Kastrat HMP PL ITB - Oligarki Ditengah Reformasi

Page 1


Disahkannya UU KPK Pada tanggal 3 September 2019, DPR telah menyetujui draft rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 30 tentang KPK. Draft rancangan tersebut ditekan DPR untuk dibahas lebih lanjut pada tanggal 17 September 2019, dan rancangan tersebut disetujui oleh seluruh fraksi DPR dalam Rapat Paripurna. RUU KPK tersebut akan berlaku setelah diundangkan, setidaknya setelah 2 prasyarat yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 73 ayat 1 dan 2 terpenuhi. Berikut bunyinya:

Pasal 73 ayat 1

Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membutuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden

Pasal 73 ayat 2

Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan UndangUndang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Merujuk pada tanggal sidang paripurna DPR yang mengesahkan revisi Undang-Undang KPK itu adalah 17 September, 2019, maka Undang-Undang KPK itu akan diundangkan pada 17 Oktober 2019, 30 hari bila Presiden Jokowi tidak menandatanganinya. Berkaitan dengan Undang-Undang yang tidak ditandatangani presiden dan berlaku menjadi Undang-Undang sudah sering terjadi, antara lain Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) berlaku tanpa adanya tanda tangan Presiden Jokowi. Berdirinya KPK Pasca Reformasi pada tahun 1998, rakyat memandatkan sejumlah agenda reformasi kepada para Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang lalu dituangkan pada TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dengan salah satu mandat dalam TAP MPR XI/1998 yaitu pembentukkan sebuah badan baru dengan tugas pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara,


yang disebutkan pada Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) TAP MPR XI/1998 yang berbunyi: Pasal 3 a. Untuk menghindari praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa harta kekayaanya sebelum dan sesudah menjabat. b. Pemeriksaan atas harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas dilakukan oleh sebuah lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara yang keanggotaanya terdiri dari pemerintah dan masyarakat. c. Upaya pemberantasan korupsi dilakukan secara tegas dengan melakukan secara konsisten undang-undang untuk tindak pidana korupsi. Pada tanggal 19 Mei 1999, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dibentuk, dengan tugas dan kewenangan yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (Keppres KPKPN), untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana diatur melalui UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999. Terhitung sejak 27 Mei 2004, KPKPN dilebur ke dalam KPK berdasarkan Keppres Nomor 45 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Sekretariat Jenderal KPKPN ke KPK (Keppres Pengalihan KPKPN), yang secara otomatis membuat tugas KPKPN menjadi wewenang KPK. Sejak saat itu, KPK berdiri sebagai lembaga independen yang bertujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dan menjadi garda terdepan upaya pemberantasan korupsi, dengan melaksanakan tugas-tugas seperti melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi terkait, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan pencegahan korupsi, dan memonitor penyelenggaraan pemerintah.


Kerugian Akibat Korupsi Tindakan korupsi di Indonesia dapat dilacak kembali jauh sebelum terbentuknya KPK dan korupsi dapat dipidanakan. Salah satu tindak pidana korupsi sebelum terbentuknya KPK yang patut diingat adalah yang dilakukan oleh Mantan Presiden Kedua Soeharto, dengan kerugian kekayaan negara yang berkisar antara 15 Miliar hingga 35 Miliar Dolar AS, atau sekitar 490 miliar, diduga terbesar dalam sejarah dunia. Lembaga internasional Transparency International menyatakan bahwa Soeharto merupakan salah satu tokoh paling korup di dunia. Penyelesaian kasus ini merupakan mandat reformasi sesuai dengan Agenda Reformasi sebagaimana dimuat dalam TAP MPR Nomor XI/1998, yang harus diupayakan sebagai bentuk menjalankan amanat Reformasi yang belum tuntas. Setelah berdirinya lembaga anti-rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdiri sebagai lembaga independen pada tahun 2002, beberapa kasus tindak pidana korupsi berhasil dibongkar, dengan beberapa kasus yang tercatat merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Berikut beberapa kasus tindak pidana korupsi yang dibongkar KPK:

1. Kotawaringin Timur

Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, Supian Hadi, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait izin usaha pertambangan (IUP) dari 3 perusahaan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. KPK menduga kerugian yang dialami negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp.5,8 Trilliun.

2.Kasus BLBI

BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia kepada sejumlah bank yang mengalami masalah pembayaran kewajiban saat menghadapi krisis moneter pada tahun 1998. Bank yang telah mengembalikan bantuan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Namun, belakangan diketahui SKL diberikan sebelum bank tertentu melunasi bantuan pinjaman. Menurut KPK, kerugian negara akibat kasus BLBI mencapai Rp.3,7 Triliun. Penyelesaian kasus besar yang ditargetkan rampung tahun 2018 ini pun kembali tertunda hingga 2019.

3. Kasus E-KTP

Kasus pengadaan E-KP yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, telah bergulir sejak tahun 2011. Estimasi dari total kerugian negara mencapai Rp.2,3 Triliun, dengan 280 saksi yang telah diperiksa KPK, dan 8 orang yang telah ditetapkan


sebagai tersangka.

4. Proyek Hambalang

Pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang yang direncanakan dibangun sejak masa Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, merupakan kasus tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian mencapai Rp706 Miliar. Aliran dana proyek masuk ke kantong beberapa pejabat, di antaranya Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, dan juga menyeret Sekretaris Kemenpora Wafid Muharram, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras Mahfud Suroso, dan Anggota DPR Angelina Sondakh.

Mengapa Korupsi masih berlangsung? Bahkan sebelum berdirinya KPK, tindak pidana korupsi bukanlah suatu hal yang asing dan sudah pernah diakui sebagai suatu masalah, bahkan dari zaman Orde Baru. Melewati Keputusan Presiden nomor 228 tahun 1967, Presiden Soeharto menunjuk Jaksa Agung Sugih Arto untuk memimpin Tim Pemberantasan Korupsi. Meski mengantongi wewenang untuk mencegah dan menindak kejahatan korupsi, Tim Pemberantasan Korupsi tetap belum berjalan secara optimal. Banyak kasus yang melibatkan pejabat tinggi dan militer yang tak pernah tuntas diusut. Dari 144 perkara korupsi yang dituntaskan Tim Pemberantas Korupsi, hanya ada segelintir pejabat tinggi dan militer yang terjerat, di antaranya adalah korupsi dengan tersangka Letnan Jenderal Siswadji, mantan Wakil Kepala Polri. Bukannya memperkuat Tim Pemberantasan Korupsi, Presiden Soeharto membentuk Komisi 4 pada tahun 1970 yang hanya menjadi penasehat bagi Presiden dalam kebijakan pemberantasan korupsi, tanpa wewenang untuk menindak. Pada tahun 1977, pemerintah mencanangkan Operasi Tertib, dengan Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Johannes Baptista Sumarlin, sebagai koordinator pelaksana. Kinerja dari Operasi Tertib menuai kritik dari Abdul Haris Nasution, yang berpendapat bahwa korupsi harus ditangani secara menyeluruh dengan suatu sistem dan konsepsi, dimana pemberantasan korupsi seharusnya dimulai dari atas, dan Penyelenggara Operasi Tertib harus menjalani Operasi Tertib itu lebih dulu dengan mengumumkan kekayaan pribadinya. Kritik tersebut ditanggapi oleh Kepala Staf Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, Sudomo, yang menganggap kritik Nasution memiliki tujuan politik tertentu.


Sudomo juga membawa kegagalan Jenderal Nasution dalam memberantas korupsi melalui Operasi Budi, karena tidak berani dan tidak mendapat dukungan rakyat. Dengan berdirinya KPK sebagai lembaga independen, dengan mandat dari UU KPK untuk melaksanakan tugas-tugas koordinasi dan supervisi dengan instansi terkait, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, dan memonitor penyelenggaraan pemerintah untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, mengundang pertanyaan sebab tindak pidana korupsi yang masih terjadi dengan skala yang tidak bisa disebut kecil. Ada beberapa dugaan mengapa dengan lembaga yang memiliki tujuan menindaklanjuti tindak pidana korupsi belum dapat mencabut masalah dari akarnya dan menciptakan kondisi dimana KPK tidak dibutuhkan lagi. Dugaan tersebut antara lain:

1. Korupsi yang sudah mengakar dan menjadi budaya

Korupsi di Indonesia sejatinya sudah mengakar dengan kuat. Bahkan sebelum kata korupsi menjadi tenar, korupsi sudah hidup dan membumi di Indonesia. Tercatat dari zaman penjajahan Belanda, korupsi ditanamkan oleh bangsa tersebut dengan cara mengangkat petinggi-petinggi lokal lalu memberikan upeti. Perolehan uang dengan cara memeras rakyat dan memakai uang pemerintahan juga dikenalkan. Melihat sejarah korupsi yang telah terjadi di Indonesia, budaya korupsi telah mengakar kuat.

2. Tidak ada hukuman yang membuat jera

Hukuman yang diturunkan oleh pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia belum cukup sebagai tindakan preventif. Wacana terkait adanya hukuman mati bagi koruptor pernah bergulir di Indonesia, walau belum pernah terjadi. Alasan dibalik tidak terwujudnya hukuman mati bagi koruptor adalah anggapan bahwa hukuman mati tidak efektif, dan tidak sesuai HAM. Meski demikian, dengan hukuman yang telah ada, terbukti bahwa tindak korupsi masih berlanjut, mengindikasikan bahwa hukuman yang telah ada tidak efektif untuk mencegah tindak korupsi.

3. Korupsi bukan perkara individu tapi sistem yang kuat

Korupsi di Indonesia bukanlah suatu tindak pidana yang dilaksanakan oleh individu saja, namun ada sebuah jaringan yang kuat, menjalankan tindakan tersebut secara sistematis dan struktural dan dalam skala yang besar. Perlu lebih dari penindakkan individu yang tertangkap melakukan tindak pidana korupsi, namun pembungkaman sistem


Grafik 1. Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2015-2018 Tahun Jumlah Kasus 2015 2016 2017 2018

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2015-2018 Jumlah Tersangka Nilai Kerugian Negara (Triliun) 550 1124 482 1101 576 1298 454 1087 Sumber: Indonesian Corruption Watch, 2018

Pemetaan Korupsi Berdasarkan Lembaga Tahun 2018 Lembaga Jumlah Kasus Nilai Kerugian Negara Pemerintah Kabupaten 170 Rp833 miliar Pemerintah Desa 104 Rp1,2 triliun Pemerintah Kota 48 Rp122 miliar Pemerintah Provinsi 20 Rp7,9 miliar BUMN Rp3,1 triliun 19 BUMD 15 Rp179 miliar Kementerian 15 Rp58 miliar DPRD 12 Rp38 miliar Sekolah 11 Rp7,5 miliar Rumah Sakit 8 Rp8,7 miliar Lembaga Pemerintah Non 8 Rp4,9 miliar Kementerian Badan/Lembaga Negara 7 Rp33,6 miliar Organisasi 4 Rp2 miliar Pengadilan 4 Koperasi 3 Rp6,4 miliar DPR 2 Kejaksaan 1 Kepolisian 1 Rp14 miliar Universitas 1 Lembaga Pemasyarakatan 1 Rp300 juta TOTAL 454 Rp5,6 triliun Sumber: Indonesian Corruption Watch, 2018

1.124 1.101 1.298 1.087

Nilai Suap Rp23,5 miliar Rp80 juta Rp4,3 miliar Rp66,7 miliar Rp500 juta Rp19,8 miliar Rp400 juta Rp32,4 juta Rp12,3 miliar Rp5,7 miliar Rp500 juta Rp134 miliar

Tabel ini menunjukkan bahwa korupsi masih cukup banyak walaupun sudah didapat dari data kepolisian dan kejaksaan. Dan data menunjukkan bahwa pemerintah desa masih memegang data terbesar dalam korupsi yang terjadi di daerah-daerah. Hal ini menunjukkan keadaan eksisting nilai korupsi dan suap berada pada lembaga-lembaga yang berada di bawah kepemimpinan daerahdaerah di Indonesia.


dibalik sindikat koruptor ini untuk mencegah terjadinya pemulihan jaringan korupsi. 4. Tidak ada upaya kuat dari pemerintah untuk memberantas korupsi

Belum adanya upaya konkrit dari pemerintah untuk menghentikan korupsi dapat dilihat dari perhatian dan perlindunganyang diberikan kepada lembaga anti-rasuah KPK. Dugaan korupsi yang dilontarkan KPK kerap menjadi belati bermata dua yang kembali pada lembaga tersebut.

Korupsi dan Oligarki Menurut Winters (2011), Oligarki dimulai dari ketidaksetaraan material yang ekstrem, yang berimbas kepada ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula, menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik pada golongan tersebut. Winters mendefinisikan Oligark sebagai “Pelaku yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya�, lalu memperkenalkan konsep “Pertahanan Kekayaan� untuk membantu menjelaskan tujuan dari Oligark tersebut. Konsep tersebut menjelaskan bahwa kekayaan untuk terus memperkaya diri dengan sumber daya dan kapital yang ada menjadi motif utama para elit politik golongan ini untuk menyelewengkan hak politik dan jabatan yang dimiliki. Terkonsentrasinya pada minoritas selalu mengundang ancaman dari pihak luar yang ingin menguasai atau mendistribusi ulang kekayaan tersebut, menciptakan dinamika politik dimana para Oligark selalu berhubungan dengan ancaman tersebut dan bagaimana Oligark mempertahankanya, menggunakan sumber daya kekuasaan yang dimiliki. Sumber daya kekuasaan yang dimaksud mencakup hak politik formal, jabatan resmi, kuasa pemaksaan (coercive power), kekuatan mobilisasi dan kekuasaan material (kekayaan).


Eksistensi akan sebuah oligarki di pemerintahan di Indonesia sendiri didukung dengan adanya fakta bahwa golongan dengan kemampuan ekonomi yang ekstrem tinggi dibandingkan golongan yang lainnya, dimana golongan ini memiliki banyak pengaruh didalam system perpolitikan demokrasi Indonesia. Akumulasi kekayaan yang dimiliki oleh yang berada pada golongan ini menciptakan semacam “kekuatan tak terlihat” yang memberikan kesempatan untuk mempengaruhi atau bahkan mengubah suara dan keputusan yang ada di ruang publik untuk keuntungan diri sendiri. Keinginan banyaknya golongan ini pada tatanan pemerintahan dan politik serta adanya motif tersebut merupakan 2 faktor utama yang mendorong maraknya terjadinya korupsi di ranah pemerintahan. Pertumbuhan korupsi ini didukung dengan sistem desentralisasi yang ada dan dijalankan di Indonesia. Sistem desentralisasi ini menjadi sarana para elit politik golongan ini melebarkan pengaruhnya ke skala yang lebih kecil, ke skala provinsi hingga desa. Dengan begitu, budaya korupsi yang ada semakin meng-“akar rumput” hingga ke tatanan pemerintahan yang paling kecil yang ada di masyarakat. Korupsi yang membudaya ini mengalami “pembiasaan pandangan” oleh kalangan masyarakat yang ada, dimana berakibat pada penyelesaian yang tidak tuntas akan kasus korupsi yang ada. Upaya kasus korupsi yang berupa instansi anti-korupsi, tidak mampu berjalan sesuai fungsinya sebagai instrumen pembasmi korupsi, dimana berimplikasi pada penurunan kepercayaan masyarakat pada instrument ini. Disfungsi pada instrumen ini diakibatkan karena adanya intervensi-intervensi dari para elit politik golongan ini, dimana dengan tujuan untuk menjaga kekayaan yang mereka punya. Meliat fenomena oligarki yang semakin terlihat, HMP bersama dengan poin sikap Kabinet KM yaitu menuntut pemerintah dan DPR untuk membuka dialog yang transparan bagi basis politik sektoral terkait segala macam RUU yang dituntut dan isu yang diresahkan, demi mendorong penguatan ekosistem demokrasi


DAFTAR PUSTAKA Winters, Jeffrey. 2011. Oligarchy. Cambridgeshire, England. Cambridge University Press. https://indoprogress.com/2014/11/oligarkitatanan-ekonomi-politik-indonesia-kontemporer/. Adji, Indriyanto Seno, dkk. 2016. Pengujian oleh Publik (Public Review) terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta. Indonesia Corruption Watch. https://www.antikorupsi.org/sites/default/files/ files/Kajian/Public%20Review%20RUU%20KPK_FINAL_FULLSET. pdf KPKPN Resmi Melebur ke KPK. 2004. Liputan 6. Dikunjungi pada tanggal 16 Oktober 2019. https://www.liputan6.com/news/ read/81200/kpkpn-resmi-melebur-ke-kpk Oligarki dan Korupsi adalah Saudara Kembar. 2016. Indonesia Corruption Watch. https://antikorupsi.org/en/news/oligarki-dankorupsi-adalah-saudara-kembar Mengapa Korupsi tak Mati-Mati. 2017. Detik https://news.detik.com/x/ detail/intermeso/20171210/Mengapa-Korupsi-Tak-Mati-mati/


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.