IDHUM - Buletin Sastra Sesasi FBS Unesa

Page 1

Buatku Gandrung pada Sastra dan Seni

Edisi Mei 2016

Adiksi Literasi

Opini

Menyatukan Bahasa dan Seni Sebagai Identitas Mahasiswa FBS

Kumpulan Puisi Meme Zhēn'à i Wacanen aku Sajak Burung hantu

Budaya Literasi

Karya Grafis Membacalah!


Struktur & Editorial

Struktur Pelindung Utama :

Editorial

Tuhan YME Pemimpin Umum : S. Haryani C. Pemimpin Redaksi: Arif Wicaksono Sekretaris: Listya Ratnaningtyas

Idhum adalah buletin sastra terbitan pers mahasiswa Sesasi yang mewadahi segala karya mahasiswa FBS dalam lingkup sastra dan seni. Identitasa Idhum diharapkan mampu membawa kesejukan dalam membangun peradaban manusia.

Bendahara: Ervinna Indah Cahyani Layout: Arif Wicaksono, Mufa Rizal Ilustrator: Arif Wicaksono GraďŹ s: Arif Wicaksono Penyelia : S. Haryani C. Distributor: Merry Prasetyaning Iklan: S. Haryani C. Produksi: Merry Prasetyaning

Adiksi literasi adalah tema yang diusung pada kelahiran pertama buletin Idhum. Pembaca akan ketagihan mengkonsumsi literasi, baik membaca, menulis maupun memehami makna literasi itu sendiri Merupakan cita-cita bersama, yakni menerima karya-karya mahasisiwa FBS untuk dipublikasikan pada buletin Idhum dan terbitan Sesasi lainnya. Hal ini juga akan memacu dan selalu mendukung budaya berkarya mahasiswa FBS. Keberagaman akan menciptakan keserasian yang indah untuk saling melengkapi kekurangan. Pada terbitan Idhum kali ini, kami mencoba memadukan segala karakteristiknya. Selamat menikmati Idhum.... TIM SESASI

Buletin Sastra Sesasi

ii


Daftar Isi

Daftar Isi Cover i Editorial ii Daftar isi 1 Puisi 2—4 Cerpen 5—10 Opini 11—12 Meme 13 Gra is 14

Buletin Sastra Sesasi

1


Puisi

Zhēn'ài* yīng yīng tiānshàng zhuì mǎnle niǎo niǎo guòlái wǒ bùnéng fàng zìjǐ niǎo fēi zhǎo jiān yīn zhǎo zhēn'ài niǎo lìjí ting zhǎodàole zhēn'ài Burung – burung selalu terbang menghiasi langit. Bukan karena ia tak punya rumah, tapi ia menunggu seja sebagai rumah abadinya. *PUW (mahasisiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Mandarin)

Buletin Sastra Sesasi

2


Puisi

Sajak Burung Hantu Burung hantu tiba tiba terjaga hingga pagi semboyan manusia kini terpelihara sepanjang masa. Entah, berapa liter asupan gizi yang mampu dicernanya efeknya jadi begitu. Menakutkan! Semua yang ada di depannya ditelan lahap. Kini, radikalisme layaknya debu; selalu ada, meski wujudnya kadang tak terlihat langsung, selalu meninggalkan bekas. Berliter-liter yang dilahab, mendebu suatu saat, lalu terbang, menjelajah dan menjajah bangsa lain atau mendekap malas, tak ingin beranjak ketempat lain. seutuhnya, mereka butuh lentera yang sama dengannya. Agar programnya meneguk berliter-liter asupan itu tak memabukkannya pada kesakitan. Lentera yang sama, namun tak serupa. Hanya tertaut oleh usia juga empiris. Seberapa banyak liter asupan yang berhasil ditenggak, perlu jelmaannya 'tuk netralisisasi keadaan. Pada pagi yang akan berangkat menuju siang. Burung hantu berpesan, "Dunia butuh guru� *S. Haryani C. (mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia)

Buletin Sastra Sesasi

3


Puisi

Wacanen aku! Katutup, kasimpen, kalalen, apa ya ngono caramu ngrumat aku? yen wis ala banjur kokloakna apa malah kokguwak aku dudu klambi yen wis ala banjur ra dienggo masiya aku dudu gadget, aku dudu sing adol swara, kadhang kala, aku mung isa digambar ing penggalihmu, jembare kawruhku pindha segara jare aku kuwi cendhelane ngelmu apa ora pengin duwe kewasisan? mula, wacanen aku! Aja koktutup nganti koklalekake!!?

* Ervinna Indah Cahyani (mahasiswa Jurusan Bahasa Jawa

Buletin Sastra Sesasi

4


Cerpen

Ilustrasi : Arie R. M.

Api Ibrahim “Orang-orang pun membawa Ibrahim ke alun-alun atas perintah raja. Ia diikat di tiang gantung bersama tumpukan kayu yang siap dibakar.” ucap Bunda. Aku mendengar kisah itu sambil bergidik, membayangkan kejadian itu menimpa orang lain. Sungguh biadab penguasa jaman dahulu menghukum salah satu dari lima nabi yang masuk golongan Ulul Azmi. “Lalu bun?” tanyaku penasaran. “Allah menyuruh api menjadi dingin seperti es, agar Ibrahim merasakan kesejukan.” Buletin Sastra Sesasi

5


Cerpen

Cerita malam ini mengingatkan kuperistiwa setahun yang lalu. Tatkala musibah yang tak kami harapkan, melahap bangunan, rumah serta harta-benda. Para lelaki sibuk memadamkan berbekal ember berisi air. Ibu-ibu berlarian sambil menggendong bayi menjauh dari kebakaran. Si jago merah menjilat dengan liarnya bagai amukan badai yang tak dapat dibendung. Mobil pemadam baru tiba beberapa jam setelah dua-tiga rumah ludes. Medan yang sempit dan sukar ditembus, membuat petugas kewalahan mencari sumber air. Api baru dapat dijinakkan dua jam kemudian. Warga yang kehilangan tempat tinggal sebagian memilih pulang kampung. aku selamat, salah satu petugas menolong dengan cekatan, namun kedua orang tuaku terjebak. Ayah sebenarnya bisa selamat setelah mengeluarkanku dari rumah, tapi ia kembali ke dalam untuk mencari Ibu. Aku meraung sejadi-jadinya ingin menyusul mereka namun dicegah tetangga. Air mata merembes turun, melihat dua orang manusia itu hangus sambil bepelukan. *** Anak kecil berlarian riang gembira seolah tak punya beban hidup yang mendera. Mereka menyanyi dengan suka cita, bermain sambil melagukan tembang dolanan. Di halaman, depan kamar, aku duduk menyendiri memperhatikan sekeliling. Panti asuhan Sumber Asih. Bangunannya telah uzur dengan gaya kolonial, di tengah ada sebuah kolam ikan sering dikerubuti anak-anak. Bu Kusuma, Ibu Panti kami ingin sekali merenovasi gedung namun dana belum cukup memadai. Sumbangan dari donatur hanya mampu mencukupi sandang pangan semata. Wanita berkerudung merah muda itu bersabar dan mencari bantuan dari pihak lain. Ia menerima pesanan menjahit baju guna biaya operasional panti. “Ibrahim!� teriaknya dari lorong. “Kenapa kamu tidak bergabung dengan teman-temanmu?� Aku hanya menggeleng. Buletin Sastra Sesasi

6


Cerpen

“Aku rindu Ayah-Ibu, Bunda.” ucapku lirih. Ia mengelus rambut dan memelukku erat bagai anaknya sendiri. Salah satu alasannya mendirikan tempat ini adalah cintanya pada anak-anak. Melihat para malaikat kecil yang terlantar bahagia, entah itu hasil hubungan gelap maupun tak diinginkan. Sudah mengobati luka yang wanita itu derita sekian lama. Suaminya menceraikan Bu Kusuma setelah dokter memvonis ia tak bisa mengandung. Mengingat ihwal itu kerap matanya yang indah nan bulat basah. “Bunda sedih?” segera dihapusnya tangisan dengan punggung tangan. “Tidak.” *** Namanya Jessica, gadis berwajah oriental dengan mata sipit jua senyuman manis. rambut pendek bergaya boob, memakai setelan blazer dipadu rok selutut. Sepatu berhaknya berbunyi saat menginjak lantai kayu. Ia gemar berdoa di tempat ibadah demi berkomunikasi dengan Tuhan. Kami sepakat bertemu di café dekat dengan sebuah gereja terkenal di kota ini. Aku memesan capucinno dengan racikan tertentu agar lambungku tidak perih. Kupesankan wanita itu ice tea bersama kentang goreng. Kuarahkan pandangan ke arah jalan seolah ingin lari dari kenyataan. Seorang bocah laki-laki tengah menawarkan koran pada mobil-mobil mewah yang berhenti karena lampu merah. Aku sedikit mengucap hamdalah, meski sebatang kara, panti serta Bu Kusuma membebaskanku dari kesepian juga penderitaan hidup. Sudah sepuluh tahun, semenjak aku meninggalkan panti untuk kuliah. Mungkin Bu Kusuma mengisi hari tua di atas kursi roda didorong suster atau merajut di beranda panti. Jessica datang dengan wajah kusut persis uang dua ribuan dalam dompet. Ia duduk berhadapan denganku matanya menatap ke bawah, hatiku gundah dibuatnya. “Ayah-Ibu menjodohkanku, Ibrahim.” “Aku turut senang mendengarnya.” ucapku sambil terbata. “Bagaimana dengan kita?” Buletin Sastra Sesasi

7


Cerpen

“Kita?” *** Hujan turun dengan lebat mengguyur Surabaya, jalanan tergenang banjir hingga lutut orang dewasa. Motor harus dituntun melewati air yang merendam sampi pertokoan. Beberapa orang tak sabar menghadapi musibah, meninggalkan kendaraan mereka di tepi jalan. Yang perutnya keroncongan mampir ke warung kaki lima. Yang ingat kewajiban sebagai muslim pergi ke masjid. Yang tak punya pasangan tentu single! Aku duduk di halte, berharap langit segera baikan dan tak menangis kembali. Banyak orang sepertiku bernaung dari berondongan rinai hujan. Karyawan, PNS, murid SMA. guru, polisi, tentara juga pengacara—pengangguran banyak acara. Pandanganku sejenak teralih oleh sepasang mata lentik nan memukau. Pemiliknya menggerai rambutnya sampai punggung, rok selutut, gaun merah dan selop hitam. Ia mengenakan riasan tebal yang agak membuatku risih, sesungguhnya aku mengagumi kecantikan yang alami bukan buatan manusia. Wanita itu kelihatan gelisah, seolah menanti seseorang menjemputnya. Mataku benar-benar nakal tak menuruti hati kecil, ia melihat kalung salib yang tergantung di antara dua 'gunung kembar'. Kuucap istighfar berulang kali agar tak berpikir macam-macam. “Mas Ibrahim?” sapanya ragu-ragu. “Iya?” aku merasa canggung disapa duluan olehnya. “Mbak siapa ya, kok tahu nama saya?” “Saya Jessica.” sembari mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Kusambut hangat uluran itu, telapak Jessica halus bak kayu baru diamplas. “Saya sering membaca tulisan Mas di surat kabar lokal maupun nasional, terutama cerpen. Bagus, keratif, ideologis dan mendobrak. Mengkritik.” Buletin Sastra Sesasi

8


Cerpen

Dipuji seperti itu, aku tak bisa menutupi wajah yang berubah menjadi merah jambu. “Terima kasih.” Ia mengeluarkan sesuatu dari tas cangklong, sebuah antologi cerpen berjudul Kota Mati. Wanita itu meminta tanda tangan. “Enak ya jadi penulis? Dari dulu aku bermimpi punya buku sendiri dan mengadakan bedah buku. Bertemu banyak penulis atau penyair.” “Hm. Belum termasuk diremehkan masyarakat karena dianggap kere dan pekerjaan orang malas.” *** Sejak dikejar sekumpulan orang suruhan pejabat. Aku gemar berpindah tempat tinggal bagai kucing garong doyan kawin. Tak jarang daerah terpencil minim penduduk kuziarahi, agar tak diciduk. Cepat atau lambat tulisanku di surat kabar atau novel bakal tercium hidung antek-antek mereka. Padahal apa yang aku lakukan hanya membongkar kebobrokan oknum yang menilap uang negara dan mengeruk alam. Orangorang itu menyebar sketsa wajahku dan menempelnya di tiang listrik. Bahkan, surat kabar maupun media elektonik memampang rupaku yang tampan kata Ibuku. Aku tak ambil pusing jadi buronan penguasa korup, bukankah ini bukan yang pertama terjadi di negeri ini? Mereka yang melawan akan lenyap sekejap dan berakhir dibuang di sungai. Mungkin, anak kecil akan menganggapku sebagai Batman atau Superman yang memberantas kejahatan. Nyatanya, aku hanya manusia biasa yang mirip Adipati Karna dalam cerita pewayangan.Aku hanya ingin seperti pendahuluku yang berbakti pada orang tua.Sederhana. Meski Ayah adalah pematung dan patung-patung buatannya disembah bagai Tuhan oleh raja juga kaum di masa itu. ***

Polisi berhasil menemukanku, mereka berteriak lantang dengan speaker di tangan.Memintaku menyerah dan keluar dengan tangan di atas. Buletin Sastra Sesasi

9


Cerpen

Namun, tanpa sepengetahuan mereka aku telah hilang melayang ke atas langit mirip Isa.Tuhan menurunkanku di sebuah bangunan tua tak terurus.Bangunan yang mengingatkanku dengan Ibu Panti.Aku mengambil air wudhu dan menunaikan salat Isya.Lalu tidur di Kasur. Naas nasibku, seorang warga melihatku dan memprovokasi orang-orang untuk mengepung bangunan. Sekumpulan orang marah, kau tahu, takkan mempunyai akal sehat untuk menyelesaikan perkara, cenderung mengikuti nafus.Tak terkejut aku, mereka menyirami sekeliling rumah dengan bensin.Mendengar keributan itu aku terbangun sendiri. Namun, semuanya terlambat api merembet dan memakan apa saja. Hanya satu yang kusesali buku-buku yang kukarang ikut musnah.Aku hanya bisa berharap Tuhan menolongku untuk kedua kalinya..

*Mufa Rizal Cerpen pernah dimuat pada Radar Mojokerto Edisi Minggu, 19 Juni 2016

Buletin Sastra Sesasi 10


Opini

MENYATUKAN BAHASA DAN SENI SEBAGAI IDENTITAS MAHASISWA FBS Sebagai penyandang status mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), bisakah kita menyebutkan berapa banyak bahasa yang kita kuasai dan berapa banyak seni yang telah kita pelajari? Sungguh miris jika jawabannya hanya satu yang dapat dikuasai. Mahasiswa jurusan Bahasa Inggris hanya fasih berbahasa Inggris, hanya mahasiswa jurusan Bahasa Indonesialah yang mampu berbahasa secara baik dan benar, dan begitu pula dengan jurusan lain. Bukankah program Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) selalu digembor-gemborkan jumlah kita adalah satu, yakni FBS Unesa? Apakah paham tersebut hanya muncul saat PKKMB saja? Lalu dilupakan seusai program? Sangat sedih melihat kenyataan berjalan seperti itu. Pekerjaan kita adalah mahasiswa, maka sudah saatnya menguasai berbagai disiplin ilmu. Kita harus memahami jati diri mahasiswa FBS. Setidak-tidaknyakita harus menguasai dua disiplin ilmu, yakni bahasa dan seni. Fakultas kita sangat kaya dengan bahasa dan/atau sastranya, yakni bahasa dan sastra Indonesia, Inggris, Jawa, Jepang, Jerman, dan Mandarin. Selain itu, kita juga memiliki banyak kesenian yang berasal dari jurusan Sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik) dan SRDG (Seni Rupa dan Desain GraďŹ s). Mudah sekali belajar ilmu-ilmu tersebut, jika kita pandai mencari informasi tentang disiplin ilmu yang ingin kita pelajari. Toh, semua ilmu tidak ada yang sia-sia, apalagi pada zaman yang serba modern seperti ini, zaman MEA. Kita dapat belajar beberapa disiplin ilmu dengan caramengikuti kegiatan komunitas yang ada di masing-masing jurusan. Misalnya, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) ada komunitas Kaki Langit (Kalang) yang bergerak pada bidang teater dan sastranya, pada seni musik tiup ada komunitas Tiwul Beras WoodWind, SRDG yang punya komunitas Serbuk Kayu, dan lain sebagainya. Buletin Sastra Sesasi 11


Opini

Alasan yang paling klasik menurut mahasiswa malas tersebut adalah banyaknya tugas akademik yang harus diselesaikan. Jika hal itu terjadi, maka adacaramenarik untuk menangani hal tersebut, yaknimenyisipkan disiplin ilmu bahasa, sastraatau seni di FBS ke dalam mata kuliah wajib. Misalnya, jurusan Bahasa Indonesia wajib mempelajari Bahasa Jepang dan/atauseni tari, begitu pula jurusan lainnya. Itulah cara menyatukan jiwa mahasiswa FBS menjadi satu. Bahasa dan seni yang dijadikan sebagai identitas mahasiswa FBS dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan. Dengan demikian, kemampuan mahasiswa FBS tidak dapat diragukan lagi bahkan akan memiliki kredibilitas yang tinggiuntuk menjadi poros universitas. Ingatlah, jumlah kita satu sebagai wujud persatuan!

Merry PUW S. Haryani C.

Buletin Sastra Sesasi 12


Meme

Buletin Sastra Sesasi 13


Karya Grafis

MEMBACALAH! (AWS)

MENERIMA SEGALA JENIS KARYA Untuk terbitan Idhum berikutnya. Kirimkan karyamu dengan tema

Follow IG @Tim Sesasi

Fanspage dan FB @Tim Sesasi

Blogger sesasi- s-unesa.blogspot.com

“MERDEKA ATAU HIDUP” ke alamat sure kami, beritafbsunesa@gmail.com kami tunggu selambat-lambatnya 1 agustus 2016. Syarat dan ketentuan lainya silakan kunjungi laman blog kami. Selamat berkarya!!! Kami tunggu karyamu!!! Buletin Sastra Sesasi 14


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.