Jurnal bangda Volume II No. 4 Tahun 2014

Page 1

Pembangunan Daerah ISSN 2337-3318

JURNAL

VOLUME II | EDISI 4 | TAHUN 2014

M E D I A

R E F E R E N S I

D A E R A H

M E M B A N G U N

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN INDUSTRIALISASI LOCAL MARKET MENUJU KEMANDIRIAN INDONESIA Ruslan INSTRUMEN PILOT PROJECT PEMBANGUNAN KEMARITIMAN DAN REVOLUSI MENTAL BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI NUSA TENGGARA BARAT Muhammad Ali Sagalo ANALISIS KONEKSITAS KOMUNIKASI ORGANISASI KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) SUMBER JAYA, LAMPUNG BARAT Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska KOMUNIKASI PEMBANGUNAN SHOW CASE EKONOMI KEMARITIMAN INDONESIA BERBASIS SOSIAL MICRO FINANCE Rusdianto THE IMPACT OF EDUCATION ON GENDER WAGE GAP IN INDONESIA Kumba Digdowiseiso DIREKTORAT JENDERAL BINA PEMBANGUNAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH

VOL. II

EDISI 4

JAKARTA 2014

ISSN 2337-3318



Dewan Redaksi PELINDUNG PENANGGUNGJAWAB KETUA DEWAN REDAKSI ANGGOTA

: : : :

REDAKTUR UTAMA REDAKTUR PELAKSANA EDITOR

: : :

MITRA BESTARI

:

TATA LETAK ALAMAT REDAKSI

: :

Menteri Dalam Negeri Dr. H. Muh. Marwan, M.Si Dr. Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc Hasiholan Pasaribu, SE., MPKP Drs. Binar Ginting, MM Edi Sugiharto, SH., M.Si Drs. Sugiyono, M.Si Ir. Muhammad Hudori, M.Si Iwan Kurniawan, ST, MM Subhany, SE, M.Si Yoppie Herlian Juniaga, ST, MT Ali Hasibuan, SH., MM Muhammad Nur Fajar Asmar, S.STP Dede Sulaeman, S.PdI Prof. Dr. Eko Prasodjo, Mag.rer.publ Achmad Adhitya, M.Sc., Ph.D Dr. Moch. Fachrurrozi, M.Si Dr. Rulli Nasrullah, M.Si Deni Irawan, S.IKom Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp.: 021-7992537 Email: jurnal@bangda.kemendagri.go.id

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

iii


iv

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


D

Pengantar Redaksi alam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Indonesia harus menjadi ‘perdesaan’ sebagai basis pembangunan infrastruktur dan pusat pelaku bisnis untuk memberikan moda kelancaran investasi sehingga meraih keuntungan besar dan infrastruktur kegiatan ekonomi masyarakatnya. Pembangunan perdesaan yang bersifat local market pedesaan mengutamakan kepentingan nasional dan memperkuat ekonomi sehingga pelayanan publik mengalami

peningatan. Oleh karena itu, percepatan pembangunan infrastruktur, terutama di desa-desa di Indonesia dalam menghadapi MEA menjadi sesuatu yang prioritas, misalnya custom umum, market, pertumbuhan ekonomi, transparansi biaya perdagangan, peningkatan produktivitas, pengelolaan upah dan meningkatkan Gross Domestik Product perkapita, double track, penerbangan, dan pelabuhan. Kemudian, city link integrative dan conectivity international go to local, pembangunan UKM dan koperasi, pertanian dan perikanan, pendidikan tinggi, industri pariwisata, agrowisata, dan agrobisnis yang merupakan faktor penentu lajunya tingkat pertumbuhan ekonomi desa. Program Industrialisasi desa harus menciptakan transformasi kesejahteraan sehingga pemanfaatan sumberdaya lokal dengan basis pengelolaan oleh masyarakat dan desa menjadi alternatif dari masalah yang ada. Dalam hal ini, mengahadapi MEA sangat perlu paradigma industrialisasi local market perdesaan yang dilihat dari jenis usaha, corak dan orientasi produksinya, peranan dan permasalahannya, serta potensi pengembangannya. Dengan demikian, perdesaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi lokal bisa meningkat dan menjadi kuat, sehingga diharapkan daerah mampu bersaing di tingkat Asean. Dalam artikelnya yang bisa ditelaah dalam Jurnal Pembangunan Daerah Edisi ini, Ruslan, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Mataram menulis dengan judul: Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia. Artikel kedua, ditulis oleh Muhammad Ali Sagalo, Dosen FISIP dan Tenaga Peneliti Lembaga Pengkajian Otonomi Daerah dan Politik Lokal Universitas Muhammadiyah Mataram. Artikelnya menelaah mengenai pembangunan kemaritiman Indonesia yang perlu didorong dengan revolusi mental. Menurutnya, dalam mewujudkan visi pembangunan kemaritiman melalui pengelolaan potensi unggulan daerah sesuai dengan kearifan lokal untuk mencapai pemerataan kesejahtraan, pemerintah harus mendorong pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, inovatif dan unggul, terutama di sektor maritim dan khususnya di Nusa Tenggara Barat.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

v


Di samping itu, pembangunan kemaritiman dan revolusi mental yang sesuai kearifan lokal harus dilihat dari segala sektor yang ada baik ekonomi, sosial, politik, pariwisata, pemberdayaan masyarakat nelayan, wisata laut, market laut, agrolaut dan perikanan. Jika dikelola dengan baik, menurutnya, semuanya akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Artikelnya berjudul, Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat. Berbeda dengan dua topik artikel sebelumnya, dalam artikel ketiga, Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska (keduanya Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Lampung), menganalisis koneksitas komunikasi organisasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) di Lampung Barat. Penelitian keduanya bertujuan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh Koneksitas Komunikasi Organisasi KAPET Sumber Jaya terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Hinterland di Lampung Barat. Artikelnya berjudul, Analisis Koneksitas Komunikasi Organisasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, Lampung Barat. Kemudian, dalam artikel keempat, Rusdianto, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Madiun, Jawa Timur menyoroti masalah komunikasi pembangunan di wilayah maritim. Menurutnya, pilar utama kebijakan pembangunan kelautan nasional adalah Governance Samudra Budaya, Ocean, Keamanan Maritim, Maritim Kelautan Samudera Ekonomi, dan Lingkungan. Laut sebagai jasa lingkungan yang merupakan media transportasi, komunikasi, rekreasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan, serta regulator iklim dan sistem pendukung kehidupan. Artikelnya berjudul, Komunikasi Pembangunan: Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance. Terakhir, dalam artikel kelima, The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia, Kumba Digdowiseiso, Tenaga Ahli Statistik pada Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, mencoba menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan upah dalam gender di Indonesia. Dalam melakukan analisisnya, penulis menggunakan metode dekomposisi yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Oaxaca (1973) and Blinder (1973) untuk data panel yang mengacu pada SUSENAS sepanjang periode 1990-an dan era globalisasi pada periode tahun 2000-an. Sebagai tambahannya, penelitian ini berkontribusi pada perbandingan dampak pendidikan terhadap ketimpangan upah antar gender dalam konteks historis kondisi perekonomian, sebelum dan setelah periode globalisasi tersebut berlangsung.[]

vi

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Daftar Isi PENGANTAR REDAKSI

v

DAFTAR ISI

vii

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN INDUSTRIALISASI LOCAL MARKET MENUJU KEMANDIRIAN INDONESIA Oleh: Ruslan

1

INSTRUMEN PILOT PROJECT PEMBANGUNAN KEMARITIMAN DAN REVOLUSI MENTAL BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI NUSA TENGGARA BARAT Oleh: Muhammad Ali Sagalo

19

ANALISIS KONEKSITAS KOMUNIKASI ORGANISASI KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) SUMBER JAYA, LAMPUNG BARAT Oleh: Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

31

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN SHOW CASE EKONOMI KEMARITIMAN INDONESIA BERBASIS SOSIAL MICRO FINANCE Oleh: Rusdianto

53

THE IMPACT OF EDUCATION ON GENDER WAGE GAP IN INDONESIA Oleh: Kumba Digdowiseiso

69

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

vii


viii

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Ruslan

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia Ruslan

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Mataram

ABSTRAK Masyarakat Ekonomi Asian, Indonesia harus menjadi pedesaan sebagai basis pembangunan infrastruktur dan pusat pelaku bisnis untuk memberikan moda kelancaran investasi sehingga meraih keuntungan besar dan infrastruktur kegiatan ekonomi masyarakat. Pembangunan pedesaan yang bersifat local market pedesaan mengutamakan kepentingan nasional dan memperkuat ekonomi sehingga pelayanan public mengalami peningatan. Percepatan pembangunan infrastruktur, terutama di desa-desa di Indonesia dalam menghadapi MEA sangatlah prioritas, misalnya custom umum, market, pertumbuhan ekonomi, transparansi biaya perdagangan, peningkatan produktivitas, pengelolaan upah dan meningkatkan Gross Domestik Produk perkapita, double track, penerbangan, dan pelabuhan. city link integrative dan conectivity international go to local, pembangunan UKM dan koperasi, pertanian dan perikanan, pendidikan tinggi, industri pariwisata, agrowisata, dan agrobisnis yang merupakan factor penentu lajunya tingkat pertumbuhan ekonomi desa. Program Industrialisasi desa hadapi MEA harus menciptakan transformasi kesejahteraan sehingga pemanfaatan sumberdaya lokal dengan basis pengelolaan oleh masyarakat dan desa menjadi alternatif dari masalah yang ada. Sehingga mengahadapi Masyarakat Ekonomi Asean sangat perlu paradigma industrialisasi local market pedesaan yang dilihat dari jenis usaha, corak dan orientasi produksinya, peranan dan permasalahannya, serta potensi pengembangannya. Kata Kunci: Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Pembangunan Pedesaan, Industrialisasi

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

1


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Ruslan

ABSTRACT Asian Economic Community, Indonesia should be rural infrastructure development in town centers and businesses to provide smooth operation mode of investment in order to make huge profits and economic activities of the community infrastructure. Rural development that is both rustic local market prioritize national interests and strengthen the economy so that the public service experience peningatan. Acceleration of infrastructure development, especially in villages in Indonesia in the face of the MEA is a priority, for example the general custom, market, economic growth, transparency of trading costs, increase productivity, improve the management of wages and Gross Domestic Product per capita, double track, aviation, and port. integrative city link and go to the local international conectivity, development of SMEs and cooperatives, agriculture and fisheries, higher education, tourism industry, agro-tourism, and agribusiness which is the factor determining the pace of economic growth rate of the village. Industrialization Program village facing the MEA must create welfare transformation so that the utilization of local resources on the basis of management by the community and the village became an alternative to the existing problem. Thus facing the Asean Economic Community is necessary paradigm rural industrialization local market as seen from the type of business, style and orientation of production, the role and problems, as well as the potential development. Keywords: ASEAN Economic Community (AEC), Rural Development, Industrialization Pendahuluan Dengan disepakatinya Masyarakat Ekonomi Asian, maka semua Negara yang tergabung dalam organisasi tersebut mau tidak mau harus mempersiapkan diri termasuk Indonesia. Persiapan hadapi Masyarakat Ekonomi Asian (MEA) adalah pembangunan infrastruktur pelaku bisnis sebagai moda kelancaran investasi pembangunan Indonesia sehingga meraih keuntungan besar. Hal itu sangat penting untuk menunjang fasilitas dan infrastruktur dalam kegiatan ekonomi yang bertujuan member peluang besar kepada masyarakat demi menyongsong Asean Economic Community 2015 ini. 1 Selanjutnya, bagi penulis untuk menghadapi MEA 2015 pemerintah harus mengambil kebijakan dan ketentuan yang selektif dan efektif untuk member ruang lebih luas kepada masyarakat agar dapat memasarkan potensi ekonomi sebagai dasar penghidupan mereka Mohamad Hery Saripudin, (Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar negeri), makalah yang di sampaikan dalam seminar bertemakan “Menyongsong Asean Economic Community 2015� dilaksanakan oleh Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas janabadra pada tanggal 16 April 2014. 1

2

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Ruslan

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

sendiri. Ketentuan tersebut, lebih bersifat keputusan. Dimana keputusan itu diperkuat oleh Inpres No. 5 tahun 2008 tentang focus progam ekonomi, Inpres No 11 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi Asean, Kepres No 23 tahun 2012 tentang susunan Keanggotaan Sekretariat Nasional Asean, Program Pembangunan Seperti MP3EI, Program Logistik Nasional, Penyusunan Roadmap Daya Saing, Policy Paper mengenai kesiapan Indonesia menghadapi AEC, Pembentukan Komite Nasional AEC 2015 dan UKP4 Monitoring Langkah Pemerintah. Keputusan ini adalah secara praktis harus efektif untuk mengantisipasi berbagai tantangan yang dihadapi seperti kondisi Infrastuktur yang masih belum baik, kepastian hukum dari UU yang tumpang tindih, masalah ineffisien birokrasi, kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai pembangunan ekonomi asean yang masih sangat terbatas. Selain itu, perlu adanya strategi jitu dalam meningkatkan daya saing nasional secara keseluruhan. Hal-hal yang perlu diketahui dalam strategi antara lain mengutamakan kepentingan nasional dalam setiap perundingan perdagangan internasional yaitu perjanjian perdagangan yang memberikan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat didalamnya, memperkuat ekonomi dalam negeri dan meningkatkan pelayanan public yang di mulai dari masyarakat kelas bawah yakni desa. 2 Percepatan pembangunan infrastruktur, terutama di desa-desa di Indonesia dalam menghadapi MEA sangatlah prioritas, misalnya custom umum, market, pertumbuhan ekonomi, transparansi biaya perdagangan, peningkatan produktivitas, pengelolaan upah dan meningkatkan Gross Domestik Produk perkapita. 3 Produk diupayakan berkualitas, ukuran marketing efektif, profit diatas kalkulasi harga pokok penjualan/produksi, legl, sehat, ramah lingkungan, sesuai standar internasional, ber SNI, kemasan yang menarik, bermanfaat unggul dan lainnya berdaaya saing serta perkuat produk dan jasa nasional sebagai kebanggan seperti prestise, bermanfaat, legal, berbudaya Indonesia, kebanggan pemakai menembus antar Negara. Atas berlakunya Masyakarat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas ASEAN menuntut daya saing yang lebih, tentu masyarakat harus berbenah dengan segala potensi yang ada, terutama pembangunan ditingkat desa – desa seluruh Indonesia sangat utama adanya. Pemerintah juga, harus mulai mencanangkan pembangunan desa yang berbasis pada jalur ganda atau double track, penerbangan, dan pelabuhan untuk mempercepat distribusi barang yang bersifat city link integrative sebagai bagian dari conectivity international go to local dengan memakai sistem komputerisasi dalam berbagai aspek termasuk penjualan potensi Sulekale, Dalle Daniel, (2003), “Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Era Otonomi Daerah”. Jurnal Ekonomi Rakyat. Vol. 2, No. 2. 3 Triharini, Meirina, Dwinita Larasati, dan R. Susanto, (2012), “Pendekatan One Village One Product (OVOP) untuk Mengembangkan Potensi Kerajinan Daerah: Studi Kasus Kerajinan Gerabah di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta“, ITB J. is. Art & Des, Vol. 6, No. 1, 2012:28-41. 2

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

3


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Ruslan

lokal yang ada di desa. Termasuk industrialisasi desa dalam infrastruktur pendapatan pajak yang di titik beratkan pada pembangunan seperti penginapan, perumahan, dan fasilitas bidang kawasan industry. Semua tahapan ini membutuhkan peran dan andil masyarakat. 4 Strategis pembangunan yang dilakukan masyarakat desa dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), meliputi strategi pembangunan UKM dan koperasi, pertanian dan perikanan, pendidikan tinggi, industri pariwisata, agrowisata, dan agrobisnis yang merupakan factor penentu lajunya tingkat pertumbuhan ekonomi desa. Tujuannya mencegah meningkatnya pengangguran setiap tahun yang selalu mengalami peningkatan drastic karena factor tidak ada peluang kerja yang lebih baik. Melalui MEA pemerintah harus buktikan bahwa pembangunan dari yang dititik beratkan pada desa mampu menyerap kemampuan produksi masyarakat dan menekan habis jumlah penganguran. Dengan demikian, arus liberalisasi pasar perdagangan dan tenaga kerja dapat diantisipasi dengan memastikan bahwa produk lokal harus mampu bersaing.5 Masalanya sekarang adalah tingkat penganguran yang tinggi, sementara kualitas tenaga kerja rendah dan belum optimal. Oleh sebab itu, perlu adanya inisiatif yang tranformatif dan efektif untuk menciptakan kondisi yang siap untuk menghadapi MEA. Penopang perekonomian lain seperti Lembaga Jasa Keuangan Pedesaan yang membantu masyarakat menengah ke bawah agar daya saing secara global dapat dilakukan dengan menyediakan kawasan potensial ekonominya sehingga bisa mendorong kedaulatan bangsa yang dimulai dari pembangunan pedesaan. Yang dimaksud, lembaga keuangan pedesaan itu harus inklusi karena menopang perekonomian dari bawah. Artinya mengetahui tantangan ke depan, bisa menjangkau sampai ke daerah terpencil untuk bisa membantu mengelola masalah keuangan pedesaan dalam menjamin kesejahteraan sosial. Latar Belakang Pada tanggal 8 Agustus 1967 di bangkok Thailan. ketika awal pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean, para Pemimpin di ASEAN menginginkan agar kawasan Asia Tenggara dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonominya melalui usaha bersama dengan semangat persamaan dan persekutuan untuk memperkokoh masyarakat Asia Tenggara yang makmur, aman dan damai. Hampir semua orang pernah mendengar istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Namun hanya sedikit orang yang paham maksud tersebut. MEA adalah komunitas ASEAN (ASEAN Community) di bidang Ekonomi atau ASEAN Economic Community (AEC) yang dicanangkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-9 di Bali pada tahun 2003, atau dikenal sebagai Bali Concord II. Pembentukan komunitas Wahyuningsih, Sri, (2009). “Peranan UKM Dalam Perekonomian Indonesia�, Mediagro, Vol. 5, No.1, 2009:1-14. 5 Waluyo, Joko, (2007), Fiscal Decentralization: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antardaerah di Indonesia. 4

4

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Ruslan

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

tersebut diprakarsai oleh para Kepala Negara ASEAN pasca krisis ekonomi tahun 1997 dikawasan Asia Tenggara. MEA diharapkan dapat mewujudkan tercapainya suatu kawasan yang stabil, makmur, berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Bali Concord II tidak hanya menyepakati pembentukan MEA, namun juga menyepakati pembentukan komunitas ASEAN di bidang keamanan Politik (ASEAN Political - Security Community) dan Sosial Budaya (ASEAN Socio-Culture Community). Dalam perjalanannya, para Pemimpin ASEAN ketika Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur, Desember 1997 memutuskan untuk mentransformasikan ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan yang semakin kecil, sebagaimana visi ASEAN 2020 (Dirjen Kerjasama ASEAN, 2009). Kawasan ASEAN dengan jumlah penduduk sebanyak 590, 634 juta jiwa merupakan potensi yang besar bagi produk UMKM. Para Pemimpin ASEAN telah sepakat untuk mewujudkan MEA pada tahun 2015 dengan 4 pilar yaitu, pertama pasar tunggal dan basis produksi, kedua kawasan ekonomi berdaya saing tinggi, ketiga kawasan dengan pembangunan ekonomi yang setara, dan keempat kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Untuk mewujudkan keempat pilar tersebut, bukan saja pemerintah yang harus bekerja, akan tetapi stakeholder yang lainnya termasuk dunia usaha juga sangatlah penting. Khusus dalam rangka mewujudkan pilar ketiga, yaitu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang setara, maka pemberdayaan UMKM menjadi sangat penting, selain masalah mengatasi kesenjangan dan konektivitas. Dalam rangka memperkuat UMKM menghadapi Masyarakat Ekonome Asia (MEA) tahun 2015, beberapa upaya yang perlu dilakukan, diantaranya: 1. Meningkatkan kualitas dan standarisasi produk UMKM yang setara di kawasan ASEAN 2. Memperluas dan meningkatkan akses pembiayaan bagi UMKM 3. Meningkatkan kualitas SDM dan jiwa kewirausahaan terhadap pelaku UMKM 4. Memperkuat dan meningkatkan akses dan transfer teknologi bagi UMKM untuk pengembangan UMKM inovatif 5. Fasilitasi UMKM berkaitan akses informasi dan promosi di luar negeri. Dengan demikian pembangunan segala sektor itu sebagai ujung tombak pertumbuhan perekonomian pedesaan dan nasional. Pada akhirnya diharapkan akan mampu berkompetisi pada era integrasi ekonomi ASEAN yang dimulai pada tahun 2015 ini sebagai kawasan yang stabil dan makmur. Sayangnya, pemerintah masih mencerminkan niatan yang setengahsetengah. Pemerintah pusat terkesan enggan untuk melimpahkan sebagian kewenangan/urusan kepada desa. Pemerintah pusat berargumentasi bahwa desa tidak memiliki kemampuan untuk menerima serta menjalankan limpahan kewenangan termasuk desentralisasi fiskal. Desa masih dianggap lemah, baik dari aspek teknokratis politik

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

5


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Ruslan

(perencanaan dan penganggaran pembangunan), maupun kemampuan masyarakat dan organisasi serta kelembagaan desanya. Desa selalu disudutkan tidak memiliki organisasi masyarakat ataupun kelembagaan yang bisa diandalkan. Tambahan pula, aturan dan tradisi adat (kearifan lokal) yang berkembang di desa acapkali dikatakan memiskinkan dan tidak mencerdaskan. Alih-alih, dengan argumentasi tersebut, pemerintah supradesa selalu berupaya menguasai kewenangan dan uang pembangunan desa. Padahal, ada prinsip-prinsip lain yang harus diperhatikan oleh pemerintah, seperti keberagaman, kemandirian, demokrasi, pemberdayaan, rekognisi dan kesejahteraan. Desadesa di Indonesia sangat beragam dari sisi sosial-budaya, politik, sejarah maupun geografisnya. Keragaman ini meniscayakan adanya tipologi desa yang beragam pula, sehingga menentukan disain kelembagaan tentang kedudukan, kewenangan, susunan pemerintahan desa dan lain-lain. Bentuk desa otonom misalnya, sangat cocok diterapkan di Jawa, sebagian Sumatera, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sulawesi serta Nusa Tenggara Barat. Demikian pula dengan aset dan potensi sumber daya alam negara, masih kurang perhatian terhadap arti penting redistribusi aset kepada desa. Pemerintah supradesa masih percaya bahwa ketika aset agraria dimonopoli oleh pemerintah pusat ataupun diserahkan kepada kelompok pemodal akan melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Tapi kenyataannya berbeda, masyarakat desa, dilingkupi oleh banyak aset (hutan, batu, laut, tanah), tapi tidak memiliki hak/kemampuan untuk mengakses aset tersebut. Salah satu sumber penyebabnya tidak lain karena sistem perundang-undangan kita banyak yang berpihak pada pemodal dan opportunistic interest group dalam negara sendiri. Akhirnya mereka tetap hidup miskin, sementara pemodal bergelimang aset. Di sisi lain, tidak sedikit desa, khususnya di wilayah Indonesia Timur, mampu mengelola pembangunan yang selama ini nyaris tidak dilakukan pemerintah supradesa sekalipun dianggap sebagai kewenangan supradesa, diantara prestasi tersebut misalnya, desa Mbatakapidu - Sumba Timur, desa desa di kawasan Hutan Sesaot Nusa Tenggara Barat dan Marejebonga yang mampu menjaga konservasi dan mengoptimalkan fungsi ekonomi hutan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Demikian pula desa-desa di Kabupaten Muna, di Kabupaten Kupang, di Kabupaten Buton juga mampu mengoptimalkan peran posyandu tidak hanya sebagai organisasi penguatan sektor kesehatan masyarakat desa, tapi juga berperan untuk penguatan kualitas pendidikan dan ekonomi masyarakat desa. Dari aspek keuangan desa, pemerintah masih cenderung bertahan untuk tidak meluncurkan perimbangan pusat dan desa, meskipun akhir-akhir ini marak dengan tuntutan 1 milyar untuk satu desa. Alasannya, desa tidak mampu mengelola uang sebanyak itu dan cenderung akan dikorupsi, karena desa belum bisa berlaku demokratis, masih bersifat komunal dan paternalitisk. Padahal, dalam perkembangan saat ini desa-desa telah mengalami evolusi, masuk ke dalam struktur negara, serta menjadi organisasi publik yang transparan dan akuntabel. Tatakelola ADD mampu menampilkan corak yang lebih

6

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Ruslan

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

demokratis, terencana, akuntabel dan transparan. Desa yang dulu melaju tanpa perencanaan, dan tinggal menerima proyek dari atas, kini telah berubah. Desa mampu menyusun RRPJM Desa, RKP Desa dan APBDesa atas dasar musyawarah mufakat serta memperhatikan hak-hak dasar masyarakat. Sementara proyek bantuan dari atas, sekalipun membangun desa namun sering melangkahi desa. Bantuan cenderung memperkuat tradisi elite capture. Mengalirkan anyak uang ke desa, tapi keterbukaan pada publik masih lemah. Bahkan seringkali secara tidak langsung meminggirkan kelembagaan desa yang telah ada sebelumnya. Pembahasan Pembangunan desa secara pragmatis untuk kepentingan nasional dengan berbasiskan fakta perubahan positif yang telah terjadi saat ini. Karena, factor inovasi, partisipasi, emansipasi dari dalam desa itu sendiri. Pengalaman sebelumnya, Undang-Undang Desa seperti UU No. 05 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maupun UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Pemerintahan Desa Tahun 2014 masih perlu pengkajian pada aspek pembangunan yang terkait dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Tujuannya tidak lain adalah agar para pengampu kebijakan mengetahui secara nyata bahwa inisiatif, inovasi dan emansipasi desa membangun negara Indonesia memang nyata. Dengan kata lain, desa-desa mampu membangun Indonesia sebagai bentuk pertahanan kedaulatan Negara dan melindungi jati diri bangsa yang terpancar apik. Sekali lagi desa menjadi simbol keragaman dan solidaritas yang tinggi, berharga dan energy untuk transformasi kebijakan nasional. 6 Selama ini ketika melihat fakta-fakta kemiskinan, pengangguran dan marginalisasi system masyarakat pedesaan, maka seharusnya pemerintah daerah dan desa bekerjasama dalam memperkuat peran desentralisasi otonomi daerah sehingga kontrol akan kebutuhan pedesaan lebih efektif. Kita menyaksikan selama ini bahwa desa masih dihegemoni secara sistematik melalui tahapan kebijakan. Regulasi Undang-undang otonomi daerah hanya menjadi napak tilas dan menumen yang kurang berani memberikan keleluasaan terhadap pedesaan.7

Abdur Rozaki, Sutoro Eko, M. Zainal Anwar dan Bornie Kurniawan, MANIFESTO RAPPOA Menyongsong Perubahan Dari Festival Desa ndonesia Timur, Oleh: Tim IRE Yogyakarta – FPPD Didukung Oleh Institute for Research and Empowerment (IRE), Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS), Yogyakarta, Hal. 58 http://www.forumdesa.org dan http//www.ireyogya.org 7 Arie Sujito, M.Si. Ekonomi Kerakyatan Dan Industrialisasi Desa, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Sosiolog, Pengajar di Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM, Makalah untuk Seminar Bulanan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan-UGM, dengan tema “Ekonomi Kerakyatan�, tanggal 18 Mei 2006 6

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

7


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Ruslan

Seiring upaya daerah menciptakan sumber-sumber pertumbuhan kesejahteraan ekonomi melalui industrialisasi pedesaan, tentu sangat relevan. Beberapa alasan diantaranya, pertama, sejauh ini upaya penguatan transformasi politik dalam bentuk demokrasi dan otonomi pedesaan, jikalau hal itu tidak ditopang oleh penguatan basis ekonomi dan kesejahteraan pedesaan maka akan semakin luas kesenjangan serta tumbuh suburnya konflik. Seandainya demokrasi dan otonomi pedesaan tidak mampu menjawab tuntutan kesejahteraan social ekonomi maupun pengurangan kemiskinan, maka program demokratisasi dan desentralisasi secara lambat laun akan mengalami delegitimasi dan distrust di hadapan rakyat pedesaan. Dikemudian hari (jangka panjang) juga akan semakin mempersulit kedua agenda transformasi politik itu. Karenanya, desentralisasi kesejahteraan melalui instrument industrialisasi, maka dalam konteks ini merupakan alternatif untuk menjawab ketegangan social ekonomi masyarakat pedesaan. Industrialisasi desa merupakan alternatif untuk memperkuat program APBDes yang baik dengan memenuhi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsif, dan partisipatif, maupun Alokasi Dana Desa (ADD), dengan maksud memperlancar demokrasi dan otonomi desa, memperkuat basis ekonomi bagi otonomi desa, mengurangi kemiskinan, menekan laju urbanisasi serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa. Kedua, eksistensi desa dalam proses ekonom politik selama ini sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah terlebih juga hubungan antara pembangunan desa dan perkotaan. Dalam pengalaman sejauh ini menunjukkan bahwa, sejak reformasi tata pemerintahan desa juga kabupaten (desain desentralisasi dan demokratisasi desa sekalipun), masih kurang mendaratkan dan mengkaitkan pada isu-isu hubungan ekonomi politik desa-kota. Dalam bentang sejarah ekonomi lokal misalnya, termasuk modernisasi desa, selalu ditandai oleh bias sentralisasi pada kota. Tentu jauh dari keberpihakan pada desa. Kendapitun kegiatan eksploitasi atau kapitalisasi memasuki area desa, namun kesemuanya itu hanyalah menegaskan keyakinan bahwa desa tidak lebih sebagai bjek pemanfaatan sumberdaya alam dan ekonomi yang dalam prosesnya segala hasilnya (keuntungan) mengalir ke kota. Dengan kata lain, desa menjadi tempat produksi, sementara kota menjadi tempat perdagangan, distribusi, dan konsumsi. Itulah yang dimaksud dengan eksploitasi pembangunan kota pada desa, yang hingga saat ini terus berlangsung. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjdi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah. Ketiga, ditinjau dari kebijakan pembangunan, industrialisasi desa tentu bukan fenomena baru. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tata kelola industrialisasi yang ada di desa selama ini (telah berjalan dalam waktu yang cukup lama) baik merupakan bagian konstruksi revolusi

8

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Ruslan

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

hijau maupun modernisasi desa, sebagian besar ternyata tanpa sentuhan governance reform, melalui demokratisasi (partisipasi masyarakat) dan desentralisasi (kewenangan desa). Dalam contoh konkrit, keputusan untuk membuka hadirnya investasi dalam rangka menjalankan kegiatan industrialisasi ke desa merupakan kewenangan pemerintah supradesa (kecamatan dan kabupaten), sementara desa hanyalah menjadi wilayah (lokasi) proyek industrialisasi. Desa secara kelembagaan tidak memiliki kewenangan untukmengambil keputusan dalam proses awal masuknyainvestasi ke desa, dan masyarakat tidak memperoleh ruang partisipasi untuk mengontrol proses ekonomi yang sangat elitis itu. Karena tidak adanya governance reform dalam tata kelola industrialisasi desa itulah, maka yang terjadi adalah, bahwa indstrialisasi tidak menguntungkan desa, justru malah menimbulkan kerugian besar bagi desa, meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa, dan tidak jarang memunculkan konflik antara masyarakat setempat dengan perusahaan (industri). Terobosan baru dengan industrialisasi desa itu,s ecara ideologis dimaksudkan sebagai bentuk desentralisasi alat-alat produksi pada rakyat (desa). Peran negara (dalam hal ini pemerintah desa bekerja sama dengan kabupaten) melindungi sumberdaya lokal dengan menjalankan mandat rakyat, saat bernegosiasi dengan pengusaha dalam menginvestasikan modalnya untuk kegiatan industri. Jauh berbeda dengan yang terjadi saat ini, dimana pemerintah daerah justru dengan dipandu ideologi neoliberal melakukan eksploitasi sumberdaya lokal, maka otonomi daerah dan desentralisasi akhirnya terperosok menjadi arena perayaan penindasan pada rakyat (desa). Inilah tantangan penting yang perlu dijawab. Kita memang membutuhkan terobosan baru paradigma pembangunan alternatif untuk menemukan kembali pilar-pilar pokok di level lokal dalam rangka menegakkan ekonmi kerakyatan. Industrialisasi desa, barangkali menjadi bagian pilar itu. Kemitraan strategis untuk pemberdayaan perdesaan dalam perspektif pengembangan kebijakan desentralisasi kesejahteraan ke pedesaan, tentu harus memiliki mekanisme kontrol terhadap sumberdaya alam dan ekonomi pedesaan yang berkelanjutan agar kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi.8 Hal ini adalah salah satu alternatif perubahan kedepan di segala sector. Kondisi pasar pangan menunjukkan bahwa struktur pasar ditandai oleh menguatnya posisi tawar petani. Berbagai penghasilan petani yang telah mengalami peningkatan sebelumnya yakni beras, kelapa sawit, sapi, susu, tembakau dan sebagainya. Akan tetapi hal tersebut ditandai oleh tingginya ketergantungan hidup petani terhadap berbagai komoditi yang ada. Sementara itu, pedagang mempunyai modal yang lebih banyak sehingga mereka tidak terlalu tergantung pada satu komoditas. Keadaan yang sama berlaku untuk kakao, jeruk, cengkeh, karet, dan sebagainya.9

8

Arya Hadi Dharmawan, Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas Dan Kemitraan. et al.

9 Catur Sugiyanto Prospektif Ekonomi Petani Pasca Pemilu, Staf Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Pengajar FE-UGM Yogyakarta, 21 April 2009

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

9


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Ruslan

Pembangunan Pedesaan Ciri pelaksanaan pembangunan di daerah yang paling khas adalah dimana ada kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang berlimpah, selalu saja diikuti oleh hadirnya sejumlah penduduk miskin yang hidupnya kurang beruntung. Sesungguhnya daerah yang kaya sumberdaya alam tetapi penduduk miskin dan ketimpangan pembangunan pedesaan dan perkotaannya juga terjadi. 10 Pembangunan dari desa adalah menentukan kapasitas masyarakat yang sudah memiliki kemampuan sebelumnya. Tetapi, situasi sekarang dengan 20 tahun sudah jauh berbeda. Saat ini, keseimbangan alam telah berubah, ada pemanasan global hingga perubahan iklim karena terjadinya alih fungsi lahan dan sebagainya. Karena itu, ada beberapa hal yang dilakukan,11 Pertama, dibutuhkan sebuah pemerintah yang bisa melakukan inovasi terutama mengatasi situasi edukasi. Jadi kita turunkan para penyuluh ke desa untuk melakukan transformasi pengetahuan. Kedua, mempersiapkan kepemimpinan desa yang baik sehingga mampu mengelola pemerintahan dengan baik. Ketiga, berbagi kewenangan antara kabupaten dengan desa serta perkuat lembaga keuangan dengan cara memperbesar Alokasi Dana Desa (ADD). Agar ADD bermanfaat lebih luas, maka ADD digunakan untuk menyentuh kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat bahkan bisa digunakan untuk menggaji guru bantu. Dengan kebijakan demikian, ternyata desa semakin berkembang dengan mengolah Sumber Daya Alam yang ada serta prakarsai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), masyarakat juga ikut terlibat mengelolanya. BUMDes ini juga memberi sumbangan yang tidak kecil terhadap pendapatan asli desa (PADes). Bahkan, dengan adanya mobil khusus BUMDes, pada akhirnya ini berdampak luar biasa karena bisa mengangkut hasil panen desa ke daerah lain. Desa memang harus mandiri dan tetap mendapat bantuan dari kabupaten sebagai bentuk singkronisasi program, seperti pembuatan jalan usaha tani dengan bantuan sosial. Intinya, pembangunan pedesaan harus optimal sehingga terjadi sinergi yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Pedesaan dihadapkan pada persoalan distribusi kesejahteraan, maka itulah menjadi kebutuhan yang sangat penting untuk membuat alternatif penguatan desentralisasi kesejahteraan bagi pedesaan. Sarbini Sumawinata (2005), bahwa pedesaan harus memiliki intensifikasi dalam melakukan pemberdayaan dan alternative dalam memberikan kesejahteraan, tentu hal itu di dorong dengan konsep ekonomi kerakyatan melalui tahap industrialisasi pedesaan. Konsep ini dimunculkan untuk menjawab kebutuhan pengembangan kesejahteraan dan ekonomi pedesaan. Syarat industrialisasi desa harus menciptakan transformasi kesejahteraan sehingga pemanfaatan sumberdaya lokal dengan 10 San Afri Awang, Rakyat Dijual Murah Oleh Partai Politik, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Guru besar FKT-UGM Yogyakarta. 11 Suseno, F.M. 2005. Demokrasi dalam kesaksian sejarah. Dalam Revitch, D and Abigail Thernstrom. Demokrasi : Klasik dan Modern. Jakarta:Yayasan Obor.

10

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Ruslan

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

basis pengelolaan oleh masyarakat dan desa menjadi alternatif dari masalah yang ada. Model dan konsep desentralisasi kesejahteraan sangat berkaitan dengan industrialisasi yang ingin di terapkannya. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan lapangan kerja di tingkat pedesaan dan berorientasi pada kebutuhan jangka panjang (sustainable). Tentu sangat berbeda dengan model-model eksploitasi sumberdaya alam yang selama ini diterapkan melalui jargon modernisasi dan globalisasi yang nyata membawa dampak kesenjangan, ketergantungan, dan marginalisasi terhadap masyarakat. 12 Pembangunan pedesaan merupakan strategi alternatif dalam memberikan solusi terhadap sumber penghidupan dan kesejahteraan karena terdapat faktor fungsional dari berbagai sektor pertanian, industri, pariwisata dan agribisnis. Sehingga tata ruang agropolitan merupakan fungsi perencanaan, koordinasi dan evaluasi maupun pengendalian agar pembangunan desa berorientasi cepat tumbuh dan berkelanjutan. Disamping itu, pentingnya pengembangan kawasan agropolitan untuk pedesaan membuka lapangan kerja yang luas, tentu berdasarkan kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) di sebagian besar daerah provinsi, kabupaten dan kota. Hal ini menjadi keuntungan besar yang bersifat kompetitif (competitive advantage). Selain itu juga, pembangunan pedesaan mengusahakan potensi lokal sebagai faktor pendukung dalam proses percepatan dan pemanfaatan sektor lahan cepat tumbuh dan berkelanjutan sehingga memberikan kontribusi nyata dalam memenuhi kesejahteraan bagi masyarakat. 13 Selaras dengan visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025, maka visi percepatan dan perluasan pembangunan adalah mewujudkan partisipasi masyarakat melalui sektor pembangunan pedesaan sebagai sumber penghidupan yang mandiri dan makmur. Berdasarkan data diatas bahwa penting untuk menyikapi paradigma dan dinamika issue pembangunan nasional maupun wilayah sehingga menjadi sala satu indikator system penilaian dan pengukuran angka partisipasi dalam proses pembangunan yang direncanakan. Karena semakin tinggi tingkat kebutuhan akan pembangunan, maka semakin tinggi pula masyarakat yang concern dalam mengambil bagian untuk investasi maupun kerjasama ekonomis. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan kedepan harus mampu mendorong peningkatan kualitas kesetaraan dan persamaan (equality) hak masyarakat baik dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga keberlanjutan pembangunan tersebut, sebagaimana visi dan misi rencana pembangunan nasional. 14 Artinya perlu diperhatikan Suyanto, Katiran, Sunyoto dkk, (2013) “Desa MOVE ON: Pembangunan Kesejahteraan Desa”, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur Indonesia. Hal. 12 13 Rusdianto, Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan Yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan, Jurnal Pembangunan Daerah Volume II Tahun 2013 14 Muafi, Titik Kusmantini, dan Hendri Gusaptono, (2009), “Penguatan Ekonomi Lokal Melalui E-Readiness Berbasis One Village One Product (OVOP)”, Ekuitas, Vol. 9, No. 1:16-28. 12

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

11


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Ruslan

karakteristik berbagai wilayah di Indonesia dalam kerangka mencari keseimbangan penduduk (permukiman) dan kesetaraan sumber daya manusia dalam jangka panjang dan menengah. Industrialisasi Local Market Pedesaan Dalam pandangan para ekonom, identitas sebuah negara ada pada pedesaan sebagai kekuatan kepentingan nasional. 15 Demikian halnya perkembangan ekonomi pedesaan yang di gali dari lokal market, yang menjadi pusat perhatian masyarakat, seperti pertumbuhan ekonomi, peran investasi, peran konsumsi, tingkat inflasi desa, pendapatan, tingkat suku bunga, dan tingkat pengangguran maupun kemiskinan. 16 Ekonomi pedesaan setidaknya memiliki tiga ciri sebagai berikut. Pertama, pemasok bahan mentah nasional. Kedua, pasar produk pedesaan secara nasional. Ketiga, local market kapital dan industri. Dengan latar belakang seperti itu, ekonomi pedesaan sebagai ekonomi pedesaan haruslah menguasai perdagangan dan ditandai kesadaran usaha untuk mewujudkan cita-cita ekonomi. Mengahadapi Masyarakat Ekonomi Asean sangat perlu paradigm industrialisasi local market pedesaan sangat kompleks dan beragam dilihat dari jenis usaha, corak dan orientasi produksinya, peranan dan permasalahannya, serta potensi pengembangannya. Dalam studi industri local market pedesaan di Indonesia, konsep dan pendekatan yang perlu penyesuaian. Prioritas pengembangan perlu diidentifikasi posisi kekuatan market industri pedesaan yang pada garis besarnya berupa struktur dan karakter usaha. 17 Struktur usaha meliputi unsurunsur yang menyusun kesatuan usaha sebagai suatu bentuk produksi dari pengadaan dan penggunaan, pengolahan, keluaran, dan distribusi serta pemasaran. Sedangkan karakter usaha dan pengusaha merujuk pada aspek-aspek non-fisik produksi. Karakteristik usaha mencakup riwayat usaha, motivasi usaha, intensitas dan kontinuitas usaha, kepentingan relatif usaha dalam ekonomi. Sedangkan karakteristik pengusaha meliputi aspek-aspek yang terkait dengan kualitas pengusaha baik aspek sosial, ekonomi, dan demografi. Statistik Industri Kecil Small Scale Manufacturing Industry Statistics Dengan pendekatan jenis ini produk industri perdesaan dapat dikelompokkan dalam tingkatan dengan ciri-ciri sebagai berikut: 18 1. Barang-barang konsumsi yang mudah rusak (perishable consumer goods): terutama adalah kelompok makanan, mempunyai ciri relative sederhana, harganya cukup murah, untuk pemakaian jangka pendek. Lauer, R.H. 2001. Perspektif tentang perubahan sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Petras, J dan H.Veltmeyer.2001. Kedok Globalisasi: Imperialismo abad 21. Cakra Nusantara Revitch, D dan A. Therstrom. 2005. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor. 17 Maryanti, Sri, (2011), Gerakan One Village One Product (OVOP): Gerakan Satu Nagari Satu Produk, Jakarta, download tanggal 11 Oktober 2012 18 Darwanto, Herry, (2002), Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah, Jakarta. Hal. 39 15 16

12

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Ruslan

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

2. Barang-barang konsumsi yang lebih tahan lama (more durable consumer goods) terutama adalah produk-produk hasil pertanian non-pangan seperti kayu, kertas dan tekstil dan produk barang galian bukan metal seperti keramik dan gipsum, untuk kebutuhan rumahtangga, alat-alat, perabot dan furnitur rumahtangga, harga lebih mahal, untuk penggunaan jangka menengah, secara teknis lebih rumit dan membutuhkan waktu lebih lama pengerjaannya. 3. Barang-barang konsumsi tahan lama (durable consumer goods) secara teknis kompleks, lebih mahal, untuk penggunaan penggunaan jangka panjang, terutama kelompok logam. 4. Barang-barang modal dan bahan antara (intermediate & capital goods) bisa meliputi semua kategori kelompok industri di atas tetapi bukan untuk kepentingan konsumsi (non-consumer goods) diproduksi untuk konsumsi perusahaan atau proses produksi mis. Alat-alat transport, mesin industri, produk-produk jadi, bahan bangunan, dll.19 Dalam tahap-tahap awal perkembangannya, industri yang dominan adalah kelompokkelompok pengolahan produk pertanian. Atas dasar ini, komposisi industri wilayahnya di dominasi oleh unit-unit usaha pengolahan makan akan berada dalam tahap awal perkembangan industri. Wilayah yang kegiatan industrinya telah bergeser pada pengolahan produk pertanian yang lebih tahan lama menunjukkan tingkat perkembangan yang lebih baik. Dengan menganalisis data sekunder unit-unit usaha dan atau tenaga kerja yang terserap dalam kelompok industri dapat diperkirakan tingkat industrialisasi wilayah. Identifikasi perkembangan wilayah atas dasar jenis industri yang dominan juga dapat mengaitkan dengan analisis location quotient sebagai proxy untuk mengidentifikasi wilayahwilayah berdasarkan kelompok industri yang tergolong basis dan non-basis. Penggunaan bahan baku (Main mateial) sangat diutamakan dalam proses produksi. Bahan baku tersedia di pedesaan-pedesaan tergantung jenis usahanya. 20 Sesuai dengan konsep industry local market pedesaan, bahan baku yang diolah dapat berupa bahan mentah (raw-material) atau bahan yang telah terolah menjadi produk setengah jadi (semi finished product) yang berasal dari kegiatan sektor primer yaitu produk dari pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan penggalian. Sementara bahan setengah jadi (semi finished material) adalah bahan mentah yang terolah dan mengalami transformasi menjadi produk setengah jadi, untuk menjadi produk jadi atau produk akhir yang siap di konsumsi diperlukan pengolahan tambahan.21 Sedangkan Additional Material Bahan tambahan industry dalam proses produksi untuk menghasilkan Firdaus, Ahmad, (2010), Memberdayakan Desa dengan Produk Unggulan, download dari http://www.pkpu.or.id tanggal 11 Oktober 2012 20 Budiyanto, Moch. Agus Krisno, (2011), “Optimasi Pengembangan Kelembagaan Industri Pangan Organik di Jawa Timur”, Jurnal Teknik Industri, Vol. 12, No. 2:169–176 21 Badrudin, Rudy, (2011), ”Pengaruh Belanja Modal pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah”, Jurnal Akuntansi & Manajemen, Vol. 22, No. 1:39-66. 19

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

13


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Ruslan

produk jadi (finished product) maupun produk setengah jadi (semi finished product) sesuai dengan target produksi industri pengolahan yang bersangkutan. Hal ini juga harus di dukung oleh sumberdaya dan energi pedesaan yang ada dari berbagai jenis sumber yang menggerakkan proses produksi baik yang langsung berkenaan dengan produk atau melalui instrumen tertentu. Pada awal perkembangannya, industri local market pedesaan cenderung berorientasi pada keberadaan sumberdaya. Bahkan sejumlah industri pedesaan tumbuh karena kepemilikan sumberdaya. Karenanya, kategori perkembangan industry dapat diidentifikasi dari cara pengusaha mengadakan bahan input produksinya.22 Pada tahap awal perkembangannya, sejumlah industri tradisional menggunakan sumber bahan yang dimiliki sendiri. Pengrajin bambu memperoleh bahan baku usahanya dari tanaman bambu di lahannya sendiri. Pembuatan batu bata atau genting menggunakan sumber bahan tanah liat dari areal lahan sawah atau pekarangan milik sendiri. Industri yang berorientasi pada keberadaan sumberdaya pada umumnya mendekatkan diri pada lokasi sumberdaya tersebut. Ada kecenderungan perkembangan selanjutnya adalah bahwa bahan-baku setempat tidak lagi mencukupi kebutuhan baik karena berkembangnya unit usaha industri, atau semakin banyaknya unit usaha, atau menipisnya bahan baku.23 Kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan bahan ini ditutupi dengan mendatangkan bahan dari luar daerah. Kondisi tersebut bisa digunakan untuk identifikasi perkembangan industri. Semakin maju industri semakin besar proporsi penggunaan sumber-sumber bahan berasal dari non-lokal, baik dalam lingkup regional dan nasional. Pendekatan perkembangan industri dengan bahan baku sering dikombinasikan dengan pemasaran. Dalam hal inipemasaran produk ke luar daerah (non-lokal) diasumsikan lebih berkembang dibandingkan dengan pemasaran lokal. 24 Asumsi ini berdasarkan theori economic base bahwa industri itu harus bisa menjangkau pasar luar daerah / non-lokal dipandang lebih maju perkembangannya dibandingkan yang memasarkan produknya di pasar lokal karena tentu menghasilkan aliran modal (capital flow) ke daerah tersebut yang berarti meningkatnya investasi dan menguatkan dorongan perkembangan sektor ekonomi lainnya. 25 Dengan pendekatan pemasaran ini dapat dibuat tipologi industry yang berbeda potensi perkembangannya. Pendekatan pengembangan potensi lokal unuk menghasilkan produk kelas global yang unik sesuai khas dengan memanfatkan sumberdaya lokal. Pendekatan lain juga, bisa dikategorisasi dalam pasar menuju klasterisasi produk-produk unggulan yang berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar dapat berkembang dan mengakses pasar (market) Badan Pusat Statistik, (2008), Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2008, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________, (2009), Indeks Pembangunan Manusia, Badan Pusat Statistik, Jakarta. 24 Kusreni, Sri, 2009, �Pengaruh Perubahan Struktur Ekonomi terhadap Spesialisasi Sektoral dan Wilayah serta Struktur Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral untuk Daerah Perkotaan di Jawa Timur�, Majalah EKONOMI, Vol. XIX, No. 1:20-31. 25 Arsyad, Lincolin, (2010), Ekonomi Pembangunan, Edisi 5, UPP STIM YKPN, Yogyakarta. 22 23

14

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Ruslan

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

secara lebih luas, baik lokal, nasional, maupun internasional. 26 Dengan industri lokal market ini, akan tumbuh penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi kemiskinan di desa sehingga mampu menahan laju urbanisasi dari desa ke kota yang didesain dengan mengembangkan desa berdasarkan potensi desa yang unggul pada akhirnya akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi desa yang berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.27 Setiap pedesaan mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan ekonomi pedesaan perlu mengenali karakter ekonomi, sosial, dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian, tidak ada strategi pembangunan ekonomi pedesaan nanti yang dapat berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi pedesaan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi pedesaan yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai potensi pedesaan lainnya, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi desa. Setiap usaha pembangunan ekonomi dan industry local market pedesaan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat. Dalam usaha untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah beserta masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan ekonomi dan industry local market. Oleh karena itu, pemerintah beserta masyarakatnya menggunakan sumberdaya yang ada di daerah tersebut harus mampu menaksir potensi sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian pedesaan. Kesimpulan Dan Penutup Dengan disepakatinya Masyarakat Ekonomi Asian, Indonesia harus mempersiapkan diri adalah pembangunan infrastruktur pelaku bisnis sebagai ebagai berikut: 1. Moda kelancaran investasi pembangunan Indonesia sehingga meraih keuntungan besar dan menunjang fasilitas dan infrastruktur dalam kegiatan ekonomi masyarakat demi menyongsong Asean Economic Community. 2. Mengutamakan kepentingan nasional dalam setiap perundingan perdagangan internasional yaitu perjanjian perdagangan yang memberikan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat didalamnya, memperkuat ekonomi dalam negeri dan meningkatkan pelayanan public yang di mulai dari masyarakat kelas bawah yakni desa. Kadiman, Kusmayanto, (2005), The Triple Helix and The Public. Dipresentasikan pada Seminar on Balanced Perspective in Business Practices, Governance, and Personal Life. Jakarta. Kuncoro, Mudrajad, (2010), Ekonomika Pembangunan: Masalah, Kebijakan, dan Politik, Edisi.5, Penerbit Erlangga, Jakarta. 27 Rudy Badrudin, “Model Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan One Village One Product Untuk Mengurangi Kemiskinan di Indonesia�, Terbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta. Hal. 23 26

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

15


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Ruslan

3. Percepatan pembangunan infrastruktur, terutama di desa-desa di Indonesia dalam menghadapi MEA sangatlah prioritas, misalnya custom umum, market, pertumbuhan ekonomi, transparansi biaya perdagangan, peningkatan produktivitas, pengelolaan upah dan meningkatkan Gross Domestik Produk perkapita. 4. Pemerintah mencanangkan pembangunan desa yang berbasis pada jalur ganda atau double track, penerbangan, dan pelabuhan untuk mempercepat distribusi barang yang bersifat city link integrative sebagai bagian dari conectivity international go to local dengan memakai sistem komputerisasi dalam berbagai aspek termasuk penjualan potensi lokal yang ada di desa. 5. Strategis pembangunan yang dilakukan masyarakat desa dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), meliputi strategi pembangunan UKM dan koperasi, pertanian dan perikanan, pendidikan tinggi, industri pariwisata, agrowisata, dan agrobisnis yang merupakan factor penentu lajunya tingkat pertumbuhan ekonomi desa. 6. Pedesaan harus memiliki intensifikasi dalam melakukan pemberdayaan dan alternative dalam memberikan kesejahteraan 7. Program Industrialisasi desa hadapi MEA harus menciptakan transformasi kesejahteraan sehingga pemanfaatan sumberdaya lokal dengan basis pengelolaan oleh masyarakat dan desa menjadi alternatif dari masalah yang ada. 8. Mengahadapi Masyarakat Ekonomi Asean sangat perlu paradigm industrialisasi local market pedesaan sangat kompleks dan beragam dilihat dari jenis usaha, corak dan orientasi produksinya, peranan dan permasalahannya, serta potensi pengembangannya. 9. Dalam studi industri local market pedesaan di Indonesia, konsep dan pendekatan yang perlu penyesuaian. Prioritas pengembangan perlu diidentifikasi posisi kekuatan market industri pedesaan yang pada garis besarnya berupa struktur dan karakter usaha. Daftar Pustaka Mohamad Hery Saripudin, (Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar negeri), makalah yang di sampaikan dalam seminar bertemakan “Menyongsong Asean Economic Community 2015” dilaksanakan oleh Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas janabadra pada tanggal 16 April 2014. Sulekale, Dalle Daniel, (2003), “Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Era Otonomi Daerah”. Jurnal Ekonomi Rakyat. Vol. 2, No. 2. Triharini, Meirina, Dwinita Larasati, dan R. Susanto, (2012), “Pendekatan One Village One Product (OVOP) untuk Mengembangkan Potensi Kerajinan Daerah: Studi Kasus Kerajinan Gerabah di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta“, ITB J. is. Art & Des, Vol. 6, No. 1, 2012:28-41 Wahyuningsih, Sri, (2009). “Peranan UKM Dalam Perekonomian Indonesia”, Mediagro, Vol. 5, No.1, 2009:1-14.

16

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Ruslan

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Waluyo, Joko, (2007), Fiscal Decentralization: Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antardaerah di Indonesia. Jakata Abdur Rozaki, Sutoro Eko, M. Zainal Anwar dan Bornie Kurniawan, Manifesto Rappoa Menyongsong Perubahan Dari Festival Desa ndonesia Timur, Oleh: Tim IRE Yogyakarta – FPPD Didukung Oleh Institute for Research and Empowerment (IRE), Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS), Yogyakarta Arie Sujito, M.Si. Ekonomi Kerakyatan Dan Industrialisasi Desa, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Sosiolog, Pengajar di Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM, Makalah untuk Seminar Bulanan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan-UGM, dengan tema “Ekonomi Kerakyatan”, tanggal 18 Mei 2006 Catur Sugiyanto Prospektif Ekonomi Petani Pasca Pemilu, Staf Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Pengajar FE-UGM Yogyakarta, 21 April 2009 San Afri Awang, Rakyat Dijual Murah Oleh Partai Politik, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Guru besar FKT-UGM Yogyakarta. Suseno, F.M. 2005. Demokrasi dalam kesaksian sejarah. Dalam Revitch, D and Abigail Thernstrom. Demokrasi : Klasik dan Modern. Jakarta:Yayasan Obor. Suyanto, Katiran, Sunyoto dkk, (2013) “Desa MOVE ON: Pembangunan Kesejahteraan Desa”, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur Indonesia. Hal. 12 Rusdianto, Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan Yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan, Jurnal Pembangunan Daerah Volume II Tahun 2013 Muafi, Titik Kusmantini, dan Hendri Gusaptono, (2009), “Penguatan Ekonomi Lokal Melalui E-Readiness Berbasis One Village One Product (OVOP)”, Ekuitas, Vol. 9, No. 1:16-28. Lauer, R.H. 2001. Perspektif tentang perubahan sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Petras, J dan H.Veltmeyer.2001. Kedok Globalisasi: Imperialismo abad 21. Cakra Nusantara Revitch, D dan A. Therstrom. 2005. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor. Maryanti, Sri, (2011), Gerakan One Village One Product (OVOP): Gerakan Satu Nagari Satu Produk, Jakarta, download tanggal 11 Oktober 2012 Darwanto, Herry, (2002), Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah, Jakarta. Hal. 39 Firdaus, Ahmad, (2010), Memberdayakan Desa dengan Produk Unggulan, download dari http://www.pkpu.or.id tanggal 11 Oktober 2012 Budiyanto, Moch. Agus Krisno, (2011), “Optimasi Pengembangan Kelembagaan Industri Pangan Organik di Jawa Timur”, Jurnal Teknik Industri, Vol. 12, No. 2:169–176 Badrudin, Rudy, (2011), ”Pengaruh Belanja Modal pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah”, Jurnal Akuntansi & Manajemen, Vol. 22, No. 1:39-66.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

17


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Pembangunan Pedesaan dan Industrialisasi Local Market Menuju Kemandirian Indonesia

Ruslan

Badan Pusat Statistik, (2008), Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2008, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________, (2009), Indeks Pembangunan Manusia, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Kusreni, Sri, 2009, ”Pengaruh Perubahan Struktur Ekonomi terhadap Spesialisasi Sektoral dan Wilayah serta Struktur Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral untuk Daerah Perkotaan di Jawa Timur”, Majalah EKONOMI, Vol. XIX, No. 1:20-31. Arsyad, Lincolin, (2010), Ekonomi Pembangunan, Edisi 5, UPP STIM YKPN, Yogyakarta. Kadiman, Kusmayanto, (2005), The Triple Helix and The Public. Dipresentasikan pada Seminar on Balanced Perspective in Business Practices, Governance, and Personal Life. Jakarta. Kuncoro, Mudrajad, (2010), Ekonomika Pembangunan: Masalah, Kebijakan, dan Politik, Edisi.5, Penerbit Erlangga, Jakarta. Rudy Badrudin, “Model Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan One Village One Product Untuk Mengurangi Kemiskinan di Indonesia”, Terbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta.

18

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Muhammad Ali Sagalo

Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman Dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat Muhammad Ali Sagalo Dosen FISIP dan Tenaga Peneliti Lembaga Pengkajian Otonomi Daerah dan Politik Lokal Universitas Muhammadiyah Mataram

ABSTRAK Mewujudkan visi pembangunan kemaritiman dan revolusi mental sebagai capaian yang berdaya saing melalui pengelolaan potensi unggulan daerah sesuai dengan kearifan lokal demi pemerataan kesejahtraan. Pemerintah harus mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, inovatif dan unggul. Pembangunan kemaritiman dan revolusi mental yang sesuai kearifan lokal harus dilihat dari segala sektor yang ada baik ekonomi, sosial, politik, pariwisata, pemberdayaan masyarakat nelayan, wisata laut, market laut, agrolaut dan perikanan. Semuanya cukup dalam membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kata kunci: Pembangunan Kemaritiman, Revolusi Mental, Kearifan Lokal ABSTRACT Realizing the vision of maritime development and mental revolution as performance competitive with excellent potential management area corresponding to the livelihoods of local wisdom for the sake of equity. The government should encourage the management of natural resources sustainable, innovative and superior. Maritime development and mental revolution corresponding local wisdom to be seen from all sectors of economic, social, political, tourism, community empowerment fishing, marine tourism, marine market, agrolaut and fisheries. Everything is enough to help improve the welfare of the community. Key Words: Maritime Development, Mental Revolution and Local Wisdom Pendahuluan Sembilan Nawacita dalam pemerintahan Jokowi-JK, terdapat dua hal yang relevan dengan pembangunan yang bersifat mendesak yakni. pertama, negara memastikan pemerintahan secara ihlas dan jujur memperhatikan daerah tertinggal dan desa tertinggal

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

19


Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

Muhammad Ali Sagalo

khususnya kawasan terpencil dan perbatasan. Kedua negara memastikan revolusi ental yang cocok dengan kearifan lokal kebudayaan dan adat istidat justru menjadi perekat kehidupan berbangsa, benegara dan mengakui kebinekaan dan gotong royong sebagai bagian penting dalam pluralisme dan juga mengakui keberagaman itu. 1 Oleh karena itu, kawasan Timur Indonesia khususnya Nusa Tenggara Barat untuk menjadi pilot project dari dua nawacita tersebut yakni pembangunan kemaritiman dan revolusi mental berbasis kearifan lokal budaya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan pangan. Keinginan pemerintah dan masyarakat bukan tanpa alasan, sebab telah banyak pencapaian yang dihasilkan oleh pemerintah Nusa Tenggara Barat bersama masyarakat, antara lain sala satu posisi penting NTB masuk dalam percaturan pembangunan nasional maupun internasional. Pencapaian itu telah diakui banyak negara sebagai pusat pariwisata Indonesia yang eksotik dan pembangunan mental sumber daya manusia didunia, dengan posisi ini maka lahirlah komitmen untuk mempercepat pembangunan dan memelihara harmonisasi adat lokal sebagai kekayaan bersama dan menjadi pusat Coral Triangle Initiative (CTI) yang tentunya akan mendapatkan perhatian lebih dalam rangka mendorong partisipasi Bottom Up Planning di wilayah Coral Triangle Initiative (CTI) pariwisata dan kearifan lokal Nusa Tenggara Barat. Dengan posisi ini, NTB mendorong kerjasama untuk mengembangkan pembangunan kemaritiman terintegrasi dari jalur utama Tol Laut Lombok - Sumbawa, Bima – Sulawesi, Lombok – Bali, Lombok Jawa dan Sumbawa - Kalimantan. Karena itu, pelaksanaan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015 – 2025 harus menjadi misi besar untuk akselerasi pembangunan daerah bertujuan meingkatkan kesejajaran dengan daerah lain setelah lepas dari status daerah tertinggal sepanjang masa. Harus bertekad betul dalam RPJMD 2015 - 2025 yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah, bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat bersama masyarakat dapat mewujudkan Rencana Jangka Panjang Pembangunan yaitu terwujudnya NTB sebagai pusat keragaman hayati laut dunia tahun 2025 yang berbasis kearifan lokal, dengan mendorong pencapaian visi terwujudnya pariwisata dan ekonomi kesejahteraan pangan yang memadai. Untuk mewujudkan visi tersebut maka pembangunan diarahkan agar fokus pada marketing tumbuh nawacita sebagai capaian pembangunan ekonomi yang kuat, berdaya saing melalui pengelolaan potensi unggulan daerah serta peningkatan dan pemerataan kesejahtraan rakyat. Pemerintah juga harus secara terus menerus mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, peningkatan daya dukung infrastruktur wilayah, reformasi birokrasi dan pelayanan publik, tata kelola pemerintahan daerah yang stabil dan berkualitas, serta lingkungan masyarakat yang kondusif, inovatif maju dan unggul.

Irwansyah Amunu Harian “Tumbuh sebagai Inspirator Pembangunan Kemaritiman dan Revulosi Mental, Pemicu Pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia” Suara Buton, 20 Januari 2015

1

20

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Muhammad Ali Sagalo

Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

Menurut Rokhmin Dahuri, jika Indonesia umumnya dan khususnya Nusa Tenggara Barat ingin menjadi maju dan sejahtera, maka pembangunan kelautan dan kemaritiman harus menjadi fokus pembangunan ekonomi jangka panjang Indonesia. Pembangunan kelautan dan kemaritiman sendiri harus dilihat dari segala sektor yang ada baik ekonomi, sosial, politik, pariwisata, dan lain-lain. Hal ini tentu saja bisa tercapai melalui perencanaan yang komprehensif dan terintegrasi antara seluruh komponen stakeholder yang ada dan didukung oleh instrumen kebijakan yang berlaku.2 Mendukung penuh program kemaritiman yang dicanangkan guna kepentingan pembangunan nasional dengan upaya pengembangan kelautan seperti, pemberdayaan masyarakat nelayan, wisata laut, market laut, agro lau, dan lain sebagainya karena memang memiliki potensi hasil perikanan yang cukup besar dalam membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, mendorong sistem koordinasi pelaksanaan, monitoring, evaluasi pembangunan kemaritiman dan proses penataan mental masyarakat terus ditingkatkan.3 Dengan adanya koordinasi pelaksanaan dan monitoring oleh pemerintah dengan pihak terkait dapat meningkatkan kesejahteraan. Kemudian, koordinasi antar lembaga harus berjalan efektif dalam pengamanan laut Indonesia agar mencegah pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal asing maupun nelayan Indonesia yang melakukan penangkapan ikan tanpa izin. 4 Untuk melakukan pengawasan dan koordinasi harus mengikuti proses perizinan sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal tersebut untuk menghindari suap terhadap aparat penegak hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, dengan adanya koordinasi pelaksanaan pembangunan, monitoring dan evaluasi tersebut diharapkan dapat berjalan secara efektif dan terkendali. Namun, sejauh ini pemerintah pusat serius menangani masalah penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Tetapi, penegakan hukum juga harus dilakukan secara konsisten dan tegas sehingga negara tidak merasa dirugikan. Untuk itu, aparat penegak hukum harus betul-betul tegas dalam meberikan sanksi. 5 Nawacita dalam pemerintahan sekarang adalah menjadikan Indonesia poros maritim dunia. Terutama tol laut dan penenggelamal kapan pencuri ikan. Kenyataannya, pembentukan Menko Kemaritiman bertugas untuk mengkoordinasikan empat kementrian Rokhmin Dahuri, Pembangunan kelautan dan kemaritiman Indonesia pada Focus Group Discussion (FGD), http://fikp.unhas.ac.id/?p=139. Diakses pada taggal 19 Januari 2015 3 Bappenas. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006–2010. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. 4 Yohanes Usfunan, Pakar: Pelaksanaan Pembangunan dan Kelautan Harus Ditingkatkan, http://www.antarabali.com/print/66496/pakar-pelaksanaan-pemban gunan-dan-kelautan-harusditingkatkan. Diakses pada tanggal 18 Januari 2015 5 Harsusanto, Poros Maritim, antara Cetak Biru dan Implementasi, 15 January 2015 http://jurnalmaritim.com/2015/01/poros-maritim-antara-cetak-biru-dan-implementasi/. Diakses pada tanggal 15 januari 2015 2

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

21


Muhammad Ali Sagalo

Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

yaitu Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM). Diharapkan keempat kementerian tersebut dapat disinergikan untuk membangun kemaritiman Indonesia.6 Indeks Pangan dan Kesejahteraan Nusa Tenggara Barat Pembangunan Nusa Tenggara Barat dalam berbaga bidang, seperti pertanian, kelautan, kesejahteraan, pendidikan dan pariwisata sejak periode 2005 - 2025 akan datang lebih diarahkan untuk mencapai visi jangka panjang “terwujudnya sistem pembangunan pangan kesejahteraan dan ekonomi yang berkelanjutan serta berdaya saing�. Dengan memperhatikan prioritas pembangunan nasional, visi dan arah jangka panjang maupun dinamika lingkungan strategis sehingga tercapainya ketahanan pangan dan berjalannya revolusi mental dalam proses peningkatan nilai tambah dan daya saing masyarakat, seperti tabel di bawah ini sebagai acuan untuk lakukan program pembangunan revolusi mental.7 Dimana NTB setiap tahun lamban dalam peningkatan indeks pembangunan manusianya. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun

Angka Harapan Hidup (AHH) (Tahun)

Angka Melek Huruf (Persen)

Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun)

Purchasing Power Parity (PPP) (Ribuan Rupiah)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

(1) 2008 2009 2010 2011 2012

(2) 61.50 61.80 62.11 62.41 62.73

(3) 80.13 80.18 81.05 83.24 83.68

(4) 6.70 6.73 6.77 6.97 7.19

(5) 633.58 637.98 639.89 642.80 645.72

(6) 64.12 64.66 65.20 66.23 66.89

Sumber: BPS NTB 2015

Penulis berpendapat bahwa kementerian yang ada saat ini sebenarnya adalah Kementerian Koordinator Kelautan yang hanya dikemas dengan nama Kementerian Koordinator Kemaritiman. Karena sebagian besar yang menjadi urusan Kementerian Koordinator Maritim ini berhubungan dengan laut, sehingga bila dihitung secara matematis unsur maritim yang diurus oleh kementerian ini hanya seperenambelas bagian saja. Hasil penelusuran, berdasarkan ketentuan perundangan-undangan didapatkan fakta dalam Kementerian Koordinator Kemaritiman hanya Dirjen Perhubungan Laut yang berada di bawah Kementrian Perhubungan yang memiliki hubungan dengan kemaritiman. Sementara ketiga kementerian lainnya yaitu Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Pariwisata dan Kementrian ESDM hanya berhubungan dengan pembangunan kelautan. Jika hanya seperenambelas yang diurus oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman, maka komposisi semacam ini sebenarnya kementerian hanya akan lebih banyak mengurus pembangunan kelautan daripada pembangunan kemaritiman. 7 Deptan. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005-2025. Jakarta: Departemen Pertanian. 2004. 6

22

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Muhammad Ali Sagalo

Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

Mengacu kepada visi pembangunan Nusa Tenggara Barat tersebut yang mencakup: 1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan. 2. Program Pengembangan Ekonomi Agribisnis. 3. Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Program Peningkatan Ketahanan Pangan ditujukan dalam rangka dicapainya ketersediaan pangan yang cukup dan beragam pada tingkat nasional, regional dan rumah tangga, dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan. Program Pengembangan ekonomi agribisnis dimaksudkan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha pertanian agar produktif dan efisien menghasilkan berbagai produk pertanian yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi baik di pasar domestik maupun pasar internasional. 8 Terlepas dari keberhasilan yang telah dicapai, tantangan pembangunan NTB saat ini dan mendatang dirasakan semakin berat. Disamping masih adanya masalah yang belum terselesaikan dari kegiatan pembangunan yang lalu, telah timbul pula masalah baru sebagai konsekuensi perubahan lingkungan strategis global dan domestik, dan masalah yang timbul akibat krisis ekonomi yang dialami saat ini. Beberapa agenda yang masih perlu mendapat prioritas dalam pelaksanaan pembangunan NTB mendatang adalah pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah ekonomis dan daya saing, revolusi mental aspek pendidikan maupun penanggulangan pengangguran dan kemiskinan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sementara jaminan kesejahteraan meliputi dimensi yang luas, namun untuk lebih menyederhanakan persoalan, definisi kesejahteraan lebih dominan mengarah pada kesejahteraan ekonomi. Variabel yang kerap digunakan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat ialah indeks nilai tukar masyarakat (NTM), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar rumah tangga. Meskipun tingkat kesejahteraan masyrakat cenderung meningkat, namun jumlah masyrakat yang tergolong miskin masih cukup besar. Data persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2013 dan 2014 menunjukkan persentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh Nusa Tenggara Barat adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian, kelautan, prikanan, peternakan dan industry kecil Hasil survei JPIP dan UP3D-ITS tentang kemiskinan di nusa Tenggara Barat pada Agustus 2013 juga membuktikan bahwa permasalahan kemiskinan sangat terkait dengan sektor pertanian, antara lain : 9

Bank Indonesia. Laporan Perekonomian Indonesia 2005. Jakarta: Bank Indonesia. 2006. Deptan. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Jakarta: Departemen Pertanian.

8 9

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

23


Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

Muhammad Ali Sagalo

1. Kantong kemiskinan berada di daerah-daerah yang sangat bertumpu pada sektor pertanian. 2. Hampir keluarga miskin memiliki tingkat pendidikan tidak sampai tamat SD/MI. Sebagian besar bekerja sebagai buruh tani sebagai pekerjaan utama. 3. Keluarga miskin yang bekerja sebagai buruh tani mempunyai penghasilan antara Rp 100.000 – Rp 400.000 per bulan, sedangkan peternak hanya Rp 200.000 per bulan. Sebagaimana tabel di bawah ini, menunjukkan jumlah dan porsentase penduduk miskin Nusa Tenggara Barat per tahun 2002 – 2014. Tabel Table

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Di Provinsi NTB 2002-2014 (Number and Percentage of Poor Population 2002-2014)

Jumlah Penduduk Persentase Penduduk Miskin Miskin Years Number of Poor Percentage of Poor -1 -2 -3 2002 1. 145. 081 27.75 % 2003 1. 054. 740 26.34 % 2004 1. 031. 605 25.26 % 2005 1. 136. 524 25.92 % 2006 1. 156. 144 27.17 % 2007 1. 118. 452 24.99 % 2008 1. 080. 613 23.81 % 2009 1. 050. 948 22.78 % 2010 1. 009. 352 21.55 % 2011*) 900. 573 19.73 % 2012*) 852. 516 18.63 % 2013*) 843. 664 17.97 % 2014*) 820. 818 17.24 % *) diolah dengan menggunakan penimbang hasil proyeksi penduduk Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional (National Socio Economic Survey) Tahun

Sumber: BPS NTB 2015

Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman Dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di Nusa Tengara Barat Finalisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 telah dilaksanakan dalam Rapat Kabinet Paripurna tanggal 7 Januari 2015. Sasaran

24

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Muhammad Ali Sagalo

Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

Pembangunan Ekonomi dipertegas pada peran pembangunan diberbagai sektor kunci, terutama pertanian, maritim dan manufaktur, selain pembangunan manusia yaitu pendidikan dan kesehatan serta revolusi mental. Didalam rencana implementasi disebutkan dibentuk Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) yang segera mengeluarkan sejumlah proyek prioritas. Meskipun dalam RPJMN sudah digambarkan target-target pada masing-masing Kementerian Koordinator sesuai dengan ‘Quick Win’ namun tetap harus menunggu Peraturan Presiden (Perpres) sebagai landasan kegiatan pelaksanaannya. Yang jelas selain dibutuhkan dana yang besar untuk mewujudkan ‘quick win’ tersebut, juga masih perlu pendetailan deskripsinya mengingat dalam RPJMN banyak sekali target yang akan disasar, namun masih menggunakan bahasa yang sangat normatif. Sementara itu sambil menunggu Perpres tentang RPJMN 2015 – 2019, Menteri ESDM pun sudah membuat terobosan dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomer 3 Tahun 2015 Tentang Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL. Nawacita yang coba diilustrasikan dalam pembangunan adalah kemaritiman dan revolusi mental yang menjadi slogan pemerintahan kali ini. Slogan ini cocok di kenal sebagai Indamardi, yaitu industri, dagang, maritim dan pendidikan.10 Menko Kemaritiman dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa fokus pemerintah di sektor kemaritiman ada 2 (dua) fokus utama, yakni pertama pembangunan Maritim melingkupi peneguhan kedaulatan maritim, pemanfaatan sumber daya alam, pengembangan Infrastruktur dan kedua revolusi mental yang meliputi pengembangan SDM, inovasi dan teknologi serta budaya maritime yang berbasis kearifan lokal. 11 a. Pembangunan Kemaritiman Masing-masing fokus pun sudah ada penjabarannya. Khusus untuk pengembangan infrastruktur, akan dibangun 24 pelabuhan strategis, pengembangan 5 pelabuhan utama dan 24 pelabuhan pengumpul serta peningkatan kapasitas dan penyebaran industri galangan kapal nasional. Demikian juga untuk pengembangan infrastruktur energi dan pertambangan akan dilakukan percepatan pembangunan pembangkit listrik serta percepatan pembangunan kilang migas nasional. Pengembangan SDM, iptek dan budaya maritim yang merupakan bagian dari revolusi mental. Konteks pilot project nawacita revolusi mental yang tersulit dilakukan karena menyangkut ‘intangible value’ yang terkadang sulit tolok ukurnya. Membangkitkan budaya maritim dan revolusi mental tentu butuh waktu tahunan, bahkan mungkin puluhan tahun, maka perlu ada revolusi dalam kultur lokal masyarakat Nusa Tenggara Barat itu sendiri. Ponto, Pembangunan Kemaritiman Indonesia Pasang Surut, Jokowi-JK Diminta Fokus, Rabu, 03 Desember 2014, http://www.beritasatu.com/nasional/230350-pembangunan-kemaritiman-indonesia-pasang-surut-jokowijkdiminta-fokus.html. Diakses pada tanggal 11 januari 2015 11 Jurnal Maritim Edisi 20 Desember 2014 10

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

25


Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

Muhammad Ali Sagalo

Mengingat pembangunan infrastruktur meliputi pembangunan dan peremajaan sejumlah pelabuhan laut di Nusa tenggara Barat, maka ada hal-hal yang perlu diperjelas dalam rencana pembangunan pelabuhan laut tersebut, sebagai pilot project dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Nusa tenggara Barat. Dengan demikian, alokasi anggaran tambahan tahun 2015 dari pemerintah pusat mencapai Âą Rp. 15,9 trilyun antara lain akan digunakan untuk penyediaan dalam negeri melalui insentif fiskal dan non fiskal. Apabila bisa dibuat Integrated Road Map sehubungan rencana pembangunan pelabuhan maka akan banyak sektor industri yang terlibat mendukung kegiatan ini, misalnya industri galangan kapal, industri komponen, industri jasa enginiring sampai dengan jasa pengerukan laut (dredging). 12 Integrated Road Map pembangunan di provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan tekad pemerintah untuk menumbuhkan kembangkan kekuatan nasional yang dibantu dengan memberikan insentif, mulai dari pemberian BMDTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah), keringanan / bebas Pajak Pertambahan Nilai, Tax Allowance untuk pajak penghasilan. Untuk mendukung semangat kedaulatan maritim, maka pemerintah tidak boleh mengabaikan potensi lokal yang ada. Fokus perhatian dan perbaikan pada seluruh sektor untuk memaksimalkan pembangunan sebagai upaya memfasilitasi produk lokal masyarakat Nusa Tenggara Barat. Pembangunan sektor-sektor ini membawa tantangan sekaligus peluang besar bagi dunia usaha. Namun, tantangan luar biasa berat dan peluang juga besar. Proses logistik maritim dinilai masih terkendala dalam hambatan infrastruktur yang sangat tinggi. 13 Sangat menarik, apabila pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat mendorong pemerintah pusat untuk menjadikan pulau Lombok dan Sumbawa sebagai pusat pengolahan hasil perikanan, hasil laut dan hasil petani sebagai instrument pilot project kepada dunia yang dinilai selaras dengan konsep poros maritim dunia. Apabila ini menjadi kenyataan, maka Nusa Tenggara Barat mengambil keuntungan nilai ekspor nasional yang meningkat setiap tahun dari 4,1 miliar dolar AS pada 2013, menjadi 40 miliar dolar AS pada 2019 akan datang. Harus dilakukan segera dicanangkan oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat, mengingat potensi kelautan dan perikanan Nusa tenggara Barat sangat besar. Paling penting juga terlebih dahulu melakukan standarisasi semua produk perikanan dalam negeri sehingga sektor perikanan Nusa tenggara Barat bisa terdaftar secara resmi pada tingkat nasional dan internasional.

Harian Kompas tanggal 16 Desember 2015; 29 Desember 2015; 8 Januari 2015. Pembangunan kemaritiman bawa tantangan besar, 08 December 2014, http://www.awasijokowi.com/pembangunan-kemaritiman-bawa-tantangan-besar/. Diakses pada tanggal 11 januari 2015 12 13

26

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

Muhammad Ali Sagalo

b. Revolusi Mental Sementara itu berkaitan dengan fokus pengembangan pendidikan, inovasi dan teknologi, maka banyak hal yang dapat dilakukan sebagai perwujudan kongkrit nawacita revolusi mental. 14 Hal ini harus didukung oleh perangkat pemerintah daerah provinsi Nusa Tenggara Barat untuk menjalankan tugas-tugas revolusi mental melalui proses pembangunan manusia sebagai kepentingan bersama yang menjunjung tinggi adat istiadat dan agama yang utamanya kekayaan kearifan lokal. Sistem revolusi mental dalam pembangunan Nusa Tenggara Barat, saat ini harus melepaskan praktek pendidikan berpaham liberal yang sudah tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter masyarakat. Lagi pula, berbenturan dengan kearifan lokal masyarakat Nusa Tenggara barat. Sudah saatnya pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat melakukan tindakan korektif, tidak menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan baik dalam masyarakat, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan karakter kearifan baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusa Tenggara Barat yang bersahaja dan berkesinambungan. Penggunaan istilah �revolusi mental� tidak berlebihan. Sebab, Nusa Tenggara Barat memerlukan suatu terobosan budaya dari vakumnya pemikiran kolektif dalam pendidikan untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala buta aksara yang sangat tinggi adanya. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam masyarakat dan selayaknya setiap revolusi diperlukan pengorbanan oleh masyarakat Nusa Tengggara Barat. Sebagaimana dalam tabel dibawah ini yang mengambarkan tingkat indeks pembangunan manusia NTB yang masih perlu ditingkatkan secara terus menerus. Persentase Buta Huruf Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Kabupaten / Kota dan Jenis Kelamin Percentage Illiteracy of Population Aged 15 Years and over by Regency/Municipality and Sex 2012 - 2014 Kabupaten / Kota Laki-laki Perempuan Jumlah Regency / Municipality Male Female Total 1. 2. 3. 4. 14

1 Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa

2

3 15.22 19.18 10.15 7.33

4 27.11 30.01 20.74 11.27

21.41 25.08 16.11 9.25

Buku Indonesia Berdaulat, Berdikari, dan Berdaya Saing – Ikatan Alumni ITS Surabaya. Hal. 10

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

27


Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

5. 6. 7. 8. 9. 10.

8.75 15.32 Dompu 7.92 15.69 Bima 4.57 10.47 Sumbawa Barat 17.52 29.78 Lombok Utara 3.86 11.49 Kota Mataram 3.09 9.28 Kota Bima 11.26 20.83 Jumlah / Total 9.87 18.69 2011 12.06 20.60 2010 11.62 23.87 2009 9.36 19.07 2008 Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional (National Socio Economic Survey)

Muhammad Ali Sagalo

12.06 11.89 7.50 23.90 7.75 6.27 16.32 14.56 16.51 17.60 14.52

Sumber: BPS NTB 2014

Kali ini pemerintahan Jokowi – JK dalam melaksanakan revolusi mental, menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, �Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkepribadian secara sosial-budaya�. Tentu hal ini sangat memiliki hubungan relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti dengan revolusi mental.15 Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.

Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita. Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Joko Widodo, Revolusi Mental, Sabtu, 10 Mei 2014 http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/1603015/Revolusi.Mental. Diakses pada tanggal 14 januari 2015 15

28

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Muhammad Ali Sagalo

Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

KESIMPULAN Kesimpulan Instrumen pilot project pembangunan kemaritiman dan revolusi mental berbasis kearifan lokal di Nusa Tenggara Barat sebagai manifestasi nawacita, adalah sebagai berikut: 1. Negara harus perhatikan daerah dan desa tertinggal dalam rangka memastikan bahwa revolusi mental yang cocok dengan kearifan lokal dan adat istidat justru menjadi perekat masyarakat. 2. Di Nusa Tenggara Barat bahwa pembangunan kemaritiman dan revolusi mental berbasis kearifan lokal budaya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan pangan sangat diperlukan bahkan kedepan menjadi program unggulan. 3. Mendorong sistem koordinasi pelaksanaan, monitoring, evaluasi pembangunan kemaritiman dan proses penataan mental masyarakat terus ditingkatkan. 4. Pembangunan Nusa Tenggara Barat dalam berbagai bidang, seperti pertanian, kelautan, kesejahteraan, pendidikan dan pariwisata sejak periode 2005 - 2025 akan datang lebih diarahkan untuk mencapai visi jangka panjang terwujudnya sistem pembangunan pangan kesejahteraan dan ekonomi yang berkelanjutan serta berdaya saing. 5. Pembangunan Maritim melingkupi peneguhan kedaulatan maritim, pemanfaatan sumber daya alam, pengembangan Infrastruktur serta revolusi mental yang meliputi pengembangan SDM, inovasi dan teknologi serta budaya maritime yang berbasis kearifan lokal. DAFTAR PUSTAKA Irwansyah Amunu Harian “Tumbuh sebagai Inspirator Pembangunan Kemaritiman dan Revulosi Mental, Pemicu Pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia� Suara Buton, 20 Januari 2015 Rokhmin Dahuri, Pembangunan kelautan dan kemaritiman Indonesia pada Focus Group Discussion (FGD), http://fikp.unhas.ac.id/?p=139. Diakses pada taggal 19 Januari 2015 Bappenas. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006–2010. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Yohanes Usfunan, Pakar: Pelaksanaan Pembangunan dan Kelautan Harus Ditingkatkan, http://www.antarabali.com/print/66496/pakar-pelaksanaan-pembangunan-dankelautan-harus-ditingkatkan. Diakses pada tanggal 18 Januari 2015 Harsusanto, Poros Maritim, antara Cetak Biru dan Implementasi, 15 January 2015 http://jurnalmaritim.com/2015/01/poros-maritim-antara-cetak-biru-danimplementasi/. Diakses pada tanggal 15 januari 2015 Deptan. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005-2025. Jakarta: Departemen Pertanian. 2004. Bank Indonesia. Laporan Perekonomian Indonesia 2005. Jakarta: Bank Indonesia. 2006.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

29


Instrumen Pilot Project Pembangunan Kemaritiman dan Revolusi Mental Berbasis Kearifan Lokal di NTB

Muhammad Ali Sagalo

Deptan. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Jakarta: Departemen Pertanian. Ponto, Pembangunan Kemaritiman Indonesia Pasang Surut, Jokowi-JK Diminta Fokus, Rabu, 03 Desember 2014, http://www.beritasatu.com/nasional/23 0350-pembangunankemaritiman-indonesia-pasang-surut-jokowijk-diminta-fokus.html. Diakses pada tanggal 11 januari 2015 Jurnal Maritim Edisi 20 Desember 2014 Harian Kompas tanggal 16 Desember 2015; 29 Desember 2015; 8 Januari 2015. Pembangunan kemaritiman bawa tantangan besar, 08 December 2014, http://www.awasijokowi.com/pembangunan-kemaritiman-bawa-tantangan-besar/. Diakses pada tanggal 11 januari 2015 Buku Indonesia Berdaulat, Berdikari, dan Berdaya Saing – Ikatan Alumni ITS Surabaya. Hal. 10 Joko Widodo, Revolusi Mental, Sabtu, 10 Mei 2014 http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/1603015/Revolusi.Mental. Diakses pada tanggal 14 januari 2015 Kembangkan Wilayah Timur, Jokowi Harus Lakukan Ini, 04 November, 2014, http://www.awasijokowi.com/kembangkan-wilayah-timur-jokowi-harus-lakukan-ini/ Diakses pada tanggal 11 januari 2015 Deptan. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009. Departemen Pertanian. Jakarta. 2006. Deptan. Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian Tahun 2006. Departemen Pertanian. Jakarta. 2007 Hanani A.R, Nuhfil, J.T Ibrahim, dan M. Purnomo. Strategi Pembangunan Pertanian. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. (tanpa tahun). Sutawi. Kapita Selekta Agribisnis Peternakan. Malang: UMM Press. 2007. Soetriono. Daya Saing Pertanian dalam Tinjauan Analisis. Malang: Bayu Media. 2006. Meneg PPN/Bappenas. Berjuang Membangun Kembali Indonesia, Laporan Kinerja Dua Tahun Pemerintahan SBY-JK Oktober 2004-Oktober 2006. Jakarta: Kementerian Negara PPN/Bappenas. Jakarta. 2007. Hanani A.R, Nuhfil, J.T Ibrahim, dan M. Purnomo. Strategi Pembangunan Pertanian. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. (tanpa tahun).

30

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, Lampung Barat Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung ABSTRAK Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksplanatoris dengan pendekatan deskriptif assosiatif. Bertujuan untuk mengetahui hubungan/pengaruh Koneksitas Komunikasi Organisasi KAPET Sumber Jaya terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Hinterland. Populasi penelitian adalah seluruh pimpinan dan staf Badan Pengelola (BP) dan karyawan KAPET Sumber Jaya yang berjumlah 38 orang, serta pejabat terkait pada masingmasing daerah hinterland, yaitu Kota Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat yang berjumlah 20 orang. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan populasi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket tentang Koneksitas, yang meliputi Koordinasi, Sosialisasi, Sinergis, dan Evaluasi, serta Percepatan Pembangunan Ekonomi Daerah Hinterland KAPET Sumber Jaya. Skor angket yang telah diisi responden mengungkapkan bahwa skor maksimum untuk setiap variabel Koneksitas dan Percepatan Pembangunan Ekonomi KAPET Sumber Jaya adalah 27 dan skor minimum adalah 9. Hasil pengujian analisis regresi diperoleh persamaan regresi Y atas X adalah Y = – 1,496 + 0,329 X1 + 0,644 X2 + 0,144 X3 – 0,172 X4. Dari estimasi persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa variabel Koneksitas yang paling berpengaruh terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi KAPET Sumber Jaya adalah variabel Sosialisasi, sedangkan yang tidak berpengaruh secara signifikan adalah variabel Evaluasi. Selanjutnya analisis korelasi mengungkapkan bahwa terdapat korelasi atau hubungan yang kuat antara Koneksitas dengan Percepatan Pembangunan Ekonomi KAPET Sumber Jaya, yakni sebesar 0,754. Sedangkan Koefisien determinasi menunjukkan bahwa variabel Koneksitas mempengaruhi variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi KAPET Sumber Jaya sebesar 0,569 atau 56,90%. Adapun sisanya sebesar 43,10% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. Kata kunci: Komunikasi Organisasi, KAPET, Ekonomi Kawasan

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

31


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

ABSTRACT This research is explanatory research with descriptive associative approach. Aims to determine the relationship/influence connectivity KAPET Organizational Communication Sumber Jaya against Hinterland Area Economic Development Acceleration. The study population is the entire management and staff of Management Board (BP) and employees KAPET Sumber Jaya, amounting to 38 people, as well as the relevant authorities in each of the hinterland, the city of Sumber Jaya, West Lampung District of 20 people. The sample in this study is the overall population. The research instrument used was a questionnaire about connectivity, which includes coordination, socialization, Synergistic, and evaluation, as well as the Regional Economic Development Acceleration Hinterland KAPET Sumber Jaya. Score the completed questionnaire respondents revealed that the maximum score for each variable connectivity and Economic Development Acceleration KAPET Sumber Jaya is 27 and the minimum score is 9. Test results obtained by regression analysis regression equation of Y on X is Y = - 1.496 0.644 + 0.329 X1 + X2 + X3 0.144 - 0.172 X4. From the regression equation estimates indicate that the connectivity is the most influential variable on Economic Development Acceleration KAPET Sumber Jaya is socialization variables, whereas no significant effect was variable evaluation. Furthermore, correlation analysis revealed that there is a correlation or a strong relationship between the connectivity with the Economic Development Acceleration KAPET Sumber Jaya, which is equal to 0.754. While the coefficient of determination indicates that the variables influencing variable connectivity Economic Development Acceleration KAPET Sumber Jaya at 0.569 or 56.90%. As for the rest of 43.10% is influenced by other variables that are not observed in this study. Key Words: Organization Communication, KAPET, Regional Economic Pendahuluan Dalam upaya memacu dan meningkatkan kegiatan pembangunan serta dalam rangka memberikan peluang kepada dunia usaha untuk berperan serta secara lebih luas di Indonesia, khususnya Propinsi Lampung dipandang perlu menetapkan beberapa wilayah tertentu sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang berpusat di Kabupaten Lampung Barat yang dititik beratkan di kecamatan Sumber Jaya. Pembentukan KAPET Sumber Jaya tersebut merupakan salah satu wujud nyata tindakan antisipatif pemerintah dalam rangka memasuki dan menghadapi era globalisasi yang penuh dengan persaingan yang ketat dan semakin kompetitif. Kehadiran KAPET Sumber Jaya memiliki arti yang lebih penting karena sifatnya yang lebih “khusus” dan “focus” terhadap upaya memacu dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi Lampung. Sejak

32

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

kehadirannya, kinerja KAPET Sumber Jaya telah melakukan upaya-upaya pendayagunaan potensi daerah, namun sampai saat ini pertumbuhan ekonomi belum mampu mencapai angka optimal. Menurut penulis, hal tersebut disamping disebabkan oleh keterbatasan kemampuan daerah itu sendiri, khususnya dalam hal working capital (permodalan kerja), disebabkan pula oleh kurang terjalinnya komunikasi atau hubungan kerja organisasi antar kelima wilayah KAPET Sumber Jaya tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsekuensi dari upaya percepatan pembangunan ekonomi kawasan tersebut diperlukan adanya working interaction (interaksi kerja) dalam konteks working connection (hubungan kerja) organisasi yang terkoordinasi secara terbuka dan profesional antar kelima wilayah KAPET Sumber Jaya tersebut, diantaranya dalam bentuk interconnection (koneksitas) kebijakan-kebijakan organisasi, seperti koordinasi, sosialisasi, sinergis, dan evaluasi pelaksanaan program maupun hasilnya bagi kelima wilayah KAPET Sumber Jaya tersebut. Dengan terjalinnya interconnection (koneksitas) antar kelima wilayah KAPET Sumber Jaya dalam bentuk interaksi komunikasi organisasi dalam kapasitasnya sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan percepatan pembangunan ekonomi secara terpadu, efektif dan efisien di setiap daerah hinterlandnya. Dalam penelitian ini, penulis membatasi diri pada koneksitas dalam konteks komunikasi organisasi antar kelima wilayah KAPET Sumber Jaya tersebut, yang berkaitan dengan usaha-usaha yang mengarah pada percepatan pembangunan ekonomi untuk setiap daerah-daerah hinterlandnya dalam Propinsi Lampung. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mengkaji koneksitas komunikasi organisasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa Pengertian Koneksitas Dalam kehidupan individu, kelompok atau organisasi, baik organisasi yang berskala kecil maupun luas perlu adanya hubungan kerja antar komponen internal organisasi itu sendiri maupun antar eksternal organisasi lainnya. Hubungan kerja tersebut muncul karena adanya beberapa kepentingan yang ingin dicapai oleh individu, kelompok, atau organisasi yang telibat di dalamnya. Hubungan kerja dikenal dengan istilah “koneksitas”. Koneksitas berasal dari kata “koneksi”, yang dalam bahasa Inggrisnya “interconnection” bila diterjemahkan berarti “hubungan yang dapat memudahkan (melancarkan) segala urusan (kegiatan)”. Bila pengertian tersebut dikaitkan dengan individu, kelompok, atau organisasi maka dapat diartikan bahwa koneksitas adalah hubungan kerja sama yang menjamin terjadinya komunikasi antara satu individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, atau

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

33


Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

organisasi yang satu dengan organisasi lainnya dalam rangka mempermudah atau memperlancar suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Setiap organisasi tidak dapat menolak fakta bahwa koneksitas merupakan salah satu faktor sentral dalam upaya mewujudkan eksistensi organisasi berupa tercapainya tujuan organisasi. Koneksitas berkaitan dengan komunikasi dalam lingkup organisasi yang menitikberatkan kepentingan pada sektor-sektor tertentu dan akan bermanfat bila koneksitas yang ada senantiasa dibina dan dikembangkan yang mengarah pada kelangsungan koneksitas yang intensif dan efektif. Dengan koneksitas yang intensif dan efektif maka akan mampu memotivasi dan membangun sumber daya organisasi yang potensial sebagai modal dan aset organisasi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran organisasi secara efektif dan efisien, sebagai wujud atau eksistensi secara keseluruhan suatu organisasi. Secara umum koneksitas dalam kaitanya dengan komunikasi organisasi dapat diintensifkan oleh suatu organisasi melalui kegiatan sebagai berikut: a. Koordinasi Koordinasi adalah kegiatan mengatur dan mengarahkan kegiatan oganisasi, baik yang selama dalam proses perencanaan, perancangan, maupun pelaksanaan program di lapangan sehingga kegiatan tersebut dapat berlangsung dengan baik dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab oleh seluruh komponen organisasi. Berlangsung baiknya koordinasi dalam organisasi ditandai oleh adanya tingkat pertemuan, tingkat kunjungan lapangan penyelesaian masalah, dan tingkat pengelolaan laporan operasional rutin organisasi serta tercapainya tujuan kegiatan sesuai dengan yang telah ditergetkan organisasi. b. Sosialisasi Sosialisasi adalah proses pemberian informasi, pengadaptasian, penyesuaian, pengenalan dan penjabaran program kegiatan pokok organisasi sehingga kegiatan organisasi dapat dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan aturan-aturan atau instruksi-instruksi yang diberikan. Sosialisasi dilakukan dengan harapan terbangunnya persepsi visi dan misi organisasi, yang ditandai dengan tingkat pelaksanaan program pada kegiatan-kegiatan yang mampu melibatkan semua unsur organisasi dalam rangka percepatan pelaksanaan program dan tujuan organisasi secara keseluruhan. c. Sinergis Sinergis adalah pelaksanaan kegiatan organisasi yang dilakukan dengan memberdayakan kemampuan komponen organisasi secara bersama-sama sebagai sumber daya organisasi secara keseluruhan dengan tujuan mencapai hasil yang lebih maksimal atau sesuai dengan target yang telah ditetapkan, dibandingkan melakukan kegiatan sendiri-sendiri. Dengan sinergisitas diharapkan terbangunnya kerja sama yang saling menguntungkan antar organisasi, yang ditandai dengan pendayagunaan sumber daya organisasi yang

34

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

optimal dan intensif dalam mencermati dan merancang program-program organisasi sebagai upaya mempercepat pelaksanaan kegiatan pokok organisasi secara keseluruhan. d. Evaluasi Evaluasi adalah pengukuran atau penilaian terhadap kegiatan yang telah dicapai organisasi dengan sasaran atau target yang seharusnya dicapai atau perbandingan antara perencanaan dengan pelaksanaan. Untuk menghindari bias hasil penilaian, maka dalam melakukan evaluasi perlu memperhatikan ketepatan waktu maupun kriteria penilaian yang jelas. Sebagaimana yang dikemukakan Steers (dalam Kowal, 2001:44) bahwa “ketidakberhasilan mencapai keefektifan pengukuran disebabkan oleh kriteria yang tidak jelas dan tidak tepat serta waktu pelaksanaan evaluasi yang tidak tepat�. Dengan evaluasi maka organisasi dapat membandingkan pelaksanaan dengan perencanaan. Hal mana evaluasi dilakukan dengan mengacu pada beberapa panduan hasil pelaksanaan kegiatan yang dapat dijadikan sebagai feed back (umpan balik) dalam mengambil keputusan, penyusunan dan penyempurnaan program kegiatan organisasi di masa yang akan datang. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa di samping sebagai bahan informasi maka evaluasi merupakan salah satu bentuk alat komunikasi yang dapat menyampaikan pesan dan pikiran, baik secara verbal maupun nonverbal kepada pihakpihak lain yang memerlukan tentang hasil suatu kegiatan, misalnya penyampaian laporan hasil kegiatan oleh bawahan kepada pimpinan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa koneksitas dengan keempat unsurnya (koordinasi, sosialisasi, sinergis, evaluasi) merupakan jalinan komunikasi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif, yang dapat digunakan oleh organisasi, mulai dari saat perencanaan, implementasi program maupun sebagai feed back (umpan balik) untuk menyempurnakan kegiatan selanjutnya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi yang lebih maksimal di masa yang akan datang. Komunikasi Organisasi Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa komunikasi menunjukkan korelasi dengan pelaksanaan organisasi secara keseluruhan. Penelitian Fred T. Allen mengungkapkan bahwa karyawan yang memiliki informasi yang lebih baik akan menjadi karyawan yang baik pula. Organisasi merupakan suatu kesatuan atau perkumpulan yang terdiri atas orangorang/bagian-bagian yang di dalamnya terdapat aktivitas kerja sama berdasakan pola dan aturan-aturan untuk mencapai tujuan bersama. Bila organisasi dikaitkan atau diterapkan terhadap kelompok manusia, maka dapat disimpulkan bahwa (a) Kelompok secara keseluruhan, mempunyai tujuan primer, (b) Anggota kelompok bekerja sebagai suatu unit untuk mencapai sasaran primer mereka, (c) Setiap individu mempunyai fungsi yang didesain yang memberikan kontribusi melalui pencapaian tujuan atau sasaran, (d) pekerjaan setiap orang akan tidak mungkin atau

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

35


Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

tidak terlepas dari usaha-usaha orang lain, (e) setiap anggota berhubungan dengan anggotaanggota lain dari kelompok ini dengan cara khusus (Gerald, 19). Komunikasi penting bagi organisasi dan informasi penting bagi komunikasi yang efektif. Seseorang yang mengendalikan informasi akan mengendalikan kekuatan organisasi. Struktur organisasi ditentukan oleh keefektifan komunikasi. Ketika organisasi diharuskan mencapai tujuan, maka anggota-anggota yang berada dalam strukturnya akan bekerja sesuai dengan jabatan dan fungsinya untuk mencapai tujuan dimaksud. Setiap struktur saling melengkapi dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Konsekuensinya, angggota-anggota di dalamnya akan saling berhubungan melalui metode-metode pencapaian tujuan. Dengan demikian, anggota-anggota organisasi tersusun ke dalam sistem yang saling berhubungan yang mampu menginterpretasikan pesan, baik yang datang dari anggota kelompok/organisai itu sendiri maupun yang datang dari luar, atau mampu mengkomunikasikan sesuatu kepada siapa dan dengan cara apa. Komunikasi dalam organisasi dapat terjadi dalam bentuk kata-kata yang ditulis atau diucapkan, gesture, atau simbol visual, yang menghasilkan perubahan tingkah laku di dalam organisasi, baik antara manajer-manajer, karyawan-karyawan, dan asosiasi yang terlibat dalam pemberian ataupun mentransfer komunikasi. Hasil akhirnya adalah pertukaran informasi dan pengiriman makna atau proses aktivitas komunikasi dalam organisasi. Secara spesifik aktivitas komunikasi organisasi ada tiga, yaitu: 1. Operasional-Internal, yakni menstruktur komunikasi yang dijalankan dalam sebuah organisasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kerja. 2. Operasional-Eksternal, yakni struktur komunikasi dalam organisasi yang berkonsentrasi pada pencapaian tujuan-tujuan kerja yang dilaksanakan oleh orang dan kelompok di luar organisasi. 3. Personal, yakni semua perubahan insidental dan informasi dan perasaan yang dirasakan oleh manusia yang berlangsung kapan saja mereka bersama (Lewis, dalam Rahman, 2000:3). Jaringan dan Arus Komunikasi Organisasi a. Jaringan Komunikasi Organisasi Jaringan merupakan sebuah sistem dari garis komunikasi yang berhubungan dengan pengirim dan penerima di dalam sebuah fungsi sosial organisasi, yang mempengaruhi prilaku individu yang bekerja di dalamnya dan posisi individu yang bekerja dalam jaringan terebut serta memainkan peranan kunci dalam menentukan perilaku, dan perilaku orang yang mereka pengaruhi. Lewis membagi 4 (empat) fungsi jaringan komunikasi, yaitu: (1) Keteraturan jaringan, (2) Temuan-temuan/inovatif jaringan, (3) Keutuhan integratif/pemeliharaan jaringan, dan (4) Jaringan informatif-instruktif. Tiap jaringan

36

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

tersebut berhubungan antara satu atau lebih tujuan pengorganisasian (misalnya, kecocokan, penyesuaian, moral, dan institusionalisasi). Keempat fungsi jaringan komunikasi tersebut dijelaskan sebagi berikut: 1. Jaringan komunikasi yang teratur berhubungan dengan tujuan organisasi mengenai jaminan kesesuaian untuk perencanaan, jaminan produktivitas, termasuk kontrolkontrol, pesanan-pesanan, bentuk-bentuk perintah dan feed beck (umpan balik) sub ordinat dengan superior (yang lebih tinggi dalam tugas aktivitas. Contoh: pernyataan kebijakan dan aturan-aturan. 2. Jaringan komunikasi inovatif berusaha keras untuk memastikan adaptasi organisasi terhadap pengaruh internal dan eksternal (teknologi, sosiologi, pendidikan, ekonomi, politik) dan dukungan terhadap kelanjutan produktivitas dan keefektifan, termasuk pemecahan masalah, adaptasi untuk perubahan strategis, dan proses implementasi ide baru. Contoh: sistem sugesti dan pertemuan partisipasi pemecahan masalah. 3. Jaringan komunikasi integratif/pemeliharaan termasuk perasaan terhadap diri sendiri, gabungan (solidaritas) dan kerja yang secara langsung berhubungan dengan tujuan organisasi, utamanya masalah moral karyawan. Secara tidak langsung dihubungkan dengan institusionalisasi yang melibatkan organisasi diri dan mengambil jarak terhadap desas-desus, informal (tidak resmi), misalnya selentingan, pujian yang berlebihan, dan promosi. 4. Jaringan komunikasi informatif-instruktif bertujuan untuk menjamin tujuan yang lebih cocok, sesuai, bermoral, dan institusional. Dengan demikian akan meningkatkan produktivitas dan keefektifan. Hal ini meliputi pemberian dan perolehan informasi tidak diasosiasikan dengan jaringan komunikasi lain. Instruksi ini mensubordinasi persyaratan pekerjaan lebih awal, sebagai contoh:catatan buletin, publikasi perusahaan dan kegiatan pelatihan. Memandang kondisi komunikasi organisasi sebagai jaringan informasi mengimplikasikan hakikat dan dinamika prilaku. Selain itu dengan adanya sistem komunikasi sebagai kelompok sub sistem, maka akan memudahkan kita untuk mengetahui tentang keempat sub sistem yang utama tersebut. a. Arus Komunikasi Organisasi Pola komunikasi dan aktivitas organisasi sangat tergantung pada tujuan, gaya manajemen, dan iklim organisasi yang bersangkutan, artinya bahwa komunikasi itu tergantung pada kekuatan-kekuatan yang bekerja dalam organisasi tersebut, yang ditunjukkan oleh mereka yang melakukan pengiriman dan penerimaan pesan. Berdasarkan fungsionalnya maka arus komunikasi yang terjadi dalam organisasi formal terdiri dari arus vertikal (dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas) dan arus horisontal (lateral atau silang).

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

37


Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Arus Komunikasi Vertikal (Vertical Communication Flow) a. Dari atas ke bawah (Downward Communication) Komunikasi ini merupakan saluran yang paling sering digunakan dalam oganisasi. Arus komunikasi ini adalah pengiriman pesan dari pimpinan (supervisi) ke bawahan (subordinate). Arus ini digunakan untuk mengirim perintah, petunjuk, tujuan, kebijakan, memorandum untuk pekerja pada tingkat yang lebih rendah dalam organisasi. Masalah yang paling mendasar adalah bahwa komunikasi dari atas ke bawah hanya mempunyai satu arah saluran, yakni tidak menyediakan feedback (umpan balik) dari pekerja dalam organisasi itu. Asumsinya adalah bahwa jika pekerja mengetahui apa yang diketahui oleh manajer, maka mereka akan memaksakan diri untuk menyelesaikan masalah organisasi/perusahaan. Artinya, informasi mengarah pada pemahaman dan pemahaman menghasilkan tindakantindakan serta penyelesaian yang diinginkan. Menurut Katz dan Kahn (dalam Rahman, 2000) ada 5 jenis tipe khusus komunikasi downward, yaitu: 1. Job Instruction (Instruksi Kerja), yakni komunikai yang merujuk pada penyelesaian tugastugas khusus. 2. Job Rationale (Rasio Kerja), yakni komunikasi yang menghasilkan pemahaman terhadap tugas dan hubungan dengan pengaturan lainnya. 3. Procedure and Practice (Prosedur dan Pelaksanaan), yakni komunikasi tentang kebijakankebijakan, aturan-aturan, regulasi dan manfaat-manfaat yang ada. 4. Feedback (Umpan Balik), yakni komunikasi yang menghargai tentang bagaimana individu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. 5. Indoctrinations of goals, yakni komunikasi yang dirancang dengan karakter idiologi yang memberikan motivasi karyawan tentang pentingnya suatu missi organisasi secara keseluruhan. Dua hal yang dapat terjadi berdasarkan tipe di atas adalah keterbatasan dan ketidakjelasan. Beberapa alasan yang menyebabkan komunikasi dari atas ke bawah tidak berjalan efektif adalah (1) Terdapat ketidakjelasan dalam mendefinisikan tanggung jawab tentang komkunikasi dari atas ke bawah, (2) Kurangnya pemahaman manajemen terhadap bawahannya, (3) Manajemen tidak mempunyai waktu untuk mengetahui apakah teknik komunikasi yang mereka sajikan efektif atau tidak, (4) Manajer tidak mengadakan pertemuan tatap muka antar supervisi dan non supervisi untuk membicarakan kondisi usaha dan pekerjaan, (5) Kurangnya program pelatihan komunikasi dalam rangka mengajarkan kepada manajemen personalia tentang seni dalam memahami aturan permainan yang ada dan sasaran pekerja serta perbedaan sistem nilai yang ada. Konsekuensi untuk menghindari terjadinya komunikasi yang tidak efektif maka manajer harus lebih banyak mengadakan pertemuan dengan para pekerjanya. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka hasil yang muncul dapat digambarkan sebagai berikut:

38

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

a. Atasan gagal dalam menjelaskan tugas-tugas para bawahan atau gagal dalam memberikan gambaran yang akurat tentang posisi mereka dalam organisasi. b. Bawahan juga gagal memahami penjelasan yang diberikan, dan mungkin mereka berada pada posisi tidak mampu atau tidak boleh mempertanyakan hal tersebut. c. Manajer dan bawahan mungkin saja memiliki konflik tentang nilai. Metode dasar komunikasi downward memiliki tiga elemen penting yang harus dipertimbangkan oleh manajer, yakni: 1. Menspesifikasikan sasaran untuk mengkomunikasikannya. 2. Memastikan bahwa isi dari komunikasi memiliki kualitas berikut: • Akurasi • Spesifikasi • Kekuatan • Orientasi dan penerima • Simplisitas • Tidak ada makna yang disembunyikan 3. Menerapkan teknis komunikasi yang paling baik dalam rangka mendapat pesan secara efektif antar para penerima. Kunci utama dari komunikasi downward adalah bahwa pekerja harus bereaksi secara lebih efejktif terhadap masalah-masalah yang mereka anggap sebagai kepentingan paling personal terhadap atasannya. Namun yang terpenting di sini adalah jika manajer dan pekerja ingin mencapai tujuan dari peran-perannya secara jelas dan memperoleh informasi yang akurat, maka setiap kelompok membutuhkan pemahaman tentang arus komunikasi. a. Komunikasi dari bawah ke atas (Upward Communication) Komunikasi ini adalah komunikasi yang berasal dari bawahan (subordinate) kepada atasan (supervisi) dalam rangka menyediakan feedback (umpan balik) bagi manajemen. Para pekerja menggunakan saluran komunikasi ini sebagai kesempatan untuk mengungkapkan ide-ide atau gagasan yang mereka ketahui. Asumsi dasar dari komunikasi upward ini adalah bahwa pekerja harus diperlakukan sebagai partner dalam mencari jalan terbaik untuk mencapai tujuan. Komunikasi dari bawah ke atas akan menarik ide-ide dan membantu pekerja untuk menerima jawaban yang lebih baik tentang masalah dan tanggung jawabnya serta membantu kemudahan arus dan penerimaan komunikasi dari bawahan ke atasan (manajer), yakni dalam hal ini pendengaran yang baik menghasilkan pendengar yang baik. Beberapa alasan yang menyebabkan komunikasi upward tidak berjalan efektif adalah: (a) Banyak pekerja yang takut menganggap bahwa mengekspresikan hal-hal yang sebenarnya

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

39


Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

tentang perusahaan sangat berbahaya, (b) Pekeja percaya bahwa jika mereka bertentangan dengan pimpinan, maka hal itu akan menghalangi promosi. Kritik dan ekspresi sejenisnya dipandang sebagai tindakan yang salah karena itu dapat membuat bawahan kelihatan jelek di mata atasan, (c) Pekerja yakin bahwa mereka tidak tertarik dengan masalah mereka. Manajemen merupakan pengendali, berjalan berdasarkan pikirannya sendiri terlepas dari jangkauan dan pemikiran para karyawan, (d) Pekerja merasa bahwa idenya tidak dihargai, (e) Pekerja yakin bahwa terdapat kekurangan dalam hal kemampuan dan tanggung jawab, dan (f) Para pekerja percaya bahwa manajer tidak langsung menyelesaikan masalah. Disamping itu kegagalan dalam komunikasi ini jika manajer menerima informasi yang salah dari bawahan, yang disebabkan antara lain: (a) Pekerja tidak mau supervisi mempelajari segala sesuatu secara aktual dan potensial mendiskreditkan pekerja, (b) Pekerja biasa menekankan atau menonjolkan sumbangannya terhadap perusahaan kepada atasan atau persaingannya dengan orang yang di bagian lain dalam organisasi, (c) Kegelisahan pekerja secara pribadi, permusuhan, aspirasi dan sistem kepercayaan hampir selalu membentuk dan mewarnai interpretasi penerimaan mereka terhadap apa yang telah mereka pelajari dan terima untuk disebarkan, dan (d) Pekerja saling bersaing untuk posisi manajer dan membiarkan para manajer untuk melaksanakan wewenangnya secara profesional dalam organisasi. Tiga faktor yang secara konsisten berhubungan dengan komunikasi upward adalah: (a) Bawahan mempercayai atasan, (b) Persepsi bawahan bahwa atasan sangat mempengaruhi masa depan mereka kelak, dan (c) Bawahan memobilisasi aspirasi. Semua bawahan akan cenderung untuk mendistorsi komunikasi dari bawah ke atas melalui struktur kewenangan, yang akan menciptakan partisipasi yang lebih besar, kurang sekretif, dan bawahan merasa kurang tergantung pada atasan. Terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan munculnya iklim yang kondusif terhadap distorsi, diantaranya: a. Struktur kewenangan dari organisasi. Wewenang yang arbitrer dan lebih fleksibel cenderung akan meningkatkan distorsi komunikasi dari bawah ke atas, nilai dan aturan-aturan yang bertentangan, sekresi, dan ketertutupan supervisi merupakan kondisi yang cenderung menciptakan perasaan gelisah dan tidak aman antar para bawahan. b. Kondisi persaingan yang kuat antar para bawahan. Persaingan dalam bentuk kalah-menang atau saling bertentangan dapat meningkatkan kegelisahan, ketidaknyamanan yang kemudian melahirkan distorsi. c. Distorsi komunikasi dari bawah ke atas. Penanganan, pemunculan atau bentuk-bentuk lain dari distorsi informasi yang dilakukan oleh pekerja menimbulkan pengaruh yang berbeda pada bawahan. d. Kondisi umum dari sinisme dan ketidakpercayaan dalam organisasi.

40

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Iklim seperti ini dapat melahirkan perasaan tidak aman yang selanjutnya menjadi distorsi. Konsekuensi untuk menghindari terjadinya distorsi komunikasi maka manajer harus mampu mendorong terjadinya sebuah arus informasi yang bebas dari bawah ke atas dan menyelesaika beberapa hal, misalnya meningkatkan gambaran kerja, masalah-masalah, perencanaan, sikap, dan perasaan dari pekerja. Di samping itu yang harus dilakukan manajer, diantaranya adalah: (a) Mempersiapkan diri dalam segala hal untuk mendengar kabar baik maupun kabar buruk, (b) Keluar dari kantor dan memeriksa bagaimana segala sesuatu berjalan dan (c) Mengembangkan seni pendengaran terhadap orang yang tepat. Manajer yang mengisolasikan diri dari distorsi komunikasi akan cenderung mendapatkan masalah. b. Arus Komunikasi Horisontal Komunikasi ini merupakan arus pengiriman dan penerimaan pesan yang terjadi antar pimpinan/supervisi maupun antar bawahan/pekerja. Hasil dari beberapa studi mengungkapkan bahwa sekitar 2/3 dari organisai yang ada menggunakan arus komunikasi ini. Komunikasi horisontal dikenal sebagai komunikasi lateral atau silang dan merupakan arus dan pemahaman yang paling kuat dalam komunikasi. Komunikasi ini berfokus pada koordinasi tugas, penyelesaian masalah, pembagian informasi, dan resolusi konflik. Banyak pesan akan mengalir pada semua lini/garis tanpa melalui penyaringan. Komunikasi horisontal sangat penting bagi pekerja pada tingkat bawah untuk selalu berkomunikasi antara supervisi/atasan maupun antara bawahan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian survey eksplanatif assosiatif (tingkat penjelasan) dengan metode analisa deskriptif kuantitatif, yang bertujuan untuk memperoleh gambaran hubungan dan pengaruh implementasi komunikasi organisasi yang terjadi dalam wilayah kerja organisasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, khususnya komunikasi antar kelima wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini disajikan sesuai dengan data yang telah dihimpun yang diperoleh melalui penyebaran angket tentang Koneksitas dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, yang dianalisis secara statistik deskriptif dengan teknik persentase, dan analisasis kuantitatif dengan menggunakan analisis regresi dan korelasi.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

41


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

1. Analisis Deskriptif. Hasil analisis deskriptif terhadap variabel Koneksitas, yang meliputi variabel Koordinasi, Sosialisasi, Sinergis, dan Evaluasi, yang diperoleh dari skor angket terhadap masing-masing variabel Koneksitas mengungkapkan bahwa dari 9 butir pertanyaan yang diajukan dengan tiga alternatif jawaban, yakni Sering (S), Jarang (J), dan Tidak Pernah (TP) dengan bobot skor setiap butir pertanyaan bila menjawab Sering (S) skor 3, menjawab Jarang (J) skor 2, dan menjawab Tidak Pernah (TP) skor 1, maka kemungkinan skor terendah yang diperoleh responden adalah 9 x 1 = 9 dan skor tertinggi adalah 9 x 3 = 27. Dengan demikian rentang skor adalah 9 sampai dengan 27. Apabila skor tertinggi dikurangi skor terendah hasilnya dibagi dengan 3 kategori tingkat keseringan koordinasi maka akan menghasilkan interval skor dengan isi kelas setiap interval adalah 6. Data skor angket Koneksitas dapat dilihat pada Lampiran 2 Bagian I – IV. Adapun karakteristik data masing-masing variabel Koneksitas tersebut sebagai berikut: a. Koordinasi Berdasarkan rentang skor dan isi kelas setiap interval tersebut diperoleh kategori, frekuensi dan persentase variabel Koordinasi yang terangkum dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Kategori, Frekuensi dan Persentase Koordinasi terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Interval 21 – 27 15 – 20 9 – 14

Kategori Sering Jarang Tidak Pernah Jumlah

Sumber: Data hasil pengolahan penulis.

f 33 25 58

% 56,90 43,10 100

Data pada tabel 1 yang menunjukkan tentang Koordinasi terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya dari ke 58 responden terungkap bahwa sebanyak 33 atau 56,90% responden yang menyatakan bahwa Koordinasi sering dilakukan dalam rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya dan sebanyak 25 atau 43,10% responden yang menyatakan jarang dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum Koordinasi sering dilakukan dalam rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya.

42

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

b. Sosialisasi Berdasarkan rentang skor dan isi kelas setiap interval tersebut diperoleh kategori, frekuensi dan persentase variabel sosialisasi yang terangkum dalam tabel di bawah ini. Tabel 2. Kategori, Frekuensi dan Persentase Sosialisasi terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Interval 21 – 27 15 – 20 9 – 14

Kategori Sering Jarang Tidak Pernah Jumlah

Sumber: Data hasil pengolahan penulis.

f 37 21 58

% 63,79 36,21 100

Data pada tabel 2 yang menunjukkan tentang Sosialisasi terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, dari ke 58 responden terungkap bahwa sebanyak 37 atau 63,79% responden yang menyatakan bahwa Sosialisasi sering dilakukan dalam rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya dan sebanyak 21 atau 36,21% responden yang menyatakan Sosialisasi jarang dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum Sosialisasi sering dilakukan dalam rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. c. Sinergis Berdasarkan rentang skor dan isi kelas setiap interval tersebut diperoleh kategori, frekuensi dan persentase variabel Sinergis yang terangkum dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.

Kategori, Frekuensi dan Persentase Sinergis terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya.

Interval 22 – 27 15 – 20 9 – 14

Kategori

Sering Jarang Tidak Pernah Jumlah

Sumber: Data hasil pengolahan penulis.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

f 41 17 58

% 70,69 29,31 100

43


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Data pada tabel 3 yang menunjukkan tentang Sinergis terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya dari ke 58 responden terungkap bahwa sebanyak 41 atau 70,69% responden yang menyatakan bahwa Sinergis sering terjadi dalam rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, dan sebanyak 17 atau 29,31% responden yang menyatakan bahwa Sinergis jarang terjadi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum Sinergis terjadi dengan baik dalam rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. d. Evaluasi Berdasarkan rentang skor dan isi kelas setiap interval tersebut diperoleh kategori, frekuensi dan persentase variabel Evaluasi yang terangkum dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.

Kategori, Frekuensi dan Persentase Evaluasi terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya.

Interval 21 – 27 15 – 20 9 – 14

Kategori

Sering Jarang Tidak Pernah Jumlah

Sumber: Data hasil pengolahan penulis.

f 32 26 58

% 55,17 44,83 100

Data pada tabel 4 yang menunjukkan tentang Evaluasi terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya dari ke 58 responden terungkap bahwa sebanyak 32 atau 55,17% responden yang menyatakan bahwa Evaluasi sering dilakukan dalam rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, dan sebanyak 26 atau 54,83% responden yang menyatakan bahwa Evaluasi jarang dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum Evaluasi sering dilakukan dalam rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. e. Percepatan Pembangunan Ekonomi Hasil data skor angket tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya mengungkapkan bahwa dari 9 butir pertanyaan yang diajukan dengan tiga alternatif jawaban, yakni Maksimal (M), Kurang Maksimal (KM), dan Tidak Maksimal (TM) dengan bobot skor setiap butir pertanyaan bila

44

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

menjawab Maksimal (M) skor 3, menjawab Kurang Maksimal (KM) skor 2, dan Tidak Maksimal (TM) skor 1, maka kemungkinan skor terendah yang diperoleh responden adalah 9 x 1 = 9 dan skor tertinggi adalah 9 x 3 = 27. Dengan demikian rentang skor adalah 9 sampai dengan 27. Apabila skor tertinggi dikurangi skor terendah hasilnya dibagi dengan 3 kategori tingkat kemaksimalan Percepatan Pembangunan Ekonomi maka akan menghasilkan interval skor dengan isi kelas setiap interval adalah 6. Berdasarkan rentang skor dan isi kelas setiap interval tersebut diperoleh kategori, frekuensi dan persentase variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya yang terangkum dalam tabel di bawah ini. Tabel 5. Kategori, Frekuensi dan Persentase Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Interval 21 – 27 15 – 20 9 – 14

Kategori Maksimal Kurang Maksimal Tidak Maksimal Jumlah

Sumber: Data hasil pengolahan penulis.

f 12 45 1 58

% 20,69 77,59 1,72 100

Data pada tabel 5 yang menunjukkan tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dari ke 58 responden terungkap bahwa sebanyak 12 atau 20,69% responden yang menyatakan bahwa Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya berlangsung maksimal, sebanyak 45 atau 77,59% responden yang menyatakan kurang maksimal, sebanyak 1 atau 1,72% yang menyatakan tidak maksimal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya berlangsung kurang maksimal. 2. Analisis Kuantitatif Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan maka digunakan dua teknik analisis statistik inferensial, yakni analisis korelasi dan analisis regresi. Analisis ini menggunakan SPSS pada taraf signifikan 5 %. a. Analisis Korelasi Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel Koneksitas yang meliputi Koordinasi (X1), Sosialisasi (X2), Sinergis (X3), dan Evaluasi (X4) dengan variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi (Y).

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

45


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Hasil analisis korelasi sederhana terungkap bahwa korelasi antara variabel Koordinasi (X1) dengan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya (Y) sebesar 0,658, Sosialisasi (X2) dengan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya (Y) sebesar 0,714, Sinergis (X3) dengan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya (Y) sebesar 0,418 dan Evaluasi (X4) dengan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya (Y) sebesar 0,332. Selanjutnya multikorelasi antara masing-masing variabel Koneksias terungkap bahwa multikorelasi antara Koordinasi (X1) dengan Sosialisasi (X2) sebesar 0,726. Koordinasi (X1) dengan Sinergis (X3) sebesar 0,392. Koordinasi (X1) dengan Evaluasi (X4) sebesar 0,396. Sosialisasi (X2) dengan Sinergis (X3) sebesar 0,451. Sosialisasi (X2) dengan Evaluasi (X4) sebesar 0,568, dan Sinergis (X3) Evaluasi (X4) sebesar 0,386. Sedangkan secara parsial hasil analisis korelasi antara variabel Koneksitas yang meliputi Koordinasi (X1), Sosialisasi (X2), Sinergis (X3), dan Evaluasi (X4) dengan variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi (Y) terangkum pada tabel berikut: Tabel 6. Korelasi Variabel Koordinasi, Sosialisasi, Sinergis, dan Evaluasi dengan variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi. Variabel

Korelasi

X1 – Y X2 – Y X3 – Y X4 – Y

0,276 0,441 0,156 -0,152 0,721

R

0,754

0,569

Sumbangan Relatif 33,28 61,16 21,64 -21,08 100

Sumbangan Efektif 0,217 0,348 0,123 -0,119 0,569

Dari tabel tersebut nampak bahwa secara parsial masing-masing variabel Koneksitas berkorelasi dengan variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, yakni korelasi variabel Koordinasi (X1) berkorelasi sebesar 0,276 dengan sumbangan relatif sebesar 33,28 % dan sumbangan efektif berkorelasi sebesar 0,217 % dengan variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Sosialisasi (X2) berkorelasi sebesar 0,441dengan sumbangan relatif sebesar 61,16 % dan sumbangan efektif berkorelasi sebesar 0,348 % dengan variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Sinergis (X3) berkorelasi sebesar 0,156 dengan sumbangan relatif sebesar 21,64 % dan sumbangan efektif berkorelasi

46

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

sebesar 0,123 % dengan variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Evaluasi (X4) berkorelasi sebesar -0,152 dengan sumbangan relatif sebesar –21,08 % dan sumbangan efektif berkorelasi sebesar -0,119 dengan variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Dari hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai rhitung sebesar 0,754. Berdasarkan interpretasi nilai r maka nilai rhitung tersebut berada pada rentang 0,60 – 0,799 atau berada pada kategori kuat. Hal ini berarti terdapat korelasi atau hubungan yang kuat antara Koneksitas dengan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Nilai Koefisien determinasi sebesar 0,569 menunjukkan bahwa variabel Koneksitas yang meliputi Koordinasi, Sosialisasi, Sinergis, dan Evaluasi mempengaruhi variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya hanya sebesar 0,569 atau 56,90% dan sisanya sebesar 43,10% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. b. Analisis Regresi Analisis regresi digunakan untuk menguji seberapa besar berubahnya nilai variabel dependen (Percepatan Pembangunan Ekonomi) bila variabel indevenden (Koneksitas) diubah atau seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh variabel independen (Koneksitas) terhadap variabel dependen (Percepatan Pembangunan Ekonomi) untuk setiap perubahan variabel indevenden (Koneksitas). Dari hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pengaruh masing-masing variabel Koneksitas, yakni Koordinasi sebesar 0,329, Sosialisasi sebesar 0,644, Sinergis sebesar 0,144, dan Evaluasi sebesar – 0,172, dengan nilai constanta (a) sebesar – 1,496. Dengan demikian diperoleh fungsi estimasi persamaan regresi tentang pengaruh Koneksitas terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya sebagai berikut: Y = a + bX1 + bX2 + bX3 + bX4 + ∈ Y = – 1,496 + 0,329 X1 + 0,644 X2 + 0,144 X3 – 0,172 X4 + ∈ Dari fungsi estimasi persamaan regresi tersebut diketahui pula bahwa variabel Koneksitas yang paling dominan berpengaruh terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya adalah Koordinasi dan Sosialisasi. Untuk mengetahui secara parsial masing-masing pengaruh variabel Koneksitas terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya digunakan uji t. Dari hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa untuk variabel Koordinasi (X1) diperoleh t hitung sebesar 2,091 sedangkan t tabel pada taraf

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

47


Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

signifikan 5 % sebesar 0,041. Untuk variabel Sosialisasi (X2) diperoleh thitung sebesar 3,578 sedangkan ttabel pada taraf signifikan 5 % sebesar 0,001. Untuk variabel Sinergis (X3) diperoleh thitung sebesar 1,150 sedangkan ttabel pada taraf signifikan 5 % sebesar 0,255. Untuk variabel Evaluasi (X4) diperoleh thitung sebesar – 1,121 sedangkan ttabel pada taraf signifikan 5 % sebesar 0,267. Melalui uji sifnifikan diperoleh nilai Fhitung sebesar 17,486 sedangkan Ftabel pada taraf signifikan 5 % sebesar 0,000. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi estimasi persamaan regresi tentang pengaruh Koneksitas terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya yang telah diperoleh dapat digunakan untuk mengambil keputusan/kesimpulan dan kesimpulan tersebut telah terwakili oleh keseluruhan responden dalam penelitian ini. Artinya variabel Koneksitas yang meliputi variabel Koordinasi, Sosialisasi, Sinergis, dan Evaluasi mempengaruhi Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. A. Pembahasan Dari keseluruhan hasil penelitian yang telah dikemukakan maka diperoleh beberapa data yang dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, secara umum Koneksitas, yang meliputi Koordinasi, Sosialisasi, Sinergis, dan Evaluasi sering dilakukan dalam rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Hal ini ditunjukkan pada tabel 2 sampai dengan tabel 6 bahwa responden lebih dominan memberikan jawaban pada interval 21 – 27 yang termasuk dalam kategori sering, yakni yang mengatakan Koordinasi sering dilakukan sebanyak 33 atau sekitar 56,90%, yang mengatakan Kosialisasi sering dilakukan sebanyak 37 atau sekitar 63,79%, yang mengatakan Sinergis sering dilakukan sebanyak 41 atau sekitar 70,69%,dan yang mengatakan Evaluasi sering dilakukan sebanyak 32 atau sekitar 55,17%. Kedua, secara umum Percepatan Pembangunan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Sumber Jaya berlangsung kurang maksimal. Hal ini ditunjukkan pada tabel 5 bahwa responden lebih dominan memberikan jawaban pada interval 15 – 20 yang termasuk dalam kategori kurang maksimal, yakni sebanyak 45 atau sekitar 77,59% dari jumlah keseluruhan responden. Berdasarkan temuan data sebagai hasil analisis ilmiah, yakni analisis regresi dan analisis korelasi mengungkapkan bahwa variavel Koneksitas memiliki pengaruh dan hubungan yang positip terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi. Dari hasil analisis regresi mengungkapkan bahwa secara parsial masing-masing variabel Koneksitas berpengaruh terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, yakni pengaruh variabel Koordinasi sebesar 0,329. Sosialisasi

48

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

sebesar 0,644, Sinergis sebesar 0,144. Sedangkan variabel Koneksitas yang tidak berpengaruh terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya adalah variabel Evaluasi karena menunjukkan nilai – 0,172. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa variabel Koneksitas yang paling berpengaruh terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya adalah variabel Sosialisasi. Dari nilai estimasi tersebut memberikan indikasi bahwa apabila setiap terjadi Koordinasi akan menyebabkan rata-rata kenaikan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya sebesar 0,329 atau 32,90%. Setiap terjadi Sosialisasi akan menyebabkan rata-rata kenaikan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya sebesar 0,644 atau 64,40%, dan setiap terjadi Sinergis akan menyebabkan rata-rata kenaikan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya sebesar 0,144 atau 14,40 %. Dari hasil pengujian uji t secara parsial variabel Evaluasi tidak berpengaruh terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Sedangkan variabel Koordinasi, Sosialisasi, dan Sinergis secara parsial berpengaruh terhadap variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Melalui uji sifnifikan atau keberartian dengan menggunakan uji F terungkap bahwa persamaan regresi yang telah diperoleh dengan model persamaan Y = – 1,496 + 0,329 X1 + 0,644 X2 + 0,144 X3 – 0,172 X4 + ∈ dapat digunakan untuk mengambil keputusan/kesimpulan dan kesimpulan tersebut telah terwakili oleh keseluruhan responden dalam penelitian ini. Artinya variabel Koneksitas yang meliputi variabel Koordinasi, Sosialisasi, Sinergis, dan Evaluasi secara simultan berpengaruh positip terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. Dari hasil analisis korelasi mengungkapkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara Koneksitas dengan Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya, yakni sebesar 0,754. Pada interpretasi nilai r nilai 0,754 tersebut berada pada rentang 0,600 – 0,799 atau berada pada kategori kuat. Sedangkan Koefisien determinasi menunjukkan bahwa variabel Koneksitas mempengaruhi variabel Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya sebesar 0,569 atau 56,90%. Adapun sisanya sebesar 43,10% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diamati dalam penelitian ini, seperti skill atau kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan kepemimpinan (managerial leader) pada kelembagaan pemerintahan, kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah (endogenous development), sumber daya alam (fisik, sarana dan prasarana), kemampuan permodalan pembangunan (development cost) dari masing-masing daerah hinterland.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

49


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

KESIMPULAN Dari hasil keseluruhan analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan, maka ditarik beberapa kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Koneksitas dalam bentuk komunikasi organisasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya berlangsung maksimal ditandai oleh adanya Koordinasi, Sosialisasi, Sinergis, dan Evaluasi yang sering dilaksanakan. Koneksitas ini dilakukan untuk memberdayakan potensi dengan menyesuaikan program-program unggulan setiap daerah dalam rangka mencapai visi dan misi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya sebagi pusat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia, khususnya di Lampung. 2. Pembangunan ekonomi daerah hinterland Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya berlangsung kurang maksimal. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan faktor-faktor produksi dari setiap daerah. Di samping itu pembangunan ekonomi umumnya hanya terkonsentrasi pada beberapa sektor ekonomi yang dianggap paling urgen bagi setiap daerah. Artinya pembangunan diutamakan pada sektor yang mampu meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa mencermati efek dan masalah lain yang mungkin timbul, yang bisa saja justru kontrapruduktif dengan visi dan misi KAPET Sumber Jaya itu sendiri. 3. Koneksitas dalam bentuk komunikasi organisasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya berkorelasi secara kuat dan secara simultan berpengaruh positif terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi daerah hinterlandnya. Meskipun Koneksitas secara simultan berpengaruh positif namun secara parsial variabel Evaluasi tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi yang dimaksud. Hal ini dimungkinkan karena pelaksanaan Evaluasi dalam kawasan tersebut kurang menyentuh prosodur dan petunjuk Evaluasi yang sesungguhnya terhadap beberapa program yang telah dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Achmad, A.S.1992. Diktat Kuliah: Teori Komunikasi Antar Manusia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Makassar. Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: Rineka Cipta. Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Bagian Penerbit STIE, YKPN, Yogyakarta. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE, Yogyakarta.

50

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Anna Gustina Zainal dan Wulan Suciska

Analisis Koneksitas Komunikasi Organisai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya Lampung Barat

Badan Pengelola KAPET Sumber Jaya Lampung. 2000. Kumpulan Peraturan-Peraturan tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sumber Jaya. KAPET Sumber Jaya, Lampung. Effendi, O.U. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti, Bandung. Lewis, Philip. Tanpa tahun. Teori Organisasi dan Komunikasi. Terjemahan oleh Gazali Rahman. 2000. Universitas Hasanuddin, Makassar.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

51


Rusdianto

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance Rusdianto Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Madiun, Jawa Timur ABSTRAK Visi dan maritim program dapat berjalan pengambil keputusan komitmen mereka dan ekuitas. Jangka panjang, perkembangan ekonomi kelautan merupakan sumber keunggulan kompetitif dalam masyarakat. Selain itu, proses revolusi mental melalui pengembangan maritim lebih mudah sehingga munculnya inovasi untuk masa depan. Dalam hal ini, fungsi pengembangan komunikasi maritim untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat Indonesia sebagai karakter utama, baik sebagai subyek dan obyek pembangunan. Jadi konsep ekonomi maritim pro-poor, pro-pertumbuhan, pro-job dan pro-lingkungan. Pilar utama kebijakan pembangunan kelautan nasional adalah Governance Samudra Budaya, Ocean, Keamanan Maritim, Maritim Kelautan Samudera Ekonomi dan Lingkungan. Potensi kelautan Indonesia, yang terdiri dari sumber daya alam terbarukan, seperti sumber daya terbarukan, bakau, rumput laut, rumput laut dan terumbu karang. Sementara sumber daya alam yang tidak terbarukan, seperti sumber daya tak terbarukan minyak, gas alam, timah, bauksit, bijih besi, kuarsa, mineral, dan mineral lainnya. Sementara energi kelautan dalam bentuk gelombang energi, Ocean Konversi Energi Panas (OTEC), arus pasang surut dan laut. Laut sebagai jasa lingkungan yang merupakan media transportasi, komunikasi, rekreasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan, regulator iklim dan sistem pendukung kehidupan. Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan meninjang ekonomi maritim seperti Shipyard (manufaktur) kapal dan dermaga-meter, mesin industri dan peralatan kapal, industri alat tangkap (alat tangkap) sebagai jaring, pancing, pencari ikan, tali, dll yang ., Industri pabrik air tambak (roda pedal), pompa air, teknik lepas pantai dan struktur, rekayasa Pesisir dan struktur, kabel bawah laut dan serat optik, penginderaan jauh, GPS, GIS, dan ICT. Dengan demikian pemerintah dapat meningkatkan ekonomi yang dapat bersaing dengan ekonomi global atas potensi yang ada. Selain itu, sekitar 75% dari produk dan komoditas yang diangkut melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US $ 1.300 miliar per tahun. Menyadari pembangunan ekonomi maritim nasional yang berpegang teguh pada prinsip kepentingan nasional, keadilan dan manfaat maksimal bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Kata kunci: Pengembangan Komunikasi, Maritim Ekonomi, Sosial Micro Finance

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

53


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Rusdianto

ABSTRACT Vision and maritime programs can run their commitment decision makers and equity. Long-term, the development of maritime economy is a source of competitive advantage in society. Moreover, the process of mental revolution through the development of maritime easier so that the emergence of innovation for the future. In this case, the function of the development of maritime communication to change the attitudes and behavior of the Indonesian people as the main character, both as subject and object of development. So the concept of maritime economy pro-poor, pro-growth, pro-jobs and pro-environment. The main pillars of the national maritime development policy is the Ocean Culture, Ocean Governance, Maritime Security, Maritime Marine Ocean Economy and Environment. Indonesian maritime potential, consisting of renewable natural resources, such as renewable resources, mangrove, seaweed, seagrass and coral reefs. While the nonrenewable natural resources, such as the non-renewable resources of oil, natural gas, tin, bauxite, iron ore, quartz, minerals, and other minerals. While marine energy in the form of energy waves, Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), tidal and ocean currents. Sea as environmental service which is a medium of transportation, communication, recreation, tourism, education, research, defense and security, climate regulator and lifesupporting system. In addition, Indonesia also has a wealth of maritime economic meninjang like Shipyard (manufacture) the ship and dock-yards, Industrial machinery and equipment of ships, fishing gear industry (fishing gears) as nets, fishing rods, fish finders, rope, etc., Industry water mill pond (pedal wheel), water pump, Offshore engineering and structures, Coastal engineering and structures, subsea cables and fiber optics, remote sensing, GPS, GIS, and ICT. Thus the government can improve the economy that can compete with the global economy over the potential that exists. Moreover, about 75% of products and commodities transported by sea Indonesia with a value of approximately US $ 1,300 billion per year. Realizing the economic development of national maritime who cling to the principle of national interest, fairness and maximum benefit to the nation and the people of Indonesia. Key Words: Communication Development, Maritime Economic, Social Micro Finance Pendahuluan Tanggal 17 November 2011 lalu, mantan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono mengeluarkan Inpres No. 11/2011 tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional. Inpres ini berlaku pada bidang birokrasi dan tata kelola, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, ketahanan pangan, infrastruktur, iklim investasi dan iklim usaha, energy, lingkungan hidup, daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik, kebudayaan,

54

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Rusdianto

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

kreatifitas dan inovasi teknologi, politik, hukum, keamanan, perekonomian dan kesejahteraan rakyat. 1 Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis kultur yang terbuka, egaliter, berpengetahuan dan menyukai tantangan perubahan. Pada jangka pendeknya program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan dan pelaksana. Bisa juga dengan mengundang investasi asing apabila tidak terdapat kemampuan modal dan pengetahuan dalam pemangunan kemaritiman Indonesia. Tetapi pada jangka panjang diperlukan perubahan orientasi pendidikan kearah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan sumber keunggulan kompetitif, kepekaaan budaya, kedalaman budi pekerti dan penanaman sifat positif pada masyarakat. Komunikasi Pembangunan Kemaritiman Siebert, Peterson dan Schramm (1956) mengatakan bahwa komunikasi pembangunan merupakan proses hubungan erat manusia dengan pemerintah maupun Negara. Hal ini menentukan komunikasi pembangunan dapat berlangsung dengan baik. Kendati bergantung pada modal paradigma pembangunan kemaritiman yang dipilih oleh Indonesia dalam masa pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla. Komunikasi pembangunan dalam kemaritiman belum banyak dibicarakan oleh para ahli, pada umumnya mereka sepakat bahwa komunikasi mempunyai andil penting dalam pembangunan. 2 Everett M. Rogers (1985) menyatakan, pembangunan adalah perubahan menuju sistem sosial ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu pemerintahan. Perubahan yang dikehendaki dalam pembangunan tentu perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu peranan komunikasi dalam pembangunan kemaritiman Indonesia harus dikaitkan dengan arah perubahan tersebut. Artinya kegiatan komunikasi dalam agenda pembangunan kemaritiman harus mampu mengantisipasi dan mendorong gerak pembangunan. Pembangunan merupakan proses keselarasan antara aspek kemajuan dan kepuasan (pelayanan). Jika dilihat dari segi ilmu komunikasi yang juga mempelajari masalah proses, yaitu proses penyampaian pesan seseorang kepada orang lain untuk merubah sikap, pendapat dan perilakunya. Maka pembangunan pada dasarnya melibatkan minimal tiga komponen yakni komunikator pembangunan (aparat pemerintah dan masyarakat), pesan program pembangunan dan komunikan pembangunan, yaitu masyarakat luas sasaran pembangunan. 3 Harmoko, Ironi Pembangunan di Negara Berkembang, Jakarta, Sinar Harapan : 1985. Depari, Eduard dan Mc Andrew, Collin, Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan, Yogyakarta, Gadjah Mada University: 1991. 3 Effendy, Onong Uchjana, Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan, Yogyakarta, Gadjah Mada University : 1987. 1 2

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

55


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Rusdianto

Dengan demikian, pembangunan maritim Indonesia era pemerintahan Jokowi - Yusuf Kalla adalah proses penanaman mental (revolusi mental) melalui pembangunan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya sehingga dapat membangkitkan inovasi bagi masa kini dan akan datang. Dalam hal ini tentu fungsi komunikasi dalam proses pembangunan harus berada di garis depan untuk merubah sikap dan perilaku manusia Indonesia sebagai pemeran utama, baik sebagai subjek maupun objek pembangunan. Rogers mengatakan, komunikasi tetap dianggap sebagai perpanjangan tangan para perencana pemerintah dan fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan partisipasi mereka dalam pelaksanaan rencana-rencana pembangunan. 4 Dari pendapat Rogers ini jelas bahwa setiap pembangunan dalam suatu pemerintahan memegang peranan penting. Karenanya pemerintah dalam melancarkan komunikasi perlu memperhatikan strategi apa yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan sehingga efek yang diharapkan itu sesuai dengan harapan. Effendy (1993) mengatakan strategi baik itu kalau secara makro (planned multimedia strategy) mempunyai fungsi ganda yaitu menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal. Menjembatani “cultural gap” akibat kemudahan diperolehnya dan kemudahan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh, yang jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya. 5 Dengan demikian strategi komunikasi pembangunan maritim Indonesia merupakan paduan dari perencanaan komunikasi (communication management) dengan pendekatan (approach) sesuai situasi dan kondisi. Untuk mantapnya komunikasi pembangunan kemaritiman Indonesia pada era pemerintahan Jokowi – Yusuf Kalla, maka rumus maritim Indonesia, yaitu who says what in which channel to whom with what effect. Rumus tersebut jika dikaji lebih jauh, yakni “efek apa yang diharapkan” secara implisit mengandung pertanyaan lain yang perlu dijawab dengan seksama, yaitu When (Kapan dilaksanakannya). How (Bagaimana melaksanakannya). Why (Mengapa dilaksanakan demikian). 6 Dalam ilmu jurnalistik sering dikatakan dengan 5 W 1 H (What, Who, Whay, When, Where dan How). Sebaiknya dalam pembangunan kemaritiman menggunakan pendekatan yang disebut A-A Procedure atau from Attention to Action Procedure. AA Procedure adalah penyederhanaan dari suatu proses yang disingkat AIDDA (Attention (perhatian), Interest (minat), Desire (kemauan/hasrat), Decision (keputusan), action (tindakan). Jadi proses perubahan dalam pembangunan sebagai efek komunikasi melalui tahapan yang telah dimulai. Hettne, Bjorn, Komunikasi dan Modernisasi, Bandung, Alumni : 1982. Hal. 56 Malik, Dedy Djamaluddin, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Bina Cipta : 1991. 6 Nasution, Zulkarimen, Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada : 2002 4 5

56

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Rusdianto

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Komunikasi pembangunan tidak hanya sekedar membuat pesan yang memberikan dampak target. Tapi juga mampu merefleksikan misi, tujuan dan sasaran organisasional yang terintegrasi. Adapun cara efektif dalam komunikasi pembangunan antara lain: 1. Planning Perencanaan yang solid dan matang (planning) merupakan kunci keberhasilan program pembangunan. Perencanaan yang bagus bisa dijadikan koridor kerja bagi orang-orang yang melaksanakan misi komunikasi. Ada tiga jenis planning yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan kemaritiman yaitu Organizational Planning, yaitu terkait dengan siapa-siapa saja yang bertanggung jawab untuk misi komunikasi pembangunan maritim. Communications Planning yaitu penentuan cara-cara untuk mengkomunikasikan program pembangunan. Technology Planning yaitu terkait alat bantu teknologis atau prasarana yang harus disiapkan dalam proses pembangunan. 2. Sasaran dan Tujuan Untuk mencapai target ini, tentu dibutuhkan teknologi pembantu agar penyusunan planning jadi lebih mudah. Karenanya sasaran dan tujuan harus ditetapkan saat melakukan planning yaitu masyarakat pesisir yang ingin dijangkau dan disambungkan antar pelabuhan laut, mengidentifikasi keadaan dan memahaminya. Ini adalah salah satu kunci keberhasilan rencana komunikasi pembangunan yang baik dan efektif. 3. Evaluasi Komuniksi pembangunan yang efektif selalu mempertimbangkan evaluasi, namun yang satu ini sering kali terabaikan. Bisa jadi pengabaian ini berdasarkan fakta bahwa sebagian besar evaluasi berlangsung di bagian akhir dari suatu proses. Kalau hasilnya bagus, orang cenderung tidak melakukan evaluasi, tapi kalau hasil akhirnya kurang bagus baru orang berfikir tentang evaluasi. Padahal evaluasi itu penting agar kita bisa mendapatkan feed back sesegera mungkin. Hasil akhirnya bagus atau tidak, kita tetap butuh feed back, kalau hasil akhirnya bagus feed back bisa digunakan untuk perumusan komunikasi pemabngunan maritim Indonesia mendatang. Kalau hasil akhirnya tidak bagus maka feed back bisa dijadikan rujukan agar tidak mengulanginya. Untuk mengevaluasi pembangunan maritim dengan faktor komunikasi, bisa dilakukan dengan cara mengumpulkan data kuantitatif dan informasi kualiatif. Untuk kuantitatif, pertanyaan yang harus kita jawab adalah seberapa banyak masyarakat menyukai hasil pembangunan maritim Indonesia. 7 7 Rogers, Everett M dan Shoemaker, F Floyd, Komunikasi Sambung Rasa, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan : 1981.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

57


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Rusdianto

Secara pragmatis Quebral (1973), merumuskan komunikasi pembangunan adalah komunikasi yang dilakukan untuk melaksanakan rencana pembangunan suatu negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi pembangunan merupakan suatu inovasi yang diterima oleh masyarakat. Mengkaitkan peranan komunikasi pembangunan dan konsep mengenai pembangunan, Tehranian (1979) mengemukakan tiga tinjauan teoritis, yaitu pertama teori yang hanya melihat pembangunan semata-mata sebagai proses pluralisasi masyarakat, politik dan ekonomi dari suatu bangsa yang melaksanakan pembangunan tersebut. Pandangan ini dianut oleh para ekonom dan politisi liberal. Pada pokoknya mereka berpendapat bahwa hal yang penting dalam pembangunan adalah peningkatan kelompok tenaga kerja yang berdasarkan struktur dan fungsi yang jelas, penganekaragaman kelompok berdasarkan kepentingan dan keseimbangan dinamis antar kelompok dan kepentingan. Teori yang kedua penekanannya pada peningkatan rasionalisasi sebagai unsur kunci proses pembangunan. Di abad modern ini, terutama pasca perang dunia kedua, bermunculan berbagai penemuan baru sebagai akibat kemajuan teknologi yang berkembang pesat dan terjadi susul menyusul. Teknologi memberikan manusia bermacam-macam kemudahan dalam melakukan pekerjaan, dan lebih dari itu menjadikan kehidupan lebih menyenangkan dan lebih nyaman. Berkat penemuan baru di bidang teknologi, manusia dapat menggali dan melakukan eksplorasi sumber-sumber kekayaan alam, termasuk sumber-sumber energi yang penting bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia. Kemajuan pesat di bidang teknologi elektronika yang semakin berkembang membuktikan manusia telah mampu mengembangkan kemampuan setinggi-tingginya. Perkembangan teknologi mendorong semakin berkembangnya teknologi komunikasi. Kemajuan teknologi komunikasi diawali dengan penemuan transistor, kemudian berkembang mikcrohip, sistem komunikasi satelit, dan lain-lain telah membuat jarak bukan lagi suatu halangan untuk berkomunikasi dengan yang lainnya. Laju perkembangan teknologi komunikasi telah memperlancar arus informasi dari dan keseluruh penjuru dunia. Kemajuan teknologi telah memungkinkan manusia sekarang ini menyaksikan pada waktu yang sama peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Kemajuan teknologi juga meningkatkan mobilitas sosial, mempermudah orang untuk saling berhubungan. Hubungan manusia dari satu bangsa dengan bangsa lainnya semakin intensif dan dunia seolah-olah menjadi semakin sempit. Teknologi dapat melakukan penghematan waktu dan jumlah tenaga kerja manusia. Proses teknologi melalui makna pesan tertulis atau gambar dipindahkan secara elektronis melalui radio telegraph (telefrint) untuk satu reproduksi yang jauh letaknya. Dengan teknik ini surat kabar yang terbit di Amerika misalnya, dalam jangka waktu bersamaan dapat terbit di Indonesia. Teknik reproduksi ini memungkinkan penyebaran surat kabar lebih luas dan lebih cepat. Demikian pula di bidang radio, televisi, film, dan pembuatan mesin hitung elektronis berkembang pesat.

58

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Rusdianto

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Dalam hubungan dengan masalah di atas, bangsa Indonesia harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan sistem nilai yang sesuai dengan tuntutan pembangunan. Pembangunan sistem nilai yang cocok dengan tuntutan kemajuan, harus tetap dilandasi nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila sehingga proses medernisasi di Indonesia benar-benar sesuai dengan tuntutan zaman. Proses pembangunan saat ini harus berakar dari bawah (grassroots), memelihara keberagaman budaya, serta menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat. Dengan kata lain pembangunan harus menganut paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat. Dengan demikian, perlu adanya partisipasi secara aktif, penuh inisiatif dan inovatif dari masyarakat itu sendiri. Sehingga partisipasi masyarakat dalam konteks ini mengandung makna untuk meneggakan demokrasi lokal yang selama ini “terpendam� yang sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat. Sedangkan proses pemberdayaan masyarakat harus mengandung makna yang dinamis untuk mengembangkan diri dalam mencapai kemajuan. Komunikasi pembangunan merupakan tahapan yang harus dilakukan secara matang, terukur dan terarah demi mencapai percepatan pembangunan manusia itu sendiri dalam berbagai aspek, mencakup pendidikan, kebudayaan, ekonomi, social maupun pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan hidup selaku mahkluk yang berinteraksi seperti pembangunan sarana dan prasarana pendukung yang mengarah pada kemajuan. Show Case Pembangunan Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance Moehammad Hatta meletakkan dasar ekonomi kita adalah ekonomi Pancasila, yakni penggabungan antara ekonomi Kapitalis, ekonomi Islam (syariah) dan konsep kekeluargaan sebagai local genuine. Soko guru ekonomi nasional yang di cetuskan oleh Hatta adalah Pemerintah (khas syariah), Swasta (khas kapitalis), serta Koperasi sebagai hazanah ekonomi kekeluargaan bernafaskan gotong royong. 8 Konsepsi ini juga dapat ditilik dari beberapa pasal yang tercantum dalam UndangUndang Dasar 1945 dan dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang. Indonesia menggunakan sistem perpajakan dan perzakatan dengan nilai perzakatan yang cukup tinggi, dan pemerintah masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak dan mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi negara. Banyak hal yang di selesaikan dengan business to government (B to G) walau penyelesaian business to business (B to B) lebih dominan. Disisi lain pertumbuhan koperasi, ekonomi keluarga, home industry, BUMN, BUMD, UKM, dan pola ekonomi tradisional dalam masyarakat agraris merupakan keragaman ideologi ekonomi Indonesia. Ini menandakan Dahuri R. 2010. Positioning Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Kelautan Nasional. Bahan Kuliah Umum di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT Manado. 206

8

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

59


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Rusdianto

bahwa Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis atau syariah, namun juga memadukannya dengan prinsip dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. Pada hakikatnya aktivitas ekonomi adalah arus kausalitas dari tiga hal yakni Produksi, Distribusi dan Konsumsi. Dari sinilah seharusnya pembangunan ekonomi nasional dapat di mulai, di tata, di regulasi dan distimulasi hingga akhirnya membawa pada kemajuan negeri. Meningkatkan daya saing pada ranah ekonomi hakikatnya adalah menguatkan tiga arus ekonomi tersebut. Yang terpenting di perhatikan adalah dengan posisi, kemampuan, peluang dan tatangan dunia dewasa ini apakah yang dapat di upayakan demi menjapai kemandirian dan keunggulan daya saing Indonesia. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan beberapa aspek yang mutlak di lakukan bangsa ini untuk menuju kemakmuran dan kemandirian. Disini penulis akan mencoba mengurai antara potensi, tantangan dan peluang secara realistis tanpa harus meninggalkan sikap optimis. Belajar dari masa lalu dan melihat masa kini serta upaya persiapan menghadapi perubahan global dunia yang sedang memasuki Indonesia seperti MEA. Grand Strategi tersebut memang tidak bisa hanya memaksakan pembangunan kemaritiman tanpa memberi perhatian pembangunan ekonomi daratan. Ekonomi maritim sangat vital dalam menguasai perdagangan internasional, regional maupun antar pulau. Namun sejuruh dengan penguatan otonomi daerah maka pembangunan ekonomi daratan merupakan pilar yang penting. 9 Bayangkan pula jika kerugian akibat penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia mencapai sekitar Rp 30 triliun per tahun. Belum lagi illegal mining yang juga merugikan negara hingga puluhan triliyun rupiah. Yang dapat kita bayangkan adalah Indonesia merupakan lautan yang luas didalamnya penuh dengan ikan besar tetapi penduduknya hanya memiliki pancing sedangkan para penncuri ikan kelas kakap memiliki kapal keruk yang menguras habis kekayaan negara. Padahal dengan kekayaan tersebut, generasi bangsa ini pasti bisa terbebas dari Utang Luar Negeri, menggratiskan biaya pendidikan dasar serta kesehatan bagi rakyat miskin. Agenda utama pembangunan nasional hanya bisa di harapkan dari seorang pemimpin yang jujur, ikhlas dan berdisiplin tinggi (amanah). Jika tidak, maka isu percepatan pembangunan hanya menjadi jargon dan bahan kampanye para politisi oportunis. Lebih parah lagi sebenarnya yang terjadi di negeri ini adalah karena tidak adanya sebuah konsep pembangunan jangka panjang yang di jalankan secara konsisten oleh para pemimpin bangsa. Maka sekali lagi bisa kita bayangkan jika saatnya tiba nanti pada tahun 2025 di berlakukan pasar bebas Asia, apakah kita sudah siap ? atau jatidari kita akan hilang dan terjebak dalam pilihan dilematis, sebagai kuli di negeri sendiri ?. Semenjak diratifikasinya United Nation 9 Dahuri R, J. Rais, S. P. Ginting, M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sum-berdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paratima. Jakarta Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil-DKP. 2001.

60

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Rusdianto

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Convention on the Law of The Sea melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982, Indonesia belum memiliki kebijakan yang secara spesifik mengatur laut. 10 Padahal, dua pertiga wilayahnya berupa perairan laut dan karenanya menjadi Negara Kepulauan. Sumberdaya alam laut yang terkandung didalamnya demikian besar, mencakup sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable resources) maupun tidak (non renewable resources). 11 Selain itu juga mengandung sumber energi alternatif dan jasa kelautan. Dengan demikian kebijakan kemaritiman nasional yang mampu mengintegrasikan pembangunan ekonomi semua sektor secara berkelanjutan mutlak diperlukan agar dapat mengatur pemanfaatan potensi kelautan yang demikian besar untuk mensejahterakan rakyat. Undang-undang No. 17 Tahun 2007 mencantumkan 8 (delapan) misi pembangunan nasional untuk mencapai Visi “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Salah satu misi tersebut adalah “Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang berbasiskan sosial micro finance untuk kepentingan nasional”. Pembangunan nasional mencakup kemaritiman merupakan amanatkan dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2007 adalah pembangunan yang berkelanjutan dengan semangat yang pro-poor, pro-growth, pro-job dan pro-environment.12 Kebijakan pembangunan kemaritiman Nasional dibangun dari 5 pilar utama yang terdiri dari Budaya Bahari (Ocean Culture), Tata Kelola Laut (Ocean Governance), Pertahanan, Keamanan Dan Keselamatan di Laut (Maritime Security), Ekonomi Maritim (Ocean Economy) dan Lingkungan miritim (Maritime Marine Environment). Kedua pilar ekonomi dan lingkungan inilah yang menjadi komponen inti dalam konsep ekonomi maritim, karena pada dasarnya ekonomi maritim adalah paradigma pembangunan ekonomi yang berazaskan pada prinsip-prinsip ekosistem. Dalam forum Asian Fasifik di China akhir September 2014, Presiden RI Joko Widodo dalam pidatonya tidak hanya mengajak dunia untuk bersamasama melaksanakan ekonomi maritim (maritime economic) dalam pembangunan nasionalnya, di mana laut menjadi bagian integral untuk tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Oleh karena itu, model ekonomi maritim yang berbasis pada sosial micro finance perlu dijadikan bagian dari grand design pembangunan kemaritiman nasional Indonesia. Konsep Ekonomi Maritime (Maritime Economy) merupakan konsep yang menggabungkan pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 11 Indonesia dengan panjang garis pantai 95.200 km dan 6 terumbu karang (Raja Ampat, Wakatobi, Tukang Besi, Bunaken, Gili IMT, dan P. Rubiah) dari 10 terumbu karang terindah di dunia, total devisa pariwisata nya hanya US$ 5 milyar (WTO 2008 dalam Dahuri 2010). 10

12

Undang-undang No. 17 Tahun 2007 adalah pembangunan yang berkelanjutan

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

61


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Rusdianto

Konsep ekonomi maritime mencontoh cara kerja alam (ekosistem), bekerja sesuai dengan apa yang disediakan alam dengan efisien dan tidak mengurangi tapi justru memperkaya alam (shifting from scarcity). Dengan model ekonomi maritime menjadi sumber energi, sehingga sistem kehidupan dalam ekosistem menjadi seimbang, energi didistribusikan secara efisien dan merata tanpa ekstraksi energi eksternal, bekerja menuju tingkat efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa meninggalkan limbah untuk mendayagunakan kemampuan seluruh kontributor dan memenuhi kebutuhan dasar bagi semuanya. Merujuk pada konsep tersebut di atas, maka Indonesia dapat mengembangkan teori tersebut ke dalam pembangunan maritime dengan model ekonomi maritime sebagai penopang kedaulatan nasional. Kebijakan ekonomi maritime, memiliki 8 (delapan) strategi pengembangan yaitu pada sektor perhubungan laut, industry kelautan, perikanan, pariwisata bahari, energi dan sumberdaya mineral, bangunan kelautan, jasa kelautan, lintas sektor bidang kelautan.13 Strategi pengembangan tersebut, terdapat upaya kreatif mengembangkan bisnis di sektornya yang menggunakan model ekonomi maritime. Keberhasilan pembangunan ekonomi kelautan dengan model ekonomi maritime membutuhkan komitmen para pemangku kepentingan khususnya terkait dengan berbagai kebijakan baik lokal maupun nasional, SDM, teknologi, akses keuangan, industrialisasi (hulu dan hilir), pendidikan, dan kesadaran kolektif masyarakat akan potensi kelautan dan yang tak kalah pentingnya adalah political will dari pemerintah dan legislatif. 14 Pembangunan berkelanjutan dengan mengedepankan keseimbangan antara upaya meningkatkan pertumbuhan global dan pembangunan berwawasan lingkungan, Presiden RI Joko Widodo dalam presentasinya menyatakan “For Indonesia, maritime economic is Our Next�, yang intinya tidak hanya mengajak dunia untuk bersama - sama melaksanakan ekonomi maritime dalam pembangunan nasionalnya, di mana laut menjadi bagian integral untuk tujuan pembangunan yang berkelanjutan tersebut (Sustainable Development Goals). Dengan demikian, secara eksplisit Presiden RI Joko Widodo, telah mengarahkan konsep ekonomi maritime sebagai grand design pembangunan kelautan nasional di masa depan. Dengan terbatasnya sumberdaya daratan maka pengembangan aktivitas ekonomi berbasiskan pesisir dan laut (kelautan) menjadi sangat penting bagi masa depan bangsa Indonesia. Pembangunan ekonomi dalam bidang kelautan belum menjadi mainstream pembangunan ekonomi Indonesia, walaupun demikian bidang kelautan yang terdiri dari tujuh sektor ekonomi, yakni perhubungan laut, industri maritim, perikanan, wisata bahari, energi dan Sektor ekonomi kelautan adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan/atau yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk mengha-silkan goods and services yang dibutuhkan umat manusia. Ibid Kildow, 2005 dalam Dahuri 2010 14 Sharif C. Sutardjo, Kebijakan Ekonomi Kelautan Dengan Model Ekonomi Biru Executive Summary Kebijakan Kelautan Dengan Model Ekonomi Biru, 2012. Hal 2 13

62

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Rusdianto

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

sumberdaya mineral, bangunan kelautan serta jasa kelautan, memiliki kontribusi sebesar 22,42% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2005. Nilai kontribusi ekonomi yang cukup signifikan tersebut diikuti dengan daya serap yang tinggi terhadap lapangan kerja seharusnya mampu mensejahterakan rakyat dan segenap komponen bangsa di tanah air. Namun karena komitmen pembangunan kelautan nasional yang masih terbatas mengakibatkan potensi yang dimiliki oleh bidang kelautan (fungsi dan sumberdaya) masih belum dikembangkan secara optimal. Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia memiliki potensi pembangunan ekonomi maritime dan perikanan yang sangat besar dan beragam. 15 Potensi kelautan Indonesia didalamnya dapat dipilah menjadi 4 kelompok sumberdaya kelautan yaitu Pertama adalah sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) antara lain perikanan, hutan bakau (mangrove), rumput laut (seaweed), padang lamun (seagrass) dan terumbu karang (coral reefs). Kedua sumberdaya alam tak terbarukan (non renewable resources) yakni minyak, gas bumi, timah, bauksit, biji besi, pasir kwarsa, bahan tambang, dan mineral lainnya. Ketiga, energi kelautan berupa energy gelombang, OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion), pasang surut dan arus laut. Keempat berupa laut sebagai environmental service dimana laut merupakan media transportasi, komunikasi, rekreasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan, pengatur iklim (climate regulator) dan sistem penunjang kehidupan lainnya (life-supporting system). 16 Potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia diperkirakan mampu mencapai US$ 1,2 triliun per tahun dengan penyerapan tenaga kerja berpotensi mencapai 40 juta orang. Dengan modal potensi kelautan tersebut, Indonesia memandang laut dapat menjadi tumpuan pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan (Firmanzah, 2012). Data organisasi PBB untuk program Lingkungan (UNEP, 2009) menyebutkan bahwa terdapat 64 wilayah perairan yang merupakan Large Marine Ecosystem (LME) di seluruh dunia yang disusun berdasarkan tingkat kesuburan, produktivitas dan pengaruh perubahaniklim terhadap masing-masing LME. Indonesia memiliki akses langsung kepada 6 wilayah yang mempunyai potensi kelautan dan perikanan cukup besar, yakni LME 34 – TelukBengala; LME 36 – Laut China Selatan; LME 37 – Sulu Celebes; LME 38 – Laut-laut Indonesia;LME 39 – Arafura – Gulf Carpentaria; LME 45 – Laut Australia Utara. Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga sektor kelautan dan perikanan mampu menjadi penggerak pembangunan ekonomi nasional. Laut sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa harusnya dapat dijadikan sebagai salah satu pilar utama untuk membantu mengakselerasi terwujudnya kemakmuran dankejayaan bangsa 15 Firmansyah (2013) Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-2, Januari 2013 ISSN: 2302-3589 101 http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax. Diakses pada 3 Januari 2015 16 Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

63


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Rusdianto

Indonesia.17 Tambahan pula, laut bagi NKRI juga memiliki makna dan fungsi yang sangat strategis, yaitu laut sebagai: (1) wilayah kedaulatan bangsa, (2) lingkungan dan sumberdaya, (3) media kontak sosial, ekonomi, dan budaya, (4) geostrategi, geopolitik, geokultural, dan geoekonomi negara, dan (5) sumber dan media penyebar bencana alam. Harus diakui bahwa hingga saat ini pembangunan ekonomi maritime Indonesia belum memberikan kontribusi yang signifikan atau optimal bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsanya. Hal ini dapat terlihat jelas bila membandingkan ratio luas laut dan panjang pantai terhadap besarnya kontribusi bidang kelautan untuk total Produk Domestik Bruto (PDB) nasionalnya. Sebagai gambaran, ekonomi kelautan Jepang mampu menyumbang hingga 48,4% bagi PDB nasionalnya (setara 17.552 miliar dolar AS), sementara Korea Selatan sanggup menyumbang hingga 37% bagi PDB nasionalnya, dan Vietnam bidang kelautannya memberikan kontribusi hingga 57,6% bagi PDB nasionalnya.18 Padahal ketiga negara diatas, luas lautan dan panjang pantainya relatif jauh lebih kecil dari Indonesia. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa sumberdaya kelautan yang dimiliki bangsa ini belum menjadi penggerak ekonomi nasional. 19 Disamping itu, pada kenyataan di lapangan, pembangunan kelautan Indonesia masih banyak dilakukan secara sektoral, parsial dan fragmented, yang mengakibatkan sering terjadi tumpang tindih dan konflik kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaannya. Kelautan Indonesia kedepan diharapkan dapat menjadi arus utama mainstream (arus utama) pembangunan nasional dengan memanfaatkan ekosistem perairan laut beserta segenap sumberdaya yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan (on asustainable basis) untuk kesatuan, kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Keinginan tersebut dijabarkan dalam lima tujuan yang harus dicapai, yaitu:20 (1) Membangun jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia, (2) Meningkatkan dan menguatkan sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (3) Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara, (4) Membangun ekonomi maritime secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan, dan (5) Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut. Guna mencapai pembangunan maritime nasional seperti harapan diatas, dengan melihat pencapaian kinerja pembangunan Undang-Undang RI No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea. 18 Peraturan Presiden RI No.78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Sujoko A. 2011. Akankah nelayan bebas dari kemiskinan. http:// opiniperikanan.wordpress.com. di akses tanggal 3 Januari 2015. 19 Evolusi Pem-bangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Evolusi Kelautan Nusantara. Bogor. 2013. Hal 4 20 Kusumastanto T. Makalah. Ocean Policy dalam Membangun Negara Bahari. PKSPL IPB Numberi F. 2009. 17

64

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Rusdianto

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

saat ini, maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar kelautan nasional dapat berperan lebih besar dan signifikan lagi, guna mempercepat terwujudnya bangsa Indonesia yang maju, mandiri, adil dan makmur. Atas dasar potensi sumberdaya kelautan yang dimiliki, sesungguhnya peran dan kontribusi kelautan Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dapat dinyatakan masih belum memadai. Hal ini terjadi, diantaranya disebabkankarena masih kurangnya dukungan politik yang kuat, baik dari lembaga eksekutif (Pemerintah) dan legislatif. 21 Selain itu, dalam melaksanakan pembangunan kelautan nasional masih terjadi mismanagement (salah urus), dilaksanakan secara parsial dan belum dilakukan secara komprehensif, terintegrasi, dan sinergis. Oleh karena itu, perlu meluruskan kembali pandangan dan cara-cara dalam membangun kelautan nasional melalui kebijakan dan strategi yang tepat, sistematik dan efektif, agar mampu menghantarkan bangsa Indonesia seperti yang di cita-citakan dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Secara umum pembangunan kelautan nasional yang diharapkan adalah:22 1. Pemanfaatan sumber daya kelautan yang seimbang, optimal, dan berkelanjutan sesuai potensi yang tersedia, baik secara spasial maupun temporal, serta sesuai dengan kaidahkaidah berlaku, baik tingkat regional maupun internasional. 2. Tingkat pendapatan yang layak dan kualitas hidup yang baik bagi sumberdaya manusia kelautan. 3. Sumberdaya manusia kelautan yang optimal, baik secara kuantitas maupun kualitas, dan bertaraf internasional. 4. Penyerapan tenaga kerja nasional yang maksimal Perundangan dan peraturan yangkuat dibidang kelautan. Industri kelautan nasional yang efisien dan berdaya saing. 5. Pembangunan kelautan yang sesuai dengan tata ruang dan berbasis kelestarian lingkungan. 6. Jumlah prasarana dan sarana kelautan nasional mampu mendukung aktivitas ekonomi maritime secara optimal dan memadai. 7. Kontribusi yang maksimal dan signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Nasional. 8. Koordinasi kerjasama pembangunan kelautan nasional yang efektif, sinergis danharmonis diantara 7 (tujuh) sektornya (perhubungan laut, industri maritim, perikanan, wisata bahari, energi dan sumberdaya mineral, bangunan kelautan,dan jasa kelautan) dan juga dengan sektor lainnya.

Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta. 2012 Hal. 22 22 Katinawati, Peran Asean Maritime Forum (Amf) Dalam Keamanan Perairan Di Asia Tenggara, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013 ejournal.hi.fisip-unmul.org Š Copyright 2013 21

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

65


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Rusdianto

Dengan konsep pembangunan ekonomi kelautan yang tepat dan pertumbuhanekonomi Indonesia di atas 6 persen dalam beberapa tahun terakhir. McKinsey (2012) yang menyatakan Indonesia berpeluang menjadi negara terbesar ke-7 di dunia pada tahun 2030 setelah Cina, Amerika Serikat, India, Jepang, Brazil dan Rusia serta mengambil alih posisi Jerman dan Inggris, dapat segera terwujud. Optimisme tersebut tentu perlu didukung visi ekonomi yang jelas dan implementasi pembangunan dengan tahapan yang benar, terukur dan berkelanjutan. Selain hal tersebut harus ada “grand strategy� bagi seluruh komponen bangsa serta manfaat pembangunan berupa kesejahteraan dinikmati segenap lapisan masyarakat secara adil untuk generasi sekarang dan yang akan datang.23 Kesimpulan Secara geografis Indonesia terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih 17.504 pulau. Tiga perempat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2), dengan panjang garis pantai 95.161 km, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (the biggest Archipelago in the World). Namun faktanya, pembangunan bidang kemaritiman dan ekonomi maritim selama ini masih jauh dari harapan. Pengelolaan sumberdaya kemaritiman dan ekonomi maritim membutuhkan kebijakan yang komprehensif, terintegrasi dan tepat sasaran, mengingat kawasan ini memiliki permasalahan, potensi dan karakteristik yang khas. Dengan lahir-nya UU No. 27 Tahun 2007, telah memberikan makna strategis sekaligus tantangan bagi implementasi pengelolaan sumberdaya kemaritiman dan ekonomi maritim di Indonesia. Hal yang paling penting untuk menjadikan kemaritiman dan ekonomi maritim sebagai sektor andalan pembangunan adalah perlunya perubahan paradigma pembangunan. Dimana pendekatan pembangunan selama ini yang lebih berorientasi darat, harus dirobah menjadi berorientasi kelaut, dengan lebih memperhatikan dan mengoptimalkan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Selain itu, dengan adanya desen-tralisasi dalam pengelolaan sumber-daya pesisir dan laut ke daerah (kabupaten/kota dan provinsi), maka upaya peningkatan kualitas SDM di daerah perlu dilakukan sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan kelautan dan perikanan nasional. Dengan adanya capacity building dan kemitraan dengan berbagai pihak maka implementasi konsep pengelolaan wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang terpadu akan terlaksana dengan baik. Sehingga kemaritiman dan ekonomi maritim Indonesia menjadi motor penggerak dalam pembangunan bangsa yang berbasis pada sosial micro finansial (keuntungan bagi masyarakat).

23 Syarif Cicip Sutarjo, Modul Model Kebijakan Ekonomi Kelautan Dengan Model Ekonomi Biru, Kementerian Prikanan dan Kelautan Republik Indonesia, Tahun 2012 Hal. 7

66

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Rusdianto

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Penutup Seiring hal tersebut diatas, maka industri dan jasa ekonomi maritim yang potensi untuk dikembangkan, seperti Galangan (pembuatan) kapal dan dock-yard, Industri mesin dan peralatan kapal, Industri alat penangkapan ikan (fishing gears) seperti jaring, pancing, fish finders, tali tambang, dll, Industri kincir air tambak (pedal wheel), pompa air, Offshore engineering and structures, Coastal engineering and structures, Kabel bawah laut dan fiber optics, remote sensing, GPS, GIS, dan ICT lainnya. Dengan demikian pemerintah dapat meningkatkan ekonomi yang mampu bersaing dengan ekonomi global atas potensi yang ada tersebut. Apalagi desawasa ini, sekitar 75% produk dan komoditas perdagangan di transportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$ 1.300 triliun per tahun. Mewujudkan pembangunan ekonomi maritime nasional yang berpegang teguh pada prinsip kepentingan nasional, keadilan dan manfaat sebesar-besarnya untuk bangsa dan rakyat Indonesia. Daftar Pustaka Depari, Eduard dan Mc Andrew, Collin, Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan, Yogyakarta, Gadjah Mada University :1991. Effendy, Onong Uchjana, Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan, Yogyakarta, Gadjah Mada University : 1987. Hettne, Bjorn, Komunikasi dan Modernisasi, Bandung, Alumni : 1982. Harmoko, Ironi Pembangunan di Negara Berkembang, Jakarta, Sinar Harapan : 1985. Malik, Dedy Djamaluddin, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Bina Cipta : 1991. Nasution, Zulkarimen, Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada : 2002 Rogers, Everett M dan Shoemaker, F Floyd, Komunikasi Sambung Rasa, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan : 1981. Dahuri R. 2010. Positioning Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Kelautan Nasional. Bahan Kuliah Umum di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT Manado. 206 Dahuri R, J. Rais, S. P. Ginting, M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sum-berdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paratima. Jakarta Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil-DKP. 2001. Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut 1982 Indonesia dengan panjang garis pantai 95.200 km dan 6 terumbu karang (Raja Ampat, Wakatobi, Tukang Besi, Bunaken, Gili IMT, dan P. Rubiah) dari 10 terumbu karang terindah di dunia, total devisa pariwisata nya hanya US$ 5 milyar (WTO 2008 dalam Dahuri 2010). Undang-undang No. 17 Tahun 2007 adalah pembangunan yang berkelanjutan

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

67


KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Show Case Ekonomi Kemaritiman Indonesia Berbasis Sosial Micro Finance

Rusdianto

Sharif C. Sutardjo, Kebijakan Ekonomi Kelautan Dengan Model Ekonomi Biru Executive Summary Kebijakan Kelautan Dengan Model Ekonomi Biru, 2012. Hal 2 Firmansyah (2013) Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-2, Januari 2013 ISSN: 2302-3589 101 http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax. Diakses pada 3 Januari 2015 Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil Undang-Undang RI No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea. Peraturan Presiden RI No.78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Sujoko A. 2011. Akankah nelayan bebas dari kemiskinan. http:// opiniperikanan.wordpress.com. di akses tanggal 3 Januari 2015. Evolusi Pem-bangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Evolusi Kelautan Nusantara. Bogor. 2013. Hal 4 Kusumastanto T. Makalah. Ocean Policy dalam Membangun Negara Bahari. PKSPL IPB Numberi F. 2009. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta. 2012 Hal. 22 Katinawati, Peran Asean Maritime Forum (Amf) Dalam Keamanan Perairan Di Asia Tenggara, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013 ejournal.hi.fisipunmul.org Š Copyright 2013 Syarif Cicip Sutarjo, Modul Model Kebijakan Ekonomi Kelautan Dengan Model Ekonomi Biru, Kementerian Prikanan dan Kelautan Republik Indonesia, Tahun 2012 Hal. 7.

68

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia Kumba Digdowiseiso Tenaga Ahli Statistik pada Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah ABSTRAK Tulisan ini secara empiris mencoba menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan upah dalam gender di Indonesia. Dalam melakukan analisa, penulis menggunakan metode dekomposisi yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Oaxaca (1973) and Blinder (1973) untuk data panel yang mengacu pada SUSENAS sepanjang periode 1990an dan era globalisasi pada periode tahun 2000an. Sebagai tambahan, penelitian ini akan berkontribusi pada perbandingan dampak pendidikan terhadap ketimpangan upah antar gender dalam konteks historis kondisi perekonomian, sebelum dan setelah periode globalisasi berlangsung. Kata Kunci: Pendidikan, gender, upah, globalisasi, Indonesia ABSTRACT The paper empirically analyses factors affecting gender wage gap in globalization in developing countries, the case of Vietnam and Indonesia. The research employs the extended model of decomposition method developed by Oaxaca (1973) and Blinder (1973) for panel data extracted from National household surveys in different economic reform phases in Vietnam and Indonesia, mainly domestic reform during the 1990s and mainly globalization during the 2000s. In addition, this study contributes the comparison of education impacts on gender wage gap in different economic context, without and with globalization. Key Words: Education, gender, wage, globalization, Indonesia

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

69


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

1. Introduction Theoretically, wage or remuneration is motivation of employees thus gender wage parity not only protects human right, but also liberates labor force and optimizes economic resource distribution, thereby fostering the whole economy. In addition, numerous countries in the world actually suffer the aftermath of gender wage gap, particularly developing and transition ones. Moreover, this gap roots from traditional men-first stereotypes and ideology which restrain women to access to education and thereby their remuneration. Existing researches have given rich evidences of positive relationship between education and gender pay equality. Furthermore, various economic reforms, such as domestic reform and globalization, will differently affect this gap and its determinants in general. Finally, in spite of this, transition and developing countries, like Indonesia, underinvest systematically in women education as well as gender-aware education policies. As a typical developing and transition economy, Indonesia has witnessed ‘a decade of policy reforms and transition towards democracy’ during the 2000s, following wage inequality on the rise between 1996 and 2009 (Makiko Matsumoto, 2011) and large wage disparities ‘both by gender and by industry are revealed in 2008’. There are some factors of this gap. Particularly, education is considered as the most important personal factor towards closing gender wage gap. In Indonesia, in the short run, ‘gender wage inequality can further widen if more highly educated workers join the wage employment market’ (Makiko Matsumoto, 2011). In addition, the impact of globalization on the gender wage gap is clearly complex, positive or negative, with contradictory ways of influence (Niklas P. & Heinrich W. U, 2011). This raises an interesting question that whether women benefit or suffer under changes of economic reform phases. And there still remained below research questions: i. Whether education is one of main factors to close gender wage gap; ii. How does the impact of education on gender wage gap change without and with globalization. Therefore the main objectives of the study are to answer the abovementioned question for the case of Indonesia. It empirically investigates factors affecting gender wage gap in globalization in these countries by employing the extended model of decomposition method developed by Oaxaca (1973) and Blinder (1973). The used panel data is extracted from National household surveys in different economic reform phases in Indonesia, mainly domestic reform during the 1990s and mainly globalization during the 2000s. In addition, this study contributes the comparison of education impacts on gender wage gap with other factors; without and with globalization. Literature Review

70

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Location, Socio-Economic Characteristics, Demography Aspects, and Type of Industry The most comprehensive study is conducted by Pirmana (2006) which disentangles the earning differential conditions between male and female workers in formal sectors in Indonesia before and after the economic crisis of 1998 took place. In determining earning differentials, the author uses Mincerian (1974) earnings equation to obtain the earnings gap between male and female. He then analyses the source of female and male earnings differentials by using decomposition analysis developed by Blinder (1973) and Oaxaca (1973). The results conclude several findings, as follows: (1). The Mincerian earnings equation shows that human capital factors (years of schooling and experience); socio-demographyeconomic characteristics (being household’s head, gender, marriage status, work sector); and location factors (urban-rural and province which individual reside and work), significantly affects individual earning in Indonesia; (2). The decomposing earnings inequality indicate that factor causing earnings inequality between “male” and “female” is about 41.6 percent caused by differences in endowment or observed characteristics such as educational achievement and working experience. On the other hand, most of the gap about 58.4 percent attributed to unobserved and unexplained factors. The author suggests that several aspects like culture, work efforts, government regulations, or whether the persons is the trade union members or not, and type of occupations might be the possible factors in determining earnings disparities in Indonesia; (3). There is an evident of inverted U-shape pattern in gender wage gap with respect to education. The gender earnings gap tends to decline when educational attainment goes up, reaches the peak at the postsecondary level and then tends to decrease afterwards. Skill and Reward In a specific study at micro level, Sakellariou (2009) investigates the changing wage distributions and wage inequality across the distribution of earnings, as well as the relative contribution to these changes on earnings endowments, generating from various characteristics such as skills and the reward (price). Interestingly, the author modifies the Oaxaca-Blinder (1973) decomposition method at the mean, in which the coefficients from a pooled model over both year-groups as the reference coefficients. The study concludes, as follows : (1). Mean earnings increased by about 35 percent between 1994 and 2001, however they grew moderately and unevenly in recent years with female wages increasing more than male wage; (2). In the earlier period (1994 – 2001), a little more than 50 percent of this increase is accounted by the change in characteristics. The main contributor to the effect of characteristics is education, reflecting the significant increase in education attainments and this prevails for women. In the second period (2001 – 2007) the contribution of changes in characteristics was driven by increasing education attainment, while the effect of changes in “prices” is dominated by developments in the

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

71


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

reward of more skilled occupations, contributing to increases in earnings. It was also found that the effect of skill is associated with increases in the endowment of higher skills, especially for women; (3). The results from counterfactual decompositions of the earnings distributions are interesting. Between 1994 and 2001, the substantial growth in the earnings of workers was accompanied by declining earnings inequality in urban areas as well as a development driven by the coefficients effect which is in favor of male workers, particularly at the lower part of the earnings distribution. In the period of 2001 – 2007, however the findings are drastically different. Adoption of New Technologies Lee and Wie (2013) shed some lights on the skill-biased technological change (SBTC) hypothesis that the demand for educated and skilled workers increases when there is an adoption in new technologies at the workplace. The authors argue that there is an effect on wage inequality by increasing the wage of more educated workers relative to less educated workers. They basically use National Labor Force Survey (Sakernas) data from 1990 to 2009 and employ the methodology of Katz and Murphy (1992) to analyze the movement of relative wages and relative supplies in Indonesia. There are several findings, as follows : (1). Female and less educated workers gained more than other groups in 1990s, however, their wages declined more than other demographic groups during the time of economic recovery in 2000s; (2). An increasing trend of relative supply of female workers was accelerated in 2000s suggesting that a decrease in female relative wage in 2000s; (3). The decomposition results in the public sector suggests that the demand for labor is not only affected by the market but also affected by political preferences; (4). Foreign technology embedded in imported material and FDI increases employment and wage bill of non-production workers. In addition, further import of foreign technology can accelerate the skill-biased technological change in Indonesia. Education Another specific study conducted by Gunawan (2012) only attempts to reveal the effect of additional years of schooling on individual earnings and how pivotal role of education in final earnings of workers, using human capital model developed by Mincer (1974). In this research, he make some modifications that earning is a function of education, experience, and other personal characteristics such as marital status and number of dependent children. Then, the human capital earnings equations are estimated using standard Ordinary Least Square to compute rates of return to education with separate regressions for male and female. The finding shows that education variables significantly affect earnings, in which the variable of no schooling and sub-primary education are negatively correlated with earnings.

72

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

In addition, the estimated coefficients reveal that the effect of education on earnings is larger as education level increases. One suggests that the variable of University makes the highest return among other level of education, while sub-primary education gives the lowest return on education between male and female workers. The result also shows that females earn more income than males in all levels of education, in which a female worker with university education shows the highest level of earning differential. Globalization Some studies link globalization on gender wage gap in Indonesia. The latest one comes from Fitrania (2013) in which the author observes gender inequality in Indonesia in terms of gender wage gap and analyzes its relation on globalization. The author argues that the inclusion of globalization, which refers to the impact of integration in a large economy, has inspired governments to undertake market-oriented reforms that can support them in maintaining high and sustainable export rates needed for economic growth. Hence, it is estimated that globalization may have different effects on male and female wages, which causes a significant gap. The findings confirm on several conclusions, as follows : (1). All proxies of globalization is positively and significantly correlated with occupational gender wage gap. By using FDI as the globalization proxy, an increase of 1 percentage point in income will result in 3.55 percentages point increase in the gender wage gap in high/higher income group of provinces and 3.28 percentages point in low/lower income group. When using trade ratio, 1 percentage point increase in income will lead to 6.26 percentages point and 3.16 percentages point increase in the gender wage gap in high/higher and low/lower income group of provinces, respectively. Finally, when using openness index, 1 percentage point increases in income will respectively lead to a rise of 5.04 percentages point and 3.18 percentages point in the gender wage gap at high/higher and low/lower income group; (2). Human capital differences presented by the observable skills can only explain a small part of the total raw wage gap. When the occupational heterogeneity in the Mincerian regression is controlled, the explanatory power of human capital differences is significantly reduced. Moreover, there are some decreases in the explained part of the raw wage gaps. Hence, the occupational gender wage gap seems to compensate for unobservable human capital differences to some extent, while the residual wage gap only controls for observable human capital differentials. Methodology review In 1973, the decomposition method was developed by Oaxaca (1973) and Blinder (1973) which is recently popularly applied for estimation of labor market discrimination, including gender wage gap. This method is continuously developed by Neumark (1988), Cotton (1988), Blau and Kahn (1994), Juhn (1991), Jenkins (1994), and Appletone,

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

73


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

Hoddinott, and Krishnan (1999) 1. Recently, this method has been one of the most popular methods which is applied most (Blau and Lawrence, 1992; Blau and Lawrence,1994; De la Rica et al. 2005; Pham and Reilly, 2006; Eva Franson et al, 2010; Thomas et al., 2008 2; Hipólito Simón,2012; Eva Fransen et al, 2012; etc.) because it allows researcher to decompose the change in the gender wage gap into, firstly, changes due to gender-specific characteristics, and secondly, changes due to the expanding of the wage structure. Starting with a simple unadjusted model of wage determination as follows: ln wit = Xit βit + εit, (1) where wit denotes the natural logarithm of weekly wages for an individual i at year t Xit presents a set of observed characteristics, βit denotes the regression coefficients, and εit is a random error term. Then the human capital wage equation is estimated by Mincer (1974) like: ln wit = Xit βit + Dit γit + εit, (2) where Dit =1 if women and otherwise is men γit is the coefficient of the gender dummy variable The men’s and women’s wage functions are measuared separately like that: Ln wmit = X mit β fit +ε mit Ln wfit = X fit β fit +ε fit (3) where m denotes men and f is women. By subtracting the second equation from the first equation, a simple difference of log mean wage between men and women can be measured: Ln wmt - Ln wft = X mt β ft - X ft β ft +ut (4) Oaxaca (1973) and Blinder (1973) then developed decomposition approaches to separate the gender wage differential into components caused by two factors: If men as the reference group: Ln wmt - Ln wft = (X mt- X ft )β mt + (β mt - β ft) X ft +ut If women as the reference group: Ln wmt-Ln wft = (Xmt-X ft )β ft +(βmt-βft)Xmt+ut (5) The difference of gender wage gap is decomposed into two terms in the right hand side of the above equation: i) gap due to differences characteristics which could be observed between men and women, named “observed X’s” or “observed gender gap in characteristics”; ii) unexplained wage gap caused by the differences of coefficients or returns to characteristics X, named “gender discrimination” However, the problem of this Blinder-Oaxaca decomposition is that decomposition is unstable depending on the choice of the group (men or women). Then Neumark (1988) generalizes the decomposition like that: 1

Decomposition of the Change in the Gender Wage Gap, Research in Business and Economics Journal, 2002 2 Wage Inequality in International Perspective: Effects of Location, Sector, and Gender

74

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Ln wmt-Ln wft = (Xmt-X ft )βt +(βmt-βt)Xmt+(βft-βt)Xft+ut (6) where βt is the non-discriminatory wage structure. In (6) the decompose is devided into three terms, including: i) The first term is the gender wage gap caused by differences in characteristics; ii) The second term is the gap due to difference of factual and the pool returns for male: iii) the third one is the gap due to the difference of factual and the pool returns for female. The non-discriminatory wage structure is identified based on which wage is considered competitive one. That is, if men are paid competitive wages while women are underpaid, the coefficient of men is considered the non-discriminatory wage structure. Otherwise, the women coefficient could be the non-discriminatory wage structure. In order to further extended to the decomposition of change over time, from year t-j to year t, the Blinder-Oaxaca‘s decomposition could be developed (Le & Miller, 2004; Smith & Welch 1989) such that: g(Ln wt) - g(Ln wt-j) = (Ln wmt-Ln wft) - (Ln wmt-j-Ln wft-j) = (dXm-dX f)βmt +(dβmdβf)Xft-j+gXt-j*dβmt-j + dXf*gβft +du (7) when male as the reference group and Where dβm =(βm t -βm t-j), dβf =(βf t –βf t-j), dXm=(Xmt-X mt-j ), dXf=(Xft-X ft-j ), gXt=( Xmt-X ft), gβt=(βmt-β ft); gXt-j=( Xmt-j-X ft-j), gβt-j=(βmt-j-β ft-j); du=ut-ut-j In the equation (7) the decomposition of gender wage gap conclude 4 terms in the right hand side as follows: i) The first term denotes the change in wage gap caused y changes in the characteristics between men and women; ii) The second term denotes the difference in the wage gap results from changes in the coefficient or discrimination; The final two terms represent the interaction effect which is the mixture of the gender gap and changes over time: iii) The third term represent the interaction effect which represents changes over time of the coefficients weighted by the gender gap in time t-j. When male is used as the reference group, the positive term implies indicates an increase in the coefficient where males have an advantage;iv) The last term is an interaction term presents changes in characteristics over time weighted by the gender gap in the coefficient in time t. A positive value of the last term indicates growth in characteristics over time where they were disadvantaged in terms of the payoff. This model will be applied in this research. To present the impact of context with and without globalization, the research will use control variables which present for globalization and openness (more details are below). To investigate the link between the globalization and education impact, the interaction terms are applied, equation (1) is more specified as in the below equation: ln wit = Xit βit + γZ*Eit+ εit,

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

75


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

(1) where Z: globalization variables at commune level, and national level; E: Education variables Result Statistical Analysis Of Data The mean of wage earners’ characteristics and other relevant factors could be potential factors of gender wage gap. It could be seen that the mean of hour wage of male exceeds female in 1992. This condition remains consistent in the period of 1998, where mean of both wage earners’ characteristics fell around 316,000 for male and around 214,000 for women respectively. One thing that we should take into account of this finding is that the effect of Financial Crisis do matter for Indonesia. During 1991-1996, there was a rapid economic growth where four of five economic crisis countries (Indonesia, Malaysia, Korea, and Thailand), excluding Philippines, achieved annual growth rates greater than 7% (Collyns and Senhadji, 2002). The nature of the economic boom depends on free capital mobility internationally. Indonesia itself had fully liberalized in the 1970s. Thus, a combination of capital liberalization and financial market deregulation in an environment of successful economic growth allowed firms to get access of low cost external funding. Although they have experienced in a high current account deficits at that period, private capital inflows could finance its deficits. While inflation was generally low, there was a significant real exchange rate appreciation which then was avoided through a tight fiscal and monetary policy. This boom was then directed by banking sector into property and equity in which the exposure to the property sector accounted for approximately 25 to 40% of total bank loans in the ASEAN-3 economies (Goldstein, 1998). The highly-concentrated credit in housing sector increased the demand of its sector, as a result of the rapid pace of industrialization and urbanization in Asian countries, and therefore the property price rose. Pomfret (2009) took a view that during period of boom, the demand for office space increase which then followed by a rise in rent. At this point, firms started to increase supply as new office buildings were profitable. However, a rise in property prices made the ASEAN-3 economies vulnerable. Starting in 1996 when these countries’ growth of export began to weaken as they faced a fierce competition from China, and there were terms of trade losses due to a decline in world semi-conductor prices and a rise in oil prices (Collyns and Senhadji, 2002). In addition, Goldstein (1998) added that the external problems such as the quality of investment that was less impressive than the quantity and overproduction in certain industries (e.g. automobiles, steel, and lumber) that are important in Asian economies, could contribute to current account imbalances.

76

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

The effect of the slowing growth combined with the incipient investor that began to worry about the sustainability of growth created downward pressure for asset prices, particularly property. As many banks exposed heavily in this sector, non-performing loans (NPL) began to increase from 11.0 in 1997 to 20.0 in 1998, especially in Indonesia where the property market had started earlier in response to both increased supply following a construction boom and a tightening of monetary policy in 1994 (Collyns and Senhadji, 2002). All this empirical analysis might be the signal that could explain why mean of wage for both male and female workers are negatively correlated with GDP growth and FDI per GDP in 1998, respectively. Interestingly, the effect of inflation, trade per GDP, export value index, and industry value per GDP on mean of wage for both male and female workers are increasing in 1998. This condition seems plausible since the period of 1990s Indonesia started to develop a wide range of the so called “white elephant projects”. They are not only often large and expensive to build and take longer than originally estimated, but also form and “prestige” so dominate over function that the project never performs satisfactorily either in terms of stated role, unclear as it is often is, or financially (Scott, 1992). Such projects are characterised by a failure to meet anticipated attendance levels and frequently need repeated and expensive refurbishments that often cost more than their original construction. For example, automobile project in Indonesia. A rapid pace of industrialization could also be the factor that affect wage earner by sector, in which there was a shifting labour market from Agricultural, Forestry, Fishery and Construction to Commercial and Services sector in 1998. Interestingly, a process of industrialization which combines with a high degree of urbanization in Indonesia decrease the mean wage in urban area in the period of 1998. This condition seems plausible since an increase of both male and female workers in urban area creates excess supply of labor force, and thus some of them who are lucky in labor market will accept a job for a decent wage. Regarding on the age, in these survey, the average ages of female and male are about 32 and 35 years in 1998, respectively, which provide skills and experiences to obtain a relatively decent wage. Interestingly, the marital status seems to give more advantage to women than men. This condition is very similar with the one happens in Bachelor/College graduate. However, the situation will likely in favor of both men and women workers in terms of Senior High School graduate since the minimum qualification in job market requires this kind of graduate. With respects to skill, the number of both men and women in parliament house is slightly in favor of women, in which the overall trend in the period of 1992 and 1998 is decreasing. There is a dramatic improvement in terms of mean of wage for both male and female workers in the period of 2002 – 2004, in which gender wage gap still exists and in favor of male workers. The magnitude of senior high school remains strong, the same as the period

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

77


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

of 1992 – 1998, but it tends to favor of men, while the number years of schooling is improving in favor of women. Interestingly, marital status was in favor of men in the period of 2002 – 2004. This argument seems plausible when male has more hours to work than women due to a menstruation and give birth period. Commercial and services are still dominant in terms of salary, where it favors to women than men. Similarly, urban area also gives more advantage to women due to a high number of labor force in male as well as the improvement of female education indicator, especially in college and university degree. Turning to globalization and openess indicators, overall there are a positive magnitude, in which export value index and FDI per GDP show an improvement from the period of 2002. Meanwhile, trade per GDP and industry value per GDP remain stable at the value of 59 and 44, respectively. In addition, there is a dramatic decrease in Net ODA per capita and inflation in 2004. In 2008, there is a rapid rise in mean of wage for both male and female workers, which still favors male workers. Interestingly, there is a shifting paradigm in education sector in which Junior High School graduate is very dominant in the labor market. Number years of schooling improved significantly in 2008, however if it is compared to the period of 2002 – 2004, this number reflect a decrease in educational equality. In terms of economic sector, both male and female workers are still dominant in commercial and services, however the magnitude shows a decrease in 2008. Also, in terms of skill, the member of house representatives and urban area are still in favor of female workers. Meanwhile, there is a slight improvement of Trade per GDP, Industry Value per GDP, GDP Growth, and FDI per GDP, and it followed by a dramatic rise in Export Value Index. Other variables such as Inflation and Net ODA per capita are falling in 2008. Basically, there is an evident of sub – prime mortgage crisis in 2008. The consumption-led growth in housing sector explained the huge current account deficits experienced by the U.S. from 2000 onwards. A combination between low interest rate and these factors was a determinant in increasing investment in the U.S. This capital inflow was then used to finance its current account deficits (Ee and Xiong, 2008). As the demand for housing increased, price of mortgage soared. At the time, there was a competition between mortgage companies and bank to develop subprime loan products with slackening credit standard and borrowing rate, leading to a principal-agent problem (Hedlund and Kahn, 2009). One of these was the “piggyback loans” which enabled low and middle income families to buy a house with a very low down-payment. Another product was the “NINJA loans” granted to people with no income, no jobs, and no assets. Between 2004 and 2006, due to anticipation of inflation in the US economy in relation with a steady rise of housing prices, the Fed increased its interest rate 17 times from 1 per cent to 5.25 per cent (Murthy and Deb, 2008). Consequently, holders of residential mortgages saw their payments on their house loans rise. A rise in interest rates was a

78

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

disaster in the relation for banks that gave loans to subprime borrowers, thus the risk of foreclosure increased immediately. In principle, economic growth depends on the continued flow of credit. If investment falls, output and consumption will decrease and it will eventually bring the economy into recession, signed by a rise in unemployment rate. Therefore, the problems in the financial sector had finally spilled over into the real economy. The problem in the US real economy becomes a contagion effect when many Asian Countries like Indonesia holding their trade transaction in terms of US Dollar. However, Indonesia has successfully managed this kind of crisis due to a large current account surpluses and foreign exchange reserves, by maintaining inflation rate in relatively stable at 5 per cent. The only effect of the crisis at that time was decreasing number of official development assistance, since the primary focus of most developed countries was overcoming the crisis. Empirical Analysis Education and Gender Wage To investigate the impact of education at different levels on gender wage during two decades from 1992-2008, the regressions are conducted for separate gender. Generally, education is significant determinants of gender wage, the higher levels of education generally contribute higher return, with the consistently positive, significant and highest returns belonging to the highest level, college, university or higher education levels. The female with certificate of college or university or higher level will have wage higher than those without that certificate from about 155.5% in 1992, to 131,9% in 2008. In addition, generally female gains higher return to education than male at the same education level. There are only a bit change in 2002, 2004 with only vocational school above, having positive impact on wage, and mainly male gains higher education return. This finding a little bit similar with Behrman and Deolalikar (1991) findings in which they conducted research in Indonesia to calculate the rate of return of individuals based on semi-log formulation of the individual revenue function and observed based on sex differences by using a SUSENAS data in 1986. The results indicate that higher levels of education, the higher the rate of return on the individual. The rate of return in female is greater than rate of return in men, except for elementary education level. The rate of return on the type of vocational education is higher than that in individual public education, both men and women, also in both junior and senior secondary level. However, the comparison between same-sex vocational graduate showed woman has higher returns than man. Also, there are individual differences in the rate of return of women after high school education, but there are sharp differences in the male gender. For the case of factor education in the context of other factors of gender wage, the impact of education changes as in the below. The result is the differences wages received by women compared to men who have different levels of education, field work, household

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

79


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

characteristic such as marital status, household size, age, age_squared, macro economy condition such as trade balance (export and import), inflation, professional and skilled among years of different reform and globalization activities. Clearly, education is one of the most significant factors that determine worker wage. The strongest impact of education on gender wage is also expressed at the highest level of education, college or university or higher levels. Even under the context of other factors for the case of Indonesia, the dominant role of education on wage, especially in the favour trend for women is not changed. Female still have higher education return than the male in Indonesia, particularly at high school or college or higher education levels. In addition, primary school have more positive effects on gender wage than in vocational school. It seems suggest that the vocational education in Indonesia is not really effective. Using Susenas 1992 and 2008, we found that the higher the education the higher the growth of the wage in general. In 1992, we found that female worker with college or higher education having about 36% of wage increase compare to female worker that only complete high school. In 2002 , the differences wages received by women who have primary school education level, junior high school, senior high school and higher or college school compared to men at those education was around 8%, 14%, 27% and 29% respectively. Elfindri (2001) shed some light on the issue whether higher education will indirectly bring the consequences of the choices to individuals in finding employment jobs to earn higher incomes, which tend to be taken by educated workers. The very low level of individual returns received by workers with primary school education and junior high compared to workers with secondary and higher education is also suspected due to the low quality of education they received (in the past) where the quality of education in the past is exactly what will be enjoyed by the workers at the present time. Other conditions that cause low rate of return of individual workers with completed primary and secondary school is apparently due to the current job market requirements, both government and private sector, which only receive a minimal of diploma workers for various types of work, even though the type of work does not require it. Regarding factors relevant to learning by doing, experience is a consistent and positive factor of wage for both genders, but generally more favourable for female. While aging may affect productivity levels, then affect gender wage for various reasons. On the one hand, older workers are thought to be more reliable and to have better skills than average workers. On the other hand, older workers have higher health care costs, lower flexibility in accepting new assignments and then may be less suitable for training (Barth et al., 1993). On this case we are using age between 16 years to 65 years. In addition, we found that age have a positive effect on wage growth, age show experience, other than education experience also plays significance role in determining wage. Older worker tend to have higher salary than their juniors and also because older people at productive age usually

80

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

already at the top position level. However there is gap between male and female worker by age. We also found that the coefficient of male worker wage growth is higher than women. We assumed that the older the woman, the more she has to concerned to her family. Woman has a different life cycle and role compared to man. However, the effect of age is not continuously increase, but in the convex form, with the negative and significant coefficient of variable of age squared. At occupation factors, there is a fluctuation in the effects of being professional and skilled during 2000s. After being the same in 2002, positive and significant for both gender, more favourable for female, the effect of the skilled keeps the same trend in 2004, then mitigates in for male but stronger for female in the covered economic time of 2006, finally reverses to negative and significant in difficult time back in 2008. While the effect of the professional turns to insignificant in 2004, 2006 for female and male, respectively. Then the effect is back and stronger in 2008, more favourable for female. It could imply that the professional will be the destination of any occupation for future sustainable development. For factors of reform and openness, industrialization in Indonesia which is proxy by working at Industrial sector seems to contribute both female and male worker’ wage, except from 2006. We found compare to male, female workers have more advantageous working in this sector. Usually at this sector women playing as management level as secretary, accountant while the blue-collar workers mostly male worker. It is show that for women working in this sector is a good opportunity. After claimed that Indonesia economy had overcomed the asia economics crises in 2002, Indonesia enjoyed positive economics growth in 2006. Beside economics side, the socioeconomics side is also growing. In 2006, education still played as significant factor that determine the wage. Compared to 2006, the Indonesia economy perform worse in 2008, since in 2008 there is subprime mortgage crises in United States of America that influences both domestic financial sector and real sector. Under this context, the wage of employees in industrial sectors is negatively affected, decreasing at 3.91%, 4,92% for male, and 37.69%, 17.75% for female in 2006 and 2008 respectively. It also suggests that in terms of wage, the female is more vulnerable than male under the economic shocks. Overall, the female is more sensitive to the environment, receiving more returns from reform as well as globalization, but also more suffer from economic shock or crisis. For other factors of reform and globalization, the net export contributes to gender wage during two decades, giving more to male in general. While the effect of inflation depends more directly on economic context, negative in shock or crisis in 2002, and positive in the recovering time, from 2006. In terms of cultural and geographical factors, working area have positive effects on wage growth, female worker have higher wage in urban areas compare to women in rural areas, however compare to male worker the coefficients wage growth of female worker is quite low in 1992. The coefficient of male worker in urban area is about 21.5% while female worker only 17.2% in 1992, the trend also show the same results in 1998, but then

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

81


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

reversed, favourable for female from 2002. According to Todaro (1994), various studies were specifically conducted to analyze the process of migration from different countries have documented the existence of a positive relationship between the level of educational attainment with the size of the tendency of people to migrate from their home villages to the cities. Basically someone who is highly educated will face higher wage rate difference (between the modern sector and the traditional sector in the city in the village). Besides, it also has the possibility or a greater opportunity to get a job in the modern sector of the high-income. Marital status could be barrier for female worker to increasing its wage. In Indonesia is commonly known that marriage allowances receive by household head which usually are male. In 2006 show that marital status has negative impact on female wage growth while male worker enjoyed benefits from marital status. Marriage status for male worker will increase their wage by 14%, why decrease female wage by 13.09% in 2006. However, in 2008 though economics not in good performance the equality between female and male worker seems increasing. It is shown by positive coefficient for both female and male workers. The female worker with married status will increasing their income by 5.8% while its counterparts, male worker, gained increasing about 14%. Though the number positive for both gender but increasing in female worker only is less than a half compared to male worker. It is show that although we gradually enjoyed the equality, the gap between gender due to marital status still exists. Thus, increasing women's education not only increase productivity on farms and in factories, but also increase labor force participation, later marriage, lower fertility, and improved health and nutrition of children. Beside marital status, house hold size also affects the income. In Indonesia at early 1960’s we implemented unclear family program, which means that house-hold size only consist of parents and two children. The program successfully implemented and the population growth was slower. In labor side, this policy adapted that children allowance is only given until the second child while for civil servants is until the third child. In 2006 we found that if the worker’s family has only 4 family members or less the wage increases positively, and the increase for female worker is even higher than male worker. Thus, people who are less capable with a large number of families, providing education from primary to secondary school level have greater trade off than those who have a background of high income. Basically, it can be seen in terms of opportunity cost. For those who are less able to school, the only option is helping their parents to find the money, where they get the inadequate facility. The quality of teaching usually differs from those with high income backgrounds, which led to the results obtained from the school do not have significant influence on the level of income of the poor. In the end, many poor peoples usually drop out of school at the primary level.

82

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Determinant of Gender Wage Gap In Indonesia During 1992-2008 Applying the John Murphy Pierce model to decompose individual differentials of factors on gender wage gap of Indonesia, the below results are expressed by each two years: 1992 vs. 1998; 2002 vs. 2004; and 2006 vs. 2008, respectively. In addition to the factors of education, the factors relevant to learning by doing, Occupation, reform and globalization, culture and geography are taken into account. Besides, this variable specification also support for the comparison of education effects with others. In general, the gender wage inequality in Indonesia has been fluctuated during nearly two decades, deeply decreased at nearly 8.3% during 1992-1998, the decade with significant difficulties as well as strong reform, then more deeply around 12.8% during 1998-2002 (from 47.09% to 34.95%), then lighter reduction at 1.43% during 2002-2004, finally with the most deeply reduction, around 16% during 2006-2008. These periods are considered the strongest recover time in Indonesia. In particularly, the fluctuation of unobserved/residual gap which includes the gender discrimination, seems decide the fluctuation trend of the gap when D and U have the same sighs in all periods. It implies the important role of gender discrimination ideology in the wage gap in Indonesia. In terms of education effect, this factor always reduces the gender wage gap during last two decades. Among determinants of gender wage gap, the education is considered the most consistently negative effect on gender wage gap, from –0.0193 in period 1992-1998 to -0.0569 in the period 2006-2008. In other words, the education continuously improves the positive and important role in reducing the gender wage inequality during two past decades, under the context of reform and globalization. In the group of education variables, the strongest effects belong to education level of college, bachelor, master, doctor or higher level. This highlights the solution for women in fighting for gender equality is education, especially for the level off college or higher. It is streamly important when the impact of education seems more increasing at the end of this decade, and the price of female’s comparative education factor is higher, when Pe of Education factor group still keep negative value, from -0.0026 during 2002-2004 to -0.0140 during 2006- 2008. In comparison with other factors in terms of reducing gender wage gap, the education factor ranks the first in general. The factors of learning by doing have higher impact in narrowing gender wage inequality once, during 1992-1998, reducing 3.38% inequality. However the sign of this effect is not consistent. In the context of the Asia crisis in 2002, financial crisis in 2007, not only factors of learning by doing, but also those of occupation, reform and globalization, turn to increase the gender wage gap. Also, the factors of reform and globalization in Indonesia seem to not cover the equality really successfully, during the recent decades, the reform and globalization have increased the gender wage gap, 0.21% during 2002-2004, and 0.85% during 2006-2008. Those factors are harmful for gender wage discrimination includes industrialization and inflation which is usually going with

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

83


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

unsustainable economic growth. Therefore, the impact of context is important on gender wage gap. In addition, the economic reform in Indonesia has not covered successfully the social benefit in terms of gender wage equality. Policy Implications and Recommendation There are some development policy considerations that can be drawn from this study in a bid to decrease the gender wage gap. If developing countries such as Indonesia want to achieve an egalitarian society with a more equitable distribution of income amongst gender, economic policies should be more targeted at educational expansion and equal access to education sector. One of the solution is raising the effectiveness of implementation of fiscal decentralization at local and provincial government in Indonesia, since it constitutes almost 70 – 85 per cent of their income (Ministry of Home Affairs, 2013). Thus, we hope that a better implementation of fiscal decentralization will improve the quantity and quality of public service delivery, which in turn decrease a gender inequality phenomenon. The intense discussion on the fiscal decentralization has been continued for long time among the economist and bureaucrats of Indonesia. The main issue of their interest is the impact of fiscal decentralization on public welfare indicators such as economic growth, unemployment, poverty, Human Development Index, as well as Gender Development Index. One of the reasons is that fiscal decentralization is believed as an effective tool for local autonomy in managing economic activity and the efficiency of public expenditures such as Education. Since 2001, Indonesia allocated almost a third of national revenues to sub national governments in implementing fiscal decentralization policy that is very crucial in Indonesia. Intergovernmental Fiscal Transfer is allocated from National Budget (APBN) to finance sub national governments need. The objectives of Intergovernmental Fiscal Policy are to reduce fiscal gap between central and sub national government (vertical fiscal imbalance) and among sub national governments (horizontal fiscal imbalance). According to Widhiyanto (2008), intergovernmental transfer can take two general forms. Intergovernmental transfer can be conditional grants and unconditional grants. Conditional grants place any various kinds of restrictions on their use by the recipient, on the other hand unconditional grants are the lump sum transfers to be used in any way the recipient wants. Intergovernmental transfer is intended to maintain consistency and continuity on implementation of regional autonomy and fiscal decentralization. It consists of Balancing Fund, Special Autonomy and Adjustment Fund. Basically, an efficient and effective of local and provincial government spending will be the key to the success of development of a nation. Any amount of income will be less meaningful if the spending patterns are not oriented to the interests of society. To get the

84

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

optimum positive effects, we need a good local and provincial planning and budgetting system. From the above explanation, a successful integration of a gender-based development into local and provincial planning and budgetting system must satisfy several conditions, namely : (1) involve all relevant stakeholders, both government and non-government, and (2) involve various levels of government or the state administration. In the first condition, the process of formulating the concept of gender-based development should be a process of open interaction and cross-systemic actors. That is, the stages of dissemination, dialogue, discussion, and public policy hearing / consultation should be carried out intensively and conducted jointly between all stakeholders. The core of the planning process is to combine the two grooves planning process, ie, between the government as the executive and non-government, which is facilitated by the legislature. The integration and synchronization between the two forms of the plan ultimately comes down to the public in the decision to create regional development policies and strategies that supported the agreement of all development actors. While the second condition, the drafting process is a two-way leveling process that combines bottom-up planning forms ranging from village level, district / city to the province - and the top-down policy ranging from provincial, district / city, district , up to the village. In line with argument to obtain an optimum budgetting system, taxation as a part of provincial and municipal revenue is one of very important instrument in fiscal decentralization, as it reflects how much revenue authorities held at a regional governmental level. Aside from being a source of income, the tax is also an instrument for managing demand and supply of local public goods, instruments to measure the transparency and accountability of regional government to the public, and instruments to influence consumer behavior / local public. Tax authorities possessed by a level of government has several levels, from simply picking up or administrative authority, the authority of determining rates, up to the authority to determine the type and the tax base. In most lower level authorities, local governments are given the authority to levy (delegates). In the scheme of fiscal decentralization in Indonesia, local governments are given the authority to levy and tariff determination is limited (maximum rate specified by law ) to some kind of local tax that is prescribed by law. This causes the area only has a very limited instrument for managing the revenue function, although in reality, many areas passed a law to levy taxes that impact on high-cost economy. The low local tax revenues are demonstrated by the data that contributes revenue to the budget is only less than 10 % at municipal level and below 21 % at provincial level, respectively. One of the important problems in the area of taxation is that both provincial and municipal governments are not given a significant source of tax revenue to be reliable instruments in response to regional and local public goods and the demand for

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

85


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

accountability to voters. If Indonesia wants to move towards a better fiscal decentralization by strengthening local capacity, the strengthening of local tax is an important condition that must be implemented. The second solution is related to the reinforcement of regional development concept. Regional development is the utilization of all resources to improve the welfare of people, both in terms of income, employment, attempted field, access to policy-making, as well as competitiveness. As a sub - system in national development, the regional development should no longer be regarded as an added value in national development, but if explored further, regional development should be seen as leverage completely and thoroughly to create a multiplier effect for national development. One of the keys to strengthening the national economy in order to improve the welfare of the people with justice is to ensure that the national economy can grow sustainably. However, national economic growth certainly needs to be supported by economic growth in each region, which are not only high quality but also necessary. In addition, within the framework of the macro economic, regional development policies need to be supported by some in creating stability, both in the area of economic, social, and political. Basically, Indonesia's economic growth momentum is relatively good in the third quarter of 2013, amounting to 5.62 per cent. It needs to remain focused in achieving equitable distribution of justice by providing equal opportunities to all communities to participate in development and enjoy the fruits of development, inclusively. One effort is necessary to continuously carried out by the Central Government and Local Government to achieve equitable equalization is to implement a pro – poor growth strategy. Affirmative policies and benefits outreach is the key factor in encouraging the equitable distribution process among other targets by expanding both coverage and benefits of the program as a whole . REFERENCES Appleton, S., J. Hoddinott, et al. (1999). “The gender wage gap in three African countries.” Economic Development and Cultural Change, Vol. 47 , No. 2, pp. 289-312. Behrman, Jere and Deolalikar, Anil. 1991. “School Repetition, Dropouts, and The Rates of Return to schooling: The Case of Indonesia”. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, Vol. 53, No. 4 Blau, F.D., L.M. Kahn (2006) The U.S. Gender Pay Gap in the 1990s: Slowing Convergence, Industrial & Labor Relations Review 60(1): article 3 Burger, R., D. Yu (2006) Wage Trends in Post-Apartheid South Africa: Constructing an Earnings Series from Household Survey Data, in South African Reserve Bank, Labour Market Frontiers, October, No. 8: 1-8 Blinder, Alan S. 1973. “Wage Discrimination: Reduced Form and Structural Estimates” .Journal of Human Resources, No. 8

86

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Kumba Digdowiseiso

The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Blinder, A.S. (1973). “Wage Discrimination Reduced Form and Structural Estimates.” Journal of Human Resources, Vol. 8, No. 4, pp. 436-455. Collyns, Charles and Senhadji, Abdelhak. (2002). “Lending Booms, Real Estate Bubbles, and The Asian Crisis.” IMF Working Paper 02/20 Ee, Khor Hoe and Xiong, Kee Rui. (2008). “Asia: A Perspective on the Subprime Crisis.” Journal of Finance and Development, (June 2008: 19-23) Elfindri. (2001). Ekonomi SDM. Padang : Andalas University Press Fitrania, S. N. 2013. The Impact of Globalization on Gender Wage Gap in Indonesia: A SubNational Level Analysis. Master Thesis of Economics, Tilburg University, Netherland, http://arno.uvt.nl/show.cgi?fid=129367 Goldstein, Morris. (1998). The Asian Financial Crisis: Causes, Cure, and Systemic Implications. (Washington, DC: Institute for International Economics) Gunawan, Eddy. 2012. “The Wage Effects on Education: An Analysis by Gender in Indonesia”. International Journal of Social Sciences and Humanities Studies, Vol. 4, No. 1 Juhn, C.; Murphy, K.M.; Pierce, B. (1993). “Wage inequality and the rise in returns to skill”, in The Journal of Political Economy, Vol. 101, No. 3, pp. 410-442. Katz, Lawrence F., and Kevin M. Murphy. 1992. “Changes in Relative Wages, 1963– 1987: Supply and Demand Factors”. The Quarterly Journal of Economics. Ed. February Lee, Jong-Wha and Wie, Dainn. 2013. “Technological Change, Skill Demand, and Wage Inequality in Indonesia”. ADB Economics Working Paper Series, No. 340 Matsumoto, Makiko and Verick, Sher. 2011. “Employment Trends in Indonesia over 1996 – 2009: Casualization of The labour Market During an Era of Crises, Reforms, and Recovery”. Employment Working Paper, No. 99 Mincer, Jacob. 1974. Schooling, Experience, and Earnings. Columbia University Press and NBER, New York Murthy, Bhanu and Deb, Ashis. (2008). “Sub-Prime Crisis in U.S.: Emergence, Impact, and Lessons.” Available online at http://ssrn.com/abstract=1303417 (20 April 2009) Neumark, D. (1988). “Employer´s discriminatory behaviour and the estimation of wage discrimination.” Journal of Human Resources, Vol. 23, pp. 279-295. Oaxaca, R. L. (1973). “Male-Female Wage Differentials in Urban Labor Markets.” International Economic Review, Vol. 9, pp. 693-709. Oaxaca, R. L. & Ransom M. R. (1999). “Identification in Detailed Wage Decompositions.” The Review of Economics and Statistics, Vol. 81, No. 1, pp. 154-157. Oostendorp, R. H. (2004). “Globalization and The Gender Wage Gap”. World Bank Policy Research Working Paper, No. 3256 Pham, T. Hung, Barry Reilly. (2006). “The Gender Pay Gap in Vietnam, 1993-2002: A Quantile Regression Approach.” PRUS Working Paper No.34 Pomfret, Richard. (2009). Lecture Note 22 on International Economic History. Presented on June 1 2009 at Horace Lamb Lecture Theatre

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014

87


The Impact of Education on Gender Wage Gap In Indonesia

Kumba Digdowiseiso

Rosenzweig, M. & Morgan, J. (1976). “Wage Discrimination: A Comment.” Journal of Human Resources, Vol. 11, pp. 3-7. Sakellariou, Chris. 2009. “Changing Wage Distributions and The Evolution of Wage Inequality in Indonesia : 1994 – 2007”. Economic Growth Center Working Paper Series, No. 2009/06 Scott, P. (ed.), 1992, A Herd of White Elephants: Some Big Technology Projects in Australia, Hale and Iremonger, Sydney. Simón, H. (2007). The Gender Pay Gap in Europe: An International Comparison with Matched Employer-Employee Data. ‖ Alicante, Spain: Universidad de Alicante. Widhianto, Imam (2008), “Fiscal Decentralization and Indonesia Regional Income Disparity, Ministry of Finance Republic of Indonesia.” Jurnal Keuangan Publik, 5(1), 2536.

88

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 4 | TAHUN 2014


Jurnal Pembangunan Daerah diterbitkan empat edisi dalam setahun oleh Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri dengan tujuan sebagai media referensi daerah membangun. Jurnal ini kiranya berfungsi juga sebagai media komunikasi dalam menyampaikan gagasan, pandangan, pengetahuan, dan pengalaman tentang pembangunan daerah yang meliputi perencanaan pembangunan daerah, pengembangan wilayah, penataan ruang dan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi daerah, dan penataan perkotaan, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan isu pembangunan daerah dan desentralisasi.

ALAMAT REDAKSI: Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp.: 021-7942651, 7942653 Website: www.bangda.kemendagri.go.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.