SUARA
PEMUDA
Edisi Dies Natalies UNJ
01
Diterbitkan Oleh LPM Didaktika
Ilustrator: Indro Tomo
16 Mei, Menggugat! 1
Suara Pemuda
KAMI MENYAPA ANDA SETIAP MINGGU DI MADING-MADING KESAYANGAN ANDA
didaktikaunj.com 2
Suara Pemuda
R
edaksi
Salam Perjuangan !
J
elang usia 49 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) nampak menghias diri dengan semarak. Umbul-umbul warna-warni dipasang di segenap penjuru kampus. Berbagai kegiatan penyambutan dilakukan. Hajat besar disiapkan, oleh segenap civitas akademika. Sebagai salah satu elemen mahasiswa yang hidup di UNJ, hasrat untuk senantiasa menghidupi lembaga ini pun tidak pernah surut dari benak kami. Oleh karena itu, dalam rangka Dies Natalis UNJ ke 49, kami hadir dengan media baru, sebagai bacaan alternatif bagi para civitas akademika, yang kami beri nama: Suara Pemuda. Dalam debut pertamanya, Suara Pemuda menyuguhkan beberapa berita terkait penyelenggaraan Dies Natalis 49 UNJ. Di berita pertama, kami akan mengupas habis
soal tema kegiatan: Membangun Karakter Bangsa Berwawasan Multikultural. Wacana multikultural memang tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Namun kali ini, bagaimana UNJ bisa mengejawantahkan wacana tersebut dalam baik dalam pelaksanaan acara maupun dalam kehidupan civitas akademikanya? Di berita kedua, tidak lupa pula kami meliput soal persiapan yang dilakukan oleh kampus dalam penyelenggaraan acara. Ulasan ini memuat banyak informasi
langsung dari Fakultas Bahasa dan Seni sebagai panitia penyelenggara. Kemudian di berita ketiga, kami menghadirkan 49 tahun UNJ dalam pandangan orang-orang yang mendapat berkah tersembunyi dari berdirinya kampus ini. Terlepas dari sebuah perayaan, UNJ pun mesti menolak lupa atas beragam kesemrawutan yang dibuatnya. Pada 2011, berkat kebijakan kampus untuk menaikkan uang kuliah, 217 mahasiswa baru mesti hengkang karena kesulitan biaya dan kampus tidak mau bertanggung jawab atasnya. Wujud nyata upaya pemerataan akses pendidikan tinggi kembali dipertanyakan. Persoalan finansial yang sering dijadikan senjata pamungkas untuk berkelit, tak lagi bisa diterima. Seiring dengan terbelitnya kampus kepada kasus korupsi uang pendidikan. Belum lagi soal kehidupan sehari-hari di kampus yang jauh dari harapan. Kelas yang tidak layak, jumlah kursi kuliah yang selalu kurang, hingga dosen-dosen yang selalu lalai melaksanakan tugas. Kesemua itu tentu mengembalikan kita pada ingatan akan identitas UNJ sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Yang punya tugas khusus menciptakan guru-guru untuk mempersiapkan pendidikan nasional yang mampu mencerdaskan bangsa. Namun, hingga hari ini UNJ nampak meninggalkan karakter institusi keguruan tersebut, di tengah kebijakan pendidikan yang makin hari juga kian meminggirkan peran LTPK. Beragam tema tersebut kami suguhkan dalam beberapa opini yang bisa menjadi bahan refleksi bagi pembaca sekalian. Sebagai hadiah, kami menghimpun ucapan selamat kepada UNJ dari para guru besar yang masih punya peran dan pengaruh penting dalam dunia pendidikan nasional, juga dari mahasiswa yang menjadi tumpuan utama bagi kampus dalam melanjutkan hidupnya. Tak mau banyak berbasa-basi, kami persilakan pembaca untuk melahap habis seluruh sajian yang kami haturkan. Selamat membaca, selamat berdialektika!
Diterbitkan Oleh Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika Pelindung: Pembantu Rektor III, Pembimbing: Jimmy Ph. Paat, Pemimpin Umum: Satriono Priyo Utomo Sekretaris Umum: Indra Gunawan, Bendahara Umum: Ferrika Lukmana Sari, Penelitian dan Pengembangan: Daniel Fajar Haryanto, Virdika Rizky Utama, Binar Murgati Pardini, Pemimpin Redaksi: Kurnia Yunita Rahayu, Sekretaris Redaksi: Yogo Harsaid, Reporter: Chandra, Tsalis, Deni, Bani, Aan, Astika, Anwar, Nova, Artha. Alamat Redaksi: Gedung G, Lantai III, Ruang 304, Kampus A UNJ, Email: lpm.didaktikaunj@yahoo.com
3
Suara Pemuda
Kata Mereka
------------------------------------------------------------------------------------------------
Kolom Mahasiswa
Kolom Guru Besar
Fitriana Prajayanti (LKM):
Conny Semiawan: Saya tetap cinta pada UNJ semoga semakin jaya. Cuma saya suka jengkel dengan pejabatnya yang kurang perhatian pada UNJ, pada mahasiswanya dan pada pendidikan yang tidak dipandang lebih mulia. Selalu mikir duit terus. Semoga dies natalis kali ini pemikiran dan ideologi mengenai UNJ lebih diperdalam lagi.
Semoga pemimpinnya ada regenerasi tapi bukan regenerasi korupsi melainkan lebih pada perbaikan akademiknya, agar mahasiswanya bisa menjadi manusia seutuhnya. Memanusiakan manusia lah!
Wahyudin (KMPA Eka Citra):
Sutjipto:
UNJ telah terlepas dari identitas kependidikannya ditambah birokrasi yang kuno. Maka saya berharap semoga UNJ dijadikan kampus yang dapat mewadahi mahasiswa dan mengerti akan kondisi zaman. Intinya harus ada perubahan di segala lini!
Dirgahayu UNJ yang ke 49, semoga cepat menapaki fase internasional. Arinya konsekuensinya pembenahan yang ada di UNJ. Melihat lagi prioritas, melihat lagi langkah yang sudah ditempuh. Adanya Dies Natalis adalah kesempatan untuk mengevaluasi diri.
Rahman (Koordinator FK UKM):
Arief Rahman:
Jangan sampai karakter di UNJ hilang. Karena saya dari FK, UNJ harus mendukung penuh pada kegiatan non akademik jangan hanya akademiknya saja. Karena banyak sekali prestasi yang telah diraih oleh mahasiswa di bidang non akademik. Dan semoga UNJ semakin solid. UNJ SATU!
UNJ harus menjadi universitas yang berharkat dan bermartabat karena pada awalnya UNJ telah bergerak dalam pergerakan 66 serta 98. Maka UNJ harus tetap menjadi universitas yang berharkat dan bermartabat.
4
Suara Pemuda
Binar Murgiati Pardini
Daftar Isi
Daftar Isi ---------------------------------------------------------------------------------------------------
6-7 Tema Karakter Yang Tidak Berkarakter 8-9 Menyambut Dies Natalis UNJ 10-11 Kata Mereka Tentang UNJ 12-13 Merumuskan UNJ 14-15 16 Mei, Melawan Lupa ! 16-17 Memimpin Pendidik Yang Jujur 18-19 Senda Gurau
5
Suara Pemuda
U
s i a UNJ hamp i r m e masu k i setengah abad, 49 tahun. Usia yang menurut perhitungan seorang manusia tentunya memasuki UNJ dalam kematangan. Namun, dengan realitas pendidikan Indonesia kekinian yang karut-marut, maraknya pelajar tawuran, masyarakat yang nihil toleransi, menjadi sebuah tanggungjawab dan pekerjaan rumah tersendiri bagi UNJ sebagai perguruan tinggi yang mengabdi terhadap masyarakat.
Tema“Karakter” yang Tidak Berkarakter 6
Suara Pemuda
Oleh karena itu, dalam memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa yang keropos tersebut, UNJ dalam hajatan Dies Natalis 49 ini mengambil tema “Membangun Karakter Bangsa Berwawasan Multikultural”. Menurut Nursilah selaku Ketua Pelaksana Acara tersebut, tema ini berangkat dari kaharusan sistem pendidikan kita yang mesti menguatkan nilai-nilai kebangsaan dan karakter. “Sebenarnya pendidikan lah yang menjadi salah satu kunci untuk membangun karakter anak bangsa ini,” terangnya. Maka dari itu, menurutnya, dengan tema itu, acara Dies Natalis kali ini bakal menampilkan keragaman seni
kultural,” ujarnya terburu-buru sembari bergegas masuk mobil bersama Bedjo Sujanto. Bedjo sendiri hanya berkomentar, “Saya tidak tahu apa-apa, itu FBS yang nentuin,” singkatnya.
budaya dari berbagai etnis di Indonesia. “Nanti Barongsai, Reog Ponorogo dan berbagai kesenian daerah lainnya akan tampil. Ini akan menunjukkan bahwa ini loh kita itu beragam,” yakin wanita yang menjabat Pembantu Dekan III FBS itu. Saat ini, terkikisnya semangat keberagaman dan pluralisme memang menjadi fokus utama program pendidikan nasional. Sehingga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pun beberapa tahun terakhir memasukan kurikulum pendidikan karakter ke dalam sistem pengajaran nasional. Bahkan, semangat pendidikan karakter yang multikultural ini digadang-gadang oleh Mendkbud menjadi nafas “Kurikulum 2013” yang akan diterapkan Juli tahun ini. (Kompas.com 10/3) Namun, banyak nada minor yang menghampiri penamaan kurikulum tersebut. Seperti yang diungkakan Donie Koesoema, bahwa penamaan ini bersifat rekasioner karena hanya melihat krisis sosial di masyarakat yang memang hari-hari ini mengentak nurani bangsa. Padahal, tantangan ke depan lebih besar dibanding soal tawuran, perkelahian, dan keru-
7
suhan yang bernada SARA. (Kompas, 5 November 2012) Nursilah pun mengamini bahwa, tema Dies Natalis UNJ tahun ini mempunyai keterkaitan erat dengan program pemerintah tersebut (red-Kurikulum Perekat Kesatuan Bangsa). “Ini memang punya relevansi kuat dengan pendidikan karakter yang digalakkan pemerintah,”akunya. Meski pesan yang diungkapan dalam tema Kurikulum 2013 sama dengan tema Dies Natalies UNJ, ia menolak jika ini dikatakan sebagai sikap mengekor turunan dari pencanangan pendidikan karakter pemerintah. “Saya tidak ikutikutan dengan SK (Surat Keputusan) atau peraturan apa. Ini pure gagasan saya yang backgroundnya Antropologi,” tegasnya. “Saya pun tidak mau masuk perdebatan setuju atau tidak dalam Kurikulum 2013.” PR II Suryadi yang yang ditemui Selasa kemarin (14/5), hanya menjawab singkat alasan memilih tema Dies Natalis kali ini. “Sekarang FBS (Fakultas Bahasa dan Seni) kan yang jadi panitia, cocok lah jika ngangkat tentang multi-
Suara Pemuda
Dari cara memberikan nama, jelas bahwa tema Dies Natalis ini bertujuan membentuk warga negara umumnya dan pendidik khsususnya untuk menjadi warga yang cinta bangsa dan menghargai kesatuan. Tapi, logika yang dipakai menampilkan kesenian dari berbagai etnis sebagai pendidikan perekat kesatuan bangsa hanya mereduksi pluralisme itu sendiri. Seperti anggapan pemerintah yang hanya menekankan empat mata pelajaran sebagai pembentuk pendidikan karakter: Bahasa Indonesia, Pancasila dan Kewarganegaraan, Agama, dan Matematika. Ini cenderung mereduksi mata pelajaran lain yang berpartisipasi membentuk peserta didik cerdas, mandiri dan berakhlak mulia. Selain itu, tema Dies Natalis tahun ini dianggap terlampau muluk-muluk. Seperti yang diungkapkan Andhika Isvara, menurutnya, tema ini tidak akan benilai apa-apa karena para pemimpinnya pun kurang member contoh karakter yang baik. “Para pimpinan UNJ yang korup (red-Korupsi UNJ) ya bakal merusak pembentukan karakter itu sendiri,” pungkas Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Seni Rupa itu.
Indra Gunawan
Menyambut Dies Natalis UNJ Tahun ini Fakultas Bahasa dan Sastra akan banyak melibatkan mahasiswanya.
T
yang meriah. Dengan Pembantu Dekan (PD) III Nursilah sebagai ketua pelaksana. Sejumlah persiapan gencar dilakukan. Dari mulai pembuatan spanduk, sampai penampilan seni oleh para mahasiswa.
epat pada tanggal 16 Mei 2013, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memasuki umurnya yang ke-49. Seperti di tahun-tahun sebelumnya, serangkaian acara digelar dalam rangka memperingati hari jadi tersebut. Perayaan ini biasanya memakan waktu sampai sebulan. Dan setiap tahun satu fakultas ditunjuk sebagai panitia penyelenggara.
Sejumlah spanduk kecil dari beragam warna telah dipasang di Kampus A. Bahkan di gedung parkir terdapat sebuah spanduk yang sangat besar. Di dalamnya tertulis tema dies natalis. Kali ini tema yang dipilih yaitu Membangun Masyarakat Berwawasan Multikultural.
Tahun ini Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) mendapatkan giliran untuk mengantarkan UNJ pada perayaan ulang tahun
FBS telah melakukan persiapan dari jauh hari. Ida Bagus Ketut Sudiyasa, selaku art director acara mengaku telah menyusun
8
Suara Pemuda
konsep sejak tahun lalu, ketika FBS terpilih menjadi penitia penyelenggara. Selain itu, ini bukan kali pertama dirinya terlibat dalam kegiatan serupa. Tahun lalu, dosen Jurusan Seni Tari yang akrab disapa dengan Bagus ini ikut dalam kepanitiaan Dies Natalis 2012 yang diselenggarakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Tak heran, dia begiu percaya diri di tahun ini. Pembukaan Dies Natalis akan dilakukan pada 16 Mei di gedung Sertifikasi Guru (Sergur) lantai sembilan. Bagus coba menghadirkan beragam kreasi seni sesuai tema acara. Seperti pameran kesenian dari sejumlah daerah Indonesia. “Ini mela-
pada pembukaan Masa Pengenalan Akademik 2012 lalu. Dalam dies natalis kali ini, FBS banyak melibatkan mahasiswanya, khususnya pada penampilan seni. Terkecuali Barongsai, Reog Ponorogo, dan Barong Ket Bali. Sebab menurut Bagus, hal itu tidak bisa sembarang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa FBS ini akan menyuguhkan pertunjukkan sesuai dengan jurusannya. Seperti Jurusan Bahasa dan Sastra, Seni Tari, Musik, dan Rupa. Bagus telah meminta izin dari masing-masing kepala jurusan untuk melibatkan mereka. mbangkan ragam kebudayaan Indonesia,” ujarnya. Tak hanya itu, melalui pertunjukkan seni tersebut juga akan digambarkan rencana UNJ ke depan. Seperti menjalin hubungan luar negeri, pembangunan, dan perluasan akses pendidikan seluas-luasnya bagi masyarakat Indonesia. “Makanya pak rektor sudah saya pesan untuk tidak telat, agar acaranya tidak molor,” tambahnya. Sebagai pemimpin UNJ, kehadiran rektor memang penting. Terlebih dia sempat absen
9
Setelah mendapat izin dari kajur, para mahasiswa mulai berlatih. “Sudah sejak empat bulan yang lalu mereka berlatih,” ucapnya yakin. Bagus mengatakan latihan dilakukan menjelang sore, selepas kuliah. Bahkan mereka berlatih hingga jam sembilan malam. Terakhir, dilakukan gladiresik demi memantapkan persiapan menyambut dies natalis. Tampak para mahasiswa sibuk menyiapkan diri. Nampaknya mereka berse-
Suara Pemuda
mangat untuk tampil di pembukaan nanti. Terkait soal anggaran, Ninuk Lustyanti selaku bendahara belum berani menyebutkan jumlah dana yang akan dikeluarkan. “Acaranya aja belum dimulai, jadi belum ketahuan habis berapa,” ujarnya. Anehnya, dia belum mengetahui tentang adanya penyewaan Barongsai, Reog Ponorogo, dan Barong Ket Bali. Malah Dosen Jurusan Bahasa Perancis tersebut mengeluhkan tidak ada koordinasi kepadanya terkait hal tersebut. Terlepas dari itu semua, perayaan dies natalis ke-49 ini jangan hanya terlarut pada euforia semata. Sebab itu bisa membuat UNJ semakin silau. Sehingga sukar untuk melihat wujudnya. Yang mungkin saja berkarat. Juga terkait visi ke depan, dimana ada harapan ingin menjalin hubungan dengan luar negeri. Tentu bukan hanya untuk kepentingan berhutang. Serta pembangunan, yang ternyata tak berpihak kepada mahasiswa. Dan juga keinginan untuk membuka akses pendidkan seluas-luasnya. Tidak hanya bagi yang beruang. Terakhir, kami dari Didaktika mengucapkan Selamat Ulang Tahun yang ke49 bagi UNJ.
Daniel Fajar Haryanto
Kata Mereka Tentang UNJ (14/5) dipojok pagar komplek dosen Universitas Indonesia (UI) terletak di depan Beranda Cafe, Jurusan Tata Boga. Seorang laki-laki paruh baya, masih setia menjajakan dagangan baksonya. Para pembelinya kerap memanggilnya dengan sebutan Pak De Senyum. Nama ini memiliki sejarah sendiri, “ sikap cengengesan dan bercanda yang ditujukkan ke para dosen yang membeli bakso, diartikan Indro Murdi dengan memberikan saya panggilan “Pak De Senyum,” ungkapnya. Maka sejak saat itu, usaha bakso dikenal dengan “Bakso Pak De Senyum”. Usaha yang telah digarap sejak tahun 1973 di Asrama Daksinapati (sekarang FIP-red), menjadikan bapak bernama asli Yadi sebagai saksi perkembangan dan perubahan kampus IKIP hingga berkonversi ke UNJ, termasuk tokoh-tokoh penting yang menggemari baksonya. Indro yang merupakan penggemar setia bakso Pak De sejak
bersekolah di Labschool, kini menjadi dosen Seni Rupa serta orang kepercayaan Mantan Rektor Sutjipto dalam menggarap desain logo dan almamater UNJ. Pernah suatu ketika, gerobak sepeda baksonya dikerubungi pembeli mahasiswa Asrama Daksinapati, tiba-tiba dari atas asrama ia disiram oleh dosen senior yang kesal karena menunggu pesanan baksonya. Asrama ini pula yang digunakan mahasiswa melakukan kegiatannya, seperti diskusi dan nongkrong. Mengingat kegiatan politik kampus sangat massif di masa ini, “ Sempat bertemu Yusril Izha Mahendra, ia pintar berbicara ketika sedang berbincang di tongkrongan. Keaktifam mahasiswa di masa itu juga melahirkan aksi-aksi demontrasi pada masa pimpinan rektor Nugroho Noto Susanto (UI) dan Sutjipto (IKIP),” jawabnya lugas. Ia juga menambahkan berbagai aksi terjadi begitu massif dengan adanya pembakaran ban dan pendudukan Fakultas
10
Suara Pemuda
Hukum (Sekarang gedung Pasca Sarjana) Pandangan terhadap kompetensi guru yang rendah serta tidak adanya kepastian masa depan, pendidikan keguruan IKIP dianggap instansi pendidikan kelas dua yang kurang diminati. Tindakan diskriminasi sering terjadi antara mahasiswa UI dengan IKIP, “ anak UI biasanya mengejek lewat nyanyian atau panggilan kepada mahasiswa IKIP, karena kantin mereka berdekatan,” Jelas Pak De kepada tim Didaktika. Tapi pandangan miring tentang IKIP, justru berbeda ketika mengenal salah satu rektornya yaitu Winarno Surachmat, menurut Pak De bahwa mantan rektor ini merupakan sosok yang ramah dan baik. Karena pernah suatu ketika para pedagang berbondong-bondong termasuk pegawai lainnya menonton televise bersamannya. Pak De juga mengenal Rektor lainnya seperti Conny
R Semiawan, Ana Suhaenah, Soedjiran Reksosoedarmo hingga rektor tahun ini Bedjo Sudjanto. Ia pun mengungkapkan bahwa Bedjo sebagai langganan baksonya, kerap berbinacang dengannya menggunakan bahasa Jawa. Tapi kedekatannya dengan pemimpin kampus tidak memuluskan usaha dagangan baksonya ketika dikeluarkannya instruksi penataan parkiran yang ditempatkan pada dua titik lokasi. Kini tidak ada lagi kendaraan roda empat dapat memakirkan disembarang tempat, termasuk lokasi yang berdekatan dengan usaha baksonya. Padahal sebelum dikeluarkan peraturan tersebut ia bisa memperoleh omzet besar, “mobil-mobil yang dikendarai siswa labschool dapat memborong bakso saya sekitar 30 bungkus per mobil, ” ujarnya.
rakibat sedikitnya mahasiswa yang membeli makanan disini karena aksesnya jauh,” jawabnya sambil menghidangkan bakso kepada pelanggan.
Kebijakan parkiran yang ditetapkan masa rektor Bedjo turut mendapat perhatian dari para pedagang lain. Ibu penjual bakso di dekat lapangan Daksinapati yang akrap disapa Bu De, mengalami kerugian melalui penutupan gerbang menuju UPT Bahasa. Jauhnya lokasi parkiran yang, dikeluhkan oleh mahasiswa dengan berinisiatif menggunakan komplek daksinapati sebagai pengganti parkiran, “RT setempat menutup pintu gerbang karena mengganggu penghuni komplek untuk lewat, yang be-
Bambang selaku ketua Satuan Pengamanan (Satpam) menyadari hal tersebut, dengan maraknya tindakan kriminal terjadi di kampus. Ia pun segera melaporkan kepada rektorat dan melakukan kebijakan yang dapat meminimalisir tindakan tersebut, “berkalikali saya telah meminta tambahan satpam oleh rektorat tapi belum terpenuhi keseluruhan selain itu penetapan jam malam terkendala oknum mahasiswa yang masih hilir mudik tidak sesuai jamnya, ” Keluhnya.
11
Selain merugikan pedagang, kehadiran peratuan baru mengenai pemindahan parkir sangat disayangkan oleh Agus, penjual kopi yang berjualan di belakang Arena Prestasi Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Ia mengatakan bahwa pernah menemui oknum dari dalam kampus yang ingin mencuri motor di parkiran, “tidak sengaja ada yang ingin melakukan pencurian motor kemudian saya tegur. Kasihan jika ketahuan oleh massa dan satpam”, ungkapnya berbisik. Pria yang akrap dengan mahasiswa ini mengetahui kondisi parkiran yang memprihatinkan. Padatnya jumlah kendaraan tidak berimbangan luasnya wilayah parkiran memungkinkan kasus kriminal terjadi.
Satpam yang telah ditugasi sejak tahun 1982 dibawah otoritas
Suara Pemuda
satpam UI dan IKIP, mengatakan bahwa kondisi parkiran semasa IKIP tidak sesemrawut sekarang, “saya masuk IKIP hanya ada sekitar 50 motor, 2 bus opersional Banpres dan banyak kalangan dosen menggunakan sepeda, ” jawabnya. Tapi ia menyatakan fasilitas keamanan lebih menunjang saat ini, “semasa IKIP ada beberapa wilayah yang tidak dipagari sering didatangi pemulung dan tindakan prostitusi,” ungkapnya. Bambang menyadari berbagai pembangunan telah merubah UNJ dari segi infrastruktur, tapi dengan bertambahnya jumlah mahasiswa dan kendaraan masih menjadi pekerjaan rumah universitas untuk diselesaikan, “Adanya pembangunan memang menyulitkan akses mahasiswa, dengan adanya pemindahan parkiran pada 2 titik cukup mengurai masalah tersebut,” jawabnya kepada Tim Didaktika. Permasalah perparkiran dan keamanan yang masih mendera universitas di usianya ke-49, mendapat perhatian dan mempunyai dampak luas bagi warga kampus seperti mahasiswa, pedagang dan satpam. Maka diusia UNJ yang tidak mudah lagi, banyak permohonan dan doa yang dihanturkan demi perbaikan kampus ini. “Semoga cara dies natalis meriah dan hikmat, dan yang paling penting adanya penambangan tenaga dan fasilitas keamanan, “ harap Bambang.
Ferrika Lukmana Sari
Merumus UNJ Rawamangun, tengah kota Jakarta. Tidak seperti kawasan pusat kota lainnya, ia nampak bersahaja dengan perguruan tinggi negeri yang didirikan tepat di jantungnya. Mengapa bersahaja? Sebab bukan sembarang perguruan didirikan di tanahnya. Perguruan bukan sekadar penghasil orang-orang pintar. Tetapi perguruan yang punya tugas utama melahirkan kembali guru. Agen yang ada di posisi terdepan guna melaksanakan tugas pencerdasan bangsa. Perguruan itu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta. Didirikan 49 tahun yang lalu dalam rangka memenuhi kebutuhan guru, untuk melengkapi konfigurasi pendidikan nasional yang lebih berkualitas. Setelah negara mengutamakan pembangunan pendidikan secara horizontal dengan menyediakan guru-guru lulusan institusi setingkat sekolah menengah. IKIP didirikan tidak hanya di Jakarta, melainkan di berbagai kota segenap penjuru Indonesia. Menawarkan paket lengkap dengan model pendidikan kebersatuan antara ilmu pedagogis dengan keilmuan murni.
Sempurna lewat jaminan pekerjaan guru bagi para lulusannya. Namun, hal tersebut tak menarik antusiasme masyarakat. Sedikit orang terpanggil untuk menjadi guru. Mahasiswa IKIP didominasi mereka yang tidak lulus perguruan tinggi yang menjajakan ilmu murni. IKIP menjadi pilihan nomor dua bagi anak bangsa. Meski dibebani tugas mulia melahirkan guru-guru bangsa, IKIP bukan sebuah entitas tunggal yang mampu tentukan nasibnya sendiri. Ia berada dalam lingkar faktor yang menjadi penentu eksistensinya. Pemerintah memberikan anggaran dana yang tidak sama antarperguruan tinggi negeri. Sialnya, porsi yang lebih kecil jadi jatah IKIP. Makanya, pengembangan kampuskampus yang minim jadi sebuah konsekuensi logis. Menjadi guru setelah lulus dari IKIP bukanlah kabar menggembirakan buat masyarakat, malah jadi bulanbulanan. Mereka yang siap menjadi guru berarti mesti menyiapkan diri untuk hidup dalam belenggu kemelaratan, sebab tak ada jaminan kesejahteraan
12
Suara Pemuda
atasnya. Guru pun tidak punya akses untuk bermain-main dalam gagasan untuk membuat dunianya lebih berarti, sesuai dengan kebutuhan kegiatan belajar mengajar. Tidak ada hak suara untuk menetukan kebijakan pendidikan. Kiprahnya dibatasi, hanya berkutat dalam aras operasional teknis yang ajeg. Maka tidak heran, bila mahasiswa IKIP kian berkurang tiap tahun. Dari dalam diri IKIP pun tidak pernah terlihat prestasi kemajuan yang berarti, yang layak tercatat dalam sejarah. Akibatnya, kekecewaan merundungi tidak hanya masyarakat, tetapi juga bagi komunitas IKIP sendiri. Di tengah situasi seperti ini, pengelola dan warga IKIP nampak tidak dapat meningkatkan posisi dan prestasi sebagai sebuah lembaga penting, sebagai satu-satunya lembaga penghasil guru. Karut marut keadaannya tidak dihadapi dengan serius. Alih-alih melakukan pembenahan yang mampu meningkatkan harkatnya, IKIP justru menghendaki diri berkonversi menjadi universitas. Rupanya ada
hasrat yang mulai curi-curi lahir dari pemikiran warga IKIP. Mereka ingin bermetamorfosa, meninggalkan kehidupan sebagai IKIP dan segera menyambut diri yang baru, sebagai universitas. Salah satu mantan Rektor IKIP Jakarta Conny Semiawan mengatakan, sebelum konversi datang bala bantuan dana dari Bank Dunia kepada IKIP untuk mengembangkan ilmu pendidikan. Sayangnya, pengembangan tersebut diterjemahkan untuk mengonversi IKIP menjadi universitas kemudian membuka jurusan-jurusan di luar kependidikan. Sehingga nampak fokusnya adalah penciptaan pasar. Dari segi antusiasme masyarakat, imbasnya memang signifikan, universitas eks-IKIP, termasuk Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berhasil menggaet ribuan mahasiswa. Namun, lebih dari satu dekade berlalu sejak konversi tersebut, universitas eks-IKIP nampak tetap tidak mampu memenuhi harapan masyarakat. Kualitas lembaga dan lulusannya kian hari kian dipertanyakan. Terutama dalam hal terkait pendidikan dan tenaga guru profesional. Saking tidak percayanya, birokrasi yang semestinya memfasilitasi perkembangan universitas eks-IKIP pun enggan menoleh. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menge-
13
luarkan Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) pada 2005. Profesionalitas guru dirumuskan secara baku, dan perihal menghasilkan guru tidak lagi jadi hak tunggal universitas eksIKIP. Siapapun boleh menjadi guru, asal mengikuti program pendidikan profesi yang disiapkan pemerintah. Dalam keadaan ini, universitas eks-IKIP yang masih mengakui diri sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merasa punya hak sejarah atas penyelenggaraan pendidikan guru. Meminjam istilah mantan Rektor IKIP Jakarta Winarno Surakhmad ini merupakan titik dimana sekali lagi mereka mesti bermetamorfosa menjadi LPTK pasca-UUGD. LPTK pasca-UUGD inilah yang kemudian mesti dirumus, sebab momen ini potensial untuk menjadi titik balik perbaikan diri. Asumsi bahwa LPTK tanpa perubahan bisa menghasilkan guru-guru yang diharapkan masyarakat sudah terbukti gagal. Maka merumus LPTK yang baru menjadi penting, untuk menetapkan hakikat LPTK yang dibutuhkan. Beberapa tahun berjalan sejak kelahiran UUGD, LPTK mulai merumus identitas. Dengan menjadi lembaga penyelenggara program-program terkait dengan penciptaan guru profesional. Seperti Sertifikasi Guru dan
Suara Pemuda
Pendidikan Profesi Guru (PPG). Perubahan dalam komposisi mata kuliah pun dilaksanakan. Tidak ada lagi pelatihan mengajar bagi mahasiswa LPTK, mata kuliah Program Pengalaman Lapangan (PPL) ditiadakan. Model pendidikan kebersatuan antara ilmu pedagogis dan keilmuan ditinggalkan, berganti pada model pendidikan guru berkelanjutan. Namun, rumusan LPTK pasca-UUGD nampaknya tidak bisa sesederhana dan terbatas pada perubahan format dan perubahan program. Dibutuhkan perubahan visi, orientasi, konsepsi, dan strategi. Hal tersebut hanya akan dicapai dengan membuat rumusan internal yang mendasar dan menyeluruh. Ini berarti kita mesti bekerja keras untuk membongkar tradisi yang selama ini terlembagakan. Di usianya yang ke 49 semestinya UNJ sudah bisa menunjukkan determinasi untuk merumuskan falsafah atau visi yang jelas. Sehingga tidak menjadi lembaga teknis administratif yang kerjanya hanya melaksanakan kebijakan pemerintah, yang bahkan tidak berpihak pada dirinya.
Kurnia Yunita Rahayu
16 Mei, Melawan Lupa! Bagi banyak orang, tentu tabu mengenal 16 Mei sebagai sebuah hari kelahiran salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Masalahnya bukan karena tidak adanya informasi serta sosialisasi. Kalau, setiap tahunnya Universitas Negeri Jakarta (UNJ), selalu merayakan 16 Mei dengan mengadakan acara Dies Natalies. Di mana momen tersebut penuh dengan agenda kegiatan. Layaknya sebuah acara perayaan kelahiran, yang mesti mempunyai nafas harapan. Begitupun dengan UNJ. Tiap perayaan Dies Natalies yang selalu digagas pada tanggal 16 Mei ini, pasti mempunyai muatan nafas harapan. Inilah yang menjadi tujuan sejak pertama kali pada 16 Mei 1964. Menandakan kelahiran sebuah Institusi Keguruan Ilmu Kependidikan (IKIP) Jakarta, yang diharapkan mampu mengisi cita-cita kemerdekaan. Dengan maksud membangun bangsa melalui pendidikan nasional. Yaitu melalui proses mencetak guru-guru Indonesia guna mewujudkan maksud tersebut. Bukan maksud mempersoalkan tanggal, entah mengapa 16 Mei sering dirayakan UNJ sebagai hari lahirnya. Merujuk pada
tanggal 4 Agustus 1999, ditetapkan perubahan IKIP menjadi universitas. Hal ini terekam dalam KEPRES RI No. 93/1999. Yang bukan hanya menandakan konversi IKIP ke universitas terjadi di Jakarta saja, tetapi juga di Yogyakarta, Surabaya, Malang, Padang, dan Ujung Pandang (Makassar). Sejak itulah, pertanyaan yang timbul kemudian. Masihkan perayaan kelahiran UNJ, mempunyai nafas harapan yang sama sesuai tujuan di mana IKIP Jakarta dilahirkan. Paling tidak, sesuai amanat konstitusi, membuka akses yang seluasnya untuk masyarakat Indonesia mengenyam pendidikan. Serta, melalui IKIP, mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan membangun sumber daya guru, agar proses memanusiakan manusia mewujud di Indonesia. Catatan-Catatan Hitam Agar tidak lupa, nampaknya kita mesti melihat perayaan Dies Natalies tahun 2002. Majalah Didaktika edisi 24, merekam sebuah pesan yang dikirim oleh mahasiswa ekonomi angkatan 2000 Dini. Di mana dalam pesan tersebut, dia mewakili segenap keresahan mahasiswa UNJ yang
14
Suara Pemuda
ada pada saat itu. Keberatan dengan rencana kebijakan rektorat menaikan uang SPP. Hal itu bermula ketika perayaan Dies Natalies UNJ 16 Mei 2002 yang digelar di halaman perpustakaan UNJ. Salah satu orang tua mahasiswa maju ke depan, dan berkata kepada seluruh sivitas akademika yang hadir pada saat itu. Menyatakan keberatan dengan biaya kuliah UNJ yang mahal. Dia menyesalkan keberadaan UNJ, notabene sebagai kampus negeri. Seharusnya memberikan pendidikan murah dan baik, bukan mahal tapi tidak baik. Di mana hal ini terjadi ketika harapan rektor waktu itu menginginkan warga kampus UNJ berbasis Information Technology (IT). Syahdan, harapan itu mesti ditunjang uang yang tidak murah. Pada akhirnya, melalui orang tua mahasiswa tadi, banyak mahasiswa yang juga keberatan dengan kenaikan SPP pada waktu itu. Peristiwa 16 Mei 2002 itulah kemudian menjadi pertanda di mana keberpihakan UNJ dalam mewujud tujuan pendidikan nasional. Menjadi sebuah usaha yang gagal dari salah satu orang
tua mahasiswa, pada tahun 2003 UNJ malah menaikan biaya pendidikan melalui DPPS. Masa-masa setelah itu, UNJ bukan malah memperlebar akses rakyat terhadap pendidikan. Sebaliknya, menutup akses rakyat miskin dengan membuka jalur mandiri. Yang pada kenyataannya, jumlah biaya pendidikan yang mesti ditanggung mahasiswanya lebih besar daripada mahasiswa jalur reguler. Perlahan, tahun-tahun ketika dibukanya jalur mandiri. Bukannya biaya pendidikan menjadi semakin murah, jalur reguler pun mesti merasakan hal yang sama dengan mandiri. Kenaikan biaya pendidikan terus dilakukan, meskipun tidak memakai nama SPP. Melainkan pos-pos lain macam DPPS, yang bisa dijadikan dalih agar rakyat mesti menanggung biaya pelaksanaan pendidikan. Sampai memasuki tahuntahun di mana UNJ memiliki nama kedua rektornya. Setelah Bedjo Sujanto terpilih menjadi rektor UNJ menggantikan Sutjipto. UNJ, memiliki gaung semangat pembangunan fisik. Dengan harapan memiliki fasilitas akademik yang bagus dan menunjang. Alhasil, semangat ini mesti diiringi dengan kekhawatiran akan biaya pendidikan yang pasti bakal mengalami kenaikan. Dan nyatalah, kenaikan
15
biaya pendidikan terjadi pada masa Bedjo Sujanto. Di mana pospos diluar SPP, biayanya mengalami pembengkakan. Berujung pada peristiwa tahun 2011, ketika biaya pendidikan di UNJ. Baik jalur reguler maupun mandiri mengalami kenaikan rata-rata sebesar 40 persen. Syahdan, peristiwa ini kemudian melahirkan penderitaan. Bagi 217 mahasiswa baru UNJ tahun 2011, mengundurkan diri akibat tidak mampu membayar uang semester awal. Tentunya, kenaikan biaya pendidikan yang terus terjadi ketika bernama UNJ. Bermula dari perluasan mandat ketika menyandang nama universitas. Di mana UNJ diberi kuasa membuka jurusanjurusan non kependidikan. Syahdan, jurusan baru non kependidikan pun banyak lahir. Inilah yang menjadi pemicu kenaikan biaya pendidikan. Di tambah dengan semangat pelepasan tanggung jawab negara terhadap pelaksanaan pendidikan. Melalui praktek liberalisasi, privatisasi, serta komersialisasi pendidikan yang marak dilakukan institusi-institusi pendidikan di Indonesia, bukan hanya UNJ. Akhirnya, banyak rakyat kita tidak bisa mengakses pendidikan, terlebih pendidikan tinggi. Mempertanyakan Kelahiran UNJ
Perayaan
Artinya, kelahiran UNJ pun mesti dipertanyakan ulang. Ke-
Suara Pemuda
tika pada kenyataannya UNJ tidak mampu menjalankan amanat konstitusi yang merangkum tujuan pendidikan nasional. Di mana pendidikan merupakan hak semua rakyat Indonesia. Dan pendidikan Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika akses pendidikan itu tidak mencipta keadilan sosial. Bagaimana mungkin, UNJ mampu menggagas dan mempraksiskan wujud mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang bisa dilihat pada apa yang terjadi hari ini. Di mana tingkat kemiskinan, pengangguran, dan kejahatan masih tinggi di Indonesia. Tentu, ketabuan rakyat terhadap tanggal 16 Mei yang kini dikenal sebagai perayaan hari kelahiran UNJ semakin menjadi. Apa pentingnya tanggal dan perayaan 16 Mei bagi rakyat Indonesia. Jika mereka masih menganggap bahwa pendidikan merupakan mimpi, yang mesti direngkuh dengan biaya mahal. Lantas untuk apa kemudian makna kelahiran UNJ. Kalau kondisi pendidikannya tidak mampu menjamin kecerdasan bangsanya. Ketika masih banyak rakyat miskin ditindas akibat ketimpangan sosial yang semakin menjadi. Masihkah kita mau mengenal 16 Mei sebagai kelahiran dari perguruan tinggi yang menutup akses rakyatnya terhadap pendidikan?
Satriono Priyo Utomo
Memimpikan Pendidik yang Jujur
Kejujuran merupakan suatu sifat yang menjadi dasar ukuran kepercayaan manusia terhadap sesamanya. Kejujuran mempunyai nilai tersendiri sesuai dengan profesinya. Kejujuran adalah kunci kehormatan bagi para pejabat pemerintahan dimata rakyat dan bawahannya. Kejujuran adalah kunci kesaksian bagi para hakim untuk menetapkan keputusan peradilan. Adapun untuk para pedagang, kejujuran adalah kunci keberkahan. Semua kita tentunya mencita-citakan Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter jujur
yang belakangan ini sering digunjingkan. Namun, sampai saat ini nilai kejujuran bagaikan bayangan semu bagi bangsa ini. Bagaimana tidak, hari ini kita menyaksikan kasus pidana korupsi mengakar dari pemerintahan pusat hingga ke daerah, bahkan sampai tingkat desa. Seakan tak mau kalah, dunia pendidikan pun turut dan larut dalam lingkar hantu korupsi. Teringat ucapan Amien Rais bahwa “Hanya orang yang belum punya kesempatanlah yang belum korupsi�. Rasanya kita tak ingin bangsa ini dilabelkan sebagai bangsa yang tak jujur.
16
Suara Pemuda
Berbicara kejujuran tidak lepas dari bicara pendidikan, karena pendidikan yang harusnya mengajarkan tentang nilai-nilai kejujuran. Pendidikan yang dikelola birokrat kotor, akan sangat membahayakan bagi pembangunan mental dan karakter bangsa. Sulit rasanya mengajarkan kebaikan pada peserta didik jika para birokrat pendidikan justru memanfaatkan dana pendidikan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan kasus ko-
rupsi di bidang pendidikan Indonesia telah merugikan negara hingga Rp139 miliar, lebih lanjut ICW menyatakan sepanjang 2012 sudah ada dugaan 40 kasus. Kasus korupsi ditemukan di semua level pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi. Pelakunya, mulai dari dinas pendidikan daerah hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut laporan terbaru ICW, sekitar sepertiga anggaran pendidikan negara diselewengkan khususnya untuk proyek pengadaan barang dan jasa. Tak terkecuali di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada 2011, Mahkamah Agung telah menetepakan Pembantu Rektor (PR) III Fakhruddin Arbach dan dosen Tekhnik Sipil, Tri Mulyono ditetapkan sebagai tersangka kasus mark-up angaran pengadaan barang labolaturium. Kasus ini mencuat seiring ditetapkannya Nazarudddin sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tender pengadaan alat labolaturium di 16 Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kasus ini sempat tidak ditindak lanjuti selama setahun oleh pengadilan. Baru pada awal tahun 2013, pengadilan menggelar persidangan perdana. Selama beberapa kali persidangan, kasus ini juga meyeret nama-nama baru sep-
17
erti Pembantu Dekan (PD) I Fakultas Ekonomi, Dedi Purwana bahkan nama Rektor UNJ, Bedjo Sujanto disinyalir ikut terlibat kasus ini. Meminjam istilah Ki Hajar Dewantara yang terkenal dan sering terlupakan “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Semboyan tersebut mempunyai arti mendalam. Bagaimana tidak, jika semua elemen pendidikan mampu memposisikan diri menjadi posisi terdepan dalam menjadi teladan yang postif, yang ditengah mampu menciptakan peluang untuk berprakarsa. Kemudian yang dibelakang memberikan dorongan yang positif. Jika ketiga ini bisa bersatu padu tentunya akan menghasilkan karakter postif dan membentuk sebuah peradaban pendidikan yang bersinergi. Inilah bagian dari refleksi kita menyongsong Dies Natalies UNJ ke - 49. Pendidik yang baik adalah mereka yang berkata benar dan berperilaku benar. Ironisnya, pendidik di negeri ini, banyak yang benar perkataannya namun penyimpang tingkah lakunya. Rasanya malu dan memalukan, ketika kita menyaksikan melalui media para pendidik negeri ini, yang selalu mengajarkan moralitas kejujuran namun penuh dusta
Suara Pemuda
dan nista. Dusta melalui korupsi dan nista dengan menodai kehormatan anak didiknya sendiri. Terlebih, UNJ merupakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang notabene kampus pencetak guru. Dimana guru merupakan pilar utama dalam runtuh dan majunya sebuah bangsa. Lantas, bagaimana menciptakan guru yang jujur jika kampus pencetak gurunya korup. Pepatah bijak memberi hikmah bahwa “guru yang kencing berdiri maka akan melahirkan murid yang akan kencing berlari”. Murid yang dihasilkan dari mental-mental koruptor maka hanya akan melahirkan generasi dengan mental yang lebih parah dari gurunya. Membangun sebuah peradaban bangsa yang baik dan kuat, bukanlah sebuah pekerjaan sederhana. Peradaban suatu bangsa terkait erat dengan karakter positif hasil pendidikan suatu bangsa, terutama guru. Rasanya naïf, kita memimpikan pemimpin masa depan negeri ini yang jujur dan berkarakter dari sebuah proses pendidikan kalau pendidiknya sendiri hanya sebatas retorika.
Virdika Rizky Utama
Senda Gurau Udara segar pagi menghunus hingga ke tulang belulang. Dias bersama teman-temannya tengah asik bersendau gurau di pendopo. Petikan gitar menghiasi sendau gurau para mahasiswa itu. Mereka bernyanyinyanyi. Meunggu dosen tiba. “Na….na…na…. Lalu aku kapan di wisuda. Adik kelas sudah lebih dulu. Dosen sentimeeen,” Andre bernyanyi sambil memetikan gitar. Di sebelah andre, ada Joni dan Jono yang sedang pusing berfikir bagaimana caranya agar bisa memakan raja.” Skaaak,” Joni berteriak.
itu, dia sangat kecewa ketika dosen tidak masuk. Andre terus bernyanyi-nyanyi ria. “ Salah sendiri, kenapa menjadi dosen. Harus mengajar. Harus mengabsen. Hu…hu..huu.” ***** Segerobolan mahasiswa itu masih terus bersendau gurau. Andre idak bosan-bosannya bernyan. Dias masih asik membolak-balik halaman buku. Dia melihat air muka Sani yang terheran melihat. Mungkin dia heran karna Dias tidak ikut bersendau gurau bersama teman-teman yang lain.
Tiba-tiba Sani, wanita cantik jelita datang menghampiri. Rambutnya yang lurus teruarai dan giginya yang gingsul, menambah kesan manis pada aura wajahnya.
“ Hey Diaas, ga ikut bersendau gurau?” Sani mendadak bertanya.
”Dosennya ga masuk hari ini teman-temaaan,” Sani berucap dengan air muka senyuman.
“ Tapi wajahmu seperti ada sesuatu yang dipikirkan.”
Andrei yang sedang asik bermain gitar, setelah mendengar itu, keningnya langsung berkerut. “ Yaaaaaah betein niiih dosen. Hampir nabrak orang tadi gue di jalan gara-gara buru-buru biar gak telat, eh, dosennya malah ga masuk!” Andre mengeluh. Sesaat kemudian dia membakar sebatang rokok, bermaksud untuk melampiaskan kekesalannya. “ Terus ada tugas tidak?” Dias menghela bertanya. “ Tidak ada, Dias.” “ Sip San, makasih infonya.” Joni dan Jono masih asik dengan permainannya. Mereka berdua tidak begitu mempermasalahkan apakah dosennya masuk atau tidak. Karena bagi mereka yang terpenting dari kuliah itu hanyalah absen saja. Absen penuh, nilai B sudah dalam genggaman, pikir mereka. Berbeda dengan Andre soal mengkonsepkan kuliah. Bagi andre, kuliah merupakan tempat proses pengembangan diri dan aktualisasi diri. Oleh sebab
18
Suara Pemuda
“ Oh..engga lagi asik baca buku nih.”
“ Ya nih San gue sedang memikirkan sesuatu.” Belakangan ini, Dias sedang banyak pikiran. Dia memikirkan adiknya yang tahun ini akan masuk ke Perguruan Tinggi. Adiknya begitu kekeh ingin masuk perguruan Tinggi yang sama seperti Dias ini. Akan tetapi Dias sebenernya tidak setuju bila adiknya ingin masuk perguruan tinggi yang sama. Bukan tanpa alasan. Baru dua tahun saja kuliah, Dias sudah mulai jenuh. Kejenuhan menghinggapi dikarenakan dosen yang membosankan, sehingga membuat dirinya menjadi tidak betah berlama-lama dikelas. Selain itu, belakangan ini beberapa para pejabat dikampusnya terlibat permasalahan dalam makan-memakan uang haram. **** “ Kampusku semakin hari semakin bobrok. Bobrok bagaikan kursi tua!” Andre bernyanyi. Teman-temannya tercengang mendengar lantunan lagu Andre.
“ Lagu apaan tuh ndre?” Joni dengan wajah herannya.
“Sedang berdoa semoga bisa masuk perguruan Tinggi seperti Kakak.”
“ Iseng-iseng aja. Namanya juga lagi bersendau gurau.” Andre bergurau.
“Kenapa kamu ingin masuk perguruan tinggi seperti kakak?”
Kesejukan pagi itu, membuat otak mereka fresh dalam berpikir. “ Huh, mahal-mahal bayar pajak, tapi unjungujungnya di korupsi.” Joni menanggapi lantunan lagu Andre. “ Dan percuma juga kita bayar mahal-mahal, toh, dosennya juga tidak asik.” “ ha..ha…ha… waah bener juga lu ndre,” celoteh Joni sambil mengakhiri permainan caturnya dengan Jono. “Skakmat Jon.” Joni dan Jono pun ikut bergabung dengan Dias, Rani, dan Andre. Sendau gurau pun bertambah kegurauannya “Kalau aku boleh berkhayal, aku mendingan pindah ke kampus lain deh.” Jono berceletuk, dan diikuti dengan gegap gempita tawa teman-temannya. **** Jam kedua perkuliahan dimulai. Joni dan Jono bergegas masuk ke kelas. “ Dias, mau masuk kelas ga?” Sani bertanya sembari melangkahkan kakinya. “ Enggak ah, lagi males nih.” Akhirnya tinggal Dias seorang diri tertinggal di pendopo. Daun-daun saling bergesakan membentuk irama yang mendayu. Aspal jalanan menguapkan diri seakan mencari oksigen. Sejurus kemudain Dias merebahkan badannya. Matanya bergerak ke kanan-kiri. Otaknya masih memikirkan adiknya. Otaknya seolaholah sedang berdiaog dengan adiknya. “Hei dik, sedang apa kau?”
19
Suara Pemuda
“Aku ingin menjadi guru, kak.” “Guru? Padahal Kampus kakak kan sudah mulai luntur kultur keguruannya. Kulturnya lebih mirip Event Organizer.” Dooooorrrr…. Joni dan Jono mengagetkan Dias. “Kalian kok sudah keluar kelas?” “Dosennya hanya menerangkan sebentar saja tadi. Itu pun kurang jelas.” Sendau gurau pun dilanjukan dengan bernyanyinyanyi lagi. Kali ini hanya Andre saja yang bernyanyi. Sementara Dias, Jono dan Joni saling berbicara. Tidak lama mereka bertiga berbicara. Jono dan Joni kembali berman catur. “Salah sendiri kenapa jadi mahasiswa, harus diajar, harus diabsen.” Andre memekikan suara merdunya. Tiba-tiba Andre berhenti bernyanyi. Matanya tertuju pada sebuah spanduk kecil yang bertuliskan “Dies Natalis”. Di bawah tulisan dies natalis tertulis “Membangun Karakter Bangsa Berwawasan Multikultural”. “Bro..kampus kita sebentar lagi ulang tahun. Kita mesti ucapkan selamat. Selamat!” “Selamat atas hilangnya kultur LPTK-nya.” Celoteh Jono yang ditanggapi dengan wajah sinisnya Joni. “Selamat! Semoga para lulusannya tidak linglung mau jadi apa.” Andre menyambar. “Kalo gue, tidak muluk-muluk. Semoga kampus kita bebas dari praktik makan-memakan uang haram!”
Yogo Harsaid
Kami bersumpah, kebenaran tidak akan berhenti meski di akhir halaman.
20
Suara Pemuda