Issue 2
BBGGRRzine Zine bebas wadah ego idealisme Baggor
Januari 2017
Hallo, jumpa lagi di edisi ke-dua setelah yang pertama dua tahun lalu. Lama juga ya nggak nulis dan bikin zine semacam ini lagi. Ke mana aja selama ini? Hmm.. Saya menikmati hobi baru saya selama ini, yakni bikin film pendek untuk mengakomodir idealisme dan shoting manten untuk kebutuhan komersil. Tiba-tiba saya teringat lagi akan obsesi saya dulu untuk menjadi layouter majalah. Kebetulan sedang punya stok foto banyak tapi ya tetep aja gak pinter bercerita. Jadi, seperti zine yang pertama dulu, kali ini tetap lebih banyak gambar-gambarnya dari pada tulisan. Tulisan yang ada pun mungkin akan membingungkan kalau dibaca. Di edisi ini juga saya mengajak teman saya, Abdurrochim, berkolaborasi. Dia punya cerita tentang perjalanannya ke Baduy. Selamat menikmati, semoga edisi berikutnya dapat segera dikerjakan. Oh ya saya juga ingin mengajak pembaca untuk turut berkolaborasi pada edisi berikutnya. Saya menerima berbagai macam karya, bebas.
BBGGRRzine terbit lagi dengan nama baru, apabila dulu menggunakan nama BBGGRRmagz, kini berubah menjadi BBGGRRzine. Alasannya, pake nama nama baru ini rasa-rasanya lebih keren aja sih. Kemudian zine ini tetap tampil dengan orientasi landscape karena sasaran pembaca menggunakan device semacam komputer desktop, laptop, atau smart phone. Mungkin nanti kalau desktop sudah benar-benar di tinggalkan, orientasi akan berubah menjadi portrait. Untuk saat ini dianjurkan menggunakan desgktop atau laptop saja, kalo hape, miringkan jadi lendscape biar enak dilihat. Edisi kali ini akan banyak mengulas tentang ekspedisi saya ke Baduy Kanekes awal tahun kemarin. Awalnya saya sempat bingung juga mau saya apakan stok foto segini banyaknya, mau dicetak apalagi bikin pameran, tentu butuh ongkos. Tapi saya tetap berkeinginan memamerkannya. Kemudian saya ingat kalau dulu pernah bikin majalah elektronik, sekitar dua tahun yang lalu. Saya pikir kenapa tidak saya buat seperti dulu lagi saja.
PERJALANAN KE BADUY
Proses menenun di Baduy.
Baduy adalah sebutan daerah yang disebut suku baduy, yang letak geografisnya di koordinat 6o 27’ 27” – 6o 30’ 0” LS dan 108o 3’ 3” – 106o 4’ 55” BT. Baduy bermukim di kaku gunung Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak – Banten, 40 Km dari Kota Rangkasbitung. Suhu di sana berkisar 20o dan tiga desa utamanya yaitu Cikeusik, Cibeo, Cikertawana. Ada banyak jalan untuk masuk ke suku Baduy, tetapi yang sering turis pariwisata lalui dari desa Kanekes. Kebetulan saya sudah sampai sana tepatnya di bulan Januari 2016, tepat sekali kami datang berdelapan dan pengantar 2 orang dari Mahapeka Cirebon. Waktu itu di sana sedang musim si Raja buah (kadu’). Kami menginap di dusun Ciboleger, di kediaman Petua yaitu Abah Sali. Nah, di sana Saya bertemu dengan anak yang bernama Adi. Kami bertemu ketika mau mincing di sungai dekat dusun. Kami sedang berbincang dengan bahasa Indonesia dan Jawa. Saat saya berbincang dengan Maleo, dengan bersamaan si Adi ini selalu mgnikuti cara bicara kami. Di antara Adi ada sekitar 5 teman lainnya, yang saya lihat dari teman-temannya Adi, hanya Adi yang terlihat istimewa. Mengapa? Karena saya lihat si Adi punya kecerdasan dan rasa keingin tahuan yang tinggi, kenapa tidak, di baduy tidak ada sekolah. Namun si Adi pandai berbicara bahasa Indonesia. Saat itu saya bercakap dengan Adi singkat; Saya : Hei.. Siapa namamu? Adi : Adi, ucapnya sambil tersenyum Saya : Kamu kok bisa dan pandai bahasa Indonesia dan juga kamu selalu meniru cara bicara kami? Adi : Ya, Belajar.. jawabnya sederhana.
Adi Si Cerdas dari Baduy Oleh : Abdur Rohim [Sumeh]
Saya : belajar di mana? Di sini kan gak ada sekolah. Adi : ya, dengan orang-orang pengunjung sini. Jawabnya lagi dengan ceria. Saya : wah, hebat kamu ini. Saya pun terpesona dengan Adi dan terperangah. Seketika itu saya minta berfoto bareng dengan Adi. Itu lah singkat cerita atau pun kenangan manis selama 4 hari di sana, dan saya tak bisa berkata-kata banayk tentang damainya di sana, karena tak mudah dijelaskan dengan kata-kata. Dengan cerita nyata singkat ini, seharusnya kita semua patut berbesar hati dan bersyukur. Dari suku Baduy dan si Adi adalah pelajaran yang sangat besar dan berarti, dari menjaga kelestarian alam, desa, dan kerukunan, tak membatasi untuk belajar. Bukan tak bersyukur atas gedung dan fasilitas yang memadai, tapi ini tentang pemanfaatan dengan rasa keingin tahuan yang luas dan tinggi yang tak terbatas. Semangat belajar hingga akhir hayat. Alam raya beserta isinya adalah guru, dan guru adalah sang Umar Bakri yang bisa memberi kesimpulan ilmu pengetahuan, sesuai dengan kadar anak didiknya, terima kasih alamku, terima kasih guruku.
Sikap warga Baduy yang menolak kehadiran listrik masuk ke kampungnya menjadikan tiap malam gelap gulita. Tentu ini terasa berbeda bagi kami yang terbiasa bahkan bergantung pada kehadiran listrik untuk memenuhi kebutuhan elektronik. Namun Saya sendiri tak mau ambil pusing, kecuali kalau kehabisan baterai kamera, Saya berusaha menangkap kegelapan malaam. Bagi yang suka memotret langit malam tentu kondisi ini sangat menguntungkan. Perkampungan masyarakat Baduy yang gelap gulita dapat menampilkan bintang-bintang di langit dengan apik. Jelas sekali, bahkan apabila dilihat dengan mata telanjang, kita dapat dengan mudah menyaksikannya. Satu-satunya kendala yang Saya hadapi adalah mendung yang menutupi sebagian langit sehingga tak seluruh bintang di langit tampak.
Tim Eksepdisi Baduy dibentuk untuk mencari tahu mengapa di suku Baduy terdapat dua golongan, yakni Baduy Luar dan Baduy Dalam. Mereka masuk ke dalam perkampungan masyarakat Baduy, berbaur dengan masyarakat Baduy Luar maupun Dalam. Untuk mencapai perkampungan Baduy Dalam dibutuhkan waktu yang cukup lama, sebab untuk menuju ke sana harus berjalan kaki karena masyarakat baduy melarang dan tidak menerima adanya kendaraan bermotor, peraturan ini juga berlaku bagi Baduy Luar. Jangankan kendaraan bermotor, listrik pun tidak ada di Baduy Dalam maupun Luar, berbagai aturan adat inilah yang membuat mereka tetap hidup dengan tentram. Setelah beberapa hari bergaul dengan masyarakat Baduy dan mengamati kebiasaan hidup mereka. Tim Ekspedisi Baduy banyak menemukan data mengenai mengapa ada Baduy Luar dan Baduy Dalam, tentang agama yang mereka anut, dan kearifan lokal dalam upaya pelestarian lingkungan.
Damar Elektronik. Masyarakat Baduy memang menolak kehadiran listrik, tapi tak berarti mereka gelapgelapan tiap malam. Mereka menggunakan lampu bertenaga surya yang tiap siang mereka jemur di halaman rumah dan dinyalakan saat malam datang.
Durian dari Baduy dalam diusung ke pasar untuk dijual.
Twitter : @rijaalfa Instagram : @baggor Tumblr : baggor.tumblr.com Youtube : Rijaalfa Baggor