Kota di Persimpangan Jalan

Page 1


Kota di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan Strategi Pengendalian Emisi dari Sektor Transportasi Jalan di Kawasan Perkotaan Diterbitkan oleh: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), 2009

ISBN 978-602-8358-23-1 Isi dan materi yang ada dalam buku ini dapat direproduksi dan disebarluaskan dengan tidak mengurangi isi dan arti dari dokumen ini. Diperbolehkan untuk mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumbernya.

Pengarah

: Mohd. Gempur Adnan

Penanggung Jawab

: Ade Palguna Ruteka

Penyusun

: M. Didin Khaerudin Fitri Harwati John H.P. Tambun Mulia Dian Sugiarti Tri Indriastuti Shanty M.F. Syahril Harya Setyaka Dillon

Editor

: Armely Meiviana Shanty M.F. Syahril Fitri Harwati

Desain dan Tata Letak

: www.hope-plus.com


Pengantar Saat ini sekitar setengah dari penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Kombinasi tingginya konsentrasi dan aktivitas penduduk di kawasan perkotaan tersebut berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara akibat emisi dari aktivitas sektor transportasi jalan. Hal ini diakibatkan pemenuhan kebutuhan pergerakan warga kota masih bertumpu pada kendaraan bermotor pribadi.

Di sisi lain, kenyataan memperlihatkan populasi sepeda motor dan mobil pribadi di Indonesia meningkat begitu pesat. Kemacetan juga kian kerap teramati di berbagai kota metropolitan dan kota besar. Ini berarti kota sudah semakin tergantung pada kendaraan bermotor pribadi dan cepat atau lambat ancaman pencemaran udara akan di depan mata. Beberapa kota metropolitan bahkan sudah pernah mengalami hari-hari dengan udara tidak sehat.

Oleh karena itu untuk mendukung seluruh kota di Indonesia dalam menghadapi persoalan pencemaran udara tersebut maka Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) menerbitkan buku “Kota di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan Strategi Pengendalian Emisi dari Sektor Transportasi Jalan di Kawasan Perkotaan�. Lebih jauh buku ini diharapkan dapat membantu Pemerintah Kota untuk berperan lebih strategis dalam program pengendalian pencemaran udara yang telah dikenal secara nasional dengan nama Program Langit Biru sejak tahun 1996.

Bila sebelumnya peran Pemerintah Kota dalam Program Langit Biru lebih dititik beratkan sebagai pelaksana kebijakan, maka kini sejalan dengan semangat otonomi daerah, Pemerintah Kota juga diharapkan berperan aktif sebagai perancang strategi pengendalian bagi kotanya masing-masing. Tentu diharapkan lahir strategi pengendalian yang efektif, menyentuh akar persoalan serta sesuai dengan karakteristik dan potensi lokal.

Kota di persimpangan jalan

i


Buku ini disusun dengan sistematika sedemikian rupa agar dapat memberikan pemahaman yang umum tapi menyeluruh bagi segenap jajaran Pemerintah Kota, tidak terbatas pada instansi lingkungan, tapi juga instansi perencana pembangunan dan sektoral. Bahkan buku ini diharapkan dapat bermanfaat pula bagi masyarakat guna berpartisipasi mewujudkan udara bersih.

Buku ini menjelaskan mulai dari hal yang paling mendasar yakni proses terjadinya pencemaran udara pada Bab 1, serta faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya emisi dari sektor transportasi pada Bab 2. Hingga prinsip dan elemen strategi pengendalian pada Bab 3 dan Bab 4. Pada Bab 5 disajikan pula ringkasan peraturan perundang-undangan yang terkait.

Pemahaman menyeluruh ini diharapkan dapat membangkitkan kesadaran Pemerintah Kota untuk bersinergi menyusun strategi pengendalian emisi sektor transportasi jalan dengan melibatkan masyarakat. Nantinya dalam proses perumusan strategi, Pemerintah Kota disarankan untuk menggali informasi lebih mendalam dari beragam pustaka lainnya maupun para narasumber ahli.

Akhir kata, saya mengundang Saudara sekalian untuk melakukan uji coba sederhana di kota masing-masing. Cobalah berjalan kaki di kota Saudara, cukup sekitar 15 menit saja. Apakah Saudara merasa keselamatan terancam atau terintimidasi oleh kendaraan bermotor yang lalu lalang? Apakah Saudara merasa sesak saat bernafas? Apakah Saudara masih menemukan taman untuk beristirahat atau justru semua ruang kosong bahkan hingga trotoar dan sisi jalan sudah digunakan untuk parkir kendaraan bermotor?

Bagaimana jawabannya? Bila Saudara merasa aman dan nyaman, maka bayangkan apakah 5 atau 10 tahun mendatang Saudara masih akan merasakan hal yang sama?

ii

Kota di persimpangan Jalan


Sementara bila Saudara merasa tidak aman dan tidak nyaman, maka itu pertanda awal bahwa sesuatu perlu dilakukan untuk mengendalikan kendaraan bermotor di kota Saudara, karena sejatinya pembangunan kota ditujukan untuk kebahagiaan manusianya dan bukan untuk mengakomodasi pertumbuhan kendaraan bermotor.

Jakarta, November 2009

Mohd. Gempur Adnan Deputi MENLH Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan

Kota di persimpangan jalan

iii


Ucapan Terima Kasih Kementerian Negara Lingkungan Hidup ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pakar dan segenap pemangku kepentingan berikut yang telah berpartisipasi dan memberi masukan konstruktif dalam tiga forum konsultasi yang diselenggarakan terkait dengan penyusunan buku ini.

Jakarta (9 Juli 2008) - Cecep Aminudin, Dollaris R. Suhadi, Ellen Tangkudung, Endra Atmawidjaya, F. Trisbiantara, Marco Kusumawijaya, Mia Amalia, Sudarmanto B.N, Tory Damantoro, Yayat Supriyatna, Wicaksono Sarosa.

Semarang (28-29 Agustus 2008) - Agus SMT, Brigida M., Budi, Cipto, Endang Pratiwi, Harsoyo, Nurweni, Riri Fs.Indarlin, Sriwurni, Sujoko, WT. Nurindah, Yuni Hastut (Bapedalda Kota); Lilin Budiarti, M. Farcha (Bappeda Kota); Busono W (BLH Provinsi); Tuti Ekawati (Dinkes Kota); Imam Sukoco (Dishub Kota); Budi SR (Distaman Kota); Hartono (DPKD kota); Rosid Hudoyo (DPU Kota); M. Sulistyowati (Infokom); Nuraeni (Polwiltabes Kota); Catur Hadik S. (Patiro Semarang); Anita Ratnasari, Maryono, Okto R.M, Indro Sumantri, Haryono S. Hodoyo (Universitas Diponegoro); Djoko Sutiyono (UNIKA Soegiyopranoto); Sodang (Cakra TV); Herpin (Kompas); Adit (Radar Semarang); Kowari (Sindo); Ariel (SMART FM); Anhar (Suara Merdeka) ; Restu (TVKU); Berkah Wahyudi.

Surakarta (25-26 November 2008) – Triyanto (Bappeda Kota); Daliman (BLK); Sutikno S. (DKK); Ari Wibowo, Judoyo (DLLAJ Kota); Saryanto (DPU Kota); Taviana (DTK); Rusdan Aziz (Kecamatan Banjarsari); Dwi Apriliana S. (Kecamatan Jebres); Haryati (Kecamatan Laweyan); Siswanto (Kecamatan Pasar Kliwon); Lukito, Diyah R. (Kecamatan Serengan); Bambang W., Boni, Desi Elita, Edy S., M. Ndandung Kusumo, Sultan N., Supono (KLH Surakarta); Choirul S. (YLIH); Pranoto, Syarif H.M. (PPLH UNS); Suyatno (PT. KA. Solo); Novita Razak (Pusreg. Jawa); Djoko Sutiyono (Unika Soegiyopranoto); J. Pramono; Suci Budiati.

iv

Kota di persimpangan Jalan


Daftar Isi Pengantar

i

Ucapan Terima Kasih

iv

Daftar Isi

v

Daftar Gambar, Tabel, dan Kotak

viii

Daftar Istilah

xi

1. Apa yang menjadi persoalan?

1

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?

3

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar

6

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan

8

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat

10

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian 1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara

15

2. Apa penyebab persoalan

18

23

2.1 Emisi per km kendaraan bermotor masih tinggi

26

A. Kualitas bahan bakar

26

B. Tingkat teknologi kendaraan bermotor

28

C. Perawatan dan pengujian emisi kendaraan bermotor

30

D. Kecepatan kendaraan bermotor

32

E. Perilaku mengemudi

34

2.2 Panjang perjalanan kendaraan bermotor terus meningkat

35

A. Urbanisasi

35

B. Jarak asal-tujuan

39

C. Tingkat aktivitas penduduk

42

D. Pilihan moda transportasi

42

3. Bagaimana mengendalikannya?

47

3.1 Pengendalian sebagai proses pembuatan keputusan menuju perbaikan A. Pengendalian: proses berkesinambungan menuju perbaikan

48 50

Kota di persimpangan jalan

v


B. Dasar pembuatan keputusan

54

C. Aktor pembuat keputusan

54

3.2 Lima prinsip dasar menyusun strategi pengendalian

58

A. Prinsip ke-1: membangun sinergi antar instansi pemerintah

61

B. Prinsip ke-2: melibatkan masyarakat

62

C. Prinsip ke-3: membangun visi bersama

64

D. Prinsip ke-4: menentukan target pengendalian

66

E. Prinsip ke-5: merumuskan strategi pengendalian yang menyentuh akar

persoalan dan mempertimbangkan karakteristik kota

4. Strategi pengendalian

68

73

4.1 Elemen ke-1: bahan bakar yang lebih bersih

77

4.2 Elemen ke-2: teknologi kendaraan bermotor yang lebih bersih

78

4.3 Elemen ke-3: pengujian dan perawatan emisi kendaraan bermotor

80

4.4 Elemen ke-4: manajemen kebutuhan transportasi

83

A. Penataan ruang berorientasi transit

87

B. Peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum berorientasi transit

92

C. Revitalisasi fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor

94

D. Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi

95

E. Fasilitas parkir dan melaju (park and ride)

97

F. Contoh penerapan manajemen kebutuhan transportasi di beberapa kota 97

5. Tinjauan hukum 5.1 Undang-undang Dasar 1945

107

5.2 Perundang-undangan lingkungan

108

A. UU No. 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

108

B. PP No. 41/1999: Pengendalian Pencemaran Udara

109

5.3 Perundang-undangan perencanaan pembangunan dan sektoral

vi

105

113

A. UU No. 5/1984: Perindustrian

113

B. UU No. 22/2001: Minyak dan Gas Bumi

114

C. UU No. 25/2004: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

114

Kota di persimpangan Jalan


D. UU No. 26/2007: Penataan Ruang

115

E. UU No. 22/2009: Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

116

5.4 Perundang-undangan pemerintahan daerah

117

Daftar Acuan

121

Rekomendasi Situs Terkait

125

Kota di persimpangan jalan

vii


Daftar Gambar, Tabel, dan Kotak Gambar Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara

2

Gambar 1.2: Proses terjadinya pencemaran udara

4

Gambar 1.3: Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)

9

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

12

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007

13

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

14

Gambar 1.7: Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor

19

Gambar 2.1: Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya beban pencemar dari

emisi gas buang kendaraan bermotor

25

Gambar 2.2: Perbandingan antara standar spesifikasi bensin dan solar yang berlaku

dengan yang dibutuhkan

27

Gambar 2.3: Perkembangan penurunan ambang batas emisi gas buang yang berlaku

di Negara Uni Eropa

29

Gambar 2.4: Tingkat kelulusan uji emisi gas buang mobil pribadi di jalan

tahun 2007

32

Gambar 2.5: Perilaku mengemudi yang agresif

34

Gambar 2.6: Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan moda transportasi

36

Gambar 2.7: Jumlah penduduk 10 kota terbesar di Indonesia tahun 2004

37

Gambar 2.8: Perbandingan suburbanisasi antara Jabodetabek dengan

kota-kota lain

40

Gambar 2.9: Perkembangan jumlah penduduk di DKI Jakarta dan Jabodetabek

viii

tahun 1971-2000

41

Gambar 2.10: Perbandingan emisi CO2 antar moda transportasi

43

Gambar 2.11: Perbandingan kebutuhan ruang antar moda transportasi

44

Gambar 3.1: Pengendalian ketinggian muka air dalam bak

49

Gambar 3.2: Siklus pengendalian

51

Gambar 3.3: Skema proses pembuatan keputusan dalam pengendalian

54

Gambar 3.4: Aliran informasi antara pemerintah dan masyarakat

63

Gambar 3.5: Tata aliran kegiatan untuk menentukan target pengendalian

67

Gambar 4.1: Elemen pengendalian emisi sektor transportasi jalan

74

Kota di persimpangan Jalan


Gambar 4.2: Konsep manajemen kebutuhan transportasi dan beberapa

contohnya

86

Gambar 4.3: Perbandingan pola penataan ruang

87

Gambar 4.4: Konsep kota bebas kendaraan bermotor pribadi

91

Gambar 4.5: Transjakarta mendapat prioritas, sehingga tidak ikut terjebak dalam

kemacetan

98

Gambar 4.6: Hari Bebas Kendaraan Bermotor di ruas Jl. Sudirman Gambar 4.7: Peluncuran Sego Segawe di Yogyakarta dihadiri ribuan pesepeda

99 100

Gambar 4.8: Transjogja menghubungkan pusat kota, bandara dan obyek wisata 100 Gambar 4.9: Jalur lambat khusus untuk sepeda dan pejalan kaki

di Jl. Slamet Riyadi

101

Gambar 4.10: Pusat kota di Eropa yang sebagian besar bebas kendaraan

bermotor pribadi

102

Gambar 4.11: Jalur khusus pejalan kaki dan pesepeda di Bogota

103

Gambar 4.12: Fasilitas parkir sepeda di Bogota

104

Gambar 5.1: Target pencapaian indikator SPM pengendalian pencemaran

udara

120

Tabel Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

8

Tabel 2.1: Hasil pemantauan kualitas bensin dan solar di Indonesia

tahun 2005-2008

28

Tabel 2.2: Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama berdasarkan

PermenLH No. 5/2006

31

Tabel 2.3: Kinerja lalu lintas di 12 kota tahun 2007

33

Tabel 2.4: Sebaran penduduk kota di Indonesia

37

Tabel 3.1: Indikator evaluasi perkembangan potensi emisi sektor

transportasi jalan

69

Tabel 4.1: Alternatif sistem uji emisi gas buang kendaraan bermotor lama

82

Tabel 5.1: Pembagian urusan pemerintahan subsubbidang pengelolaan kualitas

udara dan pengendalian pencemaran udara

118

Kota di persimpangan jalan

ix


Kotak Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia

6

Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor

11

Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor

16

Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara

21

Kotak 3.1: Tahapan perumusan kebijakan

52

Kotak 3.2: Stakeholder pengendalian emisi dari sektor transportasi jalan

56

Kotak 3.3: Hukum alam terkait dengan pengendalian pencemaran udara

59

Kotak 3.4: Tata pemerintahan yang baik (good governance)

60

Kotak 3.5: Peran instansi lingkungan

62

Kotak 4.1: Jaime Lerner, inovator pembangunan kota berkelanjutan

75

Kotak 4.2: Hirarki pengguna jalan

84

Kotak 4.3: Seoul, tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai

perubahan

Kotak 4.4: Sistem angkutan umum massal

88 93

Kotak 5.1: Peraturan perundang-undangan terkait dengan pengendalian

pencemaran udara

Kotak 5.2: Program Langit Biru

x

Kota di persimpangan Jalan

106 111


Daftar Istilah Ambang batas emisi gas buang adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang dihasilkan dari pipa gas buang kendaraan motor yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien. Baku Mutu Udara Ambien atau BMUA adalah ukuran batas atau kadar zat yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. BAPPEDA singkatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPENAS singkatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BBG singkatan dari Bahan Bakar Gas BBM singkatan dari Bahan Bakar Minyak Beban pencemar adalah zat yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/ atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai potensi mencemari udara ambien dalam suatu satuan waktu. BRT singkatan dari Bus Rapid Transit, yakni angkutan umum massal berbasis bus yang beroperasi pada bidang jalan dengan jalur khusus dan prioritas. CBD singkatan dari Central Business District atau pusat bisnis kota CO adalah karbon monoksida CO2 adalah karbon dioksida Daya dukung udara ambien adalah kemampuan udara ambien untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Daya tampung udara ambien adalah kemampuan udara ambien untuk mengatur keseimbangan zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya sehingga daya dukung udara ambien tidak terlampaui. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu (UU No. 32/2004, pasal 1). Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32/2004, pasal 1).

Kota di persimpangan jalan

xi


Emisi adalah zat yang masuk ke dalam udara bebas yang mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. ESDM singkatan dari Energi dan Sumber Daya Mineral HC singkatan dari Hidrokarbon. Hujan asam adalah hujan yang dianggap bersifat asam, menurut World Meteorology Organization (WMO) adalah jika rata-rata pH air hujan lebih rendah dari 5,6. Instansi lingkungan adalah instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau pengendalian dampak lingkungan. ISPU atau Indeks Standar Pencemar Udara adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan pada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan bermotor yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di wilayah Republik Indonesia. Kepmen LH singkatan dari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Keppres singkatan dari Keputusan Presiden. KLH singkatan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup LRT singkatan dari Light Rapid Transit, yakni angkutan umum massal dengan menggunakan rel ringan atau biasa dikenal dengan monorel. Manajemen Kebutuhan Transportasi atau Transport Demand Management adalah pendekatan untuk melayani kebutuhan transportasi dengan merekayasa agar kebutuhan transportasi tidak melebihi sumber daya yang dapat mendukungnya baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. MENLH singkatan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup

xii

Kota di persimpangan Jalan


Model dispersi adalah metodologi atau teknik numerikal yang dikembangkan atas dasar-dasar hukum fisika untuk memperkirakan penyebaran konsentrasi pencemar udara dalam waktu dan ruang sebagai fungsi dari distribusi emisi dan parameter meteorologi serta keadaan geofisik. Model ini berguna bagi para pengambil keputusan dalam pengendalian pencemaran udara, perencanaan transportasi dan perencanaan tata ruang. MRT singkatan dari Mass Rapid Transit atau angkutan umum massal NOx atau oksida nitrogen yang dapat berbentuk NO dan NO2, adalah gas yang menyebabkan gangguan pernafasan dalam kadar tinggi, terjadi akibat pembakaran pada kendaraan bermotor dan juga mesin berbagai industri. O3 adalah ozon permukaan. Pemerintah adalah termasuk di dalamnya eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan suatu organisasi yang dipercaya secara sah, untuk mengemban tugasmengendalikan dan mengatur tindakan masyarakat sehingga kesejahteraan kolektif masyarakat dapat dipromosikan sedangkan hak-hak istimewa individu tetap dilindungi. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (PP No. 41/1999, pasal 1). Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (UU No. 32/2009 Pasal 1). Pengendalian adalah pengawasan atas kemajuan (tugas) dengan membandingkan hasil dan sasaran secara teratur serta menyesuaikan usaha (kegiatan) dengan hasil pengawasan. Perangkat hukum adalah instrumen kebijakan, baik yang berbentuk hukum, peraturan maupun petunjuk. Permen LH singkatan dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup PM10 adalah partikel yang berukuran 10 mikron atau lebih kecil. PP singkatan dari Peraturan Pemerintah Renstra singkatan dari Rencana Strategis

Kota di persimpangan jalan

xiii


RPJM singkatan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah SO2 atau sulfur dioksida adalah gas berbau yang dapat menyebabkan iritasi pernafasan terjadi akibat pembakaran batubara, bahan bakar minyak dan bahan bakar fosil lainnya yang mengandung sulfur. Selain itu dapat juga berasal dari sumber alami seperti gunung berapi. Stakeholders adalah para pihak yang memiliki ketertarikan atau kepentingan terhadap suatu keputusan, baik sebagai individu maupun perwakilan suatu kelompok, termasuk pihak yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan tersebut. Status Mutu Udara Ambien atau SMUA adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi. Toksik adalah pencemar udara yang dapat menyebabkan kematian, gangguan kesehatan dan kerusakan janin pada makhluk hidup. Total Suspended Particulates atau TSP adalah konsentrasi debu. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya (PP No. 41/1999, pasal 1). Urbanisasi adalah persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. UU singkatan dari Undang-undang Wewenang pemerintahan adalah hak atau kekuasaan yang sah berdasarkan kaidah-kaidah hukum publik untuk melakukan perbuatan pemerintahan dan menjalankan fungsifungsi jabatan dan/atau organ pemerintah dalam upaya penyelenggaraan pencapaian tujuan negara (Warlan, 2004). WHO singkatan dari World Health Organization

xiv

Kota di persimpangan Jalan


1. Apa yang Menjadi

Persoalan?

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas, manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor, memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil, berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

1


Aktivitas manusia

Jumlah kendaraan meningkat

Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya. Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat. Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun. Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

2

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan kendaraan bermotor.

Apa yang menjadi persoalan?


Dampak Pencemaran Udara :

Aktivitas manusia terganggu

. gangguan kesehatan . pemanasan global . kerugian ekonomi

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1 ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara? Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Kota di persimpangan jalan

3


4

Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.2 Proses terjadinya pencemaran udara


Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat, partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia. Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3). Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun. Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

5


Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia, seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 20022005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut. Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah setempat. ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005 ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di lima kota tersebut tercemar.

6

Apa yang menjadi persoalan?


Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia (tahun 2002 – 2005) Kategori

Medan

Jakarta

Bandung

Semarang

Surabaya

2002 Baik

55

22

62

179

44

Sedang

266

223

241

124

266

Tidak Sehat

22

95

4

4

11

Sangat tidak sehat

0

4

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

22

21

58

58

44

2003 Baik

128

18

76

82

49

Sedang

208

223

176

226

208

Tidak Sehat

0

67

11

1

2

Sangat Tidak Sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

29

57

102

56

106

2004 Baik

135

18

64

60

74

Sedang

148

264

54

239

132

Tidak sehat

6

12

0

0

6

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

79

71

247

66

153

2005 Baik

24

29

40

229

21

Sedang

0

270

14

83

175

Tidak sehat

0

18

0

0

0

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

341

48

311

53

165

Tidak ada data

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat, 2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Kota di persimpangan jalan

7


Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No

CO

HC

2007 2008

2007 2008

NO2

SO2

O3

PM10

TSP

2007

2007 2007

Kota

1

Medan

2

Palembang

3

Jakarta Utara

4

6

Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat

7

Jakarta Pusat

8 9

2007

2008

2007

2008

x

x

x

x

x

x

x

Bekasi

x

x

x

x

x

x

x

Depok

x

x

x

x

x

x

x

10

Tangerang

x

x

x

x

x

x

x

11

Bandung

12

Yogyakarta

13

Semarang

5

14

Surabaya

o

15

Denpasar

o

16

Makassar

o

o

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Keterangan : Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tidak diukur pada tahun 2007

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut. Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

8

Apa yang menjadi persoalan?


Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Jumlah penduduk

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025) 2025 2020 2015 2010

Tahun

2005 2000 1995 1990 1985 1980 1975 1970 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Urbanisasi (%) Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008). Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat perkotaan.

Kota di persimpangan jalan

9


Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki, naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak 1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

10

Apa yang menjadi persoalan?


Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi menghasilkan oksidan fotokimia (O3). Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya. Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun, kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata, emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Kota di persimpangan jalan

11


jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

2 Kendaraan bermotor pribadi terus bertambah

1

3

Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

Sudah tergantung pada kendaraan bermotor pribadi

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya, justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih besar.

12

Apa yang menjadi persoalan?


Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007 50

45

40

35

Jumlah (juta unit)

30

25

20

15

10

5

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

1989

1988

1987

0

Tahun

Bis

Truk

Mobil

Sepeda Motor

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

Kota di persimpangan jalan

13


Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk. Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006). Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat. Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

14

Apa yang menjadi persoalan?


oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri, rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990 masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai 56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu: (i)

zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang terdiagnosa menderita kanker. Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200 kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan (Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun 1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Kota di persimpangan jalan

15


Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

16

Apa yang menjadi persoalan?


selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron. Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan. Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Kota di persimpangan jalan

17


asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak kehidupan biota di badan air (sungai/danau). Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan, meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan perekonomian di sebuah kota. Namun pada akhirnya justru berbalik memberikan kerugian ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78 milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004). World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

18

Apa yang menjadi persoalan?


Kota di persimpangan jalan

19

Gambar 1.7 Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor


ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara. Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah, justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya. Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju. Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve) seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang efektif. Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

20

Apa yang menjadi persoalan?


Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama. Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Gambar kurva lingkungan Kuznet Tingkat pencemaran udara

Tahap 0 Mulai industrialisasi

Tahap 1 Mulai pengendalian

Tahap 2 Kualitas udara stabil

Tahap 3 Perbaikan kualitas udara

Tahap 4 implementasi teknologi bersih

Panduan kualitas udara ambien WHO

Rendah

Tinggi

Tingkat pembangunan

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar hingga kualitas udara membaik terjadi karena: (i)

adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Kota di persimpangan jalan

21


Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

22

Apa yang menjadi persoalan?


1. Apa yang Menjadi

Persoalan?

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas, manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor, memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil, berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

1


Aktivitas manusia

Jumlah kendaraan meningkat

Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya. Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat. Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun. Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

2

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan kendaraan bermotor.

Apa yang menjadi persoalan?


Dampak Pencemaran Udara :

Aktivitas manusia terganggu

. gangguan kesehatan . pemanasan global . kerugian ekonomi

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1 ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara? Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Kota di persimpangan jalan

3


4

Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.2 Proses terjadinya pencemaran udara


Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat, partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia. Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3). Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun. Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

5


Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia, seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 20022005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut. Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah setempat. ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005 ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di lima kota tersebut tercemar.

6

Apa yang menjadi persoalan?


Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia (tahun 2002 – 2005) Kategori

Medan

Jakarta

Bandung

Semarang

Surabaya

2002 Baik

55

22

62

179

44

Sedang

266

223

241

124

266

Tidak Sehat

22

95

4

4

11

Sangat tidak sehat

0

4

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

22

21

58

58

44

2003 Baik

128

18

76

82

49

Sedang

208

223

176

226

208

Tidak Sehat

0

67

11

1

2

Sangat Tidak Sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

29

57

102

56

106

2004 Baik

135

18

64

60

74

Sedang

148

264

54

239

132

Tidak sehat

6

12

0

0

6

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

79

71

247

66

153

2005 Baik

24

29

40

229

21

Sedang

0

270

14

83

175

Tidak sehat

0

18

0

0

0

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

341

48

311

53

165

Tidak ada data

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat, 2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Kota di persimpangan jalan

7


Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No

CO

HC

2007 2008

2007 2008

NO2

SO2

O3

PM10

TSP

2007

2007 2007

Kota

1

Medan

2

Palembang

3

Jakarta Utara

4

6

Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat

7

Jakarta Pusat

8 9

2007

2008

2007

2008

x

x

x

x

x

x

x

Bekasi

x

x

x

x

x

x

x

Depok

x

x

x

x

x

x

x

10

Tangerang

x

x

x

x

x

x

x

11

Bandung

12

Yogyakarta

13

Semarang

5

14

Surabaya

o

15

Denpasar

o

16

Makassar

o

o

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Keterangan : Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tidak diukur pada tahun 2007

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut. Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

8

Apa yang menjadi persoalan?


Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Jumlah penduduk

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025) 2025 2020 2015 2010

Tahun

2005 2000 1995 1990 1985 1980 1975 1970 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Urbanisasi (%) Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008). Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat perkotaan.

Kota di persimpangan jalan

9


Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki, naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak 1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

10

Apa yang menjadi persoalan?


Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi menghasilkan oksidan fotokimia (O3). Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya. Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun, kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata, emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Kota di persimpangan jalan

11


jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

2 Kendaraan bermotor pribadi terus bertambah

1

3

Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

Sudah tergantung pada kendaraan bermotor pribadi

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya, justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih besar.

12

Apa yang menjadi persoalan?


Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007 50

45

40

35

Jumlah (juta unit)

30

25

20

15

10

5

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

1989

1988

1987

0

Tahun

Bis

Truk

Mobil

Sepeda Motor

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

Kota di persimpangan jalan

13


Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk. Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006). Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat. Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

14

Apa yang menjadi persoalan?


oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri, rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990 masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai 56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu: (i)

zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang terdiagnosa menderita kanker. Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200 kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan (Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun 1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Kota di persimpangan jalan

15


Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

16

Apa yang menjadi persoalan?


selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron. Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan. Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Kota di persimpangan jalan

17


asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak kehidupan biota di badan air (sungai/danau). Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan, meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan perekonomian di sebuah kota. Namun pada akhirnya justru berbalik memberikan kerugian ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78 milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004). World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

18

Apa yang menjadi persoalan?


Kota di persimpangan jalan

19

Gambar 1.7 Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor


ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara. Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah, justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya. Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju. Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve) seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang efektif. Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

20

Apa yang menjadi persoalan?


Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama. Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Gambar kurva lingkungan Kuznet Tingkat pencemaran udara

Tahap 0 Mulai industrialisasi

Tahap 1 Mulai pengendalian

Tahap 2 Kualitas udara stabil

Tahap 3 Perbaikan kualitas udara

Tahap 4 implementasi teknologi bersih

Panduan kualitas udara ambien WHO

Rendah

Tinggi

Tingkat pembangunan

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar hingga kualitas udara membaik terjadi karena: (i)

adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Kota di persimpangan jalan

21


Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

22

Apa yang menjadi persoalan?


1. Apa yang Menjadi

Persoalan?

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas, manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor, memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil, berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

1


Aktivitas manusia

Jumlah kendaraan meningkat

Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya. Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat. Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun. Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

2

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan kendaraan bermotor.

Apa yang menjadi persoalan?


Dampak Pencemaran Udara :

Aktivitas manusia terganggu

. gangguan kesehatan . pemanasan global . kerugian ekonomi

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1 ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara? Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Kota di persimpangan jalan

3


4

Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.2 Proses terjadinya pencemaran udara


Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat, partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia. Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3). Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun. Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

5


Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia, seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 20022005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut. Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah setempat. ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005 ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di lima kota tersebut tercemar.

6

Apa yang menjadi persoalan?


Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia (tahun 2002 – 2005) Kategori

Medan

Jakarta

Bandung

Semarang

Surabaya

2002 Baik

55

22

62

179

44

Sedang

266

223

241

124

266

Tidak Sehat

22

95

4

4

11

Sangat tidak sehat

0

4

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

22

21

58

58

44

2003 Baik

128

18

76

82

49

Sedang

208

223

176

226

208

Tidak Sehat

0

67

11

1

2

Sangat Tidak Sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

29

57

102

56

106

2004 Baik

135

18

64

60

74

Sedang

148

264

54

239

132

Tidak sehat

6

12

0

0

6

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

79

71

247

66

153

2005 Baik

24

29

40

229

21

Sedang

0

270

14

83

175

Tidak sehat

0

18

0

0

0

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

341

48

311

53

165

Tidak ada data

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat, 2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Kota di persimpangan jalan

7


Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No

CO

HC

2007 2008

2007 2008

NO2

SO2

O3

PM10

TSP

2007

2007 2007

Kota

1

Medan

2

Palembang

3

Jakarta Utara

4

6

Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat

7

Jakarta Pusat

8 9

2007

2008

2007

2008

x

x

x

x

x

x

x

Bekasi

x

x

x

x

x

x

x

Depok

x

x

x

x

x

x

x

10

Tangerang

x

x

x

x

x

x

x

11

Bandung

12

Yogyakarta

13

Semarang

5

14

Surabaya

o

15

Denpasar

o

16

Makassar

o

o

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Keterangan : Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tidak diukur pada tahun 2007

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut. Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

8

Apa yang menjadi persoalan?


Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Jumlah penduduk

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025) 2025 2020 2015 2010

Tahun

2005 2000 1995 1990 1985 1980 1975 1970 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Urbanisasi (%) Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008). Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat perkotaan.

Kota di persimpangan jalan

9


Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki, naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak 1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

10

Apa yang menjadi persoalan?


Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi menghasilkan oksidan fotokimia (O3). Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya. Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun, kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata, emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Kota di persimpangan jalan

11


jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

2 Kendaraan bermotor pribadi terus bertambah

1

3

Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

Sudah tergantung pada kendaraan bermotor pribadi

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya, justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih besar.

12

Apa yang menjadi persoalan?


Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007 50

45

40

35

Jumlah (juta unit)

30

25

20

15

10

5

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

1989

1988

1987

0

Tahun

Bis

Truk

Mobil

Sepeda Motor

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

Kota di persimpangan jalan

13


Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk. Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006). Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat. Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

14

Apa yang menjadi persoalan?


oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri, rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990 masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai 56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu: (i)

zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang terdiagnosa menderita kanker. Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200 kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan (Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun 1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Kota di persimpangan jalan

15


Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

16

Apa yang menjadi persoalan?


selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron. Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan. Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Kota di persimpangan jalan

17


asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak kehidupan biota di badan air (sungai/danau). Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan, meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan perekonomian di sebuah kota. Namun pada akhirnya justru berbalik memberikan kerugian ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78 milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004). World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

18

Apa yang menjadi persoalan?


Kota di persimpangan jalan

19

Gambar 1.7 Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor


ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara. Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah, justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya. Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju. Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve) seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang efektif. Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

20

Apa yang menjadi persoalan?


Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama. Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Gambar kurva lingkungan Kuznet Tingkat pencemaran udara

Tahap 0 Mulai industrialisasi

Tahap 1 Mulai pengendalian

Tahap 2 Kualitas udara stabil

Tahap 3 Perbaikan kualitas udara

Tahap 4 implementasi teknologi bersih

Panduan kualitas udara ambien WHO

Rendah

Tinggi

Tingkat pembangunan

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar hingga kualitas udara membaik terjadi karena: (i)

adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Kota di persimpangan jalan

21


Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

22

Apa yang menjadi persoalan?


1. Apa yang Menjadi

Persoalan?

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas, manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor, memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil, berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

1


Aktivitas manusia

Jumlah kendaraan meningkat

Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya. Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat. Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun. Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

2

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan kendaraan bermotor.

Apa yang menjadi persoalan?


Dampak Pencemaran Udara :

Aktivitas manusia terganggu

. gangguan kesehatan . pemanasan global . kerugian ekonomi

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1 ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara? Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Kota di persimpangan jalan

3


4

Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.2 Proses terjadinya pencemaran udara


Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat, partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia. Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3). Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun. Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

5


Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia, seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 20022005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut. Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah setempat. ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005 ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di lima kota tersebut tercemar.

6

Apa yang menjadi persoalan?


Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia (tahun 2002 – 2005) Kategori

Medan

Jakarta

Bandung

Semarang

Surabaya

2002 Baik

55

22

62

179

44

Sedang

266

223

241

124

266

Tidak Sehat

22

95

4

4

11

Sangat tidak sehat

0

4

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

22

21

58

58

44

2003 Baik

128

18

76

82

49

Sedang

208

223

176

226

208

Tidak Sehat

0

67

11

1

2

Sangat Tidak Sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

29

57

102

56

106

2004 Baik

135

18

64

60

74

Sedang

148

264

54

239

132

Tidak sehat

6

12

0

0

6

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

79

71

247

66

153

2005 Baik

24

29

40

229

21

Sedang

0

270

14

83

175

Tidak sehat

0

18

0

0

0

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

341

48

311

53

165

Tidak ada data

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat, 2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Kota di persimpangan jalan

7


Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No

CO

HC

2007 2008

2007 2008

NO2

SO2

O3

PM10

TSP

2007

2007 2007

Kota

1

Medan

2

Palembang

3

Jakarta Utara

4

6

Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat

7

Jakarta Pusat

8 9

2007

2008

2007

2008

x

x

x

x

x

x

x

Bekasi

x

x

x

x

x

x

x

Depok

x

x

x

x

x

x

x

10

Tangerang

x

x

x

x

x

x

x

11

Bandung

12

Yogyakarta

13

Semarang

5

14

Surabaya

o

15

Denpasar

o

16

Makassar

o

o

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Keterangan : Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tidak diukur pada tahun 2007

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut. Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

8

Apa yang menjadi persoalan?


Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Jumlah penduduk

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025) 2025 2020 2015 2010

Tahun

2005 2000 1995 1990 1985 1980 1975 1970 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Urbanisasi (%) Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008). Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat perkotaan.

Kota di persimpangan jalan

9


Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki, naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak 1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

10

Apa yang menjadi persoalan?


Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi menghasilkan oksidan fotokimia (O3). Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya. Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun, kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata, emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Kota di persimpangan jalan

11


jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

2 Kendaraan bermotor pribadi terus bertambah

1

3

Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

Sudah tergantung pada kendaraan bermotor pribadi

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya, justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih besar.

12

Apa yang menjadi persoalan?


Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007 50

45

40

35

Jumlah (juta unit)

30

25

20

15

10

5

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

1989

1988

1987

0

Tahun

Bis

Truk

Mobil

Sepeda Motor

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

Kota di persimpangan jalan

13


Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk. Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006). Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat. Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

14

Apa yang menjadi persoalan?


oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri, rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990 masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai 56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu: (i)

zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang terdiagnosa menderita kanker. Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200 kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan (Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun 1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Kota di persimpangan jalan

15


Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

16

Apa yang menjadi persoalan?


selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron. Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan. Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Kota di persimpangan jalan

17


asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak kehidupan biota di badan air (sungai/danau). Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan, meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan perekonomian di sebuah kota. Namun pada akhirnya justru berbalik memberikan kerugian ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78 milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004). World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

18

Apa yang menjadi persoalan?


Kota di persimpangan jalan

19

Gambar 1.7 Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor


ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara. Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah, justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya. Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju. Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve) seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang efektif. Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

20

Apa yang menjadi persoalan?


Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama. Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Gambar kurva lingkungan Kuznet Tingkat pencemaran udara

Tahap 0 Mulai industrialisasi

Tahap 1 Mulai pengendalian

Tahap 2 Kualitas udara stabil

Tahap 3 Perbaikan kualitas udara

Tahap 4 implementasi teknologi bersih

Panduan kualitas udara ambien WHO

Rendah

Tinggi

Tingkat pembangunan

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar hingga kualitas udara membaik terjadi karena: (i)

adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Kota di persimpangan jalan

21


Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

22

Apa yang menjadi persoalan?


1. Apa yang Menjadi

Persoalan?

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas, manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor, memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil, berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

1


Aktivitas manusia

Jumlah kendaraan meningkat

Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya. Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat. Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun. Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

2

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan kendaraan bermotor.

Apa yang menjadi persoalan?


Dampak Pencemaran Udara :

Aktivitas manusia terganggu

. gangguan kesehatan . pemanasan global . kerugian ekonomi

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1 ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara? Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Kota di persimpangan jalan

3


4

Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.2 Proses terjadinya pencemaran udara


Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat, partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia. Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3). Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun. Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

5


Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia, seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 20022005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut. Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah setempat. ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005 ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di lima kota tersebut tercemar.

6

Apa yang menjadi persoalan?


Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia (tahun 2002 – 2005) Kategori

Medan

Jakarta

Bandung

Semarang

Surabaya

2002 Baik

55

22

62

179

44

Sedang

266

223

241

124

266

Tidak Sehat

22

95

4

4

11

Sangat tidak sehat

0

4

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

22

21

58

58

44

2003 Baik

128

18

76

82

49

Sedang

208

223

176

226

208

Tidak Sehat

0

67

11

1

2

Sangat Tidak Sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

29

57

102

56

106

2004 Baik

135

18

64

60

74

Sedang

148

264

54

239

132

Tidak sehat

6

12

0

0

6

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

79

71

247

66

153

2005 Baik

24

29

40

229

21

Sedang

0

270

14

83

175

Tidak sehat

0

18

0

0

0

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

341

48

311

53

165

Tidak ada data

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat, 2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Kota di persimpangan jalan

7


Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No

CO

HC

2007 2008

2007 2008

NO2

SO2

O3

PM10

TSP

2007

2007 2007

Kota

1

Medan

2

Palembang

3

Jakarta Utara

4

6

Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat

7

Jakarta Pusat

8 9

2007

2008

2007

2008

x

x

x

x

x

x

x

Bekasi

x

x

x

x

x

x

x

Depok

x

x

x

x

x

x

x

10

Tangerang

x

x

x

x

x

x

x

11

Bandung

12

Yogyakarta

13

Semarang

5

14

Surabaya

o

15

Denpasar

o

16

Makassar

o

o

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Keterangan : Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tidak diukur pada tahun 2007

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut. Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

8

Apa yang menjadi persoalan?


Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Jumlah penduduk

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025) 2025 2020 2015 2010

Tahun

2005 2000 1995 1990 1985 1980 1975 1970 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Urbanisasi (%) Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008). Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat perkotaan.

Kota di persimpangan jalan

9


Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki, naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak 1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

10

Apa yang menjadi persoalan?


Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi menghasilkan oksidan fotokimia (O3). Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya. Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun, kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata, emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Kota di persimpangan jalan

11


jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

2 Kendaraan bermotor pribadi terus bertambah

1

3

Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

Sudah tergantung pada kendaraan bermotor pribadi

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya, justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih besar.

12

Apa yang menjadi persoalan?


Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007 50

45

40

35

Jumlah (juta unit)

30

25

20

15

10

5

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

1989

1988

1987

0

Tahun

Bis

Truk

Mobil

Sepeda Motor

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

Kota di persimpangan jalan

13


Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk. Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006). Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat. Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

14

Apa yang menjadi persoalan?


oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri, rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990 masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai 56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu: (i)

zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang terdiagnosa menderita kanker. Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200 kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan (Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun 1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Kota di persimpangan jalan

15


Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

16

Apa yang menjadi persoalan?


selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron. Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan. Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Kota di persimpangan jalan

17


asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak kehidupan biota di badan air (sungai/danau). Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan, meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan perekonomian di sebuah kota. Namun pada akhirnya justru berbalik memberikan kerugian ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78 milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004). World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

18

Apa yang menjadi persoalan?


Kota di persimpangan jalan

19

Gambar 1.7 Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor


ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara. Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah, justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya. Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju. Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve) seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang efektif. Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

20

Apa yang menjadi persoalan?


Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama. Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Gambar kurva lingkungan Kuznet Tingkat pencemaran udara

Tahap 0 Mulai industrialisasi

Tahap 1 Mulai pengendalian

Tahap 2 Kualitas udara stabil

Tahap 3 Perbaikan kualitas udara

Tahap 4 implementasi teknologi bersih

Panduan kualitas udara ambien WHO

Rendah

Tinggi

Tingkat pembangunan

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar hingga kualitas udara membaik terjadi karena: (i)

adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Kota di persimpangan jalan

21


Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

22

Apa yang menjadi persoalan?


1. Apa yang Menjadi

Persoalan?

entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas, manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor, memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil, berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

1


Aktivitas manusia

Jumlah kendaraan meningkat

Emisi meningkat

Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya. Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat. Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun. Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

2

Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan kendaraan bermotor.

Apa yang menjadi persoalan?


Dampak Pencemaran Udara :

Aktivitas manusia terganggu

. gangguan kesehatan . pemanasan global . kerugian ekonomi

Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga turut meningkat.

Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1 ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.

1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara? Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.

Kota di persimpangan jalan

3


4

Apa yang menjadi persoalan?

Gambar 1.2 Proses terjadinya pencemaran udara


Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat, partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia. Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3). Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.

Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.

Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).

Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun. Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah pencemaran udara.

Kota di persimpangan jalan

5


Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia, seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.

1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 20022005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut. Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.

Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah setempat. ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005 ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di lima kota tersebut tercemar.

6

Apa yang menjadi persoalan?


Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia (tahun 2002 – 2005) Kategori

Medan

Jakarta

Bandung

Semarang

Surabaya

2002 Baik

55

22

62

179

44

Sedang

266

223

241

124

266

Tidak Sehat

22

95

4

4

11

Sangat tidak sehat

0

4

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

22

21

58

58

44

2003 Baik

128

18

76

82

49

Sedang

208

223

176

226

208

Tidak Sehat

0

67

11

1

2

Sangat Tidak Sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

29

57

102

56

106

2004 Baik

135

18

64

60

74

Sedang

148

264

54

239

132

Tidak sehat

6

12

0

0

6

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

Tidak ada data

79

71

247

66

153

2005 Baik

24

29

40

229

21

Sedang

0

270

14

83

175

Tidak sehat

0

18

0

0

0

Sangat tidak sehat

0

0

0

0

0

Berbahaya

0

0

0

0

0

341

48

311

53

165

Tidak ada data

Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).

Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat, 2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.

Kota di persimpangan jalan

7


Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008

No

CO

HC

2007 2008

2007 2008

NO2

SO2

O3

PM10

TSP

2007

2007 2007

Kota

1

Medan

2

Palembang

3

Jakarta Utara

4

6

Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat

7

Jakarta Pusat

8 9

2007

2008

2007

2008

x

x

x

x

x

x

x

Bekasi

x

x

x

x

x

x

x

Depok

x

x

x

x

x

x

x

10

Tangerang

x

x

x

x

x

x

x

11

Bandung

12

Yogyakarta

13

Semarang

5

14

Surabaya

o

15

Denpasar

o

16

Makassar

o

o

Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)

Keterangan : Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Data tidak lengkap

Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)

Tidak diukur pada tahun 2007

Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut. Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor demografi, ekonomi dan geografi.

1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.

8

Apa yang menjadi persoalan?


Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor

Jumlah penduduk

Potensi pencemaran udara di suatu kawasan

Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.

Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025) 2025 2020 2015 2010

Tahun

2005 2000 1995 1990 1985 1980 1975 1970 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Urbanisasi (%) Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)

Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008). Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat perkotaan.

Kota di persimpangan jalan

9


Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi pada kota-kota lain di dunia.

1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan sebagai transportasi (Morlok, 1978).

Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki, naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak 1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan perkotaan.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.

Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total

10

Apa yang menjadi persoalan?


Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi menghasilkan oksidan fotokimia (O3). Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya. Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun, kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.

Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata, emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.

Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata

Kota di persimpangan jalan

11


jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor

Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor

2 Kendaraan bermotor pribadi terus bertambah

1

3

Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas

Sudah tergantung pada kendaraan bermotor pribadi

per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.

Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya, justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih besar.

12

Apa yang menjadi persoalan?


Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan jumlah penduduk di Indonesia.

Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007 50

45

40

35

Jumlah (juta unit)

30

25

20

15

10

5

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

1989

1988

1987

0

Tahun

Bis

Truk

Mobil

Sepeda Motor

Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)

Kota di persimpangan jalan

13


Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan

Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk. Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006). Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat. Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM

14

Apa yang menjadi persoalan?


oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri, rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990 masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai 56% (Christiono, 2008).

1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.

Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu: (i)

zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui

daya tampung udara di sekitar.

(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga

ditemui adanya dampak kesehatan.

Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang terdiagnosa menderita kanker. Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200 kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan (Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun 1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.

Kota di persimpangan jalan

15


Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.

Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker.

Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.

Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm

16

Apa yang menjadi persoalan?


selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala pembengkakan paru (edema pulmonari).

Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron. Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata (visibility).

Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan. Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.

Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat

Kota di persimpangan jalan

17


asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak kehidupan biota di badan air (sungai/danau). Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan, meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).

Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan perekonomian di sebuah kota. Namun pada akhirnya justru berbalik memberikan kerugian ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.

Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78 milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).

Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.

1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004). World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan

18

Apa yang menjadi persoalan?


Kota di persimpangan jalan

19

Gambar 1.7 Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor


ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara. Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah, justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya?

Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya. Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju. Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve) seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang efektif. Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.

20

Apa yang menjadi persoalan?


Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama. Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah diberlakukannya kebijakan padat teknologi.

Gambar kurva lingkungan Kuznet Tingkat pencemaran udara

Tahap 0 Mulai industrialisasi

Tahap 1 Mulai pengendalian

Tahap 2 Kualitas udara stabil

Tahap 3 Perbaikan kualitas udara

Tahap 4 implementasi teknologi bersih

Panduan kualitas udara ambien WHO

Rendah

Tinggi

Tingkat pembangunan

Sumber: Peters dan Murray (2004)

Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar hingga kualitas udara membaik terjadi karena: (i)

adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan

(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.

Kota di persimpangan jalan

21


Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan.

Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.

22

Apa yang menjadi persoalan?



Kontak: Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber Bergerak Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Gedung B Lantai IV Jl. D.I. Panjaitan Kav. 24 – Jakarta 13410 Telp: 021 – 8591 1207 Fax: 021 - 8590 6678 Surel: emisikendaraan@menlh.go.id Situs: http://www.menlh.go.id

xvi

Kota di persimpangan Jalan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.