Edisi II, Januari-April 2018
Pemimpin Redaksi M. Dirgantara Anggota Redaksi Mawar Fatmah Nining Angreani Sitti Fatimah Ilustrator/Perancang GraďŹ s Endan Pratiwi Mashud A. Mubarok Marcelius Tomy Paskalis
Penata Letak Adien Gunarta Alamat Redaksi: Komunitas Penulis Pinrang Jl. Gajah No. 46 Pinrang, Sulawesi Selatan. majalahsalosaddang@gmail.com WA 0853-4291-4757
didirikan pada 2014 / Edisi II, Januari – April 2018 issuu.com/salosaddang
C E R I TA Renjana W E N DY F E R M A N A [05] Kisah si Suami Tolol N . N . [12] Bujung Lapakkita N. N. [13] Daedalus dan Icarus N . N. [15] PUISI Tangan Ayah, Si Satto, Sepuluh Pertanyaan untuk Ibu A D I T YA Gelis N U R U F FA D H I L A H M U S TA R I [20] Agnostik A N T O N I U S W E N D Y [20] Tungku (3) M AWA R FAT M A H [20]
P E R M A N A [17]
ESAI Tiga Mode Reeksi Toeti Heraty M . D I R G A N TA R A [21] Jatung Pendidikan dan Peningkatan Layanan untuk Siswa Penyandang Disabilitas B A H A R U D D I N I S K A N D A R [28] F E AT U R E Harapan dari Tepi Sawah F I T R AWA N ULASAN Kawan Lama Wendy Fermana M .
U M A R [31]
D I R G A N TA R A [33]
KONTRIBUTOR Aditya Permana adalah mahasiswa Sosiologi Agama, UIN Alauddin Makassar. Antonius Wendy sedang menyelesaikan pendidikan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma. Buku puisi pertamanya Anggur dan Abu (2017). Baharuddin Iskandar adalah guru di SMA Negeri 11 Unggulan Pinrang. Novel pertamanya, Atonia Uteri (2011), akan dicetak ulang dalam waktu dekat. Fitrawan Umar adalah penulis Yang Sulit Dimengerti Adalah Perempuan (2015).
Khaeriyah Nasruddin adalah penulis Risalah Kunang-Kunang (2016). Mawar Fatmah adalah mahasiswi Pendidikan IPA, Universitas Negeri Makassar.
M. Dirgantara adalah alumnus Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma. Nur Ikhsan Ismail adalah siswa SMA Negeri 11 Pinrang. Nurul Fadhilah Mustari tinggal di Pinrang.
Wendy Fermana adalah alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sriwijaya. Buku cerita pendek pertamanya Kawan Lama (2017).
RENJANA oleh Wendy Fermana
s
kau jawab sendiri hingga jalan itu telah kau putari enam kali. Pada putaran ketujuh kau berhenti untuk kemudian membiarkan dirimu tertawa. Tertawa yang puas hingga berderai-derai air mata. Menyadari betapa saat kau ingin sekali marah, ketika kau ingin mengutukngutuk ibu dan keluargamu, dan bahkan Sang Pencipta kalau perlu, sampai puas, kau justru menjalankan laku marah itu serupa ibadah, mengelilingi jalanan kota tujuh kali serupa jumlah tawaf kakbah. Mulanya kau berniat pulang, tetapi kau tidak ingin menjadikan putaran ini hanya tujuh kali. Kau ingin menghancurkan bilangan tujuh itu. Kau akan berputar lagi dan setelahnya mungkin akan menuju ke suatu tempat untuk berehat. Kembali kau pacu sepeda motormu. Ke arah utara kota, jalan yang kau tempuh melewati arena pusat olahraga. Ketika SMA dulu, kau sering mengajak Maharani jalan ke stadion sepak bola itu. Kau ajukan ajakan
etelah memacu bebek butut yang kau benci sekaligus kau sayangi sejauh sembilan kilometer ke satu-satunya warnet yang bisa kau temukan di ibu kota kabupaten untuk membuka akun pos-el demi menuntaskan pertanyaan ibumu, kau tak langsung pulang. Usai membayar—kau tertegun sebentar saat mendapati di dompetmu hanya tersisa beberapa lembar uang lima ribu dan seribu perak yang lusuh—biaya rental komputer berfasilitas internet dan mencetak hasil pengumuman dan surat-surat serta membeli sebuah amplop dokumen berwarna cokelat, kau berkeliling dengan motor bebekmu. Jalan raya beraspal yang melingkari kota itu kau susuri perlahan dengan perasaan yang hampa. Tiap kali sampai di titik pertama memulai perjalanan menjelajahi jalan lingkar itu, kau terus melontarkan pertanyaan yang sama yang terus-menerus tak sanggup
05
Edisi II, Januari-April 2018
di pasar. Kini, kau dapati rumah itu tak lagi terurus: tembok pagarnya berlumut, dindingnya kusam dengan jendela kaca yang pecah dan perabot yang mungkin tak sempat diangkut atau sengaja dibiarkan teronggok dengan posisi terguling di teras, macam rumah latar ďŹ lm horor. Dulu kalau kau sedang tak ada uang untuk melempari telur dan sial karena tak menemukan tomat busuk, kau lumayan sering mengencingi pagar rumah itu lalu kabur. Kau terpikir untuk menyemburkan kembali air kencing ke sana, tetapi kau menarik ke atas ritsleting celanamu yang telah terbuka. Kau memang masih berang, tetapi buat apa, tidak ada siapa-siapa lagi di dalam sana. Kau mengengkol sepeda motormu. Sepanjang jalan kau menghitung sekian pohon yang telah lenyap. Kau tak ingat utuh jumlahnya dahulu; kau sekadar mengira-ngira dengan mengaisngais ingatan tentang cerita-cerita horor yang pernah dituturkan kerabat atau kawanmu: di pohon beringin di depan sekolah itu ada hantu perempuan yang gentayangan mencari tas sekolahnya yang hilang, di pohon bodhi atau barangkali pohon beringin di depan kantor polisi ada hantu kompeni yang kerap terdengar meringkik macam kuda, di pohon beringin kurung atau mungkin pohon gayam dekat pasar ada hantu yang gemar menyapu-nyapu tengah malam, di pohon banyan atau barangkali pohon bodhi atau barangkali pohon beringin di lapangan markas tentara ada setan merah tanpa kepala, di pohon kayu ara atau mungkin pohon bodhi atau pohon apalah itu di depan rumah sakit milik yayasan pastoran ada hantu anak kecil yang selalu menangis dan sekali waktu iseng menampakkan diri dan mengganggu satpam yang berjaga atau pengemudi yang melintas. Kau memang tak ambil pusing dengan nasib pohon bodhi atau
maraton pagi atau jalan sore atau aerobik massal atau sekadar cari angin sebagai kemungkinan untuk membujuknya agar mau jalan berdua bersamamu. Melewati kembali gedung olahraga yang kini sebagian atapnya telah ambruk dan tiang-tiang beton hampir roboh itu membuat perasaanmu jeri, betapa yang kukuh akan telimpuh karena digerogoti waktu. Bayang-bayang masa lalu itu macam hantu, tak tampak, tapi mencengkeram kuat. Memori berlintasan, datang dan pergi, membuatmu berusaha mengingat-ingat, berapa kali kau berhasil bercumbu dengan Maharani di sana. Kau sendiri saat itu was-was dan takut andaikata Maharani menolak, lalu mendampratmu, dan menjerit-jerit pada orang-orang. Kau agak lupa bagaimana kau bisa menggiring Maharani melakukannya dengan tenang. Namun, sepertinya begini, awalnya kau melontarkan tema obrolan tentang alam semesta, membagikan pengetahuanmu mengenai berbagai benda antariksa—menurutmu itu mungkin yang membuatnya agak terpukau—dan membicarakan kemungkinan-kemungkinan soal kehidupan lain di angkasa luar, lalu semuanya terjadi begitu saja. Yang sangat kau ingat adalah kecanggungan dan penyesalan luar biasa setelahnya. Jalan hari itu cukup lengang. Seperti reeks saja, atau mungkin takdir yang memang telah digariskan, kau melalui jalanan yang sangat akrab dalam sejarah hidupmu: jalan rumahmu dulu, sebelum akhirnya kau dan ibumu menyingkir dari sana. Waktu baru-baru meninggalkan rumah itu, ketika kau tak bisa menahan murkamu yang meradang, sering kau bertolak ke sana dan melempari rumah itu dengan sekantong kresek telur pecah yang kau beli murah atau tomat-tomat busuk yang kau pungut dari bak sampah Cerita
06
ketiga, setelah melihat pengumuman nilai di kampus, kau frustrasi, berteriakteriak sepanjang jalan pulang menuju rumah indekos dan hampir mengempaskan diri ke sungai dengan terjun dari jembatan. Dengan predikat nasakom, beasiswamu dicabut. Badan mana pula yang rela menanggung mahasiswa dengan indeks prestasi kumulatif nasib satu koma? Semua rincian soal anggaran studimu otomatis beralih pada ibu, yang juga mesti memikul semua ongkos hidupmu selama di perantauan. Cuaca panas sekali: ketiakmu berkuah; kausmu basah oleh keringat. Kau terlintas untuk mengarahkan sepeda motormu menuju pasar, menemui seorang kawan. Suntuk sekali berkeliling tanpa tujuan jelas dan kepala pusing tujuh keliling karena berpikir keras sendirian; kau perlu teman mengobrol dan seketika kau teringat Rais. Kau ingin mengaku bahwa lebih baik bertahan di kota keparat ini dan mati dengan menyimpan mimpi ketimbang gentayangan ke seluruh penjuru dunia dengan sekian beban di pundak yang mesti ditunaikan, tapi tak kunjung mengerti untuk apa dijalani. Barangkali saat bertukar gagasan dengan Rais, kau dapat merancang rencana lain atau jalan lain yang bisa kau pilih. Siapa tahu kau bisa belajar langsung dari kawanmu yang memilih melanjutkan usaha keluarganya ketimbang menempuh sekolah—sebuah pilihan yang dulu kau cemooh, tapi kini kau pikir brilian. Siapa tahu kau bisa menilik-nilik apa saja yang diperlukan untuk membangun bisnis atau mencari peluang berdagang sesuatu yang menjanjikan dan dapat mendatangkan pundi-pundi uang. Ya, siapa tahu. Namun, kau lupa, tak ada lagi duit di sakumu, tabunganmu lenyap, sudah betul-betul menjadi rudin. Tidak sampai hati membiarkan orang lain jadi macam
mungkin pohon ara atau barangkali pohon banyan atau mungkin juga pohon gayam, ah apalah itu, yang jelas bentuk semua pohon itu serupa pohon beringin. Apalagi dengan sejumlah cerita keangkeran yang menyertai, biarlah hantuhantu itu kabur entah ke mana. Akan tetapi, kau masih saja terkesiap, pohonpohon peneduh yang telah puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun tumbuh sudah ditumbangkan dari seluruh penjuru kota, hanya dalam hitungan tujuh tahun sejak kau tinggalkan kota ini. Kau pernah punya angan-angan untuk kembali dengan sesuatu yang membanggakan, yang bisa membuat orang-orang di rumah itu tecengang dan meratapi borok yang telah mereka buat, sesuatu yang entah apa, sesuatu yang setelah bertahun-tahun seperti tak terwujud, sepertinya tak akan pernah terwujud. Kau kira jalan yang ditunjukkan ibu akan menuntunmu dengan gampang untuk menyongsong kegemilangan masa depan. “Kau harus jadi insinyur juga!� Dengan nilai-nilai di ijazahmu yang mengagumkan, skor ujian masuk perguruan tinggi di atas tuntas, dan raihan prestasi akademik serta ekstrakurikuler selama sekolah yang berderetderet seperti gerbong kereta api, kau dijamin mendapat beasiswa dan ditanggung segala macam biaya hidup selama menempuh studi di perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa, mulai dari pemondokan hingga uang buku dan uang saku. Namun, semua kemujuran itu tak bertahan lama, tak sampai tiga semester nilaimu sudah hancur lebur. Padahal semester pertama nilaimu nyaris sempurna; di kartu hasil studi hanya satu nilai B yang tertera. Semester kedua, memang B-mu masih tetap satu, tapi nilai mata kuliah lain menjadi taburan huruf yang membikinmu mengaduh. Semester
07
Edisi II, Januari-April 2018
Kau akan memboncengkan Maharani di belakang, mungkin kalian akan pergi ke stadion olahraga, dan sepanjang jalan kau akan bercerita soal perantauanmu atau kau akan membagikan kegundahanmu. Kau sudah selesaikan studi, tapi sungguh tak tahu, apa yang dapat kau lakukan setelah ini. Dunia seperti sebuah pintu yang terbuka, tetapi kau tak kuasa untuk melangkahkan kaki ke mana. Maharani menukas, “Sungguh kah pintu itu terbuka?” Kau menggeleng, memang tak ada yang terbuka, dan kau ingin merengek, tetapi malu. Maharani membentakmu, “Sudah tua!” Kau pun bersungut-sungut, kenapa ketika beranjak tua, orang-orang dewasa tidak boleh menangis. Padahal kau diam-diam kerap menangis, bahkan tak mengenal waktu. Kadangkala ketika asyik berkumpul atau bercakap-cakap akrab dan seru, kau sering mengamati gerakan tangan, posisi tubuh, ekspresi wajah, dan gerakan mata saat kawan-kawanmu berbicara. Dan tiba-tiba sesuatu membuat gelisah lalu ingin menyingkir dari keramaian. Terbirit-birit kau minta izin menggunakan kamar kecil. Kau masuk ke bilik kakus itu, lekas merapatkan pintu, bersecepat membuka keran besar-besar agar suara curahan air dapat menyamarkan isakanmu. Itu bukan satu dua kali terjadi. Saking seringnya menangis dalam momentum tak tepat, kau agak cemas andaikata orang-orang tahu. Mereka barangkali akan mengolok-olokmu sebagai Lelaki Air Mata dan tanggal lahirmu mereka sebut sebagai sebagai Hari Air Mata Nasional. Gerombolanmu memang suka meledek apa saja. Ya, mau bagaimana lagi kalau tiba-tiba ingin menangis?! Akan tetapi, ibu tak pernah menangis. Hanya saja, saat masa krusial itu terjadi, ibu jadi tak banyak bicara dengan lelaki itu. Ibu memang bukan orang yang banyak
gembel justru kau yang kini melarat. Ah, atau kau bisa mencoba menemui kakek, menawarkan diri untuk menggembalakan sapi. Dengan begitu, kau tak perlu pusing memikirkan mencari modal usaha. Kendati kau agak cemas apa kata orang-orang. Sementara ibu mungkin akan bersegera menerawang sambil menaksir ijazahmu dan merutuk, “Tujuh tahun sekolah dan yang kau dapatkan hanya tanda tamat palsu!” Lalu ibu akan melungsurkan kertas itu ke tungku. Mungkin pula kau ikut dijungkalkan ke sana. Ah, kau memang perlu teman bicara agar kau tak berpikir yang bukanbukan. Namun, kau sadar, ini jam-jam ramai, bukan waktu yang tepat untuk bertandang ke toko Rais. Beberapa kali kau berkunjung pada saat repot seperti sekarang, dengan niat bercakap-cakap, tetapi berujung kecewa lantaran diabaikan. Kau mengonggok di sana, sementara Rais sibuk dengan kalkulator dan meladeni pegawai serta pelanggan yang bertanya ini dan itu mengenai berbagai peralatan elektronik. Kau yang hendak bicara, bukan merenung-renung bak patung sang pemikir, terpaksa mengamati perputaran uang dan pertukaran barang. Dengan perasaan dongkol kau sungguh berharap hantu pohon yang saban malam keranjingan menyapu itu datang lebih cepat agar seisi toko panik dan lekas bubar. Akhirnya, sebelum mati bosan, kau menyelinap dan minggat dari sana. Saat bertemu tempo hari, Rais terkekeh-kekeh sambil mengucapkan permohonan maaf lantaran tak dapat memuliakan tamu dengan layak. Kau mengangkat bahu, “Tamu-tamumu, maksudku pelanggan-pelangganmu itu, lebih pantas didahulukan.” Rais hanya bisa cengar-cengir. Kau merasa harus mampir ke rumah Maharani, lalu mengajaknya bertamasya. Cerita
08
mengulang. Kepalamu mendadak pengar waktu melalui bekas gedung sekolah dasarmu dulu. “Ah, bangsat!” Tak kuat menahan denyut-denyut saraf di belakang kepala, kau lampiaskan sakit itu dengan mengumpat-umpat. Kau terus menggegaskan motor sambil bersusah payah menjaga keseimbangan tubuh agar tak oleng dan tak ambruk. Kau ingin lekas pergi, tapi bayang-bayang masa lalu itu, yang macam hantu, tak tampak, tak berjejak, terus mencengkeram kuat. Hari itu, hari itu, ... tahu-tahu ada yang bergerak-gerak di paha dan lantas berlanjut ke pangkal paha. Kau membelalakkan mata dan mulutmu mendadak menganga. Seseorang merogoh sesuatu di balik celana merah pendekmu. Kau lekas memundurkan kursi, buru-buru berdiri, dan bergerak menjauh. Di kolong meja itu, Boy menyeringai. Kawan sekelasmu yang postur tubuhnya tinggi, besar, dan tegap jauh melampaui semua orang di kelas itu semestinya memang sudah ada di kelas atas, tapi ia tinggal kelas beberapa tahun karena kebandelannya dalam bersikap, kebebalannya setiap belajar dan ujian, serta kebengalannya dalam berperilaku. Beberapa kali, kawan-kawan perempuan di kelasmu terisak-isak karena Boy mengintip dalaman mereka dengan cermin bundar kecil di rautan pensil yang ia selipkan di jalinan tali sepatu, bahkan Boy beberapa kali iseng atau nekat atau cari mati dengan menarik ke atas rok kawanmu, membuat anak perempuan itu menjerit-jerit histeris dan menangis, sementara anak laki-laki terbahakbahak. Bayang-bayang itu mengganggumu. Ketika itu, kau tak pernah menangis dan tak pernah melaporkan rogohan tangan di pangkal pahamu, yang dilakukan Boy berulang kali. Kau hanya bisa menjauh dan selanjutnya membiarkan dan belakangan menikmati.
bicara, tapi bukan berarti ibu sosok perempuan dengan wajah masam dan selalu merengut. Ia lebih banyak mendengarkan. Namun, kerabatmu bilang, itulah yang membuat lelaki itu berpaling. Lelaki sibuk, tambah kerabatmu itu, suka mengobrol dan perlu teman bicara yang setara. “Rekan kerjanya yang juga insinyur itu mungkin memberikan apa yang ayahmu cari.” Kau mendelik, tersinggung mendengarkan omong kosong itu, seakan jenjang pendidikan adalah masalah terbesar dalam hubungan lelaki itu dan ibu. Kau tak terima, ibumu bukan orang bodoh meski tak sekolah tinggi. “Lelaki itu saja yang tak tahu diuntung!” “Bagaimana denganmu, Maharani?” tanyamu. Waktu mendengar berita Maharani akan menikah, kau terkagetkaget. Sepucuk surat undangan itu datang terlalu tergesa-gesa. Meski kalian sudah lama berpisah, kau agak tak rela saat mendapat kabar bahwa sang mempelai lelaki yang akan menyunting Maharani sudah berumur—untuk tak menyebutnya tua bangka. “Kau tidak merebut ....” Kau ingin bertanya, kau ingin tahu, kau ingin sekali mengobrol dengan Maharani. Tapi kau ragu-ragu; kau khawatir Maharani sudah bahagia dengan suaminya dan kehadiranmu yang mendadak di balik pintu rumah Maharani mungkin hanya akan menimbulkan kecanggungan. Lagi pula kau selalu gundah ketika berhadapan dengan perempuan. Dahulu, pengalaman becumbu dengan Maharani sempat membuatmu agak angkuh dan yakin suatu waktu kau akan melakukan itu pada teman dekatmu yang lain, pada orang-orang yang membuat hatimu tergetar sekaligus tenteram, dengan gampang, hingga kemudian segalanya sudah berlalu bertahun-tahun lampau dan hingga sekarang kau hanya bisa mengenang tanpa pernah sanggup
09
Edisi II, Januari-April 2018
Kau penasaran dengan kabar Maharani sekarang. Maharani mungkin sedang repot menimang-nimang anak mereka yang ketiga. Siapa tahu dan siapa peduli. Kendati kau ingin sekali bertemu dengan dia. Tidak untuk meminta kecupan, hanya ingin mengobrol, mungkin tentang benda-benda angkasa luar atau barangkali tentang hantu-hantu yang mengganggumu. Kau juga ingin tahu nasib Boy di balik terali bui, apakah ia kedinginan. Barangkali ia memerlukan selimut. Kau terpikir untuk membawakan sarung. Namun, kau berpikir ulang, ah, dia hanya datang kalau ada maunya. Kau menimbang-nimbang, mungkin kau memang perlu membawakannya sarung, kalau perlu lengkap dengan sajadah dan peci dan tasbih. Kau girang mendapat ide cemerlang itu. Hanya Rais yang memungkinkan untuk kau jumpai sekarang. Tapi kalau ia masih sibuk mengurus tiga cabang tokonya, kau mesti menunda jika tak mau muak menunggui pekerjaannya tuntas, yang faktanya tak mungkin selesai karena satu demi satu telepon bisnis itu bagai bergantian berdering setiap sekian menit. Atau barangkali kau memang mesti memanggil para hantu pohon untuk masuk ke dalam frekuensi jaringan telepon supaya Rais terguncang dan melepaskan ponsel dari genggaman sehingga kalian bisa bercakap-cakap dengan saling tatap. Ibumu akan bahagia benar saat membaca dan menemukan namamu di surat pengumuman. Namun, kau akan berusaha menunda untuk memberitahukan kabar bahagia bagi ibumu, tapi bahaya bagimu, itu. Mungkin kau akan selipkan surat itu di sela-sela lemari pakaian tepat di bawah tumpukan kemeja atau di mana saja yang tak akan terjangkau ibu. Setidaknya kau telah berniat akan menyimpan dan merahasikan pengumuman itu selama seminggu
Namun, setiap kali kau teringat itu, kau tiba-tiba ingin menangis. Kedatangannya memang macam hantu. Beberapa hari setelah kau pulang dari rantau, Boy menyelinap masuk kamarmu. Perlu uang, katanya. Kau memberikan tabunganmu yang tak seberapa itu seraya menasihatinya untuk berhenti melakukan perbuatanperbuatan jahanam. Kau paham, tak gampang memberhentikan kebiasaan yang sudah jadi semacam candu yang membikin ketagihan. Lalu ia lenyap bak hantu pula. Lama tak muncul, Boy datang lagi, pekan lalu. Dengan raut muka murung. Kau tahu apa yang ia inginkan. Di dompetmu hanya tersisa enam lembar uang sepuluh ribu rupiah, lima lembar uang lima ribu rupiah, uang seribu rupiah yang nyaris sobek, dan beberapa keping recehan. Kau ikhlaskan seluruh uang sepuluh ribu itu untuk Boy. Ia betul-betul sedang kere sampai tersungkur-sungkur saat berterima kasih. Kau mengulang nasihat itu. Kau yakin ia tak benar-benar mendengarkan perkataanmu sehingga terpaksa menegurnya, “Kalau pun tak bisa langsung berhenti, setidak-tidaknya kau kurangi!� Alih-alih insaf, dua hari berselang kau justru mendapati foto Boy terpampang di halaman berita kriminal Sumatera Ekspres. Kakinya dipelor timah panas saat berusaha melarikan diri dari aksi pencurian yang gagal. Kau mengutuk-ngutuk kelakuannya. Kau menepikan sepeda motormu di seberang markas kepolisian. Rintikrintik hujan panas tiba-tiba turun. Tak baik buat kesehatan, kau berteduh di bawah pohon entah apa, yang pasti bukan pohon beringin. Sambil menunggu hujan reda kau iseng bertanya-tanya, ke mana hantu pohon bodhi atau pohon beringin itu mengungsi, dan seketika kau merinding sendiri.
Cerita
10
pahserapahi apa saja dan menganggap semesta sedang bersekutu menghukummu. Namun, kini kau tersenyumsenyum sendiri seraya menatap langit. Barangkali inilah cara semesta, menghapus jejak-jejak ragu di hatimu, mengisyaratkan agar kau tak perlu meninggalkan kota ini lagi. Kau agak lega lantaran punya bahan untuk berkilah ketika ibu nanti bertanya. Kalau pun besok atau lusa ibu memaksamu untuk memeriksa kembali pengumuman—ke warnet satu-satunya di ibu kota kabupatenmu—biarlah nanti-nanti saja kau tempuh perjalanan sejauh sembilan kilometer itu. Mesin motor tua itu susah panasnya setelah kuyup oleh hujan. Kau mengengkol bebek bututmu sampai berkali-kali hingga akhirnya menyala. Kau melajukan balik menuju rumah. Tatkala melewati pusat perkantoran pemerintah kabupaten, kau menemukan pohon beringin di depan kantor bupati itu masih tumbuh dengan angkuh. Ingatanmu tak sanggup menjangkau hantu apa yang bersarang di pohon beringin keramat itu.
ke depan hingga kau benar-benar bisa dengan lega menentukan putusanmu. Atau setidak-tidaknya waktu seminggu bisa kau gunakan untuk mencari-cari, menyiapkan amunisi, mematangkan alasan, dan menghadapi segala kemungkinan gerutu dan rutukan panjangpendek yang akan disampaikan ibu. Akan tetapi, bagaimana pun kau tak bisa membiarkan ibumu bersedih. Kau tak sampai hati menghancurkan harapan yang sudah dibangunnya dengan mengorbankan segala yang ia punya. Setiap kali kau mengepal tangan dan nekat untuk memberontak, menolak semua nasihat, melawan ucapan dan anjuran, bersikap dingin, dan barangkali menyingkir dari rumah, atau singkatnya meninggalkan semua hal tentang ibu, dengan melupakan dan menghapus ibu, separuh bagian dirimu yang telah begitu yakin itu seketika tumbang dan tak sanggup meronta. Semua rencana itu menguap usai melihat wajah ibu, melihat bekas luka di kening ibu. Hujan panas itu justru menderas. Kau berjongkok, kelelahan terlalu lama menunggu hujan reda. Saat itu, kau melirik ke motormu yang basah diguyur hujan. Kantong kresek hitam berisi berkas surat-surat itu masih tergantung di sana. Kau menggerundel, bisa-bisanya luput menyelamatkan benda itu. Buruburu kau bangkit hendak menembus hujan, tetapi silau halilintar diiringi suara menggelegar serta-merta membuatmu gemetar. Kau hanya bisa termangu-mangu memandangi nasib surat-surat itu kini: koyak, hancur, dan mungkin sudah menjadi bubur. Ya, kertas sudah menjadi bubur, kau merasa geli, tapi seketika terkesima. Kau tersadar, terkadang semesta lucu sekali, seperti dirahasiakannya alasan hujan tiba-tiba turun mengguyur sehingga kau menjadi tak tabah untuk tak menyum-
komentar cerpen oleh Khaeriyah Nasruddin Bila pikiranmu sedang kacau, kau bisa makan coklat sampai bosan, menghitung bintang sampai habis malam, atau mengelilingi kota sampai kau muak. Hal terakhir inilah yang dilakukan oleh tokoh aku dalam “Rejana”. Penulis cerita ini memiliki gaya tutur yang cukup padat dan berisi. Selain itu, penulisnya cukup baik memaparkan latar tempat yang dilalui tokoh aku sembari mengingat-ingat masa lalunya: pembaca seperti menyaksikan kejadian tersebut secara langsung. Meskipun gaya penjabaran panjang minim dialog kadang membuat bosan, tetapi “Renjana” tetap menjadi cerita yang berbeda dan paling menarik di antara cerita-cerita yang ada.
11
Edisi II, Januari-April 2018
KISAH SI SUAMI TOLOL diterjemahkan oleh M. Dirgantara dari “The Tale of Simpleton Husband” ucapannya sampai dua, tiga kali sebelum akhirnya turun dari pohon dan merobekrobek kainnya. “Bejat! Di depan mataku saja kamu bisa begini, apalagi di belakangku!” Kebingungan, sang suami menjawab, “Apa yang merasukimu istriku?” Dia menjawab, “Aku melihatmu di depan mataku sendiri bersetubuh dengan wanita lain.” Sang suami memekik, “Sumpah demi Allah tidak! Tenangkan dirimu sambil aku naik ke atas dan melihat dengan mataku sendiri.” Baru saja sang suami mulai memanjat, si pemuda sudah menerjang sang istri dan selangkangannya. Di puncak pohon, sang suami terbelalak melihat istrinya bersetubuh dengan lakilaki lain. “Hey, jalang! Apa-apaan ini?” lalu buru-buru ia turun dari pohon. Tapi belum sampai di tanah, kekasih istrinya sudah kembali ke tempat persembunyiannya. “Apa yang kau lihat?” tanya istrinya ketika dia sudah sampai di tanah. Sang suami me n j a w a b , “ K u l i h a t a d a l a k i - l a k i bersamamu,” tapi istrinya menjawab, “Bohong! Kau tidak melihat apa-apa; apa yang kau lihat cuma khayalan!” Tidak percaya, sang suami naik-turun pohon sampai tiga kali dan setiap kali dia mulai memanjat, kekasih istrinya muncul lagi dan menunggangi istrinya. Sementara itu istrinya, sambil ditunggangi, berteriak ke sang suami, “Nah, ada tidak, pembohong?” “Ya!” jawab sang suami dan sambil buru-buru turun hanya untuk menemukan istrinya sendirian kembali. Istrinya mengatakan, “Ya tuhan, lihat baikbaik! Tidak ada apa-apa; tenangkan dirimu.” Sang suami kehabisan kata-kata, lalu berkata, “Ayo! Kita pergi. Banyak setan dan jin di sini.” Oleh karena itu, mereka kembali ke dalam rumah dan tidur di sana. Keesokan paginya, sang suami bangun dan percaya bahwa apa yang terjadi kemarin hanya khayalan dan ilusi. Akhirnya, kekasih istrinya terpenuhi hajatnya.
ahulu kala, terdapatlah seorang pria tolol tapi kaya dan isterinya yang cantik tapi mencintai orang lain. Kekasih sang istri ini—seorang pemuda tampan—selalu mengawasi kepergian sang suami untuk kemudian datang pada sang istri. Mereka selalu menghabiskan banyak waktu berduaan. Pada satu hari, saat mereka sedang berduaan di kamar, si pemuda berkata pada kekasihnya, “Sayangku, bila kau benar menginginkan dan mencintaiku, berikan tubuhmu dan puaskan nafsuku di hadapan suamimu; bila tidak, aku tidak akan pernah menemuimu lagi” Sebab sang istri begitu mencintai kekasihnya dan tidak sanggup membayangkan berpisah dengannya bahkan untuk satu jam saja; ketika ia mendengar kata-kata kekasihnya, dia berkata, “Bismillah, baiklah. Oh sayangku dan damai hatiku, semoga siapa saja yang menganggu hatimu celaka!” Pemuda itu berkata lagi, “Hari ini?” dan sang istri menjawab, “Iya, aku janji atas nama hidupmu.” Lalu mereka mengatur rencana. Saat sang suami pulang, sang istri mengatakan, “Aku mau berkemah,” dan sang suami menjawab, “Tentu saja sayangku.” Lalu dia berjalan, sampai dia akhirnya menemukan titik yang pas: berlimpah anggur dan sebuah pohon besar. Ia membawa istrinya ke sana dan mendirikan kemah di sisi pohon besar tadi. Sementara suaminya sedang sibuk dengan kemah itu, sang istri membuat persembunyian di samping tenda dan memasukkan kekasihnya ke sana. Saat suaminya selesai membangun tenda, ia berkata, “Aku mau memanjat pohon ini;” lalu suaminya menjawab, “Baiklah.” Sang istri memanjat. Namun ketika sampai di puncak dia menjerit dan menamparnampar wajahnya, “Oh, dasar kau bejat, cabul! Kau berjanji setia padaku, tapi kau ternyata pembohong!” Dia mengulangi
D
Cerita
12
B U J U N G L A PA K K I TA diceritakan ulang oleh Nur Ikhsan Ismail Rakyat mulai mempersiapkan gong, gendang, banrangeng, dan weroni; sementara raja dan pengawalnya menuju sumur tersebut. Di sana, mereka melihat seorang bidadari yang masih asyik mandi saat bidadari lain sibuk memakai pakaian mereka. Tidak ada yang menyadari kehadiran rombongan La Massora. Mengendap-ngendap, La Massora mengambil pakaian bidadari yang masih mandi itu. Ketika bidadari-bidadari lain selesai berpakaian dan terbang kembali ke langit, bungsu kebingungan mencari pakaiannya. Saat itulah, pengawal raja menangkapnya dan menggiringnya menuju kerajaan. Tapi tidak mudah awalnya; bidadari itu ditarik tapi tidak juga bergerak. Barulah saat dimainkan alat musik hatinya menjadi tenang sehingga mau berjalan. Di tengah perjalanan, bidadari itu haus. Begitu haus sehingga rombongan memutuskan berhenti dan memberikan segelas air dari Sumur Cacae. Perjalanan kembali dilanjutkan saat tiba-tiba saja bidadari itu tidak mau berjalan lagi dan
epertinya ada gadis di balik semaksemak itu,� pikir seorang kakek. Dia sedang menunggui ayam hutan masuk perangkapnya saat suara beberapa gadis mengalihkan perhatiannya. Kakek itu melangkahkan kakinya sembari merunduk. Dari balik semaksemak, dia melihat ada beberapa bidadari sedang mandi di sumur yang berbeda. Kehadiran kakek itu disadari oleh beberapa bidadari “Aku mencium aroma manusia,� salah satu bidadari memberitahu. Mereka bergegas mandi, kemudian mengambil pakaian mereka. Tetapi, yang paling kecil di antara mereka tetap menikmati mandinya. Tiba-tiba kakek itu melihat anjing hitam milik raja yang hilang ketika malam jumat dan pulang jumat sore. “Inilah alasan mengapa anjing itu begitu wangi setiap pulang,� pikirnya. Kakek itu lantas pulang dan melaporkan semua yang dilihat dan dimengertinya pada Raja La Massora yang kemudian menyampaikan kepada rakyatnya untuk bersiap menyambut kedatangan sang bidadari.
S
13
Edisi II, Januari-April 2018
komentar cerpen oleh Khaeriyah Nasruddin Mirip dengan kisah Jaka Tarub dan tujuh bidadari, cerita tentang Lamassora dan tujuh bidadari ini terutamanya menjelaskan asal-usul nama tempat dan keberadaan sebuah sumur di Alitta, Pinrang, latar tempat cerita ini konon terjadi.
mencoba keluar dari kepungan rombongan. Tidak mau hal itu terjadi, rombongan saling berpegangan tangan. Inilah mengapa tempat itu dinamakan 1 'Wala-walae '. Ketika matahari sudah berada di atas kepala, bidadari tersebut tidak mau lagi dihalau, sehingga rombongan waktu itu melonggarkan pegangan. Inilah sebabnya tempat tersebut dinamakan 'Pallereang2'. Perjalanan berlanjut lagi dan makin menjadi-jadi permintaan bidadari itu, sampai semua rakyat lelah. Ia meminta rambutnya disisir. Inilah sebabnya tempat tersebut dinamakan “Lamajjakka3”. Saat mereka hampir sampai di kerajaan, La Massora memerintahkan semua rakyat untuk menggunakan baju berwarna merah. Mengetahui hal itu, bidadari seketika berhenti dan enggan berjalan. Akan tetapi, rombongan kembali membunyikan alat-alat musik yang mereka bawa sehingga bidadari itu berjalan kembali. Ketika menuruni bukit tempat semua rakyat berbondong-bondong ingin melihat bidadari tersebut, ia meminta dibuatkan sumur. Inilah sebabnya sumur tersebut dinamakan “Bujung Lapakkita4”. Sampai di kerajaan, La Massora menamai bidadari tersebut dengan sebutan We Bungko5. Dan saat itu juga, La Massora dan We Bungko melakukan pernikahan. Setelah beberapa tahun, We Bungko melahirkan anak yang diberi nama La Baso. Suatu ketika, La Massora pergi ke hutan untuk berburu. Ia telah menitipkan La Baso kepada saudaranya We Wewang untuk ditidurkan. We Wewang menerimanya dengan senyuman. Sambil mengayun La Baso, We Wewang menyanyikan sebuah syair, “Iyo iya La Baso, ajammuddaju-raju, tuwoku mallongi-longi, tenggamangmu, tettana sitekkemu.6 ” We Cerita
Dalam penceritaan ulangnya, ada dua hal yang perlu diperbaiki penulis. Pertama, penulis tidak mendeskripsikan latar yang dihadirkannya dengan baik, sehingga penuturannya membosankan. Ibaratnnya, kita berlari kencang sehingga abai memperhatikan pemandangan di sepanjang jalan. Kedua, karakterisasi tokoh-tokohnya (Kakek, Lamassora, We Bungko-Bungko) kurang hidup: mereka hanya seperti siluet, bukan manusia berwujud.
Bungko yang mendengar lagu itu merasa tersinggung; ia merasa iparnya sengaja menyinggungnya yang sebatang kara di dunia ini. Setelah La Massora pulang, We Bungko menceritakan tentang syair lagu yang dinyanyikan iparnya. Meskipun La Massora murka terhadap adiknya, We Bungko sudah terlanjur sakit hati dan memantapkan hati kembali ke kayangan. Ia menitipkan La Baso pada La Massora. Kepergian We Bungko meninggalkan kesedihan di hati La Massora sampai suatu malam La Massora memimpikan bidadari. “Jika kamu ingin bertemu denganku, datanglah ke sumur itu dengan memakai pakaian hitam, topi dan nipa siang bolong,” kata bidadari dalam mimpinya. 1
Memagari
2 3
Melonggarkan
Sisir
4 5
Sumur; Melihat
Bungsu
6
“Hei La Baso, jangan cengeng, semoga kamu panjang umur, tanpa ibu, tanpa ayah, tanpa tanah segenggam pun.”
14
DAEDALUS DAN ICARUS diceritakan ulang oleh Mawar Fatmah Krete, meminta Daedalus membuat sebuah labirin. Raja Minos ingin labirin tersebut begitu kompleks sehingga tidak dapat dipecahkan oleh siapa pun. Daedalus menerima tawaran ini dan mulai mengerjakan labirin tersebut dengan bantuan anaknya.
ersebutlah Daedalus, seorang penemu cemerlang yang tinggal di Athena. Sehariharinya ia bekerja sebagai penemu dan arsitek; ia telah menciptakan banyak karya yang menakjubkan sehingga kepandaiannya mendunia. Mendengar ini, suatu hari Raja Minos, pemimpin
T
15
Edisi II, Januari-April 2018
ombak akan membasahi sayapmu dan menyeretmu jatuh.” Setelah itu mereka berpelukan. Dan berlari, berlari, berlari, dan melompat ke dalam kegelapan. Bagaikan layanglayang atau burung-burung yang mengibaskan sayap mereka membumbung naik, naik sampai langit makin sejuk. Krete sudah tertinggal jauh di belakang. Sekarang langit luas ada di atas mereka; laut hitam ada di bawah. Makin lama mereka mengepakkan sayap, makin senang mereka, dan makin dekat pula matahari terbit seakan-akan menyelemati keduanya. Icarus tersenyum-senyum terbang di belakang ayahnya dalam semburat jingga pagi. Saat matahari terbit sempurna dan orang-orang mulai beraktifitas, beberapa dari mereka menyadari dua benda asing yang terbang di angkasa. “Apakah itu tuhan?” kata salah satu dari mereka ternganga. Icarus tertawa melihat orang-orang yang nampak kecil itu. Ia mulai mengepakkan sayapnya dengan makin semangat. Daedalus yang sudah terbiasa dengan tawa Icarus sejak tadi, tidak sadar akan hal ini dan tetap terbang dengan tenang. Icarus makin tinggi, jauh lebih tinggi dari ayahnya. Lalu, tiba-tiba saja ia menyadari bulunya berjatuhan. Ia merasakan bahunya basah. Saat ia menyadari apa yang terjadi dan berteriak pada ayahnya, saat itu pula ia terjun bebas seperti burung terkena gelombang beku di udara. Setelah itu hanya ceburan dan bulu-bulu burung yang mengapung di ombak. Semua terlambat. Setelah Daedalaus menemukan mayat Icarus, ia mengutuk kepandaiannya sambil mengubur mayat Icarus di sebuah pulau berbatu yang lalu dimanai Icaria.
Setelah labirin itu selesai dibangun dan Daedalus bersiap pulang ke Athena, tidak disangka Raja Minos malah memenjarakan Daedalus beserta anaknya di sebuah pulau terpencil. Tidak hanya itu, Raja Minos menempatkan prajurit keamanan di mana-mana untuk memastikan Daedalus dan anaknya tidak bisa bisa ke mana-mana. Di pulau itulah, setiap hari, Daedalus menghabiskan waktu melihat mural yang dilukis di dinding dan air mancur di halaman. Sementara itu Icarus menghibur hatinya dengan bermain layanglayang setiap harinya. Hal ini sedikit menghiburnya, tetapi jauh di dalam hatinya, ia tetap merindukan rumah kecil yang ia tinggalkan di Athena. Pada suatu hari yang seperti itulah, saat merenungkan cara untuk pergi dari pulau yang dijaga ketat itu, Daedalus mengatakan pada dirinya sendiri, “Bagaimana burung-burung itu bisa terbang? Alangkah bebasnya mereka!” Daedalus terus memerhatikan dengan saksama cara burung-burung mengepakkan sayap dan mengangkat tubuh mereka ke udara. Akhirnya, di suatu malam, Daedalus membangunkan Icarus, “Ikut denganku!” Mereka naik ke atap. Lalu, di bawah bintang-bintang, Daedalus menyalakan lilin dan Icarus melihat dua pasang sayap besar. Daedalus menyuruh Icarus berdiri tegap dan mengikat salah satu pasang sayap itu pada lengannya. “Minos menguasai daratan dan laut di sekitar sini, tapi dia tidak bisa menguasai udara. Kita akan terbang menuju kebebasan. Tapi camkan ini! Bila matahari sudah terbit nanti, jangan terbang terlalu tinggi. Atau lilin yang mengikat bulu-bulu sayap ini akan mencair. Tapi jangan juga terbang terlalu rendah. AtauCerita
16
PUISI-PUISI oleh Aditya Permana
Tangan Ayah Ayah, tanganmu. Mengapa begitu kasar begitu aku raba? Kau ingin mendekap aku, tapi aku tak nyaman dengan tanganmu. Aku tak mau! Ayah, tanganmu. Mengapa begitu basah begitu aku pegang?
Si Satto
Kau ingin mengelus aku, tapi jangan sampai mengenai tubuhku. Aku tak mau!
Di penghujung pagi, berangkat kerja, naik mobil, langsung tancap gas.
Ayah, tanganmu.
Di pengujung jalan, terlambat kerja, naik becak, langsung serebet.
Mengapa begitu keras begitu aku rasakan?
Di penghujung kantor, langsung kerja, naik gaji, langsung habiskan.
Kau ingin merangkul aku, tapi tak pantas aku mendapatkannya. Aku tak mau!
Di penghujung rumah, tak ada kerja, naik ke kasur, langsung tidur. Di penghujung mimpi, dikerjain, naik ke langit, langsung mati.
Ayah, tanganmu. Aku menyesal. Tanganmu telah lemah oleh usia. Tanganmu yang berkerja untuk kebahagiaanku. Tanganmu yang mengabdi untuk kesuksesanku. Tanganmu yang berkah untuk kebaikanku. Ayah, tanganmu. Sini, aku ingin menjagamu. Untuk terakhir kali
17
Edisi II, Januari-April 2018
Sepuluh Pertanyaan untuk Ibu (1) “Ibu, apa itu hidup?”
(6) “Ibu, apa itu kasih sayang?”
“Hidup adalah cinta yang menjelma menjadi udara dan merasuk dalam tubuhmu. (2) “Ibu, apa itu cinta?”
“Kasih sayang adalah kehangatan yang mendekap tubuhmu setiap saat, setiap napas.” (7) “Ibu, apa itu kehangatan?”
“Cinta adalah kebaikan yang merasuk dalam jiwa dan berbuah manis jika kau petik dengan keikhlasan.”
“Kehangatan adalah rindu yang bersemi di depan rumahmu dengan senyuman dan canda tawa.”
(3) “Ibu, apa itu kebaikan?”
(8)
“Kebaikan adalah jujur pada hatimu bahwa aku melakukannya sepenuh hati.”
“Ibu, apa itu rindu?” “Rindu adalah kebersamaan yang mengobati kenangan yang memendam.” (9) “Ibu, apa itu kebersamaan?”
(4) “Ibu, apa itu jujur?” “Jujur adalah berterima kasih atas nuranimu yang mampu menerima yang mengharap lebih.”
“Kebersamaan adalah kebahagiaan dengan rupa-rupa warna yang melekat di matamu agar semuanya terlihat cerah.”
(5) “Ibu, apa itu berterima kasih?”
(10)
“Berterima kasih adalah kasih sayang terkecil dari hamba Tuhan.”
“Ibu, apa itu kebahagiaan?” “Kebahagiaan adalah kau, nak. Yang hadir dalam pelukan Ibu.”
19
Edisi II, Januari-April 2018
GELIS oleh Nurul Fadhilah Mustari Daun dan dahan patah, layu menyentuh tanah. Tanah lahir tanah kembali, dua puluh tahun tak ditemui.
AGNOSTIK
Kau tak pulang pulang: di atas tanah, bersamaku, waktu bisu menunggu datangmu.
oleh Antonius Wendy Tiada derita tanpa cerita, untuk menopang doa dari silih ganti muara. Pada mulanya ialah ujud niskala merayap senyap bara. Melewati peningkah elegi pagi menghias segendang embun. Gerimis tipis kikis menepis baris terhenyak bersenandung. Memintal angin di sisi bukit. Mengarak jarak. Memahat pintu. Menunggu dan memalingkan muka dari ruap rupa rembulan yang senang merayu tempias sunyi di kaca jendela. Tiada cerita tanpa derita, kota tanpa kata, yang akhirnya kembali kepada kesia-siaan makna.
Gelis, ibu kering jawab; tanah kita bertanya tanah kita bicara. Gelis bukan anak durhaka! Pulanglah Nak, ibumu rindu
TUNGKU(3) oleh Mawar Fatmah Hati ibu tak lagi seperti uap hangat. Hati kita telah jadi potongan usang.
Kekasih, kelak jenazah aku yang belum sempat dimandikan akan memijar pijar liar, haus pada genta. Dan beringsut. Dan menubruk. Piring piring rengat, dinding miring lempung dari seringai misai badai yang selama ini ada di pelupuk kamu.
Biarkanlah tetap di dalam tungku. Kepul-kepulannya masih seperti malam yang sunyi. Biarkanlah ibu tetap menyulut api di bawah tungku, menunggu hati baru yang akan diramu, memasaknya menjadi sepasang hati yang utuh, hati yang tidak lagi pergi. Aku memandang hati ibu: Ibu yang masih menunggu; Hati lama yang enggan kembali; Hati baru yang belum datang.
Puisi
20
TIGA MODE REFLEKSI T O E T I H E R AT Y oleh M. Dirgantara
elen Vendler, kritikus puisi Amerika terkemuka, berpen-dapat bahwa puisi liris biasanya berisi refleksi. Bahkan saat aku liris sedang berbicara pada seorang pendengar layaknya seorang karakter di drama (“I wonder, by my troth, what thou and I/ Did till we loved”), fokus puisi lirik tetap pada refleksi dari kejadian yang sedang dibicarakan, bukan kejadian itu sendiri. Bila bergerak dalam pendapat Vendler ini, ada tiga mode refleksi dalam puisi lirik Toeti Heraty yang terkumpul di Nostalgi = Transendensi. Pertama, refleksi tentang ide abstrak. Kedua, refleksi tentang perasaan manusia. Ketiga, refleksi mengenai masalah sosial. Dalam tulisan ini, saya akan melihat ketiga mode ini dengan membahas satu puisi representatif dari masingmasing mode tersebut.
H
N
ostalgi”, atau “nostalgia” dalam bentuk bakunya, berarti 'kerinduan (kadang-kadang berlebihan) pd sesuatu yg sangat jauh letaknya atau yg sudah tidak ada sekarang' dan 'kenangan manis pd masa yg telah lama silam'. Sementara itu “transendensi”, dalam bentuk aslinya “transcendence”, berarti 'keadaan melampaui' atau, keadaan telah '[meng]atasi'—sesuai definisi puisi ini sendiri. Dengan dua konsep abstrak inilah, Toeti Heraty meramu, “Nostalgi = Transendensi”, puisi tituler kumpulan puisi terlengkapnya sampai saat ini.
21
Edisi II, Januari-April 2018
Membaca judul tersebut, kita seketika bertanya, bagaimana mungkin merindu pada sesuatu = telah mengatasinya? Bukankah mengatasi = melepaskan, merelakan, melupakan? Toeti Heraty tentu saja tidak akan mengumumkan dengan berani pendapat 'kontroversial'-nya ini besar-besar bila dia tidak datang tanpa jurus untuk meyakinkan kita. Di dalam pengantar tematisnya, Budi Darma dengan cermat merangkum bahwa puisi Toeti Heraty merupakan puisi ide juga puisi persuasif. Puisi yang sedang kita bicarakan ini, adalah contoh puisi yang bersifat demikian. Pertama, Toeti Heraty mempersiapkan kita pembaca-pembaca pesimis yang melontarkan protes, “Dasar penyair, lagi-lagi 'cuma permainan kata.' Lihat saja 'kata asing' lagi!” Setelah merangkul keberatan kita, Toeti Heraty menyambungnya dengan pertanyaan retoris yang mengingatkan kita, bahwa banyak—atau bahkan semua—hal sebenarnya sampai sekarang belum kita ketahui secara pasti dan penuh hakikatnya. Semua hal, dengan kata lain, “asing”. Dengan ini, protes kita diredam dan bagai pasien, kita siap disuntik. Lalu, Toeti Heraty menyuntikkan ramuannya: kembali pada nostalgi berarti kehilangan yang dulu-dulu dibayangkan hanya tidak mencekam lagi, karena lembut dengan ironi Bernostalgia, suntik Toeti Heraty, berarti memang kehilangan, bahkan hal-hal yang dulu hanya dibayangkan. Tapi—dan ini tapi yang penting—semua tajamnya, ngilunya, kasarnya, karena salep ajaib waktu, sudah melembut sekarang. Yang dulu pujaan hati tersempurna di dunia, terlihat konyol juga di memori; yang dulu dianggap aib memalukan, ternyata semua orang juga melakukannya; yang dulu terasa pelecehan harga diri, ternyata jadi terbiasa juga. Selanjutnya, Toeti Heraty melancarkan jurus ketiganya. Kali ini untuk membuat antibodi kita tidak menolak ramuan yang baru disuntik masuk. Guna melakukan itu, Toeti Heraty memanipulasi ramuannya dengan bentuk yang bisa dikenali antibodi kita: memanusiakan aku lirik. Kita lihat, di bait kedua puisi ini, aku lirik, dengan sedikit lucu, tiba-tiba ragu: saat kini yang berkilas balik siapa tahu nanti … Ia membayangkan, seperti khayalan yang menyusup dalam konsentrasi, bagaimana seandainya bila apa yang dirindukan “nanti [kembali]”. Tapi ia tidak sampai berlamalama dalam khayalannya; kata “kembali” tak pernah terucap. Setelah berpikir selama tiga titik-titik, ia kembali konsentrasi ke jalan awalnya: Esei
22
Kini — dulu — nanti, teratasi bukankah itu transendensi? Dengan memanusiakan aku lirik yang juga memberi sentuhan humor, ramuan ketiga ini semakin mendorong kita untuk menamai ulang nostalgi. Kamus boleh menamai nostalgi begitu, tapi saya, kata Toeti Heraty, menamainya begini. Tapi perlu dicatat, puisi ini amat miskin dengan pembujuk-pembujuk khas puisi: tidak ada permainan bunyi, tidak ada imaji, dan tidak ada pula pola-pola retorika. Seandainya puisi ini memanfaatkan pula perangkat-perangkat ini, tentu ramuannya menyembuhkan seketika. elain refleksinya tentang ide abstrak di “Nostalgi = Transendensi”, Toeti Heraty juga merefleksikan perasaan manusia di puisinya “Balada Setengah Baya”. Balada, seperti epik, adalah jenis puisi untuk bercerita. Tapi tidak seperti epik yang panjang dan terfokus pada karakter orang besar, balada jauh lebih pendek dan seringnya mengenai kehidupan orang-orang biasa.
S
Sementara itu, tidak seperti puisi lirik yang terfokus pada perasaan dan pemikiran aku liriknya, balada terfokus pada alur rentetan kejadian yang disampaikan aku lirik. Lihat misalnya awal balada anonim ini, yang begitu jelas sedang membangun alur tanpa ada refleksi mengenai perasaan tokohnya: There lived a wife at Usher's Well, And a wealthy wife was she; She had three stout stalwart sons, And sent them oer* the sea.
*over
They hadna* been a week from her,
*had not
A week but barely ane*,
*one
Whan* word came to the carline** wife
*When, **peasant
That her three sons were gane*.
*gone
Hal di atas benar sampai Wordsworth datang di awal abad 19 dan mencetuskan jenis puisi balada yang bukannya befokus pada cerita, tapi refleksi tentang cerita itu—perasaan dan pemikiran yang muncul daripadanya; ia mencetuskan apa yang disebutnya “lyrical ballads”, gabungan antara puisi balada dan puisi lirik. Puisi Toeti Heraty adalah puisi demikian. Meski bercerita tentang 'pertemuan' seorang wanita dan lelaki paruh baya kelas atas di sebuah hotel kelas melati, “Balada Setengah Baya” lebih fokus melacak perubahan perasaan karakternya seiring 'plot' puisi berjalan sambil menawarkan refleksi mengenai cinta 'terlarang' sepasang manusia.
23
Edisi II, Januari-April 2018
Puisi lima bait dimulai hampir biasa saja dengan deskripsi literal kamar hotel tempat tokoh utama sedang menunggu. Hampir, sebab kualitasnya masih terselamatkan oleh sarkasme di baris kedua (“agak terhormat dengan sebutan Wisma”). Di samping itu, terselamatkan pula sebab bait pertama ini dengan lembut memberi petunjuk pada sifat terlarang hubungan tokoh utama dengan pacarnya: wanita “setengah baya”, ber“pacar”-an dan menunggu di “Wisma” yang “pengap”, “agak berlumut”, dan “berdebu”. Hal ini memang perlahan disampaikan, barangkali untuk mengurangi penolakan kita terhadap kelakuan kedua sepasang kekasih ini. Tapi benar saja, begitu sampai di bait ketiga, menjadi jelas bahwa hubungan mereka terlarang: si tokoh lakilaki yang juga setengah baya sudah berkeluarga. Tokoh utama puisi. seperti yang diakuinya sendiri, sedang menunggu suami orang. Perasaannya selama menunggu inilah yang dengan begitu detail dan meyakinkannya diolah sehingga puisi ini masuk ke kategori puisi perasaan manusia. Di “Tak apa” yang pertama, ia dengan sabar dan cukup tenang menunggu, meskipun merasa gelisah oleh tafsirannya mengenai arti tatapan pemilik losmen saat ia masuk dan memesan kamar. Kegelisahannya ini penting, sebab ia memberitahu kita bahwa dia bukan “perempuan gedongan yang dipesan”, bahwa ia masih belum menelantarkan penuh nilai-nilai moral masyarakat Indonesia, tetapi saking “rindu dan butuh”-nya, ia rela merisikokan demikian. Setelah itu, waktu berlalu banyak sekali. Hal ini disampaikan Toeti Heraty dengan baik menggunakan montase bunyi-bunyi dari luar losmen, yang tentu pula menyampaikan betapa sunyinya kamar itu. Bisa dimaklumi, oleh sebab itu, di “Tak apa” yang kedua, ia mulai tak sabaran dan berpikir macam-macam. Tetap melanjutkan teknik free indirect speech (deskripsi orang ketiga yang sering menampilkan isi kepala tokoh seakan-seakan tokoh itu mengucapkannya), puisi ini memperlihatkan si tokoh masuk ke dalam balutan keraguan: jangan-jangan ia telah sadar kembali kemudian pulang pada istri, di sana 'kan ada pertimbangan juga: Lalu kepastian: “apalagi yang kutunggu di sini! —tak tahu malu!—, pasti ia telah kembali pada istri apa pula yang kuharap, tak sepantasnya kutunggu suami orang—“ (Celaannya pada diri sendiri sekali lagi memperlihatkan bahwa tokoh ini tidak benarbenar menelantarkan norma yang umum berlaku di masyarakat Indonesia. Tapi karena kuatnya perasaan dan hasrat, ia tetap pergi ke losmen tersebut.)
Esai
24
Namun kemudian, kepastian yang sepertinya sudah bulat ini, sepertinya sudah ikatan karbon berlian, dengan mudahnya roboh setelah apa yang ia tunggu datang: ah, terlanjur terjebak di ranjang pas pintu berderak, dia masuk bawa tas echolac tak ada yang tertunda lagi sekian pertimbangan tidak laku lagi Dimulai dengan kesabaran, kerinduan penuh hasrat yang nyaris tak dapat ditampung lagi, lalu dilanjutkan dengan kegelisahan yang amat dan kemuakan atas diri sendiri, dan diakhiri oleh pemenuhan yang mengalpakan semesta; puisi yang tidak berpola bunyi maupun enjambemen ini berhasil menampilkan perubahan perasaan tokohnya dengan meyakinkan dan menyentuh. Ini adalah puisi tentang perselingkuhan. Tetapi berbeda dengan harapan umum tentang perselingkuhan, puisi ini tidak menghakimi mereka. Memang ia tetap memberi ironi, sebab ada kekonyolan dalam tingkah manusiawi tokoh perempuan tadi. Tapi, ironi ini begitu lembut, sehingga tidak sampai mencemoohnya. Puisi ini tetap meman-dang baik tokoh perempuan maupun tokoh lelakinya dengan begitu simpatik. Sikap inilah yang menjadi isi refleksi puisi ini: apakah cinta demikian memang benar terlarang? Apakah nuansa-nuansa di sekitar perselingkuhan tidak bisa membuatnya dapat dimaklumi? Perhatikan klimaks puisi ini, yang merefleksikan “peluk-cium” sepasang kekasih terlarang dengan begitu banyak pathos: ranjang yang tadinya benua antara kutub utara dan antartika, kini telah diseberangi oleh dua makhluk setengah baya yang di antara mesum debu, saksi-saksi bisu mengecap madu—, hidup yang tidak begitu muda lagi telah cukup dilukai, dan saling membelai mengecup bekas duri, senjata tajam, berbagai torehan luka kehidupan dalam waktu satu, dua jam, sempat langsung mujarab disembuhkan— Bahkan pemilik losmen, yang tadinya ditafsirkan sendiri oleh si tokoh perempuan mencemooh dan menghakimi dengan tatapan mata, datang kembali setelah semua hasrat dan rindu sepasang kekasih ini terpenuhi, seakan-akan mengerti-memaklumi dan memberi keduanya berkat:
25
Edisi II, Januari-April 2018
“tadi kamar sudah dibayar, ini kembalinya sekalian handuk kami antar lantas mau minum apa?” i antara tiga puisi yang saya bahas di sini untuk mengilustrasikan tiga mode refleksi Toeti Heraty, puisi ketiga, “Dunia”, adalah yang paling pendek tapi sekaligus yang paling padat. Tidak ada kemudahan dari eksposisi yang cukup literal seperti di “Nostlagi = Transendensi”. Tidak ada pula plot cerita yang begitu mudah diikuti seperti di “Balada Setengah Baya”. Di “Dunia”, hanya ada suksesi citra visual tanpa koherensi yang eksplisit. Tapi yang “hanya” ini, disusun begitu baik sehingga dengan efektif merefleksikan keadaan menjadi seorang ibu bagi perempuan.
D
Semenjak penyair perempuan di seluruh dunia tampak kontribusinya pada seni yang dulunya didominasi pria ini, keadaan menjadi seorang ibu sudah banyak dituliskan dalam puisi. Ada—biasanya dengan sudut pandang orang ketiga—menuliskannya sebagai perjuangan heroik: ibu membesarkan anaknya, mengorbankan dirinya sendiri, dengan ikhlas dan bahagia. (Silakan ketik di mesin pencari “Puisi Ibu”.) Tapi tidak sedikit juga yang menuliskan keadaan in seperti dilengketi parasit. Gwen Harwood “In the Park”, yang mirip dengan “Balada Setengah Baya” dalam hal dominannya unsur plot, mengandaikan keadaan menjadi ibu seperti dimakan hidup-hidup oleh anak sendiri. “Dunia” pun, masuk ke kategori kedua ini—kategori yang sebenarnya tidak banyak dihayati kaum perempuan di dalam sistem nilai yang mencitrakan menjadi seorang ibu adalah pekerjaan yang mulia, yang tentu akan diemban dengan bahagia. Bedanya, sementara puisi Harwood berfokus pada penyampaian perasaan seorang individu (aku liriknya), puisi Toeti Heraty adalah puisi komentar sosial yang berfokus pada penyampaian situasi yang dialami sebuah kelompok. Dalam hal ini, perempuan yang menjadi ibu. Ini salah satu alasan mengapa puisi ini diberi penyairnya judul yang amat luas cakupannya. Di samping itu, kedua puisi ini juga berbeda secara signifikan dalam kualitas estetisnya. Bila puisi Harwood sangat hitam-putih menampilkan keadaan menjadi seorang ibu, yang sebenarnya paralel dengan puisi yang menampilkan keadaan tersebut sebagai kebahagiaan sempurna; puisi Toeti Heraty mengakui kompleksitas keadaan ini. Disiratkan di awal, perempuan terbang bebas, menjelajahi pelosok bumi. Setelah menjadi ibu, perempuan terbatasi, terkurung. Akan tetapi, tidak adil mengatakan Toeti Heraty mengungkapkannya sehitam-putih ini. Ia, sebabnya, menggambarkan bahwa ketidakbebasan perempuan bukan karena faktor luar yang begitu kuat, tapi faktor dari dalam dirinya sendiri: gelisah terpingit meronta kuda sembrani tertambat pada pita rambut gadis manja
Esei
26
Pita tentu bukan pengikat yang kuat, apalagi bila yang diikat seekor kuda sembrani meronta. Tapi karena pita itu diresapi perasaan seorang ibu terhadap anaknya, diwakilkan “gadis manja”, kekuatannya menjadi berlipat-lipat. Memadatkan semua informasi ini dalam satu citraan, Toeti Heraty menghindarkan puisinya dari kesan hitam-putih yang reduktif. Di citraan yang kedua pun, Toeti Heraty melakukan hal yang sama. Kali ini ia tidak ingin memperlihatkan bahwa perempuan dengan ikhlasnya, tanpa ada pemberontakan sama sekali melepaskan cita-cita dan impian mereka setelah menjadi ibu: memang tak mudah sekaligus menghapus gemilang warna dari doa tertinggal tengadah yang diberati pasrah Ada pemborantakan yang “tak mudah”: impian perempuan bagi dirinya sendiri yang “gemilang” dan ”[ber]warna” berebut tempat dengan keiginananya untuk anakanaknya. Siapa bilang mudah untuk tengadah sementara tergantung di leher seperti rantai adalah berat “pasrah”? Pengakuan ini juga merupakan usaha Toeti Heraty mengakui semua aspek dari permasalahan ini. Barulah di bait ketiga, ketika kompleksitas sudah disajikan, Toeti Heraty menampakkan di sebelah mana ia berdiri sebenarnya. Apakah kategori puisi keibuan pertama, atau yang kedua, seperti Harwood. Yang kedua ternyata; inilah satu-satunya bagian puisi ini yang senada dengan puisi Harwood: Ah, warna, dupa, mantera memucat kelabu hanya jadi doa seorang ibu — Keinginan-keinginan seorang ibu yang beragam, harum, dan liar akhirnya “kelabu” demi kepentingan anak-anaknya. Hampir mirip dengan Harwood. Penyair Australia itu hanya mengungkapkannya dengan metafora yang lebih bergerigi. i dalam puisi-puisinya, Teoti Heraty bergerak di ketiga mode yang telah saya uraikan di atas. Pertama, mode yang befokus pada refleksi mengenai ide abstrak. Di kancah perpuisian dunia, mode ini misalnya dominan di karya penyair Amerika, Jorie Graham. Selanjutnya, mode yang kedua berfokus pada refleksi dan pengungkapan perasaan. Mode inilah yang paling sering dijumpai di puisi lirik. Akhirnya, mode terakhir adalah yang berfokus pada refleksi mengenai kondisi sosial sebuah kelompok. Penyair yang dominan menggunakan mode ini misalnya Wislawa Szymborska dari Polandia. Kemampuannya bergerak di ketiga mode tersebut memperlihatkan pada kita betapa beragam dan lenturnya seorang Toeti Heraty.
D
27
Edisi II, Januari-April 2018
JANTUNG PENDIDIKAN DAN P E N I N G K ATA N L AYA N A N U N T U K S I S WA P E N YA N D A N G D I S A B I L I TA S oleh Baharuddin Iskandar “Amir juara lagi?” tanya seorang guru.
yang sama. Nasib ini sebenarnya bisa dipecahkan asalkan mereka memiliki prestasi-prestasi yang bisa mengkompensasi kekurangan mereka. Namun, layanan pendidikan di Indonesia untuk penyandang disabilitas belum mampu membantu mengembangkan bakat dan minat mereka. Cita-cita dan amanah agar setiap warga negara mempunyai hak adil untuk memperoleh pendidikan yang sama bermutu sesuai dengan kebutuhannya, jauh panggang dari api. Undang-Undang Pendidikan kita di pasal limanya, sebatas angan-angan. Cita-cita agar warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus masih jauh dari kesempurnaan. Padahal, pendidikan yang baik adalah kunci utama agar jalan mereka menjadi bintang terlalui dan agar zara-zara emas di dalam mereka dapat tersepuh mengkilat. Bila dituliskan secara singkat, kondisi pendidikan khusus bagi penyandang disabilitas seperti Amir masih sekadar terfokus pada rasa iba mengenai cacat mata, tangan, kaki, mental atau kecacatan lainnya. Intinya masih terfokus pada fisik, bukan potensi kecerdasan yang terpendam di dalam diri masing-masing siswa. Padahal pendidikan seharusnya lebih dari rasa iba pada kekurangan fisik. Oleh karena itu, berikut ini saya tawarkan dua model pendidikan yang idealnya diterapkan untuk Amir dan siswa penyadang disabilitas lain agar mereka mampu menaikkan prestige mereka dan mencetak berbagai macam prestasi,
“Iya, dia meraih juara pertama untuk baca puisi?” “Berani juga ya Bapak bawa dia ke situ?” “Maksudnya?” “Bukankah dia bisa tiba-tiba melempar orang?”
ialog di atas adalah petikan dari percakapan dua orang guru di ruang kelas di salah satu sekolah di Makassar. Dalam percakapan tersebut, Amir adalah anak yang autis tapi cerdas. Dia punya kelebihan linguistik: sering juara lomba-lomba. Namun, ia terkadang merepotkan; ia bisa secara tiba-tiba mengambil batu dan melempar guru dan teman-temannya. Saya mengutip dialog tersebut untuk menunjukkan, terutama pada titik “Berani juga ya Bapak bawa dia ke situ?”, bagaimana belum berterima-nya penyandang disabilitas di lembaga-lembaga pendidikan. Amir hanyalah salah satu contoh cerita dari sekian banyak cerita penyan-dang disabilitas di seluruh Indonesia. Di tahun 1970-an, kasus autisme hanya satu dari sepuluh ribu kelahiran. Akan tetapi, tanpa diketahui apa penyebabnya, sekarang tercatat satu dari seratus lima puluh kelahiran merupakan kasus autisme (Kompas dalam Mariani, 2008). Sejalan dengan data ini, Judarwanto dkk. (2015) memperkirakan bahwa di Indonesia sudah lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme. Amir tidak sendiri. Ada banyak Amir lain di belahan nusantara yang mungkin sekali mengalami nasib tidak berterima
D
Esei
28
tualnya. Untuk mencapai hal ini, seleksi ketat perlu dilaksanakan bagi setiap buku yang akan diberikan pada peserta didik agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Solusi kedua yang saya tawarkan adalah peningkatan layanan pendidikan khusus bagi penyandang disabilitas. Umumnya, fasilitas khusus yang disediakan untuk penyandang disabilitas adalah klinik kesehatan, taman bermain, kamar tidur, ruang santai, dan gedung olahraga. Kebanyakan dari fasilitas khusus ini membuktikan perkataan saya mengenai perhatian yang masih terfokus pada aspek fisik peserta didik. Yang terlewatkan di sini adalah fasilitas ruang karya yang mengembangkan aspek intelektual dan kreatifitas peserta didik. Di ruangan ini, idealnya disediakan alatalat lukis, mematung, bermusik, dan lainlainnya. Dengan fasilitas ini, siswa penyendang disabilitas dapat menyalurkan bakat atau kesukaan yang mereka miliki sesuai dengan keahlihan masingmasing. Hasil karya dari ruang kreasi dapat dipamerkan di ruang lingkup yang lebih luas dari sekadar sekolah saja. Hal ini penting untuk menunjang prestige mereka di tengah masyarakat, yang pada akhirny a m em buat m ereka lebih berterima. Di samping itu, peserta didik penyandang disabilitas mesti tetap diajarkan pelajaran agama. Hal ini penting sebab tekanan masyarakat terhadap mereka bisa lebih berat sehingga mereka butuh tempat bersandar secara rohani. Lebih dari itu, pendidikan agama ini bisa digabungkan dengan program literasi dengan menyelingi ceramah dari guru dengan cerita-cerita bermuatan moral yang sesuai. Selanjutnya, siswa penyandang disabilitas juga patut diberikan program rekreasi bersama. Tujuannya tentu agar
sehingga pada akhirnya mereka dapat berterima di lingkungan mereka. Umum disetujui bahwa membaca amat vital dalam proses pendidikan. Sebegitu pentingnya membaca dalam dunia pendidikan sampai AMS—sekolah Belanda masa kolonial—mewajibkan muridnya membaca 25 judul buku semasa sekolah. Dampak dari kebijakan ini dapat kita lihat pada tokoh-tokoh pendiri bangsa: mereka memiliki kekuatan intelektual yang baik seperti tampak dalam berbagai karya tulis mereka. Amat pentingnya, sampai Darma (2016) menyebutnya sebagai jantung pendidikan. Benar, yang saya maskud di judul tulisan ini, sekaligus salah satu solusi yang saya tawarkan adalah pembiasaan membaca pada siswa disabilitas. Hanya saja, untuk melakukan ini, perlu disediakan fasilitas-fasilitas untuk mewadahi dan menumbuhkan minat baca peserta didik penyandang difabel. Pemerintah sebenarnya telah menggalangkan program literasi, misalnya Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun, layanan GLS masih bersifat umum, bahkan sama sekali belum menyentuh peserta didik yang difabel. Untuk itu, akan lebih baik misalnya bila di sekolah dengan siswa penyandang difabel, disediakan sudut-sudut baca yang berlimpah di mana-mana, baik di dalam mau pun di luar kelas. Tentu, hal ini perlu menyesuaikan agar beserta didik penyandang difabel mampu mengakses fasilitas itu dengan mudah. Masih berhubungan dengan hal tersebut, perlu juga diingat bahwa kualitas buku—tidak hanya kuantitas buku—adalah faktor yang amat penting. Meskipun sudut-sudut baca berlimpah, namun kualitas buku yang mengisi rakrak buku di sana buruk, siswa akan tetap tidak berkembang kemampuan intelek-
29
Edisi II, Januari-April 2018
para penyandang cacat tidak stressed dan dapat merasakan yang pada umumnya semua orang dapat rasakan. Bersamaan dengan itu, dapat pula ditambahkan pelatihan mental agar siswa tidak mudah merasa minder.
membutuhkan diskusi yang cukup panjang guna menelaah dari segala aspek kemungkinan dan kecocokannya: aspek kemanusian, psikologi, hak penyandang disabilitas, dan lain-lainnya. Jangan sampai, ingin membangunkan ternyata menidurkan mental. Jangan sampai, ingin membuka mata dan menegakkan literasi penyandang disabilitas, ternyata berkebalikan; mereka malah menjadi berkelebihan mental, semakin obsesif, dan seterusnya. Untuk itu, ide yang disampaikan masih butuh langkah dua, tiga, dan langkah selanjutnya. Berbagai pihak perlu duduk bersama untuk merancang jantungnya pendidikan yang sesuai dan peningkatan layanan pendidikan untuk menciptakan siswa-siswa penyandang difabel yang cerdas dan kreatif. Setelah hal tersebut dilakukan, saya yakin prestige dan prestasi mereka akan meroket sehingga membuat mereka berterima di masyarakat luas.
Tidak lupa tentu, pendamping, pendidik, dan guru-guru dari penyandang disabilitas patut diberikan pelatihan secara lebih intensif sehingga kemampuan mereka mumpuni. Semua ide yang saya jabarkan di atas hampir tidak ada artinya tanpa disertai pembimbing yang mampu menuntun siswa-siswa menjadi yang terbaik. Akhirnya, untuk menghubungkan kedua solusi yang saya tawarkan di atas, dapat diselipkan program-program literasi di setiap layanan pendidikan yang saya usulkan. Misalnya, setelah siswa berolahraga, meraka dapat menyempatkan diri membaca sambil beristirahat di sudut-sudut baca yang telah disediakan. Contoh lain: di program rekreasi dapat dicanangkan juga program membaca bersama. Hal-hal semacam ini membuat kedua usulan saya semakin efektif agar peserta didik makin berkembang secara intelektualitas dan bakat kreatifnya. Tentu mewujudkan gagasan di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, gagasan yang disampaikan dalam tulisan ini masih Esei
DAFTAR PUSTAKA Darma, Satria.. Membaca Sebagai Jantungnya Pendidikan. N.p: Presentasi Seminar. 2016. Print. Judarwanto,et al. “Jumlah Penderita Autis Di Indonesia�. Klinik Autis Online. 06 September 2015. Web. 22 Nov. 2017. (http://klinikautis.com/2015/09/06/Jumlah -Penderita-Autis-Di-Indonesia/) Mariani, Ari Devi. “Kecerdasan Berganda Pada Penderita Autisme�. deviarimariani.wordpress.com. 16 Juni 2008. Web. 21 Nov. 2017. (https://deviarimariani.wordpress.com/20 08/06/16/Kecerdasan-Berganda-PadaPenderita-Autisme) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kementerian Agama RI, n.d. Text.
30
H A R A P A N D A R I T E P I S AWA H oleh Fitrawan Umar
U
mengadakan Malam Puisi Pinrang. Semantara itu, wadah menyalurkan hobi dan belajar menjadi penulis nyaris tidak ada. Setelah pembentukan FLP Pinrang pada tahun 2012, tokohtokohnya kemudian membentuk Komunitas Penulis Pinrang (KPP) untuk menjaring bibit-bibit penulis lain. Tetapi, belakangan, KPP tidak banyak bergerak. Sehingga, FLP Pinrang sementara ini praktis menjadi satu-satunya organisasi yang bisa menjadi penyalur hobi menulis dan mampu mengajarkan cara menjadi penulis.
dara pagi di hamparan sawah Mattiro Bulu dilingkupi keramaian; bukan karena kesibukan petani, tapi karena riuh riang ratusan pelajar di salah satu sekolah menengah atas yang berdiri persis di samping areal persawahan. Hari itu, 24 Desember 2017, sebenarnya adalah hari libur. Selain jatuh pada hari Minggu, sekolah-sekolah juga sedang libur semester. Akan tetapi, SMKN 3 Pinrang, sekolah di tepi sawah itu, nampak penuh wira-wiri: ratusan pelajar dari berbagai sekolah di Kabupaten Pinrang berkumpul. Di sisi sebelah sini, di dampingi guru, beberapa pelajar sibuk mendaftar dan menyimpan barangbarang ke ruang yang telah disediakan. Sementara di sebelah sana, sebagian lagi membopong tikar serta peralatan lain untuk berkemah. Para pelajar ini memang akan berkemah. Tapi, bukan kemah biasa. Tepat di atas meja pendaftaran, tampak sebuah spanduk biru melintang, kiriman dari Kepala UPT Pendidikan Wilayah Pinrang, Drs. Muhammad Arafah, yang memberi ucapan selamat atas terlaksananya Kemah Literasi yang diadakan Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Pinrang. Berjarak 180 kilometer dari Kota Makassar, Kabupaten Pinrang masih sepi akan kegiatan-kegiatan literasi. Belum banyak komunitas literasi independen yang bergerak di dearah lumbung padi ini. Beberapa tahun terakhir, bisa dibilang hanya Komunitas Sahabat Kita yang menyentuh area literasi: mereka rajin menggelar lapak buku gratis, membagi-bagikan buku lewat Koper Pustaka, mendirikan taman baca, dan
Kemah Literasi yang berlangsung 24-26 Desember 2017 adalah bagian dari penerimaan anggota dan kaderisasi penulis FLP Pinrang. Mengambil tema “Membumikan Literasi dalam Sebuah Aksi”, acara ini bermaksud menginternalisasikan (“membumikan”) literasi dalam diri pesertanya yang mencapai 210 orang—sebuah jumlah luar biasa yang tercapai karena bantuan UPT Pendidikan Wilayah Pinrang yang meminta SMA/SMK mengutus siswanya menjadi peserta. Dukungan dari UPT Pendidikan Wilayah Pinrang memang sangat besar. Drs. Muhammad Arafah berkata, “Saya
31
Edisi II, Januari-April 2018
kritis peserta. Hal ini tentu sebab pemateri-pemateri yang dihadirkan amat menarik buat mereka. Selain saya, pemateri-pemateri lain yang hadir adalah Fakhruddin Ahmad (Ketua FLP Sulsel), Baharuddin Iskandar (Guru Berprestasi Nasional asal Pinrang), Khaeriyah Nasruddin (penulis muda Pinrang), Hendra Hermawan, Muhammad Hidayat, dan Andi Batara al Isra. Antusiasme peserta tersebut bisa dilihat di dinding curhat yang secara kreatif dijadikan hiasan di aula SMKN 3 Pinrang (ruangan utama). Debi Wardani misalnya, pelajar SMAN 7 Pinrang, yang menulis, “Saya merasa sangat beruntung dapat mengikuti kegiatan yang keren ini. Kegiatan ini mengembalikan semangat saya menjadi seorang penulis. Saya ingin menjadi seorang penulis karena menurut saya setiap hal yang saya alami sangat berharga untuk dikenang, baik dari apa yang saya capai maupun kegagalan.” Sementara itu, peserta lain, Juria Dewi dari MAN Pinrang, menulis di akun Instagramnya mengenai Kemah Literasi, “Melalui FLP di sinilah kita, kamu dan saya dapat belajar, diajar, dibina sehingga membuahkan pengalaman, ilmu, teman sesungguhnya sekaligus jaringan dalam dunia literasi yang dapat mengembangkan potensi minat baca dan tulis-menulis seseorang dalam menciptakan suatu karya yang takjub.” Perasaan Debi dan Dewi saya yakin mewakili banyak peserta dari acara yang tidak hanya memberi materi 'how to' menulis kepada peserta, tapi juga membekali mereka dengan teknik membaca, motivasi, dan pengembangan diri lainnya. Merekalah bibit-bibit penulis yang sejauh ini tidak mendapat sawah yang pas; merekalah agen-agen intelektual Pinrang di mendatang yang bila diwadahi dengan baik, bisa sesubur hamparan padinya.
melihat kegiatan yang dilakukan sangat bermanfaat. Saya mengamati bahwa literasi di Kabupaten Pinrang masih perlu terus ditingkatkan. Saya memahami benar bahwa literasi di tingkat sekolah, hanya satu dan dua SMA yang telah maju literasinya, dan tentu harus ditingkatkan di masa-masa mendatang.” Pemahaman lembaga birokrasi mengenai pentingnya literasi sungguh merupakan angin segar bagi Pinrang, daerah yang sudah lama menggantungkan diri pada pertanian, perkebunan, dan perikanan. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia sudah menjadi tantangan yang semakin dekat bagi Pinrang.
Turut diundang untuk mengisi Kemah Literasi, saya memberi materi pada hari kedua tentang media dan penerbitan. Intinya, saya menyampaikan bahwa peserta kemah tersebut tidak harus menjadi penulis profesional nantinya; apa pun profesi mereka, mereka tetap bisa menulis. Mereka bisa menjadi dokter yang menulis, pengusaha yang menulis, polisi yang menulis, guru yang menulis, politisi yang menulis, dan lain sebagainya yang menulis. Selama perkemahan berlangsung, sangat terlihat antusiasme dan daya Feature
32
K AWA N L A M A W E N D Y F E R M A N A oleh M. Dirgantara Tapi masing-masing cerita memiliki bentuk berbeda-berbeda beserta kelebihan-kekurangannya. Di cerita “Kembalinya Kapal Dapunta Hyang”, Wendy berhasil mentransformasikan informasi sejarah tidak hanya sebatas informasi: berdiri sendiri mencerahkan pembaca mengenai kejadian di masa lalu—terlepas dari benar tidaknya. Dalam hal ini, adegan pelayaran dan pertempuran Dapunta Hyang dimasukkan Wendy sebagai elemen sureal: “Kapal hantu itu muncul ke atas tanah tatkala malam kelam sempurna. Bilah-bilah dayungnya mengayun depan-belakang menggerus tanah.” Wendy, selain itu, berhasil menjadikan informasi ini tergabung dalam struktur vital cerita, bukan tempelan saja; untuk sampai pada kesimpulan siapa malaikat maut lelaki tua di cerita ini, elemen sureal ini perlu. Hanya saja, Wendy masih kurang kuat memberikan perangkat-perangkat persuasi agar kita benar-benar masuk ke dalam dunia ditabrakannya dua dimensi berbeda ini. Bandingkan dengan ruang sureal di dwilogi Alice yang ditaburi perangkat-perangkat yang kuat (makhluk khas, humor bahasa dan logika, parodi), cerita ini lemah sekali. Deskripsi adegan pertarungan Dapunta Hyang dengan laksama musuh biasa saja. Deskripsi lainnya—selain deskripsi surealis di bagian awal cerita yang cukup mengejutkan — misalnya mengenai langit yang berubah dalam sekejap dan burung-burung masuk laut, sama biasanya. Sementara usahanya membuat permainan bunyi (telah-salah, tulah-telah, ganas-beringas, taringtaringnya tajam) tidak ada artinya, baik di cerita ini maupun di cerita-cerita Wendy lainnya sebab tidak difungsikan sebagai—
Kawan Lama oleh Wendy Fermana Teras Budaya, 92 hlm, Rp.40rb
erdasarkan isinya, ada tiga jenis cerita dikumpulan cerita pertama Wendy Fermana ini. Menjadi yang paling banyak, jenis pertama berinti komentar sosial. Jenis kedua, sejumlah dua cerita, berinti informasi sejarah. Sisanya, juga dua cerita, tentang perasaan manusia. Kesepuluh cerita ini tidak ada satu pun yang sempurna: ada yang punya kelebihan dan kekurangan, ada yang s ama sekali tidak punya kelebihan. Wendy, sebabnya, masih belajar menggunakan medium prosa fiksi. mpat dari enam cerita komentar sosial Wendy merambat di atas bidang hubungan dialektis manusia dengan alam—apa yang sekarang dikenal dengan sastra hijau. Tiga dari empat ini, secara isi bersaudara: “Kembalinya Kapal Dapunta Hyang”, “Lakon Pohon”, “Rahasia Ikan, Rahasia Bumbu, dan Rahasia Lain-lainnya” adalah cerita yang sama. Di cerita pertama, karena membangun kompleks perumahan di bumi Palem-bang, si tokoh disembelih malaikat maut berwujud 'Dapunta Hyang'; di cerita kedua, karena merusak bumi, manusia “musuh-musuh” ditumpas bala tentara langit; dan di cerita ketiga, seorang lelaki dibunuh nenek penjaga rawa karena menyetrum ikan-ikan: manusia merusak alam, lalu alam merusak manusia. Dipertimbangkan dari segi ini saja, tentu membosankan. Bayangkan, bukannya membuat Princess Mononoke lalu Ponyo, Miyazaki malah menubuhkan ulang Nausicaa of the Valley of the Wind sampai tiga versi.
B
E
33
Edisi II, Januari-April 2018
hanya berdiam dalam rumah” sementara dalam bingkai waktu yang sama di paragraf keempat, ia tulis “penduduk kota telah mengungsi, mengemas barang dan meninggalkan kota”; yang lebih kecil, Wendy menulis “anak-cucu Adam” saat sedang mencoba memperkenalkan mitologi baru—hal ini berefek berlawanan dengan yang ingin ia dicapai; dan yang lebih kecil lagi ada banyak—contohnya menulis “durjana” di samping “lemah papa dan tak kuasa”, padahal pengucapnya sedang mempertontonkan self-pity. Akan tetapi, dua cerita ini masih lebih baik dari cerita saudaranya yang ketiga: “Rahasia Ikan, Rahasia Bumbu, dan Rahasia Lain-lainnya”. Dimulai baik dengan suspense, makin ke belakang cerita ini makin buruk. Sebab utamanya karena banyak sekali hal yang tidak terjustifikasi. Benar, nenek penjaga danau-rawa itu ternyata hantu, sehingga kebaikannya tidak perlu dijelaskan. Yang perlu dijelaskan adalah kenapa dua pemuda seakan tahu bahwa nenek penjaga itu adalah hantu yang baik sehingga tidak perlu curiga sama sekali. Adegan kemarahan Dayat juga tidak didukung dasar yang kuat; Wendy tidak bisa mengharapkan pembacanya menyediakan dasar sendiri untuk kemarahan Dayat. Tidak sekali Wendy melakukan ini, dua paragraf setelahnya, ia melakukan hal yang sama. Akhirnya, cerita ini makin buruk saat Wendy memutuskan menyisipkan bagian tidak penting mengenai pria Tionghoa, memutuskan menggunakan perangkat penyampai foto-hantu yang sudah sering digunakan, dan yang paling parah, menyisipkan karakter baru—semacam deux ex machina—di bagian akhir cerita untuk menjelaskan semuanya pada karakter lain dan pada pembacanya. Hanya ada dua hal baik yang bisa disebut tentang cerita ini. Pertama, seperti dikebanyakan ceritanya yang
perangkat dramatik. Sementara itu, meski lebih kurang berhasil bila dibandingkan dengan yang pertama, di cerita mitologis-kosmis “Lakon Pohon”, Wendy berhasil mempermainkan harapan kita. Awalnya, ia memposisikan ceritanya seakan-akan tidak lebih dari cliché dari banyak cerita-cerita alam-manusia: manusia serakah merusak bumi lalu menderita sendiri karena bumi satu-satunya tempat buat mereka. Ternyata, bersama cliché itu, ia perkenalkan mitologi baru sebagai alternatif mitologi yang sering kita j ump a i t e n t a n g p e n c i p t a a n d a n pemusnahan. Bila di agama-agama samawi kita dapati tuhanlah yang menciptakan bumi beserta hutan di dalamnya, di cerita Wendy hutan ditanam seorang raja yang kehilangan; bila di Islam dunia diakhiri manusia melayang-layang saat hamba tuhan di bumi habis, di tangan Wendy dunia berakhir karena bala tentara langit setelah semua hutan hancur. Dan bila di mitologi yang sama setelah dunia berakhir, dunia berakhir; di mitologi Wendy setelah dunia berakhir, dunia tetap ada: tanpa hutan dan tanpa musuh hutan. Sampai di sini, bersama detail kecil seperti metafora “musim digelar dan digulung” dan ironi “[K]erap meninggalkan permaisuri di Istana ketika berburu di rimba raya. Kini Ia yang ditinggal sendirian di rimba dunia yang fana”, cerita Wendy menarik. Akan tetapi, cerita ini punya kekurangan yang cukup besar. Struktur yang disediakan Wendy lemah sekali, seperti acak saja. Tidak ada justifikasi yang bisa saya simpulkan dari pilihan Wendy membuat sjuzhet-nya seperti ini, begitu juga pilihannya mengadopsi struktur lakon dengan narator acuh tak acuh. Di luar ini, banyak bagian yang tidak konsisten, mulai dari yang kecil sampai yang besar: yang paling besar, di paragraf pertama Wendy menulis “orang-orang Ulasan
34
juga cerita gagal. Agar berhasil, kita sepatutnya peduli pada dunia dan perasaan si narator. Tapi Wendy tidak cukup membujuk kita untuk peduli, terutama karena Wendy mengasumsikan kita setuju bahwa keadaan keluarga narator di awal lebih baik di banding di akhir, bahwa taman lebih baik dibandingkan semen. Asumsinya ini, dengan akibat fatal, membuat dia puas menggunakan karakterisasi sinetron religi dan memberi narator suara yang tidak diolah sampai benar-benar kredibel sebagai suara seorang bocah. Betul, ada usahanya membuat bocah ini seperti bocah: “Aku duduk sendirian di beranda, sambil mengunyah biskuit kaleng yang renyah.” Tapi ini tidak cukup. Wendy perlu mengeksplorasi medium bahasa dan konvensi seni lebih jauh untuk menguasai hal sulit ini. Pada akhirnya, kalimat yang sudah susah-susah ia rancang (“Aku mendadak bahagia, meski pekarangan kami, kini hanya berupa satu pot bunga”), menjadi sia-sia belaka.
lain, Wendy sudah menunjukkan kemampuan membuat akhir yang mengikat struktur cerita. Saat pertama datang ke rawa-rawa, tokoh utama mendengar “suara-suara binatang; derik jangkrik, kerok kodok bangkong, kicau burung ayam-ayam, dan cericit muraibatu”, lalu saat makan pindang buatan nenek rawa, meski tak disebutkan, tentu si tokoh mencium aroma rempah masakan itu. Wendy mengikat kedua hal ini di akhir cerita saat ia menampilkan tokoh utama mendengar “ s ua r a -s ua r a bur ung, k a t a k , d a n jangkrik” dan mencium “harum bumbubumbu pindang”. Kedua, dibandingkan simile aneh Wendy di “Lakon Pohon” untuk menjelaskan bentuk surai pertahanan hutan: “seperti rambut perawan yang mandi di sungai”; simile serupa di cerita ini lebih tepat penggunaannya: “rerumputan yang tumbuh terendam air, bagaikan rambut yang terhanyut”. Tapi dua hal baik ini tidak bisa menebus keburukan cerita ini. Bersama tiga cerita bersaudara ini, masih ada satu lagi komentar sosial Wendy mengenai manusia dan alam. Namun, bila di tiga cerita di atas manusia merusak alam lalu alam merusak manusia, di “Pekarangan”, alam tidak berbuat apa-apa. Malah, cerita ini lebih berinti menjauhnya manusia dari alam seiring kemapanan ekonominya. Disampaikan dari mulut bocah bertendensi romantis (penuh memori, cinta alam), cerita ini dibentuk dalam struktur klasik dulu-sekarang. Dulu, kehidupan ayah-ibu-anak ini seperti potret keluarga bahagia; sekarang, mereka seperti keluarga mapan yang sibuk mencari penghidupan tapi tidak punya kehidupan. Di tengah-tengahnya, ada bunga gelombang cinta yang sempat heboh dan—ini lebih krusial—perkembangan ekonomi orangtuanya. Cerita yang strukturnya rapi. Patut disayangkan, akan tetapi, ini
M
asih tergabung dalam kelompok komentar sosial adalah “Keluarga Besar”, tentang gagalnya program pengendalian jumlah penduduk cetusan Orde Baru itu; dan “Perang Lebah”, sebuah potret jurang antara generasi tua (bernama lokal) dan generasi muda (bernama impor) sekaligus potret kompleksnya intrik politik. Cerita pertama, “KB”—perhatikan permainan Wendy dengan judulnya ini—merupakan satu dari dua cerita Wendy yang sebenarnya sedikit lagi bagus. Struktur cerita ini secara umum bulat; awal dan akhirnya terikat kuat. Di tambah lagi, narator, yang serupa dengan narator cerita-cerita metafiksi Murjangkung atau Rumah Kopi Singa Tertawa, mengikatnya dengan simpul yang bagus. Di luar itu, Wendy berulangkali memperlihatkan kemampuannya memfungsikan des-
35
Edisi II, Januari-April 2018
keenam Wendy. Merupakan alegori untuk situasi politik masa sekarang, di sini kita lihat Wendy dalam mode-nya yang paling khotbah. Apa hikmah cerita ini? Wendy menjawab: “barangkali kami akan menghadapi hari yang sama melelahkan, di dunia yang begitu rumit dan membingungkan, dan penuh persekongkolan yang tak pernah terbayangkan”. Karena keputusan ini, sulit untuk membujuk pembaca. Ditambah lagi tanpa itu pun, cerita ini, seperti “Pekarangan”, sudah kurang kuat bujukannya. Suspense yang disediakan Wendy tentang kebobrokan generasi tua gagal karena karakterisasi mereka tidak cukup detail dikembangkan. Wendy juga perlu memikirkan pengganti perangkat deux ex machina lebah di akhir cerita yang buruk efeknya buat 'kejutan' yang ia simpan-simpan. Selain ini, Wendy juga perlu bekerja lebih keras mengisi tiap-tiap ruang kosong kertas dengan hiburan-hiburan buat pembacanya, entah humor atau kecerdikan bahasa atau imajinasi. Di versinya yang sekarang, cerita tentang kompleksnya intrik politik ini tidak lebih dari alegori yang terlalu sederhana. Berbeda dengan di “Kembali Kapal Dapunta Hyang”, di dua cerita sejarahnya, Wendy salah persepsi bahwa informasi sejarah saja bisa menjadikan karya fiksi baik. Bisa dimengerti niat mulia Wendy, di “Kawan Lama”, untuk ikut dalam gerakan menuliskan kisahkisah tokoh yang tenggelam dalam sungai sejarah; tapi niat ini jugalah yang membuat cerita ini mengapung seperti kuda nil mati: gemuk tapi tidak menghibur. Potret “pejuang republik yang dihapuskan dari kitab sejarah” ini lebih merupakan kumpulan informasi daripada cerita yang punya tanggungjawab untuk menghibur, bukan tanggungjawab untuk memberi pengetahuan. Bahwa cerita ini gemuk dengan informasi tapi gagal menjalinnya ke
kripsi tidak hanya sebagai deskripsi literal tapi juga simbolis: Di sekeliling petak tanah berbentuk segitiga itu, para tukang kebun dari dinas pertamanan kota, menanam bunga hias yang aduhai tidak kunjung besar. Enah kenapa keadaanya belum juga elok dipandang mata, dan permasalahan ini belum juga terpecahkan.
Seperti tugu yang tak kunjung besar bunganya, program KB juga demikian. Akan tetapi, di cerita ini Wendy tidak bisa menahan dirinya untuk tetap fokus memasukkan hanya bagian yang relevan saja. Tidak ada hubungannya I a me l u p a k a n b a hw a s e h a r u s n y a i a mengerjakan makalah yang harus disetornya esok pagi […] ke sebuah harian lokal yang belakangan sering menerbitkan artikel dan cerita pendeknya, tetapi ketika dia kunjungi untuk mengambil honor, mereka sering bilang, “Bendahara sedang tidak ada di tempat”
maupun “Si mahasiswa mempunyai bahan lagi untuk menulis surat pembaca. Pemerintah memang harus terus-menerus dikirim surat pembaca untuk bergerak” dengan inti cerita ini. Bahkan, di bagian kuliah ilmu budaya— bagian yang meski masih ada hubungannya dengan inti cerita— terlalu dikembang-kan Wendy sampai terkesan berdiri sendiri. Wendy seharusnya mengerti, apa yang menarik baginya tidak ada artinya kalau tidak bersangkut-paut dengan cerita yang sedang ia tulis. Selain ini, tersisa masalah kecil-kecil. Wendy, misalnya, terlalu meremehkan pem-bacanya saat menulis “yang tentu saja mencemooh istilah lama, 'Banyak anak banyak rezeki.” dan “KB atau Keluarga Berencana.” Hal semacam ini membantu pembacanya yang terlalu bodoh, tapi menganggu pembacanya yang cukup tahu. Sementara itu, di “Perang Lebah”, meski terkesan cerita sejarah, sebenarnya adalah cerita komentar sosial Ulasan
36
perangkat bahasa; yang ada hanya informasi 'setelah itu setelah itu' yang mengambil alih panggung pertunjukkan. Padahal kita datang bukan untuk kuliah sejarah, tapi untuk menikmati hiburan.
dalam cerita yang baik bisa dilihat dari gerakan-gerakannya yang lebih banyak merupakan rangkuman kejadian. Satu contoh: Akan tetapi, ia sudah lebih dulu kabur, masuk ke hutan, bertaruh nyawa dengan tentara kolonial, juga binatang buas. Kemudian, ia menyeberang ke Bandung dan melesat bak angin ke Semarang.
i kelompok terakhir, bersanding dengan “Toko Buku”, “Penunggu” adalah cerita yang buruk sekali sampai-sampai saya bingung kenapa Wendy memutuskan mengumpulkannya. Seperti di “Pekarangan”, Wendy tidak berhasil mepresentasikan perasaan karakternya dengan pantas sampai pembaca bisa merasakannya sendiri. Tapi setidaknya “Pekarangan” menunjukkan usaha Wendy, sementara cerita ini seperti hasil coret-coret draft saja. Saya duga Wendy berpikir tehnik projeksi dan mitos tentang pasangan abadi Sungai Musi cukup membelikan tiket buat ceritanya ini menyeberang ke Puncak Parnassus. Dia barangkali tak sadar di tengah sungai ceritanya tibatiba serangan jantung melihat kuda nil mati dan ikut-ikutan mati. Sebenarnya tak pantas bersanding dengan “Penunggu”, “Toko Buku” adalah cerita Wendy yang paling bagus. Sebuah cerita menyentuh tentang persahabatan sekaligus meditasi tentang perjuangan dalam kehidupan, di sini kita lihat Wendy mampu menyaring ciri khas Linda Christanty dan menggunakannya untuk keperluannya sendiri. Cerita ini punya semua komponen yang kita temui di Linda: karakter anti-hero, kejadian politik di jalinan mengenai hari-hari biasa, dan ingatan. Namun, Wendy tidak berhenti sampai di situ. Bersama komponen ini, dia tambahkan permainan alusi—bukan perangkat yang dieksplorasi Linda—sehingga ia tidak terkesan seratus persen menulis cerita dengan tangan Linda. Permainan alusi Wendy di cerita ini, karena ketergabungannya dengan tubuh cerita, bahkan lebih baik, mislanya, dari
D
Pelarian berakhir saat ia sedang mengajar di sekolah bumiputera. Penyamarannya terbongkar. Ia dijebloskan selama tiga bulan di tiga penjara, di tiga kota berbeda, dicap sebagai manusia bahaya nomor satu. Ia dibuang, jauh dari tanah airnya.
Di awal dan di akhir cerita sebenarnya, Wendy berusaha bercerita, dan usahanya bagus bila dipertimbangkan terpisah. Perhatikan paragraf pertama yang menyampaikan informasi mengenai hubungan 'teman-musuh' Han dan Malik dulu di bangku kuliah di Belanda yang menggoda penasaran. Perhatikan juga lima paragraf terakhir yang menyentuh, sebab memanusiakan Malik dengan segala kelebat ingatannya. Akan tetapi, ketika disandingkan dengan bagian tengah cerita, moncong dan ekor ini tidak bisa menyalamatkan kuda nil yang sudah terlanjur bertemu dewa-dewa di atas. Masalah yang persis sama ada di cerita “Pembuangan Sultan” yang mendramatisasi kejadian di sekitar kejatuhan Badaruddin II beserta Kesultanan Palembang di tangan Belanda yang diotaki oleh de Kock. Di percakapan antara de Kock dan Najimuddin—“Sultan Mantan”—di awal kita jumpai tehnik juktaposisi bagus antara paragraf pertama dan kedua; dan di akhir kita jumpai usaha untuk menginterpretasi perasaan Sang Sultan saat melihat keluarga dan kerjaaannya di titik nadir. Namun, di tengah-tengah kita rasakan tidak ada pathos, tidak ada humor, dan tidak ada kekaguman karena penguasan
37
Edisi II, Januari-April 2018
permainan Seno di "Lelaki yang Terindah". Contoh ini ilustratif: “'di Karet, di Karet, daerahku yang akan datang', tetapi dalam hati ia tak penuh berharap, 'di mana saja terserah, tempatku yang akan datang'”. Di luar ini, kita lihat juga kemampuan Wendy membuat bagian-bagian kecil yang bagus. Ada ironi dalam bentuk antitesis: “Debu yang tak diharapkan kehadirannya terus saja bertamu, sedangkan para pecinta buku yang ia doakan saban pagi saat membuka pintu tokoh tak kunjung datang.” Ada daftar—daftar paling bagus dari sekian banyak daftar di buku ini: “Akan tetapi, sejak puluhan tahun yang lalu, ia tidak lagi membaca buku itu karena ia merasa telah menghafal seluruh bagiannya, bab demi bab, halaman per halaman, jumlah paragraf, bentuk kalimat, dan kesalahan huruf di cetakan pertama buku itu.” Ada lelucon yang berhasil: “Kenapa kau tak buka Rumah Makan Padang saja? Semua orang butuh makan.” Hanya saja, memang tidak semua bagian-bagian semacam ini sempurna: adegan cliché; kematian Anwar sudah penyampaian-penyampaian informasi Wendy kadang bagus kadang tidak; ada satu transisi Wendy kurang koheren; dan ada lelucon Wendy yang gagal setelah yang satu berhasil. Kelebihannya, tetapi, tidak seperti di cerita lain, menebus kekurangankekurangan ini. Di hari ia menerima surat pemberitahuan penutupan toko bukunya, di hari ajalnya tiba, Anwar mengingat perjalanan hidupnya. Dari masa pemerintahan Soekarno, ketika dia masih seorang aktivis; lalu masa Soeharto ketika ia, karena kegentarannya, bukan lagi aktivis dan membuka toko buku; sampai masa tuanya di Era Reformasi sebagai pemilik toko buku sepi pengunjung. Berkelindan bersama ini, adalah ingatannya tentang sahabatnya yang Ulasan
mati muda—terinspirasi dari Sok Hok Gie—serta perasaan-perasaan yang timbul karena ingatan ini. Melalui kisah Anwar dan sahabatnya, Wendy menyalurkan hasil kontemplasinya dengan struktur klasik sekarang : lalu : sekarang : akan datang. Benar, Gie mati muda, tapi apakah rugi sebab dia yang akan diingat sejarah? Benar, Anwar hidup jauh lama, tapi apakah berarti hidup bila tenggelam dalam lautan waktu? Benar, Anwar tidak seberani sahabatnya, tapi apakah benar sahabatnya lebih 'hidup' dibandingkan Anwar? Apakah perjuangan Anwar yang sunyi dan tanpa nama tidak ada banding-annya dengan perjuangan jalanan sahabatnya yang lantang dan terpampang? Cerita ini sudah cukup bagus seandainya Wendy tidak menjawab dan menyudahi ceritanya di kematian Anwar. Dia, tetapi, melangkah lebih jauh dan dengan adegan yang ia pisahkan ke masa depan: Pada waktu yang lain, barangkali ada yang akan membeli dan membawa buku itu [buku tentang sahabat Anwar] pulang, terus membaca dan mengetahui isi buku merah tersebut. Atau akan ada seseorang yang merobek plastik buku dan membacanya di tempat, lalu meninggalkannya pergi. Musik di toko buku masih mengalun lembut, membuat pengunjung lupa waktu.
Yang akan diingat karena perjuangannya adalah mereka yang pemberani, yang lantang. Tapi yang memberi fasilitas agar buku-buku tentang orangorang seperti mereka, adalah orangorang seperti Anwar. Di “Toko Buku”, Wendy menunjukkan apa yang saya harap akan ia kembangkan ke depannya: kemampuan mengorganisir masalah kompleks ke dalam struktur yang rapi dan cerita yang menghibur. Semoga Wendy cepat selesai belajar.
38
CALL FOR SUB MIS SION Kami menerima kiriman tulisan untuk diterbitkan di edisi ketiga kami. Meski tidak mematok batasan tema, kami menentukan jenis dan menyarankan panjang maksimal tulisan sebagai berikut: 1. Kritik Sastra @3000 kata 2. Kritik Seni (Film, Theater, Musik) @2500 kata 3. Esai Umum @2000 kata 4. Ulasan Buku @2000 kata 5. Puisi @5 puisi 6. Cerita Pendek @3500 kata 7. Feature @1700 kata Naskah dikirim ke majalahsalosaddang@gmail.com sampai dengan 1 April 2018 mengikuti ketentuan berikut: 1.Naskah dilampirkan. Tidak perlu diberi surat pengantar. 2.Subjek surel diisi dengan format JENIS TULISAN - NAMA 3.Jenis file pdf/rtf. 4.Times New Roman, 12. 5.Margin 3/3/3/3. 6.Biodata narasi penulis disertakan di halaman terakhir naskah tulisan. 7.Cantumkan WA/HP yang bisa dihubungi. Di antara tulisan yang termuat, ada honorarium bagi tulisan(-tulisan) terpilih. Penjelasan lebih jauh @ 081391590508.
Salo Saddang diterbitkan oleh Komunitas Penulis Pinrang bekerja sama dengan FLP Pinrang. Majalah sastra ini didirikan tahun 2014 oleh Fitrawan Umar. Setelah vakum selama 4 tahun, majalah ini terbit kembali dengan bantuan dana dari Baharuddin Iskandar.