Salo Saddang, Mei - September 2018

Page 1

Edisi III, Mei-September 2018

Bagaimana Cara Membaca Buku? —VIRGINIA WOOLF


Pemimpin Redaksi M. Dirgantara Anggota Redaksi Mawar Fatmah Nining Angreani Penata Letak dan Artistik Visual Adien Gunarta

Alamat Redaksi: Komunitas Penulis Pinrang Jl. Gajah No. 46 Pinrang, Sulawesi Selatan. majalahsalosaddang@gmail.com WA 0853-4291-4757


didirikan pada 2014 / Edisi III, Mei-September 2018 issuu.com/salosaddang

C E R I TA Dokter dan Pasiennya yang Mau Bunuh Diri F E B R I S A P T O W O Fabel-Fabel A E S O P [10] Asal Mula Semesta berdasarkan Mitos Yunani N.N. [12]

[06]

PUISI The Collar G E O R G E H E R B E R T [15] Remembrance E M I L Y B R O N T Ă‹ [17] Antar Bintang M . A G U N G T R I W I J AYA [18] Balada Jika dan Maka F E B R I S A P T O W O [19] Memancing D E S TA L I N O [20] Puisi-Puisi A M I R H A M Z A H [21] ESAI Bagaimana Cara Membaca Buku V I R G I N I A

W O O L F [26]

ULASAN Sebingkis Pesan dari Bajrangi K H A E R I YA H

N A S R U D D I N [37]

KONTRIBUTOR Aesop adalah penulis fabel termasyhur dari Yunani abad 5 SM. Amir Hamzah adalah penyair unggulan Pujangga Baru. Buku puisinya adalah Buah Rindu (1941) dan Nyayi Sunyi (1937). Destalino adalah Guru di SMKN 1 Paguyaman Pantai, Boalemo, Gorontalo. Emily BrontĂŤ adalah novelis dan penyair Inggris abad 19. Karyanya yang terkenal adalah Wuthering Heights.

Febri Saptowo adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Sriwijaya. George Herbert adalah penyair besar Inggris abad 17. Khaeriyah Nasruddin adalah penulis Risalah Kunang-Kunang (2016). M. Agung Triwijaya adalah mahasiswa PKN STAN. Virginia Woolf adalah novelis dan esais Inggris. Karyanya antara lain Mrs. Dalloway, Orlando, dan To the Lighthouse.



C E R I TA


D O K T E R D A N PA S I E N N YA YA N G M A U B U N U H D I R I oleh Febri Saptowo Ginting melihat satu per satu map yang diletakkan oleh sang dokter. Ada label dengan nama orang di masing-masing map. Beberapa nama dilingkari dengan pulpen berwarna emas. Beberapa digarisbawahi dengan pulpen berwarna hitam, dan sisanya tidak ada tanda apa pun yang diberikan. Dokter tersenyum melihat Ginting yang memperhatikan map-map tersebut. “Ada yang mau ditanyakan?” Ucapnya. “Harusnya Dokter yang langsung menjelaskan kenapa mengambil mapmap ini.” Ginting mengernyitkan dahi. “Ayolah, kau kan mau mati, banyaklah bicara, kalau sudah mati tidak bisa bicara lagi, lho.” Dokter melihat Ginting sambil senyum-senyum. “Eee… oke, kenapa kau mengeluarkan semua berkas ini, Dok?”tanya Ginting. “Ini daftar orang yang pernah aku tangani, dan sudah meninggal.” Dahi Ginting makin mengernyit. “Bukan, bukan meninggal karena penyakitnya. Mereka bunuh diri.” Kali ini bukan hanya mengernyit, Ginting sampai membuka sedikit mulutnya. Semakin heran dengan apa yang dikatakan dokter. “Yaaah, kali saja kau mau tahu cara bunuh diri yang paling efektif berdasarkan pengalaman-pengalaman orang bunuh diri.” Dokter bersandar ke sandaran kursinya. “Lihat, orang bunuh diri bisa bermanfaat bagi kita yang masih hidup, mereka memberikan kita referensi cara untuk mati.” “Ah, lihat lagi, ada nama yang dilingkari dengan tinta emas, itu menunjukkan kalau dia sukses untuk

ok, saya mau bunuh diri,” ucap Ginting saat dia mendatangi dokter langganannya. “Oh, bagus itu, sangat berguna bagi kesehatan,” jawab Dokter sambil bersandar di kursi empuknya. “Berguna bagi kesehatan? Tapi, banyak orang yang mencemooh orang yang bunuh diri, Dok?” Baru kali ini dia bertemu orang yang menyetujui bunuh diri. Apalagi ini seorang dokter. “Itulah, orang yang mencemooh orang yang bunuh diri itu tidak mengerti dunia medis,” ucap dokter. Kali ini ia mendekatkan wajahnya ke arah Ginting. “Orang yang bunuh diri tidak akan pernah sakit lagi. Orang yang bunuh diri akan menghentikan pertumbuhan sel kanker di dalam tubuhnya. Orang yang bunuh diri tidak akan lagi rutin mengonsumsi obat-obatan,” lanjutnya. “Tapi, Dok….” “Bahkan….” Ginting mendekatkan wajahnya ke arah dokter, penasaran apa yang akan dikatakan dokter itu lagi. “Orang yang bunuh diri tidak akan p e rnahmengurusimasalahdi kehidupannya lagi, utang, sekolah, cinta….” “I, iya, tapi dia mati?” “Ya,memang.Apalagiyang diharapkan dari bunuh diri?” ucap sang dokter. Dia berdiri menuju rak buku di belakang mejanya. Memilih beberapa berkas dengan warna map merah lalu kembali duduk. “Kematian adalah puncak kesehatan.” Dokter itu meletakkan map satu per satu ke atas meja.

D

Cerita

06


Ginting, ini tidak akan terjadi, kalau saja aku bertanya kenapa ke Ginting saat melihatnya murung seharian kemarin.' Kau bisa bilang begitu, Dok, atau kau bisa bilang kalau keluargaku atau temanku bisa ikut-ikutan bunuh diri karena terlalu merasa bersalah.” Ginting menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya, dokter hanya melihatnya sambil sedikit tersenyum. “Atau, atau, kau bisa bawa agama ke dalam ceramah nasihatmu itu. 'Ginting, kalau kita bunuh diri, neraka adalah tempat kita.' Aku ngerti agama, Dok, setelah ibuku meninggal aku rajin salat.” Ginting mengakhiri ucapannya dengan napas terengah-engah. “Baik, baik, kalau prosedurnya seperti itu, mari kita ulangi dari awal. Ginting, kenapa kamu kemari?” ucap Dokter sambil memangkukan dagu dengan kedua tangannya. “Aku mau bunuh diri,” jawab Ginting singkat. “Hah? Bunuh diri?” Dokter kaget, mulutnya menganga lebar, lalu dia menempelkan kedua tangannya di pipi kiri dan kanan. “Kenapa?” lanjut dokter. “Harusnya kau tanyakan itu sejak tadi, Dok.” “Aku hanya bisa membantu seseorang menyembuhkan penyakitnya, bukan membalikkan waktu, jadi kenapa kau mau bunuh diri?” Ginting menghela napasnya. “Pacarku selingkuh dengan mantannya, dia tidak pernah benar-benar menyukaiku, dia cuma kasihan melihatku terlalu berjuang untuknya, aku terlalu berharap banyak padanya. Aku terancam drop out dari kuliahku, karena waktu studiku yang hampir kedaluwarsa. Ayahku dipecat sejak dua minggu lalu, sekarang dia sakit, hampir satu minggu, entah karena apa. Dengan kata lain, tidak ada pemasukkan

bunuh diri dengan cepat, yang digarisbawahi dengan tinta hitam, mereka mati setelah dirawat di rumah sakit, ada yang sampai satu minggu dirawat baru mati, mereka gagal sukses untuk cepat mati. Tapi, tetap mati juga.” Dokter menjelaskan dengan menunjuk map yang memiliki tanda pulpen. “Yang tidak ditandai?” tanya Ginting mulai penasaran. “Nah, mereka tidak punya cerita spesial, mereka meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.” Dokter memisahkan map berdasarkan tanda tersebut. “Mau melihat cara mati yang mana terlebih dulu?” “Tunggu, tunggu, kenapa kau langsung menawariku cara untuk bunuh diri? Bukankah harusnya kau tanya dulu kenapa aku ingin bunuh diri? Tadi saat aku bilang mau bunuh diri kau malah bilang kalau itu bagus, sekarang kau langsung menawariku cara untuk mati, kau benar-benar lulus dari Fakultas Kedokteran, kan?” Ginting sedikit naik pitam, kali ini pantatnya berniat untuk beranjak dari tempat dia duduk. “Iya, terus kenapa? Kau datang kemari untuk bilang kalau kau mau bunuh diri, apa lagi yang harus aku lakukan?” “Ini tidak sesuai prosedur, harusnya yang pertama kali kau lakukan setelah mendengar ada orang yang mau bunuh diri adalah kaget, setelah itu tanyakan kenapa aku mau bunuh diri, lalu aku akan menjawab alasan-alasan kenapa aku mau bunuh diri, selesai bercerita kau langsung melarangku untuk bunuh diri. Kau bisa menceramahiku setelah itu, bilang bagaimana perasaan keluargaku kalau aku bunuh diri, mereka akan sedih, duka mendalam akan mereka rasakan, bisa jadi keluarga dan teman-temanku menyalahkan dirinya atas kematianku, 'Harusnya aku lebih memperhatikan Ginting, coba saja aku lebih dekat dengan

07

Edisi II, Mei-September 2018


mau mati dengan cara yang mana? Yang ditandai dengan tinta emas, tinta hitam, atau yang tidak ada tanda?” Dokter menawarkan sambil menunjuk map merah di atas mejanya satu per satu. “Dokter gila!” Bentak Ginting sambil berdiri dari tempat duduknya. “Orang mau bunuh diri bukannya dilarang malah ditawari cara bunuh diri.” Lanjutnya sambil berjalan ke pintu keluar. “Ginting,” panggil dokter. “Memangnya kenapa kamu ke sini?” Ginting menatap dokter dengan bingung, tapi kini ada raut marah di wajahnya. Dia lalu membuka pintu dan pergi dari ruangan dokter. Dokter merekahkan senyumnya kembali. Dia membuka sebuah map dengan tanda tinta emas, tidak ada isi apa pun di dalamnya. Hanya sebuah potongan kertas. Sang dokter mengambil kertas itu dan menulis nama Ginting di atasnya. Dia menempelkan kertas itu di sebuah map merah baru yang dia ambil dari laci mejanya, lalu melingkari nama Ginting dengan pulpen bertinta emas.

untuk keluarga kami, aku anak tunggal, entah ke mana aku berharap. Temantemanku sudah bekerja, menikah, jadi petinggi, semua jauh, aku hanya bercerita semua masalahku ke pacarku, dan dia sekarang sudah jadi mantanku.” “Apa pun alasannya, janganlah bunuh diri, keluargamu….” “Heh, aku hanya punya ayah sekarang, kalau aku mati, hanya dia yang akan sedih, lagi pula dia juga sebentar lagi akan mati.” “Katanya kau rajin ibadah, kau tahu kan kalau kamu bunuh diri kamu akan ke mana?” ucap Dokter, kali ini menyapukan telunjuknya di ujung mata. “Iya, aku sangat tahu, tapi hidup pun aku mau ke mana? Kuliah tidak, orang yang aku jadikan semangat sudah pergi, ayahku sebentar lagi mati.” “Nah, prosedurnya sekarang sudah aku lakukan, kau masih ingin bunuh diri?” tanya Dokter dengan senyum yang perlahan merekah. “Tentu saja masih, Dok,” jawab Ginting tanpa ragu. “Baiklah kalau begitu, sekarang kau Cerita

08



FA B E L - FA B E L oleh Aesop diterjemahkan oleh M. Dirgantara

TOKEK eorang pemuda suatu waktu membacakan pada Aesop beberapa tulisannya yang kebanyakan berisi bualan tentang dirinya sendiri, dan dia amat penasaran apa pendapat orang tua itu tentang tulisannya. “Kuharap kamu tidak menganggapku terlalu sombong dan kepedean.” Tulisan sampah pemuda itu membuat Aesop muak. “Kurasa bagus sekali,” kata orang tua itu, “kamu memuji dirimu sendiri. Soalnya tidak akan ada yang melakukannya selain kamu.”

S

Hanya Harapan yang Tersisa ewa Zeus memasukkan semua yang berarti di kehidupan ke dalam sebuah kendi, menutupnya, dan menitipkannya pada seseorang. Terlampau penasaran isinya apa, orang ini membuka kendi itu. Seketika, berbondong-bondong, semua isinya terbang ke angkasa. Hanya Harapan yang tersisa. Sebelum Harapan sempat keluar, orang itu sudah menutup kendinya kembali.

D

Sang Negarawan dan Rakyat Atena emades, sang orator, sedang berpidato di depan rakyat Atena, tetapi karena mereka tidak begitu memerhatikan, ia meminta izin menceritakan kisah-kisah Aesop saja. Saat disetujui, dia memulai ceritanya: “Suatu ketika, Demeter sedang bepergian dengan seekor burung layang-layang dan seekor belut. Begitu mereka sampai di tepi sebuah sungai, burung tadi terbang, sementara belut cemplung ke sungai." Demades berhenti di sini. “Jadi,” tanya warga Atena antusias, “bagaimana dengan Demeter?” “Dia murka,” kata Demades, “Urusan negara tidak peduli, kisahkisah Aesop semangat sekali."

D

Cerita

10



AWA L M U L A S E M E S TA diceritakan kembali oleh M. Dirgantara

Uranus adalah suami dan ayah yang kasar. Ketiga Hekatonkheire bahkan membencinya. Sebagai balasannya, Uranus juga membenci mereka. Saking bencinya, Uranus memasukkan ketiganya kembali ke dalam rahim Gaea.

ada mulanya adalah Chaos, kacau-balau maha besar. Tapi entah bagaimana, pada suatu waktu, kekosongan ini melahirkan Gaea, atau bumi; Tartarus, atau alam bawah; dan Eros, atau dewa cinta yang bercahaya. Chaos juga melahirkan Erebus, kegelapan; dan Nyx, malam.

P

Kesakitan, Gaea dendam dan berencana membalas suaminya. Ia mengukir sabit dari batu dan memerintahkan anak-anaknya untuk membunuh ayahnya. Sayang, hampir semua anak-anaknya ketakutan duluan. Hampir semua, kecuali anaknya yang bernama Chronus (Waktu).

Kemudian, Erebus tidur bersama Nyx. Dari sini, Nyx melahirkan Aether, cahaya surga; dan Hemere, cahaya langit. Namun, meski tidak dibuahi Erebus lagi, Nyx berturut-turut melahirkan Moros (Malapetaka), trio Moerae (Takdir), Thanatos (Kematian), Hypnos (Tidur), Oneiroi (Mimpi), Nemesis (Pembalasan) dan berbagai macam kekejaman yang merenggut manusia di dalam kegelapan.

Nyx melingkupi semesta. Lelap tertidur di samping Gaea, Uranus tidak sadar bahwa di kegelapan Chronus sedang siap dengan sabit di tangannya. Satu. Dua. Chronus berhasil mengebiri ayahnya dengan sabit ibunya. Darah mengucur dari sana, melahirkan Furies (Amuk), yang menghukum kejahatan; peri-peri pohon ash, dan raksasaraksasa. Sebelum Uranus sempat bereaksi, Chronus sudah membuang buah pelir ayahnya ke laut yang membuihkan gelombang dan melahirkan Aphrodite, dewi kecantikan dan cinta. Saat Uranus tersadar, ia menghilang setelah berjanji akan membalas Chronus dan saudarasaudaranya.

Seperti Nyx, Gaea juga melahirkan tanpa pasangan. Menariknya, selain Ourea (Gunung-gunung) dan Pontus (Laut), Gaea melahirkan Uranus, atau langit berbintang-bintang, pasangannya sendiri. Gaea dan Uranus memadu kasih. Hasilnya, lahirlah kedua belas Titan, ketiga raksasa bermata satu Kiklops, dan ketiga raksasa Hekatonkheire bertangan seratus berkepala lima puluh. Di sini, setelah kita tahu siapa yang melahirkan siapa, konik cerita mulai: Gaea dan anak-anaknya sadar bahwa Cerita

12



PUISI


THE COLLAR oleh George Herbert

I struck the board, and cried, "No more; I will abroad! What? shall I ever sigh and pine? My lines and life are free, free as the road, Loose as the wind, as large as store. Shall I be still in suit ? Have I no harvest but a thorn To let me blood, and not restore What I have lost with cordial fruit ? Sure there was wine Before my sighs did dry it; there was corn Before my tears did drown it. Is the year only lost to me ? Have I no bays to crown it, No flowers, no garlands gay ? All blasted ? All wasted? Not so, my heart; but there is fruit, And thou hast hands. Recover all thy sigh-blown age On double pleasures: leave thy cold dispute Of what is fit and not. Forsake thy cage, Thy rope of sands, Which petty thoughts have made, and made to thee Good cable, to enforce and draw, And be thy law, While thou didst wink and wouldst not see. Away! take heed; I will abroad. Call in thy death's-head there; tie up thy fears; He that forbears To suit and serve his need Deserves his load." But as I raved and grew more fierce and wild At every word, Methought I heard one calling, Child! And I replied My Lord.

15

Edisi II, Mei-September 2018



REMEMBRANCE oleh Emily Brontë Cold in the earth—and the deep snow piled above thee, Far, far removed, cold in the dreary grave! Have I forgot, my only Love, to love thee, Severed at last by Time's all-severing wave? Now, when alone, do my thoughts no longer hover Over the mountains, on that northern shore, Resting their wings where heath and fern leaves cover Thy noble heart forever, ever more? Cold in the earth—and fifteen wild Decembers, From those brown hills, have melted into spring; Faithful, indeed, is the spirit that remembers After such years of change and suffering! Sweet Love of youth, forgive, if I forget thee, While the world's tide is bearing me along; Other desires and other hopes beset me, Hopes which obscure, but cannot do thee wrong! No later light has lightened up my heaven, No second morn has ever shone for me; All my life's bliss from thy dear life was given, All my life's bliss is in the grave with thee. But, when the days of golden dreams had perished, And even Despair was powerless to destroy, Then did I learn how existence could be cherished, Strengthened, and fed without the aid of joy. Then did I check the tears of useless passion — Weaned my young soul from yearning after thine; Sternly denied its burning wish to hasten Down to that tomb already more than mine. And, even yet, I dare not let it languish, Dare not indulge in memory's rapturous pain; Once drinking deep of that divinest anguish, How could I seek the empty world again?

17

Edisi II, Mei-September 2018


A N TA R B I N TA N G oleh M. Agung Triwijaya Sepanjang usia tuhan kumencinta; seperti lubang hitam kuterpisah. Entah jarak ribuan tahun cahaya, atau sedekat nadi, tetap saja tersekat antar bintang. Kita ini mayat dan penggali. Kita ini hantu dan penakut buta. (2018)

Puisi

18


BALADA JIKA DAN MAKA oleh Febri Saptowo Kamu berharap bisa ucap kerap, garap, gelap, dalam satu napas kamu hisap? Semakin sering kamu ucap, semakin menyadarkanku ada yang salah. Bagaimana kamu bisa berubah kalau mengubah masih saja kau tulis merubah? Bagaimana kamu bisa dianggap kalau di mana masih kau tulis dimana? Bagaimana bisa kamu pindah, kalau naik bus saja masih kau bilang naik bis? Bagaimana kamu mengerti kalau tahu saja masih kau eja tau? Bagaimana kau bisa peduli, kalau acuh saja katamu tak peduli? Kau bilang kau lebih dari sekedar mencintainya, padahal sekadar pun kau anggap sekedar. Bagaimana bisa kau memulai, kalau kalau dan saja kau tulis di awal kalimat? Mungkin kau akan bilang, "Jika aku jadi kamu, maka tidak akan kulakukan itu." Padahal sejatinya jika tidak akan bertemu dengan maka. Kau bilang kau tahu salahmu, padahal kau pun kau bilang kaupun. Kau bilang kau selalu memeluknya sejak kecil, tapi dipeluknya saja kau di peluknya. Bagaimana pun, berkat kamu aku tahu kalau dimiliki tidak pernah memisah di dan miliki. Berkutat dengan kata, bersetubuh dengan makna. Seolah jadulnya puisi, kau renovasi jadi sajak. Padahal sama, tapi kau anggap berbeda. Padahal berbeda, keluar dan akhirnya ke luar, tapi kau anggap sama. Pada akhirnya aku coba buat malam sesudah senja, buat senja sesudah sore. Menyadari kalau aku adalah jika, dan kamu adalah maka. Kita bersatu adalah kesalahan; mencari anak kalimat lain adalah keharusan. Namun, nyatanya aku tetap jatuh cinta. Cinta yang kau bilang bau, padahal bau sejatinya tidak mesti tidak sedap. Pada sebenar-benarnya akhirnya, aku meninggalkanmu dalam dawai, menengokmu dalam gawai.

19

Edisi II, Mei-September 2018


MEMANCING oleh Destalino

Saat kulempar kailku Kuharap ikan yang besar Umpan terbaik yang aku pakai Umpan mahal kulempar turun Satu jam lebih aku menunggu Hati sudah dihinggapi jenuh Cukup sudah kata hati Aku berdiri Kutinggalkan kamar mandi Di jamban kailku masih

Puisi

20


PUISI-PUISI oleh Amir Hamzah

21

Edisi II, Mei-September 2018


Puisi

22


23

Edisi II, Mei-September 2018



ESAI


BAGAIMANA CARA MEMBACA BUKU? oleh Virginia Woolf (dibaca di hadapan anak sekolah) diterjemahkan oleh M. Dirgantara Tetapi kebebasan, bila harus mengulang perkataan klise ini sekali lagi, menuntut kita untuk mengendalikan diri. Kita tidak seharusnya membuangbuang tenaga: tanpa arah dan tujuan, membasahi hampir seluruh rumah hanya untuk menyiram sepot mawar; kita harusnya melatih diri, dengan tepat dan tegas, di titik yang tepat. Inilah, rasanya, salah satu kesulitan paling awal yang menghadang kita saat masuk ke perpustakaan. Mana “titik yang tepat” itu? Apa yang ada di hadapan kita adalah pegunungan dan lautan kebingungan. Buku puisi dan novel, buku sejarah dan riwayat hidup, kamus dan buku biru; buku bermacam bahasa yang ditulis baik oleh pria dan wanita dengan bermacam kepribadian, ras, dan umur berkerumun, berhimpit-himpitan di rak-rak buku. Sementara itu di luar keledai meringkik, ibu-ibu bergunjing, dan anak kuda berlarian sepanjang lapangan. Di mana kita mesti memulai? Bagaimana kita harus mengorganisir huru-hara dan sampai pada kenikmatan terdalam dan terluas dari apa yang kita baca? Cukup mudah menjawab sebab buku punya kategori—fiksi, biografi, puisi—kita harus mengelompokkan mereka berdasarkan kategori ini dan memetik apa yang masing-masing kategori seharusnya berikan. Tetapi hanya sedikit dari kita yang melakukan ini. Biasanya, kita membaca buku dengan pikiran kabur dan terbagi-bagi, menuntut fiksi agar sesuai fakta, menuntut puisi agar berpura-pura, menuntut biografi

ertama-tama, saya ingin menegaskan tanda tanya di akhir judul saya. Bahkan bila saya behasil menjawab pertanyaan ini, jawaban saya hanya berlaku untuk diri saya sendiri, tidak untuk kalian. Bisa dibilang malahan, satu-satunya saran yang dapat seseorang berikan pada orang lain tentang membaca adalah jangan terima saran dari siapa pun: ikuti naluri kalian, gunakan pikiran kalian, dan bikin kesimpulan kalian sendiri. Bila kita sudah bersetuju tentang ini, maka sekarang saya merasa bebas mengajukan beberapa ide dan saran tentang membaca; toh ini tidak akan mengekang kebebasan kalian, kualitas paling penting pada diri seorang pembaca. Aturan apa memangnya yang bisa dibuat mengenai buku? Pertempuran Waterloo tentu saja terjadi di suatu hari di masa lalu; tetapi apakah Hamlet drama yang lebih baik dari Lear? Tidak ada yang bisa dengan pasti menjawab. Masing-masing harus menjawab pertanyaan ini sendiri. Membiarkan seorang ahli sastra, sekalipun dengan banyak gelar dan pangkat, masuk ke dalam perpustakaan pribadi kita dan memberitahu kita bagaimana harus membaca, buku mana yang harus kita baca, nilai apa yang harus kita sematkan pada apa yang kita baca, sama saja menghancurkan semangat kebebasan yang menjadi napas di perpustakaan, tempat suaka para pembaca itu. Dalam perkara lain kita tunduk pada aturan dan kebiasaan—dalam membaca buku tidak sama sekali.

P

Esai

26


tetapi juga tragis; sebuah visi total, sebuah konsepsi menyeluruh, seakan terhimpun di satu momen itu. Tetapi saat berusaha merekonstruksi momen tersebut, kalian mendapatinya terburai jadi beribu kesan yang bertubrukan. Sebagian karenanya harus diredam; lainnya diperjelas; dalam proses ini, mungkin saja, kesan yang awalnya kalian ingin tuliskan malah menjadi kabur. Lalu coba beralih dari coretanmu ke halaman awal novelis hebat—Defoe, Jane Austen, Hardy. Sekarang kalian akan lebih mampu menghargai kemahiran mereka. Tidak hanya karena kita berhadapan dengan seseorang yang sama sekali berbeda—Defoe, Jane Austen, atau Thomas Hardy—tetapi karena kita memasuki dunia yang sama sekali lain. Di sini, di dunia Robinson Crusoe, kita sedang terseok-seok di bentangan jalan kosong; satu hal terjadi, lalu hal lain; fakta dan pengorganisasiannya cukup bagus. Tetapi bila ruang terbuka dan petualangan amat berarti bagi Defoe, tidak begitu bagi Jane Austen. Dunia Austen adalah ruang keluarga, dan orang-orang yang berbincang, dan dari berbagai pembicaraan ini, watak mereka yang sebenarnya terungkap. Dan bila, ketika kita sudah terbiasa dengan ruang keluarga dan semua perenungan tentangnya, kita beranjak ke Hardy, dunia kita sekali lagi berputar seratus delapan puluh derajat. Rawa-rawa terhampar di sekeliling kita dan bintangbintang terhambur di atas kita. Sisi lain dari diri kita terpampang—sisi gelap yang muncul paling jelas dalam kesepian, bukan sisi cemerlang saat bersama orang lain. Interaksi kita di dunia ini bukan dengan orang lain, tetapi dengan alam dan takdir. Tetapi seberbeda apapun ketiga dunia ini, masing-masing konsekuen dengan dirinya sendiri.

agar penuh puja-puji, dan menuntut buku sejarah agar membenarkan prasangka-prasangka kita. Bila kita mampu mengenyahkan konsepsi semacam ini, bisa dibilang awal yang cukup bagus. Jangan mendikte seorang penulis; coba bayang-kan diri kalian ada di posisinya. Jadilah rekan kerja dan sekutunya. Bila kalian menjaga jarak dan menghujat sejak awal, kalian sedang mencegah diri sendiri dari mendapat manfaat terbesar dari bacaan kalian. Tetapi bila kalian membuka pikiran kalian seluas mungkin, maka tanda-tanda keindahan yang hampir tak terlihat dari kelok-kelok kalimat-kalimat awal akan mempersembahkan pada kalian suara seorang manusia yang lain daripada yang lain. Mahirkan diri kalian dalam hal ini, akrabkan diri kalian dengan hal ini, dan tidak lama kalian menyadari bahwasanya penulis yang sedang kalian baca memberikan, atau mencoba memberikan, sesuatu yang jauh lebih konkret. Tiga puluh dua bab sebuah novel—bila pertama-tama kita membahas cara membaca novel—adalah usaha membangun sesuatu yang sekokoh dan sestabil sebuah gedung: hanya saja kata-kata lebih susah diindra daripada batu bata; membaca merupakan proses yang lebih panjang dan kompleks dibandingkan memandang. Barangkali cara tercepat guna memahami komponen-komponen dari pekerjaan menulis novel bukan dengan membaca novel, tetapi dengan menulis novel; dengan merasakan sendiri di kedua tangan kalian betapa kaku dan sulitnya kata-kata. Mulailah dengan mengingat sebuah kejadian yang begitu berkesan—di sebuah sudut jalan, barangkali, kalian berpapasan dengan dua orang yang sedang berbincang. Sebatang pohon bergetar; lampu-lampu seperti menari; nada suara kedua orang tersebut lucu;

27

Edisi II, Mei-September 2018


orang lain—pelayan-pelayan yang bergunjing, tuan-tuan yang makan malam, gadis-gadis yang berdandan untuk sebuah pesta, wanita tua yang sedang merajut di jendela. Siapa mereka, apa mereka, nama, pekerjaan, pikiran, dan petualangan hidup mereka?

Pencipta masing-masing dunia ini begitu taat terhadap aturan yang mereka pilih sendiri, dan seberapa jauh pun mereka melonggarkan aturan ini, kita tidak akan dibuat bingung, sebagaimana kita sering dibuat bingung penulis yang kurang mahir, dengan menabrakkan dua dunia berbeda di dalam satu buku. Dengan demikian, berpindah dari karya seorang novelis hebat ke novelis hebat lain—dari Jane Austen ke Hardy, dari Peacock ke Trollope, dari Scott ke Meredith—sama saja dengan dipilin dan dicerabut; di lempar ke sana ke mari. Membaca novel adalah sebuah seni yang sulit dan rumit. Kalian tidak hanya dituntut mempunyai daya cerap yang baik, tetapi juga keberanian untuk berimajinasi bila ingin memanfaatkan semua yang seorang novelis — sang seniman handal — sodorkan pada kalian. Tapi sekilas pandang pada berbagai buku di rak bakal menyadarkan kalian bahwa penulis jarang sekali sekaligus “seniman handal”; lebih sering sebuah buku tidak mengaku-aku sebagai karya seni sama sekali. Biografi dan autobiografi, misalnya, yang berisi kisah hidup orang-orang hebat, kisah orang yang telah lama meninggal dan dilupakan, yang bersisian dengan novel dan puisi, apakah kita menolak membaca buku semacam ini karena mereka bukan “karya seni”? Atau kita tetap membaca mereka, tetapi dengan tujuan yang berbeda? Mestikah kita membaca mereka guna memuaskan rasa ingin tahu yang muncul pada diri kita saat petang datang dan lampu telah dinyalakan tetapi gorden belum diturunkan dan kita kebetulan sedang berdiam di depan sebuah rumah orang lain, dan setiap lantai memperlihatkan pada kita kenampakan kehidupan manusia yang berbeda-beda? Saat yang seperti itu, kita terbalut rasa penasaran tentang hidup

Esai

Biografi dan riwayat hidup menjawab pertanyaan semacam ini, menerangi banyak sekali rumah semacam tadi; buku-buku biografi memperlihatkan pada kita orang lain melakukan aktivitas sehari-hari mereka, bekerja keras, gagal, sukses, makan, membenci, mencintai, sampai akhir hayat mereka. Dan kadangkadang dalam prosesnya, dindingdinding rumah mengabur dan pagar besi menghilang, dan sekonyong-konyong kita ada di tengah laut; kita sedang berburu, berlayar, bertempur; kita di tengah makhluk biadab dan prajurit; kita sedang ikut andil dalam kampanye besar. Bahkan bila kita memilih untuk tetap di Inggris, di London, suasananya tetap berubah; jalan-jalan menyempit; rumahrumah mengecil, berhimpit-himpit, dengan jendela berbentuk permata dan bau menyengat. Kita menyaksikan

28


Tetapi Walpole mengenalkan kita ke segerombolan kenalan, begitu banyak rumah untuk dikunjungi dan bel untuk dipencet sehingga barangkali untuk beberapa waktu kita ragu-ragu, di beranda rumah Nyonya Berry, misalnya, ketika tiba-tiba saja Thackeray datang; dia adalah teman dari seorang wanita yang disenangi keluarga Walpole; singkatnya, hanya dengan berpindah dari seorang teman ke teman yang lain, dari satu taman ke taman yang lain, dari satu rumah ke rumah yang lain, kita sudah meluncur dari satu fase kesusastraan Inggris ke fasenya yang lain dan seketika kita sadar bahwa kita kembali ke masa sekarang lagi, bila kita cukup mampu membedakan masa kini dan masa lalu. Jadi, inilah salah satu cara membaca kisah hidup dan surat pribadi orang lain; kita bisa memakainya guna menerangi bingkai-bingkai masa lalu; kita bisa mengintip dengan jelas kebiasaan dan keinginan orang terkenal yang sudah meninggal sampai-sampai kita bisa tahu rahasia mereka, dan kadang-kadang kita bisa membaca kembali drama atau puisi mereka dan menghasilkan pembacaan berbeda dari sebelum kita mengenal penulisnya . Tapi tentu hal ini menimbulkan masalah lain. Seberapa jauh, kita bertanya pada diri sendiri, sebuah buku dipengaruhi hidup penulisnya— seberapa jauh kita bisa membiarkan pribadi penulisnya sebagai manusia menjelaskan karyanya sebagai seorang penulis? Seberapa jauh kita harus menolak atau membolehkan diri kita bersimpati atau berantipati terhadap kisah hidup penulisnya —apakah katakata begitu sensitif, begitu mudah dipengaruhi watak penulisnya? Ini macam-macam pertanyaan yang menghadang kita saat membaca kisah hidup dan surat pribadi orang lain, dan kita harus menjawab semuanya sendiri,

seorang penyair, Donne, terpaksa pergi dari rumah semacam ini karena teriakan anak-anak menembus dindingdindingnya. Kita bisa mengikutinya, melalui jalur-jalur yang terbentang di lembaran buku, menuju Twickenham; ke taman Nyonya Bedford, tempat pertemuan terkenal bangsawan dan penyair; lalu kita berbelok ke Wilton, rumah megah di lembah itu, dan mendengar Sidney mendeklamasikan Arcadia pada saudarinya; dan menjelajahi rawa-rawa dan melihat secara langsung bangau-bangau yang muncul di dalam cerita itu; kemudian kita beralih ke utara bersama Nyonya Pembroke, Anne Clifford, menuju hamparan tegalan miliknya, atau terjun ke dalam ramainya kota dan mencoba mengendalikan kegembiraan kita saat melihat Gabriel Harvey yang mengenakan jas hitam beludrunya berdebat dengan Spenser mengenai puisi. Tidak ada yang lebih memesona dibandingkan meraba jalan dan tersandung di pertukaran kumuh dan megah London di zaman Ratu Elizabeth I. Tapi kita tidak bisa tetap di sana. Keluarga Temples and Swifts, keluarga Harleys and St. Johns melambai ke arah kita; berjam-jam tak terasa berlalu untuk mengerti pertengkaran dan mengenali karakter mereka; dan bila kita sudah jenuh bersama mereka, kita bisa lanjut berjalan, melewati seorang wanita bergaun hitam dengan perhiasan berlian di tubuhnya, menuju Samuel Johnson dan Goldsmith dan Garrick; atau menyeberangi terusan Inggris, bila mau, dan bertemu dengan Voltaire dan Diderot, Nyonya du Deffand; dan kembali lagi ke Inggris dan Twickenham—beberapa tempat dan nama memang terulang-ulang!—lokasi taman Nyonya Bedford yang kemudian menjadi tempat tinggal Pope kemudian, lalu ke kediaman Walpole di Stawberry Hill.

29

Edisi II, Mei-September 2018


sedang mengingat cerita aneh Captain Jones; hanya seorang pelayan Arthur Wellesley yang jatuh cinta dengan seorang gadis cantik di Lisbon; hanya Maria Allen yang menjatuhkan jahitannya di ruang tengah dan menyesali keengganannya mengikuti saran Dr. Burney untuk tidak bermain cinta dengan Rishy. Tidak satu pun dari cerita ini bernilai; semuanya bisa diabaikan begitu saja; tetapi betapa menarik rasanya membuka bacaan sampah dan menemukan beberapa cincin, gunting, dan hidung patah dari masa lalu dan mencoba merajutnya kembali menjadi sebuah kisah sementara seekor anak kuda berlarian di padang, sementara seorang wanita mengisi embernya di sumur, dan seekor keledai meringkik berulang kali. Tetapi lama-lama kita lelah juga dengan bacaan sampah. Kita lelah mencari pecahan yang diperlukan untuk melengkapi setengah kebenaran yang mampu ditawarkan oleh keluarga Wilkinson, Bunbury, dan Maria Allens. Mereka tidak memiliki kemampuan hebat seniman untuk mengendalikan dan memangkas; mereka bahkan tidak mampu menyampaikan seluruh kebenaran tentang hidup mereka sendiri; mereka merombak cerita yang seharusnya bisa indah sekali. Fakta adalah apa yang mereka tawarkan, dan fakta adalah bentuk fiksi bermutu rendah. Akibatnya keinginan timbul dalam diri kita untuk berpaling dari kebenaran tidak sempurna dan penaksiran-penaksiran; untuk berhenti mencari tetek-bengek watak manusia, untuk menikmati abstraksi yang lebih tinggi, bentuk fiksi yang lebih murni. Dari sini kita membuat sebuah suasana, intens dan umum, acuh terhadap rincian yang spesifik, tapi ditekankan oleh irama teratur dan berulang, yang bentuk

sebab tidak ada yang lebih fatal dibanding bergantung pada selera orang lain untuk menyelesaikan masalah yang sepribadi ini. Tetapi kita juga bisa membaca buku semacam tadi dengan tujuan lain, bukan untuk menjelaskan karya lain, bukan untuk mengenal lebih dekat orang terkenal, tapi untuk menyegarkan dan melatih daya cipta kita sendiri. Bukankah ada jendela di sisi kanan rak buku? Sungguh menyenangkan berhenti membaca sejenak dan melihat keluar! Betapa merangsangnya pemandangan di luar, ketidaksadarannya, ketidakterkaitannya, pergerakannya yang terusmenerus—kuda muda berlarian di sekeliling padang, seorang wanita mengisi embernya di sumur, seekor keledai menghentak kepalanya ke belakang dan meloloskan rintih panjang dan memekik. Umumnya semua perpustakaan berisi riwayat momenmomen yang fana demikian dalam kehidupan manusia, baik pria maupun wanita, dan juga keledai. Seluruh kesusastraan, seiring perkembangannya, menumpuk sampahnya masing-masing, rekaman berbagai momen yang telah terlupakan dan riwayat hidup berkualitas buruk yang sudah binasa. Tetapi bila kalian membiarkan diri kalian menikmati bacaan sampah kalian akan terkejut, atau bahkan tercengang, oleh sisa-sisa kehidupan manusia yang sudah hancur lebur. Bisa jadi hanya sepucuk surat—tapi sungguh menakjubkan visi di dalamnya! Mungkin hanya beberapa potong kalimat—tapi alangkah indah pemandangan yang mereka tampilkan! Sekali waktu sebuah kisah utuh terajut begitu sempurna dengan lelucon bagus dan pathos dan keutuhan sehingga seakanakan kisah itu karangan seorang novelis handal, tetapi kenyataannya hanya seorang aktor tua, Tate Wilkinson, yang Esai

30


Minutes are numbered by the fall of sands, As by an hour glass; the span of time Doth waste us to our graves, and we look on it; An age of pleasure, revelled out, comes home At last, and ends in sorrow; but the life, Weary of riot, numbers every sand, Wailing in sighs, until the last drop down, So to conclude calamity in rest,

ekspresi paling alaminya adalah puisi; dan membaca puisilah yang akan kita bahas sekarang … ketika kita sendiri rasanya hampir bisa menulis puisi. Western wind, when wilt thou blow? The small rain down can rain. Christ, if my love were in my arms, And I in my bed again!

Efek sebuah puisi amat teruk dan langsung sehingga untuk beberapa saat kita tidak merasakan sensasi lain selain puisi itu sendiri. Betapa dalamnya momen tersebut—betapa seketika dan seluruh kita terhanyut! Tidak ada ranting untuk kita raih; tidak pula yang membantu kita tetap terapung. Ilusi karya fiksi prosesnya perlahan; efek-efeknya terencana; tetapi siapa di antara kita, ketika membaca empat baris puisi ini, berhenti dan bertanya siapa penyairnya, atau siapa yang berpikir tentang rumah Donne atau sekretaris Sidney; atau mengaitkan keempat baris itu dengan kelok-kelok masa lalu dan suksesi generasi-generasi? Penyair selalu sezaman dengan kita. Untuk sementara kita terfokus dan terbatasi, layaknya saat mengalami keterkejutan emosi yang begitu hebat. Setelahnya, tentu saja, sensasi tadi mulai menyebar ke lingkar yang lebih luas melalui pikiran kita; indra yang lebih jauh mulai terjangkau pula; lalu indra-indra ini mulai berpendapat dan berkomentar dan kita mulai sadar akan gema dan refleksi. Intensitas puisi melingkupi banyak aspek perasaan. Kita hanya perlu membandingkan daya dan kelangsungan dari

atau membandingan ketenangan meditasi dari whether we be young or old, Our destiny, our being's heart and home, Is with infinitude, and only there; With hope it is, hope that can never die, Effort, and expectation, and desire, And something evermore about to be,

dengan menyeluruh dan tidak habishabisnya kemolekan dari The moving Moon went up the sky, And nowhere did abide: Softly she was going up, And a star or two beside—

atau fantasi menakjubkan dari And the woodland haunter Shall not cease to saunter When, far down some glade, Of the great world's burning, One soft flame upturning Seems, to his discerning, Crocus in the shade,

I shall fall like a tree, and find my grave, Only remembering that I grieve,

untuk membuat kita sadar betapa beragamnya seni seorang penyair; untuk membuat kita sadar kemampuannya menjadikan kita pemeran dan penonton dalam waktu yang sama; kemampuan-

dengan kemenduaan dari

31

Edisi II, Mei-September 2018


bersimpati sebagai seorang teman, kita juga tidak bisa terlalu kejam sebagai seorang penilai. Tetapi bukankah mereka segerombolan penjahat, buku-buku yang sudah membuang sia-sia waktu dan pikiran kita; bukankah mereka penjahat paling kejam bagi masyarakat; perusak, pencemar, penulis buku bohong, buku palsu, buku penguar bau bangkai dan penyakit? Oleh karena itu, kita harus kejam dalam penilaian kita; mari kita mengukur sebuah buku dengan buku terbaik dari jenisnya. Di ubun-ubun, buku terbaik yang pernah kita baca melekat—Robinson Crusoe, Emma, The Return of the Native. Bandingkan novel lain dengan buku-buku ini—bahkan novel terburuk sekalipun punya hak untuk dibandingkan dengan yang terbaik. Begitu juga dengan puisi—ketika pesona irama telah menghilang dan kemegahan kata-kata telah mengabur, sebuah visi kembali pada kita dan visi ini harus dibandingkan dengan Lear, dengan Phèdre, dengan The Prelude; atau bila bukan dengan salah satu dari mereka, dengan apa aja yang terbaik atau yang sepertinya terbaik bagi kita. Dan kita tidak perlu khawatir, hampir pasti bahwa semua pembaharuan atau perubahan dalam penulisan puisi dan fiksi hanya gejala permukaan; kita hanya perlu mengu bah sedikit, bukan semuanya, standarstandar penilaian yang kita gunakan untuk menilai buku lama saat men ilai buku baru. Amat bodoh, karenanya, berpura-pura bahwa proses kedua dari membaca, yakni menilai, membandingkan, sesederhana yang pertama—membuka pikiran agar dapat menangkap kesan-kesan yang bergerombol berterbangan. Untuk melanjutkan membaca tanpa buku di depan kalian, untuk menggenggam struktur buku-buku dan membandingkan mereka, untuk membaca cukup

nnya membuat seorang tokoh hidup dengan begitu mudahnya, seperti Falstaff atau Lear; kemampuannya untuk memadatkan, mengembangkan, dan menuliskan sekali untuk selamanya. “Kita hanya perlu membandingkan”—dengan kata-kata ini, kucing sudah keluar dari karungnya, dan kerumitan paling hakiki dari pekerjaan membaca akhirnya terucap juga. Proses pertama, menyambut kesan-kesan dengan pemahaman terbaik, hanya setengah dari proses membaca; proses ini harus dilengkapi, bila kita ingin mendapatkan kenikmatan paling penuh dari sebuah buku, dengan proses kedua. Kita mesti menilai beragam kesan-kesan ini; kita harus membuat yang fana mereka menjadi kokoh dan kekal. Tetapi tunggu dulu. Kita harus menunggu debudebu berhenti bertebaran; menunggu pertentangan dan pertanyaan mereda; jalanlah, berbincanglah, petik tangkai mawar yang sudah layu, atau tidurlah. Lalu tiba-tiba tanpa kita sadari, karena memang Alamlah yang mengambilalih proses ini, buku yang kita baca akan kembali pada kita, tetapi kali ini dalam bentuk berbeda. Buku tersebut mengambang di ubun-ubun kita secara penuh. Bentuk menyeluruh ini berbeda dari bentuk yang kita lihat saat sedang membaca buku, yang hanya pecahanpecahan terpisah. Adegan-adegan sekarang menjadi jelas maksudnya. Kita melihat alur buku tersebut dari awal sampai akhir; gudangnya, kandang babinya, atau katedralnya. Pada saat inilah kita bisa membandingkan buku dengan buku lain seperti kita membandingkan bangunan dengan bangunan lain. Tetapi saat pembandingan ini terjadi, berarti sikap kita sudah berubah; kita bukan lagi seorang teman bagi penulisnya, tetapi seorang penilai; dan seperti halnya kita tidak bisa terlalu

Esai

32


membaca berjenis-jenis buku—puisi, fiksi, sejarah, biografi—dan berhenti membaca dan merefleksikan macammacam buku tersebut beserta lika-liku kehidupan sehari-hari, kita menyadari bahwa ia telah berubah sedikit; ia tidak lagi begitu rakus, tetapi lebih reflektif. Selera tidak hanya akan membantu kita menilai buku tertentu saja, tetapi ia akan memberitahu kita bahwa ada sesuatu yang berulangkali ditemukan di bukubuku tertentu. Dengar, selera kita akan berkata, harus kita sebut INI apa? Dan barangkali dia akan mendeklamasikan untuk kita Lear lalu Agamemnon untuk menyadarkan kita apa sejatinya sesuatu itu. Oleh karena, dengan selera kita sebagai pemandu, kita harus keluar dari batasan satu buku menuju kualitas yang mengikat sekelompok buku; kita harus menamainya dan karenanya kita perlu membuat sebuah kerangka teori guna membuat jelas pengamatan kita. Dari sini, kita akan mendapatkan kenikmatan langka yang lebih besar lagi. Tetapi karena teori tentang buku hanya hidup bila teori itu terus-menerus dirombak dari persinggungannya dengan bukubuku—tidak ada yang lebih mudah dan lebih mengkerdilkan dibanding membuat teori dalam vakum yang lepas dari fakta—akhirnya, untuk membantu kita dalam hal sulit ini, barangkali baik meminta bantuan pada penulis-penulis langka yang mampu mencerahkan kita tentang sastra sebagai sebuah kesenian. Coleridge dan Dryden dan Johnson dalam kritik terbaik mereka, atau penyair dan novelis sendiri dalam refleksi mereka, amat sering secara mengejutkan begitu membantu; mereka menerangi dan mengkonkretkan ide yang selama ini terseok-seok di lembah kabut pikiran kita. Tetapi mereka hanya bisa membantu kita bila kita datang pada mereka penuh dengan pertanyaan dan

banyak buku dengan pemahaman yang memadai agar perbandingan yang kita hasilkan hidup dan mencerahkan—hal ini sulit; dan lebih sulit lagi melangkah lebih jauh dan berkata, “Buku ini begini, nilainya seperti ini; di bagian sini buku ini gagal; di bagian sini buku ini berhasil”. Untuk melakukan ini, pembaca perlu imajinasi, ketajaman persepsi, dan pengetahuan yang sebegitu besarnya sehingga amat tidak mungkin seseorang lahir dengan kemampuan bawaan demikian; amat tidak mungkin seseorang yang paling percaya diri sekalipun untuk menemukan lebih dari hanya bibit-bibit kemampuan ini di dalam dirinya. Tidakkah lebih bijak, oleh karena itu, untuk melewatkan begitu saja proses kedua ini dan membiarkan kritikus, sang otoritas perpustakaan berjubah beludru, menjawab nilai sebuah buku bagi kita? Tetapi bagaimana bisa! Kita mungkin bisa menekankan pentingnya menaruh simpati; kita mungkin bisa meredam siapa diri kita selama membaca. Tetapi kita tahu bahwa kita tidak bisa bersimpati seluruhnya atau menahan diri kita seutuhnya; bisikan akan selalu ada, “Aku benci, aku suka”, dan kita tidak bisa membungkam bisikan ini. Bahkan justru karena kita membenci atau menyukai sebuah bukulah hubungan kita dengan seorang penyair atau novelis menjadi amat intim sehingga kita muak dengan kehadiran komentator lain. Dan meski hasil penilaian kita buruk dan salah, tetap saja selera kita sendirilah, sensasi yang mengejutkan kitalah yang menjadi sumber utama pencerahan kita; kita belajar melalui perasaan; kita tidak bisa meredam keunikan kita tanpa memiskinkan perasaan kita. Tetapi, seiring berjalannya waktu, barangkali kita bisa melatih selera kita; barangkali akhirnya kita cukup mampu mengendalikannya. Setelah ia dengan rakusnya

33

Edisi II, Mei-September 2018


sapi yang merumput dengan tenang di padang nan jauh di sana. Bila di belakang tembakan membabi-buta ini ada kritik jenis lain, yakni pendapat orang-orang yang membaca karena mereka mencintai membaca, perlahan-lahan tanpa maksud menjadikannya sumber pendapatan, yang menilai dengan rasa simpati yang tinggi tetapi dengan ketegasan yang tidak kalah tinggi, bukankan ini akan meningkatkan kualitas karya para penulis? Dan bila dengan cara ini buku-buku menjadi semakin bagus, kaya, dan semakin beragam, membaca dengan tujuan tersebut sudah berharga.

sangkaan yang benar-benar kita dapatkan selama pembacaan kita sendiri. Mereka tidak ada gunanya bila kita seperti domba yang datang pada bayangan otoritas mereka dan berbaring seperti domba di dalam kandang. Kita hanya dapat mengerti teori mereka bila teori ini bertentangan dengan teori kita sendiri dan teori mereka berhasil mengalahkan teori kita. Bila benar begini, bila benar membaca sebagaimana mestinya membutuhkan kemampuan berimajinasi, ketajaman persepsi, dan penilaian yang amat jarang didapatkan, barangkali kalian sudah menyimpulkan bahwa sastra merupakan kesenian yang rumit dan rasanya tidak mungkin bahwa kita akan bisa, bahkan bila kita membaca seumur hidup kita, berkontribusi pada bidang kritik sastra. Kita harus tetap membaca; kita tidak seharusnya melanggengkan lebih jauh lagi kehebatan orang-orang langka yang kita sebut kritikus. Kita tetap punya tanggungjawab kita dan kita tetap penting sebagai pembaca. Standar yang naik karena penilaian yang kita buat meresap masuk ke udara yang dihirup oleh penulis-penulis saat mereka bekerja. Sebuah pengaruh tercipta yang sampai pada mereka bahkan bila penilaian kita tidak pernah dipublikasikan sekalipun. Dan pengaruh tersebut, bila terlatih dengan baik, penuh semangat dan unik dan jujur, bisa jadi bernilai besar ketika kritik sastra sedang terkatung-katung; ketika buku-buku diulas seperti arak-arakan binatang melewati regu tembak, dan kritikus hanya punya sedikit waktu untuk mengisi peluru dan membidik dan menembak dan memang pantas diampuni bila salah mengira kelinci sebagai harimau, elang sebagai ayam, atau malah meleset sama sekali dan menghabiskan pelurunya menembaki

Esai

Tetapi siapa memangnya yang membaca untuk mencapai sesuatu, bagaimanapun mulianya? Tidakkah banyak hal yang kita lakukan karena memang hal-hal tersebut baik dilakukan tanpa tujuan apa-apa, dan tidakkah banyak kenikmatan yang tanpa tujuan lanjutan? Tidakkah membaca salah satunya? Kadang-kadang saya bermimpi, setidaknya, ketika hari akhir datang dan para raja dan pengacara dan negarawan hebat menerima imbalan mereka — mahkota mereka, karangan bunga mereka, ukiran nama mereka di batu pualam abadi—tuhan menoleh ke Peter dan berkata dengan sedikit rasa iri ketika ia melihat kita datang menenteng bukubuku kita, “Golongan ini tidak membutuhkan imbalan. Kita tidak punya apaapa lagi untuk mereka. Mereka telah mencintai membaca.�

34



ULASAN


SEBINGKIS PESAN DARI BAJRANGI oleh Khaeriyah Nasruddin awan Catravedi alias Bajrangi Baijaan adalah orang India yang mengorbankan hidupnya untuk mencari orang tua gadis cilik dari Pakistan. Kenapa dia melakukan ini? Demi uang? Demi ketenaran? Demi kekayaan? Bukan! Dia melakukannnya karena hatinya yang mulia. Dia melakukan ini karena, dia tak memandang Shahida orang Pakistan, melainkan seorang manusia biasa. Sayangnya, dia terjebak karena permusuhan antar dua negara. Permusuhan ini menyebabkan Bajrangi berada di penjara Pakistan sekarang. Ayo, kita akhiri permusuhan ini. Dan kita harus lakukan ini… Jadi, ayo kita semua akhiri kebencian dan permusuhan ini bersama!”

Demikianlah pemaparan reporter Chand Nawab dalam film Bajrangi yang berhasil menarik perhatian sekaligus menyentuh hati kita. Bajrangi Bhaijaan merupakan satu di antara deretan film India yang sarat dengan pesan-pesan kehidupan. Film ini dibintangi oleh Salman Khan bersama dengan Harshaali Malhotra, si gadis cilik cantik, yang berperan sebagai anak bisu dengan senyum yang akan selalu kita rindukan. Shahida namanya. Film Bajrangi Bhaijaan menghadirkan konflik perseteruan dua negara, India dan Pakistan. Digambarkan bahwa dua negara bertetangga tersebut memiliki

P

hubungan yang rumit. Hal ini ditunjukkan di film saat Pawan Chatravedi (lebih dikenal sebagai

37

Edisi II, Mei-September 2018


Hadirnya film Bajrangi Baijaan menjadi semacam oasis bagi mereka yang memimpikan perdamaian. Bisa dilihat di akhir film tersebut betapa orang-orang yang hadir dalam perbatasan tersenyum bahagia karena tentara yang berjaga akhirnya membuka pintu gerbang perbatasan. Terbukanya pintu gerbang ini menandakan akhir dari perseteruan, apalagi saat menyaksikan pelukan antara Bajrangi dan Shahida. Bajrangi telah memberi sebungkus pesan kepada kedua negara tersebut agar mengakhiri persetereuan dan menggelar karpet perdamaian secepatnya. Tentunya tak ada seorang pun menginginkan perseteruan tersebut terus berlanjut. Harus berapa lama lagi orang-orang menyimpan pengharapan melihat negaranya damai? Harus berapa banyak lagi tahun-tahun berlalu dengan konflik tersebut? Haruskah terjadi perang habis-habisan dahulu agar kedua negara tersebut akhirnya berdamai? “India dan Pakistan menginginkan membesarkan anak-anaknya dengan penuh cinta, bukan kebencian,” Chand Nawad. Saya pikir ia mewakilkan suara hati orang-orang India dan Pakistan.

Bajrangi) memutuskan mengembalikan Shahida ke negaranya Pakistan, ia harus berjalan kaki begitu jauhnya lantaran kedutaan, pihak kepolisan, dan biro travel menolaknya dengan dalih hubungan diplomatik kedua negara tersebut buruk. Banyak diketahui bahwa Inggris pernah menurunkan jangkar kekuasaannya di India. Akan tetapi, a k i ba t per a ng d uni a k ed ua y a ng menguras keuangan Inggris, negara imperial itu harus menarik diri dari India. Inilah awal dari konflik India – Pakistan. Penarikan diri Inggris menyebabkan pembagian bekas wilayah koloni menjadi dua dengan wilayah yang tidak jelas. Ketidakjelasan perbatasan antara India dan Pakistan bagian barat memicu persengketaan pada wilayah Kashmir. Kashmir merupakan sebuah wilayah pegunungan yang sebagiannya berada di bawah kontrol Pakistan dan sebagian lainnya dikuasai India. Adanya masing-masing perasaan memiliki ini berakibat pada peristiwa berdarah Mei 1999 yang menewaskan 200 tentara India dan melukai 500 lainnya. Perseteruan ini masih terus berlanjut.

Ulasan

38


CALL FOR SUB MIS SION Kami menerima kiriman tulisan untuk diterbitkan di edisi keempat kami. Meski tidak mematok batasan tema, kami menentukan jenis dan menyarankan panjang maksimal tulisan sebagai berikut: 1. Kritik Sastra @3000 kata 2. Kritik Seni (Film, Teater, Musik) @2500 kata 3. Esai Umum @2000 kata 4. Ulasan Buku @2000 kata 5. Puisi @5 puisi 6. Cerita Pendek @3500 kata 7. Feature @1700 kata Naskah dikirim ke majalahsalosaddang@gmail.com sampai dengan 1 Agustus 2018 mengikuti ketentuan berikut: 1. Naskah dilampirkan. Tidak perlu diberi surat pengantar. 2. Subjek surel diisi dengan format JENIS TULISAN - NAMA 3. Jenis file pdf/rtf. 4. Times New Roman, 12. 5. Margin 3/3/3/3. 6. Biodata narasi singkat penulis disertakan di halaman terakhir naskah tulisan. 7. Cantumkan WA/HP yang bisa dihubungi. Di antara tulisan yang termuat, ada honorarium bagi tulisan(-tulisan) terpilih. Penjelasan lebih jauh hubungi 081391590508.

39

Edisi II, Mei-September 2018


Salo Saddang diterbitkan oleh Komunitas Penulis Pinrang bekerja sama dengan FLP Pinrang.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.