Salo Saddang, Januari - April, 2019

Page 1

Edisi IV, Januari-April 2019


Pemimpin Redaksi: M. Dirgantara

Daftar Ilustrasi

Ilustrator: Nabila Salsabila

Mariage innocent di halaman sampul oleh JeanEugène Ilustrasi di hlm. 7, 13, 36, 40 oleh Nabila Salsabila

Penata Letak: Adien Gunarta

Potret Roger Fry di hlm 16 dari koleksi Carnegie Museum of Art

Distribusi dan Personalia Nining Angreani

Potret Primo Levi di hlm 29 dari https://manwithoutqualities.com

Anggota Redaksi: Mawar Fatmah

Alamat Redaksi:

Komunitas Penulis Pinrang Jl. Gajah No. 46 Pinrang, Sulawesi Selatan. majalahsalosaddang@gmail.com WA 0853-4291-4757


didirikan pada 2014 / Edisi IV, 2019 issuu.com/salosaddang

C E R I TA Ditakdirkan untuk Bersama P R I M O L E V I [06] Lelaki dalam Lukisan R I Z Q I T U R A M A [08]

PUISI Puisi-Puisi A D I T YA F E R M A N A [13] Untuk Sebuah Mula A N T O N I U S W E N DY

[46]

ESAI Sebuah Esai tentang Seni R O G E R F R Y [16] Memenangkan Pertarungan Kecil M . D I R G A N TA R A

[30]

LAIN-LAIN The Western Canon Era Teokratik H A R O L D B L O O M [38] Buku Apa yang Akan Kamu Bawa Ke Pulau Terpencil M AWA R

FAT M A H [42]

KONTRIBUTOR Aditya Permana adalah mahasiswa Sosiologi Agama, UIN Alauddin Makassar. Antonius Wendy adalah penulis buku puisi Anggur dan Abu (2017). Harold Bloom adalah Professor Humaniora di Universitas Yale. Ia menulis A Visionary Company, The Anxiety of Influence, The Western Canon, dan lain-lain. Rizqi Turama mengajar di Universitas Sriwijaya. Cerpen-cerpennya dimuat di Kompas, Magelang Ekspress, Koran Pantura, dan lain-lain.

Mawar Fatmah adalah mahasiswi Pendidikan IPA, Universitas Negeri Makassar. M. Dirgantara adalah alumnus Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma. Primo Levi adalah penulis Italia abad 20. Karya-karyanya antara lain The Periodic Table, If This is a Man, If Not Now, When? Roger Fry, lahir 1866 dan meninggal 1934, adalah kritikus seni rupa sekaligus pelukis asal Inggris.



C E R I TA


D I TA K D I R K A N U N T U K B E R SA M A oleh Primo Levi diterjemahkan oleh M. Dirgantara dari "They Were Made to Be Together"

tanpa membiarkan pemandangan sekitar mengalihkan perhatiannya, yang memang nyatanya biasa-biasa saja: sebuah garis melingkar di sekeliling, diantarai di sana-sini oleh hijau dari pepohonan, yang di baliknya tampak sinar matahari, yang timbultenggelam. Setelah berjalan selama sejam, mulai terlihat, di sebelah kiri matahari, rumah Surpha yang tampak sebagai garis kecil berwarna hijau dan biru: tidak butuh waktu lama, Plato sudah sampai dan alangkah senang hatinya melihat si gadis keluar menyambutnya, sesosok garis, yang nampak pendek awalnya, tapi makin lama makin panjang, seiring jarak antara mereka semakin pendek; tidak lama, Plato sudah bisa membedakan garis merah dan kuning pada rok kesukaan Surpha, dan sesaat setelah itu, keduanya menjulurkan tangan. Mereka tidak berjabatan: mereka hanya menyatukan tangan, satu di dalam lainnya, dengan merenggangkan jemari mereka, tapi hanya dengan ini keduanya sudah cukup senang dan sedikit bergetar. Mereka berbincang ini itu cukup lama, sambil masing-masing memandang jauh ke dalam mata lawan bicaranya, meskipun untuk itu posisi tubuh mereka jadi tidak begitu nyaman; waktu berlalu seiring hasrat mereka bertumbuh. Matahari mulai terbenam: Surpha berhasil membuat Plato tahu bahwa rumahnya sedang kosong dan akan tetap kosong sampai tengah malam nanti.

tu adalah pertama kalinya Plato mendapat kesempatan berkencan dengan seorang gadis. Plato tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah mungil yang hanya cukup menampung satu keluarga saja. Rumah itu cukup elok, tetapi ukurannya mungil: semua bagian rumah itu amat sederhana, sampai-sampai pintu depannya hanya berupa persegi cokelat yang memutar di salah satu sudutnya. Si gadis bernama Surpha dan tinggal tidak jauh dari rumah Plato: "tidak jauh" maksudnya dalam ukuran burung gagak, karena antara kedua rumah itu terbentang sungai kecil, dan Plato hanya bisa menyeberanginya bila mengikuti alur sungai sampai ke hulu, yang sayangnya berjarak sekitar tiga puluh kilometer, atau bisa juga dengan mendayung atau berenang (bagi Plato keduanya sama saja). Tidak ada jembatan, karena di desa itu tidak ada atas atau bawah, sehingga jembatan tidak bisa dibangun, dibayangkan pun tidak; dengan alasan yang sama, mustahil menyeberangi sungai tadi dengan melangkahi atau melompatinya, meskipun sungainya sendiri tidak begitu lebar. Singkatnya, berdasarkan ukuran kita, tidak begitu nyaman tinggal di sana: tidak ada cara lain menyeberangi sungai tanpa basah kuyup, jadi Plato berenang ke seberang, dan mengeringkan tubuhnya di di sinar matahari yang merayap perlahan di ufuk. Karena rencananya Plato ingin tiba sebelum petang, ia melangkah cepat

I

Cerita

06


dengan satu kontur saja; dan di momen gaib itu, meski hanya sekejap saja, dalam diri keduanya berkelebat bayangan tentang dunia lain, yang tak terhingga kaya dan rumitnya, tempat belenggu bidang datar dihancurkan oleh angkasa lengkung yang merona, tempat kedua tubuh mereka, bayangan tanpa volume, mekar menjadi baru, pejal dan penuh. Namun, bayangan ini jauh dari apa yang mereka kenal sehari-hari dan bertahan hanya sekejap saja. Mereka berpisah dan mengucap selamat malam, dan Plato dengan hati sedih mulai beranjak pulang, menyelusur bidang datar yang sekarang telah jadi suram.

Malu-malu dan ragu-ragu, Plato ikut masuk ke dalam rumah yang nampak manis itu, rumah yang sebenarnya asing baginya, meskipun ia sering kunjungi dalam mimpi. Lampu dibiarkan padam: mereka melangkah menuju sudut paling tersembunyi, dan sementara mereka masih berbincang, Plato merasakan tubuhnya berubah bentuk, sebuah perubahan yang begitu besar sehingga bila sisi tubuh Plato dipotret dengan lensa negatif, gambar yang nampak akan identik dengan salah satu sisi tubuh si gadis: mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Akhirnya mereka menyatu, dalam gelap dan sunyi tanah datar itu, dan mereka tampak seperti sebuah entitas

07

Edisi IV, Januari – April 2019


L E L A K I DA L A M L U K I SA N oleh Rizqi Turama

ginalnya sendiri sebagai seniman. “Lukisan-lukisan Tenuni seperti menentang diri sendiri,” tulis seorang kritikus. “Warna yang dipilihnya mengesankan keteduhan sekaligus kegerahan. Sapuan dan tarikan kuasnya menyarankan kepatuhan dan keliaran. Sementara itu, bentuk-bentuk yang dipilihnya menunjukkan kesantunan sekaligus kebinalan. Lukisan Tenuni penuh paradox.” Sementara itu, kritikus lain yang sebenarnya lebih dikenal sebagai peramal di acara infotainment menggarisbawahi aura mistis lukisan Tenuni di wawancara TV. “Lukisannya adalah suwung. Ia mengantarkan diri Saudara menuju ruang-ruang kosong di dalam pikiran. Karya-karya abstrak ini merupakan sebuah gerbang yang daripadanya Saudara mampu menje-lajahi relung-relung batin. Lukisan Tenuni bukan lukisan main-main!” Tidak terdengar kritikan bernada negatif. Semua kritikus tampaknya satu suara. Namun, bukan berarti sama sekali tidak ada perdebatan di antara mereka. Kritikus-kritikus bersilang pendapat mengenai beberapa hal: apakah setiap sepuluh lukisan Tenuni memiliki benang merah yang menjadikan lukisan-lukisan tersebut sebuah seri? Atau apakah setiap lukisan di kelipatan kesepuluh memang pantas disebut sebagai karya-karya puncak Tenuni? Belum ada yang bisa memastikan. Tenuni sendiri tidak pernah memberikan jawaban ketika dikonfirmasi soal itu. Ia tersenyum dengan senyuman

ernyata, selain melelahkan, bercinta bisa begitu menyakitkan. Raka baru menyadari hal ini setelah memacu dengus bersama Tenuni. Keringatnya menetes sebesar biji jagung, tubuhnya yang jenjang dan gagah tampak tak bertenaga, sementara tonggak jantannya terasa perih. Ia meringis tiap kali ia harus menggerakkan tubuhnya. Namun, bukan hal itu saja yang baru disadari Raka. Tidak seperti wanita lain yang pernah bersamanya, setelah bergumul, Tenuni malah tampak semakin bersinar. Tubuhnya yang padat terlihat semakin penuh dan liat, lekuk-lekuknya semakin jelas, dan bibir tipisnya yang saat ini menyunggingkan senyum bertambah merah. Singkat kata, Tenuni terlihat semakin segar. Semakin bertenaga. Semakin menggoda. Lelaki berambut lebat itu memerhatikan senyum Tenuni lekat-lekat, magnet merona yang menariknya begitu kuat. Senyum itulah yang mengantarkannya pada petualangan barusan, yang menyisakan bukan hanya lelah dan perih, tetapi juga ingatan tentang kedahsyatan. Oleh karena itu, Raka tidak kapok dan ingin mengulanginya lagi. “Sempurna,” kata Raka menelengkan kepalanya sambil memejamkan mata.

T

*** Sudah sekian banyak kritikus yang mengulas karya Tenuni, dan hampir sama banyaknya bersepakat bahwa Tenuni sudah menemukan visi oriCerita

08


Sesuai permintaan, sore itu Raka datang seorang diri. Tidak lama menunggu, ia sudah berada di ruang tamu Tenuni. Dengan gorden tertutup, sumber cahaya satu-satunya di dalam ruangan adalah lampu redup di dinding. Tetapi bentuk dan warna lukisanlukisan yang terpajang di dinding masih terlihat meski ruangan cukup temaram. Semuanya abstrak, bernuansa suram, dan berwarna gelap. “Kalau aku tak salah, kau bukan penikmat seni,” ujar Tenuni memulai. Raka menyeruput teh hangat yang dihidangkan Tenuni sambil melirik belahan dadanya yang mengintip dari kaos singletnya. Ia lalu mengangkat bahunya dan menjawab, “Tapi aku penikmat keindahan.” Tenuni memperbaiki posisi bajunya. “Asal kau tahu, sudah sembilan orang datang ke sini seperti kau,” Tenuni berhenti sebentar. “Semuanya gagal.” Mendengar itu Raka semringah. Ia bayangkan nilai lukisan yang ia yakin bisa bawa pulang. “Aku meminta tiga hal.” “Sebutkan saja.” “Aku ingin dibayar di muka. Enam puluh enam juta.” Mendengar ini, ujung bibir Raka mengembang seperti berlomba mencapai daun telinganya. “Semurah itu?” “Kedua, kau harus membawa lukisan yang kau pilih keluar dari rumah ini dengan tanganmu sendiri. Tidak ada yang boleh datang ke sini.” Raka mengernyitkan dahi. “Rata-rata lukisanku empat kali dua meter. Sekitar lima puluh kilo termasuk bingkai. Kusimpan di lantai dua, di studio, di ujung ruangan.” Raka terdiam sebentar, mengalihkan

yang tidak meng-iya-kan sekaligus tidak men-tidak-kan. Kemudian berlalu. Hanya saja, banyak yang terlanjur percaya bahwa memang seri itu ada dan benar lukisan terbaik Tenuni ada di kelipatan kesepuluh. Hal ini bukan tanpa alasan. Tenuni, tanpa alasan yang jelas, tampak tidak pernah menjual lukisan-lukisan yang disebut “terbaik” itu, yang sekarang sudah ada sembilan buah. Tidak terhitung sudah kolektor yang menawar dengan harga fantastis. Tetapi Tenuni selalu menolak dengan caranya sendiri. Meskipun begitu, tidak semua kolektor mundur begitu saja. Raka adalah sebagian kecil yang malah tertantang dengan penolakan perempuan yang tampak berumur dua puluhan tahun itu. Atau lebih lengkap bila dikatakan juga bahwa selain sebagai kolektor lukisan, Raka tertantang pula oleh senyuman Tenuni sebagai laki-laki. Senyuman itu membuat Raka tidak hanya semakin ingin memasukkan lukisan terbaik Tenuni ke koridor kantornya yang baru direnovasi, tetapi juga masukkan Tenuni ke dalam koleksi wanita papan atas yang pernah tidur bersamanya. Karena itulah, meskipun sudah tiga kali di-“tidak”-kan Tenuni, pria yang umurnya tampak di awal tiga puluhan itu tetap berkeras. Akhirnya, di sebuah pameran Tenuni, ia menghampirinya dan berkata, “Apa yang harus kulakukan agar kau mau menjual lukisanmu yang ini?” Tenuni menatap mata Raka lekatlekat. “Kau mau melakukan apapun?” Raka mengangguk, balas menatap lekat-lekat Tenuni yang sudah tersenyum. ***

09

Edisi IV, Januari – April 2019


pandangannya ke redup cahaya lampu di belakang Tenuni. Lima puluh kilo bukan beban yang luar biasa berat. Ia sering menggendong sambil mengguncang wanita-wanita teman kencannya. Tetapi ukuran dan lokasi lukisan itu membuatnya sedikit ragu. “Buat apa syarat kedua ini?” kata Raka beralih dari lampu ke wajah Tenuni. Tenuni tersenyum. Raka menarik napas. Wajah Tenuni yang jelita, yang di mata Raka lebih terang dari lampu di belakangnya. Senyum Tenuni yang merona. Dinding kantornya yang masih belum sementereng kantor rekan-rekanya. Raka mengangkat bahu. “Oke. Ketiga?” “Kau harus mau kujadikan lelaki dalam lukisan.” Kening Raka tampak berlipat. “Dilukis maksudmu?” Tenuni tersenyum, senyuman khasnya. *** Penyejuk di ruangan itu terus menderung, tetapi Raka tetap merasa gerah dan gelisah. Di hadapannya, hanya sekitar tujuh meter, dengan sebuah palet di tangan kiri dan kuas besar di tangan kanan, Tenuni memandang tubuh Raka yang berbaring ke arah kanan. Lima belas menit berlalu tanpa ada gerakan, baik dari Raka juga dari Tenuni. Kedua tangan Tenuni seperti tertahan di udara oleh sanggahan tak kasat mata. Bahkan bola matanya tidak terlihat bergerak, kedua kelopaknya seakan tidak pernah berkedip. Raka semakin gelisah. Pada menit ke dua puluh, Tenuni meletakkan palet dan kuasnya. Setelah Cerita

itu, ia meletakkan blazer, celana, dst. hingga ia, seperti Raka, sudah telanjang bulat. Ia mengambil lagi palet dan kuasnya. Menyaksikan semua ini, Raka meneguk ludah. Ia tak sadar mulutnya menganga dan lidahnya liar menjilat bibir sendiri. Hanya tujuh meter dari rengkuhan tangan, setiap lekukan, setiap sudut, setiap lingkaran tubuh Tenuni. Tiba-tiba, tetapi juga perlahan-lahan, Raka berdiri dalam kondisi berbaring. Tenuni jelas menyadari hal itu, matanya tertuju pada segitiga selangkangan Raka yang sekarang membentuk kerangka piramida. Mata Tenuni kemudian beralih ke perut, dada, leher, bibir, dan akhirnya mata Raka yang tadi masih jauh, namun sekarang sudah ada di depannya. Satu tujuan akhirnya Raka tercapai juga. Tetapi meskipun samar, ia merasa ada yang aneh dalam dirinya. Raka merasa tersedot dan tak bisa melawan. *** “Kau terlelap beberapa lama,” ujar Tenuni hampir berbisik. Raka mengerjapkan mata. Sendisendinya lemas. Selangkangannya ngilu. Otot sekujur badannya kaku. Otaknya hendak mengapung, tetapi tubuhnya bagai jangkar yang terlalu berat. Tetapi akhirnya ia berhasil bangkit dan duduk setelah mengerahkan tenaga yang terasa lebih banyak dari biasanya. Ini lebih melelahkan dibandingkan kembali ke gym setelah dua minggu, pikir Raka. Raka mulai mengambil pakaian dan mengenakannya satu per satu sambil memandang ke arah Tenuni. Ia baru sadar bahwa kanvas di belakang wanita itu telah terisi penuh dengan warna-warna yang satu nuansa dengan semua lukisannya yang lain. Tetapi seperti biasa, baik saat

10


tari kehidupan Raka. Ia sempat menyebutnya “orang kaya baru” dan “kaya karena warisan mertua.” Tetapi Tenuni tampak lebih sering bercerita tentang semua yang terlintas di kepalanya. “Bila kau diperkosa, dianiaya ayahmu sendiri, balas dendam apa yang akan kau lakukan?” Raka mengangkat bahunya. “Pernah, suatu kali, seorang gadis yang telah bersekutu dengan setan menghantam kepala ayahnya sendiri hingga retak. Tetapi ia tak membiarkannya langsung mati. Ia ambil pisau dan menyayat tenggorokan ayahnya sedemikian rupa hingga pita suaranya putus. Lelaki itu bergeletar dalam kubangan darah tanpa suara. Lalu gadis itu menguliti ayahnya yang sudah tanpa nyawa. Ia juga potong kemaluannya. Ia potong bagian tubuh yang bisa ia potong. Sambil tersenyum.” Di hari lain, Tenuni bertanya pada Raka, “Apa kau tahu rasanya bersekutu dengan setan?” “Mungkin menyenangkan.” “Kenapa?” Raka mengangkat bahunya lagi, “Kau bisa melakukan apa saja.” Sementara itu di hari kesembilan, Tenuni berkata, “Besok kau boleh ambil lukisan manapun yang kau pilih.” “Yang sedang kau kerjakan ini?” Tenuni mengangguk. “Akan kuselesaikan besok. Ingat, kau harus mengangkatnya sendiri.”

memandang lukisan Tenuni maupun karya pelukis lain, Raka tak paham. Namun, tak seperti biasanya, ia merasa betah memandang lukisan itu, dan bukan karena ada Tenuni saja di depannya. “Apa yang kau lihat?” Tenuni memecah sunyi. Raka menggelengkan kepala. “Ada yang bilang, lukisan abstrak akan merepresentasikan sesuatu bila emosi orang yang menatapnya sama dengan emosi yang ingin ditunjukkan pelukisnya.” Raka bergeming. Tenuni melanjutkan, “Pernah, saat aku dua belas tahun, aku sedang benarbenar marah dan kebetulan aku sedang di sebuah pameran lukisan. Saat itulah, di depan sebuah lukisan, kulihat warnawarna yang sebelumnya tanpa bentuk, berubah menjadi banteng mengamuk. Tapi hanya beberapa saat.” “Beberapa saat?” “Begitu rasa takjub menggantikan amarahku, seketika kanvas itu kembali hanya warna-warna.” “Sebenarnya apa yang kau lukis ini?” Tenuni hanya tersenyum. *** Hari-hari selanjutnya, selama sembilan hari, Raka kembali datang di sekitar waktu yang sama. Yang berbeda, ia tidak lagi merasa perlu menunggu dua puluh menit; begitu memasuki studio, ia langsung melucuti pakaian Tenuni. “Kau lebih nyaman begini, kan?” Dan setelah itu mereka bercinta, Raka terlelap, dan Tenuni melukis. Selama beberapa hari itu juga, keduanya bertukar cerita yang semakin hari semakin tidak transaksional. Tenuni mendominasi. Sesekali ia mengomen-

*** Urutan kejadian di hari terakhir sedikit berbeda. Lukisan yang belum selesai kemarin sudah dibingkai, padahal tidak ada perubahan. Agak heran juga Raka melihatnya, tetapi ia tidak ambil pusing. Kedua mata dan

11

Edisi IV, Januari – April 2019


tetapi tidak berhasil. Matanya melotot, napasnya memburu, mulutnya terbuka tetapi tidak ada suara. Sementara itu, tangannnya sulit sekali untuk dikendalikan. Baik yang kanan maupun yang kiri seolah bertindak di luar kemauannya. Begitu juga kakinya yang seperti kehilangan tenaga. Ia berulang kali bangkit hanya untuk terjatuh kembali. “Yang itu?” kata Tenuni menunjuk lukisan yang belum diselesaikannya. “Baiklah, kuselesaikan dulu.” Tenuni melangkah menuju lukisan itu dan mengangkatnya seperti benda lebar itu ringan sekali. Kemudian, tibatiba ia hempaskan lukisan itu ke arah Raka yang masih mencoba berdiri, sehingga tubuh lelaki itu seakan menghilang di bawah lebar bingkai lukisan. Raka berusaha meloloskan tubuhnya, tetapi saat hampir berhasil, Tenuni begitu saja sudah berjongkok di hadapannya dengan pisau di tangan dan senyuman di bibir. “Biar aku selesaikan dulu. Aku kehabisan warna merah,” ujarnya, menyayat kening Raka. Darah mengalir. Raka mengerang tak berdaya. Sementara itu, Tenuni meraih kuasnya dan mulai melukis dengan merah yang masih terus mengalir. “Masih kurang.” Tubuh Raka bergetar. Mulutnya menganga tanpa suara. Urat lehernya terlihat jelas. Matanya melotot dan menetes. Dan di bulir-bulir air itulah, ia lihat bahwa lukisan-lukisan yang tergantung di dinding studio Tenuni mulai mewujud sesosok iblis yang menguliti tubuh sembilan orang lelaki berbeda. Semua lelaki itu tampak meregang nyawa dengan bercak merah di selangkangan. “Indah, kan?” ujar Tenuni. “Aku

kedua kepalanya dengan cepat tertuju pada Tenuni. Namun, wanita itu menolak untuk bercinta sebelum melukis. “Tapi akan memberimu pengalaman bercinta yang lebih dahsyat dari yang kemarin-kemarin. Untuk semacam perpisahan.” Baru mendengar dan membayangkannya saja, Raka sudah ngaceng. Gila! Percintaan yang lebih dahsyat dari yang kemarin-kemarin. Yang kemarinkemarin saja sudah membuatnya ketagihan, bagaimana dengan yang lebih dahsyat lagi. Akhirnya, berbaring lagi, tidak bergerak selama kurang lebih satu jam setengah, membiarkan Tenuni menyapukan kuasnya di atas kanvas, sementara ia mencoba menenangkan diri. “Sudah selesai?” tanya Raka ketika Tenuni meletakkan palet dan kuasnya. “Belum.” Raka meloloskan napas. “Aku kehabisan satu warna. Nanti saja kuselesaikan.” Tenuni tersenyum mengundang. Raka segera bangkit, tidak ia hiraukan segala ngilu dan kaku di sekujur tubuhnya. Ia seketika sudah merubuhkan tubuhnya pada tubuh Tenuni. Kulit mereka bertemu, bibir mereka bertemu, lidah mereka bertemu, tangan mereka bertemu, kumbang masuk ke dalam kembang, Raka tersetrum. Oleh kenikmatan. *** Raka kehilangan kesadaran setelah menyemburkan dirinya ke dalam Tenuni. Ia baru siuman ketika Tenuni menyentuh tengkuknya dan berkata, “Mana lukisan yang kau mau?” Raka berusaha keras untuk bangkit, Cerita

12


memang bisa melakukan segalanya.” Air mata Raka deras mengucur seperti darahnya. “Sekali lagi.” Dan pisau Tenuni mendarat di selangkangan Raka. *** Studio lukis itu hening. Rapi, seakan semua benda yang ada di dalam ruangan itu memang ditakdirkan di tempatnya yang sekarang. Di tengah ruangan, Tenuni berdiri seorang diri di depan lukisannya yang belum digantung. “Sempurna,” katanya tersenyum. Senyuman khasnya.

PUISI-PUISI oleh Aditya Fermana

Siklus … segelas kopi asapnya membumbung menjadi angin pagi, menelusuk dalam hening dan hinggap di dedaunan menjadi embun, lalu menetes titik demi titik ke dalam matamu yang kemudian, setelah kau renungi luluh hatimu, jatuh lagi ke dalam segelas kopi…

Teka-Teki Silang Malamku selalu kuisi teka-teki silang yang kauhadiahkan saat itu, saat aku berguguran, bergemuruh, bergerak tak keruan. Saat gelap turun, hitam putih kotakkotak selalu memanggilku dengan beragam pertanyaan, beragam penyataan, mengajakku menurun dan mendatar. Lima huruf. Mendatar. Sebuah perasaan. Cinta. Empat huruf. Menurun. Wafat. Mati, tulisku. c. i .n. t. a. m. a. t. i. Siapa yang cinta? siapa yang mati? Apa aku cinta mati? Atau, aku mati gara-gara cinta. Kekasih, terima kasih, hadiah perpisahanmu membuatku cinta mati padamu.

13

Edisi IV, Januari – April 2019



ESAI


SEBUAH ESAI T E N TA N G S E N I oleh Roger Fry diterjemahkan oleh M. Dirgantara dari "An Essay in Aesthetics"

kepastian tentang hakikat seni lukis, yang menjelaskan semua yang kita rasakan saat memandang sebuah lukisan, sebuah kepastian yang setidaknya menunjukkan benang merah seni lukis dengan cabang seni lain, sebuah kepastian yang mengeluarkan kita dari kebingungan teori seni sebagai imitasi belaka? Sebab, hemat saya, bila betul meniru objek nyata tujuan satusatunya seni lukis, sangat mengejutkan bahwa lukisan dianggap lebih dari sekadar barang aneh, atau mainan canggih, mengejutkan bahwa lukisan ditanggapi serius oleh orang dewasa. Lebih mengejutkan lagi, bila memang demikian, bahwa seni lukis nampak tidak punya hubungan apa-apa dengan cabang seni lain, seperti musik dan arsitektur, yang tidak menganggap penting meniru objek nyata. Tujuan dari esai saya ini adalah untuk sampai pada kesimpulan demikian. Bahkan bila nanti kesimpulan saya tidak sepenuhnya meyakinkan, saya harap usaha saya dapat menuntun kita pada pengertian tentang seni lukis yang tidak sepenuhnya sia-sia. Saya mulai dengan psikologi dasar yang membahas hakikat naluri. Banyak objek, ketika ditempatkan di hadapan kita, memicu terjadinya sebuah proses kompleks pada jaringan saraf kita yang akhirnya menyebabkan reaksi naluriah yang sesuai. Saat berada di padang

eorang pelukis yang cukup terkenal sekarang ini pernah menulis sebuah buku tipis mengenai seni lukis. Di dalamnya, ia formulasikan definisi seni lukis yang amat ringkas sehingga tepat kiranya bila saya jadikan titik berangkat esai ini. "Seni lukis," kata si otoritas terkenal, "adalah seni meniru benda kongkret pada permukaan datar menggunakan pigmen-pigmen warna." Definisi yang begitu sederhana dan memikat, tetapi seketika kita bertanya-tanya—Benarkah cuma ini? Dan bila memang benar, sungguh remeh-temeh ternyata perdebatan tanpa akhir mengenai seni lukis yang terjadi selama ini. Tentu, tidak ada gunanya menyangkal bahwa si pelukis ini punya otoritas terhormat yang mendukung pendapatnya. Plato memberikan penjelasan yang amat mirip mengenai seni lukis, dan bahkan lebih lanjut Plato bertanya—apakah seni lukis bermanfaat karena alasan yang sama. Dasar Plato yang memang amat teliti dan tegas berlogika, ia menjawab "tidak", dan konsekuensinya ia usir semua seniman dari republik idealnya. Namun, terlepas dari ini semua, dunia tetap keras kepala menganggap seni lukis ada manfaatnya. Memang, belum ada jawaban pasti apa tepatnya manfaat tersebut. Tapi dunia teguh tetap hormat dan kagum pada pelukisnya. Bisakah kita sampai pada sebuah

S

Esai

16


dengan seekor kuda yang membawa lari kereta, tidak ada perlunya kita menimbang-nimbang antara menyingkir atau menjadi pahlawan dan menghentikan kuda itu. Sebagai akibatnya, kita dapat mengamati peristiwa tersebut dengan lebih jelas; kita bisa melihat hal yang cukup menarik tapi tidak begitu penting berdasar ukuran dunia nyata, kita bisa perhatikan yang sebelumnya tidak kita perhatikan sebab kesadaran kita terlanjur terpusat pada apa yang harus kita lakukan sebagai respon. Saya ingat pernah menonton adegan kedatangan kereta di sebuah stasiun asing. Para penumpang turun dari kereta; tidak ada peron di sana. Betapa terkejutnya saya saat melihat beberapa penumpang berputar saat menapak tanah, seolaholah sedang membiasakan diri dengan suasana sekitar; tontonan ini cukup konyol, tapi saya tidak pernah sadar akan hal ini saat saya benar-benar sedang di stasiun. Alasannya, saat sedang di stasiun kita tidak pernah sepenuhnya menjadi pengamat. Yang ada kita menjadi aktor yang terlibat dalam sebuah pementasan drama tentang barang bawaan dan kursi penumpang; perhatian kita terbatas pada hal yang membantu kita memberikan tindakan respon yang tepat. Hal kedua yang dapat kita pelajari dari aktivitas menonton film berkenaan dengan dunia imajinasi, adalah bahwa sensasi perasaan yang ditimbulkan film lebih lemah dari dunia nyata. Namun, film menampilkan peristiwa dan sensasi lebih jelas dari dunia nyata. Apabila di layar tampil adegan kecelakaan, kita merasa kasihan dan ngeri. Meskipun kedua rasa ini berdaya lemah sebab kita

rumput, kita melihat ada banteng liar; tanpa kita sadari, sebuah proses terjadi, proses yang kecuali dihentikan secara paksa, hasil akhirnya adalah aksi melarikan diri. Mekanisme saraf yang menyebabkan hal ini terjadi mulanya menimbulkan kondisi kesadaran tertentu pada kita, kondisi yang kita sebut rasa takut. Hidup hewan dan banyak dari hidup manusia terdiri dari reaksi-reaksi naluriah terhadap objek nyata dan rasa yang ditimbulkannya semacam ini. Bedanya dari hewan, manusia mampu mengingat gema pengalaman masa lalu yang serupa, yakni kemampuan mengulang kembali sebuah objek atau situasi, seperti kata orang, "dalam dunia imajinasi." Manusia, oleh sebab itu, hidup di dua dunia yang berbeda: dunia nyata dan dunia imajinasi. Perbedaannya besar sekali: di dunia nyata, hukum seleksi alam membuat reaksi naluriah, misalnya lari dari bahaya, menjadi teramat penting, sehingga kita mengarahkan semua kesadaran kita pada hal ini. Kebalikannya, di dunia imajinasi reaksi semacam tadi sama sekali tidak perlu. Karenanya, kesadaran manusia dapat difokuskan untuk mengamati dan merasakan sebuah pengalaman. Dengan dua hal ini, di dunia imajinasi, kita memperoleh nilai yang berbeda, kita mengamati untuk tujuan yang berbeda. Aktivitas menonton film dapat dijadikan model untuk menjelaskan hakikat dunia imajinasi. Film menampilkan dunia yang sama dengan dunia nyata, kecuali bahwa dalam film, apa yang psikolog sebut sebagai bagian konatif reaksi kita, yaitu tindakan kita dalam merespon sensasi, menjadi tidak aktif. Di film, bila kita berpapasan

17

Edisi IV, Januari – April 2019


dunia yang semua manusia huni dengan proporsi yang berbeda-beda. Bahwa seni grafis merupakan ekspresi dunia imajinasi, bukan tiruan dunia nyata yang dapat ditebak dari mengamati anak. Seorang anak, bila dibiarkan, saya yakin tidak pernah meniru apa yang mereka lihat, tidak pernah, seperti yang sering kita katakan, "menggambar alam," tetapi mereka mengekspresikan dengan kesenangan, kebebasan, dan kejujuran dunia imajinasi mereka. Oleh karena itu, seni merupakan medium ekspresi sekaligus alat perangsang dunia imajinasi yang tidak menuntut tindakan respon. Di dunia nyata, tindakan respon menyiratkan bahwa kita memiliki tanggung jawab moral. Kebalikannya, dalam seni, tidak ada tanggung jawab moral—seni menampilkan kehidupan yang tidak mengikat, berbeda dari kehidupan di dunia nyata. Lalu apa pembenaran bagi dunia imajinasi ini yang kita hidupi kurang lebih secara serius? Bagi moralis garis keras yang hanya menganggap penting nilai moral, justifikasinya harus berupa demonstrasi bahwa dunia imajinasi tidak hanya menghalangi tindakan buruk, tetapi juga mendorong tindakan baik. Bila tidak demikian, dunia ini tidak hanya dicap sia-sia, tetapi juga dianggap merugikan karena menguras banyak energi kita. Bagi mereka, ada dua pandangan yang mungkin, yang pertama adalah pandangan Puritanikal paling picik, yakni pandangan yang menilai dunia imajinasi tidak lebih baik atau lebih buruk dari kesenangan jasmani, dan karenanya tercela. Pandangan kedua adalah yang mengatakan dunia imajinasi menyokong moral. Pandangan kedua inilah yang dipegang moralis seperti John Ruskin yang menganggap

tahu tidak ada yang benar-benar terluka, rasa tersebut kita rasakan dengan jelas sebab kita tidak perlu melanjutkannya dengan tindakan menolong, seperti yang akan kita lakukan seandainya kecelakan tadi terjadi di dunia nyata. Efek yang cukup mirip bisa kita jumpai dengan memandang pantulan situasi sebuah jalan. Bila kita langsung memandang jalan tersebut, hampir pasti kita bersikap berbeda. Kita melihat seorang kenalan dan bertanya dalam hati mengapa ia kelihatan begitu sedih, atau perhatian kita malah terfokus pada topi model baru yang dikenakan orang—begitu kita mulai melakukan ini, ilusi dunia imajinasi sirna; yang kita respon adalah dunia nyata. Kebalikannya, dengan memandang pantulan jalanan, lebih mudah memusatkan diri kita untuk mengamati perubahan situasi yang terjadi secara utuh. Yang dipantulkan cermin karenanya menjadi semacam dunia imajinasi, dan di sana kita menjadi pengamat seutuhnya yang tidak memilah, tetapi mengamati semuanya secara rata. Akibatnya, kita melihat hal yang kita tidak sadari di dunia nyata, serta hubungan hal tersebut satu sama lain yang juga kita tidak sadari sebelumnya karena proses pemilahan yang kita lakukan di kehidupan nyata secara tidak sadar. Sampai pada taraf tertentu, cermin tadi mentransformasi dunia nyata menjadi dunia imajinasi. Dengan kata lain, permukaan cermin adalah sebuah karya seni yang sangat rudimenter, yang membantu kita memasuki dunia imajinasi. Seperti yang sudah dapat Anda tebak, jalur argumentasi saya mengarah pada pernyataan bahwa seni erat kaitannya dengan dunia imajinasi, Esai

18


seharusnya membenarkan dunia nyata dengan melihat hubungannya dengan dunia imajinasi. Maksud saya, karena seiring waktu dunia imajinasi merepresentasikan apa yang dianggap sebagai ekspresi hakikat manusia yang paling sempurna dan sebagai pendayagunaan kapasitas asali manusia yang paling bebas, dunia nyata dapat dijelaskan dan dibenarkan berdasarkan kemiripannya, seberapa parsial atau berbeda pun, dengan dunia imajinasi yang lebih bebas dan sempurna tadi. Sebelum beranjak dari pembelaan terhadap karya seni, izinkan saya menjelaskan maksud saya dengan cara yang berbeda. Dunia imajinasi sebuah masyarakat memiliki tingkatan berbeda pada waktu yang berbeda, dan tingkat ini tidak selalu sesuai dengan tingkat moral masyarakat tersebut di dunia nyata. Ini sebabnya kita terkejut membaca gambaran ketidakberadaban dan kekejaman orang-orang pada abad ke13; kita bisa mengklaim, saya pikir, bahwa kemanusiaan kita sudah jauh lebih baik sekarang ini, tetapi perkembangan dunia imajinasi kita masih begitu rendah; dalam dunia imajinasi kita berpuas diri dengan kekasaran, ketidakberadaban, dan kehinaan yang bakal membuat tercengang orang dari abad ke-13. Tentu, kita berhak mengakui peningkatan moral kita sesuka hati, tapi tidakkah bersamaan dengan itu kita merasa rugi juga; tidakkah kita merasa bahwa rata-rata wiraswasta akan lebih terpuji dan terhormat bila dunia imajinasinya tidak begitu hina dan kacau? Bila kita mengakui ada kerugian, maka betullah ada bagian dari hakikat manusia yang tidak sepenuhnya berada di bawah hukum moral, bagian yang patut difungsikan.

dunia imajinasi adalah kebutuhan yang wajib. Namun, pandangan yang kedua ini menuntun kita pada kecurangan logika yang cukup sulit dimaklumi, bahkan menjerumuskan kita mengelabui diri sendiri, tindakan yang tentunya secara moral juga tidak terpuji. Lalu, sekarang saatnya kita bahas pula agama, sebab agama juga bagian dari dunia imajinasi, dan meskipun agama mengklaim punya efek langsung pada tindakan kita, saya rasa mereka yang religius dan bijak tidak akan membenarkan agama hanya karena pengaruhnya terhadap moral. Pembenaran semacam ini, seperti yang sudah dibuktikan sejarah, tidak selalu menguntungkan. Yang kemungkinan mereka akan katakan adalah bahwa pengalaman religius berhubungan dengan kapasitas spiritual manusia yang baik dan menguntungkan bila digunakan, terlepas dari efeknya terhadap tindakan kita di dunia nyata. Sejalan dengan argumen religius ini, seorang seniman dapat, bila ia memilih demikian, untuk mengambil sikap mistik dan menyatakan bahwa dunia imajinasi yang ia hidupi secara total dan menyeluruh adalah kenyataan yang lebih nyata dan penting dari dunia nyata yang kita ketahui. Perkataannya yang demikian bakal disetujui mayoritas, sebab hampir semua, saya rasa, akan setuju bahwa kenikmatan yang kita peroleh dari karya seni sama sekali berbeda dan lebih penting nilainya dibandingkan kenikmatan jasmaniah, dan bahwa kenikmatan dari karya seni mendayagunakan bagian dari diri kita yang dianggap abadi dan imateril. Bahkan, dari sudut pandang yang sama, dapat dikatakan bahwa kita

19

Edisi IV, Januari – April 2019


kesenangan semata yang diharapkan dari dunia tersebut. Namun, apa yang kita harapkan dari dunia imajinasi amat berbeda sifatnya dengan yang kita harapsenikan dari dunia nyata. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan mendasar kedua dunia tadi, yang sudah kita bahas sebelumnya, yakni kebebasan dunia imajinasi dari keharusan kita merespon dalam bentuk tindakan. Seni, oleh karena itu, merupakan jantung dunia imajinasi; dengan senilah dunia imajinasi terangsang dan dikendalikan, dan seperti yang telah kita lihat, ciri khas dunia imajinasi adalah kualitas pengamatannya yang lebih jernih, lebih murni, dan lebih bebas terhadap perasaan. Pertama saya jelaskan lebih jauh tentang lebih jernihnya pengamatan di dunia imajinasi. Macam-macam kebutuhan kita di dunia nyata amat mendesak. Akibatnya, panca indera kita menjadi begitu terfokus dalam menjalankan fungsinya. Dengan presisi yang mengagumkan kita hanya melihat apa yang kita butuhkan untuk mencapai tujuan praktis tertentu; sebagai akibatnya, apa yang kita lihat hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan, yang kita lihat hanya cukup untuk kebutuhan mengenali dan mengidentifikasi suatu objek atau seorang individu; setelah tujuan ini tercapai, objek atau individu di hadapan kita terproses dan masuk ke dalam katalog di kepala kita. Setelah itu, saat memandang objek yang sama di kesempatan lain, kita tidak benar-benar memandangnya lagi. Di dunia nyata, kebanyakan orang sebetulnya hanya membaca label yang 'menempel' di setiap benda dan tidak repot lagi betul-betul memperhatikan benda tersebut. Dengan kata lain,

Kehidupan di dunia imajinasi memiliki sejarahnya sendiri, baik pada tingkat ras maupun individu. Pada tingkat individu, salah satu akibat awal kebebasan dari belenggu tindakan respon adalah terlenanya seseorang dalam perasaan membangga-banggakan diri. Lamunan anak-anak dipenuhi cerita luar biasa yang di dalamnya ia berperan sebagai si pahlawan tanpa tanding. Musik—yang rangsangan emosinya paling kuat dibandingkan cabang seni lain, dan juga yang paling lemah mengatur arah emosi tersebut—musik, pada tahap tertentu dalam kehidupan manusia, memiliki efek yang sekadar membangkitkan rasa bangga terhadap diri sendiri tadi sampai pada tahap absurd, dan Tolstoy sepertinya menganggap ini satu-satunya efek yang mampu dihasilkan musik. Tetapi dengan bertambahnya pengalaman hidup dan berkembangnya karakter kita, dunia imajinasi mulai merespon naluri lain dan memuaskan hasrat lain sampai akhirnya dunia imajinasi hanya berisi aspirasi tertinggi dan antipati terdalam yang mungkin dicapai oleh manusia. Saat kita bermimpi dan di bawah pengaruh obat-obatan, dunia imajinasi berjalan tanpa kendali, dan apa yang kita lihat mungkin sama sekali berlawanan dengan keinginan kita, tetapi saat dunia imajinasi seluruhnya ada di bawah kendali kita maka apa yang kita lihat pasti sesuai dengan apa yang kita harapkan. Hal ini bukan berarti bahwa dunia imajinasi selalu menyenangkan, sebab sangat jelas bahwa manusia terdiri dari begitu banyak hal sehingga ia tidak melulu menginginkan kesenangan. Ditambah lagi, kita akan jumpai seniman hebat, pembela nomor satu dunia imajinasi, yang menganggap bukan Esai

20


sebenarnya dan kenampakan benda yang dianggap benar, untuk perlahan membuat semua orang perlahan-lahan mengakui kebenaran yang sebenarnya akan terbukti cukup dengan sekali berjalan di pedesaan tanpa prasangka sebelumnya. Namun, meskipun pengamatan jernih yang kita jumpai di dunia imajinasi amat menarik, dan meskipun pengamatan ini lebih banyak mengambil peran di seni grafis dibandingkan cabang seni lain, barangkali dapat dipertanyakan apakah hanya dengan satu aspek yang menarik, unik, dan mengagumkan ini karya seni bisa menjadi begitu penting bagi umat manusia. Tetapi pentingnya karya seni juga bukan disebabkan, saya pikir, karena aspek perasaan yang terkandung di dalamnya. Kita telah membahas bahwa aspek perasaan di dalam karya seni secara umum lebih lemah dibandingkan dengan timbal baliknya dunia nyata. Potret seorang santo yang dikuliti hidup-hidup secara perlahan tidak akan menimbulkan sensasi mual luar biasa seperti yang akan dirasakan seorang manusia modern bila benar-benar menyaksikan adegan tersebut secara langsung; tetapi potret tadi sebagai gantinya memberikan kita presentasi yang begitu jelas. Perasaan yang amat pedih dalam dunia nyata, menurut saya, punya efek melumpuhkan yang juga dirasakan hewan saat ketakutan; bahkan bila pengamatan saya ini ditolak, kita semua pasti setuju bahwa dorongan untuk bereaksi memaksa kita bertindak dan karenanya menghalangi kita menyadari secara penuh apa yang kita rasakan sekaligus menghalangi kita mengoordinasikan perasaan tersebut dengan perasaan lain. Pendeknya, kita terlalu dekat dengan perasaan kita

hampir semua hal yang mempunyai fungsi praktis di kehidupan sehari-hari menjadi kurang lebih tak terlihat. Hanya bila sebuah objek tidak memiliki fungsi lain selain untuk dipandang, kita baru akan benar-benar memandangnya, seperti saat memandang perhiasan asal Cina atau batu mulia. Pada benda seperti inilah bahkan orang biasa pun bersikap sedang memandang sebuah karya seni, terbebas dari keharusan tindakan respon di dunia nyata. Penyempitan pandang tadi begitu besar pengaruhnya sampai-sampai banyak orang sama sekali tidak tahu kenampakan sebenarnya dari benda di sekeliling mereka. Oleh karena itu, cukup aneh bahwa tolok ukur untuk menilai karya lukis yang amat populer digunakan saat ini, yaitu ketepatan sebuah karya meniru benda-benda di dunia nyata, malah sesuatu yang kebanyakan orang, karena kebiasaan mereka selama hidup, tidak dapat digunakan dengan tepat. Yang mereka pandangi selama ini hanya sekadar replika juga; saat seorang seniman yang telah benar-benar memandangi sebuah objek memamerkan pada mereka hasil karyanya, ketidaktepatan representasi objek tersebut membuat mereka begitu geram. Hal ini sudah terjadi berulang kali sehingga tidak perlu saya buktikan lagi sebenarnya. Namun, satu contoh bisa disebutkan di sini. Monet adalah seorang seniman yang terpandang terutama karena kemampuannya mereproduksi aspek-aspek tertentu dari alam, tetapi kenaifan dan kejujurannya dianggap orang banyak sebagai tipuan kurang ajar, sehingga dibutuhkan penjelasan dari tokoh seperti BastienLepage, yang secara cermat menegosiasikan antara kenampakan benda

21

Edisi IV, Januari – April 2019


bahkan menjengkelkan karya Tolstoy. Dan meskipun saya tidak setuju dengan semua kesimpulan buku ini, saya dengan senang hati mengakui bahwa saya berhutang banyak pada Tolstoy. Tolstoy menjelaskan maksudnya menyebut seni sebagai alat untuk mengomunikasikan perasaan dengan menyebutkan contoh berikut. Katanya, mari kita bayangkan seorang anak lelaki yang baru dikejar oleh seekor beruang di hutan. Bila bocah ini kembali ke desa dan hanya mengatakan bahwa ia baru saja dikejar oleh beruang dan berhasil melarikan diri, ia hanya menggunakan bahasa sehari-hari yang dipakai untuk mengomunikasikan fakta dan ide; tapi bila ia memulai dengan mendeskripsikan kondisinya yang tidak sadar, lalu kepanikan dan teror yang dirasakannya tiba-tiba saat beruang tersebut muncul, dan perasaan lega saat ia berhasil kabur—bila ia mendeskripsikan semua ini sehingga pendengarnya merasakan hal yang sama, maka deskripsi bocah ini adalah sebuah karya seni. Nah, selama tujuan dari bocah itu adalah untuk mendorong penduduk desa bergerak dan membunuh beruang tersebut, meskipun ia menggunakan teknik seni, ceritanya bukan merupakan sebuah karya seni yang murni; tetapi bila di sebuah petang di musim dingin ia menceritakan pengalamannya sematamata untuk menghibur pendengarnya, atau bila ia menceritakan cerita yang sama sekali fiksi untuk menimbulkan perasaan tertentu pada pendengarnya, cerita si bocah menjadi sebuah karya seni murni. Namun, Tolstoy melihat seni dari sudut pandang yang sama sekali berlawanan dan menghargai perasaan yang dibangkitkan karya seni

sendiri sampai-sampai kita tidak bisa merasakannya dengan jelas. Bisa dibilang, perasaan yang terlalu dekat dengan kita menjadi tidak bisa dipahami lagi. Kebalikannya, di dunia imajinasi, kita bisa merasakan sesuatu dan dalam saat bersamaan kita bisa mengamatinya pula. Ketika kita benar-benar terhanyut oleh sebuah cerita di pementasan teater, kita berada di panggung sekaligus di kursi penonton dalam waktu bersamaan. Satu poin lain—sebab perasaan di dunia imajinasi tidak memaksa tindakan responsif, kita dapat menilai apa yang kita rasakan dengan cara berbeda. Di dunia nyata, sampai tahap tertentu, kita harus mengembangkan perasaan yang mendorong tindakan responsif kita, dan oleh karena itu kita akhirnya menilai perasaan tersebut dari tindakan yang dihasilkannya. Jadi, misalnya, semangat bersaing dan berlomba dibesar-besarkan (meskipun barangkali sebenarnya tidak terlalu patut), sementara perasaan yang tampaknya memiliki nilai intrinsik yang tinggi hampir diabaikan sama sekali di dunia nyata. Contohnya, perasaan yang dikategorikan sebagai perasaan kosmik hampir tidak punya tempat di dunia nyata. Namun, karena berasal dari kedalaman diri kita, jenis perasaan ini mendapatkan tempat yang amat penting di dunia seni. Moralitas, karena itu, menghargai perasaan berdasarkan tindakan yang dihasilkannya. Seni menghargai perasaan sebagai perasaan. Pandangan ini, pandangan yang menganggap bahwa fungsi paling penting dari seni adalah untuk mengekspresikan perasaan, adalah pondasi dari What is Art?, sebuah buku yang begitu orisinil, tetapi juga aneh dan Esai

22


yakni sebuah objek yang melayani dunia imajinasi, apakah kualitas yang ada pada objek tersebut? Utamanya, objek tersebut harus memancing intensitas kontemplasi objektif, sebuah kualitas yang memutus rantai tindakan responsif. Objek tersebut harus cocok dengan intens pengamatan yang ditimbulkannya. Dan kualitas pertama yang kita cari pada sensasi yang kita rasakan saat memandang karya seni adalah sensasi keteraturan, tanpa ini hanya ada gangguan dan kebingungan; kualitas lainnya adalah keberagaman, tanpa ini sensasi kita tidak dapat terstimulasi secara penuh. Pada titik ini keberatan bisa diajukan, bahwa objek di alam, seperti bungabunga, juga memiliki kualitas keteraturan dan keberagaman yang tinggi, dan objek ini juga tentu merangsang dan memuaskan kontemplasi objektif yang menjadi ciri sikap saat seseorang memandang karya seni. Namun, reaksi kita terhadap sebuah karya tidak hanya sampai di sini saja—terdapat kesadaran pada diri kita akan maksud si seniman, kesadaran mengenai hubungan kita dengan si seniman, si pencipta karya yang membangkitkan secara akurat sensasi yang dimaksudkan seniman saat kita memandang karya tersebut. Dan ketika kita memandang karya seni bernilai tinggi, tempat sensasi disusun begitu rapi sehingga menimbulkan perasaan yang amat mendalam pada kita, hubungan antara kita dan si seniman akan menjadi begitu kuat. Kita merasa bahwa ia telah mengungkapkan apa yang sudah lama berdiam di dalam diri kita, tetapi tak pernah sebelumnya terpampang, bahwa ia telah mengungkapkan diri kita

berdasarkan tindakan yang ditimbulkannya. Pendapatanya ini ia pertahankan dengan begitu heroiknya meskipun ia pada akhirnya harus mencerca seluruh karya Michelangelo, Raphael dan Titian, sebagian besar Beethoven, dan belum lagi semua karyanya sendiri sebagai karya seni yang buruk atau palsu. Pandangan demikian, saya rasa, akan membuat siapa saja yang tidak seberani Tolstoy untuk berpikir dua kali. Kita akan mempertanyakan keyakinan kita sendiri, benarkah seluruh umat manusia bisa begitu salah selama ini tentang fungsi seni yang meskipun belum jelas apa tepatnya, bisa dirasakan hampir secara universal. Selain itu, ia juga mesti mencari nama baru untuk menyebut semua yang sekarang kita anggap sebagai karya seni. Teori Tolstoy pun sebenarnya tidak bisa ia pertahankan dengan mulus, sebab kualitas yang ia yakini sebagai syarat sebuah karya yang baik secara moral, ia akui lebih sering ditemukan pada karya yang kualitasnya inferior. Di titik ini, oleh karena itu, kita lihat Tolstoy mengakui diam-diam bahwa ada standar lain selain standar moral yang bisa diterapkan dalam menilai sebuah karya seni. Karena itu, kita mestinya berhenti menilai karya seni berdasarkan reaksi yang ditimbulkannya di dunia nyata, dan mulai menganggap karya seni sebagai instrumen pengungkap perasaan tanpa maksud selanjutnya. Dan hal ini membawa kita kembali ke ide yang baru saja kita capai, yakni seni sebagai alat pengungkap dunia imajinasi. Bila benar bahwa sebuah objek diciptakan oleh seseorang bukan untuk fungsi praktisnya, untuk kontribusinya di dunia nyata, tetapi sebagai karya seni,

23

Edisi IV, Januari – April 2019


keberagaman yang dimaksudkan untuk menimbulkan persis perasaan yang kita rasakan. Aspek utama dari keteraturan dalam sebuah karya adalah kesatuan; sebuah kesatuan, yang bisa berbagai macam perwujudannya, diperlukan agar kita dapat secara tenang dan menyeluruh berkontemplasi begitu berhadapan dengan sebuah karya. Bila tidak ada kesatuan, kita tidak akan bisa mengkontemplasikannya secara utuh, akibatnya kita akan keluar dari karya tersebut untuk mencari hal yang membuatnya satu. Dalam sebuah lukisan, kesatuan ini terpenuhi bila objek yang menjadi subjek lukisan tersebut ditempatkan di garis tengah secara seimbang. Bila ini dilakukan, kita akan dengan mudah fokus pada apa yang ada di dalam bingkai lukisan. Dr. Denman Ross dari Universitas Harvard, dalam penelitiannya yang begitu berharga, menemukan dasar dari prinsip keseimbangan ini dan menamainya "Theory of Pure Design." Ia menyarikan hasil penelitiannya dengan persamaan berikut: nilai dari komposisi lukisan berbanding lurus dengan jumlah hubungan keteraturan yang ditampilkan lukisan tersebut. Dr. Ross secara cermat membatasi penelitiannya pada bentuk abstrak tanpa makna. Begitu pembahasannya mencakup bentuk yang merepresentasikan sesuatu, bentuk tersebut memiliki nilai-nilai yang sama sekali baru. Misalnya, sebuah garis yang melengkung sebentuk kepala manusia ke arah tertentu akan mempunyai nilai lebih dari sebatas garis karena bentuk yang direpresentasikannya terlalu mencolok bagi mata kita. Hampir dalam

saat ia mengungkapkan dirinya. Kesadaran mengenai maksud ini, saya kira, merupakan bagian yang esensial dari penilaian estetis yang benar. Pengamatan terhadap keteraturan dan keberagaman yang dimaksudkan senimannya pada sebuah karya menimbulkan perasaan yang membuat kita menyebut karya tersebut "indah". Namun, bila dengan menggunakan citraan-citraan yang teratur dan beragam perasaan kita terpancing, dan bila perasaan tersebut hanya bisa dicapai dengan cara tersebut, meskipun citra yang tampal tidak 'indah' secara visual, kita tidak akan keberatan. Oleh karena itu, tidak ada justifikasi bagi sebuah jambangan dari Cina untuk terlihat jelek, tetapi ada banyak sekali justifikasi bagi lukisan karya Rembrandt dan Degas untuk terlihat 'jelek', sangat amat 'jelek' dari segi keindahan visual. Hal ini, saya pikir, akan menjelaskan kontradiksi yang tampaknya terdapat dalam penggunaan kata "indah", yang pada satu kasus digunakan untuk merujuk pada keindahan karya di depan mata kita, dan pada kasus lain digunakan untuk memuji karya seni imajinatif yang menampilkan sebuah pemandangan yang setengah mati buruknya. "Indah" pada kasus pertama berarti sebuah karya menampilkan keindahan visual, sementara pada kasus kedua "indah" berarti sebuah karya yang super sensual, yang terfokus pada kecocokan dan intensitas perasaan yang ditimbulkannya. Saat perasaan tersebut timbul dengan cara yang secara utuh memenuhi kebutuhan kita akan dunia imajinasi, kita dengan senang menerima citraan 'buruk' yang memberikan kita kenikmatan intens tadi, sebabnya, citraan ini memiliki keteraturan dan Esai

24


seni grafis. Kesatuan dari lukisan semacam tadi bergantung dari bentukbentuk yang karya tersebut tampilkan sehingga kita tetap melihat sebuah hubungan yang mendasar dan selaras dari apa yang lebih dahulu muncul dengan apa yang mengikutinya. Dalam melihat sebuah lukisan saya sarankan kita mengadopsi pendekatan kesatuan semacam ini; kita rasakan, bila lukisan yang kita lihat baik, setiap modulasi garis yang berlalu di hadapan mata kita memberikan sensasi keteraturan dan keberagaman. Lukisan tersebut barangkali sama-sama sekali tidak mempunyai keseimbangan geometris yang sering kita cari dalam sebuah lukisan, tetapi lukisan tersebut tetap mempunyai kesatuan yang luar biasa. Sekarang mari kita melihat cara seorang seniman melampui taraf sekadar memuaskan keinginan kita menikmati keteraturan dan keberagaman visual, dan naik ke tingkat ia merangsang perasaan kita. Berikut saya jelaskan berbagai macam elemen komposisi dalam lukisan dan efek perasaan yang mungkin ditimbulkannya. Elemen pertama adalah ritme garis yang berfungsi menggambarkan bentuk dalam sebuah lukisan. Garis merekam gerakan, dan gerakan tersebut dikondisikan oleh perasaan sang seniman. Karenanya, perasaan tersebut terkomunikasikan pada kita secara langsung. Elemen kedua adalah massa. Ketika sebuah objek digambarkan dengan begitu baik, kita dapat mengenali bahwa objek tersebut memiliki kelembaman. Akibatnya, kita merasakan kekuatan objek tersebut dalam melawan gerak, atau malah mengomunikasikan gerakan objek tersebut. Reaksi kita terhadap

semua lukisan gangguan dari efek representatif terhadap nilai dekoratif murni dari sebuah bentuk terjadi, dan dalam kasus demikian bentuk-bentuk menjadi begitu kompleks untuk digunakan sebagai bukti geometris. Kesatuan dekoratif murni ini, lebih lanjut, berbeda-beda derajat intensitasnya pada seniman dan periode yang berbeda. Kebutuhan akan tekstur geometris yang terjalin dengan ketat lebih besar pada lukisan heroik berskala besar dibandingkan pada karya mengenai kehidupan sehari-hari dalam skala kecil. Ada kemungkinan pula bahwa nilai tinggi yang kita sematkan pada kesatuan dalam sebuah rancangan gambar terbagi atas dua jenis. Kita begitu terbiasa menganggap kesatuan berasal dari keseimbangan berbagai bentuk dan garis yang ditampilkan secara bersamaan di dalam lukisan sehingga kita lupa kemungkinan bentuk kesatuan lain. Dalam sebagian lukisan dari Cina, panjangnya tidak memungkinkan karya tersebut dilihat secara keseluruhan sekaligus, dan memang lukisan itu tidak dimaksudkan untuk dilihat demikian. Kadang-kadang, sebuah lanskap dilukis di atas kain sutra yang begitu panjang sehingga kita hanya dapat melihatnya dalam rangkaian berurut. Seiring gulungan lukisan tersebut kita buka dari satu bagian ke bagian lain, kita melintasi bentangan negeri yang begitu luas, mengikuti, barangkali, kelokan sebuah sungai dari hulu ke hilir, tapi meskipun begitu, bila lukisan ini memang baik, kita juga telah mendapatkan sebuah kesatuan yang jelas. Rangkaian berurut yang memiliki kesatuan seperti tadi tentu saja akrab kita temui pada seni sastra dan musik, dan rangkaian ini juga berperan dalam

25

Edisi IV, Januari – April 2019


dupan sehari-hari; begitu pun kepekaan kita terhadap kemiringan bidang, yang langsung terhubung dengan kebutuhan kita untuk menyesuaikan posisi dengan kondisi bumi; lalu ada lagi cahaya, yang begitu penting fungsinya bagi kehidupan manusia sehingga kita begitu sensitif terhadap perubahan intensitasnya. Hanya warna di antara elemen-elemen lukisan tersebut yang tidak begitu krusial fungsinya dalam kehidupan manusia, dan efek perasaan yang dibangkitkannya tidak begitu dalam dan tidak begitu jelas dibandingkan elemen lainnya. Dari sini dapat dilihat bahwa seni visual merangsang perasaan kita dengan cara memainkan nada-nada tambahan kebu-tuhan fisik kita yang utama. Kelebihan seni visual dibandingkan seni sastra oleh karena itu terletak pada kemampuannya terhubung secara langsung dan seketika pada perasaan yang menyertai kebera-daan fisik kita. Bila kita bandingkan semua elemen lukisan tadi secara eksak, efek emosi yang ditimbulkannya tentu amat lemah. Ritme garis, sebagai contoh, sangat lemah efeknya pada otot kita bila dibandingkan dengan rangsangan dari ritme musik. Ritme garis paling banter mampu menampilkan gaung samar dari perasaan yang tidak konsisten kualitasnya. Namun, ketika elemen-elemen lukisan tadi digunakan untuk merepresentasikan alam dan isinya, terutama kenampakan tubuh manusia, kita melihat bahwa efek perasaan yang ditimbulkannya mening-kat berlipat-lipat. Saat kita pandang, misalnya, "Jeremiah" karya Michelangelo dan menyadari momentum gerakannya yang begitu me-narik, kita merasa begitu hormat dan takjub.

lukisan demikian dipengaruhi seluruhnya oleh pengalaman kita terhadap massa di dunia nyata. Elemen ketiga adalah ruang. Dua buah persegi yang ukurannya sama bisa dengan mudah dibuat merepresentasikan sebuah kubus yang tingginya 5 atau 7 senti meter atau kubus yang tingginya berpuluh-puluh meter. Seiring dengan berubahnya kenampakan ukuran kubus tersebut, reaksi kita juga ikut berubah. Elemen keempat adalah gelap dan terang. Perasaan kita terhadap sebuah objek yang sama dapat berubah total bila kita melihatnya disorot di depan latar gelap atau digelapkan di depan latar terang. Elemen kelima adalah warna. Bahwa warna punya efek terhadap perasaan kita dapat dibuktikan dengan mengingat kembali kata-kata seperti "ceria", "membosankan", "melanko-lis" yang sering digunakan untuk merujuk pada warna tertentu. Lalu, saya usulkan juga satu elemen tambahan, meskipun barangkali elemen ini hanya gabungan dari elemen massa dan ruang: elemen yang saya maksud adalah kemiringan bidang dari titik pandang kita, apakah tersebut condong ke arah kita atau bersandar menjauh dari kita. Pada titik ini, sudah jelas bahwa semua aspek lukisan yang membang-kitkan perasaan terhubung dengan kondisi fisik kita yang esensial: ritme terhubung dengan semua sensasi yang berasal dari aktivitas otot kita; massa terhubung dengan segala macam adaptasi yang kita terpaksa lakukan untuk mengimbangi gaya gravitasi; kepekaan terhubung dengan ruang yang juga begitu penting dan universal digunakan dalam kehiEsai

26


Jeremiah oleh Michaelangelo


Tondo oleh Michaelangelo

kemungkinan besar mengajukan keberatan, "Anda telah mencomot bentukbentuk alam, lalu menamainya elemen lukisan yang membangkitkan perasaan, meskipun, sesuai deskripsi Anda sendiri, elemen ini amat lemah dayanya saat diukur secara eksak; lalu Anda merangkai kembali elemen tadi dengan bantuan Michelangelo ke bentuk aslinya seperti di alam, dan wah! Jadilah bentuk-bentuk itu penuh makna dan nilai. Padahal, bisa dilihat bahwa alam sudah mengandung makna terlebih dahulu, dan yang perlu dilakukan seorang seniman hanya meniru alam saja!"

Atau ketika kita memandangi "Tondo" karya Michelangelo di Museum Uffizi, dan menyadari bahwa sosok-sosok di dalam lukisan ini diatur sedemikian rupa sehingga medium datar itu menunjukkan sebuah rangkaian yang sebanding, dalam luas dan kemegahannya, dengan lempeng bumi yang menanjak naik, dengan lekukanlekukan yang jelas, menjelma gunung yang maha tinggi, kita seketika merasakan berbagai macam reaksi naluriah menjadi aktif. Pada titik ini, para penentang (mengikuti istilah Leonardo da Vinci),

Esai

28


Saat seorang seniman beranjak dari sekadar sensasi visual murni ke tingkat membangkitkan perasaan melalui medium visual, ia mendayagunakan bentuk yang ada di alam dengan merancang dan memperhitungkannya sedemikian rupa sehingga presentasinya menghasilkan keadaan rasa tertentu dalam diri kita. Proses ini dapat terjadi karena kondisi fisik dan psikologis kita memang sudah mendukung proses tersebut. Oleh karena itu, tidak ada aturan pasti yang membatasi seorang seniman dalam menggunakan bentuk-bentuk alami, semua tergantung pada perasaan apa yang ingin ia bangkitkan dalam diri kita. Sang seniman mungkin perlu menggambar seorang sosok dengan begitu lengkap dan detail, sebab maksudnya akan tercapai bila menggambar dengan cara itu, dia mungkin melukis dengan begitu realistis, yang meskipun hasilnya begitu mirip dengan alam, si seniman tetap mengatur elemen di dalamnya sedemikian rupa sehingga lukisan tersebut membangkitkan perasaan yang ia inginkan pada kita. Atau dia barangkali hanya membuat sketsa samar dari bentuk di alam, dan percaya sepenuhnya bahwa sketsanya mempunyai daya dan intensitas untuk membangkitkan perasaan yang ia maksudkan. Akhirnya, kita dapat menyingkirkan selamanya ide bahwa karya seni harus meniru alam, bahwa kualitas seni ditentukan keakuratan representasinya. Yang seharusnya kita pertanyakan adalah apakah elemen rasa yang terdapat di alam telah dengan baik didayagunakan, kecuali, tentu saja, bila perasaan yang ingin dibangkitkan si seniman dalam diri kita memang bergantung pada kemiripan, ketepatan, atau keakuratan representasi.

Sayangnya, alam sama sekali tidak peduli dengan kebutuhan dan tuntutan dunia imajinasi; Tuhan menurunkan hujan pada yang baik, tapi juga pada yang jahat. Matahari lalai menyorot dengan sinar emas saat Napoleon menang atau saat Caesar sekarat. Di alam, kita tidak punya jaminan bahwa elemen-elemen rasa akan dikombinasikan secara sempurna untuk memenuhi tuntutan dunia imajinasi, maka dari itu, fungsi utama dari seni visual adalah memberi keteraturan dan keberagaman pada tingkat sensasi, yang melingkupi tata letak dan presentasi objek-objek dalam sebuah lukisan, sehingga efek perasaan ditimbulkan sesuai maksud pelukisnya jauh melebihi apa yang sudah ditawarkan oleh alam. Izinkan saya merangkum apa yang telah saya jelaskan mengenai hubungan seni dan alam, masalah yang barangkali merupakan penghalang paling besar bagi kita dalam memahami seni visual. Saya mengakui bahwa terdapat keindahan di alam, yakni, bahwa terdapat sebagian objek di dalam, apa saja jenisnya, yang terus memancing kita untuk memandang dengan kontemplasi objektif yang intens, pandangan yang biasanya lakukan di dunia imajinasi, tidak pada dunia nyata sebab adanya keharusan untuk bereaksi. Hanya terdapat perbedaan, karya-karya seniman yang diciptakan untuk memancing rasa keindahan punya elemen tambahan, yakni maksud yang secara sadar ditambahkan oleh sang seniman, bahwa ia menciptakan karyanya tidak untuk digunakan tetapi untuk dipandangi dan dinikmati. Maksud ini merupakan ciri paling utama dari seni.

29

Edisi IV, Januari – April 2019


SEBUAH ESAI T E N TA N G S E N I oleh M. Dirgantara

Dante. Dan di samping percaya bahwa medan besar adalah satu-satunya yang penting, mereka abai bahwa pertarungan di medan kecil, bila dimenangkan, malah membawa kemasyhuran yang lebih besar. Satu bukti bisa kita lihat saat membaca "They Were Made to be Together," cerita pendek Primo Levi, yang sebenarnya merupakan pokok pembicaraan utama esai ini. Cerita ini begitu sederhana, baik dari segi alur dan tujuan. Suatu hari, seorang pemuda, Plato namanya, mendapat kesempatan kencan pertama dengan seorang pemudi, Surpha namanya. Di sore hari itu, Plato berangkat menuju kediaman si gadis. Setelah Plato sampai di sana, keduanya bercerita lalu bercinta. Akhirnya, di ujung cerita, Plato kembali. Sesederhana alurnya, tujuan yang ingin dicapai cerita ini juga sempit: ia ingin sampaikan perasaan kedua karakternya saat merasakan madu hangat tungku persetubuhan untuk pertama kali. Namun, meskipun alurnya sederhana dan tujuannya sempit, betapa berhasil Levi merealisasikannya; betapa berjaya ia sampaikan pada kita perasaan kedua karak-ternya. Dari mana datangnya kejayaan Levi ini? Alat utama yang ia gunakan adalah dunia rekaan ceritanya. Berbeda dari dunia kita, dunia di dalam cerita Levi adalah dunia dua dimensi, tempat semuanya, mulai dari manusia, rumah, pohon, sampai matahari merupakan

"It is better to win a small battle than losing a big war" (2016) adalah petuah Fr.B. Alip, dosen saya, pada juniornya Sri Mulyani, juga dosen saya, sewaktu Mulyani baru merintis karirnya sebagai seorang akademisi. Masuk akal. Saking masuk akalnya, terkesan tidak perlu diucapkan lagi sebenarnya. Tetapi sejak dulu, dari waktu-waktu, ada saja sekelompok orang yang tidak dengan sendirinya berpikir begitu. Mulyani sendiri saksinya: "Being fresh, young, and ambitious, [I] courageously begged to differ from his advice." (Ibid). Bagi pemuda dan pemudi seperti Mulyani waktu itu, peperangan besar menjadi satusatunya yang berarti. Dan pada merekalah—mereka yang begitu berkobar terjun ke medan terbesar sesegera mungkin, dengan kabut ambisi di depan mata, kemudaan di dalam dada, mimpi kemasyhuran di sisi kanan, dan panji kemenangan di sisi kiri—pada merekalah nasihat ini diucapkan. Sebab lebih sering iya daripada tidak, perang akhirnya menampar mereka di muka dan berkata "Ini bukan tempat latihan dan belajar." Dan tidak di dunia akademisi sastra saja. Di dunia kepenulisan pun kita jumpai hal yang sama. Berlomba-lomba penulis muda membahas semesta, menelurkan sabdanya tentang bumi dan langit, surga dan neraka, manusia dan dewa, serta semua yang ada di antaranya, sambil membayangkan diri sebagai Homer, Shakespeare, atau Esai

30


31

Edisi IV, Januari – April 2019


assume a new outline, so much so that one of its sides reproduced in the negative, with great precision, the girl's corresponding side" (Ibid). Dua ini hanya contoh dari sekian banyak detail yang digunakan Levi mengembangkan terus-menerus premis awalnya untuk perlahan-lahan, membuat dunia ciptaannya menjadi padu dan kita terima sebagai bagian esensial dari cerita. Sudah tegak. Beriringan dengan tegaknya premis cerita, alurnya juga ternyata sudah mendekati klimaks. Sebentar lagi Plato dan Surpha akan merasakan percintaan mereka yang pertama. Kemudian terjadilah. Dan di momen itu, 'kembang api' yang dikumpulkan Levi dari awal cerita meledak, berhambur di kelam malam. Levi tunjukkan Plato dan Surpha terbayang sebuah dunia yang lain, tempat tubuh, rumah, sampai kolom langit seketika mengembang, dengan segala lekukan, volume, dan kompleksitas bentuknya. Dunia datar mereka tiba-tiba bermetamorfosis, meskipun hanya sekejap saja seperti orgasme.

benda-benda datar sonder dimensi tingginya. Bayangkan gambar anakanak yang belum menguasai ilusi kedalaman—seperti itulah kira-kira. Levi mengawali dengan menegakkan dunia panjang-dan-lebarnya dengan baik. Setelah menyampaikan siapa tokoh dan tentang apa cerita ini, ia mulai menggiring kita. Di sana, katanya: There were no bridges, because in that place there was neither above nor below, and therefore a bridge could not exist, nor even imagined; for the same reason, it was not imaginable to cross the brook by straddling or leaping over it, even though it was not very wide. (1990)

Ia tidak berhenti dan sekadar mengan-dalkan perkataanya ("there was neither above nor below"); ia menunjukkannya, dengan bermacam detail yang dengan handal dan konsisten dieksplorasi dan dijahit ke dalam alur dan kehidupan karakternya. Akibatnya, kaitan antar komponenkomponen ini menjadi esensial. Saat Plato sampai di rumah Surpha, misalnya: "They did not grasp [each other's hand]: they were content to wedge one hand inside the other by splaying their fingers, but they both experienced a slight shiver of pleasure" (Ibid). Mereka berjabat tangan, tapi tidak seperti jabatan tangan kita yang mengharuskan satu tangan berada di atas tangan yang lain. Contoh lain lagi: saat muda-mudi ini sudah masuk ke dalam rumah Surpha yang kebetulan sedang kosong. Untuk beberapa saat mereka masih berbincang, tetapi masing-masing sekarang telah buncah dengan hasrat. Nah, untuk menunjukkan ini, narator berkata: "Plato felt his profile deliciously Esai

Tetapi Levi berjaya tidak hanya karena senjata utama ini saja. Levi juga mendayagunakan satu perangkat lain untuk mencapai tujuannya. Tetapi sebelum melangkah ke sana, pertamatama kita perlu memastikan terlebih dahulu apakah Raymond Rosenthal, penerjemah cerita ini ke dalam bahasa Inggris, berhasil mereproduksi teknik Levi, sebab perangkat yang saya maksud berhubungan dengan struktur kalimat, elemen yang belum tentu selamat di garis batas penerjemahan. Di dalam "Erano fatti per stare insieme", judul asli cerita yang sedang kita bicarakan ini, bagian klimaks ditulis

32


ini. Tetapi meskipun kompleks, kalimat tersebut memiliki keteraturan yang jelas. Berikut saya tulis kembali kalimat di atas dalam bentuk baris, untuk menunjukkan strukturnya:

sebagai berikut: [1] Si unirono infine, [1a] nell'oscurità e nel solenne silenzio della pianura, [2] e furono una sola figura, [2a] delimitata da un unico contorno; [3] e in quel magico istante, [3a] ma solo in un lampo subito svanito, [4] balenò in entrambi l'intuizione di un mondo diverso, [4a] infinitamente più ricco e complesso, [5] in cui la prigione dell'orizzonte era spezzata, [5a] vanificata da un cielo fulgido e concavo, [6] e in cui i loro corpi, [6a] ombre senza spessore, [7] fiorivano invece nuovi, [7a] solidi e pieni. (1986)

At last they joined, in the darkness and in the solemn silence of the plain, and they were a single figure, delimited by a single contour; and in that magic instant, but only with an immediately vanished flash, through both flared the intuition of a different world, infinitely more rich and complex, in which the prison of the horizon was broken, annulled by refulgent concave sky, and in which their bodies, shadows without thickness, instead blossomed out new, solid and full.

Sementara itu, di dalam versi Rosenthal, bagian yang sama diterjemahkan: [1] At last they joined, [1a] in the darkness and in the solemn silence of the plain, [2] and they were a single figure, [2a] delimited by a single contour; [3] and in that magic instant, [3a] but only with an immediately vanished flash, [4] through both flared the intuition of a different world, [4a] infinitely more rich and complex, [5] in which the prison of the horizon was broken, [5a] annulled by refulgent concave sky, [6] and in which their bodies, [6a] shadows without thickness, [7] instead blossomed out new, [7a] solid and full. (1990)

Lalu apa signifikannya pilihan Levi ini terhadap isi cerita, khususnya terhadap titik puncak cerita? Jawabannya sama dengan perubahan dunia dua dimensi ke dunia tiga dimensi di atas. Struktur kalimat Levi membawa kita, seturut tiap liku pergantian antara bagian utama dan bagian penjelas kalimat, melihat dunia tiga dimensi perlahanlahan, tetapi tanpa jeda, memuncak, mekar mengembang menjadi penuh. Struktur kalimat Levi mendramatisir proses visual ini secara verbal sehingga kita sebagai pembaca lebih bisa merasakannya. Levi bisa saja membagi kalimatnya menjadi beberapa kalimat yang lebih pendek dan sederhana seperti ini:

Membandingkan kedua versi di atas, meskipun hanya berlandaskan sanak kata bahasa sumber dan target, terlihat bahwa Rosenthal berhasil mempertahankan struktur kalimat yang digunakan Levi dari koma ke koma, dari frasa ke klausa. Sama sekali tidak ada perubahan pada urutan komponen sintaksis pembentuk kalimat tersebut. Oleh karenanya, pembahasan mengenai perangkat pendukung yang ada di kalimat ini dapat saya lanjutkan. Levi menuliskan puncak ceritanya dengan kalimat panjang dan kompleks—ini adalah kalimat paling panjang dan paling berliku-liku di cerpen

At last they joined in the darkness and in the solemn silence of the plain. They were a single

33

Edisi IV, Januari – April 2019


gunakan prinsip yang sudah sering dipakai banyak seniman lain sejak dulu, khususnya dalam dunia seni temporal (musik, film, sastra). Sebut saja prinsip ini prinsip menegakkan dan meruntuhkan: sebuah pola ditegakkan untuk kemudian dilanggar untuk keperluan ekspresif. Dari masa sebelum Levi, kita bisa lihat puisi devotional George Herbert "Denial". Dalam puisi tersebut, untuk menunjukkan kekacauan perasaan aku liriknya yang putus asa mencapai Tuhan, Herbert sengaja membuat pola rima bait puisinya tidak sempurna (ababc):

figure delimited by a single contour. And in that magic instant, but only with an immediately vanished flash, through both flared the intuition of a different world. It is a world infinitely more rich and complex, in which the prison of the horizon was broken, annulled by refulgent concave sky. It is a world in which their bodies, shadows without thickness, instead blossomed out new. And within that world, their bodies become solid and full.

Tetapi dengan berbuat demikian, kesan ekstase yang bersambung, berkepanjangan, memuncak tadi, tidak akan tersampaikan semeyakinkan pada versinya yang sekarang. Sementara itu, setelah ekstase, cerita kedua sejoli berakhir dengan sensasi yang seketika mereda: dunia tiga dimensi kembali mengempis menjadi datar, seiring hasrat keduanya mereda pula. Plato bahkan merasa sedih setelah percintaan mereka berakhir dan ia harus segera pulang. Kesedihan ini barangkali terasa ganjil, seakan cerita Levi memasuki antiklimaks, padahal ekstase sudah begitu berhasil ia ceritakan. Tetapi saya rasa tidak demikian. Malah, adegan kesedihan Plato di akhir menunjukkan pada kita tingginya tingkat ekstase yang ia rasakan sehingga setelah semua berakhir, tersisa kenyataan dan kekosongan. Di samping itu, adegan kesedihan ini juga saya kira merupakan usaha Levi membuat pembahasannya mengenai pengalaman pertama kali bercinta tidak simplistis. Dengan kata lain, Levi mencoba meraih kompleksitas pembahasan yang memang menjadi kewajiban mendasar bagi siapa saja yang mencoba membahas sesuatu, seniman, filsuf, atau ilmuwan. Saya ingin kembali ke alat utama yang digunakan Levi. Levi sebenarnya mengEsai

When my devotions could not pierce Thy silent eares, Then was my heart broken, as was my verse ; My breast was full of fears And disorder ; (1907)

Barulah ketika aku liriknya sudah menemukan harapan kembali di bait terakhir, rima puisi ini menjadi sempurna (ababb): O, cheer and tune my heartlesse breast, Deferre no time ; That so Thy favours granting my request, They and my minde my chime, And mend my ryme. (Ibid)

Sementara itu, sebagai contoh dari seniman yang lahir setelah Levi, lihat misalnya film "Mommy" karya Xavier Dolan (2014). Di dalam film yang berkisah tentang seorang ibu dan anaknya yang berkebutuhan khusus ini, kita seketika dihadapkan pada hal yang tidak biasa begitu film dimulai: rasio aspek layar 1:1 yang artinya, layar film berbentuk kotak. Bisa diartikan pilihan

34


Hemingway hanya bagian dari pembahasan yang lebih luas mengenai dinamika hubungan ayah dan anak. Melihat Plato bersedih hati di akhir cerita, kita bersimpati tentu. Tetapi di sisi lain, setelah selesai membaca cerita Levi, kita puas menyaksikan kejayaan seorang seniman yang menguasai mediumnya, memenangkan pertarungannya melawan keburukan dan kekacauan, meskipun hanya di medan yang kecil. Betapa betul ucapan Alip, bahkan dalam dunia tulis-menulis.

formal ini digunakan untuk membuat kita lebih fokus pada ekspresi wajah karakternya. Tetapi kecuali itu, rasio aspek ini juga memberikan kesan sempit dan sesak, ketidakbebasan dan ketidakbahagiaan, perasaan-perasaan yang tidak selalu diekspresikan tetapi dirasakan oleh karakternya. Itulah mengapa, di dua momen paling bahagia film ini, ketika hidup si ibu dan anaknya tampak stabil baik secara finansial maupun emosional, layar yang sebelumnya kotak membentang penuh, sehingga kita sebagai penonton ikut merasakan kelapangan, kebebasan, dan kebahagiaan yang juga sedang dirasakan karakter-karakter utamanya. Apa yang dilakukan Levi bukan sesuatu yang unik dan oleh karena itu bukan merupakan sebuah pencapaian. Lalu dimana pencapaian Levi? Pencapaian Levi pertama-tama terletak pada manifestasi kongkret dari prinsip umum tadi: dunia dua dimensi dan dunia tiga dimensi. Sejauh yang saya ketahui, Levi adalah penulis yang pertama kali mendayagunakan hal ini. Tetapi lebih dari itu, pencapain paling tinggi Levi sebenarnya—seperti Xavier Dolan dengan filmnya dan Herbert dengan puisinya—terletak pada keberhasilannya mendayagunakan prinsip tersebut untuk mengungkapkan maksudnya dengan begitu kuat. Pencapaian Levi dalam cerita ini bisa dibandingkan dengan pencapaian Hemingway dalam menyampaikan ekstase pengalaman seks pertama tokoh utamanya, Nicholas Adam, di "Father and Son" (1964), terlepas dari fakta bahwa manifestasi kongkret prinsip yang digunakan oleh kedua penulis ini gunakan berbeda, dan meskipun ekstase seks dalam cerpen

REFERENSI Hemingway, Ernest. The First Forty-Nine Stories. London: Jonathan Cape, 1964. Print. Herbert, George. The Poems. London: Oxford University Press, 1907. Print. Levi, Primo. The Mirror Maker. Trans. Raymond Rosenthal. London: Minerva, 1990. Print. --------------. Racconti e saggi. Turin: Editrice La Stampa SpA, 1986. Print. Mommy. Dir. Xavier Dolan. Perf. Anne Dorval, Antoine-Olivier Pilon, and Suzanna Clément. Meta Films, 2014. Film. Mulyani, Sri. Prakata. Language, Literature, and Society. Ed. Harris Setiajid. Yogyakarta: Department of English Letters, Faculty of Letters, Universitas Sanata Dharma, 2016. Print.

35

Edisi IV, Januari – April 2019



LAIN LAIN


pertengahan), aristokratik (abad pertengahan sampai abad awal 19), demokratik (abad 19), dan kaotik (abad 20 – sekarang). Dalam edisi kali ini, dengan maksud memberikan rekan-rekan sekalian daftar rekomendasi bacaan berkualitas, Salo Saddang menyajikan bagian pertama dari daftar yang ditulis Bloom. Buku-buku yang tercantum di sini bisa dibilang merupakan pondasi kesusastraan barat, termasuk kesusastraan Indonesia. Oleh karena itu, membaca setiap buku berikut ini tidak hanya berguna bagi kita sebagai penulis, tetapi juga berguna bagi kita sebagai pembaca. Selamat membaca!

Di bagian akhir bukunya yang banyak menuai pujian (dan banyak dihujat juga), Harold Bloom, Professor Humaniora dari Universitas Yale, menyajikan daftar buku yang menurutnya amat berpengaruh pada perkembangan kesusastraan barat. Meski mayoritas buku yang Bloom sebutkan adalah buku sastra (puisi, prosa, drama, esai), dalam beberapa kesempatan muncul juga buku jenis lain seperti catatan sejarah dan traktat filsafat yang memiliki relevansi terhadap perkembangan kesusastraan barat. Daftar buku yang ditulis Bloom terbagi ke dalam empat bagian yang mencakup buku dari empat masa: teokratik (awal sejarah sampai awal abad

A . D A F TA R B U K U K A N O N D A R I M A S A T E O K R AT I K oleh Harold Bloom

DARI INDIA KUNO (DALAM BAHASA SANSEKERTA) The Mahabharata, dalam versi adaptasi William Buck, dan versi adaptasi drama Jean Claude Carriere yang diterjemah-kan Peter Brook ke dalam bahasa Inggris The Bhagavad-Gita, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Barbara Stoler Miller

DARI TIMUR DEKAT KUNO Gilgamesh, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris David Ferry The Egyptian Book of the Dead The Holy Bible, dalam versi Raja James The Apocrypha Sayings of the Fathers (Pirke Aboth), dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris R. Travers Herford

Lain-lain

38


Ajax Women of Trachis Philoctetes Euripides Cyclops, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith Heracles, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith Alcestis, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith Hecuba, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith The Bacchae, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith Orestes, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith Andromache, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith Medea, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Rex Warner Ion, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris H. D. (Hilda Doolittle) Hippolytus, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Robert Bagg Helen, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Richmond Lattimore Iphigeneia at Aulis, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris W. S. Merwin and George Dimock Aristophanes The Birds, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith The Clouds, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith The Frogs

The Ramayana, dalam versi adaptasi William Buck, dan versi penceritaan ulang R. K. Narayan. DARI YUNANI KUNO Homer The Iliad, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Richmond Lattimore The Odyssey, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Robert Fitzgerald Hesiod The Works and Days, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Richmond Lattimore Theogony, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Richmond Lattimore Karya-Karya Archilochos, Sappho, Alkman, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Guy Davenport Pindar The Odes, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Richmond Lattimore Aeschylus The Oresteia, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Robert Fagles Seven against Thebes, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Anthony Hecht and Helen H. Bacon Prometheus Bound The Persians The Suppliant Women Sophocles Oedipus the King, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Stephen Berg and Diskin Clay Oedipus at Colonus, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Robert Fitzgerald Antigone, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Robert Fagles Electra

39

Edisi IV, Januari – April 2019


Terence The Girl from Andros The Eunuch The Mother-in-Law Lucretius The Way Things Are, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Rolfe Humphries Cicero On the Gods Horace Odes, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris James Michie Epistles Satires Persius Satires, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris W. S. Merwin Catullus Attis, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Horace Gregory Other Poems dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Richard Crashaw, Abraham Cowley, Walter Savage Landor, and banyak penyair Inggris lainnya Virgil The Aeneid, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Robert Fitzgerald Eclogues and Georgics, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris John Dryden Lucan Pharsalia Ovid Metamorphoses, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris George Sandys The Art of Love Epistulae Heroidum (Heroides), dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Daryl Hine

Lysistrata The Knights The Wasps The Assemblywomen (The Parliament of Women) Herodotus The Histories Thucydides The Peloponnesian War Karya Filsuf Sebelum Sokrates (Heraclitus, Empedodes) Plato Dialogues Aristotle Poetics Ethics DARI YUNANI HELENISTIK Menander The Girl from Samos, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Eric G. Turner Longinus On the Sublime Callimachus Hymns and Epigrams Theocritus Idylls, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Daryl Hine Plutarch Lives, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris John Dryden Moralia Aesop Fables Lucian Satires DARI ROMAWI KUNO Plautus Pseudolus The Braggart Soldier The Rope Amphitryon Lain-lain

40


The Book of the Thousand Nights and One Night The Poetic Edda, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Lee Hollander Snorri Sturluson The Prose Edda The Nibelungen Lied Wolfram von Eschenbach Parzival Chretien de Troyes Yvain: The Knight of the Lion, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Burton Raffel Beowulf dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Charles W. Kennedy The Poem of the Cid, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris W. S. Merwin Christine de Pisan The Book of the City of Ladies, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Earl Richards Diego de San Pedro Prison of Love

Juvenal Satires Martial Epigrams, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris James Michie Seneca Tragedies, khususnya Medea dan Hercules Furens, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Thomas Heywood Petronius Satyricon, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris William Arrowsmith Apuleius The Golden Ass, dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Robert Graves DARI ABAD PERTENGAHAN (BERBAHASA LATIN, ARAB, DAN LAINNYA) SEBELUM MASA DANTE Saint Augustine The City of God The Confessions The Koran Al-Qur'an dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris Ahmad Ali

41

Edisi IV, Januari – April 2019


Seandainya kamu terjebak di sebuah pulau terpencil, buku apa yang akan kamu bawa? oleh Mawar Fatmah

buku apakah itu?” “Bila hanya harus membawa satu buku, maka yang sangat saya inginkan adalah buku The Complete Short Stories of Ernest Hemingway yang baru kemarin terbit. Cukup satu buku itu sepertinya saya akan lupa sedang terjebak di pulau terpencil.”

Kita semua kemungkinan besar pernah mendengar pertanyaan klasik “Seandainya kamu terjebak di sebuah pulau terpencil, buku apa yang akan kamu bawa?” Pertanyaan ini bisa dibilang sama maksudnya dengan pertanyaan “Apa buku kesukaanmu?”, hanya pengungkapannya lebih hiperbolis. Karena pertanyaan ini makin menarik bila dijawab oleh penulis kenamaan yang terkenal yang barangkali kita idolakan, di kesempatan ini Salo Saddang mengumpulkan daftar jawaban penulis, baik penulis Indonesia maupun mancanegara, saat ditodong pertanyaan tersebut. Harapan redaksi, judul buku yang mereka sebutkan bisa menjadi referensi bacaan bagi kita semua.

Sumber: http://www.ubudwritersfestival.com/blog/kenalipenulis-emerging-indonesia-2017-adeubaidil/

2. Ibe S. Palogai Sama halnya dengan Ade Ubaidil, Ibe S. Palogai juga merupakan salah satu penulis Emerging Indonesia 2017 di Ubud Writer and Reader Festival (UWRF). Dalam wawancaranya dengan blogger UWRF, dia menjawab pertanyaan buku pulau terpencil dengan jawaban berikut. “Buku puisi pertama yang saya 'stensil' ketika di pesantren. Itu akan membuat saya tertawa dan sesekali menyesal lalu tertawa kembali.”

1. Ade Ubaidil Ade Ubaidil merupakan salah satu penulis Emerging Indonesia 2017 di acara Ubud Writer and Reader Festival (UWRF). Dalam sebuah wawancara, salah seorang blogger UWRF bertanya , ”Jika Anda harus terjebak di sebuah pulau terpencil hanya dengan satu buku, Lain-lain

Sumber: http://www.ubudwritersfestival.com/blog/kenalipenulis-emerging-indonesia-2017-/

3. Taufiqurrahman

42


kehilangan iman yang selalu bersama Hopkins di masa senang dan juga susahnya. Hopkins adalah salah satu pendengar, perasa, dan pengamat hebat yang menawarkan dunia unik hasil ciptaan dia sendiri; Buddenbrook karya Thomas Mann, novel sederhana yang menjadi bukti kejeniusan luar biasa pengarangnya. Novel ini adalah perdana seorang pria berusia 25 tahun yang begitu menguasai keseniannya, memiliki pengetahuan luar biasa tentang dunia rekaannya, baik yang lalu maupun yang sekarang, dan keberanian berinovasi yang membuat halaman terakhir novel ini menjadi salah satu yang paling mengharukan dan mengejutkan yang saya pernah baca. The Complete Firbank oleh Ronald Firbank. Firbank merupakan salah satu inovator besar teknik penulisan novel Inggris, cemerlang, subversif, menyentuh, lucu, dan susah ditiru, tapi yang menjadi sudah lama menjadi inspirasi bagi penulis lain. A Writer's Diary oleh Virginia Woolf, saya tetap berpegang pada bid'ah lama dan percaya bahwa buku harian Woolf adalah pencapaian terbesarnya; Put Out More Flags oleh Evelyn Waugh, diterbitkan tahun 1942, adalah sebuah laporan yang amat meyakinkan dan tajam mengenai tahun-tahun awal Perang Dunia I. Laporan ini kurang dikenal dibanding Decline and Fall yang bagus sekali dan A Handfull of Dust yang mungkin adalah novel komik Waugh yang paling tanpa cacat; What Maisie Knew karya Henry James, sebuah komedi sosial cerdas yang ditampilkan sepenuhnya dari sudut pandang seorang anak, novel ini menunjukkan kemampuan teknis

Seangkatan dengan Ade dan Ibe di UWRF, Taufiq juga mendapat pertanyaan yang sama. Dan jawabannya adalah: “1984-nya George Orwell.” Sumber: http://www.ubudwritersfestival.com/blog/kenalipenulis-emerging-indonesia-2017-taufiqurrahman/

4. Dewi Lestari Dalam ulasan singkatnya terhadap Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono di Goodreads, Dewi Lestari menulis sebagai berikut. “Buku ini adalah jawaban klasik setiap saya ditodong pertanyaan klasik: “Jika kamu hanya bisa membawa satu buku di pulau terpencil sampai entah kapan, buku apakah itu?” Sumber: https://www.goodreads.com/ review/ show/ 35812 77?book_show_action=true&from_review_page=1

5. Alan Hollinghurst Saat merintis toko bukunya, One Grand, editor Aaron Hicklin meminta orang-orang menyebutkan 10 buku yang akan mereka bawa jika mereka terdampar di pulau terpencil. Alan Hollinghurst, novelis Inggris yang menulis The Line of Beauty, adalah salah satu dari orang yang dimintai Hicklin. Berikut jawabannya. “War and Peace karya Leo Tolstoy, novel terbaik di dunia. Coba baca lagi, uji dan nikmati kebenaran pemahaman Tolstoy tentang setiap tahap dan aspek hidup manusia; Selected Poems oleh Alfred Lord Tennyson, penyair pertama yang saya cintai dan hafalkan puisinya dan yang iramanya masih menghantui dan menginspirasi saya 45 tahun kemudian; Poems karya Gerard Manley Hopkins, salah satu kesenangan masa muda yang tidak saya tinggalkan sampai sekarang, bahkan saat saya sendiri sudah

43

Edisi IV, Januari – April 2019


yang kita tetapkan untuk diri kita sendiri; White Noise karya Don DeLillo, Don DeLillo adalah dewa kalimat bagi saya. Kalimatnya adalah kalimat paling subtil dan kuat dan indah yang saya tahu. Seandainya saya benar-benar akan berangkat ke pulau terpencil dan diminta mengurangi bawaan saya, saya bisa (meskipun saya akan sedih) membawa satu kalimat DeLillo saja dan membacanya berulang kali; Train Dreams oleh Denis Johnson, karena, menurut saya, ini adalah salah satu buku terbaik dari semua buku yang ditulis setidaknya 50 tahun terakhir; Faithful and Virtuous Night: Poems karya Louise Glück, saya butuh puisi. Saya butuh setidaknya 100 buku puisi. Saya akan membawa buku puisi terbaru Glück karena ini buku puisi yang paling sering saya baca akhirakhir ini. Dan, tentu saja, karena Glück memang penyair hebat. Tapi sebenarnya, jika saya mulai memikirkan buku penyair yang akan saya bawa, saya tidak akan tahu di mana harus berhenti; Solaris oleh Stanislaw Lem, jika fiksi spekulatif adalah satu-satu jenis novel gagasan masih bertahan, ini bagi saya adalah novel gagasan terbaik; The Complete Stories karya Flannery O'Connor, saya mesti merobek halaman The Habit of Being (kumpulan surat-surat O'Connor) dan menyelipkannya dalam buku ini. Dia dewi, kan? Saya butuh kedua bukunya ini; Pastoralia oleh George Saunders, saya cinta George Saunders. Saya benar mencintai George Saunders. Apa lagi yang perlu saya jelaskan?; To the Lighthouse “Virginia Woolf”,

memukau yang memang lumrah dari James, kemampuan teknis yang semakin berkembang semakin dalam—seperti kehidupan seorang anak; Loving oleh Henry Green, satu novel asli Inggris lain yang hebat, yang belajar dari presisi dari Firbank, tapi yang dunia imajinatifnya begitu berbeda; The Blue Flower oleh Penelope Fitzgerald, mahakarya terakhir yang indah dan padat dari seorang penulis yang benar-benar original, berlatar awal abad ke-19 Jerman. Fitzgerald begitu percaya pada kecerdasan kita dan bergantung pada perhatian penuh kita untuk memberikan imbalan yang setimpal.” Sumber: https://www.nytimes.com/2015/10/09/ tmagazine/my-10-favorite-books-alan-hollinghurst.html

6. Michael Cunningham Sama seperti Hollinghurst, Michael Cunningham, penulis novel The Hours, juga menjadi salah satu orang yang ditanyai Hicklin. Berikut jawabannya. “Half of a Yellow Sun karya Chimamanda Ngozi Adichie, ini adalah novel yang kuat, mengharukan, dan indah. Ceritanya sama sekali bukan tentang kehidupan yang saya jalani, atau dunia yang saya kenali; Invisible Cities oleh Italo Calvino, buku ini menentang semua konvensi fiksi. Semuanya. Akan sangat konyol bila saya tidak membawa buku ini ke pulau terpencil; Glass, Irony & God karya Anne Carson, karena ruang lingkup bahasan dan penemuannya, dan tentu saja karena kedalaman kecerdasannya. Ini adalah pengingat bahwa sejauh menyangkut buku, batasan satu-satunya adalah Lain-lain

44


8. James Joyce Dalam buku The Western Canon, Harold Bloom menceritakan secara singkat mengenai jawaban James Joyce saat diminta memilih satu buku untuk dibawa ke pulau terpencil. “Menanggapi pertanyaan usang tentang buku apa yang akan ia bawa ke pulau terpencil jika hanya dapat memilih satu, Joyce berkata pada Frank Budgen: “Saya akan ragu-ragu antara Dante dan Shakespeare, tetapi tidak lama. Si pria Inggris lebih kaya dan akan menjadi pilihan saya.”

amat baik untuk terus diingatkan, ketika saya melewatkan hari-hari saya duduk di bawah pohon kelapa di pantai, tentang semua kehidupan, semua keindahan dan kesedihan, semua misteri; semua hal yang dapat disatukan di dalam sejumlah halaman yang relatif tipis. Amat baik untuk terus diingatkan, saat saya semakin tua, tentang betapa luasnya kehidupan, betapa banyaknya perasaan, perseteruan, kegembiraan, dan kekecewaan yang dapat disampaikan dalam sebuah novel yang begitu sempurna, begitu simetris strukturnya. Buku Kosong, saya akan membawa serta sebuah buku kosong. Saya tidak akan menulis; saya akan membiarkannya tetap kosong. Saya hanya akan memandanginya kadang-kadang, dan memikirkan semua buku yang tidak boleh saya bawa, dan semua buku yang belum ditulis.”

9. John Boyne Dalam salah satu wawancara John Boyne, ia ditanyai tentang dua buku yang akan ia bawa ke pulau terpencil. Berikut jawaban John. “The Go-Between karya LP Hartley dan David Copperfield oleh Charles Dickens”

Sumber: https://www.nytimes.com/2016/06/10/ tmagazine/michael-cunningham-10-favorite-books.html

Sumber: https://www.independent.ie/entertainment/ books/write-side-with-novelist-john-boyne-36505248.html

7. J. K. Rowling Dalam satu wawancara New York Times, J. K Rowling ditanyai “Bila Anda bisa membawa hanya tiga buah buku ke sebuah pulau terpencil, buku apakah itu?” Rowling menjawab sebagai berikut. “Collected Works of Shakespeare (saya tidak bohong, saya punya satu volume lengkap); Collected Works oleh P.G Wodehouse (dua volume, tetapi saya yakin ada yang satu volume saja); Collected Works oleh Colette.”

10. James Patterson Saat ditanyai pertanyaan pulau terpencil oleh blogger Book Club Kids, James Patterson menjawab sebagai berikut. “One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez adalah buku favorit saya.” Sumber: https://clubs-kids.scholastic.co.uk/clubs_content/ 25571

Sumber: https://www.nytimes.com/2012/10/14/books/ review/j-k-rowling-by-the-book.html

45

Edisi IV, Januari – April 2019


UNTUK SEBUAH MULA oleh Antonius Wendy

/1/ Aku sudah tidak punya lagi air mata untuk membentuk tangis. Meski kesedihan amat nyata di antara mataku dan aroma biru cermin muka lautan. Kau sudah toreh semua bagian tubuhku dengan bara dan apa yang sisa sejak masuk ke kincir api diajak menaiki udara. Kini jemari doa membelai meniti selimut abu. Dengan wewangian kembang terakhir, terjun, turun ke laut luas… /2/ “Lihatlah ke sebelah sana. Dekat dermaga ada sepasang merpati membersihkan bulu. Kamu dulu suka panggil dia merpati. Kalian biasa bertengger dekat bukit menunggu senja putih muncul bergaun cahaya, memeluk dua wajah yang kini tak lagi bisa bergumul.” Kali ini langit rela menjadi kain basah untuk mengusap muka dan luka untuk memadamkan butir percik yang masih tersisa. Kalau ada.

Puisi

46


Redaksi mengundang Anda untuk ikut berkontribusi dengan mengirimkan tulisan. Meski tidak mematok batasan tema, kami menentukan jenis dan menyarankan panjang maksimal tulisan sebagai berikut: 1. Esai/ulasan seni @5000 kata 2. Esai umum @3000 kata 3. Puisi @10 puisi 4. Cerita Pendek @5000 kata Tulisan dikirim ke majalahsalosaddang@gmail.com sampai dengan 15 April 2019 mengikuti ketentuan berikut: 1. Naskah dilampirkan. Tidak perlu diberi surat pengantar. 2. Subjek surel diisi dengan format JENIS TULISAN - NAMA 3. Jenis file pdf/rtf. 4. Times New Roman, 12. 5. Margin 3/3/3/3. 6. Biodata narasi singkat penulis disertakan di halaman terakhir naskah tulisan. 7. Cantumkan WA/HP yang bisa dihubungi. Redaksi tidak bisa menjanjikan honorarium sebab Salo Saddang adalah majalah nirlaba. Yang kami bisa janjikan adalah ruang lapang dan semangat yang besar untuk membantu Anda mencapai versi terbaik naskah Anda.


Salo Saddang adalah majalah sastra nirlaba yang terbit pertama kali tahun 2014.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.