Mr. Arpani worked and conducted silat practices. This event ended with karaoke competition initiated by Cut n Rescue collective group. They built a simple karaoke set and a screen in the boat parked by the pond where we collect the boat wreck. For a moment, this pop-up dangdut club called Kampung Kerang Karaoke Club took us away from the complex reality of urban villages. Tension was washed away through the mediocre music. The boat wreck constitutes a symbol of the history of the village, which makes it important to make it a landmark of cultural site. The boat parade is imagined as a small part of an effort to negotiate this certain area as a cultural region. It becomes a medium to reimagine local history as bringing together four urban villages in Blok Empang that are so complex and prone to feud, partly because these villages derive from community groups with ethnical, political, and professional backgrounds who are often at odds with each other.

Imagination and Subjectivity The curatorial works I have been doing are completely different from the works of those urban village curators. Their works are more urgent and must be agreed upon by the local residents, while my own practice very much depends on the agreement built on tension between individual and collective interest. The residents might agree or not. Therefore, even if the figures

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

14


Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages

of Blok Empang like Mr. Bani or Mr. Munarto imagine that Arak Perahu could really be a new tradition of Muara Angke which might reinforce the bargaining power of this area as a new cultural site, I am fully aware that such imagination could be manifested based upon temporary agreement. This momentum of agreement was created through shared narrative attached to the space, and negotiation with several parties. To be honest, the time needed for research, meeting with various figures, organizing technical and material needs, if done continuously, is a privilege. If we imagine such activities as the main job description of an urban village curator, he/she has to put his/her needs aside, such as earning money for daily needs or other life complexities. It is therefore no wonder that the “organizing” project (or “momentum of agreement,” as I would like to call it) that we, as co-curators, initiated can not be put into a regular activity. Istiqomah, or consistency, needs to be defined as a vision rather than material reality. However, for me personally, it is not the regular organizational skills that becomes the main purpose of classes such as this one. We are not preparing a curator to be a permanent organizer in each village. I think the main purpose of this class is the awareness of things that can be done by a group of people in a togetherness and agreement situation. We as co-curators invite the urban village curators to experience a momentum of agreement which involves not only a sense of “urgency,” but also other forms of emotion, such as joy, pride, et cetera, to expand the view and reference towards any potential to articulate collective actions that can be adjusted to the needs of each villages.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

15


Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta


Curation and Power 4.0: Curatorial in Jakarta’s Urban Villages

17


Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta


Dua Wajah Kampung Muka Ahmad Khairudin

T

ak banyak yang tahu kalau Alexis yang viral dan pernah hits itu ada di Kampung Muka.

Menariknya meskipun dekat dengan tempat yang ditasbihkan sebagai ladang maksiat itu banyak organisasi keagamaan yang aktif di kampung yang terletak di Kelurahan Ancol, Jakarta ini. Tak heran waktu mendapat kesempatan untuk mengelaborasi kampung untuk kepentingan program kuratorial Dewan Kesenian Jakarta dan Institut ruangrupa ini inisiatif yang muncul dari Ketua Karang Taruna adalah membuat tabligh akbar. Adalah Dadan, anak muda ketua karang taruna Kampung Muka yang begitu bersemangat untuk mengembangkan kampung. Dikenalkan oleh Ketua RW 4, Pak Bahrun, Dadan dan teman-temannya tak hanya jadi panitia dalam tujuh belasan tetapi juga menginisiasi pengecatan kampung, membentuk kelompok perkusi dan lain-lain.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

19


Dua Wajah Kampung Muka

Bahan bakar untuk melakukan kerja kreatif sebetulnya sudah tersedia dari obrolan beberapa kali dengan Pak Bahrun, Dadan, Adit, dan Budi. Pikiran yang mulanya mentok di seputaran membuat tabligh akbar berkembang menjadi lebih berwarna. Menariknya meski cukup banyak organisasi religius, minum bir bukan hal yang tabu di antara sesepuh kampung. Hal itu membuat persinggungan antara yang sekuler dan religius itu berlangsung secara cair. Pak Bahrun juga sempat menjelaskan dalam 30 tahun terakhir kampung yang dulunya tempat untuk latihan bercocok tanam transmigran ini berkembang pesat. Banyak lahan yang beralih fungsi menjadi pemukiman misalnya lapangan sepak bola. Secara umum infrastruktur kampung cukup memadai, dapat kita temukan taman, PAUD, pos RT dan pos blok, lapangan sepak bola, lapangan volly dan banyak lagi yang lain. Dengan jumlah penduduk nyaris 10 ribu jiwa Kampung Muka mempunyai potensi kepadatan yang luar biasa dan tidak ada tanda mereka akan berkurang. Sebaliknya makin hari makin bertambah jumlah penduduknya. Tentu saja hal ini akan menjadi potensi baru ke depan yang tidak dikelola dengan baik. Pembacaan sekilas dari aktivitas karang taruna dan warga juga menunjukkan pendekatan fisik dan juga bersifat aktivisme serta kurang akomodatif terhadap kemungkinan lain melihat kampung. Beberapa kali diskusi intens, muncullah ide untuk melakukan pemetaan kapasitas warga terutama remaja dan juga kemungkinan melihat kampung dengan cara lain. Berkeliling di kampung dan menyaksikan perubahan Pak Bahrun memunculkan gagasan untuk melihat ulang perkembangan kampung. “Wajah Kampung Muka” begitulah judul yang ditawarkan oleh Pak Bahrun demi melihat perubahan masa ke masa kampung. Ia juga menyadari potensi kerawanan wilayah karena aktivisme tawuran remaja, penyalahgunaan obat dan lain-lain bisa

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

20


Dua Wajah Kampung Muka

merusak kampung. Untuk itu ada kesadaran untuk menyalurkan energi pada hal-hal yang politis. Di kesempatan lain, Pak Bahrun juga memamerkan senjata sitaan dari anak muda yang tawuran. Perubahan cepat itulah yang membuat Pak Bahrun mengajak kembali warga melalui refleksi. Sebelum sampai ke bentuk, kami melakukan elaborasi dulu dengan warga untuk membaca kemungkinan konten yang bisa digali. Kampung dibaca sebagai rimbunan teks yang variatif. Agak berat menampilkan itu semua dari sektor ketersediaan sumber daya manusia. Maka ragam teks dan narasi itu mesti dipilih dan disajikan sesuai kepentingan, begitulah kerja-kerja kuratorial di kampung mendapatkan makna. Mengayakan Pak Bahrun, Adit mengusulkan untuk menampilkan sisi lain dari kampung. Semula Alexis dianggap identik dengan Kampung Muka namun setelah diperiksa ulang jangan-jangan Alexis adalah sisi lain, karena orang tahunya bukan Kampung Muka tapi sebaliknya. Mulailah kita mengelaborasi hal-hal yang tidak terlalu identik atau sisi lain dari Kampung Muka dan juga sisi yang selama ini diketahui banyak orang misalnya kampung padat dan kumuh, ajang tawuran dan lain-lain. Dari keduanya didapat satu tema umum untuk menyatukan narasinya menjadi ‘Dua Wajah Kampung Muka’. Pertama bercerita perubahan ‘wajah’ kampung muka bertahun-tahun lalu dan kedua tentang dua wajah yang saling melengkapi kampung, antara narasi arus utama dan kisah yang tak banyak diketahui semua orang. Langkah selanjutnya yakni menentukan bentuk apa yang akan digunakan untuk mengekspresikan gagasan itu. ada banyak pilihan berdasar resource yang dimiliki Kampung Muka misalnya menggunakan mural, lirik lagu, komik, dan lain-lain yang potensinya masih dipetakan. Tidak ada petunjuk memadai mengenai apa yang harus dilakukan kerja-kerja kurator kolaboratif semacam ini. DKJ sebagai penyelenggara tidak membekali framework yang rigid mengenai apa yang harus dilakukan dan kebanyakan

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

21


Dua Wajah Kampung Muka

pameran seni rupa juga menggunakan ruang yang lebih steril, katakanlah galeri, gedung kesenian, atau taman budaya. Sejauh yang saya pahami, DKJ membebaskan beragam pendekatan berdasar pengalaman masing-masing kurator. Memang ada banyak disebut tentang seni partisipatif, seni terlibat, seni pencerahan dan lain-lain. Membicarakan ide ini yang dirujuk paling banyak adalah Moelyono. Posisi Yogyakarta sebagai salah satu sentrum seni rupa menjadikan fenomena seperti ini gampang dicatat sehingga bentuk-bentuk yang muncul berikutnya selalu dirujuk pada fenomena sebelumnya. Kategori-kategori itu nyatanya sering tidak tepat. Ada jarak pengetahuan dan kultur yang berbeda ketika praktik-praktik itu diamalkan di kota lain. Tapi sistem kategori yang selalu merujuk pada praktik yang sudah ada dianggap cukup memadai menggambarkan fenomena lain. Pun yang terjadi di Semarang maupun proyek kuratorial kampung di DKJ. Kalau sudah begitu mana ada kebaruan karena kompleksitas tidak dilihat alih-alih menawarkan gagasan lain. Tapi benarkah demikian? Justru menariknya dari project ini adalah masing-masing peserta bisa bereksperimen. Istilah art project, seni publik, atau seni terlibat tentu bukan hal yang benar-benar baru jika hanya merujuk bentuk tapi juga melihat fenomena itu tidak hanya peristiwa visual tetapi juga peristiwa antropologis saya rasa bisa memberikan perspektif yang lebih segar. Seperti halnya kampung-kampung lain, para warga di Kampung Muka sangat senang masuknya anasir baru di kampung mereka. Ada kesempatan melihat kampung dalam bentuk berbeda dari biasanya. Karena saking dekatnya mereka dengan kampung membuat situs ini tak lagi menarik. Kemacetan imajinasi ini berdasar pengalaman mengorganisir acara kampung bisa dilicinkan dengan pantikan-pantikan dari luar tak terkecuali tim DKJ dengan para kuratornya yang bekerja sama dengan warga. Setelah serangkaian pertemuan, identifikasi isu dan aktor membuat tim yang bekerja di Kampung

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

22


Dua Wajah Kampung Muka

Muka memilih isu refleksi kampung seperti yang saya sebutkan sebelumnya di atas. Peta aktor itu tak selamanya memberikan calon-calon aktor yang bekerja maksimal. Justru dalam perjalanannya muncul nama-nama baru yang selama ini di kampung tidak terlalu aktif. Kesempatan ini bagi saya sungguh berharga karena di tengah kejumudan pembangunan yang berorientasi fisik atau menghasilkan kegiatan perekonomian, program kurator kampung memberi cara pandang lain melihat realitas. Imajinasi dipantik lagi dan sulur-sulur solidaritas dijalin ulang. Menguji kemandirian dan ketajaman isu, saya sempat mengusulkan bagaimana jika event ini dilakukan tidak pada saat tujuh belas agustusan karena perayaan ini sudah cukup lazim dan kurang menantang. Tapi banyak remaja yang keberatan karena takutnya warga merasa lelah dan tidak punya momentum. Justru momentum itu penting diciptakan jika kita mau tekun mencari terobosan baru. Kemacetan perayaan ini tidak hanya bentuknya yang seremonial, monoton tetapi juga kehilangan konteks pada isu-isu yang relevan. Tidak ada lagi perbicangan yang lebih kultural mengenai masa depan kampung, warga tergesa-gesa mencari solusi, dan setiap program mesti menghasilkan ekonomi. Makanya tak jarang pelatihan ini itu selalu orientasinya menghasilkan produk sekali jadi dan diharapkan laku. Padahal kita tahu bisnis tidak dibangun seketika. Makanya tak jarang solusi singkat begini ujung-ujungnya adalah sekedar ada. Padahal ada kemungkinan lain melihat realitas dan menghidupkan imajinasi. Proyek waktu luang seperti ini ditawarkan dalam program kurator kampung. Sayangnya tidak mudah untuk merawat (maintenance) semangat ini. Kerjasama simultan antara kampung dan pihak luar mestinya diperbanyak. Pasca program komunikasi dengan kampung juga masih dilakukan namun intensitasnya berkurang. Saya memasukkan perwakilan kampung dalam grup kampung yang selama ini menjadi jejaring Hysteria dan sempat menawari akomodasi mereka untuk datang ke Semarang untuk berbagi dan

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

23


Dua Wajah Kampung Muka

menyaksikan fenomena kampung lain. Namun apa lacur keterbatasan ini itu membuat program ini terhenti di ide saja. Padahal penting bagi fasilitator tidak hanya membantu mengarahkan tetapi juga mengayakan referensi mereka atas kemungkinan-kemungkinan lain di luar kampung mereka. Kampung Muka yang letaknya di daerah urban tentu psikografisnya sangat berbeda dengan kampung rural. Hambatan dan potensi tentu saja beda. Kesempatan-kesempatan seperti inilah yang menurutku perlu diperbanyak. Selain itu persoalan kelembagaan juga perlu dirawat terus-menerus. Tak jarang kita saksikan anak muda yang putus asa karena tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi. Makanya memperbanyak referensi menjadi mutlak, dan berbeda dengan pendekatan SDGs yang salah satu indikatornya kemandirian kampung atau situs tertentu, bagi saya penting untuk mengakumulasi jaringan, bukan memutusnya setelah satu kampung dirasa aktif. Kesadaran berjejaring dan membuatnya menjadi satu kekuatan politik adalah satu langkah lebih lanjut dalam seni-seni partisipatif yang sifatnya semacam ini. Karena seringkali pelibatan warga sebagai pengepul data (entah apapun bentuk keterlibatannya) tidak dibarengi dengan distribusi power menentukan nasib mereka sendiri. Ada kendala birokratif dan regulatif yang mestinya diatasi jika kita membayangkan kesenian yang kita tekuni bisa memberikan dampak. Dan hal ini secara menarik dirintis DKJ yang membuat program kampung ini terlaksana terlepas kendala-kendala kecil yang menyertainya. Kendala lain yang saya temui dengan Gesyada yakni terkait keterbatasan dana dan pelibatan seniman. Paska dipopulerkannya kampung warna-warni, imajinasi paling dominan di warga kampung untuk mempercantik kampung perlu dimural. Hal ini bahkan seolah menjadi template bagi warga jika ada seniman yang berusaha masuk kampung padahal pilihan bentuk representasi bisa bermacam-macam namun karena budaya latah dan kemiskinan imajinasi membuat orang untuk mengekor apa yang sudah ada. Biasanya dikatakan bahwa kita sedang belajar dan sah untuk melakukan peniruan. Tapi bukan itu

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

24


Dua Wajah Kampung Muka

intinya karena spiritnya bukan kemandirian lagi tetapi sekedar beautifikasi kampung semata. Seniman sendiri juga sering terjebak dalam dilema ini karena di kepala warga jadi seniman ya bisa menggambar padahal kita tahu dalam seni kontemporer berkarya tidak hanya menggunakan dua dimensi tetapi bisa menggunakan medium yang lain. Namun karena hal ini tidak dielaborasi lebih dalam (yang lagi-lagi terkait kendala waktu) berkesenian tidak lagi memberikan pencerahan. Inilah sumber kejumudan bagi berbagai disiplin ilmu lain karena masing-masing berkutat pada dunianya sendiri. Melalui kesenian tabu-tabu bisa diungkap lebih mudah dan menjadi sarana pertemuan pihak-pihak terkait dan mereduksi potensi konflik yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Meskipun proyeknya sendiri berjangka pendek, kami berharap bisa memberikan satu imajinasi yang berbeda di kampung dari kejadian yang sebelumnya dianggap biasa-biasa saja.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

25


The Two Faces of Kampung Muka

The Two Faces of Kampung Muka Ahmad Khairudin

N

ot many people know that the infamous Alexis hotel is located in Kampung Muka.

Interestingly, despite the fact that this place is crowned as a den of sin, there are a considerable amount of active religious organizations in the urban village in Ancol, Jakarta. Therefore, it is no wonder that when they had an opportunity to elaborate the town for curatorial purposes with Jakarta Arts Council (DKJ) and Institut ruangrupa, the first thing that came to mind of the head of Youth Organization was Tabligh Akbar. Dadan was the head of the Youth Organization in Kampung Muka, and he was highly enthusiastic about developing his settlement. Introduced by the leader of RW 4, Mr. Bahrun, Dadan, and his friends were not only in charge of the celebration of independence day, but they also initiate mural projects,

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

26


The Two Faces of Kampung Muka

percussion groups, and many other activities. The fuel to ignite creative works have been available from our conversations with Mr. Bahrun, Dadan, Adit, and Budi. Ideas began to flow as previously they were stuck with Tabligh Akbar. Interestingly, seeing the elders drinking beer was not considered taboo, although there were religious organizations there. It also made flexible the interaction between secular and religious groups. Mr. Bahrun also told me that this village, which was once a place for transmigrant farming training, has overgrown. Several areas were turned into settlements and a soccer field. In general, this village had sufficient infrastructure. There we could find a park, playgroup, guardhouses, soccer field, volleyball field, and many other things. With a population of nearly ten thousand people, Kampung Muka has high-density potential with no signs of decrease. On the contrary, the numbers keep adding up. Of course, it would be another potential that will not be treated well in the future. A glimpse observation of the Youth Organization activities and the citizens showed physical activism approach that did not give enough accommodation for other possibilities. After several intense discussions, an idea emerged to conduct a mapping of the citizen’s capacity, particularly the youth, and the chances to see the village from other viewpoints. We toured the kampung and saw the changes around it, and afterward, Mr. Bahrun had an idea to revisit the kampung changes. “The Faces of Kampung Muka” was his proposed title to see its development from time to time. He was also aware of the potential danger caused by the teenage brawl, drug use, etc., that could damage the village. Therefore, he wanted to channel the energy for political activities. On other occasions, Mr. Bahrun also showed me confiscated weapons from previous brawls. This rapid change motivated him to invite citizens to reflect on their settlement.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

27


The Two Faces of Kampung Muka

Before arriving in the form, we elaborated with the local citizens to see possible contents that could be extracted. An urban village was seen as varied texts. It would be quite difficult to display all of the readers, considering the availability of human resources. We decided that the narrative and texts must be selected and displayed according to needs, which was a core curatorial work. To enrich Mr. Bahrun’s original idea, Adit proposed to show the other side of the village. Alexis was previously attached to Kampung Muka, but if we explored it further, it was possible that Alexis was on the other side because people know Alexis first and not the other way around. We started elaborating on the sides of Kampung Muka, both unknown and known, such as its density and brawl incidents. From there, we had one general theme that united the narratives into Dua Wajah Kampung Muka (The Two Faces of Kampung Muka). It told the story of the changes of its ‘face’ throughout the years and the two kampung’s faces that complemented each other, between the known and unknown narratives. The next step was deciding the form to express the idea. Several options were based upon the available resources in Kampung Muka, such as a mural, song lyrics, comics, and other potentials. There was no sufficient direction as to what needed to be done by such collaborative curatorial practices. DKJ, as the organizer, did not set up a rigid framework, and most art exhibitions also occupy much more sterile spaces, like galleries, art buildings, or cultural parks. As far as I understood, DKJ made way for various approaches based upon each curator’s experiences. Indeed, we had heard participatory art, engaging art, and enlightenment art was mentioned quite a lot. We referred a lot to Moelyono as we were discussing this idea. As one of the fine arts centers, Yogyakarta makes this kind of phenomenon easier to note so that future phenomenons will always be referred to the previous ones. These categories were often not accurate. There are gap between knowledge and culture when these practices are

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

28


The Two Faces of Kampung Muka

implemented in other cities. However, the categories which always refer to existing practices are considered sufficient to illustrate other phenomenons. Similar thing occurred in both in Semarang and urban village curatorial projects from DKJ. Consequently, no new phenomenons are emerging since complexities are dismissed instead of offering new ideas. But is it really the case? What makes this project interesting is that each participant is given freedom to experiment. The terms art project, public art, or engaging art are not exactly new if only refers to form, but when we see a phenomenon as a visual and anthropologic event, I think it will be able to give it a new perspective. As in other villages, the citizens of Kampung Muka were very welcoming towards a new element in their settlement. It could be an opportunity to see the village in another viewpoint, since they’ve been living there too closely for way too long they no longer consider it attractive. Faltering imagination based on their experiences on organizing local events could be facilitated by triggers from the outside, including DKJ with its curators who collaborated with the locals. After several meetings, identification on the subject matter and actor made the team in Kampung Muka decide for reflection on the village as the main theme. Mapping of actor did not always give the candidates of actor who worked hard. It was during the process we had new faces who was not previously active in their own settlement. This is such an invaluable opportunity for me, because in the middle of developments which are physically oriented or resulting in economic activities, urban village curator program offers new perspective on perceiving reality. Imagination is reignited and solidarity is re-woven. To test their independence and sensitivity towards an issue, I once proposed that this event should not be conducted on National Independence Day, as it was too common and less challenging. However, some of the youths refused out of concern that the residents would feel exhausted and lose their

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

29


The Two Faces of Kampung Muka

momentum. In fact, it is important to create a momentum if we eager to find new innovations. The problem with such events is that it is ceremonial, monotone, and lack of context on the relevant issues. No more cultural discussion about the future of the village, the residents were too hasty to seek solutions, and every program was supposed to benefit them economically. Hence, it is not uncommon that programs such as this are always oriented to one-off products that are expected to sell well, whereas we are aware that business cannot be built in one night. In the end, these short-term solutions would seem half-baked. In fact, there are other possibilities in perceiving reality and revive imagination. Urban village curator program offers leisure projects such as this, but it is not easy to maintain the spirit. There should be more simultaneous cooperation between the villages and other parties. We still keep in touch after the program, but the intensity is decreasing. I put a representative from the village in a communication group for Hysteria’s network, and I also invited them to Semarang to share their phenomenon with other villages. However, several obstacles here and there made this program stop at the idea, as facilitators are should not only direct but also enrich their (the locals) references with other possibilities outside their settlement. Kampung Muka, which is located in urban areas, is certainly different from rural villages psychographically, making them deal with different obstacles and potentials. I think we need to increase these kinds of opportunities. We also need to maintain institutional issues constantly. We often see youngsters getting hopeless as they don’t know what else to do. Therefore, it is absolutely necessary to enhance references, and, unlike the approach of SDGs whose main indicator is the independence of certain village or site, I think it is highly important to accumulate networks instead of cutting them off after seeing success in a village. The awareness to network and turn it into a political force is an advanced step in other participatory arts like this one, as local residents’ involvements data collectors (whatever the form of involvement) are often not accompanied with distribution of

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

30


The Two Faces of Kampung Muka

power to determine their own fate. We are supposed to overcome bureaucratic and regulatory issues if we imagine the arts we are devoted to has impact on others. DKJ had the courage to pioneer it and implement this program despite the small problems accompanying it. Other problems that Gesyada and I encountered were related to limited funds and artist involvement. After the popularity of colorful village, most of the locals proposed to have mural project to decorate their own village. It is as if this idea was their template whenever they have visiting artists around, even though we were able to offer various forms of representation. However, latah culture (startle culture) and lack of imagination make people to follow what is already there. it is safe to say that we are learning and therefore it is okay to imitate, but that is not the point, because then the spirit will no longer about independence but merely about beautifying the village. The artists themselves are also often trapped in this dilemma, as the locals consider an artist should be able to draw, whereas we know in contemporary arts we don’t always have to use two-dimensional medium to make artwork. However, since this issue was not elaborated further (due to limited time), art practice no longer served as enlightenment. It is the main source of inactivity of other disciplines as they are only occupied in their own realms. Art has the capacity to expose taboos and serve as meeting point among certain parties, also reduce conflicts that may occur at any moment. Despite the short-term program, we hope that we can provide the village a different imagination when perceiving a seemingly ordinary event.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

31


Catatan Gesya di Kampung Muka Gesyada Siregar

B

aru saja beberapa suap Indomie goreng dilahap Pak Bahrun, teleponnya berdering menginterupsi santapan larut malam ini. Usai menjawab telepon, ia pamit kepada saya. “Sebentar ya, mbak. Biasa ini anak-anak,” katanya. Dengan mulut masih penuh Indomie goreng yang dipesankan Pak Bahrun, saya mengangguk. Pak Bahrun pergi meninggalkan saya di kantor RW yang merangkap markas Karang Taruna RW 004 Kampung Muka pada malam hari dan PAUD pada pagi hari. Saya bersama Adin Mbuh (yang menyusul di kemudian hari) memang menjadi rekan Pak Bahrun untuk menginisiasi kegiatan seni Festival Kampung Kota di wilayah tanggung jawabnya sebagai Ketua RW. Menurutnya, kehadiran kami (sebagai perwakilan Dewan Kesenian Jakarta - agar memudahkan penjelasan secara administratif ke warga sekitar) menjadi “vitamin” untuk

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

32


Catatan Gesya di Kampung Muka

memotivasi anak-anak muda dari Karang Taruna untuk mewujudkan ide-ide mereka agar warga kampung kompak kembali. Bagi saya, sebenarnya kami hanya orang luar yang setidaknya bisa membantu melihat hal lain dari kampung mereka, menaikkan rasa bangga para seniman lokal dan menjadi ‘alasan’ agar intervensi-intervensi baru bisa diterima di wilayah mereka. Namun, saya tidak ingin menjadi orang luar-luar amat. Pada malam pertama mereka membuat projek mural di Kampung Muka, saya menginap di tempat Pak Bahrun, agar bisa mengikuti semalaman dan berkenalan dengan personel Karang Taruna yang mengorganisasi kegiatan ini. Indomie larut malam itu menjadi penghantar kami untuk nongkrong dan membahas apa saja yang bisa kami lakukan di momen festival ini. Para Karang Taruna masih asyik melukis di tembok paling depan jalan menuju Kampung Muka. Tetesan cat dan puntung rokok berceceran di jalan aspal. Satu gambar bisa dikeroyok lima-enam remaja pada malam Minggu itu. Saya duduk memperhatikan mereka sembari menunggu Pak RW. Tak lama, beliau kembali. “Ayo, pak, lanjut lagi Indomie-nya” kata saya. Ia pun duduk dan melanjutkan Indomienya yang sudah dingin. Beberapa suap kemudian, teleponnya berdering lagi. Saya pun langsung menduga, Indomienya pasti akan ditinggalkan lagi. Benar saja. “Mbak, saya pamit lagi, ya” ucapnya - dia harus kembali melerai tawuran remaja di wilayah Kampung Muka. Pesan perdamaian untuk mengurangi tawuran menjadi salah satu isu yang digambarkan anggota Karang Taruna di projek mural ini. Memang pas rasanya, mengingat tembok yang digarap ini adalah garda depan Kampung Muka, pemandangan yang selalu dilihat siapapun yang keluar-masuk wilayah ini. Sebelumnya, Pak Bahrun dan Adin bercerita bahwa mereka sempat memikirkan untuk membuat museum tawuran di kantor RW itu, menggunakan barang-barang sitaan yang terkumpul di sana. Apa dikata,

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

33


Catatan Gesya di Kampung Muka

bersamaan dengan linimasa projek festival ini dimulai, barang-barang tersebut mulai raib. Mungkin digunakan kembali sebagai fungsi aslinya. Persoalan ini tampaknya belum masuk dalam siklus untuk bisa dimuseumkan, dia masih terlalu ‘aktual’. Akhirnya, alih-alih menggarisbawahi masalah tawuran, projek festival ini berkembang untuk menyorot talenta-talenta yang dimiliki anak-anak muda Kampung Muka. Selain projek mural yang menjadi pemantik awal festival ini, rapat-rapat malam kami membuahkan ide untuk membuat pentas kesenian bernama Dua Wajah Kampung Muka pada saat 17 Agustus-an. Sembari menyiapkan rencana untuk festival ini, kegemasan untuk memural tembok-tembok lain di Kampung Muka bergulir. Berhubung karena energi para Karang Taruna keburu habis pada malam pertama mural dan mereka sudah harus membagi fokus pada pengorganisasian festival, kami berpikir untuk mengajak seniman dari luar Kampung Muka agar membuka jejaring baru. Salah satunya, kami mengajak Kolektiv Tankga, yang terdiri dari seniman dan desainer muda yang berbasis di Tebet. Terdapat dua titik krusial di wilayah Kampung Muka yang bagi Pak Bahrun butuh warna-warna baru. Pertama adalah tembok setelah gapura dan kedua adalah tembok besar yang melatar belakangi tempat pembuangan sampah. Titik kedua ini memang krusial, karena secara lokasi, ia berada berdampingan dan berseberangan dengan kantor RW ini, yang menjadi area nongkrong warga dan landmark Kampung Muka. Titik kedua kemudian digarap oleh Kolektiv Tankga yang terbiasa mengerjakan mural berskala besar. Mereka membuat pola yang menggambarkan profil muka dari samping dan pohon, dengan nuansa warna hijau dan biru. Visi Pak Bahrun terwujud, pemandangan dari kantor RW akhirnya tidak lagi hanya segunung sampah yang sumpek, tapi simbol dari Kampung Muka dengan nuansa yang segar.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

34


Catatan Gesya di Kampung Muka

Mural menjadi medium artistik yang dibutuhkan bagi mereka, selain berfungsi sebagai pemanis suasana kampung, anak-anak muda Karang Taruna ini ternyata banyak yang menyukai street art. Dadan, sang ketua Karang Taruna, dengan bangganya bercerita bahwa Bujangan Urban, street artist Jakarta yang terkenal, pernah membuat gambar di area mereka. Untuk membuat mereka semakin bangga dan sebagai woro-woro menuju festival nanti, saya dan Adin mengajak teman-teman Gardu House untuk membuat lokakarya bersama Karang Taruna ini, lengkap dengan kehadiran sang bujangan. Kantor RW pun sesak dengan anak-anak muda sekitar, dan tak lupa, Bujangan Urban pun meninggalkan gambarnya di tembok TPS seberang. Bukan main senangnya mereka; Dadan pun bercerita bahwa acara bersama Gardu House ini sampai membuat Karang Taruna RW lain se-Ancol cemburu! Perubahan wajah kampung ini pun diperhatikan warga yang hilir mudik, yang bahkan mengetahui bahwa beberapa gambar tidak dibuat oleh “anak kampung sini”. Saya dan Adin pun mencoba untuk mendorong lagi beberapa anggota yang memiliki kesenangan menggambar untuk meneruskan projek mural oleh mereka sendiri. Titik yang direncanakan untuk disasar kini adalah gapura. Dalam proses mencari ide akan apa yang bisa dipasang di sana, kami mencoba berdiskusi apa yang diartikan sebagai kemerdekaan bagi mereka, sehingga apa yang ditampilkan menjadi sesuatu yang bisa dihubungkan dengan konteks Kampung Muka. Adit, salah seorang anggota Karang Taruna, langsung melontarkan “Hak akan tanah!” dengan berapi-api. Persoalan hak milik tanah memang menjadi salah satu isu yang panas di Kampung Muka, dengan rentannya penggusuran di area ini. Ide ini kemudian diinterpretasikan dengan gambar tangan yang menggenggam tanah. Walaupun gambar awal diinisiasi oleh Kolektiv Tankga, para anggota Karang Taruna kemudian meneruskan gambar ini hingga mengelilingi sisi-sisi gapura. Pak Bahrun pun dengan giat menyampaikan makna ini kepada warga-warga yang baru melihat, layaknya sebuah tur kurator.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

35


Catatan Gesya di Kampung Muka

“Kamu lihat ini, ada tangan menggenggam tanah. Itu maksudnya, tanah ini milik kita, mesti kita jaga!” ujar Pak Bahrun, ditanggapi dengan warga yang mengangguk-angguk. Usaha untuk menggaet semua warga lewat projek ini menjadi prioritas bagi Pak Bahrun dan Karang Taruna, di mana yang masih sulit untuk didekati pada saat itu adalah kelompok ibu-ibu RW setempat. Apabila anak muda sudah terakomodir lewat mural, penampilan di festival dan lokakarya, kami berpikir keras tentang apa yang bisa dilakukan bersama ibu-ibu ini. Alhasil, masih dalam tema kemerdekaan, kami berpikiran untuk mengumpulkan apa yang menjadi angan-angan mereka tentang kampung, untuk kemudian dicetak menjadi wheatpaste di sepanjang tembok depan Kampung Muka. Usai ibu-ibu ini melakukan senam sore di samping kantor RW, para Karang Taruna dengan sopannya menghampiri dan menjelaskan projek ini, untuk kemudian meminta para ibu untuk menuliskan pesan mereka pada secarik kertas yang disiapkan. Pesan-pesan ini kemudian didesain ulang oleh Kolektiv Tankga, dicetak, dan ditempel bersama-sama oleh Karang Taruna. Dengan memajang angan-angan mereka, setidaknya ada aspirasi para Ibu-ibu ini yang terpampang bersamaan dengan gambar-gambar yang dibuat anak-anak muda Kampung Muka dengan setara. Mendekati hari festival, diskusi tentang persiapan di lapangan berlanjut tentang nostalgia akan lapangan sesungguhnya yang pernah ada di wilayah ini. Lapangan itu kini namun telah berubah fungsi menjadi lahan parkir dan disayangkan oleh para anggota Karang Taruna, sebab, dulunya aktivitas yang menunjangkan kekompakkan mereka diakomodir berkat lapangan itu. Belakangan ini, hanya penggusuran yang bisa ‘menyatukan’ warga-warga kampung ini. Mereka merindukan momen kolektivitas ini, yang diharapkan bisa tersalurkan lebih baik lewat Festival Dua Wajah Kampung Muka. Hari festival pun tiba. Lapangan voli di samping kantor RW telah dihias dengan panggung, botol-botol berwarna-warni yang digantung (berisi pigmen

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

36


Catatan Gesya di Kampung Muka

sisa mural), serta backdrop mural bertuliskan Dua Wajah Kampung Muka yang dibuat para Karang Taruna. Acara dimulai dengan pemutaran film yang dibuat oleh salah satu seniman yang ada di Kampung Muka bernama Ryan. Ia tergerak untuk membuat film pendek tentang kampungnya, salah satunya memperlihatkan alih fungsi lapangan tadi. Ada suasana syahdu yang menebar di antara warga yang menonton, ketika melihat kampungnya dengan cara pandang lain dari film itu. Film selesai diiringi dengan tepuk tangan riuh. Acara dilanjutkan dengan pertunjukkan musik dari talenta-talenta kebanggaan Kampung Muka, grup perkusi yang pernah tampil di depan gubernur, serta hadroh. Gemuruh perkusi menjadi momen manis untuk menutup rangkaian projek di Kampung Muka ini. Pada saat evaluasi acara, Pak Bahrun telah mewanti-wanti kami untuk tetap berkomunikasi dengan anak-anak dari Kampung Muka. Hal ini terbukti beberapa bulan kemudian, pada saat Karang Taruna melanjutkan ide yang tertunda pada saat festival, untuk membuat acara Kampung Muka Mencari Bakat. Mereka mengumpulkan berbagai anak-anak dengan keahlian bermacam-macam, dan mengundang saya menjadi salah satu juri untuk acara ini. Kali ini, mereka benar-benar mendapat ‘vitamin’, bukan dari saya, namun dari Madu Tresnojoyo. Salah seorang dari divisi pemasaran brand ini melihat poster pengumuman acara Karang Taruna ini secara kebetulan, lalu menghubungi mereka untuk menawarkan product placement dan memberikan imbalan uang sebagai gantinya. Jadilah backdrop dari panggung acara ini disemarakkan logo Madu TJ, dengan manis menaikkan gengsi mereka dan acara ini. Talenta yang dihadirkan bermacam-macam, dari menari, menyanyi, hingga membaca puisi. Saya bersama dewan juri lain memenangkan tiga juara, penari, hafiz Al-Qur’an, dan pesulap. Saya bahkan mendapat kesempatan menjadi gadis peraga untuk atraksi sulapnya, di mana ia meminta saya untuk

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

37


Catatan Gesya di Kampung Muka

memegang denyut nadi di tangannya, dan menyaksikannya hilang sekian detik. Atraksinya cukup segar dan menarik di antara kontestan lainnya. Di satu sisi, kemenangan dia menjadi penanda juga, bahwa telah banyak yang “disulap” di Kampung Muka ini: dari tempat pembuangan sampah, gapura, tembok-tembok, hingga bagaimana kami semua melihat Kampung Muka sekarang.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

38


Catatan Gesya di Kampung Muka

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

39


Gesya’s Note in Kampung Muka Gesyada Siregar

M

r. Bahrun was just having a few bites of his Indomie Goreng when a phone call interrupted our late supper. He excused himself upon hanging up. “I gotta go to the kids,” he told me. I nodded in response, as my mouth was still full of noodles. He left me in this Citizens Associations (RW) office that was also basecamp for Youth Organization of RW 004 Kampung Muka at night and playgroup during the day. Adin Mbuh (who joined the next day) and I were collaborating with Mr. Bahrun to initiate Urban Village Festival as part of his responsibility as RW leader. He considered our arrival (as representatives of Jakarta Arts Council—to simplify administrative explanation to the locals) some kind of “vitamins” to encourage the youths from Youth Organization executing their ideas so that the local residents might come together again. For my

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

40


Gesya’s Note in Kampung Muka

part, I think Adin and I were merely visitors who at least had the capability to offer another perspective on their village, to amplify the pride of local artists, and to become an “excuse” to accept new interventions in their area. But I did not want to be a complete outsider, anyway. I stayed at Mr. Bahrun’s place on the first night they started the mural project in Kampung Muka so that I could follow the activity all night and meet with the Youth Organization members who organized it. That late-night Indomie brought us to sit together and talk about our contributions to the festival. The Youth Organization members were busy painting on the front wall near the entryway to Kampung Muka. Paint drops and cigarette butts scattered all over the street. It took about five to six people to do one picture that Saturday night. I was sitting there and observing them as I wait for Mr. Bahrun, who returned soon after. “Shall we continue our meal?” I said. He sat and continued eating his cooled down noodle. Another phone call interrupted his meal. I guessed he would leave again, and I guessed right. “Miss, if I may,” he said, excusing himself. He had to stop a teenage brawl in an area in Kampung Muka. One of the important issues raised by this mural project is to convey a peace message in order to reduce brawl. It just felt right, given that the wall they worked on was the face of Kampung Muka, a view that was always seen by everyone who entered and exited the area. Mr. Bahrun and Adin previously told me that they once thought to display confiscated goods and build a brawl-themed museum in the RW office. Alas, those items were disappearing as this festival project started. Perhaps people took them to use as they should. Furthermore, it seemed that this matter was not appropriate enough to put into a museum, as it was still “actual.” At last, we decided to highlight the talents of youth in Kampung Muka instead of emphasizing its brawl problems. Aside from the mural project as the trigger, our night meetings

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

41


Gesya’s Note in Kampung Muka

resulted in an idea to create a performing arts called Dua Wajah Kampung Muka (Two Faces of Kampung Muka) on Independence Day. As we were preparing for this festival, I was eager to decorate other walls in Kampung Muka. The Organization Youth members were already tired from the first night of the mural and they had to take part in organizing the festival, so we thought of inviting artists outside of Kampung Muka to open up new networks. We invited Kolektiv Tankga, a Tebet-based collective that consisted of young artists and designers. There were two crucial spots in Kampung Muka that Mr. Bahrun thought would need new colors. First was the wall near the gateway, and the second was a huge wall behind the garbage disposal. The second spot was crucial, as it was located next to and opposite the RW office, which was used as a lounging area for the locals and a landmark for Kampung Muka. Kolektiv Tankga worked on the second spot since they get used to working on big-scale mural projects. They made patterns illustrating side profiles and trees with shades of green and blue. Mr. Bahrun’s vision was realized: the view from the office was no longer just a mountain of trash, but also a symbol of Kampung Muka with a much fresher nuance. The mural became an important artistic medium for them. Aside from serving decorative purposes for the village, most of the Youth Organization members were avid fans of street art. Dadan, the leader of the organization, told me proudly that Bujangan Urban, a famous street artist from Jakarta, painted a picture in their settlements one time. To motivate and make these kids proud, Adin and I invited Gardu House collective to create a workshop with the Youth Organization, of course with the famous Bujangan Urban himself. Local teenagers and young adults crowded the RW office to join the workshop, and Bujangan Urban also left his painting on the wall nearby. They were ecstatic; Dadan then told me that this workshop with Gardu House made other Youth Organizations in the whole Ancol jealous!

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

42


Gesya’s Note in Kampung Muka

Passersby started paying attention to the changing face of this village; they even knew several paintings were not made by the local kids. Again, Adin and I tried to push some members who love drawing to continue their own mural project. Our next target was the gate. while we were brainstorming on the decoration, we also discussed their definition of independence, so what was going to be displayed later would suit the context of Kampung Muka. Adit, one of the Youth Organization members replied with such enthusiasm: “Land rights!” It is indeed one of the hot topics around Kampung Muka, a settlement that is prone to eviction. We interpreted this idea with a painting of hands holding a piece of land. The design was initiated by Kolektiv Tankga, but the members of the Youth Organization continued painting the whole gate. Mr. Bahrun actively conveyed the meaning of this mural to locals, as if doing a curatorial tour. “You see hands holding a piece of land. That’s our land, and therefore we must protect it!” He said, and the locals responded by nodding their heads. It was Mr. Bahrun and Youth Organizations’ top priority to reach all local residents through this project, with the group of mothers being the most difficult one. While we have accommodated the youths with mural projects, art shows, and workshops, we still had to think about what kind of activity we could do with the mothers. Eventually, in the spirit of independence, we decided to collect their hopes about their settlement, then have them plastered on the front wall with wheat paste. After they finished doing afternoon aerobics by the office, Youth Organizations approached them and explained the project politely, then they asked the mothers to write their messages on a piece of paper. These messages were then redesigned and printed by Kolektiv Tankga, and pasted on the wall together with the youth. That way, at least the aspirations of the mothers were put equally with murals by the youth of Kampung Muka.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

43


Gesya’s Note in Kampung Muka

As the festival day was near, we continued our discussion by reminiscing a field that was used to be there but was turned into a parking space. It was unfortunate for Youth Organization because that field had helped to amplify their togetherness. These days, the only thing that brought locals together was eviction. They missed the moment of collective, which they hoped would be channeled better through Festival Dua Wajah Kampung Muka. The day finally arrived. A small stage was put on the volleyball court next to the RW office, complete with decorations in the form of colorful plastic bottles containing pigments remaining from the murals and a backdrop with Dua Wajah Kampung Muka painted on it by Youth Organization. The festival started with a film screening by one of the local artist named Ryan. He was inspired to make a short film about his own settlement, where he also showed the aforementioned field. There was a moment of serenity during the screening, as they were watching their own settlement from a different point of view. People applauded the film as it ended, and the festival went on. We continued with musical shows by local talents, a percussion group that used to perform for the governor, and hadroh. Percussion became the perfect ending for this festival in Kampung Muka. During the evaluation meeting, Mr. Bahrun kept reminding us to keep in touch with the youth of Kampung Muka. This was proven to be true several months later when Youth Organization executed their delayed idea for the festival, which was a talent show called Kampung Muka Mencari Bakat (Kampung Muka’s Got Talent). They gathered kids with various talents and invited me as one of the judges. They truly had their “vitamin” this time—not from me, but from Madu (honey) Tresnojoyo. Marketing staff from this brand stumbled upon their event poster and called them to offer product placement and money. That explained the backdrop full of the Madu TJ logo, which added prestige to the show and the settlement.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

44


Gesya’s Note in Kampung Muka

There were various talents displayed, from dancing, singing, to poetry recital. The judges and I decided on three winners: a dancer, a hafiz (Quran reciter), and a magician. I even had the opportunity of being the magician’s assistant, where he asked me to check his pulse on his wrist and watch it skipping a beat for a few seconds. His attraction was the most unique and interesting among other contestants. His victory also signified the “magic” that changed Kampung Muka: from a garbage disposal, entry gate, walls, and the way we see Kampung Muka today.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

45


Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta


Gesya’s Note in Kampung Muka

47


Gesya’s Note in Kampung Muka

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

48


Sinaran Gambar Anak-anak Kali Ciliwung Ancol Angga Wijaya

P

ada Desember 2013 saya mengikuti lokakarya kurator muda yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan ruangrupa. Kala itu para peserta adalah individu yang tertarik pada bidang kerja kuratorial. Rata-rata dari kami sudah kenal atau pun terlibat di bidang seni dan budaya, jadi dapat dikatakan telah memiliki wawasan seni sebagai bekal untuk menapaki profesi kurator. Setelah lokakarya tersebut, saya mulai melakukan praktik kuratorial di galeri komunitas seni, dan menginisiasi proyek seni yang bersinggungan dengan masyarakat dan dinamika sosial di dalamnya. Lima tahun kemudian, pada Januari 2018, saya diminta lagi untuk ikut lokakarya kurator muda. Penyelenggaranya masih sama namun kali ini saya diundang sebagai mitra belajar bersama. Pesertanya terdiri dari enam

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

49


Sinaran Gambar Anak-anak Kali Ciliwung Ancol

kurator yang aktif di komunitas seni dan kami sudah sama-sama kenal melalui jaringan kerja seni yang sama. Lalu ada enam kurator lagi sebagai perwakilan dari kampung kota Jakarta, mereka merupakan bagian dari Jaringan Rakyat Miskin Kota dan Urban Poor Consortium (UPC)—organisasi non-pemerintah yang bekerja bersama komunitas marjinal perkotaan melalui pendekatan holistik dan partisipatoris dan menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama. Bagi saya, mereka pantas disebut sebagai kurator karena melakukan praktik seperti pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan seni dan budaya di kampung masing-masing, mirip seperti apa yang banyak kami lakukan di Indonesia atau bahkan kecenderungan praktik seni rupa kontemporer belakangan ini. Praktik kuratorial di Indonesia memang mengalami pergeseran dalam beberapa tahun terakhir, dengan tidak hanya tumbuh terpusat di ruang galeri, museum dan ruang akademis saja. Kerja-kerja kuratorial turut tumbuh pada praktik keseharian, terutama pada ruang komunitas dan aktivisme sosial. Dengan bentuk presentasi yang tidak lagi terpaut pada objek formal sebuah karya seni, praktik kuratorial saat ini terbuka pada berbagai kemungkinan termasuk melakukan aktivasi di ruang yang lebih cair. Bergesernya praktik kuratorial tersebut menjadikan posisi kurator tidak lagi sebagai pusat gagasan, penentu artikulasi juga dapat muncul dari konteks ruang dan manusianya. Format lokakarya kurator kali ini pertama-tama berupa presentasi dan diskusi mengenai praktik yang dilakukan oleh masing-masing kurator, dengan tujuan menghasilkan gagasan kolaborasi yang dapat direalisasikan. Dari sana setiap kurator berpasang-pasangan untuk membuat kegiatan di setiap kampung. Saya kebetulan berpasangan dengan Gugun Muhammad kurator dari Kampung Tongkol. Gugun Muhammad atau biasa disapa Mas Gugun, sudah tinggal bertahun-tahun di Kampung Tongkol bersama orang tua, anak dan istrinya.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

50


Sinaran Gambar Anak-anak Kali Ciliwung Ancol

Mas Gugun merupakan Koordinator Advokasi UPC. Sebetulnya program lokakarya kurator ini adalah hasil lobi Mas Gugun kepada teman-teman di ruangrupa untuk menyelenggarakan satu kegiatan di jaringan kampung kota UPC. Tentu saja Mas Gugun sudah terbiasa bernegosiasi dengan berbagai pihak terkait keberadaan Kampung Tongkol. Seperti ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hendak menggusur kampung-kampung di bantaran sungai untuk melakukan normalisasi Sungai Ciliwung—Kampung Tongkol termasuk di dalamnya. Mas Gugun bersama warga di Kampung Tongkol bergerak untuk menolak penggusuran. Mereka berinisiatif memangkas sebagian rumahnya, tiap bangunan rumah dimundurkan lima meter dari tepi sungai untuk dipasang tanggul dan jalan inspeksi di tepi sungai. Kegiatan ini difasilitasi oleh UPC bersama relawan arsitektur Universitas Indonesia dan Architecture Sans Frontieres Indonesia (ASF-ID). Rumah-rumah tersebut kemudian menjadi contoh hunian alternatif di pinggir sungai. Pada Agustus 2018 gagasan kolaborasi untuk kegiatan di kampung-kampung ini mulai direalisasikan. Untuk pertama kalinya, saya akan datang ke Kampung Tongkol bersama Mas Gugun dan istrinya, kami janjian sore hari di Cikini dan memesan taksi online menuju ke sana. Kami berhenti di bawah kolong tol Pelabuhan untuk kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki, melewati truk-truk yang parkir di bawah kolong tol, lalu belok kiri melewati banteng bekas zaman Belanda. Setelah masuk gang demi gang, akhirnya kami tiba di depan bantaran anak kali Ciliwung, tempat rumah Mas Gugun berada, bersama dengan ratusan rumah warga lainnya. Suasana kampung pada malam hari sangat remang, lampu-lampu hanya bersinar di rumah-rumah tertentu saja. Anak kali Ciliwung juga tidak terlalu tampak, hanya aroma menyengatnya saja yang tercium jelas. Saya dan Mas Gugun ngobrol di depan rumahnya membicarakan ide-ide kegiatan yang hendak dilakukan di Kampung Tongkol, mulai dari membuat cerita fiksi

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

51


Sinaran Gambar Anak-anak Kali Ciliwung Ancol

(mitos) sesepuh kampung hingga membuat lampion partisipatoris. Ide-ide Mas Gugun menunjukkan pengalamannya yang sudah terbiasa dengan kerja artistik dan pengorganisasian. Beberapa hari kemudian saya kembali datang ke Kampung Tongkol menggunakan transportasi commuter line dan turun di stasiun akhir Jakarta Kota. Saya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati Kota Tua, ruko-ruko dan Kembali masuk gang demi gang hingga tiba di Kampung Tongkol. Kali ini pada siang hari. Saya dapat melihat anak kali Ciliwung yang kering dan airnya berwarna hitam dan rumah-rumah contoh dua lantai bermaterial kombinasi bata dan bambu berderet di depan kali. Di tengah kali ada perahu getek yang menjadi moda transportasi penghubung Kampung Tongkol dan Kampung Lodan. Terdapat pula majalah dinding yang berisi foto perubahan kampung tersebut dari sebelum dan sesudah revitalisasi kali Ciliwung. Kampanye pemilihan Gubernur tahun lalu masih tersisa, banner bekas kampanye beralih fungsi menjadi alas untuk meja, material banner yang tahan lama dan anti air sepertinya biasa digunakan sebagai alas pengganti terpal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kampung-kampung di Jakarta menjadi arena pertarungan politik di pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Mas Gugun mengajak untuk melihat lampion yang pernah dibuat warga. Lampion tersebut terbuat dari bola plastik yang dibentuk dan diwarnai ulang dan pencahayaannya ditenagai lewat listrik panel surya. Namun karena operasional yang rumit dan kebutuhan aki yang harganya mahal, pencahayaannya mengalami kendala. Setelah aliran listriknya terputus, lampion-lampion tersebut terbengkalai. Lampion itu tergantung di tengah sungai dengan masing-masing ujung kabel penahan dikaitkan pada pohon yang saling berhadapan di antara Kampung Tongkol dan Lodan. Permukaannya tampak usang, warnanya sudah pudar, dan kabel listriknya

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

52


Sinaran Gambar Anak-anak Kali Ciliwung Ancol

sudah putus. Usai melihat kondisi itu, saya dan Mas Gugun sepakat untuk membuat ulang lampion. Kali ini lampion akan digambar oleh anak-anak, idenya adalah imajinasi atas kampung yang mereka tinggali saat ini. Dalam pikiran orang dewasa, anakanak merupakan generasi masa depan kampung, sehingga gambar yang dibuat akan mempertegas keberadaan kampung. Sebagai kurator yang berkolaborasi dengan warga kampung yang juga diposisikan sebagai kurator, saya sempat bertanya pada diri saya sendiri, “Bagaimana saya harus berperan dalam kegiatan ini?” Sebagai orang luar, tentu saja saya tidak mengenali kampung secara mendalam, apalagi dibandingkan dengan Mas Gugun yang sudah tinggali bertahun-tahun lamanya. Oleh sebab itu, saya memposisikan diri sebagai perantara, membuka jaringan yang saya punya untuk diakses oleh warga. Saya menyumbangkan referensi artistik dan mengundang RURU Kids untuk menjadi kolaborator warga dan anak-anak dalam kegiatan melukis lampion. RURU Kids adalah divisi khusus anak-anak di ruangrupa yang akrab dengan program edukasi anak seperti lokakarya, dongeng, musik, pertunjukan dan tur pameran seni. Mas Gugun sepakat, RURU Kids kami proyeksikan untuk memantik imajinasi anak-anak dengan metode edukatif dan bersahabat. Beberapa hari berikutnya, saya bersama teman-teman RURU Kids yang terdiri dari Kunil, Ayi, Shelda, Gelar dan Safar datang ke Kampung Tongkol untuk melihat suasana dan area tempat lampion akan dipasang nanti. Lalu kami ngobrol dengan Mas Gugun, Sekjen Salijan (salah satu warga Kampung Lodan yang ahli di bidang listrik dan pertukangan) dan Mbak Ina (istri Mas Gugun) mengenai cerita-cerita menarik seputar kampung mereka, seperti ikan yang berenang di sungai yang berwarna hitam, atau bebek yang bertelur sembarangan. Cerita-cerita itu yang kami bayangkan dapat muncul di gambar anak-anak nanti. Kemudian kami membahas teknis

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

53


Sinaran Gambar Anak-anak Kali Ciliwung Ancol

pembuatan lampion, terutama menentukan material apa yang nyaman untuk anak-anak melukis dan bagaimana teknis sinaran cahaya lampu agar gambar dapat berpendar di malam hari. Dari awal telah disepakati bahwa lampion akan dibuat dari kerangka bambu segi empat yang dilapisi kain kanvas sebagai media gambar anak-anak. Namun, setelah RURU Kids melakukan eksperimen ternyata gambar di kanvas tersebut tidak berpendar. Kami berkomunikasi kembali kepada Mas Gugun melalui pesan seluler, dan melanjutkan eksperimen menggunakan stoples yang berbahan plastik, alhasil gambar berpendar bahkan menghasilkan bayangan yang terlihat artistik, teknis pemasangan lampu juga jadi mudah. Stoples cukup dilubangi saja di bagian tutupnya, dan lampu dimasukkan. Lebih praktis dan hemat. Selanjutnya kami sepakat bahwa lampion akan menggunakan stoples bekas dari sumbangan warga. Namun menjelang hari lokakarya tiba, stoples tak kunjung terkumpul, sehingga Mbak Ina membeli 20 stoples baru yang bentuknya sama dan selaras. Sayang sekali kami tidak dapat mendaur ulang stoples yang sudah tidak digunakan oleh warga, bukan karena warga tidak ingin berpartisipasi, tapi stoples masih digunakan sebagaimana fungsinya. Dan juga bukan berarti penggunaan stoples baru berbahan plastik itu tidak peduli terhadap lingkungan, sebagaimana halnya lukisan yang menggunakan kanvas, stoples menjadi material karya. Pembuatan lampion diselenggarakan di depan mushola di Kampung Lodan. Anak-anak dari umur 4 tahun sampai 10 tahun sudah berkumpul, mereka mewakili Komunitas Anak Kali Ciliwung Ancol yang tinggal di Kampung Tongkol, Lodan dan Kerapu. Sedangkan Mas Gugun, Sekjen dan beberapa bapak-bapak lainnya membangun tiang dan pemasangan kabel listrik lampion. Mbak Ina dan beberapa ibu lain menyiapkan kacang, ubi dan minuman sebagai konsumsi. Panjang kabel hanya cukup terbentang dua baris, dan menggunakan listrik dari mushola.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

54


Sinaran Gambar Anak-anak Kali Ciliwung Ancol

RURU Kids menyapa anak dan berkenalan, lalu menyampaikan tentang tema “Kampungku Tempat Bermain ku” dan memantik imajinasi anak dengan pertanyaan, “Coba kalian lihat ada apa di sekeliling tempat tinggal kalian?” Ternyata pertanyaan tersebut tidak terbayangkan oleh mereka. Ekspektasi awal kami yang mengira anak-anak akan menggambar cerita-cerita menarik di dalam keseharian kampung tidak muncul, anak-anak justru tetap menggambar gunung, sawah dan matahari. Mungkin cerita-cerita itu terlalu rumit untuk digambarkan, dan penyeragaman gambar gunung terlalu melekat di benak anak-anak. Kemudian RURU Kids melakukan pendekatan lebih intim dengan mendampingi anak satu persatu, akhirnya muncul juga beberapa gambar yang dekat dengan keseharian mereka seperti rumah, orang tua, teman, dan lingkungan sekitar. Setelah selesai menggambar, mereka kembali bermain, ada yang langsung kembali ke lapangan untuk main sepakbola dan ada juga yang tak sabar menunggu gambar mereka tergantung menjadi lampion. Namun Mas Gugun, Sekjen dan bapak-bapak lainnya belum selesai memasang instalasi listrik, sehingga dilanjutkan keesokan harinya. Esok hari, setelah lampion-lampion selesai terpasang, dan lampu mulai dinyalakan, ternyata sinar lampu terlalu terang karena watt bohlam lampu terlalu besar, sehingga gambar tidak berpendar dan tidak menghasilkan bayangan yang terlihat di permukaan sungai. Namun gambar anak-anak jadi terlihat lebih jelas dan terang. Setelah selesai pemasangan lampion, anak-anak ribut di pinggir kali, “Itu gambar aku!”, “Ini gambar aku!”. Dua puluh lampion yang sudah terpasang memang tidak cukup untuk menerangi sepanjang sungai dan rumah-rumah di tepiannya. Dua baris lampion menggantung di tengah sungai antara kampung tongkol dan lodan, di samping getek yang menjadi transportasi penghubung antara dua kampung tersebut. Cahaya-cahaya lampion akan menemani warga entah sampai

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

55


Sinaran Gambar Anak-anak Kali Ciliwung Ancol

kapan. Instalasi lampion tersebut mungkin akan kembali kusam dan rusak seiring terkena panas dan hujan. Warga memang tidak sedang membuat monumen kokoh di tengah kota yang akan bertahan lama bertahun-tahun. Setidaknya, instalasi lampion tersebut sudah menjadi tanda bagaimana warga bertahan dari kekhawatiran akan penggusuran.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

56


The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol Angga Wijaya

I

n December 2013, I participated in a workshop for the young curators, which was held by Jakarta Arts Council and ruangrupa. The participants were individuals who were interested in learning about the curatorial field, most of which had known, joined, or even been involved in arts and culture. Therefore, it is safe to say that we had enough knowledge of the arts to be a curator. After participating in the workshop, I started doing curatorial practice in community art galleries and initiating art projects that intersected with social and social dynamics. Later, in January 2018, I was invited to participate again in the young curator workshop, still held by Jakarta Arts Council and ruangrupa, this time neither as participant nor speaker, but as a study partner. There were six invited curators who work in art communities such as myself, and several

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

57


The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol

acquaintances through the field of arts. There were also six more curators representing the urban villages in Jakarta; they are parts of Jaringan Rakyat Miskin Kota (Urban Poor People Network) and Urban Poor Consortium (UPC), a non-governmental organization working with urban marginal communities using a holistic and participatory approach that puts interests of the people in top priority. They were also called curators since they do curatorial practices such as maintaining and conducting arts and culture activities in their settlements, similar to what we do in the realm of contemporary art practice nowadays. Indeed, curatorial practice in Indonesia has been shifting in the past years, as it is not only growing in galleries, museums, or academic spaces. Curatorial practice is also growing in communities and social space, even merging with everyday lives. With a form that is no longer attached to formal objects of artwork, curatorial practice in present times has the capacity to ignite activation from various possibilities. This shifting process makes a curator no longer an idea determinant, as it may come from the context of space and its inhabitants. The curator workshop was in the form of a presentation and discussion about practices done by each curator, which aimed to produce collaboration ideas that could be materialized. Each curator was grouped in pairs to create events in each village. I was paired with Gugun Muhammad, a curator from Kampung Tongkol. Gugun Muhammad, or Mr. Gugun, as he was familiarly called, has been living in Kampung Tongkol for years, along with his parents, wife, and children. He was an advocacy coordinator for UPC. This program was Mr. Gugun’s invitation to colleagues in ruangrupa to conduct events in UPC urban village networks. Indeed, Mr. Gugun is used to negotiating with several parties regarding the existence of Kampung Tongkol. For instance, when the provincial government

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

58


The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol

of Jakarta planned to do Ciliwung river normalization, the settlements on the riverbanks were about to get evicted, including Kampung Tongkol. Mr. Gugun with the residents of Kampung Tongkol were protesting the plan. As anticipation, they trimmed parts of their housings, put every building back five meters away from the riverbanks, and later built a dam and inspection road by the riverbanks. This was facilitated by UPC, along with volunteers of architecture students of Universitas Indonesia and Architecture Sans Frontieres Indonesia (ASF-ID). These model houses later became alternative housings by the riverside. In August 2018, we started to materialize the collaboration ideas for events in these villages. I visited Kampung Tongkol for the first time with Mr. Gugun and his wife. We met in the afternoon in Cikini and ordered a taxi to get to Kampung Tongkol. We stopped under the port toll and continued walking past parked trucks, turning left past an old colonial fort and several alleyways, until we finally arrived at the riverbanks of the Ciliwung river. That was where Mr. Gugun’s house was, along with hundreds of other houses. The village at night looked dim, and lightings were only available at certain houses. The creek was not visible, but the smell was quite strong. Mr. Gugun and I were at his house, where we discussed ideas for events in Kampung Tongkol. The ideas were varied, starting with creating a fiction (myth) about the village elders to making participatory lanterns. His ideas displayed his experiences with artistic and organizational works. Several days later, I returned to Kampung Tongkol in daylight using the commuter line and got off at Jakarta Kota station. I proceeded to walk past Kota Tua, shop houses, and several alleyways until I finally arrived at Kampung Tongkol. I could see the receding creek where the water looked blackish and the model houses by the riverside: two-story buildings made with bricks and bamboos. In the middle of the river, there was a getek (raft)

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

59


The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol

as a transportation mode between Kampung Tongkol and Lodan. There was some kind of bulletin board displaying photographs of old Kampung Tongkol before and after revitalization. Banners from Anies—Sandi’s governor campaign were turned into tablecloths since their waterproof material could be used as substitutes for the tarp. It was a public secret that urban villages in Jakarta became a political battle arena during the election for governor of Jakarta in 2017. Mr. Gugun showed me lanterns made by the local residents, made from plastic balls that were reshaped and repainted. But these lanterns had lighting issues. The electric mechanism of solar panels was troublesome for them due to the complicated operation and expensive need for accumulators. After the electricity was cut off, these lanterns were abandoned. They were hanging in the middle of the river, each tip of the cables was hooked on the trees in Kampung Tongkol and Kampung Lodan that faced each other. When I came to take a look, they looked worn: the colors were fading and the cables were broken. Seeing the condition, Mr. Gugun and I decided to recreate the lanterns. This time, the lanterns would be painted by the kids to see their imaginations in their own village. As adults, we thought of children as the future of the village, so their drawings would emphasize the existence of the village. As the guest curator that was invited to collaborate with a resident who was assigned also as a curator, I once asked myself, “How should I take part in this event?” As an outsider, I certainly did not recognize this place very well, and I thought Mr. Gugun would know better, as he’s been living there for years. Therefore, I put myself as the middleman, opening my networks for the residents. I offered my artistic references and invited rurukids to collaborate with the children and residents in this lantern project. rurukids is a special division for children from ruangrupa. It is very familiar with

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

60


The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol

the children’s education programs, such as workshops, storytelling, music, art performance, and art exhibition tour. Mr. Gugun agreed that rurukids could ignite children’s imagination with a friendly and educative method. Several days later, I with the members of rurukids—Kunil, Ayi, Shelda, Gelar, and Safar—visited Kampung Tongkol to observe the area where the lanterns would be assembled. Afterward, we talked with a friend of Mr. Gugun, Sekjen (one of the residents of Kampung Lodan who was an expert in electricity and carpentry), and Ms. Ina (Mr. Gugun’s wife). We talked about interesting stories around the village, like fish swimming in the black river, or ducks laying eggs everywhere. We imagined these kinds of stories that pop out in the kids’ drawing later. Then we discussed the lantern-making process, particularly the material for the kids to paint and the technicality of the lights so that the drawings would glow at night. Initially, we planned to make lanterns using rectangular bamboo structures which then would be layered with canvas for the kids to draw. rurukids conducted the experiment, but the drawings did not glow. We reported the result to Mr. Gugun through text messages, and conducted another one using plastic jars; not only did the drawings glow, but they also reflected artistic shadows. The light installation was fairly simple: we made holes on the jar lids and put the lightbulbs inside. It was more practical and cheaper. We agreed to make the lanterns with used jars from the local residents. However, we did not collect any jars up until the workshop day. Eventually, Ms. Ina bought twenty new jars in a uniform shape. It was a pity we failed to recycle used jars, not because the residents refused to participate, but apparently, they were still using them. Also, using new plastic jars did not mean we did not care about the environment because we use them as artwork materials, much like a canvas.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

61


The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol

The lantern workshop was conducted in front of the mushola (prayer room) in Kampung Lodan. Children from the age of 4 to 10 gathered around, representing Children of Kali Ciliwung Ancol Community who lived in Kampung Tongkol, Lodan, and Kerapu. Meanwhile, Mr. Gugun, Sekjen, and several adult men were preparing for the electrical installation. Ms. Ina and several mothers were preparing peanuts, sweet potatoes, and drinks. The cable was only long enough to make two rows, and we used the electricity from the mushola. rurukids introduced themselves to the children; they made a theme called “My Village, My Playground.” They tried to ignite their imagination with a question: “Look around you, what do you see around your home?” The question was not responded to well at first. We expected their drawings would be inspired by interesting stories about their daily lives in the village, but the children kept drawing mountains, rice fields, and the sun. Perhaps those stories were too complicated to put into drawings, and the same drawing of mountains had been attached to their minds. rurukids helped them out one by one until finally, several children made drawings close to their lives, like their houses, parents, friends, and their neighborhood. After finishing their drawings, they returned to their routine. Some were playing football and the others were waiting impatiently as their drawings were made into lanterns. However, Mr. Gugun, Sekjen, and the others did not finish installing cables, so they continued the next day. When the lanterns were turned on, the light was too bright so the drawings did not glow, let alone being reflected on the river. The light still displayed the drawings made by the children, nonetheless. After installation, the kids kept saying “I made that drawing!” in excitement. Indeed, twenty lanterns were not enough to light up the river and houses nearby. We ended up using electricity from the prayer room. These lanterns

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

62


The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol

were hanging in two rows at the center of the river between Kampung Tongkol and Kampung Lodan, next to the raft as their main transportation. These lanterns would accompany the residents until God knows when. Perhaps they would be damaged due to heat and rain. The residents were not building a sturdy monument in the middle of the city that would last for years. Nevertheless, at least these lanterns could signify how they survived from evictions.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

63


Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta


The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol

65


The Light of Children in Kali Ciliwung Ancol

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

66


Kesenian: Praktik Kolektif Warga (Kampung Kota) Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain

Kesenian: Praktik Kolektif Warga

(Kampung Kota) Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain Ign. Susiadi Wibowo

“Man was first a hunter, and an artist : his earliest vestiges tell us that alone. But he must always have dreamed, and recognized and guessed and supposed, all skills of the imagination.” Guy Davenport, The Geography of the Imagination, 1981

P

rogram Kelas Kurator Muda yang diselenggarakan pada periode 10-17 Februari 2018 dan dimaksudkan oleh penggagasnya Institut Ruru serta Dewan Kesenian Jakarta sebagai upaya mentransfer pengetahuan tentang praktik kuratorial—dalam kerja kesenian yang partisipatif dan di luar format galeri—kepada perwakilan warga dari 6 (enam) kampung kota di Jakarta. Inisiatif ini menemukan tantangan paling mendasarnya pertama-pertama pada persepsi tentang apa dan bagaimana kesenian yang ada di warga

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

67


Kesenian: Praktik Kolektif Warga (Kampung Kota) Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain

masyarakat—dalam hal ini khususnya perwakilan warga tersebut di atas. Respon umum — seperti tertangkap pada pertemuan pertama di ruang rapat pleno Dewan Kesenian Jakarta—dari hampir sebagian besar warga kampung yang hadir: kesenian dilihat sebagai suatu kegiatan produksi kreatif yang hasilkan produk-produk dengan estetika tertentu dan (karenanya) memiliki nilai ekonomi, asalkan produk ini dapat didistribusi di pasar yang tepat. “Di kampung kami ada banyak kulit kerang—yang selama ini tidak terpakaiyang bisa dibuat jadi barang seni,” begitu kira-kira Ratono, warga kampung Kerang Ijo Muara Angke Jakarta Utara promosikan potensi material yang ada di kampungnya. Atau juga bagaimana Rasdullah sampaikan potensi tetangganya di permukiman kolong tol Penjaringan Jakarta Utara dengan keterampilan seni lukis dan kaligrafi yang potensial untuk dipasarkan. Berdasarkan apa yang disampaikan warga di atas, kesenian dianggap sebagai aktivitas produksi karya yang punya nilai estetik dan karenanya memiliki nilai ekonomi. Pandangan yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut apakah nilai ekonomi adalah relevansi paling dekat antara kesenian dengan keseharian warga kampung kota? Jika demikian apa yang membedakan praktik kesenian warga kampung kota dengan kesenian ala galeri?

Imajinasi Yuval Noah Harari lewat bukunya Sapiens, A Brief History of Humankind (2011), sampaikan argumennya tentang bagaimana spesies Sapiens adalah satu-satunya anggota kerajaan binatang yang mampu menjalin kerjasama kolektif dalam jumlah sangat besar dan kompleks. Kemampuan yang menurutnya diperoleh karena Sapiens memiliki kapasitas kognisi yang unik untuk membangun imajinasi serta fiksi. Imajinasi serta fiksi—yang termanifestasi dalam berbagai sistem kolektif—inilah yang hadirkan ragam

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

68


Kesenian: Praktik Kolektif Warga (Kampung Kota) Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain

‘realitas’ —melengkapi realitas alami terberi yang ada- yang diperlukan di antaranya guna membangun ikatan bersama, menjawab tantangan sekaligus merespon ‘dorongan’ untuk terus bergerak maju. Lewat perspektif Harari, kita diajak untuk memahami bahwa imajinasi bagi komunitas umat manusia bukan saja merupakan keterampilan khusus (yang bedakan manusia dengan spesies lain) namun juga perangkat penting penyokong serta penentu keberlanjutan dan masa depan kolektifnya. Pada kesempatan yang lain, Ng Chee Meng (menteri pendidikan Singapura, 2018) menyampaikan bahwa salah satu tantangan serius yang dihadapi masyarakat Singapura hari ini dan di masa mendatang adalah bagaimana mereka mampu kembangkan kemampuan berimajinasinya. Keluasan imajinasi yang oleh Adrian Kuah (periset dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, 2018) dianggap punya tugas strategis mengantar pada pertanyaan-pertanyaan baru berikutnya lebih dari sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan terberi yang sudah ada. Perspektif soal imajinasi ini kemudian menjadi bagian pokok dari percakapan dengan perwakilan warga kampung di hari-hari selanjutnya. “Yang pertama, reklamasi mesti stop. Yang kedua, kita ingin ada (sistem) RT/RW di sini”, jawaban Ratono, Dodo, serta Dede warga kampung Kerang Ijo, secara terpisah soal bayangan masing-masing tentang kampungnya di masa depan. Saat kemudian masing-masing ditanya lebih lanjut apa yang kemudian mereka bayangkan ketika dua keadaan tersebut tercapai, ketiganya (juga secara terpisah) menjawab kompak, “yang penting dua (hal) itu dulu mas!”, seolah tidak/belum ada hal yang perlu dibayangkan selain dua hal tersebut. Kekompakkan ‘imajinasi’ ini dapat dipahami mengingat ketiganya di atas adalah warga yang sedang aktif memperjuangkan keberlanjutan bermukim yang saat ini terancam proyek pembangunan kotanya. ‘Imajinasi’ terkonsolidasi menjadi agenda politik warga (yang sedang berhadap-hadapan

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

69


Kesenian: Praktik Kolektif Warga (Kampung Kota) Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain

dengan kekuasaan negara) di mana suara yang satu, bulat, solid, dan utuh dipahami sebagai syarat serta kekuatan strategisnya. Hendra, warga yang pernah aktif sebagai penggerak anak muda juga remaja di kampung Rawa Barat, Kebon Jeruk Jakarta Barat, sebutkan program normalisasi sungai dan penggusuran yang ancam keberadaan kampungnya tidak menarik perhatian anak-anak muda di sana. “Sekarang ini yang lebih mudah menarik massa anak muda untuk berkumpul dan bergerak adalah isu-isu terkait agama, seperti soal Palestina misalnya”, begitu Hendra jawab pertanyaan soal minat anak muda di kampungnya untuk berkumpul dan berkegiatan. Agama (dan politiknya) pada sekilas cerita Hendra dapat diasumsikan mampu mendorong hasrat kolektif. Yang belum sempat tergali dalam percakapan dengan Hendra adalah imajinasi kolektif seperti apa yang kemudian diproduksi juga dikonsumsi hingga isu-isu yang tidak dihadapi secara langsung dan jauh (seperti soal Palestina) menjadi lebih prioritas, relevan, juga mendesak ketimbang isu-isu yang dekat dan berdampak langsung pada keberlanjutan komunitasnya (seperti isu penggusuran kampung).

Bagaimana Jika Di kampung Kali Apuran Cengkareng Jakarta Barat, bersama kumpulan kecil warga, kami mencoba melakukan eksperimen membayang-bayangkan. Enam orang warga Kali Apuran yang berkumpul di dua malam terakhir program, masing-masing diminta menyumbangkan ide aktivitas yang bisa dikerjakan di kampungnya dengan melengkapi kalimat “Bagaimana jika …”. Eksperimen ini awalnya berjalan lambat karena seolah kegiatan membayang-bayangkan adalah hal yang tak umum. Ide seperti tersumbat, hingga Teguh, warga yang kelihatan paling senior dan juga tuan rumah pertemuan, memberanikan diri melontarkan ide, “Bagaimana jika kita

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

70


Kesenian: Praktik Kolektif Warga (Kampung Kota) Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain

buat bank sampah?”. Pecah telur ini membantu ide mengalir lebih lancar. “Bagaimana jika di kampung kita diadain taman main bocah?”, lontar Jodie seorang bapak muda beranak satu. Ide-ide berikutnya muncul dari Harun, Omay, Ridwan, serta Andi yang ikut berkumpul malam itu. Alhasil, ada delapan ide awal merespon pertanyaan mengenai “Bagaimana jika …” di atas. Delapan ide yang hampir seluruhnya berbicara soal pengadaan infrastruktur atau perbaikan fisik kampung, seperti: perbaikan serta pembuatan jembatan tambahan untuk melintasi sungai ke kampung seberang, penyediaan penerangan di sepanjang pinggiran sungai, perbaikan fasad rumah, hingga pembuatan balai pertemuan warga. Hasil dari sesi pertama eksperimen membayang-bayangkan ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan keluaran musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang libatkan perwakilan warga di banyak tempat, di mana mayoritasnya adalah usulan perbaikan atau pengadaan infrastruktur (M. Halimah & A. Karyana, 2017). Untuk mendapatkan keluaran yang lain, eksperimentasi membayangbayangkan “Bagaimana jika …” dilanjutkan dengan tambahan panduan soal ide kegiatan yang tidak harus selalu hasilkan hal-hal yang fisik dan permanen, temporer, eksperimental meskipun berbasis pada persoalanpersoalan kebutuhan-kebutuhan serta potensi-potensi yang ada. Tambahan lainnya: mampu mengajak warga alami peristiwa yang sama sekali berbeda dengan keseharian yang ada: sejenak keluar dari satu realitas untuk mencicipi realitas lainnya. Harun meresponnya dengan ide soal bagaimana jika kampung Kali Apuran menjadi kampung wisata pinggir sungai. “Mengapa kampung wisata?” menjadi respon balik dari ide ini. “Supaya ada hiburan yang dekat buat warga di sini, sekalian jadi alasan untuk berbenah kampung”, jawab balik Harun, salah seorang warga yang sedang terlibat aktif dalam kegiatan penyusunan Community Action Plan (CAP) di kampung ini.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

71


Kesenian: Praktik Kolektif Warga (Kampung Kota) Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain

Ide-ide berikutnya muncul mengalir dari respon di atas.

Piknik ke Kampung Sendiri Di akhir sesi eksperimen membayang-bayangkan, warga menelurkan gagasan yang akan dikembangkan menjadi program di kampungnya: ‘Piknik ke Kampung Sendiri’. Gagasan yang mengeksplorasi ide awal Harun soal kampung wisata ini, kembangkan premis: “Kegiatan piknik dapat diartikan sebagai kegiatan pergi ke suatu tempat untuk mencari atau nikmati hiburan. Menjadikan kampung sendiri sebagai lokus tujuan berarti mengandaikan ada hal-hal (tempat, aktor, peristiwa) di kampung yang punya kualitas di luar keseharian (yang rutin) yang mampu hadirkan hiburan bagi warganya”. Beberapa ide kegiatan yang muncul dan kemudian dirangkai menjadi konten dari program ini adalah: 1. Car Free Day di Gang Kampung, dengan mengosongkan sebagian gang dari lalu lintas kendaraan bermotor, ruang jalan dapat digunakan untuk aktivitas kegiatan lain: 2. Anak-anak menggambar dan mewarnai dengan tema soal visi kampung versi mereka, 3. Madangan dan Bertukar Makanan, kegiatan ibu-ibu berkumpul dan makan bersama setelah pekerjaan domestik masing-masing selesai, adalah bagian dari keseharian warga di kampung ini. Memperluas praktik ini ke warga lain yang bukan hanya ibu-ibu, akan menjadi aktivitas yang dianggap menghibur dan menyenangkan, 4. Reuni Antar Warga, kegiatan reuni biasanya dilakukan antar individu dalam suatu kelompok yang telah lama ter/berpisah. Pada konteks warga kampung

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

72


Kesenian: Praktik Kolektif Warga (Kampung Kota) Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain

Kali Apuran, kegiatan ini dianggap relevan karena meskipun bertetangga dekat pertemuan dan interaksi yang intens hampir jarang terjadi. Reuni antar warga ini dapat dimanfaatkan sebagai kilas balik pertemuan dan kesempatan memperbarui kembali relasi -dengan cara yang santai juga menghibur. ‘Piknik ke Kampung Sendiri’ menjadi ide yang menarik untuk dicoba dan dieksplorasi lebih lanjut, bukan hanya karena imajinatif namun ia memiliki prospek untuk hadirkan realitas yang lain -yang bisa dikerjakan dan dialami secara kolektif- dengan cara yang tidak (harus) rumit atau terbebani oleh syarat adanya perubahan yang masif lagi sistemik. Selain itu, meskipun realitas alternatif ini bersifat temporer ia berguna untuk mengungkapkan potensi-potensi juga tentunya persoalan-persoalan yang ada di kampungnya. Dan karena sifat temporer tersebut, ia berbeda dengan gambaran perubahan yang seringkali bersifat mendesak, mengikat serta memaksa. Kesementaraan ini menjadikan realitas alternatif luwes dan terbuka untuk dimaknai dan direspon dengan berbagai cara. Pada saat eksperimen membayang-bayangkan sampai di gagasan (serupa) di atas, warga partisipan diajak untuk melihat bentuk lain dari kesenian. Jika imajinasi dianggap sebagai perangkat penting untuk bangun keberlanjutan komunitas manusia, maka kesenian, mengutip Guy Davenport dalam bukunya The Geography of the Imagination (1981) dapat dianggap sebagai ‘puncak’ keterampilan dan keahlian dalam berimajinasi. Karenanya, mendorong tumbuh suburnya praktik-praktik kesenian (kolektif) di komunitas warga kota mestinya memberi kesempatan tumbuh kembangnya keterampilan dan keahlian berimajinasi, sambil berharap realitas-realitas alternatif yang diproduksi di sepanjang prosesnya, mampu memperkaya pilihan-pilihan realitas yang dapat kita hidupi: realitas yang jauh lebih relevan dan lebih lestari.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

73


Kesenian: Praktik Kolektif Warga (Kampung Kota) Mengimajinasikan Kesehariannya yang Lain

Menjadi menarik untuk melihat lebih lanjut bagaimana warga Kali Apuran juga warga-warga di 5 (lima) kampung kota lainnya mengembangkan dan mengeksekusi gagasannya, serta bagaimana praktik ini kemudian mengantar warga dan juga kita, pada hal-hal yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

74


Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines

Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines Ign. Susiadi Wibowo

“Man was first a hunter, and an artist : his earliest vestiges tell us that alone. But he must always have dreamed, and recognized and guessed and supposed, all skills of the imagination.” Guy Davenport, The Geography of the Imagination, 1981

Y

oung Curator Class Program was held on February 10–17, 2018 by Institut ruangrupa and Jakarta Arts Council (DKJ) as means to transfer knowledge of curatorial practice—within the scope of participatory artistic work and outside the format of a gallery—to the representatives of six urban villages in Jakarta. This initiative was met with its fundamental challenge: the perception of what and how the people of urban villages perceive art, particularly the representatives mentioned above. The general response from most residents who attended the first meeting at DKJ headquarter was as follows: art was perceived as creative production activity that resulted in products with certain aesthetics and therefore possessed economic value, so long as these products were distributed to the accurate market.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

75


Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines

“We have plenty of mussel shells here; maybe we could make ‘em into a work of art,” said Ratono, a resident of Kampung Kerang Ijo Muara Angke, North Jakarta, promoting materials in his village that had potential. It was also similar to how Rasdullah told about his neighbors’ market potential in the settlement under Penjaringan highway, who made paintings and calligraphy. Based on what the locals told us, art is seen as a production activity that results in artworks with aesthetic and economic value. This understanding of art is an exciting point of view to explore further; is economic value the closest relevance between art and daily lives? If so, what is the difference between art practices in urban villages and the ones in galleries?

Imagination Through his book Sapiens, A Brief History of Humankind (2011), Yuval Noah Harari talks about how Sapiens is the only member of the animal kingdom capable of forging cooperation in massive and complex amounts. He argues that such ability derives from Sapiens’ unique cognitive capacity to build imaginations and fictions. These imaginations and fictions—which are manifested in various collective systems—present multiple “realities”— complementing existing reality—needed to create a bond and respond to challenges and “motivations” to keep moving forward. Through Harari’s perspective, we are invited to understand that imagination to humankind is not only a unique ability (that separates human beings from other species), it also serves as an essential means that support and determines continuity and the future of its collective. On another occasion, Ng Chee Meng (Singapore’s Minister of Education, 2018) addressed that one of the serious challenges Singaporeans face today and in the future is how they should be able to develop their ability to imagine.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

76


Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines

The immensity of imagination by Adrian Kuah (researcher of Lee Kuan Yew School of Public Policy, 2018) responds to the given questions with another set of questions. This perspective of imagination then became a primary part of our conversation with each urban village’s representatives. “First of all, stop the reclamation. Second, we need an RT/RW system applied here.” Ratono, Dodo, and Dede, residents of Kampung Kerang Ijo, responded separately to their vision of their settlement in the future. When asked further what they would do if they achieved their visions, they responded (also separately), “Let’s just achieve them first!” as if there was nothing else to think about other than those two things. Such similar “imagination” was understandable, given that the three of them were actively fighting for their livelihood that was threatened by the city construction project at that time. “Imaginations” consolidated into the residents’ political agenda facing the state government, where one solid voice was perceived as their terms and strategic strength. Hendra, a resident who once actively motivated the youth in Kampung Rawa Barat, Kebon Jeruk, West Jakarta, mentioned that the river normalization program and eviction threat did not attract the local youth. “Nowadays, it is easier to attract them with issues related to religion, such as issues in Palestine,” he said, responding to the question about the interest of youth in his village. In a glimpse, it is safe to assume that religion (along with its politics) could reinforce collective desire. One thing that was not explored from our chat with Hendra was what kind of collective imagination is produced and consumed until indirect and distant issues (such as Palestine issues) became issues more prioritized, relevant, and urgent instead of the ones that were closer and had a more immediate impact to the sustainability of their settlement (such as eviction issue).

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

77


Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines

What If Together with a small group of residents of Kampung Kali Apuran Cengkareng, West Jakarta, we tried experimenting with imagination. Six people gathered on the last two nights of this program, each of them was asked to share an idea of an activity for their village by completing the phrase “What if...”. This experiment started slow because it seemed as if the act of imagination was uncommon. The discussion was stuck for a moment until Teguh, a senior resident and host of the discussion, proposed an idea, “What if we build a trash bank?” It helped others to express their own opinions. “What if we make a kid’s playground here?” Said Jodie, a father of one. Other ideas came from Harun, Omay, Ridwan, and Andi. In the end, eight ideas were responding our “What if...” question, which almost entirely talked about procuring infrastructure or improving the village physically, for example, repair and construction of additional bridges to go to the opposite village, provision of lighting along the riverbanks, repair of house facades, and construction of meeting hall. The first session of this experiment was not much different from the development planning forum results involving the representatives of several urban villages, where the dominant responses were proposals for repair or infrastructure procurement (M. Halimah & A. Karyana, 2017). To obtain different output, we continued the “What if...” experiment by adding that the activities did not always have to achieve physical and permanent, temporary, or experimental results based on problems regarding existing needs and potentials. We also add that the activities should invite the residents to experience a completely different event other than their daily lives, to take a break from one reality and taste another reality. Harun responded by proposing to turn Kali Apuran into a riverside tourism village. Why tourism village? “I want us to have entertainment, and it could

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

78


Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines

also work as an excuse to tidy up this place,” Harun explained. He was also involved in the Community Action Plan (CAP) program in this village, for your information. At last, his idea triggered other responses.

Picnic At Own Village At the end of this session, residents proposed an idea that was later developed into a program in their settlement: Piknik ke Kampung Sendiri (Picnic At Own Village). This idea explored Harun’s initial idea on the tourism village and turned it into a premise: “Picnic can be defined as traveling somewhere to look for or enjoy some entertainment. By making one’s own village as the destination, it means one supposes there are things (places, actors, events) in the village that have qualities beyond the routine that can provide entertainment to its local residents.” Below are the emerging ideas, which then were organized as content for this program: 1. Car Free Day At the Alley We cleared some of the alleyways from motor vehicle and used them for other activities 2. Drawing and coloring for children with the theme of their vision of their village 3. Feasts and Potluck The mothers gathered and had meals together after finishing domestic chores as part of their daily routine here. We expanded this activity to reach other residents, which would consider fun and entertaining.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

79


Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines

4. Reunion Among Residents A reunion is frequently conducted among individuals in a group that has long been separated. In Kali Apuran, this activity is deemed relevant because intense meetings and interactions rarely occurred even though they were neighbors. This reunion could be used as a flashback and an opportunity to renew their relation—in a casual and fun way. Piknik di Kampung Sendiri became an exciting idea to try and explore further, not only because it was imaginative, but it also had prospects to present other realities—which could be done and experienced in the collective—in ways that were not complicated or overwhelmed by the conditions of massive and systemic changes. Furthermore, although temporary, this alternative reality was useful to express potentials and issues in the village. Because of the temporary nature, it was different from the overview of change that was often urgent, binding, and compelling. This impermanence made alternative reality flexible and open for different interpretations and responses. From the “What If...” experiment to the similar ideas above, the participating residents were invited to see the other form of art. If imagination is considered a fundamental tool to maintain humankind’s sustainability, then art is, to quote Guy Davenport in his book The Geography of the Imagination (1981), considered the culmination of craft and skill of imagination. Therefore, encouraging the flourishing of (collective) artistic practices in the urban community should provide an opportunity for the development of craft and skill of imagination, while hoping that the alternative realities produced from the process have the capacity to enrich our choices of reality: a reality much more relevant and sustainable. It would be interesting to see further how the residents of Kali Apuran and the other five villages develop and execute their ideas and how this practice later brings the people and us to unprecedented things.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

80


Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

81


Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta


Art: A Collective Practice of (Urban Village) Citizens in Imagining Their Other Routines

83


Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta


Merdeka di Tanah Negara

Merdeka di Tanah Negara M.Sigit Budi Santoso

T

idak perlu jatuh miskin agar kita dapat bicara panjang lebar tentang kemiskinan. Namun kalimat itu seperti menjadi basa-basi apabila kita tidak pernah berani mencoba menjadi bagian dan berada pada kondisi kemiskinan itu sendiri. Bekerja sama dengan kelompok atau warga miskin akan memberikan kita pengalaman dan pemahaman yang lebih jelas, terutama dalam konteks kerja-kerja seni budaya, yang kebanyakan sedikit sekali menyentuh kelompok masyarakat miskin kota. Kondisi retorik dalam memotret kehidupan warga miskin ini acapkali kita temui dalam beberapa acara televisi komersial. Para presenter dari televisi swasta yang kebanyakan berasal dari kelompok ekonomi menengah ke atas, mendapat peran untuk menjadi bagian dan hidup beberapa hari selama proses pengambilan adegan bersama keluarga miskin yang telah terpilih.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

85


Merdeka di Tanah Negara

Dalam durasi yang terbatas, kita disuguhkan suasana kehidupan miskin, sebelum nantinya keluarga tersebut diberi kejutan, entah berupa uang maupun renovasi rumah seadanya. Tayangan semacam ini menjual sisi kemanusiaan dan kemiskinan sebagai program tontonan yang memancing empati penonton dan seolah-olah sudah memberikan solusi konkrit terhadap persoalan yang dialami oleh kaum miskin di kota. Pertanyaan serupa dapat ditanyakan kepada para pelaku kebudayaan, khususnya pada ranah kerja seni rupa kontemporer yang acap kali bekerja dan melakukan riset sosial terhadap masyarakat di kampung kota. Apa yang menarik dari praktek tersebut? Apakah seniman sudah bosan merenungi proses penciptaan di dalam studio? Apakah kerja galeri maupun museum sudah tidak menarik dan menantang hingga kerja kuratorial berpindah ke wilayah ruang publik dan persoalan sehari-hari masyarakat miskin dan kampung di dalam kota? Ada banyak asumsi yang terbentuk dari pola-pola kerja kesenian pada wacana seni rupa kontemporer saat ini, namun satu aspek tentang kesadaran sosial yang mengantarkan para pelaku kesenian ini sampai pada persoalan kemiskinan masyarakat yang tinggal di kota Jakarta. Kehidupan warga kampung baik di Jakarta maupun di beberapa kota besar lain, mempunyai daya bertahan hidup yang berbeda-beda. Siasatnya pun sangat beragam dan mempunyai ciri khas, serta menarik untuk dapat diketahui sebagai bentuk referensi pola pikir dan pola kerja yang ternyata masih dapat diterapkan dan dilakukan di zaman yang sudah serba modern ini. Bicara siasat, relevansinya sudah pasti akan terhubung dengan kebutuhan. Akan tetapi, tidak semua kebutuhan dapat disiasati, ada resiko – resiko besar yang dihadapi dan tidak dapat disiasati dengan mudah.Bicara soal seniman (perupa) tidak melulu berasal dari lingkaran institusi baik sekolah seni maupun galeri. Secara pribadi, warga yang tinggal di daerah perkampungan

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

86


Merdeka di Tanah Negara

di kota, sejatinya juga adalah seniman yang secara otodidak sudah memulai kerja-kerja artistik di lingkungan tempat mereka tinggal. Saya pernah bertemu dengan salah satu seniman dari Kampung Penjaringan yang bekerja dengan medium lukis pada dinding ruang tempat ibadah yang dibangun secara swadaya oleh warga. Pekerjaan melukis kaligrafi ini dilakukan di beberapa lokasi rumah ibadah di beberapa kampung di Jakarta, dengan berbekal alat dan bahan ala kadarnya tak terkecuali upah kerja seikhlasnya. Tak hanya kaligrafi, beberapa seniman yang kami temui juga melukis di badan perahu yang digunakan nelayan untuk mencari nafkah dengan berburu kerang hijau. Mari kembali bicara mengenai kebutuhan, mari kita melihat dari perspektif yang berbeda. Apabila pertanyaan ini ditanyakan kepada masyarakat miskin yang tinggal di kota Jakarta, apakah kebutuhan mendasar dan terpenting yang mereka butuhkan saat ini. Pada kesempatan berkunjung ke beberapa kampung di Jakarta, KKK (Kelompok Kurator Kampung) berkesempatan bertanya kepada masyarakat setempat yang kami bagi menjadi tiga golongan, yaitu Golongan Orang Tua/Dewasa/Berkeluarga, Anak Muda, dan anak-anak. Jawaban dari ketiga golongan tersebut cukup merepresentasikan kondisi yang terjadi sekarang.

Golongan pertama adalah jalur masuk kami di setiap kampung di pinggiran Jakarta. KKK bekerjasama dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan Urban Poor Consortium (UPC) yang mempunyai jejaring yang ada di beberapa titik di kampung-kampung kota Jakarta. Golongan pertama ini adalah garda depan di setiap kampung yang sudah legal maupun ilegal. Bicara perkampungan ilegal, perkampungan ini biasanya menempati area area bantaran kali atau berada di tanah yang kepemilikannya dimiliki

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

87


Merdeka di Tanah Negara

negara maupun bagian dari fasilitas swasta. Hal tersebut yang menjadikan status perkampungan tersebut masih ilegal dan harus siap digusur kapan pun pemerintah kota datang dengan alasan penertiban. Pada kasus ini jelas bahwa yang dibutuhkan adalah, pengakuan negara atas wilayah yang mereka huni, yaitu legalitas. Golongan kedua adalah para anak muda dengan rentang usia 16 sampai 25, mayoritas mempunyai tanggapan yang hampir sama dengan golongan pertama. Sebagian anak muda yang kami temui memang mempunyai impian untuk dapat tinggal di tanah negara yang legal dan tidak perlu khawatir akan penggusuran. Hal ini menunjukkan bagaimana akar permasalahan orang tua mereka sudah sampai pada pola pikir dan kepentingan utama mereka. Isu yang diperhatikan oleh golongan pertama sudah menjadi kesepakatan bersama dengan golongan anak muda/dewasa untuk masa depan kehidupan mereka pada wilayah yang mereka huni. Keadaan ini sangat berbeda dibandingkan dengan perilaku anak muda di kota besar yang memang hidup berkecukupan dan sanggup menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan di dalam maupun di luar sekolah/kampus.

Golongan yang ketiga adalah anak-anak yang masih mempunyai sedikit harapan akan kehidupan ideal versi mereka. Pada golongan anak-anak, kebutuhan akan ruang publik untuk bermain masih menjadi impian kecil mereka. Bermain sepak bola, layangan, atau sekedar hanya berkumpul memang tidak difasilitasi saat ini di lingkungan tempat tinggal mereka. Obrolan KKK dengan warga Kemanggisan, Kebon Jeruk yang posisinya ada di bantaran kali sekretaris, memang hanya bisa memanfaatkan daerah bantaran tersebut untuk bermain dan beraktivitas. Ada aturan negara yang tidak membolehkan membangun struktur permanen pada bantaran kali, namun usaha warga dalam mensiasati tetap terlihat di sepanjang bantaran dengan menanam banyak pohon dan membuat tempat duduk sederhana

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

88


Merdeka di Tanah Negara

(bale-bale) untuk kumpul sejenak ketika penat di dalam rumah. Lain orang lain cerita, Lain kepentingan lain pula kebutuhannya. Pembacaan dari tiga golongan tersebut, setidaknya dapat merepresentasikan kebutuhan utama khususnya masyarakat yang masih mendiami tanah legal. Kebutuhan akan bentuk pengakuan dari negara terhadap mereka itu sendiri. Peraturan tetaplah akan menjadi sebuah peraturan. Negara memang tidak menyanggupi mengurusi segala macam golongan masyarakat yang ada di kota Jakarta. Negara lewat pemerintah kota hanya bisa membatasi wilayah berdasarkan kebutuhan itu tadi, memang sudah sewajarnya masyarakat yang khususnya mendiami tanah ilegal, harus rela meninggalkan area tersebut tanpa harus ditertibkan terlebih dahulu. KKK sebagai sebuah kelompok kerja yang terdiri dari beberapa orang yang mempunyai latar belakang disiplin serta berdomisili yang berbeda pula, memang tidak menawarkan solusi untuk memecahkan masalah-masalah mereka saat ini. Salah satu yang kami anggap penting untuk dapat dikembangkan adalah temuan temuan yang didapat ketika melakukan riset ke beberapa kampung di Jakarta. Dari sana kami lebih memahami potensi perorangan atau individu yang melakukan kerja kerja atau aktivasi di dalam kampung yang berhubungan dan berkaitan dengan unsur kelokalan, kerja kreatif, dan bersiasat. Kami tidak berada dalam wilayah advokasi bagi mereka, kami datang untuk membaca potensi beberapa masyarakat dengan kesibukannya. Masyarakat baik individu maupun kelompok kecil yang terlihat aktif dan mampu melibatkan orang lain di dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, adalah salah satu harapan bahwa hidup tidak harus selalu dibayang bayangi kekhawatiran dan ketakutan. Potensi individu ini yang mampu menjadi kurator di dalam kampung masing masing. Potensi individu yang mampu menjaga warganya untuk dapat aktif berkegiatan bersama berdasarkan kesenangan di tiap tiap lokasi tempat mereka bermukim.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

89


Freedom on the State Land

Freedom on the State Land M. Sigit Budi Santoso

I

ndeed, we don’t have to be poor to talk about poverty. However, if we talk about poverty without putting an effort to try becoming a part of the poverty itself, we might never be able to compare it to other lives. A direct contribution could give a more tangible experience, rather than just talking, reporting, sharing, or even preaching about it. An attempt at understanding by merely observing is not going to make us more sensitive as human beings. Take a look at those television hosts who were assigned to become parts of poverty for several days with poor families. These hosts came from sufficient economic backgrounds, but they forced themselves to adapt to this new life for an episode. They had to live in a crooked house with no bed to sleep on; they also had to cook and have a simple meal. This kind of drama, which

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

90


Freedom on the State Land

highlights humanity and poverty as an entertainment show that displays the poor for mere content, is a perfect commodity. While this has been going on for quite a long time, is it going to be constantly made for entertainment purposes? In reality, are those poor societies truly entertained with this content? Coming to the poor, asking about their lives, asking about their strategies to survive, asking about their mind when it comes to playing cat-and-mouse with municipal police, etc. These are the same questions that are constantly thrown at them. How much longer until it is time to call it quits? Similar questions also come from cultural practitioners, particularly the realm of contemporary arts, for researchers, curators, and artists who work and conduct research on urban villagers. It becomes curious as to why the lives of the poor in urban villages becomes an interesting subject. Has art become so boring for the artist, with all of his artworks and contemplations inside his studio? Is it because working in a gallery or museum is not challenging or interesting anymore so that the curator moves his curatorial works away to the realm of public space and the daily lives of poor urban villagers? There are so many assumptions that emerge from the patterns of work of arts towards the discourse of contemporary arts today, but one thing is for sure: it is the high social awareness that brings these art practitioners to the issue of poor society in Jakarta. It is true that not every artist comes from formal institutions such as galleries or art schools. Some urban villages have their own self-taught artists that are even working in the field of arts in Jakarta. We met with one of the artists from a settlement in Penjaringan who works with painting as a medium and applies it to a praying room built by the locals. This calligraphy painting gig has been done in several praying rooms in several settlements in Jakarta, using perfunctory equipment and paid with minimum wage.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

91


Freedom on the State Land

Besides calligraphy, some artists we met also painted on boats owned by mussel fishermen. The lives of urban villagers in Jakarta possess different vitality. They also create different unique strategies, all of them are interesting to be referenced as forms of mindset and work patterns which are apparently still applied in this modern time. Speaking of strategy, we will definitely talk about its connection to needs. However, not every need can be circumvented, as there are huge risks that can not be avoided simply. Let us discuss needs, and see them from a different point of view. Start with posing one question to the poor living in Jakarta: what are their most basic and important needs at this moment? When we had the opportunity to visit several urban villages in Jakarta, KKK (Kelompok Kurator Kampung, Urban Village Curators Group) asked the aforementioned question to the local residents that we divided into three groups: Elderly/Adult/Family, Youth, and Children. Their answers were enough to represent the current condition. The first group was our (KKK) main entryway to every village in Jakarta. KKK worked with Jaringan Rakyat Miskin Kota (Urban Poor People Network), or JRMK, and Urban Poor Consortium (UPC). Both have networks spread throughout the urban villages in Jakarta. This group was in the front line in every settlement, both legal and illegal. Speaking of illegal settlements, they are usually located by the riverbanks, state-owned land, or parts of private facilities. These things make them illegal, and so they have to be prepared for eviction by the government at any given moment. In this case, it is clear that what they need is state recognition of their living spaces or legality. The second group was the youth between the age of 16 to 25 years old, where the majority of them gave a similar response to the first group. Some of the youths we have met dreamed of living on a legal state-owned land so that

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

92


Freedom on the State Land

they would not have to worry about eviction. It showed how the roots of all their parents’ problems had finally arrived at their own mindset and priority. The main issue regarding the future of their living space that became the main concern for the first group had reached an agreement with the group of youth/young adults. This circumstance is far different from the behavior of youth in big cities who live sufficiently and can afford to occupy themselves with various activities, both inside and outside their school/campus. The third group was children, who had little hopes and a picture of an ideal life. They still had a little dream of having a public space to play. Indeed, at this time they were not given any facility to play football or fly kites, or simply to hang out with friends. From our conversation with local residents of Kemanggisan, Kebun Jeruk, located by Sekretaris river, they could only make use of the riverbanks to play and do other activities. State regulations do not allow permanent buildings by the river, but the locals have another strategy. They planted trees and built simple benches to sit around and hang out together. Different people have different stories and, of course, different needs. These three groups at least managed to represent their fundamental needs, particularly those who live on illegal land. It is the need for state recognition of themselves. However, rules are rules. The state government can not afford to take care of every group of society in Jakarta. Through city government, the state can only limit the area based on such need, so the society—particularly those who live illegally—should have been prepared to leave even before getting evicted. Indeed, as a workgroup consisting of people with diverse disciplinary backgrounds and domiciles, KKK did not offer solutions to their current problems. The main issue that we consider important to develop is our findings as we did research in several urban villages in Jakarta. KKK saw potentials

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

93


Freedom on the State Land

in each individual who do work or activation in the village regarding local elements, creative works, or scheming. We were not serving as their advocates. We came to read the potentials of some of the locals with their activities. The society, either individual or active small groups that are capable to bring people together in planning activities, is one hope that life does not always have to be haunted by anxiety and fear. These individuals have what it takes to be curators of their own villages. They have what it takes to protect local residents so that they can go about their everyday lives in their own spaces.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

94


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

Pemandangan dari Bawah Jalan Raya Ayos Purwoaji

D

alam sebuah masyarakat perkotaan, lapisan masyarakat miskin adalah sebuah keniscayaan. Mereka ada di setiap kota besar, tinggal di pemukiman padat di balik gedung-gedung bertingkat, bersembunyi dari tatapan para pejalan. Kelas menengah dan atas membangun ilusi seolah-olah tidak ada orang melarat di Jakarta. Membentuk rumah kaca yang memantulkan bayangan mereka sendiri. Sementara sejak lama, para akademisi mengkaji tentang mereka, berusaha menemukan formula dan solusi untuk “mengentaskan kemiskinan” demi mewujudkan “pertumbuhan ekonomi lepas landas”. Berbagai studi dilakukan, berbagai seminar digelar, tapi kaum melarat tetap saja ada di Jakarta. Pembangunan ibukota yang tergesa-gesa serta pemusatan kebijakan ekonomipolitik di masa Orde Baru membentuk arus urbanisasi yang sangat besar.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

95


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

Masyarakat perdesaan berbondong-bondong memadati Jakarta, megapolis setengah matang yang perencanaannya tak pernah beres hingga hari ini. Di tengah kompetisi untuk mencari peruntungan dan berebut sumber daya itulah kemudian terbentuk kelas masyarakat tersisih. Di mana kemampuan mereka dianggap tidak memenuhi prasyarat untuk mendapatkan penghidupan layak dan mengakses kebutuhan dasar. Sebagian dari mereka memutuskan pulang ke daerah asal, namun sebagian lainnya memilih bertahan mati-matian di Jakarta. Mengerjakan apa saja, mengais apapun yang bisa diraih, bahkan membentuk subkebudayaan mereka sendiri. Pada tahun 1966, Oscar Lewis menawarkan pandangan tentang kemelaratan sebagai suatu subkebudayaan dalam masyarakat perkotaan. Pandangan tersebut—yang dikenal sebagai culture of poverty—di awal kemunculannya menimbulkan kontroversi dan kebingungan, seolah-olah pandangan tersebut hadir untuk meromantisasi ketimpangan dan juga mengekalkan lapisan masyarakat miskin. Tapi Lewis membela diri bahwa pandangannya lahir dari studi yang bisa dipertanggungjawabkan. Baginya, masyarakat kelas bawah perkotaan memiliki pandangan dan pola hidup yang khas, mulai dari struktur kekeluargaan, bentuk relasi sosial, sistem nilai, hingga model konsumsi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kekhasan ini juga dibentuk oleh pengalaman mereka terhadap perebutan ruang dan sumberdaya perkotaan yang sesak dan semakin tersekat-sekat, baik secara formal maupun informal. Pemisahan sosial semakin tajam dan jurang kesejahteraan terbentang lebar. Partai politik tak menjangkau aspirasi dan kebutuhan mereka, sementara lembaga pemerintahan malumalu mengakui keberadaan kelas paling bawah ini. Tidak adanya jaminan sosial dan pekerjaan tetap membuat masyarakat miskin kota akrab dengan model ekonomi sambung hidup atau sektor kerja informal. Mereka sangat menghargai kebebasan dan kerja bebas yang sejalan dengan kemampuan mereka untuk menanggung beban hidup dan resiko

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

96


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

dari ketidakpastian hidup. Kondisi “serba tidak tetap” tersebut menuntut lapisan masyarakat kelas bawah untuk mengembangkan kemampuan adaptif atau bahkan manipulatif. Karena dipaksa oleh keadaan, mereka harus bisa hidup di mana saja, mulai dari bantaran sungai, pinggir rel kereta, kolong jembatan, atau bahkan hidup berpindah-pindah menyusuri jalanan sambil mendorong gerobak. Dalam sebuah catatannya, Dawam Rahardjo sempat menuliskan pengamatannya mengenai daya hidup kaum miskin perkotaan dan bagaimana mereka memanfaatkan ikatan sosial sebagai berikut: “Dan walaupun hidup di kota tidak mencukupi, bahkan sengsara, namun banyak orang dapat kerasan juga dan dapat mempertahankan hidup mereka secara kolektif. Semangat kolektif ini nampaknya cukup tinggi di lingkungan gelandangan dan bisa dipikirkan sebagai sebuah potensi.”

Semangat kolektif dan penguasaan jaringan antar individu memang memegang peranan penting dalam strategi bertahan hidup masyarakat miskin kota, namun jangan dibayangkan ikatan yang terjadi di antara mereka adalah ikatan yang ajeg dan formal, sebagaimana yang dapat ditemui dalam kelompok-kelompok masyarakat tradisional perdesaan. Semangat kebersamaan dan perasaan sebagai sebuah kelompok dalam sebuah komunitas masyarakat kelas bawah perkotaan biasanya dilandasi sikap transaksional dan bersifat temporer saja. Ketidakajegan ini dipengaruhi juga oleh daya adaptasi dan pandangan atas kondisi “serba tidak tetap” yang mereka miliki. Pada contoh khusus, beberapa perkampungan kelas bawah memang dibentuk oleh ikatan kedaerahan yang kuat karena mayoritas penduduknya berasal dari daerah yang sama, tapi secara umum kampung-kampung kelas bawah perkotaan terbentuk dari masyarakat campuran. Mereka berasal dari berbagai desa di Indonesia dan rupanya juga terputus dengan budaya daerah asalnya. Jika berada dalam kesulitan, ada kecenderungan mereka enggan untuk mencari bantuan kepada sanak saudara atau kenalan dari

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

97


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

daerah asal, sebagaimana dicatat oleh Saraswati Sunindyo dalam sebuah studi eksploratif mengenai perkampungan liar di Jakarta tahun 1981. Dalam sebuah kesempatan, seorang penduduk kampung ilegal di Jakarta yang pernah saya temui bercerita bahwa acapkali mereka menemui kesulitan jika salah satu anggota komunitas kampungnya meninggal dunia, siapa yang akan mengurus penguburan mereka? Adakah sanak saudara yang masih tersisa? Dari mana asalnya? Kesulitan tersebut terjadi karena banyak di antara mereka yang tidak memiliki identitas kependudukan pasti dan bahkan beberapa individu menutupi sejarah asal-usulnya. Hal tersebut mengingatkan saya akan sebuah pandangan bahwa sejarah dan memori tidak memiliki fungsi bagi kaum miskin kota. Mereka dianggap sebagai masyarakat tuna ingatan yang tidak terikat dengan asal-usul dan tanah yang ditinggalinya. Mereka bisa datang dan pergi kapan saja. Kehidupan mereka juga jarang diulas dalam perspektif sejarah karena para sarjana lebih banyak menulis tentang para pemenang yang dianggap berhasil mengubah peradaban daripada kehidupan sehari-hari para gelandangan. Pandangan tersebut tidak terlalu tepat karena rupanya juga terdapat sarjana-sarjana yang menulis kehidupan masyarakat miskin dan bahkan pengaruhnya terhadap perkembangan kota. Sebagaimana naskah “Gelandangan Sepanjang Zaman” ditulis oleh sejarawan Onghokham pada 1982 yang menjelaskan sejarah kaum gelandangan dan kondisi kaum miskin di Yogyakarta serta sumbangan mereka di sekitar peristiwa perang kemerdekaan. Dalam naskah yang sama, Onghokham juga menyebut kajian antropologis yang dibuat oleh Parsudi Suparlan pada 1974 berjudul “The Gelandangan of Jakarta: Politics Among Poorest People in The Capital of Indonesia”. Kajian tersebut masih terasa relevan sebab menjelaskan kesadaran dan sikap politik di antara kaum miskin di Jakarta, baik ke luar maupun ke dalam diri mereka sendiri. Perlu digarisbawahi, meski akrab dengan kondisi “serba tidak tetap” dan ikatan sosial yang terjadi bersifat temporer, struktur kuasa selalu terbentuk dalam komunitas-komunitas masyarakat miskin kota. Hingga saat ini misalnya,

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

98


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

beberapa individu dapat memiliki kuasa dan suaranya unggul di antara warga lainnya bisa jadi karena dianggap berpengalaman dan bijak, karena dianggap kuat dan berani, karena dianggap memiliki massa dan jejaring luar, atau karena memiliki hak istimewa berupa akses terhadap sumberdaya seperti air dan listrik. Pemandangan tersebut secara umum juga saya temui di Kampung Kolong Tol, Penjaringan, Jakarta Barat. Kampung ini adalah satu di antara entah berapa banyak kampung ilegal lainnya yang tumbuh memenuhi ruangruang sisa di Jakarta. Saya tiba di sana sebagai salah satu partisipan program pengembangan kurator muda yang dibuat oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2017-2018. Program ini cukup menantang karena mempertemukan kurator-kurator muda dengan konteks ruang penciptaan di tengah masyarakat itu sendiri. Premisnya kurang lebih seperti ini: jika selama ini kurator bekerja di balik dinding museum atau galeri, bagaimana jika kurator bekerja langsung bersama masyarakat di tengah ruang hidup mereka yang spesifik? Sejauh mana praktik kekuratoran dapat diterapkan di tengah masyarakat? Sejauh apa potensi kekuratoran dalam menghadapi isu-isu sosial yang dinamis? Apa yang dapat dihasilkan dari proses kuratorial ketika warga dapat berpartisipasi secara terbuka? Dalam penerapannya di lapangan setiap kurator muda dipasangkan dengan seorang “kurator kampung”. Saya berpasangan dengan Rasdullah yang tinggal di Kampung Kolong Tol. Dalam perjalanannya, M. Sigit Budi S. dari Serrum juga bergabung untuk mematangkan perencanaan, membuat sebuah karya seni video, dan mewujudkan kegiatan yang dirancang bersama warga. Sebagaimana namanya, kampung ini terletak di bawah jalan tol yang dilewati mobil dan kendaraan lain dalam kecepatan tinggi. Di bawah sini, kami bisa mendengar dan merasakan truk dan kendaraan besar lain melintas, suaranya bergemuruh dan getarannya menjalar hingga ke permukaan tanah. Sebenarnya, kampung kolong ini menjadi pemukiman yang relatif nyaman

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

99


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

bagi penghuninya. Bentang lebar jalan raya yang ditopang oleh pilar-pilar beton raksasa berbentuk segi enam memayungi kampung ini dari sengatan sinar matahari dan guyuran hujan langsung. Setiap saat kampung ini terasa lembab dengan aliran udara secukupnya. Warga membangun hunian sederhana menggunakan sisa material apa saja yang mereka temukan: potongan kayu, triplek bekas, lembaran seng, atau spanduk bekas. Hunian semi-permanen yang tersusun rapat tersebut dibangun tampaknya tidak dimaksudkan sebagai pelindung yang kokoh, karena toh kampung tersebut sudah nyaris kedap panas dan hujan, tapi lebih sebagai batas wilayah antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Walau demikian, antara urusan privat dan publik di kampung ini tetap saja sulit diidentifikasi. Di dalam rumah-rumah sederhana tersebut biasanya terdapat lemari pakaian, televisi tabung, dan kasur tipis yang terhampar di atas karpet plastik. Melalui sebuah aturan ditetapkan bahwa setiap keluarga sebetulnya hanya boleh memiliki sepetak rumah. Tapi individu berkuasa justru memiliki petak lebih untuk dikontrakkan kepada warga yang baru datang. Sikap ini memunculkan kecemburuan sosial antara warga dalam waktu yang cukup lama. Di atas peta Jakarta, Kampung Kolong Tol menempati sepotong wilayah tak bertuan berupa ruang sisa pembangunan. Hal tersebut membuat berbagai bentuk perencanaan wilayah tak pernah menyentuh kampung ini. Tidak ada inspeksi pencacahan jiwa dan program kesejahteraan bagi masyarakat miskin (kecuali sedikit sekali upaya dari lembaga keagamaan atau organisasi non-pemerintah). Tidak ada juga pengadaan fasilitas umum seperti jalur pipa air atau instalasi listrik yang masuk. Akibat dari segala keterbatasan tersebut membuat warga Kampung Kolong Tol mengembangkan siasat bertahan hidup mandiri. Tanpa menunggu perhatian pemerintah, mereka membuat sumur-sumur bor untuk mendapatkan air. Sementara listrik dialirkan ke rumah-rumah secara ilegal dengan menggandakan jalur kabel milik otoritas jalan tol. Rasdullah bercerita bahwa pemerintah kota sempat berusaha menggusur Kampung Kolong Tol beberapa kali. Tapi berbagai

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

100


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

upaya penggusuran tersebut nyatanya tidak pernah berhasil. Jika digusur di satu sisi lahan, warga akan menggeser rumah ke sisi lainnya. Pada kesempatan lain, begitu desas-desus rencana penggusuran terdengar, warga tidak lantas bersikap reaktif dengan menyusun barisan atau memasang barikade untuk menghalangi penggusuran sebagaimana lazim dilakukan kampung-kampung ilegal lainnya. Sebaliknya, secara senyap dan efisien, warga Kampung Kolong Tol justru mempreteli rumah-rumah mereka sendiri, meninggalkan material-material tersebut di tempatnya, lantas sebagian warga mengosongkan kampung untuk berdiaspora sementara waktu, hidup berpencar, menumpang tinggal pada kerabat atau kenalan. Begitu tiba waktu penggusuran, polisi pamong praja hanya mendapati sebuah pemandangan berupa serakan material di antara pilar-pilar jalan tol bersama segelintir penghuni yang siap dipindahkan. Seminggu atau sebulan setelahnya, begitu kondisi berangsur aman, penduduk Kampung Kolong Tol datang bertahap. Satu persatu rumah berdiri dan kampung tersebut seperti terlahir kembali. Siasat “digusur dibangun lagi” tersebut didasari oleh pemahaman warga Kampung Kolong Tol yang cukup lentur terhadap ruang. Warga memiliki kesadaran penuh bahwa kampung mereka ilegal, berdiri di atas tanah negara, sehingga mereka juga harus siap untuk digusur kapan saja. Pada hari Jumat, 3 Agustus 2018, saya sempat mendengar warga Kampung Kolong Tol akan membongkar beberapa rumah secara swakarsa karena dianggap melebihi batas lahan yang dapat dibangun sebagaimana ditetapkan warga kampung. Rasa cemas muncul bahwa rumah-rumah tersebut akan membuat kampung yang sebelumnya tersembunyi menjadi mudah terlihat dari sisi jalan raya. Ketertampakan tersebut berbahaya bagi keberadaan enam puluhan rumah lain di kampung tersebut, karena bisa saja sewaktu-waktu polisi pamong praja memergoki keberadaan mereka lantas menggelar penggusuran mendadak. Akhirnya pada Minggu pagi, dua hari kemudian, sebagian besar penduduk lelaki Kampung Kolong Tol bergotong-royong untuk robohkan dua rumah— salah satunya dihuni oleh pasangan tua—dan memindahnya ke lahan sisa

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

101


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

tepat di kolong jalan yang sebelumnya dijadikan pembuangan sampah. Gundukan sampah yang ada dipindahkan, kemudian lahan sempit gelap tersebut dibersihkan dan sisa material bongkaran hunian lama dipakai ulang untuk membangun sebuah kamar mungil yang akan ditempati pasangan tersebut. Semua bekerja dalam sebuah alur dan kecepatan yang menakjubkan di bawah kendali satu dua orang. Di akhir hari, tidak ada yang dipaksa pergi dan semua orang bisa kembali tidur nyenyak seperti sedia kala. Padahal jika digambarkan, kamar mungil tersebut lebih cocok dijadikan kandang ayam atau gudang perkakas karena terlalu pendek untuk ditinggali manusia. Selain itu, tidak ada lubang udara selain pintu masuk. Tapi toh rupanya pasangan tersebut menerima saja keputusan bersama tersebut, karena itu adalah pilihan yang lebih baik daripada harus hengkang dari kampung tersebut. Pengalaman melihat proses negosiasi dan adaptasi spasial yang dilakukan oleh warga Kampung Kolong Tol tersebut mengafirmasi pandangan bahwa masyarakat kelas bawah perkotaan melihat ruang dan konflik spasial dengan cara yang sama sekali berbeda. Kelenturan siasat semacam ini barangkali adalah sebentuk perwujudan kecerdasan kolektif yang merupakan puncak evolusi dari sejarah kaum kecil dalam bertahan hidup di Jakarta. Bagi mereka bayangan atas kondisi ideal sebuah ruang hidup dapat selalu dirombak ulang secara lentur untuk selalu disesuaikan dengan kebutuhan bertahan hidup yang dihadapi sehari-hari. Untuk itu, siasat jangka pendek yang bersifat situasional, sebagaimana pembangkangan-pembangkangan kecil yang dilakukan, seringkali lebih berfungsi daripada strategi jangka panjang untuk menghadapi realitas jalanan yang terus berubah dan selalu bergerak dalam ketidakpastian. Suatu siang, rasa penasaran saya memuncak. Sebuah pertanyaan menggantung, bahwa sebetulnya dengan bermodal pemahaman sangat lentur terhadap ruang dan sebongkah daya hidup yang begitu liat, sekelompok orang yang saya hadapi ini sebetulnya bisa hidup di mana saja di bawah kolong langit, tapi mengapa mereka tetap memilih bertahan di kolong tol

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

102


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

Penjaringan? Rofi’i, seorang warga yang hidup di kampung tersebut kurang lebih sepuluh tahun, menjawab pertanyaan saya dengan enteng bahwa satu alasan membuatnya betah dan bertahan di Kampung Kolong Tol adalah karena “fengshuinya bagus”. Itu bukan jawaban yang bisa saya bayangkan sebelumnya, karena saya tidak tahu bagaimana fengshui bekerja. Tapi saya berusaha mengartikan jawaban pendek Rofi’i tersebut dengan logika yang dapat saya capai. Bahwa apa yang dianggap fengshui itu mungkin sebetulnya adalah seperangkat pengalaman dan pengetahuan yang sangat baik atas jejaring individu dan sumber daya di sekitar kampung tersebut sehingga bisa membuat Rofi’i dan keluarganya bertahan hidup dengan baik sejauh ini. Sebagaimana Rofi’i, dapat dikatakan semua warga Kampung Kolong Tol memiliki pekerjaan informal antara lain sebagai tukang becak, tukang bangunan, pemulung, pengamen, pekerja seks, pedagang kecil atau kriminal kelas teri. Dapat dibayangkan jenis-jenis pekerjaan tersebut menuntut kecerdasan jalanan dan jejaring bawah tanah yang baik. Rofi’i sendiri adalah seorang pemulung, tapi di sela-sela waktu ia juga menjajakan jasa sebagai pembuat mural kaligrafi untuk masjid dan musholla. Belakangan ia tampak sibuk. Dibantu Udin, seorang pekerja serabutan yang melakukan apa saja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, Rofi’i sedang berusaha menyelesaikan mural kaligrafi di dalam musala kecil yang baru saja dibangun di Kampung Kolong Tol. Uang pembangunan musala ini didapat dari sumbangan seorang makelar politik sebagai bagian dari anggaran kampanye partai, sebagian kecil sisanya adalah sumbangan seorang habib kharismatik. Sumber dana tersebut digunakan oleh warga dengan sebaikbaiknya untuk membangun musala yang selama ini mereka impikan. Bagi saya, selain merupakan bangunan paling bagus di seluruh Kampung Kolong Tol, musala ini juga menjadi tempat bermalam yang nyaman selama melakukan kerja lapangan. Kipas angin di dinding membantu menghalau nyamuk dan mengusir hawa panas. Lapisan karpet agak tebal yang menutupi lantai keramik memberikan rasa hangat dan kesan cukup mewah, saya bisa

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

103


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

berguling-guling bebas di atasnya. Setiap pagi saya pasti terbangun karena mendengar adzan yang diteriakkan Rasdullah melalui pengeras suara. Pada beberapa kesempatan, saya juga terlonjak bangun di tengah malam akibat mendengar pertengkaran sengit antar ibu-ibu atau keributan kecil di antara sekelompok remaja yang baru saja pulang memancing ikan sungai. Selepas sembahyang subuh, biasanya saya langsung menuju warung untuk nongkrong dan memesan segelas kopi. Sekitar jam tujuh pagi kegiatan dilanjutkan dengan agenda rutin mengikuti keseharian Rasdullah sebagai tukang becak, mulai dari nongkrong dengan sesama penarik becak di pangkalan muka pasar Teluk Gong, dilanjutkan dengan mengantarkan tabung gas elpiji ke rumah pelanggan, membeli suku cadang becak, sampai menyusuri gang-gang di daerah Kota Tua tanpa arah. Pada kesempatan yang sama, Rasdullah juga banyak bercerita tentang sejarah hidupnya, persinggungannya dengan elit politik, para pengambil kebijakan, akademisi perencana kota, juga perannya sebagai “presiden tukang becak” di Jakarta hingga perseteruannya yang sengit dengan polisi pamong praja. Saat mengikuti Rasdullah berkeliling itulah saya mulai mendapatkan gambaran yang nyata atas apa yang disebut oleh Ian Douglas Wilson bahwa jalanan dan perkampungan bagi kaum miskin di Jakarta adalah ruang hidup, ruang ekonomi, sekaligus ruang politik “yang secara struktural absen dari kuasa institusional dan politik formal”. Kisah mengenai perebutan atas ruang-ruang kota, sekaligus berbagai siasat yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah di Jakarta untuk mempertahankan ruang hidup mereka inilah yang kemudian menarik perhatian saya untuk diterjemahkan menjadi bingkai kuratorial yang ingin saya kerjakan bersama Rasdullah dan warga Kampung Kolong Tol lainnya. Terutama, saya ingin mendalami lebih jauh mengenai ingatan-ingatan warga dalam mempertahankan sejengkal ruang hidup yang mereka diami. Apa fungsi ingatan bagi warga yang tidak memiliki ikatan atas tanah dan dapat digusur kapan saja? Apakah ingatan komunal bisa membantu mereka untuk merumuskan perasaan dan identitas sebagai sekelompok masyarakat yang padu?

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

104


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

Selain mengumpulkan ingatan warga melalui obrolan, saya juga berusaha untuk mencari arsip yang mungkin ada terkait peristiwa penggusuran yang pernah terjadi di Kampung Kolong Tol. Arsip yang saya maksud ternyata dimiliki oleh Tubagus Rahmat, seorang fotografer jalanan yang selama lebih dari satu dasawarsa secara rutin mendokumentasikan realitas kampungkampung miskin Jakarta. Tubagus sendiri adalah bagian dari organisasi Urban Poor Consortium (UPC) dan sempat tinggal di Kampung Kolong Tol selama beberapa bulan. Ia sempat merekam kejadian penggusuran mendadak di tahun 2012 melalui perekam video yang ia miliki. Selain rekaman penggusuran, Tubagus juga menyimpan foto-foto keseharian warga Kampung Kolong Tol. Sejak saat itu saya mulai bekerja untuk menyalin dan memilah arsip-arsip visual tersebut. M. Sigit Budi S. sempat merekam keseharian Rasdullah dan mewawancarainya untuk kemudian diolah menjadi karya seni video berjudul “Merdeka di Tanah Negara” (2018). Selain itu pada tahap akhir kegiatan, Sigit juga menyiapkan rencana detail kegiatan yang telah dibicarakan bersama warga, yaitu membuat sebuah pameran arsip foto dan kenduren atau kegiatan makan bersama. Dua kegiatan tersebut diselenggarakan di sebuah pelataran kosong di sudut kampung. Kosim, salah satu tokoh yang dituakan di kampung tersebut, turut memberi beberapa masukan. Ia juga menghubungkan Sigit dan saya kepada warga senior lain seperti Engkus dan Erik. Bersama mereka, acara ini dipersiapkan. Kami bersepakat untuk menyelenggarakan kegiatan pada Minggu, 2 September 2018. Pasangan Erik membantu menyiapkan makanan dalam jumlah yang cukup untuk disajikan kepada seluruh warga kampung. Udin dibantu oleh Lumut, anak muda Kampung Kolong Tol yang juga seorang seniman tato, membantu menyiapkan gantungan sederhana dari kawat terikat ke pilar-pilar jalan tol sebagai tempat menggantung berbagai foto yang sudah dicetak baik di atas kertas maupun di lembaran vinyl. Sesaat setelah persiapan selesai, warga mulai bergantian mendatangi pameran sederhana ini. Mereka melihat sejarah sosial mereka sendiri melalui arsip

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

105


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

visual yang ditampilkan, terutama foto-foto yang menunjukkan proses penggusuran dan keseharian mereka di Kampung Kolong Tol. Beberapa warga kampung hanyut dalam nostalgia karena beberapa sosok yang mereka kenali sudah meninggal atau beberapa warga yang sudah lama meninggalkan kampung tersebut. Para remaja dan anak-anak mulai menebak-nebak dan bertanya kepada orang tua mereka mengenai kisah di balik foto-foto tersebut. Kosim mengatakan kepada saya bahwa arsip-arsip ini berguna untuk diperlihatkan kepada setiap warga baru yang belum pernah merasakan penggusuran, agar mereka memahami sejarah keberadaan kampung tersebut yang tak lepas dari berbagai peristiwa penggusuran oleh pemerintah. Siang itu, warga melihat diri mereka sendiri dalam arsip yang dipamerkan. Interaksi yang bergairah antara foto dan subyek yang merupakan warga Kampung Kolong Tol memberi nafas baru bagi keberadaan arsip-arsip visual yang selama ini disimpan oleh Tubagus Rahmat. Beberapa pakar visual etnografi menyebut proses interaksi semacam ini–meski tidak terlalu persis—dengan istilah shared anthropology, yaitu sebuah kondisi saat warga bersama-sama melihat, memberi komentar dan memaknai kembali rekaman-rekaman etnografis mengenai diri mereka sendiri. Perihal bagaimana warga kampung kota membaca diri dan sejarahnya sendiri, sebetulnya sudah pernah dilakukan melalui penerbitan buku “Rakyat Miskin Kota Menulis Riwayatnya Sendiri” oleh Urban Poor Consortium (UPC) tahun 2003. Buku tersebut menampilkan kisah-kisah warga melalui perspektif dan cara tutur yang mereka tentukan sendiri, entah dengan tulisan tangan, kolase, atau gambar. Sudut pandang dari bawah seperti ini rasanya penting diselami dan diutamakan bagi setiap pekerja budaya yang ingin bekerja bersama warga kelas terbawah perkotaan. Dalam konteks yang sedikit berbeda, meminjam pandangan Hersri Setiawan, penting bagi pekerja budaya yang turun ke masyarakat untuk “menangkap ‘denyut jantung yang di bawah’, menjadikan dirinya sebagai wahana bagi yang di bawah untuk menyuarakan apa yang hidup di bawah itu...manjing ajur-ajer (melebur

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

106


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

menyatu) bersama dengannya”. Karena dengan menyelami sudut pandang tersebut sangat mungkin memberikan gambaran realitas yang sama sekali berbeda ketika memandang sebuah kota yang sama. Sekitar pukul setengah empat sore, makanan mulai disajikan. Nasi beserta lauk pauk sederhana dihamparkan. Warga mulai berdatangan memadati lokasi pameran. Beberapa pemuda membantu menggelar terpal sebagai alas duduk melingkar di tengah pelataran dikelilingi oleh foto-foto arsip sejarah kampung. Kosim memberikan sedikit pengantar mengenai pameran dan menyampaikan ingatannya mengenai beberapa peristiwa penggusuran di Kampung Kolong Tol. Setelahnya, warga menutup kegiatan pameran dengan menggelar makan bersama. Kenduren kecil tersebut secara simbolik juga merayakan ingatan atas ruang hidup yang mereka tinggali, yang mengikat mereka ke dalam sebuah identitas kolektif (meski bersifat transaksional dan sementara), yang membuat mereka bertahan di tengah belantara Jakarta. Bagi saya, pengalaman untuk turut bekerja dan mencipta peristiwa bersama warga Kampung Kolong Tol mengingatkan bahwa medan seni rupa yang selama ini saya kenal hanya menyentuh golongan atas dan menengah, jarang sekali terjadi proses menetes sehingga menyentuh lapisan sosial terbawah dari masyarakat kota. Sementara itu, di Indonesia belum banyak kurator yang memandang masyarakat perkotaan kelas bawah sebagai wilayah praksis dan diskursif, karena yang jamak ditemui saat ini hampir semua lini praktik dan pendidikan berorientasi pada pengembangan kurator muda sebagai bagian dari sistem museum maupun galeri, sementara kedua entitas tersebut sebenarnya belumlah memiliki pijakan yang cukup kuat di tengah kebudayaan masyarakat Indonesia. Maka perlu sebuah strategi radikal bagi para pelaku seni rupa, terutama para kurator muda yang percaya bahwa rakyat adalah pencipta kebudayaan itu sendiri, untuk mengarahkan kerjakerjanya secara langsung kepada lapisan terbawah dan termiskin ini dan menjelajahi batas-batas terluar yang menjadi persilangan di antara seni dan masyarakat.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

107


Pemandangan dari Bawah Jalan Raya

DAFTAR BACAAN Afrizal Malna (ed.), “Rakyat Miskin Kota Menulis Riwayatnya Sendiri: 5 tahun Jaringan Rakyat Miskin Kota” (Jakarta: Urban Poor Consortium, 2003) Antariksa, “Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-LEKRA 1950-1965” (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2005) Ian Douglas Wilson, “Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru” (Jakarta: Marjin Kiri, 2018) Onghokham (ed.), “Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial” (Jakarta: LP3ES, 1984) Oscar Lewis, “The Culture of Poverty” (Scientific American, Vol. 215, no. 4, 1966) Parsudi Suparlan, “The Gelandangan of Jakarta: Politics among the Poorest People in the Capital of Indonesia” (Cornell Modern Indonesia Project no. 18 (Okt), 1974)

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

108


A View from Under the Highway

A View from Under the Highway Ayos Purwoaji

I

n urban society, poor people is an inevitability. They exist in every big city, living in dense settlements behind skyscrapers, hiding from pedestrians’ views. The middle and upper classes create an illusion as if there is no poverty in Jakarta. They build a mirror house that only reflects itself. Meanwhile, academics have been studying poor society and trying to formulate and find solutions to “alleviate poverty” in order to manifest “the taking off of economic growth.” Studies are done, seminars are held, but poor society still exists in Jakarta. The hasty construction of the capital and centralization of economic-political during the New Order has created a massive flow of urbanization. Rural communities flock to Jakarta, a half baked megapolis with its unfinished plannings until today. Within competitions to find luck and scramble over

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

109


A View from Under the Highway

resources come marginalized society, where their skills are deemed not meeting prerequisites to earn a decent living and access to basic needs. Some of these people decide to return to their hometown, but others choose to survive in Jakarta by doing any work, scraping whatever they can get, even creating their own subculture. In 1966, Oscar Lewis offered his view on poverty as a subculture in urban society. This view— known as the culture of poverty—raised controversy and bewilderment, as if it appeared to romanticize inequality and to perpetuate the poor society. However, Lewis defended that his view came from accountable studies. According to him, lower-class society has a particular viewpoint and life pattern, starting from kinship structure, a form of social relations, value system, to consumption models that are passed from one generation to the next. This particularity is shaped by their experiences on struggle for urban spaces and resources that are getting even more cramped and insulated, either formally or informally. Social separation becomes sharper and the gap in welfare is widening. Political parties do nothing to meet their aspirations and needs, while government agencies can’t afford to admit the existence of lower class. The absence of social security and jobs makes the poor urban society grow accustomed with subsistence economy or informal work sector. They truly value freedom and free work that go in line with their capacity to bear the burden of life and the risk of uncertainty. This condition of “impermanence” demands lower class society to develop adaptive, even manipulative, ability. Forced by the circumstances, they must be able to live anywhere, such as riverbanks, edge of railroads, under the bridges, or even adopt nomadic life while carrying carts. In one of his notes, Dawam Rahardjo wrote his observation on the livelihood of the urban poor and how they make use of social ties as follows:

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

110


A View from Under the Highway

“Even if living in the city is insufficient, even full of misery, eventually many people are able to endure and survive collectively. It seems that this collective spirit is quite high in vagrant neighborhood and can be considered a potential.” Indeed, collective spirit and mastery of networks between individuals play important roles in the strategy of survival among poor urban society. However, do not imagine this bond between them as steady and formal as in rural traditional society. Spirit of togetherness and sense of group in lower class community are usually based on transactional attitude, and it is temporary. This instability is also influenced by their adaptability and views on their “impermanent” conditions. In a particular case, some lower class settlements are indeed shaped by strong regional bonds since the majority of the populations come from the same region, although urban lower class settlements in general are formed by diverse society. They come from various villages in Indonesia, and apparently they are also disconnected from the culture in their own hometowns. When faced with difficulties, they tend to hesitate to ask for help from their family or relatives back home, as noted by Saraswati Sunindyo in an explorative study on illegal settlements in Jakarta in 1981. I met with one of the residents on one occasion and they told me they often found difficulties when one of their community members passed away. Who would take care of their funerals? Were there any relatives left, and where were they from? Such difficulties exist because most of them do not have certain residential identity, some individuals even cover up their backgrounds. This reminds me of a view that history and memory serves no function for urban poor society. They are deemed memory impaired society who are not tied to their origins and hometowns. They may come and go whenever they like. Furthermore, their lives are rarely covered from historical perspective because scholars tend to write more about winners who are considered

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

111


A View from Under the Highway

successful in changing civilization rather than the everyday life of vagrants. Such view is not very accurate since there are also some scholars who write about poor society and their influences on the city development, such as “The Vagrants of All Time” (Gelandangan Sepanjang Zaman), written by Onghokham in 1982, which describes the history of vagrants and the condition of the poor in Yogyakarta, and their contributions during the era of war of independence. In the same manuscript, Onghokham mentioned anthropological study made by Parsudi Suparlan in 1974, titled “The Gelandangan of Jakarta: Politics Among Poorest People in The Capital of Indonesia.” This study is still relevant today as it illustrates the awareness and political attitude among the poor in Jakarta, both outward and inward on themselves. It needs to be emphasized that even though urban poor society is familiar with “impermanent” conditions and temporary social ties, a power structure is always created among the communities of urban poor society. For example, some individuals nowadays is able to obtain power and dominant voice among other residents, probably because they are considered more experienced and wiser, stronger and more courageous, having more followers and networks, or having privileges to access resources such as water and electricity. I found this scene in general in Kampung Kolong Tol, Penjaringan, West Jakarta. This is one of many illegal settlements occupying remaining spaces in Jakarta. I was there as one of participants in a young curator development program by Jakarta Arts Council in the year 2017— 2018. This program was quite a challenge as it brought young curators to the context of creation space among the society itself. The premise was something like this: while curators have been working inside museums or galleries for a long time, what if curators work directly with the society within their specific living spaces? To what extent does curatorial practices afford to apply among society? To what extent is the curatorial potential in facing dynamic social

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

112


A View from Under the Highway

issues? What can be resulted from a curatorial process in which society can participate openly? In the field application, I was paired with Rasdullah, a local of Kampung Kolong Tol. M. Sigit Budi S. from Serrum also joined us during the process to finalize plannings, make video art, and implement activities built together with local residents. As the name suggests, this settlement is located under the highway (Kampung Kolong Tol literally means ‘settlement under the toll road’). We are able to hear and feel trucks and other big vehicles passing by down here, as the sound rumbles and the vibration spreads through the ground. This settlement is relatively comfortable for its locals. A highway supported by giant concrete hexagonal pillars protect this area from direct sunlight and pouring rain. This place feels damp every time with sufficient amount of air flow. The residents built simple houses using any available material: pieces of wood, plywoods, zinc sheets, or old banners. This dense semi-permanent housing does not seem to be intended as a sturdy protection, since the settlement itself is almost heatproof and rainproof, but it is rather built as a borderline between one family to the other. Nevertheless, it is difficult to differentiate private and public matters in this place. In general, there are one wardrobe, one tube television, and one thin mattress on a plastic carpet in these houses. There is one rule that specifies one family is permitted to have only a single plot, but individuals in power are allowed to have more than one plot for rent to newcomers. This circumstance inflicts social envy among locals for a long period of time. In the map of Jakarta, Kampung Kolong Tol occupies a no man’s land in the form of the remaining space from construction. This causes area plannings never reach this place. There is no population census and welfare program for the poor (except a very small effort made by religion institutions or non-governmental organizations). There are also no public facilities, such

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

113


A View from Under the Highway

as water pipeline or electricity. These limitations cause local residents of Kampung Kolong Tol develop independent survival strategies. Without waiting for the government, they drilled artesian wells to obtain water. Meanwhile, they distribute electricity to houses illegally by duplicating cable lines belonging to the toll road authority. Rasdullah told me that the city officials have made several attempts to evict Kampung Kolong Tol, to no avail. If they are evicted in one area, they will shift their houses to another area. On another occasion, when there are rumors of eviction, the residents are not going to line up or put up a barricade to prevent eviction attempt, as is commonly done by other illegal settlements. On the contrary, they quietly and efficiently strip down their houses, leaving the materials as is, and some of them disperse temporarily and stay with their relatives. When the day comes, municipal police will only find scraps of materials among concrete pillars with few locals that are ready to be displaced. A week or a month afterwards, when the conditions is safe, they return gradually. Houses are rebuilt one by one, as if being reborn. This strategy of rebuilding is based upon the flexible understanding of local residents about space. They are fully aware that their settlement is illegal, built on a state-owned land, so that they must be prepared to get evicted at any moment. On Friday, August 3 2018, I once heard the residents of Kampung Kolong Tol would dismantle several houses on their own initiatives because they are considered exceeding the limit of buildable land as established by the locals. There was concern that these houses would make the once-hidden settlement visible by the side of the road. This would be dangerous for the existence of the other houses, as municipal police might be able to spot them and carry out sudden eviction. Eventually, two days later, on a Sunday morning, most of male residents in Kampung Kolong Tol worked together to tear two houses apart—one of which was occupied

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

114


A View from Under the Highway

by an elderly couple—and move them to the remaining area under the road that was once used as garbage disposal. They moved the scrap heap away and cleaned the narrow area, and then they used scrap materials to build a small room for the elderly couple. Everybody worked in an amazing flow and pace under the control of one or two people. At the end of the day, nobody was forced to leave and everybody was able to go about their everyday lives, despite the fact that the small room was much more suitable as chicken coop or toolshed as the ceiling was too low for a human being. Moreover, there are no ventilations other than one door. But, after all, the couple accepted the joint decision because it was a better option rather than leaving the settlement. Witnessing the process of negotiation and spatial adaptation by the residents of Kampung Kolong Tol affirms the view that lower class urban society sees space spatial conflict in a completely different way. This maneuverability might be the form of collective intelligence which is the culmination of the evolution of the poor in surviving in Jakarta. For them, a reflection of an ideal living space condition can always be changed to adjust to the needs of daily survival. Therefore, situational short-term strategies, along with minor disobediences, oftentimes works better than long-term strategies to deal with ever-changing reality on the streets that keeps moving with uncertainty. One afternoon, I got increasingly curious. With flexible knowledge about space and a strong vitality, these people could have lived anywhere, but why do they choose to stick around under Penjaringan toll road? Rofi’i, a local resident who’s been living in the area for nearly ten years, gave one simple answer: “The feng shui is good.” That was not the answer I had in mind, as I have no idea how feng shui works. However, I tried to interpret his short answer using any logic I could get, that what he meant by feng shui was probably a set of experiences and a very good knowledge about network of individuals and resources around

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

115


A View from Under the Highway

the settlement that have helped him and his family survive well so far. Just like Rofi’i, it is probably safe to say that every resident of Kampung Kolong Tol has an informal job, like pedicab driver, construction worker, scavenger, street musician, sex worker, street vendor, or petty criminal. We can imagine these works demand street smarts and good underground networks. Rofi’i is a scavenger himself, but in his spare time he also offers calligraphy writing service for local mosques or musholla (prayer room). He was quite busy lately. With help from Udin, who works odd jobs to support his little kids, Rofi’i was trying to finish calligraphy mural in a newly built small musholla in the settlement. The construction money was donated by a political broker as a part of the party campaign budget, while the rest of it was donated by a charismatic habib. This fund was used by locals to build a musholla that they have been dreaming of. For my part, apart from being the best building in the whole Kampung Kolong Tol, this musholla also served as a comfortable place to spend the night during my field work. The wall fan cooled the air and kept mosquitoes away. The thick carpet covering ceramic floor gave warmth and an impression of luxury. Every morning I was always awaken by adzan (a call of prayer) by Rasdullah through the megaphone. On several occasions, I was rudely awakened by the noise of moms arguing or small arguments among a group of teenagers who went back from fishing. After dawn prayer, I usually headed to a nearby street stall to have coffee and hang out with locals. Around 7 AM, I continued by following Rasdullah’s daily activity as pedicab driver, starting with hanging out with fellow pedicab drivers at the base at Teluk Gong, delivering gas cylinders to customers, buying spare parts for his pedicab, and finally strolling around alleyways in Kota Tua. On the same occasion, Rasdullah also talked a lot about his life, his contact with political elite, policy maker, urban planning academic, and his role as the “president of pedicab drivers” in Jakarta, as well as his bitter feud with municipal police. When following Rasdullah around the city, I began to get

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

116


A View from Under the Highway

a real picture of what Ian Douglas Wilson once pointed out, that the streets and settlements are living spaces, economic spaces, as well as political room “which is structurally absent from institutional power and formal politics” for the poor in Jakarta. It is the stories about struggle for urban spaces, as well as strategies carried out by lower class society in Jakarta to preserve their living spaces, that attracted my attention to later render it as a curatorial frame that I would like to work out with Rasdullah and other local residents in Kampung Kolong Tol. I particularly wanted to delve further about the memories of the locals in preserving their small living spaces. What purpose does memory serve for the residents who have no ties to land and can be evicted at any time? Can communal memory help them to formulate sense and identity as coherent community group? In addition to collecting the memories of locals through conversations, I also attempted to look for archives related to the eviction incident in Kampung Kolong Tol. The archives in question are owned by Tubagus Rahmat, a street photographer who has been documenting the reality of slums in Jakarta regularly for more than one decade. He himself is a part of Urban Poor Consortium (UPC), and he lived in Kampung Kolong Tol for several months. He had recorded sudden eviction in 2012 through his video camera. Besides video, he also keeps photos containing daily lives of the locals. M. Sigit Budi S. also had recorded Rasdullah’s daily activities and interviewed him, which was later made into an art video titled Merdeka di Tanah Negara (“Freedom on the State Land,” 2018). During the final stage of the field work, Sigit prepared a detailed plan of activities that had been discussed with the locals, namely photo archive exhibition and kenduren, or having meal together. These two activities were held at an empty yard at the corner of the settlement. Kosim, one of the elder figure, offered some

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

117


A View from Under the Highway

advices. He also linked me and Sigit to other senior residents, such as Engkus and Erik. We prepared this event together. We agreed to hold the event on Sunday, September 2 2018. Erik’s partner also helped with enough meal for all residents. Udin, helped by Lumut, one of the youngsters in Kampung Kolong Tol who is also a tattoo artist, prepared simple decorations made from wires that were tied to the concrete pillars as a place to hang photographs printed on paper or vinyl. Soon as the preparation was finished, the locals began to attend the simple exhibition. They saw their own social history through visual archives, particularly photos that showed the process of eviction and their daily lives at Kampung Kolong Tol. Several residents got carried away into nostalgia because some figures they knew well had passed away, or some old residents had long left the place. Teenagers and children were guessing and asking their parents about the stories behind the photos. Kosim told me that these archives were useful for newcomers who never experienced eviction, so that they understand the history of the settlement which can not be separated from the eviction by the government. That afternoon, the locals saw themselves through the archives. The passionate interaction between the photos and the subjects themselves—in this case, the residents of Kampung Kolong Tol—breathed fresh air to the existence of visual archives owned by Tubagus Rahmat. Some ethnographic visual experts call this interaction process—although not exactly—”shared anthropology,” a condition where local residents see, offer commentaries, and redefine ethnographic records about themselves. As to how urban villagers read themselves and their own history, it was in fact had been done through the book Rakyat Miskin Kota Menulis Riwayatnya Sendiri (“The Urban Poor Write Their Own History”) by UPC in 2003. This book presents stories of the locals through their own perspectives and narrative, either by handwritings, collages, or drawings. I think the

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

118


A View from Under the Highway

viewpoints from down under is important to be explored and prioritized for every cultural worker who wishes to work together with urban lower class citizens. In a slightly different context, borrowing the viewpoint of Hersri Setiawan, it is important for every cultural worker who gets involved directly with the society to “capture ‘the heartbeat of the lower class,’ to make himself a means for the voices of those who live down under...manjing ajur-ajer (becoming one) with them.” By diving into such perspective, it is very likely to offer a completely different picture of reality when seeing the same city. Meals were served around half past three in the afternoon. We had rice and several simple side dish. The locals began to crowd the exhibition area. Several youngsters helped with rolling out tarps at the center of the yard, surrounded by photographs of the settlement. Kosim gave a little introduction about the exhibition and expressed his memories on some eviction incidents at Kampung Kolong Tol. Afterwards, the locals also celebrated memories on their living space, which tied them to a collective identity (although transactional and temporary) and also made them survive in the middle of Jakarta. For my part, the experience on contributing and creating events with the residents of Kampung Kolong Tol reminds me that the art field that I have been familiar with only touches upper and middle classes; it barely touches the lower urban class. Meanwhile, there are not many curators in Indonesia that see lower urban class as praxis and discursive area, as what is common today is that almost all lines of practice and education are oriented towards developing young curator as parts of museum or gallery, whereas these two entities actually do not possess a strong base amidst Indonesian community culture. Therefore, it takes a radical strategy for fine arts practitioners, mainly young curators who believe that the people are the creators of the culture itself, to drive their works directly towards lower class society and explore outer boundaries that constitute an intersection between arts and society.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

119


A View from Under the Highway

REFERENCES Afrizal Malna (ed.), “Rakyat Miskin Kota Menulis Riwayatnya Sendiri: 5 tahun Jaringan Rakyat Miskin Kota” (Jakarta: Urban Poor Consortium, 2003) Antariksa, “Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-LEKRA 1950-1965” (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2005) Ian Douglas Wilson, “Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru” (Jakarta: Marjin Kiri, 2018) Onghokham (ed.), “Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial” (Jakarta: LP3ES, 1984) Oscar Lewis, “The Culture of Poverty” (Scientific American, Vol. 215, no. 4, 1966) Parsudi Suparlan, “The Gelandangan of Jakarta: Politics among the Poorest People in the Capital of Indonesia” (Cornell Modern Indonesia Project no. 18 (Oct), 1974)

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

120


A View from Under the Highway

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

121


A View from Under the Highway

122


A View from Under the Highway

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

123


Kurator, Kampung, dan Keseharian

Kurator, Kampung, dan Keseharian Wawancara dengan Gugun Muhammad

Wawancara ini dilakukan pada tanggal 30 Desember 2020, diikuti oleh Leonhard Bartolomeus, Rifandi S. Nugroho, dan Angga Wijaya. Bagi sebagian orang, Gugun Muhammad dikenal sebagai organisator komunitas yang tinggal di Kampung Tongkol, Jakarta dan aktif sebagai bagian dari Urban Poor Consortium (UPC) yang menjadi mitra dari Kelompok Kurator Kampung (KKK) saat berkegiatan di kampung-kampung Jakarta. Transkrip wawancara ini disunting kembali oleh Ayos Purwoaji untuk membuat lebih nyaman dibaca tanpa mengubah isi pembicaraan.

Leonhard Bartolomeus (LB): Ingin dengar secara singkat apa yang membuat Mas Gugun tertarik untuk terlibat dalam kerja-kerja organisasi di Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) atau Urban Poor Consortium (UPC)? Gugun Muhammad (GM): Aku bukan JRMK tapi UPC. Kalau JRMK itu organisasi untuk masyarakat, sedangkan UPC itu NGO-nya. Tapi memang sekarang agak kabur relasi keduanya, karena adanya berbagai perkembangan dan perubahan.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

124


Kurator, Kampung, dan Keseharian

Kalau sejarahnya, aku mulai masuk UPC secara resmi 2004, walaupun sudah ikut kegiatan-kegiatannya sejak 2003. Saat itu aku kuliah di Jogja, dapet info adanya perekrutan community organizer (CO) di Jakarta. Dari situ aku mulai ikut kegiatan UPC selama tiga bulan. Modelnya berupa kelas lapangan. Meskipun itu bukan pertama kali ke Jakarta, tapi baru saat itulah aku melihat situasi yang sangat berbeda dengan Jogja. Dunia gerakannya juga berbeda. Saat masih mahasiswa di IAIN Jogja, aku mulai berorganisasi di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bedanya ketika mahasiswa bergerak sesama mahasiswa, atas nama rakyat. Tapi ketika pelatihan di UPC itu dorongannya lain. Bukan aktivis UPC mengatasnamakan rakyat, tapi UPC yang menyuarakan dan mendorong. Itu yang membuat aku tertarik. Dalam waktu satu bulan setengah aku ikut kelas lapangan UPC, akhirnya aku sukses, Mas, sukses diusir dari kampung! (tertawa) Saat itu aku turun di Kapuk Empang, Jakarta Utara. Saat itu kampungnya sedang konflik dengan centeng-centeng penjaga tanah. Kampung sebelahnya udah berhasil digusur, selanjutnya yang akan digusur adalah Kapuk Empang itu. Nah ketika berada di lapangan itu, basis pertemanan belum kuat tapi aku sudah bikin pergerakan. Akhirnya ya diusir sama centeng-centeng itu! (tertawa) Begitu balik ke Jogja, ternyata aku menemukan masalah yang sama karena IAIN juga akan digusur. Dari situ akhirnya aku diminta gabung UPC. LB: Jadi awalnya memang sudah terlibat di pengorganisasian ya? Lantas baru kemudian terjun ke area kampung… GM: Kalau pengorganisasian sih sebenarnya sudah dimulai sejak SMA, Mas. Aku pernah mengorganisir sesama siswa untuk mogok sekolah. (tertawa) Gara-gara disuruh bikin seragam. Masak sudah kelas tiga masih disuruh bikin seragam juga? Gerakan protes itu sukses.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

125


Kurator, Kampung, dan Keseharian

LB: Bibit-bibitnya ternyata sudah ada dari SMA ya? (tertawa) Nah, kalau sejak awal sudah di UPC, Mas Gugun sudah cukup fasih dong dengan strategi dan metode pendampingan atau strategi untuk kerja bareng warga dan masyarakat. Kalau misalnya kerja-kerja kesenian mungkin juga bukan barang baru ya karena sejak tahun 80’an juga sudah banyak seniman-seniman yang bekerja bersama warga semacam Moelyono, Pak Arsono itu juga bekerja di kampung. Tapi dari pengalaman Mas Gugun sendiri selama kerja di UPC, kapan sih pertama kali kegiatan kesenian bersama warga semacam ini masuk di kampung kota? GM: Kalau di UPC sendiri bahkan sejak awal berkegiatan juga sudah melibatkan kerja-kerja kesenian. Pendiri-pendiri UPC kan beberapa di antaranya seniman, seperti Afrizal Malna, Tanto Mendut, Dadang Christanto dan mereka terlibat sejak awal. Jadi dimensi seni sebagai media pengorganisasian di UPC sudah ada dan kuat sekali. Di UPC kami mengenal tiga strategi, yaitu pengorganisasian, advokasi, dan jaringan. Tiga strategi itu yang dipakai.

“Kalau dari tiga strategi itu, seniman termasuk dalam bentuk jaringan. Tujuan seni dalam aktivisme itu bisa jadi media untuk memperkuat pengorganisasian dan memperkuat proses advokasi untuk menentukan kebijakan. Nah, sebagai bagian dari media pengorganisasian kesenian dapat dipakai untuk mengumpulkan orang, membangun kesadaran bersama, memperkuat kohesi sosial, tetapi juga bisa jadi alat ekspresi ketika melakukan upaya-upaya advokasi.” LB: Berarti kerja kesenian di dalam kampung bukan hal baru dalam konteks pengorganisasian ya? Tapi juga sebetulnya muncul kecenderungan berbeda, antara inisiatif kerja kesenian itu datang dari UPC dibandingkan dengan, misalnya, seniman-seniman kontemporer sepuluh tahun belakangan,

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

126


Kurator, Kampung, dan Keseharian

yang mulai menggunakan kampung sebagai ruang kerjanya, yang saat ini kita kenal sebagai seni partisipasi, seni kolaborasi. Nah hal-hal semacam itu termasuk yang diakomodasi oleh JRMK dan UPC atau tidak? Di luar strategi kerja UPC dan JRMK sendiri, atau warga kampung itu sendiri, bagaimana melihat makhluk asing bernama seniman kontemporer yang tiba-tiba nongol di kampung lalu bikin sesuatu yang aneh-aneh? (tertawa) GM: Ternyata pertanyaannya berat ya? Bisa diringkas sedikit nggak pertanyaannya? (tertawa) LB: (Tertawa) misalnya ada seniman di luar agenda UPC kerja di kampung, bagaimana Mas Gugun melihat fenomena tersebut? Apakah diterima atau justru dibiarin saja dia mau ngapain? GM: Sebenarnya nggak ada masalah. Bentuk pengorganisasian tidak hanya untuk warga kampung saja. Tetapi juga salah satunya buat publik, yang selama ini tidak berjejaring dengan warga kampung. Sehingga yang tadinya tidak ada keberpihakan dengan warga kampung, niatnya berbeda, tapi setelah bersinggungan ternyata jadi berubah pandangan. Itu menurutku juga bagus dan tidak ada masalah. Perubahan itu tidak hanya dari warga kampungnya saja, tapi juga bisa didukung dari warga luar. Belakangan misalnya banyak dari berbagai kalangan profesi–jurnalis dan arsitek misalnya–dan mahasiswa yang masuk ke kampung, memberi perhatian pada kampung. Itu bisa jadi pendidikan untuk publik juga, tidak hanya untuk kampungnya. Hanya memang, yang jadi masalah, ketika yang datang itu agendanya sudah kaku, nggak bisa digoyang sama sekali. Itu repot. Selama masih bisa digoyang sih masih enak… Rifandi S. Nugroho (RSN): Kalau terlalu kaku kan nggak enak, Mas, lha kalau terlalu goyang gimana, Mas? (tertawa)

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

127


Kurator, Kampung, dan Keseharian

GM: Terlalu goyang ya crot, Mas! (tertawa) RSN: Karena kan terkadang ada juga yang asal datang aja, nggak punya agenda dan ekspektasi apa-apa… GM: Oh kalau itu sih akhirnya kan tergantung dari kerangka berpikir masing-masing ya? Kalau kerangkanya sudah kuat, meskipun kena goyangan kuat kayak angin ribut juga dia masih oke. Jadi minimal tetap harus punya kerangka. Contohnya, aku sebagai organizer. Ketika aku ngopi di sebuah kampung itu apakah sedang berusaha mengorganisir atau sekedar ngopi tanpa tujuan? Kalau hanya sekedar ngopi yo wis hanya ngopi saja, tidak ada kerangka apa pun. Tapi ketika ngopi ada kerangka, tiba-tiba saja setelah ngopi ada kegiatan-kegiatan lanjutan. Oh, berarti kegiatan ngopi ini dalam rangka membangun pertemanan, dalam rangka membangun basis. Nah, itu mau goyang kayak apa asal kerangkanya masih sama sih masih oke. Beda misalnya kalau setelah ngopi terus make sabu-sabu bareng, nah itu baru nggak jelas. Angga Wijaya (AW): Kalau di lapangan, ada nggak cerita-cerita menarik di kampung berkaitan irisan antara seniman dan warga kampung, Mas? GM: Pengalaman yang pernah terjadi ya salah satu contohnya adalah filmnya Afrizal Malna, yang film-film lamanya tentang penggusuran itu kuat banget menaikan tensi penonton. Jadi setelah nonton film-film itu, jadi ada orang marah-marah kepada pemerintah. Filmnya Afrizal tentang penggusuran itu jadi media diskusi, media penyadaran. Karena bisa jadi waktu melihat kejadian langsung dan ketika sudah diolah jadi film nuansanya berbeda. Contoh lain, saat di Porong, Sidoarjo, aku kerja bareng Mas Dadang [Christanto], bikin patung ngelibatin warga setempat untuk pembuatan dengan memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didapat. Lalu setelah pembuatan

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

128


Kurator, Kampung, dan Keseharian

karya itu, kami adakan diskusi. Di situ patungnya Mas Dadang jadi media refleksi, orang jadi bisa bertanya di balik patung-patung itu warga yang terdampak bencana lumpur Lapindo memikirkan apa? AW: Kalau dari kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan Kelompok Kurator Kampung dengan UPC di kampung-kampung Jakarta, tanggapan warga bagaimana, Mas? GM: Aku belum bisa bilang berhasil banget ya, tapi setidak-tidaknya di beberapa tempat berhasil ngumpulin orang. Di Kampung Muka karena bikin mural anak muda jadi bisa ngumpul. Di Kali Apuran malah mereka bikin piknik di pinggir sungai. Di Muara Angke juga begitu [bisa mengumpulkan warga]. Cuma memang terlalu singkat. Proses diskusinya tidak bisa cepat. Tapi bukti bahwa kerja kesenian bisa digunakan sebagai media ngumpulin orang bisa terjadi. Seperti di Kolong Tol, warga jadi bisa ngumpul lagi lalu berbagai cerita tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu. Ternyata pernah ada penggusuran, ternyata pernah ada yang kepalanya keinjek-injek waktu panjat pinang, dan sebagainya. Cuma ya itu, waktu kalian memang terlalu singkat. LB: Dulu kita pernah makan-makan bareng di Kota Tua, kalau saya nggak salah inget kita ngobrolin apakah mungkin kegiatan ini bisa menjadi reguler? Mas Gugun menjawab jangan-jangan daripada reguler lebih baik dikerjakan pada momentum tertentu. Pendapat itu datang dari pengalaman sebelumnya karena gejala warga yang bosan karena pola kerja kesenian semacam ini atau ada penjelasan lainnya? GM: Oh, kalau itu sih manfaatin momentum saja, karena kalau ada momentum biasanya orang jadi lebih mudah bergerak. Dulu tuh kami [UPC] pernah kerjasama dengan calon-calon pendeta. Di masa orientasi, mereka diminta tidur di kampung. Tujuannya untuk meningkatkan empati dan rasa kemanusiaan. Nah, justru aku mau mengajak kerjasama ruangrupa agar

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

129


Kurator, Kampung, dan Keseharian

seniman-seniman muda bikin program serupa. LB: Kita tuh pertama kali ketemu dimana ya? Di ruangrupa ya? GM: Iya, di pameran Sindikat Campursari. Setelah itu ada diskusi bareng di Edwin’s Gallery. LB: Baru dari situ kita kan sempet ngobrol mau bikin sesuatu di kampung. Terus entah gimana kita akhirnya kepikiran untuk bikin proyek kuratorial di kampung kota. Sebenernya waktu itu menurut Mas Gugun, apa sih yang pengen dicari saat itu? Karena kalau seniman, kita udah lumayan maklum ya buat turun ke kampung. Cuma kalau kurator, apa ya banyak kerja di kampung juga? GM: Aku pakai contoh kemampuanku sendiri dalam mengorganisir kan sangat terbatas. Daya jangkau dan segmennya juga terbatas. Aku punya kelemahan tidak bisa mengorganisir anak-anak muda. Kalau orang dewasa, aku bisa. Kedua, cara yang aku pakai juga terbatas. Selama ini terasa kaku, sehingga tidak bisa diterima, dalam arti mengikutkan atau melibatkan orang sebanyak mungkin dari beragam latar belakang. Karena misalnya ngomongin tanah, itu kaku sekali, spesifik urusan orang tua. Kalau urusan gender kami [UPC] lumayan berhasil. Cuman, untuk masuk ke anak muda itu kami belum bisa. Bukan berarti anak muda suruh ngurusi tanah. Tapi skemanya bisa jadi lebih luas. Misalnya ngomongin tanah supaya mencintai kampungnya sendiri, hidup berkomunitas. Berkomunitasnya ini yang penting dan harus dijaga kan? Isu penggusuran itu salah satu yang merusak kehidupan berkomunitas di kampung. Misalnya, rusun memperlakukan penghuni sangat individual. Nah, rasa berkomunitas di kampung ini bisa dibangun dengan berbagai cara. LB: Jadi melihat model kerja kuratorial sebagai alternatif di luar strategi pengorganisasi yang pernah dikerjakan ya?

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

130


Kurator, Kampung, dan Keseharian

GM: Betul, Mas. Kesenian kan dekat dengan kebudayaan, keseharian. Ngomongin tanah kalau hanya pasal-pasal jadinya pertanahan. Arsitektur kalau an sich jadinya ya rumus-rumus. Nah, kesenian inilah yang aku pikir punya kesempatan untuk masuk ke mana-mana. Aku nggak punya bayangan kesenian secara jelas, tapi coba dulu lah, dipikir sambil bikin jalan. LB: Itu sebenarnya menarik karena dikerjakan bareng-bareng dan latar belakang KKK kan beda-beda, ada Ayos dari Surabaya, Adin dari Semarang, dan Ismal dari Jatiwangi. Waktu itu kebayang untuk kerja bareng UPC mungkin akan menjadi menarik karena kita ngelihat ada temen-temen yang punya semangat yang sama. Tapi memang yang belum terbayang saat itu kan strateginya gimana nih supaya bisa ngobrol sama warganya. Ini kan di luar zona nyaman masing-masing; belum kenal kulturnya, tongkrongannya, area kerjanya, dan sebagainya. Menurut saya, buku ini tetap perlu karena ada cerita-cerita yang mungkin belum pernah terbayangkan di dalam praktik kerja kurator sebelumnya. Seperti yang Mas Gugun pernah bilang, hasil akhir penting tapi mungkin itu bukan yang utama. Nah, waktu saat rapat pertama di DKJ itu kita sempet ngobrol-ngobrol, Mas Gugun meminta kalau bisa kita tidak menggunakan kata “proyek” karena takut kegiatan ini dianggap bersifat komersial. Apakah ini pernah terjadi sebelumnya atau karena pembacaan umum aja? GM: Salah satu yang merusak budaya berkomunitas di sini itu ya salah satunya model-model begitu. Contohnya partai, mereka datang ke kampung, ketika ada momentum pemilihan umum. Calegnya datang bawa duit dan sebagainya. Selain itu pemerintah baru masuk kampung ketika ada proyek atau ada rencana penggusuran. Seringkali pemerintah, atas nama pembangunan, bawa proyek yang diserahkan kepada segelintir orang di kampung. Ini belum lama nih. Jadi ada sebuah kampung yang mau digusur, tapi warganya disuruh bikin kantin. Warga pun rebutan, akhirnya berantem sana sini. Selalu orang-per-orang begitu modelnya. Bikin yang lain iri dan

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

131


Kurator, Kampung, dan Keseharian

jadi berantem. Jadi, katakanlah ada proyek beneran ya komunikasinya lewat komunitas saja, terbuka, lalu mereka akan meneruskannya ke masyarkat; proyek segini, uangnya segini, dan jelas. Kalau berhasil, kohesi sosial akan semakin erat karena sesama warga semakin percaya. Persoalannya, untuk hubungan baru, kayak sama temen-temen seniman, menurut pengalaman kami kepercayaannya belum terbentuk. Jadi misalnya Mas Barto dateng lagi, yang ada di pikiran warga, “Wah Mas Barto bawa uang, nih!” Akan dicap begitu terus. Supaya itu tidak terjadi, maka basis pertemanan lah yang harus dibangun. Kalau dalam kegiatan itu membutuhkan uang, itu lain persoalan. Tapi di depan itu basisnya harus pertemanan. LB: Kalau misalnya untuk institusi seperti Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), model [proyek] semacam itu memang jadi lebih gampang, karena ada target yang terukur. Untuk kegiatan kemarin itu jadi menarik karena teman-teman yang terlibat di satu sisi melakukan pendekatan sebagai teman, tapi di belakang sebetulnya ada mesin institusi yang mendorong untuk kejelasan administratif. Bagi saya, itu jadi catatan penting. GM: Bagi teman-teman KKK mungkin nggak ada masalah karena memang pekerjaannya di situ. Lain bagi warga kampung yang pekerjaannya berbeda. Salah satu kegagalan pemberdayaan masyarakat itu, dalam artian tidak berjalan secara kritis, karena program yang dibuat cenderung punya waktu yang mengikat. Ada berbagai indikator keberhasilan yang menutupi realitas. Ini maksudnya yang harus hati-hati. Kalau sekedar mengikuti target itu ya jadi pegawai proyek kesenian. Padahal faktor yang menentukan kan banyak sekali. Aku tidak menolak itu seratus persen tapi perlu dicari jalan tengah. Di satu sisi ada akuntabilitas, namun di sisi lain ada persoalan-persoalan di lapangan yang nggak bisa diabaikan.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

132


Kurator, Kampung, dan Keseharian

Aku pernah ngalamin hal serupa. Dulu UPC berdonor, tapi alhamdulillah pendonornya memberi keluwesan. Tapi ada juga beberapa donor yang kaku dengan isunya. Programnya dijalanin di komunitas, rutin sesuai yang direncanakan, tapi begitu terjadi penggusuran misalnya, lembaga itu tutup mata karena tidak sesuai dengan rutinitas mereka. Jadi jalan tengahnya ya carilah pembiayaan dari institusi yang bisa digoyang kenceng! (tertawa) LB: Buat saya salah satu persoalan yang cukup besar yaitu hampir sebagian besar [proyek seni berbasis masyarakat] itu tidak ada proses timbal balik yang berjalan dengan cukup maksimal. Beberapa kasus misalnya, seniman datang bikin sesuatu, lalu pulang. Hasilnya dipresentasikan ke negara lain dalam bentuk yang tidak lengkap. Mereduksi banyak hal. Dari pengalaman Mas Gugun sendiri, apakah ada kasus di mana misalnya warga jadi lebih kritis dan berani [untuk bernegosiasi] ketika seniman datang? GM: Belum sih. Aku ngelihat belum banyak juga seniman masuk kampung-kampung di Jakarta sambil bawa embel-embel seniman. Kalau mahasiswa skripsi dan penelitian itu banyak. Kalau seniman itu belum. RSN: Selama Covid ada seniman datang nggak, Mas? GM: Kalau di JRMK setahu aku nggak ada. Kecuali di Cilincing, kayaknya ada yang bikin proyek pameran foto. Mungkin masih pada takut ya? LB: Mungkin ada juga kategori kampung-kampung tertentu yang sudah dilabeli menarik bagi seniman. Kemudian yang jadi persoalan adalah mereka yang melihat karya itu berpikir bahwa seniman itu live in di kampungnya. Padahal mungkin saja diekstrak. Nggak tahu setelah ini tren semacam ini akan berlanjut seperti apa. Tapi kalau dari obrolan kita dan teman-teman kemarin, menurut Mas Gugun, kerja-kerja kurator itu bisa diadopsi nggak sih dalam kehidupan sehari-hari warga?

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

133


Kurator, Kampung, dan Keseharian

GM: Bisa, Mas. Sangat bisa. Aku tuh yakin. Kenapa? Karena dari yang aku pahami– dulu aku lupa nanya ke siapa: kurator itu apa sih?—sebetulnya di kampung kan ada beberapa warga yang punya kerja dan metode seperti kurator. Hanya saja memang dalam konsep yang berbeda dari pengertian kurator dalam kesenian. Sebagai contoh, ketika Kampung Tongkol dan Kampung Lodan ngadain festival. Kan tidak ada profesi kurator yang membantu, tapi beberapa orang di kampung bisa nggabungin ide-ide dan mengorganisir warga. Atau misalnya ada acara tujuhbelasan, ada tuh orang yang bisa mikirin keseluruhan acara dari pagi sampai malam. Dalam lingkup kampung, banyak “praktik kuratorial” yang terjadi. Cuma bedanya menurutku kalau kurator dari luar itu terbiasa menyisipkan perspektif tertentu, entah baru atau lama. LB: Maksudnya justru membawa percakapan baru ya? GM: Baru itu maksudnya ada perspektif yang berbeda. Contoh paling mudah kalau kita ambil setiap tujuhbelasan selalu ada lomba-lomba atau paling banter pentas seni. Umumnya kan begitu-begitu saja bentuknya, pokoknya lomba, tapi di balik itu tidak ada. Jadi rutin tahunan. Tapi adanya kurator dari luar itu bisa ngasih perspektif baru. Ada perspektif apa nih di dalam lomba dan pentas seni itu? Bisa dikembangkan ke mana? Kalau dulu lomba kelereng sekarang bisa saja makan kelereng. (tertawa) LB: Mungkin dari Mas Gugun sebagai warga, apa yang bisa dibayangkan atau diharapkan dari adanya kegiatan begini atau kurator lain? Karena mungkin ada juga kurator dari luar negeri yang tertarik. Ada bayangan apa kalau kita membayangkan kerja kurator di kampung berikutnya? GM: Kegiatan kemarin itu sebenarnya aku bisa bilang sudah berhasil. Dalam artian tidak terlalu tinggi karena kita masih cari jalan. Tapi kalau dalam konteks harapan, ada tiga wilayah strategi itu tadi; pengorganisasian, advokasi, dan jaringan. Jadi bisa memunculkan persahabatan lintas kelas.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

134


Kurator, Kampung, dan Keseharian

Warga kampung bisa punya teman seniman. Seniman kalau punya temen warga kampung kan gengsinya lebih naik! (tertawa) Selain itu bisa muncul timbal balik. Dari pertemanan itu ada transfer satu sama lain. Pada keduanya akhirnya seniman jadi lebih tahu soal warga, sementara warga jadi lebih tahu soal kesenimanan. Kalau mau lebih besar lagi, dari proses pertemanan itu muncul dorongan terhadap perubahan. Misalnya, dari yang sebelumnya acuh jadi mulai peduli. Jadi tergerak untuk melakukan perubahan. Kalau secara umum arahnya pasti ke situ, tapi semua pasti diawali dari pertemanan dulu. Teman-teman kampung dengan para seniman itu tidak perlu selalu ada program. Bisa jadi dari sekedar sering kumpul saja kadang-kadang bisa muncul ide. Karaoke bareng misalnya. Basisnya di situ dulu, ada pertemanan, ada transfer, saling mempengaruhi, sampai jadi gerakan dan perubahan. Gerakan sosial kan tidak terkungkung pada satu organisasi, tapi justru nilai yang diikat bersama sebagai solidaritas, sehingga ketika ada isu tertentu bisa solidaritas itu bisa dimunculkan. Di Jakarta Post itu dulu ada program seperti calon pendeta tadi. Jadi setiap ada wartawan baru, pasti dicemplungin dulu di kampung. Sehingga ketika mereka nulis berita jadi berbeda karena sudah pernah ngalamin. Kalau orientasi dicemplungin di kampung saja bisa mengubah karya wartawan. Maka pertemanan bisa menimbulkan timbal balik nilai dalam jangka panjang.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

135


Curators, Kampung, and Daily Lives

Curators, Kampung, and Daily Lives An Interview with Gugun Muhammad

This interview was conducted on December 30, 2020, followed by Leonhard Bartolomeus, Rifandi S. Nugroho, and Angga Wijaya. For some people, Gugun Muhammad is known as a community organizer from Kampung Tongkol, Jakarta, who also takes part in Urban Poor Consortium (UPC) which partnered up with Kelompok Kurator Kampung (KKK) during their activities in urban villages in Jakarta. This following transcript was edited by Ayos Purwoaji to make it more comfortable to read without changing its context.

Leonhard Bartolomeus (LB): I am curious, what makes you interested to getting involved with organizational works in Jaringan Rakyat Miskin Kota (Urban Poor People Network, JRMK) or Urban Poor Consortium (UPC)? Gugun Muhammad (GM): I am not with JRMK, but UPC. If JRMK is an organization for the people, UPC is like the non-profit organization. But nowadays the division between both organizations are a little bit blurry since there have been changes and developments.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

136


Curators, Kampung, and Daily Lives

As for the history, I officially joined UPC in 2004, although I have participated in their activities since 2003. Back then I was studying in Jogja when I heard of an open recruitment for a community organizer in Jakarta. From then I attended UPC’s activities for three months. It was like a field class. It was not my first time in Jakarta, but only then I saw a situation completely different from Jogja, as well as the movements. When I was still studying at IAIN (State Islamic Institute) Jogja, I started my organizational works in Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Student Movement, PMII). We, fellow students, worked together there on behalf of the people. However, in UPC, the motivation is different. UPC activists do not work on behalf of the people, but instead we express ourselves and motivate others. That interested me. Within one and a half month attending field class in UPC, I was successfully kicked out from the village! (laughs) I was assigned in Kapuk Empang, North Jakarta. The whole village was conflicted with the land keepers. The village nearby was evicted and later it was Kapuk Empang’s turn. They did not have a strong kinship during my field work, but I was so eager to make a movement. Well, eventually the land keepers kicked me out. (laughs) As I return to Jogja, I found another problem as IAIN was about to get evicted. Later, I was invited to join UPC. LB: So you have already been involved with organizational works to begin with, then you started participating in the villages... GM: Actually, I have been active in organizations since high school. I once organized fellow students on a strike. (laughs) It all started when we were obliged to make a uniform. We were already in senior year! The movement worked.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

137


Curators, Kampung, and Daily Lives

LB: It always starts in high school. (laughs) Since you are in UPC since the beginning, then you must be eloquent with mentoring strategies and methods or strategies to collaborate with the locals and citizens. Perhaps you are also familiar with artistic works because there have been several artists who have collaborated with the locals in urban villages since the 1980s, like Moelyono or Mr. Arsono. But from your own experiences in UPC, when was the first time this kind of collaborative artistic work entered urban villages? GM: UPC itself has done several artistic practices from the beginning, since some of the founders are artists, like Afrizal Malna, Tanto Mendut, and Dadang Christanto. Therefore, the art dimension as an organizing medium in UPC has long existed and been standing strong. We have three strategies here: organizing, advocacy, and networking. We rely on these strategies. “From these strategies, artists are categorized under networking strategy. The purpose of art in activism could be a medium to reinforce organizational works and advocacy process for determining policies. As a part of organizing medium, art can be utilized to gather people, raise shared awareness, strengthen social cohesion, also as means of expression when implementing advocacy attempts.”

LB: So, art practice in urban villages is not new within the context of organizational works, isn’t it? However, then comes a different tendency between the initiative for artistic works from UPC and let’s say contemporary artists in the past decade, who have just started using urban villages as their working spaces, which we currently know as participatory art or collaborative art. These kinds of things, are they accommodated by JRMK and UPC? Outside the strategies of UPC and JRMK, or even the local residents, how do you view a strange creature called contemporary artist who just appears in the village out of nowhere and creates bizarre things?

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

138


Curators, Kampung, and Daily Lives

GM: Whoa, that is a tough question. Could you maybe summarize it for me? (laughs) LB: (laughs) Let’s say an artist visits a village outside the agenda of UPC. How do you respond to the phenomenon? Do you welcome him, or just let him do whatever he wants? GM: There is no problem, actually. In fact, organizational work is not just for the urban villagers, but also for the public who has never been in contact with the villagers before. Therefore, those who are initially not on the side of the villagers and have different intentions might change their perspective once they make contacts with the locals. That is good enough for me. Change does not only come from the villagers, but also from the public. For example, lately there are people from different professions—like journalists and architects—and college students visiting urban villages to observe. It can be useful to educate the public too, not just for the local residents. The only problem is when people come with an agenda too rigid and cannot be loosen up even a little. Rifandi S. Nugroho (RSN): Too rigid is bad, but what happens when it is too loose? (laughs) GM: Then it will be too hard to control! RSN: As you see, sometimes people just come with no agenda or expectation whatsoever... GM: In that case, eventually it all depends on our own frame of mind, right? If one has a strong frame of mind, it cannot be shaken in any way. So, it is very important to at least have a good framework. Take me for example, I am an organizer. When I have coffee in a village, am I trying to organize something or simply want to have coffee? If I just want

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

139


Curators, Kampung, and Daily Lives

to have coffee, then so be it. However, if a framework appears after coffee, then there will be follow-up activities. It means this coffee break is a means of building friendship or a foundation. Any kind of oscillation is fine as long as the frame is strong. It is different if I use drugs with others after coffee break. That is what I call meaningless. Angga Wijaya (AW): Are there any interesting stories in the village regarding contacts between artists and local residents? GM: One of the interesting stories is film screening by Afrizal Malna. The theme of his films are mostly about eviction, so that they raised tension within the audience. After the screening, several people were mad at the government. Afrizal’s films about eviction became a means of discussion to raise awareness, probably because live experiences might be seen and felt differently through films. Another story was when I worked with Dadang [Christanto] in Porong, Sidoarjo. Together with the locals, we build statues using found objects. We held a discussion after the artwork is finished. Dadang’s statues was used as means of reflection, as people could ask questions through the statues, what were the Lapindo mudflow victims thinking? AW: And what about your response regarding activities from Kelompok Kurator Kampung and UPC in urban villages in Jakarta? GM: I cannot say that it was a hundred percent successful, but at least in several places it was able to gather people. The youngsters in Kampung Muka gathered for mural project. People in Kali Apuran had a picnic by the riverbanks. Same thing happened in Muara Angke. Indeed, it was too short. We could not cut the discussion process short. However, it proved that we can make use of art practice as a medium to gather people.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

140


Curators, Kampung, and Daily Lives

Take Kolong Tol for instance. The residents could get together and share their past experiences about evictions or funny moments during Independence Day celebration, et cetera. It was a shame that your time was too short. LB: We once had meal together in Kota Tua. If I am not mistaken, we discussed if this program could be made into a regular thing. Then you answered that perhaps it would be much better if it was conducted during certain occasions instead of regularly. Did it come from your past experiences because the local residents were bored with such pattern of art practice, or is there any other explanation? GM: I think we should do it on certain moments, because it will be much easier to move the people that way. We [UPC] once collaborated with prospective priests. They were assigned to stay at the village during orientation, in order to increase their empathy and sense of humanity. I also want to invite ruangrupa so that young artists create a similar program. LB: Where did we first meet, was it at ruangrupa? GM: Yes, at Sindikat Campursari exhibition. There was a discussion at Edwin Gallery afterwards. LB: Later we talked about creating something in villages. From then, somehow, we thought of creating curatorial program in urban villages. According to you, what did you search for that time? It is understood for artists to visit villages, but is it common for curators to work in villages? GM: I will take my own organizing skill, as well as its coverage and segments, that is limited. Unlike adults, I find it difficult to organize youngsters. I also use limited methods that feel rigid so it cannot be accepted widely, in the sense that it cannot involve as much people as possible in various backgrounds. For example, when it comes to discussing land, it is such a formal business specific to adults only.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

141


Curators, Kampung, and Daily Lives

When it comes to gender issue, we [UPC] were quite successful. Unfortunately, we are still unable to reach the youth. It does not mean that they must take care of land issue as well, but the scheme itself could be expanded. For instance, we could discuss land as a way to love their own home villages and live in community. This is important and needs to be preserved. Eviction is one of the issues that might destroy community life in villages. This sense of community could be built in various ways. LB: So, you see curatorial work as an alternative outside organizing strategies that have been worked on before? GM: Exactly. You see, art is close with culture and everyday life. If we only talk about provisions while discussing land, it will be a formal issue. If we discuss architecture in a formal sense, we will inevitably talk about its theories. I think art has an opportunity to enter any region. I do not have a clear image on it, but I will try to think about it as we go along. LB: It is interesting because we worked on it together with people from different backgrounds. There is Ayos from Surabaya, Adin from Semarang, and Ismal from Jatiwangi. I imagined it would be much more interesting to work with UPC, since we saw you had the same spirit. However, back then I did not think about the strategies to reach out to the residents. It was outside of our comfort zones, as we were not yet familiar with the culture, hang out tradition, work area, and so on. I think we need to put in this book stories about unprecedented experiences in curatorial practices. As you once said, result is important, although perhaps not the priority. We once talked during our first meeting in DKJ, you requested that we did not use the word “project” out of fear that this event may be considered commercialized. Has it ever happened before, or was it just a general reading? GM: That kind of thing is one of the problems that can ruin community culture. Take political parties for example. They would visit a village only

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

142


Curators, Kampung, and Daily Lives

during election days. The candidates would come with money and everything. In other example, the government would only come for development projects or evictions. Oftentimes, for the sake of so-called development, the government hands over projects to a few people from the villages. This happened not a long time ago. A village was about to get evicted, but the residents were asked to build a canteen. A fight ensued. It was always like that; the projects raised jealousy among others that caused fight. So, let’s say we have a real project. Let it convey openly only through community, so that later they can share it clearly to the people about the project, the budget, and so forth. If it is a success, it will be able to strengthen the social cohesion because it builds mutual trust among the residents. The thing is, same as artists, I think such trust have not been fully formed. Imagine you return to the village; they might think you bring some money and it will always be that way. We need to build a foundation of friendship to prevent it from happening. It will be a different case if the event needs money. However, friendship must be the main foundation. LB: For institutions like Jakarta Arts Council (DKJ), the model [of project] is easier because we have targets. Our last program was interesting because on one hand all participants approached as friends, but on the other hand there was also an institution as “a machine” that motivated administrative explication. That was an important note for me. GM: It might not be a problem for you guys, because that was the job. It is different for the residents, though. One of the reasons why community development fails, in a sense that it does not work critically, is because the program tends to have a binding time. There are various success indicator that cover reality, which is why we have to be careful, because if we just try to meet the target then we are no different than employees for art project, even though there are so many determining factors. I am not saying I refuse it entirely, but we need to find a middle ground. There is accountability on

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

143


Curators, Kampung, and Daily Lives

one hand, but on the other hand there are problems in the field that cannot be ignored. I have been through a similar thing. UPC used to do donation, but thank God the donors were mostly flexible, although there are several who were more rigid with their issues. We held the program in the community routinely as planned. However, when there was an eviction, for example, the institution would ignore it because it did not correspond to their routine. From there we learned that we should seek funding from much looser institutions! (laughs) LB: To me, one of the main problems is there is no reciprocal process that runs to the maximum in almost all [community-based art projects]. In some cases, the artists come and make something, then they just leave. They present their works in other countries in an incomplete form, reducing some things. From your own experiences, has there been any case where the locals became more critical and daring [to negotiate] when artists came to visit? GM: No. Also, I have not seen artists entering urban villages in Jakarta for the sake of being artists. I have encountered senior college students or researchers, but not artists. RSN: Has there any artist visiting during this pandemic? GM: As far as I know, nothing in JRMK. Well, perhaps maybe one in Cilincing, where they made a photo exhibition. I guess people are still afraid to go out. LB: Perhaps also there are certain villages that have attracted artists. The next issue is when people see the artworks, they might think a certain artist has stayed in their village, when in fact the work could be extracted. I do not know how this kind of trend will continue. But from our discussion the other day, do you think curatorial practice can be adopted in the everyday lives of the locals?

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

144


Curators, Kampung, and Daily Lives

GM: Absolutely! Because from what I gather—I forgot who I asked: what is curator?—there are several residents in urban villages that work and have methods like a curator, only in a concept that is different from the definition of curator in arts. For example, when Kampung Tongkol and Kampung Lodan held a festival. There was no curator to assist, but several people in the villages could combine their ideas and organize the residents. Another example is Independence Day celebration, where several people organized the whole event all day. There are various “curatorial practices” within the scope of village. I think the difference is that curators from the outside tend to insert certain perspectives, whether old or new. LB: You mean like bringing new discussions? GM: I mean there are different perspectives. Take Independence Day celebration for example, there are always competitions or art shows. It has always been that way every year, with nothing behind it. Outside curators can always offer new perspectives in viewing and developing the competitions and art shows. We always have marble race, who knows that later we might have marble eating contest. (laughs) LB: From you as a resident, what can you imagine or expect from this kind of activity or outside curator? Who knows, perhaps there are foreign curators who might be interested. What are you expecting from the next curatorial projects in villages? GM: I consider our last program successful, in a sense that it is not a hundred percent successful because we are still looking for a way. However, in the context of expectation, there are three strategies that I have mentioned before: organizing, advocacy, and networking. That way, we can create friendship between classes. The urban villagers can be friends with artists, while artists can gain prestige when they befriend urban villagers! (laughs)

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

145


Curators, Kampung, and Daily Lives

We are also able to create mutual relationship, as there will be transfer to one another in the friendship. Artists learn more about the villagers, and vice versa. If we want to make it bigger, from the friendship comes motivation to change. For instance, we could start to care more, and therefore we are moved to make a change. It is generally headed toward that direction, but everything always starts from friendship. It does not always have to be programs both for the villagers and artists. We can just simply hang out together and ideas might come from there. Or maybe we can have karaoke together. there is the foundation: there is friendship, then there is transfer, then interaction, which later turns into movement and change. Social movements are not confined in merely one organization, but in values that are bound together in solidarity, so that we can raise that solidarity in certain issues. I remember Jakarta Post once had a program like the prospective priest program. Whenever they recruited new journalists, they would be brought to villages so that they could write news from different perspectives since they have experienced it themselves. If that alone can change the way journalists write, then pretty sure friendship can invoke long-term mutual relationship.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

146


Curators, Kampung, and Daily Lives

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

147


Profil Penulis

Profil Penulis Ahmad Khairudin a.k.a Adin, adalah salah seorang pendiri Kolektif Hysteria--kelompok anak muda asal Semarang yang bergerak di bidang isu seni, anak muda, komunitas dan isu kota. Saat ini, Adin aktif sebagai ketua Komite Ekonomi Kreatif di Provinsi Jawa Tengah, dan mengajar antropologi di Universitas Diponegoro. Adin juga aktif sebagai sebagai kurator dan aktivis komunitas. Adin telah terlibat berbagai program residensi di sejumlah negara seperti Jerman, Filipina, Selandia Baru, Jepang, dan Inggris yang mempengaruhi kerja-kerja kebudayaan yang dirintisnya di Semarang. Ahmad Khairudin, a.k.a Adin, is one of the Hysteria Collective founders - a group of young people from Semarang that is engaged in art, youth, community, and urban issues. He is currently serving as chairman of the Creative Economic Committee in Central Java Province and teaches anthropology at Diponegoro University. Adin is also active as a curator and community activist. Adin has been involved in various residency programs in several countries such as Germany, the Philippines, New Zealand, Japan, and England, which have influenced the cultural works he initiated in Semarang.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

148


Profil Penulis

Angga Wijaya berkarya secara kolektif bersama Serrum. Di Gudskul, Angga mengajar subjek Tinjauan Seni Rupa Kolektif, subjek yang memetakan perkembangan praktik seni kolektif. Dalam praktik kuratorialnya, Angga menerapkan praktik seni berbasis proyek yang bersinggungan dengan kerja komunitas, dinamika sosial dan masyarakatnya. Angga juga merupakan bagian dari Kolektif Kurator Kampung, sebuah kolektif dengan kegiatan seni di urban dan rural. Dia adalah orang yang pendiam sampai Anda membawanya ke lantai karaoke, di mana dia melepaskan pesona raja karaokenya. Angga Wijaya works collectively with Serrum. At Gudskul, Angga teaches the subject Collective Arts Review, mapping the development of collective art practices. In curatorial practice, Angga implementing art project-based practices that intersect with community work, social dynamics and society.. Angga is also part of Kolektif Kurator Kampung, a collective with art activities in urban and rural spaces. He is a reserved person until you take him to the karaoke floor, where he unleashes his inner karaoke king charm.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

149


Profil Penulis

Ayos Purwoaji adalah seorang penulis dan kurator yang bekerja di perlintasan antara sejarah, arsitektur, dan seni rupa. Sejak 2015, ia telah bekerja bagi sejumlah pameran dan proyek kuratorial. Sebagian mewakili minat khususnya pada praktik pengarsipan vernakular dan memori kolektif. Bersama beberapa kawan ia mendirikan Surabaya Contemporary Heritage Council (SCHC), sebuah kelompok multidisiplin yang mengeksplorasi wacana kritis mengenai warisan budaya terutama di Asia Tenggara. Saat ini ia mengajar studi budaya di Universitas Ciputra, Surabaya. Ayos Purwoaji is a writer and curator working at the intersection of history, architecture and fine arts. Since 2015, he has worked on a number of exhibitions and curatorial projects. Part of them represents his special interest in the practice of vernacular archiving and collective memory. Together with several friends, he founded the Surabaya Contemporary Heritage Council (SCHC), a multidisciplinary group that explores critical discourses on cultural heritage, especially in Southeast Asia. Currently he teaches cultural studies at Ciputra University, Surabaya.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

150


Profil Penulis

Gesyada Siregar adalah seorang kurator, penulis dan penyelenggara seni yang bekerja di Jakarta. Ia alumni dari Jurusan Seni Murni, Institut Kesenian Jakarta (2016). Pada tahun 2013, ia mengikuti Lokakarya Kurator Muda Indonesia oleh ruangrupa dan Dewan Kesenian Jakarta. Sejak itu, ia banyak bekerja untuk berbagai acara, festival, pameran, program dan proyek seni nasional dan internasional. Sekarang ini, ia aktif di Gudskul: Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer, platform pendidikan yang didirikan oleh tiga kolektif seni di Jakarta: Grafis Huru Hara, Serrum dan ruangrupa, di mana ia berperan sebagai Koordinator Subjek untuk Artikulasi & Kurasi serta mengerjakan projek seni-pendidikan kolaboratif dengan berbagai institusi. Projek-projeknya bisa dilihat di https://gesyada.com/ Gesyada Siregar is a curator, writer, and art organizer. She graduated from the Department of Fine Arts, Jakarta Institute of Arts in 2016. She is an alumna of Indonesian Young Curator Workshop organized by Jakarta Arts Council and ruangrupa in 2013. Since then, she has been working for numerous national and international art projects, exhibitions, festivals, publications, and programs. Nowadays, she is working in Gudskul: Collective and Contemporary Art Ecosystem Study, an educational platform founded by three Jakarta-based art collectives: Grafis Huru Hara, Serrum, and ruangrupa. In Gudskul, she is the subject coordinator of Articulation & Curation and engaged in collaborative pedagogical art projects with various institutions.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

151


Profil Penulis

Ign. Susiadi Wibowo adalah seorang praktisi desain sosial ekologis yang aktif mengembangkan ragam praktik serta metoda riset & eksperimen kolektif bersama warga kota. Bersama LabTanya, studio desain sosial ekologis yang didirikannya pada akhir tahun 2014, ia meniginisiasi ragam kegiatan yang ajak berbagai komunitas warga kota untuk mengenali, mendalami, merespon, membayangkan ulang, serta mengalami alternatif kesehariannya. Beberapa program yang diinisiasinya, di antaranya adalah: Kota Tanpa Sampah, Jalan Milik Kita(?), Harta Kampung Kota Kita, serta Fraktal City. Ign. Susiadi Wibowo is a socio-ecological design practitioner who actively develops various practices and methods of collective research & experimentation with urban residents. With LabTanya, a socio-ecological design studio that he founded in late 2014, he initiated various activities that invite various urban communities to recognize, explore, respond, re-imagine, and experience their daily alternatives. Some of the programs he has initiated include Kota Tanpa Sampah, Jalan Milik Kita(?), Harta Kampung Kota Kita, and Fractal City.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

152


Profil Penulis

Ismal Muntaha adalah kurator dan seniman multidisiplin yang tinggal dan bekerja bersama kolektif Jatiwangi art Factory (JaF). Pada 2009 bersama Sunday Screen menginisiasi Village Video Festival, festival video tahunan berbasis residensi di Jatiwangi.Sejak 2017, membentuk Badan Kajian Pertanahan (BKP). Sebuah lembaga temporer yang fokus pada kajian tentang pertanahan dengan segala lanskap kultural yang terkandung di dalamnya melalui berbagai proyek artistik. Sekarang sedang menempuh pendidikan Magister Studi Pembangunan di ITB. Ismal Muntaha is a curator and multidisciplinary artist who lives and works with the collective Jatiwangi Art Factory (JaF). In 2009 together with Sunday Screen, he initiated the Village Video Festival--an annual residency-based video festival in Jatiwangi. Since 2017, he established Badan Kajian Pertanahan (ed. Land Studies Agency). A temporary institution that focuses on the land study with all the cultural landscapes contained in it through various artistic projects. Currently pursuing a Masters in Development Studies at ITB.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

153


Profil Penulis

Leonhard Bartolomeus saat ini bekerja sebagai kurator di Yamaguchi Center for Arts and Media [YCAM], Jepang. Pada 2012, setelah selesai menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta, ia bergiat bersama ruangrupa (dan kemudian sebagai Gudskul Ekosistem). Pada 2017, bersama dengan beberapa kawan dari Jakarta, Semarang, dan Surabaya, membentuk Kelompok Kurator Kampung (KKK). Proyek kuratorialnya dalam beberapa tahun terakhir berfokus pada praktik pendidikan terbukan dan kolaborasi. Selain itu, ia masih secara giat melakukan kerja-kerja penelitian dan proyek kolaborasi di Indonesia ataupun Jepang. Leonhard Bartolomeus currently works as a curator at the Yamaguchi Center for Arts and Media [YCAM], Japan. In 2012, after completing his education at the Jakarta Arts Institute, he worked with ruangrupa (and later as Gudskul Ekosistem). In 2017, together with several friends from Jakarta, Semarang, and Surabaya, he formed the Village Curator Group (KKK). Her curatorial projects in recent years have focused on open education practice and collaboration. Besides, he is still actively undertaking research work and collaborative projects in Indonesia or Japan.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

154


Profil Penulis

M. Sigit Budi Santoso, adalah lulusan dari jurusan pendidikan seni rupa Universitas Negeri Jakarta. Alih-alih menjadi guru, Ia memilih untuk bekerja sebagai seniman, kurator, dan preparator. Meski demikian, hasratnya pada dunia pendidikan tidak hilang. Mengawali semuanya pada tahun 2004 ketika bergabung dengan komplotan Jakarta 32°C ruangrupa, hingga akhirnya pada tahun 2006 mendirikan Serrum dan saat ini menjadi koordinator program di Gudskul Ekosistem--semuanya merupakan organisasi yang punya fokus pada seni dan pendidikan. M. Sigit Budi Santoso graduated from the Art Education department of Jakarta State University. Instead of being a teacher, he chose to work as an artist, curator, and preparator. However, his passion for education did not disappear. It all started in 2004 when he joined the Jakarta gang 32 ° C ruangrupa. In 2006, he founded Serrum and is currently the program coordinator at Gudskul Ekosistem, which focuses on arts and education.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

155


Profil Penulis

Rifandi Nugroho adalah penulis, peneliti, dan kadang-kadang menjadi kurator yang bekerja di antara persilangan arsip, arsitektur, dan kehidupan sehari-hari. Sejak 2017 ia membuat pameran dan mengorganisir kegiatan yang berhubungan dengan aktivasi ruang dan artikulasi pengetahuan warga. Saat ini sedang menempuh program magister Sejarah dan Teori Arsitektur di Universitas Indonesia sambil mengelola Balai Warga, dan menjadi editor di arsitekturindonesia.org, situs repositori daring arsip arsitektur di Indonesia. Rifandi Nugroho is a writer, researcher, and occasional curator working a cross between archives, architecture, and everyday life. Since 2017 he has made exhibitions and organized activities related to space activation and the articulation of citizen knowledge. He is currently pursuing a master’s program in History and Architectural Theory at the University of Indonesia while managing Balai Warga and is an editor at Architectindonesia.org, the online repository site for architectural archives in Indonesia

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

156


Profil Penulis

Kolektif Kurator Kampung (KKK) muncul secara tiba-tiba sebagai bagian dari proyek Lokakarya Kurator Muda (Dewan Kesenian Jakarta) pada 2017. Kolektif ini bekerja memanfaatkan ruang publik dan warga kota sebagai arena belajar sekaligus rekan kerja, dengan menempatkan fungsi kerja kuratorial sebagai salah satu elemen dalam praktik keseharian warga. KKK tidak memiliki sistem keanggotaan dan terbuka bagi siapapun yang tertarik untuk menelaah fungsi dan pola kerja kuratorial dalam ruang lingkup yang lebih luas: sosial, politik, ekonomi, arsitektur, antropologi, dan lain sebagainya. Kolektif Kurator Kampung (KKK) emerged suddenly as part of the Youth Curator Workshop (Jakarta Arts Council) project in 2017. This collective works using public spaces and city residents as an arena for learning as well as coworkers, by placing curatorial work functions as one element in the daily practice of citizens. The KKK does not have a membership system and is open to anyone interested in examining the functions and patterns of curatorial work in a wider scope: social, political, economic, architectural, anthropological, and so on.

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

157


Ucapan Terima Kasih

Ucapan Terima Kasih Ade Amelia Adi Pesakih Adit Andi Ardi Bahrun Bardha G. Bita Bu Jenny Bu Nur Bu Sam Bu Yuli Budi Bunga Siagian Cempaka Pertiwi Alwi Danton Sihombing Deddy Dhadan Dian Dodo Engkus Erik Guntoro Muhammad Harun Harun

Irawan Karseno Isah Jodie Kasim Laras Lumut M. Faizzur Rahman Mayya Mbak Ina Nindya Omay Pak Arpani (Alm.) Rangga Aditiawan Rasdullah Ratono Ridwan Rofi’i Rosdianahangka Ryan Salijan Syifa Tati Teguh Teguh Tubagus Rahmat

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

158


Acknowledgment

Acknowledgment Udin Wilma C. Yopie Nugraha Yovie Hashirama Yuda Samakta Organisasi Cut and Rescue Dewan Kesenian Muara Angke Gardu House Gerakan Nelayan Tradisional Kali Adem Gudskul Ekosistem Jaringan Rakyat Miskin Kota Karang Taruna RW 04 Ancol Kolektiv Tankga Komunitas Anak Kali Ciliwung Ancol LabTanya Padepokan Silat SMB Muara Angke Ruru Kids Sebaja (Serikat Becak Jakarta) Urban Poor Consortium

Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta

159


2020



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.