Jurnal RSCM Edisi 1-2014
Sisi Lain Sejarah Indonesia 1
Doc Pribadi
Diterbitkan oleh: Rawamangun Studie Club Movement Kontributor: Satriono Priyo Utomo @student_hijo, Sari Wijaya @wijayasharjay, Yusuf Budi @ yusuf_bps SISI LAIN SEJARAH INDONESIA, kumpulan narasi tertinggal atas bangunan ruang dan waktu yang bernama Indonesia. Kami meyakini, sejarah punya relasi erat dengan kuasa pengetahuan. Kemudian menghasilkan argumen yang sering dibicarakan orang bahwa sejarah hanyalah milik para pemenang. Oleh karena itu, renungan terdalam serta dorongan kenyataan akan ketidak adilan membawa kami menuliskan kisah orang-orang yang tidak pernah diceritakan. Hal ini senantiasa mengingatkan kita pada istilah: sejarah Indonesia adalah sejarah penindasan. Dan tujuan atas penelusuran sejarah ialah kemanusiaan. Semoga bacaaan ini berkenan bagi, Pembaca. Kritik dan saran bisa langsung tertuju pada penulis. Wasalam! Daftar Isi Aidit dan Marxisme ......... 3 Gerwani Bicara Feminisme .......... 7 Barisan Tani dalam Kemelut Sejarah ........... 10
Aidit dan Marxisme Oleh Satriono Priyo Utomo1
Marxisme atau Marxisme-Leninsme adalah pedoman untuk beraksi, jadi tidak ada persamaannya dengan tumpukan-tumpukan mantra atau jampi yang dapat mengobati segala macam penyakit. Marxisme baru ada gunanya jika diterapkan secara kreatif. Aidit (1964: 115)
Pendahuluan Jika ada suasana yang tepat dalam menggambarkan dunia akademik sejarah pemikiran di Indonesia tidak lain adalah pemandangan sunyi dan gelap. Meski berpenghuni, seolah-olah wilayah sejarah pemikiran di Indonesia tidak bertuan. Artinya ada yang hidup tapi tidak ada makna dari kehidupan tersebut. Tidak ada sesuatu hal yang patut untuk dipijak. Sejarawan terlalu sibuk untuk menebalkan definisi bahwa sejarah hanya milik para pemenang: siapa yang pantas menjadi pahlawan, peristiwa mana saja yang mesti diakui dan harus diajarkan di sekolah. Mereka seolah lupa, tugas penelusuran ruang dan waktu adalah menegakan kemanusiaan. Dimana Kuntowijoyo pernah menyebut, mereka di antaranya menafikan kesadaran manusia. Di Barat, Bertrand Russel mampu merangkum pemikiran dari zaman kuno hingga kontemporer. Di Timur, sarjana-sarjana sejarah India dan Tiongkok sudah memposisikan para Bapak Bangsa sebagai pemikir. Dimana Sun Yat Sen dan Gandhi tidak hanya dilihat dari kegiatan politiknya. Dimana karya San Min Chu I menjadi bacaan wajib sekolah menengah di Tiongkok. Indonesia mau tidak mau harus mengakui ketertinggalannya. Bukan karena masih terbukanya perdebatan
2
untuk memposisikan Sukarno sebagai politikus atau pemikir atas Karya Legge dan Dahm. Bukan juga sibuk memberikan identitas pada Tan Malaka apakah dia itu komunis atau bukan. Yang jelas ketertinggalan sejarah pemikiran kita terletak pada apakah kita mau berpikir adil dan bijak dalam mempelajari sejarah. Termasuk dalam menimbang dan memposisikan ulang bagaimana peran Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam mewarnai catatan sejarah kita. Dimana masih penuh dengan stigma. Termasuk pula dengan para tokohtokoh partai yang pada tahun 1955 itu menduduki posisi empat besar dalam pentas pemilu pertama republik ini berdiri. Salah satunya adalah Aidit. Berbicara sejarah Indonesia mestinya berbicara tentang PKI. Harus diakui bahwa PKI merupakan organisasi sentral dalam membangun dinamika sosialpolitik di Indonesia, khususnya sejak masa pergerakan kemerdekaan. Karena pengaruhnya tidak hanya dalam ranah realitas sosial masyarakat kita waktu itu, juga terhadap semangat ilmiah PKI sebagai organisasi yang membacakan sejarah, juga menciptakan teori sejarah itu sendiri. Meski literasi sejarah kita diwarnai sikap-sikap akademik yang penuh gairah. Dimana Hindley dan Mc Vey mendasarkan pada kekaguman tentang kualitas para pemimpin PKI dan kader-kadernya itu, tentang
3
kemampuan mereka berpolitik, tentang perhatian mereka yang sangat besar bagi kepentingan para pekerja, buruh pabrik, petani miskin dan buruh tani, tentang asesmen realistik terhadap situasi dan kondisi para pekerja tersebut, dan akhirnya, tentang relatif bersihnya mereka dari noda korupsi.2 Tapi tidak sedikit pun dari itu semua yang mendapat tempat bagi orang Indonesia sendiri. Untuk memposisikan ulang keberadaan PKI dan tokohtokohnya yang sesungguhnya mempunyai gagasan pemikiran cemerlang serta tradisi intelektual yang patut untuk diambil sebagai pijakan langkah ke depan. Atas dasar itu penulis ingin mencoba melihat kembali periodesasi tumbuhnya PKI setelah peristiwa 1948. Peran partai dan kehadiran gagasan pemimpinnya yaitu Aidit. Dimana sangat minim sekali literasi yang menjelaskan gagasan marxisme diterjemahkan dan dilaksanakan oleh pegiat organisasi yang mendasarkan partainya berdasar pada klasifikasi marxisme-leninsme tersebut. Kemunculan Aidit Kelak, keterlibatannya sebagai orang yang berpengaruh dalam PKI memang sudah ada sejak usia remaja. Achmad Aidit yang lahir pada 30 Juli 1923 di Belitung.3 Semasa remajanya dihabiskan di Belitung dengan menyaksikan nasib buruh kecil di perusahaan tambang timah tempatnya lahir. Di Belitung Aidit bersekolah HIS. Kemudian pada tahun 1936-1938, atas permintaannya sendiri kepada ayahnya, dia diantar oleh pamannya ke Jakarta. Di Jakarta, selesai dari HIS, Aidit menempuh Sekolah Dagang Menengah. Di sinilah dia kemudian terlibat dalam pergerakan pemuda hingga memperoleh kesempatan dengan Barisan Pemuda Gerindo yang dipimpin Wikana dan dengan Perhimpunan PelajarPelajar Indonesia yang diketuai Chaerul Saleh. Waktu itu, dia meminta ayahnya untuk menyetujui pengubahan namanya menjadi Dipa Nusantara, dengan tetap mencantumkan nama ayahnya. Permintaan itu dikabulkan. Nama Dipa Nusantara itu untuk menghormati perjuangan pahlawan Dipenogoro dan agar member inspirasi pada Aidit dalam usahanya membebaskan nusantara.4 Semasa hidup di Jakarta, Aidit harus mencari makan sendiri dengan menjual buku. Pekerjaan inilah yang kemudian memberikan dia kesempatan untuk membaca. Dia menjadi pemuda yang haus pengetahuan. Dimana tak puas-puasnya “menelan” buku-buku dan gemar mendirikan perpustakaan-perpustakaan kecil. Semasa penjajahan Jepang, Aidit menggabungkan diri bersama anak-anak muda di sekitar Sukarno dan Hatta. Saat itulah dia rajin menghadiri sekolah-sekolah politik dimana diisi oleh ceramah dari berbagai tokoh pergerakan masa itu. Di kalangan pemuda sekitar Hatta itulah Aidit bertemu dengan Lukman. Pada 1944 Aidit mulai bekerja di kantor karisidenan Jatinegara. Bersama Lukman kemudian dia dipilih oleh Bung Karno ikut Barisan Pelopor Istimewa, yaitu kelompok yang terdiri dari seratus orang pejuang yang dianggap terdekat dan paling setia. Mereka samasama terlibat dalam gerakan yang pada 1945 bermarkas di Menteng Raya 31. Bersama Lukman pulalah Aidit memiliki kontak dengan tokoh-tokoh PKI macam Widarta dan kemudian Alimin kelak yang menjadi guru
politiknya. Berkat bimbingan Alimin, Aidit menjadi pimpinan pada jurnal ilmiah milik PKI bernama Bintang Merah. Dia sudah menulis beberapa brosur pendidikan Marxis dan kemudian diangkat menjadi anggota Central Comite untuk bagian pendidikan/penerangan (agitprop), dibantu oleh Lukman. Dan oleh Jusuf ia dipinjami satu eksemplar buku karangan Karl Marx, Das Kapital. Pengaruh Aidit sebagai seorang teoritisi utama dalam perumusan kebijakan dan langkah-langkah partai setelah tahun 1950. Berperan sangat vital terhadap penentuan arah kebijakan yang diambil oleh partai. Dari sini secara tidak langsung berpengaruh pada keberhasilan partai dalam melipatgandakan jumlah anggotanya dan meningkatkan pengaruhnya. Mengindonesiakan Marxisme Sesungguhnya marxisme tidak sama dengan komunisme. Komunisme yang juga disebut komunisme internasional adalah nama gerakan kaum komunis. Komunisme merupakan gerakan dan kekuatan politik dari partai-partai komunis yang sejak Revolusi Oktober 1917 di bawah pimpinan Lenin menjadi kekuatan politis dan ideologis internasional. Istilah komunisme juga sering dipakai untuk ajaran komunisme atau marxisme-leninisme yang merupakan ajaran atau ideology komunisme. Jadi, marxisme menjadi salah satu komponen dalam system ideology komunisme. Istilah marxisme sendiri adalah sebutan bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx yang terutama dilakukan oleh temannya Friedrich Engels (1820-1895) dan oleh tokoh teori Marxis Karl Kautsky (1854-1938).5 Inti dari marxisme ialah revolusi proletariat yang diekspresikan di bidang teori. Di Indonesia sendiri, keyakinan bahwa koloni memainkan peran penting dalam menopang system kapitalis bukan merupakan bagian asli pandangan marxis. Tradisi yang diusung kaum sosialis revolusioner Eropa tidak hanya cenderung mengabaikan masalah umum penjajahan tapi juga lebih jauh lagi menyangkal bahwa kaum komunis mengambil peran di wilayah terbelakang di seluruh dunia. Dengan demikian persoalan tanah jajahan tidak begitu penting dalam pemikiran Marxis. Hal itu berlangsung sampai beberapa tahun setelah meninggalnya Karl Marx, para pengikut Marx mulai mengintepretasikan ulang sistem yang telah ia letakkan guna memberikan peran lebih penting bagi negara-negara timur. Penafsiran ulang itu perlu dilakukan karena kemakmuran masyarakat negara-negara kapitalis yang belum pernah terjadi sebelumnya mereka nikmati pada peralihan abad. Marx menggambarkan masa depan Eropa akan mengalami krisis ekonomi yang mendalam dan meningkatkan kesengsaraan kaum proletar. Tetapi dalam kenyataannya negara-negara kapitalis menjadi lebih makmur dari sebelumnya, dan bahkan yang lebih mengejutkan bagi kaum revolusioner posisi social ekonomi kelas buruh meningkat tajam. Dengan demikian jelas dalil Marx dalam hal ini keliru, sistem yang telah diletakkannya diabaikan atau ditafsirkan ulang guna menjelaskan perkembangan baru.6 Ini pula yang kelak akan dilakukan oleh tokohtokoh komunisme yang cenderung bisa dilihat sebagai pengkritis dan pemberharu marxisme Indonesia seperti Tan Malaka dan Aidit. Meskipun untuk pertama kalinya organisasi komunis formal di Indonesia tidak pernah ada
4
sampai didirikannya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) di bawah kepemimpinan Sneevliet pada tahun 1914, walau sesungguhnya masyarakat Indonesia sejak berabad-abad sebelumnya telah memiliki berbagai aspek yang dipandang sebagai sifatsifat yang komunistik. Termasuk dalam hal ini adalah penyelenggaraan gotong royong oleh para penduduk di wilayah-wilayah pedesaan. Dalam gotong royong ini setiap penduduk bertanggung jawab dalam pemeliharaan desa-desa mereka agar tetap pada kondisi yang wajar; struktur social dalam masyarakat Indonesia, dalam hal ini keberadaaan aliran-aliran dalam masyarakat, telah menghambat keberadaan kelas-kelas social di sepanjang garis-garis pemilah social yang horizontal; dan konsep kepemilikan tanah secara bersama (communal landholding) yang sesungguhnya telah ada sejak masa sebelum lahirnya kekuasaan feodal maupun kekuasaan kapitalistik ternyata dapat bertahan dan tidak tergoyahkan di berbagai wilayah pedesaan di Indonesia.7 Konsep-konsep tradisional ini hidup berdampingan dan memainkan peranan yang amat penting dalam langkahlangkah memodifikasi marxisme yang sesungguhnya berasal dari Eropa menjadi sebuah varian marxisme yang khas Indonesia yang memiliki berbagai cirri khas khusus pribumi. Kenyataannya memang terdapat sejumlah varian dalam marxisme di Asia yang membuatnya berbeda dengan versi aslinya dari Eropa. Perbedaan yang paling mendasar ialah dalam hal konsep. Hal penting lainnya adalah bahwa marxisme di Eropa memperlihatkan sikap ketidaksabaran terhadap tradisi, terhadap sifat-sifat khas sebuah kebudayaan, sikap-sikap akomodatif terhadap alam dan keberagaman dan sebagainya. Marxisme Asia berpandangan bahwa masyarakat industry adalah masyarakat yang penuh pengistimewaan dan bahwa dunia politik akan sangat menguasai kehidupan perekonomian. Bagi kaum marxis di Asia, masa depan dipahami dalam pengertian wilayah pedesaan yang berhasil direvitalisasi dan ditransformasikan dengan cara menyerap ke dalam dirinya segala hal yang positif dalam penemuan-penemuan terbaru di bidang teknologi, namun pada saat yang sama juga dilakukan pengendalian secara ketat terhadap cakupan dan sifat-sifatnya agar ia dapat dipergunakan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang bersifat egalitarian, partisipatoris dan pembebasan.8 Hal ini kemudian akan membawa pengaruh bagi pandangan marxisme di Indonesia. Belakangan ketika PKI berada di bawah kepemimpinan Aidit, masyarakat petani ini menjadi sasaran utama kegiatan partai. Dalam permasalahan ini Aidit berpendapat bahwa pembangunan sebuah basis massa bagi partai sebagai sesuatu hal yang paling penting.
bahwa sebenarnya rakyat tidak menginginkan teoriteori marxisme-leninisme. Sebaliknya mereka justru menginginkan perbaikan-perbaikan dalam banyak hal dalam kehidupan mereka. Landasan yang dijadikan pijakan oleh berbagai teoritisasi Aidit tentang masalah land reform ini adalah anggapannya bahwa meskipun telah berhasil memiliki kedaulatan sendiri, Indonesia ini pada dasarnya masih berstatus setangah terjajah dan setengah feodal. Persoalan status Indinesia yang masih semi feudal ini berkaitan sangat erta dengan konsep revolusi yang belum selesai yang telah menjadi persoalan yang menyelimuti Indonesia selama masa pemerintahan demokrasi parlementer dan yang dengan alas an-alasan yang cukup dapat dikatakan masih tetap berlanjut sampai pada saat itu. Sebagaimana dikatakan oleh Aidit. “Indonesia adalah sebuah bangsa yang dikendalikan oleh baik sistem kapitalimsme maupun sistem feodalisme, meskipun tentu saja feodalisme yang murni 100% sudah tak ada lagi di sini. Akan tetapi sisasisa feodalisme yang terpenting dan palng serius masih ada di Indonesia sampai dengan saat ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan berbagai fakta: pertama, masih tetap berlangsungnya hak-hak monopoli pada tuan-tuan tanah besar atas tuan-tuan tanah mereka yang dikerjakan oleh para petani yang merupakan sebagian terbesar orang yang tidak mungkin dapat memiliki tanah karenanya terpaksa harus menyewa tanah dari para tuan tanah dengan berbagai macam persyaratan: kedua, adanya sistem pembayaran sewa tanah dalam bentuk hasil-hasil panenan kepada para tuan tanah, di mana akibat-akibatnya menimbulkan sejumlah besar daripada sebagian besar kaum petani yang harus hidup dalam kemiskinan: ketiga, adanya sistem sewa tanah dalam bentuk melakukan pekerjaan pada tanah-tanah milik para tuan tanah yang telah menempatkan sebagian terbesar daripada kaum petani ada kedudukan seperti para budak. Terakhir, adanya penumpukan hutang yang demikian membebani sebagian besar kaum petani dan telah menempatkan mereka sebagai para budak milik para tuan tanah.”10 Kesimpulan Aidit memunculkan diri sebagai seseorang yang meskipun masih tetap mempertahankan dasardasar ideologi partainya yang sebenarnya, namun ia demikian menyadari situasi politik di dalam negeri. Baginya, keharusan untuk melakukan kompromi adalah bukan suatu permasalahan yang serius. Ia bahkan lebih melihatnya sebagai hanya sebuah penyesuaian ideologi marxisme-leninisme dengan situasi di Indonesia. “….menerapkan prinsip-prinsip marxisme leninsme dalam keadaan yang nyata di negara kita, atau dengan kata lain melakukan Indonesianisasi terhadap marxisme leninsme, dan dengan berpijak pada landasan tersebut akan ditentukan secara kreatif bentuk kebijakan dan taktik perjuangan dan bentuk organisasi partai kita…”11
Gagasan Besar Aidit Bagi Aidit sendiri marxisme di Indonesia mempunyai tujuan “…menghilangkan sisa-sisa feodalisme, membangun sebuah revolusi agraria yang anti feudal, melakukan penyitaan atas tanah milik para tuan tanah dan membagikannya secara gratis kepada para petani, terutama bagi para petani yang tak memiliki tanah dan miskin, dan akan menjadi milik mereka sendiri… Ini adalah landasan di mana akan diciptakan aliansi anatara kaum buruh dan petani tersebut sebagai basis bagi sebuah front nasional bersatu yang kuat…”9 Aidit menekankan
5
Doc Pribadi
Catatan Akhir Mahasiswa Semester Akhir Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta Mortimer, Rex, Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959-1965 (Pustaka Pelajar: Yogyakarta 2011), hlm ix 3 Aidit, Murad, Aidit Sang Legenda (Pata Rei: Jakarta 2006), hlm 4 4 Leclerc, Jaques, Mencari Kiri (Marjin Kiri: Jakarta 2011), hlm 107 5 Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1999), hlm 5 6 McVey, Ruth, Kemunculan Komunisme Indonesia (Komunitas Bambu: Depok 2010), hlm 2 7 Edman, Peter, Komunisme Ala Aidit: Kisah PKI di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965 (Center for Information Analysy: Jakarta 2007), hlm 13 8 Lihat Edman, Ibid., hlm 15 9 Lihat Aidit, “The Road..’, hal. 164. 10 Lihat Aidit, Hari Depan Gerakan Tani Indonesia dalam Pilihan Tulisan Aidit Jilid 1, hlm 157 11 Lihat Aidit, Berani, Berani, Berani, Sekali Lagi Berani, hlm 85 1 2
Referensi Mortimer, Rex. 2011. Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Leclerc, Jaques. 2011. Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Mereka. Jakarta: Marjin Kiri Edman, Peter. 2007. Komunisme Ala Aidit: Kisah PKI di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965. Jakarta: Center for Information Analys Aidit, D.N. 1959. Pilihan Tulisan Aidit Jilid I. Jakarta: Jajasan Pembaruan Aidit, D.N. 1959. Pilihan Tulisan Aidit Jilid II. Jakarta: Jajasan Pembaruan Aidit, D.N. 1959. Pilihan Tulisan Aidit Jilid III. Jakarta: Jajasan Pembaruan Tentang Penulis Beberapa tulisan penulis dapat ditemui di media nasional seperti koran-jakarta.com dan berdikarionline.com. Penulis juga dapat ditemui di blog studenthijo.blogspot.com atau twitter @student_hijo
6
Gerwani Bicara Feminisme Oleh Sari Wijaya1
Berbicara mengenai gerakan perempuan pasti pula berbicara mengenai keadaan sebuah bangsa. Charles Fourrier dikutip dalam buku Sarinah karangan Soekarno mengatakan bahwa tinggi rendahnya kemajuan suatu masyarakat ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan dalam masyarakat.2 Oleh karena itu Sukarno mengamini bahwa perjuangan yang dilakukan kaum perempuan bagi bangsanya adalah perjuangan raksasa.3 Lahirnya sebuah gerakan tidak serta merta muncul tanpa adanya sebuah pemikiran. Sebagai mahkluk yang berpikir, manusia tidak lepas dari dunia ide.4 Begitu pula gerakan perempuan yang muncul atas sebuah pemikiran, baik muncul secara perorangan ataupun golongan. Biasanya dari sebuah hegemoni pemikiran, perempuanperempuan mulai membentuk sebuah kekuatan yang terorganisasi. Organisasi perempuan merupakan bagian dari gerakan perempuan. Di Indonesia, tujuan pembentukan organisasi perempuan tidak selalu didasarkan untuk memperjuangankan hak-hak perempuan atau yang sering disebut emansipasi. Maka, terbagilah dua organisasi perempuan yaitu organisasi perempuan mandiri (berasal dari kaum perempuan sendiri) dan tidak mandiri (dibentuk organisasi lain). Sebuah organisasi perempuan mandiri, dibangun melalui proses mobilisasi perempuan sendiri dengan emansipasi. Sedangkan organisasi perempuan yang tidak mandiri dibangun oleh para pelaku lain yang memobilisasi perempuan dengan tujuan mereka sendiri.
Bisa pula atas kepentingan emansipasi atau bukan juga menjadi tujuan pokok.5 Di Indonesia, wacana emansipasi muncul sejak awal abad kedua puluh. Munculnya Kartini dalam surat menyuratnya dengan Ny. Abendanon membicarakan kondisi sosial perempuan Indonesia yang diatur oleh tradisi: hak dan kewajiban perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki.6 Kelahiran emansipasi tersebut yang melahirkan gerakan feminisme dan perjuangan untuk kemerdekaan, dari kekangan nilai masyarakat tradisional.7 Feminisme sendiri merupakan gerakan atas penolakan ketidaksetaraan atau segala sesuatu yang androsentris.8 Oleh karena itu emansipasi dengan feminisme juga berkaitan erat. GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) merupakan organisasi dengan salah satu tokoh pendirinya S.K Trimurti bersama beberapa pejuang wanita, terutama yang pernah melakukan Gerilya pada Agresi Militer Kedua. Sebagai organisasi perempuan yang muncul di awal tahun 1950-an, GERWANI turut mengusung tema emansipasi dalam pergerakan. Masalah Undangundang Perkawinan, kebebasan perempuan mengenyam pendidikan dan hak-hak perempuan dalam menyelesaikan masalah bangsa menjadi sentral wacana organisasi tersebut. Umi Sarjono, selaku Ketua DPP GERWANI pada perayaan ulang tahun GERWANI ke-10 mengatakan bahwa GERWANI adalah organisasi massa yang berpolitik, dibangun berdasarkan kebutuhan untuk memayungi semua perempuan yang berhimpun tanpa
7
pandang ideologi dan agama.9 Manifesto Politik dengan mengusung Inti USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia) juga turut mempengaruhi gagasan pemikiran Gerwani terhadap sosialisme. Cita-cita Sosialisme sebenarnya muncul jauh sebelum Marx mulai memikirkan revolusi proletariat.10 Konsep pemilikan bersama menurut ajaran ini, akan menciptakan dunia lebih baik, membuat sama situasi ekonomi semua orang, meniadakan perbedaan antara miskin dan kaya serta menggantikan usaha mengejar keuntungan pribadi dengan kesejahteraan umum. Dalam pidatonya saat kongres Gerwani ke-IV pada 14 Desember 1961 di Jakarta, Soekarno juga mendukung ladies movement sebagai gerakan massa yang menjunjung tinggi nilai revolusioner dan radikalisme bukan “gerakan para ndoro aju” .11 Semangat jaman pada kerangka besar MANIPOL USDEK pada masa demokrasi terpimpin juga turut menguatkan pemikiran GERWANI. Gagasan tentang feminis sosialis semakin merebak hingga GERWANI mampu merekrut anggota sekitar 710.00012 pada masa demokrasi terpimpin. Sejatinya, gagasan pemikiran feminis sosialis mampu diterima oleh pelbagai golongan perempuan bukan serta merta karena GERWANI satu-satunya gerakan yang mampu memayungi kebutuhan perempuan pada masa itu. Akan tetapi, pemikiran feminis sosialis muncul dalam tubuh GERWANI dalam ranah ideologis maupun politis. Bukan hanya itu, pemikiran feminisme pun muncul didasarkan pada karakter organisasi GERWANI yang selalu mengusung isu kesetaraan pada kaum perempuan. Beberapa tulisan di Majalah Api Kartini, sebuah media cetak terbitan organisasi GERWANI selalu mengulas pemikiran Kartini, Dewi Sartika dan beberapa tokoh pahlawan wanita yang kental menyuarakan emansipasi bagi kaum perempuan. 13 Sebagai organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia, GERWANI diduga Onderbow PKI. Hal ini dikarenakan PKI yang mendukung beberapa program GERWANI dalam menjamin emansipasi dan hak perempuan14 serta pembentukan GERWANI juga diklaim sebagai politik PKI untuk menarik massa dari kaum perempuan demi kepentingan partai. Pelbagai program-program GERWANI yang militan mengidentifikasikan pemikiran kolektif GERWANI sebagai organisasi perempuan yang mengagas pemikiran feminis sosialis dengan melihat konteks sosial, politik dan budaya di Indonesia. Hal tersebut yang menjadikan pemikiran feminis sosialis GERWANI berbeda dengan gerakan feminis lainnya. Namun, pada 1965 sebagai titik tolak perjuangan kiprah GERWANI mulai meredup. Meledaknya G 30S yang diduga melibatkan GERWANI dalam gerakan tersebut, membuat GERWANI semakin terkucilkan di masa Orde Baru. Banyak anggota GERWANI yang ditangkap dan dibunuh.15 Segala pemikiran organisasi tersebut pun tak dibolehkan untuk berkembang dan dipelajari. Hingga pasca reformasi pemikiran itu baru muncul dan kembali popular. Gagasan Pemikiran Feminis Sosialis GERWANI bukan muncul tanpa akar-akar pemikiran. Pada penelitian ini, akan dibahas Pemikiran Organisasi Gerwani dengan mengedepankan karakter organisasi, kondisi sosial
masyarakat serta pengaruh yang masuk pada organisasi GERWANI. Feminis Sosialis dan GERWANI Teori feminis berusaha menganalisis pelbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam pemahaman kultural mengenai apa artinya menjadi perempuan. Sedangkan teori sosial feminis memberi perhatian pada upaya memahami ketidaksetaraan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan, juga pada analisis terhadap kekuasaan lakilaki atas perempuan.16 Dasar pemikirannnya adalah dominasi laki-laki berasal dari tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang khas dalam masyarakat tertentu. Sejarah gerakan perempuan muncul di masa berkembangnya aktivisme kiri radikal, kaum feminis umumnya tidak asing dan sering kali bersikap simpatik terhadap gagasan-gagasan Marxis. Feminisme Sosialis yang diusung GERWANI pun memiliki kecenderungan pada ajaran Marxis. Perlu diketahui, bahwa gerakan feminisme juga memiliki berbagai determinasi. Hal tersebut yang membuat banyak klasifikasi feminisme menjadi beragam seperti feminisme liberal, feminisme marxis, feminism sosialis, feminism postmodern dan lainlain. Pemikiran GERWANI dalam merekonstruksi Feminis sosialis pada masa demokrasi terpimpin juga didasarkan pada konteks sosial perempuan Indonesia yang masih terkungkung antara kapitalisme dan patriarki. Feminis Sosialis percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup.17 Sama halnya dengan pemikiran GERWANI yang digagas dengan melihat kondisi struktur politik, sosial dan ekonomi Indonesia. Feminis Sosialis pada umumnya merupakan hasil ketidakpuasan feminis Marxis atas sifat pemikiran Marxis yang pada dasarnya buta gender, dan atas kecenderungan Marxis untuk menganggap opresi terhadap perempuan jauh di bawah pentingnya terhadap opresi terhadap kaum pekerja. Gagasan Feminis sosialis ini yang juga menjadi gagasan organisasi GERWANI. Konteks budaya patriarki di Indonesia yang membuat ruang gerak pada perempuan terbatas merupakan cikal bakal lahirnya gagasan ini. Bukan hanya itu, pertentangan kelas pun masih sangat kental dirasakan oleh perempuan. Maka, opresi terhadap perempuan bukan hanya sebatas membicarakan pertentangan kelas, melainkan juga opresi terhadap perempuan atas budaya patriarki.
Catatan Kaki Mahasiswa Semester Akhir Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta Sukarno, Sarinah (Yogyakarta: Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno, 1963) hlm.17 3 Perjuangan raksasa dimaknai dengan peranan besar 4 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tria Wacana, 2003) hlm. 190-191 5 Saskia, Wieringa. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (Yogyakarta: Galangpress, 2011) hlm. 78-80 6 Cora Vreede de Stuers. Sejarah perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 45 7 Ibid., hlm.1 8 Stevie Jackson dan Jackie Jones. Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2009) hlm .2 9 Majalah Api kartini, volume 6. Hlm. 6 10 Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 1999) hlm. 13 11 Arsip Nasional, Amanat PJM Presiden Sukarno pada kongres Gerwani ke IV, Gedung Wanita, Djakarta tanggal 14 Desember 1961 12 Loc.cit., Api Kartini, Hlm. 6 13 Vreede-de Stuers, op.cit., hlm 69-77 14 Amurwani Dwi Lestariningsih. Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Platungan. (Jakarta: Kompas, 2011) Hlm. 53 15 Saskia L Wieringa, op.cit.,hlm. 25 16 Stevie Jackson dan Jackie Jones, op.cit., hlm.20 17 Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hlm. 139 1 2
Referensi Abdullah, Taufik dan Surjomiharjo, Abdurrahman ed. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif .Jakarta: Gramedia, 1985 Abdullah, Taufik. Sejarah lokal di Indonesia . Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985 Achmad, Muthali’in. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2011 Amurwani Dwi Lestariningsih. Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Platungan, Jakarta: Kompas, 2011 Blackburn, Susan. Perempuan dan Negara Dalam Era Indonesia Modern. Jakarta: Kalyanamitra, 2009 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam, Jakarta: Kencana, 2004 Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah Jakarta: UI Press, 1986 Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT Gramedia, 1983) Kuntowijoyo .Metodologi Sejarah Edisi kedua, Yogyakarta : Tria Wacana, 2003 Nuryanti dkk, Reny. Cinta dan Hati Istri-istri Sukarno. Yogyakarta: Ombak, 2013 Putnam Tong, Rosemarie. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra, 2004 Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah. Yogyakarta,Ombak, 2007 Soewondo, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia: Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984 Stevie Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra, 2009 Sukarno. Sarinah. Yogyakarta: Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno, 1963 Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia, 1999 Vreede-de Stuers, C. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 Wieringa,Saskia. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, Yogyakarta: Galangpress, 2010 Daftar Arsip Arsip Nasional (Direktori Organisasi Wanita Indonesia kerjasama KOWANI – Menneg UPW – Unicef Jakarta 1985,ditandatangani oleh dewan pimpinan kongres wanita Indonesia Ny. A. Sulasikin Murpratomo) Arsip Nasional, Amanat PJM Presiden Sukarno pada kongres Gerwani ke IV, Gedung Wanita, Djakarta tanggal 14 Desember 1961 Arsip Nasional, Amanat PJM Presiden Sukarno pada kongres Gerwani ke IV, Gedung Wanita, Djakarta tanggal 14 Desember 1961 Majalah Api Kartini 1960. November –Desember No. 11-12 . Warung Arsip Yogyakarta Tentang Penulis
8
Penulis merupakan salah seorang guru ekstrakulikuler di Labschool Rawamangun, twitter: @wijayasharjay
9
Doc Pribadi
Barisan Tani dalam Kemelut Sejarah Oleh Yusuf Budi1
Mereka terasingkan dari sistem sosial dan tanah yang merupakan alat produksi, identitas dan harga diri sebagai kaum tani.
Sejak zaman kolonialisme kaum tani di Jawa mendapatkan perlakukan yang diskriminatif. Kaum tani tersebut terjebak dalam sistem patron-client yang diwariskan oleh zaman feodalistik. Mereka terasingkan bukan hanya dari sistem sosial tempat mereka hidup, tetapi juga dari tanah yang merupakan alat produksi, identitas dan harga diri sebagai kaum tani. Kaum tani semakin terdiskriminasi ketika terjadi perubahan pola struktur kekuasaan dari feodalisme menjadi imprealisme. Kedatangan bangsa barat di awal abad 16 bukan hanya memiliki semangat berdagang melainkan semangat eksploitasi. Kaum tani pada lapisan kelas bawah masyarakat feodalistik menjadi objek penindasan paling nyata. Pada 1830 pemerintah Hindia-Belanda, di bawah kepemimpinan Van de Bosch, sistem Culturstelsel atau tanam paksa dilaksanakan. Sistem ini yang menjadi awal dari eksploitasi tanah dan kaum tani. Culturstelsel merupakan simbol dari kekejaman kebijakan pemerintah kolonial dan sekaligus menjadi awal dari perubahan permanen sistem agraria di Hindia-Belanda. Kemenangan kaum liberal yang berhasil menguasai parlemen Belanda mampu menghentikan politik culturstelsel dan dapat mengisi kekosongan kas Belanda. Kemudian, pada 1870 Pemerintah Kolonial mengeluarkan hukum agraria baru, yang dikenal dengan Agrarische Wet 1870. Hukum agraria tersebut bersandar pada dua sumber hukum, yaitu hukum tanah adat (ulayat) dan hukum tanah barat (Eropa). Hukum tersebut tentu
saja bersifat diskriminatif kepada kaum pribumi, dan hanya menguntungkan bangsa Barat. BTI dalam Sejarah Kemunculan kaum intelektual pasca politik etis melahirkan gerakan-gerakan yang memunculkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial, tak terkecuali kaum tani sebagai mayoritas. Aksi-aksi pemogokan, perlawanan fisik terhadap pemerintah kolonial banyak melibatkan berbagai golongan rakyat, mulai dari intelektual, buruh hingga kaum tani. Perlawanan rakyat yang merupakan perpaduan semua golongan ini terjadi hingga kemerdekaan tercapai. Pada masa kemerdekaan dan revolusi fisik, Peranan kaum tani cukup besar, dari membantu menyuplai logistik para pejuang kaum tani hingga melakukan reorganisasi atas diri mereka. Mereka membentuk sebuah organisasi kaum tani yang bernama Barisan Tani Indonesia (BTI). BTI menjadi organisasi pertama kaum tani Indonesia yang lahir pada masa revolusi. Secara historis, BTI dibentuk oleh para tuan tanah dan para birokrasi pedesaan. Maka, saat awal terbentuk organisasi ini tidak begitu popular di kalangan tani. Dari ketidak populeran tersebut, BTI harus mencari “restu� dari penguasa Yogyakarta, yakni Hamengkubuwono IX. Sejatinya, BTI memang dibentuk dengan tujuan menjadi wadah gerakan kaum tani tanpa memandang status dan ideologi.
10
Berakhirnya revolusi fisik, situasi politik pun berubah drastis. Belanda dan pasukan sekutu menjadi musuh besar pada masa revolusi fisik. Akan tetapi, berbeda pada masa demokrasi liberal, pandangan politik pun turut berubah. BTI sebagai organisasi kaum tani juga terkena dampak langsung dari perpecahan poltik. Di dalam tubuh BTI terjadi perebutan antara kaum Murba, Komunis, dan Konservatoris. Konflik dalam tubuh BTI berhasil dimenangkan oleh PKI yang berhasil memfusikan BTI dengan RTI (Rukun Tani Indonesia) pada 1963. Setelah menjadi organisasi sayap PKI, BTI terlihat lebih meningkatkan aktivitasnya. Perbedaan BTI dengan kelompok tani lain seperti PETANI (Perserikatan Petani Islam) dan PETANU (Perserikatan Petani NU) mereka berani mengambil keputusan di luar pemerintah. Namun, keberanian tersebut kadang menimbulkan masalah, seperti aksi-aksi yang berujung anarkisme yang pernah terjadi di beberapa tempat. Meski begitu banyak dari aksi-aksi anarkis tersebut bukan dilatarbelakangi oleh perbedaan ideologi tetapi dikarenakan adanya konflik horizontal yang telah lama bersemayam. BTI memang agak berbeda dengan organisasi tani lain. BTI tidak hanya melakukan advokasi terhadap kaum tani yang bersengketa dengan tuan tanahnya tetapi, BTI juga melaksanakan pendidikan politik kepada kaum tani, dan juga mendorong terbentuknya Koperasi Rakyat-Pekerja di kalangan kaum tani. Oleh karena itu, minat kaum tani terhadap BTI cukup besar. Program BTI maupun PKI berubah menjadi milenarisme di masa itu, dan dengan cepat mengalahkan organisasi lain. Sejak kepemimpinan partai diambil alih oleh Aidit, PKI memang memaksimalkan pedesaan sebagai ruang gerak PKI dan sekaligus lumbung suara pada pemilu 1955. Keberhasilan PKI terlihat dari posisi PKI pada pemilu 1955 yang menempati urutan ke empat. Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno memposisikan kaum tani sebagai soko guru revolusi. Pokok pemikiran Marhaenisme yang digagas merupakan hasil refleksi terhadap kehidupan kaum tani di Indonesia. Kaum tani merupakan kelompok yang berjasa atas keberhasilan revolusi. Pada saat negara melaksanakan revolusi fisik, kaum tani dengan suka rela berjuang bersama-sama untuk mempertahankan revolusi kemerdekaan. Posisi kaum tani mengalami penekanan kembali pada masa demokrasi liberal. Sistem politik liberal yang lebih mementingkan golongan elitis, membuat nasib kaum tani terabaikan. Akan tetapi, tidak semua kelompok yang ada pada saat itu mengabaikan kaum tani. PKI melihat potensi kaum tani sebagai alat revolusioner. Sejak ditetapkannya pemilu pada 1955, PKI telah menjadikan desa sebagai daerah basis massa. Keseriusan PKI dalam menancapkan pengaruh di daerah perdesaan, dibuktikan dengan dikeluarkannya famplet Manifesto Pemilu PKI pada beberapa tahun menjelang pemilu 1955. Selain itu, PKI menggunakan BTI sebagai organisasi kaum tani yang berada di bawah pengaruhnya guna melaksanakan program partai di desadesa. PKI mencanangkan program turba bagi para kaderkader guna membantu kaum tani pedesaan. Naiknya jumlah anggota PKI maupun BTI membuktikan bahwa aksi turba merupakan keberhasilan PKI membangun basis-basis PKI di daerah-daerah.
BTI dan Landreform Pada 1961, pemerintah Demokrasi Terpimpin mengeluarkan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) dan UUPBH (Undang-undang Pokok B‌) sebagai kebijakan agraria yang baru dan menggantikan hukum agraria bentukan kolonial. Kebijakan ini disambut gembira oleh kaum tani. Tanah yang merupakan mimpi bagi mereka akan segera dimiliki. Landreform, merupakan pembagian tanah kepada seluruh kaum tani penggarap dan dianggap sebagai awal dari pelaksanaan UUPA. Landreform menjadi point penting dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Uniknya kebijakan landreform lahir bukan dari negara yang berhaluan komunis atau sosialis, melainkan tumbuh dan berkembang di Eropa. Namun, yang terjadi di lapangan berbeda dengan instruksi yang diberikan Presiden. UUPA dan Landreform ternyata macet dalam pelaksanaan. Adanya kecurigaan pada praktik pendomplengan dalam kepanitian menjadi akar permasalahan yang menimbulkan kemarahan kaum tani. Para aktivis BTI dan kaum tani melakukan protes kepada pemerintah Aksi protes tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan, karena pemerintah yang mereka temui hanya berjanji tanpa praksis yang jelas. Pertengahan 1964, kaum tani mulai bergerak melaksanakan aksi sepihak di berbagai tempat, dengan menggarap tanah-tanah yang berdasarkan UUPA menjadi hak milik mereka. Sepanjang 1964 hingga pertengahan 1965 mereka melakukan aksi sepihak yang menuai hasil yang cukup memuaskan. Mereka berhasil merebut tanah yang enggan dibagikan oleh para pemiliknya. Pada masa ini sebagian kaum tani memang telah memiliki kesadaran politik, meskipun begitu tak sedikit pula yang hanya sekadar ikut-ikutan. Tak sekadar sebagai tim advokasi bagi kaum tani dalam turbanya, kader PKI dan BTI juga melakukan pendidikan politik terhadap kaum tani. Sekolah-sekolah serta kursuskursus politik didirikan guna menciptakan massa tani yang berpendidikan. Keberhasilan ini sayangnya tidak berlangsung lama. Pada 30 September 1965, di Ibu Kota terjadi peristiwa coup yang berujung kepada vonis mati terhadap PKI yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa ini. BTI Pasca Kejatuhan PKI Gelombang pembubaran PKI bergema di manamana. Tidak hanya itu, organisasi lain di bawah PKI juga harus dibubarkan. Pasca peristiwa tersebut terjadi rangkaian penangkapan yang dilanjutkan dengan pembantaian kaum komunis yang dilakukan ABRI serta dibantu ormas-ormas lain seperti, Banser, GP Ansor, Pemuda Marhaen, dll. Hingga kini tidak pernah ada upaya penyelesaian akan permasalahan ini. Pasca pembersihan, kaum tani memasuki masa transisi, dimana mereka harus direkondisikan dan reorganisasi terutama dalam hal ideologi politik. Pada Pemerintah Orde Baru menjauhkan mereka dari politik sehingga seiring perkembangan kaum tani terlihat semakin menunjukkan sifat ketidakpedulian mereka terhadap politik. Pemerintah Orde Baru melakukan indoktrinisasi kepada mereka yang dianggap terlibat BTI. Pendidikan politik yang telah tertanam di dalam diri kaum tani lama kelamaan pudar dan hilang. Politik kembali menjadi barang yang tabu bagi rakyat terutama
11
kaum tani di masa Orde Baru yang hanya dijadikan objek politik. Nasib petani di masa pemerintahan Orde Baru kian terpuruk. Ketika pembangunan rezim Orde Baru ditopang oleh investasi modal asing secara besarbesaran melalui industrialisasi yang menjadikan tanah sebagai keperluan operasional. Akibatnya, tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modal dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Proses ini tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanah ke dalam sistem kapitalisme melalui ekspansi pasar dengan fasilitas intervensi kebijakan negara. Tidak hanya itu praktik lintah darat kembali menjamur di pedesaan. Praktik tersebut membuat kaum tani menjadi terasing dari pekerjaan dan lingkungan. Tekanan membuat mereka memfokuskan diri untuk terlepas dari sulitnya kehidupan. Kembali kepada permasalahan tanah, jika diperhatikan secara cermat, latar belakang konflik pertanahan di pedesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (baik yang difasilitasi oleh negara maupun swasta) dan rakyat petani. Akar persoalan konflik perkebunan dilihat dari sejarah lahirnya Hak Guna Usaha (HGU) pada tanah perkebunan. Kaum tani di masa Orba kerap bersitegang dengan para pemilik modal dan perkebunan. Pengelolaan HGU dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan peruntukan, penguasaan, dan pengasingan terhadap masyarakat sekitar atas peran ko-eksistensi sehingga memicu manifestasi konflik laten. Selain munculnya kebijakan nasionalisasi aset kolonial (yang sebenarnya terdapat pula tanah rakyat didalamnya), juga akibat dari diberikannya HGU kepada perusahaan perkebunan swasta (PTP) maupun pemerintah (PTPN) dalam bentuk perusahaan daerah perkebunan. Kecenderungan tersebut telah menegaskan bahwa yang dihadapi petani tidak saja negara, tapi juga kekuatan pasar global (global capitalism) yang pengaruhnya cenderung semakin kuat. Keadaan seperti ini yang membuat kaum tani seperti terasing dari pekerjaan dan status sosialnya. UUPA dan UUPBH yang diterapkan semasa pemerintahan Sukarno, disalahartikan menjadi “revolusi hijau� oleh pemerintah Orde Baru. Kedudukan kaum tani dalam tatanan politik nasional hanya berada pada level terbawah. Mereka hanya dijadikan lumbung suara bagi para partai politik. Jika PKI maupun BTI pada 1960an mengabdikan diri mereka untuk membebaskan kaum tani dari jerat sistem feodalisme. Maka, Golkar sebagai kendaraan politik Orde Baru justru membuat kaum tani semakin terbenam dalam lumpur feodalisme. Meskipun orde baru telah berganti akan tetapi sikap pemerintah kita terhadap kaum tani tidak berubah. Pemerintahan SBY di tahun 2009 pernah berniat ingin kembali melaksanakan landreform di Indonesia. Akan tetapi fakta yang didapat bahwa tanah-tanah yang akan dilandreform adalah tanah yang telah tidak layak. Tanah tersebut kebanyakan merupakan tanah eks perkebunan sawit yang telah banyak kehilangan unsur haranya. Sikap tersebut menjadi gambaran bahwa ada keberatan hati dari pemerintah dalam upaya mensejahterakan kaum tani. Ketidak tuntasan pelaksanaan landreform menjadi masalah. Bukan hanya itu, kasus-kasus lainnya seperti kasus persengketaan lahan antara petani dengan
perkebunan atau petani dengan pihak militer turut menghiasi di era reformasi. Keberpihakan pemerintah jelas, kepada mereka yang memiliki modal bukan kepada kaum tani. Sejarah kaum tani merupakan sejarah penindasan. Penghisapan yang dilakukan oleh kelas penguasa terhadap kelas yang dikuasai. Indonesia yang berniat menjadi sebuah negara industri hanya bisa bermimpi, karena negara industri di belahan dunia manapun sebelum masuk dalam fase tersebut harus menguatkan basis agraris. Dengan kata lain memakmurkan petaninya sebelum beranjak ke fase yang lebih tinggi. Wasalam !
12
Catatan Kaki
1
Mahasiswa Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta
Referensi Abdullah, Taufik. Sejarah Lokal Di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 1985 Abdurrahman. Tentang Dan Sekitar UUPA. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1990. Achdian, Andi. Tanah Bagi yang Tak Bertanah; Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Kekal Press, Bogor. 2009. Aidit. D. N. Pilihan Tulisan Jilid I; Kumpulan Tulisan DN Aidit. Jajasan Pembaruan, Jakarta. 1960. _________. Masyarakat Indonesia Dan Revolusi Indonesia. 1960. Breman, Jan. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja; Jawa di Masa Kolonial. LP3S, Jakarta. 1986. Edman, Peter. Komunisme Ala AIDIT; Kisah Partai Komunis Indonesia Di Bawah Kepemimpinan D.N Aidit 1950-1965. Center For Information Analysis. 2007. Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa; Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Insist, Yogyakarta. 1999. Feith, Herbert dan Lance, Castles. Pemikiran Politik Indonesia1945-1965. LP3S, Jakarta. 1988. Gautama, Sudargo. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. ALUMNI, Bandung. 1981. Jusuf, Hilmy. Tanya Jawab Djarek (Djalannya Revolusi Kita). Toko Buku LAUW, Solo. 1961. Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1992 Kasdi, Aminuddin. Kaum Merah Menjarah; Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965. Jendela, Yogyakarta. 2000. Loebis. A. B. Landreform Indonesia. Pedjompongan, Djakarta. 1963 Luthfi, Ahmad Nasih. Melacak Sejarah Pemilikan Agraria; Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor. Pustaka Ifada, Yogyakarta. 2011. M. Paige, Jeffery. Revolusi Agraria; Gerakan Sosial Dan Pertanian Ekspor Di Negara-Negara Dunia Ketiga. Imperium, Yogyakarta. 2011. Mortimer, Rex. Indonesian Comunism Under Sukarno; Ideologi Dan Politik 1959-1965. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2011. Sanit, Arbi. Badai Revolusi : Sketsa Politik Kekuatan PKI Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2000. Sulistyo, Hermawan. Palu Arit Di Ladang Tebu; Sejarah Pembantaian Massal Yang terlupakan (1965-1966). KPG, Jakarta. 2000. Tauhid, Mochammad. Masalah Agraria; Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yayasan Bina Desa, Yogyakarta. 2009. _________________. Masalah Agraria; Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. STPN Press, Yogyakarta. 2009. Tjondronegoro, dan Gunawan, Wiradi. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 2008. Torquinst, Olle. Penghancuran PKI. Komunitas Bambu, Depok. 2011. Wasino. Tanah, Desa Dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan Tanah di Pedesaaan Jawa. Unnes Press, Semarang. 2005. Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist Press, Yogyakarta. 2000. Tentang Penulis Penulis merupakan aktifis pergerakan pemuda di Jakarta. Selain suka orasi penulis juga mendedikasikan separuh hidupnya untuk menjadi guru di salah satu bimbingan belajar. Penulis dapat ditemui melalui twitter: @yusuf_bps
13
14